BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. REFLEKSI

advertisement
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. REFLEKSI TEORITIS
Partai Demokrat didirikan berdasarkan kalkulasi rasional oleh para pendirinya.
Pendiri Partai Demokrat menilai mendirikan partai baru merupakan pilihan
alternatif yang paling efisien dan menguntungkan dalam mengusung SBY
sebagai presiden dibandingkan mengusung SBY lewat partai lain. Namun
rasionalitas pendiri Partai Demokrat tidaklah seperti yang dikonsepsikan oleh
pendukung rational choice clasik tetapi lebih mendekati dengan konsepsi
Herbert A Simon (1995) tentang bounded rasionality. Hal itu bisa dilihat dari
beberapa hal. salah satunya perbedaan perhitungan antara Subur Budhisantoso
dengan Venje Rumangkang. Subur Budisantoso masih memandang perlu
didirikanya Partai Demokrat seandainya pemilihan presiden masih lewat MPR.
Sebab peluang SBY menjadi presiden lewat MPR juga tidak kecil. Sedang Venje
memandang tidak perlu. Sebab peluangnya SBY menjadi presiden sangat kecil
lewat pemilihan di MPR, seperti yang dialami SBY saat maju dalam pemilihan
wakil presiden pada 2001.
195
Selain itu, keputusan mendirikan Partai Demokrat diambil karena para pendiri
meyakini partai yang akan didirikan nanti memiliki peluang mendapatkan
dukungan dari pemilih pada pemilu 2004. Peluang itu didasarkan pada kinerja
partai lama yang tergabung dalam koalisi partai pemerintah dinilai buruk oleh
sebagian besar masyarakat. Buruk kinerja partai lama ini menimbulkan isu baru
yang memungkinkan menuculnya Partai Demokrat sebagai partai baru untuk
menawarkan diri sebagai alternatif pilihan pemilih saat pemilu. Tavit (2007)
melihat gejala ini (buruknya kinerja partai) sebagai akibat dari banyaknya
permasalahan pelik yang tidak mudah diatasi dalam waktu singkat yang sangat
jamak (lumrah) terjadi di negara yang sedang mengalami transisi demokrasi.
Namun buruk kinerja partai hasil pemilu 1999 di Indonesia lebih disebabkan
oleh pertikaian antar elit dalam merebut kekuasaan dan penyalagunaan kekuasan
yang dilakukan oleh elit politik dalam maraih kentungan untuk partai ataupun
untuk kepentingan pribadi.
Buruknya kinerja partai lama tersebut pada saat yang sama berdampak pada
turunya loyalitas pemilih terhadap partai politik hasil pemilu 1999 secara
signifikan. Hal ini mengindikasikan turunya identitas kepartaian pasca
reformasi lebih bertalian dengan hasil evelausi pemilih terhadap partai
sebagaiamana konsepsi Anthony Down (1957) dan kurang bertalian dengan
perpecahan atau memudarnya sosial cleavages yang menjadi basis dukungan
196
partai lama sebagaiamana diasumsikan para pendukung pendekatan sosiologis.
Selain itu juga menunjukan gejala yang berbeda dengan konsepsi Margit Tavits
(2007) dan Cox (1997). Menurut keduanya pada fase awal transisi demokrasi
dukungan terhadap partai penuh dengan ketidak-pastian. Ketidak-pastian ini
menjadikan setiap peserta pemilu merasa memiliki kesempatan dan peluang
yang sama untuk mendapatkan suara dan dukungan publik saat pemilihan
umum. Meskipun demikian konsepsi Margit Tavits (2007) dan Cox (1997).
tersebut barangkali tepat untuk menggambarkan situasi antara masa reformasi
1997 sampai menjelang pemilu 1999.
Buruknya kinerja partai lama tersebut diperkuat oleh absennya partai oposisi
yang kuat. Partai Keadilan yang kemudian berganti nama menjadi Partai
Keadilan Sejahtrah merupakan satu – satunya partai oposisi pada saat itu.
Namun PK / PKS pada saat itu merupakan partai berhaluan kanan ekstrim.
Kondisi tersebut menyulitkan PK / PKS untuk mendapatkan limpahan suara
masyarakat yang kecewa terhadap kinerja partai lama. Sebab pada umumnya
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang moderat. Melihat hal ini
Partai Demokrat dirancang oleh para pendirinya sebagai partai tengah. Hal ini
dimaksudkan agar Partai Demokrat mendapatkan dukungan masyarakat dari
berbagai kalangan.
197
Meskipun demikian, buruknya kinerja partai lama dan absenya partai oposisi
yang kuat bukanlah variable atau faktor independen yang berpengaruh terhadap
dukungan bagai partai baru. Variable ini sangat tergantung pada keberadaan
tokoh utama partai yang mampu sebagai magenet electoral atau merarik pemilih
yang kecewa terhadap kenerja partai lama.
