PENGARUH TERAPISPRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) TERHADAP KADAR KORTISOL DAN IMUNOGLOBULIN E: (Studi Kecemasan pada Ibu Hamil di Bidan Praktek Mandiri Kota Semarang) Yuniarti*), Ari Suwondo**)Runjati***) *Akademi kebidanan Karsa Mulia Semarang ** Universitas Diponegoro Semarang ***Poltekkes Kemenkes Semarang ABSTRAK Wanita hamil primigravida hampir semuanya mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan baik selama hamil, saat menghadapi persalinan maupun setelah persalinan. Kekhawatiran dan kecemasan pada ibu hamil apabila tidak ditangani dengan baik akan membawa dampak dan pengaruh terhadap fisik dan psikis, baik pada ibu maupun janin. Metode pengontrolan stress dan cemas secara psikoterapi sangat penting karena tidak membahayakan bagi ibu maupun janin. Salah satu terapi dari berbagai terapi psikoreligius adalah terapi SEFT.Jenis penelitian ini adalah Quasy-experiment dengan desain Pretest-Postest with Control Group Design. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Terapi SEFT terhadap kadar hormon kortisol dan kadar Imunoglobulin E pada ibu hamil. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil normal primigravida trimester III di Bidan Praktek Mandiri di Kota Semarang. Pengambilan sampel dengan consecutive sampling dengan jumlah sampel 30 responden yang terbagi dalam dua kelompok. Pada kelompok perlakuan sebanyak 15 responden dan kelompok kontrol sebanyak 15 responden.Analisis data yang digunakan adalah uji Wilcoxon dan Mann-Whitney dengan taraf signifikansi ≤ 0,05. Terdapat pengaruh yang bermakna terapi SEFT terhadap penurunan kadar hormon kortisol dan kadar Imunoglobulin E pada ibu primigravida trimester III. Rata-rata penurunan kadar hormon kortisol sebesar 74,08 nmol/L, sedangkan rata-rata penurunan kadar Imunoglobulin E sebesar 7,39 IU/mL. Hasil uji Wilcoxon didapatkan nilai signifikansi p = 0.024 (p< 0.05) dan nilai signifikansi p = 0.011 (p< 0.05).Terapi SEFT memberikan hasil penurunan kadar hormon kortisol dan kadar Imunogloblun E sehingga terapi SEFT efektif untuk menurunkan stress/ kecemasan dan meningkatkan imunitas pada ibu primigravida trimester III. Kata Kunci: Spritual Emotional Freedom Technique, Kortisol, Imunoglobulin E ABSTRACT Pregnant womenprimigravidaealmost have experiencedfear, anxiety, andfearduring pregnancy, delivery andlabor. Worries and anxietiesof pregnant womenif not handledproperly willhave an impactandinfluence on thephysicalandpsychic, boththemother and fetus. A method of controllingstressandanxietyinpsychotherapyis veryimportantbecause it is notharmful tothe mother andfetus. OnetreatmentofvarioustherapiespsikoreligiusisSEFTtherapy.ThestudywasQuasiexperimental withpretest-posttest control group design. The purpose ofthe womenin thethird trimesterprimigravidae at Bidan Praktek Mandiriin Semarang. Sampling usedconsecutive sampling.The sample of30respondentswasdivided intotwogroups.In the treatment groupwas 15respondentsanda control groupwas 15respondents. Analysis used WilcoxonandMann-Whitney withsignificance level≤0.05.There were significant influence SEFT therapy to decrease cortisol levels and levels of immunoglobulin E in primigravida third trimester. The average reduction in cortisol levels at 74.08 nmol / L, while the average decrease in the levels of immunoglobulin E of 7.39 IU / mL. Wilcoxon test results obtained significance p = 0.024 (p <0.05) and a significance p = 0.011 (p <0.05).SEFTtherapyhave effect to decrease cortisol levelsandlevelsImunogloblunEso that the SEFT therapyis effective to reducestress/anxietyandimproveimmunityprimigravidathird trimester. Keywords: Spritual Emotional Freedom Technique, Cortisol, Imunoglobulin E 201 PENDAHULUAN Kehamilan merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada wanita usia produktif. Selama masa kehamilan terjadi perubahan pada ibu baik fisik maupun psikis. Secara umum perubahan fisik selama masa kehamilan ialah, aminorhoe, membesarnya payudara, perubahan