13 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORETIS, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Tidak mudah menemukan studi tentang industrialisasi musik pop karena kenyataannya istilah industrialisasi lebih sering dilekatkan dengan industrialisasi manufaktur daripada industrialisasi jasa, seperti musik. Satu karya penting yang ditemukan terkait dengan penelitian ini adalah tulisan ”The Industrialization of Music” dalam buku Music for Pleasure karya Simon Frith (1988). Tulisan Frith tersebut diperbaruinya sendiri menjadi ”The Industrialization of Popular Music” dalam buku The Popular Music Studies Reader (disunting Andy Bennet, dkk., 2006). Hanya bahasan Frith dalam kedua tulisannya adalah tentang industrialisasi musik populer (popular music), khususnya musik rock. Musik rock sendiri, seperti halnya musik pop, tergolong musik populer tetapi jelas bahwa musik rock tidak sama dengan musik pop meskipun sama-sama ber-ibu musik populer. Menurut Frith (1988; 2006), musik (musik populer, khususnya musik rock) merupakan suatu produk dari proses-proses historis yang ditentukan oleh pengaruh perubahan teknologi (effects of technological change), aspek-aspek perekonomian dari pop itu sendiri (the economics of pop), dan adanya budaya musik baru (a new musical culture). Baginya, musik tidak hanya dilihat dari 14 perspektif ekonomi politik (political economy) yang memang biasanya merupakan bagian terbesar, tetapi juga perkembangan-perkembangan teknologi dan perubahan-perubahan sosial-budaya. Pendapat Frith tersebut memberikan wawasan aspek-aspek keindustrialisasian musik dan bahkan istilah industrialisasi dalam penelitian ini terinspirasi dari karya Frith (1988; 2006) tersebut. Sejumlah konsep umum kemusik-popan dipinjam dari karya Dieter Mack Apresiasi Musik: Musik Populer (1995) di mana yang terpenting adalah konsep musik pop (pop music) (yang dijelaskan pada subsub-bab selanjutnya) untuk membedakannya dengan konsep musik populer (popular music) yang di antaranya mencakup musik pop itu sendiri. Namun demikian, musik populer dalam judul buku ini mengacu pada musik populer, sehingga pembahasan Mack begitu luas hingga di luar jenis musik pop. Ia menjelaskan musik pop secara agak khusus pada Bab 3 yang diberi judul ”Tentang Istilah ’Folk-Music’, ’Musik Populer’, ’Popular Music’, ’Pop Music’”. Tentu saja buku ini bersifat umum dan tidak membahas musik pop daerah, apalagi musik pop Bali dengan proses industrialisasinya seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. Studi Yuka Dian Narendra, Yunoke Rahma Andayani, dan Ispawati Asri ”Copyright, Panopticon dan ISA: Hak Cipta dan Kesadaran Palsu dalam Industri Musik Indonesia” dalam Marcommers Jurnal Marketing Communication & Advertising, Vol. 1, No. 1, Oktober 2009, menunjukkan realitas ketidakadilan sistem bagi hasil antara seniman (musisi) dan industri musik (pemilik modal) di Indonesia. Menurut mereka, seharusnya seniman 15 (musisi) yang paling berhak atas hasil keuntungan produksi musik tetapi yang terjadi adalah seniman memeroleh jumlah yang paling kecil dibandingkan pemilik modal. Untuk itu, penelitian penulis tentang industrialisasi musik pop Bali secara umum sejalan dengan pandangan mereka tetapi lokasi penelitian dan jenis musikal yang dipilih tidak sama. Mereka memilih lokasi Indonesia dengan jenis musik yang umum sedangkan penulis memilih Bali dengan musik pop Balinya. Buku wartawan khusus musik harian terkemuka Indonesia Kompas Theodore K.S. (2013) Rock ’n Roll Industri Musik Indonesia, Dari Analog ke Digital membahas tentang sejarah industri musik Indonesia sejak 1950 sampai 2000, yang umumnya berupa sejarah musik pop. Sebagai buku sejarah perjalanan permusikan Indonesia, penulisnya menyajikan data akurat yang melimpah di sepanjang bukunya, yang merentang sejak era perekaman suara di masa pendudukan Belanda di Indonesia, dilanjutkan era produksi kaset, sampai era ringback tone dan seterusnya. Buku ini juga membahas persentase beaya produksi berbanding keuntungan yang diperoleh perusahaan rekaman pada masa lalu dan kronisnya pelanggaran hak cipta musik di Indonesia. Buku ini menjadi salah satu sumber untuk pembahasan aktivitas produksi dan distribusi dalam musik pop. Hanya, buku ini terbatas pada fokus musik (pop) Indonesia dan datanya hanya sampai tahun 2000. Dalam hubungan dengan praktik pemaknaan dalam industrialisasi musik Bali, karya musisi terkemuka Indonesia saat ini Melly Goeslaw Balance (2012) dijadikan perbandingan untuk melihat keberadaan industrialisasi musik 16 pop Bali. Karya Goeslaw tersebut tentu berbeda dengan penelitian ini karena ia melihat konteks Indonesia dengan musik Indonesianya (terutama musik pop Indonesia) sebagai musik nasional sedangkan penelitian ini berkonteks Provinsi Bali dengan musik pop Balinya sebagai jenis musik daerah. Menurut Goeslaw (2012: 46-49), ada sejumlah faktor penentu keberhasilan produk dalam industri musik. (1) Lagu yang meliputi melodi dan lirik. (2) Aransemen yang sesuai dengan lagu dan lirik. (3) Produser. (4) Penyanyi. (5) Label, bisa berupa produser eksekutif atau pihak yang mendanai segala kelangsungan proyek sebuah single atau album. (6) Promosi yang mencakup strategi pemasaran dengan cara memantau kompetitor dan pasar yang sedang berjalan. (7) Nasib, yakni faktor akhir dari segala upaya yang sudah dikerjakan. Terhadap pertanyaan mengapa semua orang ingin menjadi artis, Goeslaw (2012: 76-79) memberikan alasan-alasan berikut. (1) Karena kaya atau memiliki cukup modal untuk membeli lagu gubahan komposer mana pun yang diinginkan. (2) Merasa diri cantik atau ganteng. (3) Memiliki garis keturunan penyanyi, bintang film, atau model. (4) Sejak kecil jatuh cinta terhadap seni dan ingin mendedikasikan hidupnya untuk seni. (5) Dipandang masyarakat sebagai kelompok sosial tingkat tinggi, bergaya hidup mewah, serba mahal, dan terkenal. Goeslaw (2012: 35-37) menegaskan, dalam industri musik, masyarakat dapat digolongkan sebagai berikut. (1) Kelompok yang menyukai musik dan memiliki latar belakang bermusik atau sekolah musik akademis atau privat. (2) Kelompok yang menyukai musik tetapi tidak memiliki latar bermusik yang kuat atau hanya tahu setengah-setengah. (3) Kelompok 17 yang sengaja atau tanpa sengaja memilih sebagai ”penggoyang” (umumnya media). (4) Kelompok yang berprofesi sebagai seniman sejati (bermental indie). (5) Kelompok atas (bos-bos yang membawahi semua kelompok, seperti kelompok label). (6) Kelompok (masyarakat) awam. (7) Kelompok artis atau selebritas. I Nyoman Darma Putra membahas persoalan lagu pop dalam satu artikel berjudul ”Kecenderungan Tema Politik dalam Perkembangan Mutakhir Lagu Pop Bali” di Jurnal Kajian Budaya, Volume 1, Nomor 2 (2004) yang kemudian dibuat menjadi bab ”Politik Lagu Pop Bali” dalam Bali dalam Kuasa Politik (2008). Menurut Darma Putra dalam kedua tulisannya, lagu pop Bali mengalami kebangkitan menjelang akhir dasawarsa 1990-an atau memasuki dasawarsa 2000-an. Gerakan