TRADISI PEMIKIRAN ILMIAH RENAISSANCE AUFKLARUNG, SERTA ZAMAN MODERN Oleh: Mujahid Damopolii Abstrak Renaissance (Masa yang juga disebut masa keraguan,dirinya dan jiwanya saja diragukan. Yang tidak di ragukan hanya dirinya yang ragu itu, keraguan yang dimaksud disini adalah keraguan metafisik) dan mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Renaissance lebih merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat. Aufklarung masa ini disebut dengan masa pencerahan yang menurut Immanuel Kant,di zaman ini manusia terlepas dari keadaan tidak balik yang disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendir yang tidak memanfaatkan akalnya. Voltaire menyebut zaman pencerahan sebagai “zaman akal” dimana manusia merasa bebas,zaman perwalian pemikiran manusia dianggap sudah berakhir,mereka merdeka dari segala kuasa dari luar dirinya. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihar empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Kritisisme Kant adalah suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Sementara Zaman modern adalah sebuah proses “penyempurnaan” secara kumulatif kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan “kemajuan”. Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern untuk mengukir sejarahnya sendiri di dunia suatu proses self determination. Kata kunci : Renaissance; manusia modern A. Pendahuluan Sebagaimana lazimnya suatu dialog intelektual, di satu sisi terdapat bagian yang dilestarikan dan sisi lain ada bagian dikritisi atau diserang bahkan mungkin ada bagian yang ditolak. Di dunia Islampun muncul pelestari warisan Yunani, Persia dan Romawi, namun juga banyak yang melakukan kritik terhadapnya. Disinilah tampak dinamika intelektual. Konsep Ide Plato terus dipelajari dan dikembangkan,begitu juga konsep Akal dan Logika Aristoteles serta konsep Emanasi Plotinus. Semunya tetap dijadikan pijakan. Ini membuktikan bahwa ketiga filsuf tersebut yang nota bene merupakan para pionir memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pola pikir para filusuf generasi berikutnya tidak terkecuali Immauel Kant, Filsuf kelahiran Jerman yang abad ke-18. Menurut Kant,Filsafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui. Tampak adanya perbedaan yang menyolok antara abad ke-17 dan abad ke-18. Pada abad ke17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan rohani, yaitu kenyataan yang mengenai manusia, dunia dan Allah, dan tokoh-tokoh filsafat di era ini adalah juga tokohtokoh gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu ketuhanan,Yesus dan sebagainya. Akan tetapi abad ke-18 menganggap dirinya mendapat tugas untuk meneliti secara kritik (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal)segala yang ada,baik di dalam negara maupun di dalam masyarakat. John Locke yang mendominasi filsafat pada abad ke-18, seperti sahabatnya, Newton yang mendominasi ilmu pada periode yang sama.Awal abad ke-18 adalah masa yang gemilang. Eropa sembuh dari kekalutan selamah dua abad sebelumnya. Ini tentu sangat berbeda kondisinya dengan tradisi keilmuan dalam Islam pada abad yang sama. Dahulu filsafat mewujudkan suatu pemikiran yang hanya menjadi hal istimewa beberapa ahli saja,tetapi sekarang orang berpendapat,bahwa seluruh umat manusia berhak turut menikmati hasil-hasil pemikiran filsafat dan juga menjadi tugas filsafat. Zaman Renaissance merupakan satu sempadan antara zaman kegelapan dan pencerahan di Eropah. Renaissance berasal dari kata Re (kembali) dan Naitre (lahir). Jadi, arti renaissance sebenarnya adalah lahirnya kembali orang Eropa untuk mempelajari ilmu pengetahuan Yunani dan Romawi Kuno yang ilmiah/rasional. Sebelum Renaissance, bangsa Eropa mengalami jaman kegelapan/The Dark Age. Dalam jaman itu gereja berkuasa mutlak, ajaran gereja menjadi sesuatu yang tidak boleh dibantah. Dalam perkembangannya mulai muncul gerakan yang mencoba melepaskan dari ikatan itu yang disebut gerakan Renaissance. Dalam jaman itu pula, pemikiran-pemikiran ilmiah tenggelam oleh dogma-dogma Gereja. Zaman Renaissance adalah zaman yang didukung oleh cita-cita untuk melahirkan kembali manusia yang bebas, yang telah