Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014 209

advertisement
TRADISI PEMIKIRAN ILMIAH RENAISSANCE
AUFKLARUNG, SERTA ZAMAN MODERN
Oleh:
Mujahid Damopolii
Abstrak
Renaissance (Masa yang juga disebut masa keraguan,dirinya dan jiwanya saja diragukan. Yang tidak di
ragukan hanya dirinya yang ragu itu, keraguan yang dimaksud disini adalah keraguan metafisik) dan
mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Renaissance lebih merupakan gerakan kebudayaan
daripada aliran filsafat. Aufklarung masa ini disebut dengan masa pencerahan yang menurut Immanuel Kant,di
zaman ini manusia terlepas dari keadaan tidak balik yang disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendir yang
tidak memanfaatkan akalnya. Voltaire menyebut zaman pencerahan sebagai “zaman akal” dimana manusia
merasa bebas,zaman perwalian pemikiran manusia dianggap sudah berakhir,mereka merdeka dari segala
kuasa dari luar dirinya. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya
adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan
metode-metode rasional. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak
rasionalisme dan sifat sepihar empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan
realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh
pengetahuan dari pengalaman saja. Kritisisme Kant adalah suatu usaha besar untuk mendamaikan
rasionalisme dengan empirisme. Sementara Zaman modern adalah sebuah proses “penyempurnaan” secara
kumulatif kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam mencapai satu
tingkatan sosial yang disebut dengan “kemajuan”. Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah
memungkinkan manusia modern untuk mengukir sejarahnya sendiri di dunia suatu proses self determination.
Kata kunci : Renaissance; manusia modern
A. Pendahuluan
Sebagaimana
lazimnya
suatu
dialog
intelektual, di satu sisi terdapat bagian yang
dilestarikan dan sisi lain ada bagian dikritisi atau
diserang bahkan mungkin ada bagian yang ditolak.
Di dunia Islampun muncul pelestari warisan Yunani,
Persia dan Romawi, namun juga banyak yang
melakukan kritik terhadapnya. Disinilah tampak
dinamika intelektual. Konsep Ide Plato terus
dipelajari dan dikembangkan,begitu juga konsep Akal
dan Logika Aristoteles serta konsep Emanasi
Plotinus. Semunya tetap dijadikan pijakan. Ini
membuktikan bahwa ketiga filsuf tersebut yang nota
bene merupakan para pionir memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam membentuk pola pikir para
filusuf generasi berikutnya tidak terkecuali Immauel
Kant, Filsuf kelahiran Jerman yang abad ke-18.
Menurut Kant,Filsafat adalah ilmu (Pengetahuan)
yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang
di dalamnya tercakup masalah epistemologi yang
menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
Tampak adanya perbedaan yang menyolok
antara abad ke-17 dan abad ke-18. Pada abad ke17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran
baru terhadap kenyataan bendawi dan rohani, yaitu
kenyataan yang mengenai manusia, dunia dan Allah,
dan tokoh-tokoh filsafat di era ini adalah juga tokohtokoh gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu
ketuhanan,Yesus dan sebagainya. Akan tetapi abad
ke-18 menganggap dirinya mendapat tugas untuk
meneliti secara kritik (sesuai dengan kaidah-kaidah
yang diberikan akal)segala yang ada,baik di dalam
negara maupun di dalam masyarakat. John Locke
yang mendominasi filsafat pada abad ke-18, seperti
sahabatnya, Newton yang mendominasi ilmu pada
periode yang sama.Awal abad ke-18 adalah masa
yang gemilang. Eropa sembuh dari kekalutan
selamah dua abad sebelumnya.
Ini tentu sangat berbeda kondisinya dengan
tradisi keilmuan dalam Islam pada abad yang sama.
Dahulu filsafat mewujudkan suatu pemikiran yang
hanya menjadi hal istimewa beberapa ahli saja,tetapi
sekarang orang berpendapat,bahwa seluruh umat
manusia berhak turut menikmati hasil-hasil pemikiran
filsafat dan juga menjadi tugas filsafat.
Zaman Renaissance merupakan satu
sempadan antara zaman kegelapan dan pencerahan
di Eropah. Renaissance berasal dari kata Re
(kembali) dan Naitre (lahir). Jadi, arti renaissance
sebenarnya adalah lahirnya kembali orang Eropa
untuk mempelajari ilmu pengetahuan Yunani dan
Romawi Kuno yang ilmiah/rasional. Sebelum
Renaissance, bangsa Eropa mengalami jaman
kegelapan/The Dark Age. Dalam jaman itu gereja
berkuasa mutlak, ajaran gereja menjadi sesuatu
yang tidak boleh dibantah. Dalam perkembangannya
mulai muncul gerakan yang mencoba melepaskan
dari ikatan itu yang disebut gerakan Renaissance.
Dalam jaman itu pula, pemikiran-pemikiran ilmiah
tenggelam oleh dogma-dogma Gereja.
Zaman Renaissance adalah zaman yang
didukung oleh cita-cita untuk melahirkan kembali
manusia yang bebas, yang telah dibelenggu oleh
zaman abad tengah yang dikuasai oleh Gereja atau
agama. Manusia bebas ala Renaissance adalah
manusia yang tidak mau lagi terikat oleh orotitas
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
209
yang manalun (tradisi, sistem gereja, dan lain
sebagainya), kecuali otoritas yang ada pada masingmasing diri pribadi.