Pendiri Partai Demokrat meyakini keberadaan SBY sebagai tokoh utama dan
ikon Partai Demokrat akan bisa memikat dan menarik pemilih untuk memilih
Partai Demokrat. Keyakinan itu di dasarkan pada dua hal. Pertama, SBY
merupakan salah satu kandidat calon wakil presiden yang paling populer versi
poling yang dilakukan oleh beberapa media massa pada saat itu.
Kedua, sebagian karakteristik pemilih Indonesia dalam memilih partai politik
masih melihat kualitas tokoh utama yang dimiliki dan dijual oleh partai dalam
pasar pemilu. Hasil pemilu 1999 menyiratakan pesan bahwa tokoh utama yang
dimiliki oleh partai merupakan salah satu alat tukar untuk mendapatkan
(membeli) suara pemilih dalam pasar pemilu yang cukup efektif. Temuan dalam
tesis ini mengkonfirmasi konsepsi Barnes, Mc Donough, dan Pina, (1985)
Liddle dan Mujani (2000) dan studi yang dilakukan oleh Mujani, Liddle dan
Ambardi (2012).
198
Menurut Harmel dan Robertson (1985) dan Hug (2001), negara yang memiliki
populasi yang lebih beragam dan lebih besar cenderung memiliki kebutuhan
representasi yang lebih kompleks dan dalam banyak hal menghasilkan masalah
baru yang memungkinan masuknya partai baru. Namun konsepsi tersebut tidak
didukung oleh bukti dalam penelitian ini.
Partai Demokrat secara sengaja didirikan tidak sebagai artikulator kelompok
sosial, ideologi atau masyarakat di wilayah tertentu dalam Naungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Buktinya pengurus dan calon anggota legislatif
maupun DPR terpilih, kepala daerah dari Partai Demokrat berasal dari berbagai
berbagai kelompok. Selain itu, isu dan kebijakan yang diusung dalam kampanye
bukan isu segmented melainkan isu yang bersifat kolektif. Dengan kata lain,
Partai Demokrat sengaja tidak ditempatkan pada salah satu klaster pembilahan
sosial (cleavages) yang ada dalam masyarakat Indonesia. Secara tekstual Partai
Demokrat memang memiliki ideologi. Namanya nasionalis - religius. Namun
ideologi tersebut bukan terjemahan dari ideologi atau cita – cita kelompok sosial
tertentu. Partai Demokrat merupakan partai otonom (dari berbagai kelompok
sosial yang ada di masyarakat). Partai Demokrat berusaha mencari dukungan
masyarakat dari semua segmen (nasionalis – religius) untuk mendapatkan
kekuasaan sebesar - besarnya. Partai Demokrat pada kenyataanya juga
mendapatkan dukungan dari masyarakat dari berbagai segmentasi.
199
Sistem pemilu sebagaimana asumsi Taagepera (1999) dan Octavio Amorim
Neto dan Gary W Cox (1997) berpengaruh terhadap peluang keberhasilan partai
untuk mendapatkan kursi dalam pemilu. Semestinya ini menjadi pertimbangan
aktor dalam mendirikan partai politik. Namun sistem pemilu tidak menjadi basis
rujukan penting bagi berdirinya Partai Demokrat. Sebab sistem pemilu baru
diputuskan setelah Partai Demokrat didirikan dan dideklarasikan.
Elit seringkali mendirikan partai sebagai sarana untuk menduduki kursi presiden
(eksekutif) seperti konsepsi Andreas Ufen (2006) tentang munculnya partai
presiden (presidentialized party) atau partai pribadi (personal party)
sebagaimana konsepsi Koichi Kawamura (2013). Ketika peluang tokoh utama
partai untuk menjadi presiden kecil atau tidak ada, mendirikan bisa dipandang
tidak lagi penting. Pendiri Partai Demokrat dalam kenyataanya tidak hanya
menghitung peluang Partai Demokrat dalam mendapatkan dukungan tetapi juga
peluang SBY dalam mendapatkan dukungan sebagai presiden di pemilu 2004.
Hal ini didasarkan pada tinnginya hasil poling saat SBY menjadi calon wakil
presiden maupun hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Subur
Budisantoso.
Selain itu, potensi SBY sebagai calon presiden alternatif juga karena SBY
memiliki karakter yang dingingkan public dan kepiawaian SBY dan timnya
dalam membagun komunikasi dengan publik. SBY sampai batas tertentu mampu
200
memunculkan diri sebagai sosok yang cerdas, santun dan bersih. Potensi ini
sudah mulai tampak dimata public sejak SBY mencalonkan diri sebagai wakil
presiden. Pada saat yang sama peforma tokoh utama partai lain, utamanya yang
memiliki potensi menjadi capres pada pemilu 2004 memiliki citra yang kurang
baik di mata masyarakat dan memiliki kelemahan dari sisi komunikasi publik.
