Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) IX yang diadakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Yogyakarta pada tanggal 12-15 Mei 2014 W D K U lalu, mengangkat beberapa isu paling kontekstual di hari ini.1 Peta isu-isu krusial dan mendesak untuk disikapi secara teologis dan praktis itu berkaitan dengan empat (4) area konsentrasi, yang bisa disebut juga sebagai keprihatinan kontekstual, yaitu kemiskinan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan dan radikalisme. Bila menggunakan rumusan Tissa Balasuriya, maka problem ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan, kerusakan ekologi dan membangkitkan tensi © radikalisme ini disebut sebagai globalized imperialism. 2 Keempat isu itu sebetulnya tidak berdiri sendiri melainkan telah menjelma menjadi apa yang Christian Parenti sebut "menyatunya bahaya besar" (catastrophic convergence).3 1 2 3 KGM IX menetapkan tema "Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya" dan sub-tema "Dalam Solidaritas dengan Sesama Anak Bangsa, Kita tetap Mengamalkan Nilai-nilai Pancasila guna Menanggulangi Kemiskinan, Ketidakadilan, Radikalisme, dan Kerusakan Lingkungan". Keduanya juga sekaligus menjadi tema dan sub-tema dari Sidang Raya XVI PGI di Gunung Sitoli, Pulau Nias, Sumatera Utara. Lihat Andreas Yewangoe, “Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya”, dalam Buku Acara Konferensi Gereja dan Masyarakat PGI, Yogyakarta, 12-15 Mei 2014, hlm. 30-36. Uraian PA SR XVI PGI dapat dilihat dalam Ruth Kadarmanto (Peny.), Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya: Sepuluh Bahan Pemahaman Alkitab Menjelang Sidang Raya ke-16 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, (2013, Jakarta: BPK Gunung Mulia). Lihat juga PGI, Himpunan Keputusan dan Notulen Sidang Raya XVI Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, (2015, Jakarta: PGI). Tissa Balasuriya, “Globalized Imperialism: A Challenge for Christian and Inter-Religious Relations”, dalam Robert Crusz (Eds.), Encounters with the Word: Essays to Honour Aloysius Pieris SJ, (2004, Colombo: Ecumenical Institute for Study and Dialogue), hlm. 549-560. Christian Parenti, Tropic of Chaos: Climate Change and the New Geography of Violence, (2011, New York: Nation Books), hlm. 3-12 (hlm. 5, 7). 1 Kesatuan bahaya besar ini nyaris tak terelakkan seiring makin nyatanya bahwa kita hidup di dalam satu "desa dunia" (global village). Kesatuan bahaya ini telah mengancam matinya kehidupan di planet ini. Kemiskinan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan dan radikalisme merupakan "penanda" (bentuk, signifier) paling jelas untuk memaknai ulang (makna, signified) kemanusiaan dan agama. Keempatnya memberi tantangan W D K U serius terkait diskusi di antara iman dan nalar. Nalar agama dianggap menyuburkan sikap intoleransi, kekerasan dan radikalisme agama di ruang-ruang publik. Nalar sekular dari konteks modernitas dan positivistik yang netral, bebas nilai (free value), demi "pengetahuan bebas-kepentingan" (disinterested knowledge), pun tanpa disadari telah menyediakan ruang relasi eksploitatif baik atas manusia (kemiskinan dan ketidakadilan) dan atas masa depan lingkungan hidup (ekologi). Kini, nalar agama ditantang membuka dialog dengan nalar © sekular untuk menemukan "pijakan bersama" berupa hermeneutik (hermeneutic)4 untuk kritis menafsir dan memaknai perubahan (termasuk perubahan nilai) yang terjadi dalam konteks masyarakat global. 4 Duncan Ferguson menjelaskan bahwa kata "hermeneutics" dalam kategori pluralis menunjuk pada penjelasan, maka kata "hermeneutic" dalam kategori singular menunjuk pada suatu kerangka tertentu untuk memulai penafsiran. Kerangka ini mencakup ideologi, sikap dan metode tertentu untuk membentuk penafsiran dan pemahaman. Yang pertama menunjuk aspek objektif dari pemahaman, sementara yang kedua menunjuk pada aspek subjektif yang berasal dari penafsir. Lihat Duncan S. Ferguson, Biblical Hermeneutics: An Introduction, (1986, Atlanta: John Knox Press), hlm. 5. Sementara itu C. Groenen membedakan istilah "hermeneutika" (Inggris: hermeneutics) dan "hermeneutik" (Inggris: hermeneutic). "Hermeneutika" ialah ilmu praktis yang menentukan kaidah dan patokan yang perlu diperhatikan apabila orang mau menafsirkan sebuah teks. Kaidah itu bersifat "objektif", yang bersangkutan dengan teks yang mau ditafsirkan. Sementara itu, "hermeneutik" ialah suatu ilmu atau seni yang berusaha menentukan mana pra-syarat, pra-andaian di pihak si penafsir sendiri atau "subjek" yang menafsir. Lihat C. Groenen, Hermeneuse Alkitabiah: Ulasan Mengenai Cara Mengartikan dan Memberitakan Kitab Suci, (1977, Ende: Nusa Indah), hlm. 10-12. 2 Bagaimana agama berfungsi dan memainkan tugas bagi emansipasi sosial di dalam konteks di atas? Pertanyaan ini akan banyak ditentukan oleh dinamika yang dimainkan oleh masyarakat beragama sendiri untuk menyusun tanggapan teologis yang membarui diri terlebih dahulu sebelum terlibat di dalam gerakan emansipasi masyarakat. Inilah suatu filsafat reflektif tentang subjektivitas, yang kata Ricoeur bertujuan: "mencapai pemahaman diri sementara pada saat yang 5 W D K U sama memahami dunia dan orang lain". Ini juga sebuah "hermeneutik transformatif"6 yang tanggap pada tantangan yang dihadapi agama-agama di masa kini dengan menafsir diri dan konteks melalui kacamata baru, yang berisi kemampuan beradaptasi, kritis antisipatif dan melahirkan praksis atau tugas emansipasi melawan arus globalisasi imperialisme yang tidak adil, memiskinkan, membangkitkan tensi radikalisme dan merusak ekologi. Pertanyaannya, jika globalisasi imperialisme merupakan kemestian yang © tak terhindarkan, mengapa harus dihadapi dan disongsong oleh agama? Konteks globalisasi menyuguhkan medan baru bagi teologi agama-agama untuk merancang-bangun sebuah pendekatan dan metodologi penafsiran yang kritis terhadap konteks. Cara kerja penafsiran (epistemologi) ke atas konteks beserta 5 6 Teks Inggris: "to achieve self understanding while at the same time understanding the world and other people". Lihat Lihat Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, Terj. Kathleen Blamey dan John B. Thompson, (1991, Evanston, Illinois: Northwestern University Press), hlm. 132. David M. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, (2003, New York: State University of New York Press), hlm. 9. Tugas hermeneutik transformatif tidak terpisah dari pembahasan Ricoeur tentang dasar filsafatnya adalah etika sebagai usaha menghadirkan secara baru konsep tentang diri (I am). Hermeneutik Ricoeur disebut juga “hermeneutics of the I am”. Lihat Paul Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, Ed. Don Ihde, (1974, Evanston: Northwestern University Press), hlm. 452, (“hermeneutics of the I am”, lihat hlm. 266). James P. Martin, "Toward a Post-Critical Paradigm", dalam New Testament Studies, Vol. 33 (1987, Cambridge: Cambridge University Press), hlm. 370-385. 3 paradigmanya akan sangat menentukan bagi terbukanya pilihan-pilihan sikap untuk terlibat di dalam keprihatinan konteks. Selama ini pandangan terhadap konteks dibangun oleh epistemologi bipolaristik, hitam-putih, yang mainstream dianut, yang menempatkan agama dan dunia saling berbenturan: agama di atas dunia atau agama terpisah dari dunia. Konteks ketegangan ideologis ini memberi peluang lahirnya pandangan alternatif W D K U dengan tidak menegasikan keduanya, apalagi menempatkan agama dan dunia dalam posisi saling berhadap-hadapan. Pandangan alternatif ini adalah sebuah hermeneutik, yang menyediakan nilai-nilai paradigmatik (paradigmatic values) 7 guna menyadari bahwa agama tidak serta-merta terpisah secara frontal dari kehidupan global. Demikian pula sebaliknya, persoalan globalisasi tidak sepenuhnya terlepas dari masalah keagamaan. Hubungan yang paling memungkinkan adalah menempatkan © keduanya (agama dan globalisasi) dalam bingkai yang saling membutuhkan. Globalisasi sebagai kesadaran baru akan realitas membutuhkan hermeneutik, yakni cara kerja dan sistem nilai (epistemologi dan metodologi), yang mampu menjelaskan kait-kelindannya berbagai unsur yang ada, tanpa pernah menjadi "prinsip terakhir" untuk menjawab semua persoalan seperti pengertian ontologi klasik. Globalisasi jelasnya menyediakan suatu konteks bagi teologi hermeneutik agama-agama untuk saling memperkaya dalam dialog yang 7 Tentang hermeneutik sebagai paradigma atau sistem nilai untuk pemahaman diri dan hidup baik dan adil bersama orang lain, Ricoeur mengatakan: "In a sense, one can in fact say that the examples drawn from human operations –seing, understanding, living well, making things, acting (in the sense in which praxis is taken in the Ethics)— have a paradigmatic value". Lihat Paul Ricoeur, Oneself as Another, Terj. Kathleen Blamey (1992, Chicago and London: The University of Chicago Press), hlm. 306. 4 intersubjektivitas, serta berdaya dalam tugas emansipatoris mengatasi patologi 8 globalisasi imperialisme: kemiskinan, ketidakadilan, radikalisme dan kerusakan lingkungan. Di sini tugas hermeneutik adalah menafsirkan dan mengartikan kenyataan hidup, melalui cara kerja kritis-afirmatif, dan bertugas etisemansipatoris, yakni mengarahkan pilihan-pilihan hidup kontekstual sesuai dengan penafsiran tersebut.9 W D K U 1.2. Rumusan Masalah Pertanyaan mendasar diseputar hermeneutik ilmu sosial adalah: Apa peran yang mestinya dilakukan oleh "rasio" dalam refleksi-refleksi abstrak tentang masyarakat? Apakah teoritisasi atas dasar suatu perspektif yang bebas kepentingan atau netral tentang masyarakat itu mungkin? Dua pertanyaan ini, terlebih yang terakhir, mewakili perkembangan yang terjadi dewasa ini pada © diskursus ruang publik, yaitu "jarak" antara kajian ilmiah dengan dunia praksis hidup sehari-hari. Kajian ilmiah terpisah secara diametral dengan dunia sekitar. Ilmu mengusung kepentingan hanya demi ilmu murni, yang berjarak dari 8 9 Ricoeur mengulas tentang "patologi" (pathology) dalam uraiannya tentang implikasi sosial dari problem ego menurut Freud. Lihat Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, Terj. Denis Savage (1970, New Haven: Yale University Press), hlm. 181, 185186. Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 245. Lihat juga S.H. Clark, Paul Ricoeur, (1990, London dan New York: Routledge), hlm. 68-69. Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia, Ed. George H. Taylor, (1986, New York: Columbia University Press), hlm. 216-253. Ricoeur berbicara tentang hermeneutik dengan segala asal kata dan pengertiannya dalam Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 3-6. Lihat juga Sahiron Syamsuddin, "Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur'an dan Pembacaan Al-Qur'an pada Masa Kontemporer", dalam Syafa'atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur'an dan Hadis: Teori dan Aplikasi, Buku 2, (2011, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga), hlm. 3033. Lihat juga Sahiron Syamsuddin, "In Search of the Integration of Hermeneutics and 'Ulumal-Qur'an", dalam Volker Küster dan Robert Setio (Eds.), Muslim Christian Relations Observed: Comparative Studies from Indonesia and the Netherlands, (2014, Leipzig: Evangelische Verlagsanstalt), hlm. 245-259. 