Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Konferensi

advertisement
Bab 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) IX yang diadakan oleh Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Yogyakarta pada tanggal 12-15 Mei 2014
W
D
K
U
lalu, mengangkat beberapa isu paling kontekstual di hari ini.1 Peta isu-isu krusial
dan mendesak untuk disikapi secara teologis dan praktis itu berkaitan dengan
empat (4) area konsentrasi, yang bisa disebut juga sebagai keprihatinan
kontekstual, yaitu kemiskinan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan dan
radikalisme.
Bila menggunakan rumusan Tissa Balasuriya, maka problem ketidakadilan
yang menyebabkan kemiskinan, kerusakan ekologi dan membangkitkan tensi
©
radikalisme ini disebut sebagai globalized imperialism.
2
Keempat isu itu
sebetulnya tidak berdiri sendiri melainkan telah menjelma menjadi apa yang
Christian Parenti sebut "menyatunya bahaya besar" (catastrophic convergence).3
1
2
3
KGM IX menetapkan tema "Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya" dan sub-tema
"Dalam Solidaritas dengan Sesama Anak Bangsa, Kita tetap Mengamalkan Nilai-nilai
Pancasila guna Menanggulangi Kemiskinan, Ketidakadilan, Radikalisme, dan Kerusakan
Lingkungan". Keduanya juga sekaligus menjadi tema dan sub-tema dari Sidang Raya XVI PGI
di Gunung Sitoli, Pulau Nias, Sumatera Utara. Lihat Andreas Yewangoe, “Tuhan Mengangkat
Kita dari Samudera Raya”, dalam Buku Acara Konferensi Gereja dan Masyarakat PGI,
Yogyakarta, 12-15 Mei 2014, hlm. 30-36. Uraian PA SR XVI PGI dapat dilihat dalam Ruth
Kadarmanto (Peny.), Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya: Sepuluh Bahan
Pemahaman Alkitab Menjelang Sidang Raya ke-16 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia,
(2013, Jakarta: BPK Gunung Mulia). Lihat juga PGI, Himpunan Keputusan dan Notulen
Sidang Raya XVI Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, (2015, Jakarta: PGI).
Tissa Balasuriya, “Globalized Imperialism: A Challenge for Christian and Inter-Religious
Relations”, dalam Robert Crusz (Eds.), Encounters with the Word: Essays to Honour Aloysius
Pieris SJ, (2004, Colombo: Ecumenical Institute for Study and Dialogue), hlm. 549-560.
Christian Parenti, Tropic of Chaos: Climate Change and the New Geography of Violence,
(2011, New York: Nation Books), hlm. 3-12 (hlm. 5, 7).
1
Kesatuan bahaya besar ini nyaris tak terelakkan seiring makin nyatanya bahwa
kita hidup di dalam satu "desa dunia" (global village). Kesatuan bahaya ini telah
mengancam matinya kehidupan di planet ini.
Kemiskinan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan dan radikalisme
merupakan "penanda" (bentuk, signifier) paling jelas untuk memaknai ulang
(makna, signified) kemanusiaan dan agama. Keempatnya memberi tantangan
W
D
K
U
serius terkait diskusi di antara iman dan nalar. Nalar agama dianggap
menyuburkan sikap intoleransi, kekerasan dan radikalisme agama di ruang-ruang
publik. Nalar sekular dari konteks modernitas dan positivistik yang netral, bebas
nilai (free value), demi "pengetahuan bebas-kepentingan" (disinterested
knowledge), pun tanpa disadari telah menyediakan ruang relasi eksploitatif baik
atas manusia (kemiskinan dan ketidakadilan) dan atas masa depan lingkungan
hidup (ekologi). Kini, nalar agama ditantang membuka dialog dengan nalar
©
sekular untuk menemukan "pijakan bersama" berupa hermeneutik (hermeneutic)4
untuk kritis menafsir dan memaknai perubahan (termasuk perubahan nilai) yang
terjadi dalam konteks masyarakat global.
4
Duncan Ferguson menjelaskan bahwa kata "hermeneutics" dalam kategori pluralis menunjuk
pada penjelasan, maka kata "hermeneutic" dalam kategori singular menunjuk pada suatu
kerangka tertentu untuk memulai penafsiran. Kerangka ini mencakup ideologi, sikap dan
metode tertentu untuk membentuk penafsiran dan pemahaman. Yang pertama menunjuk aspek
objektif dari pemahaman, sementara yang kedua menunjuk pada aspek subjektif yang berasal
dari penafsir. Lihat Duncan S. Ferguson, Biblical Hermeneutics: An Introduction, (1986,
Atlanta: John Knox Press), hlm. 5. Sementara itu C. Groenen membedakan istilah
"hermeneutika" (Inggris: hermeneutics) dan "hermeneutik" (Inggris: hermeneutic).
"Hermeneutika" ialah ilmu praktis yang menentukan kaidah dan patokan yang perlu
diperhatikan apabila orang mau menafsirkan sebuah teks. Kaidah itu bersifat "objektif", yang
bersangkutan dengan teks yang mau ditafsirkan. Sementara itu, "hermeneutik" ialah suatu ilmu
atau seni yang berusaha menentukan mana pra-syarat, pra-andaian di pihak si penafsir sendiri
atau "subjek" yang menafsir. Lihat C. Groenen, Hermeneuse Alkitabiah: Ulasan Mengenai
Cara Mengartikan dan Memberitakan Kitab Suci, (1977, Ende: Nusa Indah), hlm. 10-12.
2
Bagaimana agama berfungsi dan memainkan tugas bagi emansipasi sosial
di dalam konteks di atas? Pertanyaan ini akan banyak ditentukan oleh dinamika
yang dimainkan oleh masyarakat beragama sendiri untuk menyusun tanggapan
teologis yang membarui diri terlebih dahulu sebelum terlibat di dalam gerakan
emansipasi masyarakat. Inilah suatu filsafat reflektif tentang subjektivitas, yang
kata Ricoeur bertujuan: "mencapai pemahaman diri sementara pada saat yang
5
W
D
K
U
sama memahami dunia dan orang lain".
Ini juga sebuah "hermeneutik
transformatif"6 yang tanggap pada tantangan yang dihadapi agama-agama di masa
kini dengan menafsir diri dan konteks melalui kacamata baru, yang berisi
kemampuan beradaptasi, kritis antisipatif dan melahirkan praksis atau tugas
emansipasi melawan arus globalisasi imperialisme yang tidak adil, memiskinkan,
membangkitkan tensi radikalisme dan merusak ekologi.
Pertanyaannya, jika globalisasi imperialisme merupakan kemestian yang
©
tak terhindarkan, mengapa harus dihadapi dan disongsong oleh agama? Konteks
globalisasi menyuguhkan medan baru bagi teologi agama-agama untuk
merancang-bangun sebuah pendekatan dan metodologi penafsiran yang kritis
terhadap konteks. Cara kerja penafsiran (epistemologi) ke atas konteks beserta
5
6
Teks Inggris: "to achieve self understanding while at the same time understanding the world
and other people". Lihat Lihat Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II,
Terj. Kathleen Blamey dan John B. Thompson, (1991, Evanston, Illinois: Northwestern
University Press), hlm. 132. David M. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, (2003, New York:
State University of New York Press), hlm. 9.
Tugas hermeneutik transformatif tidak terpisah dari pembahasan Ricoeur tentang dasar filsafatnya adalah etika sebagai usaha menghadirkan secara baru konsep tentang diri (I am).
Hermeneutik Ricoeur disebut juga “hermeneutics of the I am”. Lihat Paul Ricoeur, The
Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, Ed. Don Ihde, (1974, Evanston:
Northwestern University Press), hlm. 452, (“hermeneutics of the I am”, lihat hlm. 266). James
P. Martin, "Toward a Post-Critical Paradigm", dalam New Testament Studies, Vol. 33 (1987,
Cambridge: Cambridge University Press), hlm. 370-385.
3
paradigmanya akan sangat menentukan bagi terbukanya pilihan-pilihan sikap
untuk terlibat di dalam keprihatinan konteks.
Selama ini pandangan terhadap konteks dibangun oleh epistemologi
bipolaristik, hitam-putih, yang mainstream dianut, yang menempatkan agama dan
dunia saling berbenturan: agama di atas dunia atau agama terpisah dari dunia.
Konteks ketegangan ideologis ini memberi peluang lahirnya pandangan alternatif
W
D
K
U
dengan tidak menegasikan keduanya, apalagi menempatkan agama dan dunia
dalam posisi saling berhadap-hadapan.
Pandangan alternatif ini adalah sebuah hermeneutik, yang menyediakan
nilai-nilai paradigmatik (paradigmatic values) 7 guna menyadari bahwa agama
tidak serta-merta terpisah secara frontal dari kehidupan global. Demikian pula
sebaliknya, persoalan globalisasi tidak sepenuhnya terlepas dari masalah
keagamaan. Hubungan yang paling memungkinkan adalah menempatkan
©
keduanya (agama dan globalisasi) dalam bingkai yang saling membutuhkan.
Globalisasi
sebagai
kesadaran
baru
akan
realitas
membutuhkan
hermeneutik, yakni cara kerja dan sistem nilai (epistemologi dan metodologi),
yang mampu menjelaskan kait-kelindannya berbagai unsur yang ada, tanpa pernah
menjadi "prinsip terakhir" untuk menjawab semua persoalan seperti pengertian
ontologi klasik. Globalisasi jelasnya menyediakan suatu konteks bagi teologi
hermeneutik agama-agama untuk saling memperkaya dalam dialog yang
7
Tentang hermeneutik sebagai paradigma atau sistem nilai untuk pemahaman diri dan hidup
baik dan adil bersama orang lain, Ricoeur mengatakan: "In a sense, one can in fact say that the
examples drawn from human operations –seing, understanding, living well, making things,
acting (in the sense in which praxis is taken in the Ethics)— have a paradigmatic value". Lihat
Paul Ricoeur, Oneself as Another, Terj. Kathleen Blamey (1992, Chicago and London: The
University of Chicago Press), hlm. 306.
4
intersubjektivitas, serta berdaya dalam tugas emansipatoris mengatasi patologi 8
globalisasi imperialisme: kemiskinan, ketidakadilan, radikalisme dan kerusakan
lingkungan. Di sini tugas hermeneutik adalah menafsirkan dan mengartikan
kenyataan hidup, melalui cara kerja kritis-afirmatif, dan bertugas etisemansipatoris, yakni mengarahkan pilihan-pilihan hidup kontekstual sesuai
dengan penafsiran tersebut.9
W
D
K
U
1.2. Rumusan Masalah
Pertanyaan mendasar diseputar hermeneutik ilmu sosial adalah: Apa peran yang
mestinya dilakukan oleh "rasio" dalam refleksi-refleksi abstrak tentang
masyarakat? Apakah teoritisasi atas dasar suatu perspektif yang bebas
kepentingan atau netral tentang masyarakat itu mungkin? Dua pertanyaan ini,
terlebih yang terakhir, mewakili perkembangan yang terjadi dewasa ini pada
©
diskursus ruang publik, yaitu "jarak" antara kajian ilmiah dengan dunia praksis
hidup sehari-hari. Kajian ilmiah terpisah secara diametral dengan dunia sekitar.
Ilmu mengusung kepentingan hanya demi ilmu murni, yang berjarak dari
8
9
Ricoeur mengulas tentang "patologi" (pathology) dalam uraiannya tentang implikasi sosial dari
problem ego menurut Freud. Lihat Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on
Interpretation, Terj. Denis Savage (1970, New Haven: Yale University Press), hlm. 181, 185186. Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 245. Lihat
juga S.H. Clark, Paul Ricoeur, (1990, London dan New York: Routledge), hlm. 68-69. Paul
Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia, Ed. George H. Taylor, (1986, New York: Columbia
University Press), hlm. 216-253.
Ricoeur berbicara tentang hermeneutik dengan segala asal kata dan pengertiannya dalam
Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 3-6. Lihat juga
Sahiron Syamsuddin, "Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur'an
dan Pembacaan Al-Qur'an pada Masa Kontemporer", dalam Syafa'atun Almirzanah dan
Sahiron Syamsuddin, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur'an dan Hadis: Teori
dan Aplikasi, Buku 2, (2011, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga), hlm. 3033. Lihat juga Sahiron Syamsuddin, "In Search of the Integration of Hermeneutics and 'Ulumal-Qur'an", dalam Volker Küster dan Robert Setio (Eds.), Muslim Christian Relations
Observed: Comparative Studies from Indonesia and the Netherlands, (2014, Leipzig:
Evangelische Verlagsanstalt), hlm. 245-259.