dibelenggu oleh zaman abad tengah yang dikuasai oleh Gereja atau agama. Manusia bebas ala Renaissance adalah manusia yang tidak mau lagi terikat oleh orotitas Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014 209 yang manalun (tradisi, sistem gereja, dan lain sebagainya), kecuali otoritas yang ada pada masingmasing diri pribadi. Wibisono dalam Rusli (ed), (1992: 104) mengemukakan manusia bebas ala Renaissance itu kemudian “didewasakan” oleh zaman Aufklarung, yang ternyata telah melahirkan sikap mental menusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya dorong yang mempengaruhi perkembangan ilmu dan teknologi yaitu pandangan untuk menguasai alam. Tiada hari tanpa hasil kreasi dan inovasi. Semenjak itulah dunia Barat telah melakukan tinggal landas mengarungi angkasa ilmu pengetahuan yang tiada bertepi untuk menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan “kesejahteraan hidupnya”. Hasilnya adalah teknologi supra-modern yang mereka miliki sebagaimana kita lihat sekarang ini. Menurut Koentjaraningrat (1994:2) unsurunsur kebudayaan yang ada di dunia ini adalah: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Dari ketujuh unsur itu yang akan menjadi telaahan adalah sistem pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dan sistem teknologi. Ilmu dan teknologi sebagai kerangka kebudayaan dapat dilihat, pertama sebagai kekuatan produksi, kedua sebagai ideologi yang didalam termasuk politik, ketiga sebagai kerangka kebudayaan modern, dan keempat mencari relevansi bagi pembangunan Indonesia. Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu. Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan. Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung 210 menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah”, “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran. Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan). Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran. Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or collection of perceptions (kesadaran tertentu)”. Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau “sebabakibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini. Oleh karena itu dalam tulisan ini perlu dibahas tradisi pemikiran ilmiah yang terkait dengan “Renaissance, Afklarung, serta Zaman Modern”. B. Tradisi Pemikiran Ilmiah Renaissance Renaissance berarti “lahir kembali”. Pengertian rilnya adalah manusia mulai memiliki kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan nilai dan keluhuran manusia. Suasana dan budaya berpikirnya memang melukiskan “kembali” kepada semangat awali, yaitu semangat filsafat Yunani kuno yang mengedepankan penghargaan terhadap kodrat manusia itu sendiri. Zaman ini lebih merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat. Keluhuran dan kehebatan manusia tampak dalam ungkapanungkapan seni hasil karya manusia. Politik tidak lagi dipikirkan dalam kaitannya dengan iman dan agama, tetapi dengan politik itu sendiri, sebab politik mempunyai etika dan moralnya sendiri. Etika politik adalah etika kekuasaan, artinya tunduk pada pertimbangan-pertimbangan kestabilan dan keselamatan negara, bangsa, pemerintahan dan kekuasaan. Bila abad pertengahan memegang teguh konsep ilmu pengetahuan sebagai rangkaian argumentasi, jaman renaissance merombaknya dengan paham baru, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu adalah soal eksperimentasi. Pembuktian kebenaran bukan lagi pembuktian argumentatif, melainkan eksperimental –matematis -kalkulatif. Tokoh- tokohnya antara lai: Galileo Galilei, Hobbes, Newton, Bacon. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jaman renaissance adalah zaman pendobrakan manusia untuk setia dan konstan dengan jati dirinya. Jaman ini sekaligus menggulirkan semangat baru yang menghebohkan, terutama dalam hubungannya dengan karya seni, ilmu pengetahuan, sastra dan aneka kreativitas manusia yang lain. Di sini filsafat memegang fungsinya yang baru yaitu meletakkan dasar-dasar bangunan pengembangan aneka ilmu alam/ pasti yang merintis hadirnya tekhnologitekhnologi seperti yang kita nikmati sekarang ini. Dengan demikian latar belakang laihirnya Renaissance adalah sebagai usaha pembaharuan kebudayaan Romawi dan Yunani yang pada masa abad tengah/masa kegelapan sempat dilupakan, yaitu tipe manusia yang otonom dan mandiri. Disini Renaissance lahir sebagai pembaharu untuk membentuk manusia yang mandiri, utuh, otonom, dan bertanggungjawab. Pola pikir abad tengah (terbelenggu ajaran gereja; disalahgunakan ) diganti dengan pola pikir rasional baik SDA maupun SDMnya sehingga manusia bisa berkembang. Dampak perkembangan renaissance adalah: (1) berkembangnya ilmu pengetahuan (IPTEK); (2) Orang mulai berpikir kritis. Menjadi maju, baik SDM maupun kebudayaannya; (3) Reformasi Gereja. C. Tradisi Pemikiran Ilmiah Aufklarung Filsafat abad ke-18 di Jerman disebut Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment, yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa dalam pemikiran filsafatnya. Namun setelah Immanuel Kant mengadakan penyelidikan dan kritik terhadap peran pengetahuan akal barula manusia terasa bebas dari otoritas yang datang dari luar manusia demi kemajuan peradaban manusia. Pemberian nama ini juga dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant mendefenisikan zaman itu dengan mengatakan, “Dengan Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig yang dengannya ia sendiri bersalah.” Apa sebabnya manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya,yaitu rasio. Sebagai latar belakangnya,manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti,biologi,filsafat dan sejarah) Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014 211 telah mencapai hasil yang menggembirakan . Disisi lain jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Isaac Newton ( 1642-1727) memberikan dasar-dasar berpikir dengan induksi,yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan analisis. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional. Berikut ini akan diuraikan masa pencerahan di 3 (Tiga) Negara Eropa yaitu sebagai berikut. a. Pencerahan di Jerman Pada umumnya Pencerahan di Jerman tidak begitu bermusuhan sikapnya terhadap agama Kristen seperti yang terjadi di Perancis. Memang orang juga berusaha menyerang dasardasar iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu, serta menggantinya dengan agama yang berdasarkan perasaan yang bersifat pantheistic, akan tetapi semuanya itu berjalan tanpa “perang’ terbuka. Yang menjadi pusat perhatian di Jerman adalah etika. Orang bercita-cita untuk mengubah ajaran kesusilaan yang berdasarkan wahyu menjadi suatu kesusilaan yang berdasarkan kebaikan umum, yang dengan jelas menampakkan perhatian kepada perasaan. Sejak semula pemikiran filsafat dipengaruhi oleh gerakan rohani di Inggris dan di Perancis. Hal itu mengakibatkan bahwa filsafat Jerman tidak berdiri sendiri. Para perintisnya di antaranya adalah Samuel Pufendorff (1632-1694), Christian Thomasius (1655-1728). Akan tetapi pemimpin yang sebenarnya di bidang filsafat adalah Christian Wolff (1679-1754). la mengusahakan agar filsafat menjadi suatu ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, dengan mengusahakan adanya pengertian-pengertian yang jelas dengan bukti-bukti yang kuat. Penting sekali baginya adalah susunan sistim filsafat yang bersifat didaktis, gagasan-gagasan yang jelas dan penguraian yang tegas. Dialah yang menciptakan pengistilahan-pengistilahan filsafat dalam bahasa Jerman dan menjadikan bahasa itu menjadi serasi bagi pemikiran ilmiah. Karena pekerjaannya itu filsafat menarik perhatian umum. Pada dasarnya filsafatnya adalah suatu usaha mensistimatisir pemikiran Leibniz dan menerapkan pemikiran itu pada segala bidang ilmu pengetahuan. Dalam bagian-bagian yang kecil memang terdapat penyimpanganpenyimpangan dari Leibniz. Hingga munculnya Kant yang filsafatnya merajai universitasuniversitas di Jerman. Orang yang seolah-olah 212 dengan tiba-tiba menyempurnakan Pencerahan adalah Immanuel Kant (1724-1804). Yang merupakan Filsuf yang pengaruhnya terhadap filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini,baik di Barat maupun di Timur, hampir secara universal diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa Aristoteles. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini bagaikan catatan kaki terhadap tulisan-tulisannya. Ada juga yang berpendapat sistem filsafatnya bagi dunia modern ini laksana Aristoteles bagi dunia skolastik: Kant lahir di Konigserg, Prusia Timur,Jerman.Pikiranpikiran dan tulisan-tulisannya membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern.ia hidup dizaman Scepticism Sebagian besar hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of thought (proses penalaran logis), the external world (dunia eksternal) dan reality of things (realitas segala yang wujud ). Kehidupannya dalam dunia filsuf dibagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman kritis. Pada zaman pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff dkk. Tetapi karena terpengaruh oleh David Hume ( 1711-1776), berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada zaman kriitsnya , Kant merubah wajah filsafatnya secara radikal. Dengan munculnya Kant dimulailah zaman baru, sebab filsafatnya mengantarkan suatu gagasan baru yang memberi arah kepada segala pemikiran filsafat la sendiri memang merasa, bahwa ia meneruskan Pencerahan. Karyanya yang terkenal dengan menampakkan kritisismenya adalah Critique of Pure Reason ?. (kritik atas rasio murni) yang membicarakan tentang reason dan knowing process yang ditulisnya selama lima belas tahun. Bukunya yang kedua adalah Critique of Practical Reason atau kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya dan bukunya yang ketiga adalah Critique of judgment atau kritik atas daya pertimbangan. Kant yang juga dikenal sebagai raksasa pemikir Barat mengatakan bahwa, Filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persolan yaitu: Apa yang dapat kita ketahui ?, Apa yang boleh kita lakukan?,Sampai dimanakah pengharapan kita? Dan Apakah manusia itu?. b. Pencerahan di Inggris Di Inggris filsafat Pencerahan dikemukakan oleh ahli-ahli pikir yang bermacammacam keyakinannya. Kebanyakan ahli pikir yang seorang lepas daripada yang lain, kecuali tentunya beberapa aliran pokok. Salah satu gejala Pencerahan di Inggris ialah yang disebut Deisme, suatu aliran dalam filsafat Inggris pada abad ke18, yang menggabungkan diri dengan gagasan TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Eduard Herbert yang dapat disebut pemberi alas ajaran agama alamiah. Menurut Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak di bidang agama. Juga agama Kristen ditaklukkan kepada akal. Atas dasar pendapat ini ia menentang segala kepercayaan yang berdasarkan wahyu. Terhadap segala skeptisisme di bidang agama ia bermaksud sekuat mungkin meneguhkan kebenarankebenaran dasar alamiah dari agama. Dasar pengetahuan di bidang agama adalah beberapa pengertian umum yang pasti bagi semua orang dan secara langsung tampak jelas karena naluri alamiah, yang mendahului segala pengalaman dalam pemikiran akal. Ukuran kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan umum segala manusia, karena kesamaan akalnya. Isi pengetahuan itu mengenai soal agama dan kesusilaan. Inilah asas-asas pertama yang harus dijabarkan oleh akal manusia sehingga tersusunlah agama alamiah, yang berisi: a) bahwa ada tokoh yang tertinggi; b) bahwa manusia harus berbakti kepada tokoh yang tertinggi itu; c) bahwa bagian pokok kebaktian ini adalah kebajikan dan kesalehan; d) bahwa manusia karena tabiatnya benci terhadap dosa dan yakin bahwa tiap pelanggaran kesusilaan harus disesali; e) bahwa kebaikan dan keadilan Allah memberikan pahala dan hukuman kepada manusia di dalam hidup ini dan di akhirat. Menurut Herbert, di dalam segala agama yang positif terdapat kebenaran-kebenaran pokok dari agama alamiah. Pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 pandangan Herbert ini dikembangkan lebih lanjut, baik yang mengenai unsur-unsurnya yang negatif maupun unsurunsurnya yang positif. c. Pencerahan di Perancis Pada abad ke-18 filsafat di Perancis menimba gagasannya dari Inggris. Para pelopor filsafat di Perancis sendiri (Descartes, dll) telah dilupakan dan tidak dihargai lagi. Sekarang yang menjadi guru mereka adalah Locke dan Newton. Perbedaan antara filsafat Perancis dan Inggris pada masa