1 pengaruh penambahan suplemen organik dan

advertisement
PENGARUH PENAMBAHAN SUPLEMEN ORGANIK DAN
ANORGANIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP
DAN PERTUMBUHAN CACING TANAH
DALAM MEDIUM GAMBUT
R.A. Diah Sulistio Ningrum1, Ahmad Muhammad2, Windarti3
1
Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR
2
Dosen Ekologi Jurusan Biologi FMIPA-UR
3
Dosen Perikanan FAPERIKA-UR
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau
Kampus Binawidya Pekanbaru 28293, Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
This study has been carried out to test the effects of organic and inorganic
supplements on the survival and growth of earthworms in peat substrate. We
simultaneously tested the effects of peat taken from different depths, i.e. 0-10 cm,
30-40 cm and the mixture of both. We used either litter debris or powdered
chicken manure as organic supplement, and wood ash as inorganic supplement in
the experiment with five replications for each treatment combination. Earthworms
used in our experiments were collected from urban homegarden soils (mineral
soils), which were sorted after their morphological similarities and sizes (average
length 11 cm and average weight 0.8 g/individual). Observation was conducted
every 20 days for 120 days. Regardless the treatments, survival rate of
earthworms in peat was invariably very low, thus underlined that peat was not a
suitable substrate for the animals, but supplementing the acidic substrate with
litter debris could prolong the survival rate (40%) up to 120 days.
Keywords: earthworms – growth – inorganic supplement – organic supplement –
peat – survival
ABSTRAK
Penelitian ini telah dilakukan dengan tujuan untuk menguji pengaruh penambahan
suplemen organik dan anorganik terhadap daya tahan hidup dan pertumbuhan
cacing tanah dalam medium gambut yang berasal dari lapisan yang berbeda.
Percobaan ini telah dilaksanakan dalam skala lab menggunakan cacing tanah yang
dikumpulkan dari tanah kebun pekarangan perkotaan (lahan tanah mineral).
Medium gambut yang digunakan diambil dari lapisan 0-10 cm, 30-40 cm dan
campuran antara keduanya. Suplemen organik yang diberikan berupa serpihan
serasah dan tepung kotoran ayam. Suplemen anorganik yang ditambahkan adalah
abu kayu. Percobaan dirancang dengan lima ulangan untuk masing-masing
kombinasi perlakuan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara umum
cacing tanah tidak dapat bertahan hidup dalam medium gambut, tetapi
penambahan suplemen berupa serpihan serasah dapat mempertahankan kelolosan
hidup cacing tanah (40%) hingga hari ke 120.
1
Kata kunci: cacing tanah – gambut – kelolosan hidup – pertumbuhan – suplemen
anorganik – suplemen organik
PENDAHULUAN
Lahan gambut merupakan timbunan materi organik yang berasal dari
tumbuhan yang tidak terdekomposisi secara sempurna (Montanarella et al. 2006;
Sabiham 1989). Dalam keadaan belum terganggu lahan gambut merupakan lahan
basah yang sering tergenangi air. Hal ini menyebabkan kondisi di bawah
permukaan gambut miskin oksigen dan sangat asam, sehingga secara umum
kurang sesuai sebagai habitat makrofauna yang hidup di bawah permukaan tanah
seperti cacing tanah.
Cacing tanah membutuhkan lingkungan yang lembab dan sangat sensitif
terhadap kondisi yang kekurangan oksigen serta pH yang rendah (Hou et al.
2005). Hal ini membuat kehadiran cacing tanah pada lahan gambut dipertanyakan.
Tetapi penelitian Christina et al. (2013) di kawasan Bukit Batu, Riau,
membuktikan bahwa hewan ini dapat ditemukan di berbagai jenis penggunaan
lahan gambut yang ada, terutama sekali di kebun pekarangan dan kebun kelapa
sawit. Pola kehadiran cacing tanah pada lahan gambut yang tidak merata
mengindikasikan adanya keterkaitan antara heterogenitas lingkungan antar jenis
penggunaan lahan gambut dan kehadiran serta kelimpahan cacing tanah. Dari
pengamatan pendahuluan diketahui bahwa kedua hal ini tampaknya juga sangat
dipengaruhi heterogenitas lingkungan pada tingkat mikro yang ada pada suatu
jenis penggunaan lahan gambut, sehingga sebarannya tidak merata.