Wibisono dalam Rusli (ed), (1992: 104)
mengemukakan manusia bebas ala Renaissance itu
kemudian “didewasakan” oleh zaman Aufklarung,
yang ternyata telah melahirkan sikap mental menusia
yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas
dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat
menguasai masa depannya, sehingga manusia
(Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya dorong
yang mempengaruhi perkembangan ilmu dan
teknologi yaitu pandangan untuk menguasai alam.
Tiada hari tanpa hasil kreasi dan inovasi. Semenjak
itulah dunia Barat telah melakukan tinggal landas
mengarungi angkasa ilmu pengetahuan yang tiada
bertepi untuk menaklukkan dan menguasai alam
demi
kepentingan
“kesejahteraan
hidupnya”.
Hasilnya adalah teknologi supra-modern yang
mereka miliki sebagaimana kita lihat sekarang ini.
Menurut Koentjaraningrat (1994:2) unsurunsur kebudayaan yang ada
di dunia
ini adalah: sistem religi dan upacara keagamaan,
sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan
peralatan. Dari ketujuh unsur itu yang akan menjadi
telaahan adalah sistem pengetahuan khususnya ilmu
pengetahuan dan sistem teknologi. Ilmu dan
teknologi sebagai kerangka kebudayaan dapat
dilihat, pertama sebagai kekuatan produksi, kedua
sebagai ideologi yang didalam termasuk politik,
ketiga sebagai kerangka kebudayaan modern, dan
keempat mencari relevansi bagi pembangunan
Indonesia.
Para filsuf zaman modern menegaskan
bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau
ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi
dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek
mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran
rasionalisme
beranggapan
bahwa
sumber
pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal
dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya,
meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu,
baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul
aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua
pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene
Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de
la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada
metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua
pengetahuan,
yaitu
dengan
menyangsikan
segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran
tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini,
maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi
landasan bagi seluruh pengetahuan. Tetapi dalam
rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya
ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya
ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan,
bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan
sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan
adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung
210
menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”,
aku berpikir (menyadari) maka aku ada. Itulah
kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.
Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti
itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah”, “clearly and
distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan
terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai
benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam
menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas atau
substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir,
yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas
perluasan (res extensa, “extention”) atau materi, dan
(3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya
sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas
itu). Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak
mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi
bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan,
mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak
memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari
Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa
tergantung pada apapun juga. Descartes adalah
seorang dualis, menerapkan pembagian tegas
antara realitas pikiran dan realitas yang meluas.
Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya
memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan
sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran
sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin
otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah
mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya
ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman
sekarang adalah komputer yang tampak seperti
memiliki kecerdasan buatan).
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis,
yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua
pengetahuan ada dalam pikiran. Aliran empririsme
nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776),
yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat
lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang
batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh
karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk
pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi
dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi,
sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang
beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari
kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil
penginderaan langsung, sedang gagasan adalah
ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami
kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar
pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada
substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang
memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas
kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu
mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang
lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a
bundle or collection of perceptions (kesadaran
tertentu)”.
Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh
gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari
menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita
urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada
kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian
hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak
boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang).
Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan
bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat
pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam
gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam.
Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau “sebabakibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang
kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja,
yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita
saja.
Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh.
Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia
berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada
faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita
memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi
tertentu dalam manusia yang ikut menentukan
konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju
dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara
pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an
sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak
“bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut
Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan
kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang
pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan
waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita
menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan
waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari
dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua
adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia
mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum
kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk
pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas
seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis,
dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa
kini. Oleh karena itu dalam tulisan ini perlu dibahas
tradisi pemikiran ilmiah yang terkait dengan
“Renaissance, Afklarung, serta Zaman Modern”.
B. Tradisi Pemikiran Ilmiah Renaissance
Renaissance
berarti
“lahir
kembali”.
Pengertian rilnya adalah manusia mulai memiliki
kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan
nilai dan keluhuran manusia. Suasana dan budaya
berpikirnya memang melukiskan “kembali” kepada
semangat awali, yaitu semangat filsafat Yunani kuno
yang mengedepankan penghargaan terhadap kodrat
manusia itu sendiri.
Zaman ini lebih merupakan gerakan
kebudayaan daripada aliran filsafat. Keluhuran dan
kehebatan manusia tampak dalam ungkapanungkapan seni hasil karya manusia. Politik tidak lagi
dipikirkan dalam kaitannya dengan iman dan agama,
tetapi dengan politik itu sendiri, sebab politik
mempunyai etika dan moralnya sendiri. Etika politik
adalah etika kekuasaan, artinya tunduk pada
pertimbangan-pertimbangan
kestabilan
dan
keselamatan negara, bangsa, pemerintahan dan
kekuasaan.
Bila abad pertengahan memegang teguh
konsep ilmu pengetahuan sebagai rangkaian
argumentasi, jaman renaissance merombaknya
dengan paham baru, yaitu bahwa ilmu pengetahuan
itu adalah soal eksperimentasi. Pembuktian
kebenaran bukan lagi pembuktian argumentatif,
melainkan eksperimental –matematis -kalkulatif.