bentuk rahim, perubahan sistem kerja organ tubuh, membesarnya perut, naiknya berat badan, melemahnya relaksasi otot-otot saluran pencernaan, sensitivitas pada pengindraan, serta kaki dan tangan mulai membesar (Pieter & Lubis, 2010). Wanita hamil primigravida hampir semuanya mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan baik selama hamil, saat menghadapi persalinan maupun setelah persalinan. Wanita hamil akan memiliki pikiran yang mengganggu sebagai pengembangan reaksi kecemasan terhadap cerita yang diperolehnya. Peningkatan beban psikologis ibu dapat menimbulkan permasalahan terhadap kualitas janin yang dikandung dan komplikasi yang menyertai proses persalianan ibu (Varney, 2007). Kekhawatiran dan kecemasan pada ibu hamil apabila tidak ditangani dengan serius akan membawa dampak dan pengaruh terhadap fisik dan psikis, baik pada ibu maupun janin. Ibu yang mengalami kecemasan atau stres, sinyalnya berjalan lewat aksis HPA (Hipotalamo-Pituitary-Adrenal) yang dapat menyebabkan lepasnya hormon stres antara lain Adreno Cortico Tropin Hormone (ACTH), kortisol, katekolamin, ß-Endorphin, Growth Hormone (GH), prolaktin dan Lutenizing Hormone (LH) / Folicle Stimulating Hormone (FSH). Lepasnya hormon-hormon stres tersebut mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi sistemik, termasuk di antaranya konstriksi vasa utero plasenta yang menyebabkan gangguan aliran darah ke dalam rahim, sehingga menyebabkan terjadi gangguan pada janin. Di samping itu dengan meningkatnya plasma kortisol, berakibat menurunkan respon imun ibu dan janin (Suliswati, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Carlson, et al. 2004 menunjukkan bahwa stresdapatmempengaruhi fungsidanjumlahsel Imun (kekebalan). Stres pada kehamilan dapat meningkatkan IgE pada darah tali pusat dan serum IgE pada ibu. Sehingga ibu yang memiliki kadar IgE yang tinggi, akan melahirkan bayi dengan kadar IgE tinggi, yang memungkinkan menjadikan faktor predisposisi alergi dan asma pada kehidupan masa depan (Bidaki et al. 2011; Detiana, 2010). Wanita yang menderita stress dan cemas saat kehamilan usia trimester III akan mengalami peningkatan resiko kelainan bawaan berupa kegagalan penutupan celah palatum, operasi sectio cesaria, persalinan dengan alat, kelahiran prematur, melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan dalam jangka panjang berkaitan dengan gagguan perilaku dan emosi anak (Evan, 2002). Kecemasan dan stres pada ibu hamil merupakan hal penting yang sering terlupakan. Bidan mempunyai peran yang cukup besar dalam mengatasi masalah tersebut. Bidan harus mengenali gangguan kecemasan ibuhamil dan menguranginya dengan memberikan penjelasan mengenai kehamilan, persalinan, kecemasan dan efek kecemasan pada ibu hamil danjanin. Dukungan emosional sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mempersiapkan diri baik fisik maupun mental dalam menghadapi kehamilan dan persalinan sebagai salah satu proses yang alamiah (Varney,2007). Beberapa penelititan di berbagai negara pada ibu hamil trimester dua dan tiga di antaranya penelitian di Swedia tentang antenatal care pada kehamilan 35 minggu sebanyak 24% mengalami kecemasan dan 22% mengalami depresi 22% (Claesson, Josefsson dan Sydsjo, 2010), di Minnesota pada ibu mengalami kecemasan sebanyak 10% (Kim, et. al. 2006), di Bangladesh 29% ibu hamil mengalami gejala kecemasan dan 18% mengalami depresi (Nasreen, et al., 2011), serta penelitian di Pakistan ibu hamil mengalami kecemasan sebanyak 34,5% dan 25% mengalami depresi (Niaz, Izhar and Bhattu, 2004 dalam Ali, Azam, Tabbusun dan Moin, 2012). Sedangkan di Indonesia penelitian yang dilakukan pada primigravida trimester III sebanyak 33,93% mengalami kecemasan (Larasati, 2012). Strategi penatalaksanaan stress dan kecemaan pada ibu hamil dapat dilakukan dengan 202 menggunakan pendekatan terapi psikofarmaka dan psikoterapi, pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan penanganan stress secara individual. Penanganan