PENGARUH PENAMBAHAN SUPLEMEN ORGANIK DAN ANORGANIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN CACING TANAH DALAM MEDIUM GAMBUT R.A. Diah Sulistio Ningrum1, Ahmad Muhammad2, Windarti3 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR 2 Dosen Ekologi Jurusan Biologi FMIPA-UR 3 Dosen Perikanan FAPERIKA-UR Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau Kampus Binawidya Pekanbaru 28293, Indonesia e-mail: [email protected] ABSTRACT This study has been carried out to test the effects of organic and inorganic supplements on the survival and growth of earthworms in peat substrate. We simultaneously tested the effects of peat taken from different depths, i.e. 0-10 cm, 30-40 cm and the mixture of both. We used either litter debris or powdered chicken manure as organic supplement, and wood ash as inorganic supplement in the experiment with five replications for each treatment combination. Earthworms used in our experiments were collected from urban homegarden soils (mineral soils), which were sorted after their morphological similarities and sizes (average length 11 cm and average weight 0.8 g/individual). Observation was conducted every 20 days for 120 days. Regardless the treatments, survival rate of earthworms in peat was invariably very low, thus underlined that peat was not a suitable substrate for the animals, but supplementing the acidic substrate with litter debris could prolong the survival rate (40%) up to 120 days. Keywords: earthworms – growth – inorganic supplement – organic supplement – peat – survival ABSTRAK Penelitian ini telah dilakukan dengan tujuan untuk menguji pengaruh penambahan suplemen organik dan anorganik terhadap daya tahan hidup dan pertumbuhan cacing tanah dalam medium gambut yang berasal dari lapisan yang berbeda. Percobaan ini telah dilaksanakan dalam skala lab menggunakan cacing tanah yang dikumpulkan dari tanah kebun pekarangan perkotaan (lahan tanah mineral). Medium gambut yang digunakan diambil dari lapisan 0-10 cm, 30-40 cm dan campuran antara keduanya. Suplemen organik yang diberikan berupa serpihan serasah dan tepung kotoran ayam. Suplemen anorganik yang ditambahkan adalah abu kayu. Percobaan dirancang dengan lima ulangan untuk masing-masing kombinasi perlakuan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara umum cacing tanah tidak dapat bertahan hidup dalam medium gambut, tetapi penambahan suplemen berupa serpihan serasah dapat mempertahankan kelolosan hidup cacing tanah (40%) hingga hari ke 120. 1 Kata kunci: cacing tanah – gambut – kelolosan hidup – pertumbuhan – suplemen anorganik – suplemen organik PENDAHULUAN Lahan gambut merupakan timbunan materi organik yang berasal dari tumbuhan yang tidak terdekomposisi secara sempurna (Montanarella et al. 2006; Sabiham 1989). Dalam keadaan belum terganggu lahan gambut merupakan lahan basah yang sering tergenangi air. Hal ini menyebabkan kondisi di bawah permukaan gambut miskin oksigen dan sangat asam, sehingga secara umum kurang sesuai sebagai habitat makrofauna yang hidup di bawah permukaan tanah seperti cacing tanah. Cacing tanah membutuhkan lingkungan yang lembab dan sangat sensitif terhadap kondisi yang kekurangan oksigen serta pH yang rendah (Hou et al. 2005). Hal ini membuat kehadiran cacing tanah pada lahan gambut dipertanyakan. Tetapi penelitian Christina et al. (2013) di kawasan Bukit Batu, Riau, membuktikan bahwa hewan ini dapat ditemukan di berbagai jenis penggunaan lahan gambut yang ada, terutama sekali di kebun pekarangan dan kebun kelapa sawit. Pola kehadiran cacing tanah pada lahan gambut