tersebut adalah: Di Inggris para filsuf kurang berusaha untuk menjadikan hasil pemikiran mereka dikenal oleh umum, akan tetapi di Perancis keyakinan baru ini sejak semula diberikan dalam bentuk populer. Akibatnya filsafat di Perancis dapat ditangkap oleh golongan yang lebih luas, yang tidak begitu terpelajar seperti para filsuf. Hal ini menjadikan keyakinan baru itu memasuki pandaangan umum. Demikianlah di Perancis filsafat lebih eras dihubungkan dengan hidup politik, sosial dan kebudayaan pada waktu itu. Karena sifatnya yang populer itu maka filsafat di Perancis pada waktu itu tidak begitu mendalam. Agama Kristen diserang secara keras sekali dengan memakai senjata yang diberikan oleh Deisme. Sama halnya dengan di Inggris demikian juga di Perancis terdapat bermacammacam aliran: ada golongan Ensiklopedi, yang menyusun ilmu pengetahuan dalam bentuk Ensiklopedi, dan ada golongan materialis, yang meneruskan asas mekanisme menjadi materialisme semata-mata. Diantara tokoh yang menjadi sentral pembicaraan disini adalah Voltaire (1694-1778), Pada tahun 1726 ia mengungsi ke Inggris. Di situ ia berkenalan dengan teori-teori Locke dan Newton. Apa yang telah diterimanya dari kedua tokoh ini ialah: a) sampai di mana jangkauan akal manusia, dan b) di mana letak batas-batas akal manusia. Berdasarkan kedua hal itu ia membicarakan soal-soal agama alamiah dan etika. Maksud tujuannya tidak lain ialah mengusahakan agar hidup kemasyarakatan zamannya itu sesuai dengan tuntutan akal. Mengenai jiwa dikatakan, bahwa kita tidak mempunyai gagasan tentang jiwa (pengaruh Locke).Yang kita amati hanyalah gejala-gejala psikis. Pengetahuan kita tidak sampai kepada adanya suatu substansi jiwa yang berdiri sendiri. Oleh karena agama dipandang sebagai terbatas kepada beberapa perintah kesusilaan, maka ia menentang segala dogma, dan menentang agama. Di Perancis pada era pencerahan ini juga ada Jean Jacques Rousseau (1712-1778), yang telah memberikan penutupan yang sistematis bagi cita-cita pencerahan di Perancis. Sebenarnya ia menentang Pencerahan, yang menurut dia, menyebarkan kesenian dan ilmu pengetahuan yang umum, tanpa disertai penilaian yang baik, dengan terlalu percaya kepada pembaharuan umat manusia melalui pengetahuan dan keadaban. Sebenarnya Rousseau adalah seorang filsuf yang bukan menekankan kepada akal, melainkan kepada perasaan dan subjektivitas. Akan tetapi di dalam menghambakan diri kepada perasaan itu akalnya yang tajam dipergunakan. Terkait kebudayaan menurut Rousseau, kebudayaan bertentangan dengan alam, sebab kebudayaan merusak manusia. (Yang dimaksud ialah kebudayaan yang berlebih-lebihan tanpa terkendalikan dan yang serba semu, seperti yang tampak di Perancis pada abad ke-18 itu. Mengenai agama Rousseau berpendapat, bahwa agama adalah urusan pribadi. Harun Hadiwijono berkesimpulan bahwa Pencerahan di Perancis memberikan senjata rohani kepada revolusi Perancis. Aliran-aliran yang muncul dimasa pencerahan adalah sebagai berikut. 1. Kritisisme Aliran ini dimulai di Inggris, kemudian Prancis dan selanjutnya menyebar keseluruh Eropa,terutama di Jerman. Di Jerman pertentangan antara rasionalisme dan empirisme terus berlanjut. Masing-masing berebut otonomi. Kemudian timbul masalah,siapah sebenarnya dikatakan sumber Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014 213 pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiris? Kant mencoba menyelesaikan persoalan diatas. Aliran Filsafat yang dkenal dengan kritisisme adalah filsafat yang di introdusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Pertentangan antara rasionalisme dan empirisme dicoba untuk diselesaikan oleh Kant dengan kritisismenya. Adapun ciri-ciri kritisisme diantaranya adalah sebagai berikut: (a) Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek. (b) Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenya saja. Tujuan filsafat kritis, Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya,lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata empirisme,sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman,tetap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Dalam hal