reformasi Indonesia yang menghancurkan Orde Baru pada tahun 1998, mendatangkan era demokratisasi dan kebebasan politik melalui dua Pemilu demokratis (1999 dan 2004). Hal ini ditangkap musisi Bali untuk menciptakan tema-tema politik dalam lagu(-lagu) pop yang diciptakan, sebagai responsnya terhadap situasi kepolitikan yang dituangkan ke dalam proses estetika lagu pop Bali. Kata politik dalam studi Darma Putra menunjukkan keterkaitan dengan penelitian ini namun politik yang dimaksudkannya adalah politik kekuasaan (politics of power), misalnya tindak tanduk penguasa/pejabat pemerintah dan wakil rakyat (anggota legislatif). Dalam penelitian ini, politik diniatkan sebagai politik kebudayaan (politics of culture), yakni bagaimana kebudayaan (dalam hal ini industrialisasi musik pop Bali) dipergulatkan secara kritis dan politis sedemikian rupa dalam konteks 18 ekonomi, sosial (konsumen), budaya (rakyat/masyarakat), dan politik (negara). Dengan itu, studi Darma Putra menjadi sumber dalam penulisan sejarah perjalanan musik pop Bali pada Bab IV penelitian ini. Buku Rudolf Dethu berjudul Blantika Linimasa: Kaleidoskop Musik Non-trad Bali, Sejak Lahir, Tumbuh Kembang, Berdiri, Pingsan, Berdiri Lagi, dan Menolak Mati (2011) dijadikan salah satu acuan dalam penelitian ini karena mampu memotret sejarah perjalanan musik nontradisional Bali, termasuk dalam hal ini musik pop Bali, dari awal munculnya sampai dasawarsa 2000-an. Bahkan di dalamnya terdapat banyak catatan peristiwa di luar aspek musikalitas, sehingga relevan dengan pembahasan industrialisasi musik pop Bali dalam penelitian ini. Meskipun cukup informatif, sebagai suatu kaleidoskop, karya Dethu hanya mendokumentasikan secara karikaturis (ciriciri pokok) dari fenomena-fenomena yang ada dan tidak melakukan penelusuran mendalam. Penggambaran ciri-ciri pokok musik pop Bali tersebut digunakan memerkaya penelitian ini, khususnya penggambaran kesejarahan setiap era/masa yang ada. Berdasarkan uraian di atas, tidak ditemukan penelitian industrialisasi musik pop Bali di wilayah Provinsi Bali, lebih-lebih sebagai sebuah kajian budaya (cultural studies) yang bersifat kritis dan emansipatoris. Sepanjang diketahui, tidak ada penelitian yang membahas secara utuh industrialisasi musik pop Bali dalam jalinannya dengan ideologi, kepentingan, dan praktik pergulatan makna yang mengiringinya. Namun demikian, studi-studi yang disebutkan di 19 atas tentu menjadi bahan-bahan intelektual berharga dalam upaya melaksanakan penelitian ilmiah menurut paradigma kajian budaya yang dimaksud. 2.2 Konsep Penelitian ini menggunakan sejumlah konsep terpenting. Konsepkonsep tersebut adalah budaya pop, musik pop, dan musik pop Bali; industrialisasi musik pop Bali; produksi, distribusi, dan konsumsi; kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media; dan ideologi, kepentingan, dan praktik. 2.2.1 Budaya Pop, Musik Pop, dan Musik Pop Bali Para pakar kajian budaya mengakui bahwa sebenarnya tidak mudah menjelaskan apakah budaya pop. Meskipun demikian, tentang budaya dalam kaitannya dengan budaya pop, Storey (2006: 2-3) menjelaskannya dalam konteks kajian budaya sebagai berikut. Budaya dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politis ketimbang secara estetis. Objek kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai objek keadiluhungan estetis (”seni tinggi”); juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sama-sama sempit, yaitu sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spiritual; melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Inilah definisi budaya yang bisa mencakup dua definisi sebelumnya, selain itu, dan ini sangat penting, melibatkan kajian budaya pop bisa bergerak melampaui eksklusivitas sosial dan sempitnya definisi budaya ini. Walaupun cultural studies tidak bisa (dan seharusnya tidak) direduksi menjadi kajian budaya pop (study of popular culture), tak dapat disangkal bahwa kajian budaya pop bersifat sentral bagi proyek cultural studies. Mengenai istilah pop (popular/populer), Kellner (2010: 44-45) berpendapat, 20 Pada awalnya, istilah ”populer” digunakan oleh dua orang pendiri cultural studies Inggris (Stuart Hall dan Raymond Williams) untuk merujuk pada budaya kelas pekerja tertentu yang relatif mandiri, yang berarti ”terdiri atas masyarakat”. Wacana tentang ”yang populer” juga telah lama digunakan di Amerika Latin dan berbagai daerah lain untuk menerangkan seni yang diproduksi oleh dan untuk masyarakat sendiri sebagai sebuah bentuk perlawanan atas budaya umum atau hegemonik, yang sering merupakan budaya kolonial yang dipaksakan dari atas. Jadi, di Amerika Latin, dan daerah-daerah lainnya, ”kekuatan populer” mewakili kelompok-kelompok yang berjuang melawan penguasaan dan penindasan, sementara ”budaya populer” diartikan sebagai sebuah budaya dari, oleh, dan untuk masyarakat, di mana mereka menghasilkan dan turut serta dalam berbagai praktik budaya yang menyuarakan beragam pengalaman dan aspirasi mereka. Menyebut produk-produk komersial yang termediasi secara massal dari industri budaya sebagai ”budaya populer”, dengan demikian, meleburkan pembagian antara dua bentuk budaya yang sama sekali berbeda. Menurut Mack (1995: 11-12), istilah populer berasal dari bahasa Latin yang berkaitan erat dengan kesan ”berhubungan dengan masyarakat atau rakyat”. Pada budaya Romawi, orang ”populer” adalah anggota partai rakyat yang mengambil posisi sebagai oposisi dalam sistem pemerintahan Romawi pada zaman itu. Istilah populer sebagai kata sifat yang menyangkut segala sesuatu yang diketahui kebanyakan orang, disukai kebanyakan orang, dan mudah dipahami rakyat. Mack (1995: 12) menyimpulkan, sesuatu yang populer tidak berkaitan dengan tafsiran kualitatif melainkan dengan aspek kuantitatif. Dalam kehidupan manusia kontemporer, terdapat banyak praktik dan teks budaya pop, selain musik pop. Budaya pop berwujud gagasan, perilaku, gaya hidup, atau benda budaya. Sebagai contoh adalah makanan (McD), minuman (Coca Cola), boneka (Barbie), majalah remaja, tabloid, televisi (MTV), acara televisi (opera sabun atau sinetron), karya sastra (novel pop), film pop, lukisan pop, atau handphone (hp). 