5 keterlibatan pada praksis. Ketimbang membangun fungsi etis-emansipatoris atas realitas, ilmu menarik diri dari hidup konkret yang bebas-kepentingan tentang berbagai keprihatinan konteks. Inilah yang disebut "kontemplasi bebas10 kepentingan" (disinterested contemplation). Dalam kerangka pikir ini, pengetahuan tidak lagi memperoleh kepenuhan isi-nya dalam hidup manusia, melainkan justru karena menarik diri dari hidup konkret dan praktis manusia. W D K U Problem netralitas ilmu sebenarnya berakar jauh ke belakang dalam sejarah filsafat Barat yang dikenal sebagai sejarah pemikiran ontologis, yaitu tentang Ada (Being) sebagai "prinsip terakhir" segala sesuatu. 11 Penting ditegaskan di sini bahwa Ricoeur menandai seluruh kerangka berpikir yang disebut dalam studi ini (positivisme, fenomenologi, romantisme dan strukturalisme) bisa diusut dari pengaruh cogito Cartesian yang anti emansipasi. Ricoeur menyebutnya sebagai school of Descartes. 12 Runutannya terletak pada © paradigma Cartesian, yaitu sejak Rene Descartes menggaungkan jargon cogito, ergo sum cogitans, yang membingkai cara berpikir tertutup, bebas kepentingan dan dibaktikan untuk ilmu sebagai ilmu. 13 Paradigma Cartesian ini telah melahirkan sebuah hermeneutik yang disebut hermeneutik cogito, yaitu rasio yang bersifat tertutup dan bebas nilai.14 10 11 12 13 14 Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia, 1986, hlm. 165-166. Thomas McCarthy, The Critical Theory of JĒrgen Habermas, (1988, Cambridge: The MIT Press), hlm. 2, 57. Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, (2001, Yogyakarta: Kanisius), hlm. 32. Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 148-149. Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 148-149. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 23. Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, Terj. John B. Thompson, (1982, Cambridge: Cambridge University Press), hlm. 76, 89, 191. Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, 2001, hlm. 33-34. Kata Ricoeur: "Cogito for my understanding, it has certainty only within it, that is, for my self enclosed within itself". Lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 8. 6 Pengetahuan yang tertutup juga disumbang oleh fenomenologi yang mengklaim tentang pengenalan langsung (directed-towards) terhadap "sesuatu" tanpa perlu mediasi (immediacy). Kata Husserl: “'Melihat' secara langsung, bukan saja melihat dalam arti pengalaman inderawi, tetapi melihat pada umumnya sebagai kesadaran yang memberikan apa saja secara asali adalah sumber pembenaran yang terakhir bagi semua pernyataan rasional”. 15 Akibatnya relasi W D K U sosial minus dari keprihatinan pada situasi hidup "yang lain". Selain paradigma Cartesian dan fenomenologi, paradigma positivisme juga berandil memperlebar jurang di antara kajian atas teks dengan keprihatinan konteks. 16 Menafsir teks merupakan aktivitas sepi dari panggilan untuk mempertemukannya dengan hidup konkret. Dari sini lahir hermeneutik positivistik yang bersifat netral dari keterlibatan sosial. Hermeneutik ini tidak lain melanggengkan sikap pro status quo. Lalu "prinsip terakhir" (Ada, Being) yang © terkonstruksi adalah subjek rasional yang transenden dan imun dari segala kepentingan. 15 16 Teks Inggris: "Immediate 'seeing' (sehen), not merely the sensory seeing of experience, but seeing in general as primordial dator consciousness (als original gebendes Bewusstsein) of any kind whatsover, is the ultimate source of justification for all statements, ideas, general introduction to pure phenomenology". Lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer: Jerman dan Inggris, Jilid I, (2014, Jakarta: Gramedia), hlm. 143, c.k. 6. Clark, Paul Ricoeur, 1990, hlm. 19. Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning, (1976, Texas: The Texas Christian University Press), hlm. 71-88. John B. Thompson, Critical Hermeneutics: A Study in the thought of Paul Ricoeur and Jürgen Habermas, (1981, Cambridge: Cambridge University Press), hlm. 36. F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas, (2010, Yogyakarta: Kanisius), hlm. 26. 7 Persoalan yang juga menentukan dalam hermeneutik adalah soal tempat dari "kesadaran sejarah" (historical conciousness). berhadapan dengan filsafat strukturalisme 18 17 yang Di sini hermeneutik menghilangkan segi kesejarahan.19 Di mana kesadaran sejarah adalah aspek waktu dan tempat (baca: konteks) dari problematika kemanusiaan (pluralisme, kemiskinan, penderitaan, ketidakadilan, dan kerusakan ekologi) terjadi. Akibatnya hermeneutik menjauh W D K U dari keprihatinan konteks. Penolakan segi kesejarahan ini tidak lepas dari analisis bahasa (semiotika) yang dikerjakan oleh strukturalisme yang mengabaikan makna dalam berbahasa menjadi sekadar sistem penanda (bentuk, signifier) yang tertutup, akibatnya analisis sosial (makna, signified) pun tidak muncul. Cara kerja hermeneutik yang baru akan melampaui analisis semiotik (ilmu tentang tanda-tanda dan artikulasinya dalam pemikiran, dalam sistem yang tetap) © yang ditekankan oleh strukturalisme, menjadi menekankan aspek semantik (bahasa dalam hidup sehari-hari). Jelasnya bahwa "semantik menekankan relasi di antara bahasa dan dunia [...] bahasa di dalam penggunaannya dan di dalam 17 18 19 Ricoeur berbicara bagian-bagian dari kesadaran sejarah itu sebagai: "freedom, justice, progress, revolution". Lihat Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, Terj. Kathleen Blamey dan David Pellauer, (1988, Chicago dan London: The University of Chicago Press), hlm. 209210. Strukturalisme menyangkal keberhargaan sejarah, sebaliknya menekankan keberhargaan sistem. Dimensi temporalitas (tempat dan waktu) dikurangi dengan menekankan “keserempakan” (synchrony). Lihat Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor, Terj. Robert Czerny, Kathleen McLaughlin dan John Costello, (2003, London and New York: Routledge Classics), hlm. 85. Concise Routledge Ecyclopedia of Philosophy, (2000, London and New York: Routledge), hlm. 865-866. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (1996, Jakarta: Gramedia), hlm. 1039-1042. Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (2006, Bandung: Remaja Rosdakarya), hlm. 215-234. Lihat Thompson, Critical Hermeneutics: A Study in the thought of Paul Ricoeur and Jürgen Habermas, 1981, hlm. 41-42. Clark, Paul Ricoeur, 1990, hlm. 92-93. Di Bab II, Derrida berbicara tentang hal ini dalam kritiknya terhadap strukturalisme klasik. Lihat Jacques Derrida, Positions, Terj. Allan Bass, (1981, Chicago: The University of Chicago Press), hlm. 39-41. 8 tindakan [...] dan tentu saja kesatuan manusia dengan masyarakatnya". 20 Hal ini sejalan dengan karakteristik filsafat hermeneutik Ricoeur bahwa "Keberadaan manusia dimediasi secara semantik, yaitu oleh sebuah penafsiran makna bahasa". 21 Mediasi semantik ini membuat makna tidak direduksi, refleksi diri menjadi penting dan terbuka bagi relasi dengan "yang lain".22 Hermeneutik yang seperti ini berkelindan dengan kesadaran sejarah dan bertujuan mencapai W D K U pemahaman diri, sementara pada saat yang sama memahami dunia (world) dan orang lain (other people).23 Pertanyaannya, hermeneutik seperti apa yang dibutuhkan guna melampaui hermeneutik cogito, positivistik, fenomenologi, romantisme dan strukturalisme? Lebih jauh, apa yang seharusnya diemban sebagai tugas hermeneutik? Sejatinya bahwa hermeneutik tidak dapat lagi merupakan tugas yang bebas nilai, apalagi netral dari panggilan etis seperti dalam pemikiran-pemikiran hermeneutik klasik © yang ontologis. Hermeneutik dalam perspektif Ricoeur merupakan pengetahuan yang dimediasi oleh seluruh pengalaman kemanusiaan. Pengetahuan yang dimediasi itu memuat seperangkat nilai atau kepentingan (paradigma) yang mengantar pada 20 21 22 23 Teks Inggris: "semantics takes up the relationship between [...] language and world [...] language in use and in action [...] and so integrating man into society". Lihat Ricoeur, The Rule of Metaphor, 2003, hlm. 85. Teks Inggris: "Human existence is mediated by semantics, that is, by an interpretation of linguistic meaning". Lihat Kevin J. Vanhoozer, Biblical Narrative in the Philosophy of Paul Ricoeur: A Study in Hermeneutics and Theology, (1990, Cambridge: Cambridge University Press), hlm. 29. Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning, 1976, hlm. 8-10. Clark, Paul Ricoeur, 1990, hlm. 96-97. Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 132. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 9. 9 beragam visi tentang masyarakat yang lebih baik. 24 Jelasnya, "Sebuah diskusi tentang tindakan manusia bukanlah sebuah penyelidikan yang netral tetapi sebuah upaya untuk memahami dan mempromosikan kemanusiaan yang hidup baik sebagai sebuah etika, ikhtiar moral". 25 Inilah tugas hermeneutik, yaitu menafsir konteks secara kritis untuk tiba pada panggilan emansipatoris, di mana pengalaman sejarah keprihatinan menjadi salah satu misi etis-transformatif dari W D K U hermeneutik. Hermeneutik dan emansipasi bukanlah dua hal yang terpisah. Ricoeur sendiri mengatakan: "hermeneutics without a project of liberation is blind, but a project of emancipation without historical experience is empty". 26 Lebih jauh Ricoeur sendiri lebih sering menggunakan kata "tugas" (task) untuk menyebut cara kerja dan tujuan hermeneutik-nya. 27 Hermeneutik Ricoeur memberi pendasaran penting bagi panggilan etis dari proses hermeneutik: "jasa Ricoeur © adalah dia [...] bersikukuh untuk menemukan cara-cara yang dapat kita gunakan 24 25 26 27 Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 143. Teks Inggris: "A discussion of human action is not a neutral exploration but a passionate to understand and promote the humanly good life as an ethical, moral endeavor". Lihat John van den Hengel, "Can There Be a Science of Action", dalam Richard A. Cohen dan James I. Marsh (Eds.), Ricoeur as Another: The Ethics of Subjectivity, (2002, New York: State University of New York Press), hlm. 74. Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 452-453. Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia, 1986, hlm. 237. Paul Ricoeur, A Ricoeur Reader: Reflection and Imagination, Ed. Mario J. Valdes, (1991, Toronto dan Buffalo: University of Toronto Press), hlm. 164. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 5, 40. Paul Ricoeur, Fallible Man: Philosophy of The Will, Terj. Charles Kelbley, (tt., Chicago, Illinois: Henry Regnery Company), hlm. 17. Dengan meminjam formula Freud, Ricoeur berkata: "Consciousness is not a given but a task" (hlm. 108, 326) dan "We can now say: the positing of the self is not a given, it is a task; it is not gegeben but aufgegeben" (hlm. 329). Lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 108, 329. Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 100. Paul Ricoeur, Essays on Biblical Interpretation, Ed. Lewis S. Mudge, (1980, Philadelphia: Fortress Press), hlm. 40-46. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 5, 20, 23. 10 untuk bertindak secara bertanggungjawab sebagai agen-agen etis dan politis".28 Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu tugas hermeneutik dalam perspektif Ricoeur adalah bersifat emansipatoris. Hermeneutik emansipatoris adalah sumbangan penting Paul Ricoeur dalam menafsir konteks ketidakadilan, kemiskinan, radikalisme dan kerusakan lingkungan. Tugas hermeneutik yang emansipatoris ini didukung oleh kepentingan W D K U tertentu. Kepentingan ini adalah masukan dari "substansi etis" (ethical substance) terhadap hermeneutik yang tidak hanya mengandung kritik ideologi, melainkan punya isi berupa panggilan etis untuk emansipasi sosial.29 Ricoeur pun menerima tesis Habermas bahwa "semua pengetahuan didukung oleh kepentingan, dan bahwa teori kritik ideologi dengan sendirinya didukung oleh kepentingan emansipasi, yaitu di dalam komunikasi bebas tanpa batas". 30 Hermeneutik mengusung kepentingan pada emansipasi masyarakat yang adil. Emansipasi © masyarakat menempatkan hermeneutik sebagai kritik ideologi yang bermaksud membongkar kemapanan berpikir yang sering menjelma dalam sistem-sistem yang menindas. 28 29 30 Teks Inggris: "It is to Ricoeur's credit that he [...] insists on finding ways by which we can act responsibly as ethical and political agents". Lihat Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 13. "Substansi etis" (ethical substance, sittlichkeit) adalah pengaruh Hegel. Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 246. Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 249. Lihat juga Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 101-103. Teks Inggris: "that all knowledge is supported by an interest, and that the critical theory of ideology is itself supported by an interest in emancipation, that is, in unrestricted and unconstrained communication". Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 245. 11 1.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan pokok yang hendak dijawab lewat penelitian ini adalah: Bagaimanakah hermeneutik Paul Ricoeur bisa mengerjakan tugas emansipatoris? Atau, bagaimanakah hermeneutik emansipasi Paul Ricoeur dapat menjelaskan secara kritis relasi kuasa, ideologi dan kepentingan yang bermain di dalam tugas- W D K U tugas emansipasi subjek dan emansipasi sosial? 1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Pertama, studi ini bertujuan menganalisis hermeneutik Paul Ricoeur yang menjadi basis pemikirannya tentang emansipasi subjek dan terbuka pada emansipasi masyarakat. Kedua, karena kajian atas pemikiran Paul Ricoeur terkait topik penelitian © ini masih terbatas dalam literatur berbahasa Indonesia, maka kegunaan studi ini, selain mengusulkannya sebagai kontribusi teoritis (Bab 6) berteologi hermeneutik kontekstual di Indonesia, ini dimaksudkan untuk menambah literatur yang masih terbatas itu. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Pemikiran Paul Ricoeur yang merambah banyak bidang hanya akan digunakan secara selektif dan dipilih mana yang menjelaskan judul dan pertanyaan studi ini, 12 yaitu apa dan bagaimana tugas hermeneutik emansipasi diri 31 dalam konteks emansipasi sosial, yaitu "'hidup baik' dengan dan untuk yang lain, di dalam institusi-institusi yang adil". 32 Dengan kalimat lain, apa dan bagaimana tugas emansipatoris dalam hermeneutik Paul Ricoeur. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, kajian ini akan menganalisis diskursus emansipasi yang khas dalam pemikiran Ricoeur, yang menyediakan nilai-nilai paradigmatis bagi basis hermeneutik emansipasi-nya. 33 Paradigma W D K U emansipasi ini terhubung dengan pendapat Ricoeur bahwa "kita dapat dan harus mengemansipasi diri kita sendiri dari tanda-tanda penyakit yang penting bagi 'kesadaran manusia'". 34 Dari perspektif sejarah, hermeneutik emansipasi bagi kesadaran diri (self-consciousness) tidak dapat dilepaskan dari “tanda-tanda penyakit” (symptom) yang muncul dalam sejarah pencarian "prinsip terakhir" (Ada, Being), yang dalam filsafat Barat menjadi prinsip universal dan dipakai © menjelaskan segala sesuatu. Inilah bangunan pemikiran yang berpangkal pada "ego" (subjek) yang rasional sebagai pusatnya, yang disebut ontologi, 35 yang tergambar melalui dialog kritis Ricoeur dengan beberapa pemikiran besar yang 31 32 33 34 35 Tentang hermeneutics of the I am, lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 223. Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 193. Tentang hermeneutics of the self, lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 16-dst, 297-dst. Teks Inggris: "'good life' with and for others, in just institutions". Lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 172. Ricoeur memahami bahwa hermeneutik (hermeneutic) sebagai paradigma (a paradigmatic value). Lihat Ibid., hlm. 306. Teks Inggris: "we can and must 'emancipate' ourselves from the importance of the symptom of 'being conscious'". Lihat Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, 1970, hlm. 430. Salah satu studi yang menghubungkan pemikiran Ricoeur tentang "tanda-tanda penyakit" (symtom) dengan pastoral care, lihat Donald Capps, Pastoral Care and Hermeneutics, Ed. Don S. Browning, (1984, Philadelphia: Fortress Press). Tentang ontologi ini saya dasarkan pada pendapat Ricoeur: "The short route is the one taken by an ontology understanding, after the manner of Heidegger. I call such an ontology of understanding the 'short route'". Lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 6. 13 disebut school of Descartes: 36 Cartesianisme (Descartes), Positivisme (Comte), Fenomenologi (Husserl), Romantisme (Schleiermacher dan Dilthey) dan Strukturalisme (de Saussure). Sebagai kebalikan dari pemikiran ontologis, menurut Ricoeur, kita tidak pernah mencapai "prinsip terakhir", karena kita selalu dalam proses yang tidak pernah selesai dalam mendekati kebenaran. Seperti yang dikatakan Kaplan W D K U tentang Ricoeur: "Hermeneutik menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak pernah sampai pada asal-usul tetapi selalu berada di tengah sebuah proses tanpa permulaan atau akhir yang dapat dilihat". 37 Melawan hermeneutik klasik yang bermaksud menemukan "prinsip terakhir" yang menjadi asal-usul atau prinsip terakhir segala sesuatu (ontologi), Ricoeur mengusulkan sebuah hermeneutik dialogis atau dialektis yang berada di tengah dalam proses dialog, interrelasi dan intersubjektif.38 Pada basis pemikiran yang dialogis, interrelasi dan intersubjektif © itulah, tugas hermeneutik emansipasi Ricoeur didirikan. Dari sini pula akan terlihat posisi Ricoeur terhadap tradisi, kuasa, ideologi dan kepentingan,39 yang seringkali tertutup bagi emansipasi subjek untuk terbuka dalam tugas-tugas emansipasi sosial. Hermeneutik Ricoeur sesungguhnya adalah sebuah kritik atas hermeneutik klasik yang berpusat pada subjek rasional dan tertutup serta bermaksud menjadi 36 37 38 39 Ibid., hlm. 148-149. Teks Inggris: "Hermeneutics shows us that we never arrive at an origin but are always in the middle of a process without a discernable beginning or an end". Lihat Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 23. Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 108, 110, 453. Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 297. Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 63-100. 14 pusat segala sesuatu. Bagi Ricoeur, subjek yang terpenjara, tertutup dan imun dari segala relasi menjadi kendala bagi lahirnya emansipasi subjek dan emansipasi sosial. Kata Ricoeur: "Setiap hermeneutik adalah termasuk, eksplisit atau implisit, memahami diri melalui memahami yang lain". 40 Karenanya, hermeneutik emansipatoris Ricoeur pertama-tama merupakan emansipasi atas subjek,41 untuk dibebaskan keluar atau terbuka kepada emansipasi sosial di dalam institusiinstitusi hidup bersama yang adil.42 W D K U Hermeneutik dialektis Ricoeur tidak hanya sebuah kritik, ia juga sebuah ruang afirmatif yang mengapresiasi tradisi (dan semua warisan masa lalu) sebagai bagian dari kesadaran sejarah.43 Ruang afirmatif ini merupakan upaya: "Ricoeur menyeimbangkan hermeneutik kecurigaan Freud dengan sebuah hermeneutik kepercayaan". 44 Sehingga tersusunlah dua bilah dari hermeneutik, yakni penjarakan (distanciation) dan pendakuan atau disebut juga menjadi bagian © (appropriation). Tugas hermeneutik adalah, di satu sisi berfungsi kritis dan di sisi lain afirmasi. Begitu sebaliknya. Keduanya dibedakan dari titik berangkatnya. 40 41 42 43 44 Teks Inggris: "Every hermeneutics is thus, explicitly or implicitly, self-understanding by means of understanding others". Lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 17. Kata Ricoeur: "that the interpretation of a text culminates in the self-interpretation of a subject who thenceforth understands himself better, understands himself differently, or simply begins to understand himself". Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 158. Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 118-119. Kata Ricoeur: "I understand myself only by means of the signs that I give of my own life and that are returned to me via others. All self-knowledge is mediated through signs and works". Lihat Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 61-62. Kata Ricoeur: "'ethical intention' as aiming at the 'good life' with and for others, in just institution". Lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 172. Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 243. Teks Inggris: "Ricoeur can counter Freud's 'hermeneutic of suspicion' with a 'hermeneutic of belief'". Lihat Lewis S. Mudge, "Paul Ricoeur on Biblical Interpretation", dalam Ricoeur, Essays on Biblical Interpretation, 1980, hlm. 12. 