ETIKA PERSEMBAHYANGAN PURNAMA DAN TILEM DI PURA AGUNG MUNCAK SARI DUSUN II PULUK-PULUK SARI DESA BERABAN KECAMATAN BALINGGI KABUPATEN PARIGI MOUTONG N L. Ayu Eka Damayanti Program Studi Pendidikan Agama Hindu STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah Email: [email protected] ABSTRAK Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Kalau salah satu dari ketiga aspek tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, maka tujuan Agama Hindu tidak akan tercapai dengan sempurna. Sehingga dalam setiap melaksanakan aktivitas Agama Hindu terutama dalam hal yadnya atau persembahyangan suci tentu tidak pernah lepas dari konsep tri kerangka dasar Agama Hindu. Namun pada kenyataan etika masyarakat Dusun II Puluk-Puluk Sari dalam melaksanakan upacara persembahyangan belum sesuai dengan apa yang diharapkan sesuai dengan konsep tri kerangka dasar Agama Hindu. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah Etika Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong?, (2) Nilai-nilai Etika apakah yang terdapat dalam perembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong? Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran bagaimana Etika Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif dengan sumber data primer sebagai sumber langsung, dan sumber data sekunder adalah sumber tidak langsung. Dalam penelitian ini pemilihan informan dilakukan dengan cara Purposive Sampling. Dengan metode pengumpulan data Observasi, Wawancara, Studi Kepustakaan, dan Dokumentasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini mencakup tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1) Etika Persembahyangan Purnama dan Tilem Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai ajaran etika dalam melaksanakan persembahyangan seperti sikap duduk yang benar, nunas tirtha yang baik, dalam berbusana dan etika berbicara. 2) Nilai-nilai Etika yang terdapat dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari nilai etika tata krama dan nilai etika kesopanan. Kata kunci: Etika, Nilai, persembahyangan, Purnama dan Tilem. ketentraman dan kebahagian hidup yang sejati 1. Pendahuluan Agama hindu merupakan agama yang tertua di dunia, ajaran-ajaranya bersumber pada kitab suci veda yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa. dharma. Agama hindu dikatakan agama yang lues seorang dan fleksibel. Ini di karnakan agama hindu secara mantap mengikuti semua ajaran agama menyesuaikan dengan sistem desa, kala dan yang bersumber pada sabda suci Tuhan Yang patra. Pada zaman ini sangat sulit untuk Maha menemukan orang yang berbudi pekerti luhur, Esa itu, maka Bila yang disebut moksartam jagaditha ya ca iti akan diperoleh WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 67 oleh karna itu harus selalu menanamkan ajaran upakara dupa, bunga, kwangen, canang dan agama Hindu pada anak ataupun umat Hindu. lain sebagainya sudah diketahui oleh sebagian Seperti besar masyarakat Dusun II Puluk-Puluk Sari. dalam keagamaan tidak melaksanakan lepas dari upacara konsep tri Sesuai hasil observasi yang dilakukan kerangka dasar agama Hindu, yaitu tatwa, oleh peneliti di Dusun II Puluk-Puluk Sari susila, dan upacara. etika masyarakat Dusun II Puluk-Puluk Sari Persembahyangan Purnama dan Tilem dalam melaksanakan upacara merupakan bagian dari upacara Dewa Yadnya persembahyangan belum sesuai dengan tata dan tidak lepas dari konsep Tri Kerangka cara berprilaku yang baik sesuai dengan ajaran Dasar agama Hindu yang menjadi landasan susila dalam tri kerangka dasar agama hindu. terpenting dalam bidang tattwa atau filosofis Seperti bagaimana sikap duduk yang benar keTuhanan, bidang susila atau etika dalam dalam sembahyang, bagaimana etika dalam berprilaku, dan dalam bidang ritual atau nunas tirta yang baik dan etika dalam upacaranya. Secara realita yang ada disekitar menggunakan busana ke pura. Hal inilah yang khususnya di Dusun II Puluk-Puluk Sari, belum dipahami dan dilaksanakan dengan baik pelaksanaan persembahyangan Purnama dan oleh masyarakat Dusun II Puluk-Puluk Sari Tilem kalau dilihat sepintas tidak diragukan dalam lagi mengenai hal ritual atau upacaranya. persembahyangan Tetapi dalam hal etika atau susila kurang Contohnya dalam muspa kramaning sembah, dipahami dan terkadang dikesampingkan. sikap duduk wanita ada yang menggunakan Sebagian besar masyarakat Dusun II Puluk- sikap silasana ada yang menggunakan sikap Puluk Sari di dalam melaksanakan upacara bajrasana, hal inilah yang perlu dibenahi persembahyangan Purnama dan Tilem kurang supaya kebiasaan yang kurang baik tersebut memahami secara benar bagaimanakah cara tidak berlanjut pada generasi muda Hindu beretika dengan baik dan benar. Hal inilah kedepan khususnya masyarakat Dususn II yang menjadi kebiasaan kurang baik oleh Puluk-Puluk Sari. masyarakat Dusun II Puluk-Puluk melaksanakan Purnama upacara dan Tilem. Sari Dalam penelitian ini peneliti memilih khususnya dalam melaksanakan suatu aktivitas meneliti persembahyangan Purnama dan Tilem keagamaan. karena persembahyangan Purnama dan Tilem Tattwa merupakan inti dari ajaran datang setiap 15 hari sekali sehingga sangat agama hindu yang sudah dipahami secara memungkinkan dan memudahkan peneliti benar oleh masyarakat Dusun II Puluk-Puluk untuk melaksanakan penelitian, dan disamping Sari pelaksanaan itu pada persembahyangan Purnama dan Tilem persembahyangan purnama dan tilem tersebut. masih banyak umat yang melanggar tata cara Seperti tattwa atau filosofis dalam sarana beretika atau bersusila dalam melaksanakan terutama pada WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 77 persembahyangan di Pura Agung Muncak umumnya dan menambah bahan pustaka Sari, Dusun II Puluk-Puluk Sari. mengenai etika persembahyangan Purnama Berdasarkan fenomena-fenomena dan Tilem yang sesuai dengan ajaran susila. tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti etika Penelitian ini diharapkan dapat memberikan persembahyangan Purnama dan Tilem dengan sumbangan positif bagi pengembangan dan judul „„Etika Persembahyangan Purnama dan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya tata Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II cara Puluk-Puluk Purnama dan Tilem. Manfaat Praktis. Sari Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong” Mengacu pada beretika dalam Penelitian Persembahyangan ini diharapkan dapat latar belakang yang dikemukakan di atas, memberikan manfaat praktis sebagai berikut: maka 1. Mendafatkan dapat dirumuskan permasalahan sebagai Bagaimanakah Etika beberapa berikut: 1. Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong? 2. Nilai-Nilai Etika apakah yang pengetahuan yang lebih tentang etika, dalam ajaran Agama Hindu khususnya bagi masyarakat Dusun II Puluk-Puluk Sari. 2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pengetahuan bagi yang ingin lebih mendalami ajaran etika. terdapat dalam Persembahyangan Purnama 3. Bagi masyarakat, dapat digunakan sebagai dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun bahan acuan dan pertimbangan dalam II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan melaksanakan persembahyangan purnama Balinggi Kabupaten Parigi Moutong? Adapun dan tilem dengan etika yang baik dan benar. tujuan secara khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Etika Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong.2. Untuk mengetahui Nilai-Nilai Etika yang terdapat dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong. Manfaat Teoritis penelitian diharapkan dapat memberi manfaat Ruang Lingkup Penelitian, peneliti batasi pada etika persembahyangan Purnama dan Tilem dan nilai-nilai etika apakah yang terdapat dalam persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong. Nilai-nilai etika yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah nilai etika Umat Hindu dalam melaksanakan persembahyangan Purnama dan Tilem yaitu etika sikap duduk, etika nunas tirta, dan etika dalam berbusana. bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada 78 WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 Penelitian ini menggunakan pendekatan manusia, manusia dengan alam semesta, kualitatif, penelitian kualitatif artinya prosedur dan ciptaan-Nya. Ajaran etika dalam weda penelitian yang menghasilkan data deskriptif mencakup bidang yang sangat luas meliputi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- antara lain: kebenaran, kasih, tanpa kekerasan, orang atau perilaku yang dapat diamati . kebajikan, Sumber data dalam penelitian ini adalah data keluhuran budhi pekerti, primer dan data sekunder. Data primer adalah buruk, data yang diperoleh atau dikumpulkan secara kebajikan, percaya diri, membina hubungan langsung dari para informan di lapangan, yang sedangkan data sekunder diperoleh atau kewaspadaan, kesucian hati, kemasyuran, dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber kemajuan, pergaulan dengan orang-orang kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang mulia, mengembangkan sifat-sifat