TERHADAP KADAR KORTISOL DAN

advertisement
PENGARUH TERAPISPRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT)
TERHADAP KADAR KORTISOL DAN IMUNOGLOBULIN E:
(Studi Kecemasan pada Ibu Hamil di Bidan Praktek Mandiri Kota Semarang)
Yuniarti*), Ari Suwondo**)Runjati***)
*Akademi kebidanan Karsa Mulia Semarang
** Universitas Diponegoro Semarang
***Poltekkes Kemenkes Semarang
ABSTRAK
Wanita hamil primigravida hampir semuanya mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan
baik selama hamil, saat menghadapi persalinan maupun setelah persalinan. Kekhawatiran dan
kecemasan pada ibu hamil apabila tidak ditangani dengan baik akan membawa dampak dan pengaruh
terhadap fisik dan psikis, baik pada ibu maupun janin. Metode pengontrolan stress dan cemas secara
psikoterapi sangat penting karena tidak membahayakan bagi ibu maupun janin. Salah satu terapi dari
berbagai terapi psikoreligius adalah terapi SEFT.Jenis penelitian ini adalah Quasy-experiment dengan
desain Pretest-Postest with Control Group Design. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh Terapi SEFT terhadap kadar hormon kortisol dan kadar Imunoglobulin E pada ibu hamil.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil normal primigravida trimester III di Bidan
Praktek Mandiri di Kota Semarang. Pengambilan sampel dengan consecutive sampling dengan
jumlah sampel 30 responden yang terbagi dalam dua kelompok. Pada kelompok perlakuan sebanyak
15 responden dan kelompok kontrol sebanyak 15 responden.Analisis data yang digunakan adalah uji
Wilcoxon dan Mann-Whitney dengan taraf signifikansi ≤ 0,05. Terdapat pengaruh yang bermakna
terapi SEFT terhadap penurunan kadar hormon kortisol dan kadar Imunoglobulin E pada ibu
primigravida trimester III. Rata-rata penurunan kadar hormon kortisol sebesar 74,08 nmol/L,
sedangkan rata-rata penurunan kadar Imunoglobulin E sebesar 7,39 IU/mL. Hasil uji Wilcoxon
didapatkan nilai signifikansi p = 0.024 (p< 0.05) dan nilai signifikansi p = 0.011 (p< 0.05).Terapi
SEFT memberikan hasil penurunan kadar hormon kortisol dan kadar Imunogloblun E sehingga terapi
SEFT efektif untuk menurunkan stress/ kecemasan dan meningkatkan imunitas pada ibu primigravida
trimester III.
Kata Kunci: Spritual Emotional Freedom Technique, Kortisol, Imunoglobulin E
ABSTRACT
Pregnant womenprimigravidaealmost have experiencedfear, anxiety, andfearduring pregnancy,
delivery andlabor. Worries and anxietiesof pregnant womenif not handledproperly willhave an
impactandinfluence on thephysicalandpsychic, boththemother and fetus. A method of
controllingstressandanxietyinpsychotherapyis veryimportantbecause it is notharmful tothe mother
andfetus.
OnetreatmentofvarioustherapiespsikoreligiusisSEFTtherapy.ThestudywasQuasiexperimental withpretest-posttest control group design. The purpose ofthe womenin thethird
trimesterprimigravidae at Bidan Praktek Mandiriin Semarang. Sampling usedconsecutive
sampling.The sample of30respondentswasdivided intotwogroups.In the treatment groupwas
15respondentsanda control groupwas 15respondents. Analysis used WilcoxonandMann-Whitney
withsignificance level≤0.05.There were significant influence SEFT therapy to decrease cortisol levels
and levels of immunoglobulin E in primigravida third trimester. The average reduction in cortisol
levels at 74.08 nmol / L, while the average decrease in the levels of immunoglobulin E of 7.39 IU /
mL. Wilcoxon test results obtained significance p = 0.024 (p <0.05) and a significance p = 0.011 (p
<0.05).SEFTtherapyhave effect to decrease cortisol levelsandlevelsImunogloblunEso that the SEFT
therapyis effective to reducestress/anxietyandimproveimmunityprimigravidathird trimester.
Keywords: Spritual Emotional Freedom Technique, Cortisol, Imunoglobulin E
201
PENDAHULUAN
Kehamilan merupakan sesuatu yang wajar
terjadi pada wanita usia produktif. Selama
masa kehamilan terjadi perubahan pada ibu
baik fisik maupun psikis. Secara umum
perubahan fisik selama masa kehamilan ialah,
aminorhoe,
membesarnya
payudara,
perubahan bentuk rahim, perubahan sistem
kerja organ tubuh, membesarnya perut,
naiknya berat badan, melemahnya relaksasi
otot-otot saluran pencernaan, sensitivitas pada
pengindraan, serta kaki dan tangan mulai
membesar (Pieter & Lubis, 2010).
