BAB VI KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DAN CARA MENGATASI KENDALA DALAM PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNARUNGU PADA SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN B NEGERI DI KABUPATEN TABANAN Pemberdayaan merupakan program yang dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang. Pemberdayaan harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan terus-menerus. Upaya memberikan pelatihan sebagai kegiatan keterampilan dalam suatu proses. Pelaksanaan program pemberdayaan keterampilan vokasional tidak terlepas dari kendala-kendala. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa kendala dan kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan pelatihan keterampilan, yaitu “keterbatasan modal usaha, keterbatasan kemampuan dan motivasi sumber daya manusia (SDM), serta kurangnya sarana dan prasarana ”. Menurut Watson dalam Adi (2008 : 259 – 275), “kendala yang terjadi dalam pelaksanaan program pemberdayaan dapat berasal dari kepribadian individu dalam komunitas dan bisa juga berasal dari sistem sosial”. Sesuai dengan pendapat di atas, kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberdayaan keterampilan di SLB.B N Tabanan dibagi menjadi dua yaitu (a) kendala yang berasal dari dalam kepribadian peserta didik dan pendidik serta (b) kendala dari lingkungan. Kendala-kendala tersebut adalah sebagai berikut. 111 112 6.1 Kendala yang Berasal dari Peserta Didik 6.1.1 Kestabilan (homeostasis) Kurangnya pemahaman anak tunarungu, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan sering kali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu dengan cara yang negatif atau salah. Hal ini sering mengakibatkan tekanan pada emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya, yaitu dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak secara agresif, atau sebaliknya menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan. Emosi yang bergejolak pada anak tunarungu disebabkan oleh di satu pihak adanya kemiskinan dalam penguasaan kosakatanya, dan di pihak lain karena adanya pengaruh-pengaruh dari luar yang diterimanya seperti teman dan faktor lingkungan. Dalam mengikuti keterampilan vokasional, anak tunarungu masih kurang stabil, tergantung keinginan dari pribadi siswa. Pada saat siswa ingin belajar keterampilan dia mengikuti, pada saat tidak ingin belajar keterampilan dia pun tidak masuk. Bisa dikatakan bahwa motivasi untuk mengikuti keterampilan masih dalam taraf timbul tenggelam / kurang. Berikut ungkapan Nadi Utami. “… Saya malas mengikuti keterampilan kalau teman-teman yang masuk cuma sedikit. Jadi kurang semangat dalam belajarnya ditambah lagi ruangannya tidak nyaman…” (wawancara 9 Mei 2013). Berdasarkan ungkapan di atas dapat disimpulkan bahwa niat untuk belajar dalam mengikuti pelatihan keterampilan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu teman dan ruangan yang tidak nyaman. Tidak nyaman di sini karena ruangan berfungsi ganda, yang dimaksud dengan ruangan berfungsi ganda di sini adalah 113 ruangan digunakan untuk dua fungsi. Contoh ruang pelatihan untuk menjahit digunakan juga sebagai pelatihan salon kecantikan. McClelland (1961:34) mengatakan bahwa kegagalan pembangunan sebuah masyarakat disebabkan oleh warga masyarakat tersebut tidak memiliki motivasi untuk berprestasi. Anak tunarungu bersifat pasrah dan menerima nasib apa adanya tanpa perlawanan. Oleh sebab itu, agar pembangunan (dalam hal ini adalah pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu) berhasil, sikap anak tunarungu harus diubah dan didorong untuk memiliki motivasi. Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja, maupun dalam kehidupan lainnya. 