ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH PELAJAR SEKOLAH (Putusan Nomor : 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk) (Jurnal) Oleh FEISAL RAMADHAN 11121011121 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG 2016 ABSTRAK ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH PELAJAR SEKOLAH (Putusan Nomor: 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk) Oleh Feisal Ramadhan, Tri Andrisman, S.H., M.Hum., Budi Rizki Husin, S.H., M.H. (Email : [email protected]) Pelajar sekolah merupakan generasi penerus bangsa, yang memerlukan bimbingan, apabila pelajar tidak dapat dibimbing maka akan terjadi sebuah pergolakan pada diri pelajar yaitu kenakalan remaja, kenakalan yang dapat di tolelir berubah menjadi tindakan kriminal, yaitu tindak pidana pembunuhan. Adapun dari latar belakang tersebut memiliki rumusan masalah : 1). Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelajar sekolah yang melakukan tindak pidana pembunuhan? 2). Apakah putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan terhadap pelajar sekolah sudah sesuai dan memiliki rasa keadilan? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridisempiris dan yuridis normatif, sedangkan responden yang digunakan terdiri dari hakim pengadilan negeri tanjung karang, dan akademisi fakultas hukum unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data yang digunakan secara kualitatif. Dasar Pertimbangan Hakim dalam penjatuhan pidana kepada anak, hakim hanya melihat atau memandang perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh anak. Serta hakim hanya menjalankan kewajibannya berdasarkan UU yang telah ditetapkan dan yang menurutnya adil bagi masyarakat dan korban.Namun disisi lain hakim tidak memikirkan dampak negatif apa yang akan terjadi dari hukuman pidana 10 (sepuluh) tahun penjara yang telah diberikan kepada anak.hakim dalam menjatuhkan cenderung menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis. Sedangkan pertimbangan non yuridis tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan no 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk yang didasarkan pada sosiologis, psikologis, kriminologis, dan filosofis anak tersebut tidak digunakan. Saran dalam penelitian ini: 1). Hakim harus memperhatikan dan mempertimbangkan kembali dalam memberikan hukuman 10 tahun penjara yang dapat mengakibatkan turunnya mental anak dikarenakan anak masih tergolong dibawah umur. 2). Hakim masih harus melihat kembali dampak yang akan terjadi pada anak karena hukuman 10 tahun penjara. Kata Kunci : Putusan Hakim, Pembunuhan, Pelajar. ABSTRACT JURIDICAL ANALYSIS ON VERDICT OF MURDER COMMITTED BY STUDENTS (Decision No. 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk) By Feisal Ramadhan, Tri Andrisman, S.H., M.Hum., Budi Rizki Husin, S.H., M.H. (Email : [email protected]) School students are the future generation who still need guidance; if they are failed to be guided, there will be an upheaval in their inner selves, that is delinquency, which may turn into a criminal act, like murder. The background of problems above are formulated as follows: 1). What is the basic consideration of the judge in imposing punishment on students committed murder? 2). Is the judge's ruling in criminal act of murder committed by students already appropriate and fair? This study used empirical and normative approaches, while the respondents consisted of a Judge of Tanjung Karang District Court and an academician of Law Faculty of Lampung University. The data collection were gathered through library research and field study and the data analysis were done qualitatively. The rationale judgment of the judges in imposing punishment to the juvenile was merely based on the action of crime committed by the students. The judges only perform their obligations under the Act that has been established and which they assume the verdict was fair for the society and the family victim. However, the judges failed to assume the negative impact of criminal penalties of 10 (ten) years of imprisonment sentenced to the students. It was clear that the judges tend to apply juridical considerations in decision making process. While they did not consider non-juridical considerations in decisions No. 22 / Pid.Sus.Anak / 2016 / PN.Tjk which actually should be based on sociological, psychological, criminological, and philosophical of the juveniles. The researcher suggest that: 1). The judges must consider and reconsider the punishment of 10 years imprisonment which may lead to mental decline in children because they are still relatively minor. 