15 Hermeneutik afirmasi atau disebut juga hermeneutik tradisi tidak terlalu memperhatikan keseriusan kuasa dan dominasi yang tersembunyi dalam tradisi, otoritas dan ideologi karena titik berangkatnya dari hermeneutik romantik yang bersifat rekoleksi.45 Sementara itu, sikap kritis dan kecurigaan (hermeneutics of suspicion)46 berasal dari hermeneutik kritis atau disebut juga kritik ideologi yang bertitik-tolak dari latar belakang pencerahan yang bersifat emansipatoris. W D K U Selama ini sikap afirmatif dan kritis diposisikan terpisah. Masalahnya bahwa jika keduanya terus terpisah dalam polarisasi, maka hermeneutik tidak akan pernah mencapai tahap kritis dan hanya akan memelihara pemikiran klasik model hermeneutik cogito dan turunan dari school of Descartes yang netral dan bebas kepentingan pada upaya-upaya liberatif dan emansipatoris. Pertanyaannya adalah bagaimana kritik bisa muncul dari dalam hermeneutik? Atau, apakah mungkin menciptakan hermeneutik yang bisa © melakukan kritik ideologi? Bagi Ricoeur sangat mungkin. Pertama-tama keduanya harus sama-sama dianggap sebagai tradisi 47 yang sarat kuasa dan 45 46 47 Menurut Ricoeur, Gadamer sulit masuk lebih jauh pada kritik karena kuatnya pengaruh perspektif Heideggerian, sehingga kritik yang muncul pun bersifat tidak langsung. Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 89. Lihat juga Dan R. Stiver, The Philosophy of Religious Language: Sign, Symbol and Story, (1996, Oxford: Blackwell), hlm. 98. Paul Ricoeur mengakui bahwa "hermeneutik kecurigaan" (hermeneutics of suspicion) diperoleh dari dialog kritis dengan tiga orang yang disebut guru kecurigaan: Marx, Nietzsche, and Freud". Lihat Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, 1970, hlm. 32. Lihat juga Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 148. Mudge, "Paul Ricoeur on Biblical Interpretation", dalam Ricoeur, Essays on Biblical Interpretation, 1980, hlm. 4-5. Richard Kearney, "Religion and Ideology: Paul Ricoeur's Hermeneutic Conflict", dalam Irish Theological Quarterly, Vol. 52, Nos. 1 and 2, 1986, hlm. 109. Clark, Paul Ricoeur, 1990, hlm. 57, 62. Dan R. Stiver, Theology after Ricoeur: New Directions in Hermeneutical Theology, (2001, Louisville: Westminster John Knox Press), hlm. 144. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 21. Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 99. Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, 16 dominasi sehingga tidak luput dari kritik ideologi. Yang kedua, baik hermeneutik dan kritik ideologi harus saling terhubung sehingga keduanya dapat mengerjakan fungsi menggembosi cara berpikir subjek absolut (hermeneutik klasik) sebagai sebab dari merebaknya akar-akar ketidakadilan dan kekerasan di mana-mana. Bahkan kritik ideologi-lah yang membebaskan hermeneutik dari posisi netral pada kepentingan emansipasi sosial. W D K U Studi ini juga bermaksud menganalisis bangunan teori Ricoeur tentang ideologi, yang menurut saya ia bisa dituduh tidak konsisten atau tidak peka pada konteks. Mengapa? Ia berkesimpulan bahwa ideologi punya fungsi primer sebagai sumber identitas dan integrasi sosial sebelum ia berfungsi sekunder sebagai distorsi dan kesadaran palsu yang menyembunyikan dominasi dan praktik kekerasan.48 Di sinilah, kritik terhadap Ricoeur salah satunya muncul dari © pandangannya terhadap fungsi ideologi. Bahwa pertama-tama ideologi mempunyai fungsi primer, yaitu sebagai pemberi identitas dan integrasi sosial, yang membuat Ricoeur berbeda dengan Marx yang menurutnya gagal karena hanya melihat ideologi berfungsi distortif (fungsi sekunder) yang berisi kesadaran palsu dan menyembunyikan kenyataan melalui praktik dominasi dan kekerasan.49 Menurut saya, dengan mengatakan bahwa ideologi pertama-tama berfungsi integratif (fungsi primer) sesungguhnya menjadikan Ricoeur sebagai orang yang “terlalu percaya diri” (over-confident), terlalu berpikir positif sehingga 48 49 hlm. 295. Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 227. Stiver, The Philosophy of Religious Language: Sign, Symbol and Story, 1996, hlm. 99. Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 318, 323. Di sini dituliskan: "For Marx ideology is distortion" (hlm. xii). Lihat Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia, 1986, hlm. xii-xiii. 17 pemikirannya tidak relevan dengan realitas yang sebenarnya sudah demikian patologis dengan segala relasi-relasi kooptatif, dominatif dan tidak adil. Dalam konteks globalisasi imperialisme yang demikian menggurita dengan praktik kekerasan dan dominasi yang kuat atas yang lemah, hermeneutik kritis pertama-tama akan melihat persoalan ideologi sebagai distorsi atas realitas (fungsi sekunder). Dari melihat akar persoalan sosial secara kritis-konfrontatif itu W D K U kita bergerak menuju gagasan transformatif untuk mengubah realitas menjadi lebih baik dan lebih adil. Jangan sampai dengan pertama-tama membaca realitas secara positif-afirmatif kita justru terjebak pada sikap positivisme yang netral dan a-politis, yang tak lain adalah pro-status quo. Mengedepankan cara membaca kritis-konfrontatif atas realitas masa kini yang kental dengan dominasi dan distorsi (fungsi sekunder) justru menolong kita untuk punya seperangkat analisis kritis dengan paradigma kecurigaan pada © selubung kepentingan yang bermain di dalam ideologi yang dipakai. Tanpa sikap "kecurigaan hermeneutis" (hermeneutics of suspicion), menurut saya, kita sulit menemukan perspektif pengharapan tentang hidup yang lebih baik di masa depan. Jelasnya, kalau Ricoeur memulai rumusan fungsi ideologinya sebagai integratif (primer) baru distortif (sekunder), maka, menurut saya, langkah itu seharusnya dibalik menjadi urutan distortif (sekunder) baru integratif (primer).50 50 Saya sejalan dengan Richard Kearney yang dalam tulisannya mengatakan: "But before discussing Ricoeur's hermeneutics of affirmation, I propose to examine first how he develops the hermeneutic critique of ideology". Lihat Kearney, "Religion and Ideology: Paul Ricoeur's Hermeneutic Conflict", dalam Irish Theological Quarterly, 1986, hlm. 111. Sebetulnya Ricoeur sendiri sudah menyadari urutan distortif dan integratif ini ketika ia mengatakan sendiri: "two layers of ideology –ideology as distortion and as the legitimation of a system of order or power— the integrative function of ideology, the function of preserving an identity, remains". Lihat Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia, 1986, hlm. 258. Dengan demikian, 18 Bagi saya, pendapat saya inilah yang realistis dan dapat ditempuh karena konteks kita di masa kini membutuhkan cara baca kritis dan curiga terlebih dahulu baru integratif dan afirmatif atas konteks. Setidaknya menempuh dialektika di antara fungsi primer dan sekunder secara bolak-balik, tetapi dimulai dari distorsi. Jalan ini, menurut saya, merupakan isi dari perspektif atau paradigma emansipasi dalam hermeneutik emansipasi Ricoeur untuk membaca konteks masa kini. W D K U 1.6. Survey atas Paul Ricoeur dalam Kajian Sarjana Indonesia Dalam literatur berbahasa Indonesia, ada empat studi akademis serius terhadap pemikiran Paul Ricoeur. Pertama adalah skripsi Zainal Abidin, "Fenomenologi Hermeneutik Paul Ricoeur", 1989, Skripsi Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 51 Studi ini bermaksud menunjukkan usaha Ricoeur "mencangkok" (grafting, greffer) fenomenologi dengan hermeneutik. Tujuan mencangkok adalah © mengembangkan sebuah hermeneutik yang metodologis (hermeneutik) sekaligus ontologis (fenomenologis). Pencangkokan ini dipakai Ricoeur untuk menjelaskan bahwa untuk tiba pada pengetahuan kita harus melalui "jalan panjang" (long detour) melalui mediasi tanda, simbol dan teks. Jalan panjang ini mengantar hermeneutik fenomenologi menjadi lebih rendah hati untuk mengakui bahwa pemahaman akan diri sendiri lebih dahulu dengan memahami yang lain. Yang sedikit mengganggu bahwa Zainal Abidin sepertinya bingung menata dua kata ini, 51 studi saya ini hendak mempertegas cara membaca konteks dengan mulai dari analisis distortif ke analisis integratif. Di perpustakaan Fakultas Filsafat UGM tersimpan sebuah disertasi yang ditulis Widia Fithri, "Islam dan Adat Minangkabau dalam Pemikiran HAMKA: Perspektif Hermeneutika Paul Ricoeur dan Relevansinya dengan Kemajemukan di Indonesia", 2013, Disertasi Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 19 mana yang subjek dan mana yang predikat. Dari uraian di atas serta merujuk beberapa studi yang ada, ketimbang istilah "fenomenologi hermeneutik" 52 sebaiknya menggunakan istilah "hermeneutik fenomenologi".53 Kedua adalah tesis Zumri Bestado Sjamsuar, "Dialog Sebagai Faktor Integrasi dan Legitimasi Sosial Politik: Studi terhadap Pemikiran Filsafat Politik Paul Ricoeur", 2005, Tesis Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Indonesia, W D K U Depok. Studi yang dilakukan oleh Zumri Bestado Sjamsuar, sesuai judulnya, menelaah pemikiran filsafat politik Paul Ricoeur. Sjamsuar menunjukkan bahwa ideologi sebagai basis pemikiran Ricoeur soal politik pertama-tama punya fungsi primer atau fungsi asli sebagai integrasi sosial. Sementara fungsi ideologi yang distortif dan merupakan kesadaran palsu adalah fungsi sekunder. Dari sini, Sjamsuar mengajukan proposal pengembangan politik di Indonesia dengan menggunakan pemikiran Ricoeur tentang fungsi integrasi dari ideologi. Pemikiran © integratif dapat menjadi konsensus bersama membangun ideologi Indonesia. Sayangnya, studi ini tidak memasukan analisis Ricoeur terhadap perdebatan sengit antara Gadamer dan Habermas soal tradisi, kuasa, ideologi dan kritik ideologi. Padahal, menurut saya, salah satu pintu menelaah pemikiran filsafat politik 52 53 Zainal Abidin, "Fenomenologi Hermeneutik Paul Ricoeur", Skripsi Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1989, Yogyakarta, hlm. 174. Dengan konsep "hermeneutik fenomenologi" berarti hermeneutik yang dalam pemahaman Ricoeur bersifat terbatas dan selalu rapuh (fragile) karena itu membutuhkan yang lain, dipakai untuk membaca fenomenologi yang menurut Husserl bermaksud mencapai kepastian (rigorous), tertutup dan cenderung menjadi prinsip terakhir. Kalau diistilahkan "fenomenologi hermeneutik", maka fenomenologi yang sudah berangkat dari cara berpikir tertutup dipakai membaca realitas, maka hasil tafsiran sudah bisa dipastikan akan tertutup pula. Lihat Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 62, 85. Lihat juga Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 109. Thompson, Critical Hermeneutics: A Study in the thought of Paul Ricoeur and Jürgen Habermas, 1981, hlm. 39-41. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 19. David W. Hall, Paul Ricoeur and the Poetic Imperative The Creative Tension between Love and Justice, (2007, New York: State University of New York Press), hlm. 7. Don Ihde, Hermeneutic Phenomenology: The Philosophy of Paul Ricoeur, (1971, Evanston Illinois: Nortwestern University Press). 