10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres kerja 2.1.1 Konsep stres Stres adalah satu abstraksi, artinya orang tidak dapat melihat pembangkit stres (stresor) yang dapat dilihat adalah akibat dari pembangkit stres tersebut. Gibson (2000) mendefinisikan bahwa stres sebagai suatu tanggapan penyesuaian, diperantai oleh perbedaan-perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang. Sedangkan Munandar (2006) mendefinisikan stres merupakan suatu tipe tindakan atau situasi tuntutan-tuntutan yang berat atau yang yang membebani seseorang dengan bertentangan. Tuntutan itu seringkali mengacaukan keseimbangan tubuh, sehingga stres merupakan situasi yang secara kronis mengganggu atau mengacaukan baik fisik maupun psikis seseorang. Gibson (dalam Yulianti, 2000) mengemukakan bahwa stres kerja dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. 11 Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan. Jadi stres adalah suatu tanggapan adaptif, dibatasi oleh perbedaan individual dan proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap kegiatan (lingkungan), situasi atau kejadian eksternal yang membebani tuntutan psikologis atau fisik yang berlebihan terhadap seseorang. Menurut Selye, stres yang bersifat positif disebut eustres sedangkan stres yang yang berlebihan dan bersifat merugikan disebut “distres. Greenberg dan Baron (2002) mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Selanjutnya Greenberg & Baron (2002) menyatakan bahwa semakin tinggi dorongan untuk berprestasi maka semakin tinggi pula tingkat stres seseorang. Sedangkan Jana dan Wallace (2002) memandang stres sebagai respon adaptif, merupakan karakteristik individual, konsekuensi, dan tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis. Dan masih banyak lagi definisi tentang stres sehingga diumpamakan apabila terdapat delapan orang bertanya definisi tentang stres maka terdapat delapan definisi pula tentang stres tersebut. Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari, reaksi setiap manusia akan berbeda-beda dalam menghadapi tekanan dalam kehidupan. Apa yang bagi 12 seseorang dapat menimbulkan stres, belum tentu sama bagi orang lain. Latar belakang seseorang, struktur neurologinya, dan pengalaman-pengalamannya yang terdahulu dalam menghadapi tekanan, mempengaruhi cara dia memberi tanggapan. Menurut Hans Seelye dalam Gibson et al., (2000), stres merupakan serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan. Rangkaian perubahan biokimia tersebut adalah general adaptation syndrome yang terdiri dari tiga tahap, yakni tahap “alarm” (tanda bahaya) dimana organisme berorientasi terhadap tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan mulai menghayati sebagai ancaman dan muncul tidak terlalu lama. Tahap kedua yakni resistance sumber-sumbernya (perlawanan), supaya mampu dimana menghadapi organisme tuntutan, memobilisasi Jika tuntutan berlangsung terlalu lama, maka sumber-sumber penyesuaian akan berakhir. Selanjutnya organisme mencapai Tahap ketiga, yaitu tahap exhaustion (kehabisan tenaga). Dorsteijn dan Kleber (2003), Munandar (2006); Sholeh (2006); menjelaskan apabila seseorang yang menderita stres biasanya di dalam kelenjar tubuhnya mengeluarkan adrenalin, cortisone dan hormon hormon lain dalam jumlah yang besar, dan perubahan-perubahan yang terkoordinasi berlangsung dalam sistem saraf pusat. Jika exposure (paparan) terhadap pembangkit stres berkesinambungan dan tubuh manusia mampu menyesuaikan, maka terjadi perlawanan terhadap kondisi tersebut. 13 Menurut Munandar (2006), reaksi badaniah yang khas terjadi untuk menahan akibat-akibat dari pembangkit stres (tahap resistance), tetapi jika paparan terhadap stres berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara perlahan-lahan menurun sampai menjadi tidak sesuai, dan satu dari organ-organ tersebut gagal untuk berfungsi sebagaimana mestinya, hal inilah yang mengakibatkan sakit. Selanjutnya Seelye (dalam Munandar, 2006) menjelaskan jika reaksi stres dari tubuh tidak cukup, berlebihan atau salah, maka reaksi tubuh dapat menimbulkan penyakit, yang dinamakan diseases of adaptation (penyakit dari adaptasi), karena penyakit-penyakit tersebut lebih disebabkan oleh reaksi adaptif yang tidak semestinya dari tubuh akibat stresor. Pandangan Seelye ini mendapat kritik dari sejumlah peneliti lain seperti Baron & Greenberg, (2002) yang kurang sependapat