Deteksi Dini Kanker Leher Rahim

advertisement
TEKNIK
Deteksi Dini Kanker Leher Rahim
Virgi Saputra
Kalbe Genomics Laboratory
Kanker leher rahim merupakan kanker
dengan peringkat nomor dua di Indonesia
setelah kanker payudara (Sistem Informasi
Rumah Sakit, 2008), namun merupakan
kanker pembunuh nomor satu untuk wanita
Indonesia.1 Hal ini cukup memprihatinkan
karena sebetulnya kanker ini dapat dicegah
dengan berbagai cara. Edukasi yang tepat
diperlukan untuk menurunkan kejadian
kanker leher rahim. Tulisan ini akan mengulas berbagai metode pencegahan kanker
leher rahim.
Pencegahan kanker leher rahim:
1. Perilaku seksual yang sehat. Setia pada
satu pasangan seksual dapat mengurangi
risiko infeksi HPV (human papilloma virus).
Pendapat ini didasarkan pada kenyataan
bahwa infeksi HPV ditularkan secara
seksual. Dengan perilaku seksual yang
beragam saat ini, bukannya tidak mungkin
dapat terjadi penularan dengan cara lain.
Namun, hal ini tentu masih perlu diteliti
lebih lanjut.
2. Vaksinasi HPV. Cara ini merupakan
pencegahan primer kanker leher rahim.
Vaksin yang beredar di Indonesia bersifat
protektif terhadap 2 subtipe HPV risiko
tinggi, yaitu HPV 16 dan 18. Subtipe HPV 16
dan 18 merupakan penyebab 70% kasus
kanker leher rahim.2 Mengingat vaksin
hanya dapat memberikan perlindungan
70%, dengan divaksin bukan berarti
seorang wanita “bebas tugas” dari pemeriksaan rutin sitologi. Hal ini diperkuat oleh
berbagai panduan (guideline) yang
menyatakan bahwa wanita yang sudah
divaksin harus tetap menjalani pemeriksaan rutin tanpa kecuali, sama seperti
mereka yang belum divaksin.3,4 Karena itu,
pemeriksaan yang bertujuan untuk
deteksi dini menjadi hal yang penting.
3. Deteksi dini. Pemeriksaan yang ditujukan
untuk deteksi dini, seperti IVA, pap smear,
liquid based cytology, dan HPV DNA,
merupakan pencegahan sekunder kanker
leher rahim. Deteksi dini dipandang
penting; apabila kelainan terdeteksi lebih
awal (apalagi pada tahap lesi pra-kanker),
dan ditangani dengan baik, perburukan
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
penyakit dapat dicegah. Deteksi dini yang
ideal mencakup pemeriksaan sitologi
(abnormalitas sel) dan deteksi infeksi HPV
(dengan tes HPV DNA) karena akan meningkatkan sensitivitas maupun spesifisitas pemeriksaan hingga mendekati
100%.5 Karakteristik pemeriksaan sitologi
adalah sensitivitas yang relatif rendah tapi
spesifisitas tinggi. Sebaliknya, pemeriksaan HPV DNA mempunyai sensitivitas
yang tinggi tapi spesifisitas rendah.
Dengan demik ian, bila dilakuk an
bersamaan, sensitivitas menjadi 100% dan
spesifisitas 92,5%.5 Karena itu, berbagai
panduan merekomendasikan setiap
wanita di atas 30 tahun untuk menjalani
pemeriksaan sitologi sekaligus deteksi
infeksi HPV, dan setelah dianalisis, metode
ini terbilang cost-effective.6 Alasan lainnya
adalah karena di atas 30 tahun imunitas
seseorang mulai menurun. Bahkan,
berbagai panduan mengatakan bahwa
apabila hasil pemeriksaan sitologi negatif
dan infeksi HPV terperiksa negatif, wanita
bersangkutan perlu menjalani tes ulang
tidak lebih cepat dari 3 tahun kemudian.
