KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) Oleh: Ahmad Rifki Maulana NPM : 12100082 Kata Kunci : Pembunuhan berencana, pembuktian, hambatan A. LATAR BELAKANG Kejahatan itu identik dengan perubahan waktu sehingga selalu terjadi dimana-mana. Akibatnya banyak masyarakat hidup tidak nyaman, aman, dan damai. Faktor-faktor kejahatan yang selalu terjadi di setiap daerah saat ini adalah karena meningkatnya angka kemiskinan, kurang adanya lapangan kerja, banyak pengangguran, kehilangan lahan perkebunan atau pertanian yang dikuasai oleh kaum elit politik birokrat atas kepentingan pribadi dan golongan, dengan adanya sistem ekonomi global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka harga kebutuhan pokok-pun naik atau meningkat, masyarakat merasa berat beban hidupnya, itu sebabnya secara psikologis masyarakat menjadi keras brutal dan mudah terpancing untuk melakukan hal-hal yang bersifat melawan hukum dalam mempertahankan hidupnya. Gambaran diatas hanya merupakan sebagian kecil dari uraian tindak pidana yang seharusnya dapat diperdalam, baik sebagai bahan akademis maupun sebagai materi refleksi khususnya untuk perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia. Oleh karena itu perlu dimengerti lebih dahulu bagaimana konsep perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia itu ditunjukkan bagi kelompok khusus yang selalu menimbulkan niatnya untuk membunuh, terutama dalam konteks masyarakat di Indonesia saat ini. Untuk mengatasi meningkatnya angka kejahatan sebagai bangsa yang berlandaskan pada asas legalitas yaitu berupa rumusan tentang perbuatan kejahatan tertentu (aktif maupun pasif), yang dilarang untuk dilakukan oleh orang yang disertai dengan ancaman pidana tertentu, bagi barang siapa yang melakukan perbuatan kejahatan menjadi larangan melandaskan asas legalitas. Dengan demikian dalam buku KUHP juga telah menafsirkan mengenai tindak pidana pembunuhan yang tercantum dalam buku II title IX pasal 338, 339, 340, 445, memuat kejahatan terhadap nyawa pada orang-orang umum, kejahatan dalam KUHP dapat dibedakan atas dua dasar unsur kesalahan obyek terhadap nyawa. Yaitu dalam perbuatan kejahatan dapat diklasifikasikan beberapa jenis kejahatan yang dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus midrijven) maupun kejahatan yang dilakukan dengan unsur ketidaksengajaan (culpose midrijveen) dan juga diklasifikasikan sebagai pembunuhan, yang terdiri dari pembunuhan biasa bentuk pokok (doodslag) dalam pasal 338 KUHP, dan pembunuhan yang diikuti kejahatan tindak pidana lain, sedangkan pembunuhan berencana (mood) dalam pasal 340. Maka pembunuhan berencana dilakukan dengan unsur sengaja, paling berat pula ancaman pidana dari seluruh perbuatan kejahatan lainnya, karena unsur yang dilakukan adalah memutuskan sendiri menentukan target secara matang untuk pelaksanaan perbuatan kejahatan, dan dalam suasana yang tidak tergesa-gesa atau suasana yang tenang aman mengambil suatu keputusan. Oleh sebab itu tahap-tahap/ proses pelaksanaan acara peradilan, pasti saja mengalami kesulitan para pihak untuk membuktikan pada saat menunjukkan berbagai alat bukti, karena pihak pelaku kejahatan tersebut menyembunyikan, menghilangkan berbagai alat bukti yang digunakan oleh pelaku. Tindak pidana pembunuhan telah diatur dalam pasal 336 sampai pasal 350 KUHP, pengertian pembunuhan dirumuskan dalam pasal 338 KUHP, yaitu barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pembuktian suatu putusan dengan adanya kejahatan tindak pidana pembunuhan, merupakan masalah yang memegang peran dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, dan melalui pembuktian akan menentukan nasib seorang terdakwa apabila pembuktian tersebut dilengkapi alat-alat bukti maupun keterangan saksi-saksi yang meyakinkan secara hukum dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga dijatuhkan hukuman pidana tersebut kepada seorang terdakwa. B. PERMASALAHAN Sebelum dibahas mengenai tindak pidana pembunuhan berencana oleh masyarakat sipil, terlebih dahulu penulis melakukan pembatasan terhadap masalah yang akan diteliti, supaya dapat mencapai hasil maksimal mungkin, maka akan selalu muncul begitu banyak obyek masalah yang menarik untuk dikaji. Pembatasan dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini bertujuan agar tidak menyimpang jauh dari pokok permasalahan yang telah ditentukan dan juga mengingat keterbatasan, baik waktu maupun tenaga sehingga dibatasi mengenai masalah pembuktian tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta). C. PEMBAHASAN 1. Pengertian Pembuktian Pembunuhan Berencana Pengertian hukum pembuktian merupakan sebagian dalam hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, dan sistem yang dianut dalam pembuktian yaitu, syarat-syarat dan tata cara mengajukan tersebut secara kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Dalam suatu pembuktian mempunyai sumber-sumber hukum pembuktian sendiri yaitu antara undang-undang, doktrin atau anjang, jurisprudensi, karena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, maka sumber hukum utama adalah Undang-Undang no. 8 Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana dan