21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya POLRI dalam Pemberantasan Narkotika Polisi Republik Indonesia (POLRI) adalah salah satu pihak yang harus terlibat dalam pemberantasan narkotika di Indonesia. Pendekatan penegakan hukum yang komprehensif dalam memberantas narkoba di Indonesia harus menjadi prioritas ke depan karena masalah ini sangat kompleks. Apalagi yang kita hadapi adalah kejahatan sangat serius (most serious crime) dan kejahatan lintas batas (transnational organised crime) yang pada umumnya dilakukan sindikat internasional. Langkah penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dilakukan POLRI dapat digolongkan menjadi 3 upaya yaitu: 1. Pre-emtif 2. Preventif 3. Represif Upaya pre-emtif antara lain dilakukan dengan cara edukatif pembinaan dan pengembangan lingkungan pola hidup masyarakat, menciptakan hubungan yang harmonis antar sesama masyarakat dan antara masyarakat dengan POLRI melalui upaya penyuluhan, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam turut serta menjaga keamanan ditengah masyarakat itu sendiri, dan memberikan pencerahan 22 bahwa menggunakan, membeli bahkan sampai memperjual belikan narkotika adalah perbuatan melanggar norma hukum dan norma agama, serta mengadakan pendekatan solusi usaha menggantikan tanaman ganja yang sering ditanam dengan tanaman pengganti yang lebih memiliki nilai jual tinggi namun tidak melanggar hukum bagi masyarakat petani di aceh. Upaya preventif juga dapat dilakukan melalui upaya lidik, pengamanan dan penggalangan. Upaya preventif sebagaimana tersebut diatas dapat dilakukan oleh fungsi Bimbingan Masyarakat (Bimmas) dan fungsi intelijen POLRI. Disamping itu, upaya-upaya edukasi, pembinaan dan pengembangan lingkungan hidup juga dapat dilakukan oleh Polair POLRI terhadap masyarakat perairan dan masyarakat kepulauan di pulau-pulau yang sulit terjangkau. Upaya preventif dapat dilakukan melalui upaya mencegah masuknya narkotika dari luar negeri dengan melakukan pengawasan secara ketat di daerah-daerah perbatasan seperti di bandara, pelabuhan laut, dan perbatasan-perbatasan darat. Disamping itu, untuk mencegah lalu lintas narkotika illegal di dalam negeri dengan melakukan kegiatan-kegiatan seperti: operasi khusus/razia di jalan-jalan terhadap kendaraan roda 2 dan roda 4 pada daerah rentan lalu lintas narkotika sistem zig-zag sehingga tidak terbaca oleh jaringan pengedar narkotika, melakukan razia di tempat-tempat rawan lalu lintas narkotika secara illegal atau tempat-tempat rawan transaksi narkotika seperti tempat-tempat hiburan (diskotik, karaoke, pub, cafe warung remang dan lain-lain), mengadakan patroli pencarian sumber narkotika atau ladang ganja meliputi seluruh wilayah terpencil, mencegah 23 kebocoran narkotika dari sumber-sumber resmi seperti rumah sakit, apotik, barang bukti dari aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lainnya. Upaya represif berupa upaya penindakan/penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat dilakukan dengan upaya penyelidikan dan penyidikan secara professional oleh fungsi Reskrim/Res Narkoba POLRI. (http://ardikurniawan2005.wordpress.com/2011/05/26/penanggulanganpenyalahgunaan-dan-peredaran-gelap-narkoba-di-indonesia/, di akses pada tanggal 30 September 2011 pukul 19.51 WIB) Adapun upaya tersebut dilakukan dengan memperhatikan perangkat hukum yang ada secara maksimal dan tepat sasaran agar tercipta keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan dengan sanksi hukuman yang diterapkan serta menindak bagi siapa saja yang menghalangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana diatur dalam pasal 138 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lainnya untuk diajukan ke pengadilan untuk penyelesaian perkara secepatnya sesuai pasal 74 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 dan pasal 58 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997. Saat ini dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dari luar negeri, POLRI melakukan juga kerjasama dengan kepolisian negara lain 24 berupa kerjasama antar negara, kawasan regional ASEAN maupun Internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui wadah Interpol. Kerjasama tersebut dapat berupa bantuan dalam penyidikan tindak pidana narkotika maupun kerjasama pendidikan melalui Jakarta Center for Law Enforcemet Coorperation (JCLEC) dan United Nation on Drug and