20 Ricoeur adalah berangkat dari perdebatan Gadamer dan Hebermas, 54 hingga Ricoeur menawarkan upaya dialektis dengan memasukkan unsur kritik ideologi untuk pembebasan sebagai bagian inheren dari hermeneutik kritis dan tugas politis-nya. Ketiga adalah disertasi Musnur Hery, "Hermeneutik Relijius Paul Ricoeur (1913-2005) dan Fazlur Rahman (1919-1988)", 2008, Disertasi Pascasarjana Ilmu Agama Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 55 Studi W D K U Musnur Hery menggunakan teori Anthony Thiselton dalam New Horizon in Hermeneutics tentang transformasi teks. Lewat teori ini ia bermaksud memperlihatkan polarisasi antara dominasi teks di satu sisi dan dominasi pembaca di sisi lain. Dua kemungkinan dominasi ini lalu dipakai menelaah pemikiran hermeneutik religius Paul Ricoeur dan Fazlur Rahman. Bagaimana menafsir teksteks keagamaan, serta kemungkinan dipakainya pemikiran kedua tokoh untuk 54 55 © Secara lengkap lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 63-109. Juga lihat studi Thompson, Critical Hermeneutics: A Study in the thought of Paul Ricoeur and Jürgen Habermas, 1981, hlm. 82. Di perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga juga tersimpan beberapa karya penting dan ditulis dengan baik terkait studi atas pemikiran Paul Ricoeur: (1) Maf'ula, "Posisi Asbab Al-Nuzul dalam Penafsiran Al-Qur'an ditinjau dengan Hermeneutika Paul Ricoeur", 2004, Skripsi Sarjana Theologi Islam IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (2) Sugiyarto, "Mitos Syekh Siti Jenar dalam Sistem Keberagamaan Masyarakat Jawa (Analisis Hermeneutis atas Paham Ketuhanan Syekh Siti Jenar)", 2005, Tesis Magister Ilmu Agama Islam (Filsafat Islam) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (3) Ari Hendri, "Hermeneutik AlGhazali dan Ricoeur (Studi Komparatif Teori Makna dan Pemahaman Al-Ghazali dan Ricoeur serta Relevansinya terhadap Pengembangan Pemahaman Kitab Suci", 2011, Tesis Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (4) Isyqie Firdausah, "Qissah Saiq Al Qitar Al Qasirah Li Najib Mahfuz: Dirasah Tahliliyyah Hermeneutikiyyah Li Paul Ricoeur" (Cerpen Sa'iqul Qithar Karya Naguib Mahfouz dalam Hermeneutik Paul Ricoeur), 2013, Skripsi Sarjana Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (5) Fariza Yusuf Maulana, "Al Qissah Al Qasirah Tabliyyah Min Al Sama 'Li Yusuf Idris Al Dirasah Al Hermeneutikiyyah 'inda Paul Ricoeur", 2013, Skripsi Sarjana Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (6) Adi Mathla'ul Hadi, "Qishshah Qashirah Shaykh Balbis Li Tawfiq Al Hakim: Dirasah Ta'wiliyah Adabiyah Li Paul Ricoeur", 2013, Skripsi Sarjana Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (7) Imam Rifa'i, "Hermeneutika Fenomenologi Paul Ricoeur (Telaah Filosofis-Historis)", 2014, Skripsi Sarjana Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 21 menafsir Alkitab dan Al-Quran. Yang masih menggelayuti studi Hery adalah pertanyaan, bagaimana dengan perkembangan terakhir di bidang teologi hermeneutik yang mempercayakan peran pembaca (reader's response) masa kini untuk "menggandakan makna" atas pembacaannya akan teks. 56 Kalau Hery konsisten, penafsiran atas Alkitab, misalnya, yang sudah sangat luas berkembang seharusnya juga dapat diberlakukan pada penafsiran atas Al-Quran. Kesan saya, W D K U Hery masih sangat hati-hati bila itu ditujukan buat Al-Quran dan memilih ada di "dominasi teks" daripada mempertimbangkan peran pembaca, termasuk itu pembaca masa kini. Padahal Ricoeur sangat kritis dengan absolutisasi teks, 57 sekalipun itu teks keagamaan. Keempat adalah disertasi Yohanes Slamet Purwadi, "Religious Truth: Learning from Paul Ricoeur's Hermeneutics", 2013, Disertasi pada The Graduate School, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seperti dijelaskan oleh © penulisnya, kajian ini menelaah problem "kebenaran agama" (religious truth) yang menjadi sebab munculnya klaim-klaim kebenaran. Fokus kajian ini adalah persoalan epistemologi Ricoeur tentang "kebenaran agama" (religious truth). Fokus ini dipertajam oleh penulis dengan analisis bahasa –yang merupakan keprihatinan paling akhir dalam pemikiran filsafat Paul Ricoeur— untuk membaca kasus Ahmadiyah dan Saksi Yehova. 56 57 Sayang bahwa Musnur Hery melewatkan teori reader's response Ricoeur, misalnya lihat Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 157-179 (hlm. 166-167). Ricoeur secara jelas menolak ideologi teks yang absolut. Teks yang selalu punya rujukan (referensi) adalah penanda bahwa ideologi teks yang absolut jelas tidak mempunyai tempat. Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 148. Pandangan Ricoeur tentang intertekstualitas (intertextuality) sebagai makna sebuah teks yang merujuk pada teks yang lain juga menjelaskan sikap Ricoeur yang menolak teks yang absolut atau berdiri sendiri. Lihat Paul Ricoeur, "The Bible and the Imagination", dalam Hans Dieter Betz (Ed.), The Bible as a Document of the University, (1981, Michigan: Scholars Press), hlm. 53. 22 Yang membedakan kajian dalam disertasi Yohanes dengan kajian yang saya lakukan terletak pada fokus dan batasan studi. Dalam menelaah hermeneutik Paul Ricoeur dan tugas emansipasi, saya berfokus pada analisis hermeneutik (hermeneutic) 58 atau disebut juga analisis metodologis-paradigmatis, yaitu soal pertanyaan apa makna dari sebuah kehadiran atau "berada dalam" (being in), dan bukan sekadar "mengada dengan" (being-with) yang bersifat psikologis. Analisis W D K U hermeneutik (hermeneutic) berfokus pada sistem nilai atau paradigma berpikir yang digunakan untuk mendekati (baca: menafsir) realitas. 59 Paradigma yang dimaksud adalah emansipasi, yang dijelaskan lebih jauh pada bagian Metodologi Penelitian (1.7). Kesadaran ini mengacu pada kenyataan bahwa kondisi "bebas nilai" atau netral dalam mendekati realitas sosial itu hampir-hampir mustahil. Ricoeur sesungguhnya sudah menyebut soal "sistem nilai" ini dalam karyanya yang sangat awal Fallible Man. Reagan menjelaskannya demikian: © "Dalam Fallible Man, karakter dihadirkan melalui sebuah keterbatasan dari keterbukaan saya pada dunia benda-benda, ide-ide, nilai-nilai dan orang-orang".60 58 59 60 Sekali lagi hendak ditegaskan bahwa kata hermeneutics dalam kategori pluralis menunjuk pada penjelasan, maka kata hermeneutic dalam kategori singular menunjuk pada suatu kerangka tertentu (sistem nilai/paradigma berpikir) untuk memulai penafsiran. Lihat Ferguson, Biblical Hermeneutics: An Introduction, 1986, hlm. 5. Penulis sangat menyadari perbedaan ini, dan secara umum seluruh pembahasan dalam semua bab menggunakan istilah "hermeneutik" (hermeneutic) sebagai kerangka berpikir, sistem nilai atau paradigma. Kalaupun ada istilah hermeneutik (hermeneutics) yang dipertahankan, itu lebih karena kesadaran bahwa antara istilah hermeneutic dan hermeneutics bukan dua istilah yang harus dipertentangkan. Tentang hermeneutik sebagai paradigma atau sistem nilai dari sang penafsir atau peneliti mendekati realitas, lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 306. Tentang hermeneutik sebagai paradigma atau sistem nilai untuk pemahaman diri dan hidup baik dan adil bersama yang lain, lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 306. Teks Inggris: "In Fallible Man, character represented a finite restriction on my openness to the world of things, ideas, values, and persons". Lihat Charles E. Reagan, "Personal Identity", dalam Cohen dan Marsh (Eds.), Ricoeur as Another: The Ethics of Subjectivity, 2002, hlm. 14. Lihat juga Ricoeur, Fallible Man: Philosophy of The Will, tt., hlm. 77-98. 23 Jelasnya, apa makna "mengada-dalam-dunia" (being-in-the world) 61 sangat menentukan bagi sistem nilai (paradigma) dari proyek Ricoeur tentang "hermeneutik aksi" (hermeneutics of action), 62 yaitu proyek emansipasi dengan jagat keprihatinan kontekstualnya. Dalam rangka analisis hermeneutik atau analisis metodologis-paradigmatis ini, maka analisis epistemologis yang dikerjakan Yohanes Purwadi sebenarnya baru merupakan langkah awal dari keseluruhan proyek hermeneutik Ricoeur. 63 W D K U Padahal pergeseran hermeneutik dari epistemologi ke metodologis-paradigmatis ini sangat penting. Dalam bahasa Ricoeur, analisis metodologis-paradigmatis ini disebut juga "ontologi terbatas" (finite ontological) sebagai lawan dari ontologi klasik yang bermaksud menjadi "penentu final" (final justification) segala sesuatu.64 Ontologi menjadi terbatas karena menerima masukan dari epistemologi, di mana keyakinan ontologis itu dibarengi oleh kerendahan hati epistemologis. © Lebih jauh, menurut Ricoeur, jika hermeneutik tetap tinggal sebagai epistemologi, hermeneutik sekadar menjadi refleksi ilmu-ilmu sosial. Sementara itu, kalau hermeneutik masuk ke wilayah metodologis-paradigmatis, ia bisa menjadi dasar untuk menciptakan ilmu-ilmu sosial sekaligus menjadi metodologi 61 62 63 64 Thompson, Critical Hermeneutics: A Study in the thought of Paul Ricoeur and Jürgen Habermas, 1981, hlm. 39. Lihat juga Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy, 2000, hlm. 505-506. Bagus, Kamus Filsafat, 1996, hlm. 746-751. Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (1995, Bandung: Remaja Rosda Karya), hlm. 234-235. Lihat Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 207-240 (khusus hlm. 208, 225). Richard Kearney (Ed.), Paul Ricoeur: The Hermeneutics of Action, (1996, London: SAGE Publications). Seperti yang dijelaskan oleh Haryatmoko bahwa Ricoeur ingin menekankan syarat-syarat penafsiran yang berhasil, yaitu bila akhirnya bisa membantu memahami diri lebih baik. Konsep "pemahaman diri" lebih baik ini menyatukan dimensi epistemologis dan ontologis. Lihat Haryatmoko, "Proses Mediasi ke Momen Moral dalam 'Pemahaman Diri' Ricoeur dan 'Penampakan Wajah' Levinas", dalam Studia, Vol. 9, No. 2 Oktober 2009, hlm. 124. Lihat Ricoeur, Essays on Biblical Interpretation, 1980, hlm. 69. Lihat juga van den Hengel, "Can There Be a Science of Action", dalam Cohen dan Marsh (Eds.), Ricoeur as Another: The Ethics of Subjectivity, 2002, hlm. 73. 24 atau paradigma, yaitu sistem nilai yang diusung bagi ilmu-ilmu sosial untuk mentransformasi konteks. 65 Apalagi bagi Ricoeur, hermeneutik yang mampu melakukan kritik ideologi hanya mungkin bila bergerak dari level epistemologi ke wilayah metodologi-paradigmatis,66 sehingga hermeneutik dapat menjadi sebuah tugas penafsiran yang mengusung nilai dan fungsi etis bagi emansipasi sosial. Pemikiran Ricoeur tentang hermeneutik yang berada di level metodologi- W D K U paradigmatis inilah yang menurut saya dapat dipertemukan dengan tema pembebasan, emansipasi dan pengharapan sosial tentang hidup yang lebih baik. Tulisan-tulisan penting lainnya dalam usaha memperkenalkan pemikiran Ricoeur antara lain dilakukan oleh Bambang Triatmoko, "Hermeneutik Fenomenologis Paul Ricoeur", dalam Majalah Filsafat Driyarkara, No. 2/ Th. XVI, 1990. Tulisan ini mencoba memperkenalkan basis pemikiran Ricoeur dari fenomenologi. Ricoeur di satu sisi menjadikan fenomenologi sebagai sarana © mediasi, dan di sisi lain ia memberi kritik dengan cara melampauinya. Caranya adalah dengan keterbukaan pada distansiasi sekaligus apropriasi. Pemahaman akan diri, bukan sebagai jalan langsung seperti yang dikira oleh fenomenologi, tetapi justru dengan jalan menikung (detour, return), yaitu tidak langsung melalui semua ekspresi kemanusiaan. Tulisan berikut dari Haryatmoko, "Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses", dalam Basis, No. 05-06, Th. ke-49, Mei-Juni 65 66 Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 55-56. Ibid., hlm. 63. 