Kadar hematokrit dan trombosit sebagai indikator diagnosis infeksi

advertisement
J Kedokter Trisakti
April-Juni 2004, Vol.23 No.2
Kadar hematokrit dan trombosit sebagai indikator
diagnosis infeksi dengue primer dan sekunder
Pusparini
Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRAK
Virus dengue merupakan flavivirus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk dan merupakan arbovirus yang paling
sering dijumpai di daerah tropis dan subtropis di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Virus dengue menyebabkan
spektrum penyakit yang bervariasi dari infeksi yang tidak menimbulkan gejala sampai demam ringan dan dapat
menyebabkan gejala yang lebih berat seperti demam berdarah dengue (DBD) dan dengue syok sindrom (DSS). Telah
diketahui secara umum bahwa infeksi sekunder merupakan infeksi yang berisiko menimbulkan DBD dan DSS. Oleh
karena itu penting sekali dibedakan antara infeksi primer dan infeksi sekunder. Suatu studi potong lintang dilakukan
untuk mengetahui kadar hematokrit dan trombosit sebagai indikator infeksi dengue primer dan sekunder. Penelitian
ini mengikutsertakan penderita dengan DBD sebanyak 154 orang. Kriteria diagnosis DBD menurut WHO terdiri dari
kriteria klinis dan laboratorium. Pada kriteria laboratorium kadar hematokrit dan trombosit dipakai sebagai parameter
untuk menentukan diagnosis. Untuk membantu menegakkan diagnosis digunakan uji serologi dengan dengue blot.
Kadar hematokrit dan trombosit serta dengue blot ditentukan pada hari keempat demam. Hasil penelitian menunjukkan
kadar hematokrit tidak berbeda bermakna antara dengue primer dan sekunder sedangkan hitung trombosit menunjukkan
hasil yang berbeda bermakna (p=0,0000). Penelitian ini menunjukkan bahwa hitung trombosit lebih dapat dijadikan
acuan dalam menentukan penderita sebagai dengue primer atau sekunder dibandingkan kadar hematokrit.
Kata kunci : Dengue primer, sekunder, hematokrit, trombosit
Hematocrit and thrombocyte concentration as indicator for
diagnosis primary and secondary dengue infection
ASTRACT
Dengue virus is a mosquito-borne flavivirus and the most prevalent arbovirus in tropical and subtropical
regions of Asia, Africa, and South America. It causes a spectrum of illness, ranging from unapparent infection to
mild undifferentiated fever, and more severe form dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue shock syndrome (DSS).
It has been generally accepted that secondary dengue virus infection is a mayor risk factor for DHF/DSS. Therefore,
differentiation of primary versus secondary dengue virus is critical for clinical studies. A cross sectional study was
conducted to investigate the hematocrit and thrombocyte concentration as an indicator to diagnose primary and
secondary dengue infection. This study recruited 154 patients. Diagnosis criteria for DHF according to WHO
composed of clinical and laboratory criteria. Hematocrit and trombocyte are laboratory criteria which used for
diagnosis DHF. Dengue blot is common used for serologically confirmed DHF patient. Hematocrit, trombocyte and
dengue blot were examined in 4th days fever for all the study group. The result of this study showed that there was no
significant difference in hematocrit concentration in primary dengue as compared with secondary dengue. There
was a significant difference of trombocyte count between primary and secondary dengue (p=0,0000). This study
indicated that trombocyte count is more sensitive to diagnose primary or secondary dengue infection as compared
with hematocrit concentration.