dengan pernyataan Seelye, sehingga kalangan para pakar sampai saat ini belum memiliki kesepakatan dan kesamaan persepsi tentang batasan stres. Stres menurut mereka tidak dapat dipandang hanya sebagai suatu jawaban. Stres harus dilihat sebagai fungsi dari individu yang menafsirkan situasi dan reaksi seseorang terhadap situasi yang ada pada lingkungannya. Selanjutnya stres dianggap suatu kondisi yang negatif, suatu kondisi yang mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental, atau mengarah ke perilaku yang tak wajar. Seelye (dalam Munandar 2006) membedakan antara distres yang destruktif, dan eustres yang merupakan kekuatan yang positif (eustres mengandung suku awal yang dalam bahasa Yunani berarti “baik”, seperti yang terdapat dalam kata euphoria). 14 Stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri dapat dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang (Luthans, 2002). Lebih lanjut Mackay (2004), menjelaskan stres sebagai suatu tuntutan eksternal seseorang dalam lingkungan karena tekanan, strain atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang yang ditandai dengan mudah tersinggung, kelelahan emosioanal, fisik dan hilangnya obyektifitas. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan. Menurut Greenberg & Baron (2002), semakin tinggi dorongan untuk berprestasi maka semakin tinggi pula tingkat stres seseorang, namun demikian stres kerja akan meningkat sejalan kondisi seseorang untuk dapat mengendalikan stres pada titik optimal (eustres), sedangkan apabila melebihi batas ambang maka stres justru akan menurunkan kinerja dan menjadikan ancaman yang mencemaskan. Dengan tingkat stres yang tinggi akibat tuntutan deadline, beban 15 kerja, atau kuantitas pemberitaan dikhawatirkan akan menurunkan kinerja dalam penulisan berita, sehingga berita menjadi kurang tepat dan akurat. Padahal karyawan mempunyai peranan penting dalam memberikan warna kehidupan bermasyarakat, sehingga informasi yang ditulis karyawan seharusnya bersifat tepat, akurat dan dapat dipercaya kebenarannya. Selanjutnya (Milbourn,2006) mengukur stres kerja menjadi lima indikator yaitu beban kerja, konflik peran (ketidakjelasan pembagian job description) , ketersedian waktu (tekanan waktu, batas waktu menyelesaikan pekerjaan, tidak adanya standar jam kerja, penambahan jam kerja),pengembangan karier dan tanggung jawab. Hal di atas juga didukung penelitian Endang, ahli gizi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), yang meneliti 40 karyawan dari 40 group perusahaan media Indonesia. Peneliti menganggap bahwa karyawan adalah kelompok profesi yang cukup rawan terhadap penyakit jantung koroner yang disebabkan karena kesibukan mencari berita dan tekanan tenggat waktu (dead line) yang ketat, para karyawan berpotensi mengalami stres, tak punya waktu untuk berolah raga, juga tak mampu mengontrol pola makannya Penyakit jantung koroner sendiri terjadi karena adanya penyempitan pembuluh darah yang menyuplai darah dan oksigen ke otot jantung. Penyempitan terjadi karena proses aterosklerosis, yaitu pengendapan di dalam pembuluh darah akibat timbunan kolesterol dan lemak. Karena itu, kadar kolesterol dalam darah yang tinggi sangat berbahaya. Kadar kolesterol seseorang dikatakan tinggi jika mencapai di atas 200 mg/dl. Diperoleh hasil bahwa seseorang yang cemas akan menaikkan kadar kolesterol dalam darah yang memicu terjadinya penyakit jantung 16 koroner. Karena itu, bisa dipahami bila orang merasa cemas ketika hasil tes laboratorium menunjukkan kadar kolesterolnya di atas normal. Banyak hal yang mempengaruhi timbulnya penyakit jantung koroner antara lain stres, olah raga tidak teratur, dan kesalahan pola makan. Di antara sekian banyak kelompok profesi, karyawan yang mempunyai yang cukup rawan terkena dampak penyakit tersebut. Dari hasil tersebut Pauline menyarankan agar kadar kolesterol dapat menurun secara signifikan, selain mengubah pola makan selama 30 hari dengan program Smart Heart Challenge atau tantangan jantung sehat. Dalam program ini, para peserta (karyawan) diwajibkan mengonsumsi makanan yang mengandung serat larut air selama sebulan penuh, hal ini disebabkan penyakit jantung koroner saat ini masih menduduki urutan pertama sebagai penyakit mematikan di Indonesia, dan penderitanya sebagian besar adalah pria. Dibanding wanita, pria memang memiliki risiko lebih tinggi terkena jantung koroner. Sementara penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1997 menunjukkan, hampir 30 persen kematian di dunia disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Dan mereka yang terserang penyakit ini, rata-rata usianya justru di bawah 65 tahun dan sebagaian besar disebabkan oleh stres. Masalah Stres kerja di dalam organisasi menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaannya. Akibat adanya stres kerja tersebut orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berfikir dan kondisi fisik individu yang menurun. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja seseorang 17 mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan pekerjaannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah Stres kerja di dalam organisasi menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Penelitian ini mendukung pernyataan Greenberg dan Baron (2002), yang memandang stres dari dua sisi yakni sebagai gejala psikologis dan emosional. Sebagai gejala psikologis peneliti menguji variabel yang diwakili beban kerja dan konflik kerja sedangkan untuk menguji tingkat emosional diwakili variabel kelelahan emosional, variabel-variabel yang diteliti saat ini belum dijelaskan secara rinci sebelumnya. 2.1. 2. Peran SDM dalam pengelolaan stres Timbulnya stres kerja dapat dicegah dan dihindari sehingga dampak negatif dari stresor dapat dikurangi, untuk itu diperlukan manajemen stres yang dapat tidak saja sekedar mengatasinya, namun juga sebagai media untuk belajar menanggulangi secara adaptif dan efektif (Nadine, 2003). Dalam pengelolaan stres terdapat dua pendekatan yakni pendekatan individual dan pendekatan organisasi. Pendekatan individual dimaknai sebagai suatu kondisi dimana seseorang berusaha untuk mengurangi level stresnya dengan mengelola waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seseorang dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. 18 Selain hal tersebut dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain untuk mengurangi stres yang dihadapi perlu dilakukan kegiatan-kegiatan relaks. Dan sebagai strategi terakhir untuk mengurangi stres adalah dengan mengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya. Sedangkan Menurut pendekatan organisasional merupakan bentuk stresor yakni adanya tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor tersebut dapat diubah (Feinstein, 2003). Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen dalam mengurangi stres pekerja adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerja, pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Strategi penanganan individual merupakan strategi yang dikembangkan secara pribadi atau individual. Strategi individual ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan melakukan perubahan reaksi perilaku atau perubahan reaksi kognitif. Artinya, jika seorang seseorang merasa dirinya ada kenaikan ketegangan, para pekerja tersebut seharusnya time out terlebih dahulu. Cara time out ini bisa macam-macam, seperti istirahat sejenak namun masih dalam ruangan kerja, keluar ke ruang istirahat (jika disediakan), pergi sebentar ke kamar kecil untuk membasuh muka air dingin atau berwudlu bagi orang Islam, dan sebagainya 19 Melakukan relaksasi dan meditasi juga diperlukan dalam menurunkan tingkat stres. Kegiatan relaksasi dan meditasi ini bisa dilakukan di rumah pada malam hari atau hari-hari libur kerja. Dengan melakukan relaksasi, seseorang dapat membangkitkan perasaan rileks dan nyaman. Dengan demikian seseorang yang melakukan relaksasi diharapkan dapat mentransfer kemampuan dalam membangkitkan perasaan rileks ke dalam perusahaan di mana mereka mengalami situasi stres. Beberapa cara meditasi yang biasa dilakukan adalah dengan menutup atau memejamkan mata, menghilangkan pikiran yang mengganggu, kemudian perlahan-lahan mengucapkan doa. Doresteijn (2003) bahkan menganjurkan untuk melakukan diet dan fitness dalam mengurangi tingkat stres seseorang. Beberapa cara yang bisa ditempuh adalah mengurangi masukan atau konsumsi garam dan makanan mengandung lemak, memperbanyak konsumsi makanan yang bervitamin seperti buah-buahan dan sayur-sayuran, dan banyak melakukan olahraga, seperti lari secara rutin, tenis, bulu tangkis, dan sebagainya. Strategi ini didesain oleh manajemen untuk menghilangkan atau mengontrol penekan tingkat organisasional untuk mencegah atau mengurangi stres kerja untuk seseorang individual. Manajemen stres melalui organisasi dapat dilakukan dengan menciptakan iklim organisasional yang mendukung. Ini dapat membawa pada stres kerja yang serius terhadap pekerjaannya. Sebuah strategi pengaturan mungkin membuat struktur lebih terdesentralisasi dan organik dengan pembuatan keputusan partisipatif dan aliran komunikasi pada pimpinan. 