25 2000.67 Haryatmoko memulai penjelasannya dengan mengutip kata-kata Ricoeur bahwa "tidak ada pengetahuan langsung tentang diri sendiri", melainkan melalui "jalan panjang" (long detour) yang dimediasi melalui tanda dan simbol. Karena itu dibutuhkan penafsiran atau hermeneutik untuk membantu menguak makna teks. Pernyataan di atas juga berarti bahwa segala bentuk monopoli kebenaran akan dipertanyakan, karena makna teks terlalu kaya untuk direduksi menjadi satu W D K U kebenaran. Pemaksaan kebenaran hanyalah sebab dari maraknya praktik kekerasan. Tulisan berikut adalah dari Martin Harun, "Hermeneutik Filosofis", dalam Forum Biblika, No. 6, Th. 3. Tulisan ini membahas pemikiran Paul Ricoeur bersama pemikiran tokoh-tokoh lain yang melatarbelakangi pemikiran hermeneutik filosofis Ricoeur. Beberapa masalah yang ditinggalkan oleh para pemikir terdahulu, seperti Schleiermacher dan Dilthey, Heidegger dan Gadamer, © oleh Ricoeur dijadikan pijakan hermeneutiknya. Salah satu masalah itu adalah intensi langsung menuju pengetahuan. Ia menjelaskan bahwa pemahaman tidak pernah terjadi secara langsung tetapi melalui jalan panjang mediasi. Sementara itu, terhadap dikotomi penjelasan dan pengertian, Ricoeur menyatukannya dalam memahami teks. 67 68 68 Teks mempunyai kapasitas untuk dihidupkan kembali Haryatmoko juga menulis beberapa karangan lain tentang pemikiran Paul Ricoeur. (1) Y. Haryatmoko, "Transparansi sebagai Proses Hermeneutik", dalam B. Kieser (Ed.), Tulus Seperti Merpati Cerdik Seperti Ular, (2001, Yogyakarta: Kanisius), hlm. 61-72. (2) Haryatmoko, "Proses Mediasi ke Momen Moral dalam 'Pemahaman Diri' Ricoeur dan 'Penampakan Wajah' Levinas", dalam Studia, Vol. 9, No. 2 Oktober 2009, hlm. 123-137. (3) Haryatmoko, "Hermeneutika & Ikonologi: Pergulatan Makna Seni", dalam Basis, No. 11-12, Th. Ke-61, 2012, hlm. 15-24. (4) "Filsafat Politik dan Etika Politik dalam Konstruksi Budaya Politik", dalam Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (2014, Jakarta: Kompas), hlm. 7-38 (lihat juga Indeks). Kita dapat menambah penjelasan Harun dengan memeriksa langsung karya Ricoeur. Jika penjelasan berarti memperhatikan struktur, genre dan style teks, maka pemahaman berarti 26 (penjelasan) dalam penafsiran (pengertian). Buat pembaca, perjumpaan dengan teks merupakan peristiwa yang mentransformasi diri dan berarti memahami diri sendiri dengan lebih baik. Tulisan berikut dikerjakan oleh Ahmad Norma Permata, "Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur", dalam Paul Ricoeur, Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa, terjemahan Musnur Hery, (2003, Yogyakarta: W D K U IRCiSoD). Pertama-tama Norma Permata menjelaskan genealogi intelektual pemikiran Paul Ricoeur. Ia mengatakan bahwa pemikiran Ricoeur menjembatani perdebatan sengit dalam peta hermeneutik antara tradisi metodologis dan tradisi filosofis. Di satu sisi hermeneutik adalah kajian untuk menyingkap makna objektif dari teks, tapi di sisi lain hermeneutik tidak lagi mutlak bertolak dari maksud pengarang. Ricoeur jugalah yang memediasi hermeneutik romantik dan hermeneutik filosofi. Ricoeur setuju bahwa hermeneutik adalah kajian terhadap © ekspresi-ekspresi kehidupan yang terbakukan dalam bahasa di mana tanda, simbol dan teks adalah sarana mediasinya. Namun, ia menolak berhenti pada langkah rekonstruktif psikologis untuk menemukan maksud pengarang. Lalu, dengan tidak berhenti pada usaha hermeneutik untuk menemukan orang lain pada diri sendiri dan diri sendiri pada diri orang lain69 melalui jalan panjang (long detour), Ricoeur bergerak lebih jauh lagi bahwa dengan 69 dunia teks yang tak lain adalah "ada-dalam-dunia" (being-in-the-world). Pemahaman terkait: (i) memahami dunia teks, tetapi juga (ii) memahami diri sendiri atau mendapat diri yang baru. Kata Ricoeur: "I find myself only by losing myself". Lihat Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning, 1976, hlm. 74. Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 88. Di pustaka lain, kalimat Ricoeur "I find myself only by losing myself" disebut berasal dari bahasa Alkitab. Tepatnya Ricoeur mengatakan: "It must, in the words of the Bible, first lose itself in order to find itself". Lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 331. Di sini Ricoeur membahas narrative identity. Lihat Paul Ricoeur, "Approaching the Human Person", dalam Ethical Perspectives, Vol. 6, No. 1, April 1999, hlm. 46-54 (hlm. 53). 27 hermeneutik kita dapat menyingkap potensi Ada atau Eksistensi (Being), yaitu subjek yang, kata Ricoeur, "peduli" (care). 70 Subjek juga berarti "kesadaran" (consciousness) yang terbuka pada panggilan etisnya untuk mentransformasi hidup yang lebih baik. 71 Bahkan potensi Ada atau Eksistensi (Being) yang tersingkap itu dimengerti oleh Ricoeur sebagai kesadaran tentang realitas yang lebih tinggi yang disebutnya lorong phenomenology of the Spirit.72 W D K U Selain berbentuk karya-karya serius dan sistematis di atas, di Indonesia pemikiran Paul Ricoeur telah menghiasi diskursus studi filsafat, ilmu sosial-politis dan teologi biblis dalam bentuk tulisan-tulisan lepas.73 Dari survei atas pustaka Paul Ricoeur ini, apa yang khas dan menjadi pembeda studi saya dengan studi- 70 71 72 73 Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 82. Basis kesadaran (consciousness) yang Ricoeur pahami adalah berfungsi etis (consciousness of life as well). Lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 186. Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 119-120. Studi David F. Ford menjelaskan hubungan pemikiran Ricoeur tentang pemahaman diri dan ibadah yang kita jalankan. Di dalam diri ada yang lain dan yang lain itu termasuk Tuhan yang kepadaNya kita beribadah. Katanya tentang Ricoeur: "He rehabilitates the metaphor of the voice of conscience as the otherness at the heart of the self". Lihat David F. Ford, Self and Salvation: Being Transformed, (1999, Cambridge: Cambridge University Press), hlm. 96. Saya masih mencatat beberapa tulisan lain dari sarjana Indonesia tentang pemikiran Paul Ricoeur, antara lain: (1) Ign. Bambang S., "Paradigma Ilmu-ilmu Manusia: Antara Kant dan Ricoeur", dalam Melintas: Majalah Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, No. 10, April 1987, hlm. 5-19. (2) Laurensius Sutadi, "Postmodern Hermeneutik dan Teologi (Pemikiran Lemah Gianni Vattimo dan Hermeneutika Paul Ricoeur)", dalam Studia, Vol. 4, No. 2, Oktober 2004, hlm. 98-108. (3) "Menuju Hermeneutik Kontekstual Indonesia: Menafsir Alkitab dengan Mengakui Peranan Sudut Pandang Penafsir", dalam E.G. Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, (2005, Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm. 31-55. E.G. Singgih, Dari Babel ke Yerusalem: Sebuah Tafsir Yesaya Pasal 40-55, (2014, Yogyakarta: Kanisius). (4) Reza Antonius A. Wattimena, "Meneropong Sisi Gelap Jiwa Manusia: Symbolism of Evil Karya Paul Ricoeur", dalam Basis, No. 11-12, Th. ke-56, November-Desember 2007, hlm. 49-56. (5) Donatus Sermada Kelen, "Konsep Fenomenologi Heidegger dalam Refleksi Hermeneutis Paul Ricoeur dan Problematika Aplikasinya", dalam Studia, Vol. 10, No. 1, Maret 2010, hlm. 20-38. (6) Nico Syukur Dister, "Dialog Antar Umat Beragama: Ketegangan antara Keterbukaan dan Identitas", dalam Limen, Th. 6, No. 2, April 2010, hlm. 49-68. (7) Robertus Wijanarko, "Bahasa Agama dan Demokrasi (Sebuah Analisis Berdasar Pemikiran Paul Ricoeur)", dalam Almirzanah dan Syamsuddin, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur'an dan Hadis: Teori dan Aplikasi, Buku 2, 2011, hlm. 105-116. (8) Felix Baghi, "Narasi Diri, Yang Lain dan Institusi yang Adil (Hermeneutika Diri dan Etika Politik Paul Ricoeur)", dalam Jurnal Ledalero, Vol. 11, No. 1, Juni 2012, hlm. 53-80. © 28 studi yang pernah dikerjakan itu? Selain penjelasan pada setiap studi dan tulisan di atas, khusus dengan studi Yohanes Purwadi yang menggunakan analisis epistemologis, yang khas dari studi yang saya lakukan adalah bahwa, kajian ini merupakan analisis metodologis (paradigmatis). Analisis paradigmatis bermaksud melahirkan sebuah hermeneutik yang mampu melakukan kritik ideologi. Caranya adalah dengan terus mengajukan pertanyaan: apa makna dari keberadaan di dunia W D K U ini (being-in-the world), dan terus bergerak pada aksi nyata (being-in-Care) yang transformatif, 74 karena nilai yang diusung dalam mendekati konteks adalah emansipasi sosial. Being-in-the world menurut Heidegger, dimodifikasi Ricoeur menjadi being-in-Care, merupakan analisis metodologis atau paradigmatis terkait seperangkat nilai dan kepentingan dalam menafsir realitas. Dalam rangka itu, apa yang Gadamer katakan soal kesadaran sejarah (historical consciousness) menjadi © penting. 75 Kesadaran sejarah adalah konteks yang tidak dibiarkan saja apalagi cuma diafirmasi. Dengan tatapan kritis yang disumbang oleh kritik ideologi Habermas, hermeneutik Paul Ricoeur menghasilkan kepentingan emansipasi. 76 Kepentingan emansipasi disebut juga refleksi diri, yaitu perspektif pembebasan dari kuasa, ideologi dan kepentingan yang menindas. 74 75 76 Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 119-120. Gadamer disebut sebagai penganjur "hermeneutik tradisi" (hermeneutic of tradition), sebagai wadah bagi munculnya kritik ideologi untuk proyek emansipasi. Lihat Ibid., hlm. 217-227. Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 82, 245. Paul Ricoeur, Philosophy of Paul Ricoeur: An Anthology of His Work, Eds. Charles Regan dan David Stewart, (1978, Boston: Beaton Press), hlm. 20. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, (1983, Jakarta: Gramedia), hlm. 221. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer: Jerman dan Inggris, Jilid I, 2014, hlm. 313. 29 Emansipasi yang dimaksud Ricoeur pertama-tama adalah emansipasi subjek atau disebut juga "pemahaman diri" (self-understanding) atau "kesadaran diri" (self-consciousness). Hal ini dapat terlihat dari beberapa kutipan Ricoeur yang dari situ jelas apa yang dimaksud dengan emansipasi. Kata Ricoeur: "Seluruh refleksi adalah dimediasi, tidak ada yang langsung pada kesadaran diri",77 "Interpretasi teks berpuncak pada interpretasi-diri subjek yang kemudian W D K U bisa memahami dirinya dengan lebih baik, memahami dirinya dengan cara berbeda, atau paling tidak mulai memahami dirinya sendiri",78 "Saya memahami diri sendiri hanya oleh makna tanda-tanda yang saya terima dari hidupku sendiri dan kembali kepada diriku melalui yang lain. Semua pengetahuan diri dimediasi 79 melalui tanda-tanda dan karya-karya", " tidak ada pemahaman diri yang tanpa dimediasi oleh tanda-tanda, simbol-simbol dan teks-teks". 