stress dengan menggunakan terapi psikofarmaka sangat efektif dengan pemberian obat-obatan seperti diazepam, clobazam, bromazepam, dll (Hawari, 2013). Metode pengontrolan stress dan cemas secara psikoterapi sangat penting karena tidak membahayakan bagi ibu maupun janin, tidak mempunyai efek alergi maupun efekobat. Metode psikoterapi banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan baik individu maupun keluarga seperti psikoterapi suportif, psikoterapi re-edukatif, psikoterapi rekonstruktif, psikoterapi kognitif, psikoterapi psiko-dinamik, psikoterapi perilaku, psikoterapi keluarga dan terapi psikoreligius, intervensi kognitif termasuk relaksasi (Hawari, 2013). Beberapa macam teknik relaksasi di antaranya adalah relaksasi otot pregresif, pernapasan diafragma, visualisasi, meditasi, pijat/massage, terapi musik, yoga, Hypnotherapy (Hosseini, 2009) dan Spiritual Emosional Freedom Technique (Zainudin, 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan pengaruh terapi Spritual Emotional Freedom Techniqueterhadap stress dan kecemasan pada ibu hamil primigravida trimester III. Diharapkan hasil penelitian ini bisa sebagai masukan pengembangan asuhan kebidanan dalam managemen penurunan kecemasan dengan tehnik komplementer, alternatif dan psikoreligius pada masa kehamilan. METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah Quasyexperiment dengan desain One Group Pretest-Postest with Control Design. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu hamil primigravida trimester III dengan umur kehamilan 28 sampai 35 minggu di Bidan Praktek Mandiri (BPM) di wilayah Kecamatan Banyumanik tiga BPM, Kecamatan Tembalang enam BPM sebagai intervensi dengan alasan untuk kemudahan akses, monitoring dan evaluasi, sedangkan sebagai kelompok kontrol dua BPM di wilayah Kecamatan Semarang Utara. Sampel pada penelitian ini yang memenuhikriteria inklusi 203 sebagai berikut: Ibu hamil yang bersedia diteliti, Ibu hamil primigravida trimester III dengan umur kehamilan 28 sampai 35 minggu, hamil normal, Frekwensi ANC minimal 4 kali dan kriteria eksklusi adalah Ibu hamil yang memiliki riwayat penyakit jantung, DM, hipertensi, kanker, asma dan tumor, Ibu hamil yang mengalami komplikasi pada kehamilanya, diketahui tidak melakukan terapi SEFT secara continue sesuai waktu yang ditentukan. Adapun teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah consecutive sampling. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 15 responden pada kelompok perlakuan dan 15 responden kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini untuk perlakuan menggunakan standar operasional prosedur terapi SEFT versi pendek dengan perlakuan tehnik ketukan pada daerah sembilan titik meridian yaitu melakukan ketukan pada daerah sembilan titik meridian, yang meliputi titik dibagian atas kepala, titikpermulaan alis mata, di atas tulang samping mata, dua centimeter dibawah kelopak mata, tepat dibawah hidung, diantara dagu dan bagian bawah bibir, di ujung tempat bertemunya tulang dada, di bawah ketiak sejajardengan puting susu dan di perbatasan antara tulang dada dan bagian bawah payudara, selama 14 hari (dua minggu) pada ibu hamil primigravida trimester III yang dilakukan sendiri oleh responden setiap malam hari, sedangkan untuk instrument pengukuran kadar kortisol dan kadar immunoglobulin E dengan lembar observasi. Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini uji Wilcoxon pada masing – masing kelompok yang berpasangan. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol uji statistik yang digunakan adalah uji MannWhitney. HASIL Hasil penelitian “Pengaruh terapi spritual emotional freedom technique (seft) terhadap kadar kortisol dan imunoglobulin E” ditunjukkan pada tabel dan grafik berikut ini: Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden pada kelompok intervensi terapi SEFTdan kelompok Kontrol di BPM Wilayah Kota Semarang Periode Oktober – Nopember 2015 (n=30) Kelompok Karakteristik Terapi SEFT Kontrol f % f % 2 13,3 0 00,0 Total Pendidikan SLTP 2 SLTA 6 40,0 7 46,3 13 PT 7 46,7 8 53,3 15 Bekerja Tidak Bekerja 9 60 40 Media n 24 25 24.1 25 Umur Kehamilan Kelompok Intervensi 32.1 Kelompok Kontrol 32.5 32 Umur Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol 8 53,3 17 33 7 46,7 Min SD 2.2 9 2.5 5 2.0 7 2.2 9 13 20 27 20 28 28 35 28 35 Kadar pMean Median Min - Max value Kortisol Sesudah Intervensi Kortisol pertama kedua Mean pMedian Min – Max value 269,29 255,02 334,39 359,23 – 192,64 352,83 0,001 – 233,78 453,88 Max Tabel 2 Perbedaan Kadar Hormon Kortisol Sebelum dan Sesudah diberikan TerapiSEFT (n=15) Intervensi Kadar Hormon Pengamatan 6 Mea n Sebelum Tabel 3 Perbedaan Kadar Hormon Kortisol Pengamatan Pertama dan Pengamatan Kedua pada Kelompok Kontrol (n=15) Pengamatan Pekerjaan Hormon Hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan p-value 0,001 maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada perbedaan yang bermakna kadar hormone kortisol sebelum dan sesudah diberikan terapi SEFT. 355,05 327,08 232,68 – 821,10 0,001 280,97 260,14 189,36 – 609,52 Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa kadar hormon kortisol pada pengamatan pertama kelompok kontrol didapatkan nilai mean 269,29, median 255,02 dan nilai minimum dan maksimum 192,64 dan 352,83. Sedangkan kadar hormon kortisol pada pengamatan kedua didapatkan nilai mean 334,39, median 359,23dan nilai minimum dan maximum 233,78 dan 453,88. Hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan p-value 0,001 maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada perbedaan yang bermakna kadar hormone kortisol pengamatan pertama dan pengamatan kedua. Tabel 4 Perbedaan Kadar Imunoglobulin E Sebelum dan Sesudah diberikan TerapiSEFT (n=15) Kadar Imunoglobulin E Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa kadar hormone kortisol sebelum diberikan perlakuan terapi SEFT didapatkan nilai mean 355,05, median 327,08 dan nilai minimum dan maksimum 232,68 dan 821,10. Sedangkan kadar hormon kortisol sesudah diberikan terapi SEFT didapatkan nilai mean 280,97, median 260,14 dan nilai minimum dan maximum 189,36 dan 609,52. Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi Mean Median Min - Max 56,65 50,84 49,54 44,44 8,61 – 156,75 9,12 p-value 0,005 – 150,23 Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa kadar immunoglobulin E sebelum diberikan perlakuan terapi SEFT didapatkan nilai mean 56,65, median 50,84 dan nilai minimum dan 204 maksimum 8,61 dan 150,23. Sedangkan kadar immunoglobulin E sesudah diberikan terapi SEFTdidapatkan nilai mean 49,54, median 44,44 dan nilai minimum dan maximum 9,12 dan 150,23. Hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan p-value 0,005 maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada perbedaan yang bermakna kadar immunoglobulin E sebelum dan sesudah diberikan terapi SEFT. Tabel 5 Perbedaan Kadar Imunoglobulin E Pengamatan Pertama dan Pengamatan Kedua (n=15) Kadar Imunoglobulin E Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi Mean pMedian Min - Max value 206,17 78.70 220,33 134,24 7,75 – 573,72 27,25 0,156 – 854,14 Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa kadar immunoglobulin E pada pengamatan pertama didapatkan nilai mean 206,17, median 78.70 dan nilai minimum dan maksimum 7,75 dan 573,72. Sedangkan kadar immunoglobulin E pada pengamatan kedua didapatkan nilai mean 220,33, median 134,24dan nilai minimum dan maximum 27,25 dan 854,14. Hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan p-value 0,156 (p > 0,05) maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak ada perbedaan kadar immunoglobulin E pada pengamatan pertama dan kedua. Tabel 6 Perbedaan Kadar Kortisol pada Kelompok Intervensi Terapi SEFT dan Kelompok Kontrol pada Ibu Hamil Trimester III di BPM wilayah Kota Semarang (n= 30) Kelompok Kadar Kortisol Pre Mean ± SD Kadar Delta/Selis pKortisol value ih Post Mean ± SD Mean ± SD Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa hasil uji beda kelompok berpasangan antara kelompok sebelum dan sesudah perlakuan terapi SEFT didapatkan nilai p = 0.001 (p < 0,05) artinya ada perbedaan yang bermakna kadar hormone kortisol sebelum dan sesudah pemberian Terapi SEFT. Hasil uji beda kelompok berpasangan antara pengamatan pertama dan kedua pada kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0.001 (p< 0,05) artinya ada perbedaan kadar hormone kortisol antara pengamatan pertama dan kedua. Sedangkan hasil uji beda pada kelompok tidak berpasangan antara kelompok sebelum perlakuan terapi SEFT dan kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0.017 ( p< 0.05), artinya ada perbedaan yang bermakna kadar hormone kortisol sebelum terapi SEFT dan pengamatan pertama pada kelompok kontrol kelompok kontrol. Hasil uji beda pada kelompok tidak berpasangan antara kelompok setelah perlakuan terapi SEFT dan kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0.038 (p < 0.05), artinya ada perbedaan yang bermakna kadar hormon kortsiol sesudah terapiSEFT dan pengamatan kedua pada kelompok kontrol. Dan hasil uji beda kelompok tidak berpasangan pada Delta/selisih pada kelompok perlakuan terapi SEFT dan kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0.024 (p < 0.05), artinya ada perbedaan yang bermakna kadar hormone kortisol antara kelompok perlakuan terapi SEFT dan kelompok kontrol. Tabel 7 Perbedaan Kadar Imunoglobulin E pada Kelompok Intervensi Terapi SEFT dan Kelompok Kontrol pada Ibu Hamil Trimester III di BPM wilayah Kota Semarang (n= 30) Kelompok Kadar Kadar pDelta/Sel Imunoglobu Imunoglobu value isih lin E Pre lin E Post Mean ± SD Mean ± SD Mean ± SD Intervensi 56.65 ± 43,90 49,54 ± 38,17 0.005 7,39 ± 10,45 220,33 ± 217,77 0.156 53,36 ± 61,49 Intervensi Kontrol p – value 205 355,05 ± 141,36 269,29 ± 57,11 0.001 74,08 ± 50,46 Kontrol 206,17 ± 213,16 269,29 ± 57,11 0.017 334,39 ± 76,71 0.038 0.001 65,09 ± 51,75 0.024 p – value 0.141 0.006 0.011 Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa hasil uji beda kelompok berpasangan antara kelompok sebelum dan sesudah perlakuan terapi SEFT didapatkan nilai p = 0.005 (p < 0,05) artinya ada perbedaan yang bermakna kadar immunoglobulin E sebelum dan sesudah pemberian terapi SEFT. Hasil uji beda kelompok berpasangan antara pengamatan pertama dan kedua pada kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0.156 (p> 0,05) artinya tidak ada perbedaan kadar immunoglobulin E antara pengamatan pertama dan kedua. Sedangkan hasil uji beda pada kelompok tidak berpasangan antara kelompok sebelum perlakuan terapi SEFT dan pengamatan pertama pada kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0.1416 (p>0.05), artinya tidak ada perbedaan yang bermakna kadar immunoglobulin E sebelum terapiSEFT dan pengamatan pertama pada kelompok kontrol. Hasil uji beda pada kelompok tidak berpasangan antara kelompok setelah perlakuan terapi SEFT dan pengamatan kedua pada kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0.006 (p<0.05), artinya ada perbedaan yang bermakna kadar immunoglobulin E sesudah terapiSEFT dan pengamatan kedua pada kelompok kontrol. Dan hasil uji beda kelompok tidak berpasangan pada Delta/selisih pada kelompok perlakuan terapi SEFT dan kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0.011 (p < 0.05), artinya ada perbedaan yang bermakna kadar immunoglobulin E antara kelompok perlakuan terapi SEFT dan kelompok kontrol. PEMBAHASAN Perbedaan Kadar Hormon Kortisol Penurunan kadar hormon kortisol yang terjadi pada penelitian ini karena ada peranan yang positif dari tindakan SEFT terhadap ibu hamil trimester III yang mengalami peningkatan kadar hormon kortisol selama kehamilannya. Penurunan hormon kortisol mengiindikasikan secara objektif terjadinya penurunan stress atau cemas, yang berarti ibu hamil mengalami sebuah ketenangan setelah diberikan SEFT. Hasil penelitian ini didukung oleh Zaenudin (2009) yang menyatakan bahwa SEFT merupakan sebuah teknik yang sederhana untuk mengatasi berbagai masalah fisik dan psikososial (stres, cemas dan depresi) yang dilakukan dengan cara membimbing pasien untuk berdo’a dan pasrah kepada Tuhan serta menggunakan ketukan pada titik meridian pasien. Pada penelitian ini perbedaan yang didapatkan dari analisis antara pengamatan pertama dan kedua ditemukan adanya peningkatan kadar hormon kortisol.Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pada ibu hamil trimester III mengalami peningkatan hormon kortisol dengan kata lain bahwa ibu hamil mengalami stress/kecemasan. Stres dan kecemasan yang terjadi saat masa kehamilan sangat berbahaya bagi ibu hamil, kehamilan maupun perkembangan bayinya. Stres dan cemas yang terjadi pada ibu hamil akan mengakibatkan hormon stres seperti kortisol meningkat yang akan berpengaruh terhadapperkembangan bayi. Lepasnya hormon-hormon stress tersebut menga-kibatkan terjadinya vasokonstriksi sistemik, termasuk di antaranya konstriksi vasa utero plasenta yang menyebabkan gangguan aliran darah ke dalam rahim, sehingga menyebabkan terjadi gangguan pada janin(Suliswati, 2012). Hormon kortisol dan zat-zat berbahaya lain yang disebabkan oleh stres mampu menembus plasenta sehingga mampu mempengaruhi perkembangan bayi dalam kandungan. Demikian pula, stress yang dialami ibu hamil dapat meningkatkan corticotrophin-releasing hormone (CRH) diawal kehamilan. CRH secara berurutan dapat menyebabkan kelahiran prematur.Menurut Evan (2002) mejelaskan bahwa wanita yang menderita stress dan cemas saat kehamilan usia trimester III akan mengalami peningkatan resiko kelainan bawaan berupa kegagalan penutupan celah palatum, operasi sectio cesaria, persalinan dengan alat, kelahiran prematur, melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan dalam jangka panjang berkaitan dengan gagguan perilaku dan emosi anak. Hasil penelitian ini didukung oleh Saefudin (2010) yang menyatakan bahwa stress/kecemasan dapat terjadi pada ibu primigravida karena kehamilan dan persalinan merupakan hal asing bagi mereka, apalagi bila pernah mendengar trauma kegagalan dalam kehamilan dan persalinan, hal ini dapat menimbulkan kecemasan. Faktor lain yang dapat menyebabkan stress/kecemasan pada ibu primigravida menurut Prastowo (2011) 206 adalahlingkungan atau sekitar tempat tinggal. Karena lingkungan atau sekitar tempat tinggal dapat mempengaruhi cara berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya. Faktor lingkungan termasuk juga dukungan moril dari orang terdekat. Dukungan moril dari keluarga atau suami, dapat menimbulkan rasa kesenangan dan ketenangan pada istri, sehingga dapat mempengaruhi kecemasan ibu hamil. Menurut Clow (2001) menyatakan bahwa pada kondisi gelisah, cemas dan depresi, sekresi kortisol meningkat (Clow, 2001). Selama trimester ketiga, kadar kortisol ibu mencapai sekitar tiga kali lipat (Jung, 2011).Sementara tingkat basal CRH, hormon adrenokortikotropik dan kortisol tinggi, hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) axis reaktivitas akut terhadap rangsangan stres dibasahi pada akhir kehamilan (Kammerer et al. 2002). Berdasarkan hasil analisis membuktikan bahwa terapi SEFT mempunyai peranan yang baik terhadap penurunan hormon kortisol, dengan kata lain bahwa terapi SEFT dapat menurunkan stress pada ibu primigravida trimester III. Intervensi terapi SEFT adalah suatu teknik yang menggabungkan antara spiritualitasberupa doa, keikhlasan, dan kepasrahan dengan energi psikologi berupa seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi, dan perilaku melalui tiga teknik sederhana yaitu set-up, tune-indan tapping (Zaenudin, 2009). Hasil penelitian ini didukung oleh Feinsten & Ashland, (2012) yang menjelaskan bahwa ketika seseorang yang dalam keadaan takut kemudian dilakukan tapping pada titik acupointnya maka terjadi penurunan akitivitas amygdala, dengan kata lain terjadi penurunan aktivitas gelombang otak, hal tersebut juga membuat respons fight or flight pada partisipan terhenti. Untuk kemudian memunculkan efek relaksasi yang akan menetralisir segala ketegangan emosi yang dialami individu. Efek ini sama dengan respon yang muncul ketika seseorang distimulasi dengan jarum akupuntur pada titik meridiannya. 