5
keterlibatan pada praksis. Ketimbang membangun fungsi etis-emansipatoris atas
realitas, ilmu menarik diri dari hidup konkret yang bebas-kepentingan tentang
berbagai keprihatinan konteks. Inilah yang disebut "kontemplasi bebas10
kepentingan" (disinterested contemplation).
Dalam kerangka pikir ini,
pengetahuan tidak lagi memperoleh kepenuhan isi-nya dalam hidup manusia,
melainkan justru karena menarik diri dari hidup konkret dan praktis manusia.
W
D
K
U
Problem netralitas ilmu sebenarnya berakar jauh ke belakang dalam
sejarah filsafat Barat yang dikenal sebagai sejarah pemikiran ontologis, yaitu
tentang Ada (Being) sebagai "prinsip terakhir" segala sesuatu.
11
Penting
ditegaskan di sini bahwa Ricoeur menandai seluruh kerangka berpikir yang
disebut
dalam
studi
ini
(positivisme,
fenomenologi,
romantisme
dan
strukturalisme) bisa diusut dari pengaruh cogito Cartesian yang anti emansipasi.
Ricoeur menyebutnya sebagai school of Descartes. 12 Runutannya terletak pada
©
paradigma Cartesian, yaitu sejak Rene Descartes menggaungkan jargon cogito,
ergo sum cogitans, yang membingkai cara berpikir tertutup, bebas kepentingan
dan dibaktikan untuk ilmu sebagai ilmu.
13
Paradigma Cartesian ini telah
melahirkan sebuah hermeneutik yang disebut hermeneutik cogito, yaitu rasio yang
bersifat tertutup dan bebas nilai.14
10
11
12
13
14
Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia, 1986, hlm. 165-166. Thomas McCarthy, The
Critical Theory of JĒ˜rgen Habermas, (1988, Cambridge: The MIT Press), hlm. 2, 57. Hardono
Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, (2001, Yogyakarta: Kanisius), hlm. 32.
Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 148-149.
Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 148-149. Kaplan,
Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 23.
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, Terj. John B. Thompson, (1982, Cambridge: Cambridge University Press), hlm.
76, 89, 191. Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, 2001, hlm. 33-34.
Kata Ricoeur: "Cogito for my understanding, it has certainty only within it, that is, for my self
enclosed within itself". Lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 8.
6
Pengetahuan yang tertutup juga disumbang oleh fenomenologi yang
mengklaim tentang pengenalan langsung (directed-towards) terhadap "sesuatu"
tanpa perlu mediasi (immediacy). Kata Husserl: “'Melihat' secara langsung, bukan
saja melihat dalam arti pengalaman inderawi, tetapi melihat pada umumnya
sebagai kesadaran yang memberikan apa saja secara asali adalah sumber
pembenaran yang terakhir bagi semua pernyataan rasional”. 15 Akibatnya relasi
W
D
K
U
sosial minus dari keprihatinan pada situasi hidup "yang lain".
Selain paradigma Cartesian dan fenomenologi, paradigma positivisme juga
berandil memperlebar jurang di antara kajian atas teks dengan keprihatinan
konteks.
16
Menafsir teks merupakan aktivitas sepi dari panggilan untuk
mempertemukannya dengan hidup konkret. Dari sini lahir hermeneutik
positivistik yang bersifat netral dari keterlibatan sosial. Hermeneutik ini tidak lain
melanggengkan sikap pro status quo. Lalu "prinsip terakhir" (Ada, Being) yang
©
terkonstruksi adalah subjek rasional yang transenden dan imun dari segala
kepentingan.
15
16
Teks Inggris: "Immediate 'seeing' (sehen), not merely the sensory seeing of experience, but
seeing in general as primordial dator consciousness (als original gebendes Bewusstsein) of any
kind whatsover, is the ultimate source of justification for all statements, ideas, general
introduction to pure phenomenology". Lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer:
Jerman dan Inggris, Jilid I, (2014, Jakarta: Gramedia), hlm. 143, c.k. 6. Clark, Paul Ricoeur,
1990, hlm. 19.
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning, (1976, Texas:
The Texas Christian University Press), hlm. 71-88. John B. Thompson, Critical Hermeneutics:
A Study in the thought of Paul Ricoeur and Jürgen Habermas, (1981, Cambridge: Cambridge
University Press), hlm. 36. F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas, (2010, Yogyakarta: Kanisius),
hlm. 26.
7
Persoalan yang juga menentukan dalam hermeneutik adalah soal tempat
dari "kesadaran sejarah" (historical conciousness).
berhadapan
dengan
filsafat
strukturalisme
18
17
yang
Di sini hermeneutik
menghilangkan
segi
kesejarahan.19 Di mana kesadaran sejarah adalah aspek waktu dan tempat (baca:
konteks) dari problematika kemanusiaan (pluralisme, kemiskinan, penderitaan,
ketidakadilan, dan kerusakan ekologi) terjadi. Akibatnya hermeneutik menjauh
W
D
K
U
dari keprihatinan konteks.
Penolakan segi kesejarahan ini tidak lepas dari analisis bahasa (semiotika)
yang dikerjakan oleh strukturalisme yang mengabaikan makna dalam berbahasa
menjadi sekadar sistem penanda (bentuk, signifier) yang tertutup, akibatnya
analisis sosial (makna, signified) pun tidak muncul.
Cara kerja hermeneutik yang baru akan melampaui analisis semiotik (ilmu
tentang tanda-tanda dan artikulasinya dalam pemikiran, dalam sistem yang tetap)
©
yang ditekankan oleh strukturalisme, menjadi menekankan aspek semantik
(bahasa dalam hidup sehari-hari). Jelasnya bahwa "semantik menekankan relasi di
antara bahasa dan dunia [...] bahasa di dalam penggunaannya dan di dalam
17
18
19
Ricoeur berbicara bagian-bagian dari kesadaran sejarah itu sebagai: "freedom, justice,
progress, revolution". Lihat Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, Terj. Kathleen Blamey
dan David Pellauer, (1988, Chicago dan London: The University of Chicago Press), hlm. 209210.
Strukturalisme menyangkal keberhargaan sejarah, sebaliknya menekankan keberhargaan
sistem. Dimensi temporalitas (tempat dan waktu) dikurangi dengan menekankan
“keserempakan” (synchrony). Lihat Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor, Terj. Robert Czerny,
Kathleen McLaughlin dan John Costello, (2003, London and New York: Routledge Classics),
hlm. 85. Concise Routledge Ecyclopedia of Philosophy, (2000, London and New York:
Routledge), hlm. 865-866. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (1996, Jakarta: Gramedia), hlm.
1039-1042. Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (2006,
Bandung: Remaja Rosdakarya), hlm. 215-234.
Lihat Thompson, Critical Hermeneutics: A Study in the thought of Paul Ricoeur and Jürgen
Habermas, 1981, hlm. 41-42. Clark, Paul Ricoeur, 1990, hlm. 92-93. Di Bab II, Derrida
berbicara tentang hal ini dalam kritiknya terhadap strukturalisme klasik. Lihat Jacques Derrida,
Positions, Terj. Allan Bass, (1981, Chicago: The University of Chicago Press), hlm. 39-41.
8
tindakan [...] dan tentu saja kesatuan manusia dengan masyarakatnya". 20 Hal ini
sejalan dengan karakteristik filsafat hermeneutik Ricoeur bahwa "Keberadaan
manusia dimediasi secara semantik, yaitu oleh sebuah penafsiran makna
bahasa". 21 Mediasi semantik ini membuat makna tidak direduksi, refleksi diri
menjadi penting dan terbuka bagi relasi dengan "yang lain".22 Hermeneutik yang
seperti ini berkelindan dengan kesadaran sejarah dan bertujuan mencapai
W
D
K
U
pemahaman diri, sementara pada saat yang sama memahami dunia (world) dan
orang lain (other people).23
Pertanyaannya, hermeneutik seperti apa yang dibutuhkan guna melampaui
hermeneutik cogito, positivistik, fenomenologi, romantisme dan strukturalisme?
Lebih jauh, apa yang seharusnya diemban sebagai tugas hermeneutik? Sejatinya
bahwa hermeneutik tidak dapat lagi merupakan tugas yang bebas nilai, apalagi
netral dari panggilan etis seperti dalam pemikiran-pemikiran hermeneutik klasik
©
yang ontologis.
Hermeneutik dalam perspektif Ricoeur merupakan pengetahuan yang
dimediasi oleh seluruh pengalaman kemanusiaan. Pengetahuan yang dimediasi itu
memuat seperangkat nilai atau kepentingan (paradigma) yang mengantar pada
20
21
22
23
Teks Inggris: "semantics takes up the relationship between [...] language and world [...]
language in use and in action [...] and so integrating man into society". Lihat Ricoeur, The Rule
of Metaphor, 2003, hlm. 85.
Teks Inggris: "Human existence is mediated by semantics, that is, by an interpretation of
linguistic meaning". Lihat Kevin J. Vanhoozer, Biblical Narrative in the Philosophy of Paul
Ricoeur: A Study in Hermeneutics and Theology, (1990, Cambridge: Cambridge University
Press), hlm. 29.
Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning, 1976, hlm. 8-10.
Clark, Paul Ricoeur, 1990, hlm. 96-97.
Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 132. Kaplan, Ricoeur's
Critical Theory, 2003, hlm. 9.
9
beragam visi tentang masyarakat yang lebih baik. 24 Jelasnya, "Sebuah diskusi
tentang tindakan manusia bukanlah sebuah penyelidikan yang netral tetapi sebuah
upaya untuk memahami dan mempromosikan kemanusiaan yang hidup baik
sebagai sebuah etika, ikhtiar moral". 25 Inilah tugas hermeneutik, yaitu menafsir
konteks secara kritis untuk tiba pada panggilan emansipatoris, di mana
pengalaman sejarah keprihatinan menjadi salah satu misi etis-transformatif dari
W
D
K
U
hermeneutik.
Hermeneutik dan emansipasi bukanlah dua hal yang terpisah. Ricoeur
sendiri mengatakan: "hermeneutics without a project of liberation is blind, but a
project of emancipation without historical experience is empty". 26 Lebih jauh
Ricoeur sendiri lebih sering menggunakan kata "tugas" (task) untuk menyebut
cara kerja dan tujuan hermeneutik-nya.
27
Hermeneutik Ricoeur memberi
pendasaran penting bagi panggilan etis dari proses hermeneutik: "jasa Ricoeur
©
adalah dia [...] bersikukuh untuk menemukan cara-cara yang dapat kita gunakan
24
25
26
27
Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, 1982, hlm. 143.
Teks Inggris: "A discussion of human action is not a neutral exploration but a passionate to
understand and promote the humanly good life as an ethical, moral endeavor". Lihat John van
den Hengel, "Can There Be a Science of Action", dalam Richard A. Cohen dan James I. Marsh
(Eds.), Ricoeur as Another: The Ethics of Subjectivity, (2002, New York: State University of
New York Press), hlm. 74. Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics,
1974, hlm. 452-453.
Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia, 1986, hlm. 237. Paul Ricoeur, A Ricoeur Reader:
Reflection and Imagination, Ed. Mario J. Valdes, (1991, Toronto dan Buffalo: University of
Toronto Press), hlm. 164. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 5, 40. Paul Ricoeur,
Fallible Man: Philosophy of The Will, Terj. Charles Kelbley, (tt., Chicago, Illinois: Henry
Regnery Company), hlm. 17.
Dengan meminjam formula Freud, Ricoeur berkata: "Consciousness is not a given but a task"
(hlm. 108, 326) dan "We can now say: the positing of the self is not a given, it is a task; it is
not gegeben but aufgegeben" (hlm. 329). Lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays
in Hermeneutics, 1974, hlm. 108, 329. Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences:
Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 100. Paul Ricoeur, Essays on
Biblical Interpretation, Ed. Lewis S. Mudge, (1980, Philadelphia: Fortress Press), hlm. 40-46.
Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 5, 20, 23.
10
untuk bertindak secara bertanggungjawab sebagai agen-agen etis dan politis".28
Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu tugas hermeneutik dalam perspektif
Ricoeur adalah bersifat emansipatoris. Hermeneutik emansipatoris adalah
sumbangan penting Paul Ricoeur dalam menafsir konteks ketidakadilan,
kemiskinan, radikalisme dan kerusakan lingkungan.
Tugas hermeneutik yang emansipatoris ini didukung oleh kepentingan
W
D
K
U
tertentu. Kepentingan ini adalah masukan dari "substansi etis" (ethical substance)
terhadap hermeneutik yang tidak hanya mengandung kritik ideologi, melainkan
punya isi berupa panggilan etis untuk emansipasi sosial.29 Ricoeur pun menerima
tesis Habermas bahwa "semua pengetahuan didukung oleh kepentingan, dan
bahwa teori kritik ideologi dengan sendirinya didukung oleh kepentingan
emansipasi, yaitu di dalam komunikasi bebas tanpa batas". 30 Hermeneutik
mengusung kepentingan pada emansipasi masyarakat yang adil. Emansipasi
©
masyarakat menempatkan hermeneutik sebagai kritik ideologi yang bermaksud
membongkar kemapanan berpikir yang sering menjelma dalam sistem-sistem
yang menindas.
28
29
30
Teks Inggris: "It is to Ricoeur's credit that he [...] insists on finding ways by which we can act
responsibly as ethical and political agents". Lihat Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003,
hlm. 13.
"Substansi etis" (ethical substance, sittlichkeit) adalah pengaruh Hegel. Lihat Ricoeur,
Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982,
hlm. 246. Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 249. Lihat juga Kaplan, Ricoeur's Critical
Theory, 2003, hlm. 101-103.
Teks Inggris: "that all knowledge is supported by an interest, and that the critical theory of
ideology is itself supported by an interest in emancipation, that is, in unrestricted and
unconstrained communication". Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays
on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 245.
11
1.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan pokok yang hendak dijawab lewat penelitian ini adalah:
Bagaimanakah hermeneutik Paul Ricoeur bisa mengerjakan tugas emansipatoris?
Atau, bagaimanakah hermeneutik emansipasi Paul Ricoeur dapat menjelaskan
secara kritis relasi kuasa, ideologi dan kepentingan yang bermain di dalam tugas-
W
D
K
U
tugas emansipasi subjek dan emansipasi sosial?
1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Pertama, studi ini bertujuan menganalisis hermeneutik Paul Ricoeur yang
menjadi basis pemikirannya tentang emansipasi subjek dan terbuka pada
emansipasi masyarakat.
Kedua, karena kajian atas pemikiran Paul Ricoeur terkait topik penelitian
©
ini masih terbatas dalam literatur berbahasa Indonesia, maka kegunaan studi ini,
selain mengusulkannya sebagai kontribusi teoritis (Bab 6) berteologi hermeneutik
kontekstual di Indonesia, ini dimaksudkan untuk menambah literatur yang masih
terbatas itu.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Pemikiran Paul Ricoeur yang merambah banyak bidang hanya akan digunakan
secara selektif dan dipilih mana yang menjelaskan judul dan pertanyaan studi ini,
12
yaitu apa dan bagaimana tugas hermeneutik emansipasi diri 31 dalam konteks
emansipasi sosial, yaitu "'hidup baik' dengan dan untuk yang lain, di dalam
institusi-institusi yang adil". 32 Dengan kalimat lain, apa dan bagaimana tugas
emansipatoris dalam hermeneutik Paul Ricoeur.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, kajian ini akan menganalisis
diskursus emansipasi yang khas dalam pemikiran Ricoeur, yang menyediakan
nilai-nilai paradigmatis bagi basis hermeneutik emansipasi-nya. 33 Paradigma
W
D
K
U
emansipasi ini terhubung dengan pendapat Ricoeur bahwa "kita dapat dan harus
mengemansipasi diri kita sendiri dari tanda-tanda penyakit yang penting bagi
'kesadaran manusia'". 34 Dari perspektif sejarah, hermeneutik emansipasi bagi
kesadaran diri (self-consciousness) tidak dapat dilepaskan dari “tanda-tanda
penyakit” (symptom) yang muncul dalam sejarah pencarian "prinsip terakhir"
(Ada, Being), yang dalam filsafat Barat menjadi prinsip universal dan dipakai
©
menjelaskan segala sesuatu. Inilah bangunan pemikiran yang berpangkal pada
"ego" (subjek) yang rasional sebagai pusatnya, yang disebut ontologi, 35 yang
tergambar melalui dialog kritis Ricoeur dengan beberapa pemikiran besar yang
31
32
33
34
35
Tentang hermeneutics of the I am, lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in
Hermeneutics, 1974, hlm. 223. Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on
Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 193. Tentang hermeneutics of the self, lihat
Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 16-dst, 297-dst.
Teks Inggris: "'good life' with and for others, in just institutions". Lihat Ricoeur, Oneself as
Another, 1992, hlm. 172.
Ricoeur memahami bahwa hermeneutik (hermeneutic) sebagai paradigma (a paradigmatic
value). Lihat Ibid., hlm. 306.
Teks Inggris: "we can and must 'emancipate' ourselves from the importance of the symptom of
'being conscious'". Lihat Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, 1970,
hlm. 430. Salah satu studi yang menghubungkan pemikiran Ricoeur tentang "tanda-tanda
penyakit" (symtom) dengan pastoral care, lihat Donald Capps, Pastoral Care and
Hermeneutics, Ed. Don S. Browning, (1984, Philadelphia: Fortress Press).
Tentang ontologi ini saya dasarkan pada pendapat Ricoeur: "The short route is the one taken by
an ontology understanding, after the manner of Heidegger. I call such an ontology of
understanding the 'short route'". Lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in
Hermeneutics, 1974, hlm. 6.
13
disebut school of Descartes: 36 Cartesianisme (Descartes), Positivisme (Comte),
Fenomenologi (Husserl), Romantisme (Schleiermacher dan Dilthey) dan
Strukturalisme (de Saussure).
Sebagai kebalikan dari pemikiran ontologis, menurut Ricoeur, kita tidak
pernah mencapai "prinsip terakhir", karena kita selalu dalam proses yang tidak
pernah selesai dalam mendekati kebenaran. Seperti yang dikatakan Kaplan
W
D
K
U
tentang Ricoeur: "Hermeneutik menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak pernah
sampai pada asal-usul tetapi selalu berada di tengah sebuah proses tanpa
permulaan atau akhir yang dapat dilihat". 37 Melawan hermeneutik klasik yang
bermaksud menemukan "prinsip terakhir" yang menjadi asal-usul atau prinsip
terakhir segala sesuatu (ontologi), Ricoeur mengusulkan sebuah hermeneutik
dialogis atau dialektis yang berada di tengah dalam proses dialog, interrelasi dan
intersubjektif.38 Pada basis pemikiran yang dialogis, interrelasi dan intersubjektif
©
itulah, tugas hermeneutik emansipasi Ricoeur didirikan. Dari sini pula akan
terlihat posisi Ricoeur terhadap tradisi, kuasa, ideologi dan kepentingan,39 yang
seringkali tertutup bagi emansipasi subjek untuk terbuka dalam tugas-tugas
emansipasi sosial.
Hermeneutik Ricoeur sesungguhnya adalah sebuah kritik atas hermeneutik
klasik yang berpusat pada subjek rasional dan tertutup serta bermaksud menjadi
36
37
38
39
Ibid., hlm. 148-149.
Teks Inggris: "Hermeneutics shows us that we never arrive at an origin but are always in the
middle of a process without a discernable beginning or an end". Lihat Kaplan, Ricoeur's
Critical Theory, 2003, hlm. 23.
Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 108, 110, 453.
Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 297.
Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, 1982, hlm. 63-100.
14
pusat segala sesuatu. Bagi Ricoeur, subjek yang terpenjara, tertutup dan imun dari
segala relasi menjadi kendala bagi lahirnya emansipasi subjek dan emansipasi
sosial. Kata Ricoeur: "Setiap hermeneutik adalah termasuk, eksplisit atau implisit,
memahami diri melalui memahami yang lain".
40
Karenanya, hermeneutik
emansipatoris Ricoeur pertama-tama merupakan emansipasi atas subjek,41 untuk
dibebaskan keluar atau terbuka kepada emansipasi sosial di dalam institusiinstitusi hidup bersama yang adil.42
W
D
K
U
Hermeneutik dialektis Ricoeur tidak hanya sebuah kritik, ia juga sebuah
ruang afirmatif yang mengapresiasi tradisi (dan semua warisan masa lalu) sebagai
bagian dari kesadaran sejarah.43 Ruang afirmatif ini merupakan upaya: "Ricoeur
menyeimbangkan hermeneutik kecurigaan Freud dengan sebuah hermeneutik
kepercayaan".
44
Sehingga tersusunlah dua bilah dari hermeneutik, yakni
penjarakan (distanciation) dan pendakuan atau disebut juga menjadi bagian
©
(appropriation). Tugas hermeneutik adalah, di satu sisi berfungsi kritis dan di sisi
lain afirmasi. Begitu sebaliknya. Keduanya dibedakan dari titik berangkatnya.
40
41
42
43
44
Teks Inggris: "Every hermeneutics is thus, explicitly or implicitly, self-understanding by
means of understanding others". Lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in
Hermeneutics, 1974, hlm. 17.
Kata Ricoeur: "that the interpretation of a text culminates in the self-interpretation of a subject
who thenceforth understands himself better, understands himself differently, or simply begins
to understand himself". Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on
Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 158. Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics, II, 1991, hlm. 118-119. Kata Ricoeur: "I understand myself only by means of
the signs that I give of my own life and that are returned to me via others. All self-knowledge is
mediated through signs and works". Lihat Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics, II, 1991, hlm. 61-62.
Kata Ricoeur: "'ethical intention' as aiming at the 'good life' with and for others, in just
institution". Lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 172.
Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, 1982, hlm. 243.
Teks Inggris: "Ricoeur can counter Freud's 'hermeneutic of suspicion' with a 'hermeneutic of
belief'". Lihat Lewis S. Mudge, "Paul Ricoeur on Biblical Interpretation", dalam Ricoeur,
Essays on Biblical Interpretation, 1980, hlm. 12.
15
Hermeneutik afirmasi atau disebut juga hermeneutik tradisi tidak terlalu
memperhatikan keseriusan kuasa dan dominasi yang tersembunyi dalam tradisi,
otoritas dan ideologi karena titik berangkatnya dari hermeneutik romantik yang
bersifat rekoleksi.45 Sementara itu, sikap kritis dan kecurigaan (hermeneutics of
suspicion)46 berasal dari hermeneutik kritis atau disebut juga kritik ideologi yang
bertitik-tolak dari latar belakang pencerahan yang bersifat emansipatoris.
W
D
K
U
Selama ini sikap afirmatif dan kritis diposisikan terpisah. Masalahnya
bahwa jika keduanya terus terpisah dalam polarisasi, maka hermeneutik tidak
akan pernah mencapai tahap kritis dan hanya akan memelihara pemikiran klasik
model hermeneutik cogito dan turunan dari school of Descartes yang netral dan
bebas kepentingan pada upaya-upaya liberatif dan emansipatoris.
Pertanyaannya adalah bagaimana kritik bisa muncul dari dalam
hermeneutik? Atau, apakah mungkin menciptakan hermeneutik yang bisa
©
melakukan kritik ideologi? Bagi Ricoeur sangat mungkin. Pertama-tama
keduanya harus sama-sama dianggap sebagai tradisi 47 yang sarat kuasa dan
45
46
47
Menurut Ricoeur, Gadamer sulit masuk lebih jauh pada kritik karena kuatnya pengaruh
perspektif Heideggerian, sehingga kritik yang muncul pun bersifat tidak langsung. Lihat
Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, 1982, hlm. 89. Lihat juga Dan R. Stiver, The Philosophy of Religious
Language: Sign, Symbol and Story, (1996, Oxford: Blackwell), hlm. 98.
Paul Ricoeur mengakui bahwa "hermeneutik kecurigaan" (hermeneutics of suspicion)
diperoleh dari dialog kritis dengan tiga orang yang disebut guru kecurigaan: Marx, Nietzsche,
and Freud". Lihat Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, 1970, hlm. 32.