Tokoh- tokohnya antara lai: Galileo Galilei, Hobbes,
Newton, Bacon.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
jaman renaissance adalah zaman pendobrakan
manusia untuk setia dan konstan dengan jati dirinya.
Jaman ini sekaligus menggulirkan semangat baru
yang menghebohkan, terutama dalam hubungannya
dengan karya seni, ilmu pengetahuan, sastra dan
aneka kreativitas manusia yang lain. Di sini filsafat
memegang fungsinya yang baru yaitu meletakkan
dasar-dasar bangunan pengembangan aneka ilmu
alam/ pasti yang merintis hadirnya tekhnologitekhnologi seperti yang kita nikmati sekarang ini.
Dengan demikian latar belakang laihirnya
Renaissance adalah sebagai usaha pembaharuan
kebudayaan Romawi dan Yunani yang pada masa
abad tengah/masa kegelapan sempat dilupakan,
yaitu tipe manusia yang otonom dan mandiri. Disini
Renaissance lahir sebagai pembaharu untuk
membentuk manusia yang mandiri, utuh, otonom,
dan bertanggungjawab. Pola pikir abad tengah
(terbelenggu ajaran gereja; disalahgunakan ) diganti
dengan pola pikir rasional baik SDA maupun
SDMnya sehingga manusia bisa berkembang.
Dampak perkembangan renaissance adalah: (1)
berkembangnya ilmu pengetahuan (IPTEK); (2)
Orang mulai berpikir kritis. Menjadi maju, baik SDM
maupun kebudayaannya; (3) Reformasi Gereja.
C. Tradisi Pemikiran Ilmiah Aufklarung
Filsafat abad ke-18 di Jerman disebut Zaman
Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris
dikenal dengan Enlightenment, yaitu suatu zaman
baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba
menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme
dengan empirisme. Zaman ini muncul dimana
manusia lahir dalam keadaan belum dewasa dalam
pemikiran filsafatnya. Namun setelah Immanuel Kant
mengadakan penyelidikan dan kritik terhadap peran
pengetahuan akal barula manusia terasa bebas dari
otoritas yang datang dari luar manusia demi
kemajuan peradaban manusia.
Pemberian nama ini juga dikarenakan pada
zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam
rasionya. Immanuel Kant mendefenisikan zaman itu
dengan
mengatakan,
“Dengan
Aufklarung
dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan
tidak balig yang dengannya ia sendiri bersalah.” Apa
sebabnya manusia itu sendiri yang bersalah? Karena
manusia itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan
yang ada padanya,yaitu rasio. Sebagai latar
belakangnya,manusia melihat adanya kemajuan ilmu
pengetahuan (ilmu pasti,biologi,filsafat dan sejarah)
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
211
telah mencapai hasil yang menggembirakan . Disisi
lain jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu
diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang
sejajar dengan ilmu pengetahuan alam.
Isaac Newton ( 1642-1727) memberikan
dasar-dasar berpikir dengan induksi,yaitu pemikiran
yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan
mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya
umum. Untuk itu dibutuhkan analisis. Dengan
demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru
dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah
dimulai sejak Renaissance dan Reformasi.
Para tokoh era Aufklarung ini juga
merancang program-program khusus diantaranya
adalah berjuang menentang dogma gereja dan
takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu
dan metode-metode rasional. Berikut ini akan
diuraikan masa pencerahan di 3 (Tiga) Negara Eropa
yaitu sebagai berikut.
a. Pencerahan di Jerman
Pada umumnya Pencerahan di Jerman
tidak begitu bermusuhan sikapnya terhadap
agama Kristen seperti yang terjadi di Perancis.
Memang orang juga berusaha menyerang dasardasar iman kepercayaan yang berdasarkan
wahyu, serta menggantinya dengan agama yang
berdasarkan perasaan yang bersifat pantheistic,
akan tetapi semuanya itu berjalan tanpa “perang’
terbuka. Yang menjadi pusat perhatian di Jerman
adalah etika. Orang bercita-cita untuk mengubah
ajaran kesusilaan yang berdasarkan wahyu
menjadi suatu kesusilaan yang berdasarkan
kebaikan
umum,
yang
dengan
jelas
menampakkan perhatian kepada perasaan. Sejak
semula pemikiran filsafat dipengaruhi oleh
gerakan rohani di Inggris dan di Perancis. Hal itu
mengakibatkan bahwa filsafat Jerman tidak berdiri
sendiri.
Para perintisnya di antaranya adalah
Samuel
Pufendorff
(1632-1694),
Christian
Thomasius (1655-1728). Akan tetapi pemimpin
yang sebenarnya di bidang filsafat adalah
Christian Wolff (1679-1754). la mengusahakan
agar filsafat menjadi suatu ilmu pengetahuan
yang pasti dan berguna, dengan mengusahakan
adanya pengertian-pengertian yang jelas dengan
bukti-bukti yang kuat. Penting sekali baginya
adalah susunan sistim filsafat yang bersifat
didaktis, gagasan-gagasan yang jelas dan
penguraian yang tegas. Dialah yang menciptakan
pengistilahan-pengistilahan filsafat dalam bahasa
Jerman dan menjadikan bahasa itu menjadi
serasi
bagi
pemikiran
ilmiah.
Karena
pekerjaannya itu filsafat menarik perhatian umum.
