BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kejahatan yang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maraknya kejahatan yang terjadi belakangan waktu ini, membuat penulis
tertarik untuk membahas mengenai kejahatan tersebut, terutama mengenai
kejahatan pembunuhan. Banyak sebab mengenai mengapa seseorang dapat
melakukan kejahatan terutama pembunuhan baik karena alasan cemburu, dendam,
maupun hal lainnya.Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dan memberi
efek jera hukum pidana dianggap masih sebagai penyelesaian terbaik dalam
pemberian hukuman atau efek jera bagi pelaku.
Sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana
diterapkan, hingga saat ini meskipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan
pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban terakhir dalam
memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalnnya
bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum
yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah
adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum1
Pembahasan mengenai kejahatan dalam hukum pidana Indonesia,
sangatlah menarik untuk dipelajari lebih dalam. Dalam sistem KUHP Indonesia,
mengenal pembagian Delik sebagai berikut :
1.
Kejahatan yang dimuat di dalam Buku Kedua;
2.
Pelanggaran yang dimuat di dalam Buku Ketiga.
1
Marlina. Hukum Penitensir (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hlm. 117.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Perbedaan ini mengikuti sistem Wetboek Straftrecht Nederland, namun
berbeda dengan di Nederland, KUHP Indonesia membagi lagi kejahatan tersebut
ke dalam kejahatan biasa dan kejahatan ringan yang diatur di dalam Pasal 302
(Penganiayaan hewan ringan), Pasal 352 (Penganiayaan Ringan), Pasal 364
(pencurian ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 384 (perbuatan curang
yang ringan), Pasal 407 (perusakan atau penghilangan barang yang ringan) dan
Pasal 482 KUHP (penadahan ringan). Perlu diuraikan bahwa delik menurut Pasal
384 sebagai bentuk ringan delik tersebut pada Pasal 383 dan yang disebut di
dalam Pasal 407 sebagai bentuk ringan delik menurut Pasal 406 KUHP tidak
diberikan kualifikasi delik ringan, tetapi dari uraian dalam kedua Pasal itu dapat
disimpulkan bahwa keduanya adalah kejahatan ringan.2
Jonkers berpendapat, bahwa dibentuknya aturan hukum pidana tentang
kejahatan ringan disebabkan oleh keperluan untuk mengajukan kejahatankejahatan tertentu yang banyak terjadi kepada Pengadilan yang paling dekat
kedudukannya dengan tempat terjadinya. Berhubung karena sekarang hanya
dikenal satu jenis Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri, maka
kriterium demikian tidak perlu lagi, dan yang harus digunakan ialah cara
mengadilinya menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia.
Jonkers berpendapat bahwa perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran
merupakan perbedaan Kualitatif . Pembedaan Tindak Pidana atas Kejahatan dan
pelanggaran itu didasarkan kepada kejahatan itu adalah rechtsdelicten, sedangkan
pelanggaran adalah wetsdelicten, yang penjelasaannya sebagai berikut :
2
H.A. Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana 1 (Jakarta,Sinar Grafika: 1998), hlm. 351.
Universitas Sumatera Utara
3
1.
Rechtsdelicten (delik umum) merupakan perbuatan yang tidak adil menurut
filsafat, yaitu perbuatan yang tidak tergantung kepada suatu ketentuan pidana,
tetapi merupakan perbuatan yang dirasakan tidak adil menurut keinsyafan
(kesadaran) batin manusia dan juga merupakan perbuatan yang dirasakan
tidak adil menurutundang-undang (yaitu perbuatan yang tidak sah yang
ditentukan oleh undang-undang). Menurut pandangan ini maka pembunuhan,
pencurian,penganiayaan, dan perbuatan-perbuatan semacam itu merupakan
Rechtsdelicten, karena dirasakan sebagai perbuatan yang tidak tidak adil baik
menurut keinsyafan manusia (kesadaran) batin manusia maupun menurut
undang-undang. Jadi, andaikata suatu perbuatan belum dilarang oleh undangundang, namun perbuatan itu dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil
maka perbuatan itu merupakan Rechtsdelicten.
2.