Lihat juga Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 148.
Mudge, "Paul Ricoeur on Biblical Interpretation", dalam Ricoeur, Essays on Biblical
Interpretation, 1980, hlm. 4-5. Richard Kearney, "Religion and Ideology: Paul Ricoeur's
Hermeneutic Conflict", dalam Irish Theological Quarterly, Vol. 52, Nos. 1 and 2, 1986, hlm.
109. Clark, Paul Ricoeur, 1990, hlm. 57, 62. Dan R. Stiver, Theology after Ricoeur: New
Directions in Hermeneutical Theology, (2001, Louisville: Westminster John Knox Press), hlm.
144. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 21.
Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, 1982, hlm. 99. Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991,
16
dominasi sehingga tidak luput dari kritik ideologi. Yang kedua, baik hermeneutik
dan kritik ideologi harus saling terhubung sehingga keduanya dapat mengerjakan
fungsi menggembosi cara berpikir subjek absolut (hermeneutik klasik) sebagai
sebab dari merebaknya akar-akar ketidakadilan dan kekerasan di mana-mana.
Bahkan kritik ideologi-lah yang membebaskan hermeneutik dari posisi netral pada
kepentingan emansipasi sosial.
W
D
K
U
Studi ini juga bermaksud menganalisis bangunan teori Ricoeur tentang
ideologi, yang menurut saya ia bisa dituduh tidak konsisten atau tidak peka pada
konteks. Mengapa? Ia berkesimpulan bahwa ideologi punya fungsi primer sebagai
sumber identitas dan integrasi sosial sebelum ia berfungsi sekunder sebagai
distorsi dan kesadaran palsu yang menyembunyikan dominasi dan praktik
kekerasan.48
Di sinilah, kritik terhadap Ricoeur salah satunya muncul dari
©
pandangannya
terhadap
fungsi
ideologi.
Bahwa
pertama-tama
ideologi
mempunyai fungsi primer, yaitu sebagai pemberi identitas dan integrasi sosial,
yang membuat Ricoeur berbeda dengan Marx yang menurutnya gagal karena
hanya melihat ideologi berfungsi distortif (fungsi sekunder) yang berisi kesadaran
palsu dan menyembunyikan kenyataan melalui praktik dominasi dan kekerasan.49
Menurut saya, dengan mengatakan bahwa ideologi pertama-tama berfungsi
integratif (fungsi primer) sesungguhnya menjadikan Ricoeur sebagai orang yang
“terlalu percaya diri” (over-confident), terlalu berpikir positif sehingga
48
49
hlm. 295. Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 227. Stiver, The Philosophy of
Religious Language: Sign, Symbol and Story, 1996, hlm. 99.
Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 318, 323.
Di sini dituliskan: "For Marx ideology is distortion" (hlm. xii). Lihat Ricoeur, Lectures on
Ideology and Utopia, 1986, hlm. xii-xiii.
17
pemikirannya tidak relevan dengan realitas yang sebenarnya sudah demikian
patologis dengan segala relasi-relasi kooptatif, dominatif dan tidak adil.
Dalam konteks globalisasi imperialisme yang demikian menggurita
dengan praktik kekerasan dan dominasi yang kuat atas yang lemah, hermeneutik
kritis pertama-tama akan melihat persoalan ideologi sebagai distorsi atas realitas
(fungsi sekunder). Dari melihat akar persoalan sosial secara kritis-konfrontatif itu
W
D
K
U
kita bergerak menuju gagasan transformatif untuk mengubah realitas menjadi
lebih baik dan lebih adil. Jangan sampai dengan pertama-tama membaca realitas
secara positif-afirmatif kita justru terjebak pada sikap positivisme yang netral dan
a-politis, yang tak lain adalah pro-status quo.
Mengedepankan cara membaca kritis-konfrontatif atas realitas masa kini
yang kental dengan dominasi dan distorsi (fungsi sekunder) justru menolong kita
untuk punya seperangkat analisis kritis dengan paradigma kecurigaan pada
©
selubung kepentingan yang bermain di dalam ideologi yang dipakai. Tanpa sikap
"kecurigaan hermeneutis" (hermeneutics of suspicion), menurut saya, kita sulit
menemukan perspektif pengharapan tentang hidup yang lebih baik di masa depan.
Jelasnya, kalau Ricoeur memulai rumusan fungsi ideologinya sebagai
integratif (primer) baru distortif (sekunder), maka, menurut saya, langkah itu
seharusnya dibalik menjadi urutan distortif (sekunder) baru integratif (primer).50
50
Saya sejalan dengan Richard Kearney yang dalam tulisannya mengatakan: "But before
discussing Ricoeur's hermeneutics of affirmation, I propose to examine first how he develops
the hermeneutic critique of ideology". Lihat Kearney, "Religion and Ideology: Paul Ricoeur's
Hermeneutic Conflict", dalam Irish Theological Quarterly, 1986, hlm. 111. Sebetulnya
Ricoeur sendiri sudah menyadari urutan distortif dan integratif ini ketika ia mengatakan
sendiri: "two layers of ideology –ideology as distortion and as the legitimation of a system of
order or power— the integrative function of ideology, the function of preserving an identity,
remains". Lihat Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia, 1986, hlm. 258. Dengan demikian,
18
Bagi saya, pendapat saya inilah yang realistis dan dapat ditempuh karena konteks
kita di masa kini membutuhkan cara baca kritis dan curiga terlebih dahulu baru
integratif dan afirmatif atas konteks. Setidaknya menempuh dialektika di antara
fungsi primer dan sekunder secara bolak-balik, tetapi dimulai dari distorsi. Jalan
ini, menurut saya, merupakan isi dari perspektif atau paradigma emansipasi dalam
hermeneutik emansipasi Ricoeur untuk membaca konteks masa kini.
W
D
K
U
1.6. Survey atas Paul Ricoeur dalam Kajian Sarjana Indonesia
Dalam literatur berbahasa Indonesia, ada empat studi akademis serius terhadap
pemikiran Paul Ricoeur. Pertama adalah skripsi Zainal Abidin, "Fenomenologi
Hermeneutik Paul Ricoeur", 1989, Skripsi Sarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. 51 Studi ini bermaksud menunjukkan usaha Ricoeur "mencangkok"
(grafting, greffer) fenomenologi dengan hermeneutik. Tujuan mencangkok adalah
©
mengembangkan sebuah hermeneutik yang metodologis (hermeneutik) sekaligus
ontologis (fenomenologis). Pencangkokan ini dipakai Ricoeur untuk menjelaskan
bahwa untuk tiba pada pengetahuan kita harus melalui "jalan panjang" (long
detour) melalui mediasi tanda, simbol dan teks. Jalan panjang ini mengantar
hermeneutik fenomenologi menjadi lebih rendah hati untuk mengakui bahwa
pemahaman akan diri sendiri lebih dahulu dengan memahami yang lain. Yang
sedikit mengganggu bahwa Zainal Abidin sepertinya bingung menata dua kata ini,
51
studi saya ini hendak mempertegas cara membaca konteks dengan mulai dari analisis distortif
ke analisis integratif.
Di perpustakaan Fakultas Filsafat UGM tersimpan sebuah disertasi yang ditulis Widia Fithri,
"Islam dan Adat Minangkabau dalam Pemikiran HAMKA: Perspektif Hermeneutika Paul
Ricoeur dan Relevansinya dengan Kemajemukan di Indonesia", 2013, Disertasi Filsafat
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
19
mana yang subjek dan mana yang predikat. Dari uraian di atas serta merujuk
beberapa studi yang ada, ketimbang istilah "fenomenologi hermeneutik"
52
sebaiknya menggunakan istilah "hermeneutik fenomenologi".53
Kedua adalah tesis Zumri Bestado Sjamsuar, "Dialog Sebagai Faktor
Integrasi dan Legitimasi Sosial Politik: Studi terhadap Pemikiran Filsafat Politik
Paul Ricoeur", 2005, Tesis Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Indonesia,
W
D
K
U
Depok. Studi yang dilakukan oleh Zumri Bestado Sjamsuar, sesuai judulnya,
menelaah pemikiran filsafat politik Paul Ricoeur. Sjamsuar menunjukkan bahwa
ideologi sebagai basis pemikiran Ricoeur soal politik pertama-tama punya fungsi
primer atau fungsi asli sebagai integrasi sosial. Sementara fungsi ideologi yang
distortif dan merupakan kesadaran palsu adalah fungsi sekunder. Dari sini,
Sjamsuar mengajukan proposal pengembangan politik di Indonesia dengan
menggunakan pemikiran Ricoeur tentang fungsi integrasi dari ideologi. Pemikiran
©
integratif dapat menjadi konsensus bersama membangun ideologi Indonesia.
Sayangnya, studi ini tidak memasukan analisis Ricoeur terhadap perdebatan sengit
antara Gadamer dan Habermas soal tradisi, kuasa, ideologi dan kritik ideologi.
Padahal, menurut saya, salah satu pintu menelaah pemikiran filsafat politik
52
53
Zainal Abidin, "Fenomenologi Hermeneutik Paul Ricoeur", Skripsi Sarjana Universitas Gadjah
Mada, 1989, Yogyakarta, hlm. 174.
Dengan konsep "hermeneutik fenomenologi" berarti hermeneutik yang dalam pemahaman
Ricoeur bersifat terbatas dan selalu rapuh (fragile) karena itu membutuhkan yang lain, dipakai
untuk membaca fenomenologi yang menurut Husserl bermaksud mencapai kepastian
(rigorous), tertutup dan cenderung menjadi prinsip terakhir. Kalau diistilahkan "fenomenologi
hermeneutik", maka fenomenologi yang sudah berangkat dari cara berpikir tertutup dipakai
membaca realitas, maka hasil tafsiran sudah bisa dipastikan akan tertutup pula. Lihat Ricoeur,
Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 62, 85. Lihat juga Ricoeur, Hermeneutics and the
Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 109. Thompson,
Critical Hermeneutics: A Study in the thought of Paul Ricoeur and Jürgen Habermas, 1981,
hlm. 39-41. Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 19. David W. Hall, Paul Ricoeur
and the Poetic Imperative The Creative Tension between Love and Justice, (2007, New York:
State University of New York Press), hlm. 7. Don Ihde, Hermeneutic Phenomenology: The
Philosophy of Paul Ricoeur, (1971, Evanston Illinois: Nortwestern University Press).
20
Ricoeur adalah berangkat dari perdebatan Gadamer dan Hebermas, 54 hingga
Ricoeur menawarkan upaya dialektis dengan memasukkan unsur kritik ideologi
untuk pembebasan sebagai bagian inheren dari hermeneutik kritis dan tugas
politis-nya.
Ketiga adalah disertasi Musnur Hery, "Hermeneutik Relijius Paul Ricoeur
(1913-2005) dan Fazlur Rahman (1919-1988)", 2008, Disertasi Pascasarjana Ilmu
Agama Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 55 Studi
W
D
K
U
Musnur Hery menggunakan teori Anthony Thiselton dalam New Horizon in
Hermeneutics tentang transformasi teks. Lewat teori ini ia bermaksud
memperlihatkan polarisasi antara dominasi teks di satu sisi dan dominasi pembaca
di sisi lain. Dua kemungkinan dominasi ini lalu dipakai menelaah pemikiran
hermeneutik religius Paul Ricoeur dan Fazlur Rahman. Bagaimana menafsir teksteks keagamaan, serta kemungkinan dipakainya pemikiran kedua tokoh untuk
54
55
©
Secara lengkap lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language,
Action and Interpretation, 1982, hlm. 63-109. Juga lihat studi Thompson, Critical
Hermeneutics: A Study in the thought of Paul Ricoeur and Jürgen Habermas, 1981, hlm. 82.