Pada dasarnya filsafatnya adalah suatu
usaha mensistimatisir pemikiran Leibniz dan
menerapkan pemikiran itu pada segala bidang
ilmu pengetahuan. Dalam bagian-bagian yang
kecil
memang
terdapat
penyimpanganpenyimpangan dari Leibniz. Hingga munculnya
Kant yang filsafatnya merajai universitasuniversitas di Jerman. Orang yang seolah-olah
212
dengan tiba-tiba menyempurnakan Pencerahan
adalah Immanuel Kant (1724-1804). Yang
merupakan Filsuf yang pengaruhnya terhadap
filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini,baik di
Barat maupun di Timur, hampir secara universal
diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa
Aristoteles.
Ada yang berpendapat bahwa filsafat
pada dua ratus tahun terakhir ini bagaikan catatan
kaki terhadap tulisan-tulisannya. Ada juga yang
berpendapat sistem filsafatnya bagi dunia modern
ini laksana Aristoteles bagi dunia skolastik: Kant
lahir di Konigserg, Prusia Timur,Jerman.Pikiranpikiran dan tulisan-tulisannya membawa revolusi
yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern.ia
hidup dizaman Scepticism Sebagian besar
hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari
logical process of thought (proses penalaran
logis), the external world (dunia eksternal) dan
reality of things (realitas segala yang wujud ).
Kehidupannya dalam dunia filsuf dibagi
dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman
kritis. Pada zaman pra-kritis ia menganut
pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff
dkk. Tetapi karena terpengaruh oleh David Hume
(
1711-1776),
berangsur-angsur
Kant
meninggalkan
rasionalisme.
Ia
sendiri
mengatakan
bahwa
Hume
itulah
yang
membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada
zaman kriitsnya , Kant merubah wajah filsafatnya
secara radikal. Dengan munculnya Kant
dimulailah zaman baru, sebab filsafatnya
mengantarkan suatu gagasan baru yang memberi
arah kepada segala pemikiran filsafat la sendiri
memang merasa, bahwa ia meneruskan
Pencerahan.
Karyanya yang terkenal dengan menampakkan
kritisismenya adalah Critique of Pure Reason ?.
(kritik atas rasio murni) yang membicarakan
tentang reason dan knowing process yang
ditulisnya selama lima belas tahun. Bukunya yang
kedua adalah Critique of Practical Reason atau
kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat
moralnya dan bukunya yang ketiga adalah
Critique of judgment atau kritik atas daya
pertimbangan.
Kant yang juga dikenal sebagai raksasa
pemikir Barat mengatakan bahwa, Filsafat
merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan
yang meliputi empat persolan yaitu: Apa yang
dapat kita ketahui ?, Apa yang boleh kita
lakukan?,Sampai dimanakah pengharapan kita?
Dan Apakah manusia itu?.
b. Pencerahan di Inggris
Di
Inggris
filsafat
Pencerahan
dikemukakan oleh ahli-ahli pikir yang bermacammacam keyakinannya. Kebanyakan ahli pikir yang
seorang lepas daripada yang lain, kecuali
tentunya beberapa aliran pokok. Salah satu gejala
Pencerahan di Inggris ialah yang disebut Deisme,
suatu aliran dalam filsafat Inggris pada abad ke18, yang menggabungkan diri dengan gagasan
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Eduard Herbert yang dapat disebut pemberi alas
ajaran agama alamiah.
Menurut Herbert, akal mempunyai
otonomi mutlak di bidang agama. Juga agama
Kristen ditaklukkan kepada akal. Atas dasar
pendapat ini ia menentang segala kepercayaan
yang berdasarkan wahyu. Terhadap segala
skeptisisme di bidang agama ia bermaksud
sekuat
mungkin
meneguhkan
kebenarankebenaran dasar alamiah dari agama. Dasar
pengetahuan di bidang agama adalah beberapa
pengertian umum yang pasti bagi semua orang
dan secara langsung tampak jelas karena naluri
alamiah, yang mendahului segala pengalaman
dalam pemikiran akal.
Ukuran kebenaran dan kepastiannya
adalah persetujuan umum segala manusia,
karena kesamaan akalnya. Isi pengetahuan itu
mengenai soal agama dan kesusilaan. Inilah
asas-asas pertama yang harus dijabarkan oleh
akal manusia sehingga tersusunlah agama
alamiah, yang berisi: a) bahwa ada tokoh yang
tertinggi; b) bahwa manusia harus berbakti
kepada tokoh yang tertinggi itu; c) bahwa bagian
pokok kebaktian ini adalah kebajikan dan
kesalehan; d) bahwa manusia karena tabiatnya
benci terhadap dosa dan yakin bahwa tiap
pelanggaran kesusilaan harus disesali; e) bahwa
kebaikan dan keadilan Allah memberikan pahala
dan hukuman kepada manusia di dalam hidup ini
dan di akhirat.
Menurut Herbert, di dalam segala agama
yang positif terdapat kebenaran-kebenaran pokok
dari agama alamiah. Pada akhir abad ke-17 dan
awal abad ke-18 pandangan Herbert ini
dikembangkan lebih lanjut, baik yang mengenai
unsur-unsurnya yang negatif maupun unsurunsurnya yang positif.
c. Pencerahan di Perancis
Pada abad ke-18 filsafat di Perancis
menimba gagasannya dari Inggris. Para pelopor
filsafat di Perancis sendiri (Descartes, dll) telah
dilupakan dan tidak dihargai lagi. Sekarang yang
menjadi guru mereka adalah Locke dan Newton.