Wetsdelicten (delik undang-undang), merupakan perbuatan yang pada
mulanya menurut keinsyafan (kesadaran) batin manusia tidak dirasakan
sebagai perbuatan yang tidak adil, namun baru dirasakan sebagai perbuatan
yang dapat dipidana (dilarang) karena perbuatan itu diancam dengan pidana
oleh undang-undang, misalnya perbuatan yang melanggar lalu lintas. Alasan
yang menyebabkan undang-undang menentukan Wetsdelicten sebagai tindak
pidana, adalah untuk menjamin keamanan umum, unyuk memelihara dan
mempertahankan ketertiban umum, untuk memajukan kesehatan umum, dan
alasan semacam itu yang mempunyai corak sosial dan kemasyarakatan,
sehingga dapat tidaknya dipidana perbuatan-perbuatan ini didasarkan pada
asas hukum yang hidup dalam kesadaran kita, yaitu bahwa dalam keadaan
Universitas Sumatera Utara
4
tertentu kemerdekaan daripada seseorang harus dibatasi untuk kepentingan
umum.
Perbedaaan kuantitatif yang membedakan antara kejahatan dengan
pelanggaran dari segi kriminologi ini, didasarkan kepada hal sebagai berikut :
1.
Bahwa sanksi pelanggaran lebih ringan daripada sanksi kejahatan ;
2.
Bahwa percobaan melakukan pelanggaran (Pasal 54 KUHP) dan membantu
melakukan pelanggaran (Pasal 60 KUHP) tidak dipidana.3
Kejahatan-kejahatan (misdrijven) masih ada yang disebut “lichte
misdrijven”, semuanya ada 9 macam, yaitu :
1.
Pasal 364 KUHP, pencurian ringan;
2.
Pasal 373 KUHP, penggelapan ringan;
3.
Pasal 379 KUHP, penipuan ringan;
4.
Pasal 352 KUHP, penganiayaan ringan;
5.
Pasal 315 KUHP, penghinaan ringan;
6.
Pasal 384 KUHP, penipuan ringan;
7.
Pasal 407 KUHP, merusak barang ringan;
8.
Pasal 302 KUHP, penganiayaan binatang ringan;
9.
Pasal 482 KUHP, tadah ringan4
Setelah mengetahui apa yang dimaksudkan dengan kejahatan dan
pelanggaran, serta perbedaan diantara keduanya. Hal tersebut merupakan suatu
dasar untuk memahami yang dimaksudkan dengan kejahatan. Sehingga dapat
3
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2 (Medan: USUpress, 2013),
hlm. 93-94.
4
Samidjo, Ringkasan & tanya Jawab Hukum Pidana (Bandung: CV. Armico,2002), hlm.
90.
Universitas Sumatera Utara
5
membahas hal yang lebih dalam lagi yaitu kejahatan terhadap jiwa dan kejahatan
terhadap tubuh. Kejahatan terhadap “orang” dalam KUHP mencakup hal-hal
sebagai berikut :
1.
Kehormatan.
2.
Membuka Rahasia.
3.
Kebebasan/kemerdekaan pribadi.
4.
Nyawa.
5.
Badan/Tubuh.
6.
Harta benda/kekayaan.
Umumnya, para pakar menggabung hal-hal tersebut menjadi “tindak
pidana terhadap jiwa dan tubuh”, yang dalam KUHP diatur dengan sistematika
sebagai berikut :5
1.
Kejahatan terhadap nyawa orang (Bab XIX).
2.
Penganiayaan (Bab XX).
3.
Menyebabkan mati/lukanya orang karena kesalahan/kelalaian.
Perkataan “nyawa” sering disinonimkan dengan “jiwa”. Kata nyawa,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya antara lain sebagai berikut :
1) Pemberi hidup;
2) Jiwa, Roh
Kata “jiwa” dimuat artinya antara lain seabagai berikut :
1) Roh manusia (yang ada di tubuh dan yang menyebabkan hidup)
5
Leden Marpaung , Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
6
2) Seluruh kehidupan batin manusia
Pengertian nyawa dimaksudkan adalah yang menyebabkan kehidupan
pada manusia. Menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada
manusia yang secara umum disebut “pembunuhan”.Pembunuhan dalam sejarah
kehidupan manusia, telah terjadi sejak dahulu kala dan pengaturannya atau
hukumnya pun telah ditentukan.6
Kejahatan pada tubuh dalam KUHP disebut juga dengan istilah
“penganiayaan” tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut.
Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya sebagai
berikut : “perlakuan yang sewenang-wenang”. Pengertian penganiayaan yang
dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam
arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”.
Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan
dengan tubuh dari manusia.
Ilmu Pengetahuan (Doktrine) mengartikan “penganiayaan” sebagai
berikut:
“Setiap
perbuatan
yang
dilakukan
dengan
sengaja
untuk
menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain.”
Penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351
KUHP, dirumuskan, antara lain :
1.
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan
penderitaan badan kepada orang lain, atau;
6
Ibid., hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
7
2.
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan
orang lain.