Di perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga juga tersimpan beberapa
karya penting dan ditulis dengan baik terkait studi atas pemikiran Paul Ricoeur: (1) Maf'ula,
"Posisi Asbab Al-Nuzul dalam Penafsiran Al-Qur'an ditinjau dengan Hermeneutika Paul
Ricoeur", 2004, Skripsi Sarjana Theologi Islam IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (2)
Sugiyarto, "Mitos Syekh Siti Jenar dalam Sistem Keberagamaan Masyarakat Jawa (Analisis
Hermeneutis atas Paham Ketuhanan Syekh Siti Jenar)", 2005, Tesis Magister Ilmu Agama
Islam (Filsafat Islam) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (3) Ari Hendri, "Hermeneutik AlGhazali dan Ricoeur (Studi Komparatif Teori Makna dan Pemahaman Al-Ghazali dan Ricoeur
serta Relevansinya terhadap Pengembangan Pemahaman Kitab Suci", 2011, Tesis Magister
Studi Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (4) Isyqie Firdausah, "Qissah Saiq Al Qitar Al
Qasirah Li Najib Mahfuz: Dirasah Tahliliyyah Hermeneutikiyyah Li Paul Ricoeur" (Cerpen
Sa'iqul Qithar Karya Naguib Mahfouz dalam Hermeneutik Paul Ricoeur), 2013, Skripsi
Sarjana Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (5) Fariza Yusuf
Maulana, "Al Qissah Al Qasirah Tabliyyah Min Al Sama 'Li Yusuf Idris Al Dirasah Al
Hermeneutikiyyah 'inda Paul Ricoeur", 2013, Skripsi Sarjana Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (6) Adi Mathla'ul Hadi, "Qishshah Qashirah Shaykh Balbis
Li Tawfiq Al Hakim: Dirasah Ta'wiliyah Adabiyah Li Paul Ricoeur", 2013, Skripsi Sarjana
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; (7) Imam Rifa'i,
"Hermeneutika Fenomenologi Paul Ricoeur (Telaah Filosofis-Historis)", 2014, Skripsi Sarjana
Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
21
menafsir Alkitab dan Al-Quran. Yang masih menggelayuti studi Hery adalah
pertanyaan, bagaimana dengan perkembangan terakhir di bidang teologi
hermeneutik yang mempercayakan peran pembaca (reader's response) masa kini
untuk "menggandakan makna" atas pembacaannya akan teks. 56 Kalau Hery
konsisten, penafsiran atas Alkitab, misalnya, yang sudah sangat luas berkembang
seharusnya juga dapat diberlakukan pada penafsiran atas Al-Quran. Kesan saya,
W
D
K
U
Hery masih sangat hati-hati bila itu ditujukan buat Al-Quran dan memilih ada di
"dominasi teks" daripada mempertimbangkan peran pembaca, termasuk itu
pembaca masa kini. Padahal Ricoeur sangat kritis dengan absolutisasi teks, 57
sekalipun itu teks keagamaan.
Keempat adalah disertasi Yohanes Slamet Purwadi, "Religious Truth:
Learning from Paul Ricoeur's Hermeneutics", 2013, Disertasi pada The Graduate
School, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seperti dijelaskan oleh
©
penulisnya, kajian ini menelaah problem "kebenaran agama" (religious truth)
yang menjadi sebab munculnya klaim-klaim kebenaran. Fokus kajian ini adalah
persoalan epistemologi Ricoeur tentang "kebenaran agama" (religious truth).
Fokus ini dipertajam oleh penulis dengan analisis bahasa –yang merupakan
keprihatinan paling akhir dalam pemikiran filsafat Paul Ricoeur— untuk
membaca kasus Ahmadiyah dan Saksi Yehova.
56
57
Sayang bahwa Musnur Hery melewatkan teori reader's response Ricoeur, misalnya lihat
Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 157-179 (hlm. 166-167).
Ricoeur secara jelas menolak ideologi teks yang absolut. Teks yang selalu punya rujukan
(referensi) adalah penanda bahwa ideologi teks yang absolut jelas tidak mempunyai tempat.
Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, 1982, hlm. 148. Pandangan Ricoeur tentang intertekstualitas (intertextuality)
sebagai makna sebuah teks yang merujuk pada teks yang lain juga menjelaskan sikap Ricoeur
yang menolak teks yang absolut atau berdiri sendiri. Lihat Paul Ricoeur, "The Bible and the
Imagination", dalam Hans Dieter Betz (Ed.), The Bible as a Document of the University, (1981,
Michigan: Scholars Press), hlm. 53.
22
Yang membedakan kajian dalam disertasi Yohanes dengan kajian yang
saya lakukan terletak pada fokus dan batasan studi. Dalam menelaah hermeneutik
Paul Ricoeur dan tugas emansipasi, saya berfokus pada analisis hermeneutik
(hermeneutic) 58 atau disebut juga analisis metodologis-paradigmatis, yaitu soal
pertanyaan apa makna dari sebuah kehadiran atau "berada dalam" (being in), dan
bukan sekadar "mengada dengan" (being-with) yang bersifat psikologis. Analisis
W
D
K
U
hermeneutik (hermeneutic) berfokus pada sistem nilai atau paradigma berpikir
yang digunakan untuk mendekati (baca: menafsir) realitas. 59 Paradigma yang
dimaksud adalah emansipasi, yang dijelaskan lebih jauh pada bagian Metodologi
Penelitian (1.7). Kesadaran ini mengacu pada kenyataan bahwa kondisi "bebas
nilai" atau netral dalam mendekati realitas sosial itu hampir-hampir mustahil.
Ricoeur sesungguhnya sudah menyebut soal "sistem nilai" ini dalam
karyanya yang sangat awal Fallible Man. Reagan menjelaskannya demikian:
©
"Dalam Fallible Man, karakter dihadirkan melalui sebuah keterbatasan dari
keterbukaan saya pada dunia benda-benda, ide-ide, nilai-nilai dan orang-orang".60
58
59
60
Sekali lagi hendak ditegaskan bahwa kata hermeneutics dalam kategori pluralis menunjuk pada
penjelasan, maka kata hermeneutic dalam kategori singular menunjuk pada suatu kerangka
tertentu (sistem nilai/paradigma berpikir) untuk memulai penafsiran. Lihat Ferguson, Biblical
Hermeneutics: An Introduction, 1986, hlm. 5. Penulis sangat menyadari perbedaan ini, dan
secara umum seluruh pembahasan dalam semua bab menggunakan istilah "hermeneutik"
(hermeneutic) sebagai kerangka berpikir, sistem nilai atau paradigma. Kalaupun ada istilah
hermeneutik (hermeneutics) yang dipertahankan, itu lebih karena kesadaran bahwa antara
istilah hermeneutic dan hermeneutics bukan dua istilah yang harus dipertentangkan. Tentang
hermeneutik sebagai paradigma atau sistem nilai dari sang penafsir atau peneliti mendekati
realitas, lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 306.
Tentang hermeneutik sebagai paradigma atau sistem nilai untuk pemahaman diri dan hidup
baik dan adil bersama yang lain, lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 306.
Teks Inggris: "In Fallible Man, character represented a finite restriction on my openness to the
world of things, ideas, values, and persons". Lihat Charles E. Reagan, "Personal Identity",
dalam Cohen dan Marsh (Eds.), Ricoeur as Another: The Ethics of Subjectivity, 2002, hlm. 14.
Lihat juga Ricoeur, Fallible Man: Philosophy of The Will, tt., hlm. 77-98.
23
Jelasnya, apa makna "mengada-dalam-dunia" (being-in-the world)
61
sangat
menentukan bagi sistem nilai (paradigma) dari proyek Ricoeur tentang
"hermeneutik aksi" (hermeneutics of action), 62 yaitu proyek emansipasi dengan
jagat keprihatinan kontekstualnya.
Dalam rangka analisis hermeneutik atau analisis metodologis-paradigmatis
ini, maka analisis epistemologis yang dikerjakan Yohanes Purwadi sebenarnya
baru merupakan langkah awal dari keseluruhan proyek hermeneutik Ricoeur. 63
W
D
K
U
Padahal pergeseran hermeneutik dari epistemologi ke metodologis-paradigmatis
ini sangat penting. Dalam bahasa Ricoeur, analisis metodologis-paradigmatis ini
disebut juga "ontologi terbatas" (finite ontological) sebagai lawan dari ontologi
klasik yang bermaksud menjadi "penentu final" (final justification) segala
sesuatu.64 Ontologi menjadi terbatas karena menerima masukan dari epistemologi,
di mana keyakinan ontologis itu dibarengi oleh kerendahan hati epistemologis.
©
Lebih jauh, menurut Ricoeur, jika hermeneutik tetap tinggal sebagai
epistemologi, hermeneutik sekadar menjadi refleksi ilmu-ilmu sosial. Sementara
itu, kalau hermeneutik masuk ke wilayah metodologis-paradigmatis, ia bisa
menjadi dasar untuk menciptakan ilmu-ilmu sosial sekaligus menjadi metodologi
61
62
63
64
Thompson, Critical Hermeneutics: A Study in the thought of Paul Ricoeur and Jürgen
Habermas, 1981, hlm. 39. Lihat juga Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy, 2000,
hlm. 505-506. Bagus, Kamus Filsafat, 1996, hlm. 746-751. Tim Penulis Rosda, Kamus
Filsafat, (1995, Bandung: Remaja Rosda Karya), hlm. 234-235.
Lihat Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 207-240 (khusus hlm. 208, 225).
Richard Kearney (Ed.), Paul Ricoeur: The Hermeneutics of Action, (1996, London: SAGE
Publications).
Seperti yang dijelaskan oleh Haryatmoko bahwa Ricoeur ingin menekankan syarat-syarat
penafsiran yang berhasil, yaitu bila akhirnya bisa membantu memahami diri lebih baik. Konsep
"pemahaman diri" lebih baik ini menyatukan dimensi epistemologis dan ontologis. Lihat
Haryatmoko, "Proses Mediasi ke Momen Moral dalam 'Pemahaman Diri' Ricoeur dan
'Penampakan Wajah' Levinas", dalam Studia, Vol. 9, No. 2 Oktober 2009, hlm. 124.
Lihat Ricoeur, Essays on Biblical Interpretation, 1980, hlm. 69. Lihat juga van den Hengel,
"Can There Be a Science of Action", dalam Cohen dan Marsh (Eds.), Ricoeur as Another: The
Ethics of Subjectivity, 2002, hlm. 73.
24
atau paradigma, yaitu sistem nilai yang diusung bagi ilmu-ilmu sosial untuk
mentransformasi konteks. 65 Apalagi bagi Ricoeur, hermeneutik yang mampu
melakukan kritik ideologi hanya mungkin bila bergerak dari level epistemologi ke
wilayah metodologi-paradigmatis,66 sehingga hermeneutik dapat menjadi sebuah
tugas penafsiran yang mengusung nilai dan fungsi etis bagi emansipasi sosial.
Pemikiran Ricoeur tentang hermeneutik yang berada di level metodologi-
W
D
K
U
paradigmatis inilah yang menurut saya dapat dipertemukan dengan tema
pembebasan, emansipasi dan pengharapan sosial tentang hidup yang lebih baik.
Tulisan-tulisan penting lainnya dalam usaha memperkenalkan pemikiran
Ricoeur antara lain dilakukan oleh Bambang Triatmoko, "Hermeneutik
Fenomenologis Paul Ricoeur", dalam Majalah Filsafat Driyarkara, No. 2/ Th.
XVI, 1990. Tulisan ini mencoba memperkenalkan basis pemikiran Ricoeur dari
fenomenologi. Ricoeur di satu sisi menjadikan fenomenologi sebagai sarana
©
mediasi, dan di sisi lain ia memberi kritik dengan cara melampauinya. Caranya
adalah dengan keterbukaan pada distansiasi sekaligus apropriasi. Pemahaman
akan diri, bukan sebagai jalan langsung seperti yang dikira oleh fenomenologi,
tetapi justru dengan jalan menikung (detour, return), yaitu tidak langsung melalui
semua ekspresi kemanusiaan.
Tulisan
berikut
dari
Haryatmoko,
"Hermeneutika
Paul
Ricoeur:
Transparansi Sebagai Proses", dalam Basis, No. 05-06, Th. ke-49, Mei-Juni
65
66
Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, 1982, hlm. 55-56.
Ibid., hlm. 63.