ini Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni. Menurutnya, Syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah :bersifat umum dan mutlak dan yang kedua adalah memberi pengetahuan baru. Sedangkan menurut Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran-kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri. Salah satu tujuan filsaft Kant yang disebut sebagai filsafat kritis,dengan metodenya yang dikenal dengan sebutan metode transendental, dimana pengetahuan mencerminkan struktur kategoris pikiran,ialah memberikan sebuah alternatif pembenaran filosofis terhadap hasil-hasil Newton. Sistem konsep-konsep yang dipakai dalam geometri Euklidean dan fisika Newtonian secara unik relevan bagi pengalaman aktual manusia. 2. Deisme Deisme adalah suatu aliran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Allah menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab Ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Maksud aliran ini adalah menaklukkan wahyu Ilahi beserta dengan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang 214 alamiah, bebas dari segala ajaran Gereja. Yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal. Tokoh-tokoh yang mewakili aliran ini di antaranya adalah John Toland (1670-1722), yang menulis Christianity not mysterious (1696), dan Matteh Tindal (1656-1733), yang menulis Christianity as Old as Creation (1730). Di bidang filsafat orang yang meneruskan karya Locke di bidang metafisika adalah George Berkeley (w1753), yang mempunyai pangkal pikiran sama dengan Locke. Namun kesimpulan-kesimpulannya berbeda dengan kesimpulan-kesimpulan Locke, yaitu lebih tajam, bahkan sering bertentangan dengan Locke. Oleh karena itu Berkeley bermuara ke dalam aliran idealisme, yang ia sendiri menyebutnya imaterialisme, sebab ia menyangkal adanya suatu dunia yang ada di luar kesadaran manusia.22 Keyakinannya yang asasi adalah : a) segala realitas di luar manusia tergantung kepada kesadaran; b) tiada perbedaan antara dunia rohani dan dunia bendawi; c) tiada perbedaan antara gagasan pengalaman batiniah dan gagasan pengalaman lahiriah, sebab pengamatan adalah identik dengan gagasan yang diamati; d) tiada sesuatu yang berada kecuali roh, yang dalam realitasnya yang konkrit adalah pribadipribadi atau tokoh-tokoh yang berpikir. Pangkal pikiran Berkeley terdapat pada pandangannya di bidang teori pengenalan. Menurut dia segala pengetahuan bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah identik dengan gagasan yang diamati. Orang yang mengembangkan filsafat empirisme Locke dan Berkeley secara konsekuen adalah David Hume (1711-1776). Dalam soal teori pengenalan ia mengajarkan, bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu: kesan-kesan (impression) dan pengertianpengertian atau idea-idea (ideas). Menurut Harun Hadiwijono pemikiran Hume ini bersifat analitis, kritis dan skeptic. la berpangkal kepada keyakinan, bahwa hanya kesan-kesanlah yang pasti, jelas dan tidak dapat diragukan. Dari situ ia sampai kepada keyakin¬an, bahwa “aku” yang merupakan substansi rohani termasuk alam khayalan. Dunia hanya terdiri dari kesan-kesan yang terpisah-pisah, yang tidak dapat disusun secara obyektif sistematis, karena tiada hubungan sebab-akibat di antara kesan-kesan itu. Demikianlah tampak ada garis yang berkesinambungan atau kontinyu, yang dimulai dari Locke, diteruskan oleh Berkeley dan sampai kepada Hume. Pemikiran ketiga orang ini terlebih-lebih diarahkan kepada ajaran tentang pengenalan. TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam D. Tradisi Pemikiran Ilmiah Zaman Modern Kata modern menurut Hans Robert Jauss (1964) dalam sebuah artikel berjudul “Asthetische Normenund geschichtliche Reflecxion”, seperti dikutip Habermas yang menyebutkan bahwa istilah “modern” berasal dari bahasa Latin “modernus” yang digunakan pertama kali pada akhir abad ke-5, dan digunakan sebagai batas sejarah, yaitu antara era Roma yang menyembah berhala (Pagan era) dengan era Kristen yang menyembah Tuhan. Namun sayangnya penjelasan secara etimologi ini tidak menampakkan pengertian yang sesungguhnya dari modernisme itu sendiri. Istilah modern itu sendiri menurut