Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

advertisement
Judul
Nama/NPM
Pembimbing
: Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu
: Nuria Khotimah/10503129
: Ni Made Taganing, M. Psi., Psi
ABSTRAKSI
Tunarungu adalah istilah yang menggambarkan keadaan kemampuan dengar yang
kurang atau tidak berfungsi secara normal sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk
belajar bahasa dan wicara tanpa dibantu dengan metode dan peralatan khusus. Tunarungu
berpengaruh terhadap seluruh perkembangan anak sebagai individu. Keadaan itu
mempengaruhi perkembangan mental, kepribadian, emosi dan sosial si anak.
Penerimaan merupakan sikap seseorang yang menerima orang lain apa adanya secara
keseluruhan, tanpa disertai persyaratan ataupun penilaian. Apabila dalam keluarga terutama
pada ibu ada penerimaan, maka dapat membantu dalam pengasuhan dan akan mendukung
perkembangan anak. Namun tidak mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima begitu saja
kondisi anaknya tetapi ibu akan melalui beberapa proses hingga akhirnya seorang ibu dapat
menerima kondisi anaknya. Proses-proses penerimaan itu antara lain shock, denial, grief and
depression, ambivalence, guilt, anger, shame and embrassment, bargaining, adaptation and
reorganization, acceptance and adjustment.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran penerimaan ibu terhadap
anaknya yang mengalami tunarungu, faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan serta
gambaran proses-proses penerimaan yang dialami. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kasus. Subjek penelitian ini adalah seorang ibu yang
memiliki anak tunarungu dan berjumlah satu orang. Dalam penelitian ini digunakan teknik
wawancara terstruktur dan observasi non partisipan.
Berdasarkan hasil penelitian secara umum, gambaran penerimaan yang ditunjukkan
oleh subjek yaitu adanya harapan realistis terhadap keadaan, yakin akan standar dirinya,
memiliki perhitungan akan keterbatasan pada dirinya, menyadari asset diri yang dimiliki, serta
menyadari kekurangannya. Faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan yang dialami oleh
subjek terdiri dari pemahaman diri, makna hidup, pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan
terarah, dan dukungan sosial sedangkan proses penerimaan yang dilalui oleh subjek terdiri
dari beberapa proses, yaitu shock (kaget), grief and depression (perasaan duka dan depresi),
guilt (perasaan bersalah), anger (perasaan marah), shame and embrassment (perasaan malu),
adaptation and reorganization (adaptasi), acceptance and adjustment (menerima).
Kata kunci : Proses Penerimaan dan Tunarungu.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia yang berpendengaran normal
memiliki latar belakang bunyi-bunyian. Dimana
bunyi-bunyian memberikan arti yang amat
penting bagi kejiwaan manusia untuk terusmenerus mempunyai kontak dengan orang dan
alam di sekelilingnya. Keadaan seperti ini
membawa rasa aman bagi manusia dan
memperkaya penghayatan terhadap segala
sesuatu yang dialaminya.
Namun lain halnya dengan anak
tunarungu. Menurut Dudung & Sugiarto (1999),
tunarungu merupakan suatu istilah yang
menggambarkan keadaan kemampuan dengar
yang kurang atau tidak berfungsi secara normal
sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk
belajar bahasa dan wicara tanpa dibantu dengan
metode dan peralatan khusus. Ketunarunguan
mengakibatkan anak tidak mendengar bunyi
secara umum sehingga berakibat pada
kehidupan perasaan yang kurang berkembang
dan tidak berjenjang. Jalan pikirannya terlalu
konkret dan sukar berpikir secara abstrak. Sukar
masuk ke dalam situasi perasaan orang lain.
Semuanya disebabkan oleh bunyi-bunyi di
lingkungannya tidak memberi pengaruh
kepadanya.
Menurut Safaria (2005) kebanyakan
orang tua akan mengalami shock bercampur
perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan
marah ketika pertama kali mendengar diagnosis
mengenai gangguan yang dialami oleh anaknya.
Begitu pula dengan ibu yang anaknya
mengalami gangguan tunarungu. Perasaan tak
percaya bahwa anaknya mengalami tunarungu
kadang-kadang menyebabkan ibu mencari
dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter
sebelumnya, bahkan sampai beberapa kali
berganti dokter. Hal ini sangat memukul
perasaan ibu. Bagaimana tidak, anak yang
sangat dicintainya harus menderita suatu
gangguan
yang
menyebabkannya
tidak
berkembang sebagaimana anak-anak lainnya.
Kata-kata seperti, “Hancur-luluh, seperti
disambar petir di siang bolong, pilu dan
memilukan, shock berat, ini tidak mingkin saya
alami, ah, betapa menderitanya, apa salah saya
Tuhan hingga Engkau menimpakan cobaan
berat ini pada keluarga kami” menggambarkan
betapa beratnya masalah yang sedang dihadapi
oleh seorang ibu dari anak dengan gangguan
tunarungu.
Banyak sekali dampak negatif yang
akan dirasakan oleh ibu, baik secara fisik
maupun psikologi.. Pemahaman awal akan
dampak negatif yang akan banyak timbul
merupakan langkah yang sangat penting yang
bertujuan agar ibu mampu secara cepat
menyadarinya
sehingga
mampu
mengendalikannya agar dampak tersebut tidak
bertambah berat. Bahkan mungkin saja
berakibat anak akan menjadi korban karena
kekurangan kasih sayang dan perhatian. Untuk
itulah diperlukan penerimaan dari seorang ibu
terhadap anaknya yang mengalami gangguan
tunarungu.
Menurut Rogers, (1979) penerimaan
merupakan sikap seseorang yang menerima
orang lain apa adanya secara keseluruhan, tanpa
disertai persyaratan ataupun penilaian.
Apabila dalam keluarga terutama pada
ibu ada penerimaan, maka akan dapat membantu
dalam pengasuhan dan akan mendukung
perkembangan anak. Besar kecil penerimaan
oleh keluarga akan mempengaruhi pada kualitas
hubungan keluarga. Terlebih penerimaan ibu,
semakin kuat perasaan keibuan pada seorang
wanita, maka semakin besar kemampuan untuk
mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepada
anaknya, (Ibrahim, 2002).
Jika
dilihat
berdasarkan
teori
penerimaan dari Kubler-Ross, (dalam Gargiulo,
1985) seseorang akan mengalami beberapa
proses dalam menerima suatu keadaan yang
tidak sesuai dengan harapannya, sampai-sampai
pada tahap dimana seseorang tersebut benarbenar menerima keadaan yang terjadi. Maka
pada ibu yang memiliki anak tunarungu akan
mengalami beberapa proses dalam menerima
ketunarunguan pada anaknya, sampai-sampai
pada tahap dimana ibu benar-benar menerima
keadaan anaknya yang mengalami tunarungu.
Tahap-tahapnya yaitu pada primary phase: 1).
Shock (kaget), 2). Denial (menyangkal), 3).
Grief and depression (duka dan depresi),
Kemudian pada secondary phase: 1).
Ambivalence (dua perasaan yang bertentangan),
2). Guilt (perasaan bersalah), 3). Anger
(perasaan marah), 4). Shame and embrassment
(perasaan malu dan memalukan), Dan yang
terakhir yaitu pada tertiary phase: 1).
Bargaining (tawar-menawar),. 2). Adaptation &
reorganization (adaptasi dan reorganisasi), 3).