20 Perubahan struktur dan proses struktural dapat menciptakan iklim yang lebih mendukung bagi seseorang, memberikan mereka lebih banyak kontrol terhadap pekerja, dan mencegah atau mengurangi stres kerja mereka. Memperkaya desain tugas-tugas dengan memperkaya kerja baik dengan meningkatkan faktor isi pekerjaan (seperti tanggung jawab, pengakuan, dan kesempatan untuk pencapaian, peningkatan, dan pertumbuhan) atau dengan meningkatkan karakteristik pekerja pusat seperti variasi skill, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi, dan timbal balik dapat membawa pada pernyataan motivasional, tanggung jawab, dan pengetahuan tentang hasil. Mengurangi konflik dan mengklarifikasi peran organisasional menurut Fujiwara (2003) juga dapat mengurangi tingkat stres. Konflik peran dan ketidakjelasan diidentifikasi lebih awal sebagai sebuah penekan individual utama. Ini mengacu pada manajemen untuk mengurangi konflik dan mengklarifikasi peran organisasional sehingga penyebab stres ini dapat dihilangkan atau dikurangi. Strategi dukungan sosial untuk mengurangi stress juga telah diungkap Fujiwara, (2003); dan Marin, (2005). Untuk mengurangi stres kerja, dibutuhkan dukungan sosial terutama orang terdekat, seperti keluarga, teman sekerja, pemimpin atau orang lain. Agar diperoleh dukungan maksimal, dibutuhkan komunikasi yang baik pada semua pihak, sehingga dukungan sosial dapat diperoleh pekerja sehingga dapat mengajak berbicara orang lain tentang masalah yang dihadapi, atau setidaknya ada tempat mengadu atas keluh kesahnya. 21 Ada empat pendekatan dalam mengatasi stres kerja (Davis dan Newstrom, 2002), yaitu dukungan sosial (sosial support), meditasi (meditation), biofeedback, dan program kesehatan pribadi (personal wellness programs). Pendekatan dukungan sosial dilakukan melalui aktivitas yang bertujuan memberikan kepuasan sosial kepada seseorang. Sedangkan pendekatan melalui meditasi juga perlu dilakukan seseorang untuk megurangi stres dengan cara berkonsentrasi ke alam pikiran, mengendorkan kerja otot, dan menenangkan emosi meditasi ini dapat dilakukan beberapa saat. Menurut Sholeh (2006) yang meneliti tentang kesehatan dan sholat tahajud menemukan bahwa dengan sholat tahajud yang teratur akan dapat megurangi stres, menyembuhkan berbagai penyakit bahkan penyakit lumpuh sekalipun. Pendekatan melalui biofeedback dilakukan melalui bimbingan medis. Melalui bimbingan dokter, psikiater, dan psikolog, sehingga diharapkan seseorang dapat menghilangkan stres yang dialaminya. Sedangkan pendekatan kesehatan pribadi merupakan pendekatan preventif sebelum terjadinya stres. Dalam hal ini seseorang secara periode waktu yang kontinyu memeriksa kesehatan, melakukan relaksasi otot, pengaturan gizi, dan olah raga secara teratur. Menurut Mangkunegara (2002) mendeteksi penyebab stres dan bentuk reaksinya, dapat menggunakan tiga pola, yaitu pola sehat, pola harmonis, dan pola psikologis. Pola sehat adalah pola menghadapi stres yang terbaik yaitu dengan kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga stres tidak menimbulkan gangguan, akan tetapi menjadi lebih sehat dan berkembang. Mereka yang tergolong kelompok ini biasanya mampu mengelola waktu dan kesibukan dengan 22 cara yang baik dan teratur sehingga tidak perlu merasa ada sesuatu yang menekan, meskipun sebenamya tantangan dan tekanan cukup banyak. Pola harmonis adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengelola waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan. Dengan pola ini, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan dan tantangan dengan cara mengatur waktu secara teratur. Individu tersebut selalu menghadapi tugas secara tepat, dan kalau perlu ia mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada orang lain dengan memberikan kepercayaan penuh. Dengan demikian, akan terjadi keharmonisan dan keseimbangan antara tekanan yang diterima dengan reaksi yang diberikan. Demikian juga terhadap keharmonisan antara dirinya dan lingkungan (Vogt, 2002). Pola psikologis adalah pola menghadapi stres yang berdampak pada berbagai gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memiliki kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu. Cara ini dapat menimbulkan reaksi-reaksi yang berbahaya karena bisa menimbulkan berbagai masalah-masalah yang buruk. 