25
2000.67 Haryatmoko memulai penjelasannya dengan mengutip kata-kata Ricoeur
bahwa "tidak ada pengetahuan langsung tentang diri sendiri", melainkan melalui
"jalan panjang" (long detour) yang dimediasi melalui tanda dan simbol. Karena
itu dibutuhkan penafsiran atau hermeneutik untuk membantu menguak makna
teks. Pernyataan di atas juga berarti bahwa segala bentuk monopoli kebenaran
akan dipertanyakan, karena makna teks terlalu kaya untuk direduksi menjadi satu
W
D
K
U
kebenaran. Pemaksaan kebenaran hanyalah sebab dari maraknya praktik
kekerasan.
Tulisan berikut adalah dari Martin Harun, "Hermeneutik Filosofis", dalam
Forum Biblika, No. 6, Th. 3. Tulisan ini membahas pemikiran Paul Ricoeur
bersama
pemikiran
tokoh-tokoh
lain
yang
melatarbelakangi
pemikiran
hermeneutik filosofis Ricoeur. Beberapa masalah yang ditinggalkan oleh para
pemikir terdahulu, seperti Schleiermacher dan Dilthey, Heidegger dan Gadamer,
©
oleh Ricoeur dijadikan pijakan hermeneutiknya. Salah satu masalah itu adalah
intensi langsung menuju pengetahuan. Ia menjelaskan bahwa pemahaman tidak
pernah terjadi secara langsung tetapi melalui jalan panjang mediasi. Sementara
itu, terhadap dikotomi penjelasan dan pengertian, Ricoeur menyatukannya dalam
memahami teks.
67
68
68
Teks mempunyai kapasitas untuk dihidupkan kembali
Haryatmoko juga menulis beberapa karangan lain tentang pemikiran Paul Ricoeur. (1) Y.
Haryatmoko, "Transparansi sebagai Proses Hermeneutik", dalam B. Kieser (Ed.), Tulus Seperti
Merpati Cerdik Seperti Ular, (2001, Yogyakarta: Kanisius), hlm. 61-72. (2) Haryatmoko,
"Proses Mediasi ke Momen Moral dalam 'Pemahaman Diri' Ricoeur dan 'Penampakan Wajah'
Levinas", dalam Studia, Vol. 9, No. 2 Oktober 2009, hlm. 123-137. (3) Haryatmoko,
"Hermeneutika & Ikonologi: Pergulatan Makna Seni", dalam Basis, No. 11-12, Th. Ke-61,
2012, hlm. 15-24. (4) "Filsafat Politik dan Etika Politik dalam Konstruksi Budaya Politik",
dalam Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (2014, Jakarta: Kompas), hlm. 7-38 (lihat
juga Indeks).
Kita dapat menambah penjelasan Harun dengan memeriksa langsung karya Ricoeur. Jika
penjelasan berarti memperhatikan struktur, genre dan style teks, maka pemahaman berarti
26
(penjelasan) dalam penafsiran (pengertian). Buat pembaca, perjumpaan dengan
teks merupakan peristiwa yang mentransformasi diri dan berarti memahami diri
sendiri dengan lebih baik.
Tulisan berikut dikerjakan oleh Ahmad Norma Permata, "Hermeneutika
Fenomenologis Paul Ricoeur", dalam Paul Ricoeur, Filsafat Wacana: Membelah
Makna dalam Anatomi Bahasa, terjemahan Musnur Hery, (2003, Yogyakarta:
W
D
K
U
IRCiSoD). Pertama-tama Norma Permata menjelaskan genealogi intelektual
pemikiran Paul Ricoeur. Ia mengatakan bahwa pemikiran Ricoeur menjembatani
perdebatan sengit dalam peta hermeneutik antara tradisi metodologis dan tradisi
filosofis. Di satu sisi hermeneutik adalah kajian untuk menyingkap makna objektif
dari teks, tapi di sisi lain hermeneutik tidak lagi mutlak bertolak dari maksud
pengarang. Ricoeur jugalah yang memediasi hermeneutik romantik dan
hermeneutik filosofi. Ricoeur setuju bahwa hermeneutik adalah kajian terhadap
©
ekspresi-ekspresi kehidupan yang terbakukan dalam bahasa di mana tanda, simbol
dan teks adalah sarana mediasinya. Namun, ia menolak berhenti pada langkah
rekonstruktif psikologis untuk menemukan maksud pengarang.
Lalu, dengan tidak berhenti pada usaha hermeneutik untuk menemukan
orang lain pada diri sendiri dan diri sendiri pada diri orang lain69 melalui jalan
panjang (long detour), Ricoeur bergerak lebih jauh lagi bahwa dengan
69
dunia teks yang tak lain adalah "ada-dalam-dunia" (being-in-the-world). Pemahaman terkait:
(i) memahami dunia teks, tetapi juga (ii) memahami diri sendiri atau mendapat diri yang baru.
Kata Ricoeur: "I find myself only by losing myself". Lihat Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and The Surplus of Meaning, 1976, hlm. 74. Ricoeur, From Text to Action: Essays
in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 88. Di pustaka lain, kalimat Ricoeur "I find myself only by
losing myself" disebut berasal dari bahasa Alkitab. Tepatnya Ricoeur mengatakan: "It must, in
the words of the Bible, first lose itself in order to find itself". Lihat Ricoeur, The Conflict of
Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 331.
Di sini Ricoeur membahas narrative identity. Lihat Paul Ricoeur, "Approaching the Human
Person", dalam Ethical Perspectives, Vol. 6, No. 1, April 1999, hlm. 46-54 (hlm. 53).
27
hermeneutik kita dapat menyingkap potensi Ada atau Eksistensi (Being), yaitu
subjek yang, kata Ricoeur, "peduli" (care). 70 Subjek juga berarti "kesadaran"
(consciousness) yang terbuka pada panggilan etisnya untuk mentransformasi
hidup yang lebih baik. 71 Bahkan potensi Ada atau Eksistensi (Being) yang
tersingkap itu dimengerti oleh Ricoeur sebagai kesadaran tentang realitas yang
lebih tinggi yang disebutnya lorong phenomenology of the Spirit.72
W
D
K
U
Selain berbentuk karya-karya serius dan sistematis di atas, di Indonesia
pemikiran Paul Ricoeur telah menghiasi diskursus studi filsafat, ilmu sosial-politis
dan teologi biblis dalam bentuk tulisan-tulisan lepas.73 Dari survei atas pustaka
Paul Ricoeur ini, apa yang khas dan menjadi pembeda studi saya dengan studi-
70
71
72
73
Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 82.
Basis kesadaran (consciousness) yang Ricoeur pahami adalah berfungsi etis (consciousness of
life as well). Lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 186.
Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 119-120. Studi
David F. Ford menjelaskan hubungan pemikiran Ricoeur tentang pemahaman diri dan ibadah
yang kita jalankan. Di dalam diri ada yang lain dan yang lain itu termasuk Tuhan yang kepadaNya kita beribadah. Katanya tentang Ricoeur: "He rehabilitates the metaphor of the voice of
conscience as the otherness at the heart of the self". Lihat David F. Ford, Self and Salvation:
Being Transformed, (1999, Cambridge: Cambridge University Press), hlm. 96.
Saya masih mencatat beberapa tulisan lain dari sarjana Indonesia tentang pemikiran Paul
Ricoeur, antara lain: (1) Ign. Bambang S., "Paradigma Ilmu-ilmu Manusia: Antara Kant dan
Ricoeur", dalam Melintas: Majalah Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, No.
10, April 1987, hlm. 5-19. (2) Laurensius Sutadi, "Postmodern Hermeneutik dan Teologi
(Pemikiran Lemah Gianni Vattimo dan Hermeneutika Paul Ricoeur)", dalam Studia, Vol. 4,
No. 2, Oktober 2004, hlm. 98-108. (3) "Menuju Hermeneutik Kontekstual Indonesia: Menafsir
Alkitab dengan Mengakui Peranan Sudut Pandang Penafsir", dalam E.G. Singgih,
Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, (2005, Jakarta:
BPK Gunung Mulia), hlm. 31-55. E.G. Singgih, Dari Babel ke Yerusalem: Sebuah Tafsir
Yesaya Pasal 40-55, (2014, Yogyakarta: Kanisius). (4) Reza Antonius A. Wattimena,
"Meneropong Sisi Gelap Jiwa Manusia: Symbolism of Evil Karya Paul Ricoeur", dalam Basis,
No. 11-12, Th. ke-56, November-Desember 2007, hlm. 49-56. (5) Donatus Sermada Kelen,
"Konsep Fenomenologi Heidegger dalam Refleksi Hermeneutis Paul Ricoeur dan Problematika
Aplikasinya", dalam Studia, Vol. 10, No. 1, Maret 2010, hlm. 20-38. (6) Nico Syukur Dister,
"Dialog Antar Umat Beragama: Ketegangan antara Keterbukaan dan Identitas", dalam Limen,
Th. 6, No. 2, April 2010, hlm. 49-68. (7) Robertus Wijanarko, "Bahasa Agama dan Demokrasi
(Sebuah Analisis Berdasar Pemikiran Paul Ricoeur)", dalam Almirzanah dan Syamsuddin,
Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur'an dan Hadis: Teori dan Aplikasi, Buku 2,
2011, hlm. 105-116. (8) Felix Baghi, "Narasi Diri, Yang Lain dan Institusi yang Adil
(Hermeneutika Diri dan Etika Politik Paul Ricoeur)", dalam Jurnal Ledalero, Vol. 11, No. 1,
Juni 2012, hlm. 53-80.
©
28
studi yang pernah dikerjakan itu? Selain penjelasan pada setiap studi dan tulisan
di atas, khusus dengan studi Yohanes Purwadi yang menggunakan analisis
epistemologis, yang khas dari studi yang saya lakukan adalah bahwa, kajian ini
merupakan analisis metodologis (paradigmatis). Analisis paradigmatis bermaksud
melahirkan sebuah hermeneutik yang mampu melakukan kritik ideologi. Caranya
adalah dengan terus mengajukan pertanyaan: apa makna dari keberadaan di dunia
W
D
K
U
ini (being-in-the world), dan terus bergerak pada aksi nyata (being-in-Care) yang
transformatif, 74 karena nilai yang diusung dalam mendekati konteks adalah
emansipasi sosial.
Being-in-the world menurut Heidegger, dimodifikasi Ricoeur menjadi
being-in-Care, merupakan analisis metodologis atau paradigmatis terkait
seperangkat nilai dan kepentingan dalam menafsir realitas. Dalam rangka itu, apa
yang Gadamer katakan soal kesadaran sejarah (historical consciousness) menjadi
©
penting. 75 Kesadaran sejarah adalah konteks yang tidak dibiarkan saja apalagi
cuma diafirmasi. Dengan tatapan kritis yang disumbang oleh kritik ideologi
Habermas, hermeneutik Paul Ricoeur menghasilkan kepentingan emansipasi. 76
Kepentingan emansipasi disebut juga refleksi diri, yaitu perspektif pembebasan
dari kuasa, ideologi dan kepentingan yang menindas.
74
75
76
Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 119-120.
Gadamer disebut sebagai penganjur "hermeneutik tradisi" (hermeneutic of tradition), sebagai
wadah bagi munculnya kritik ideologi untuk proyek emansipasi. Lihat Ibid., hlm. 217-227.
Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, 1982, hlm. 82, 245. Paul Ricoeur, Philosophy of Paul Ricoeur: An Anthology of
His Work, Eds. Charles Regan dan David Stewart, (1978, Boston: Beaton Press), hlm. 20. K.
Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, (1983, Jakarta: Gramedia), hlm. 221.
Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer: Jerman dan Inggris, Jilid I, 2014, hlm. 313.
29
Emansipasi yang dimaksud Ricoeur pertama-tama adalah emansipasi
subjek atau disebut juga "pemahaman diri" (self-understanding) atau "kesadaran
diri" (self-consciousness). Hal ini dapat terlihat dari beberapa kutipan Ricoeur
yang dari situ jelas apa yang dimaksud dengan emansipasi. Kata Ricoeur:
"Seluruh refleksi adalah dimediasi, tidak ada yang langsung pada kesadaran
diri",77 "Interpretasi teks berpuncak pada interpretasi-diri subjek yang kemudian
W
D
K
U
bisa memahami dirinya dengan lebih baik, memahami dirinya dengan cara
berbeda, atau paling tidak mulai memahami dirinya sendiri",78 "Saya memahami
diri sendiri hanya oleh makna tanda-tanda yang saya terima dari hidupku sendiri
dan kembali kepada diriku melalui yang lain. Semua pengetahuan diri dimediasi
79
melalui tanda-tanda dan karya-karya", " tidak ada pemahaman diri yang tanpa
dimediasi oleh tanda-tanda, simbol-simbol dan teks-teks".