Acceptance & adjustment (menerima dan
memahami), Menurut Safaria (2005) faktorfaktor yang menyebabkan cepat atau tidaknya
seseorang menerima suatu keadaan yang tidak
sesuai dengan harapannya pada dasarnya tidak
lepas dari penafsiran orang tersebut terhadap
peristiwa yang dialaminya. Seringkali kita
cenderung melihat suatu peristiwa dari sisi yang
negatif dan jarang sekali kita melihatnya dari
sisi positif.. Ada dua faktor yang berpengaruh
dalam proses penerimaan, faktor yang pertama
yaitu faktor keluarga yaitu adanya hubungan
yang relatif harmonis antara ibu dengan ayah.
Jika hubungan antara ibu dengan ayah relatif
harmonis, maka keduanya akan lebih mampu
saling bekerja sama dalam merawat, mendidik
dan membimbing anaknya sehingga proses
penerimaan pun akan lebih cepat terjadi.
Sebaliknya jika hubungan antara ibu dengan
ayah buruk, maka beban psikis yang dipikul
keduanya akan bertambah berat. Kemudian
yang kedua yaitu faktor lingkungan sosial,
didalam lingkungan sosial mengembangkan
sikap perhatian, dukungan, penerimaan, dan
sikap empatik kepada sesama. Jika kita bersikap
penuh pengertian, mau membantu dengan tulus,
maka kita pun akan mendapatkan dukungan,
perhatian dari orang lain. Mengembangkan
hubungan yang suportif merupakan situasi yang
timbal-balik,
dua
arah,
dan
saling
mempengaruhi. Sehingga proses penerimaan
pada anak tunarungu akan lebih cepat terjadi.
Ciri-ciri orang yang menerima orang
lain juga dijelaskan oleh Sheerer (dalam
Cronbach, 1963) yaitu mempunyai keyakinan
akan kemampuan untuk menghadapi kehidupan,
menganggap orang lain berharga, berani
memikul tanggung jawab terhadap perilakunya,
menerima pujian atau celaan secara objektif, dan
tidak menyalahkan atas keterbatasan dan tidak
pula mengingkari kelebihan orang lain.
Adanya masalah-masalah psikologis
yang berhubungan dengan penerimaan ibu yang
memiliki anak tunarungu inilah yang membuat
penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
ini, mulai dari respon awal terhadap diagnosis
sampai pada proses penerimaan.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas,
maka timbul pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana gambaran penerimaan ibu
terhadap
anaknya
yang
mengalami
tunarungu?
2.
Faktor-faktor
apa
sajakah
yang
menyebabkan penerimaaan ibu terhadap
anaknya yang mengalami tunarungu?
3.
Bagaimanakah proses penerimaan ibu
terhadap
anaknya
yang
mengalami
tunarungu?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui bagaimana gambaran penerimaan
ibu terhadap anaknya yang mengalami
tunarungu, faktor-faktor yang menyebabkan
penerimaan ibu terhadap anaknya yang
mengalami tunarungu, dan bagaimana proses
penerimaan ibu terhadap anaknya yang
mengalami tunarungu
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini terutama dalam
faktor yang menyebabkan penerimaan
terhadap anak tunarungu dapat
memberikan masukan yang bermanfaat
pada ibu agar dapat melakukan
perubahan dari penghayatan hidup tak
bermakna menjadi hidup bermakna
sehingga ibu dapat lebih cepat dan
lebih mudah untuk menerima dan
memahami kondisi anak. Serta untuk
anak dapat memberi semangat hidup,
motivasi
dan
menimbulkan
kepercayaan dirinya kembali.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini memperkuat
hasil penelitian sebelumnya dari
Safaria (2005), Bastaman (1996),
Kubler-Ross,
(dalam
Gargiulo,
1985)dan terutama mengenai faktorfaktor yang menyebabkan penerimaan
serta proses-proses penerimaan. Selain
itu penelitian ini di harapakan dapat
menjadi
acuan
bagi
penelitian
selanjutnya
khususnya
yang
berhubungan dengan penerimaan ibu
yang mempunyaianaktunarungu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Penerimaan
Dari berbagai definisi tersebut di
atas, pada dasarnya memiliki kesamaan
antara definisi yang satu dengan yang
lainnya. Yakni dapat dilihat bahwa
penerimaan berkaitan dengan proses
seseorang dalam menerima kenyataan yang
ada. Yakni dengan menerima orang lain apa
adanya secara keseluruhan, memiliki sikap
yang positif terhadap orang lain, mengakui
dan menerima berbagai aspek dari orang
lain termasuk kualitas baik dan buruknya.
2. Karakteristik Penerimaan
Dalam hal ini Jersild, (1974)
menjelaskan
beberapa
karakteristik
penerimaan yakni, spontan dan bertanggung
jawab, tidak menyalahkan kondisi yang
ada, memiliki keinginan, gagasan, dan
aspirasi. Kemudian individu yang dapat
menerima orang lain akan memiliki
penilaian
yang
realistis
mengenai
kemampuan dan pengertian akan arti orang
lain. Beberapa ciri penerimaan diri untuk
dapat membedakan antara orang yang dapat
menerima keadaan dirinya atau orang yang
telah mengembangkan sikap penerimaan
dalam dirinya dengan seseorang yang
menolak keadaan dirinya atau tidak dapat
bersifat realistis, yaitu:
a) Orang yang menerima dirinya memiliki
harapan yang realistis terhadap
keadaan dan menghargai dirinya.
b) Yakin akan standar-standar dan
pengakuan terhadap dirinya tanpa
terpaksa pada pendapat orang lain.
c) Memiliki
perhitungan
akan
keterbatasan dirinya dan tidak melihat
pada dirinya sendiri secara irrasional.
d) Menyadari asset diri yang dimilikinya
dan merasa bebas untuk menarik atau
menolak keinginannya.
e) Seseorang
yang
menyadari
kekurangannya tanpa menyalahkan
orang lain.
3.
Reaksi-reaksi Awal Penerimaan
Menurut Selikowitz, (2001) setiap ibu
mengalami reaksi dalam penerimaan
anaknya, antara lain :
a). Syok
Semua ibu melewati fase ini, walaupun
mungkin hanya sejenak setelah
mendengar bahwa anaknya menderita
tunarungu. Banyak dari perasaan syok
itu dialami secara fisik misalnya tubuh
berkeringat dan menjadi dingin setelah
mengetahui bahwa anaknya menderita
tunarungu.
b). Rasa tidak percaya
Manakala dihadapkan pada berita
buruk,
salah
satu
mekanisme
perlindungan diri individu yang efektif
adalah
penyangkalan.
Namun
ketidakpercayaan ini sering kali total
pada
taraf
awal.
Pada
saat
diberitahukan, kadang penyangkalan
dapat
terus
berlangsung
dan
menyebabkan para ibu mencari
pendapat lain atau terlibat dalam cara
pengobatan yang kontroversial bagi
anak mereka.
c). Perasaan sedih
Reaksi terhadap derita bahwa seorang
anak menderita tunarungu seringkali
menyerupai kesedihan yang dirasakan
setelah kehilangan orang yang dicintai.
d). Perasaan menolak
Walaupun banyak ibu merasa malu
untuk mengungkapkannya, perasaan
menolak merupakan hal yang umum
pada taraf dini. Hal ini juga merupakan
respon naluriah dan mungkin sekali
muncul, manakala seorang anak yang
dalam suatu hal berbeda dari yang
lainnya dan tidak dapat diasuh dengan
baik di dalam lingkungannya.
e). Perasaan tidak mampu dan malu
Bagi banyak ibu, lahirnya seorang anak
dengan tunarungu merupakan sebuah
pukulan dahsyat bagi jati diri mereka.