Perbedaan antara filsafat Perancis dan
Inggris pada masa tersebut adalah: Di Inggris
para filsuf kurang berusaha untuk menjadikan
hasil pemikiran mereka dikenal oleh umum, akan
tetapi di Perancis keyakinan baru ini sejak semula
diberikan dalam bentuk populer. Akibatnya filsafat
di Perancis dapat ditangkap oleh golongan yang
lebih luas, yang tidak begitu terpelajar seperti
para filsuf. Hal ini menjadikan keyakinan baru itu
memasuki pandaangan umum. Demikianlah di
Perancis filsafat lebih eras dihubungkan dengan
hidup politik, sosial dan kebudayaan pada waktu
itu. Karena sifatnya yang populer itu maka filsafat
di Perancis pada waktu itu tidak begitu
mendalam. Agama Kristen diserang secara keras
sekali dengan memakai senjata yang diberikan
oleh Deisme. Sama halnya dengan di Inggris
demikian juga di Perancis terdapat bermacammacam aliran: ada golongan Ensiklopedi, yang
menyusun ilmu pengetahuan dalam bentuk
Ensiklopedi, dan ada golongan materialis, yang
meneruskan
asas
mekanisme
menjadi
materialisme semata-mata.
Diantara tokoh yang menjadi sentral
pembicaraan disini adalah Voltaire (1694-1778),
Pada tahun 1726 ia mengungsi ke Inggris. Di situ
ia berkenalan dengan teori-teori Locke dan
Newton. Apa yang telah diterimanya dari kedua
tokoh ini ialah: a) sampai di mana jangkauan akal
manusia, dan b) di mana letak batas-batas akal
manusia. Berdasarkan kedua hal itu ia membicarakan soal-soal agama alamiah dan etika.
Maksud tujuannya tidak lain ialah mengusahakan
agar hidup kemasyarakatan zamannya itu sesuai
dengan tuntutan akal. Mengenai jiwa dikatakan,
bahwa kita tidak mempunyai gagasan tentang
jiwa (pengaruh Locke).Yang kita amati hanyalah
gejala-gejala psikis. Pengetahuan kita tidak
sampai kepada adanya suatu substansi jiwa yang
berdiri sendiri.
Oleh karena agama dipandang sebagai
terbatas kepada beberapa perintah kesusilaan,
maka ia menentang segala dogma, dan
menentang agama. Di Perancis pada era
pencerahan ini juga ada Jean Jacques Rousseau
(1712-1778), yang telah memberikan penutupan
yang sistematis bagi cita-cita pencerahan di
Perancis. Sebenarnya ia menentang Pencerahan,
yang menurut dia, menyebarkan kesenian dan
ilmu pengetahuan yang umum, tanpa disertai
penilaian yang baik, dengan terlalu percaya
kepada pembaharuan umat manusia melalui
pengetahuan
dan
keadaban.
Sebenarnya
Rousseau adalah seorang filsuf yang bukan
menekankan kepada akal, melainkan kepada
perasaan dan subjektivitas. Akan tetapi di dalam
menghambakan diri kepada perasaan itu akalnya
yang tajam dipergunakan.
Terkait kebudayaan menurut Rousseau,
kebudayaan bertentangan dengan alam, sebab
kebudayaan merusak manusia. (Yang dimaksud
ialah kebudayaan yang berlebih-lebihan tanpa
terkendalikan dan yang serba semu, seperti yang
tampak di Perancis pada abad ke-18 itu.
Mengenai agama Rousseau berpendapat, bahwa
agama adalah urusan pribadi.
Harun Hadiwijono berkesimpulan bahwa
Pencerahan di Perancis memberikan senjata
rohani kepada revolusi Perancis. Aliran-aliran
yang muncul dimasa pencerahan adalah sebagai
berikut.
1. Kritisisme
Aliran ini dimulai di Inggris, kemudian
Prancis dan selanjutnya menyebar keseluruh
Eropa,terutama di Jerman. Di Jerman
pertentangan
antara
rasionalisme
dan
empirisme terus berlanjut. Masing-masing
berebut
otonomi.
Kemudian
timbul
masalah,siapah sebenarnya dikatakan sumber
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
213
pengetahuan? Apakah pengetahuan yang
benar itu lewat rasio atau empiris? Kant
mencoba menyelesaikan persoalan diatas.
Aliran Filsafat yang dkenal dengan
kritisisme adalah filsafat yang di introdusir oleh
Immanuel
Kant.
Filsafat
ini
memulai
pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas
kemampuan
rasio
sebagai
sumber
pengetahuan manusia. Pertentangan antara
rasionalisme dan empirisme dicoba untuk
diselesaikan oleh Kant dengan kritisismenya.
Adapun ciri-ciri kritisisme diantaranya adalah
sebagai berikut: (a) Menganggap bahwa objek
pengenalan itu berpusat pada subjek dan
bukan
pada
objek.
(b)
Menegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk
mengetahui realitas atau hakikat sesuatu;
rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya
atau fenomenya saja.