KUHP, Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1981 nomor dan penjelasan yang dimuat dalam tambahan, Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 3206, apabila dalam praktek menemui kesulitan dalam penerapannya atau jumpai kekurangan untuk memenuhi kebutuhan dipergunakan doktrin yurisprudensi. Pendapat-pendapat menurut Moeljatno, pembuktian adalah memberikan kepastian hukum yang layak menurut akal (redelijk) tentang: a. Apakah yang dituntut itu sungguh terjadi b. Apa penyebabnya sedemikian rupa Senada dengan hal tersebut Martinan Prodjohamidjojo, mengemukakan membuktikan mengenai maksud dan usaha menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Sistem pembuktian pada umumnya di dalam KUHP bagian ke empat mengenai pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa antara lain: diatur mengenai sistem pembuktian macam-macam alat bukti dan kekuatan pembuktian, dalam hal ini yang menyangkut hukum pembuktian diatur sebagai berikut: a. Sistem pembuktian diatur dalam pasal 183 KUHP b. Macam-macam alat bukti diatur dalam pasal 185 sampai pasal 189 KUHP 2. Sistem Pembuktian Di dalam teori dikenal ada 5 (lima) macam sistem pembuktian yaitu: a. Conviction in time 1) Ajaran yang membuktikan conviction in time adalah suatu ajaran pembuktian yang menyadarkan pada keyakinan hakim semata. 2) Hakim didalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada, darimana hakim menimbulkan putusannya tidak menjadi masalah, ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti keterangan saksi yang ada di dalam persidangan. 3) Akibatnya dalam putusan perkara menjadi subyektif sekali, hakim tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar pertimbangan atau putusannya, seseorang biasa dinyatakan itu bersalah tanpa alat bukti yang kuat untuk meyakinkan secara hukum, dan sebaliknya hakim bisa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan, meskipun bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. 4) Sistem pembuktian conviction in time dipergunakan dalam sistem dalam peradilan juri (jury rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika. b. Conviction in raisone 1) Ajaran pembuktian ini juga masih menyadarkan pula kepada keyakinan hakim, hakim tetap tidak terikat pada alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang. 2) Meskipun alat buktinya ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim bisa mempergunakan alat-alat bukti di luar yang ditentukan oleh undangundang. 3) Namun demikian mengambil keputusan tentang salah satu perbuatan atau tindakan seseorang terdakwa haruslah didasarkan alasan-alasan yang jelas. 4) Jadi hukum mendasarkan keputusan-keputusannya terhadap seorang terdakwa haruslah disertai dengan alasan-alasan yang jelas. 5) Hakim harus mendasarkan keputusan-keputusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning), karena itu putusan tersebut juga berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal sehat (reasonable). 6) Keyakinan hakim haruslah didasarkan keyakinan yang tanpa batas. 7) Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas. c. Sistem Pembuktian Positif 1) Sistem pembuktian positif (positief wettelijk) adalah sistem pembuktian yang menyadarkan diri pada alat-alat bukti saja, yakni alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. 2) Seorang terdakwa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat bukti yang sah. 3) Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah penting, dan keyakinan hakim sama sekali diabaikan. 4) Pada pokoknya apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah, dan ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah maka harus dipidana. 5) Seorang hakim laksana robot yang menjalankan undang-undang, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa pengurus oleh nuraninya sehingga benar-benar objektif, yaitu menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. d. Sistem Pembuktian Negatif 1) Sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone. Hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah satu tindakannya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri. Jadi dalam sistem negatif ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: a) Wettelijk : Adanya alat bukti yang sah dan telah ditentukan oleh undang-undang. b) Negatif : Adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. 2) Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Setelah dipelajari beberapa sistem pembuktian, dapatlah dicari sistem pembuktian apa yang dianut oleh KUHP. a) Dalam KUHP sistem pembuktian diatur dalam pasal 183 yang berbunyi : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. b) Dari pasal tersebut diatas putusan hakim harus didasarkan pada 2 (dua) syarat yaitu: (1) Minimum 2 alat bukti (2) Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana 3) Jadi meskipun dalam persidangan telah diajukan dua atau beberapa alat bukti, namun bila hakim tidak yakin bahwa terdakwa tersebut tidak bersalah, maka terdakwa tersebut akan dibebaskan. 4) Dari uraian diatas, dijelaskan bahwa KUHP menganut sistem pembuktian negatief wettelijk. 