Wanita hamil primigravida hampir semuanya
mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan
ketakutan baik selama hamil, saat menghadapi
persalinan maupun setelah persalinan. Wanita
hamil
akan
memiliki
pikiran
yang
mengganggu sebagai pengembangan reaksi
kecemasan terhadap cerita yang diperolehnya.
Peningkatan beban psikologis ibu dapat
menimbulkan permasalahan terhadap kualitas
janin yang dikandung dan komplikasi yang
menyertai proses persalianan ibu (Varney,
2007).
Kekhawatiran dan kecemasan pada ibu hamil
apabila tidak ditangani dengan serius akan
membawa dampak dan pengaruh terhadap
fisik dan psikis, baik pada ibu maupun janin.
Ibu yang mengalami kecemasan atau stres,
sinyalnya berjalan lewat aksis HPA
(Hipotalamo-Pituitary-Adrenal) yang dapat
menyebabkan lepasnya hormon stres antara
lain Adreno Cortico Tropin Hormone (ACTH),
kortisol, katekolamin, ß-Endorphin, Growth
Hormone (GH), prolaktin dan Lutenizing
Hormone (LH) / Folicle Stimulating Hormone
(FSH). Lepasnya hormon-hormon stres
tersebut
mengakibatkan
terjadinya
vasokonstriksi sistemik, termasuk di antaranya
konstriksi vasa utero plasenta yang
menyebabkan gangguan aliran darah ke dalam
rahim,
sehingga
menyebabkan
terjadi
gangguan pada janin. Di samping itu dengan
meningkatnya plasma kortisol, berakibat
menurunkan respon imun ibu dan janin
(Suliswati, 2012). Penelitian yang dilakukan
oleh Carlson, et al. 2004 menunjukkan bahwa
stresdapatmempengaruhi fungsidanjumlahsel
Imun (kekebalan).
Stres pada kehamilan dapat meningkatkan IgE
pada darah tali pusat dan serum IgE pada ibu.
Sehingga ibu yang memiliki kadar IgE yang
tinggi, akan melahirkan bayi dengan kadar IgE
tinggi, yang memungkinkan menjadikan faktor
predisposisi alergi dan asma pada kehidupan
masa depan (Bidaki et al. 2011; Detiana,
2010).
Wanita yang menderita stress dan cemas saat
kehamilan usia trimester III akan mengalami
peningkatan resiko kelainan bawaan berupa
kegagalan penutupan celah palatum, operasi
sectio cesaria, persalinan dengan alat,
kelahiran prematur, melahirkan bayi dengan
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan dalam
jangka panjang berkaitan dengan gagguan
perilaku dan emosi anak (Evan, 2002).
Kecemasan dan stres pada ibu hamil
merupakan hal penting
yang sering
terlupakan. Bidan mempunyai peran yang
cukup besar dalam mengatasi masalah
tersebut. Bidan harus mengenali gangguan
kecemasan
ibuhamil dan menguranginya
dengan memberikan penjelasan mengenai
kehamilan, persalinan, kecemasan dan efek
kecemasan pada ibu hamil danjanin.
Dukungan emosional sangat dibutuhkan oleh
ibu hamil untuk mempersiapkan diri baik fisik
maupun mental
dalam menghadapi
kehamilan dan persalinan sebagai salah satu
proses yang alamiah (Varney,2007).
Beberapa penelititan di berbagai negara pada
ibu hamil trimester dua dan tiga di antaranya
penelitian di Swedia tentang antenatal care
pada kehamilan 35 minggu sebanyak 24%
mengalami kecemasan dan 22% mengalami
depresi 22% (Claesson, Josefsson dan Sydsjo,
2010), di Minnesota pada ibu mengalami
kecemasan sebanyak 10% (Kim, et. al. 2006),
di Bangladesh 29% ibu hamil mengalami
gejala kecemasan dan 18% mengalami depresi
(Nasreen, et al., 2011), serta penelitian di
Pakistan ibu hamil mengalami kecemasan
sebanyak 34,5% dan 25% mengalami depresi
(Niaz, Izhar and Bhattu, 2004 dalam Ali,
Azam, Tabbusun dan Moin, 2012). Sedangkan
di Indonesia penelitian yang dilakukan pada
primigravida trimester III sebanyak 33,93%
mengalami kecemasan (Larasati, 2012).
Strategi penatalaksanaan stress dan kecemaan
pada ibu hamil dapat dilakukan dengan
202
menggunakan pendekatan terapi psikofarmaka
dan psikoterapi, pendekatan ini diseleksi
berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan
penanganan
stress
secara
individual.
Penanganan stress dengan menggunakan terapi
psikofarmaka sangat efektif dengan pemberian
obat-obatan seperti diazepam, clobazam,
bromazepam, dll (Hawari, 2013).
Metode pengontrolan stress dan cemas secara
psikoterapi sangat penting karena tidak
membahayakan bagi ibu maupun janin, tidak
mempunyai efek alergi maupun efekobat.