Faktor ongkos yang murah untuk biaya mendirikan dan operasional partai serta
biaya mengikuti pemilu merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan
didirikanya Partai Demokrat. Hanya saja perhitungan pendiri Partai Demokrat
berbeda dengan hasil studi para peneliti sebelumnya yang mengkaji kemunculan
partai politik dalam rumpun rational choice. Para peneliti sebelumnya seperti
Tavits (2006, 2007) dan Simon Hug (2001) lebih banyak menyoroti penilaian atau
perhitugan aktor terhadap ogkos mendirikan partai dan mengikuti pemilu dari sisi
faktor institusional, seperti pertalian biaya mendirikan partai dengan aturan
mendirikan partai dan aturan pendanaan partai serta hubungan antara biaya
mengikuti pemilu dengan sistem pemilu.
Faktor ketokohan SBY di Partai Demokrat tidak hanya dinilai oleh para pendiri
Partai Demokrat sebagai vote getter tetapi juga sebagai money gatter. Pendiri
Partai Demokrat meyakini Keberadaan SBY di Partai Demokrat akan membuat
masyarakat dari berbagai kalangan bersimpati dan membantu pendanaan Partai
Demokrat. Selain itu, keberadaan SBY juga akan membuat beberapa tokoh
201
potensial ikut bergabung dan mendanai Partai Demokrat. Implikasinya pendanaan
Partai Demokrat bisa ditanggung secara gotong royong. Sumbangan masyarakat
dan pendaan secara gotong royong dipandang pendiri Partai Demokrat sebagai
faktor yang membuat biaya mendirikan partai dan biaya mengikuti pemilu yang
semula mahal menjadi ringan.
Pendiri Partai Demokrat tidak menjadikan aturan pendaftaran partai sebagi basis
dalam menghitung besaran dana dan komponen pembiayaan yang dipersiapkan
untuk mendirikan Partai Demokrat sebab Partai Demokrat didirikan sebelum
Undang – Undang Partai Politik dan sistem pemilu disahkan oleh negara.
Besaran pendanaan lebih bertalian dengan kebutuhan eksistensi partai di masa
yang akan datang, seperti pembentukan DPD, DPC dan KTA anggota.
Menurut Cox (1997) jika disiplin kepartaian lebih longgar, maka semakin kecil
munculnya partai baru. Elit politik akan lebih senang bergabung dengan partai
yang sudah mapan untuk mengejar atau mewujudkan kepentingan sendiri dari
pada mendirikan partai baru. Sebab pilihan tersebut dipandang lebih murah dan
menguntungkan. Tesis Gary W Cox tersebut dalam batas tertentu berbeda
dengan kalkulasi orang – orang yang terlibat sebagai pendiri Partai Demokrat.
Keputusan mendirikan partai baru untuk mengantarkan SBY menjadi presiden
dinilai lebih murah dibandingkan mengusung SBY lewat partai orang lain
meskipun seandainya peluang mengsung SBY menjadi presiden lewat partai
202
orang lain ada. Sebab partai orang lain tersebut diyakini akan meminta uang
sewa yang lebih tinggi dari ongkos yang dibutukan untuk mendirikan partai
baru.
Pendiri sangat yakin dalam rentang waktu sejak reformasi sampai dengan pemilu
2004 media akan banyak menyorot SBY karena SBY figur besar dan menjadi
pejabat publik. Hal itu dinilai sebagai iklan gratis bagi Partai Demokrat dan
SBY. Hal ini menguatkan konsepsi Carina (2011) bahwa sentiemen positif
media terhadap partai baru bisa mengurangi ongkos biaya kampanye secara
signifikan.
Keputusan beberapa orang untuk mendirikan Partai Demokrat tersebut
menunjukan faktor ongkos menjadi basis pertimbangan yang cukup penting
dalam mendirikan sebuah partai baru pasca reformasi di Indonesia. Hal ini
bertolak belakang dengan hasil studi yang dilakukan oleh Harmel & Robertson
(1985: 516-17) terhadap 233 partai baru di 19 negara demokrasi di Eropa Barat
dan Anglo Amerika. Menurut Harmel & Robertson (1985: 516-17) variable
biaya untuk mendapatkan suara tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap
munculnya partai politik baru di negara tersebut. Temuna dalam tesis ini berani
menyimpulkan, faktor ketokohan seseorang atau figur utama merupakan
variable independen dalam mempengaruhi murah dan mahal ongkos mendirikan
partai baru dan mengikuti pemilu.
