1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kejahatan yang terjadi belakangan waktu ini, membuat penulis tertarik untuk membahas mengenai kejahatan tersebut, terutama mengenai kejahatan pembunuhan. Banyak sebab mengenai mengapa seseorang dapat melakukan kejahatan terutama pembunuhan baik karena alasan cemburu, dendam, maupun hal lainnya.Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dan memberi efek jera hukum pidana dianggap masih sebagai penyelesaian terbaik dalam pemberian hukuman atau efek jera bagi pelaku. Sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan, hingga saat ini meskipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban terakhir dalam memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalnnya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum1 Pembahasan mengenai kejahatan dalam hukum pidana Indonesia, sangatlah menarik untuk dipelajari lebih dalam. Dalam sistem KUHP Indonesia, mengenal pembagian Delik sebagai berikut : 1. Kejahatan yang dimuat di dalam Buku Kedua; 2. Pelanggaran yang dimuat di dalam Buku Ketiga. 1 Marlina. Hukum Penitensir (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hlm. 117. 1 Universitas Sumatera Utara 2 Perbedaan ini mengikuti sistem Wetboek Straftrecht Nederland, namun berbeda dengan di Nederland, KUHP Indonesia membagi lagi kejahatan tersebut ke dalam kejahatan biasa dan kejahatan ringan yang diatur di dalam Pasal 302 (Penganiayaan hewan ringan), Pasal 352 (Penganiayaan Ringan), Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 384 (perbuatan curang yang ringan), Pasal 407 (perusakan atau penghilangan barang yang ringan) dan Pasal 482 KUHP (penadahan ringan). Perlu diuraikan bahwa delik menurut Pasal 384 sebagai bentuk ringan delik tersebut pada Pasal 383 dan yang disebut di dalam Pasal 407 sebagai bentuk ringan delik menurut Pasal 406 KUHP tidak diberikan kualifikasi delik ringan, tetapi dari uraian dalam kedua Pasal itu dapat disimpulkan bahwa keduanya adalah kejahatan ringan.2 Jonkers berpendapat, bahwa dibentuknya aturan hukum pidana tentang kejahatan ringan disebabkan oleh keperluan untuk mengajukan kejahatankejahatan tertentu yang banyak terjadi kepada Pengadilan yang paling dekat kedudukannya dengan tempat terjadinya. Berhubung karena sekarang hanya dikenal satu jenis Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri, maka kriterium demikian tidak perlu lagi, dan yang harus digunakan ialah cara mengadilinya menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia. Jonkers berpendapat bahwa perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran merupakan perbedaan Kualitatif . Pembedaan Tindak Pidana atas Kejahatan dan pelanggaran itu didasarkan kepada kejahatan itu adalah rechtsdelicten, sedangkan pelanggaran adalah wetsdelicten, yang penjelasaannya sebagai berikut : 2 H.A. Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana 1 (Jakarta,Sinar Grafika: 1998), hlm. 351. Universitas Sumatera Utara 3 1. Rechtsdelicten (delik umum) merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu perbuatan yang tidak tergantung kepada suatu ketentuan pidana, tetapi merupakan perbuatan yang dirasakan tidak adil menurut keinsyafan (kesadaran) batin manusia dan juga merupakan perbuatan yang dirasakan tidak adil menurutundang-undang (yaitu perbuatan yang tidak sah yang ditentukan oleh undang-undang). Menurut pandangan ini maka pembunuhan, pencurian,penganiayaan, dan perbuatan-perbuatan semacam itu merupakan Rechtsdelicten, karena dirasakan sebagai perbuatan yang tidak tidak adil baik menurut keinsyafan manusia (kesadaran) batin manusia maupun menurut undang-undang. Jadi, andaikata suatu perbuatan belum dilarang oleh undangundang, namun perbuatan itu dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil maka perbuatan itu merupakan Rechtsdelicten. 