Hal ini didasarkan pada fakta bahwa
infeksi HPV subtipe risiko tinggi yang
persisten rata-rata baru menimbulkan
abnormalitas sel setelah minimal 5 tahun.7
Pemeriksaan Sitologi
Untuk pemeriksaan sitologi, pemerintah dan
praktisi kebidanan dan kandungan membuat kebijakan penapisan (screening) mulai
dari yang paling sederhana, yaitu dengan IVA
(inspeksi visual dengan asam asetat). IVA
dianjurkan dilakukan setiap kali dokter atau
bidan membuka liang vagina. Pemeriksaan
ini sangat sederhana dan murah sehingga
bisa dilakukan di Puskesmas.8 IVA disukai
karena sangat murah tapi penilaian hanya
bersifat makroskopik dengan mata biasa.
Pap smear memiliki sensitivitas yang lebih
baik karena penilaian sel dilakukan di bawah
mikroskop. Sensitivitas pap smear sangat
dipengaruhi oleh cara pengambilan sediaan
oleh praktisi dan kemampuan menilai
sediaan oleh ahli patologi. Beberapa literatur
menunjukkan bahwa kemampuan pap
smear dalam mendeteksi HSIL (high-grade
squamous intraepithelial lesion) lebih rendah
daripada sitologi berbasis cairan, dan hasil
tidak memuaskan lebih tinggi daripada
sitologi berbasis cairan.9-11 Hal ini dapat
disebabkan oleh keterbatasan pap smear,
yaitu sel yang diperoleh tidak semuanya
tersapu di atas kaca objek sehingga tidak
semuanya dapat dinilai. Selain itu, lendir,
darah, dan sel radang dapat mengganggu
penilaian di bawah mikroskop. Karena itu,
sekarang dikembangkan metode sitologi
berbasis cairan, yaitu sediaan yang diambil
dimasukkan ke dalam cairan pengawet
sehingga semua sel ikut dinilai, kemudian
diproses sedemikian rupa sehingga sel-sel
yang dinilai tersebut tersaji dengan rapi. Di
samping itu, lendir dan darah tidak mengganggu pandangan karena sudah disingkirkan.
Pemeriksaan Infeksi HPV
Infeksi HPV merupakan penyebab kanker
leher rahim. Ada sekitar lebih dari 100
subtipe HPV namun yang ditularkan secara
seksual sekitar 40 subtipe dan yang
dianggap ganas (risiko tinggi) sekitar 15
subtipe (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58,
59, 68, 73, dan 82).12 HPV subtipe risiko tinggi
ditemukan pada 99% kanker leher rahim.
Infeksi HPV tidak bergejala dan dapat hilang
dengan sendirinya dengan imunitas yang
baik selayaknya infeksi virus lainnya. Namun,
apabila infeksi HPV subtipe risiko tinggi ini
persisten, dapat menyebabkan perubahan
sel yang abnormal dan bila tidak ditangani
dapat berkembang menjadi kanker.13
Subtipe HPV terbanyak pada berbagai
populasi berbeda-beda. Penelitian oleh
International Agency for Research on Cancer
Multicenter Cervical Cancer Study Group
menyebutkan subtipe HPV terbanyak pada
pasien kanker leher rahim secara berurutan
adalah 16, 18, 45, 31, 33, 52, 58, dan 35.12 Di
Indonesia, subtipe terbanyak pada populasi
umum (melibatkan 3 kota dengan n=2686)
berturut-turut adalah 52, 16, 18, 39, 51, 45.14
Sementara itu, pada populasi pasien kanker
545
TEKNIK
leher rahim di Indonesia (n=74), subtipe
terbanyak adalah 16, 18, 52, dan 45.15
Saat ini ada 2 macam pemeriksaan HPV DNA,
yaitu
1. HPV DNA: Hanya untuk mengetahui ada
tidaknya infeksi HPV subtipe risiko tinggi,
dan
2. HPV DNA Genotyping: Dapat mengetahui
hingga ke subtipe HPV.