2). The judges must reconsider the impact that would occur in children as they are living for 10 years in prison. Keywords: Verdict, Murder, Student. I. PENDAHULUAN Anak adalah generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciriciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh serasi, selaras, dan seimbang.Bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Pandangan ini mengimplikasikan bagaimana perilaku kita terhadap para pelajar, yaitu menciptakan situasi yang kondusif agar berkembang ke arah yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, bangsa dan negara. Apabila beberapa hal tersebut tidak bisa kita laksanakan dengan baik maka akan terjadi suatu pergolakan bagi pelajar itu sendiri yaitu kenakalan remaja. Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hakhaknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip- prinsip umumperlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.1 Bentuk-bentuk kenakalan remaja berupa tindak pidana kekerasan yang sebelumnya dapat ditolerir, dan dianggap wajar ternyata telah berubah menjadi tindakan-tindakan kriminal yang sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat ,salah satu tindakankriminal yang dilakukanyaitu pembunuhan. Pembunuhan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengajauntuk menghilangkan/merampas nyawa orang lain.anak yang melakukan tindakan kriminal itu pada umumnya kurang memiliki kontrol diri tersebut dan suka menegakkan standar tingkahlaku sendiri, di samping meremehkan keberadaaan orang lain dan disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu obyek tertentu dengan disertai kekerasan. Biasanya anak-anak tersebut sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan dan melebih-lebihkan harga dirinya.Sebelum berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengaturan mengenai anak hanya diatur dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 KUHP. Dengan diundangkannya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Pasal 67 UU No. 3 Tahun 1997, yang isinya menyatakan: “Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi”. Dengan demikian, ketentuan yang mengatur tentang anak yang melakukan tindak pidana harus mengacu pada ketentuan1 http://anjarnawanyep.wordpress.com-konseprestorative-justice, diakses melalui internet pada tanggal 6 Juni 2014, pukul 22.00 wib. ketentuan dalam UU No. 3 Tahun 1997. Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu : “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin”.2 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010, maka anak dalam UU Pengadilan Anak mengalami perubahan menjadi: anak adalah “orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.3 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas), tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Terkait tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku anak terhadap anak merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum. Tindak pidana pembunuhan di atur dalam bab XIX Buku ke-II yakni dimulai dari Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 341, Pasal 344, Pasal 345, Pasal 346, Pasal 359 KUHP, yang selanjutnya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Melihat dari sebuah contoh kejadian nyata, pada zaman sekarang nyatanya anak sudah berani melakukan tindak 2 Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila, 2013, hlm. 38. 3 Ibid., hlm. 39. pidana pembunuhan.contohnya seperti pelajar sma di bandar lampung yang tega melakukan pembunuhan kepada pelajar sma lain dan mengakibatkan terbunuhnya pelajar tersebut dengan 107 tusukan. Kejadian itu di latar belakangi permasalah asmara, dan pelaku karna perbuatannya dikenakan pasal 340 tentang pembunuhan berencana dan karena pelaku masih dibawah umur hukuman berpedoman pada Undang-Undang no.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana AnakPasal 81 ayat (6) jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 tahun penjara. Berdasarkan hal tersebut di atas, pada kasus yang terdapat dalam penulisan ini, terdakwa dipengaruhi oleh faktor intern yaitu mencari identitas/jati diri dan sedang berada dalam masa puber jika dilihat dari usianya yang berusia 17 (tujuhbelas) tahun, sehingga tingkat egonya masih tinggi serta pemikirannya yang masih belum stabil (labil) dan tidak berpikir panjang, sehingga ia memiliki pemikiran untuk merencanakan suatu pembunuhan berencana yang dilatarbelakangi oleh dendam yang membuat ia melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu. Pelajar atau anak pada kasus ini harus mempertanggungjawabkanperbuatannya yang menghilangkan nyawa orang lain serta perbuatan yang telah direncanakan terlebih dahulu, faktor dendam karena terlalu kesal yang di latarbelakangi kisah asmara yang menjadikannya memiliki niat dan merencanakan untuk menghabisi nyawa korban. Faktor jauh dari orangtua dan pemikiran yang