Belum diketahui dengan jelas karakteristik lingkungan mikro pada lahan
gambut yang dapat dihuni oleh cacing tanah.Tetapi diduga kehadiran cacing tanah
sangat dipengaruhi oleh pH gambut dan ketersediaan pangan, selain kesesuaian
kandungan air dalam gambut. Menurut Curry (2004), secara umum cacing tanah
tidak tahan hidup di tempat yang memiliki pH terlalu rendah (<3,5). Hewan ini
juga menyukai tempat yang lembab tetapi tidak terlalu basah serta memperoleh
aerasi yang cukup. Apabila semua hal ini sudah terpenuhi, maka faktor lain yang
paling menentukan adalah ketersediaan pangan.
Kehadiran cacing tanah pada lahan gambut dengan demikian
kemungkinan terkait dengan beberapa hal yang merubah karakteristik gambut.
Kebiasaan masyarakat membuka lahan gambut dengan cara membakar sisa-sisa
tebangan pohon, misalnya, menghasilkan abu yang dapat mempengaruhi
karakteristik fisik maupun kimia gambut (Joosten et al. 2012; Saharjo &
Nurhayati 2003). Penggunaan lahan gambut setelah pembakaran juga lambat laun
dapat mendorong perubahan karakteristik tersebut lebih lanjut (Kunnas 2005),
sehingga kemungkinan menjadi lebih sesuai sebagai habitat cacing tanah.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji dalam skala laboratoris, apakah
pemberian suplemen anorganik (abu) dan organik (serasah dan kotoran ayam)
dapat mempengaruhi kemampuan hidup dan pertumbuhan cacing tanah dalam
gambut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2012 di Kebun
Biologi Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Riau. Perlakuan dalam penelitian ini
2
dibentuk oleh kombinasi antara asal lapisan gambut dan ada-tidaknya
penambahan suplemen, baik suplemen organik maupun anorganik. Lapisan
gambut yang dimaksud adalah lapisan dari kedalaman 0-10 cm, lapisan dari
kedalaman 30-40 cm dan kombinasi antara keduanya. Lapisan gambut 0-10 cm
dalam hal ini dipandang telah lebih banyak mengalami perubahan karakteristik
fisik, kimiawi maupun biologis akibat pengaruh faktor-faktor eksternal.
Ketidakjenuhan air dan peningkatan pH gambut menjadikan lapisan ini diduga
relatif lebih sesuai sebagai medium hidup cacing tanah. Sementara itu lapisan
gambut 30-40 cm dipandang tidak/belum banyak mengalami perubahan dari
karakteristik alaminya, sehingga diduga relatif tidak sesuai sebagai medium hidup
cacing tanah. Suplemen organik yang digunakan berupa serpihan serasah (OS1)
dan remahan (tepung) kotoran ayam (OS2), sedangkan suplemen anorganik yang
dipakai adalah abu kayu (AS). Selain itu juga digunakan suplemen kombinasi
antara kotoran ayam dan abu kayu (OAS), serta medium gambut tanpa
penambahan suplemen (KO) sebagai kontrol. Perbandingan campuran gambut
dari lapisan 0-10 cm dan 30-40 cm dengan perbandingan 1 : 1, sedangkan pada
gambut yang diberi penambahan suplemen dengan perbandingan 9 : 1. Dalam
percobaan ini terdapat lima ulangan untuk masing-masing kombinasi perlakuan.