Metode psikoterapi banyak macam ragamnya
tergantung dari kebutuhan baik individu
maupun keluarga seperti psikoterapi suportif,
psikoterapi re-edukatif, psikoterapi rekonstruktif, psikoterapi kognitif, psikoterapi
psiko-dinamik,
psikoterapi
perilaku,
psikoterapi keluarga dan terapi psikoreligius,
intervensi kognitif termasuk relaksasi (Hawari,
2013). Beberapa macam teknik relaksasi di
antaranya adalah relaksasi otot pregresif,
pernapasan diafragma, visualisasi, meditasi,
pijat/massage,
terapi
musik,
yoga,
Hypnotherapy (Hosseini, 2009) dan Spiritual
Emosional Freedom Technique (Zainudin,
2009).
Tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan
pengaruh terapi Spritual Emotional Freedom
Techniqueterhadap stress dan kecemasan pada
ibu hamil primigravida trimester III.
Diharapkan hasil penelitian ini bisa sebagai
masukan pengembangan asuhan kebidanan
dalam managemen penurunan kecemasan
dengan tehnik komplementer, alternatif dan
psikoreligius pada masa kehamilan.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah Quasyexperiment dengan desain
One Group
Pretest-Postest with Control Design. Populasi
pada penelitian ini adalah seluruh ibu hamil
primigravida trimester III dengan umur
kehamilan 28 sampai 35 minggu di Bidan
Praktek Mandiri (BPM) di wilayah Kecamatan
Banyumanik
tiga
BPM,
Kecamatan
Tembalang enam BPM sebagai intervensi
dengan alasan untuk kemudahan akses,
monitoring dan evaluasi, sedangkan sebagai
kelompok kontrol dua BPM di wilayah
Kecamatan Semarang Utara. Sampel pada
penelitian ini yang memenuhikriteria inklusi
203
sebagai berikut: Ibu hamil yang bersedia
diteliti, Ibu hamil primigravida trimester III
dengan umur kehamilan 28 sampai 35 minggu,
hamil normal, Frekwensi ANC minimal 4 kali
dan kriteria eksklusi adalah Ibu hamil yang
memiliki riwayat penyakit jantung, DM,
hipertensi, kanker, asma dan tumor, Ibu hamil
yang
mengalami
komplikasi
pada
kehamilanya, diketahui tidak melakukan terapi
SEFT secara continue sesuai waktu yang
ditentukan. Adapun teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
consecutive sampling. Jumlah sampel yang
digunakan sebanyak 15 responden pada
kelompok perlakuan dan 15 responden
kelompok kontrol.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
untuk perlakuan menggunakan standar
operasional prosedur terapi SEFT versi pendek
dengan perlakuan tehnik ketukan pada daerah
sembilan titik meridian yaitu melakukan
ketukan pada daerah sembilan titik meridian,
yang meliputi titik dibagian atas kepala,
titikpermulaan alis mata, di atas tulang
samping mata, dua centimeter dibawah
kelopak mata, tepat dibawah hidung, diantara
dagu dan bagian bawah bibir, di ujung tempat
bertemunya tulang dada, di bawah ketiak
sejajardengan puting susu dan di perbatasan
antara tulang dada dan bagian bawah
payudara, selama 14 hari (dua minggu) pada
ibu hamil primigravida trimester III yang
dilakukan sendiri oleh responden setiap malam
hari, sedangkan untuk instrument pengukuran
kadar kortisol dan kadar immunoglobulin E
dengan lembar observasi.
Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini
uji Wilcoxon pada masing – masing kelompok
yang
berpasangan.
Sedangkan
untuk
mengetahui perbedaan antar kelompok
perlakuan dengan kelompok kontrol uji
statistik yang digunakan adalah uji MannWhitney.
HASIL
Hasil penelitian “Pengaruh terapi spritual
emotional freedom technique (seft) terhadap
kadar kortisol dan imunoglobulin E”
ditunjukkan pada tabel dan grafik berikut ini:
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
pada kelompok intervensi terapi SEFTdan
kelompok Kontrol di BPM Wilayah Kota
Semarang
Periode Oktober – Nopember 2015
(n=30)
Kelompok
Karakteristik
Terapi SEFT Kontrol
f
%
f
%
2
13,3
0
00,0
Total
Pendidikan
SLTP
2
SLTA
6
40,0
7
46,3
13
PT
7
46,7
8
53,3
15
Bekerja
Tidak
Bekerja
9
60
40
Media
n
24
25
24.1
25
Umur Kehamilan
Kelompok
Intervensi
32.1
Kelompok
Kontrol
32.5
32
Umur
Kelompok
Intervensi
Kelompok
Kontrol
8
53,3
17
33
7
46,7
Min
SD
2.2
9
2.5
5
2.0
7
2.2
9
13
20
27
20
28
28
35
28
35
Kadar
pMean
Median Min - Max
value
Kortisol
Sesudah
Intervensi
Kortisol
pertama
kedua
Mean
pMedian Min – Max value
269,29 255,02
334,39 359,23
–
192,64
352,83
0,001
–
233,78
453,88
Max
Tabel 2
Perbedaan Kadar Hormon Kortisol Sebelum
dan Sesudah diberikan TerapiSEFT
(n=15)
Intervensi
Kadar Hormon
Pengamatan
6
Mea
n
Sebelum
Tabel 3
Perbedaan Kadar Hormon Kortisol
Pengamatan Pertama dan Pengamatan Kedua
pada Kelompok Kontrol
(n=15)
Pengamatan
Pekerjaan
Hormon
Hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan p-value
0,001 maka Ho ditolak dan Ha diterima,
artinya ada perbedaan yang bermakna kadar
hormone kortisol sebelum dan sesudah
diberikan terapi SEFT.