Mereka merasa bahwa lahirnya seorang
anak yang cacat mencerminkan
kebutuhan mereka sendiri, terlebih bagi
bila mereka belum memiliki anak lain.
f). Perasaan marah
Banyak ibu mengalami kemarahan
sewaktu mereka mendapatkan dirinya
berada dalam situasi yang tidak dapat
mereka ubah. Banyak ibu mengalami
ini sebagai perasaan putus asa dan
pesimis. Mereka mudah menangis, sulit
tidur dan makan serta tidak ada tenaga,
antusiasme menghadapi segala sesuatu.
g). Perasaan bersalah
Para ibu sering kali merasa bersalah
memiliki
anak
yang menderita
tunarungu karena mereka yang
mengandung sang anak.
(Selikowitz, 2001).
4.
Faktor-faktor
Yang
Menyebabkan
Penerimaan
Jika dilihat dari teori yang
dikemukakan oleh Bastaman (1996)
mengenai beberapa komponen yang
menentukan berhasilnya seseorang dalam
melakukan perubahan dari penghayatan
hidup tak bermakna menjadi hidup
bermakna maka pada ibu yang memiliki
anak tunarungu untuk mempercepat proses
penerimaan terhadap anaknya yang
memiliki gangguan tunarungu yaitu dengan
melakukan perubahan dari menghayati
hidup dengan tidak bermakna menjadi
hidup
lebih bermakna.
Komponenkomponennya yaitu:
a) Pemahaman-diri (self-insight)
Yakni meningkatnya kesadaran atas
buruknya kondisi diri pada saat ini dan
keinginan kuat untuk melakukan
perubahan kearah kondisi yang lebih baik.
b) Makna hidup (the meaning of life)
Yaitu nilai-nilai penting dan sangat
berarti
bagi
kehidupan
pribadi
seseorang yang berfungsi sebagai
tujuan hidup yang harus dipenuhi dan
pengarah
kegiatankegiatannya. Perluas
makna
hidup yang kita cari, buka pemikiran
kita, buka mata hati kita, lihatlah halhal yang kita anggap sepele, namun
sebenarnya mengandung makna yang
luar biasa.
c) Pengubahan
sikap
(changing
attitude)
Yakni dari yang semula bersikap
negatif dan tidak tepat menjadi mampu
bersikap positif dan lebih tepat dalam
menghadapi masalah, kondisi hidup
dan musibah yang tak terelakkan.
d) Keikatan-diri (self-commitment)
Yakni komitmen individu terhadap
makna hidup yang ditemukan dan
tujuan hidup yang ditetapkan. Kuatkan
komitmen kita untuk bertindak positif,
konsisten dalam berusaha, tidak
mengenal kata menyerah dan putus asa,
e)
f)
apalagi hanya berpangku tangan.
Komitmen yang kuat akan membawa
diri kita pada pencapaian makna hidup
yang lebih mendalam.
Kegiatan terarah (directed activities)
yakni upaya-upaya yang dilakukan
secara sadar dan sengaja berupa
pengembangan potensi-potensi pribadi
(bakat, kemampuan, keterampilan)
yang positif serta pemanfaatan relasi
antar pribadi untuk menunjang
tercapainya makna dan tujuan hidup.
Hiasi hidup kita dengan aktivitasaktivitas positif seperti mengikuti
ceramah keagamaan, ikut dalam badan
amal, mengembangkan keterampilan
dan usaha, serta aktivitas-aktivitas
positif lainnya yang bisa kita lakukan.
Dukungan sosial (social support)
Yakni hadirnya seseorang atau
sejumlah orang yang akrab, dapat
dipercaya dan selalu bersedia memberi
bantuan pada saat-saat diperlukan.
Kembangkan relasi sosial kita dengan
orang-orang disekitar, cari dan
temukan lingkungan sosial yang
kondusif, silaturahmi keberbagai pihak,
jangan mengisolasi diri
5. Proses-proses Penerimaan
Menurut
Kubler-Ross,
(dalam
Gargiulo, 1985) seseorang akan mengalami
beberapa proses dalam menerima suatu
keadaan yang tidak sesuai dengan
harapannya, sampai-sampai pada tahap
dimana seseorang tersebut benar-benar
menerima keadaan yang terjadi, yaitu:
a). Primary phase
(1). Shock (kaget)
Ibu merasa terguncang, tidak
percaya atas apa yang telah terjadi.
Biasanya
ditandai dengan
menangis
terus-menerus
dan
perasaan tidak berdaya. Ibu sama
sekali tidak siap untuk menghadapi
kelainan pada anak.
(2). Denial (menyangkal)
Ibu menolak untuk mengenali
kecacatan
anak
dengan
merasionalisasikan
kekurangan
yang ada, atau dengan mencari
penegasan dari ahli bahwa tidak
ada kecacatan pada anak.
(3). Grief and depression (perasaan
duka dan depresi)
Merupakan reaksi yang alami dan
tidak perlu dihindari, Karena
dengan adanya perasaan ini ibu
mengalami
transisi
dimana
harapan masa lalu mengenai “anak
sempurna” disesuaikan dengan
kenyataan yang terjadi saat ini.
Dalam fase ini rasa duka
disebabkan oleh perasaan kecewa
karena memiliki anak yang
menderita tunarungu. Sedangkan
depresi
merupakan
perasaan
marah pada diri sendiri karena
telah gagal melahirkan anak yang
normal. Salah satu perilaku yang
mungkin muncul pada fase ini
adalah
penarikan
diri
dari
lingkungan.
b). Secondary phase
(1). Ambivalence (dua perasaan yang
bertentangan)
Kecacatan
anak
dapat
meningkatkan intensitas perasaan
kasih sekaligus perasaan benci
pada ibu. Perasaan negative
umumnya diiringi dengan perasaan
bersalah, sehingga beberapa ibu
mendedikasikan sebagaian besar
waktunya untuk anak, sedangkan
sebagian lagi menolak untuk
memberikan kasih sayang pada
anak dan menganggap anak tidak
berguna.
(2). Guilt (perasaan bersalah)
Pada fase ini ibu mungkin saja
merasa bersalah dengan kecacatan
anaknya, karena menganggap
bahwa dialah yang menyebabkan
kecacatan tersebut atau dihukum
karena dosanya dimasa lalu. Pada
fase ini biasanya ibu memiliki
pemikiran “kalau saja”. Pada saat
bersalah ibu juga menjadi obsesif
dan emosional serta secara berkala
bertanya mengapa hal ini dapat
terjadi.
(3). Anger (perasaan marah)
Perasaan ini dapat ditunjukkan
dengan
dua
cara.
Pertama
timbulnya pertanyaan “mengapa
saya”, lalu yang kedua yaitu
“displacement”, dimana rasa
bersalah ditunjukkan pada orang
lain seperti dokter, terapis,
pasangan, atau anak kandungnya
yang lain.
(4).