Perumusan yang diajukan Menteri Kehakiman tersebut, pada pembentukan
Pasal 351 KUHP diubah yakni :7
1) Penganiayaan ;
2) Diambil alih oleh ayat (4) ;
Mengenai perbedaan antara kejahatan terhadap nyawa dan kejahatan
terhadap tubuh dalam prakteknya, terdapat sedikit kerumitan dalam penerapan
perbedaan
keduanya,
terutama
pada
pembunuhan
berencana
dan
juga
penganiayaan yang berakibat pada kematian yang telah direncanakan terlebih
dahulu. Karena pada dasarnya ada akibat dari tindakan tersebut yaitu hilangnya
nyawa seseorang yang disebabkan oleh perbuatan dari pelaku. Sehingga perlu
dibuktikan terlebih dahulu mengenai makna berencana yang terkandung dalam
pembunuhan berencana serta penganiayaan berat dan berencana. Kemudian harus
dibuktikan kembali niat awal dari pelaku kejahatan, hal tersebut dapat dilihat dari
tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Serta perlu dikaji mengenai pembuatan
surat dakwaan.
Jenis tindak pidana yang dalam frekuensi menyusul adalah tindak pidana
mengenai tubuh dan nyawa orang, yaitu terutama penganiayaan dan pembunuhan.
Kedua macam tindak pidana ini sangat erat hubungannya 8.Kedua jenis tindak
pidana ini, yaitu penganiayaan dan pembunuhan, juga dalam KUHP dimuat
7
Ibid., hlm. 5-6.
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia (Jakarta:Refika
Aditama,2003), hlm. 66.
8
Universitas Sumatera Utara
8
berturut-turut, dan baru kemudian dimuat perbuatan menyebabkan luka atau
matinya orang karena kealpaan (culpa). Jadi, sesuai dengan pandangan saya
mengenai hubungan erat antara penganiayaan dan pembunuhan, hanya saja
pembunuhan didahulukan daripada penganiayaan. Pembunuhan termuat dalam
titel XX Buku II. Hal ini mungkin disebabakan lebih pentingnya pembunuhan
daripada penganiayaan, bukan lebih frekuensinya.
Titel XIX mengenai pembunuhan didahului oleh titel XVIII mengenai
kejahatan terhadap kemerdekaan orang, kiranya menunjukkan bahwa pembentuk
KUHP menganggap lebih tinggi kepentingan seseorang atas kemerdekaannya
daripada atas nyawanya.Sikap pembentuk KUHP ini dapat dimengerti, tetapi ini
tidak berarti bahwa tindak pidana menghilangkan atau menggangu kemerdekaan
orang bersifat lebih berat daripada pembunuhan dan penganiayaan. Maka,
maksimum hukumannya lebih berat bagi pembunuhan.9
Pembunuhan oleh Pasal 338 dirumuskan sebagai dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang yang diancam dengan maksimum hukuman lima
belas tahun penjara. Ini adalah suatu perumusan secara material, yaitu secara
mengakibatkan sesuatu tertentu tanpa menyebutkan wujud perbuatan dari tindak
pidana.
Perbuatan ini dapat berwujud macam-macam, yaitu dapat berupa
menembak dengan senjata api, menikam dengan pisau, memukul dengan sepotong
besi, mencekik leher dengan tangan, memberikan racun dalam makanan, dan
9
Ibid, hlm.67.
Universitas Sumatera Utara
9
sebagainya, bahkan dapat berupa diam saja dalam hal seorang berwajib bertindak
seperti tidak memberikan makanan kepada seorang bayi.
Perbuatan-perbuatan ini harus ditambah dengan unsur kesengajaan dalam
salah satu dari tiga wujud, yaitu sebagai tujuan (oogmerk) untuk mengadakan
akibat tertentu, atau sebagai keinsafan kepastian akan datangnya akibat itu (opzet
bij zekerheidsbewustzijn) atau sebagai keinsafan kemungkinan akan datangnya
akibat itu (opzet bij mogelijk-heidsbewustzijn). Lain halnya dengan penganiayaan.
Dalam Pasal 351 KUHP hanya mengatakan bahwa penganiayaan
dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
Jelaslah bahwa kata penganiayaan tidak menunjuk kepada perbuatan
tertentu, misalnya kata mengambil dari pencurian. Maka, dapat dikatakan bahwa
kini pun tampak ada perumusan secara material. Akan tetapi, tampak secara jelas
apa wujud akibat yang harus disebabkan.