yang tidak merata mengindikasikan adanya keterkaitan antara heterogenitas lingkungan antar jenis penggunaan lahan gambut dan kehadiran serta kelimpahan cacing tanah. Dari pengamatan pendahuluan diketahui bahwa kedua hal ini tampaknya juga sangat dipengaruhi heterogenitas lingkungan pada tingkat mikro yang ada pada suatu jenis penggunaan lahan gambut, sehingga sebarannya tidak merata. Belum diketahui dengan jelas karakteristik lingkungan mikro pada lahan gambut yang dapat dihuni oleh cacing tanah.Tetapi diduga kehadiran cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH gambut dan ketersediaan pangan, selain kesesuaian kandungan air dalam gambut. Menurut Curry (2004), secara umum cacing tanah tidak tahan hidup di tempat yang memiliki pH terlalu rendah (<3,5). Hewan ini juga menyukai tempat yang lembab tetapi tidak terlalu basah serta memperoleh aerasi yang cukup. Apabila semua hal ini sudah terpenuhi, maka faktor lain yang paling menentukan adalah ketersediaan pangan. Kehadiran cacing tanah pada lahan gambut dengan demikian kemungkinan terkait dengan beberapa hal yang merubah karakteristik gambut. Kebiasaan masyarakat membuka lahan gambut dengan cara membakar sisa-sisa tebangan pohon, misalnya, menghasilkan abu yang dapat mempengaruhi karakteristik fisik maupun kimia gambut (Joosten et al. 2012; Saharjo & Nurhayati 2003). Penggunaan lahan gambut setelah pembakaran juga lambat laun dapat mendorong perubahan karakteristik tersebut lebih lanjut (Kunnas 2005), sehingga kemungkinan menjadi lebih sesuai sebagai habitat cacing tanah. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dalam skala laboratoris, apakah pemberian suplemen anorganik (abu) dan organik (serasah dan kotoran ayam) dapat mempengaruhi kemampuan hidup dan pertumbuhan cacing tanah dalam gambut. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2012 di Kebun Biologi Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Riau. Perlakuan dalam penelitian ini 2 dibentuk oleh kombinasi antara asal lapisan gambut dan ada-tidaknya penambahan suplemen, baik suplemen organik maupun anorganik. Lapisan gambut yang dimaksud adalah lapisan dari kedalaman 0-10 cm, lapisan dari kedalaman 30-40 cm dan kombinasi antara keduanya. Lapisan gambut 0-10 cm dalam hal ini dipandang telah lebih banyak mengalami perubahan karakteristik fisik, kimiawi maupun biologis akibat pengaruh faktor-faktor eksternal. Ketidakjenuhan air dan peningkatan pH gambut menjadikan lapisan ini diduga relatif lebih sesuai sebagai medium hidup cacing tanah. Sementara itu lapisan gambut 30-40 cm dipandang tidak/belum banyak mengalami perubahan dari karakteristik alaminya, sehingga diduga relatif tidak sesuai sebagai medium hidup cacing tanah. Suplemen organik yang digunakan berupa serpihan serasah (OS1) dan remahan (tepung) kotoran ayam (OS2), sedangkan suplemen anorganik yang dipakai adalah abu kayu (AS). Selain itu juga digunakan suplemen kombinasi antara kotoran ayam dan abu kayu (OAS), serta medium gambut tanpa penambahan suplemen (KO) sebagai kontrol. Perbandingan campuran gambut dari lapisan 0-10 cm dan 30-40 cm dengan perbandingan 1 : 1, sedangkan pada gambut yang diberi penambahan suplemen dengan perbandingan 9 : 1. Dalam percobaan ini terdapat lima ulangan untuk masing-masing kombinasi perlakuan. Cacing tanah yang digunakan dikumpulkan dari tanah kebun pekarangan yang berasal dari lahan tanah mineral di Kota Pekanbaru. Sebelum digunakan cacing tanah dipilih berdasarkan persamaan morfologinya. Kriteria cacing tanah yang digunakan yaitu cacing tanah dewasa (ditandai dengan adanya klitelium), memiliki panjang tubuh 10-12 cm serta berat 0,8-1 g/individu. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa semua cacing tanah yang terpilih adalah anggota famili Glossoscolecidae, terutama Pontoscolex corethrurus. Pada penelitian ini, pengamatan dilakukan pada hari ke 20, 40, 60, 80, 100 dan 120. Parameter yang diamati adalah: (a) jumlah cacing tanah secara keseluruhan; (b) biomassa cacing tanah secara keseluruhan; (c) jumlah kokon (apabila ada); dan (d) jumlah cacing tanah juvenile (apabila ada). Pengaruh lapisan gambut dan penambahan suplemen akan diuji dengan menggunakan two-way ANOVA, apabila dijumpai perbedaan signifikan akan dilanjutkan dengan uji Duncan (DMRT) untuk memastikan sumber perbedaan yang ada. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum cacing tanah tidak dapat bertahan hidup dalam medium gambut yang dipergunakan dalam percobaan ini. Jumlah individu hewan invertebrata ini mengalami penyusutan drastis dalam 20 hari pertama dan hal ini terus berlanjut hingga akhir percobaan pada hari ke 120 (Gambar 1a). Hewan ini tidak hanya mengalami penyusutan jumlah individu, melainkan juga mengalami penyusutan biomassa. Seperti yang ditunjukkan Gambar 1b, dalam 20 hari pertama individu-individu yang bertahan hidup kehilangan lebih dari separuh biomassanya dan yang bertahan hingga akhir percobaan mengalami kehilangan biomassa hingga 90%. 3 Kelolosan Hidup (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 20 40 60 80 100 120 Waktu (a) Biomassa (mg/individu) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 20 40 60 80 100 120 Waktu (b) Gambar 1. Pola kelolosan hidup (a) dan perubahan biomassa (b) cacing tanah dalam medium gambut selama 120 hari percobaan. Kedua pola tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, perlakuan-perlakuan yang telah diberikan umumnya tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap kelolosan hidup cacing tanah dan tidak memungkinkan hewan ini mempertahankan biomassanya dalam medium gambut. Dengan kata lain, penyusutan biomassa ini menandakan bahwa hewan ini mengalami stress yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Kedua, terdapat faktor dalam medium gambut yang tidak dapat ditenggang oleh hewan invertebrata yang sensitif ini. Setelah faktor kondisi anaerobik yang diakibatkan oleh kejenuhan air ditiadakan dalam percobaan ini, maka kemungkinan terdapat dua faktor lain yang memainkan peranan dalam hal ini, yaitu pH gambut dan ketersediaan makanan dalam medium ini. Menurut Hou et al. (2005) cacing tanah sangat sensitif terhadap pH dan lebih menyukai tanah dengan medium yang memiliki pH antara 4 6,5 - 8,6. Sensitifitas hewan ini terhadap pH tanah yang rendah dikarenakan konsentrasi ion hidrogen dapat menyebabkan kerusakan pada tembolok yang akhirnya membawa kematian (Edwards & Lofty 1977; Minnich 1977). Makanan cacing tanah umumnya berupa serpihan-serpihan serasah yang sedang mengalami dekomposisi dan bahan-bahan organik yang bercampur dengan tanah (Fragoso & Lavelle 1992). Ketersediaan makanan yang sesuai dan cukup merupakan salah satu kunci kelolosan hidup hewan ini (Gajalakshmi & Abbasi 2004). Dalam hal ini, kami menduga gambut, meskipun merupakan material organik, bukanlah bahan yang dapat dimakan oleh cacing tanah karena sifatnya yang asam. Oleh karenanya dalam percobaan ini kami memberikan suplemen organik berupa serpihan serasah dan tepung kotoran ayam, yang merupakan bahan yang dapat dimakan oleh hewan ini. Dalam percobaan pendahuluan, kami dapat memelihara cacing tanah dengan pemberian kedua bahan ini sebagai