80 Dari konsep emansipasi subjek tersebut, Ricoeur bergerak kepada emansipasi masyarakat yang © dijelaskan Ricoeur sebagai: "'ethical intention' as aiming at the 'good life' with and for others, in just institutions".81 Perspektif emansipasi (subjek dan masyarakat) dalam hermeneutik Paul Ricoeur adalah perspektif hermeneutik yang bertolak dari kesadaran sejarah 77 78 79 80 81 Teks Inggris: "All reflection is mediated, there is no immediate self-consciousness". Lihat Ricoeur, Essays on Biblical Interpretation, 1980, hlm. 68. Teks Inggris: "that the interpretation of a text culminates in the self-interpretation of a subject who thenceforth understands himself better, understands himself differently, or simply begins to understand himself". Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 158. Lihat juga Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, 1991, hlm. 118-119. Teks Inggris: "I understand myself only by means of the signs that I give of my own life and that are returned to me via others. All self-knowledge is mediated through signs and works". Lihat Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 61-62. Teks Inggris: "there is no self-understanding that is not mediated by signs, symbols, and texts". Lihat Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 15. Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 172. 30 sebagai konteks. Ini semacam "ontologi konkret" (concrete ontology) dalam pemikiran Ricoeur, 82 yang tidak pernah dimaksudkan sebagai "prinsip terakhir" (Being, Ada), karena bagi Ricoeur pengetahuan tidak pernah bersifat langsung apalagi absolut, tetapi di mediasi oleh seluruh praksis kemanusiaan dan karenanya bersifat relasional. W D K U 1.7. Metodologi Penelitian Metodologi disebut juga paradigma, yaitu asumsi filosofis yang mengerangkai pengetahuan dengan nilai dan kepentingan yang diusung oleh penulis di dalam studinya. 83 Metodologi atau paradigma yang diusung oleh studi ini adalah kepentingan emansipasi. Paradigma emansipasi merupakan pilihan posisi atas sikap dan tindakan yang diambil. Sebuah posisi dan sikap emansipasi diambil setelah teks (tanda, simbol, orang lain) dipertemukan dengan konteks, sehingga © memahami teks harus melahirkan aksi berupa tindakan konkret. 82 83 Ricoeur membahas wawasan ontologi yang dibarui, sekaligus kritik atas ontologi klasik, dalam Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 297-356. Lihat juga Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 2. Gagasan ontologi konkret adalah pengaruh Gabriel Marcel yang sangat kuat dalam pemikiran Ricoeur. Lihat Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, Terj. Erazim V. Kohak, (1966, Evanston Illinois: Northwestern University Press), hlm. 15. Tentang "paradigmatic value", lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 306. Lihat juga Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 156. Boyd Blundell, Paul Ricoeur between Theology and Philosophy: Detour and Return, (2010, Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press), hlm. 10. Tentang paradigma atau asumsi filosofis diterangkan oleh Cresswell demikian: "[…] the philosophical assumptions about what constitutes knowledge claims". Lihat J.W. Cresswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods, (2003, London and New Delhi: SAGE Publications), hlm. 3. Sementara Yunita Winarno menjelaskan lebih lanjut: "Klaim pengetahuan (knowledge claims) itu dapat pula disebut dengan paradigma, epistemologi, dan ontologi atau yang secara luas disebut dengan metodologi penelitian". Selanjutnya dikatakan, "pada awal suatu penelitian seorang peneliti lazimnya menyatakan suatu klaim tentang apa itu pengetahuan (ontology), cara kita mengetahuinya (epistemology), apakah nilai-nilai untuk melakukan hal itu (axiology), cara kita menuliskannya (rhetoric), dan proses-proses untuk mempelajarinya (methodology) […] jelaslah bahwa metodologi penelitian bukanlah metode penelitian". Lihat Yunita T. Winarno, "Suatu Refleksi Metodologi Penelitian Sosial", dalam Jurnal Ilmiah Humatek, Vol. 1, No. 3, September 2008, hlm. 161. 31 Sebagai sebuah metodologi atau paradigma, Kaplan menjelaskan pemikiran hermeneutik Ricoeur demikian: "Bertentangan dengan tuntutan Husserlian akan tanggungjawab mutlak untuk diri sendiri, hermeneutik menuntut tanggungjawab mutlak bagi orang lain".84 Di sini, selain Ricoeur mengungkap gagasan emansipasi subjek yang bergerak menjadi emansipasi sosial, ia bermaksud melawan pemikiran Husserl yang cuma selesai pada memahami teks W D K U dan sepi dari panggilan etis. Husserl adalah tipologi hermeneutik klasik warisan Cartesian yang egologis-solipsistis (tertutup demi mencari prinsip terakhir) karena kesadaran (Ada, Being) dan tanggungjawab itu terpusat pada diri sendiri. 85 Paradigma atau metodologi yang diusung oleh Husserl pun bersifat tertutup atau bersifat solipsisme. Selanjutnya, dengan menegaskan tanggungjawab bagi orang lain, Ricoeur menggagas sebuah emansipasi sosial, yaitu sebuah paradigma yang disebutnya © hermeneutik konkret karena terjalin dengan kesadaran sejarah. Disebut konkret karena kesadaran (Ada, Being) itu terarah dan terbuka pada orang lain dengan seluruh konteks hidupnya. Dengan kata lain, melampaui "murid teks" (disciple of the text) yang bertanggungjawab kepada diri sendiri (Cartesian dan Husserlian: "kesadaran itu bersifat tertutup"), Ricoeur bergerak menjadi "murid aksi" (disciple of the action) yang bertanggungjawab kepada hidup orang lain.86 Dengan menjadi 84 85 86 Teks Inggris: "As opposed to the Husserlian demand for ultimate responsibility for oneself, hermeneutics demands ultimate responsibility to another". Lihat Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 24. Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 37-38. Studi lengkap tentang Husserl, lihat Paul Ricoeur, Husserl: An Analysis of His Phenomenology, Terj. Edward G. Ballard dan Lester E. Embree, (1967, Evanston: Northwestern University Press). Lihat juga Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 110. Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 37-38. 32 “murid aksi” hermeneutik menjadi kerja dan tugas yang penuh panggilan etisemansipatoris. Pijakan etika sebagai dasar dari filsafat sangatlah penting, sebab, kata Ricoeur, "filsafat adalah etika", 87 maksudnya: "untuk menjangkau yang mengarahkan dari keterasingan kepada kebebasan dan kebahagiaan". Inilah tugas hermeneutik emansipasi sosial, yang dijelaskan Ricoeur, yaitu "bertujuan 'hidup baik' dengan dan untuk yang lain, di dalam institusi-institusi yang adil".88 W D K U Metodologi atau paradigma emansipasi juga berangkat dari pemahaman bahwa teks mempunyai ruang hidupnya sendiri ketika pengarang selesai memproduksinya. 89 Teks adalah dunia makna yang hadir melalui pembacapembaca baru yang ingin mendapat makna atas konteks yang dihidupinya: "teks membuka kemungkinan-kemungkinan baru di dalam diriku dan menyingkapkan kepada diriku sebuah tanggungjawab terhadap tindakan. Kemampuan-saya-untukada diwujudkan di dalam kemampuan-saya-untuk-melakukan [...]". 90 Ricoeur © dengan tajam mengatakan bahwa makna yang terbuka luas di depan (in front of the text) merupakan dunia kemungkinan untuk berharap di tengah-tengah penderitaan, yang di Alkitab disebut "dunia baru", "kerajaan Allah" (new world, 87 88 89 90 Teks Inggris: "philosophy is ethics, to the extent that it leads from alienation to freedom and beatitude". Lihat Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, 1970, hlm. 4546. Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 329. Pemikiran bahwa filsafat adalah etika adalah pengaruh Levinas dalam pemikiran Ricoeur. Lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 306, 349. Teks Inggris: "aiming at the 'good life' with and for others, in just institutions". Lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 172, 180. Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning, 1976, hlm. 17, 31-32. Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982. Stiver, Theology after Ricoeur: New Directions in Hermeneutical Theology, 2001, hlm. 94-97. Teks Inggris: "it opens up new possibilities in myself and reveals me to myself as a possibility of acting. My power-to-be manifests itself in my power-to-do [...]". Lihat Ricoeur, Philosophy of Paul Ricoeur: An Anthology of His Work, 1978, hlm. 69. 33 the kingdom of God),91 yang menghamparkan dunia luas bagi pembaca (reader's response) untuk mengembangkan penafsiran kreatif dan imajinatif, yaitu model "pembacaan fungsional", 92 yang arahnya mencapai kehidupan yang lebih baik, terlibat dalam proses emansipasi, yang merangkul kehidupan beragama dan bermasyarakat dan juga agar hasil penafsiran jangan dipakai untuk tujuan-tujuan yang merusak. W D K U Studi ini termasuk pembahasan kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini akan dikaji bahan pustaka primer, yaitu dari tulisan Paul Ricoeur yang menjelaskan langsung pertanyaan studi ini (lihat dalam daftar pustaka). Untuk mempertajam analisis, maka pustaka sekunder, yaitu yang membahas dan menjelaskan lebih lanjut pertanyaan studi, dapat dimanfaatkan sebagai sumbersumber data penunjang (lihat dalam daftar pustaka). Deskripsi atas pustaka primer dan pustaka sekunder kemudian dianalisis untuk menjawab pertanyaan utama studi. © Membaca berarti menafsir untuk memperlihatkan tugas hermeneutik melalui tahapan kritis (hermeneutics of suspicion) dan tahapan afirmasi (hermeneutics of affirmation). Di sini konteks (dibahas pada Bab 5) dibaca secara kritis untuk membongkar relasi ideologis, baru bergerak ke tahap afirmatif tentang pengharapan hidup yang adil dan beradab.93 91 92 93 Paul Ricoeur, Figuring the Sacred: Religion, Narrative and Imagination, Terj. David Pellauer, ed. Mark I. Wallace, (1995, Minneapolis: Fortress Press), hlm. 44. Robert Setio, "Teks Peperangan dalam Konteks Perang: Pandangan Awal untuk Pembacaan Fungsional", dalam Forum Biblika: Jurnal Ilmiah Populer, 2004, No. 16, hlm. 48. Tentang teori reader's response, lihat Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 157-179 (hlm. 166-167). Lihat Kearney, "Religion and Ideology: Paul Ricoeur's Hermeneutic Conflict", dalam Irish Theological Quarterly, 1986, hlm. 111-119. Richard Kearney, Poetics of Modernity: Toward a 34 Metode yang digunakan dalam studi ini adalah deskriptif-analitis,94 yang tujuannya tidak sekadar uraian deskriptif mengenai pokok masalah dengan perihal yang menyekitarinya, tetapi yang tak kalah penting dan menentukan adalah analisa mengapa dan atau bagaimana pokok masalah itu (dalam hal ini Paul Ricoeur dan pemikirannya) memberi dasar atas pilihan cara pandang, wacana yang dikembangkan bersama tradisi, teks, simbol, dengan sebab-akibat yang W D K U mengonstruksinya. Bersama pemikiran Paul Ricoeur, studi ini hendak menunjukkan bahwa hermeneutik mengusung tugas emansipasi sosial. Kalau hermeneutik adalah sebuah kepentingan maka salah satu kepentingan itu adalah emansipasi hidup yang adil dan manusiawi. 