Cacing tanah yang digunakan dikumpulkan dari tanah kebun pekarangan yang
berasal dari lahan tanah mineral di Kota Pekanbaru. Sebelum digunakan cacing
tanah dipilih berdasarkan persamaan morfologinya. Kriteria cacing tanah yang
digunakan yaitu cacing tanah dewasa (ditandai dengan adanya klitelium),
memiliki panjang tubuh 10-12 cm serta berat 0,8-1 g/individu. Hasil identifikasi
menunjukkan bahwa semua cacing tanah yang terpilih adalah anggota famili
Glossoscolecidae, terutama Pontoscolex corethrurus. Pada penelitian ini,
pengamatan dilakukan pada hari ke 20, 40, 60, 80, 100 dan 120. Parameter yang
diamati adalah: (a) jumlah cacing tanah secara keseluruhan; (b) biomassa cacing
tanah secara keseluruhan; (c) jumlah kokon (apabila ada); dan (d) jumlah cacing
tanah juvenile (apabila ada). Pengaruh lapisan gambut dan penambahan suplemen
akan diuji dengan menggunakan two-way ANOVA, apabila dijumpai perbedaan
signifikan akan dilanjutkan dengan uji Duncan (DMRT) untuk memastikan
sumber perbedaan yang ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum cacing tanah tidak dapat bertahan hidup dalam medium
gambut yang dipergunakan dalam percobaan ini. Jumlah individu hewan
invertebrata ini mengalami penyusutan drastis dalam 20 hari pertama dan hal ini
terus berlanjut hingga akhir percobaan pada hari ke 120 (Gambar 1a). Hewan ini
tidak hanya mengalami penyusutan jumlah individu, melainkan juga mengalami
penyusutan biomassa. Seperti yang ditunjukkan Gambar 1b, dalam 20 hari
pertama individu-individu yang bertahan hidup kehilangan lebih dari separuh
biomassanya dan yang bertahan hingga akhir percobaan mengalami kehilangan
biomassa hingga 90%.
3
Kelolosan Hidup (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
20
40
60
80
100
120
Waktu
(a)
Biomassa (mg/individu)
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
20
40
60
80
100
120
Waktu
(b)
Gambar 1. Pola kelolosan hidup (a) dan perubahan biomassa (b) cacing tanah
dalam medium gambut selama 120 hari percobaan.
Kedua pola tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, perlakuan-perlakuan
yang telah diberikan umumnya tidak memberikan pengaruh secara signifikan
terhadap kelolosan hidup cacing tanah dan tidak memungkinkan hewan ini
mempertahankan biomassanya dalam medium gambut. Dengan kata lain,
penyusutan biomassa ini menandakan bahwa hewan ini mengalami stress yang
diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Kedua, terdapat faktor
dalam medium gambut yang tidak dapat ditenggang oleh hewan invertebrata yang
sensitif ini. Setelah faktor kondisi anaerobik yang diakibatkan oleh kejenuhan air
ditiadakan dalam percobaan ini, maka kemungkinan terdapat dua faktor lain yang
memainkan peranan dalam hal ini, yaitu pH gambut dan ketersediaan makanan
dalam medium ini. Menurut Hou et al. (2005) cacing tanah sangat sensitif
terhadap pH dan lebih menyukai tanah dengan medium yang memiliki pH antara
4
6,5 - 8,6. Sensitifitas hewan ini terhadap pH tanah yang rendah dikarenakan
konsentrasi ion hidrogen dapat menyebabkan kerusakan pada tembolok yang
akhirnya membawa kematian (Edwards & Lofty 1977; Minnich 1977). Makanan
cacing tanah umumnya berupa serpihan-serpihan serasah yang sedang mengalami
dekomposisi dan bahan-bahan organik yang bercampur dengan tanah (Fragoso &
Lavelle 1992). Ketersediaan makanan yang sesuai dan cukup merupakan salah satu
kunci kelolosan hidup hewan ini (Gajalakshmi & Abbasi 2004). Dalam hal ini,
kami menduga gambut, meskipun merupakan material organik, bukanlah bahan
yang dapat dimakan oleh cacing tanah karena sifatnya yang asam. Oleh karenanya
dalam percobaan ini kami memberikan suplemen organik berupa serpihan serasah
dan tepung kotoran ayam, yang merupakan bahan yang dapat dimakan oleh hewan
ini. Dalam percobaan pendahuluan, kami dapat memelihara cacing tanah dengan
pemberian kedua bahan ini sebagai pakan.
Perlakuan lapisan gambut didasari oleh temuan di lapangan, dimana
cacing tanah hanya dapat ditemukan dalam gambut hanya hingga 10 cm di bawah
permukaan (Christina et al. 2013). Selain umumnya lebih kering dan berpori,
lapisan gambut antara 0-10 cm diduga lebih banyak menerima pengaruh dari luar,
seperti pencampuran dengan hasil dekomposisi serasah baru, pembakaran yang
menghasilkan abu serta proses dekomposisi gambut sendiri. Hal ini dapat
mengakibatkan karakteristik fisik maupun kimia gambut berubah (Kettridge et al.