Beberapa artikel review menyatakan bahwa
pemeriksaan HPV DNA (hingga penentuan
subtipe HPV) dipandang penting untuk 2
alasan:
1. Mengetahui persistensi. Faktor yang menyebabkan perubahan sel ke arah keganasan adalah persistensi virus. Apabila
seseorang terinfeksi oleh subtipe yang
sama 2 kali berturut-turut dengan jeda 1
tahun, diistilahkan sebagai infeksi persisten. Namun, apabila terinfeksi oleh subtipe yang berbeda walaupun sama-sama
subtipe risiko tinggi, dikenal sebagai
infeksi sesaat (transient infection).
2. Karena infeksi oleh subtipe 16 dan 18
merupakan 70% penyebab kanker leher
rahim, berbagai artikel mengusulkan
pembedaan tata laksana untuk kedua
subtipe tersebut. Bila ditemukan subtipe
16 atau 18, tanpa memandang ada
tidaknya abnormalitas pada pemeriksaan
sitologi, tata laksananya berupa kolposkopi. Namun, bila ditemukan subtipe
risiko tinggi lainnya (bukan subtipe 16
atau 18), tata laksana bergantung pada
kelainan sitologi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Pusat Komunikasi Publik. Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.
HPV Information for Clinician. Centers for Disease Control (CDC) guidelines. April 2007.
Cervical Cancer Screening. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. ver. 1. 2011.
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG). Highlights from the ACOG 2005.
Practice Bulletin on the Human Papillomavirus.
Human papillomavirus DNA versus papanicolaou screening tests for cervical cancer. NEJM 2007; 357:
1579 – 88.
Efficacy of HPV DNA testing with cytology triage and/or repeat HPV DNA testing in primary cervical
cancer screening. J Natl Cancer Inst. 2009;101: 88 – 99.
Molecular screening of cervical cancer – Time to Give up Pap Test? NEJM 2007;357:1650 – 3.
Skrining Kanker Serviks. Upaya down staging dan metode skrining alternatif. kursus deteksi dini
kanker leher rahim.YKI Jakarta 1999.
Age-specific patterns of unsatisfactory results for conventional pap smears and liquid-based cytology:
data from two randomized clinical trials. BJOG 2010;117:1067 – 73.
Liquid-based cytology versus conventional papanicolaou smear in an organized screening program.
Cancer Cytopathology 2007;111:285 – 91.
Liquid-based cytology for primary cervical cancer screening: a multi-centre study. British Journal of
Cancer 2001;84(3):360 – 66.
Epidemiologic classification of human papillomavirus types associated with cervical cancer. NEJM
2003;348:518 – 27.
Invited commentary: Is monitoring of human papillomavirus infection for viral persistence ready for
use in cervical cancer screening? American Journal of Epidemiology 2008;168(2):138 – 44.
Prevalence of human papillomavirus in Indonesia: a population-based study in three regions. British
Journal of Cancer 2008;99:214 – 18.
Human papillomavirus type 18 and other risk factors for cervical cancer in Jakarta, Indonesia. Int J
Gynecol Cancer 2006;16:1809 – 14.
Apabila ditemukan HSIL pada pemeriksaan sitologi, tata laksananya berupa
kolposkopi. Apabila kelainan sitologinya
adalah LSIL (low-grade squamous
intraepithelial lesion) atau lebih rendah,
pasien dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan sitologi dan HPV setahun
kemudian. Apabila ditemukan subtipe
yang sama (infeksi persisten), tata
laksananya berupa kolposkopi.13
Simpulan
Program vaksinasi HPV harus didukung
dengan program penapisan (screening)
untuk deteksi dini dalam rangka menurunkan kejadian kanker leher rahim di Indonesia.
Deteksi dini yang ideal adalah pemeriksaan
sitologi berbasis cairan sekaligus HPV DNA
genotyping.
546
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
Download