Shame
and
embrassment
(perasaan
malu
dan
memalukan)
Perasaan ini timbul saat ibu
menghadapi lingkungan sosial
yang menolak, mengasihani, atau
mengejek kecacatan anak. Sikap
lingkungan yang terus-menerus
seperti ini dapat menurunkan harga
diri
karena
beberapa
ibu
menganggap anak merupakan
penerus dirinya. Kehadiran anak
yang cacat dapat mengancam
harga dirinya.
c). Tertiary phase
(1). Bargaining (tawar-menawar)
Suatu strategi dimana ibu mulai
membuat “perjanjian” dengan
Tuhan, ilmu pengetahuan, atau
pihak manapun yang mampu
membuat anaknya kembali normal.
Misalnya: ibu yang membuat
pernyataan seperti “jika engkau
dapat menyembuhkan anakku,
maka aku akan mengabdikan
diriku padamu.
(2).
Adaptation & reorganization
(adaptasi dan reorganisasi)
Adaptasi
merupakan
proses
bertahap
yang
membutuhkan
waktu dan berkurangnya rasa
cemas serta reaksi emosional
lainnya. Reorganisasi merupakan
suatu kondisi dimana ibu merasa
nyaman dengan situasi yang ada
dan menunjukkan rasa percaya diri
dalam kemampuan mereka untuk
merawat dan mengasuh anak,
sehingga untuk bertanggung jawab
atas masalah anak.
(3).
Acceptance & adjustment
(menerima dan memahami)
Merupakan proses yang aktif
dimana ibu secara sadar berusaha
untuk mengenali, memahami, dan
memecahkan masalah, namun
tetap saja perasaan negatif yang
sebelumnya terbentuk tidak pernah
hilang. Pada fase ini ibu menyadari
kondisi anak dan menerimanya.
B. Tunarungu
1. Pengertian Tunarungu
Menurut Dudung & Sugiarto (1999)
tunarungu
adalah
istilah
yang
menggambarkan keadaan kemampuan
dengar yang kurang atau tidak berfungsi
secara normal sehingga tidak mungkin lagi
diandalkan untuk belajar bahasa dan wicara
tanpa dibantu dengan metode dan peralatan
khusus. Tunarungu berpengaruh terhadap
seluruh perkembangan anak sebagai
individu. Keadaan itu mempengaruhi
perkembangan mental, kepribadian, emosi
dan sosial si anak
Ada beberapa pengaruh yang terjadi
terhadap perkembangan anak tunarungu,
yaitu:
1. Ketunarunguan mengakibatkan anak
tidak mendengar bunyi secara umum,
sehingga menyebabkan:
a). Kehidupan perasaan kurang
berkembang dan tidak berjenjang,
di satu pihak sukar dirangsang,
tetapi di pihak lain dengan mudah
menjadi berkelebihan.
b). Jalan pikirannya terlalu konkret dan
sukar berpikir secara abstrak.
c). Sukar masuk ke dalam situasi
perasaan orang lain. Semuanya
disebabkan oleh bunyi-bunyi di
lingkungannya tidak memberi
pengaruh kepadanya.
2. Ketunarunguan mengakibatkan anak
tidak mendengar bunyi bahasa,
sehingga menyebabkan anak tunarungu
yang dididik, terutama secara visual
kinestesis tanpa mengikutsertakan
unsure auditif akan mengalami
kemiskinan dalam perkembangan
bahasanya. Intonasi dan bunyi bahasa
yang tidak dapat ditangkap lewat
pendengaran
sangat
menghambat
perkembangan
bahasanya
sebab
hakikat bahasa adalah bunyi, nada, dan
irama, bukan gerak bibir atau gerak
lidah.
2. Kriteria Tunarungu
Menurut
Dudung & Sugiarto, (1999)
terdapat beberapa kriteria tunarungu, yaitu :
1). Berdasarkan Tingkat Kehilangan
Kemampuan Dasar
Tunarungu dapat dibagi atas tulis
dan kurang dengar atau pekak.
Golongan tuli adalah mereka yang
kehilangan kemampuan dengar 90
decibel (dB) atau lebih, sedangkan
golongan kurang dengar adalah mereka
yang kehilangan kemampuan dengar
kurang dari 90 dB. Golongan kurang
dengar ini masih dapat dibedakan atas
kurang dengar ringan (kehilangan
kemampuan dengar antara 30 sampai
50 dB), kurang dengar sedang
kehilangan kemampuan dengar antara
50 sampai 70 dB), dan kurang dengar
berat (kehilangan kemampuan dengar
antara 70 sampai 90 dB).
2). Berdasarkan Letak Kerusakan
Ditinjau dari letak atau lokasi
kerusakan dapat dibedakan atas
tunarungu konduktif dan tunarungu
perspektif. Tunarungu konduktif adalah
jenis ketunarunguan sebagai akibat dari
kerusakan telinga bagian luar dan
bagian tengah, sedangkan jenis
ketunarunguan
perspektif
akibat
kerusakan telinga bagian dalam sampai
syaraf-syaraf indra pendengaran.
3). Berdasarkan Saat Terjadinya
Kehilangan Pendengaran
Tunarungu dapat terjadi pada
seseorang sebelum orang itu memiliki
bahasa, dan di antara kedua masa itu.
Bila tunarungu itu terjadi pada saat
seseorang belum memiliki bahasa
disebut tunarungu pralingual dan bila
tunarungu terjadi pada sesorang yang
telah berbahasa disebut tunarungu
postlingual, dan bila terjadi di antara
kedua hal itu disebut tunarungu
interlingual
4). Berdasarkan Penyebabnya
Ditinjau dari faktor penyebabnya
dapat dibedakan atas tunarungu genetis
(bawaan), prenatal (sejak dalam
kandungan),
natal
(pada
saat
kelahiran), dan postnatal (setelah
kelahiran).
3.
Karakteristik Tunarungu
Menurut Prabowo & Puspitawati
(1997) karakteristik dapat ditinjau dari
perkembangan
sosial,
intelegensi,
pendidikan, bahasa, dan bicaranya.
1). Perkembangan Sosial
Umumnya mengalami hambatan
komunikasi dan juga hambatan belajar
tentang hal-hal yang berkaitan dengan
intelektual, hal ini menyebabkan
rendahnya
kemampuan
untuk
mengatasi dorongan/impuls karena ada
kesulitan dalam melakukan interaksi
sosial (yang umumnya dilakukan
melalui kemampuan berkomunikasi),
kurang mandiri, toleransi terhadap
frustasi rendah, sangat egosentris
karena komunikasi umumnya hanya
dapat dilakukan dengan diri sendiri,
menjadi penuntut dan bersikap actingout(melebih-lebihkan)
2). Perkembangan Intelegensi
Populasi
pada
umumnya
mengikuti kurve normal tetapi sebagian
besar tetap normal selama tidak
mengalami kerusakan otak
3). Perkembangan Pendidikan
Pendidikan yang sesuai dengan
kemampuan masing-masing (misalnya
ada yang dapat ditolong dengan
menggunakan hearing aid)
4). Perkembangan Bahasa
Nampak
pada
penguasaan
perbendaharaan kata (umumnya lebih
menguasai yang konkrit dan produksi
kalimatnya pendek)
5). Perkembangan Bicara
Umumnya cara bicara tidak jelas
(baik artikulasi, intonasi maupun katakata sengau, contohnya m, n, ng)
Untuk mengembangkan kemampuan
komunikasi dapat dilakukan dengan cara:
1. Sign language, dengan gesture tangan;
2. Speech reading, belajar mengucapkan
atau melafalkan kata-kata dan membaca
gerakan bibir;
3. Taction dan Kinaesthetic Feedback,
dengan melatih indera peraba (misalnya
dengan mengenal getaran-getaran di
leher yang dihasilkan saat melafalkan
suatu kata);
4. Formal Speech Training
Untuk penderita yang memiliki
kemungkinan belajar bicara
C. Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak
Tunarungu
Penerimaan adalah pengasuhan dengan
penekanan pada interaksi yang berdasarkan pada
hubungan
yang
hangat
dan
saling
menguntungkan, sehingga akan meningkatkan
perkembangan kesadaran dan pemikiran moral
pada anak. Lebih jauh hal ini dihubungkan
dengan terpenuhinya kebutuhan akan kedekatan
(attachment) dan penghargaan diri (self-esteem).