Featherstone, menegaskan arti yang bersifat epochal. Modernisme secara umum dipandang ada bersamaan dengan munculnya Renaissance dan didefinisikan dalam hubungannya dengan zaman kuno (Antiquity), sebagaimana yang tampak dalam perdebatan antara Ancients (Kuno) dengan Moderns (modern). Munculnya Renaissance merupakan bantingan terhadap perspektif kebudayaan di Barat yang sama kerasnya dengan bantingan gambaran sistem planet tradisional oleh Copernicus. Renaissance menemukan serta menghargai kembali kebudayaan pra-kristiani Yunani dan Romawi, tetapi tidak dengan kembali ke alam kosmosentris mereka. Bagi Renaissance, alam Yunani dan Romawi membuka pandangan mereka tentang manusia. Manusia ditempatkan ke dalam pusat. Lahirlah humanisme dengan uomo universale, manusia universal, sebagai cita-citanya. Statika paham realitas sebagai tatapan alam semesta theosentris yang selaras diganti dengan dinamika perkembangan di mana manusia sebagai subjek mengangkat kepalanya berhadapan dengan ciptaan lain. Manusia telah kehilangan kepolosannya sebagai salah satu warga alam raya. Ia tidak lagi memahami diri sebagai musafir yang untuk beberapa saat menjelajah dunia, sampai ia dipanggil kembali oleh Yang Menempatkannya di situ, melainkan sebagai homo faber, manusia yang melanjutkan dan meneruskan penciptaan dunia. Manusia yang melihat dunia sebagai tantangan dan tugasnya, yang semakin yakin bahwa ia harus memberikan bentuk dan capnya kepada dunia. Manusia bukan lagi salah satu substansi dalam dunia, melainkan sebagai subjek berhadapan dengan dunia. Ada kesepakatan dalam semua lingkungan pemikiran, bahwa modernisme merupakan satu kekuatan terbesar dalam sejarah. Satu kekuatan pemacu perkembangan peradaban umat manusia yang hampir tidak ada presedennya di masa lampau. Bumi yang hari ini dihuni adalah sebuah planet yang terus bergejolak dengan berbagai perubahan radikal, menghadirkan ketidakpastian dalam sebuah krisis besar peradaban. Krisis yang konon bahkan jauh lebih hebat daripada yang pernah terjadi pada Abad V sebelum Masehi yang sempat menghasilkan para rasul di Timur Tengah dan para filsuf di Yunani. Krisis ini akhirnya justru memunculkan semangat pencerahan pertama untuk melakukan demitologisasi. Modernisme telah membawa bagian terbesar umat manusia ke dalam sebuah realitas dunia yang tak terjangkau bahkan oleh mimpi-mimpi paling liar manusia “primitif”. Radikal dan pesatnya perkembangan peradaban seperti itu, tak pelak lagi merupakan prestasi manusia yang berjejak panjang. Confusianisme, Budhisme, Ibrahimisme atau tafakurtafakur etik para filsuf Yunani sampai sekarang tetap dianggap sebagai tonggak-tonggak pertama kegairahan umat manusia dalam memahami dunianya secara lebih rasional. Jika sebelumnya alam dianggap sebagai kekuasaan sejati di atas manusia, maka agama telah memperkenalkan konsepsi tentang Tuhan sebagai pemilik kekuasaan absolut atas segala hal. Sementara alam adalah ruang bagi manusia untuk mewujudkan eksistensi keinsanannya. Subordinasi alam di bawah manusia boleh jadi bermula dari sini. Pendobrakan filosofis semacam itu pada gilirannya mengakarkan bentuk relasi subjek (rasio)-wacana-dunia. Manusia memahami dunia di luar dirinya melalui wacana pengetahuan. Pada Socrates atau para filsuf yang lain, wacana pengetahuannya berupa kuriositas filosofis yang pertama-tama mencoba menggoyahkan fondasi keyakinan terhadap mitos-mitos tradisional. Sementara pada Ibrahim atau para rasul lainnya, wacana tersebut berupa seperangkat postulat transendental sebagai sebuah metode (rasional kritis) untuk mendobrak dogma-dogma kepercayaan pada benda-benda sebagai representasi Yang absolut. Puncak keragu-raguan tersebut, boleh jadi terjadi pada kesangsian yang dilontarkan René Descartes. Pada yang terakhir ini, seperti halnya pada diri Francis Bacon, keraguan diformulasikan menjadi sebentuk usaha investivigasi metodologis dalam memeriksa realitas dunia. Wacana pengetahuan telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan tentang alam (ilmu alam). Melalui proses modernisasi, berlangsung suatu peristiwa mutasi historis jagat raya. Kekhalifahan manusia, dalam arti sang