355,05 327,08 232,68 – 821,10
0,001
280,97 260,14 189,36 – 609,52
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa
kadar hormon
kortisol pada pengamatan
pertama kelompok kontrol didapatkan nilai
mean 269,29, median 255,02 dan nilai
minimum dan maksimum 192,64 dan 352,83.
Sedangkan kadar hormon kortisol pada
pengamatan kedua didapatkan nilai mean
334,39, median 359,23dan nilai minimum dan
maximum 233,78 dan 453,88.
Hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan p-value
0,001 maka Ho ditolak dan Ha diterima,
artinya ada perbedaan yang bermakna kadar
hormone kortisol pengamatan pertama dan
pengamatan kedua.
Tabel 4
Perbedaan Kadar Imunoglobulin E Sebelum
dan Sesudah diberikan TerapiSEFT
(n=15)
Kadar
Imunoglobulin E
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa
kadar hormone kortisol sebelum diberikan
perlakuan terapi SEFT didapatkan nilai mean
355,05, median 327,08 dan nilai minimum dan
maksimum 232,68 dan 821,10. Sedangkan
kadar hormon kortisol sesudah diberikan terapi
SEFT didapatkan nilai mean 280,97, median
260,14 dan nilai minimum dan maximum
189,36 dan 609,52.
Sebelum
Intervensi
Sesudah
Intervensi
Mean Median Min - Max
56,65 50,84
49,54 44,44
8,61
–
156,75
9,12
p-value
0,005
–
150,23
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa
kadar immunoglobulin E sebelum diberikan
perlakuan terapi SEFT didapatkan nilai mean
56,65, median 50,84 dan nilai minimum dan
204
maksimum 8,61 dan 150,23. Sedangkan kadar
immunoglobulin E sesudah diberikan terapi
SEFTdidapatkan nilai mean 49,54, median
44,44 dan nilai minimum dan maximum 9,12
dan 150,23.
Hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan p-value
0,005 maka Ho ditolak dan Ha diterima,
artinya ada perbedaan yang bermakna kadar
immunoglobulin E sebelum dan sesudah
diberikan terapi SEFT.
Tabel 5
Perbedaan Kadar Imunoglobulin E
Pengamatan Pertama dan Pengamatan Kedua
(n=15)
Kadar
Imunoglobulin E
Sebelum
Intervensi
Sesudah
Intervensi
Mean
pMedian Min - Max value
206,17 78.70
220,33 134,24
7,75
–
573,72
27,25
0,156
–
854,14
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa
kadar immunoglobulin E pada pengamatan
pertama didapatkan nilai mean 206,17, median
78.70 dan nilai minimum dan maksimum 7,75
dan 573,72. Sedangkan kadar immunoglobulin
E pada pengamatan kedua didapatkan nilai
mean 220,33, median 134,24dan nilai
minimum dan maximum 27,25 dan 854,14.
Hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan p-value
0,156 (p > 0,05) maka Ho diterima dan Ha
ditolak, artinya tidak ada perbedaan kadar
immunoglobulin E pada pengamatan pertama
dan kedua.
Tabel 6
Perbedaan Kadar Kortisol pada Kelompok
Intervensi Terapi SEFT dan Kelompok
Kontrol pada Ibu Hamil Trimester III di BPM
wilayah Kota Semarang
(n= 30)
Kelompok
Kadar
Kortisol Pre
Mean ± SD
Kadar
Delta/Selis
pKortisol value ih
Post
Mean ± SD
Mean ± SD
Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa
hasil uji beda kelompok berpasangan antara
kelompok sebelum dan sesudah perlakuan
terapi SEFT didapatkan nilai p = 0.001 (p <
0,05) artinya ada perbedaan yang bermakna
kadar hormone kortisol sebelum dan sesudah
pemberian Terapi SEFT. Hasil uji beda
kelompok berpasangan antara pengamatan
pertama dan kedua pada kelompok kontrol
didapatkan nilai p = 0.001 (p< 0,05) artinya
ada perbedaan kadar hormone kortisol antara
pengamatan pertama dan kedua. Sedangkan
hasil uji beda pada kelompok tidak
berpasangan antara kelompok sebelum
perlakuan terapi SEFT dan kelompok kontrol
didapatkan nilai p = 0.017 ( p< 0.05), artinya
ada perbedaan yang bermakna kadar hormone
kortisol sebelum terapi SEFT dan pengamatan
pertama pada kelompok kontrol kelompok
kontrol.