Kebetulan, maksud pembentuk pembuat undang-undang dapat terlihat
dalam sejarah terbentuknya Pasal yang bersangkutan dari KUHP Belanda. Mulamula, dalam rancangan undang-undang dari Pemerintah Belanda ditemukan
perumusan dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit dalam tubuh orang lain,
dan dengan sengaja merugikan kesehatan orang lain. Perumusan ini pada
pembicaraan dalam Parlemen Belanda dianggap tidak tepat karena meliputi juga
perbuatan seorang pendidik terhadapanak didiknya, dan perbuatan seorang dokter
terhadap pasiennya.
Universitas Sumatera Utara
10
Keberatan ini diakui kebenarannya, maka perumusan diganti menjadi
penganiayaan dengan penjelasan bahwa ini berarti berbuat sesuatu dengan tujuan
(oogmerk) untuk mengakibatkan rasa sakit. Dan, memang inilah arti dari kata
penganiayaan. Sedangkan menurut Pasal 351 ayat 4, penganiayaan disamakan
dengan merugikan kesehatan orang lain dengan sengaja.
Unsur kesengajaan ini kini terbatas pada wujud tujuan (oogmerk), tidak
seperti unsur kesengajaan dari pembunuhan.Apabila suatu penganiayaan
mengakibatkan luka berat, maka menurut Pasal 351 ayat 2 KUHP, maksimum
hukuman dijadikan lima tahun penjara. Sedangkan jika berakibat matinya orang,
maka maksimum hukuman meningkat lagi menjadi tujuh tahun penjara.
Dua macam akibat ini harus tidak dituju dan juga harus tidak disengaja,
sebab kalau melukai berat ini disengaja, maka ada tindak pidana penganiayaan
berat dari Pasal 354 ayat 1 dengan maksimum hukuman delapan tahun penjara.
Hukuman itu menjadi sepuluh tahun penjara jika perbuatan ini mengakibatkan
matinya orang disengaja, tindak pidananya menjadi pembunuhan yang diancam
dengan maksimum lima belas tahun penjara.
Istilah luka berat menurut Pasal 90 berarti sebagai berikut :10
1.
Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan
sempurna atau yang menimbulkan bahaya-maut (levens gevaar).
2.
Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau
pencaharian.
3.
Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari pancaindera.
10
Ibid., hlm. 67-69.
Universitas Sumatera Utara
11
4.
Kekudung-kudungan.
5.
Kelumpuhan.
6.
Gangguan daya berpikir selama lebih dari empat minggu.
7.
Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada di dalam
kandungan.
Namun apabila suatu perbuatan penganiayaan dilakukan dengan
direncanakan lebih dulu secara tenang, maka menurut Pasal 353 maksimum
hukuman menjadi empat tahun penjara, dan meningkat lagi menjadi tujuh tahun
penjara apabila ada luka berat, dan sembilan tahun penjara apabila berakibat
matinya orang; sedangkan apabila penganiayaan berat dilakukan dengan
direncankan lebih dulu dengan tenang, maka menurut Pasal 355 maksimum
hukuman menjadi dua belas tahun penjara; dan apabila berakibat matinya orang
menjadi lima belas tahun penjara.
Pembunuhan apabila dilakukan dengan direncanakan lebih dulu secara
tenang, maka terjadi tindak pidana pembunuhan berencana (moord)dari Pasal 340
yang mengancam dengan maksimum hukuman mati, atau hukuman penjara
seumur hidup, atau hukuman penjara dua puluh tahun.Untuk unsur perencanaan
ini tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu
untuk melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya,
meskipun ada tenggang waktu itu, yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat
dikatakan ada rencana lebih dulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada
keadaan konkret dari setiap peristiwa.11
11
Ibid., hlm. 69-70.
Universitas Sumatera Utara
12
Terhadap dua permasalahan diatas, terdapat kerumitan dalam prakteknya
untuk menentukan perbuatan yang terjadi jika hanya berdasarkan pada pengaturan
perundang-undangan semata. Maka dibutuhkan suatu pembuktian dalam
persidangan untuk membantu hakim dalam membentuk keyakinannya untuk
memutuskan sesuatu. Jika dilihat dari kegunaan dan juga tujuannya dari
pembuktian dapat dijabarkan sebagai berikut :12
1.
Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk
meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan
bahwa seseorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan
dakwaan.
2.
Bagi terdakwa atau penasihat hukum , pembuktian merupakan usaha
sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada,
agar menyatakan bahwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau
meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika
mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau
meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.
3.
Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat
bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau
penasihat hukum/terdakwa diibuat dasar untuk membuat keputusan.
Mengenai dasar pemeriksaaan adalah surat dakwaan (untuk perkara biasa)
atau catatan dakwaan (untuk perkara singkat) yang berisi perbuatan-perbuatan
yang dilakukan oleh seorang terdakwa pada hari, tanggal, jam serta tempat
12
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam perkara pidana (Bandung: Mandar maju,
2003), hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
13
sebagaimana didakwakan. Oleh karena itu yang dibuktikan dalam persidangan
adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yang dianggap
melanggar ketentuan tindak pidana.