Crime (UNODC). Tentu saja kerjasama POLRI ini perlu didukung dan ditindak lanjuti oleh pemerintah negara dengan melakukan kerjasama antara pemerintah dalam bentuk kerjasama atau perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantuan hukum timbal-balik dalam masalah pidana. B. Upaya Penanggulangan Peredaran Narkotika Di Indonesia sendiri upaya penanggulangan sudah ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam memberantas tindak pidana narkotika dan obat-obat terlarang mulai dari membentuk Badan Koordinasi Pelaksana (Bakorlak) Inpres Nomor 6 Tahun 1971 yaitu Badan Nasional yang khusus menangani masalah penyalahgunaan zat dan obat terlarang, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, lalu dikeluarkan lagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika untuk melengkapi Undang-Undang sebelumnya. Dan terakhir Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dikeluarkan karena Undang-Undang sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika. Masyarakat Internasional sejak dulu juga sepakat bahwa peredaran gelap narkotika yang telah meresahkan umat manusia harus diberantas bersama-sama. Sehingga untuk menanggulangi perkembangan peredaran gelap narkotika ini 25 diikuti pula dengan langkah-langkah penanggulangan dari negara-negara yaitu berbagai Konvensi Internasional tentang narkotika, seperti Convention The Hague 1912, Convention on Psychotropic Subtances 1971 atau Konvensi Psikotropika 1971 sampai dengan konvensi mengenai pemberantasan tindak pidana narkotika transnasional, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988, atau dikenal dengan Konvensi Wina 1988. Pada saat sekarang ini Kepala Badan-Badan Penegak Hukum Anti Narkoba seAsia dan Pasifik (Heads of National Drugs Law Enforcement Agencies Asia And The Pasifc/HONLAP) yang dibentuk dengan tujuan memajukan kerjasama penegakan hukum dalam mencegah dan memberantas perdagangan gelap narkoba di kawasan Asia dan Pasifik. (Jurnal Badan Narkotika Nasional, 2009 :19) HONLAP berhasil merumuskan sejumlah kesimpulan dan rekomendasi antara lain: pentingnya peningkatan kerjasama antar negara di kawasan Asia Pasifik serta penyelarasan standar operasional prosedur yang terkait dengan pemberantasan peredaran narkotika yang melintasi batas negara. Selain itu, juga disepakati sejumlah kesepakatan dan rekomendasi strategis terkait dengan kerjasama penanggulangan tindak pidana kejahatan perdagangan narkotika di kawasan Asia Pasifik. (Jurnal Badan Narkotika Nasional, 2009 : 20) Rekomendasi lainnya adalah peningkatan pertukaran informasi antarnegara dan perhatian khusus terhadap sindikat pengedar narkotika yang berasal dari kawasan Afrika Barat yang beroperasi melalui lintas batas negara sehingga penanganannya diperlukan kerjasama dengan pertukaran data dan komunikasi yang intensif antar aparat penegak hukum anti narkotika di kawasan Asia Pasifik. Terkait upaya 26 untuk meningkatkan kerjasama dalam penanggulangan produksi gelap ATS (Amphetamine Type Stimulants), negara-negara peserta dari kawasan Asia Pasifik sepakat untuk memperketat upaya pengawasan prekursor (bahan kimia berbahaya yang bisa dijadikan obat), mengantisipasi peningkatan penyitaan prekursor dan cara penanganannya serta meningkatkan program-program drug signature analysis dalam kerangka penegakan hukum. Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang sebagian besar wilayah merupakan perairan. Terdiri dari 17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6000 diantaranya tidak berpenghuni, yang menyebar di sekitar khatulistiwa. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km2 dan luas perairan laut mencapai 5,9 juta km2 serta garis pantai mencapai 85 ribu kilometer. (Jurnal Badan Narkotika Nasional, 2009 :11) Kondisi geografis yang begitu luas itu menyebabkan rawannya terjadi penyeludupan narkotika ke wilayah Indonesia. Guna mencegah masuknya narkotika illegal ke wilayah Indonesia melalui jalur perairan, Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama TNI AL, POLRI, Perhubungan Laut, Badan Karantina dan Badan Pengawas Obat dan Makanan menggelar Latihan Operasi Maritim dalam upaya mencegah adanya penyeludupan narkotika. Latihan ini sering dilakukan di wilayah perairan Andaman, Selat Malaka, dan Laut Natuna. Ketiga wilayah perairan itu dipilih, mengingat jalur tersebut merupakan jalur potensial untuk terjadinya tindak pidana penyeludupan narkotika dan prekursor narkotika ke wilayah Indonesia. dan sebaiknya sudah seharusnya latihan gabungan ini dapat 27 dilakukan pula di wilayah Indonesia lainnya. (Jurnal Badan Narkotika Nasional, 2009 : 11) Upaya pemerintah dalam penanggulangan dan pemberantasan narkotika di Indonesia tidak berhenti di wilayah perairan saja, melainkan pemerintah juga melibatkan masyarakat dalam penanggulangan peredaran narkotika di wilayah Indonesia. Berdasarkan studi, Provinsi DKI Jakarta, menduduki peringkat pertama, daerah yang memiliki kasus peredaran narkotika terbanyak di seluruh wilayah di Indonesia. Peran masyarakat sebagai subyek pencegahan dalam komunitas sangat penting karena diharapkan masyarakat mampu mengidentifikasi, mencegah, memberantas dan melakukan penjangkauan dalam rangka terapi dan rehabilitasi. Kampanye anti narkoba dinilai sebagai salah satu langkah tepat untuk mengurangi ruang gerak peredaran narkotika. Kondisi saat ini dimana peredaran narkotika sudah begitu memprihatinkan, barang haram itu sudah masuk ke segala lini. Bahkan di kampung yang padat penduduknya sekalipun, ditemukan tempat pembuatan narkotika. Maka, setiap kampanye dapat diharapkan akan menstimulasi masyarakat menjadi pelaku pencegahan penyebarluasan dan penyalahgunaan narkotika. Pemerintah sendiri sudah memiliki strategi terbaru untuk pencegahan atau penanggulangan peredaran narkotika di Indonesia yaitu: 28 1. Strategi di Bidang Pencegahan a. Upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan menengah dan mahasiswa memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. b. Upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. 2. Strategi di Bidang Pemberdayaan Masyarakat a. Upaya menciptakan lingkungan pendidikan menengah dan kampus bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba terutama ganja, shabu, ekstasi, dan heroin. b. Upaya menciptakan lingkungan kerja bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika terutama ganja, shabu, ekstasi, dan heroin. c. Upaya penyadaran dengan pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah yang secara sosiologis dan ekonomis melakukan penanaman ganja. d. Upaya penyadaran dengan pemberdayaan masyarakat terhadap masyarakat yang belum terkena narkotika, penyalahgunaan narkotika, dan pelaku peredaran gelap narkotika. 3. Strategi di Bidang Rehabilitasi a. Upaya mengintensifkan pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika. b. Upaya memberikan pelayanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial kepada penyalahguna, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkoba. 29 c. Upaya pembangunan kapasitas lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial secara prioritas berdasarkan kerawanan daerah penyalahgunaan narkoba. d. Upaya pembinaan lanjut kepada mantan penyalahguna, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkoba untuk mencegah terjadinya kekambuhan kembali (repalse). 4. Strategi di Bidang Pemberantasan a. Upaya pengawasan yang ketat terhadap impor, produksi, distribusi, penggunaan (end user), ekspor, dan re-ekspor bahan kimia prekusor, dan penegakan hukum terhadap jaringan tersangka yang melakukan penyimpangan. b. Upaya pengungkapan pabrik gelap narkoba dan/atau laboratorium rumahan dan jaringan sindikat yang terlibat. c. Upaya pengungkapan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika baik dalam maupun luar negeri secara sinergi. d. Upaya penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, dan peradilan jaringan sindikat narkoba baik dalam maupun luar negeri secara sinergi. e. Upaya penindakan yang tegas dan keras terhadap aparat penegak hukum dan aparat pemerintah lainnya yang terlibat jaringan sindikat narkoba. f. Upaya peningkatan kerjasama antar aparat penegak hukum untuk menghindar kesenjangan di lapangan. 30 g. Upaya peningkatan kerjasama dengan aparat penegak hukum tingkat internasioanal guna pengungkapan jaringan sindikat luar negeri. (Kebijakan dan Strategi Nasional Di bidang P4GN, 2011 :39) C. Pengertian Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis atau semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagimana terlampir dalam Undang-Undang ini. (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Zat/obat yang dikategorikan sebagai narkotika dalam UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika di golongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu sebagai berikut: 1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu 31 pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. (A.R Sujono, 2011 : 56 ) Beberapa kawasan yang menjadi negara sumber atau keberangkatan peredaran gelap narkotika psikotropika antara lain: 1. Heroin a. Thailand – Myanmar – Laos atau yang dikenal dengan sebutan negara Golden Triangle (Segitiga Emas) b. Iran – Pakistan – Afganistan atau yang dikenal dengan negara Golden Crescent (Bulan Sabit Emas) 2. Kokain, banyak berasal dari Kolombia, Peru, Bolivia dan Brazil. 3. Methamphetamine (shabu-shabu), banyak berasal dari Hongkong dan Cina. 4. Ekstasi, banyak berasal dari Hongkong, Cina dan Belanda. Istilah jenis narkotika dikalangan pecandu : a. Amphetamine: Amfetamin; Amphetamin; Speed; Ice; Cat. b. Codein: Tyienol w/Codeine; Codate; Codephos. c. Crack: Coke; Crack; Blow; Snow; Nose Candy. d. Diazepam: Valium, Seduxen. e. Ekstasi: XTC; Fantasy pills; Inex; Cece; Ceiin; E; Kancing; Rolls; Beans; Adam; Flippers; Hammer. f. Ganja: Marijuana; Gelek; Rasta; Dope; Weed; Hemp; Hash; Cimeng; Pot; Joint; Maryjane; Sinsemilla; Grass. g. Heroin: Diacetil Morfin; Smack, Dope; Horse; Putauw; PT. h. Morfin: Morphine. 32 i. Kokain: Coke; Cocaine; Crack; Snaw; Girl; Lady. j. LSD: Lysergyc Acid Diethylamide k. MDMA: 3,4-Methlenedioxymethamhetamine; XTC; Inex l. Magadon: Pil Nipam BK. m. Putauw: Etep; Bedak; PT. n. Shabu; Ubas; Sabu; SS; Ice; Kristal; Mecin. (Badan Narkotika Nasioal, 2009 : 20) D. Pengertian Kejahatan Transnasional Secara konsep, kejahatan transnasional merupakan tindak pidana atau kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara internasional pada era tahun 1990-an dalam The Eight United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Sebelumnya istilah yang terlebih dahulu berkembang adalah “Organized Crime”. Unsur-unsur Transnasional adalah jika: 1. Conduct affecting more than one state (tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara). 2. Conduct uncluding or affecting of more than one state (tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara). 3. Means and methods transcend national boundaries (sarana dan prasarana serta metode-metode yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara). (Tri Andrisman, 2010 : 24) 33 Fijnaut dalam Transnational crime and the role of the United Nations in its Contaiment through internasional coorperation: A challenge for the 21st century menunjukan bahwa kata sifat ‘transnasional’ menunjukan bahwa semua jenis kejahatan tidak mengakui adanya batas-batas nasional. (European Journal of Crime, 2002: 127) Kejahatan transnasional merupakan fenomena sosial yang melibatkan orang, tempat dan kelompok, yang juga dipengaruhi oleh berbagai sosial, budaya, faktor ekonomi. Akibatnya, berbagai negara cenderung memiliki definisi kejahatan transnasional yang sangat berbeda tergantung pada filosofi tertentu. Menurut martin dan Romano “transnational crime may be defined as the behavior of ongoing organizations that involves two or more nations, with such behavior being defined as criminal by at least one of these nations”. (European Journal of Crime, Drug&Arms Trafficking, 1992: 119) Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan sebelumnya, dalam pandangan saya, jelas bahwa kejahatan transnasional merupakan kejahatan yang lintas antarnegara. Kejahatan ini merupakan tipe kejahatan yang terencana, terorganisir, dan memerlukan persiapan matang. Pelakunya tak hanya individu dan kelompok juga bisa berperan sebagai sponsor tak sekedar sebagai pelaku. Motif dalam melakukan kejahatan ini juga cenderung luas, bukan hanya ekonomi atau politik. Lebih jauh lagi bisa saja kejahatan ini dilakukan tanpa motif apapun. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa tipe kejahatan ini cenderung tidak memandang ideologi, suku bangsa atau agama dari pelakunya. 34 Kejahatan transnasional disebut juga sebagai kejahatan yang merupakan musuh umat manusia atau yang lebih dikenal dalam istilah Latin sebagai hostis humani generis. Sebagai kejahatan transnasional, semua atau bagian terbesar negaranegara sangat berkepentingan untuk mencegah, memberantas dan menghukum pelakunya. Oleh karena itu negara-negara di dunia cenderung untuk mencegah dan memberantasnya melalui kerjasama internasional dan mengaturnya dalam konvensi-konvensi internasional. Beberapa konvensi internasional yang bertalian dengan kejahatan transnasional, antara lain adalah: 1. Konvensi London 1945, tentang Agreement of the Prosecution and Punishment of the Major War Criminal of the European Axis yang melahirkan Mahkamah Internasional di Nuremberg 1946, yang diadakan oleh negara-negara pemenang pada Perang Dunia Kedua. Konvensi ini dimaksudkan untuk mengadili dan menghukum para arsitek Jerman dan Italia. Tindakan mereka mengobarkan perang dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan perdamaian yang telah banyak mengakibatkan kerugian bagi umat manusia di atas muka bumi ini. Demikian juga untuk mengadili dan menghukum para penjahat perang Jepang untuk wilayah Timur Jauh, telah dibentuk Mahkamah Militer Internasional di Tokyo pada tahun 1948 oleh negara-negara sekutu yang menang perang. 2. Konvensi Genocide 1948 yang lengkapnya bernama Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide yang diprakarsai oleh PBB dan mulai berlaku pada tahun 1951. Konvensi ini mendefinisikan genocide sebagai tindakan yang dilakukan dengan maksud 35 merusak dan memusnahkan suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama dengan jalan membunuh anggota kelompok tersebut yang mengakibatkan kerugian bagi mereka secara fisik dan mental, yang dengan sengaja menyiksa keadaan jiwa kelompok tersebut, melakukan tindakan-tindakan yang bersifat paksa untuk mencegah keturunan atau perkembangbiakan mereka, memindahkan secara paksa anak-anak kelompok tersebut ke dalam kelompok lainnya. 3. Konvensi-konvensi tentang penghapusan perbudakan seperti misalnya Slavery Convention tahun 1926 yang ditambah dan diperbaharui pada tahun 1953 disempurnakan lagi pada tahun 1956. Berdasarkan konvensi ini para pihak sepakat akan menyusun perundang-undangan nasional yang efektif serta akan melakukan tindakan-tindakan demi terhapusnya praktekpraktek perbudakan, atau yang berhubungan dengan itu seperti utang perbudakan, jual-beli manusia, eksploitasi tenaga anak-anak dan penjualan budak-budak antarnegara. Para pelakunya harus diadili dan dihukum dengan hukuman berat. 4. Konvensi tentang Laut Lepas 1958 pada pasal 14 sampai dengan 22 mengatur tentang Pembajakan di Laut Lepas yang merupakan pembajakan menurut hukum internasional yang berbeda dengan pengertian pembajakan menurut hukum nasional. 5. Tiga konvensi berkenaan dengan kejahatan penerbangan yakni: Konvensi Tokyo 1963 tentang “Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft” (Kejahatan-kejahatan dan Tindakan-tindakan Tertentu Lainnya yang Dilakukan dalam Pesawat Udara). Konvensi Den Haag 1970 36 tentang The Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft” (Pemberantasan Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan Hukum) dan Konvensi Montreal 1971 tentang The Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation” (Pemberantasan Tindakan-tindakan Melawan Hukum yang Mengancam Keamanan Penerbangan Sipil). Ketiga konvensi ini pada dasarnya adalah konvensi yang bertujuan mencegah kejahatan penerbangan. 6. Single Convention on Narcotic Drugs 1961 atau Konvensi Tunggal tentang Narkotika serta protokol yang mengubahnya yang diadakan di New York pada tahun 1961. Kejahatan ini tidak hanya membahayakan perorangan melainkan juga masyarakat, bangsa dan negara. Konvensi ini bertujuan mengatur dan mengawasi pembuatan, pengedaran dan penggunaan narkotika dan berusaha mencegah serta memberantas perbuatan melawan hukum yang membahayakan bertalian dengan narkotika ( I Wayan Parthiana. 1990: 42-46) Tidak setiap negara mau bertindak cepat untuk meratifikasi konvensi tentang kejahatan transnasional, dan mengaturnya dalam hukum nasionalnya. Sebagai akibatnya pada negara-negara yang belum meratifikasi serta hukum pidana nasionalnya tidak satu pasal pun mengaturnya, maka pelaku kejahatan transnasional itu tetap tidak dapat diadili dan dihukum. Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian berkenaan dengan kejahatan transnasional ini adalah kaitannya dengan asas non-extradition of political 37 criminal yang merupakan salah satu asas dari ekstradisi. Isi pokok dari asas ini adalah negara yang diminta harus menolak permintaan negara-peminta untuk menyerahkan orang yang diminta dan yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan oleh negara-peminta adalah merupakan kejahatan politik. Mengingat sifat dan ciri-ciri kejahatan transnasional itu sendiri yang tidak mengenal batas-batas wilayah negara serta bahaya dan akibatnya bagi masyarakat internasional dan dipandang sebagai hostis humani generis, sudah selayaknya dihapuskan saja sifat politiknya sehingga dengan demikian termasuk kejahatan yang extradible. Demikian pula maksud dari si pelaku kejahatan untuk berlindung dan bersembunyi di balik kejahatan politik sekedar untuk menghindari penyerahan dapat dibatasi khususnya apabila kejahatan yang dilakukannya itu merupakan kejahatan transnasional. Lebih terpuji langkah-langkah yang dilakukan oleh negara-negara di dunia apabila dalam setiap perundingan dalam rangka merumuskan pengaturan tentang suatu kejahatan transnasional, dihapuskan sifat politiknya dan dinyatakan sebagai kejahatan yang extraditable. Penegasan tentang penghapusan sifat politik kejahatan transnasional itu dan pernyataan sebagai extraditable dapat dicantumkan baik dalam perjanjian-perjanjian ektradisi, dalam konvensi secara langsung, maupun dalam perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. 38 E. Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Kelima faktor yang menjadi barometer dalam penegakan hukum (Soerjono Soekanto, 1983:4), untuk melihat faktor penghambat dan pendorong didalam pelaksanaan tugasnya maka dijabarkan sebagai berikut: 1. Faktor hukum Praktek penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan sering terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal itu dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana tentang peredaran narkotika, baik dalam membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika apapun golongannya. Kerjasama antar negara dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika juga harus dikembangkan karena tidak mungkin suatu negara dapat memberantas peredaran narkotika yang sudah mendunia ini sendirian. Didalam penyidikan terhadap kejahatan peredaran gelap narkotika yang berdimensi internasional ini, seringkali penyidik dihadapkan pada birokrasi dan sistem hukum yang berbeda sehingga proses penyidikan terhambat bahkan tidak dapat dilakukan penuntutan. 2. Kepribadian atau mentalitas penegak hukum Salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah kepribadian dan mentalitas penegak hukum, dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa 39 dan terlihat harus diaktualisasikan. Kemampuan anggota kepolisian dalam melakukan koordinasi dan negoisasi dengan kepolisian luar negeri masih rendah. Disamping belum adanya kesepahaman POLRI dengan Kepolisian luar negeri dalam penanganan pelaku dan peredaran gelap narkotika. Hingga saat ini, harus diakui mental para anggota bagian narkotika sangat lemah karena masih banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. 3. Fasilitas pendukung Faktor penegakan hukum dalam hal ini harus disertai dengan pendidikan dikarenakan pendidikan yang diterima oleh para aparat penegak hukum dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional sehingga dalam banyak hal aparat penegak hukum mengalami hambatan dalam tugasnya. Anggota kepolisian harus membangun kemampuan dan kualitas dengan diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan khusus dalam penyidikan dan penyelidikan dalam kejahatan narkotika. Maka faktor pendidikan yang dipunyai aparat penegak hukum harus dapat diterapkan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh aparat penegak hukum untuk dapat menunjukan pada masyarakat tingkat keprofesionalannya dalam penegakan hukum di masyarakat itu sendiri. 4. Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat Setiap warga masyarakat itu pasti mempunyai kesadaran hukum yakni kepatuhan hukum yang tinggi, sebagaimana diketahui kesadaran hukum sebenarnya merupakan proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum, dan prilaku hukum. Maka apabila kesadaran masyarakat dan kepatuhan pada hukum sudah 40 tinggi, keadilan kenyamanan dalam bermasyarakat dan bernegara dapat berjalan sangat baik. Beberapa lingkungan tempat yang sering menjadi sasaran peredaran gelap narkotika antara lain lingkungan pergaulan dan tempat hiburan (diskotik, karaoke, pub), lingkungan pekerjaan baik di institusi pemerintahan maupun swasta bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa di lingkungan POLRI sendiri di dapati kasus penyalahgunaan narkotika, lingkungan pendidikan sekolah, tempat kost, apartemen maupun hotel.