Tujuan filsafat kritis, Kant bermaksud
memugar sifat objektivitas dunia ilmu
pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana,
orang harus menghindarkan diri dari sifat
sepihak rasionalisme dan sifat sepihak
empirisme. Rasionalisme mengira telah
menemukan kunci bagi pembukaan realitas
pada diri subjeknya,lepas dari pengalaman.
Adapun empirisme mengira telah memperoleh
pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata
empirisme,sekalipun dimulai dengan ajaran
yang murni tentang pengalaman,tetap melalui
idealisme subjektif bermuara pada suatu
skeptisme yang radikal. Dalam hal ini Kant
bermaksud mengadakan penelitian yang kritis
terhadap rasio murni. Menurutnya, Syarat
dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah
:bersifat umum dan mutlak dan yang kedua
adalah
memberi
pengetahuan
baru.
Sedangkan menurut Hume, ada jurang yang
lebar antara kebenaran-kebenaran rasio murni
dengan realitas dalam dirinya sendiri.
Salah satu tujuan filsaft Kant yang
disebut
sebagai
filsafat
kritis,dengan
metodenya yang dikenal dengan sebutan
metode transendental, dimana pengetahuan
mencerminkan struktur kategoris pikiran,ialah
memberikan sebuah alternatif pembenaran
filosofis terhadap hasil-hasil Newton. Sistem
konsep-konsep yang dipakai dalam geometri
Euklidean dan fisika Newtonian secara unik
relevan bagi pengalaman aktual manusia.
2. Deisme
Deisme adalah suatu aliran yang
mengakui adanya yang menciptakan alam
semesta ini. Akan tetapi setelah dunia
diciptakan, Allah menyerahkan dunia kepada
nasibnya sendiri. Sebab Ia telah memasukkan
hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Maksud
aliran ini adalah menaklukkan wahyu Ilahi
beserta dengan kesaksian-kesaksiannya, yaitu
buku-buku Alkitab, kepada kritik akal serta
menjabarkan agama dari pengetahuan yang
214
alamiah, bebas dari segala ajaran Gereja.
Yang dipandang sebagai satu-satunya sumber
dan patokan kebenaran adalah akal.
Tokoh-tokoh yang mewakili aliran ini di
antaranya adalah John Toland (1670-1722),
yang menulis Christianity not mysterious
(1696), dan Matteh Tindal (1656-1733), yang
menulis Christianity as Old as Creation (1730).
Di bidang filsafat orang yang meneruskan
karya Locke di bidang metafisika adalah
George Berkeley (w1753), yang mempunyai
pangkal pikiran sama dengan Locke. Namun
kesimpulan-kesimpulannya berbeda dengan
kesimpulan-kesimpulan Locke, yaitu lebih
tajam, bahkan sering bertentangan dengan
Locke. Oleh karena itu Berkeley bermuara ke
dalam aliran idealisme, yang ia sendiri
menyebutnya
imaterialisme,
sebab
ia
menyangkal adanya suatu dunia yang ada di
luar kesadaran manusia.22 Keyakinannya
yang asasi adalah : a) segala realitas di luar
manusia tergantung kepada kesadaran; b)
tiada perbedaan antara dunia rohani dan dunia
bendawi; c) tiada perbedaan antara gagasan
pengalaman
batiniah
dan
gagasan
pengalaman lahiriah, sebab pengamatan
adalah identik dengan gagasan yang diamati;
d) tiada sesuatu yang berada kecuali roh, yang
dalam realitasnya yang konkrit adalah pribadipribadi atau tokoh-tokoh yang berpikir.
Pangkal pikiran Berkeley terdapat pada
pandangannya di bidang teori pengenalan.
Menurut dia segala pengetahuan bersandar
pada pengamatan. Pengamatan adalah identik
dengan gagasan yang diamati.
Orang yang mengembangkan filsafat
empirisme Locke dan Berkeley secara
konsekuen adalah David Hume (1711-1776).
Dalam soal teori pengenalan ia mengajarkan,
bahwa manusia tidak membawa pengetahuan
bawaan ke dalam hidupnya. Sumber
pengetahuan
adalah
pengamatan.
Pengamatan memberikan dua hal, yaitu:
kesan-kesan (impression) dan pengertianpengertian atau idea-idea (ideas).
Menurut Harun Hadiwijono pemikiran
Hume ini bersifat analitis, kritis dan skeptic. la
berpangkal kepada keyakinan, bahwa hanya
kesan-kesanlah yang pasti, jelas dan tidak
dapat diragukan. Dari situ ia sampai kepada
keyakin¬an, bahwa “aku” yang merupakan
substansi rohani termasuk alam khayalan.
Dunia hanya terdiri dari kesan-kesan yang
terpisah-pisah, yang tidak dapat disusun
secara obyektif sistematis, karena tiada
hubungan sebab-akibat di antara kesan-kesan
itu.
Demikianlah
tampak
ada
garis
yang
berkesinambungan atau kontinyu, yang dimulai dari
Locke, diteruskan oleh Berkeley dan sampai kepada
Hume. Pemikiran ketiga orang ini terlebih-lebih
diarahkan kepada ajaran tentang pengenalan.
