BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Efek Fotolistrik
Pada tahun 1899 J.J Thomson menemukan bahwa pada beberapa kondisi
elektron
terpancar
dari
permukaan
logam
ketika
diberikan
radiasi
elektromagnetik. Gejala ini sebenarnya pernah ditemukan sebelumnya oleh dua
orang ilmuwan yaitu H. Hertz 1887 yang menemukan adanya partikel bermuatan
yang lepas dari permukaan logam saat dikenai berkas cahaya, pada saat itu Hertz
belum bisa menjelaskan mengenai partikel bermuatan tersebut. Ilmuwan lainnya
adalah Lenard yang pada 1898 menemukan bahwa muatan dan massa partikel
yang terpancar dari logam tersebut mirip dengan muatan dan massa elektron.
Fenomena ini kemudian dikenal dengan peristiwa Efek Fotolistrik. Tiga tahun
kemudian yaitu 1902 P. Lenard mempelajari bahwa saat keluar dari logam
elektron memiliki kecepatan tertentu serta energi yang dimiliki elektron ini tidak
bergantung pada intensitas cahaya. Ini adalah hal yang tidak diduga sebelumnya.
Peningkatan intensitas hanya mengakibatkan meningkatnya jumlah elektron yang
teremisi, dan sama sekali tidak mengubah energi elektron1). Dia juga menemukan
bahwa energi maksimum elektron sangat bergantung pada panjang gelombang
cahaya, dan jika panjang gelombang lebih pendek (frekuensi cahaya yang lebih
besar) akan menghasilkan energi maksimum elektron yang lebih besar.
Fenomena ini tentunya merupakan kenyataan yang sulit dijelaskan oleh
konsep Fisika Klasik yang memandang cahaya sebagai sebuah gelombang
elektromagnetik (Maxwell). Beberapa hal dari peristiwa efek fotolistrik ini yang
tidak dapat dijelaskan dengan tinjauan Fisika Klasik adalah:
1. Kenyataan bahwa energi kinetik maksimum elektron yang teremisi tidak
bergantung pada intensitas cahaya yang terpancar. Dalam teori Maxwell
tentang cahaya sebagai gelombang elektromagnetik, energi gelombang akan
berbanding lurus dengan intensitas, artinya saat intensitas cahaya ditingkatkan
maka energi gelombang cahaya pun akan semakin besar. Dalam peristiwa efek
fotolistrik hal ini menyebabkan elektron akan menyerap energi semakin
banyak sehingga energi kinetik elektron semakin besar. Tetapi pada
kenyataannya gejala ini tidak ditemukan dalam peristiwa efek fotolistrik.
2. Adanya hubungan linier antara besar energi kinetik elektron dengan frekuensi
cahaya. Dalam teori Fisika Klasik dikatakan bahwa energi suatu gelombang
berbanding lurus dengan kuadrat frekuensinyal, sehingga menurut teori ini
semestinya ketika frekuensi cahaya yang dipancarkan ditingkatkan secara
linier maka energi cahaya yang diserap elektron pun akan meningkat secara
kuadratik. Tetapi kenyataannya energi kinetik maksimum elektron dalam
peristiwa efek fotolistrik memiliki hubungan yang linier terhadap frekuensi
cahaya.
3. Proses pelepasan elektron dari logam dengan selang waktu yang relatif
spontan, hampir tidak ada selang waktu, yaitu membutuhkan waktu kurang
dari 10-9 detik antara proses penyinaran dengan lepasnya elektron dari logam.
Apabila kita memandang cahaya sebagai gelombang, maka kita akan
memahami bahwa proses pelepasan elektron dari logam adalah diawali dengan
proses penyerapan energi gelombang melalui vibrasi, sehingga semestinya
peristiwa elektron yang terpancar dari logam bukanlah peristiwa yang spontan.
Semua misteri ini kemudian mulai terjawab ketika Einstein, 1905,
memperkenalkan mengenai sifat cahaya sebagai partikel diskrit yang memiliki
energi sebesar E = h? dengan ? dalah frekuensi cahaya. Sehingga dengan teori ini,
peristiwa efek fotolistrik tidak lagi dijelaskan sebagai interaksi gelombang dengan
partikel tetapi merupakan interaksi partikel dengan partikel. Yaitu partikel cahaya
dengan elektron pada logam. Partikel cahaya ini kemudia dikenal sebagai foton,
yaitu partikel yang merupakan paket energi cahaya.