Hasil uji beda pada kelompok tidak
berpasangan
antara
kelompok
setelah
perlakuan terapi SEFT dan kelompok kontrol
didapatkan nilai p = 0.038 (p < 0.05), artinya
ada perbedaan yang bermakna kadar hormon
kortsiol sesudah terapiSEFT dan pengamatan
kedua pada kelompok kontrol. Dan hasil uji
beda kelompok tidak berpasangan pada
Delta/selisih pada kelompok perlakuan terapi
SEFT dan kelompok kontrol didapatkan nilai
p = 0.024 (p < 0.05), artinya ada perbedaan
yang bermakna kadar hormone kortisol antara
kelompok perlakuan terapi SEFT dan
kelompok kontrol.
Tabel 7
Perbedaan Kadar Imunoglobulin E pada
Kelompok Intervensi Terapi SEFT dan
Kelompok Kontrol pada Ibu Hamil Trimester
III di BPM wilayah Kota Semarang
(n= 30)
Kelompok
Kadar
Kadar
pDelta/Sel
Imunoglobu Imunoglobu value isih
lin E Pre
lin E Post
Mean ± SD Mean ± SD
Mean ±
SD
Intervensi
56.65 ±
43,90
49,54 ±
38,17
0.005 7,39 ±
10,45
220,33 ±
217,77
0.156 53,36 ±
61,49
Intervensi
Kontrol
p – value
205
355,05 ±
141,36
269,29 ±
57,11
0.001
74,08 ±
50,46
Kontrol
206,17 ±
213,16
269,29 ±
57,11
0.017
334,39 ±
76,71
0.038
0.001
65,09 ±
51,75
0.024
p – value
0.141
0.006
0.011
Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa hasil
uji beda kelompok berpasangan antara
kelompok sebelum dan sesudah perlakuan
terapi SEFT didapatkan nilai p = 0.005 (p <
0,05) artinya ada perbedaan yang bermakna
kadar immunoglobulin E sebelum dan sesudah
pemberian terapi SEFT. Hasil uji beda
kelompok berpasangan antara pengamatan
pertama dan kedua pada kelompok kontrol
didapatkan nilai p = 0.156 (p> 0,05) artinya
tidak ada perbedaan kadar immunoglobulin E
antara pengamatan pertama dan kedua.
Sedangkan hasil uji beda pada kelompok tidak
berpasangan antara kelompok sebelum
perlakuan terapi SEFT dan pengamatan
pertama pada kelompok kontrol didapatkan
nilai p = 0.1416 (p>0.05), artinya tidak ada
perbedaan
yang
bermakna
kadar
immunoglobulin E sebelum terapiSEFT dan
pengamatan pertama pada kelompok kontrol.
Hasil uji beda pada kelompok tidak
berpasangan
antara
kelompok
setelah
perlakuan terapi SEFT dan pengamatan kedua
pada kelompok kontrol didapatkan nilai p =
0.006 (p<0.05), artinya ada perbedaan yang
bermakna kadar immunoglobulin E sesudah
terapiSEFT dan pengamatan kedua pada
kelompok kontrol. Dan hasil uji beda
kelompok tidak berpasangan pada Delta/selisih
pada kelompok perlakuan terapi SEFT dan
kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0.011
(p < 0.05), artinya ada perbedaan yang
bermakna kadar immunoglobulin E antara
kelompok perlakuan terapi SEFT dan
kelompok kontrol.
PEMBAHASAN
Perbedaan Kadar Hormon Kortisol
Penurunan kadar hormon kortisol yang terjadi
pada penelitian ini karena ada peranan yang
positif dari tindakan SEFT terhadap ibu hamil
trimester III yang mengalami peningkatan
kadar hormon kortisol selama kehamilannya.
Penurunan hormon kortisol mengiindikasikan
secara objektif terjadinya penurunan stress
atau cemas, yang berarti ibu hamil mengalami
sebuah ketenangan setelah diberikan SEFT.
Hasil penelitian ini didukung oleh Zaenudin
(2009) yang menyatakan bahwa SEFT
merupakan sebuah teknik yang sederhana
untuk mengatasi berbagai masalah fisik dan
psikososial (stres, cemas dan depresi) yang
dilakukan dengan cara membimbing pasien
untuk berdo’a dan pasrah kepada Tuhan serta
menggunakan ketukan pada titik meridian
pasien.