2.1.3. Faktor-faktor penyebab stres kerja Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres khususnya stres kerja, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001). Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi 23 keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri. Betapapun faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum faktor penyebab stres dapat diuraikan sebagai berikut (Dwiyanti, 2001). 1) Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cenderung muncul pada para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang mengalami stres kerja adalah mercka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. 2) Tidak adanya kesempatan bcrpartisipasi dalam pembuatan keputusan di kantor. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewcnangannya. Stres kerja juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya. 24 3) Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau dikonotasikan berkaitan dengan sek yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa dimulai dari yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif, mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan senyuman yang tidak pada konteksnya. Dari banyak kasus pelecehan seksual yang sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap persamaan jenis kelamin cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang melindunginya (Baron & Greenberg dalam Margiati, 1999). 4) Kondisi lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, tcrlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Muchinsky dalam Margiati, 1999). 5) Manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga 25 mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan stres (Minner dalam Margiati, 1999). 6) Tipe kepribadian. Seseorang dengan kcpribadian tipe A cenderung mengalami stres dibanding kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema ketika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangan/sakit jantung (Minner dalam Margiati, 1999). 7) Peristiwa/pengalaman pribadi. Stres kerja sering disebabkan pengalaman pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah (pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stres paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Disamping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari- 26 hari, kesepian, perasaan tidak aman, juga termasuk kategori ini (Baron dan Greenberg dalam Margiati, 1999). 2.2 Motivasi kerja 2.2.1. Pengertian motivasi kerja Motivasi berasal dari kata Latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi (motivation) dalam manajemen hanya ditunjukkan pada sumber daya manusia secara umum khususnya bawahan. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Terry (Hasibuan, 2007) menyatakan bahwa motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan. Motivasi itu tampak dalam dua segi yang berbeda yaitu Pertama, dilihat dari segi aktif/dinamis, motivasi merupakan suatu usaha positif dalam menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan daya serta potensi tenaga kerja, agar secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Kedua, dilihat dari segi pasif/statis, motivasi tampak sebagai kebutuhan sekaligus sebagai perangsang untuk dapat menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan potensi serta daya kerja manusia tersebut ke arah yang diinginkan. Keinginan dan kegairahan kerja dapat ditingkatkan berdasarkan pertimbangan tentang adanya dua aspek motivasi yang bersifat statis. Aspek statis yang pertama tampak sebagai kebutuhan pokok manusia yang menjadi dasar bagi 27 harapan yang akan diperoleh lewat tercapainya tujuan organisasi. Aspek motivasi statis kedua berupa alat perangsang atau insentif yang diharapkan dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan pokok yang diharapkan. Motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh, membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Oleh karena itu, motivasi dapat dinyatakan sebagai tindakan atau perilaku yang ditunjukkan oleh individu guna mewujudkan tujuan atau keinginannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Parrek