penakluk vis a vis dengan alam semesta, semakin dikukuhkan. Pembenuman subjek manusia modern sebagai penakluk semesta ini secara implisit telah menggeser supremasi keyakinan teologis atas kemahakuasaan Tuhan dalam relasi-relasi kehidupan. Sebab jika Tuhan sudah terwakilkan, maka secara logis Ia boleh tidak ada dalam penyelenggaraan kehidupan dunia. Artinya manusia menjadi lebih bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Gaibnya Tuhan justru berarti kesempatan tak terbatas bagi manusia untuk menghidupi dunia. Manusia modern menjadi subjek yang otonom karena terputusnya rantai ketergantungan sekaligus ancaman keganasan alam raya. Secara sederhana inilah yang menandai Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014 215 mulai datangnya zaman “Pencerahan” (Aufklarung). Satu masa dalam sejarah ketika manusia hendak mengukuhkan klaim dirinya sebagai species yang telah menjadi dewasa dan merdeka, karena telah lepas dari buaian berbagai mitos tentang rahasia dunia, yang membuatnya tidak pernah dewasa. Atau paling tidak, menjadi sadar akan keharusannya untuk memerdekakan diri. Telah datang satu zaman Pencerahan akal budi yang paling gilang gemilang menyinari sejarah peradaban umat manusia. Sebagai ahli waris zaman Renaissance, filsafat zaman modern itu bercorak, “antroposentris”. Manusia menjadi pusat perhatian. Dalam zaman Yunani dan Abad Pertengahan filsafat selalu mencari “substansi”, prinsip induk yang “ada di bawah” seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani menemukan unsur-unsur kosmologis sebagai prinsip induk (arché). Bagi pemikir abad Pertengahan, Tuhan sendiri adalah prinsip ini. Namun dalam zaman modern, peranan “substansi” diambil alih oleh manusia sebagai “subjek”. Yang “terletak di bawah” seluruh kenyataan kita, yang memikul kenyataan, itu bukan suatu prinsip di luar kita melainkan kita sendiri. Pencerahan dalam wacana filsafat modern, sebenarnya adalah sebuah proses “penyempurnaan” secara kumulatif kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan “kemajuan”. Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern untuk mengukir sejarahnya sendiri di dunia suatu proses self determinatioan. DAFTAR PUSTAKA Akhmadi,Asmoro. 2003. Filsafat Umum. Jakarta: RajaGrafindo Persada Drajat,Amroeni & Suhrawardi. 2005. Kritik Filsafat Peripatetik. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara Gazalba,Sidi. 1992. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang Kartenagara, Mulyadhi. 2005. Panorama Filsafat Ilmu. Cet II; Bandung:Mizan Pustaka Koentjaranigrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Palmouist, Stephen. 2003. The Tree of Philosophy. Diterjemahkan oleh Muhammad Shodiq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Praja.Juhaya. 2005. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Cet II; Jakarta:Prenada Media Ravertz, R. Jerome. 2004. Filsafat Ilmu. Diterjemahkan Saut Pasaribu Cet I Yogykarta:Pustaka Pelajar Suriasumantri R & Jujun S.1999. Ilmu dalam Perspektif. Cet XIV. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat. Jakarta. Bumi Aksara E. Penutup Sebagai kontribusi pemikiran dari pembahasan tulisan ini, melahirkan saran-saran sebagai berikut. 1. Langkah-langkah untuk menentukan masa depan peradaban manusia bukan sebagai suatu jawaban terhadap kemungkinan perspektif dari perkembangan kebutuhan manusia, namun juga mempertimbangkan kelestarian habitat kehidupan secara keseluruhan. Untuk itu kontemplasi keilmuan memerlukan pandangan-pandangan yang bersifat spiritual yang akan mampu menerobos kecongkakan manusia dan partikularisasi pikiran itu sendiri. 2. Berbagai pandangan tentang ilmu dan teknologi memang sepakat untuk menyatakan bahwa, keduanya merupakan piranti kehidupan manusia yang sangat proaktif. Namun untuk itu harus diciptakan keseimbangan-keseimbangan, terutama dengan hadirnya kesadaran manusia tentang kepribadian, moral ataupun etika yang melihat permasalahan sosial secara holistik. 216 Wibisono, Koento. “Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan” dalam Karim, Rusli, M. & Ridjal Fauzi (Ed.). 1992. Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam