BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asia Tenggara merupakan kawasan strategis dengan interkonektivitas antar negara yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Interkonektivitas yang terbentuk di Asia Tenggara tidak hanya dibangun pada aspek fisik (phisical connectivity) dalam bentuk infrastruktur fisik berupa jalan, bangunan dan fasilitas perdagangan, tetapi juga diikuti oleh institusional connectivity dan people to people connectivity 1. China telah menjadi salah satu negara yang melirik kawasan Asia Tenggara dalam hal interkonektivitas ekonomi. Sejak tahun 2005 di bawah pemerintahan Presiden Hu Jintao, China telah menjadi mitra dagang terbesar keempat bagi Asia Tenggara, dan sebaliknya Asia Tenggara adalah mitra dagang terbesar kelima bagi China. Total perdagangan kawasan ini dengan China telah mencapai angka USD 130 miliar, dan mencapai USD 200 miliar pada 2008. 2 Angka yang terus naik hingga tahun 2010, dimana nilai perdagangan antara China dengan Asia Tenggara sebesar USD 136,5 miliar, atau naik 55% dari periode yang sama pada tahun 2009.3 Salah satu wilayah yang mendapat perhatian khusus China di kawasan Asia Tenggara adalah kawasan sub-regional yang dikenal dengan istilah Greater Mekong Sub-region (GMS) melalui mekanisme kerjasama ekonomi yakni Greater 1 Ide mengenai ASEAN Connectivity pertama kali diajukan oleh Perdana Menteri Thailand Vejjajiva pada pembukaan ASEAN Foreign Ministers‟ Meeting yang ke-42 pada tanggal 20 Juli 2009 di Phuket. Sebagai ketua ASEAN pada saat itu beliau mengajukan “Community of Connectivity” untuk menjadi salah satu objek kajian dalam ASEAN Community 2015. Hal ini mempertegas bahwa barang, jasa, manusia, dan investasi nantinya juga dapat secara leluasa bergerak lintas batas di kawasan Asia Tenggara. Integrasi Ekonomi secara menyeluh ditandai dengan pembentukan single market dan basis produksi seharusnya dibarengi dengan pembangunan konektivitas yang menghubungkan setiap negara baik secara fisik (hardware) maupun aspek lainnya (software) dikutip dalam laporan yang dikeluarkan oleh Centre of Policy Analysis and Development for Asia-Pacific and African Regions Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, „ASEAN Connectivity in Indonesian Context : A Preliminary Study on Geopolities of Hydropower and Maritim Transport‟, dipublikasikan pada tahun 2011, p. 1-2 2 I Wibowo and Syamsul Hadi, Merangkul Cina, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, p. 77 3 China Embassy, „ASEAN Mitra Dagang Terbesar ke-4 Tiongkok‟ (daring) <http://id.china-embassy.org/indo/ztbd/zgdmgx/t720264.htm> diakses tanggal 29 Desember 2014 1 Mekong Sub-region (GMS) Economic Cooperation. Greater Mekong Sub-region (GMS) Economic Cooperation merupakan mekanisme kerjasama ekonomi yang secara resmi dibentuk pada tahun 1992 atas inisiatif Asian Development Bank (ADB) yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dalam hal perdagangan, investasi asing (FDI) dan pariwisata antara negara-negara yang berbatasan dengan Sungai Mekong.4 Kerjasama ini sebenarnya berawal dari Provinsi Yunan yang sejak dahulu memiliki tradisi perdagangan dengan negara tetangga namun masih dalam kerangka yang terbatas karena kebijakan China yang tertutup. Namun pada tahun 1978, sejak diberlakukannya kebijakan Open Door (pintu terbuka) China, China mulai memperbaiki hubungan diplomatik dengan negara tetangga, China menghidupkan kembali perdagangan perbatasan antara Yunnan dan daerah otonomi Guang Xi Zhuang dengan lima negara anggota ASEAN yaitu Cambodia, Laos, Myanmar, Thailand, dan Viet Nam yang kemudian dikenal dengan istilah Greater Mekong Sub-region (GMS). 5 Presiden Hu Jintao menggunakan strategi yang berbasis pada perdamaian dalam membina hubungannya dengan negara-negara lain. Konsep Politik luar negeri yang digunakan antara lain: China‟s Peaceful Development, Harmonius World, dan Good Neighbourhood Diplomacy. Prinsip Friendship and Partnership with Neigbour Country kemudian menjadi salah satu prinsip dalam membangun suasana yang damai dalam pergaulannya di dunia internasional utamanya dengan negara-negara tetangga yang berbatasan langsung dengan wilayah China.6 Sebagai bukti nyata, di bawah pemerintahan Presiden Hu Jintao, pemerintah China antusias dalam menjalin kerjasama ekonomi di wilayah ini. Bahkan ketika menghadiri KTT GMS ketiga di Laos Perdana Menteri Wen Jiabao mengusulkan 4 Sandra, Economic Integration of Yunan with the Greater Mekong Subregion, Makalah dipresentasikan pada the third Euroseas Conference London tanggal 6-8 September 2001, Tinbergen Institute, p. 2-3 5 Asian Development Bank, „Greater Mekong Subregion: Program Overview‟, 2013, Situs Resmi Asian Development Bank (daring). <http://www.adb.org/countries/gms/overview> diakses pada tanggal 24 Desember 2014 6 The Path of China‟s Peaceful Development: What It Is About, (daring) diakses pada situs <http://www.china.org.cn/government/whitepaper/2011-09/06/content_23362449.htm>, diakses pada tanggal 7 September 2015 2 proposal kerjasama dalam pembangunan infrastruktur transportasi dan fasilitasi perdagangan, pembangunan pedesaan, kerjasama di bidang kesehatan, perlindungan ekologi dan lingkungan, pengembangan SDM, mendorong partisipasi non-pemerintah dalam kerjasama GMS, membuka kesempatan bagi negara/organisasi sebagai donor.7 Sebelumnya, sejak tahun 2005 China menjadi Negara donor dalam pembangunan Infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, rel kereta api dan bendungan di kawasan GMS. Di tahun 2006 investasi China meningkat menjadi USD 115 juta jika dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya senilai USD 60 juta, ini merupakan 35% dari total investasi China di Asia Tenggara.8 Hingga akhir 2007, sekitar USD10 milyar telah dihabiskan untuk menangani 180 pronyek kerjasama dalam hal transportasi, energi, telekomunikasi, lingkungan, agrikultur, pengembangan SDM, fasilitas perdagangan dan investasi. Angka yang cukup mencengangkan jika melihat jumlah populasi masyarakat serta standar hidup di wilayah GMS yang tidak terlalu menjanjikan sebagai tujuan pasar produk-produk asal China. Apa yang sebenarnya menjadi faktor penting sehingga China merangkul kawasan ini melalui kebijakan pembangunan infrastruktur di negara-negara kawasan GMS. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut dan difokuskan untuk menganalisis mengapa China meningkatkan partisipasinya dalam kerja sama ekonomi di kawasan Greater Mekong Sub-region (GMS) yang sebelumnya sejak tahun 1992 tidak memperlihatkan pola-pola kerjasama yang regular antara kedua belah pihak, yang kemudian diimplementasikan melalui kebijakan politik luar negeri China yang dikemas dalam bantuan bantuan pembangunan infrastruktur dan koridor ekonomi di kawasan GMS pada masa pemerintahan Hu Jintao (2003-2013). Adapun wilayah penelitiannya adalah Greater Mekong Sub-region yakni negara-negara yang berada disepanjang aliran Sungai Mekong (Lancang) dimana Cambodia, 7 „Chinese premier makes proposals on boosting co-op in GMS‟ ,(daring) diakses pada situs <http://news.xinhuanet.com/english/2008-03/31/content_7890305.htm> diakses pada tanggal 28 Desember 2014 8 East Asian Institute at the National University of Singapore, „China Active Role in the Greater Mekong Sub-region: A “win-win Outcome‟, Dipublikasikan pada tanggal 6 Agustus 2008, p. i-ii 3 Vietnam, Laos, Myanmar dan Thailand merupakan negara-negara yang termasuk di dalamnya. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka penelitian ini akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan “mengapa China meningkatkan partisipasinya dalam kerjasama ekonomi dengan negara Greater Mekong Sub-Region sejak tahun 2005 melalui pemberian bantuan pembangunan infrastruktur dan pembangunan koridor ekonomi di GMS?”. C. Literatur Review Penelitian yang membahas mengenai politik dan kebijakan luar negeri China di kawasan Asia Tenggara sudah banyak dilakukan terutama dalam bidang ekonomi, namun penelitian yang khusus membahas mengenai kerjasama ekonomi China dengan negara anggota Greater Mekong Sub-region (GMS) masih kurang dkembangkan. Dari beberapa penelitian yang penulis temukan sebagian besar membahas mengenai kerja sama China dengan negara anggota GMS dari segi peningkatan hubungan bilateral dan implementasi kebijakan good neighbor policy secara umum di kawasan Asia Tenggara, tetapi penelitian yang secara spesifik membahas tentang implementasi kebijakan Friendship and Partnership with Neighbor Country dan China‟s peaceful development dan menganalisis melalui kacamata geopolik kebijakan Ekonomi China di GMS dalam pemberian bantuan pembangunan infrastruktur dan pembangunan koridor ekonomi di masa pemerintahan Presiden Hu Jintao masih kurang dikembangkan. Berikut ini beberapa tulisan yang membahas tema yang serupa dengan yang akan penulis bahas yang kemudian dikategorikan dalam tiga isu berbeda yakni arah kebijakan politik luar negeri China, arti penting Greater Mekong Sub-region (GMS), dan tujuan bergabungnya China dalam kerjasama dengan negara-negara GMS. Tulisan-tulisan tersebut nantinya menjadi rujukan penulis sekaligus menunjukkan perbedaan sudut pandang yang penulis gunakan dalam penelitian ini. 4 Tulisan-tulisan berikut membahas mengenai perubahan arah kebijakan politik luar negeri China yang dimulai pada tahun 1978, dengan tetap memegang kokoh prinsip partai komunis, Deng Xiaoping memulai proses liberalisasi ekonomi yang membawa pengaruh pada bidang industri, teknologi, perdagangan, keuangan, dan militer China. 9 Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Open Door Policy dimana China yang sangat tertutup mulai membuka diri utamanya membuka keran perekonomiannya terhadap dunia internasional. Sejak tahun 1978 pemerintah China melakukan perubahan besar-besaran ke arah liberalisasi dalam hal pembangunan perekonomian dengan tetap memegang teguh komunisme dan sosialisme ala China. Open Door Policy tidak hanya berdampak pada investasi dalam negeri tetapi juga berdampak pada pola-pola interaksi antar Negara. Chien-peng Chung dalam tulisannya menjelaskan bahwa sejak tahun 1978, Gross domestic Product (GDP) China mengalami kenaikan rata-rata 10% pertahun, volume perdagangan luar negeri juga tumbuh sekitar15%, dan China pun menjadi negara kedua terbesar sebagai penerima FDI di dunia setelah Amerika Serikat. Kondisi ini merupakan konsekuensi yang terjadi secara alami dari reformasi ekonomi yang dilakukan dalam bentuk kebijakan open door policy yang dilakukan oleh pemerintah China. Perubahan pola-pola interaksi luar negeri dapat dilihat dengan semakin meningkatnya partisispasi China dalam organisasi multilateral ataupun peningkatan hubungan bilateral dan regional dengan negara ataupun kawasan-kawasan yang ada di sekitarnya. Pemerintah China mengarahkan perhatian utamanya ke kawasan Pasifik dan memberikan prioritas untuk menjalin kerjasama dengan Negara tetangga (Asian neighbors), sebagaimana yang menjadi acuan pemerintah untuk mewujudkan Good Neighbor Policy dengan mengedepankan konsultasi, negosiasi, dan mencari semangat kebersamaan dalam perbedaan. Di kawasan Asia misalnya, China meningkatkan partisipasi dengan bergabung di berbagai forum baik ekonomi maupun politik seperti PEC, ARF, 6PT, SCO, ASEAN + 3 / ASEAN +China dan CPIC Forum. 10 Pemerintah China juga mulai membuka pembicaraan serius untuk membentuk 9 FX. Sutopo, China: Sejarah Singkat, Garasi, Yogyakarta, 2009, p. 116 Chien-peng Chung, China‟s Multilateral Cooperation in Asia and the PacificInstitutionalizing Beijing “Good Neighbor Policy”, Routledge, New York, 2010, p. 5-7 10 5 joint development yang dinamakan Greater Mekong Sub-region dengan negaranegara yang berbatasan langsung dengan China seperti Thailand, Laos, Cambodia, dan Vietnam dalam hal pembagian wilayah air, ekologi, pemeliharaan, pengembangan SDM, pembangunan sarana transportasi, dan mengenai pelarangan perdagangan manusia lintas wilayah. 11 Konsep Open Door Policy yang ditawarkan oleh Deng Xiaoping tersebut menjadi dasar perumusan kebijakankebijakan yang dilakukan oleh pemerintah China baik dalam lingkungan domestik hingga pada pencapaian kepentingan nasional China yang di arahkan dalam hubungan luar negerinya. Penerus kepemimpinan China setelah Deng Xiping yakni Jiang Zemin/Zhu Rongji (1992-2003) dan Hu Jintao/Wen Jiabao (20032008) dan periode keduanya tetap menggunakan visi Deng Xiaoping dalam berinternasionalisasi. 12 Pemikiran Den Xiaoping memang berpengaruh sangat besar dalam pengambilan kebijakan baik pada level domestik maupun level internasional. Marc Lanteigne menjelaskan bahwa pada kepemimpinan Jiang Zemin di tahun 1990, kebijakan politik luar negeri China difokuskan pada pengembangan hubungan ekonomi dan menjalin hubungan yang baik dengan negara periphery serta meningkatkan kontribusi mereka dalam politik internasional. 13 Jiang Zemin mengarahkan kebijakan luar negeri dengan taoguang yanghui /hiding China‟s capabilities and biding it‟s time yang diimplementasikan dengan daguo zhanlue/great power diplomacy, dimulai dengan negara-negara tetangga utamanya dengan negara di kawasan Asia Tenggara, Rusia, dan Asia Timur, meningkatkan kerjasama multilateral melalui organisasi internasional baik dalam hal kerjasama politik maupun ekonomi. 14 Setelah kepemimpinan Jiang Zemin selesai, Hu Jintao kemudian melanjutkan kepemimpinan dengan menekankan arah kebijakan politik luar negeri dengan meningkatkan cross regional diplomacy dengan ekonomi sebagai 11 Chien-peng Chung, p. 21 Sutopo, p. 138. 13 Marc Lanteigne, China‟s Foreign Policy: An Introduction, Routledge, New York, 2009, 12 p. 19 14 Lanteigne, p. 21 6 pilar utamanya.15 Tidak Hanya itu, Presiden Hu Jintao juga menggunakan strategi yang berbasis pada perdamaian dalam membina hubungannya dengan negaranegara lain. Adapun strategi yang dimaksud adalah China‟s Peaceful Development, Harmonius World, dan Good Neighbourhood Diplomacy.16 Dengan tetap berpijak pada doktrin Mao dalam menjalin hubungan antara negara yakni lima prinsip dalam eksistensi perdamaian antara lain menghormati integritas wilayah dan kedaulatan negara lain, menentang agresi, tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri, persamaan dan keuntungan bersama, serta perdamaian yang berdampingan atau eksistensi dari perdamaian itu sendiri.17 Namun kebijakan luar negeri Cina pada masa Presiden Hu Jintao telah ditambah menjadi „four no‟s‟ (sibu), yang mempunyai makna no hegemony, no power politics, no military alliances, dan no arms racing. Pengutamaan keuntungan bersama juga menjadi salah satu fokus kebijakan luar negeri Presiden Hu Jintao, namun konsep kebijakan luar negeri yang dominan pada era tersebut tetap berpijak pada peaceful rise dan harmonious world.18 Penulis kemudian berpendapat bahwa konsep Open Door Policy Deng Xiaoping menjadi awal perubahan arah dan perumusan kebijakan luar negeri China, Konsep-konsep politik luar negeri serta strategi yang digunakan pada masa pemerintahan Hu Jintao/Wen Jiabao utamanya Good Neighbourliness ke dalam konsep politik Friendship and Partnership with Neighbor Country baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun keamanan. Pemerintah China berupaya untuk membangun kerjasama dan memperbaiki hubungan diplomatik dengan Negaranegara tetangganya. Hal ini dimaksudkan sebagai respon dari adanya perubahan lingkungan internasional dan peningkatan perekonomian China. Perubahan iklim politik internasional, menyebabkan pemerintah China yang tertutup mulai membuka diri dengan meningkatkan hubungan kerjasama/interaksi di berbagai 15 Lanteigne, p. 23 The Path of China‟s Peaceful Development: What It Is About, (daring) diakses pada situs <http://www.china.org.cn/government/whitepaper/2011-09/06/content_23362449.htm>, diakses pada tanggal 7 September 2015 17 Marc Lanteigne, China‟s Foreign Policy: An Introduction, Routledge, New York, 2009, p. 11 18 Lanteigne, p. 12 16 7 bidang. Artinya Politik Luar negeri China sejak 1978 berbasis pada Open Door Policy namun seiring dengan adanya perubahan iklim politik menyebabkan China membahasakan kebijakan mereka sesuai dengan kondisi yang ada saat itu. Polapola interaksi juga semakin meningkat mengarah pada kerjasama regional dan Greater Mekong Sub-region menjadi salah satu implementasi kebijakan tersebut. Selanjutnya arti penting GMS bagi pemerintah China dijelaskan oleh Zhu Zhenming dalam laporan Mekong Development and China‟s (Yunnan) Participation in the Greater Mekong sub-region cooperation yang dikeluarkan oleh Institute of Southeast Asian Studies, Ritsumeikan University tahun 2010 menjelaskan: ”The rich natural and human resourses of the Mekong have made it a new frontier of Asian economic growth, Indeed, the Mekong sub-region has the potential to be one of the world‟s fastest growing areas. However, the subregion remains poor. The great majority of the people live in rural area where they lead subsistence or semi subsistence agricultural life style.” 19 Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Zhu Zhenming, dalam Country Report on China Participation in Greater Mekong Subregion Cooperation dijelaskan bahwa: “As a land bridge connecting China with Southeast Asia and South Asia, the Greater Mekong Sub-region (hereafter also referred to as "GMS") is highly important geographically. It covers a whole area of 2.5686 million square kilometers, with a total population of approximately 320 million. Abundant with natural resources, it has a huge market, a long history and colorful ethnic cultures. Rich in water, biological and mineral resources, the Grater Mekong Sub-region has great economic potential and development prospects.”20 Penjelasan Zhu Zhenming sejalan dengan laporan partisipasi China di GMS bahwa selain sebagai kawasan yang menghubungkan China dengan Asia Tenggara dan Asia Selatan, GMS memiliki kekayaan SDA di wilayah aliran 19 Zhu Zhenming, „Mekong Development and China‟s (Yunnan) Participation in the Greater Mekong Sub-region Cooperation‟. Ritsumeikan International Affairs Vol, 8, 2010, p. 2. 20 National Development and Reform Comission of the People‟s Republic of China. Country Report on China Participation in Greater Mekong Subregion Cooperation, Beijing, 2008, p. 1 (daring) < http://en.ndrc.gov.cn/newsrelease/200804/t20080430_208063.html> diakses tanggal 12 Mei 2015 8 sungai Mekong menjadikan wilayah ini berpotensi untuk Maju di Asia. Sehingga pola-pola kerjasama yang dijalin antara China dengan negara anggota GMS mengakibatkan wilayah ini berpotensi untuk menjadi wilayah dengan pertumbuhan tercepat di dunia. China melihat GMS sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam yang dapat menopang bahan industri China sekaligus sebagai pasar bagi barangbarang hasil industri China. Adanya kesamaan aktivitas keseharian masyarakat perbatasan dengan provinsi terluar China (Yunnan) menjadi pintu bagi ekspansi pasar China ke wilayah Asia Tenggara. Selain itu, Zona ekonomi GMS dapat dijadikan sebagai gerbang yang akan membawa kemakmuran ekonomi yang lebih besar untuk provinsi di bagian Selatan dan Barat China (misalnya Yunnan, Guangxi dan Sichuan). Isu yang ketiga mengenai tujuan bergabungnya China dalam kerjasama dengan negara-negara GMS dijelaskan oleh Tereshita Cruz-del Rosaria dalam Lessons in Regional Economic Cooperation: The Case of the Greater Mekong Subregion (GMS) yang dikeluarkan oleh Lee Kuan Yew School of Public Policy dijelaskan bahwa keterlibatan China dalam GMS diinisiasi oleh ADB, kondisi politik internasional pada saat ini memberikan dampak positif bagi China utamanya dalam pengimplementasian open door policy. Jatuhnya Uni Soviet pada tahun 1989 ternyata membawa perubahan yang sangat besar bagi dinamika negara-negara di kawasan ini utamanya Vietnam dan Laos. Kedua negara yang berkiblat kepada komunisme Uni Soviet mengalami penurunan kekuatan ekonomi. Bahkan Laos berupaya untuk mengadopsi New Economic Mechanism (NEM) berdasarkan pada new thinking misalnya dengan adanya perubahanperubahan mendasar pada pembuatan atau pengambilan keputusan, pengaturan sistem finansial, dan mempromosikan perdagangan internasional dan investasi asing. 21 Cambodia yang berkiblat ke Komunisme China juga telah mampu menyelesaikan konflik internal negaranya melalui bantuan United Nations 21 Lee Kuan Yew School of Public Policy. Lessons in Regional Economic Cooperation: The Case of the Greater Mekong Subregion (GMS). Maret 2010. p. 3 9 Trantisional Authority (UNTAC) Supreme National Council (SNC) yang membantu dilaksanakannya pemilihan umum dan mengakhiri perebutan kekuatan politik di Cambodia dan membangun Cambodia yang baru dengan perubahan yang signifikan di bidang ekonomi. 22 Adanya perubahan yang terjadi di negara- negara Indochina tersebut membuat Asian Development Bank berinisiatif untuk membantu perbaikan perekonomian bagi negara-negara Indochina tersebut. Asian Development Bank membuka kesempatan bagi negara-negara tersebut dengan menyediakan program Asian Development Bank for regional cooperation.23 Dimulai dengan proyek hidropower antara Laos dan Thailand hingga pada pembenahan perekonomian Vietnam melalui ADB‟s Interim Operation Strategy (IOS). Pada saat yang sama China juga menggunakan jasa ADB untuk membantu pembangunan ekonomi yang dilakukan melalui kebijakan Open Door. China telah menjadi anggota ADB sejak tahun 1986, pada tahun 1987 China melakukan pinjaman pertamanya sebesar USD 188 juta dan menambahnya menjadi USD 282 juta pada tahun berikutnya. Pada tahun 1993, China menjadi peminjam ADB ketiga terbesar bersama India dan Indonesia, dengan 30 proyek yang disetujui dan total pinjaman sebesar USD 3 miliar.24 Dimulai dengan pemanfaat Sungai Mekong secara bersama-sama, pemerintah China membuka kesempatan bagi provinsi Yunnan yang merupakan provinsi terluarnya untuk melanjutkan kerjasama ekonomi sejak dahulu memiliki tradisi perdagangan dengan negara tetangga namun masih dalam kerangka yang terbatas karena kebijakan China yang tertutup. Kelima negara (tidak termasuk Myanmar) yakni China, Thailand, Vietnam, Laos, dan Cambodia pun menjadi peminjam aktif pada Asian development Bank. Pada tahun 1992 ADB kemudian menginisiasikan agar dibuat suatu kerjasama sub-regional bagi negara-negara tersebut yang secara formal dimulai dengan pertemuan di Manila yang dihadiri oleh perwakilan enam negara termasuk 22 Lee Kuan Yew School of Public Policy, p. 3 Lee Kuan Yew School of Public Policy, p. 4 24 Lee Kuan Yew School of Public Policy, p. 4 23 10 Myanmar.25 Lebih jauh lagi Tereshita Cruz-del Rosaria dalam bahan ajar yang dikeluarkan oleh Lee Kuan Yew School of Public Policy bahwa jauh sebelum ide tentang sub-region muncul, negara-negara yang merupakan anggota dari subregion ini merupakan negara yang berkonflik. Negara-negara tersebut beranggapan bahwa Sungai Mekong yang menjadi batas negara tidak hanya menjadi batas pada urusan administratif dan politik tetapi lebih penting pada pembatasan ideologi.26 Secara geografi, negara-negara yang tergabung dalam Greater Mekong Subregion memiliki arti politik yang sangat besar bagi China, Kavi Chongkittavorn dalam tulisannya The Greater Mekong Sub region: Working Together With ASEAN menjelaskan bahwa: During the cold war period, the mekong river was formally fererred to as dividing line between the communist and the non-communist in the continental Southeast Asia 27 yang berarti bahwa selama Perang Dingin Sungai Mekong secara resmi menjadi batas antara komunis dan non-komunis di daratan Asia Tenggara. Keterlibatan China di GMS sebagaimana dijelaskan di atas kemudian lebih memperlihatkan aspek politik, dimana China melalui kebijakan open door-nya memanfaatkan momentum runtuhnya Uni Soviet dan memanfatkan institusi yang ada sebagai bentuk implementasi politik luar negeri yang terbuka untuk menjalin kerjasama. Perubahan kondisi politik pasca perang dingin menjadi peluang bagi China untuk menetralisir keadaan dan memastikan dapat masuk di wilayah tersebut melalui kerjasama ekonomi. Ada tiga tujuan utama partisipasi China melalui Provinsi Yunnan dalam Greater Mekong Sub-region cooperation yaitu: 1. Partisipasi China dalam GMS cooperation adalah komponen penting dari opening up strategi. Dimana pemerintah China mulai mengimplementasikan konsep politik luar negeri yang baru yakni 25 Lee Kuan Yew School of Public Policy, p. 8 Lee Kuan Yew School of Public Policy, p. 2-3 27 Kavi Chongkittavorn dalam Kao Kim Haurn & Jeffrey A. Kaplan.The Greater Mekong Sub-region and ASEAN: From Backwater to Headwater. Phnompenh: Cambodian Institutefor cooperation and Peace. 2000. p. 26 26 11 Friendship and Partnership with Neigbouring Countries. Sesuai dengan konsep politik luar negeri ini, partisipasi china dalam GMS dimaksudkan untuk menjalin hubungan yang saling menguntungkan serta menciptakan lingkungan baru bagi reformasi China menuju negara modern. 2. Untuk membangun jalur transportasi yang menghubungkan bagian Barat daya China dengan Asia Tenggara, yang dapat memfasilitasi perpindahan orang maupun barang antara negara serta sebagai pembentukan integrasi ekonomi di sub-region. 3. Membuat wilayah Barat daya China yang belum berkembangan dengan negara anggota GMS lainnya mengalami pertumbuhan ekonomi dan sosial, serta merealisasikan kerjasama yang memberikan keuntungan bersama melalui GMS cooperation. 28 Hampir sama dengan apa yang dijelaskan oleh penelitian sebelumnya bahwa kerjasama ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah China dengan negara di GMS merupakan bentuk implementasi dari konsep politik luar negeri yang diterjemahkan ke dalam strategi Friendship and Partnership with Neigbouring Countries, besarnya potensi alam serta kedekatan geografis menyebabkan China melalui Yunan dapat dihubungkan melalui darat dan dapat memfasilitasi perpindahan orang maupun barang antara negara dan membantu pembentukan integrasi ekonomi di sub-region. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Zhu Zhenming mengenai tujuan integrasi Yunan di GMS untuk sebagai upaya reformasi menuju negara modern, Xianming Chen mendefinisikan kebijakan China di kawasan GMS sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan proses kebangkitan China. GMS menjadi langkah awal China untuk berintegrasi dengan Asia Tenggara yang merupakan komponen penting yang dapat menunjang kebangkitan China secara global. Xianming menegaskan bahwa kebijakan pembangunan proyek infrastruktur di GMS dimaksudkan untuk: 28 Zhenming, p. 6. 12 1. To facilitate and scale up trade along and beyond China‟s combined long border with Myanmar, Laos, and Vietnam, China has been extending its tentacles of transport. 2. To secure the rich natural resources in the region. It has stirred controversy in generating more hydropower by building a number of dams on the Lancang River in Yunnan, which forms the upper reaches of the mekong river29 Pembangunan infrastruktur di GMS dalam perspektif Xianming Chen selain untuk memfasilitasi dan meningkatkan perdagangan juga merupakan upaya China untuk mengamankan sektor-sektor produksi utamanya sumberdaya alam di sepanjang Sungai Mekong dengan maksud untuk menopang proses kebangkitan ekonomi dalam negeri. Ini merupakan strategi yang digunakan China untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya. Liu Jinxin seorang analis kebijakan dan logistik China dikutip dalam tulisan Brian Eyler yang berjudul China Needs to Change Its Energy strategy in Greater Mekong Region berpendapat bahwa: “Unlike the US which leads the world in finance and IT, both high-value service-oriented industries, China is the world‟s factory, producing goods to drive the growth of its growing middle class and serving export markets around the world. To survive, the Chinese „factory‟ needs inputs like energy and raw materials.”30 Apa yang dikemukakan oleh Liu Jinxin menjelaskan bahwa strategi kerjasama ekonomi China dengan keempat negara anggota GMS merupakan strategi yang disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan China saat ini. Kebangkitan ekonomi China yang ditopang oleh industri jelas membutuhkan bahan baku, hal ini kemudian semakin menegaskan bahwa Integrasi China melalui Yunan di GMS dimaksudkan untuk menjaga ketersediaan kebutuhan bahan baku dan energi. 29 Xiangmin Chen & Curtis Stone, China and Southest Asia: Unbalanced Development in Greater Mekong Sub-region, 2013, p. 7-9 (daring) <http://digitalrepository.trincoll.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1084&context=facpub> diakses tanggal 13 Juni 2016. 30 Brian Eyler, China Needs to Change Its Energy strategy in Greater Mekong Region, 2013, dipublikasikan tanggal 16 Juli 2013 (daring) < https://www.chinadialogue.net/article/show/single/en/6208-China-needs-to-change-its-energystrategy-in-the-Mekong-region> diakses tanggal 13 Juni 2016. 13 Beberapa penelitian di atas menjelaskan tentang implementasi politik luar negeri China yang membuka diri dan menerapkan pada peningkatan kerjasama di berbagai kawasan ataupun regional. Greater Mekong Sub-region kemudian menjadi salah satu sub-regional yang menjadi sasaran kerjasama China di kawasan Asia Tenggara. Penelitian tersebut sebagian besar mendeskripsikan teknis kerjasama dan analisis dari segi pemenuhan kepentingan nasional secara politis dalam hal ini melalui peningkatan kerjasama dengan negara di GMS, berbeda dengan tesis ini, penulis akan memberikan analisis dari perpektif geopolitik mengapa China kemudian memberikan perhatian yang sangat besar terhadap Greater Mekong Sub-region utamanya dalam bantuan pembangunan infrastruktur dan koridor ekonomi sebagai bentuk implementasi konsep politik luar negeri Friendship and Partnership with NeigbouringCountries. Analisis geopolitik ini akan menjelaskan apa yang China dapatkan melalui kerangka kerjasama Greater Mekong Sub-region Economic Cooperation. Dimana aspekaspek ini akan menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan luar negeri China. Hal ini sesuai dengan konsep kebijakan luar negeri James N. Rosnau bahwa kebijakan luar negeri merupakan upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya. 31 D. Kerangka Konseptual Sebagaimana telah dijelaskan pada batasan masalah, penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis kebijakan ekonomi China di Greater Mekong Sub-Region (GMS) berupa pemberian bantuan pembangunan infrastruktur dan koridor ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Hu Jintao (2003-2013). Untuk memahami pola interaksi dan faktor-faktor yang kemudian menjadi titik fokus penelitian ini, penulis kemudian menggunakan konsep geopolitik Friedrich Ractzel tentang ruang hidup (spasial) dan konsep politik luar negeri yang dirumuskan oleh James N Rosenau. 31 James N. Rosenau dikutip oleh Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, p.45. 14 3. Konsep Geopolitik Negara berinteraksi menurut dimensi waktu dan ruang yang dibentuk dan dipengaruhi oleh faktor-faktor nyata seperti geografi, dan faktor-faktor yang tidak nyata seperti citra tentang pengalaman masa lalu. 32 Kondisi geografis cenderung makin mengikat kepentingan negara-negara dalam wilayah geografis tersebut dan akhirnya menciptakan kondisi-kondisi yang mengakibatkan situasi tawarmenawar.33 Geopolitik adalah studi tentang pengaruh faktor geografis pada perilaku negara atau studi yang mempelajari relasi antara kehidupan dan aktivitas politik dengan kondisi-kondisi alam dari suatu negara, John Agnew mendefinisikan geopolitik secara sederhana yakni the study of how politics is informed by geography.34 Geopolitik secara langsung memperlihatkan keterikatan (intersection) antara politik dan geografi yang jika digambarkan sebagai berikut: Gambar 1 Geografi Politik Sebagai Interaksi dari Politik dan Geografi Sumber: Martin Jones, Rhys Jones and Michael Woods, An introduction to Political Geography: Space, place, and politispace, Routledge, New York, 2004, p. 3 Keterikatan yang terjadi antara Politik dan geografi dapat dilihat pada dua konfigurasi segitiga pada gambar di atas. Segitiga yang pertama adalah power, 32 William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis, Sinar Baru, Bandung, 2003, p. 225. 33 Coplin, p. 401. 34 John Agenew dikutip oleh Martin Jones, Rhys Jones and Michael Woods, An introduction to Political Geography: Space, place, and politispace, Routledge, New York, 2004, p. 2 15 politik, dan kebijakan, dimana power kemudian menjadi subtansi utama dari kedua pilar yakni politik dan kebijakan. Politik merupakan proses menyeluruh dari upaya untuk mencapai (achieving), mempertahankan (exercising), dan menentang/melawan (resisting) power. Sedangkan kebijakan merupakan outcome yang digunakan untuk mendapatkan power melalui proses politik. Interaksi dari ketiganya merupakan proses pada ranah politik, sedangkan geografi politik merupakan interaksi dari ketiga entitas tersebut dengan konfigurasi segitiga kedua yang terdiri atas space, place dan teritori. 35 Apa yang dijelaskan oleh Martin Jones tersebut sejalan dengan penjelasan Ratzel mengenai hubungan antara politik dan geografi. Frederich Ratzel mengenalkan istilah ilmu bumi politik (political geography), Ratzel berpendapat bahwa faktor alam berpengaruh dan memegang peranan penting dalam menentukan state and political power. Menurut Ratzel kekuatan negara banyak ditentukan oleh faktor geografis (letak, luas, bentuk, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan hubungan internalnya). Faktor geografis ini kemudian menjadi indikator tumbuh dan berkembangnya kekuatan suatu negara. Ratzel berpendapat bahwa negara dapat disamakan dengan organisme (makhluk hidup) yakni mengalami fase kehidupan ia dilahirkan, dan tumbuh, menjadi negara muda, remaja, dewasa, tua dan akhirnya akan mati. Dalam hal ini negara merupakan organic state yang mengalami perkembangan seperti makhluk hidup yang tergantung pada faktor-faktor geografisnya. Setiap makhluk hidup membutuhkan ruang hidup dan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dibutuhkan perjuangan untuk mendapatkan dan memperluas ruang hidupnya. 36 Inilah yang kemudian dikenal dengan teori ruang Ratzel. Apa yang dikemukakan oleh Ratzel dalam teori ruangnya menjelaskan bagaimana negara sebagai entitas politik mampu mewadahi pertumbuhannya, ruang dan ketersediaan potensi geografi akan berbanding lurus, semakin luas ruang yang dimiliki oleh suatu negara makan semakin besar potensi negara untuk tumbuh. Dan ketika ruang yang dimiliki oleh suatu negara tidak lagi 35 36 Jones, P. 2-3 Sri Hayati dan Ahmad Yani, Geografi Politik. PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, p. 10. 16 memungkinkan maka kecenderungan negera untuk mengubah batas-batasnya akan muncul, baik secara damai ataupun melalui perang. Lebih jauh lagi dalam tulisan yang berjudul Theorizing Socio-spatial Relations dalam jurnal Environment and Planning D : Society and Space dijelakan bahwa konsep geopolitik saat ini lebih mengarah pada spasial atau penambahan ruang dimana masyarakat atau negara sebagai entitas politik ataupun ekonomi mengalami perubahan perilaku dalam upaya pencapaian kepentingannya yang ditandai dengan bentuk-bentuk kerjasama maupun interkonektivitas yang semakin meningkat antara satu dengan yang lainnya yang memberikan ruang jangkauan yang lebih luas tanpa harus menggeser batas negara (material) melalui penaklukan seperti pada jaman perang. 37 Kondisi yang secara teoritis dijelaskan oleh Ratzel sangat jelas tergambar pada pola-pola perkembangan China. Wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar serta ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat mengakibatkan China akan memiliki kecenderungan untuk melakukan ekspansi ruang. Ekspansi ruang yang dilakukan tidak lepas dengan strategi „four no‟s‟ (sibu), yakni no hegemony, no power politics, no military alliances, dan no arms racing dengan berpijak pada peaceful rise dan harmonious world. Faktor ekonomi kemudian menjadi instrument interaksi luar negeri China untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Dengan kata lain kondisi internal menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun konsep strategi nasional (geostrategis) sebagai suatu realisasi dari suatu kebijakan suatu bangsa. Dalam konteks kerjasama ekonomi China dengan negara anggota GMS kondisi inilah yang kemudian disandingkan dengan kondisi eksternal yang kemudian dipersepsikan oleh para pembuat keputusan dalam suatu proses konversi menjadi output. Proses konversi 37 Merupakan tulisan dari Bob Jessop, Neil Brenner, dan Martin Jones dalam jurnal environment and planning D: Society and space vol 26 p. 389-406 dijelaskan sehubungan dengan materi yang dibawakan oleh Prof. Kristian penggiat Geopolitik dari Universitas Oslo Australia dalam diskusi rutin IIS di Universitas Gadjah Mada. Dalam diskusi tersebut dijelaskan mengenai perubahan ranah geografi politik dilihat dari perspektif Post Modernis dimana geopolitik tidak lagi hanya membahas mengenai batas-batas wilayah tetapi lebih pada bagaimana jangkauan yang dimiliki oleh suatu negara yang kemudian lebih dikenal dengan istilah space dalam upaya pencapaian kepentingan. Konsep Space kemudian secara struktur akan mengarah pada interconectivity, interdependence, transversal or „rhixomatic‟ differentiation dimana bentuk-bentuk asosiasinya dapat dilihat berupa Building network of nodal connectivity; differentiation of social realtions among nodal points within topological networks. 