dan Udai (1985) yang menyatakan bahwa motivasi terdiri dari enam indikator yaitu prestasi kerja, pengaruh, pengendalian,ketergantungan dan perluasan. Motivasi diawali dengan adanya kebutuhan. Berdasarkan kebutuhan itu individu akan melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berdasarkan teori di atas, dapat dikatakan bahwa motivasi kerja merupakan kekuatan yang mendorong semangat yang ada di dalam dan di luar diri seseorang baik berupa reward maupun punishment yang terdiri dari: 1) Motivasi kekuasaan merupakan dorongan untuk mempengaruhi orang-orang dan situasi lingkungan; 2) Motivasi afiliasi merupakan dorongan untuk berhubungan dengan orang- orang atas dasar sosial; 3) Motivasi kompetensi merupakan dorongan untuk mencapai hasil kerja dengan kualitas kerja; 4) Motivasi reward merupakan dorongan kerja untuk mendapatkan imbalan tertentu; dan 28 5) Motivasi punishment merupakan dorongan bekerja karena adanya suatu peraturan-peraturan yang mengandung sanksi. 2.2.2 Teori motivasi kerja a) Teori Kebutuhan (Maslow's Model) Maslow memandang motivasi seorang individu sebagai suatu urutan kebutuhan yang dipredeterminasi. Kebutuhan – kebutuhan fisiologikal, merupakan kebutuhan yang paling imperatif, tetapi secara psikologikal kebutuhan akan realisasi diri sangat penting bagi masing – masing individu. Maslow mengemukakan sejumlah proporsi penting tentang perilaku manusia sebagai berikut. 1) Manusia merupakan makhluk yang serba berkeinginan (man is a want being). 2) Sebuah kebutuhan yang dipenuhi, bukanlah sebuah motivator perilaku. 3) Kebutuhan manusia diatur dalam suatu seri tingkatan – suatu hierarki menurut pentingnya masing – masing kebutuhan. Bergabungnya seseorang dalam organisasi didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan, berupa penghasilan yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhannya. Suasana batin (psikologis) seorang karyawan sebagai individu dalam organisasi yang menjadi lingkungan kerjanya tampak selalu semangat atau gairah kerja yang menghasilkan kegiatan kerja sebagai kontribusi bagi pencapaian tujuan organisasi tempatnya bekerja. Secara psikologis menunjukkan bahwa kegairahan semangat seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya sangat dipenuhi oleh motivasi kerja yang mendorongnya. 29 b) Teori X dan Teori Y dari Mc Gregor Mc Gregor ( dalam Robbins, 2002) mengemukakan dua pandangan nyata mengenai manusia: pandangan pertama pada dasarnya negatif, disebut Teori X, dan yang kedua pada dasarnya positif, disebut Teori Y. Setelah mengkaji cara para manajer berhubungan dengan para karyawan, Mc.Gregor menyimpulkan bahwa pandangan manajer mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu dan bahwa mereka cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut. c) Teori Dua Faktor dari Herzberg Menurut Herzberg (Robbins,2002) faktor-faktor yang menghasilkan kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor ketidakpuasan kerja disebut dissatisfier factors yang terdiri dari: kebijaksanaan dan administrasi perusahaan, pengawasan, hubungan dengan rekan kerja, kehidupan pribadi, hubungan dengan bawahan, status dan keamanan. Sedangkan faktor-faktor penyebab kepuasan (faktor yang memotivasi) terdiri dari: pengakuan, kerja itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan dan pertumbuhan. Menurut Herzberg, cara terbaik memotivasi pegawai adalah dengan memasukkan unsur tantangan dan kesempatan guna mencapi keberhasilan ke dalam pekerjaan mereka. d) Teori ERG Alderfer Alderfer (Luthans,2006) mengidentifikasi tiga kelompok kebutuhan: eksistensi (Existence), hubungan (Relatedness), dan perkembangan (Growth), yang kemudian disebut ERG. Kebutuhan eksistensi berhubungan dengan 30 kelangsungan hidup (kesejahteraan fisiologis). Kebutuhan hubungan menekankan pentingnya hubungan sosial atau hubungan antar pribadi. Kebutuhan perkembangan berhubungan dengan keinginan intrinsik terhadap perkembangan pribadi. Dalam teorinya Alderfer lebih menekankan pada kebutuhan yang berkelanjutan daripada kebutuhan utama dengan tingkat hierarki atau dua faktor. 2.2.3. Manfaat motivasi kerja Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya. Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang mengerjakannya. Orang pun akan merasa dihargai/diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, schingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dapat dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi akan mampu menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan. 2.