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
D. Tradisi Pemikiran Ilmiah Zaman Modern
Kata modern menurut Hans Robert Jauss
(1964) dalam sebuah artikel berjudul “Asthetische
Normenund geschichtliche Reflecxion”, seperti
dikutip Habermas yang menyebutkan bahwa istilah
“modern” berasal dari bahasa Latin “modernus”
yang digunakan pertama kali pada akhir abad ke-5,
dan digunakan sebagai batas sejarah, yaitu antara
era Roma yang menyembah berhala (Pagan era)
dengan era Kristen yang menyembah Tuhan. Namun
sayangnya penjelasan secara etimologi ini tidak
menampakkan pengertian yang sesungguhnya dari
modernisme itu sendiri.
Istilah
modern
itu
sendiri
menurut
Featherstone, menegaskan arti yang bersifat
epochal. Modernisme secara umum dipandang ada
bersamaan dengan munculnya Renaissance dan
didefinisikan dalam hubungannya dengan zaman
kuno (Antiquity), sebagaimana yang tampak dalam
perdebatan antara Ancients (Kuno) dengan Moderns
(modern).
Munculnya
Renaissance
merupakan
bantingan terhadap perspektif kebudayaan di Barat
yang sama kerasnya dengan bantingan gambaran
sistem
planet
tradisional
oleh
Copernicus.
Renaissance menemukan serta menghargai kembali
kebudayaan pra-kristiani Yunani dan Romawi, tetapi
tidak dengan kembali ke alam kosmosentris mereka.
Bagi Renaissance, alam Yunani dan Romawi
membuka pandangan mereka tentang manusia.
Manusia ditempatkan ke dalam pusat. Lahirlah
humanisme dengan uomo universale, manusia
universal, sebagai cita-citanya. Statika paham
realitas sebagai tatapan alam semesta theosentris
yang
selaras
diganti
dengan
dinamika
perkembangan di mana manusia sebagai subjek
mengangkat kepalanya berhadapan dengan ciptaan
lain. Manusia telah kehilangan kepolosannya
sebagai salah satu warga alam raya. Ia tidak lagi
memahami diri sebagai musafir yang untuk beberapa
saat menjelajah dunia, sampai ia dipanggil kembali
oleh Yang Menempatkannya di situ, melainkan
sebagai homo faber, manusia yang melanjutkan dan
meneruskan penciptaan dunia. Manusia yang
melihat dunia sebagai tantangan dan tugasnya, yang
semakin yakin bahwa ia harus memberikan bentuk
dan capnya kepada dunia. Manusia bukan lagi salah
satu substansi dalam dunia, melainkan sebagai
subjek berhadapan dengan dunia.
Ada kesepakatan dalam semua lingkungan
pemikiran, bahwa modernisme merupakan satu
kekuatan terbesar dalam sejarah. Satu kekuatan
pemacu perkembangan peradaban umat manusia
yang
hampir
tidak
ada
presedennya
di masa lampau. Bumi yang hari ini dihuni adalah
sebuah planet yang terus bergejolak dengan
berbagai
perubahan
radikal,
menghadirkan
ketidakpastian
dalam
sebuah
krisis
besar
peradaban. Krisis yang konon bahkan jauh lebih
hebat daripada yang pernah terjadi pada Abad V
sebelum Masehi yang sempat menghasilkan para
rasul di Timur Tengah dan para filsuf di Yunani.
Krisis ini akhirnya justru memunculkan semangat
pencerahan
pertama
untuk
melakukan
demitologisasi. Modernisme telah membawa bagian
terbesar umat manusia ke dalam sebuah realitas
dunia yang tak terjangkau bahkan oleh mimpi-mimpi
paling liar manusia “primitif”.
Radikal dan pesatnya perkembangan
peradaban seperti itu, tak pelak lagi merupakan
prestasi
manusia
yang
berjejak
panjang.
Confusianisme, Budhisme, Ibrahimisme atau tafakurtafakur etik para filsuf Yunani sampai sekarang tetap
dianggap
sebagai
tonggak-tonggak
pertama
kegairahan umat manusia dalam memahami
dunianya secara lebih rasional. Jika sebelumnya
alam dianggap sebagai kekuasaan sejati di atas
manusia, maka agama telah memperkenalkan
konsepsi tentang Tuhan sebagai pemilik kekuasaan
absolut atas segala hal. Sementara alam adalah
ruang bagi manusia untuk mewujudkan eksistensi
keinsanannya. Subordinasi alam di bawah manusia
boleh jadi bermula dari sini.
Pendobrakan filosofis semacam itu pada
gilirannya mengakarkan bentuk relasi subjek
(rasio)-wacana-dunia. Manusia memahami dunia di
luar dirinya melalui wacana pengetahuan. Pada
Socrates atau para filsuf yang lain, wacana
pengetahuannya berupa kuriositas filosofis yang
pertama-tama mencoba menggoyahkan fondasi
keyakinan
terhadap
mitos-mitos
tradisional.
Sementara pada Ibrahim atau para rasul lainnya,
wacana tersebut berupa seperangkat postulat
transendental sebagai sebuah metode (rasional
kritis) untuk mendobrak dogma-dogma kepercayaan
pada benda-benda sebagai representasi Yang
absolut. Puncak keragu-raguan tersebut, boleh jadi
terjadi pada kesangsian yang dilontarkan René
Descartes. Pada yang terakhir ini, seperti halnya
pada diri Francis Bacon, keraguan diformulasikan
menjadi sebentuk usaha investivigasi metodologis
dalam
memeriksa
realitas
dunia.