Keywords : Primary dengue, secondary, hematocrit, thrombocyte
51
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan
penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
(arthropode borne virus). Penularan terjadi melalui
gigitan nyamuk A. aegypti atau A. albopictus.(1-3)
Terdapat 4 jenis virus dengue yaitu tipe 1,2,3 dan
4. Keempat jenis virus tersebut menyebabkan gejala
yang serupa antara lain demam, sakit kepala, nyeri
retroorbital dan mialgia. Demam ini dapat disertai
perdarahan, renjatan dan kematian.(2,3) Infeksi oleh
virus dengue dibedakan menjadi infeksi primer dan
sekunder. Pada infeksi primer, hanya dijumpai
gejala subklinis atau disertai demam sedangkan
infeksi sekunder dapat menimbulkan komplikasi
yang berat dan merupakan risiko terjadinya DBD
atau dengue syok sindrom (DSS).(1,4) Kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe yang homolog
muncul setelah infeksi primer. Menjadi hal yang
sangat penting untuk membedakan infeksi primer
dan sekunder karena dapat digunakan untuk tindak
lanjut penanganan penderita secara dini serta untuk
prognosis DBD/DSS.(12)
Viremia atau adanya virus dalam aliran darah
akan berlangsung selama 1 minggu. Pada awal
penyakit akan dibentuk imunoglobulin M (Ig M)
anti dengue, tetapi hanya dalam waktu singkat.
Selanjutnya akan dibentuk imunoglobulin G (Ig G).
Diagnosis laboratorium ditujukan untuk mendeteksi
antibodi spesifik dan mengisolasi serta
mengidentifikasi virus.(3-5) Metode yang saat ini
banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi.
Kelainan laboratorium lain yang ditemukan adalah
leukopenia dan trombositopenia. Bila terjadi
renjatan maka dapat terjadi peningkatan
hemoglobin maupun hematokrit.(6) Penderita yang
diduga demam dengue atau DBD biasanya
dianjurkan melakukan pemeriksaan hematologi
secara serial untuk mendeteksi secara dini
kemungkinan terjadinya renjatan atau perdarahan
yang lebih lanjut.(6)
Pada umumnya diagnosis DBD sulit
ditegakkan pada awal penyakit karena tanda dan
gejalanya yang tidak spesifik sehingga seringkali
sulit dibedakan dengan penyakit infeksi virus
influenza, campak atau demam typhoid. Case
fatality rate dapat diturunkan secara seksama
52
apabila penderita dengan DBD/DSS dapat
didiagnosis secara dini dan mendapatkan
penatalaksanaan klinis dengan baik.(3,5)
Diagnosis DBD dilakukan dengan melihat
gejala klinis dan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium yang saat ini dipakai untuk menunjang
diagnosis demam dengue baik primer maupun
sekunder adalah dengan menggunakan pemeriksaan
Ig M dan atau Ig G anti dengue karena dapat
diperoleh hasil yang cepat dan sensitivitas mirip
dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Pemeriksaan
ini cukup mahal. (5) Hematokrit dipakai untuk
menentukan derajat hemokonsentrasi seorang
penderita. Selain itu juga dipantau kadar trombosit
pada penderita demam berdarah.(3) Penelitian ini
bertujuan untuk menilai kadar hematokrit dan
trombosit sebagai indikator diagnosis infeksi
dengue.
METODE
Rancangan penelitian
Rancangan penelitian potong lintang (cross
sectional) digunakan untuk mencapai tujuan
penelitian.
Subyek penelitian
Sebanyak 154 penderita DBD diikutsertakan
pada penelitian ini. Kriteria inklusi adalah semua
penderita dengan diagnosis klinis DBD sesuai
kriteria WHO 1997 yang berobat di RS Atmajaya
periode Juni 2002 sampai dengan bulan Mei 2003,
dan kriteria eksklusi adalah anemia, dehidrasi, dan
diare. Diagnosis DBD didasarkan pada pedoman
diagnosis menurut WHO 1997 yang terdiri dari
kriteria klinis dan laboratoris.(7) Yang termasuk
kriteria klinis yaitu demam tinggi mendadak,
perdarahan termasuk uji bendung positif, petekia,
epistaksis, hematemesis, hepatomegali, syok yang
ditandai nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi
< 20 mmHg, atau hipotensi disertai gelisah dan akral
dingin. Yang termasuk kriteria laboratoris adalah
trombositopenia (≤ 100.000/uL), hemokonsentrasi
(kadar hematokrit ≥ 20% dari normal). Dua gejala
klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris
dianggap cukup untuk menegakkan diagnosis kerja
DBD.(7,8)
J Kedokter Trisakti
Vol.23 No.2
Laboratorium
Pada penelitian ini diambil 5 mL darah dengan
semprit steril dari vena kubiti. Tiga mL darah
dimasukkan ke dalam vacutainer berisi
antikoagulan ethylene diamine tetra acetate
(EDTA) untuk pemeriksaan hemoglobin, hematokrit
dan trombosit dengan menggunakan alat hitung
otomatis Sysmex KX 21. Sisa darah disentrifugasi
dengan kecepatan 3000 RPM selama 10 menit
untuk mendapatkan serum dan dilakukan
pemeriksaan terhadap dengue blot dengan
menggunakan kit dari Panbio. Penderita dengan
diagnosis DBD derajat dua dan tiga pada hari
keempat demam diambil sampel darahnya dan
dilakukan pemeriksaan hematologi dan dengue blot.