6.1.2 Kemampuan mengingat Inteligensi merupakan faktor yang sangat penting dalam belajar meskipun di samping itu ada faktor-faktor lain yang tidak dapat diabaikan begitu saja, seperti kondisi kesehatan dan faktor lingkungan. Inteligensi merupakan motor dari perkembangan mental seseorang. Pada umumnya anak tunarungu memiliki inteligensi yang tinggi, rata-rata, dan inteligensi yang rendah. Sesuai dengan sifat keturunannya, anak tunarungu sukar memahami konsep abstrak sebab untuk dapat memahami dan menangkap pengertian abstrak sangat diperlukan pemahaman yang baik akan bahasa lisan dan bahasa tulisan. Kemampuan mengingat pada anak tunarungu kurang optimal bila dibandingkan dengan anak normal. Dalam mengikuti pelatihan keterampilan diperlukan kesabaran yang tinggi karena harus selalu mengulang. Berikut ungkapan Sri Agustini. 114 “…Saya sering lupa pada pelajaran yang sudah diajarkan oleh guru pada hal pelajaran itu baru kemarin diberikan…” (wawancara 9 Mei 2013). Kemampuan mengingat yang kurang menyebabkan pencapaian hasil keterampilan memerlukan waktu yang cukup lama. 6.1.3 Superego Superego yang terlalu kuat dalam diri seseorang cenderung membuat ia tidak mau atau sulit menerima pemberitahuan oleh teman sebaya. Dalam hal ini, biasanya harus diberi tahu oleh guru bila kurang mengerti dalam proses pelatihan keterampilan. Dorongan superego yang berlebihan dapat menimbulkan kepatuhan yang berlebihan pula. Berikut ungkapan Mia Astrika Dewi. “…Guru itu lebih pintar daripada teman-teman. Oleh sebab itu, saya lebih mengerti kalau guru yang memberi tahu …”(wawancara…Mei 2013). Berdasarkan ungkapan di atas Mia menganggap teman-temannya sama dengan dirinya, yaitu masih dalam tahap belajar. 6.1.4 Rasa tidak percaya diri (self distrust) Faktor sosial merupakan lingkungan hidup di mana seorang anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya, baik interaksi antar individu, antara individu dan kelompok, keluarga, dan antara individu dengan lingkungan masyarakat yang lebih luas. Adanya perlakuan yang kurang wajar dari anggota keluarga dan anggota masyarakat dapat menimbulkan beberapa aspek yang negative, seperti perasaan rendah diri dan merasa diasingkan oleh keluarga atau masyarakat, perasaan cemburu, perasaan syak wasangka, merasa diperlakukan tidak adil, kurang dapat bergaul, mudah marah, dan berlaku agresif. Berikut ungkapan Dwi Jayanti. 115 “…Kurangnya pemahaman dan miskinnya bahasa dalam berkomunikasi membuat saya tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang lain sehingga saya tidak bisa memberikan timbal balik karena itu saya dianggap orang yang bodoh…” Rasa tidak percaya diri membuat anak tunarungu tidak yakin dengan kemampuannya sehingga sulit untuk menggali dan memunculkan potensi yang ada pada dirinya. Hal ini membuatnya menjadi sulit berkembang karena ia sendiri tidak mau berkembang. Kegagalan membuat rangkaian sejumlah objek atau mengonstruksi suatu bentuk tertentu dapat menyebabkan anak mengalami frustrasi. Dengan mendampingi anak pada saat belajar, pendidik dapat melatih anak untuk belajar bersabar, mengendalikan diri dan tidak cepat putus asa dalam mengonstruksi sesuatu. Bimbingan yang baik bagi anak mengarahkan anak untuk dapat mengendalikan dirinya kelak pada kemudian hari untuk tidak cepat frustrasi dalam menghadapi permasalahan (Titik Setyawahyuni, 2007: 18). Berdasarkan ungkapan dan teori di atas diketahui bahwa anak tunarungu memerlukan bimbingan dari guru untuk menumbuhkan rasa percaya diri agar siswa dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. 6.2 Kendala yang berasal dari lingkungan 6.2.1 Tenaga pendidik Guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan belajar keterampilan di sekolah. Disamping itu, juga sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidup siswa secara optimal, baik di bidang akademik maupun keterampilan vokasional yang diselenggarakan di SLB.B N Tabanan. Peran guru dalam proses kegiatan 116 pembelajaran keterampilan adalah sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaru (inovator), model dan teladan, pendorong kreativitas, dan lain-lain. Berkaitan dengan ini, guru memiliki peranan yang unik dan sangat kompleks di dalam proses kegiatan keterampilan, dalam usahanya mengantarkan siswa/anak didik ke taraf yang dicita-citakan. Oleh karena itu, guru harus merencanakan setiap kegiatan sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya. Begitu pentingnya peranan seorang guru, tetapi di SLB.B N Tabanan, yang mengajarkan keterampilan kurang berkompeten di bidangnya seperti guru yang mengajar keterampilan pembuatan batako dan keterampilan meronce, mereka mengajar keterampilan bukan karena mempunyai ijazah yang mendukung, melainkan hanya berdasarkaan pengalaman. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan I Wayan Ceger sebagai berikut. “…Tenaga pendidik dalam mengajarkan keterampilan kurang kompeten di bidangnya dan hanya berdasarkan pengalaman yang dimiliki karena tuntutan kurikulum yang mengharuskan bahwa pembelajaran di SMALB 40% di bidang akademik dan 60% di bidang keterampilan vokasional maka dari itu, SLB.B N Tabanan memanfaatkan guru yang ada, tetapi sudah berpengalaman di bidangnya walaupun tidak mempunyai ijazah yang berkaitan dengan keterampilan yang diajarkan…”(wawancara 9 Mei 2013). Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan vokasional harus diadakan karena sudah menjadi aturan dari pemerintah walaupun bertolak belakang dengan keadaan yang ada di lapangan, yaitu belum ada guru yang berkompeten di bidangnya. Walaupun gurunya kurang berkompeten, yaitu di bidang pembuatan batako, batako berhasil menjadi keterampilan yang sukses. Keberhasilannya membina anak tunarungu terbukti dari hasil pembuatan batako sudah dipasarkan. 117 6.2.2 Sarana dan prasarana Dalam konteks sarana prasarana, Adi (2008 : 287) mengatakan bahwa “modal fisik merupakan salah satu modal dasar yang terdapat dalam setiap masyarakat”. Modal fisik terdiri atas dua kelompok, yaitu bangunan dan infrastruktur. Bangunan di sini berupa ruangan dalam pelaksanaan pelatihan keterampilan dan infrastruktur berupa peralatan keterampilan. Salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan suatu program adalah mengenai sarana dan prasarana. Sarana dan prasaran di SLB.B N Tabanan masih sangat terbatas, yaitu ruang keterampilan vokasional yang tersedia baru ada satu ruangan. Dalam ruangan tersebut ada dua aktivitas keterampilan yang dilaksanakan, yaitu keterampilan menjahit dan salon kecantikan. Ditambah lagi peralatan menjahit seperti mesin jahit, lemari, dan bahan-bahan keperluan menjahit disimpan dalam ruangan itu juga. Mesin jahit banyak yang rusak. Dari empat mesin jahit hanya dua mesin jahit yang bisa dipakai. Di samping itu, peralatan salon kecantikan, seperti steamer, dan lemari kaca disimpan di situ juga sehingga menambah sempit ruangan. Kondisi seperti itu kurang nyaman untuk pelaksanaan proses pembelajaran. Selain itu banyak kosmetik yang sudah expired. Untuk keterampilan pembuatan batako ada empat biji cetakan. Jadi, masih kurang dan tidak ada alat transportasi untuk pengiriman. Ruang workshop sebagai tempat pameran hasil karya anak belum ada. Berikut penuturan kepala sekolah, I Made Warsawan,S.Pd. “…kurikulum 2004 harus dilaksanakan walaupun sarana dan prasarana belum memadai. Kurikulum 2004 yang terimplementasi melalui program pemberdayaan keterampilan vokasional yang dilaksanakan di sekolah ini memang belum diikuti dengan sarana dan prasarana yang memadai. Saya 118 dan guru-guru lebih memprioritaskan proses belajar keterampilannya sementara ruang workshop masih dalam proses pengajuan ke pemerintah…” ( wawancara 10 Mei 2013 ). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa sarana dan prasarana yang ada memang kurang memadai. Jadi, salah atu alternatifnya adalah dengan memanfaatkan yang telah ada dan memprioritaskan dalam proses pembelajaran. Permodalan mempunyai peranan penting dalam menentukan keberhasilan suatu usaha yang dirintis. Pemerintah memberikan dana hanya untuk pelatihan keterampilan yang diajukan melalui Rencana Kerja Anggaran Sekolah (RKAS). Jadi, untuk kepentingan berproduksi belum ada dana sehingga permodalan dalam pembuatan batako meminjam dari yayasan. Minimnya bantuan yang dapat diberikan oleh yayasan dan kurangnya waktu pengerjaan dalam pembuatan batako mengakibatkan banyak pesanan batako yang tidak bisa dipenuhi oleh sekolah. Pemasaran menjadi kunci utama untuk suksesnya pengembangan suatu usaha. Kenyataan pada saat ini ekonomi rakyat lemah, kesenjangan makin meningkat, dan terjadi banyak monopoli menyebabkan lapisan masyarakat bawah (tunarungu) sulit untuk menembus jaringan pasar yang dikuasai oleh golongan yang kuat. Oleh karena itu, untuk mengatasinya dibangun sistem kemitraan yang saling menguntungkan. 