Salah satu pengaruh pengasuhan yang hangat
dan responsif adalah tersampaikannya ide pada
anak bahwa ia sangat berharga dan pantas
mendapatkan perlakuan yang sebaik-baiknya.
Menurut Dudung & Sugiarto (1999)
tunarungu adalah istilah yang menggambarkan
keadaan kemampuan dengar yang kurang atau
tidak berfungsi secara normal sehingga tidak
mungkin lagi diandalkan untuk belajar bahasa
dan wicara tanpa dibantu dengan metode dan
peralatan khusus.. Tunarungu berpengaruh
terhadap seluruh perkembangan anak sebagai
individu.
Keadaan
itu
mempengaruhi
perkembangan mental, kepribadian, emosi dan
sosial si anak. Ini tidak terlalu mudah untuk kita
pahami karena kita mempunyai pancaindra yang
sempurna.
Apabila dalam keluarga terutama pada
ibu ada penerimaan, maka akan dapat membantu
dalam pengasuhan dan akan mendukung
perkembangan anak. Terlebih penerimaan ibu,
semakin kuat perasaan keibuan pada seorang
wanita, maka semakin besar kemampuan untuk
mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepada
anaknya, (Ibrahim, dalam Basri 2002).
Pada ibu yang memiliki anak tunarungu
untuk mempercepat proses penerimaan terhadap
anaknya yang memiliki gangguan tunarungu
yaitu dengan melakukan perubahan dari
menghayati hidup dengan tidak bermakna
menjadi hidup lebih bermakna. Komponenkomponennya yaitu: pemahaman-diri (selfinsight), makna hidup (the meaning of life),
pengubahan sikap (changing attitude), keikatandiri (self-commitment), kegiatan terarah
(directed activities), dukungan sosial (social
support). Bastaman (1996)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan penelitian : metode kualitatif
dalam bentuk studi kasus.
B. Subjek Penelitian
1. Karakteristik Subjek
Subjek penelitian ini adalah ibu yang
memiliki anak tunarungu.
2. Jumlah Subjek
subjek dalam penelitian ini berjumlah
satu orang.
C. Tahap-tahap Penelitian
1. Tahap Persiapan Penelitian : Peneliti
membuat pedoman wawancara yang
disusun berdasarkan beberapa teori-teori
yang relevan dengan masalah.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian : Dalam
penelitian ini, peneliti bertemu langsung
dengan subjek yang bersangkutan untuk
menanyakan perihal subjek yang
sekiranya bersedia diwawancarai.
D. Teknik Pengumpulan Data : wawancara
dan observasi.
E. Alat Bantu Pengumpul Data : Pedoman
Wawancara, pedoman observasi, alat
perekam, dan alat tulis
F. Keakuratan Penelitian
a. Triangulasi Data
Peneliti menggunakan berbagai sumber
data seperti dokumen hasil wawancara
dan hasil observasi dari subjek dan
significant other
b. Triangulasi Pengamat
Dosen pembimbing bertindak sebagai
pengamat (expert judgement) yang
memberikan masukan terhadap hasil
pengumpulan data.
c. Triangulasi Teori
Yaitu penggunaan berbagai teori yang
berlainan untuk memastikan bahwa
data
yang
dikumpulkan
sudah
memenuhi syarat. berbagai teori
tentang gejal-gejala stress, sumbersumber stress, dan strategi coping yang
telah dijelaskan pada bab II untuk
digunakan dan menguji terkumpulnya
data tersebut.
d. Triangulasi Metode
Yaitu metode wawancara,
observasi.
metode
G. Teknik Analisis Data : Mengorganisasikan
Data,
Pengelompokkan
Berdasarkan
Kategori, Tema, dan Pola Jawaban,
Menguji Asumsi atau Permasalahan yang
Ada Terhadap Data, Mencari Alternatif
Penjelasan Bagi Data, Menulis Hasil
Penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Hasil Dan Pembahasan
Dalam
membahas
hasil
penelitian
ditemukan hasil sebagai berikut :
a). Karakteristik Penerimaan
Menurut Jersild, (1974). beberapa
ciri penerimaan diri untuk dapat
membedakan antara orang yang dapat
menerima keadaan dirinya atau orang
yang telah mengembangkan sikap
penerimaan dalam dirinya dengan
seseorang yang menolak keadaan
dirinya atau tidak dapat bersifat
realistis, yaitu:
f) Orang yang menerima dirinya
memiliki harapan yang realistis
terhadap keadaan dan menghargai
dirinya.
g) Yakin akan standar-standar dan
pengakuan terhadap dirinya tanpa
terpaksa pada pendapat orang lain
h) Memiliki
perhitungan
akan
keterbatasan dirinya dan tidak
melihat
pada dirinya sendiri
secara irrasional.
i) Menyadari
asset
diri
yang
dimilikinya dan merasa bebas
untuk
menarik atau menolak
keinginannya.
j) Seseorang
yang
menyadari
kekurangannya tanpa menyalahkan
orang lain
Dari hasi penelitian karakteristik
penerimaan dimana orang yang
menerima dirinya memiliki harapan
yang realistis terhadap keadaan dan
menghargai dirinya yang terjadi adalah
: subjek merasa optimis bahwa anaknya
akan terus berprestasi meskipun
mengalami tunarungu, subjek tidak
pernah memaksakan setiap kegiatan
yang dilakukan oleh anak, disesuaikan
dengan kemampuan dan keinginan
anak,
selalu
mendukung
dan
menyemangati
anak,
subjek
menghargai dirinya sendiri dengan
selalu menjaga kesehatan dan tingkat
stress.
Dari hasil penelitian karakteristik
penerimaan dimana seseorang yakin
akan standar-standar dan pengakuan
terhadap dirinya tanpa terpaksa pada
pendapat orang lain yang terjadi
adalah: anak merupakan motivasi
terbesar subjek setiap melakukan
kegiatannya, subjek sangat giat
mengumpulkan uang demi anakanaknya, subjek percaya diri dengan
kemampuannya dalam hal memasarkan
barang dagangannya.
Dari hasil penelitian karakteristik
penerimaan dimana seseorang akan
memiliki
perhitungan
akan
keterbatasan dirinya dan tidak melihat
pada dirinya sendiri secara irrasional,
yang terjadi adalah: subjek saling
mengisi dan bekerjasama dengan suami
dalam hal anak dan dalam hal
pemenuhan kebutuhan atau masalah
ekonomi.