Mengenai pembuktian yang dijabarkan diatas, maka dalam proses
pembuktian yang dibuktikan suatu perbuatan pidana itu memang terjadi atau tidak
dan apakah terdakwa memang melakukan perbuatan tersebut. Untuk melakukan
pembuktian tersebut maka dibutuhkan alat-alat bukti untuk dilakukannya
pembuktian. Maka dapatlah dijabarkan mengenai alat bukti sebagai berikut :13
1.
Alat bukti yang diatur dalam Pasal 295 HIR, yang macamnya sebagai berikut
:
a. Keterangan saksi.
b. Surat-surat.
c. Pengakuan.
d. Tanda-tanda (petunjuk).
2.
Sedangkan dalam KUHAP, diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa
Hal- hal yang dijelaskan diatas terdapat perbedaan mengenai pembunuhan
berencana dan penganiayaan berencana walaupun terdapat kesukaran dalam
13
Ibid., hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
14
pembedaannya terhadap unsur “dengan rencana” dan tidak adanya pengaturan
rinci mengenai cara dalam melakukan pembunuhan, sehingga suatu pembunuhan
terlihat sebagai penganiayaan dan juga sebaliknya. Dalam kasus Pembunuhan Ade
Sara yang ramai diperbicangkan dikarenakan dilakukan dengan sadis untuk
pemuda yang masih duduk dibangku perkuliahan untuk menimba ilmu.
Dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, yang dalam
unsur-unsurnya dapat dilihat sebagai berikut :
a. Barang siapa;
b. Dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu;
c. Merampas nyawa orang lain;
d. Yang menyuruh melakukan, mereka yang melakukan atau turut serta
melakukan;
Jika melihat unsur-unsur diatas, maka keseluruhan dari Pasal 340 KUHP
haruslah terpenuhi terlebih dahulu, apabila tidak terpenuhi maka tidak dapat
dikatakan sebagai pembunuhan berencana. Maka perlu dilihat lebih dalam
mengenai
kesesuaian
fakta-fakta
hukum
dipersidangan
sehingga
dapat
menemukan kebenaran materiil.
Selain itu, terhadap hal yang dilakukan oleh terdakwa, apakah terdakwa
mengetahui bahwa hal yang dilakukannya tersebut adalah suatu kesengajaan
untuk melakukan pembunuhan berencana ataukah tidak ada niat sama sekali dari
terdakwa untuk membunuh. Dan hal yang ketiga adalah, terbukti kah dalam
persidangan dalam pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum
maupun Kuasa Hukum Terdakwa apakah terdakwa secara sah dan meyakinkan
Universitas Sumatera Utara
15
bersalah atau tidak bersalah sama sekali. Oleh tiga alasan diatas maka penulis
mengangkat skripsi ini, karena sebagai mahasiswa fakultas hukum maka perlu lah
mengetahui dan mencari tahu tentang peranan pembuktian dalam menentukan
tindak pidana apa yang sebenarnya terjadi.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peranan pembuktian dalam perkara pembunuhan berencana?
2.
Bagaimana kekuatan pembuktian dalam menentukan keputusan hakim
terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dan penaganiayaan berencana
di Putusan Pengadilan No. 1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya
memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang
menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1.
Untuk mengetahui bagaimana perbedaan dari Pembunuhan Berencana dengan
Penganiayaan Berat Berakibat Kematian;
2.
Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara dalam
putusan Pembunuhan Berencana;
Penulisan Skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1.
Manfaat Teoritis
Universitas Sumatera Utara
16
a. Penulisan skripsi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
secara teroritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi
pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap
pengaturan-pengaturan tindak pidana yang diatur dalam Buku II KUHP;
b. Dengan adanya skripsi ini kiranya mampu untuk memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya didalam
hukum tindak pidana pembunuhan serta penganiayaan.
2.
Manfaat Praktis
Dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama
penegak hukum tentang perbandingan secara mendasar mengenai tindak pidana
pembunuhan bencana dengan penganiayaan berat berakibat kematian.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan ini telah diperoleh dari literatur perpustakaan, informasi dan
ilmu yang diperoleh dari perkuliahan serta dari media massa baik media cetak
maupun media elektronik yang pada akhirnya dituangkan dalam bentuk skripsi.