203
Beberapa akademisi berbeda pendapat terkait dengan apa yang dimaksud
keuntungan bagi partai politik. Menurut Jonathan Hopkin (2000) kekuasaan
politik bagi partai sama dengan keuntungan moneter bagi perusahaan. Hal itu
diperjelas lagi oleh Margit Tavits. Menurut Tavits (2006:104) di dalam
kekuasaan selalu melekat keuntungan matriil dan prestise. Keuntungan ini tidak
bergantung pada sistem yang sedang berlaku di suatu negara.
Pendiri Partai Demokrat sebagai mana yang telah dinyatakan oleh Sutan
Bhatugana tidak mengelak kalau didalam kekuasaan itu ada beberapa
keuntungan matriilnya, seperti gaji, tunjangan, prestise, subsidi dana partai dari
negara dan sejenisnya. Namun Sutan Bhatugana menekankan, pendiri Partai
Demokrat tidak memiliki tujuan untuk meraih keuntungan lewat cara – cara
yang tidak benar sebagaimana yang telah dilakukan oleh kader – kader Partai
Demokrat yang tersangkut kasus korupsi.
Keuntungan matriil yang diperoleh oleh partai politik dalam kenyataanya tidak
hanya di dapatkan melalui jalan yang legal. Hal itu bisa terjadi kerena
pemerintah Indonesia memiliki kendali yang sangat besar dalam mengelola
sumberdaya ekonomi yang langkah, seperti lisensi pengelolaan sumber daya
alam. Kasus suap di SKK Migas merupakan salah satu dari sekian banyak
contoh bahwa kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dan DPR dalam
204
mengelola sumber daya ekonomi tidak diberikan secara gratis kepada pengusaha
yang membutukan. Selain itu, pemerintah juga memiliki berbagai proyek proyek pembangunan dan pengadaan barang dan jasa yang nilai ratusan triliyun
rupiah dalam setiap tahun. Proyek – proyek tersebut dalam kenyataanya tidak
diberikan secara cuma – cuma kepada pihak kontraktor atau pemenang tender.
Kasus Hambalang dan Wisma Atelit yang melibatkan kader Partai Demokrat
merupakan salah satu contoh dari sekian banyak contoh bahwa proyek
pembangunan dan pengadaan barang dan jasa tidak dilaksanakan secara
transparan dan diperjual-belikan untuk mendanai partai maupun untuk
memperkaya diri sendiri dan kelompok. Dengan demikian keuntungan yang
diperoleh partai politik lewat jalur ilegal ini luar biasa besar dibandingkan lewat
keuntungan yang diperoleh lewat jalur legal.
Sistem pemilu presiden secara langsung dianggap oleh sebagian pendiri Partai
Demokrat sebagai sistem yang cukup menguntungkan untuk mendirikan partai
sebagai sarana untuk mengusung SBY sebagai presiden. Vence mangakui jika
pemilihan presiden secara langsung juga merupakan salah satu alasan penting
didirikanya Partai Demokrat. Sebab tokoh utama Partai Demokrat pada waktu
itu sedang digandrungi oleh masyarakat sehingga peluang Partai Demokrat
dalam mengantarkan Pak SBY menuju istana sangatlah besar. “Kalau sistem
pemilihanya seperti tahun 1999, meskipun Popularitas Pak SBY tinggi di mata
masyakat, potensi untuk dikalahkan oleh calon presiden dari partai besar yang
205
telah mapan sangat besar. Perhitungan itu sesuai dengan konsepsi Bollin.
Menurutnya (2007) pemilihan presiden secara langsung memberi kesempatan
yang lebih baik bagi partai baru dalam menapatkan kekuasaan.
Namun faktor ini tidak kuat, sebab sebagian pendiri (Subur Budhisantoso)
menilai Partai Demokrat tetap akan didirikan sebab peluang Partai Demokrat
untuk mengantarkan SBY menjadi presiden dalam sistem pemilihan presiden
lewat anggota MPR tidak otomatis tertutup. Kondisi perpolitikan di Indonesia
menunjukan peluang partai baru dalam mendapatkan kekuasaan di eksekutif
lewat voting di MPR atau lewat pemilu secara langsung sama – sama bagus.
Konsepsi dasar Negara Indonesia menurut Undang – Undang Dasar 1945 adalah
presidensial tetapi perebutan kekuasaan di Indonesia tidak mengenal istilah the
winner takes all (Pemenang mengusai semua jabatan). Kekuasaan di eksekutif
dan di legislatif didistribusikan secara proporsional ke pada partai politik yang
berhasil mendapatkan kursi di parlemen. Dengan demikian fakta politik di
Indonesia pasca reformasi dalam batas tertentu bertolak belakang dengan tesis
Charles Hauss dan David Rayside (1978). Menurutnya, sistem presidensial
mencegah pembentukan partai baru. Sifat sistem presidensial the winner takes
all (Pemenang mengusai semua) akan mendorong partai politik untuk
berkolaborasi dan merger untuk memenangkan kekuasaan di pemerintahan
daripada mendorong munculnya partai baru.