Bila hasil dengue blot Ig G positif dan Ig M negatif
atau Ig G positif dan Ig M positif penderita
dikelompokkan sebagai dengue sekunder. Bila hasil
dengue menunjukkan hasil Ig G negatif dan Ig M
positif penderita dikelompokkan sebagai dengue
primer.
Analisis data
Data disajikan dalam bentuk rata-rata dan
simpang baku atau sebagai persentase. Data kontinu
diuji menggunakan uji student t dan data diskret
dengan uji chi square. Perbedaan dianggap
bermakna pada tingkat kemaknaan p < 0,05.
HASIL
Karakteristik subyek
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengue blot
terdapat dua kategori penderita yaitu dengue primer
dan sekunder. Pada dengue primer terdapat 35 orang
pria dan 24 orang wanita sedangkan pada dengue
sekunder terdapat 45 orang pria dan 41orang wanita.
Lamanya menderita demam hampir sama pada
kedua kelompok (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik subyek berdasarkan usia
(tahun), jenis kelamin dan lamanya panas (hari)
Usia penderita DBD sangat bervariasi. Usia
termuda pada dengue primer adalah 6 bulan dan
tertua 54 tahun dengan usia terbanyak berkisar
antara 16-29 tahun (32,2%) pada pria dan 25,4%
pada wanita. Pada dengue sekunder usia juga
bervariasi antara yang termuda 1 tahun dan tertua
90 tahun dengan usia terbanyak berkisar antara 1629 tahun (24,4%) pada pria dan pada wanita
23,25% (Tabel 2).
Gambaran klinis subyek
Semua penderita (100%) mengalami demam.
Hasil uji Chi square menunjukkan kedua kelompok
dijumpai gejala klinis yang tidak berbeda seperti
nyeri kepala, mual, muntah, anoreksia, malaise,
mialgia, atralgia (p> 0,05). Sedangkan gejala mual,
muntah, anoreksia, perdarahan gusi, epistaksi,
hematemesis dan hematochezia lebih sering
dijumpai pada dengue sekunder (p< 0,05) (Tabel
3).
Tabel 2. Distribusi umur penderita dengue primer dan sekunder
53
Pusparini
Kadar hemotokrit dan trombosit
Tabel 3. Presentase klinis penderita dengue
primer dan sekunder
baik dengan perhitungan pada masing-masing jenis
kelamin maupun setelah digabung antara pria dan
wanita (Tabel 5).
PEMBAHASAN
* Nilai p < 0,05 dianggap berbeda bermakna
Laboratorium
Hasil pemeriksaan hematokrit dan trombosit
pada penderita DBD infeksi primer dan sekunder
dapat dilihat pada Tabel 4. Pada uji t menunjukkan
kadar hematokrit kelompok dengue primer dan
sekunder tidak berbeda bermakna antara (p=0,19).
Hitung trombosit menunjukkan hasil berbeda
bermakna antara kelompok dengue primer dan
sekunder (p= 0,00).