80
Dari konsep
emansipasi subjek tersebut, Ricoeur bergerak kepada emansipasi masyarakat yang
©
dijelaskan Ricoeur sebagai: "'ethical intention' as aiming at the 'good life' with and
for others, in just institutions".81
Perspektif emansipasi (subjek dan masyarakat) dalam hermeneutik Paul
Ricoeur adalah perspektif hermeneutik yang bertolak dari kesadaran sejarah
77
78
79
80
81
Teks Inggris: "All reflection is mediated, there is no immediate self-consciousness". Lihat
Ricoeur, Essays on Biblical Interpretation, 1980, hlm. 68.
Teks Inggris: "that the interpretation of a text culminates in the self-interpretation of a subject
who thenceforth understands himself better, understands himself differently, or simply begins
to understand himself". Lihat Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on
Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 158. Lihat juga Ricoeur, From Text to Action:
Essays in Hermeneutics II, 1991, hlm. 118-119.
Teks Inggris: "I understand myself only by means of the signs that I give of my own life and
that are returned to me via others. All self-knowledge is mediated through signs and works".
Lihat Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 61-62.
Teks Inggris: "there is no self-understanding that is not mediated by signs, symbols, and texts".
Lihat Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 15.
Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 172.
30
sebagai konteks. Ini semacam "ontologi konkret" (concrete ontology) dalam
pemikiran Ricoeur, 82 yang tidak pernah dimaksudkan sebagai "prinsip terakhir"
(Being, Ada), karena bagi Ricoeur pengetahuan tidak pernah bersifat langsung
apalagi absolut, tetapi di mediasi oleh seluruh praksis kemanusiaan dan karenanya
bersifat relasional.
W
D
K
U
1.7. Metodologi Penelitian
Metodologi disebut juga paradigma, yaitu asumsi filosofis yang mengerangkai
pengetahuan dengan nilai dan kepentingan yang diusung oleh penulis di dalam
studinya. 83 Metodologi atau paradigma yang diusung oleh studi ini adalah
kepentingan emansipasi. Paradigma emansipasi merupakan pilihan posisi atas
sikap dan tindakan yang diambil. Sebuah posisi dan sikap emansipasi diambil
setelah teks (tanda, simbol, orang lain) dipertemukan dengan konteks, sehingga
©
memahami teks harus melahirkan aksi berupa tindakan konkret.
82
83
Ricoeur membahas wawasan ontologi yang dibarui, sekaligus kritik atas ontologi klasik, dalam
Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 297-356. Lihat juga Ricoeur, Hermeneutics and the
Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 2. Gagasan
ontologi konkret adalah pengaruh Gabriel Marcel yang sangat kuat dalam pemikiran Ricoeur.
Lihat Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, Terj. Erazim V.
Kohak, (1966, Evanston Illinois: Northwestern University Press), hlm. 15.
Tentang "paradigmatic value", lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 306. Lihat juga
Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 156. Boyd Blundell,
Paul Ricoeur between Theology and Philosophy: Detour and Return, (2010, Bloomington and
Indianapolis: Indiana University Press), hlm. 10. Tentang paradigma atau asumsi filosofis
diterangkan oleh Cresswell demikian: "[…] the philosophical assumptions about what
constitutes knowledge claims". Lihat J.W. Cresswell, Research Design: Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods, (2003, London and New Delhi: SAGE Publications), hlm. 3.
Sementara Yunita Winarno menjelaskan lebih lanjut: "Klaim pengetahuan (knowledge claims)
itu dapat pula disebut dengan paradigma, epistemologi, dan ontologi atau yang secara luas
disebut dengan metodologi penelitian". Selanjutnya dikatakan, "pada awal suatu penelitian
seorang peneliti lazimnya menyatakan suatu klaim tentang apa itu pengetahuan (ontology), cara
kita mengetahuinya (epistemology), apakah nilai-nilai untuk melakukan hal itu (axiology), cara
kita menuliskannya (rhetoric), dan proses-proses untuk mempelajarinya (methodology) […]
jelaslah bahwa metodologi penelitian bukanlah metode penelitian". Lihat Yunita T. Winarno,
"Suatu Refleksi Metodologi Penelitian Sosial", dalam Jurnal Ilmiah Humatek, Vol. 1, No. 3,
September 2008, hlm. 161.
31
Sebagai sebuah metodologi atau paradigma, Kaplan menjelaskan
pemikiran hermeneutik Ricoeur demikian: "Bertentangan dengan tuntutan
Husserlian akan tanggungjawab mutlak untuk diri sendiri, hermeneutik menuntut
tanggungjawab mutlak bagi orang lain".84 Di sini, selain Ricoeur mengungkap
gagasan emansipasi subjek yang bergerak menjadi emansipasi sosial, ia
bermaksud melawan pemikiran Husserl yang cuma selesai pada memahami teks
W
D
K
U
dan sepi dari panggilan etis. Husserl adalah tipologi hermeneutik klasik warisan
Cartesian yang egologis-solipsistis (tertutup demi mencari prinsip terakhir) karena
kesadaran (Ada, Being) dan tanggungjawab itu terpusat pada diri sendiri. 85
Paradigma atau metodologi yang diusung oleh Husserl pun bersifat tertutup atau
bersifat solipsisme.
Selanjutnya, dengan menegaskan tanggungjawab bagi orang lain, Ricoeur
menggagas sebuah emansipasi sosial, yaitu sebuah paradigma yang disebutnya
©
hermeneutik konkret karena terjalin dengan kesadaran sejarah. Disebut konkret
karena kesadaran (Ada, Being) itu terarah dan terbuka pada orang lain dengan
seluruh konteks hidupnya. Dengan kata lain, melampaui "murid teks" (disciple of
the text) yang bertanggungjawab kepada diri sendiri (Cartesian dan Husserlian:
"kesadaran itu bersifat tertutup"), Ricoeur bergerak menjadi "murid aksi" (disciple
of the action) yang bertanggungjawab kepada hidup orang lain.86 Dengan menjadi
84
85
86
Teks Inggris: "As opposed to the Husserlian demand for ultimate responsibility for oneself,
hermeneutics demands ultimate responsibility to another". Lihat Kaplan, Ricoeur's Critical
Theory, 2003, hlm. 24. Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm.
37-38.
Studi lengkap tentang Husserl, lihat Paul Ricoeur, Husserl: An Analysis of His
Phenomenology, Terj. Edward G. Ballard dan Lester E. Embree, (1967, Evanston:
Northwestern University Press). Lihat juga Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences:
Essays on Language, Action and Interpretation, 1982, hlm. 110.
Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, 1991, hlm. 37-38.
32
“murid aksi” hermeneutik menjadi kerja dan tugas yang penuh panggilan etisemansipatoris. Pijakan etika sebagai dasar dari filsafat sangatlah penting, sebab,
kata Ricoeur, "filsafat adalah etika", 87 maksudnya: "untuk menjangkau yang
mengarahkan dari keterasingan kepada kebebasan dan kebahagiaan". Inilah tugas
hermeneutik emansipasi sosial, yang dijelaskan Ricoeur, yaitu "bertujuan 'hidup
baik' dengan dan untuk yang lain, di dalam institusi-institusi yang adil".88
W
D
K
U
Metodologi atau paradigma emansipasi juga berangkat dari pemahaman
bahwa teks mempunyai ruang hidupnya sendiri ketika pengarang selesai
memproduksinya. 89 Teks adalah dunia makna yang hadir melalui pembacapembaca baru yang ingin mendapat makna atas konteks yang dihidupinya: "teks
membuka kemungkinan-kemungkinan baru di dalam diriku dan menyingkapkan
kepada diriku sebuah tanggungjawab terhadap tindakan. Kemampuan-saya-untukada diwujudkan di dalam kemampuan-saya-untuk-melakukan [...]". 90 Ricoeur
©
dengan tajam mengatakan bahwa makna yang terbuka luas di depan (in front of
the text) merupakan dunia kemungkinan untuk berharap di tengah-tengah
penderitaan, yang di Alkitab disebut "dunia baru", "kerajaan Allah" (new world,
87
88
89
90
Teks Inggris: "philosophy is ethics, to the extent that it leads from alienation to freedom and
beatitude". Lihat Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, 1970, hlm. 4546. Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm. 329.
Pemikiran bahwa filsafat adalah etika adalah pengaruh Levinas dalam pemikiran Ricoeur.
Lihat Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 306, 349.
Teks Inggris: "aiming at the 'good life' with and for others, in just institutions". Lihat Ricoeur,
Oneself as Another, 1992, hlm. 172, 180.
Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning, 1976, hlm. 17, 31-32.
Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, 1982. Stiver, Theology after Ricoeur: New Directions in Hermeneutical
Theology, 2001, hlm. 94-97.
Teks Inggris: "it opens up new possibilities in myself and reveals me to myself as a possibility
of acting. My power-to-be manifests itself in my power-to-do [...]". Lihat Ricoeur, Philosophy
of Paul Ricoeur: An Anthology of His Work, 1978, hlm. 69.
33
the kingdom of God),91 yang menghamparkan dunia luas bagi pembaca (reader's
response) untuk mengembangkan penafsiran kreatif dan imajinatif, yaitu model
"pembacaan fungsional", 92 yang arahnya mencapai kehidupan yang lebih baik,
terlibat dalam proses emansipasi, yang merangkul kehidupan beragama dan
bermasyarakat dan juga agar hasil penafsiran jangan dipakai untuk tujuan-tujuan
yang merusak.
W
D
K
U
Studi ini termasuk pembahasan kepustakaan (library research). Dalam
penelitian ini akan dikaji bahan pustaka primer, yaitu dari tulisan Paul Ricoeur
yang menjelaskan langsung pertanyaan studi ini (lihat dalam daftar pustaka).
Untuk mempertajam analisis, maka pustaka sekunder, yaitu yang membahas dan
menjelaskan lebih lanjut pertanyaan studi, dapat dimanfaatkan sebagai sumbersumber data penunjang (lihat dalam daftar pustaka). Deskripsi atas pustaka primer
dan pustaka sekunder kemudian dianalisis untuk menjawab pertanyaan utama
studi.
©
Membaca berarti menafsir untuk memperlihatkan tugas hermeneutik
melalui tahapan kritis (hermeneutics of suspicion) dan tahapan afirmasi
(hermeneutics of affirmation). Di sini konteks (dibahas pada Bab 5) dibaca secara
kritis untuk membongkar relasi ideologis, baru bergerak ke tahap afirmatif tentang
pengharapan hidup yang adil dan beradab.93
91
92
93
Paul Ricoeur, Figuring the Sacred: Religion, Narrative and Imagination, Terj. David Pellauer,
ed. Mark I. Wallace, (1995, Minneapolis: Fortress Press), hlm. 44.
Robert Setio, "Teks Peperangan dalam Konteks Perang: Pandangan Awal untuk Pembacaan
Fungsional", dalam Forum Biblika: Jurnal Ilmiah Populer, 2004, No. 16, hlm. 48. Tentang
teori reader's response, lihat Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988, hlm. 157-179 (hlm.
166-167).
Lihat Kearney, "Religion and Ideology: Paul Ricoeur's Hermeneutic Conflict", dalam Irish
Theological Quarterly, 1986, hlm. 111-119. Richard Kearney, Poetics of Modernity: Toward a
34
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah deskriptif-analitis,94 yang
tujuannya tidak sekadar uraian deskriptif mengenai pokok masalah dengan perihal
yang menyekitarinya, tetapi yang tak kalah penting dan menentukan adalah
analisa mengapa dan atau bagaimana pokok masalah itu (dalam hal ini Paul
Ricoeur dan pemikirannya) memberi dasar atas pilihan cara pandang, wacana
yang dikembangkan bersama tradisi, teks, simbol, dengan sebab-akibat yang
W
D
K
U
mengonstruksinya. Bersama pemikiran Paul Ricoeur, studi ini hendak
menunjukkan bahwa hermeneutik mengusung tugas emansipasi sosial. Kalau
hermeneutik adalah sebuah kepentingan maka salah satu kepentingan itu adalah
emansipasi hidup yang adil dan manusiawi.