207 Perbedaan kadar immunoglobulin E Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa terapi SEFT mempunyai dampak yang positif terhadap peningkatan imunitas (Imunoglobulin). Peningkatan imunitas yang terjadi pada penelitian ini merupakan efek dari turunnya kadar hormon kortisol. Hasil penelitian ini didukung oleh Abbas, Licman, dan Paber (1995) dalam Sholeh, 2006; Price dan Wilson, (2006) yang menjelaskan bahwa kortisol menstimulasi makrofag atau monosit untuk mensekresi Inter Leukin (IL-1). Tersekresinya IL-1 oleh makrofag dapat merangsang limfosit B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian menghasilkan antibody atau immunoglobulin, Ig M, Ig G dan Ig A. Pada jalur lain, sekresi IL-1 dan makrofag dapat menstimulasi sel T berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T helper (Th-1), Th-2, Tisi, sel mast/basofil, eosinofil, neurotrofil dan berpengaruh secara langsung sel Natural Killer (NK). Basofil mengekspresi reseptor terhadap Ig E, sebaliknya Ig E dapat mengaktifasi sel mast/basofil atau reseptor spesifik lain pada permukaan sel pengikat anafilatosin, anatigen komplek, kovalin, hapten, protein. Sel mast/basofil berperan penting pada reaksi hipersensitifitas tipe 1 atau tipe cepat dengan cara membebaskan mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi. Sedangkan eosinofil fungsi utamanya adalah pertahanan terhadap agen infeksi. Ia mempunyai reseptor terhadap Ig E sehingga dapat berikatan dengan partikel oleh Ig E. Eosinofil sangat efektif untuk menghancurkan agen yang memproduksi Ig E seperti infeksi parasit. Stres pada kehamilan dapat meningkatkan IgE pada darah tali pusat dan serum IgE pada ibu. Sehingga ibu yang memiliki kadar yang tinggi IgE, akan melahirkan bayi dengan kadar IgE tinggi, yang memungkinkan menjadikan faktor predisposisi alergi dan asma pada kehidupan masa depan (Bidaki et al. 2011; Detiana, 2010). Hasil penelitian membuktikan bahwa peranan SEFT sangat berkontribusi terhadap penurunan kadar hormone kortisol sehingga berdampak pada peningkatan imunitas (imunoglobulin E) pada ibu primigravida trimester III. Hasil penelitian ini didukung oleh Abbas,Licman, dan Paber (1995) dalam Sholeh, (2006); Price dan Wilson, (2006) yang menyatakan bahwa normalitas kadar kortisol akan berperan sebagai stimulator terhadap reseptor ketahanan tubuh imunologi, baik spesifik maupun nonspesifik, selluler maupun humoral. Pada tingkat selluler yang bersifat spesifik, kortisol yang normal menstimulasi sintesis sel, monosit, neurotrofil, eosinofil dan basofil, sedangkan pada tingkat respon imun nonspesifik, selluler dan humoral, kortisol yang normal dapat menstimulasi limfosit, baik limfosit Tmaupun limfosit B yang memproduksi antibody. SIMPULAN Terapi SEFT mempunyai peranan yang baik terhadap penurunan hormon kortisol, dengan kata lain bahwa terapi SEFT dapat menurunkan stres dan kecemasan pada ibu hamil primigravida trimester III. Hal ini menunjukkan bahwa peranan SEFT sangat berkontribusi terhadap penurunan kadar hormon kortisol sehingga berdampak pada peningkatan imunitas (imunoglobulin E) pada ibu primigravida trimester III. DAFTAR PUSTAKA Ali N.S. Azam I.S. Ali B.S. Tabbusum G. and Moin S.S. 2012. Frequency and Associated Factors for Anxiety and Depression in Pregnant women: A Hospital-Based CrossSectional Study. The Scientific world Journal. Vol. 2 Bidaki R, Mehran K, Mahdiyeh M, Hosein H.N, Asghar Z. Parivash R, Zahra S. 2011. Maternal stress in pregnancy based on Holmes-Rahe questionnaire and umbilical cord IgE. Canadian Journal on Medicine. Vol. 2, No. 3, July 2011 Caroline Jung, Jui T. Ho, David J. Torpy, Anne Roggers, Matt Doogue, John G, Lewis, Raymond J. Czajko, and Warrick J. Inder. 