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja Menurut Herzberg (Masithoh, 1998) mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua factor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau 31 intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation. Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi dapat bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik) antara lain. 1) Prestasi yang diraih (achievement) 2) Pengakuan orang lain (recognition) 3) Tanggungjawab (responsibility) 4) Peluang untuk maju (advancement) 5) Kepuasan kerja itu sendiri (the work it self) 6) Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth) Sedangkan faktor pemelihara (maintenance factor) disebut juga hygiene factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan kesehatan. Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke dalam faktor ekstrinsik, meliputi. 1) Kompensasi 2) Keamanan dan keselamatan kerja 3) Kondisi kerja 4) Status 5) Prosedur perusahaan 32 6) Mutu dari supevisi teknis dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan. 2.3 Kinerja karyawan 2.3.1 Pengertian kinerja Beberapa ahli manajemen telah merumuskan mengenai pengertian kinerja. Menurut Handoko (2001) kinerja adalah proses dimana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Sedangkan Tika (2006) menjelaskan kinerja adalah hasil-hasil fungsi pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. Kinerja mengacu pada kadar pencapaian tugas-tugas yang membentuk sebuah pekerjaan karyawan. Kinerja merefleksikan seberapa baik karyawan memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan. Kinerja sering disalah tafsirkan sebagai upaya (effort), yang mencerminkan energi yang dikeluarkan, sehingga kinerja diukur dari segi hasilnya saja (Simamora, 2004). Selanjutnya kinerja karyawan dapat diukur dengan 4 indikator yaitu kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan, pengetahuan dan kerjasama (Jansen et al,2001). Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diambil satu pengertian bahwa kinerja merupakan hasil dari pekerjaan seseorang atau sekelompok orang yang telah memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan, dalam suatu perusahaan atau organisasi pada periode waktu tertentu, dalam usaha untuk mencapai tujuan organisasi. Fungsi pekerjaan yang dimaksud adalah pelaksanaan hasil pekerjaan 33 atau kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang menjadi wewenang dan tanggungjawabnya dalam satu organisasi. Sedangkan kinerja SDM adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2006). Kinerja SDM merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan (Rivai, 2005). Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa kinerja SDM adalah prestasi kerja atau hasil kerja yang dapat dicapai oleh SDM persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggungjawabnya dalam organisasi. Hasil kerja yang dimaksud dapat berupa hasil kerja secara kualitatif mapun secara kuantitatif berdasarkan atas standar pekerjaan yang ditetapkan. Standar pekerjaan dapat dicapai melalui dua aspek, yaitu aspek kuantitatif dan aspek kualitatif (Mangkunegara, 2006). Aspek kuantitatif meliputi : 1) proses kerja dan kondisi pekerjaan; 2) waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan; 3) jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan; dan 4) jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekeja. Aspek kualitatif meliputi : 1) ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan; 2) tingkat kemampuan dalam bekerja; 34 3) kemampuan menganalisis data/ informasi, kemampuan/ kegagalan memakai mesin/peralatan; dan 4) kemampuan mengevaluasi. Penilaian kinerja SDM dimaksudkan untuk mengukur kinerja masingmasing karyawan. Dari penilaian kinerja inilah organisasi dapat memberikan umpan balik bagi karyawan, sampai mengidentifikasi apa yang menjadi kekuatan atau kelemahan karyawan (Mathis, 2006). Unsur-unsur yang dinilai dalam prestasi kerja sebagai berikut. 1) Kesetiaan, merupakan tekad dan kesanggupan mentaati, melaksanakan, dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab, yang ditujukan dengan sikap dan perilaku sehari-hari karyawan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Kesetiaan karyawan dalam satu organisasi sangat berhubungan dengan sikap pengabdian yang ditunjukannya. Pengabdian disini adalah sumbangan pikiran dan tenaga yang iklas dengan mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan pribadi. 