Jadi sekarang dapat difahami bahwa energi foton yang diserap elektron ini
digunakan elektron untuk ‘membebaskan’ diri dari atom sehingga dia terlepas dari
atom dan bergerak dengan sisa energi yang dimilikinya. Pernyataan ini secara
matematis dapat ditulis dengan cara berikut:
E foton
h
Dimana W0
h
o
Wo
E kinetik
2-1
h
EK
2-2
o
energi ambang logam emiter,
h = konstanta Planck = 6,63.10-34Js
? = frekuensi cahaya dan
?o = frekuensi ambang, yaitu frekuensi minimum cahaya agar elektron
dapat terlepas dari logam.
Dari persamaan ini dapat kita lihat hubungan linier antara energi kinetik
elektron dengan frekuensi cahaya yang dalam uraian di atas tidak dapat dijelaskan
dengan teori Fisika Klasik.
Einstein sangat terkenal dengan teori relativitasnya, tetapi justru berhasil
mendapatkan hadiah Nobelnya pada tahun 1921 karena penelitiannya tentang efek
Fotolistrik. Einstein menyelesaikan paper yang menjelaskan efek fotolistrik ini
pada tanggal 17 Maret 1905 dan mengirimkannya ke jurnal Annalen der Physik.
Di dalam paper tersebut Einstein untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah
kuantum (paket) cahaya. Pada pendahuluan paper ia memberikan argumentasi
bahwa proses-proses seperti radiasi benda hitam, fotoluminesens, dan produksi
sinar katoda, hanya dapat dijelaskan jika energi cahaya tersebut tidak terdistribusi
secara kontinyu2).
Penemuan teori efek fotolistrik ini ternyata menjadi latar belakang lahirnya
fisika modern yang memiliki beberapa ketidaksesuaian dengan asumsi-asumsi
fisika yang selama itu diyakini kebenarannya. Salah satunya adalah teori Maxwell
yang berhasil memadukan fenomena listrik-magnet hingga sampai pada
kesimpulan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Selanjutnya adalah
Robert Millikan, setelah 11 tahun kemudian yaitu 1916 akhirnya berhasil
membuktikan
hipotesis
Einstein.
Bersamaan
dengan
itu
Einstein
mempublikasikan papernya berjudul Teori Kuantum Cahaya yang menjelaskan
proses emisi dan absorpsi paket cahaya dalam molekul, serta menghitung peluang
emisi spontan dan emisi yang diinduksi yang selanjutnya dikenal sebagai
koefisien Einstein A dan B. Kedua koefisien ini bermanfaat dalam menjelaskan
secara teoretis penemuan laser di kemudian hari. Tujuh tahun kemudian Arthur
Compton berhasil membuat eksperimen yang membuktikan sifat kuantum cahaya
tersebut dengan bantuan teori relativitas khusus. Selain itu, ide Einstein ini juga
memicu Louis de Broglie menelurkan konsep gelombang materi. Konsep ini
menyatakan benda yang bergerak dapat dianggap sebagai suatu gelombang
dengan panjang gelombang berbanding terbalik terhadap momentumnya.
Sederhananya, ide de Broglie ini merupakan kebalikan dari ide Einstein. Kedua
ide ini selanjutnya membantu melahirkan mekanika kuantum melalui persamaan
Schrodinger yang menandai berakhirnya masa fisika klasik2).
2.2 Peristiwa Efek Fotolistrik
Efek fotolistrik merupakan proses perubahan sifat-sifat konduksi listrik di
dalam material karena pengaruh cahaya atau gelombang elektromagnetik lain.
Efek ini mengakibatkan terciptanya pasangan elektron dan hole di dalam
semikonduktor, atau pancaran elektron bebas dan ion yang tertinggal di dalam
metal. Fenomena pertama dikenal sebagai efek fotolistrik internal, sedangkan
fenomena kedua disebut efek fotolistrik eksternal2).
Ketika cahaya menumbuk permukaan suatu logam, hal ini dapat
membebaskan elektron dari permukaan logam tersebut. Peristiwa ini kita kenal
sebagai efek fotolistrik.
Gambar II.1
Proses pelepasan elektron dari atom setelah menerima
energi foton
Ketika foton ditembakan kepada sebuah atom maka energi foton tersebut
akan diserap elektron sehingga elektron tersebut mempunyai energi untuk
melepaskan diri dari atom
Seperti dijelaskan diatas, bahwa energi maksimum yang dimiliki elektron
sangat bergantung pada panjang gelombang cahaya yang kita gunakan. Semakin
kecil panjang gelombang berarti semakin besar energi foton, maka energi kinetik
elektron pun semakin besar. Tetapi hal ini sama sekali tidak mempengaruhi pada
berapa banyak jumlah elektron yang teremisikan. Yang cukup menarik juga
adalah, jika panjang gelombang ini tidak cukup pendek untuk nilai tertentu, maka
tidak akan satu elektron pun yang dapat lepas dari permukaan logam. Seperti
ditunjukan oleh gambar 2 berikut.