21 Tidak semua jenis musik termasuk budaya pop. Musik klasik tidak digolongkan ke dalam budaya pop dan demikian juga dangdut yang begitu populer di Indonesia tidak merupakan musik pop tetapi tergolong musik yang populer. Dangdut tergolong budaya pop karena memiliki sejumlah karakteristik kebudaya-popan yang sejalan dengan musik pop, setidaknya sama-sama berasal dari budaya rakyat dan memiliki jumlah pendukung (penikmat) yang begitu banyak. Di beberapa komunitas dan kantong masyarakat di Indonesia, dibandingkan musik pop, dangdut bisa lebih populer dan disukai lebih banyak orang. Menurut Seneviratne (2012: 78-79), dangdut semakin relevan sebagai budaya populer karena kini juga memiliki nilai komersial. Dari penjelasan di atas, dalam penelitian ini, budaya pop disimpulkan sebagai sebuah konsepsi kritis-politis. Ia mencakup beragam gagasan dan perilaku manusia serta benda fisikal karya manusia yang ruang lingkupnya luas dan tidak terbatas pada kesenian. Ia disukai rakyat dan memang berasal dari rakyat tetapi sering dimanfaatkan oleh kapitalisme. Sebagai budaya massa, ia diproduksi dan didistribusi serta dikonsumsi secara massal. Dalam diskursus budaya pop, musik pop tidak bisa disamakan dengan musik yang populer. Menurut Mack (1995: 18-19), musik pop merupakan musik entertaining bercirikan bahasa (teks) dengan gambaran yang kuat secara emosional, frase-frase melodis yang mudah dipahami (di-sekuens-kan terusmenerus), dan instrumentasi yang bombastis dengan alat gesek, paduan suara sebagai latar belakang. Ditegaskannya (1995: 11), musik pop yang bermula di 22 Barat tidak bisa dilepaskan dari perkembangan media-media elektronik (radio, rekaman, piringan hitam, cassette, CD). Sebagaimana Mack (1995), yang dimaksud dengan musik pop dalam penelitian ini berbeda dengan musik yang populer. Musik pop adalah salah satu bentuk musik yang populer. Di Barat, musik yang populer mencakup jazz, rock, country, dan sebagainya, selain musik pop itu sendiri. Dalam tulisan Usman (2000) berdasarkan penelitiannya pada tahun 1980 ”Apresiasi Masyarakat Yogyakarta terhadap Musik Populer”, musik (yang) populer mencakup lagu pop daerah, pop Indonesia, dan irama Melayu/ndang-dut. Bila dicermati, musik pop tidak sama dengan lagu pop meskipun dalam beberapa kasus keduanya sering disinonimkan dan digunakan secara saling menggantikan. Hal ini perlu ditegaskan karena banyak pihak mengacaukan pengertian keduanya. Dalam konteks bahasa Inggris, kata pop music (musik pop) berbeda dengan pop songs (lagu-lagu pop). Kalau musik pop dikaitkan dengan persoalan komprehensif industri dan industrialisasi termasuk aspek-aspek estetika dan asal usul kerakyatan selain kepolitikannya, maka lagulagu pop cenderung terbatas dengan persoalan estetika dan kerakyatannya. Bahkan, dengan cara yang berbeda, Pramayuda (2010: 25) menyatakan bahwa musik secara umum bukan hanya lagu tetapi juga suara-suara lain yang disengaja maupun tidak disengaja. Musik pop memiliki pengertian lebih luas dan kompleks daripada lagu pop. Musik pop, di samping mencakup lagu pop itu sendiri, membahas aspekaspek industrialisasi yang terkait dengannya. Lagu pop lebih berkenaan dengan 23 keberadaannya sebagai produk kesenian sedangkan musik pop jauh lebih luas pengertiannya, hingga mencakup aspek-aspek politik, ekonomi, sosial-budaya yang mengelilinginya. Lagu pop adalah bagian dari persoalan industrialisasi yang terkait produksi karena merupakan produk sebagai hasil dari produksi dalam industrialisasi musik pop sedangkan musik pop dalam industrialisasi musik pop meliputi persoalan produksi, distribusi, dan konsumsi. Sebagaimana yang diterapkan dalam penelitian ini, sebagai budaya pop, musik pop adalah satu jenis musik populer yang disukai rakyat dan memang berasal dari rakyat. Dengan sentuhan kapitalisme yang menyediakan kekuatan ekonomi, kecanggihan teknologi, media, dan adanya budaya musik baru dalam masyarakat, ia diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi secara massal. Itulah sebabnya, sebagai budaya postmodernis, musik pop tidak berada di wilayah persoalan kesenian (estetika) semata tetapi lebih luas hingga bisnis (ekonomi) dan bahkan politis. Ia disebut budaya politis karena merupakan budaya yang melabrak batas-batas budaya tinggi-rendah. Musik pop Bali sendiri adalah bagian dari musik pop. Persoalannya adalah apakah yang sejatinya dimaksud dengan musik pop daerah (Bali) tersebut. Dalam kasus musik pop daerah di Indonesia, cara memahami musik pop daerah secara sederhana adalah dari jenis bahasa yang digunakan sebagaimana Edwin Juriens (2004) memahami lagu pop Sunda dan lagu pop Jawa. Dikatakan bahwa lagu pop Sunda dan lagu pop Jawa adalah lagu pop yang dinyanyikan dalam bahasa Sunda atau Jawa (Juriens, 2004). Tentu lagu pop daerah tidak hanya berkenaan dengan bahasa yang digunakan saja tetapi 24 juga dengan alat musik, tangga nada, koreografi, atribut visual (seperti kostum), sampai gaya komunikasi (dalam pertunjukan/show). Dalam penelitian ini, perlu dipertegas bahwa musik pop Bali adalah jenis musik modern, yaitu musik pop yang bersumberkan kekhasan Bali dalam karyanya, terutama (setidaknya) menggunakan syair/lirik berbahasa Bali. Pada awalnya, sistem notasi yang digunakan di dalamnya adalah pentatonik dengan laras pelog-slendro-pemero sebagai pengaruh penggunaan alat musik tradisional Bali (gangsa, cengceng, kendang, dan suling) yang dipadukan dengan alat musik modern (gitar, drum, keyboard, dan sebagainya). Dalam keberadaannya sebagai musik Bali, tema lagu yang dipilih adalah kehidupan manusia dan kebudayaan Bali. Pertunjukannya menggunakan ikon-ikon kebalian, seperti gaya komunikasi, busana, koreografi, dan tata panggung/dekorasi. Dengan semakin berorientasi keuntungan ekonomi, musik pop Bali berkembang dan mengalami perubahan signifikan dalam sejumlah aspeknya. Tema lagunya meluas dan tidak lagi mementingkan tata nilai konvensional (makna, pesan, dan petuah). Syair/liriknya semakin dicampur bahasa lain, terutama bahasa Indonesia. Notasinya didominasi diatonik yang merupakan musik modern (Barat). Alat musik modern mendominasi dan menggantikan alat musik tradisional karena sistem teknologi terbaru mampu menampilkan suara alat musik tradisional, baik dalam rekaman maupun pertunjukan. Tampilan panggung dan tampilan musisi pun semakin tidak Bali yang menunjukkan arah musik pop Bali yang semakin global. 25 2.2.2 Industrialisasi Musik Pop Bali Istilah industrialisasi musik dalam penelitian ini berasal dari karya Simon Frith (1988) berjudul ”The Industrialization of Music” dalam bukunya Music for Pleasure dan satu lagi tulisan dalam versi yang sedikit berbeda dari penulis yang sama dengan judul ”The Industrialization of Popular Music” yang termuat dalam buku suntingan Andy Bennet, Barry Shank, dan Jason Toynbee (2006) berjudul The Popular Music Studies Reader. Karya-karya Frith tersebut adalah tentang industrialisasi musik rock sebagai bagian dari musik populer (lihat Kajian Pustaka penelitian ini). Industrialisasi musik populer (rock) sebagaimana terjadi di negara-negara Barat yang digambarkan Frith (1988; 2006), dalam skala yang lebih kecil, senada dengan proses industrialisasi yang terjadi dalam kehidupan musik pop Bali di Bali. Konsep-konsep Frith tentang perubahan teknologi dan ekonomi politik terkait dengan aktivitas produksi dan distribusi dalam penelitian ini sedangkan konsepnya tentang perubahan sosialbudaya terkait dengan konsumsi. Industrialisasi (industrialization) secara etimologis berasal dari industri (industry) di mana kedua kata tersebut sangat berkaitan baik secara eksplisit maupun implisit. Mudana (2000) berpandangan, industri mengacu pada lembaga (perusahaan) dan pihak-pihak yang menjadi pelaku aktivitas produksi dan distribusi tersebut. Menurut Yanwardi, –isasi