Maka, keaslian penulisan dalam menjamin adanya. Meskipun dalam tulisan ini
terdapat pendapat dan kutipan-kutipan dari berbagai sumber, hal ini semata-mata
adalah sebagai bahan penunjang dalam penulisan ini karena hal tersebut memang
sangat dibutuhkan demi memenuhi kesempurnaan penulisan penelitian ini
Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Putusan Hakim Dalam Penjatuhan
Hukuman
Terhadap
Pelaku
Pembunuhan
Berencana
(Putusan
No.1359/Pid.B/2014/Pn.Jkt.Pst) belum pernah diajukan. Oleh karena itu, maka
Universitas Sumatera Utara
17
penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan
dengan keaslian judul skripsi ini, maka dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul
skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Universitas
Sumatera Utara. Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau
telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka
hal itu dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1.
Putusan hakim
Eksistensi Putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah “Putusan
Pengadilan” sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan
adanya “putusan Hakim” ini, diharapkan para pihak dalam perkara pidana
khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya
bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan
sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain yang berupa
menerima putusan, langkah berikutnya antara lain yang berupa menerima putusan,
melakukan upaya banding/kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Kalau kita
bertitik tolak pada pandangan doktrina, hukum positif/ius operatum atau ius
constitutum, dapatlah diberikan batasan “putusan hakim”/putusan pengadilan”
adalah sebagai berikut :
a.
Leden Marpaung menyebutkan pengertian “ Putusan Hakim” sebagai
berikut :
Universitas Sumatera Utara
18
“Putusan Hakim adalah “Hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah
`
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
berbentuk tertulis maupun lisan”. Demikian dimuat dalam buku
”Peristilahan Hukum dalam Praktik” yang dikeluarkan oleh Kejaksaan
Agung Republik Indonesia 1985 halaman 221. Rumusan diatas dirasa
kurang tepat. Selanjutnya, jika dibaca pada buku tersebut ternyata
“putusan dan “keputusan” dicampuradukkan. Mengenai kata “putusan”
yang diterjemahkan dari hasil vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan
perkara di sidang Pengadilan.
b.
BAB I angka 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( Undangundang No : 8 tahun 1981 ) menyebutkan “Putusan Pengadilan” adalah :
“Pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang Pengadilan terbuka,
yang dapat berupa pemidanaan atau lepas dari segala tuntutan hukum
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.”
c.
Menurut Asumsi Penulis pada buku ini ditinjau dari visi teoritik dan
praktik, “Putusan Pengadilan” itu adalah :
“Putusan yang diucapkan oleh Hakim karena jabatannya dalam
persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan
proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan
ammar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan
Universitas Sumatera Utara
19
hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian
perkaranya. 14
Praktiknya terdapat beberapa bentuk dari Putusan Hakim, yang dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a.
Putusan Bebas (Vrijspraak)
Secara teoritik, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa Kontinental
lazim disebut dengan istilah putusan “Vrijspraak”, sedangkan dalam
rumpun Anglo Saxon disebut putusan “Acquital”. Pada asasnya, esensi
putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan. Konkretnya,
terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Atau untuk singkatnya
lagi terdakwa “tidak dijatuhi pidana”.
Apabila kita bertitik tolak pada ketentuan Pasal 191 (1) KUHAP, putusan
bebas/vrijspraak dapat dijatuhkan oleh Majelis Hakim oleh karena :
1) Dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan ;
2) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Sedangkan menurut penjelasan pasal demi pasal atas Pasal 191 ayat (1)
KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan
14
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana. Normatif,
Permasalahannya (Bandung : P.T.Alumni, 2007), hlm. 201-203.
Teoritis,
Praktik,
Dan
Universitas Sumatera Utara
20
kepadanya tidak cukup terbukti menurut penilaian Hakim atas dasar pembuktian
dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini.15
b. Putusan Pelepasan dari Segala tuntutan Hukum (Onslag van alle
Rechtsvervolging).
Ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengatur secara eksplisit tentang
“putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum” atau “Onslag van alle
Rechtsvervolging”. Pada ketentuan Pasal tersebut diatas, putusan pelepasan dari
segala tuntutan hukum dirumuskan dengan redaksional bahwa :
“Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu perbuatan
tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
Dengan demikian, dari titik tolak ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP
ditarik suatu konklusi dasar bahwasanya pada putusan pelepasan, tindak pidana
yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntu Umum memang terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum, tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena
perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut bukan merupakan “perbuatan
pidana”, tetapi misalnya termasuk yurisdiksi hukum perdata, hukum adat ataukah
hukum dagang. Apabila secara intens diperbandingkan antara putusan bebas
(vrijspraak/acquital) dengan putusan pelepasan pelepasan dari segala tuntutan
hukum (Oslag van alle Rechtsvervolving).16
15
Ibid., hlm. 217-218
Ibid., hlm. 223-224.