Gambar II.2
Energi kinetik elektron
gelombang foton
berkaitan
dengan
panjang
Pada nilai panjang gelombang yang besar maka tidak ada elektron yang lepas. Kecepatan
elektron (sebanding dengan energi kinetik) semakim besar saat lamda semakin pendek.
Energi foton yang menumbuk permukaan logam (emiter) akan diserap
elektron valensi logam dan digunakan untuk melepaskan diri kemudian bergerak
dengan sisa energi yang didapatkannya. Sehingga dapat dinyatakan seperti dalam
persamaan 2-1 diatas.
E foton
Wo
E kinetik
Dengan Wo adalah energi ambang (fungsi kerja logam/energi ikat elektron valensi
terhadap atom). Dapat juga dinyatakan dengan persamaan 2-2.
hv
hvo
EK
h adalah konstanta Planck yang dari literatur sudah diketahui melalui percobaan
efek fotolistrik yang sudah dilakukan adalah sebesar 6,626x10-34Js. Nilai
konstanta ini dapat kita hitung dengan melakukan percobaan menggunakan
rangkaiannya akan dibuat dalam Tugas Akhir ini. Dalam ungkapan lain dapat
ditulis dalam persamaan:
hc
hc
EK
2-3
o
Secara umum kita akan mendapat grafik sebagai berikut:
E Kinetik (Joule)
E Kinetik
h
0
?o
?(Hz)
Wo
Gambar II.3
Grafik Energi Kinetik terhadap frekuensi
Energi kinetik elektron yang teremisi memiliki hubungan linier terhadap frekuensi foton
2.3 Light Emitting Diode (LED)
Light Emitting Diode (LED) adalah semikonduktor yang memancarkan
cahaya monokromatik yang tidak koheren ketika diberi tegangan maju. Seperti
layaknya dioda biasa, sebuah LED terdiri dari sebuah chip bahan semikonduktor
yang diisi penuh dengan ketidakmurnian untuk menciptakan struktur yang disebut
p-n junction. Pembawa muatan elektron dan hole mengalir ke junction dari
elektroda dengan tegangan berbeda. Ketika elektron bertemu dengan hole maka
elektron akan turun ketingkat energi yang lebih rendah sambil memancarkan
energi.
Bahan semikonduktor adalah bahan yang memiliki sifat konduksi antara
konduktor dan insulator. Perbedaan sifat konduksi ini bergantung pada keadaan
ikatan antara atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul tersebut. Dan ikatanikatan ini sangat dipengaruhi jumlah elektron valensi atom penyusunnya. Unsur
yang paling sering digunakan untuk menggambarkan keadaan mikroskopik suatu
semikonduktor adalah silikon.
Gambar II.4
Ikatan kovalen pada Silikon
Silikon merupakan unsur golongan IVA (mempunyai 4 elektron
valensi) dan berikatan kovalen antar masing-masing atomnya.
Ketika elektron mendapatkan energi thermal atau energi dari sebuah foton,
maka dia akan melepaskan diri dari ikatan inti dan berperan sebagai elektron
bebas pambawa muatan negatif serta meninggalkan hole yang dapat kita sebut
sebagai pembawa muatan positif. Dalam keadaan seperti ini muatan unsur secara
keseluruhan tidak berubah (tetap netral).
Untuk mendapatkan pembawa muatan yang lebih banyak lagi dalam
sebuah unsur, maka biasanya kita mencampur bahan silikon ini dengan unsur lain,
yang kemudian semikonduktor ini kita sebut semikonduktor ekstrinsik, terdiri dari
type n dan type p. Untuk mendapat semikonduktor tipe n dilakukan dengan cara
mencampur silikon dengan atom yang memiliki 5 elektron valensi (disebut atom
donor).
Gambar II.5
Semikonduktor tipe n
Dengan adanya sisa elektron yang
bebas ini mengakibatkan semakin
banyaknya pembawa muatan negatif,
sehingga semikonduktor tipe ini disebut
semikonduktor tipe n.
Sedangkan untuk mendapat semikonduktor tipe p, silikon biasanya
dicampur dengan atom yang memiliki 3 elektron valensi (disebut atom aseptor).
Hal ini mengakibatkan munculkan hole sebagai pembawa muatan negatif.
Gambar II.6
Semikonduktor tipe p
. Karena atom aseptor ini
hanya memiliki 3 elektron valensi, maka
ketika berikatan dengan silikon akan
menyisakan elektron yang tidak
berpasangan, dan mengakibatkan
munculnya hole sebagai pembawa
muatan positif.