pakan. Perlakuan lapisan gambut didasari oleh temuan di lapangan, dimana cacing tanah hanya dapat ditemukan dalam gambut hanya hingga 10 cm di bawah permukaan (Christina et al. 2013). Selain umumnya lebih kering dan berpori, lapisan gambut antara 0-10 cm diduga lebih banyak menerima pengaruh dari luar, seperti pencampuran dengan hasil dekomposisi serasah baru, pembakaran yang menghasilkan abu serta proses dekomposisi gambut sendiri. Hal ini dapat mengakibatkan karakteristik fisik maupun kimia gambut berubah (Kettridge et al. 2008) dan kemungkinan menjadi relatif lebih sesuai untuk medium hidup cacing tanah. Tetapi hasil percobaan ini tidak membuktikan bahwa perbedaan lapisan gambut memberikan pengaruh yang signifikan bagi kelolosan hidup (Gambar 2a) maupun biomassa (Gambar 2b) cacing tanah. Ketiadaan pengaruh ini kemungkinan mengindikasikan bahwa gambut yang berasal dari kedalaman berbeda (0-10 cm, 30-40 cm serta campuran antara keduanya) yang digunakan dalam sistem percobaan ini sebenarnya tidak benar-benar memiliki perbedaan karakteristik fisika maupun kimia yang berarti, sebagaimana kami duga sebelumnya. Karena tidak melakukan pengujian fisika maupun kimia secara rinci terhadap masing-masing lapisan tersebut, kami tidak bisa memastikan bahwa lapisan-lapisan tersebut berbeda. 5 Kelolosan Hidup (%) 60 50 0-10 cm 30-40 cm campuran 60-80 80-100 100-120 40 30 20 10 0 0-20 20-40 40-60 Rentang Waktu (Hari) (a) Biomassa (mg/individu) 40 35 30 0-10 cm 30-40 cm campuran 25 20 15 10 5 0 0-20 20-40 40-60 60-80 80-100 100-120 Rentang Waktu (Hari) (b) Gambar 2. Pengaruh lapisan gambut terhadap kelolosan hidup (a) dan biomassa (b) cacing tanah Hasil percobaan ini membuktikan bahwa dalam medium gambut yang tidak diberi suplemen sama sekali (KO), semua cacing tanah yang diinokulasikan sudah mati sebelum hari ke 20 (Gambar 3a). Perlakuan yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan terhadap kelolosan hidup (Gambar 3a) maupun biomassa cacing tanah (Gambar 3b) adalah pemberian suplemen organik berupa serpihan serasah (OS1). Perlakuan ini membuat kelolosan hidup hewan ini pada 20 hari pertama percobaan mencapai 80% dan hingga akhir pengamatan (hari ke 6 120) jumlah individu yang bertahan hidup masih mencapai 40%. Meskipun demikian, individu-individu yang bertahan mengalami penyusutan biomassa hingga tinggal rata-rata kurang dari 20%. Hal ini cukup kontras apabila dibandingkan dengan pengaruh perlakuan-perlakuan lain. Dalam medium gambut yang ditambahi suplemen organik berupa tepung kotoran ayam (OS2), suplemen anorganik berupa abu (AS) maupun campuran antara suplemen organik dan anorganik (OAS), tidak ada lagi cacing tanah yang masih bertahan hidup setelah hari ke 60. Kelolosan Hidup (%) 90 80 KO OS1 OS2 AS OAS 70 60 50 40 30 20 10 0 0-20 20-40 40-60 60-80 80-100 100-120 Rentang Waktu (Hari) Biomassa (mg/individu) (a) 60,0 50,0 KO OS1 OS2 AS OAS 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 0-20 20-40 40-60 60-80 80-100 100-120 Rentang Waktu (Hari) (b) Gambar 3. Pengaruh pemberian suplemen terhadap kelolosan hidup (a) dan biomassa cacing tanah (b) dalam medium gambut (KO = Kontrol; OS1 = Serasah; OS2 = Kotoran ayam; AS = Abu;OAS =Campuran abu dan kotoran ayam) 7 Cukup menarik bahwa pemberian pakan berupa serpihan serasah ternyata memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap cacing tanah dibanding pakan yang berupa tepung kotoran ayam. Hal ini mengingat nilai nutrisi kotoran ayam sebenarnya secara umum lebih tinggi dibanding serasah. Kandungan serasah tumbuhan secara umum memiliki rasio