dianggap serapan (gramatikal) dari –ization yang sebenarnya dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan pe-(N)an yang bermakna (gramatikal) ”proses” (Kompas, 26 Sabtu, 22 November 2014, hal. 12). Industrialisasi dengan demikian dapat diindonesiakan menjadi ”(proses) pengindustrian” tetapi istilah ini tidak umum. Industrialisasi musik pop Bali sendiri adalah fakta berkembangnya musik pop daerah Bali menjadi suatu industri(-industri) bisnis berskala relatif cukup besar, yang melibatkan aktivitas produksi dan distribusi musik pop Bali itu sendiri di satu sisi dan kaitannya dengan konsumsi masyarakat terhadapnya di sisi lain. Industri-industri yang dimaksud berupa perusahaan-perusahaan dan berbagai usaha (bisnis) yang terkait dengan keberadaan produser/pemilik studio rekam, event organizer, musisi (pencipta lagu, arranger, penyanyi, pemain musik), dan sebagainya. Industrialisasi musik pop Bali dalam penelitian ini secara inheren bermakna industrialisasi musik pop Bali di wilayah Provinsi Bali. Berdasarkan penjelasan konsep-konsep sebelumnya, industrialisasi musik pop Bali adalah proses dan cara kerja industri musik pop Bali, yakni seluruh perusahaan dan para profesional yang terlibat dalam aktivitas produksi dan distribusi musik pop Bali yang menyebabkan adanya konsumsi masyarakat atau sebaliknya. Industri musik pop Bali setidaknya terdiri atas (1) pemilik modal, seperti produser/pemilik studio rekam atau production house (rumah produksi), di samping event organizer (pengelola pertunjukan), (2) musisi, seperti pencipta musik/lagu, penyanyi, dan pengiring/pemain musik, (3) saluran distribusi, termasuk pemilik toko kaset (cassette) dan compact disc (CD). Agar tercapai tahap konsumsi masyarakat, industri musik pop dalam proses 27 industrialisasi (khususnya distribusi)nya didukung media massa, terutama media elektronik. 2.2.3 Produksi, Distribusi, dan Konsumsi Bentuk industrialisasi musik pop Bali adalah produksi, distribusi, dan konsumsi jenis musik tersebut. Di dalamnya, secara umum terdapat proses kegiatan masif dalam produksi dan distribusi, yang memengaruhi konsumsi di mana, secara sebaliknya, konsumsi dan pasar (konsumen) pun dapat memengaruhi produksi dan distribusi tersebut, sehingga terbentuk industri(industri) yang terkait dengan ketiga kegiatan tersebut. Menurut pakar teori kritis Ben Agger (Jenks, 2013: 235), hubungan integral di antara produksi (permulaan kemunculan), distribusi (mediasi), dan konsumsi (penerimaan) merupakan representasi-representasi budaya dalam kajian budaya. Produksi adalah bagaimana produk digagas, dipikirkan, direncanakan, dibuat, sampai produk tersebut ada dan siap jual, sehingga menyangkut input, proses, dan output. Dalam industrialisasi musik pop Bali, pelaku produksi adalah produser/pemilik studio rekam yang merupakan sumber daya uang/modal di mana bahan-bahan produknya berasal dari sumber daya budaya/estetik (musisi Bali), seperti pencipta lagu, penyanyi, pemain musik, dan sebagainya. Distribusi adalah bagaimana produk dipromosikan, diiklankan, dimedia-kan (lewat media massa), ditawarkan, disebarkan, dijual menurut polapola distribusi yang direncanakan. Distribusi dalam industrialisasi musik pop 28 Bali dilakukan oleh produser/pemilik studio rekam di mana pekerjaannya sangat dibantu oleh sumber daya media, khususnya media elektronik, dalam hal ini radio dan terutama televisi. Konsumsi adalah bagaimana produk dikonsumsi dan dinikmati masyarakat konsumen. Pelaku konsumsi dalam industrialisasi musik pop Bali secara umum berasal dari masyarakat (etnik) Bali, dalam hal ini yang tinggal di wilayah Provinsi Bali, khususnya yang beragama Hindu. Sebagai istilah, industri dan kapitalisme berkonotasi industri manufaktur yang menawarkan produk-produk fisikal. Industri(alisasi) dan kapitalis(me) bersifat sejalan karena ideologi industri dan industrialisasi berkepentingan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Kapitalisme sendiri, menurut Barker (2005: 515-516), adalah sebuah sistem produksi dan pertukaran yang dinamis dan mengglobal yang didasarkan pada kepemilikian pribadi dan pencarian keuntungan. Bagi Marxisme, kapitalisme merupakan tantangan eksploitatif yang memunculkan hubungan-hubungan sosial berupa konflik kelas. Industri dan industrialisasi manufaktur modern (konvensional) berbeda dengan industri dan industrialisasi budaya pop (Mudana, 2000). Industrialisasi budaya pop sebagai bagian dari bisnis jasa dan informasi dapat disebut post-industri atau postkapitalisme di mana ”post-” sering diindonesiakan sebagai ”pasca-”. Menurut Piliang, post-industri adalah kegiatan produksi yang beralih dari produksi barang ke arah produksi jasa dan pengetahuan, dengan dukungan teknologi informasi dan komputerisasi (2004: 29 24). Masyarakat-masyarakat yang terindustrialisasi kini sedang menyaksikan adanya pergeseran lokus dari manufaktur industrial yang bergerak menuju industri jasa yang berpusat pada teknologi informasi (Barker, 2005: 518). Industrialisasi musik pop dalam diskursus kajian budaya dapat digolongkan post-industrialisasi dan postkapitalisme karena yang dimaksud adalah musik pop daerah, dalam hal ini musik pop Bali, dengan keterlibatan kebudayaan Bali dan masyarakat Bali sebagai sumber asal-muasal musik pop Bali. Namun demikian, baik istilah post-industri dan postkapitalisme maupun proses kerjanya yang disebut post-industrialisasi tidak digunakan dalam penelitian ini melainkan industri dan industrialisasi menurut latar emik dalam metodologi penelitian. 2.2.4 Kekuasaan Budaya, Kekuasaan Kapital, dan Kekuasaan Media Di bagian Latar Belakang (Bab I) sudah ditunjukkan bahwa kekuasaan mengambil sejumlah bentuknya tanpa terkecuali dalam industrialisasi musik pop Bali. Ada tiga kekuasaan berbeda di dalamnya tetapi saling bekerja sama. Kekuasaan budaya dalam industrialisasi musik pop Bali mencakup sumber daya artistik yang ada pada diri masyarakat, khususnya masyarakat musisi (musisi pop Bali), yang menyediakan bahan-bahan bagi produk-produk yang akan beredar. Kekuasaan kapital adalah para pemilik modal yang menggerakkan roda ekonomi atau memproses bahan-bahan musik pop Bali dari para musisi menjadi produk-produk yang siap jual. Kekuasaan media dalam industrialisasi musik 30 pop Bali merupakan sumber daya mediator pembantu distribusi yang menghubungkan antara produk-produk yang dibuat dan pasar atau calon pasar. Kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media dalam penelitian ini oleh Piliang (1998; 2004) disebut kekuasaan produser, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media sebagai pembentuk objek-objek estetik. Konsepsi tiga kekuasaan menurut Piliang (1998; 2004) tersebut tidak digunakan sepenuhnya dalam penelitian ini karena, bagi Piliang, kekuasaan produser adalah kekuasaan budaya (artistik) para seniman padahal, secara umum, kekuasaan produser adalah kekuasaan kapital. Dalam kajian budaya dan kajian ekonomi politik umumnya, produser/pemilik studio