17 yang terjadi dalam perumusan politik luar negeri suatu negara ini mengacu pada pemaknaan situasi, baik yang berlangsung dalam lingkungan eksternal maupun internal dengan mempertimbangkan tujuan yang ingin dicapai serta sarana dan kapabilitas yang dimilikinya. Secara teoritis inilah yang akan membantu penulis dalam melihat pola-pola yang digunakan oleh China dalam menjalin hubungan dengan negara-negara di Greater Mekong Sub-region. Dengan power ekonominya, China menjalin kerjasama dengan memanfaatkan kebutuhan negara-negara di kawasan Greater Mekong akan perubahan tingkat ekonomi melalui kerjasama perdagangan dan bantuan ekonomi di bidang investasi. Upaya kerjasama ekonomi yang dilakukan oleh China jelas merupakan kebijakan yang diambil setelah memetakan kondisi eksternal yang bermanfaat bagi kepentingan nasional China. 2. Politik Luar Negeri Terjadinya Hubungan Internasional merupakan suatu keharusan yang timbul akibat adanya saling ketergantungan serta kompleksitas kehidupan manusia dalam masyarakat internasional. Ketergantungan inilah yang tidak memungkinkan suatu negara menutup diri terhadap dunia luar. Demikian pula dengan hubungan China dan negara-negara Greater Mekong Sub-region (GMS), kerjasama ekonomi yang terjadi merupakan salah satu bentuk saling ketergantungan atas kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing negara. Kerja sama ekonomi sekaligus menjadi alat negara bagi kedua negara untuk mencapai kepentingan nasional yang kemudiaan diterjemahkan dari politik luar negeri. Politik luar negeri pada dasarnya merupakan “action theory” atau kebijakasanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu.38 Menurut Henry Kissinger, seorang akademisi sekaligus praktisi politik luar negeri Amerika Serikat, “foreign policy begins when domestic policy ends”.39 Dengan kata lain politik luar negeri berada antara aspek dalam negeri suatu negara (domestik) dan aspek internasional (eksternal). Artinya dalam 38 Anak Agung Banyu Perwita and Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, p.47. 39 Perwita, p. 47. 18 merumuskan politik luar negerinya, suatu negara haruslah memperhatikan aspekaspek domestik yakni unsur-unsur pembangun kekuatan nasionalnya serta aspek eksternal yakni bagimana suatu negara memaknai kondisi internasional. Pendapat yang sejalan dengan pemikiran Frankel bahwa: “Politik luar negeri suatu negara merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar negeri yang tidak terpisah dan keseluruhan tujuan-tujuan nasional dan tetap merupakan komponen atau unsur dari kondisi dalam negeri”40 Lebih jauh lagi Soesiswo Soenarko berpendapat bahwa: “Politik luar negeri suatu negara terdiri dari dua elemen utama yaitu tujuan nasional yang akan dicapai dan instrument yang dimiliki oleh suatu negara untuk mencapainya. Tujuan nasional yang ingin dicapai oleh suatu negara dapatdilihat dari kepentingan nasional yang dirumuskan elit suatu negara, sedangkan instrument untuk mencapai tujuan tersebut tergambar dari strategi diplomasi yang merupakan implementasi dari kebijakan politik luar negeri yang telah dirumuskan.”41 Sebagaimana penjelasan Soesiswo di atas, tujuan yang ingin dicapai haruslah tergambar dalam bentuk nyata yang sekaligus merupakan implementasi dari politik luar negeri yang disusun sebelumnya. Langkah-langkah nyata itu biasanya berupa kebijakan luar negeri yang diterapkan suatu negara terhadap negara lain. Menurut James N. Rosenau, kebijakan luar negeri yaitu upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya.42 Kebijakan luar negeri menurutnya ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu bangsa.43 Rosenau menyatakan bahwa politik luar negeri pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme untuk negara-bangsa beradaptasi terhadap perubahan-perubahan di lingkungannya. Ada empat kemungkinan pola adaptasi politik luar negeri yang diperkenalkan oleh Rosenau sebagai respon atas 40 J. Frankel.Hubungan Internasional. Jakarta: ANS Sungguh Bersaudara. 1990. Zainuddin Djafar. Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.1996. p.97 42 James N. Rosenau dikutip oleh Anak Agung Banyu Perwita and Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, p.45. 43 Perwita, p. 45. 41 19 hambatan-hambatan dari lingkungan internal dan eksternal yang dihadapi oleh para pembuat keputusan yaitu: Preservative adaptation (responsive to both external and internal demands and changes), acquiescent adaptation (responsive to external demands and changes), intransigent adaptation (responsive to internal demands and changes), promotive adaptation (unresponsive to both external and internal demands and changes.44 Masing-masing pola adaptasi ini tentunya memiliki implikasi yang berbeda bagi perubahan dan kesinambungan politik luar negeri. Dalam konsteks hubungan China dan negara-negara Greater Mekong Subregion, China memaknai kondisi eksternal utamanya kawasan Asia Tenggara dengan mengubah politik luar negeri tertutupnya menjadi politik pintu terbuka dengan fokus pada konsep “Friendship and Partnership with Neighbor Country”. Konsep politik luar negeri ini menjadi landasan China untuk melakukan kebijakan ekonomi sebagai langkah nyata politik luar negerinya yakni membuka keran kerjasama ekonomi dengan negara GMS yang sekaligus merupakan negara di kawasan Asia Tenggara untuk pencapaian kepentingan nasionalnya. E. Argumen Utama Dengan menggunakan teori geopolitik ruang penulis kemudian melihat bahwa China merupakan negara yang memiliki wilayah sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar serta ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi serta bertambahnya jumlah penduduk setiap tahunnya mengakibatkan negara ini memiliki kecenderungan untuk melakukan ekspansi ruang. Ekspansi ruang yang dilakukan melalui soft power yakni dengan membuat kebijakan politik luar negeri yang merupakan respon atas kondisi geografi internal/dalam negeri China dengan kondisi eksternal yang dapat dijangkau oleh pemerintah China melalui kebijakan politiknya. Dalam hal ini, pemerintah China kemudian meningkatkan lagi intensitas hubungan dengan negara-negara Greater Mekong Sub-region ditahun 2005 yang sebelumnya telah memiliki kerangka kerjasama dengan negara-negara anggota GMS yakni GMS 44 James N Rosenau dalam Anak Agung Banyu Perwita and Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, p.68. 