Pada penelitian ini perbedaan yang didapatkan
dari analisis antara pengamatan pertama dan
kedua ditemukan adanya peningkatan kadar
hormon
kortisol.Hasil
penelitian
ini
membuktikan bahwa pada ibu hamil trimester
III mengalami peningkatan hormon kortisol
dengan kata lain bahwa ibu hamil mengalami
stress/kecemasan. Stres dan kecemasan yang
terjadi saat masa kehamilan sangat berbahaya
bagi ibu hamil, kehamilan maupun
perkembangan bayinya. Stres dan cemas yang
terjadi pada ibu hamil akan mengakibatkan
hormon stres seperti kortisol meningkat yang
akan berpengaruh terhadapperkembangan
bayi. Lepasnya hormon-hormon stress tersebut
menga-kibatkan terjadinya vasokonstriksi
sistemik, termasuk di antaranya konstriksi vasa
utero plasenta yang menyebabkan gangguan
aliran darah ke dalam rahim, sehingga
menyebabkan
terjadi
gangguan
pada
janin(Suliswati, 2012).
Hormon kortisol dan zat-zat berbahaya lain
yang disebabkan oleh stres mampu menembus
plasenta sehingga mampu mempengaruhi
perkembangan bayi dalam kandungan.
Demikian pula, stress yang dialami ibu hamil
dapat meningkatkan corticotrophin-releasing
hormone (CRH) diawal kehamilan. CRH
secara berurutan dapat menyebabkan kelahiran
prematur.Menurut Evan (2002) mejelaskan
bahwa wanita yang menderita stress dan cemas
saat kehamilan usia trimester III akan
mengalami peningkatan resiko kelainan
bawaan berupa kegagalan penutupan celah
palatum, operasi sectio cesaria, persalinan
dengan alat, kelahiran prematur, melahirkan
bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR) dan dalam jangka panjang berkaitan
dengan gagguan perilaku dan emosi anak.
Hasil penelitian ini didukung oleh Saefudin
(2010)
yang
menyatakan
bahwa
stress/kecemasan dapat terjadi pada ibu
primigravida karena kehamilan dan persalinan
merupakan hal asing bagi mereka, apalagi bila
pernah mendengar trauma kegagalan dalam
kehamilan dan persalinan, hal ini dapat
menimbulkan kecemasan. Faktor lain yang
dapat menyebabkan stress/kecemasan pada ibu
primigravida menurut Prastowo (2011)
206
adalahlingkungan atau sekitar tempat tinggal.
Karena lingkungan atau sekitar tempat tinggal
dapat mempengaruhi cara berfikir individu
tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini
disebabkan karena adanya pengalaman yang
tidak menyenangkan pada individu dengan
keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja.
Sehingga individu tersebut merasa tidak aman
terhadap lingkungannya. Faktor lingkungan
termasuk juga dukungan moril dari orang
terdekat. Dukungan moril dari keluarga atau
suami, dapat menimbulkan rasa kesenangan
dan ketenangan pada istri, sehingga dapat
mempengaruhi kecemasan ibu hamil. Menurut
Clow (2001) menyatakan bahwa pada kondisi
gelisah, cemas dan depresi, sekresi kortisol
meningkat (Clow, 2001). Selama trimester
ketiga, kadar kortisol ibu mencapai sekitar tiga
kali lipat (Jung, 2011).Sementara tingkat basal
CRH, hormon adrenokortikotropik dan
kortisol tinggi, hipotalamus-hipofisis-adrenal
(HPA) axis reaktivitas akut terhadap
rangsangan stres dibasahi pada akhir
kehamilan (Kammerer et al. 2002).
Berdasarkan hasil analisis membuktikan
bahwa terapi SEFT mempunyai peranan yang
baik terhadap penurunan hormon kortisol,
dengan kata lain bahwa terapi SEFT dapat
menurunkan stress pada ibu primigravida
trimester III. Intervensi terapi SEFT adalah
suatu teknik yang menggabungkan antara
spiritualitasberupa doa, keikhlasan, dan
kepasrahan dengan energi psikologi berupa
seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan
sistem energi tubuh untuk memperbaiki
kondisi pikiran, emosi, dan perilaku melalui
tiga teknik sederhana yaitu set-up, tune-indan
tapping (Zaenudin, 2009).
Hasil penelitian ini didukung oleh Feinsten &
Ashland, (2012) yang menjelaskan bahwa
ketika seseorang yang dalam keadaan takut
kemudian dilakukan tapping pada titik
acupointnya maka terjadi penurunan akitivitas
amygdala, dengan kata lain terjadi penurunan
aktivitas gelombang otak, hal tersebut juga
membuat respons fight or flight pada
partisipan
terhenti.
Untuk
kemudian
memunculkan efek relaksasi yang akan
menetralisir segala ketegangan emosi yang
dialami individu. Efek ini sama dengan respon
yang muncul ketika seseorang distimulasi
dengan
jarum
akupuntur
pada
titik
meridiannya.