206
Partai Demokrat dilahirkan dalam sistem presidensial yang memungkinkan
jabatan di eksekutif dan di DPR dibagi secara merata ke berbagai partai politik.
Menurut asumsi Carina (2011) hal ini lebih memudakan bagi partai baru untuk
mendapatkan akses dalam rangka untuk mempengaruhi sistem kekuasaan yang
memungkinkan kekuasaan dapat dibagi lebih luas di antara beberapa partai dan
parlemen memainkan peran yang lebih besar dalam check and balance. Tetapi
hal itu tidak menjadi basis pertimbangan didirikanya Partai Demokrat. Dengan
demikian temuan dalam tesis ini juga berbeda dengan konsepsi Carina S.
Bischoff.
Selain itu temuan dalam tesis ini juga menunjukan gejala negative terhadap
tesisnya Simon Hug. Sebab jika dilihat dari fakta di atas menunjukan bahwa
kondisi perpolitikan di Indonesia tidak terkosentrasi pada satu titik lembaga dan
satu partai politik melainkan menyebar ke beberapa lembaga dan partai politik.
Menurut Konsepsi Hug kondisi tersebut tidak kondusif bagi munculnya partai
baru. Kenyataanya Partai Demokrat dan beberapa partai baru lainya tetap
muncul.
Menurut Margit Tavits (2006) pengaruh kelompok non electoral yang sangat
kuat dalam mempengaruhi kebijakan membuat keuntungan mendirikan menjadi
berkurang. Hal bisa membuat politisi kurang tertarik untuk membentuk partai
207
baru. Namun Carina (2011), kelompok non eletoral terkadang menjadi sumber
dukungan bagi partai politik. Pendiri Partai Demokrat tidak menjadikan
pengaruh kelompok non electoral dalam kebijakan sebagaimana yang
diasumsikan Tavits dan juga tidak menjadikan dukungan kelompok non
electoral sebagai yang di asumsikan Carina S. Bischoff sebagai basis
pertimbangan didirikanya Partai Demokrat.
Dididrikanya Partai Demokrat sebagai sarana untuk mengusung SBY sebagai
presiden juga didasari oleh perhitungan mengusung Pak SBY menjadi presiden
2004 lewat partai sendiri lebih menguntungkan daripada mengusung Pak SBY
lewat partai orang lain. Jika lewat partai orang lain, orang lain yang akan
menentukan berbagai pos jabatan strategis dan lain sebagainya. Tetapi kalau
lewat partai sendiri, mereka sendiri yang menentukan. Hal ini tentu lebih
menguntungkan mengusung SBY lewat partai sendiri.
Melihat fakta di atas menunjukan pendiri Partai Demokart tidak memiliki
perhitungan yang terinci mengenai keuntungan apa yang akan mereka dapatkan
dan hal apa saja yang akan mengurangi keuntungan mendirikan partai baru
sebagaimana konsepsi atau temuan beberapa akademisi yang sudah penulis
paparkan sebelumnya. Ini menunjukan perhitungan mengenai manfaat
memegang jabatan menjadi skunder. Sedangkan peluang untuk meraih
dukungan pemilih untuk memperoleh jabatan menjadi perhitungan pokok. Hal
208
ini karena keuntungan selalu melekat dalam kekuasaan. Kekuasaan bisa menjadi
senjata bagi elit untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dengan kata lain
semakin tinggi peluang untuk memperoleh jabatan, maka otomatis semaking
tinggi potensi keuntungan yang akan diraih. Kondisi ini seperti yang dikatakan
oleh Tavits (2006) jika peluang dukungan cukup besar perhitungan elit terkait
manfaat memegang jabatan menjadi skunder. Sebalinya, jika peluang dukungan
terhadap partai baru kecil pehitungan elit terhadap manfaat memegang jabatan
menjadi perhitungan pokok bagi elit.
B. IMPLIKASI
Kehadiran Partai Demokrat (PD) di Indonesia pasca reformasi merupakan hasil
dari kalkulasi, preferensi dan strategi individu dalam rangka memaksimalkan
kepentingan atau tujuaanya. Meskipun demikian, dalam batas tertentu kehadiran
Partai Demokrat masih memiliki kontribusi terhadap peningkatan kesejahtraan
masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari beberapa indikator, seperti kenaikan
pendapatan perkapita, penurunan persentase penganguran dan kemiskinan.
Ukuran ini bertumpuh pada asumsi keberhasilan atau kinerja pemerintah adalah
program atau kenirja partainya. Selebinya dapat dilihat dalam tebel di bawah ini.