belum dapat berpikir panjang akan perbuatannya, menjadikannya bertindak melakukan perbuatan yang melawan hukum. Melakukan tindak pidana pembunuhan berencana pada sesama pelajar yang berakibat korban meninggal dunia karena mengalami 107 luka tusukan yang disebabkan oleh terdakwa. Secara psikologis jika dilihat dari segi kejiwaan sang anak yang masih berusia 17 (tujuh belas) tahun, yang melatarbelakangi anak tersebut melakukan perbuatan tindak pidana dapat juga dilatarbelakangi oleh perkembangan jiwa yang masih labil mengenai persoalan asmara, sehingga ia mengalami sedikit tekanan terutama tekanan emosional yang mengakibatkan memiliki pemikiran jangka pendek untuk melampiaskan kekesalannya dan tidak dapat berpikirjangka panjang sehingga muncul pemikiran untuk menghabisi nyawa korban. Berdasarkan latar belakang tersebut maka akan dilakukan penelitian yang berjudul “Analisis Yuridis Putusan HakimTerhadap Tindak Pidana pembunuhan yang dilakukan oleh pelajar sekolah (Studi Putusun Nomor: 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN. Tjk). Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini sebagai berikut : 1. 2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelajar sekolah yang melakukan tindak pidana pembunuhan(Studi Putusun Nomor: 22/Pid.Sus.Anak /2016/PN.Tjk)? Apakah putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan terhadap pelajar sekolah sudah sesuai dan memiliki rasa keadilan (Studi Putusun Nomor: 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk)? Pendekatan masalah dalam penelitian yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan langsung dengan penelitian ini. Pendekatan yuridis empiris adalah dengan mengadakan penelitian langsung ke lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktek mengenai pelaksanaannya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam dua jenis yaitu: Data Primer dan Data Sekunder. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.4 II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pembunuhan yang Dilakukan pelajar sekolah Tujuan pemidanaan hukum bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi dampak dari pemidanaan yang berkenaan dengan kelanjutan kehidupan terpidana, khususnya dampak stigmatisasi terhadap terpidana dan keluarganya, menumbuhkan aliranaliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana 4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, hlm.112 lain yang dianggap lebih menghormati harkat dan martabat manusia, di samping ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri. Penjatuhan sanksi pidana harus merupakan hal yang paling penting dipertimbangkan hakim, karena menyangkut kepentingankepentingan tersebut. Kekuasaan Kehakiman dalam proses peradilan pidana berperan sebagai pihak yang memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 sebagai berikut: Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman mengatur bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam memberikan putusaan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis ysng dijadikan dasar untuk mengadili. “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.” Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang atau benar atau tidaknya suatu peristiwa dan kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut sudarto hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya; b. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa ini merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana; c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana. Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan.” Pasal 183 KUHAP tersebut menentukan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana harus memenuhi dua persyaratan yaitu dua alat bukti sah yang ditentukan secara limitatif di dalam Undang-Undang dan apakah atas dasar dua alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menegaskan tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasrkan Pancasila, Sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menjamin kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan, hakim selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (straf modus). Hakim juga memiliki kebebasan untuk menemukan hukum (rechatsvinding) terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang. Berdasarkan wawancara dengan Syamsudin bahwa tugas hakim adalah menjatuhkan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Hakim tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya sudah mulai diperiksa. Bahkan perkara yang telah diajukan kepadanya tetapi belum mulai diperiksa tidak mungkin hakim menolaknya. Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus sesuai dengan tujuan dari hukum. Secara teoritis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan dapat dilakukan sebagai tujuan utama yang bersifat universal. Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena terciderainya rasa keadilan. Keadilan harus ditegakkan demi mengembalikan ketertiban kehidupan bermasyarakat yang dapat di-lakukan dengan menegakkan hukum sebagaimana mestinya. Wujud dari penegakkan hukum itu sendiri dapat berupa setiap pelanggaran mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Kepastian hukum menyebabkan setiap orang dapat memperkirakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi. Tujuan hukum berikutnya adalah memberi kemanfaatan bagi orang lain. Hal ini didasarkan pada konsep pemikiran utilities. Penganut aliran utilities menganggap bahwa tujuan hukum adalah semata-mata memberikan pemanfaatan atau kebahagiaannya yang sebesar-besarnya bagi sebanyakbanyaknya warga masyarakat (the greatest happiness for the greatest number). Pandangan utilities melihat pidana dari segi manfaat atau kegunaannya. Menurut panndangan ini pemidanaan harus mempunyai sifat prevensi, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Pandangan utilities menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap dan perilaku pelaku tindak pidana agar tidak mengulang perbuatannya (prevensi khusus), di samping dimaksud juga untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa (prevensi umum). Alat bukti yang dimaksud di tentukan dalam pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, petunjuk dan keterangan terdakwa menjadi dasar jaksa dalam membuat tuntutannya. Alat bukti yang cukup dan memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dapat mempermudah jaksa dalam membuat surat tuntutan. Setelah alat bukti terpenuhi, maka dipertimbangkan pula pemeriksaan dan pembuktian di persidangan. Hal yang berikutnya dipertimbangkan oleh jaksa adalah halhal yang meringankan dan memberatkan terdakwa. Atas dasar halhal tersebut penuntut umum berdasarkan persetujuan pimpinan menentukan tuntutan pidana terhadap terdakwa. Hakim dalam memberikan atau menjatuhkan pidana terhadap pelaku atau terdakwa tindak pidana tidak terlepas dari pembuktian di persidangan dan dakwaan/tuntutan yang diajukan oleh jaksa, selain dipertimbangkan pada hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Berdasarkan wawancara dengan Judika M. Hutagalung, S.H.,M.H, pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana utama didasarkan oleh telah terpenuhinya segala unsur tindak pidana yang dilakukan berdasarkan pembuktian dan fakta persidangan yang terungkap serta memperhatikan dakwaan atau tuntutan yang dijatuhkan oleh jaksa. Pertimbangan atas terbukti atau tidak terbuktinya unsur delik pidana yng dituntutkan merupakan hal utama untuk hakim memberikan putusannya. Berdasarkan Pasal 182 ayat (4) KUHAP menjelaskan bahwa dasar majelis hakim untuk bermusyawarah dalam rangka menjatuhkan putusan adalah surat dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, karenanya yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut adalah apakah berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, dapat menyatakan atau membuktikan bahwa seorang terdakwa telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana didakwakan kepadanya. Hakim dalam menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, maka perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwanya. Terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur tindak pidana tersebut, didasarkan oleh pembuktian dan fakta yang terungkap di persidangan. Pembuktian dan fakta persidangan didapat dari alat bukti diantaranya, keterangan saksi, alat bukti surat, alat bukti petunjuk dan keterangan terdakwa yang dibuktikan kebenarannya di persidangan. Terdakwa Muhammad Krisna Firdaus bin Amri Firdaus pada persidangan telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif, yaitu melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal ini digunakan oleh jaksa karena terdakwa Muhammad Krisna Firdaus bin Amri Firdaus masih tergolong anak dibawah umur. Unsurunsur Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo UU No.11 tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1. Unsur dengan sengaja; 2. Unsur dengan direncanakan terlebih dahulu; 3. Unsur menghilangkan jiwa orang lain; 4. Dilakukan secara bersama-sama. Analisis terhadap pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman dalam putusan no: 22/Pid.Sus.Anak/2016/ PN.Tjk, berdasarkan unsur-unsur Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, majelis hakim mempertimbangkan sebagai berikut: 1. Unsur dengan sengaja : Unsur dengan sengaja in casu dalam perkara ini harus dilihat dari tujuan atau niat yang harus dimiliki oleh anak, bahwa bila diteliti alat yang digunakan anak untuk menusuk anak korban dan sasaran yang ditusuk adalah dada, perut dan punggung secara berulang kali hingga berjumlah 107 tusukan, seyogianya anak mengetahui atau setidak-tidaknya menyadari bahwa akibat tusukan pada bagian dada, perut dan punggung anak korban secara berulang kali menggunakan pisau tajam sepanjang 20 cm, pedang runcing sepanjang 50 cm, dan pisau runcing dan tajam sepanjang 10 cm dapat mengakibatkan kematian, maka berdasarkan petimbangan hukum tersebut, kematian anak korban termasuk dalam niat atau tujuan yang dikehendaki oleh anak, bahwa oleh karena itu perrbuatan anak memenuhi unsur “dengan sengaja”. 