207
Perbedaan kadar immunoglobulin E
Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa terapi
SEFT mempunyai dampak yang positif
terhadap
peningkatan
imunitas
(Imunoglobulin). Peningkatan imunitas yang
terjadi pada penelitian ini merupakan efek dari
turunnya kadar hormon kortisol. Hasil
penelitian ini didukung oleh Abbas, Licman,
dan Paber (1995) dalam Sholeh, 2006; Price
dan Wilson, (2006) yang menjelaskan bahwa
kortisol menstimulasi makrofag atau monosit
untuk mensekresi Inter Leukin (IL-1).
Tersekresinya IL-1 oleh makrofag dapat
merangsang limfosit B untuk berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang kemudian
menghasilkan antibody atau immunoglobulin,
Ig M, Ig G dan Ig A. Pada jalur lain, sekresi
IL-1 dan makrofag dapat menstimulasi sel T
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
T helper (Th-1), Th-2, Tisi, sel mast/basofil,
eosinofil, neurotrofil dan berpengaruh secara
langsung sel Natural Killer (NK).
Basofil mengekspresi reseptor terhadap Ig E,
sebaliknya Ig E dapat mengaktifasi sel
mast/basofil atau reseptor spesifik lain pada
permukaan sel pengikat anafilatosin, anatigen
komplek, kovalin, hapten, protein. Sel
mast/basofil berperan penting pada reaksi
hipersensitifitas tipe 1 atau tipe cepat dengan
cara membebaskan mediator peradangan yang
menimbulkan gejala alergi. Sedangkan
eosinofil fungsi utamanya adalah pertahanan
terhadap agen infeksi. Ia mempunyai reseptor
terhadap Ig E sehingga dapat berikatan
dengan partikel oleh Ig E. Eosinofil sangat
efektif untuk menghancurkan agen yang
memproduksi Ig E seperti infeksi parasit.
Stres pada kehamilan dapat meningkatkan IgE
pada darah tali pusat dan serum IgE pada ibu.
Sehingga ibu yang memiliki kadar yang tinggi
IgE, akan melahirkan bayi dengan kadar IgE
tinggi, yang memungkinkan menjadikan faktor
predisposisi alergi dan asma pada kehidupan
masa depan (Bidaki et al. 2011; Detiana,
2010).
Hasil penelitian membuktikan bahwa peranan
SEFT sangat berkontribusi terhadap penurunan
kadar hormone kortisol sehingga berdampak
pada peningkatan imunitas (imunoglobulin E)
pada ibu primigravida trimester III. Hasil
penelitian ini didukung oleh Abbas,Licman,
dan Paber (1995) dalam Sholeh, (2006); Price
dan Wilson, (2006) yang menyatakan bahwa
normalitas kadar kortisol akan berperan
sebagai stimulator terhadap reseptor ketahanan
tubuh imunologi, baik spesifik maupun nonspesifik, selluler maupun humoral. Pada
tingkat selluler yang bersifat spesifik, kortisol
yang normal menstimulasi sintesis sel,
monosit, neurotrofil, eosinofil dan basofil,
sedangkan pada tingkat respon imun nonspesifik, selluler dan humoral, kortisol yang
normal dapat menstimulasi limfosit, baik
limfosit
Tmaupun
limfosit
B
yang
memproduksi antibody.
SIMPULAN
Terapi SEFT mempunyai peranan yang baik
terhadap penurunan hormon kortisol, dengan
kata lain bahwa terapi SEFT dapat
menurunkan stres dan kecemasan pada ibu
hamil primigravida trimester III. Hal ini
menunjukkan bahwa peranan SEFT sangat
berkontribusi terhadap penurunan kadar
hormon kortisol sehingga berdampak pada
peningkatan imunitas (imunoglobulin E) pada
ibu primigravida trimester III.
DAFTAR PUSTAKA
Ali N.S. Azam I.S. Ali B.S. Tabbusum G. and
Moin S.S. 2012. Frequency and Associated
Factors for Anxiety and Depression in
Pregnant women: A Hospital-Based CrossSectional Study. The Scientific world
Journal. Vol. 2
Bidaki R, Mehran K, Mahdiyeh M, Hosein
H.N, Asghar Z. Parivash R, Zahra S. 2011.
Maternal stress in pregnancy based on
Holmes-Rahe questionnaire and umbilical
cord IgE. Canadian Journal on Medicine.
Vol. 2, No. 3, July 2011
Caroline Jung, Jui T. Ho, David J. Torpy,
Anne Roggers, Matt Doogue, John G,
Lewis, Raymond J. Czajko, and Warrick J.
Inder. 2011, A Longitudinal study of
plasma and Urinary Cortisol in Pregnancy
and Postpartum..J. Clin Endocrinol Metab,
May, 96 (5): 1533-1540.