6.3 Cara Mengatasi Kendala-Kendala Pemberdayaan Keterampilan Vokasional 6.3.1 Bagi peserta didik dan tenaga pendidik Banyaknya kendala yang dihadapi tidak seharusnya menyebabkan guru menjadi putus asa dan menyerah pada keadaan, justru merupakan cambuk untuk 119 maju dengan keadaan yang serba terbatas, baik dilihat dari segi kemampuan peserta didik yang tunarungu maupun sarana dan prasarana yang kurang memadai. Guru harus memberikan contoh kepada siswa melalui sikap nyata, yaitu berupa kedisiplinan yang tinggi, kesungguhan dalam memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, serta konsisten terhadap tugas yang diembannya. Hal itu dilakukan melalui pelatihan keterampilan yang diselenggarakan dan mempunyai motivasi tinggi dalam mewujudkan keberhasilan program keterampilan vokasional, di sinilah letak pentingnya motivasi. Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Stoner (1996:134) menyatakan bahwa motivasi sebagai suatu manajemen untuk memengaruhi tingkah laku manusia berdasarkan pengetahuan mengenai apa yang menyebabkan orang bergerak. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri (daya pendorong) seseorang untuk mencapai tujuan. Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja, maupun dalam kehidupan lainnya. Hal ini sesuai dengan teori motivasi (hierarki kebutuhan) yang dikemukakan oleh Abraham H. Maslow (dalam teori-teori motivasi oleh Akhmad Sudrajat, M.Pd pada 6 Februari 2008). Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow ini pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat, dan seks; (2) kebutuhan 120 rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal, dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai symbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata. Dari teori di atas dapat digarisbawahi bahwa manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan, dua di antaranya adalah aktualisasi diri dan harga diri. Untuk aktualisasi diri bagi anak tunarungu, ada program pemberdayaan keterampilan vokasional yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan di bidang keterampilan tertentu yang sesuai dengan bakat dan minat siswa sehingga potensi siswa dapat berkembang. Dengan berkembangnya potensi siswa maka siswa memiliki keahlian dibidang keterampilan yang bisa meningkatkan kualitas hidup dan harga dirinya di masyarakat. 6.3.2 Sarana dan prasarana Kondisi yang serba terbatas untuk melaksanakan program keterampilan vokasional, yaitu hanya ada satu ruangan untuk dua jenis keterampilan, maka untuk mengatasinya, yaitu dengan cara bergiliran dalam pelaksanaannya. Untuk salon kecantikan hari Selasa sedangkan untuk menjahit hari Rabu, demikian pula dalam pemakaian mesin jahit karena banyak yang rusak. Untuk bahan-bahan yang expired tidak ada cara lain selain tidak memakainya lagi, mungkin untuk ke depannya stok bahan harus memang benar-benar diperhitungkan kegunaan dan pemakaiannya sehingga tidak sampai expired. Sementara ini apabila ada 121 pemesanan batako, sekolah tidak bisa melayani pengiriman karena tidak mempunyai mobil. Karena tidak ada ruang pameran, hasil karya anak dipajang di lemari kaca dan ditaruh di aula. Apabila ada berbagai acara, hal itu diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana promosi. Teori motivasi yang memfokuskan pada pertanyaan mengapa perilaku individu terjadi? Jawabannya adalah (1) kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, atau dorongan-dorongan yang mendorong, menekan, memacu, dan menguatkan individu untuk melakukan kegiatan, (2) hubungan-hubungan individu dengan faktor-faktor eksternal yang menyebabkan, mendorong, dan memengaruhi untuk melakukan suatu kegiatan (Handoko,1986:158). Sejalan dengan teori tersabut keinginan untuk mengaktualisasikan diri dalam kegiatan pelatihan keterampilan mendorong anak tunarungu untuk mencapai hasil yang maksimal walaupun banyak faktor yang memengaruhinya, baik faktor internal maupun eksternal.