2011, A Longitudinal study of plasma and Urinary Cortisol in Pregnancy and Postpartum..J. Clin Endocrinol Metab, May, 96 (5): 1533-1540. Carlson LE, Speca M, Patel KD, Goodey E.2004. Mindfulnessbased stress reduction in relation to quality of life, mood, symptoms of stress and levels of cortisol, dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS) and melatonin in breast and prostate cancer outpatients. Psychoneuroendocrinology.; 29(4):448-74. Claesson I.M, Josefsson A, and Sydsjo G,. 2010. Prevalence of Anxiety and depressive symptoms among obese pregnant and postpartum women: an intervention study. BMC Public Health.10.766. Clow A. 2001..The Physiology of Stress. In Jones F and Bright J Stress: Myth, Theory and Research. Boston. Jones & Bartlett Pub; 47-61 Detiana P. 2010. Hamil aman dan nyaman diatas 30 tahun. Penerbit Media Pressindo. Yogyakarta. Evan J., 2002. Managing Perinatal Psychiatric Problem. Journal of Paediatric, Obstetric And Gynocologic. Nov/Dec 2002. Fang, J., Jin, Z., Wang, Y., Li, K., Kong, J., Nixon, E. E., & Hui, K.S. 2009. The Salient Characteristics Of The Central Effects Of Acupuncture Needling: LimbicParalimbicneocortical Network Modulation. Human Brain Mapping, 30, 1196–1206. Feinstein, D. & Ashland, O. 2012. What Does Energy Have To Do With Energy Psychology?. Energy Psychology 4, 59-80. Hawari D. 2013. Manajemen Stress Cemas dan Depresi, Penerbit FKUI. Jakarta. Hosseini SM, Biglan MW, Larkby C, Brooks MM, Gorin MB, Day NL. 2009. Trait anxiety in pregnant women predicts offspring birth outcomes. Paediatri Perinat Epidemiol. 2009 Nov;23(6):55766. (diakses 22 Maret 2015) Jung C, Ho JT, Torpy DJ, Rogers A, Doogue M, Lewis JG, et al. 2011. A longitudinal study of plasma and urinary cortisol in pregnancy and postpartum. J Clin Endocrinol Metab.;96(May 2011):1533–40. Kammerer M, Adams D, Castelberg BV, Glover V.2002. Pregnant women become insensitive to cold stress. BMC Pregnancy Childbirth.2(1),8. Kim H.G. M. Mandell, C. Crandall, M. A. Kuskowski, B. Dieperink, and R. L. Buchberger. 2006, “Antenatal psychiatric illness and adequacy of prenatal care in an 208 ethnically diverse inner- city obstetric population,” Archives of Women’s Mental Health, vol. 9, no. 2, pp. 103–107,. Larasati IP, Wibowo A. 2011. Pengaruh Keikutsertaan Senam Hamil Trehadap Kecemasan Primigravida ketika menghadapi Persalinan, Journal biometrika dan kependudukan Nasreen H.E.,. Kabir Z. N,. Forsell Y, and Edhborg M. 2011, “Prevalence and associated factors of depressive and anxiety symptoms during pregnancy: apopulation based study in rural Bangladesh,” BMC Women’s Health, vol. 11, article 22 Nastiti. 2011. Pemberian Metode SEFT Dalam Upaya Penurunan Tingkat Kecemasan Menghadapi Persalinan Pada Ibu Primigravida Trimester III Di Desa Watesnegoro Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto. Skripsi Niaz, S. Izhar, N. Bhatti, M.R. Anxiety and Depression in pregnant women presenting in the OPD of a teaching hospital. Pakistan Journal of Medical Sciences. Vol. 20 no. 2 pp.117-119. Prastowo W, Yuliatun, Laksitoningrum E. (2011). Perbedaan tingkat kecemasan dalam menghadapi persalinan pada ibu yang rutin dan tidak rutin melakukan kunjungan antenatal care di Puskesmas Diyono Kota Malang. Saefudin AB,( 2010). Buku Panduan praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal. Jakarta; Yayasan Bina Pustaka SarwonoPrawiroharjo. Seaward B. 2012. Physiology of stress. Managing Stress. Jones and Barlett Publishers;; p. 34–48 Sholeh, M. 2006. Terapi Sholat Tahajud Menyembuhkan Berbagai Penyakit. Hikmah (PT Mizan Publika). P. 147-156 Suliswati. (2012). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. Varney, H. (2007). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta, EGC. Whitworth J a., Williamson PM, Mangos G, Kelly JJ. 2005. Cardiovascular 209 consequences of cortisol excess. Vasc Health Risk Manag.;1(4):291–9. Zainuddin, A.F. 2009. Spiritual Emotional Freedom Technique for Healing Success Happiness Greatness. Jakarta : Afzan Publishing.