Tabel 10. Persentase Pendapatan Perkapita, Pengangguran
dan Kemiskinan Pertahun
Pendapatan
Persentase
Persentase
Tahun
Perkapita
pengangguran
Kemiskinan
10,4
10,25
16,66
2004
209
12,4
11,89
15.97
2005
14,7
10,93
17.75
2006
17,2
10,01
16,58
2007
21,0
9,39
15,42
2008
23,6
8,96
14,15
2009
28,8
8.32
13,33
2010
30,4
7,70
12,49
2011
33,3
7,24
11,66
2012
Sumber BPS, dalam Data Dan Informasi Kinerja Pembangunan
2004 -2012 BPS – Bapenas 2013 ; 5,13.
Menurut Sutan Bhatugana, jika pada pemilu 2004, kami hanya mengandalkan
figur SBY tetapi setelah itu kami mengandalakan program – program, utamanya
dalam peningkatan kesejahtraan masyarakat agar Partai Demokrat dipilih oleh
rakyat.59 Itu artinya peningkatan kesejahtraan yang dilakukan oleh pemerintah
tidak bertumpuh pada sikap alturistik60 tetapi bertumpuh pada self interes atau
dalam terminology Herbert A Simon disebut sebagai reciprocal alturism61. Hal
ini bisa terjadi karena bekerjanya hukum “invisible hand”. Kebijakan bagi
politisi dan rakyat sama dengan barang konsumsi bagi pedagang dan konsumen.
Perilaku pedagang hanya termotivasi untuk mencari keuntungan sebesar –
besarnya bagi dirinya sendiri, namun kemampuan mereka untuk memperoleh
keuntungan bergantung pada kemampuan mereka memproduksi barang-barang
yang lebih murah dan lebih berkualitas dibandingkan para pesaingnya. Begitu
juga dengan politisi, pada umum mereka termotivasi untuk mencari kekuasaan
sebesar – besarnya dalam pasar pemilu, namun kemampuan politisi dalam
59
. Wawancara dengan Sutan Bhatugana. Jakarta. 10/10/2013. Pukul 13.47 – 14. 41 WIB
. Sikap relah berkorban (waktu, tenaga dan sejenis) demi keuntungan orang lain.
61
Menurut Herbert A Simon (1995:55) reciprocal altruism adalah tindakan berkorban demi orang lain
dengan asumsi akan mendapatkan balasan dalam waktu jangka panjang.
60
210
mencari kekuasaan sangat ditentukan oleh kemampuan mereka dalam
mengeluarkan kebijakan yang populis bagi pemilih, utamanya yang bertalian
dengan hajat hidup banyak orang (kesejahtraan). Jika mereka gagal, maka
pesaingnya (oposisi atau partai baru) yang dinilai oleh pemilih mampu
menawarkan alternatif kebijakan yang populis yang akan dipilih dalam pemilu.
Hal itu semakin menguatkan hipotesis Anthony Down. Menurut Downs
(1957b:137) partai politik dalam negara demokrasi merumuskan kebijakan
sebagai sarana untuk mendapatkan suara. Mereka tidak berusaha untuk
mendapatkan jabatan atau kekuasaan dalam rangka melaksanakan kebijakan
tertentu atau untuk melayani setiap kelompok kepentingan tertentu, melainkan
mereka merumuskan kebijakan dan melayani kelompok kepentingan untuk
mendapatkan jabatan. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tidak populis,
seperti kenaikan BBM, pemerintah pada saat yang sama mengeluarkan
kebijakan stimulus berupa uang konpensasi seperti BLT, BLSM dan sejenisnya.
Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi resiko atau dampak negatif kebijakan
pada saat pemilu. Atas dasar itu, pemerintahan SBY pernah memintah
persetujuan anggran BLSM diputus terlebih dahulu sebelum keputusan kenaikan
harga BBM disetujui oleh DPR. Fakta itu menunjukan Partai Demokrat merasa
hawatir jika kenaikan BBM terlanjur disetujui oleh DPR sementara BLSM tidak
disetujui.
211
Selain BLT dan BLSM pemerintah juga banyak mengeluarkan kebijakan populis
lainya yang bersifat jangkah pendek, seperti beras untuk warga miskin (Raskin),
asuransi kesehatan untuk warga miskin (Askeskin), jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), kompor gas gratis, bantuan operasional
sekolah (BOS), bantuan sosial (Bansos). Program – program tersebut menjadi
andalan kampanye Partai Demokrat sebagai partai pemerintah. Persaingan dalam
mendapatkan suara yang begitu sengit di dalam sistem multi partai
mengharuskan Partai Demokrat untuk membuat program – program populis
sebanyak mungkin agar bisa mendapatkan kekuasaan sebanyak – banyaknya.