C/N antara 20 dan 40 (Wang et al. 2010), sedangkan kotoran ayam memiliki rasio antara 12 dan 28 (Gao et al. 2009), yang berarti lebih kaya protein. Bagi hewan seperti cacing tanah, makanan dengan rasio C/N yang lebih rendah (25) sebenarnya lebih bernilai tinggi (Ndegwa et al. 2010). Tetapi, meskipun memiliki nilai nutrisi lebih rendah, serpihan serasah yang dicampurkan dalam medium gambut kemungkinan memiliki keunggulan tersendiri, yaitu misalnya selain sebagai pakan juga dapat meningkatkan porositas medium, sehingga meningkatkan aerasi. Dugaan ini mengacu kepada Tripathi et al. (2009) yang menyatakan bahwa porositas permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan di bawah permukaan. Pemberian abu kayu (10%) ternyata tidak dapat menaikkan pH gambut secara signifikan. Gambut yang tidak diberi perlakuan abu memiliki pH yang berkisar 4 sementara gambut yang campur abu kayu memiliki pH rata-rata 4,5. Oleh karenanya, kondisi pH percobaan tidak ada yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh cacing tanah, termasuk kondisi medium yang diperlakukan dengan pemberian abu kayu. Menurut Lazdina et al. (2011) biasanya abu diaplikasikan dengan dosis 10 ton/ha untuk meningkatkan pH gambut dalam skala lapangan. Tetapi dalam penelitian ini, kami mengkhawatirkan, pencampuran gambut dengan abu dengan proporsi yang lebih besar (>10%) jutsru akan berpengaruh negatif. Partikel abu berbeda dari partikel tanah biasa (Martin & Moody 2001) kemungkinan dapat melukai permukaan tubuh cacing yang hanya dilindungi mukus. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, secara umum cacing tanah tidak dapat tumbuh maupun bertahan hidup dalam medium gambut. Kedua, lapisan gambut dengan kedalaman yang berbeda, yaitu lapisan 0-10 cm, 30-40 cm dan lapisan campuran ternyata tidak berpengaruh terhadap kelolosan hidup dan pertumbuhan cacing tanah. Ketiga, pemberian suplemen organik berupa serpihan serasah (10%) sebagai bahan makanan dapat meningkatkan kelolosan hidup cacing tanah dalam medium gambut, meskipun cacing-cacing yang bertahan hidup mengalami penyusutan biomassa yang drastis. Keempat, pemberian suplemen anorganik berupa abu kayu (10%) tidak berpengaruh terhadap kelolosan hidup hewan invertebrata ini. Penelitian ini masih merupakan penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk melihat gambaran umum bagaimana cacing tanah dapat bertahan hidup di lahan gambut yang memiliki karakteristik kurang sesuai sebagai medium hidup hewan ini. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka dapat dikemukakan beberapa saran berikut. Pertama, pada penelitian selanjutnya, cacing tanah yang digunakan sebaiknya merupakan populasi yang homogen, baik dari segi ukuran tubuh, biomassa maupun spesiesnya, misalnya cacing Pontoscolex corethrurus saja. Kedua, cacing tanah yang akan digunakan dalam percobaan perlu diaklimatisasi dalam waktu yang lebih lama, yaitu sekurang-kurangnya 30 8 hari dalam media dengan kombinasi antara tanah gambut dan tanah mineral. Ketiga, suplemen organik yang digunakan perlu ditingkatkan proporsinya, yaitu 20%. Keempat, suplemen anorganik yang digunakan diganti dengan dolomit agar terjadi peningkatkan pH yang lebih signifikan sehingga lebih sesuai bagi cacing tanah. UCAPAN TERIMA KASIH Sebagian biaya penelitian ini, berasal dari dana penelitian berbasis Lab Tahun 2012 dari lembaga penelitian Universitas Riau. Kami berterimakasih kepada Bapak Pius Siahaan atas pemberian bantuan beliau dalam memperoleh gambut yang digunakan untuk penelitian ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Sugianto