Wacana
pengetahuan telah berkembang menjadi ilmu
pengetahuan tentang alam (ilmu alam).
Melalui proses modernisasi, berlangsung
suatu peristiwa mutasi historis jagat raya.
Kekhalifahan manusia, dalam arti sang penakluk vis
a vis dengan alam semesta, semakin dikukuhkan.
Pembenuman subjek manusia modern sebagai
penakluk semesta ini secara implisit telah
menggeser supremasi keyakinan teologis atas
kemahakuasaan
Tuhan
dalam
relasi-relasi
kehidupan. Sebab jika Tuhan sudah terwakilkan,
maka secara logis Ia boleh tidak ada dalam
penyelenggaraan kehidupan dunia. Artinya manusia
menjadi lebih bebas dalam merealisasikan
kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di
luar dirinya sendiri. Gaibnya Tuhan justru berarti
kesempatan tak terbatas bagi manusia untuk
menghidupi dunia. Manusia modern menjadi subjek
yang
otonom
karena
terputusnya
rantai
ketergantungan sekaligus ancaman keganasan
alam raya. Secara sederhana inilah yang menandai
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
215
mulai datangnya zaman “Pencerahan” (Aufklarung).
Satu masa dalam sejarah ketika manusia hendak
mengukuhkan klaim dirinya sebagai species yang
telah menjadi dewasa dan merdeka, karena telah
lepas dari buaian berbagai mitos tentang rahasia
dunia, yang membuatnya tidak pernah dewasa. Atau
paling tidak, menjadi sadar akan keharusannya untuk
memerdekakan diri. Telah datang satu zaman
Pencerahan akal budi yang paling gilang gemilang
menyinari sejarah peradaban umat manusia.
Sebagai ahli waris zaman Renaissance,
filsafat zaman modern itu bercorak, “antroposentris”.
Manusia menjadi pusat perhatian. Dalam zaman
Yunani dan Abad Pertengahan filsafat selalu
mencari “substansi”, prinsip induk yang “ada di
bawah” seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani
menemukan unsur-unsur kosmologis sebagai prinsip
induk (arché). Bagi pemikir abad Pertengahan,
Tuhan sendiri adalah prinsip ini. Namun dalam
zaman modern, peranan “substansi” diambil alih oleh
manusia
sebagai
“subjek”.
Yang
“terletak
di bawah” seluruh kenyataan kita, yang memikul
kenyataan, itu bukan suatu prinsip di luar kita
melainkan kita sendiri.
Pencerahan dalam wacana filsafat modern,
sebenarnya adalah sebuah proses “penyempurnaan”
secara kumulatif kualitas subjektivitas dengan segala
kemampuan objektif akal budinya dalam mencapai
satu tingkatan sosial yang disebut dengan
“kemajuan”. Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit
ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern
untuk mengukir sejarahnya sendiri di dunia suatu
proses self determinatioan.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmadi,Asmoro. 2003. Filsafat Umum. Jakarta:
RajaGrafindo Persada
Drajat,Amroeni & Suhrawardi. 2005. Kritik Filsafat
Peripatetik. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara
Gazalba,Sidi. 1992. Sistematika Filsafat. Jakarta:
Bulan Bintang
Kartenagara, Mulyadhi. 2005. Panorama Filsafat
Ilmu. Cet II; Bandung:Mizan Pustaka
Koentjaranigrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Palmouist, Stephen. 2003. The Tree of Philosophy.
Diterjemahkan oleh Muhammad Shodiq.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Praja.Juhaya. 2005. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika.
Cet II; Jakarta:Prenada Media
Ravertz,
R. Jerome.
2004. Filsafat Ilmu.
Diterjemahkan Saut Pasaribu Cet I
Yogykarta:Pustaka Pelajar
Suriasumantri R & Jujun S.1999. Ilmu dalam
Perspektif. Cet XIV. Jakarta:Yayasan Obor
Indonesia
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat. Jakarta. Bumi Aksara
E. Penutup
Sebagai
kontribusi
pemikiran
dari
pembahasan tulisan ini, melahirkan saran-saran
sebagai berikut.
1. Langkah-langkah untuk menentukan masa depan
peradaban manusia bukan sebagai suatu
jawaban terhadap kemungkinan perspektif dari
perkembangan kebutuhan manusia, namun juga
mempertimbangkan kelestarian habitat kehidupan
secara keseluruhan. Untuk itu kontemplasi
keilmuan memerlukan pandangan-pandangan
yang bersifat spiritual yang akan mampu
menerobos
kecongkakan
manusia
dan
partikularisasi pikiran itu sendiri.
2. Berbagai pandangan tentang ilmu dan teknologi
memang sepakat untuk menyatakan bahwa,
keduanya merupakan piranti kehidupan manusia
yang sangat proaktif. Namun untuk itu harus
diciptakan
keseimbangan-keseimbangan,
terutama dengan hadirnya kesadaran manusia
tentang kepribadian, moral ataupun etika yang
melihat permasalahan sosial secara holistik.
216
Wibisono, Koento. “Dampak Teknologi Terhadap
Kebudayaan” dalam Karim, Rusli, M. & Ridjal
Fauzi (Ed.). 1992. Dinamika Ekonomi dan
Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta:
Tiara Wacana
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Download