16
Universitas Sumatera Utara
21
c. Putusan Pemidanaan
Putusan pemidanaan
atau “veroordeling” pada dasarnya diatur dalam
Pasal 193 ayat (1) KUHAP dengan redaksional bahwa :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak
pidana
yang
didakwakan
kepadanya,
maka
pengadilan
menjatuhkan pidana”
Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin
berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa
terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Lebih
tepatnya lagi, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal183 KUHAP. Selain itu,
dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, jikalau terdakwa itu tidak dilakukan
penahanan, dapat diperintahkan Majelis Hakim supaya terdakwa tersebut ditahan,
apabila tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana penjara lima
tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam Pasal
21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam aspek
terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa
tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya , apabila terdapat
cukup alasan untuk itu (Pasal 193 ayat (2) KUHAP). Sedangkan terhadap lamanya
pidana (“sentencing” atau “straftoemeting”) pembentuk Undang-undang
memberi kebebasan kepada Hakim untuk menentukan antara pidana minimum
sampai maksimum terhadap Pasal yang terbukti dalam persidangan. Mengenai
masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang judex
facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan
Universitas Sumatera Utara
22
pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan undang-undang sebagaimana
ditentukan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1953 K/Pid/1988 tanggal 23
Januari 1993.17
2.
Tindak pidana
Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan
istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari Strafbaar feit.
Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit di
dalam KUHP maupun diluar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha
untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada
keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk
mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana
ini dapat menjadi patokan dalam upaya menetukan apakah perbuatan seseorang
itu merupakan tindak pidana atau tidak.
Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan
tindakan/perbuatan memiliki makna yang berbeda. Sudarto mengemukakan,
bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging),
perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian
pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan tidak berbuat, sehingga
definisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas.
Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (Wvs) hanya
ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk
17
Ibid., hlm. 231-232.
Universitas Sumatera Utara
23
menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana
(strafbaarfeit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” tidak
dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana.
Pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) hanya ada dalam teori atau pendapat para
sarjana. Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, namun adakalanya tindak pidana ini
juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang. Suatu peristiwa itu dapat atau
tidak dapat dipidana, ditentukan oleh pembuat undang-undang bukan ditentukan
oleh pendapat umum.18
Uraian di atas telah dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah
“tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda straftbaar feit, yang sebenarnya
merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu
delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai
hukuman pidana.19
3.
Subjek (pelaku) tindak pidana
KUHP memandang yang dapat menjadi subyek tindak pidana adalah
seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan
dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat
bagi subyek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman /pidana yang
termuat dalam Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan
denda.Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai
18
Mohammad Eka Putra, Op.Cit., hlm. 74-77.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di
PT.Eresco,1986), hlm. 55, (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro II)
19
Indonesia
(Bandung:
Universitas Sumatera Utara
24
badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyaraktan, timbul gejalagejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk
perumusan pelbagai tindak pidana.20 Jadi dapat disimpulkan bahwasanya yang
dapat dikatakan Pelaku Tindak Pidana adalah Manusia (natural person) serta
Korporasi (legal person).
a. Manusia (natural person)
Dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal
bahwa subjek dari sesuatu tindak pidana bukan hanya manusia saja,
tetapi juga hewan. Sampai abad ke-17 hukum (pidana) pernah
menerapkan pidana terhadap hewan, namun setelah itu hanya manusia
yang menjadi subjek hukum. Pada abad pertengahan (tahun 1571) pernah
dipidana seekor banteng (sapi), karena membunuh seorang wanita.
KUHP menyebutkan yang dapat menjadi subjek hukum pidana ialah
natuurlijke persoon, atau manusia. Hal itu dapat dilihat dalam tiap-tiap Pasal
KUHP, Buku II dan Buku III. Sebagian besar kaidah-kaidah hukum pidana di
dalam KUHP dimulai dengan kata barangsiapa sebagai terjemahan dari kata
Belanda hij. Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subjek hukum
pidana. 21
b. Korporasi (legal person)
Hukum tidak hanya memikirkan manusai sebagai subjek dalam hukum.
Dengan demikian, disamping manusia, hukum masih membuat konstruksi fiktif
yang kemudian diterima, diperlakukan dan dilindungi seperti halnya ia
20
Ibid, hlm. 55.
Mohammad Ekaputra, Op.Cit , hlm. 22-23.