dan Yudo Harjoyudanto yang telah membantu mengumpulkan cacing tanah yang diperlukan, serta kepada Ridho Christina yang membantu mengidentifikasi spesies cacing tanah. DAFTAR PUSTAKA Christina, R., A. Muhammad & Y. Yus. 2013. Kelimpahan dan Biomassa Cacing Tanah di Beberapa Jenis Penggunaan Lahan Gambut di Kawasan Bukit Batu, Riau. [Skripsi]. Universitas Riau. Curry, J.P. Affecting The Abundance Of Earthworms In Soils: 91-113. Edwards, C.A. 2004. Earthworm Ecology. [Bibliography]. Chemical Rubber Company (CRC) PRESS. Dublin, Ireland. Edwards, C.A. & J.R. Lofty. 1977. Biology of Earthworms. Halsted Press, a Division of John Wiley & Sons, Inc. New York. Fragoso, C. & P. Lavelle. 1992. Earthworm Communities of Tropical Rain Forests. Soil Biology and Biochemical 24 (12): 1397-1408. Gajalakshmi, S. & S.A. Abbasi. 2004. Earthworms and Vermicomposting. Indian Journal of Biotechnology 3: 486-494. Gao, M., F. Liang, A. Yu, B. Li & L. Yang. 2010. Evaluation of Stability and Maturity During Forced-aeration Composting of Chicken Manure and Sawdust at Different C/N Ratios. Chemosphere 78: 614-619. Hou, J., Q. Yanyun, L. Guangqing & R. Dong. 2005. The Influence of Temperature, pH and C/N Ratio on the Growth and survival of Earthworms in Municipal Solid Waste. Agricultural Engineering International : the Commission Internationale du Genie Rural Ejournal. Joosten, H., M.L.T. Bistrom & S. Tol. 2012. Peatlands – Guidance for Climate Change Mitigation Throught Conservation, Rehabilitation and Suistainble Use. Food and Agriculture Organization of the United Nations and Wetlands International. Italy. Kettridge, N., X. Comas, A. Baird, L. Slater, M. Strack, D. Thompson, H. Jol & A. Binley. 2008. Ecohydrologically Important Subsurface Structures in Peatlands Revealed by Ground-penetrating Radar and Complex Conductivity Surveys. Journal of Geophysical Research 113. 9 Kunnas, J. 2005. A Dense and Stickly Mist from Thousands of Bog Fires: An Attempt to Compare the Energy Consumption in Slash-and-Burn Cultivation and Burning Cultivation of Peatlands in Finland in 1820-1920. Environment and History 11 (4): 431-46. Lazdina, D., A. Bardule, A. Lazdins & J. Stola. 2011. Use of waste water sludge and wood ash as fertiliser for Salix cultivation in acid peat soils. Agronomy Research 9 (1-2): 305-314. Martin, D.A. & J.A. Moody. 2001. Comparison of Soil Infiltration Rates in Burned and Unburned Mountainous Watersheds. Hydrological Processes 15: 2893-2903. Minnich, J. 1977. The Earthwom Book : How to Raise and Use Earthworms for Your Farm dan Garden. Rodale Press Emmaus. United States of America. Montanarella, L., R.J.A. Jones & R. Hiederer. 2006. The Distrubtion of Peatland in Europe. Mires and Peat 1. Ndegwa, P.M. & S.A. Thompson. Effects of C-to-N Ratio on Vermicomposting of Biosolids. Bioresource Technology 75: 7-12. Sabiham, S. 1989. Studies on Peat in the Costal Plains of Sumatra and Borneo. Southeast Asian Studies 27 (3). Saharjo, B.H & A.D. Nurhayati. 2003. The Changes Chemical and Physical Properties of Fibric Peat Following Burning. Jurnal Tanah dan Lingkungan 5 (1): 1- 6. Wang, S., H. Ruan & Y. Han. 2010. Effect of microclimate, litter type, and mesh sizeon leaf litter decomposition along an elevation gradient in the Wuyi Mountains, China. China. Ecological Research 25: 1113-1120. Tripathi, O.P., H.N. Pandey & R.S. Tripathi. 2009. Litter production, decomposition and physico-chemical properties of soil in 3 developed agroforestry systems of Meghalaya, Northeast India. African Journal of Plant Science 3 (8): 160-167. 10