2. Unsur dengan direncanakan terlebih dahulu : Bahwa dalam unsur “direncanakan terlebih dahulu”, harus ada tempo antara timbulnya niat untuk membunuh dengan pelaksanaannya bagi si anak untuk dengan tenang memikirkan cara pembunuhan yang akan dilakukan, yaitu tempo untuk memikirkan cara pembunuhan yang akan dilakukan terhadap korban, didalam tempo itu, anak masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya akan membunuh anak korban, akan tetapi tidak ia pergunakan; Berdasarkan fakta yang terungkap bahwa Saksi Oka Rahmanda dan Saksi Deni Kurniawan mengambil air minum yang ada didalam bengkel tersebut, anak menyusul mendekati Saksi Oka Rahmanda dan Saksi Deni Kurniawan unuk mengatur pembagian tugas, dimana Saksi Oka Rahmanda membekap mulut korban Saksi Deni Kurniawan memegang tangan korban pada waktu anak melakukan penusukan dengan menggunakan senjata tajam terhadap anak korban dari depan, bahwa 3 (tiga) bilah senjata tajam yang dipergunakan anak untuk menusuk anak korban hingga mengakibatkan anak korban meninggal dunia sudah dipersiapkan oleh anak semenjak menerima tantangan untuk berantam dari anak korban pada waktu anak menerima telfon dari anak korban pada hari Sabtu tanggal 05 Maret 2016 sekira pk. 13.00 WIB; Berdasarkan uraian tersebut, antara niat untuk membunuh dengan terjadinya peristiwa terdapat tempo untuk merencanakan terlebih dahulu cara pembunuhan yang akan dilakukan, dengan demikian unsur “dengan direncanakan terlebih dahulu” telah terpenuhi. 3. Unsur menghilangkan jiwa orang lain: Unsur menghilangkan nyawa orang lain bahwa perbuatan menusuk anak korban dilakukan oleh anak dengan cara menusuk tubuh bagian depan mulai dari dada sampai perut, pada tubuh bagian belakang, pungggung sisi kanan, lengan kanan dan lengan kiri, punggung tangan kanan dan tangan kiri dilakukan menggunakan senjata tajam berupa pisau sepanjang 20 Cm, pedag runcing sepanjang 50 Cm dan pisau runcing sepanjang 10 Cm, setelah mana anak korban meninggal dunia sesuai dengan Visum et Repertum dari dr. Yeni Oktarina No.352/1464/4.13/III/2016 tertanggal 14 maret 2016. Sesuai dengan Visum et Repertum dimaksud, karena tidak dilakukan pemeriksaan dalam (tidak dilakukan outopsi) sehingga penyebab kematian tidak dapat ditentukan, akan tetapi tedapat luka pada sekujur tubuh anak korban tersebut mempunyai hubungan kausal yang langsung dan adequate dengan akibat tusukan yang dilakukan anak dengan menggunakan senjata tajam berupa pisau sepanjang 20 Cm, pedang runcing sepanjang 50 Cm, pisau runcing sepanjang 10 Cm, oleh karena itu perbuatan anak memenuhi unsur “menghilangkan jiwa orang lain”. 4. Unsur dilakukan secara bersamasama Bahwa unsur “secara bersama-sama” in casu dalam perkara ini harus dilihat sebagai kesepakatan pada waktu melakukan perbuatan secara bersamasama yang berangkat dari suatu niat, dan dalam melakukan perbuatan itu, setidak-tidaknya harus ada dua orang, yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger), hakim juga menilik kepada kesepakatan dan pembagian kerja tersebut, terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa saksi anak Rahmat Hidayat alias Memet, saksi anak Ichan Ahmad Prayudha alias Yuda, saksi anak Oka Rahmanda, saksi anak Febriansyah Amalan, Saksi Deni Kurniawan turut serat melakukan perbuatan pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu oleh anak. Oleh karenanya perbuatan anak sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana, memenuhi unsur “dilakukan secara bersam-sama”. Berdasarkan dari keterangan anak dihubungkan dengan Kutipan Akta Kelahiran No.474.1.3261.60.PM.1999, yang diterbitkan pada tanggal 30 maret 1999 yang menyatakan bahwa anak lahir pada tanggal 23 agustus 1999, terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa anak belum berusia 18 tahun pada waktu melakukan perbuatan pidana, oleh karenanya anak diadili di Pengadilan Anak Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Berdasarkan teori keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undangundang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, antara lain adanya keseimbangan antara