ramahdan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik manis, persahabatan, dan lain-lain. observasi, teknik wawancara, dokumentasi, ketekunan, pantang serasi, Hasil kemurahan membenci berjudi, sifat menjalankan mementingkan wawancara hati, persatuan, dengan I Ketut study kepustakaan. Instrumen utama dalam Rawitana selaku Pemangku di Pura Agung penelitian ini adalah manusia dalam hubungan Mucak Sari menyatakan bahwa: ini adalah peneliti itu sendiri sebagai human “…Etika adalah tngkah laku seseorang yang dilakukan di dalam kehidupannya sehari-hari, cara bergaul atau cara berbicara, sopan santun, saling menghormati dan saling menghargai…” instrumen, maka penelitian ini akan menggunakan instrumen berupa : pedoman observasi, pedoman wawancara,tape recorder, kamera. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah display (penyajian reduksi data), dan data, verifikasi (penyimpulan). 2. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman etika sudah diketahui oleh Pinandita Pura Agung Mucak Sari yang nantinya bisa menjadi panutan oleh masyarakat Hasil dan Pembahasan Puluk sari. a. Etika Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung dusun II Puluk- Mucak Sari Sejalan dengan wawancara dengan Ni Wayan Wati mengungkapkan pendapatnya dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban bahwa: Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi “…Ibu Wayan tidak tau apa itu Etika, karena ibu tidak pernah mendengarnya, dan ibu juga tidak tamat SD. Umat Hindu dusun II PulukPuluk Sari sangat kurang mendapat pembinaan mengenai ajaran-ajaran Agama Hindu…” Muotong. Titib (1996:308) ajaran etika atau tata susila yakni tigkah laku besar untuk yang baik dan kebahagiaan keharmonisan hubungan hidup antara serta manusia Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman dan Tuhan Yang Maha Esa, antar sesama WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 79 masyarakat yang awam mengenai ajaran- ajaran tentang perbuatan yang baik dan ajaran agama hindu tidak mengetahui ajaran perbuatan yang buruk. Perbuatan baik itulah etika. Hal ini di sebabkan karena kurangnya supaya dilaksanakan dan perbuatan yang pembinaan pada masyarakat sehingga ajaran buruk itu di hindari. etika tidak dapat di terapkan dengan baik dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem. Menurut I Ketut Rawitana sebagai Tiap-tiap perbuatan itu berdasarkan atas kehendak atau budhi. Jadi apa yang di perbuat orang itu bermula dari kehendak, oleh karena pemangku menjelaskan: manusia di hadapkan dengan dua pilihan yaitu “…etika dalam persembahyangan merupakan suatu prilaku atau tingkah laku dalam beragama, dalam hal ini etika di dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem di dusun II Puluk-Puluk Sari perlu di tingkatkan, karena etika masyarakat di dalam melaksanakan persembahyangan masih kurang dengan apa yang di harapkan…” pilihan pada yang baik dn buruk maka ia harus Berdasarkan wawancara di atas, dapat di simpulkan bahwa pemahaman etika mempunyai kehendak bebas untuk memilih. Tanpa kebebasan itu orang tidak dapat memilih yang baik. Dalam hal ini manusia mempunyi kebebasan yang terbatas juga, yan membatasi itu adalah norma-norma yang berlaku. Ngurah (1998:135). Hal ini di sebutkan dalam kitab masyarakat dusun II Puluk-Puluk Sari dalam Sarassamuccaya sloka 160 sebagai berikut: Persembahyangan Purnama dan Tilem belum Cila ktikang pradhana ring ddi wwang, Hana prawrtining dadi wwang duccila apakanta, Praydjananika ring hurip, ring wibhawa, ring kapr Apan wyartha ika kabeh, yan tan hana cilayukti. sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Hal ini dapat di lihat dalam sikap persembahyangan masyarakat Puluk-Puluk Sari, baik itu sikap duduk yang benar, sikap badan dalam sembahyang, sikap dalam nunas tirta yang baik, dan sikap dalam berbusana. Dari sikap tersebut masih terlihat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai ajaran etika dalam melaksanakan persembahyangan. Hal inilah yang perlu di pahami supaya etika dalam sembahyang dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Etika kesusilaan. adalah pengetahuan Kesusilaan berbentuk Artinya: Susila itu adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia, jika ada prilaku (tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya (hidup, kekuasaan, dan kebijaksanaan) jika tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan (praktek susila). Dari kutipan tersebut di atas bahwa tentang susila atau etika merupakan hal yang paling kaidah- penting untuk