Dari hasil penelitian karakteristik
penerimaan dimana
seseorang
menyadari asset diri yang dimilikinya
dan merasa bebas untuk menarik atau
menolak keinginannya, yang terjadi
adalah: subjek memiliki penyesuaian
sosial yang baik, subjek memiliki
potensi dalam berbisnis, subjek
memanfaatkan kelebihan yang dimiliki
dengan banyak bersosialisasi dengan
lingkungan, subjek menggunakan atau
menerapkan
kelebihan
yang
dimilikinya ketika subjek menghadapi
lingkungan sosial baru dan ketika
subjek
memasarkan
barang
dagangannya.
Dari
hasil
penelitian
karakteristik
penerimaan
dimana
seseorang
yang
menyadari
kekurangannya tanpa menyalahkan
orang lain, yang terjadi adalah: subjek
menyadari akan kekurangan yang ada
pada dirinya, subjek menerima kritikan
dari orang lain, subjek tidak
menyalahkan kekurangan yang ada
pada dirinya kepada orang lain.
2. Faktor-faktor
Yang
Menyebabkan
Penerimaan
Menurut Safaria (2005) pada
dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi
cepat atau tidaknya proses penerimaan tidak
lepas dari penafsiran kita terhadap peristiwa
yang kita alami. Seringkali kita cenderung
melihat suatu peristiwa dari sisi yang
negatif dan jarang sekali kita melihatnya
dari sisi positif.
Jika
dilihat
dari
teori
yang
dikemukakan oleh Bastaman (1996)
mengenai beberapa komponen yang
menentukan berhasilnya seseorang dalam
melakukan perubahan dari penghayatan
hidup tak bermakna menjadi hidup
bermakna maka pada ibu yang memiliki
anak tunarungu untuk mempercepat proses
penerimaan terhadap anaknya yang
memiliki gangguan tunarungu yaitu dengan
melakukan perubahan dari menghayati
hidup dengan tidak bermakna menjadi
hidup
lebih bermakna.
Komponenkomponennya yaitu:
a). Pemahaman-diri (self-insight)
Yakni meningkatnya kesadaran atas
buruknya kondisi diri pada saat ini dan
keinginan kuat untuk melakukan
perubahan kearah kondisi yang lebih
baik.
b). Makna hidup (the meaning of life)
Yaitu nilai-nilai penting dan sangat
berarti
bagi
kehidupan
pribadi
seseorang yangberfungsi sebagai tujuan
hidup yang harus dipenuhi dan
pengarah kegiatan-kegiatannya. Perluas
makna hidup yang kita cari,
buka pemikiran kita, buka mata hati
kita, lihatlah hal-hal yang kita anggap
sepele, namun sebenarnya mengandung
makna yang luar biasa.
c). Pengubahan
sikap
(changing
attitude)
Yakni dari yang semula bersikap
negatif dan tidak tepat menjadi mampu
bersikap positif dan
lebih tepat
dalam menghadapi masalah, kondisi
hidup dan musibah yang tak
terelakkan.
d). Keikatan-diri (self-commitment)
Yakni komitmen individu terhadap
makna hidup yang ditemukan dan
tujuan hidup yang ditetapkan. Kuatkan
komitmen kita untuk bertindak positif,
konsisten dalam berusaha, tidak
mengenal kata menyerah dan putus asa,
apalagi hanya berpangku tangan.
Komitmen yang kuat akan membawa
diri kita pada pencapaian makna hidup
yang lebih mendalam. Teguhkan hati
untuk berjuang membimbing anak kita,
apa pun yang nantinya akan kita
hadapi. Percayalah Tuhan YME pasti
akan memberikan jalan yang lapang
untuk kita, dan ingatlah sesungguhnya
akhir itu lebih baik dari permulaan.
e). Kegiatan terarah (directed activities)
Yakni upaya-upaya yang dilakukan
secara sadar dan sengaja berupa
pengembangan potensi-potensi pribadi
(bakat, kemampuan, keterampilan)
yang positif serta pemanfaatan relasi
antar pribadi untuk menunjang
tercapainya makna dan tujuan hidup.
Hiasi hidup kita dengan aktivitasaktivitas positif seperti mengikuti
ceramah keagamaan, ikut dalam badan
amal, mengembangkan keterampilan
dan usaha, serta aktivitas-aktivitas
positif lainnya yang bisa kita lakukan.
Jangan hanya berputar pada aktivitas
yang
negatif
seperti
bergosip,
melamun, berkeluh kesah, berpangku
tangan, hanya mengumbar kesedihan,
jika ini dapat kita hindari maka niscaya
kita akan mencapai kebermaknaan
hidup lebih baik di masa depan.
f). Dukungan sosial (social support)
Yakni hadirnya seseorang atau
sejumlah orang yang akrab, dapat
dipercaya dan selalu bersedia memberi
bantuan pada saat-saat diperlukan.
Kembangkan relasi sosial kita dengan
orang-orang disekitar, cari dan
temukan lingkungan
sosial yang
kondusif, silaturahmi keberbagai pihak,
jangan mengisolasi diri hanya karena
kita memiliki anak yang mengalami
gangguan tunarungu. Jika I
tu
yang kita lakukan, berarti kita
menyatakan kalah pada tunarungu.
Jangan berputus asa, berjuanglah terus
dan melalui dukungan sosial orangorang terdekat di sekitar kita,
kemenangan pasti akan kita raih.
Berdasarkan faktor pemahaman-diri
(self-insight) ditemukan hasil sebagai
berikut: subjek memiliki kesadaran atas
kondisi diri subjek sendiri ketika
mengalami kondisi yang buruk (baik secara
fisik maupun secara mental), subjek
memiliki keinginan yang kuat untuk
melakukan perubahan kearah kondisi yang
lebih baik, terutama bagi anaknya, subjek
memiliki tujuan hidup yang harus dipenuhi
yaitu anak-anaknya, semua kegiatan yang
subjek lakukan adalah untuk masa depan
anak-anaknya.
Berdasarkan faktor makna hidup (the
meaning of life) ditemukan hasil sebagai
berikut: subjek memaknai hidupnya selama
ini adalah selalu bersikap sabar dalam hal
apapun.
Berdasarkan faktor pengubahan sikap
(changing attitude) ditemukan hasil sebagai
berikut: subjek mampu bersikap positif
dalam menghadapi masalah.
Berdasarkan faktor keikatan-diri (selfcommitment) ditemukan hasil sebagai
berikut: subjek berusaha untuk bisa
konsisten dalam berusaha.
Berdasarkan faktor kegiatan terarah
(directed activities) ditemukan hasil sebagai
berikut: subjek rutin mengikuti aktivitasaktivitas yang positif.
Berdasarkan faktor dukungan sosial
(social support) ditemukan hasil sebagai
berikut: memiliki teman yang akrab dan
selalu hadir memberi bantuan pada saat-saat
yang diperlukan, subjek selalu menjaga
silaturahmi dengan berbagai pihak.
3.
Proses-proses Penerimaan
Menurut
Kubler-Ross,
(dalam
Gargiulo, 1985) seseorang akan mengalami
beberapa proses dalam menerima suatu
keadaan yang tidak sesuai dengan
harapannya, sampai-sampai pada tahap
dimana seseorang tersebut benar-benar
menerima keadaan yang terjadi, yaitu:
a). Primary phase
(1). Shock (kaget)
Ibu merasa terguncang, tidak
percaya atas apa yang telah terjadi.