Pada sisi yang lain perilaku kader Partai Demokrat tidak selamanya selaras
dengan peningkatan kesejahtraan masyarakat. Terungkapnya kasus korupsi
Wisma Atelit dan Hambalang adalah salah satu contoh perilaku kader Partai
Demokrat yang tidak selaras dengan agenda peningkatan pembangunan dan
kesejahtraan rakyat. Itu menunjukan hukum “invisible hand” dalam praktik
politik sulit terlaksana seratus persen atau sepenuhnya. Hal ini bisa terjadi
karena mereka bergabung dengan partai, berinvestasi, mengeluarkan tenaga,
pikiran dan sejumlah uang. Sebagian besar mereka bukan relawan yang dengan
tulus masuk partai dalam rangkah memperjuangkan cita – cita atau ideologi
tertentu. Oleh karena itu, mereka membutukan imbalan dan keuntungan materi
yang riil setelah kekuasaan sudah didapatkan. Mereka tidak hanya sekedar
212
membutukan prestise. Implikasinya, dua kaki partai akan berkerja ke arah yang
berbeda dengan tujuan yang sama atau satu tujuan. Satu kaki partai akan
berkerja untuk memuaskan kepentingan matriil anggota partai. Sedangkan kaki
yang lainya akan berusaha menjalankan fungsi agregasi kepentingan masyarakat
yang lebih luas. Kedua gerakan kaki partai tersebut sama – sama untuk
memenuhi self – interes anggota partai.
Kader partai tidak jarang mendistorsi atau membajak lembaga demokrasi seperti
DPR, DPRD, Kementrian, dinas, lembaga hukum (MK, MA, Kejaksaan) sebagai
alat untuk untuk memobilisasi dana untuk kepentingan partai sekaligus
memperkaya diri. sebagai contoh, menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah
(Dirjen Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan Kepala daerah yang
ditetapkan tersangka oleh kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
berjumlah 318 orang di Indonesia sejak diterapkan pilkada langsung (Indopos
/15/02/2014).
Secara umum, indeks persepsi korupsi Indonesia mengalami perbaikan dalam
setiap tahun. Hanya pada tahun 2009 – 2010 dan 2012 – 2013 mengalami
stagnasi. Meskipun demikian, Indonesia merupakan negara terkorup di dunia.
Indonesia berada di peringkat 114 dari 177 negara pada tahun 2013. Tabel di
bawah ini menunjukan, nilai atau skor korupsi masih jauh dari ideal. Skor
213
tertinggi atau yang paling dianggap bersih adalah 100 (10,0) sedangkan sampai
dengan tahun 2013 skor Indonesia hanya 32 (3,2).
Tabel 11. Indeks Persepsi Korupsi Versi Transparency International (TI)
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Skor
20
22
24
23
26
28
28
30
2013
32
32
Sumber: Corruption Perceptions Index, Transparency International
Meskipun kader partai kerap kali mendistorsi lembaga demokrasi namun secara
kuantitatif pemerintah masih berfungsi dengan baik. Itu artinya dalam batas
tertentu perilaku partai politik masih kompatibel dengan kualitas demokrasi. Hal
itu bisa dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 12 Indek Kualitas Demokasi Indonesia versi the Economist Intelligence Unit’s
Tahun
Ukuran atau Indikator Kualitas Demokrasi
Proses
Fungsi
Partisipasi
Budaya Kebebasan
Pemilu dan Pemerintah
Politik
Politik
Sipil
Pluralisme
/Warga
2006
6,92
7,14
5,00
6,25
6,76
2008
6,92
6,79
5,00
5,25
6,76
2010
6,92
7,50
5,56
5,63
7,06
2012
6,92
7,50
6,11
5,63
7,65
Sumber; diolah dari laporan the Economist Intelligence Unit’s 2007:4, 2008:5,
2010:4, 2013:5
Skor Rata Rata
6,41
6,34
6,53
6,76
Lima ukuran kualitas demokrasi yang dirilis oleh the Economist Intelligence
Unit’s yang paling bersinggungan secara langsung dengan kinerja partai politik
214
adalah fungsi pemerintahan. Fungsi pemerintah mendapatkan skor 7.5 dari 10.
Baiknya indikator fungsi pemerintah ini kemungkinan disebabkan oleh
berkerjanya hukum “invisible hand” meskipun tidak secara penuh dan adanya
persaingan di antara aktor politik electoral maupun control dari aktor non
electoral.
Aktor akan berusaha dan mencari cara agar berbagai kejahatan yang akan
maupun telah dilakukan tidak sampai didengar, dilihat dan dirasakan oleh
masyarakat luas. Namun tidak selamanya tangan aktor mampu menutupi
kejahatan yang akan atau telah dilakukan. Persaingan electoral yang begitu ketat
di antara berbagai aktor dan control dari berbagai aktor non electoral di alam
demokrasi memungkinkan terkuaknya berbagai kejahatan, termasuk yang
dilakukan oleh aktor yang sedang berkuasa.