2008) dan kemungkinan menjadi relatif lebih sesuai untuk medium hidup cacing
tanah. Tetapi hasil percobaan ini tidak membuktikan bahwa perbedaan lapisan
gambut memberikan pengaruh yang signifikan bagi kelolosan hidup (Gambar 2a)
maupun biomassa (Gambar 2b) cacing tanah. Ketiadaan pengaruh ini
kemungkinan mengindikasikan bahwa gambut yang berasal dari kedalaman
berbeda (0-10 cm, 30-40 cm serta campuran antara keduanya) yang digunakan
dalam sistem percobaan ini sebenarnya tidak benar-benar memiliki perbedaan
karakteristik fisika maupun kimia yang berarti, sebagaimana kami duga
sebelumnya. Karena tidak melakukan pengujian fisika maupun kimia secara rinci
terhadap masing-masing lapisan tersebut, kami tidak bisa memastikan bahwa
lapisan-lapisan tersebut berbeda.
5
Kelolosan Hidup (%)
60
50
0-10 cm
30-40 cm
campuran
60-80
80-100
100-120
40
30
20
10
0
0-20
20-40
40-60
Rentang Waktu (Hari)
(a)
Biomassa (mg/individu)
40
35
30
0-10 cm
30-40 cm
campuran
25
20
15
10
5
0
0-20
20-40
40-60
60-80
80-100
100-120
Rentang Waktu (Hari)
(b)
Gambar 2. Pengaruh lapisan gambut terhadap kelolosan hidup (a) dan biomassa
(b) cacing tanah
Hasil percobaan ini membuktikan bahwa dalam medium gambut yang
tidak diberi suplemen sama sekali (KO), semua cacing tanah yang diinokulasikan
sudah mati sebelum hari ke 20 (Gambar 3a). Perlakuan yang menunjukkan
pengaruh positif dan signifikan terhadap kelolosan hidup (Gambar 3a) maupun
biomassa cacing tanah (Gambar 3b) adalah pemberian suplemen organik berupa
serpihan serasah (OS1). Perlakuan ini membuat kelolosan hidup hewan ini pada
20 hari pertama percobaan mencapai 80% dan hingga akhir pengamatan (hari ke
6
120) jumlah individu yang bertahan hidup masih mencapai 40%. Meskipun
demikian, individu-individu yang bertahan mengalami penyusutan biomassa
hingga tinggal rata-rata kurang dari 20%. Hal ini cukup kontras apabila
dibandingkan dengan pengaruh perlakuan-perlakuan lain. Dalam medium gambut
yang ditambahi suplemen organik berupa tepung kotoran ayam (OS2), suplemen
anorganik berupa abu (AS) maupun campuran antara suplemen organik dan
anorganik (OAS), tidak ada lagi cacing tanah yang masih bertahan hidup setelah
hari ke 60.
Kelolosan Hidup (%)
90
80
KO
OS1
OS2
AS
OAS
70
60
50
40
30
20
10
0
0-20
20-40
40-60
60-80
80-100
100-120
Rentang Waktu (Hari)
Biomassa (mg/individu)
(a)
60,0
50,0
KO
OS1
OS2
AS
OAS
40,0
30,0
20,0
10,0
0,0
0-20
20-40
40-60
60-80
80-100
100-120
Rentang Waktu (Hari)
(b)
Gambar 3. Pengaruh pemberian suplemen terhadap kelolosan hidup (a) dan
biomassa cacing tanah (b) dalam medium gambut (KO = Kontrol;
OS1 = Serasah; OS2 = Kotoran ayam; AS = Abu;OAS =Campuran abu dan
kotoran ayam)
7
Cukup menarik bahwa pemberian pakan berupa serpihan serasah ternyata
memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap cacing tanah dibanding pakan
yang berupa tepung kotoran ayam. Hal ini mengingat nilai nutrisi kotoran ayam
sebenarnya secara umum lebih tinggi dibanding serasah. Kandungan serasah
tumbuhan secara umum memiliki rasio C/N antara 20 dan 40 (Wang et al. 2010),
sedangkan kotoran ayam memiliki rasio antara 12 dan 28 (Gao et al. 2009), yang
berarti lebih kaya protein. Bagi hewan seperti cacing tanah, makanan dengan rasio
C/N yang lebih rendah (25) sebenarnya lebih bernilai tinggi (Ndegwa et al.