rekam itulah pemilik modal. Agar tidak terjadi kesalah-pahaman, dalam penelitian ini digunakan peristilahan (1) kekuasaan budaya (yang sama maksudnya dengan istilah Piliang produser), (2) kekuasaan kapital, dan (3) kekuasaan media. Kekuasaan politik (negara) dan lebih-lebih kekuasaan koersif (militer) tidak dibahas secara khusus dalam penelitian ini karena tidak terlalu banyak terkait kecuali sektor kepemerintahan lokal (Bali) secara umum dibahas pada Bab VII karena pemerintah tersebut (pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota) dengan kebijakannya memiliki keterkaitan dengan industrialisasi musik pop Bali. 31 2.2.5 Ideologi, Kepentingan, dan Praktik ”Ideologi, Kepentingan, dan Praktiknya” dalam penelitian ini menunjukkan fitur-fitur penting kajian budaya dari fenomena industrialisasi musik pop Bali yang ter-representasi dalam aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsinya. Kajian budaya sendiri senantiasa bersemangat emansipasi, sehingga ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam kajian budaya. Kajian budaya mencita-citakan rekonstruksi (perbaikan) sosial terhadap struktur dominan dalam kehidupan modern. Menurut Sardar dan Van Loon (2005: 9), kajian budaya setia pada evaluasi moral masyarakat modern. Tradisi kajian budaya setia pada rekonstruksi sosial dengan keterlibatan politik kritis. Jadi, kajian budaya bertujuan memahami dan mengubah struktur dominasi di mana pun tetapi secara lebih khusus dalam masyarakat kapitalis industri. Ideologi merupakan salah satu konsep krusial dalam kajian budaya pop (Storey, 2004: 3-4). Ideologi merupakan upaya untuk menetapkan makna dan pandangan dunia yang mendukung penguasa; peta-peta makna (maps of meaning) yang, meskipun tampak seperti kebenaran universal, sebenarnya merupakan pemahaman-pemahaman yang secara historis bersifat spesifik, yang menyelubungi dan melanggengkan kekuasaan kelompok-kelompok sosial (Barker, 2005: 515). Meminjam pandangan Karl Marx (di antaranya dalam Takwin, 2003: 57-63), ideologi adalah kesadaran palsu. Mengacu pada pandangan Agger (2005: 9), Lubis (2006: 63) meyakini, melalui teori kritis (critical theory), kajian budaya mencoba menyingkap kesadaran palsu karena kesadaran palsu memproduksi struktur dominasi yang dilanggengkan melalui 32 ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), pikiran satu dimensi (Marcuse), dan kuasa (Foucault). Mengacu pada Terry Eagleton dalam Ideology: An Introduction (1991), Althusser melihat bahwa ideologi tidak hanya terdapat dalam hubungan antara suprastruktur dan substruktur atau hubungan antara negara dan rakyat atau hubungan antara buruh dan majikan. Ideologi terdapat pada hubungan yang lain, bahkan dalam hubungan sehari-hari antar-orang. Baginya, ideologi ada pada diri setiap orang, hanya saja tidak disadari (Takwin, 2009: 84). Berhubung ada doktrin tentang bahaya ideologi politik tertentu dan keunggulan ideologi politik tertentu yang lain, di Indonesia sangat umum terjadi bahwa ideologi hanya merujuk pada pengertian ideologi sebagai ”–isme” atau aliran politik, seperti sosialisme, komunisme, liberalisme, dan konservatisme. Terjadi reduksi pengertian ideologi sebatas ideologi politik belaka. Pengertian dan realitas ideologi menyeluruh yang jauh lebih luas dari ideologi politik menjadi kabur bahkan tidak dikenal (Takwin, 2009: 5). Ideologi dalam ideologi-ideologi dalam industrialisasi musik pop Bali tentu bukan ideologi politik seperti itu. Ideologi yang dimaksud adalah ideologi dalam pengertian yang luas dan menyeluruh sebagaimana yang dipahami Takwin tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, dalam penelitian ini, ideologi dipahami sebagai upaya untuk menetapkan makna dan pandangan dunia yang tampak seperti benar (sebagai kebenaran universal) tetapi sesungguhnya merupakan kesadaran palsu karena ia mendukung kekuasaan. Karenanya tugas 33 kajian budaya adalah membongkar ideologi tersebut agar terkuak kebenaran yang sebenar-benarnya, setidaknya menurut para pelaku kajian budaya itu sendiri dalam posisionalitasnya yang tertentu. Ideologi tidak dapat dipisahkan dari keberadaan kepentingan (interests) berhubung kepentingan menunggangi ideologi. Setiap ideologi sudah pasti memiliki kepentingan. Kepentingan menjadi dasar dan alasan mengapa ideologi perlu digagas, dibangun, dan dijalankan. Pakar kajian budaya dari Centre for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham, Inggris, Raymond Williams dalam bukunya Key Words: A Vocabulary of Culture and Society (1976: 3) menulis, ideologi merupakan himpunan ide-ide yang muncul dari seperangkat kepentingan material tertentu atau, secara lebih luas, dari sebuah kelas atau kelompok tertentu. Berdasarkan pandangan R. Geuss dalam The Idea of a Critical Theory (1981: 47) sebagaimana ditafsirkan Hardiman (2009: 183), Kepentingan pada umumnya dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi kita karena suatu kepentingan mengungkapkan kaitan antara objek kepentingan itu dengan kemampuan kehendak kita. Secara umum, kepentingan adalah kepuasan yang kita hubungkan dengan suatu objek atau suatu tindakan. Suatu kepentingan mengandaikan adanya suatu kebutuhan dan sebaliknya, menghasilkan suatu kebutuhan. Filsuf Immanuel Kant membedakan dua macam kepentingan. Pertama, kepentingan murni atau kepentingan praktis dirasakan jika kebaikan moral yang bersifat praktis dilakukan. Kepuasan yang diperoleh karena memenuhi kewajiban moral ini ditentukan oleh prinsip rasio. Kedua, kepentingan patologis atau kepentingan empiris menunjukkan ketergantungan 34 kehendak pada kecenderungan subjektif demi keuntungan diri sendiri. Kepentingan empiris tidak tertarik pada tindakan melainkan pada objek tindakan sejauh memuaskan diri sendiri. Perbedaan kedua kepentingan terletak pada kaitannya dengan kebutuhan. Jika kepentingan pertama menyadarkan manusia akan suatu kebutuhan, kepentingan kedua justru muncul dari suatu kebutuhan (Hardiman, 2009: 183-184). Konsep kepentingan jenis kedua menurut Kant (dalam Hardiman, 2009: 183-184) ditambah konsep yang berasal dari Geuss (1981: 47) relevan dengan maksud konsep kepentingan dalam penelitian ini. Dengan kata lain, kepentingan terkait dengan eksistensi diri manusia dan merupakan adanya kebutuhan manusia yang menyebabkan dilaksanakannya tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan menyebabkan adanya kepentingan dan, sebaliknya, kepentingan menyebabkan adanya kebutuhan. Praktik dalam penelitian ini mengacu pada ”praktik-praktik (practices)” yang sudah sangat umum dalam pembicaraan kajian budaya, yaitu ”signifying practices” yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi ”praktik pemaknaan”. Signifying practices adalah ”praktik-praktik pemaknaan” atau ”praktik-praktik memaknai” dengan menguraikan terlebih dahulu para pelaku budaya yang memerebutkan dan membuat peta-peta makna, kemudian menguraikan terjadinya proses pergulatan tersebut dengan ideologi dan kepentingannya masing-masing, dan