Terkuaknya sekandal kasus Century dan kemudian diputus oleh rapat paripurna
DPR sebagai kebijakan yang menyimpang dan direkomendasikan untuk
diselidiki potensi tindak korupsinya oleh lembaga hukum merupakan salah satu
indikasi, bahwa di antara partai politik tidak selalu bekerjasama untuk mencapai
kepentingan ekonomi dan kekuasaan tetapi juga berkompetisi dan saling kontrol.
Sedangkan terkuaknya kasus korupsi Wisma Atelit, Hambalang dan batalnya
rencana renovasi Gedung DPR merupakan buah dari control aktor non electoral.
215
Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang cukup baik dalam
memberantas korupsi juga tidak terlepas dari dorongan dan pengawasan dari
aktor non electoral yang sangat masif. Aktor non electoral selalu mengawal dan
mengawasi kinerja KPK sejak proses seleksi anggota KPK yang dilakukan oleh
panitia seleksi sampai dengan pelaksanaan tugas dalam setiap hari. Pengawasan
dari aktor non electoral ini dalam batas tertentu meminimalisir adanya potensi
intervensi yang dilakukan oleh kekuatan partai politik baik di DPR maupun di
pemerintah (eksekutif) terhadap kinerja KPK. Sebab proses seleksi anggota KPK
yang melibatkan pemerintah (melalui pansel) dan DPR memungkinkan kekuatan
partai politik yang ada di eksekutif dan di DPR untuk mengintervensi KPK
dengan menempatkan orang – orang yang setia pada kepentingan partai politik
untuk duduk sebagai anggota KPK. Media massa (TV, Koran, radio dan
sejenisnya) merupakan salah satu arena atau instrumen penting yang murah
(bahkan menguntungkan) yang digunakan oleh aktor non electoral
dalam
melakukan kontrol terhadap kinerja KPK.
Kompetisi atau kontrol di antara aktor politik electoral maupun control dari
aktor non electoral akan menjadi informasi penting yang murah bagi pemilih
untuk menilai kinerja partai. Kondisi ini membawa implikasi, jika ada kader
partai yang terlibat kasus korupsi dan sudah diketahui oleh publik, partai politik
akan berusaha melokalisir tindakan koruptif yang dilakukan oleh kader partai
sebagai tindakan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan kebijakan partai.
216
Kasus korupsi yang ditudukan ke Nazaruddin dan Anas selalu dicoba dilokasir
oleh kader Partai Demokrat lainya sebagai tindakan pribadi. Ini merupakan
bagian dari strategi untuk meminimalisir resiko electoral saat pemilu.
Kompetisi atau tindakan saling kontrol di antara aktor politik electoral dan
control dari aktor non electoral pada kenyataanya hanya menghambat dan tidak
menghentikan langkah koruptif partai. Ketua KPK (Abraham Samad) sering
mengatakan dalam berbagai kesempatan, modus korupsi semakin canggih dan
sulit dicari bukti hukumnya. Sebab korupsi dilakukan oleh orang yang memiliki
kuasa dalam membuat hukum dan keputusan – keputusan penting yang sangat
vital. Mereka tahu cela korupsi yang sulit dilacak bukti hukumnya. Tidak
mengherankan jika beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat tertentu
membutukan waktu bertahun – tahun.
C. REKOMENDASI
Kajian tesis ini hanya berhasil membuktikan kemunculan Partai Demokrat saja
dalam prespektif rational choice. Dengan demikian hasil kajian dari tesis ini
belum bisa memastikan apakah kemunculan partai yang lain, termasuk partai
baru yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen pasca refomasi bisa didekati
dengan prespektif rational choice.
217
Penulis sangat mengharapkan ada penelitian lain yang mengkaji kemunculan
partai politik selain Partai Demokrat yang muncul pasca reformasi dalam
prespektif rational choice. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat
mengetahui apakah teori atau prespektif rational choice bisa digunakan untuk
menjelaskan kelahiran semua partai politik pasca reformasi atau hanya Partai
Demokrat saja.
DAFTAR PUSTAKA
1. A, Denny J. 2006. Jejak – Jejak Pemilu 2004. Yogyakarta. LKiS
2. Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel, Studi tentang
Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta. Kepustakaan
Populer Gramedia.
3. Amorim Neto, Octavio dan Gary W Cox. 1997. “Electoral Institutions,
Cleavage Structures, and the Number of Parties,” American Journal of
Political Science 41: 149 - 174.
4. Baroma, Suhendro. 2010. Sejarah Dan Kemenangan Partai Demokrat.
Jakarta. Jala Permata.
5. Barnes, Samuel H., Peter McDonough, dan Antonio Lopez Pina, 1985.
The development of partisanship in new democracies: The Case of
Spain.” American Journal of political science 29/4:695-720.
218
Download