2010). Tetapi, meskipun memiliki nilai nutrisi lebih rendah, serpihan serasah yang
dicampurkan dalam medium gambut kemungkinan memiliki keunggulan
tersendiri, yaitu misalnya selain sebagai pakan juga dapat meningkatkan porositas
medium, sehingga meningkatkan aerasi. Dugaan ini mengacu kepada Tripathi et
al. (2009) yang menyatakan bahwa porositas permukaan tanah lebih tinggi
dibandingkan di bawah permukaan.
Pemberian abu kayu (10%) ternyata tidak dapat menaikkan pH gambut
secara signifikan. Gambut yang tidak diberi perlakuan abu memiliki pH yang
berkisar 4 sementara gambut yang campur abu kayu memiliki pH rata-rata 4,5.
Oleh karenanya, kondisi pH percobaan tidak ada yang sesuai dengan yang
dibutuhkan oleh cacing tanah, termasuk kondisi medium yang diperlakukan
dengan pemberian abu kayu. Menurut Lazdina et al. (2011) biasanya abu
diaplikasikan dengan dosis 10 ton/ha untuk meningkatkan pH gambut dalam skala
lapangan. Tetapi dalam penelitian ini, kami mengkhawatirkan, pencampuran
gambut dengan abu dengan proporsi yang lebih besar (>10%) jutsru akan
berpengaruh negatif. Partikel abu berbeda dari partikel tanah biasa (Martin &
Moody 2001) kemungkinan dapat melukai permukaan tubuh cacing yang hanya
dilindungi mukus.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama,
secara umum cacing tanah tidak dapat tumbuh maupun bertahan hidup dalam
medium gambut. Kedua, lapisan gambut dengan kedalaman yang berbeda, yaitu
lapisan 0-10 cm, 30-40 cm dan lapisan campuran ternyata tidak berpengaruh
terhadap kelolosan hidup dan pertumbuhan cacing tanah. Ketiga, pemberian
suplemen organik berupa serpihan serasah (10%) sebagai bahan makanan dapat
meningkatkan kelolosan hidup cacing tanah dalam medium gambut, meskipun
cacing-cacing yang bertahan hidup mengalami penyusutan biomassa yang drastis.
Keempat, pemberian suplemen anorganik berupa abu kayu (10%) tidak
berpengaruh terhadap kelolosan hidup hewan invertebrata ini.
Penelitian ini masih merupakan penelitian pendahuluan yang bertujuan
untuk melihat gambaran umum bagaimana cacing tanah dapat bertahan hidup di
lahan gambut yang memiliki karakteristik kurang sesuai sebagai medium hidup
hewan ini. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka dapat
dikemukakan beberapa saran berikut. Pertama, pada penelitian selanjutnya, cacing
tanah yang digunakan sebaiknya merupakan populasi yang homogen, baik dari
segi ukuran tubuh, biomassa maupun spesiesnya, misalnya cacing Pontoscolex
corethrurus saja. Kedua, cacing tanah yang akan digunakan dalam percobaan
perlu diaklimatisasi dalam waktu yang lebih lama, yaitu sekurang-kurangnya 30
8
hari dalam media dengan kombinasi antara tanah gambut dan tanah mineral.
Ketiga, suplemen organik yang digunakan perlu ditingkatkan proporsinya, yaitu
20%. Keempat, suplemen anorganik yang digunakan diganti dengan dolomit agar
terjadi peningkatkan pH yang lebih signifikan sehingga lebih sesuai bagi cacing
tanah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Sebagian biaya penelitian ini, berasal dari dana penelitian berbasis Lab
Tahun 2012 dari lembaga penelitian Universitas Riau. Kami berterimakasih
kepada Bapak Pius Siahaan atas pemberian bantuan beliau dalam memperoleh
gambut yang digunakan untuk penelitian ini. Kami juga mengucapkan terimakasih
kepada Sugianto dan Yudo Harjoyudanto yang telah membantu mengumpulkan
cacing tanah yang diperlukan, serta kepada Ridho Christina yang membantu
mengidentifikasi spesies cacing tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Christina, R., A. Muhammad & Y. Yus. 2013. Kelimpahan dan Biomassa Cacing
Tanah di Beberapa Jenis Penggunaan Lahan Gambut di Kawasan Bukit
Batu, Riau. [Skripsi]. Universitas Riau.