Pada dengue sekunder terdapat dua kategori
berdasarkan hasil pemeriksaan dengue blot yaitu
dengue blot dengan hasil Ig G+ dan Ig M- dan Ig
G+ dan Ig M+. Hasil pemeriksaan hematokrit dan
trombosit pada kedua kelompok menunjukkan hasil
yang tidak berbeda bermakna (p= 0,83 dan p=0,68),
Kadar hematokrit dan trombosit pada
penderita DBD infeksi primer dan sekunder kedua
kelompok tidak berbeda bermakna. Hal ini
menunjukkan kadar hematokrit tidak dapat
dijadikan acuan untuk membedakan dengue primer
dan sekunder. Hal ini karena penderita yang
dimasukkan dalam kelompok penelitian adalah
penderita DBD derajat dua dan tiga, mungkin
diperlukan kelompok dengan syok sehingga dapat
dilihat perbedaan kadar hematokritnya. Nilai
hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari
ketiga dari perjalanan penyakit dan makin
meningkat sesuai dengan proses perjalanan penyakit
DBD. Peningkatan hematokrit merupakan
manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi akibat
kebocoran plasma ke ruang ekstravaskuler disertai
efusi cairan serosa, melalui kapiler yang rusak.
Akibat kebocoran ini volume plasma menjadi
berkurang yang dapat mengakibatkan terjadinya
syok hipovolemik dan kegagalan sirkulasi. Pada
kasus-kasus berat yang telah disertai perdarahan,
umumnya nilai hematokrit tidak meningkat, bahkan
menurun. Kriteria tolakan pada penelitian ini seperti
diare dan dehidrasi digunakan untuk menghindari
adanya keadaan hemokonsentrasi yang akan
mempengaruhi kadar hematokrit.(6,9,10)
Tabel 4. Kadar hematokrit dan trombosit pada penderita dengue primer dan sekunder
** nilai p < 0,05 berbeda bermakna
54
J Kedokter Trisakti
Vol.23 No.2
Tabel 5. Hasil pemeriksaan laboratorium pada penderita dengue sekunder
dengan Ig G+, Ig M– dan Ig G+, Ig M+
p < 0,05 berbeda makna
Peningkatan nilai hematokrit atau
hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD,
merupakan indikator yang peka akan terjadinya
perembesan plasma. Pada umumnya penurunan
trombosit mendahului peningkatan hematokrit.
Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit
20% atau lebih (misalnya dari 35% menjadi 42%)
mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler
dan perembesan plasma. Nilai hematokrit
dipengaruhi oleh penggantian cairan atau
perdarahan.(2,6,10)
Pada penelitian ini hitung trombosit pada
penderita dengue sekunder lebih rendah secara
bermakna dengan nilai rata-rata 62.240/uL
dibandingkan pada dengue primer dengan nilai ratarata 83.720/uL. Ambang batas hitung trombosit
tidak dapat ditentukan untuk dengue primer dan
sekunder. Untuk hal ini diperlukan jumlah sampel
yang lebih besar. Jadi pada dengue sekunder
ditemukan hitung trombosit yang lebih rendah dari
dengue primer, hal ini sesuai dengan manifestasi
klinis yang lebih berat pada dengue sekunder
daripada dengue primer.
Berdasarkan penelitian ini tidak terdapat
perbedaan jenis kelamin penderita. Hal ini sesuai
dengan laporan Soedarmo bahwa tidak terdapat
perbedaan jenis kelamin penderita, tetapi kematian
lebih besar pada anak perempuan dibandingkan
anak laki-laki.(1,11)
Umur penderita DBD yang ada dalam
penelitian ini sangat bervariasi. Usia yang terbanyak
pada dengue primer adalah antara 16-29 tahun
sebanyak 32,2% pada pria dan usia 16-29 tahun
pada wanita sebanyak 25,4%. Pada dengue
sekunder usia juga bervariasi dengan usia yang
terbanyak antara 16-29 tahun sebanyak 24,4% dan
pada wanita sebanyak 23,25% (Tabel 2). Hasil
penelitian ini sesuai dengan laporan dari Direktorat
Jendral PPM & PLP Depkes RI yang menunjukkan
bahwa sejak tahun 1984 proporsi penderita DBD
yang berumur lebih dari 15 tahun meningkat. Pada
awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi
umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak
dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun
(86-95%). Namun, pada wabah-wabah selanjutnya,
jumlah penderita yang digolongkan dalam golongan
usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia
penderita DBD terbanyak ialah anak berumur 5-14
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi
pergeseran usia penderita DBD ke usia yang lebih
tua. Pergeseran usia ini mungkin disebabkan
perubahan habitat nyamuk atau banyaknya orang
usia kelompok ini yang berada di rumah pada siang
hari.(5,11)
Pada dengue sekunder terdapat dua kategori
hasil dengue blot yaitu dengue blot dengan hasil Ig
G+ dan Ig M- dan Ig G+ dan Ig M+. Hasil
pemeriksaan hematokrit dan trombosit pada kedua
kelompok menunjukkan hasil yang tidak berbeda
bermakna, baik dengan perhitungan pada masingmasing jenis kelamin maupun setelah digabung
antara pria dan wanita. Hal ini sesuai dengan
penelitian Aryati(4) bahwa hasil pemeriksaan Ig G
yang positif baik dengan atau tanpa disertai Ig M
yang positif sudah dapat menyatakan dengue
sekunder. Kemungkinan terjadinya reaksi silang
sangat kecil.