2) Prestasi kerja, merupakan hasil kerja baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan padanya. 3) Tanggungjawab, merupakan kesanggupan seorang karyawan dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu serta berani memikul resiko atas keputusan yang telah diambilnya atau tindakan yang dilakukannya. 35 4) Ketaatan, merupakan kesanggupan seorang karyawan untuk mentaati segala ketetapan, peraturan yang berlaku, mentaati perintah atasan, serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang telah ditetapkan perusahaan baik yang tertulis maupun lisan. 5) Kejujuran, merupakan ketulusan hati seorang karyawan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan padanya. 6) Kerjasama, merupakan kemampuan seorang karyawan untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan pekerjaan yang telah ditetapkan, sehingga mencapai dayaguna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. 7) Prakarsa, merupakan kemampuan seorang karyawan untuk mengambil keputusan, langkah-langkah atau melaksanakan suatu tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dan bimbingan dari atasannya. 8) Kepemimpinan, merupakan kemampuan yang dimiliki seorang karyawan untuk meyakinkan orang lain, sehingga karyawan tersebut dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok. Penilaian kinerja sangatlah penting dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana karyawan telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Penilaian kinerja bersifat umpan balik bagi karyawan itu sendiri. Apabila ada karyawan yang kurang berprestasi, maka atasan harus dapat mencari solusi, agar karyawan 36 tersebut dapat memperbaiki diri, sehingga kedepannya karyawan tersebut dapat berprestasi (Tohardi, 2002). 2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja SDM Menurut Mahmudi (2005), terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja SDM, adapun faktor-faktor tersebut meliputi : 1) Faktor personal/individual meliputi : pengetahuan, keterampilan, kemampuan, kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu. 2) Faktor kepemimpian meliputi : kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer. 3) Faktor tim meliputi : kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim. 4) Faktor sistem meliputi : sistem kerja, fasilitas kerja atau infra struktur yang diberikan oleh anggota organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja dalam organisasi. 5) Faktor kontekstual (situasional) meliputi : tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal. Selanjutnya Mangkunegara (2006) mengemukakan tentang faktor-faktor penentu prestasi kerja, yang terdiri daridua faktor yaitu: faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut. 37 1) Faktor individu Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. Konsentrasi individu dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan potensi, yaitu kecerdasan pikiran/Intelegency Quotiont (IQ) dan kecerdasan emosi/Emotional Quotiont (EQ). Pada umumnya, individu akan mampu bekerja dengan penuh konsentrasi apabila memiliki tingkat intelegensi minimal normal dengan tingkat kecerdasan emosi baik. 2) Faktor lingkungan organisasi Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain, uraian jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi yang efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai. Jika faktor lingkungan organisasi kurang menunjang, maka bagi individu yang memiliki tingkat kecerdasan pikiran yang memadai dengan tingkat kecerdasan emosi baik, sebenarnya ia tetap dapat berprestasi dalam bekerja. Bagi individu tersebut, lingkungan organisasi itu dapat diubah dan 38 bahkan dapat diciptakan oleh dirinya sendiri serta merupakan tantangan bagi dirinya dalam berprestasi di organisasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa salah satu faktor lingkungan organisasi yang berpengaruh terhadap kinerja karyawan adalah adanya kesempatan menduduki jabatan tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Adanya kesempatan untuk berkarir dalam organisasi atau perusahaan, akan menjadi motivator bagi karyawan untuk lebih membenahi diri menjadi seorang karyawan yang selalu berprestasi atau berkinerja tinggi.