1.8. Hipotesis
Hermeneutik adalah tugas (task) menafsir teks dan konteks untuk tiba pada
©
panggilan etis untuk emansipasi subjek yang keluar-terbuka pada emansipasi
sosial. 95 Hermeneutik ini tidak saja bersifat kritis-konfrontasi melainkan juga
afirmasi, terhadap relasi kuasa, dominasi, dan kepentingan yang ada di dalam teks
dan konteks sosial.
Hermeneutik bermaksud mendisain hidup sosial yang adil dengan
pertama-tama berfungsi kritis terhadap kesadaran sejarah yang dikonstruksi oleh
94
95
Hermeneutic Imagination, (1999, New York: Humanity Book), hlm. 66-79. Ricoeur, Lectures
on Ideology and Utopia, 1986, hlm. 258.
Lihat Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, (1992, Yogyakarta: Tiara Wacana),
hlm. 93-94.
Hal ini saya dasarkan pada apa yang Ricoeur sendiri katakan: "consciousness is not a given but
a task". Lihat Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, 1974, hlm.
108, 324. Ricoeur, Oneself as Another, 1992, hlm. 306. Lihat juga Vanhoozer, Biblical
Narrative in the Philosophy of Paul Ricoeur: A Study in Hermeneutics and Theology, 1990,
hlm. 29.
35
hermeneutik klasik (fungsi sekunder ideologi), kemudian mengafirmasi sebuah
pengharapan tentang hidup adil di masa depan seperti yang dimaksud dalam
hermeneutik afirmatif (fungsi primer ideologi). Dalam studi ini, penulis berasumsi
bahwa hermeneutik, sekalipun berfungsi kritis terhadap bangunan kuasa dan
ideologi dari hermeneutik klasik, hermeneutik tidak lain adalah "kuasa" yang sarat
kepentingan. Kepentingan yang diusung adalah praksis emansipatoris.
W
D
K
U
Penting dijelaskan soal terminologi "kuasa" (power). Ia muncul ketika
komunitas punya "kepentingan" terhadap teks untuk ditafsirkan menurut
kebutuhan komunitas. 96 Teks itu bermakna bukan karena pengarangnya, tetapi
karena ditafsir ulang oleh dan di dalam komunitas. Pengalaman kolektif
komunitas atau kelompok ini bisa berarti melampaui komunitas iman dan budaya
sendiri. “Komunitas penafsir” (interpretive community) lalu sangat menentukan
dalam memaknai pengalaman sejarah. Penafsiran juga menjadi ruang pertemuan
©
dan dialog yang rapuh (fragile) yang terbuka dengan siapa saja yang mencintai
dan mencari kebenaran, pembebasan dan keadilan sosial.97 Melalui hermeneutik
kritis, komunitas lintas iman dan budaya mengusung kepentingan untuk
emansipasi sosial (interest in emancipation). Persis kata Ricoeur sendiri:
"Akhirnya, kita menemukan sebuah kepentingan emansipasi dengan ilmu sosial
kritis, di antara kritik ideologis, sepanjang terkait dengan psikoanalisis dan
96
97
Paul Ricoeur dan Andre LaCocque, Thinking Biblically, (1998, Chicago and London:
University of Chicago), hlm. ix-xiii. Tentang kuasa (power), lihat Ricoeur, "Approaching the
Human Person", dalam Ethical Perspectives, 1999, hlm. 47.
Studi tentang "identitas rapuh" (fragile identities) dalam pemikiran Ricoeur yang penting buat
mengembangkan teologi keramahan antar-agama, lihat Marianne Moyaert, Fragile Identities:
Towards a Theology of Interreligious Hospitality, (2011, Amsterdam – New York: Rodopi).
36
berdasar pada model ini, sebagai ekspresi yang sangat teruji". 98 Kepentingan
emansipatoris inilah yang berada di belakang tugas-tugas emansipasi yang juga
lintas iman dan budaya.
Saya pun sampai pada implikasi teori yang bisa dibayangkan dari studi ini,
yang disebut “Hermeneutik Politis-Emansipatoris”. Hermeneutik ini berdimensi
politis,99 karena menafsir realitas sosial muaranya adalah pada panggilan etis dan
W
D
K
U
transformasi sosial. Ini juga merupakan konsensus hermeneutis agama-agama
dalam kerja-kerja kolektif model gerakan emansipasi. Sehingga, hermeneutik
politis-emansipatoris adalah: Pertama, bahwa hermeneutik dan emansipasi sosial
berkelindan dalam satu kemasan. Kedua, bahwa hermeneutik adalah sebuah
konsensus ideologis sarat kepentingan, yang karena sifatnya yang rapuh (fragile),
ia tidak akan pernah menjadi "prinsip terakhir" (hermeneutik klasik), tetapi
terbuka terus pada penafsiran baru seturut dengan keprihatinan konteks yang
©
selalu berubah. Ketiga, bahwa perspektif hermeneutis-paradigmatis dapat
dipertimbangkan sebagai proposal berteologi kontekstual untuk mendekati teks
dan konteks. Dalam perspektif ini keyakinan hermeneutis harus dibarengi dengan
kerendahan hati epistemologi. Atau, dalam bahasa lain, "kerendahan hati
hermeneutik filosofis dan penyimpangan kritik ideologi".
100
Hermeneutik
menekankan keterbatasan dan kondisi-kondisi historis di mana kita menjadi
98
99
100
Teks Inggris: "Finally, we find an interest in emancipation with the critical social sciences,
among which the critique of ideologies is, along with psychoanalysis and based upon its
model, the most accomplished expression". Lihat Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 3, 1988,
hlm. 225.
Ricoeur, "Approaching the Human Person", dalam Ethical Perspectives, 1999, hlm. 47.
Teks Inggris: "the humility of philosophical hermeneutics and the defiance of the critique of
ideology". Lihat Kaplan, Ricoeur's Critical Theory, 2003, hlm. 37-38.
37
bagiannya, sementara kritik ideologi menentang distorsi-distorsi tersembunyi dan
sistematik dari pemahaman diri.
1.9. Judul
Penulis tiba pada pilihan judul penulisan penelitian ini dengan narasi
sebagai berikut:
W
D
K
U
"Hermeneutik Paul Ricoeur dan Tugas Emansipasi"
1.10. Sistematika Pembahasan
Bab 1: Pendahuluan
Bab ini menjelaskan kerangka utama studi, antara lain latar belakang masalah dan
rumusan masalah yang merupakan bagian dari argumen-argumen disekitar
signifikansi studi tentang hermeneutik Paul Ricoeur. Bab ini pun menunjukkan
©
kebutuhan sebuah hermeneutik baru melalui kontribusi teoritis (dibahas di Bab 6)
bagi rancang-bangun tugas teologi hermeneutik yang kontekstual di Indonesia.
Dari latar belakang dan rumusan masalah lalu di rumuskan pertanyaan penelitian,
tujuan dan kegunaan penelitian, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian, survey
atas Paul Ricoeur dalam kajian sarjana Indonesia, metodologi penelitian,
hipotesis, judul dan sistematika pembahasan.
Bab 2: Paul Ricoeur dan Hermeneutik Non Emansipatoris
Bab ini akan membahas pemikiran-pemikiran yang menjadi latar belakang
munculnya hermeneutik emansipasi Paul Ricoeur. Pemikiran-pemikiran yang
disebut "sekolah Descartes" (school of Descartes) itu dibahas dalam dialog
38
Ricoeur dengan pemikiran lain yang membantunya, yaitu: Cogito Rene Descartes,
positivisme Auguste Comte dan kritisisme Ludwig Wittgenstein, fenomenologi
Edmund Husserl, hermeneutik romantisme Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm
Dilthey, dan strukturalisme Ferdinand de Saussure dan poststrukturalisme Jacques
Derrida.
Kesemua basis pemikiran ini berangkat dari perspektif hermeneutik
W
D
K
U
(klasik) warisan Cartesian yang bermaksud menemukan "prinsip terakhir" melalui
tematisasi hermeneutik sebagai subjek yang tertutup (cogito), bebas kepentingan
(value-free), proses reproduksi masa lalu dan menutup ruang imaginasi (produksi
teks), optimis pada "pengenalan langsung" (immediate seeing), tertutup bagi
intertekstualitas dan menolak kesadaran sejarah. Kesemua basis pemikiran
tersebut menjauh dari diskursus tentang hermeneutik diri (self-consciousness)
yang terbuka pada cita-cita etis emansipatoris.
©
Bab 3: Paul Ricoeur dan Hermeneutik Emansipatoris
Bab ini akan menguraikan perspektif emansipasi dalam hermeneutik Paul
Ricoeur. Hermeneutik emansipasi adalah hermeneutik hasil dialog dengan
pemikiran-pemikiran kritis lainnya sebagai mitra. Pertama, Ricoeur bermitra
dengan tokoh-tokoh "sekolah kecurigaan" (school of suspicion), yaitu Marx,
Nietzsche dan Freud, untuk melangkah pada "transformasi subjektivitas" dengan
meruntuhkan ilusi subjek yang absolut, eksploitatif dan dominatif. Kedua, Ricoeur
bermitra dengan Habermas dan Gadamer untuk mempertemukan dua gestur
hermeneutik. Yang satu kritis dari tradisi pencerahan, sementara yang lain
afirmatif dari tradisi romantisme. Ricoeur memakai dua gestur hermeneutik
39
tersebut untuk menegaskan bahasa Alkitab tentang pembebasan, eksodus (exodus)
dan kebangkitan (resurrection). Ketiga, dalam dialognya dengan Levinas, Ricoeur
menerima kritik atas ontologi klasik yang dilakukan oleh Levinas. Melalui kritik
atas etika asimetris, Ricoeur menjadikan pemikiran Levinas sebagai pintu masuk
pada pemahaman diri yang terbuka pada emansipasi diri di dalam institusiinstitusi yang adil. Lewat usulannya tentang sebuah etika simetris-resiprokal,
W
D
K
U
Ricoeur mempertimbangkan hukum sebagai konsensus publik di dalam negara
demokrasi berbarengan dengan kemampuan mengampuninya.
Bab 4: Kontribusi Paul Ricoeur bagi Tugas Emansipasi
Bab ini akan membahas unsur-unsur emansipatoris dalam hermeneutik Paul
Ricoeur dari hasil dialognya dengan lima (5) mitra non emansipatoris dan enam
(6)
mitra
emansipatoris.
Tersusunlah
sebelas
(11)
unsur
hermeneutik
emansipatoris Paul Ricoeur, yaitu (1) Subjek terbuka, (2) Terlibat pada
©
keprihatinan konteks, (3) Menerima mediasi dari yang lain, (4) ProduktifImaginatif, (5) Dialogis, (6) Transformatif, (7) Kesadaran Moral-Politik, (8) Kritis
pada dogmatisme dan kontekstual, (9) Kritik ideologi dan kepentingan
emansipasi, (10) Afirmatif atas sejarah dan tradisi sebagai kemungkinan positif,
dan (11) Simetris dan Resiprokal.
Bab 5: Tugas-tugas Emansipasi dalam Perspektif Paul Ricoeur
Bab ini akan membahas penggunaan unsur-unsur emansipatoris dari hermeneutik
Paul Ricoeur untuk menganalisis tugas-tugas emansipasi dalam ketiga konteks,
yaitu: (1) emansipasi kaum miskin, (2) emansipasi atas kerusakan lingkungan
hidup (ekologi) dan kaum perempuan, dan (3) emansipasi atas ketidakadilan
40
ekonomi dan politik yang membangkitkan tensi radikalisme-terorisme. Di setiap
akhir pembahasan konteks akan ditunjukkan hasil analisis menggunakan unsurunsur emansipasi.
Bab 6: Penutup
Bab ini merangkum beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan yang
diajukan pada bagian pendahuluan. Lalu akan diberikan saran-saran yang
W
D
K
U
ditujukan kepada Gereja, Masyarakat dan Komunitas Akademik. Bab ini diakhiri
dengan kontribusi teoritis dengan membalik prinsip "kritis-konfrontasi" ke
"afirmatif-integratif" dalam rancang-bangun teologi hermeneutik kontekstual di
Indonesia.
©
41
Download