55
Pusparini
KESIMPULAN
Gejala klinis pada dengue primer dan sekunder
hampir sama tetapi pada dengue sekunder gejala
perdarahan lebih sering dijumpai. Kadar hematokrit
tidak dapat dijadikan pedoman untuk membedakan
dengue primer dan sekunder. Kadar trombosit
berbeda bermakna pada dengue primer
dibandingkan dengan dengue sekunder, sehingga
mengacu pada penelitian ini kadar trombosit lebih
dapat dijadikan acuan untuk menentukan dengue
primer atau sekunder dibandingkan dengan kadar
hematokrit.
Kadar hemotokrit dan trombosit
3.
4.
5.
6.
SARAN
Perlu penelitian lanjutan terutama untuk
penderita DBD dengan derajat yang lebih berat
seperti DBD dengan syok untuk melihat apakah
pada keadaan demikian kadar hematokrit lebih
berperan.
Daftar Pustaka
1.
2.
56
Suroso T, Umar AI. Epidemiologi dan
penanggulangan penyakit demam berdarah dengue
di Indonesia saat ini. Dalam: Hadinegoro SRH,
Satari HI, editors. Demam berdarah dengue. 1st ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000. p. 14-39.
Hadinegoro SR. Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso
T. Tatalaksana demam berdarah/demam berdarah
dengue pada anak. Dalam: Hadinegoro SRH, Satari
HI, editors. Demam berdarah dengue. 1st ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2000. p. 80-97.
7.
8.
9.
10.
11.
Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam
berdarah dengue. Dalam: Hadinegoro SRH, Satari
HI, editors. Demam berdarah dengue. 1st ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2000. p. 32-43.
Aryati. Nilai diagnostik dengue rapid test untuk
diagnosis demam berdarah dengue. Konggres
Nasional IV Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi
Klinik Indonesia 2001.
Wuryadi S. Diagnosis laboratorium infeksi virus
dengue. Dalam: Hadinegoro SRH, Satari HI, editors.
Demam berdarah dengue. 1st ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2000. p. 55-62.
Gatot D. Perubahan hematologi pada infeksi dengue.
Dalam: Hadinegoro SRH, Satari HI, editors. Demam
berdarah dengue. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2000. p. 44-54.
World Health Organization. Dengue hemorrhagic
fever: diagnosis, treatment, prevention and control.
2nd ed. Geneva World Health Organization, 1997.
Fakeeh M, Zaki AM. Virologic and serologic
surveillance for dengue fever in Jeddah, Saudi
Arabia, 1994-1999. Am J Trop Med Hyg 2001; 65:
764-7.
Hendarwanto. Dengue. Dalam: Sjaifoellah N, editor.
Buku ajar penyakit dalam. Jilid I. 3rd ed. Jakarta:
Balai penerbit FKUI; 1997. p. 417-26.
Krisnamurti C, Kalayanarooj S, Cutting MA, Peat
RA, Rothwell SW, Reid TJ, et al. Mechanism of
hemorrhage in dengue without circulatory collapse.
Am J Trop Med Hyg 2001; 65: 840-7.
Soedarmono SP. Masalah demam berdarah dengue
di Indonesia. Dalam: Hadinegoro SRH, Satari HI,
editors. Demam berdarah dengue. 1st ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2000. p. 1-12.
Download