2. Wetsdelicten (delik undang-undang), merupakan perbuatan yang pada mulanya menurut keinsyafan (kesadaran) batin manusia tidak dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil, namun baru dirasakan sebagai perbuatan yang dapat dipidana (dilarang) karena perbuatan itu diancam dengan pidana oleh undang-undang, misalnya perbuatan yang melanggar lalu lintas. Alasan yang menyebabkan undang-undang menentukan Wetsdelicten sebagai tindak pidana, adalah untuk menjamin keamanan umum, unyuk memelihara dan mempertahankan ketertiban umum, untuk memajukan kesehatan umum, dan alasan semacam itu yang mempunyai corak sosial dan kemasyarakatan, sehingga dapat tidaknya dipidana perbuatan-perbuatan ini didasarkan pada asas hukum yang hidup dalam kesadaran kita, yaitu bahwa dalam keadaan Universitas Sumatera Utara 4 tertentu kemerdekaan daripada seseorang harus dibatasi untuk kepentingan umum. Perbedaaan kuantitatif yang membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran dari segi kriminologi ini, didasarkan kepada hal sebagai berikut : 1. Bahwa sanksi pelanggaran lebih ringan daripada sanksi kejahatan ; 2. Bahwa percobaan melakukan pelanggaran (Pasal 54 KUHP) dan membantu melakukan pelanggaran (Pasal 60 KUHP) tidak dipidana.3 Kejahatan-kejahatan (misdrijven) masih ada yang disebut “lichte misdrijven”, semuanya ada 9 macam, yaitu : 1. Pasal 364 KUHP, pencurian ringan; 2. Pasal 373 KUHP, penggelapan ringan; 3. Pasal 379 KUHP, penipuan ringan; 4. Pasal 352 KUHP, penganiayaan ringan; 5. Pasal 315 KUHP, penghinaan ringan; 6. Pasal 384 KUHP, penipuan ringan; 7. Pasal 407 KUHP, merusak barang ringan; 8. Pasal 302 KUHP, penganiayaan binatang ringan; 9. Pasal 482 KUHP, tadah ringan4 Setelah mengetahui apa yang dimaksudkan dengan kejahatan dan pelanggaran, serta perbedaan diantara keduanya. Hal tersebut merupakan suatu dasar untuk memahami yang dimaksudkan dengan kejahatan. Sehingga dapat 3 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2 (Medan: USUpress, 2013), hlm. 93-94. 4 Samidjo, Ringkasan & tanya Jawab Hukum Pidana (Bandung: CV. Armico,2002), hlm. 90. Universitas Sumatera Utara 5 membahas hal yang lebih dalam lagi yaitu kejahatan terhadap jiwa dan kejahatan terhadap tubuh. Kejahatan terhadap “orang” dalam KUHP mencakup hal-hal sebagai berikut : 1. Kehormatan. 2. Membuka Rahasia. 3. Kebebasan/kemerdekaan pribadi. 4. Nyawa. 5. Badan/Tubuh. 6. Harta benda/kekayaan. Umumnya, para pakar menggabung hal-hal tersebut menjadi “tindak pidana terhadap jiwa dan tubuh”, yang dalam KUHP diatur dengan sistematika sebagai berikut :5 1. Kejahatan terhadap nyawa orang (Bab XIX). 2. Penganiayaan (Bab XX). 3. Menyebabkan mati/lukanya orang karena kesalahan/kelalaian. Perkataan “nyawa” sering disinonimkan dengan “jiwa”. Kata nyawa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya antara lain sebagai berikut : 1) Pemberi hidup; 2) Jiwa, Roh Kata “jiwa” dimuat artinya antara lain seabagai berikut : 1) Roh manusia (yang ada di tubuh dan yang menyebabkan hidup) 5 Leden Marpaung , Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 2. Universitas Sumatera Utara 6 2) Seluruh kehidupan batin manusia Pengertian nyawa dimaksudkan adalah yang menyebabkan kehidupan pada manusia. Menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum disebut “pembunuhan”.Pembunuhan dalam sejarah kehidupan manusia, telah terjadi sejak dahulu kala dan pengaturannya atau hukumnya pun telah ditentukan.6 Kejahatan pada tubuh dalam KUHP disebut juga dengan istilah “penganiayaan” tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya sebagai berikut : “perlakuan yang sewenang-wenang”. Pengertian penganiayaan yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh dari manusia. Ilmu Pengetahuan (Doktrine) mengartikan “penganiayaan” sebagai berikut: “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain.” Penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP, dirumuskan, antara lain : 1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau; 6 Ibid., hlm. 4. Universitas Sumatera Utara 7 2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain. Perumusan yang diajukan Menteri Kehakiman tersebut, pada pembentukan Pasal 351 KUHP diubah yakni :7 1) Penganiayaan ; 2) Diambil alih oleh ayat (4) ; Mengenai perbedaan antara kejahatan terhadap nyawa dan kejahatan terhadap tubuh dalam prakteknya, terdapat sedikit kerumitan dalam penerapan perbedaan keduanya, terutama pada pembunuhan berencana dan juga penganiayaan yang berakibat pada kematian yang telah direncanakan terlebih dahulu. Karena pada dasarnya ada akibat dari tindakan tersebut yaitu hilangnya nyawa seseorang yang disebabkan oleh perbuatan dari pelaku. Sehingga perlu dibuktikan terlebih dahulu mengenai makna berencana yang terkandung dalam pembunuhan berencana serta penganiayaan berat dan berencana. Kemudian harus dibuktikan kembali niat awal dari pelaku kejahatan, hal tersebut dapat dilihat dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Serta perlu dikaji mengenai pembuatan surat dakwaan. Jenis tindak pidana yang dalam frekuensi menyusul adalah tindak pidana mengenai tubuh dan nyawa orang, yaitu terutama penganiayaan dan pembunuhan. Kedua macam tindak pidana ini sangat erat hubungannya 8.Kedua jenis tindak pidana ini, yaitu penganiayaan dan pembunuhan, juga dalam KUHP dimuat 7 Ibid., hlm. 5-6. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia (Jakarta:Refika Aditama,2003), hlm. 66. 8 Universitas Sumatera Utara 8 berturut-turut, dan baru kemudian dimuat perbuatan menyebabkan luka atau matinya orang karena kealpaan (culpa). Jadi, sesuai dengan pandangan saya mengenai hubungan erat antara penganiayaan dan pembunuhan, hanya saja pembunuhan didahulukan daripada penganiayaan. Pembunuhan termuat dalam titel XX Buku II. Hal ini mungkin disebabakan lebih pentingnya pembunuhan daripada penganiayaan, bukan lebih frekuensinya. Titel XIX mengenai pembunuhan didahului oleh titel XVIII mengenai kejahatan terhadap kemerdekaan orang, kiranya menunjukkan bahwa pembentuk KUHP menganggap lebih tinggi kepentingan seseorang atas kemerdekaannya daripada atas nyawanya.Sikap pembentuk KUHP ini dapat dimengerti, tetapi ini tidak berarti bahwa tindak pidana menghilangkan atau menggangu kemerdekaan orang bersifat lebih berat daripada pembunuhan dan penganiayaan. Maka, maksimum hukumannya lebih berat bagi pembunuhan.9 Pembunuhan oleh Pasal 338 dirumuskan sebagai dengan sengaja menghilangkan nyawa orang yang diancam dengan maksimum hukuman lima belas tahun penjara. Ini adalah suatu perumusan secara material, yaitu secara mengakibatkan sesuatu tertentu tanpa menyebutkan wujud perbuatan dari tindak pidana. Perbuatan ini dapat berwujud macam-macam, yaitu dapat berupa menembak dengan senjata api, menikam dengan pisau, memukul dengan sepotong besi, mencekik leher dengan tangan, memberikan racun dalam makanan, dan 9 Ibid, hlm.67. Universitas Sumatera Utara 9 sebagainya, bahkan dapat berupa diam saja dalam hal seorang berwajib bertindak seperti tidak memberikan makanan kepada seorang bayi. Perbuatan-perbuatan ini harus ditambah dengan unsur kesengajaan dalam salah satu dari tiga wujud, yaitu sebagai tujuan (oogmerk) untuk mengadakan akibat tertentu, atau sebagai keinsafan kepastian akan datangnya akibat itu (opzet bij zekerheidsbewustzijn) atau sebagai keinsafan kemungkinan akan datangnya akibat itu (opzet bij mogelijk-heidsbewustzijn). Lain halnya dengan penganiayaan. Dalam Pasal 351 KUHP hanya mengatakan bahwa penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Jelaslah bahwa kata penganiayaan tidak menunjuk kepada perbuatan tertentu, misalnya kata mengambil dari pencurian. Maka, dapat dikatakan bahwa kini pun tampak ada perumusan secara material. Akan tetapi, tampak secara jelas apa wujud akibat yang harus disebabkan. Kebetulan, maksud pembentuk pembuat undang-undang dapat terlihat dalam sejarah terbentuknya Pasal yang bersangkutan dari KUHP Belanda. Mulamula, dalam rancangan undang-undang dari Pemerintah Belanda ditemukan perumusan dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit dalam tubuh orang lain, dan dengan sengaja merugikan kesehatan orang lain. Perumusan ini pada pembicaraan dalam Parlemen Belanda dianggap tidak tepat karena meliputi juga perbuatan seorang pendidik terhadapanak didiknya, dan perbuatan seorang dokter terhadap pasiennya. Universitas Sumatera Utara 10 Keberatan ini diakui kebenarannya, maka perumusan diganti menjadi penganiayaan dengan penjelasan bahwa ini berarti berbuat sesuatu dengan tujuan (oogmerk) untuk mengakibatkan rasa sakit. Dan, memang inilah arti dari kata penganiayaan. Sedangkan menurut Pasal 351 ayat 4, penganiayaan disamakan dengan merugikan kesehatan orang lain dengan sengaja. Unsur kesengajaan ini kini terbatas pada wujud tujuan (oogmerk), tidak seperti unsur kesengajaan dari pembunuhan.Apabila suatu penganiayaan mengakibatkan luka berat, maka menurut Pasal 351 ayat 2 KUHP, maksimum hukuman dijadikan lima tahun penjara. Sedangkan jika berakibat matinya orang, maka maksimum hukuman meningkat lagi menjadi tujuh tahun penjara. Dua macam akibat ini harus tidak dituju dan juga harus tidak disengaja, sebab kalau melukai berat ini disengaja, maka ada tindak pidana penganiayaan berat dari Pasal 354 ayat 1 dengan maksimum hukuman delapan tahun penjara. Hukuman itu menjadi sepuluh tahun penjara jika perbuatan ini mengakibatkan matinya orang disengaja, tindak pidananya menjadi pembunuhan yang diancam dengan maksimum lima belas tahun penjara. Istilah luka berat menurut Pasal 90 berarti sebagai berikut :10 1. Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang menimbulkan bahaya-maut (levens gevaar). 2. Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian. 3. Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari pancaindera. 10 Ibid., hlm. 67-69. Universitas Sumatera Utara 11 4. Kekudung-kudungan. 5. Kelumpuhan. 6. Gangguan daya berpikir selama lebih dari empat minggu. 7. Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada di dalam kandungan. Namun apabila suatu perbuatan penganiayaan dilakukan dengan direncanakan lebih dulu secara tenang, maka menurut Pasal 353 maksimum hukuman menjadi empat tahun penjara, dan meningkat lagi menjadi tujuh tahun penjara apabila ada luka berat, dan sembilan tahun penjara apabila berakibat matinya orang; sedangkan apabila penganiayaan berat dilakukan dengan direncankan lebih dulu dengan tenang, maka menurut Pasal 355 maksimum hukuman menjadi dua belas tahun penjara; dan apabila berakibat matinya orang menjadi lima belas tahun penjara. Pembunuhan apabila dilakukan dengan direncanakan lebih dulu secara tenang, maka terjadi tindak pidana pembunuhan berencana (moord)dari Pasal 340 yang mengancam dengan maksimum hukuman mati, atau hukuman penjara seumur hidup, atau hukuman penjara dua puluh tahun.Untuk unsur perencanaan ini tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu untuk melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya, meskipun ada tenggang waktu itu, yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkret dari setiap peristiwa.11 11 Ibid., hlm. 69-70. Universitas Sumatera Utara 12 Terhadap dua permasalahan diatas, terdapat kerumitan dalam prakteknya untuk menentukan perbuatan yang terjadi jika hanya berdasarkan pada pengaturan perundang-undangan semata. Maka dibutuhkan suatu pembuktian dalam persidangan untuk membantu hakim dalam membentuk keyakinannya untuk memutuskan sesuatu. Jika dilihat dari kegunaan dan juga tujuannya dari pembuktian dapat dijabarkan sebagai berikut :12 1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan bahwa seseorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. 2. Bagi terdakwa atau penasihat hukum , pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan bahwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. 3. Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum/terdakwa diibuat dasar untuk membuat keputusan. Mengenai dasar pemeriksaaan adalah surat dakwaan (untuk perkara biasa) atau catatan dakwaan (untuk perkara singkat) yang berisi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seorang terdakwa pada hari, tanggal, jam serta tempat 12 Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam perkara pidana (Bandung: Mandar maju, 2003), hlm. 13. Universitas Sumatera Utara 13 sebagaimana didakwakan. Oleh karena itu yang dibuktikan dalam persidangan adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yang dianggap melanggar ketentuan tindak pidana. Mengenai pembuktian yang dijabarkan diatas, maka dalam proses pembuktian yang dibuktikan suatu perbuatan pidana itu memang terjadi atau tidak dan apakah terdakwa memang melakukan perbuatan tersebut. Untuk melakukan pembuktian tersebut maka dibutuhkan alat-alat bukti untuk dilakukannya pembuktian. Maka dapatlah dijabarkan mengenai alat bukti sebagai berikut :13 1. Alat bukti yang diatur dalam Pasal 295 HIR, yang macamnya sebagai berikut : a. Keterangan saksi. b. Surat-surat. c. Pengakuan. d. Tanda-tanda (petunjuk). 2. Sedangkan dalam KUHAP, diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu : a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan Terdakwa Hal- hal yang dijelaskan diatas terdapat perbedaan mengenai pembunuhan berencana dan penganiayaan berencana walaupun terdapat kesukaran dalam 13 Ibid., hlm. 18. Universitas Sumatera Utara 14 pembedaannya terhadap unsur “dengan rencana” dan tidak adanya pengaturan rinci mengenai cara dalam melakukan pembunuhan, sehingga suatu pembunuhan terlihat sebagai penganiayaan dan juga sebaliknya. Dalam kasus Pembunuhan Ade Sara yang ramai diperbicangkan dikarenakan dilakukan dengan sadis untuk pemuda yang masih duduk dibangku perkuliahan untuk menimba ilmu. Dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, yang dalam unsur-unsurnya dapat dilihat sebagai berikut : a. Barang siapa; b. Dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu; c. Merampas