LED merupakan komponen elektronik penghasil cahaya yang dihasilkan
dari elektron yang bergerak mengisi hole. Bagian katoda pada LED dibuat dari
semikonduktor tipe n dan bagian anoda dibuat dari semikonduktor tipe p. Pada
saat katoda diberi arus negatif maka elektron akan begerak dari katoda mengisi
hole pada anoda sambil memancarkan energi berupa foton. Energi foton yang
dipancarkan bergantung pada tingkat energi elektron yang berkaitan dengan jenis
unsur yang kita gunakan. Dengan demikian perbedaan unsur yang digunakan
sebagai semikonduktor akan berpengaruh pada panjang gelombang cahaya yang
dipancarkan. Dan untuk spektrum cahaya tampak perbedaan panjang gelombang
ini akan terlihat dari perbedaan warna cahaya yang dipancarkan.
Gambar II.7
Pita energi dalam semikonduktor
Dalam semikonduktor pita valensi dan pita konduksi memiliki beda energi yang tidak
terlalu besar, sehingga pada saat diberi arus positif dengan mudah elektron akan turun ke
tingkat energi lebih rendah sambil memancarkan energi berupa foton.
Rangkaian Light Emitting Diode (LED)
Dalam membuat rangkaian LED ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Kaki positif dan negatif LED
Kaki-kaki pada LED harus dihubungkan dengan cara yang benar. Kaki
katoda harus kita berikan tegangan negatif sementara anoda kita pasang pada
tegangan positif. Untuk membedakan kaki anoda dan katoda dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
Gambar II.8
Skema LED
Anoda memiliki kaki yang lebih panjang dari katoda.
Kaki yang panjang adalah kaki anoda sedangkan kaki yang lebih pendek
adalah kaki katoda. Cara lain untuk membedakan kaki anoda dan katoda adalah
dengan melihat ukuran logam kedua elektroda ini. Biasanya ukuran logam katoda
lebih besar daripada anoda. Hal yang tidak kalah penting dalam pemasangan kakikaki LED pada rangkaian adalah mengontrol suhu pada saat proses penyolderan,
karena apabila suhu telalu tinggi, hal ini dapat mengakibatkan kerusakan pada
LED.
2. Mengatur tegangan dan arus pada LED
Seperti dijelaskan diatas bahwa setiap LED dengan warna berbeda
biasanya membutuhkan besar tegangan (VL) yang berbeda-beda. Sehingga untuk
merangkai LED pada sumber tertentu dibutuhkan rangkaian seperti gambar
dibawah.
Resistor R biasanya dipasang untuk
menyesuaikan tegangan yang terima
LED agar sesuai dengan tegangan
maksimum yang diperbolehkan. Untuk
menentukan besar resistor yang harus
dipasang digunakan persamaan berikut:
Gambar II.9
Merangkai LED
Resistor dalam rangkaian ini berfungsi untuk
mengatur tegangan LED agar tidak melebihi nilai
maksimum
R
VS VL
I
2-4
Dimana:
Vs = tegangan sumber
VL = tegangan maksimum LED yang diperbolehkan
I = besar arus LED (harus lebih kecil dari tegangan maksimum yang
diperbolehkan)
3. Rangkaian seri dan parallel untuk LED
Untuk menyalakan beberapa LED pada waktu yang bersamaan, disarankan
LED dipasang dalam rangkaian seri seperti pada gambar dibawah ini:
Hal ini memungkinkan setiap
LED mendapatkan besar arus yang
sama sehingga semua LED ini akan
menyala baik apabila LED-LED ini
merupakan type yang sama. Dan
tentunya
sumber
tegangan
harus
memiliki nilai tegang yang mencukupu
Gambar II.10
semua LED.
Rangkaian LED seri
Besar resistor disesuaikan dengan tegangan total
semua LED
Untuk menentukan besar resistor yang harus dipasang, dihitung dengan
persamaan diatas, tetapi besar VL dalam hal ini merupakan tegangan total yang
dibutuhkan oleh semua LED.
VL
VL1 VL 2 VL 3
...
2-5
Merangkai beberapa LED dengan cara parallel dengan hanya memasang
satu resistor pada umumnya sangat tidak disarankan, karena dalam keadaan
seperti ini LED yang memiliki tegangan VL terkecil akan menyala dengan terang
kemudian terbakar disebabkan arus yang mengalir terlalu besar. Apabila yang
diperlukan rangkaian yang parallel maka masing-masing LED harus diberi
hambatan yang sesuai.
Gambar II.11
Rangkaian LED parallel
Dalam keadaan ini arus pada LED yang memiliki resistansi rendah akan
mendapat arus terbesar sehingga dapat mengakibatkan kerusakan atau
terang yang tidak merata
Download