Carlson LE, Speca M, Patel KD, Goodey
E.2004. Mindfulnessbased stress reduction
in relation to quality of life, mood,
symptoms of stress and levels of cortisol,
dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS)
and melatonin in breast and prostate
cancer
outpatients.
Psychoneuroendocrinology.; 29(4):448-74.
Claesson I.M, Josefsson A, and Sydsjo G,.
2010. Prevalence of Anxiety and depressive
symptoms among obese pregnant and
postpartum women: an intervention study.
BMC Public Health.10.766.
Clow A. 2001..The Physiology of Stress. In
Jones F and Bright J Stress: Myth, Theory
and Research. Boston. Jones & Bartlett
Pub; 47-61
Detiana P. 2010. Hamil aman dan nyaman
diatas 30 tahun. Penerbit Media Pressindo.
Yogyakarta.
Evan J., 2002. Managing Perinatal Psychiatric
Problem. Journal of Paediatric, Obstetric
And Gynocologic. Nov/Dec 2002.
Fang, J., Jin, Z., Wang, Y., Li, K., Kong, J.,
Nixon, E. E., & Hui, K.S. 2009. The Salient
Characteristics Of The Central Effects Of
Acupuncture
Needling:
LimbicParalimbicneocortical
Network
Modulation. Human Brain Mapping, 30,
1196–1206.
Feinstein, D. & Ashland, O. 2012. What Does
Energy Have To Do With Energy
Psychology?. Energy Psychology 4, 59-80.
Hawari D. 2013. Manajemen Stress Cemas
dan Depresi, Penerbit FKUI. Jakarta.
Hosseini SM, Biglan MW, Larkby C, Brooks
MM, Gorin MB, Day NL. 2009. Trait
anxiety in pregnant women predicts
offspring birth outcomes. Paediatri
Perinat Epidemiol. 2009 Nov;23(6):55766. (diakses 22 Maret 2015)
Jung C, Ho JT, Torpy DJ, Rogers A, Doogue
M, Lewis JG, et al. 2011. A longitudinal
study of plasma and urinary cortisol in
pregnancy and postpartum. J Clin
Endocrinol Metab.;96(May 2011):1533–40.
Kammerer M, Adams D, Castelberg BV,
Glover V.2002. Pregnant women become
insensitive to cold stress. BMC Pregnancy
Childbirth.2(1),8.
Kim H.G. M. Mandell, C. Crandall, M. A.
Kuskowski, B. Dieperink, and R. L.
Buchberger. 2006, “Antenatal psychiatric
illness and adequacy of prenatal care in an
208
ethnically diverse inner- city obstetric
population,” Archives of Women’s Mental
Health, vol. 9, no. 2, pp. 103–107,.
Larasati IP, Wibowo A. 2011. Pengaruh
Keikutsertaan Senam Hamil Trehadap
Kecemasan
Primigravida
ketika
menghadapi Persalinan, Journal biometrika
dan kependudukan
Nasreen H.E.,. Kabir Z. N,. Forsell Y, and
Edhborg M. 2011, “Prevalence and
associated factors of depressive and anxiety
symptoms during pregnancy: apopulation
based study in rural Bangladesh,” BMC
Women’s Health, vol. 11, article 22
Nastiti. 2011. Pemberian Metode SEFT
Dalam
Upaya
Penurunan
Tingkat
Kecemasan Menghadapi Persalinan Pada
Ibu Primigravida Trimester III Di Desa
Watesnegoro Kecamatan Ngoro Kabupaten
Mojokerto. Skripsi
Niaz, S. Izhar, N. Bhatti, M.R. Anxiety and
Depression in pregnant women presenting
in the OPD of a teaching hospital. Pakistan
Journal of Medical Sciences. Vol. 20 no. 2
pp.117-119.
Prastowo W, Yuliatun, Laksitoningrum E.
(2011). Perbedaan tingkat kecemasan
dalam menghadapi persalinan pada ibu
yang rutin dan tidak rutin melakukan
kunjungan antenatal care di Puskesmas
Diyono Kota Malang.
Saefudin AB,( 2010). Buku Panduan praktis
Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal.
Jakarta;
Yayasan
Bina
Pustaka
SarwonoPrawiroharjo.
Seaward B. 2012. Physiology of stress.
Managing Stress. Jones and Barlett
Publishers;; p. 34–48
Sholeh, M. 2006. Terapi Sholat Tahajud
Menyembuhkan
Berbagai
Penyakit.
Hikmah (PT Mizan Publika). P. 147-156
Suliswati. (2012). Konsep Dasar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Varney, H. (2007). Buku Ajar Asuhan
Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta, EGC.
Whitworth J a., Williamson PM, Mangos G,
Kelly
JJ.
2005.
Cardiovascular
209
consequences of cortisol excess. Vasc
Health Risk Manag.;1(4):291–9.
Zainuddin, A.F. 2009. Spiritual Emotional
Freedom Technique for Healing Success
Happiness Greatness. Jakarta : Afzan
Publishing.
Download