nyawa orang lain; d. Yang menyuruh melakukan, mereka yang melakukan atau turut serta melakukan; Jika melihat unsur-unsur diatas, maka keseluruhan dari Pasal 340 KUHP haruslah terpenuhi terlebih dahulu, apabila tidak terpenuhi maka tidak dapat dikatakan sebagai pembunuhan berencana. Maka perlu dilihat lebih dalam mengenai kesesuaian fakta-fakta hukum dipersidangan sehingga dapat menemukan kebenaran materiil. Selain itu, terhadap hal yang dilakukan oleh terdakwa, apakah terdakwa mengetahui bahwa hal yang dilakukannya tersebut adalah suatu kesengajaan untuk melakukan pembunuhan berencana ataukah tidak ada niat sama sekali dari terdakwa untuk membunuh. Dan hal yang ketiga adalah, terbukti kah dalam persidangan dalam pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum maupun Kuasa Hukum Terdakwa apakah terdakwa secara sah dan meyakinkan Universitas Sumatera Utara 15 bersalah atau tidak bersalah sama sekali. Oleh tiga alasan diatas maka penulis mengangkat skripsi ini, karena sebagai mahasiswa fakultas hukum maka perlu lah mengetahui dan mencari tahu tentang peranan pembuktian dalam menentukan tindak pidana apa yang sebenarnya terjadi. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana peranan pembuktian dalam perkara pembunuhan berencana? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian dalam menentukan keputusan hakim terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dan penaganiayaan berencana di Putusan Pengadilan No. 1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan dari Pembunuhan Berencana dengan Penganiayaan Berat Berakibat Kematian; 2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara dalam putusan Pembunuhan Berencana; Penulisan Skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Universitas Sumatera Utara 16 a. Penulisan skripsi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teroritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan tindak pidana yang diatur dalam Buku II KUHP; b. Dengan adanya skripsi ini kiranya mampu untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya didalam hukum tindak pidana pembunuhan serta penganiayaan. 2. Manfaat Praktis Dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama penegak hukum tentang perbandingan secara mendasar mengenai tindak pidana pembunuhan bencana dengan penganiayaan berat berakibat kematian. D. Keaslian Penulisan Penulisan ini telah diperoleh dari literatur perpustakaan, informasi dan ilmu yang diperoleh dari perkuliahan serta dari media massa baik media cetak maupun media elektronik yang pada akhirnya dituangkan dalam bentuk skripsi. Maka, keaslian penulisan dalam menjamin adanya. Meskipun dalam tulisan ini terdapat pendapat dan kutipan-kutipan dari berbagai sumber, hal ini semata-mata adalah sebagai bahan penunjang dalam penulisan ini karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan demi memenuhi kesempurnaan penulisan penelitian ini Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Putusan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana (Putusan No.1359/Pid.B/2014/Pn.Jkt.Pst) belum pernah diajukan. Oleh karena itu, maka Universitas Sumatera Utara 17 penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, maka dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat dimintakan pertanggungjawabannya. E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Putusan hakim Eksistensi Putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah “Putusan Pengadilan” sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan adanya “putusan Hakim” ini, diharapkan para pihak dalam perkara pidana khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain yang berupa menerima putusan, langkah berikutnya antara lain yang berupa menerima putusan, melakukan upaya banding/kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Kalau kita bertitik tolak pada pandangan doktrina, hukum positif/ius operatum atau ius constitutum, dapatlah diberikan batasan “putusan hakim”/putusan pengadilan” adalah sebagai berikut : a. Leden Marpaung menyebutkan pengertian “ Putusan Hakim” sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 18 “Putusan Hakim adalah “Hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah ` dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan”. Demikian dimuat dalam buku ”Peristilahan Hukum dalam Praktik” yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia 1985 halaman 221. Rumusan diatas dirasa kurang