Biasanya
ditandai dengan
menangis
terus-menerus
dan
perasaan tidak berdaya. Ibu sama
sekali tidak siap untuk menghadapi
kelainan pada anak.
(2). Denial (menyangkal)
Ibu menolak untuk mengenali
kecacatan
anak
dengan
merasionalisasikan
kekurangan
yang ada, atau dengan mencari
penegasan dari ahli bahwa tidak
ada kecacatan pada anak.
(3). Grief and depression (perasaan
duka dan depresi)
Merupakan reaksi yang alami dan
tidak perlu dihindari, Karena
dengan adanya perasaan ini ibu
mengalami
transisi
dimana
harapan masa lalu mengenai “anak
sempurna” disesuaikan dengan
kenyataan yang terjadi saat ini.
Dalam fase ini rasa duka
disebabkan oleh perasaan kecewa
karena memiliki anak yang
menderita tunarungu. Sedangkan
depresi
merupakan
perasaan
marah pada diri sendiri karena
telah gagal melahirkan anak yang
normal. Salah satu perilaku yang
mungkin muncul pada fase ini
adalah
penarikan
diri
dari
lingkungan.
b). Secondary phase
(1). Ambivalence (dua perasaan yang
bertentangan)
Kecacatan
anak
dapat
meningkatkan intensitas perasaan
kasih sekaligus perasaan benci
pada ibu. Perasaan negatif
umumnya diiringi dengan perasaan
bersalah, sehingga beberapa ibu
mendedikasikan sebagaian besar
waktunya untuk anak, sedangkan
sebagian lagi menolak untuk
memberikan kasih sayang pada
anak dan menganggap anak tidak
berguna.
(2). Guilt (perasaan bersalah)
Pada fase ini ibu mungkin saja
merasa bersalah dengan kecacatan
anaknya, karena menganggap
bahwa dialah yang menyebabkan
kecacatan tersebut atau dihukum
karena dosanya dimasa lalu. Pada
fase ini biasanya ibu memiliki
pemikiran “kalau saja”. Pada saat
bersalah ibu juga menjadi obsesif
dan emosional serta secara berkala
bertanya mengapa hal ini dapat
terjadi.
(3). Anger (perasaan marah)
Perasaan ini dapat ditunjukkan
dengan
dua
cara.
Pertama
timbulnya pertanyaan “mengapa
saya”, lalu yang kedua yaitu
“displacement”, dimana rasa
bersalah ditunjukkan pada orang
lain seperti dokter, terapis,
pasangan, atau anak kandungnya
yang lain.
(4).
Shame
and
embrassment
(perasaan
malu
dan
memalukan)
Perasaan ini timbul saat ibu
menghadapi lingkungan sosial
yang menolak, mengasihani, atau
mengejek kecacatan anak. Sikap
lingkungan yang terus-menerus
seperti ini dapat menurunkan harga
diri
karena
beberapa
ibu
menganggap anak merupakan
penerus dirinya. Kehadiran anak
yang cacat dapat mengancam
harga dirinya.
c). Tertiary phase
(1). Bargaining (tawar-menawar)
Suatu strategi dimana ibu mulai
membuat “perjanjian” dengan
Tuhan, ilmu pengetahuan, atau
pihak manapun yang mampu
membuat anaknya kembali normal.
Misalnya: ibu yang membuat
pernyataan seperti “jika engkau
dapat menyembuhkan anakku,
maka aku akan mengabdikan
diriku padamu.
(2).
Adaptation & reorganization
(adaptasi dan reorganisasi)
Adaptasi
merupakan
proses
bertahap
yang
membutuhkan
waktu dan berkurangnya rasa
cemas serta reaksi emosional
lainnya. Reorganisasi merupakan
suatu kondisi dimana ibu merasa
nyaman dengan situasi yang ada
dan menunjukkan rasa percaya diri
dalam kemampuan mereka untuk
merawat dan mengasuh anak,
sehingga untuk bertanggung jawab
atas masalah anak.
(3).
Acceptance & adjustment
(menerima dan memahami)
Merupakan proses yang aktif
dimana ibu secara sadar berusaha
untuk mengenali, memahami, dan
memecahkan masalah, namun
tetap saja perasaan negatif yang
sebelumnya terbentuk tidak pernah
hilang. Pada fase ini ibu menyadari
kondisi anak dan menerimanya.
Berdasarkan
hasil
penelitian,
subjek hanya mengalami beberapa
proses dalam penerimaan, yaitu shock
(kaget), grief and depression (perasaan
duka dan depresi), guilt (perasaan
bersalah), anger (perasaan marah),
shame and embrassment (perasaan
malu), adaptation and reorganization
(adaptasi), acceptance and adjustment
(menerima).
Pada
proses
shock
(kaget)
ditemukan hasil sebagai berikut: subjek
sempat merasa terguncang pada saat
pertama kali mengetahui diagnosis
pada anaknya, subjek merasakan
tubuhnya menjadi lemas, subjek
merasa tidak berdaya, dan subjek
hanya bisa menangis
Pada proses grief and depression
(perasaan duka dan depresi) ditemukan
hasil sebagai berikut: subjek sempat
merasa kecewa memiliki anak yang
menderita tunarungu, karena menurut
subjek, ia mengharapkan seorang anak
yang terlahir normal seperti anak
normal pada umumnya, subjek sempat
merasa pesimis terhadap masa depan
anaknya, subjek merasa khawatir
ketunarunguan pada anaknya dapat
mempengaruhi masa depannya nanti.
Pada proses guilt (perasaan
bersalah) ditemukan hasil sebagai
berikut: Subjek sempat merasa bahwa
kecacatan yang dialami oleh anaknya
merupakan hukuman baginya atau
suaminya akibat dosa dimasa lalu,
Subjek sempat menjadi sangat obsesif
terhadap perkembangan anaknya pada
saat itu, Subjek selalu mencari banyak
informasi mengenai ketunarunguan
anaknya, Subjek sering membawa
anaknya ke tempat-tempat pengobatan
alternatif, berharap anaknya masih
dapat disembuhkan, Subjek banyak
bertukar informasi dengan para orang
tua murid di SLB, yang anaknya
mengalami tunarungu juga.
Pada proses anger (perasaan
marah) ditemukan hasil sebagai
berikut: subjek sempat
berpikir
bahwa ketunarunguan ini merupakan
kesalahan dari suaminya.
Pada proses shame and
embrassement
(perasaan
malu)
ditemukan hasil sebagai
berikut:
subjek sempat merasa malu sewaktu
pertama kali membawa anaknya jalanjalan keluar rumah, subjek merasa
sedih dan kesal ketika orang lain
memandang aneh anak subjek
Pada proses adaptation and
reorganization
(adaptasi
dan
reorganisasi) ditemukan hasil sebagai
berikut: subjek sempat mengalami
kecemasan yang berlebihan, subjek
merasa khawatir sesuatu yang tidak
diharapkan akan terjadi pada anaknya,
subjek selalu mengontrol aktifitas
bermainnya anak, atau hanya sekedar
mengamati dari jauh ketika anak
bermain dengan temannya, subjek
sudah merasa nyaman dengan situasi
yang ada pada saat ini, terlebih ketika
subjek mulai menyekolahkan anaknya
di SLB, subjek mampu menggunakan
bahasa isyarat untuk berkomunikasi
dengan anaknya, saat ini subjek sudah
merasa percaya diri untuk merawat dan
mengasuh anaknya. bahkan terkadang
subjek juga suka memberikan masukan
pada ibu-ibu yang lainnya dalam hal
merawat
dan
mengasuh
anak
tunarungu, subjek membutuhkan waktu
yang lama untuk bisa menyesuaikan
dengan situasi yang ada saat ini dan
semuanya merupakan proses yang
panjang.