diperhatikan dan diterapkan kaidah yang berisi larangan-larangan atau dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya suruhan-suruhan sesuatu. dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem, Dengan demikian dalam etika kita akan dapat karena orang yang tidak melaksanakan susila 80 untuk berbuat WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 dengan baik hidupnya akan sia-sia dan tidak berguna. Etika Muspa dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem Etika di dalam muspa sangat penting diperhatikan dalam melakukan secara jasmani, karena kebersihan badan dan kesejukan lahir mempengaruhi ketenangan hati dalam melakukan persembahyangan terutama dalam memusatkan diri kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa…” (Wawancara, Ni Ketut Warni). Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat di simpulkan bahwa persiapan persembahyangan yaitu: (1) etika sikap duduk, persembahyangan harus dengan ketenangan, (2) etika nunas tirta, (3) etika berpakaian. sikap duduk yang baik, kesucian pikiran dan Adapun uraiannya sebagai berikut: kebersihan 1. Etika sikap duduk Menurut Ni mempengaruhi Nyoman Karina menjelaskan bahwa: dan “…sikap duduk dalam sembahyang duduk yang baik dan sopan menghadap padmasana…” (Wawancara, I Putu Sukanata,)” Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, mengenai sikap dan tempat duduk yang sudah dijelaskan di atas harus dilaksanakan dan dipahami sesuai dengan tuntunan muspa di dalam melakukan terutama pada saat Persembahyangan Purnama dan Tilem. Hasil wawancara dengan Ni Ketut Sukanadi menyatakan bahwa: “…Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan bathin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan. Termasuk dalam persiapan lahir ialah sarana penunjang persembahyangan seperti pakaian yang bersih dan rapi. kesejukan ketenangan hati lahir dalam melakukan persembahyangan. Hasil wawancara “…Sikap duduk untuk muspa yang baik adalah sikap silasana atau bersila untuk sikap duduk laki-laki, dan untuk sikap duduk perempuan adalah bajrasana atau bertimpuh dimana kedua tumit kaki diduduki…” persembahyangan badan dengan I Wayan Sudiarta menyatakan bahwa: “…Sikap tangan dalam melakukan Persembahyangan adalah sikap amustikarana yaitu bersikap tegap rata dengan ulu hati dan tiga jari dicakupkan menjadi satu diantaranya jari telunjuk dan dua ibu jari yang kanan di atas dan yang kiri di bawah. 2. Etika Nunas Tirtha Tirtha dan bija merupakan hal yang penting dalam melaksanakan persembahyangan. Sembahyang terasa belum lengkap ketika belum dapat nunas tirtha dan bija. Biasanya tirtha dan bija ini dibagikan setelah muspa kramaning sembah selesai. Tirtha merupakan air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu ritual khusus. Hasil wawancara yang di laksanakan dengan I Ketut Rawitana sebagai pemangku menyatakan bahwa: “…Pembagian tirtha dan bija ini oleh pinandita atau pemangku dan di bantu oleh jero sedahan atau istri pemangku. Pembagian tirtha dan bija ini di lakukan secara teratur, muulai dari tempat duduk yang paling depan hingga ke belakang…” “…Membersihkan badan dengan mandi dan keramas supaya badan kita benar-benar bersih WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 81 “…Etika dalam nunas tirtha ini harus mengambil sikap duduk yang benar dan tidak boleh sendiri. Namun pada kenyataanya masyarakat Puluk-Puluk Sari masih belum memahami cara nunas tirtha yang baik…” (wawancara, I Wayan Sukamada). Berdasarkan hasil wawancara di atas Hasil wawancara Ni Nengah Eriya Wati menyatakan bahwa: “…Dalam penggunaan busana sembahyang di Pura Agung Muncak Sari khususnya dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem masyarakat dusun II Puluk-Puluk Sari menggunakan Busana Adat Bali…” dapat disimpulkan bahwa di dalam pembagian tirtha harus di bagikan oleh pinandita atau pemangku, dan di dalam nunas tirtha harus mengambil sikap duduk yang benar. Namun pada kenyataanya masyarakat masyarakat Puluk-Puluk khususnya Sari belum memahami cara nunas tirtha yang baik. Hasil wawancara yang dilaksanakan Berdasarkan wawancara diatas dapat disimpulkan kehidupan masyarakat lain, namun dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem ke Pura umat Hindu dusun II PulukPuluk Sari tetap menggunakan pakaian sembahyang. Etika berbusana ke Pura agak terganggu dan transparan sehingga warna kulit dan lekuk tubuh si pemakai kelihatan dengan jelas. Tentunya pemandangan seperti ini tidak patut untuk Berdasarkan hasil wawancara di atas disimpulkan bahwa kurangnya kesempurnaan dalam memercikan tirtha yang seharusnya dipercikan tiga kali, tetapi hanya dipercikan sekali, dan kurangnya pemahaman masyarakat dalam melakukan penunasan tirtha. 3. Etika dalam berbusana/berpakaian Penggunaan busana tidaklah terlepas dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan karena busana menjadi salah satu identitas suatu daerah yang dapat membedakan daerah satu dengan daerah yang lainnya. Busana adat suatu daerah akan menjadi ciri khas kebudayaan daerah tersebut. 82 sehari-hari dalam dengan munculnya model kebaya yang tipis “…pembagian tirtha masih belum sempurna, karena dalam memercikan tirtha seharusnya tiga kali. Dan masih ada juga masyarakat belum paham dlam melakukan penunasan tirtha. dapat walaupun menggunakan busana sama seperti masyarakat dengan Ni Wayan Sukarini menyatakan bahwa: bahwa, ditampilkan di Pura, saat mana diperlukan kesucian pikiran dalam melakukan persembayangan. Jadi etika dalam hal ini sangat penting dalam menjaga kesopanan dalam berpakaian atau berbusana. Hasil wawancara dengan I Wayan Sukamada menyatakan bahwa: “… model tentu saja mempengaruhi etika dalam busana sembahyang kepura, apalagi jaman sekarang banyak model-model pakaian adat terbaru yang seperti kurang pantas dikenakan saat akan bersembahyang. Contohnya untuk pakaian adat wanita, sekarang anyak model kebaya yang dibuat dengan gaya leher yang rendah atau lebar dan membuat bagian dada sedikit terekspos, kemudian untuk kamennya sekarang ini banyak yang memakainya lebih pendek dari semestinya. Bahkan ada yang sampai dilutut, sehingga seringkali terasa kurang etis. Tujuan WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 kita ke Pura untuk sembahyang bukan untuk pasang fashion show…” destar, saput dan pakaian lainnya dengan harga Sejalan dengan wawancara di atas, Ni hindari demi kesucian dan kelestarian budaya Wayan Sukarini menyatakan bahwa: Pakaian merupakan hal utama yang penapilan bersaing. Hal itu yang harus kita hindu kedepan supaya tidak punah. “…Model semestinya jangan diterapkan pada busana sembahyang ke Pura, karena selalu mengikuti model atau trend, dengan menggunakan kebaya yang trasparan, kamen diatas lutut, dan warna yang mencolok bisa mengganggu konsentrasi orang lain…” mempengaruhi yang seseorang berpakaian yang sopan dan rapi adalah Hasil dengan wawancara yang dilaksanakan Ni Nengah Eriya Wati menyatakan bahwa: “…Etika berbusana dalam persembahyangan Purnama dan Tilem sangatlah penting, karena kita akan menghadap atau menyembah Hyang Widhi bukan untuk jalan-jalan, seharusnya pakai baju yang tidak mengganggu konsentrasi karena tujuan kita ke Pura bukan untuk bergaya tapi untuk sembahyang…” cerminan mayarakat yang baik terutama dalam hal sembahyang ke Pura. Sembahyang sangat identik dengan kesucian, jadi pakaian yang digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah bersih, suci dan dipakai secara rapi dan Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa etika berbusana ke Pura sangatlah penting, dimana kita harus memakai busana yang tidak mengganggu konsentrasi sopan. Menurut Ni Nyoman Yuli Arini “…Keindahan dalam berpakaian sembahyang bukanlah syarat yang utama, baik itu yang bersifat model, tren,gaul dan sebagainya tidak menjadi jaminan dalam melaksanakan persembahyangan. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah kebersihan dan kerapian pakaian saat busana dipakai, ketika berpakaian usahakan tidak mengganggu gerakan badan, jangan terlalu ketat sehingga dapat mengganggu pernafasan dan tidak kaku dalm melakukan gerakan yang nantinya dapat berpengaruh terhadap persembahyangan terutama dalam melakukan muspa…” Etika berpakaian perlu dipahami dan diperhatikan oleh masyarakat supaya tidak dipakai sebagai ajang model berpakaian yang lainnya dalam persembahyangan, jangan hanya memikirkan kesenangan menjelaskan bahwa: umat diri sendiri, tetapi pertimbangkan pikiran orang lain. juga Seperti yang di unggkapkan dalam sarasamuccaya, sloka 82 dan 86: Saivam pacyati caksusman manoyuktem caksusa Manasi vyakule jate pasyannapi na pasyati (sarasamuccaya,82) Artinya: Bahwa mata dikatakan dapat melihat berbagai barang, tiada lain hanya pikiran yang menyertai mata itu memandang,, jika pikiran bingung atau kacau, tidk turut menyertai mata sungguh pun memandang kepada suatu barang, tidak terlihat barang itu olehnya, sebab pikiran itulah sebenarnya yang mengetahui, sebab itu maka sesungguhnya pikiranlah yang memegang peranan utama. (Kajeng, 2010:71) baru. Pakaian dengan model- model yang baru biasanya sering dipamerkan ke Pura saat sembahyang seperti kain kebaya, sapari, WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 Dari sloka di atas bahwa pikiranlah yang menguasai tingkah laku kita. Maka 83 kendalikanlah pikiran menuju hal-hal yang kurangnya kesadaran umat hindu dalam positif denga berbagai latihan. Dan bahwa melaksanakan persembahyangan Purnama dan pentingnya berpakaian atau berbusana yang Tilem. Sehingga masyarakat tidak mengetahui sopan tata cara dan rapi dalam melakukan persembahyangan ke Pura akan membuat pikiran kita hal ini menjadi jernih, karena dalam sangat kesopanan penting dalam menjaga yang baik dan benar dalam bersembahyang. Berdasarkan pembahasan di atas, sesuai dengan teori tindakan menyatakan bahwa dalam berpakaian atau semakin mengerti mengenai perilaku dan Dari uraian di atas dapat disimpulkan norma yang telah dilakukan orang beserta bahwa etika persembahyangan Purnama dan alasannya, semakin baik pemikiran kita dalam Tilem di Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa mengarahkan seseorang untuk berperilaku baik Beraban kurang memahami tata cara beretika lagi. Dan didalam melakukan tindakan dalam dalam bersembahyang. Hal ini dapat dilihat pemakaian adat Bali memiliki nilai baik dalam dari sikap sembahyang masyarakat Puluk- hubungan antar manusia. Puluk Sari, baik itu b. Nilai-nilai Etika yang terdapat dalam dalam sikap duduk yang benar, dan sikap dalam berbusana. Dari sikap persembahyangnan tersebut terlihat masih kurangnya pemahaman Tilem melaksanakan persembahyangan. Hal ini yang dusun II Puluk-Puluk Sari Kecamatan perlu Balinggi Kabupaten Parigi Muotong dipahami supaya etika dalam sembahyang dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran Agama Hindu. dan di Pura Agung Mucak Sari Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Mucak Hasil wawancara yang dilaksanakan Purnama Sari Dusun II Puluk- Puluk Sari yang dilakanakan oleh masyarakat dengan I Wayan Jurka menyatakan bahwa: merupakan “…Kendala-kendala yang dihadapi dalam persembahyangan Purnama dan Tilem kurangnya kesadaran Umat Hindu khususnya Dusun II Puluk-Puluk Sari sebagian besar masyarakatnya lebih mementingkan pekerjaan daripada melaksanakan persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura. Khususnya para pria atau bapak-bapak kalau tidak diabsen mereka tidak mau datang ke Pura, dan banyak masyarakat yang tidak hadir di Pura kalau tidak diabsen…” bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berdasarkan hasil wawancara di atas Hasil wawancara yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa yang dihadapi persembahyangan 84 kendala-kendala dalam Purnama melaksanakan dan suatu Persembahyangan bentuk Purnama persembahan dan Tilem mengandung nilai-nilai etika yang luhur yang mencakup beberapa aspek dari nilai-nilai etika sikap duduk, nilai-nilai etika nunas tirtha, dan nilai-nilai etika berpakaian. Berikut akan dijelaskan nilai-nilai etika yang terdapat dalam persembahyangan Purnama dan Tilem yaitu: dengan I Wayan Sukamada menyatakan bahwa: Tilem, WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 “…Nilai etika pada persembahyangan Purnama dan Tilem yang saya ketahui, nilai etika dalam berpakaian dan sikap dalam persembahyangan…” 1. Nilai-Nilai Etika dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem Nilai-nilai dalam persembahyangan Purnama dan Tilem perlu diperhatikan yaitu: “…Mengenai tempat duduk didalam persembahyangan usahakan mengambil tempat duduk menghadap kedepan atau menghadapi pelinggih dari Ida Sang Hyang Widhi usahakanlah pada waktu mencari tempat duduk, kita tidak mengganggu atau menyinggung perasaan orang yang ada disamping kita. Dan janganlah lalu lalang didepan orang yang sedang muspa…” (1) Nilai etika sikap duduk, (2) Nilai etika nunas tirtha, (3) Nilai etika berpakaian, Nilai etika berbicara. Adapun uraian sebagai disimpulkan bahwa mengenai tempat duduk dalam persembahyangan harus menghadap berikut: kedepan atau menghadap pelinggih dan tidak 1. Nilai etika sikap duduk Hasil wawancara yang dilaksanakan dengan Ni Ketut Berdasarkan wawancara di atas dapat (4) Sukanadi menyatakan boleh mengganggu orang yang berada disamping. 