5) Minimum pembuktian yakni 2 (dua) alat bukti yang disimpangi dengan satu alat bukti untuk pemeriksaan perkara cepat (diatur dalam pasal 205 sampai pasal 216 KUHP). Jadi jelas menurut penjelasan pasal 184 KUHP, pemeriksaan perkara cepat cukup dibuktikan dengan 1 (satu) alat bukti dan keyakinan hakim. Macam-macam alat bukti antara lain sebagai berikut: a) Alat bukti dahulu diatur dalam pasal 295 HIR, yang disebutkan sebagai berikut: (1) Keterangan saksi (2) Surat-surat (3) Pengakuan (4) Tanda-tanda (petunjuk) b) Sedangkan dalam KUHP, macam-macam alat bukti diatur dalam pasal 184 KUHP, yaitu: alat bukti yang sah adalah: (1) Keterangan saksi (2) Keterangan saksi ahli (3) Surat (4) Petunjuk (5) Keterangan terdakwa Hal-hal yang secara umum sudah diketahui, tidak perlu dibuktikan lagi. D. PENUTUP 1. Pelaksanaan pembuktian perkara tindak pidana pembunuhan berencana dimulai dengan pemeriksaan saksi, masing-masing terdiri dari 15 orang saksi yang melihat sendiri, mendengarkan sendiri, merasakan sendiri dan atau mengalami secara langsung dalam perbuatan tindak pidana tersebut. Setelah pemeriksaan saksi-saksi dilanjutkan pula dengan pemeriksaan ahli yang berupa Visum et repertum, dan terakhir dengan pemeriksaan terhadap keterangan terdakwa. Selanjutnya hakim kesesuaian dalam pemeriksaan alat bukti melalui suatu pertimbangan hakim menjatuhkan putusan pidana mati atau seumur hidup. Berdasarkan kasus yang telah penulis uraian di atas perbuatan terdakwa termasuk dalam beberapa ketentuan tindak pidana, dan telah terpenuhi atau keyakinkan secara hukum di setiap unsur-unsur yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa yaitu sebagai berikut: a. Primair kesatu, bahwa perbuatan terdakwa melanggar pasal 340 jo 55 ayat 1 KUHP. Unsur-unsur dalam pasal 340 jo 55 ayat 1 ini adalah: - Unsur obyektif: Menghilangkan nyawa seseorang dengan direncanakan terlebih dahulu. - Unsur subyektif: Perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja. b. Primair kedua, bahwa terdakwa melanggar pasal 363 ayat 1 ke 4 dan 5 KUHP. Unsur-unsur dalam pasal 363 ini adalah: 1) Barang siapa 2) Mengambil barang orang lain dengan tujuan untuk dimiliki secara melawan hak 3) Dilakukan 2 orang atau lebih 4) Pengambilan dilakukan dengan cara merusak c. Subsidair, diancam pidana dalam pasal 330 jo 55 (1) ke 1 KUHP Unsur-unsur dalam pasal 330 ini adalah: - Barang siapa Unsur-unsur dalam pasal 55 (1) ke 1 adalah: 1) Barang siapa 2) Melakukan menyuruh melakukan atau ikut serta melakukan perbuatan tersebut 3) Menyimpan mempergunakan sesuatu alat benda atau senjata tajam d. Lebih subsidair, diancam pidana dalam pasal 365 (1) dan (3) jo pasal 1 ke 1 KUHP. Unsur-unsur dalam pasal 365 (1) ini adalah: 1) Barang siapa 2) Mengambil barang orang lain dengan ingin memiliki secara melawan hak 3) Didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian tersebut. Unsur-unsur dalam pasal 365 (3) adalah: 1) Barang siapa 2) Mengambil barang orang lain dengan tujuan untuk memiliki secara melawan hak 3) Perbuatannya tersebut menyebabkan meninggalnya seseorang 2. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pembuktian perkara tindak pidana pembunuhan berencana adalah sulitnya memperoleh kesesuaian diantara pemeriksaan alat bukti. Hal tersebut disebabkan karena terdakwa dalam memberikan keterangan terlalu berbelit-belit sehingga dapat mengaburkan perbuatan yang dilakukannya. Cara penyelesaian terhadap hambatanhambatan tersebut adalah dengan menghadirkan alat bukti dan keterangan saksi sebanyak-banyaknya sehingga mengambil suatu kesimpulan berdasarkan besarnya presentase keterangan saksi yang diperiksa. E. DAFTAR PUSTAKA Adam Chaszawai, 2001, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Grafindo Persada. Arif Gusita, 2004, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Djoko Prakosa, 1999, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana, Yogyakarta: Liberty. Fuad Usfa Moh Najih dan Togat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, Malang: Universitas Malang. Hari Sasongko dan Lili Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Surabaya: Mandar Maju. Hilman Hadi Kusuma, 1995, Metode Pembuatan Etos Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju. Komnas HAM Papua, 2001, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Jakarta: Lokarya Internasional. Lamitang, 1986, Delik-delik Khusus, Bandung: Bhina Cipta. Lamitang, F.A.F, 1993, Delik-delik Khusus, Bandung: Bhina Cipta. M. Budiarto dan K. Waijik Saleh, 1979, KUHAP, Jakarta: Ghalia Indonesia. Martiman Prodjoharmidjojo, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Pradya Paramita. Moeljatno, 1990, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. _________, 1993, Percobaan Delik-delik Pernyataan, Bandung: Bhina Aksara. Moh. Nasir, PH.D, 1985, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti: Jakarta. Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Citra Aditya Bakti. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: PT. Eresco. R. Sugandhi, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional. Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press. Susilo R, 1986, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Pelitea. Tresna R, 1959, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Tirka.