Pada proses aceptance &
adjustment (menerima dan memahami)
ditemukan hasil sebagai berikut: subjek
sudah sangat memahami mengenai
ketunarunguan pada anaknya, saat ini
tidak pernah muncul perasaan-perasaan
negatif pada diri subjek, subjek telah
menerima kondisi anaknya saat ini,
subjek memberikan perhatian yang
berbeda dengan anaknya yang lain.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, secara
garis besar dapat dilihat gambaran
penerimaan pada ibu yang memiliki anak
tunarungu dalam hal ini terlihat bahwa ibu
memiliki harapan yang realistis, ibu merasa
yakin akan standar-standar dirinya, memiliki
perhitungan akan keterbatasan pada dirinya,
menyadari asset diri yang dimiliki, dan
menyadari kekurangannya. Ini semua tidak
lepas dari faktor-faktor yang menyebabkan
penerimaan, yang mana semua faktor-faktor
ini sangat membantu mempercepat proses
penerimaan subjek terhadap anaknya yang
mengalami tunarungu. Faktor-faktor tersebut
adalah faktor penghayatan hidup, yang terdiri
dari pemahaman diri, makna hidup,
pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan
terarah, dan dukungan sosial. Sedangkan
gambaran proses penerimaan pada ibu yang
memiliki anak tunarungu, dalam hal ini
terlihat bahwa subjek mengalami beberapa
proses penerimaan berupa shock (kaget), grief
& depression (perasaan duka dan depresi),
guilt (perasaan bersalah), anger (perasaan
marah), shame & embrassment (perasaan
malu), adaptation & reorganization (adaptasi
dan reorganisasi), acceptance & adjustment
(menerima dan memahami).
penelitian
psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
B. Saran
1.
2.
3.
4.
Bagi ibu yang memiliki anak tunarungu
Agar menjaga tingkat stress, karena
bagaimanapun sebagai ibu dari anak
yang mengalami tunarungu akan
banyak terbebani oleh persoalan ini,
hal ini berarti ibu akan mengalami
banyak ketegangan dan stress. Untuk
itulah pada waktu tertentu ibu perlu
menghibur diri bersama pasangan,
sejenak lepas dari anak dan menikmati
kegiatan tanpa adanya interupsi. Hal ini
akan sangat bermanfaat agar ibu
mampu mengembalikan semangat
juang dan mengembalikan kondisi
psikologis agar menjadi segar kembali.
Kepada SLB Mekar Sari
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan banyak informasi kepada
para orang tua yang memiliki anak
tunarungu
mengenai
hal
yang
menyangkut tunarungu, agar para
orang tua dapat lebih mengerti dan
memahami mengenai tunarungu.
Kepada seluruh masyarakat, hendaknya
memberikan
sikap
perhatian,
dukungan, penerimaan, dan sikap
empatik kepada ibu yang mempunyai
anak tunarungu dan anak yang
mengalami tunarungu, agar
tetap
merasa nyaman dan percaya diri untuk
tetap dapat bersosialisasi dengan
lingkungannya.
Untuk Peneliti Selanjutnya
Penulis menyadari bahwa penelitian ini
jauh dari hasil yang memuaskan untuk
itu bagi peneliti yang akan mengadakan
penelitian dengan topik yang sama
hendaknya memperbanyak subjek
penelitian agar lebih bervariasi dan
penelitian dilakukan dengan waktu
yang lebih lama sehingga dapat
melakukan observasi dan wawancara
secara lebih cermat.
DAFTAR PUSTAKA
Alsa,
Asmadi. (2003). Pendekatan
kuantitatif & kualitatif serta
kombinasinya
dalam
Basri, A. S. (2002). Problematika
perkawinan.
Majalah
AyahBunda. No. 15. Jakarta:
Yayasan Aspirasi Pemuda
Bastaman, Dj Hanna. (1996). Meraih
hidup bermakna. Jakarta:
Paramadina.
Cronbach, Lee J. (1963). Educational
psychology.
New
York:
Harcourt Brace & World Inc.
Dudung & Sugiharto. (1999). Pedoman
guru pengajaran wicara untuk
anak tunarungu. Jakarta.
Gargiulo. (1985). Working with parents
of exceptional children. A
guide for professional
Hendro, P. & Ira, P. (1997). Psikologi
pendidikan: Seri diktat kuliah.
Jakarta: Gunadarma.
Heru Basuki, A. M. (2006). Penelitian
kualitatif: untuk ilmu-ilmu
kemanusiaan dan budaya.
Jakarta
:
Universitas
Gunadarma.
J. Donald. Walters. (2006). Rahasia
penerimaan diri. Kanisius:
Yogyakarta.
Jersild, A. T. (1974). Psychology of
adolescence. New York:
McGraw-Hill Book.
Maria, S. Y. (1999). Pedoman guru
pengajaran bina persepsi
bunyi dan irama untuk anak
tunarungu. Jakarta.
Miles,
M.B. & Huberman, A.M.
(1992).
Analisis
data
kualitatif. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Moleong, L. J. (2005). Metode
pendekatan
kualitatif.
Bandung:
Remaja
Rosdakarya.
Mussen,
P.H. (1993). Psikologi
perkembangan
dan
kepribadian anak. Jakarta :
Arcan.
Sugiyono. (1999). Metode penelitian
administrasi.
Bandung:
Alfabeta.
Wiwit,
Nawawi, H. (2003). Metode penelitian
bidang sosial. Yogyakarta:
Gadjah Mada University
Press.
Poerwandari, K. (1998). Pendekatan
kualitatif untuk penelitian
perilaku manusia (rev.ed).
Jakarta:
Lembaga
Pengembangan
Sarana
Pengukuran
Pendidikan
Psikologi (LPSP3) UI.
Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan
kualitatif untuk penelitian
perilaku manusia. Jakarta:
Lembaga
Pengembangan
Sarana
Pengukuran
dan
Pendidikan Psikologi (LPSP3)
Universitas Indonesia.
Rogers, C.R. 1971. On becoming a
person a therapist’s view of
psychotherapy.
London:
Constable & Company. Ltd.
Rubin, T (1974). Dr. rubin, please
make me happy. The common
sense of mental health. New
York: Abror house.
Ryff, C.D. (1996). Psychological well
being.
Encyclopedia
of
gerontology vol.2. Madison:
Academic Press. Inc.
Safaria,
T.
(2005).
Autisme:
Pemahaman baru untuk hidup
bermakna bagi orang tua.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Schultz,
D.
(1991).
Growth
psychology: Models of the
healthy
personality
(terjemahan).
Yogyakarta:
Kanisius.
Selikowitz, Mark. (1990). Mengenal
sindrom down. Jakarta:
Penerbit Arcan.
W., Jash., Metta. (2003).
Mengkomunikasikan
moral
kepada anak. Jakarta: Elex
Media Komputindo.
Yin, R. K. (1994). Studi kasus : desain
dan metode. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Download