21
Universitas Sumatera Utara
25
memberikan perlindungan hukum terhadap manusia. Mengingat kemajuan yang
terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, lebih-lebih di era
globalisasi serta berkembangnya tindak pidana yang terorganisasi baik yang
bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat
dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula
koorporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum (legal person) maupun badan hukum. Dalam hal ini
koorporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate
criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes
for corporation). Dengan dianutnya paham bahwa koorporasi sebagai subjek
tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan
hukum
dianggap
mampu
dipertanggungjawabkan
dalam
melakukan
hukum
tindak
pidana
dan
pidana
(corporate
dapat
criminal
responsibility).22
F. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Spesifikasi penelitian
Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersifat
deskriptif. Deskriptif artinya bertujuan untuk menggambarkan secara cermat
karateristik dari fakta-fakta (individu, kelompok, atau keadaan), dan untuk
22
Ibid., hlm.25.
Universitas Sumatera Utara
26
menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.23 Dalam penulisan skripsi ini yang
mengacu kepada penelitian hukum normatif yaitu mengkaji ketentuan- ketentuan
tentang pelaksanaan dalam pemberian bantuan pembayaran premi asuransi
pertanian oleh Pemerintah. Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah
metode pendekatan yuridis.
Penelitian normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik
hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap pengertianpengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum,
hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.24
2.
Data penelitian
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. 25 Data
penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan (library research)
untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekundar, serta bahan
hukum tersier.26 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
data sekunder, dimana data yang diperoleh secara tidak langsung.
a. Bahan hukum primer
Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya adalah Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang
23
Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta : Garanit, 2004), hlm. 58.
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm.15
25
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), hlm.172
26
Sumaidi Suryabrata, Metode Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm. 39.
24
Universitas Sumatera Utara
27
Badan
Perlindungan
Konsumen
Nasional,
Peraturan
Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan peraturan-peraturan
lainnya.
b. Bahan hukum sekunder
Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang
asuransi pertanian seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum,
majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet
yang berkaitan dengan permasalahan diatas.
c. Bahan hukum tersier
Semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan keteranganketerangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan sebagainya.
3.
Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah
dengan penelusuran pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data dari
informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah dan juga perundang-undangan yang
berkaitan dengan materi penelitian.
Muhammad Nazil berpendapat dalam bukunya, dikemukakan bahwa studi
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
Universitas Sumatera Utara
28
penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.27
4.
Analisa data
Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data
berikut dengan analisisnya.28 Metode analisis data dilakukan dengan metode
kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.
Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode
penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan
secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui
dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih
khusus.29 Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal
dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada
kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.30
Penarikan kesimpulan
terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode
penarikan kesimpulan secara deduktif maupun induktif, sehingga akan dapat
merangkum jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun.31
G. Sistematika Penulisan
Sistem penulisan untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, sehingga
pembahasan didalamnya harus disusun secara sistematis.Untuk memudahkan
27
Muhammad Nazil, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia,2010), hlm. 111
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 69.
29
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),
28
hlm. 11.
30
Ibid.,hlm. 10.
Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research (Pengantar Metodologi Ilmiah)
(Bandung: Tarsito, 1982), hlm. 131.
31
Universitas Sumatera Utara
29
penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya penguraian alam bab per bab secara
teratur dan berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini
adalah :
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang pokok isinya
menguraikan tentang latar belakang pengangkatan judul skripsi,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian judul,
tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
PERANAN PEMBUKTIAN DALAM KASUS PEMBUNUHAN
BERENCANA DAN PENGANIAYAAN BERENCANA
Bab ini menjelaskan tentang apa yang dimaksud mengenai
pembunuhan berencana serta penganiayaan berencana. Dimana
dalam bab ini juga akan membahas mengenai peranan pembuktian
dalam menentukan putusan hakim dalam pemeriksaan suatu
perkara pidana.
BAB III
ANALISIS PERANAN PEMBUKTIAN TERHADAP PUTUSAN
HAKIM DALAM PERKARA PIDANA DALAM PUTUSAN NO.
1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST
Bab ini akan membahas mengenai analisis kasus terhadap putusan
hakim dalam perkara pidana NO.1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST,
tentang hal-hal yang terjadi dalam persidangan. Baik kronologis
kasus, dakwaan, fakta hukum, tuntutan pidana, pertimbangan
hakim, putusan. Hal-Hal tersebut diatas akan dianalisis oleh
Universitas Sumatera Utara
30
Penulis untuk mendapatkan data yang valid mengenai putusan yang
tepat dalam perkara ini.
BAB IV
PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dan
saran, yaitu sebagai bab yang berisikan kesimpulan mengenai
permasalahan yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya dalam
skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
Download