20 cooperation sejak tahun 1992. Kebijakan pemerintah China dalam menjalin hubungan kerjasama dengan Negara anggota Greater Mekong Sub-region merupakan bentuk manifestasi dalam politik luar negeri Friendship and Partnership with Neighbor Country yakni politik luar negeri yang diimplementasikan untuk merangkul negara-negara yang secara geografis dekat atau berbatasan langsung dengan territorial China dan menggunakan faktor ekonomi sebagai instrument interaksi luar negerinya. Bagi pemerintah China, menjalin hubungan kerjasama dengan negara anggota GMS yakni Cambodia, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Thailand memberikan banyak keuntungan bagi pencapaian kepentingan ekonominya. Bantuan dalam bidang perdagangan dan pembangunan infrastruktur fisik dalam mewujudkan koridor ekonomi sangat berperan pemerintah China dalam melakukan ekspansi ruang dalam mobilisasi barang dan jasa di kawasan tersebut secara khusus dan Asia Tenggara secara umum. F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Adapun tipe penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif analitis yakni menggambarkan, mendeskripsikan atau menjelaskan tentang kebijakan ekonomi seperti apa yang diterapkan China di Greater Mekong Sub-region kemudian menganalisis mengapa kebijakan itu diimplementasikan dengan menggunakan kacamata geopolitik hingga melihat motif strategis China di balik penerapan kebijakan ekonomi tersebut secara khusus di kawasan GMS dan secara umum di kawasan Asia Tenggara. 2. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan data-data yang diperoleh dan dikumpulkan melalui lembaga yang berkaitan dengan masalah yang diteliti baik melakukan studi pustaka di lembaga tersebut maupun melalui wawancara dengan sumber data terkait. Dalam studi pustaka (Library Reseach) tersebut penulis mengumpulkan materi yang berkaitan dengan judul penelitian ini yang berupa buku-buku, dokumen-dokumen, surat kabar, jurnal ilmiah, majalah dan situs 21 internet. Sedangkan dalam wawancara penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan kepada pihak yang terkait dengan masalah yang penulis teliti baik pertanyaaan yang diajukan melalui wawancara langsung maupun korespondensi melalui email atau media lainnya. Adapun tempat-tempat yang menyediakan berbagai sumber yang penulis maksud di atas yaitu: 1. Kajian Kawasan Asia Pasifik Afrika di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 2. Perpustakaan Ali Alatas Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia 3. Kedutaan Besar Republik Rakyat China Bagian Ekonomi dan Politik di Jakarta 4. Perpustakaan Fisipol UGM 5. Perpustakaan IIS Fisipol UGM45 3. Jenis dan Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer merupakan data utama yang penulis peroleh dari hasil penelitian di berbagai tempat yang telah disebutkan sebelumnya yakni dengan pengumpulan data, dokumen, dan laporan-laporan penelitian yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga terkait dengan penelitian ini seperti yang dikeluarkan oleh Pemerintah China melalui website resminya, laporan hasil penelitian Kajian Kawasan Asia-Afrika di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengenai Greater Mekong Sub-region (GMS), dan korespondensi dengan Bagian Ekonomi dan Politik Kedutaan Besar Republik Rakyat China untuk Indonesia di Jakarta. Sedangkan data sekunder yang merupakan data pendukung dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan beberapa narasumber yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang penulis teliti. 4. Teknik Analisis Data Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan data-data baik data primer dan data sekunder yang diperoleh dan menganalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif dengan menggunakan kerangka teori yang 45 Jadwal penelitian dan korespondensi terlampir 22 sebelumnya telah dipilih oleh penulis sebagai pisau analisis dalam memberikan gambaran secara jelas kondisi dan interkonektifitas yang terjadi antara China dengan negara di kawasan GMS. Berdasarkan hasil analisis tersebut, penulis selanjutnya memberikan analisis secara geopolitik mengenai dampak kebijakan ekonomi China yang diterapkan di negara-negara Greater Mekong Sub-region (GMS) bagi kepentingan nasional China. G. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan terbagi menjadi empat Bab. Setelah Bab Pendahuluan, Bab II berisi gambaran umum mengenai kebijakan ekonomi China di Greater Mekong Sub-region (GMS), dalam bab ini akan dijelaskan mengenai politik luar negeri China pada masa pemerintahan Presiden Hu Jintao (2003-2008), kerangka kerja sama China dengan negara GMS utamanya pada implementasi bantuan pembangunan infrastruktur dan koridor ekonomi di GMS. Bab III merupakan analis kasus, pada bab ini penulis akan menganalis faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengambilan kebijakan bantuan pembangunan infrastruktur dan koridor ekonomi di GMS pada masa pemerintahan Presiden Hu Jintao (2003-2008) dengan menggunakan teori pengambilan keputusan model adaptif, termasuk didalamnya faktor ekonomi sebagai instrument hubungan luar negeri China dengan negara GMS. Di sini penulis akan menjelaskan alasan China menjalin kerjasama dengan negara GMS melalui perspektif geopolitik. Terakhir, tesis ini akan ditutup dengan Bab IV yang berisikan kesimpulan, berupa ringkasan hasil analisis geopolitik kebijakan ekonomi China dalam bantuan pembangunan infrastruktur dan koridor ekonomi di GMS dimana ekspansi ruang yang dilakukan pemerintah China merupakan respon atas kondisi geografi internal/dalam negeri China dengan kondisi eksternal yang dapat dijangkau oleh pemerintah China melalui kebijakan politiknya dengan meningkatkan intensitas hubungan dengan negara-negara Greater Mekong Sub-region. Bantuan dalam bidang perdagangan dan pembangunan infrastruktur fisik dalam mewujudkan koridor ekonomi sangat berperan pemerintah China dalam melakukan ekspansi ruang dalam mobilisasi barang dan jasa di kawasan tersebut secara khusus dan Asia Tenggara secara 23 umum. Selain itu, bagian ini juga berisi rekomendasi yang bisa diambil dari pembahasan isu yang diteliti dalam konteks yang lebih luas. 24