perbuatan terdakwa dengan ketentuan UndangUndang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut diatas, perbuatan anak telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Kesatu Primair melanggar pasal 340 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, oleh karena itu anak Muhammad Krisna Firdaus bin Amri Firdaus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana “pembunuhan dengan direncakan lebih dahulu, yang dilakukan secara bersamasama”. Hakim menimbang bahwa oleh karena anak terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana, oleh karena itu ia harus dipersalahkan, maka ia anak harus dijatuhi hukuman, karena Dakwaan Kesatu Primair terbukti, maka Dakwaan Subsidair dan seterusnya tidak perlu di pertimbangkan lebih lanjut. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak Muhammad Krisna Firdaus bin Amri Firdaus kepada Dwiki Dwi Sofyan dilakukan bersama-sama teman anak yang dilakukan dirumah paman anak di Jl. ZA. Pagar Alam Labuhan ratu. Sebagaimana di atur dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP jo UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak sebagaimana yang dituduhkan kepada anak menyatakan bahwa: 1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (2) (anak yang melakukan tindak pidana), paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. 2. Jika tindak pidana yang dilakukan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (6) (melakukan tindak pidana), merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. B. Analisis Putusan hakim terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh pelajar sekolah (Putusan No: 22/Pid.Sus.Anak/ 2016/PN.Tjk) Dalam penjatuhan putusan pidana yang dilakukan oleh pelajar, hakim menggunakan pertimbangan yang bersifat yurisdis dan normatif. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Di samping pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan anak di bawah umur, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis.5 Hakim dalam putusan no: 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk , Anak diputus dengan Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bunyi Pasal 55 KUHP: (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Bunyi Pasal 340 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” Berdasarkan Pasal 340 KUHP hukuman bagi orang atau seseorang yang telah melakukan tindak pidana pembunuhan dengan berencana diancam dengan 5 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Bandung: PT. Alumni, 2009), hal 93. hukuman pidana mati atau seumur hidup atau hukuman paling lama 20 tahun. Karena dalam perkara ini pelajar atau anak masih dibawah umur maka hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan harus mengacu pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah disebutkan bahwa batasan umur anak belum mencapai 18 Tahun. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah mengatur pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dimana bunyi Pasal tersebut sebagai berikut: (1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat. (2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. (3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun. (4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. (5) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. (6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Atas dasar tersebut hakim menjatuhkan hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara, sesuai dengan dakwaan jaksa berdasarkan Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan pidana anak. Dari hasil analisa putusan no: 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk : hakim dalam menjatuhkan cenderung menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, Keterangan Saksi, Keterangan Terdakwa, barang bukti, tindak pidana, dan Pasal-pasal dalam KUHP dan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sedangkan pertimbangan non yuridis tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan no 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN. Tjk yang didasarkan pada sosiologis, psikologis, kriminologis, dan filosofis anak tersebut tidak digunakan, karena perbuatan yang telah dilakukan anak tersebut sangat keji dan sadis, jika anak hanya di hukum 10 (sepuluh) tahun penjara dikhawatirkan bukannya anak tersebut menyadari kesalahannya melainkan anak tersebut dapat bertambah wawasannya mengenai perbuatan kriminal. Secara umum, pertimbangan yuridis untuk orang dewasa dapat didasarkan pada ketentuan hukum pidana materiil dan hukum pidana formal sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP dan KUHAP. Jika rumusan hukum materiil tidak ditemukan dalam KUHP, penegakan dan proses peradilannya didasarkan pada ilmu pengetahuan dan praktik peradilan.6 Hal ini sejalan dengan apa yang di tulis Suharto AM yang menyatakan apabila rumusan pasal perbuatan pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya, batas pengertian rumusan tersebut diserahkan pada ilmu pengetahuan praktik 7 peradilan. Dengan demikian, hakim dalam membuat putusan pidana anak tidaklah cukup kalau hanya mendasarkan pada apa yang telah tersurat dalam KUHP dan KUHAP. III. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dasar Pertimbangan Hakim dalam penjatuhan pidana kepada anak Muhammad Krisna Firdaus bin Amri Firdaus bin Amri Firdaus terhadap Dwiki Dwi Sofyan, didasarkan Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak diancam dengan hukuman pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun penjara, namun disisi lain hakim tidak memikirkan dampak negatif apa yang akan terjadi dari hukuman pidana 10 (sepuluh) tahun penjara yang telah diberikan kepada anak sedangkan anak masih tergolong dibawah umur, dalam kasus ini hakim hanya melihat.atau memandang perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh anak serta hakim hanya menjalankan kewajibannya untuk memutuskan 6 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Bandung: P.T. Alumni, 2014), hal 28. 7 Suharto AM, Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal 25. pidana berdasarkan UU yang telah ditetapkan dan yang menurutnya adil bagi masyarakat dan korban, oleh ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP, serta memuat hal-hal yuridis dan non yuridis. Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana adalah didasarkan oleh alat bukti yang mendukung, terpenuhi segala unsur tindak pidana yang dilakukan berdasarkan pembuktian fakta persidangan yang terungkap. Pertimbangan yang bersifat non yuridis adalah hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. 2. Dalam penjatuhan putusan pidana yang dilakukan oleh pelajar, hakim menggunakan pertimbangan yang bersifat yurisdis dan normatif. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Di samping pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan anak, hakim menjatuhkan hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara, sesuai dengan dakwaan jaksa berdasarkan Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan pidana anak. Dari hasil analisa putusan no: 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk : hakim dalam menjatuhkan cenderung menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, Keterangan Saksi, Keterangan Terdakwa, barang bukti, tindak pidana, dan Pasal-pasal dalam KUHP dan Undang UndangSistem Peradilan Pidana Anak. Sedangkan pertimbangan non yuridis tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan no 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk yang didasarkan pada sosiologis, psikologis, kriminologis, dan filosofis anak tersebut tidak digunakan, karena perbuatan yang telah dilakukan anak tersebut sangat keji dan sadis, jika anak hanya di hukum 10 (sepuluh) tahun penjara dikhawatirkan bukannya anak tersebut menyadari kesalahannya melainkan anak tersebut dapat betambah wawasannya mengenai perbuatan kriminal. B. Saran Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan dasar petimbangan hakim dalam pertanggungjawaban pidana pembunuhan yang dilakukan oleh pelajar sekolah ( Studi Putusan No. 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk), sebagai berikut: 1. Hakim harus memperhatikan dan mempertimbangan kembali dalam memberikan hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara dapat mengakibatkan turunnya mental anak dikarenakan anak masih tergolong dibawah umur. 2. Hakim masih harus melihat kembali dampak yang akan terjadi pada anak karena hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara bukanlah waktu yang singkat, dikarenakan terdakwa masih tergolong anak dibawah umur hukuman penjara yang diberikan kepada anak bisa saja berdampak negatif, hukuman yang diberikan bukan menimbulkan sifat jera akibat perbuatannya atau benar-benar menyadari kesalahannya, namun sebaliknya dikarenakan ruang lingkup didalam penjara, terdakwa mendapat wawasan yang luas dalam melakukan perbuatan kriminal. DAFTAR PUSTAKA AM, Suharto. 1993. Hukum Pidana Materiil. Jakarta: Sinar Grafika. Andrisman, Tri. 2013. Hukum Peradilan Anak. Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila. Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Hidayat, Bunadi. 2009. Pemidanaan Anak Di Bawah Umur. Bandung: PT Alumni. Moeljatno. 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Nawawi, Barda. 2002. Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. http://anjarnawanyep.wordpress.comkonsep-restorative-justice, diakses melalui internet pada tanggal 6 Juni 2014, pukul 22.00 wib.