Curry, J.P. Affecting The Abundance Of Earthworms In Soils: 91-113. Edwards,
C.A. 2004. Earthworm Ecology. [Bibliography]. Chemical Rubber
Company (CRC) PRESS. Dublin, Ireland.
Edwards, C.A. & J.R. Lofty. 1977. Biology of Earthworms. Halsted Press, a
Division of John Wiley & Sons, Inc. New York.
Fragoso, C. & P. Lavelle. 1992. Earthworm Communities of Tropical Rain
Forests. Soil Biology and Biochemical 24 (12): 1397-1408.
Gajalakshmi, S. & S.A. Abbasi. 2004. Earthworms and Vermicomposting. Indian
Journal of Biotechnology 3: 486-494.
Gao, M., F. Liang, A. Yu, B. Li & L. Yang. 2010. Evaluation of Stability and
Maturity During Forced-aeration Composting of Chicken Manure and
Sawdust at Different C/N Ratios. Chemosphere 78: 614-619.
Hou, J., Q. Yanyun, L. Guangqing & R. Dong. 2005. The Influence of
Temperature, pH and C/N Ratio on the Growth and survival of
Earthworms in Municipal Solid Waste. Agricultural Engineering
International : the Commission Internationale du Genie Rural Ejournal.
Joosten, H., M.L.T. Bistrom & S. Tol. 2012. Peatlands – Guidance for Climate
Change Mitigation Throught Conservation, Rehabilitation and Suistainble
Use. Food and Agriculture Organization of the United Nations and
Wetlands International. Italy.
Kettridge, N., X. Comas, A. Baird, L. Slater, M. Strack, D. Thompson, H. Jol &
A. Binley. 2008. Ecohydrologically Important Subsurface Structures in
Peatlands Revealed by Ground-penetrating Radar and Complex
Conductivity Surveys. Journal of Geophysical Research 113.
9
Kunnas, J. 2005. A Dense and Stickly Mist from Thousands of Bog Fires: An
Attempt to Compare the Energy Consumption in Slash-and-Burn
Cultivation and Burning Cultivation of Peatlands in Finland in 1820-1920.
Environment and History 11 (4): 431-46.
Lazdina, D., A. Bardule, A. Lazdins & J. Stola. 2011. Use of waste water sludge
and wood ash as fertiliser for Salix cultivation in acid peat soils. Agronomy
Research 9 (1-2): 305-314.
Martin, D.A. & J.A. Moody. 2001. Comparison of Soil Infiltration Rates in
Burned and Unburned Mountainous Watersheds. Hydrological Processes
15: 2893-2903.
Minnich, J. 1977. The Earthwom Book : How to Raise and Use Earthworms for
Your Farm dan Garden. Rodale Press Emmaus. United States of America.
Montanarella, L., R.J.A. Jones & R. Hiederer. 2006. The Distrubtion of Peatland
in Europe. Mires and Peat 1.
Ndegwa, P.M. & S.A. Thompson. Effects of C-to-N Ratio on Vermicomposting
of Biosolids. Bioresource Technology 75: 7-12.
Sabiham, S. 1989. Studies on Peat in the Costal Plains of Sumatra and Borneo.
Southeast Asian Studies 27 (3).
Saharjo, B.H & A.D. Nurhayati. 2003. The Changes Chemical and Physical
Properties of Fibric Peat Following Burning. Jurnal Tanah dan Lingkungan
5 (1): 1- 6.
Wang, S., H. Ruan & Y. Han. 2010. Effect of microclimate, litter type, and mesh
sizeon leaf litter decomposition along an elevation gradient in the Wuyi
Mountains, China. China. Ecological Research 25: 1113-1120.
Tripathi, O.P., H.N. Pandey & R.S. Tripathi. 2009. Litter production,
decomposition and physico-chemical properties of soil in 3 developed
agroforestry systems of Meghalaya, Northeast India. African Journal of
Plant Science 3 (8): 160-167.
10
Download