2. Nilai etika nunas tirtha bahwa: “…Etika sikap duduk usahakanlah ikap duduk itu dengan mengambil sikap badan yang tegak tetapi enak atau tidak kaku. Tidak boleh bungkuk atau miring dan jangan sikap tegang yang dibuat-buat. Usahakanlah duduk hingga tulang punggung dapat tegak lurus…” “…sikap duduk untuk muspa yang baik adalah sikap silasana atau besila untuk laki-laki, dan untuk sikap duduk untuk perempuan adalah bajrasana atau bertimpuh dimana kedua tumit kaki diduduki. Pada waktu mencari tempat duduk, tidak mengganggu tau menyinggung perasaan orang yang ada , disamping…”(Wawancara, I Wayan Sudiarta,) Hasil wawancara dengan I Putu Sukanata mengatakan : “…tirtha ini ditunasi/dibagikan kemudian dipercikan di kepala, diminum tiga kali dan dipakai mencuci muka. Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari segala kotoran, noda dan dosa. Begitu juga dengan bija, bija yang ditunas tersebut dipakai di jidat, dileher dan ditelan sebanyak tiga butir, (pemasangan bija) dilakukan setelah metirtha…” Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa tirtha yang dibagikan, dipercikan dikepala, diminum tiga kali dan Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa karena dengan sikap duduk yang benar dan tempat duduk yang nyaman akan menghantarkan kita menjadi lebih khusuk didalam menghubungkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hasil wawancara dengan I dipakai mencuci muka, agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci bebas daei sgala kotoran, noda, dan dosa. 3. Nilai etika berpakaian/berbusana Hasil wawancara dengan Ni Wayan Sukarini menyatakan bahwa: Ketut Rawitana menyatakan bahwa: WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 85 “…Kalau menurut ibu nilai yang terdapat dalam Busana Adat Bali untuk wanita yaitu selendang atau biasa disebut anteng atau amed, baju kebaya yang dipakai tidak transparan, tidak mencolok biar tidak menjadi pusat perhatian, kamen yang sopan dan stagen atau longtorso…” Berdasarkan wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa semua itu yang harus dipakai oleh masyarakat khususnya para wanita atau generasi muda utnutk Sri bhagavan uvaca Mayy avasya mano ye mam Nitya-yukta upasate sraddhaya parayopetas te me yuktatama matah (Bhagawadgita, XII-2) Artinya: Sri Bhagavan bersabda: Mereka yang memusatkan pikiranya pada-Ku, Dengan senantiasa mengendalikanya Dan dengan penuh kepercayaan Merekalah yang saya anggap terbaik dalam pelaksanaan yoga. (Pudja,309:2010) Jadi, pikiran itulah yang akan sembahyang, namun pada kenyataannya di mengantarkan sembah bhakti kita kepada Idha Pura Agung Mucak Sari sudah cukup bagus, Sang Hyang Widhi, artinya jika sembahyang walaupun pikiran kita terfokuskan pada Ida kurang memahami nilai yang terdapat dalam Busana Adat Bali yang dipakai. Hasil wawancara dengan I Wayan Jurka menyatakan bahwa: “…Nilai yang terdapat dalam Busana Adat Bali untuk pria adalah baju sapari, udeng atau destar, kamen, dan sesaput…” “…Kalau menurut bapak yang terpenting dalam pakaian adat bali untuk pria adalah Udeng dan Destar yang di kenakan di kepala dan di ikat ke depan dengan posisi ikatan menghadap ke atas agar pada saat sembahyang kita tidak berfikiran kesana kemari dengan tujuan bahwa kita siap untuk berkonsentrasi untuk mengikuti persembahyangan menujukan pikiran kepada Tuhan Yang Maha Esa…” (I Nyoman Kariasa,) Seperti yang terdapat pada bhagawadgita Sang Hyang Widhi, maka puja bhakti kita akan sampai pada-Nya. Hasil wawancara dengan Ni Nyoman Karina menyatakan bahwa: “…Berpakaian yang ketat berwarna yang mencolok dapat menggngu pikiran orang yang melihatnya, ussahakan pakaian yang di gunakan sesuai dengan ukuran tubuh. Jangan sampai memperlihatkan bentuk atau lekukan dengan pakaian yang ketat atau transparan, selain itu masalah warna janganlah sampai mengundang perhatian orang lain, sehingga dapat mengganggu pelaksanaan persembahyangan…” Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat di simpulkan bahwa berpakaian yang bersih, rapi, dan sopan akan membuat suasana yaitu: persembahyangan akan Tesam aham samuddharta Mrtyu samsara sagarat Bhawami nachiorat partha Mayy avesita chetasam (Bhagawadgita, XII.7) dan nyaman. Artinya: dalam persembahyangan Purnama dan Tilem. Bagi mereka yang pikiran bertuju terus menerus kepada-Ku Wahai partha, aku segera menjadi penyelamat mereka Deari lautan penderitaan mahluk fana. (Pudja,312:2010) Jadi nilai-nilai etika yang 86 menjadi aman Nilai etika yang di bahas dalam penelitian ini adalah etika Umat persembahyangan Umat Hindu terdapat dalam Hindu dalam persembahyangan Purnama dan Tilem yaitu WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 nilai etika kesopanan, contohnya etika dalam berbusana ke pura, seperti etika yang terdapat kembali kerumah masing-masing…” (Wawancara, Ni Wayam Sukarini, ). dalam Busana Adat Bali Wanita, nilai etika Berdasarkan hasil wawancara di atas yang terdapat dalam Busana Adat Bali untuk dapat disimpulkan bahwa etika berbicara Pria, model etika Busana sembah yang kepura sangat dan masih banyak lagi nilai-nilai etika yang Persembahyangan dimana ketika memasuki terdapat dalam persembahyangan Purnama dan Pura Tilem. Apabila Umat Hindu dalambersembah Swastyastu yang telah mengamalkan nilai-nilai etika Sedharma, dan Umat harus bisa mengontrol dalam kegiatan Persembahyangan niscaya pembicaraannya persembahyangan akan menjadi lebih. dimulai. Busana Adat Bali sesungguhnya memiliki nilai-nilai atau makna. Dengan demikian di Busana Adat Bali buat berdasarkan nilai yang ingin disampaikan. Setiap bagian Busana Adat Bali di harapkan memiliki nilai yang baik ketika 3. penting wajib didalam mengucapkan saat bertemu proses salam dengan ketika Om Umat persembahyangan Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data mengenai Etika Persembahyangan purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi seseorang menggunakanya. Hal tersebut sesuai Moutong adalah dapat disimpulkan sebagai dengan teori nilai yang menegaskan bahwa berikut: setiap obyek memiliki nilai termasuk pakaian 1. Etika Adat Bali. Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II 4. Nilai Etika Berbicara Hasil wawancara dengan I persembahyangan Puluk-Puluk Sari belum sesuai dengan Ketut ajaran Agama Hindu. Kurangnya Rawitana menyatakan bahwa: pemahaman masyarakat mengenai ajaran “…Etika berbicara sangat penting dalam proses persembahyangan, karena itu sangat penting untuk dipahami misalnya ketika memasuki Pura wajib mengucapkan salam Om Swastyastu saat bertemu dengan umat sedharma, kemudian pada saat di Pura tidak boleh berbicara yang kotor-kotor atau berbicara kasar dan membicarakan orang lain…” etika dalam melaksanakan persembahyangan seperti etika sikap duduk yang benar, etika nunas tirtha dan bija yang baik, etika dalam berbusana, dan etika berbicara. Hal inilah yang perlu dipahami supaya etika dalam sembahyangn dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran “…Hendaknya setiap umat harus mengontrol pembicaraannya ketika persembahyangan akan dimulai, dan ketika selesai sembahyang Umat Hindu tetap berbicara sopan sampai nunas tirtha dan bija selesai, sehingga diperbolehkan Agama Hindu. 2. Nilai-nilai Etika yang terdapat dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk- WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 87 Puluk Sari nilai etika tata krama dan nilai Katjasungkana, Nursyahbani. 1998. Reformasi etika kesopanan. Yang termasuk ke dalam Pendidikan nilai etika tata karma diantaranya, sikap Remaja Anyar Pelajar. Pendidikan duduk yang benar dalam sembahyang, Nasional nunas tirtha dan bija yang baik, sedangkan Landas. Jakarta: Yayasan Penerus yang Nilai-nilai Perjuangan 45. termasuk kedalam nilai etika kesopanan yaitu, berbicara yang penuh dengan sopan santun ketika masuk pura seperti mengucapkan salam “Om Swastyastu” pada semua Umat. Mencegah Kenakalan Menjelang Koentjaraningrat. Era 1997. Lepas Pengantar Antropologi Pokok-pokok Etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta. Marsuki. 2000. Metodologi Riset. Yogyakarta: PT. Prasetya Widya Pratama. Mikklesen, Britha. 1999. Metode Penelitian DAFTAR PUSTAKA Dharmayasa. 1995. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT Raja Diarsana, I Made. 2013. Motivasi Orang Tua Dalam Meningkatkan Pengetahuan Ajaran Agama Hindu Pada Anak Di Desa Riomukti Kecamatan Riovakava Donggala Sulawesi Tengah, Skripsi (tidak diterbitkan). Palu : Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Dharma Sentana Sulawesi Pemberdayaan. Upaya-upaya Jakarta: Yayasan Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nasution. 1996. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara. Nawawi. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. Oka Punyatmadja, I.B.2002. Pancha Cradha. Tengah. Jalaluddin. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Kaplan, David dan A.A. Maners. 1999. Teori Landung Penerjemah. Yogya : Jakarta : Yayasan Dharma Sarathi. Purwanto, PT. Raja Grafindo Persada. Budaya. dan Obor Indonesia. Grafindo Persada Kabupaten Partisipatoris Ngalim. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Remaja Rosdakarya. Simatupang Pusta ka Belajar. Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: CV. Bandar Maju. 88 WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016