tepat. Selanjutnya, jika dibaca pada buku tersebut ternyata “putusan dan “keputusan” dicampuradukkan. Mengenai kata “putusan” yang diterjemahkan dari hasil vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang Pengadilan. b. BAB I angka 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( Undangundang No : 8 tahun 1981 ) menyebutkan “Putusan Pengadilan” adalah : “Pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang Pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.” c. Menurut Asumsi Penulis pada buku ini ditinjau dari visi teoritik dan praktik, “Putusan Pengadilan” itu adalah : “Putusan yang diucapkan oleh Hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan ammar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan Universitas Sumatera Utara 19 hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya. 14 Praktiknya terdapat beberapa bentuk dari Putusan Hakim, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Putusan Bebas (Vrijspraak) Secara teoritik, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa Kontinental lazim disebut dengan istilah putusan “Vrijspraak”, sedangkan dalam rumpun Anglo Saxon disebut putusan “Acquital”. Pada asasnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan. Konkretnya, terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Atau untuk singkatnya lagi terdakwa “tidak dijatuhi pidana”. Apabila kita bertitik tolak pada ketentuan Pasal 191 (1) KUHAP, putusan bebas/vrijspraak dapat dijatuhkan oleh Majelis Hakim oleh karena : 1) Dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan ; 2) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Sedangkan menurut penjelasan pasal demi pasal atas Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan 14 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana. Normatif, Permasalahannya (Bandung : P.T.Alumni, 2007), hlm. 201-203. Teoritis, Praktik, Dan Universitas Sumatera Utara 20 kepadanya tidak cukup terbukti menurut penilaian Hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini.15 b. Putusan Pelepasan dari Segala tuntutan Hukum (Onslag van alle Rechtsvervolging). Ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengatur secara eksplisit tentang “putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum” atau “Onslag van alle Rechtsvervolging”. Pada ketentuan Pasal tersebut diatas, putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dirumuskan dengan redaksional bahwa : “Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu perbuatan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Dengan demikian, dari titik tolak ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP ditarik suatu konklusi dasar bahwasanya pada putusan pelepasan, tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntu Umum memang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut bukan merupakan “perbuatan pidana”, tetapi misalnya termasuk yurisdiksi hukum perdata, hukum adat ataukah hukum dagang. Apabila secara intens diperbandingkan antara putusan bebas (vrijspraak/acquital) dengan putusan pelepasan pelepasan dari segala tuntutan hukum (Oslag van alle Rechtsvervolving).16 15 Ibid., hlm. 217-218 Ibid., hlm. 223-224. 16 Universitas Sumatera Utara 21 c. Putusan Pemidanaan Putusan pemidanaan atau “veroordeling” pada dasarnya diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP dengan redaksional bahwa : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana” Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Lebih tepatnya lagi, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal183 KUHAP. Selain itu, dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, jikalau terdakwa itu tidak dilakukan penahanan, dapat diperintahkan Majelis Hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam aspek terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya , apabila terdapat cukup alasan untuk itu (Pasal 193 ayat (2) KUHAP). Sedangkan terhadap lamanya pidana (“sentencing” atau “straftoemeting”) pembentuk Undang-undang memberi kebebasan kepada Hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap Pasal yang terbukti dalam persidangan. Mengenai masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang judex facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan Universitas Sumatera Utara 22 pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan undang-undang sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.17 2. Tindak pidana Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari Strafbaar feit. Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit di dalam KUHP maupun diluar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menetukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak. Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan tindakan/perbuatan memiliki makna yang berbeda. Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan tidak berbuat, sehingga definisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas. Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (Wvs) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk 17 Ibid., hlm. 231-232. Universitas Sumatera Utara 23 menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaarfeit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana. Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, namun adakalanya tindak pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang. Suatu peristiwa itu dapat atau tidak dapat dipidana, ditentukan oleh pembuat undang-undang bukan ditentukan oleh pendapat umum.18 Uraian di atas telah dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda straftbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.19 3. Subjek (pelaku) tindak pidana KUHP memandang yang dapat menjadi subyek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subyek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman /pidana yang termuat dalam Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda.Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai 18 Mohammad Eka Putra, Op.Cit., hlm. 74-77. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di PT.Eresco,1986), hlm. 55, (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro II) 19 Indonesia (Bandung: Universitas Sumatera Utara 24 badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyaraktan, timbul gejalagejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak pidana.20 Jadi dapat disimpulkan bahwasanya yang dapat dikatakan Pelaku Tindak Pidana adalah Manusia (natural person) serta Korporasi (legal person). a. Manusia (natural person) Dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal bahwa subjek dari sesuatu tindak pidana bukan hanya manusia saja, tetapi juga hewan. Sampai abad ke-17 hukum (pidana) pernah menerapkan pidana terhadap hewan, namun setelah itu hanya manusia yang menjadi subjek hukum. Pada abad pertengahan (tahun 1571) pernah dipidana seekor banteng (sapi), karena membunuh seorang wanita. KUHP menyebutkan yang dapat menjadi subjek hukum pidana ialah natuurlijke persoon, atau manusia. Hal itu dapat dilihat dalam tiap-tiap Pasal KUHP, Buku II dan Buku III. Sebagian besar kaidah-kaidah hukum pidana di dalam KUHP dimulai dengan kata barangsiapa sebagai terjemahan dari kata Belanda hij. Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subjek hukum pidana. 21 b. Korporasi (legal person) Hukum tidak hanya memikirkan manusai sebagai subjek dalam hukum. Dengan demikian, disamping manusia, hukum masih membuat konstruksi fiktif yang kemudian diterima, diperlakukan dan dilindungi seperti halnya ia 20 Ibid, hlm. 55. Mohammad Ekaputra, Op.Cit , hlm. 22-23. 21 Universitas Sumatera Utara 25 memberikan perlindungan hukum terhadap manusia. Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana yang terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula koorporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun badan hukum. Dalam hal ini koorporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes for corporation). Dengan dianutnya paham bahwa koorporasi sebagai subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan hukum dianggap mampu dipertanggungjawabkan dalam melakukan hukum tindak pidana dan pidana (corporate dapat criminal responsibility).22 F. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Spesifikasi penelitian Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersifat deskriptif. Deskriptif artinya bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karateristik dari fakta-fakta (individu, kelompok, atau keadaan), dan untuk 22 Ibid., hlm.25. Universitas Sumatera Utara 26 menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.23 Dalam penulisan skripsi ini yang mengacu kepada penelitian hukum normatif yaitu mengkaji ketentuan- ketentuan tentang pelaksanaan dalam pemberian bantuan pembayaran premi asuransi pertanian oleh Pemerintah. Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis. Penelitian normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap pengertianpengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.24 2. Data penelitian Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. 25 Data penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan (library research) untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekundar, serta bahan hukum tersier.26 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, dimana data yang diperoleh secara tidak langsung. a. Bahan hukum primer Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang 23 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta : Garanit, 2004), hlm. 58. Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.15 25 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm.172 26 Sumaidi Suryabrata, Metode Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm. 39. 24 Universitas Sumatera Utara 27 Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan peraturan-peraturan lainnya. b. Bahan hukum sekunder Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang asuransi pertanian seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan permasalahan diatas. c. Bahan hukum tersier Semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan keteranganketerangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan sebagainya. 3. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan penelusuran pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data dari informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah dan juga perundang-undangan yang berkaitan dengan materi penelitian. Muhammad Nazil berpendapat dalam bukunya, dikemukakan bahwa studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi Universitas Sumatera Utara 28 penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.27 4. Analisa data Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data berikut dengan analisisnya.28 Metode analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.29 Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.30 Penarikan kesimpulan terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun induktif, sehingga akan dapat merangkum jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun.31 G. Sistematika Penulisan Sistem penulisan untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, sehingga pembahasan didalamnya harus disusun secara sistematis.Untuk memudahkan 27 Muhammad Nazil, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia,2010), hlm. 111 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 69. 29 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 28 hlm. 11. 30 Ibid.,hlm. 10. Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research (Pengantar Metodologi Ilmiah) (Bandung: Tarsito, 1982), hlm. 131. 31 Universitas Sumatera Utara 29 penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya penguraian alam bab per bab secara teratur dan berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah : BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan bab pendahuluan yang pokok isinya menguraikan tentang latar belakang pengangkatan judul skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian judul, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II PERANAN PEMBUKTIAN DALAM KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA DAN PENGANIAYAAN BERENCANA Bab ini menjelaskan tentang apa yang dimaksud mengenai pembunuhan berencana serta penganiayaan berencana. Dimana dalam bab ini juga akan membahas mengenai peranan pembuktian dalam menentukan putusan hakim dalam pemeriksaan suatu perkara pidana. BAB III ANALISIS PERANAN PEMBUKTIAN TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA PIDANA DALAM PUTUSAN NO. 1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST Bab ini akan membahas mengenai analisis kasus terhadap putusan hakim dalam perkara pidana NO.1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST, tentang hal-hal yang terjadi dalam persidangan. Baik kronologis kasus, dakwaan, fakta hukum, tuntutan pidana, pertimbangan hakim, putusan. Hal-Hal tersebut diatas akan dianalisis oleh Universitas Sumatera Utara 30 Penulis untuk mendapatkan data yang valid mengenai putusan yang tepat dalam perkara ini. BAB IV PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dan saran, yaitu sebagai bab yang berisikan kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya dalam skripsi ini. Universitas Sumatera Utara