menguraikan bagaimana masingmasing pelaku budaya akhirnya menentukan makna (meaning) dan pemahamannya. Sejalan dengan itu, James Lull dalam bukunya Media, 35 Komunikasi, Kebudayaan, Sebuah Pendekatan Global (1998: 229) menyatakan, makna (meaning) adalah apa yang penting atau berarti bagi seseorang; makna tidak melekat dalam bentuk-bentuk simbolis melainkan dikonstruksikan oleh orang-orang yang menginterpretasikan lingkungan simbolis sesuai dengan orientasi, kepentingan, dan kompetensi mereka sendiri. Dalam penelitian ini, signifying practices dipadankan dengan ”praktik pergulatan makna”. Menurut Barker, signifying practices adalah aktivitasaktivitas penciptaan makna (meaning-producing activities); produksi dan pertukaran tanda yang bernilai, yaitu yang menghasilkan makna dan pemahaman (2005: 522). Dengan penggambaran bahwa ”praktik” yang dimaksud merupakan signifying practices di mana makna-makna harus dipergulatkan dalam pemerolehan dan pemetaannya, ”praktik” dalam subjudul penelitian ini sejalan dengan istilah ”praksis (praxis)” dalam aliran Marxisme, yaitu praktik-praktik yang dilakukan berdasarkan teori di samping sejalan dengan ”praktik (practice)” yang dimaksud Bourdieu (1990). Makna yang dimaksudkan dalam signifying practices bukan maknamakna modern yang bersifat stabil dan tunggal. Makna juga bukan sesuatu yang terberi, diwarisi, atau ada dengan sendirinya (given/taken for granted) melainkan sesuatu yang harus dipergulatkan, diperebutkan, dan diperjuangkan karena begitu banyak pihak yang terlibat dalam pembentukan peta-peta makna tersebut. Itulah sebabnya, konsepsi kritis tentang makna dalam kajian budaya, yakni pergulatan makna atau makna yang diperjuangan dan diperebutkan, 36 berbeda secara signifikan dengan berbagai ilmu lain, khususnya ilmu-ilmu modern-positivistik. 2.3 Landasan Teoretis Permasalahan yang secara ontologis bersifat plural dan kompleks dalam penelitian ini, sebagaimana ditunjukkan dalam pertanyaan-pertanyaan rumusan masalahnya, membutuhkan alat-alat ilmu pengetahuan (epistemologis) yang juga bersifat kompleks. Dengan sifat penelitian seperti itu, dibutuhkan teori-teori yang penggunaannya bersifat eklektik. Menurut Sanderson (1995: 619), eklektisme adalah suatu cara pandang yang menyatakan bahwa berbagai strategi teoretis harus digunakan secara kombinasi agar diperoleh penjelasan yang dapat diterima. Proses eklektisme dalam teoretisasi tema industrialisasi musik pop Bali dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagai fenomena industrialisasi akibat adanya kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media, industrialisasi musik pop Bali yang representasinya terlihat dalam aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi adalah sebuah mekanisme budaya pop, baik sebagai bisnis maupun aspek-aspek lain, sehingga Teori Musik Pop dengan dukungan Teori Budaya Pop digunakan untuk membahasnya. Kemudian, untuk melihat ideologi dan kepentingan apa yang bekerja secara bersembunyi dalam industrialisasi budaya pop tersebut, digunakan Teori Relasi Kekuasaan/Pengetahuan untuk menganalisisnya. Akhirnya, untuk melihat praktik pergulatan dan pemetaan makna (meaning) dari industrialisasi tersebut 37 secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik bagi masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya dan bagi perkembangan kebudayaan (seni-budaya) setempat, Teori Praktik digunakan untuk menganalisisnya. 2.3.1 Teori Musik Pop (Theodor Adorno) Musik Populer atau Musik Pop yang dimaksud Theodor Adorno (lahir 11 September 1903 dan meninggal 6 Agustus 1969) mencakup baik musik pop (pop music) maupun jazz dan rock. Dalam konteks penelitian ini, Teori Musik Populer dari Adorno dipersempit ke skup musik pop saja. Kenyataannya, Teori Musik Populer Adorno lebih sering disebut Teori Musik Pop. Sebagaimana seni, suasana musik pada saat tertentu sangat ditentukan oleh suasana politis dan sosio-historis zamannya dan demikian juga musik pada zaman Adorno (Budiarto, 2001: 56). Musik pada zaman Adorno bersuasana kapitalisme. Adorno sangat mengkritisi industri budaya, termasuk industri budaya yang terkait dengan musik, yang terlalu tunduk pada ekonomi uang dan tanpa mengindahkan idealisme estetik sebagaimana pada musik-musik klasik Schoenberg. Dalam sekejap dunia seakan dikuasai oleh sistem kapitalisme hingga segala sesuatu diukur berdasarkan permintaan dan penawaran (pasar) dan demikian juga karya-karya seni. Seperti karya-karya seni lainnya, musik pun tidak luput dari proses reifikasi sehingga diperlakukan sebagai komoditas saja (Budiarto, 2001: 56). Reifikasi berarti menganggap sesuatu menjadi benda 38 (res). Ia adalah proses membendakan atau menjadikan materi, yang bernilai komersial. Dalam bukunya Philosophy of Modern Music (1948), Adorno di beberapa tempat menyebut bentuk musik pada masanya sebagai bentuk konformisme baru, yaitu musik yang mengadakan kompromi dengan selera konsumen dan memenuhi kepuasan kaum borjuis sebagai penguasa ekonomi yang hanya menginginkan keuntungan (Budiarto, 2001: 59). Adorno (1948: 120) menekankan, Konsekuensi perkembangan musik yang dikuasai kaum borjuis telah tampak...dengan musik yang dimanipulasikan, dan hanya untuk kepuasan kaum borjuis saja. Sangat disayangkan bahwa peranan para seniman (connoisseurs) yang tinggal kecil saja semakin digantikan oleh mereka yang dapat membeli tiket untuk suatu pertunjukan. Maka jurang antara cita rasa masyarakat terhaap musik dan kualitas pengomposisian semakin lebar”. Menurut Adorno, dengan terjadinya monopoli peredaran musik (kaset) oleh kaum borjuis, masyarakat menjadi korban dari perdagangan budaya ini. Masyarakat dibanjiri dengan jenis-jenis musik yang keras, tak punya nilai seni, musik barbar, yaitu musik pop, hit, jazz, dan sebagainya, yang oleh Adorno disebut sampah (Budiarto, 2001: 61-62). Adorno (1948: 127) menunjukkan, dengan membanjirnya musik keras dan pop yang hadir di mana pun dan kapan pun, perspektif dan sikap kritis masyarakat menjadi tumpul. Esai-esai Adorno tentang musik pop menjelaskan bahwa musik pop mencakup tiga hal, yaitu standardisasi, pendengar pasif, dan perekat sosial. Dalam standardisasi, sekali suatu pola musik atau lirik berhasil dibuat maka ia akan dieksploitasi untuk tujuan komersial yang memuncak pada ”kristalisasi 39 standar”. Lebih jauh, rincian suatu lagu pop bisa jadi tukar-menukar dengan rincian lagu lainnya. Untuk menutupi standardisasi, industri musik melakukan ”individualisasi semu”. Adorno menyatakan, musik pop menciptakan pendengar pasif dan berlaku sebagai perekat sosial (Storey, 2004: 155-156). Teori Musik Pop terutama digunakan untuk menganalisis persoalan pertanyaan pertama dalam rumusan masalah penelitian ini, yaitu bagaimana bentuk industrialisasi musik pop Bali yang dihasilkan oleh jalinan kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media. 2.3.2 Teori Budaya Pop (John Storey) Dalam kajian budaya, budaya pop tidak saja berkaitan dengan sesuatu atau objek-objek yang bersifat estetik, esensialis, dan kebendaan (material) melainkan di dalamnya terdapat pergulatan, pertarungan, perjuangan, persaingan, kontestasi, konflik, dan hegemoni antarpihak terlibat. Terkait dengan karakteristik ideologis dan politis budaya pop, Barker (2005: 510) memahami budaya pop sebagai berikut. Teks-teks publik yang umum dan tersebar luas. Makna dan praktikpraktik yang dihasilkan oleh khalayak populer. Sebagai sebuah kategori politik, (budaya) populer adalah situs kekuasaan dan perebutan makna. Budaya populer melintasi batas-batas kekuasaan kultural dan menelanjangi karakter arbitrer klasifikasi kultural dengan cara menantang konsep tinggi/rendah. Sejalan dengan pernyataan Barker tersebut dan pandangan-pandangan konseptual tentang budaya pop (konsep budaya pop) di bagian sebelumnya, John Storey membentangkan Teori Budaya Pop dengan cara memaknai budaya pop itu sendiri ke dalam enam cara berbeda tetapi saling berhubungan berikut 40 ini. Menurut Storey (2004: 10-25), pertama, pop atau populer mengacu pada empat makna, yaitu banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, dan budaya yang memang dibuat orang untuk dirinya sendiri. Kedua, budaya pop merupakan budaya tertinggal/sisa (rendahan). Ketiga, budaya pop ditetapkan sebagai ”budaya massa.” Keempat, budaya pop berasal dari ”rakyat.” Kelima, budaya pop mengandung hegemoni. Terakhir, budaya pop berasal dari pemikiran postmodernisme. Budaya postmodern dianggap budaya yang tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi dan pop. Teori Budaya Pop digunakan untuk mendukung Teori Musik Pop. Secara kebetulan, Storey dalam buku yang sama menjelaskan keberadaan Adorno sebagai teoritisi Mazhab Frankfurt dengan sejumlah teori kritisnya, termasuk Teori Musik Pop. Teori Budaya Pop digunakan di sini karena asumsi pertama (pasal pertama dan kedua), asumsi kedua, asumsi kelima, dan asumsi keenam mengacu pada aktivitas produksi (dan secara otomatis proses distribusi) sedangkan asumsi pertama (pasal ketiga dan pasal keempat), asumsi ketiga, dan asumsi keempat mengacu pada konsumsi. Demikian juga, dalam Teori Musik Pop, asumsi pertama mengacu pada aktivitas produksi (dan distribusi) sedangkan asumsi kedua dan ketiga mengacu pada konsumsi. Baik Teori Budaya Pop maupun Teori Musik Pop tentu saja mengacu pada produksi, distribusi, dan konsumsi karena baik budaya pop maupun musik pop (sebagai bagian dari budaya pop) dalam konteks industrialisasi musik pop Bali samasama merupakan sesuatu yang tujuannya tidak lain untuk diperjual-belikan. 41 2.3.3 Teori Relasi Kekuasaan/Pengetahuan (Michel Foucault) Teori Relasi Kekuasaan/Pengetahuan dari Michel Foucault (lahir 15 Oktober 1926 dan meninggal 25 Juni 1984) yang disebut dengan sejumlah istilah lain, seperti Teori Relasional, Teori Relasi Kekuasaan (power relation), Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan (power/knowledge), Teori Genealogi/Arkeologi Pengetahuan, digolongkan ke dalam aliran postrukturalisme. Para pengguna teori ini biasanya menggunakan istilah-istilah (label) yang disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan yang dimilikinya. Istilah teori relasi kekuasaan/pengetahuan dipilih karena kekuasaan dengan segala kepentingannya ber-relasi dengan pengetahuan-pengetahuan yang diciptakannya. Selain merupakan teori kritis yang bersifat politik dan sesuai dengan karakteristik kajian budaya, Teori Relasi Kekuasaan/Pengetahuan adalah salah satu teori ideologi. Dalam buku Akar-akar Ideologi, Bagus Takwin (2009: 109112) memasukkan pandangan teoretis-konseptual Foucault ke dalam teori ideologi. Menurut Takwin, (istilah) diskursus digunakan oleh Foucault sebagai pengganti ideologi. Penggantian ini dilakukan untuk menghindari pengertian ideologi dalam arti sebelumnya (2009: 112), yakni ideologi yang semata-mata merupakan persoalan yang muncul dari hubungan suprastruktur (”atas”) dan substruktur (”bawah”). Kenyataannya, ideologi tidak saja berlangsung dalam hubungan antara struktur atas dan struktur bawah seperti hubungan antara negara dan masyarakat (disebut makro-politik). Ia juga menyebar dan merata, hingga mencakup kekuasaan-kekuasaan yang berskala kecil (disebut mikro- 42 politik). Misalnya dalam industrialisasi musik pop Bali, kekuasaan menyebar yang meliputi hubungan antara musisi dan produser/pemilik studio rekam yang sama-sama berada dalam satu ruang proses produksi. Bagi Foucault (Takwin, 2009: 109), ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan di mana saja. Ideologi tentu tidak sama dengan pengetahuan dalam frasa teori relasi kekuasaan/pengetahuan tetapi keduanya sejalan. Intinya adalah, dalam teori tersebut, kekuasaan ber-relasi dengan pengetahuan, di samping dengan ideologi. Buku F. Budi Hardiman Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan bersama Jurgen Habermas (2009) menunjukkan eratnya kaitan di antara ideologi, pengetahuan, kebenaran, dan makna di satu sisi, dan relasi ideologi, pengetahuan, kebenaran, dan makna tersebut dengan kepentingan dan kekuasaan di sisi lain. Dalam buku tersebut, Hardiman berhasil menguraikan apa yang diniatkan Jurgen Habermas dari Mazhab Frankfurt dalam membongkar relasi antara pengetahuan dan kepentingan sebagai sebuah kritik ideologi. Kekuasaan/pengetahuan menyangkut keterkaitan antara kekuasaan dan pengetahuan sehingga produksi pengetahuan dipahami terkait dengan rezim kekuasaan. Analisis “genealogi” Foucault menguraikan relasi antara kekuasaan dan pengetahuan dan bagaimana relasi tersebut terjalin dalam formasi diskursif (discursive formation), yakni sebuah kerangka kerja konseptual yang memungkinkan diterimanya beberapa mode pemikiran dan ditolaknya beberapa mode pemikiran lainnya. Menurut Foucault (2002: 9), discourse tidak lain cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk 43 subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek tersebut. Foucault (1977: 27-28) menyatakan sebagai berikut. Kekuasaan menciptakan pengetahuan… Kekuasaan dan pengetahuan saling menghasilkan… Tidak ada kekuasaan tanpa hubungan dengan bidang pengetahuan tertentu. Tidak ada pengetahuan yang tidak memuat hubungan dengan kekuasaan. Hubungan “kekuasaanpengetahuan” ini harus diteliti… bukan berdasarkan seorang peneliti yang bebas atau tidak dari kekuasaan. Sebaliknya, subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan bahan-bahan pengetahuan harus dipandang sebagai dampak implikasi dari hubungan kekuasaanpengetahuan dan perubahan-perubahannya dalam sejarah. Singkatnya, bukanlah tindakan subjek yang menghasilkan pengetahuan, tetapi kekuasaan-pengetahuan, proses dan pergulatan yang mewarnainya dan menciptakannya, yang menentukan bentuk dan bidang pengetahuan yang mungkin. Bagi Foucault, diskursus adalah kerangka kerja yang ditentukan oleh yang berkuasa yang ditetapkan melalui hubungan-hubungan kekuasaan yang mendasarinya (dalam Fakih, 1997: 169). Setiap diskursus tentang kebudayaan tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan. Teori Relasi Kekuasaan/Pengetahuan digunakan terutama untuk membahas rumusan masalah penelitian untuk pertanyaan kedua, yaitu ideologi dan kepentingan apa yang bekerja dalam industrialisasi musik pop Bali. 2.3.4 Teori Praktik (Pierre Bourdieu) Teori praktik (theory of practice/practice theory) atau Teori Generatif atau Teori Struktural Genetik Pierre Bourdieu menekankan keterlibatan subjek (yaitu masyarakat) dalam konstruksi kebudayaan. Masyarakat dianggap aktif 44 membuat kebudayaan, dan kebudayaan merupakan arena perjuangan (perebutan kuasa), sehingga kebudayaan berubah secara terus-menerus, berproses, dan cair. Tujuan umum program Bourdieu ditempatkan dalam kerangka dialektis antara apa yang biasa dipolarisasikan sebagai struktur dan agensi (Mahar, dkk. dalam Harker, dkk., 2005: 8). Bourdieu (1977: 3) menulis bahwa tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan suatu ilmu tentang hubunganhubungan dialektis antara struktur objektif dan berbagai disposisi terstruktur yang menjadi wahana teraktualisasikannya struktur-struktur dan yang cenderung mereproduksi berbagai disposisi tersebut. Harker dalam Harker, dkk., (2005: 130) menyatakan, Bourdieu menyediakan sebuah fondasi bagi teori praktik yang mencakup perubahan sosial dan agensi manusia serta sebuah penyelidikan terhadap batas-batas struktural yang di dalamnya perubahan sosial dan agensi manusia pasti bekerja. Lahir tanggal 1 Agustus 1930 dan meninggal 23 Januari 2002, Bourdieu menunjukkan bagaimana tindakan (praktik) merupakan produk relasi (hubungan) antara habitus (yang merupakan produk sejarah) dan ranah (field) yang juga merupakan produk sejarah. Habitus dan ranah juga merupakan produk masyarakat. Habitus adalah struktur subjektif (masyarakat) yang terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif (kebudayaan) yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah kebiasaan-kebiasaan (Fashri, 2014: 83) dan merupakan hasil pembelajaran secara halus, tak disadari, dan tampil sebagai hal yang wajar, 45 sehingga seolah-olah merupakan sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam, atau ”sudah dari sananya” (Takwin, 1990: xviii-xix). Ranah merupakan ranah kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga merupakan suatu ranah yang di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini dipandang mentransformasi atau memertahankan ranah kekuatan (Bourdieu, 1983: 312). Modal adalah sesuatu yang diperjuangkan. Ia adalah sesuatu yang dihargai masyarakat dan (oleh sebab itu) diperjuangkan mereka. Strategi dan perjuangan itu adalah aktivitas yang di dalamnya masyarakat terlibat untuk meraih jumlah modal yang dibutuhkan guna mencapai tujuan-tujuan mereka. Bentuk-bentuk lingkaran teoretis ini ada dalam setiap karya Bourdieu (Kelompok Jumat Pagi dalam Harker, dkk (ed.), 2005: 276). Modal setidaknya terdiri atas modal budaya (cultural capital), modal ekonomi (economic capital), dan modal simbolik (symbolic capital), yang dapat dipertukarkan (dikonversi) satu sama lainnya. Teori Praktik terutama digunakan untuk membahas permasalahan bagaimana praktik perebutan makna industrialisasi musik pop Bali secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik di antara pihak-pihak yang terlibat. 2.4 Model Penelitian Penelitian ini dapat digambarkan ke dalam model penelitian berikut (Gambar 2.1). 46 Perubahan teknologi Kekuasaan budaya (musisi pop Bali) Sistem ekonomi Budaya musik baru dalam masyarakat Kekuasaan kapital (pemilik modal) Kekuasaan media (pendukung distribusi) Industrialisasi musik pop Bali: ideologi, kepentingan, dan praktiknya Bentuk industrialisasi musik pop Bali yang dihasilkan oleh jalinan kekuasaan budaya, kapital, dan media Ideologi dan kepentingan yang bekerja dalam industrialisasi musik pop Bali Praktik pergulatan makna industrialisasi musik pop Bali secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik di antara pihakpihak terlibat Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan: = berpengaruh (terhadap). = saling memberi pengaruh. Dalam model penelitian ini (Gambar 2.1) ditunjukkan bahwa industrialisasi musik pop Bali disebabkan adanya perubahan teknologi, sistem ekonomi, dan budaya musik baru dalam masyarakat. Perubahan teknologi 47 mencakup perubahan dalam alat musik dan peranti rekaman yang secara umum berlangsung dari sistem analog ke sistem digital. Sistem ekonomi adalah tentang derasnya aliran investasi para pemilik modal di sektor-sektor produksi, seperti rumah produksi (produser) dan studio rekam. Budaya musik baru adalah timbulnya gejala kesukaan (baru) masyarakat, yakni masyarakat Bali, terhadap jenis musik tertentu, dalam hal ini musik pop Bali. Sebagai kegiatan yang substansinya lebih pada arena bisnis-ekonomi, perubahan teknologi, sistem ekonomi, dan budaya musik baru dalam masyarakat dalam industrailisasi musik pop Bali direspons kekuasaan kapital (pemilik modal) dalam kerja samanya dengan kekuasaan budaya dan kekuasaan media. Ketiganya bekerja sama tetapi kekuasaan yang dominan adalah kekuasaan kapital. Sebagaimana industrialisasi dalam bentuk apa pun, baik di Bali maupun di luar Bali dan luar negeri, industrialisasi musik pop Bali pun cenderung kapitalistik. Kekuasaan budaya dipahami sebagai kekuasaan lokalitas (tradisionalitas) yang ada pada sumber daya musisi pop Bali sedangkan kekuasaan produser/pemilik studio rekam dan kekuasaan media dapat disebut kekuasaan globalitas karena keduanya menyangkut kapital dan teknologi yang gerakannya tidak lagi terbatas secara lokal. Paduan antara kekuasaan budaya (artistik-musikal pop Bali dari musisi) dan kekuasaan kapital (rumah produksi dan studio rekam) memunculkan produksi dalam industrialisasi musik pop Bali, sehingga tercipta produk-produk musik pop Bali. Dengan kata lain, kekuasaan budaya melahirkan input (bahan) dan kekuasaan kapital adalah proses, atau 48 semacam mesin pemroses, yang kerja sama keduanya menghasilkan output (produk-produk yang dijual). Setelah diproduksi, distribusi dilakukan agar produk sampai di tangan masyarakat atau pasar sasaran di mana kekuasaan media, khususnya media (massa) elektronik, membantu sedemikian rupa, sehingga produk musik pop Bali benar-benar disukai dan dibeli untuk dikonsumsi. Mekanisme kerja kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media terkait budaya pop berbentuk musik pop Bali, dengan fungsi alamiahnya masing-masing, melahirkan industrialisasi musik pop Bali di wilayah Provinsi Bali. Persoalan ini sesuai pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah penelitian yang menyangkut (1) bentuk industrialisasi musik pop Bali yang dihasilkan oleh jalinan kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media, (2) ideologi dan kepentingan yang bekerja dalam industrialisasi musik pop Bali, dan (3) praktik pergulatan makna industrialisasi musik pop Bali secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik di antara pihakpihak terlibat (lihat Gambar 2.1).