1.8. Hipotesis Hermeneutik adalah tugas (task) menafsir teks dan konteks untuk tiba pada © panggilan etis untuk emansipasi subjek yang keluar-terbuka pada emansipasi sosial. 95 Hermeneutik ini tidak saja bersifat kritis-konfrontasi melainkan juga afirmasi, terhadap relasi kuasa, dominasi, dan kepentingan yang ada di dalam teks dan konteks sosial. Hermeneutik bermaksud mendisain hidup sosial yang adil dengan pertama-tama berfungsi kritis terhadap kesadaran sejarah yang dikonstruksi oleh 94 95 Hermeneutic Imagination, (1999, New York: Humanity Book), hlm. 66-79. Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia, 1986, hlm. 258. Lihat Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, (1992, Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm. 93-94. Hal ini saya dasarkan pada apa yang Ricoeur sendiri katakan: "consciousness is not a given but a task". Lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 108, 324. Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 306. Lihat juga Vanhoozer, Biblical Narrative in the Philosophy of Paul Ricoeur: A Study in Hermeneutics and Theology, 1990, hlm. 29. 35 hermeneutik klasik (fungsi sekunder ideologi), kemudian mengafirmasi sebuah pengharapan tentang hidup adil di masa depan seperti yang dimaksud dalam hermeneutik afirmatif (fungsi primer ideologi). Dalam studi ini, penulis berasumsi bahwa hermeneutik, sekalipun berfungsi kritis terhadap bangunan kuasa dan ideologi dari hermeneutik klasik, hermeneutik tidak lain adalah "kuasa" yang sarat kepentingan. Kepentingan yang diusung adalah praksis emansipatoris. W D K U Penting dijelaskan soal terminologi "kuasa" (power). Ia muncul ketika komunitas punya "kepentingan" terhadap teks untuk ditafsirkan menurut kebutuhan komunitas. 96 Teks itu bermakna bukan karena pengarangnya, tetapi karena ditafsir ulang oleh dan di dalam komunitas. Pengalaman kolektif komunitas atau kelompok ini bisa berarti melampaui komunitas iman dan budaya sendiri. “Komunitas penafsir” (interpretive community) lalu sangat menentukan dalam memaknai pengalaman sejarah. Penafsiran juga menjadi ruang pertemuan © dan dialog yang rapuh (fragile) yang terbuka dengan siapa saja yang mencintai dan mencari kebenaran, pembebasan dan keadilan sosial.97 Melalui hermeneutik kritis, komunitas lintas iman dan budaya mengusung kepentingan untuk emansipasi sosial (interest in emancipation). Persis kata Ricoeur sendiri: "Akhirnya, kita menemukan sebuah kepentingan emansipasi dengan ilmu sosial kritis, di antara kritik ideologis, sepanjang terkait dengan psikoanalisis dan 96 97 Paul Ricoeur dan Andre LaCocque, Thinking Biblically, (1998, Chicago and London: University of Chicago), hlm. ix-xiii. Tentang kuasa (power), lihat Ricoeur, "Approaching the Human Person", dalam Ethical Perspectives, 1999, hlm. 47. Studi tentang "identitas rapuh" (fragile identities) dalam pemikiran Ricoeur yang penting buat mengembangkan teologi keramahan antar-agama, lihat Marianne Moyaert, Fragile Identities: Towards a Theology of Interreligious Hospitality, (2011, Amsterdam – New York: Rodopi). 36 berdasar pada model ini, sebagai ekspresi yang sangat teruji". 98 Kepentingan emansipatoris inilah yang berada di belakang tugas-tugas emansipasi yang juga lintas iman dan budaya. Saya pun sampai pada implikasi teori yang bisa dibayangkan dari studi ini, yang disebut “Hermeneutik Politis-Emansipatoris”. Hermeneutik ini berdimensi politis,99 karena menafsir realitas sosial muaranya adalah pada panggilan etis dan W D K U transformasi sosial. Ini juga merupakan konsensus hermeneutis agama-agama dalam kerja-kerja kolektif model gerakan emansipasi. Sehingga, hermeneutik politis-emansipatoris adalah: Pertama, bahwa hermeneutik dan emansipasi sosial berkelindan dalam satu kemasan. Kedua, bahwa hermeneutik adalah sebuah konsensus ideologis sarat kepentingan, yang karena sifatnya yang rapuh (fragile), ia tidak akan pernah menjadi "prinsip terakhir" (hermeneutik klasik), tetapi terbuka terus pada penafsiran baru seturut dengan keprihatinan konteks yang © selalu berubah. Ketiga, bahwa perspektif hermeneutis-paradigmatis dapat dipertimbangkan sebagai proposal berteologi kontekstual untuk mendekati teks dan konteks. Dalam perspektif ini keyakinan hermeneutis harus dibarengi dengan kerendahan hati epistemologi. Atau, dalam bahasa lain, "kerendahan hati hermeneutik filosofis dan penyimpangan kritik ideologi". 100 Hermeneutik menekankan keterbatasan dan kondisi-kondisi historis di mana kita menjadi 98 99 100 Teks Inggris: "Finally, we find an interest in emancipation with the critical social sciences, among which the critique of ideologies is, along with psychoanalysis and based upon its model, the most accomplished expression". Lihat Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 225. Ricoeur, "Approaching the Human Person", dalam Ethical Perspectives, 1999, hlm. 47. Teks Inggris: "the humility of philosophical hermeneutics and the defiance of the critique of ideology". Lihat Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 37-38. 37 bagiannya, sementara kritik ideologi menentang distorsi-distorsi tersembunyi dan sistematik dari pemahaman diri. 1.9. Judul Penulis tiba pada pilihan judul penulisan penelitian ini dengan narasi sebagai berikut: W D K U "Hermeneutik Paul Ricoeur dan Tugas Emansipasi" 1.10. Sistematika Pembahasan Bab 1: Pendahuluan Bab ini menjelaskan kerangka utama studi, antara lain latar belakang masalah dan rumusan masalah yang merupakan bagian dari argumen-argumen disekitar signifikansi studi tentang hermeneutik Paul Ricoeur. Bab ini pun menunjukkan © kebutuhan sebuah hermeneutik baru melalui kontribusi teoritis (dibahas di Bab 6) bagi rancang-bangun tugas teologi hermeneutik yang kontekstual di Indonesia. Dari latar belakang dan rumusan masalah lalu di rumuskan pertanyaan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian, survey atas Paul Ricoeur dalam kajian sarjana Indonesia, metodologi penelitian, hipotesis, judul dan sistematika pembahasan. Bab 2: Paul Ricoeur dan Hermeneutik Non Emansipatoris Bab ini akan membahas pemikiran-pemikiran yang menjadi latar belakang munculnya hermeneutik emansipasi Paul Ricoeur. Pemikiran-pemikiran yang disebut "sekolah Descartes" (school of Descartes) itu dibahas dalam dialog 38 Ricoeur dengan pemikiran lain yang membantunya, yaitu: Cogito Rene Descartes, positivisme Auguste Comte dan kritisisme Ludwig Wittgenstein, fenomenologi Edmund Husserl, hermeneutik romantisme Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey, dan strukturalisme Ferdinand de Saussure dan poststrukturalisme Jacques Derrida. Kesemua basis pemikiran ini berangkat dari perspektif hermeneutik W D K U (klasik) warisan Cartesian yang bermaksud menemukan "prinsip terakhir" melalui tematisasi hermeneutik sebagai subjek yang tertutup (cogito), bebas kepentingan (value-free), proses reproduksi masa lalu dan menutup ruang imaginasi (produksi teks), optimis pada "pengenalan langsung" (immediate seeing), tertutup bagi intertekstualitas dan menolak kesadaran sejarah. Kesemua basis pemikiran tersebut menjauh dari diskursus tentang hermeneutik diri (self-consciousness) yang terbuka pada cita-cita etis emansipatoris. © Bab 3: Paul Ricoeur dan Hermeneutik Emansipatoris Bab ini akan menguraikan perspektif emansipasi dalam hermeneutik Paul Ricoeur. Hermeneutik emansipasi adalah hermeneutik hasil dialog dengan pemikiran-pemikiran kritis lainnya sebagai mitra. Pertama, Ricoeur bermitra dengan tokoh-tokoh "sekolah kecurigaan" (school of suspicion), yaitu Marx, Nietzsche dan Freud, untuk melangkah pada "transformasi subjektivitas" dengan meruntuhkan ilusi subjek yang absolut, eksploitatif dan dominatif. Kedua, Ricoeur bermitra dengan Habermas dan Gadamer untuk mempertemukan dua gestur hermeneutik. Yang satu kritis dari tradisi pencerahan, sementara yang lain afirmatif dari tradisi romantisme. Ricoeur memakai dua gestur hermeneutik 39 tersebut untuk menegaskan bahasa Alkitab tentang pembebasan, eksodus (exodus) dan kebangkitan (resurrection). Ketiga, dalam dialognya dengan Levinas, Ricoeur menerima kritik atas ontologi klasik yang dilakukan oleh Levinas. Melalui kritik atas etika asimetris, Ricoeur menjadikan pemikiran Levinas sebagai pintu masuk pada pemahaman diri yang terbuka pada emansipasi diri di dalam institusiinstitusi yang adil. Lewat usulannya tentang sebuah etika simetris-resiprokal, W D K U Ricoeur mempertimbangkan hukum sebagai konsensus publik di dalam negara demokrasi berbarengan dengan kemampuan mengampuninya. Bab 4: Kontribusi Paul Ricoeur bagi Tugas Emansipasi Bab ini akan membahas unsur-unsur emansipatoris dalam hermeneutik Paul Ricoeur dari hasil dialognya dengan lima (5) mitra non emansipatoris dan enam (6) mitra emansipatoris. Tersusunlah sebelas (11) unsur hermeneutik emansipatoris Paul Ricoeur, yaitu (1) Subjek terbuka, (2) Terlibat pada © keprihatinan konteks, (3) Menerima mediasi dari yang lain, (4) ProduktifImaginatif, (5) Dialogis, (6) Transformatif, (7) Kesadaran Moral-Politik, (8) Kritis pada dogmatisme dan kontekstual, (9) Kritik ideologi dan kepentingan emansipasi, (10) Afirmatif atas sejarah dan tradisi sebagai kemungkinan positif, dan (11) Simetris dan Resiprokal. Bab 5: Tugas-tugas Emansipasi dalam Perspektif Paul Ricoeur Bab ini akan membahas penggunaan unsur-unsur emansipatoris dari hermeneutik Paul Ricoeur untuk menganalisis tugas-tugas emansipasi dalam ketiga konteks, yaitu: (1) emansipasi kaum miskin, (2) emansipasi atas kerusakan lingkungan hidup (ekologi) dan kaum perempuan, dan (3) emansipasi atas ketidakadilan 40 ekonomi dan politik yang membangkitkan tensi radikalisme-terorisme. Di setiap akhir pembahasan konteks akan ditunjukkan hasil analisis menggunakan unsurunsur emansipasi. Bab 6: Penutup Bab ini merangkum beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada bagian pendahuluan. Lalu akan diberikan saran-saran yang W D K U ditujukan kepada Gereja, Masyarakat dan Komunitas Akademik. Bab ini diakhiri dengan kontribusi teoritis dengan membalik prinsip "kritis-konfrontasi" ke "afirmatif-integratif" dalam rancang-bangun teologi hermeneutik kontekstual di Indonesia. © 41