TINJAUAN PUSTAKA Toposekuen Tanah Berbahan Induk Volkanik di Daerah Bogor – Jakarta Penyebaran Tanah Faktor pembentuk tanah terdiri dari bahan induk dan faktor lingkungan yang mempengaruhi perubahan bahan induk menjadi tanah. Faktor pembentuk tanah yang terpenting menurut Jenny (1941) adalah: iklim, organisme, relief (topografi), bahan induk, dan waktu. Faktor-faktor pembentuk tanah ini saling berpengaruh satu sama lain, tetapi di beberapa tempat sering ditemukan hanya satu faktor yang jelas pengaruhnya. Salah satu faktor penting pembentuk tanah adalah relief (topografi). Toposekuen (sekuen ketinggian) merupakan sekuen perubahan sifat-sifat tanah karena perbedaan topografi/elevasi (ketinggian tempat dari permukaan laut). Hubungan antara topografi dengan jenis-jenis tanah yang ditemukan sangat penting untuk diketahui agar dapat diperkirakan penyebaran berbagai jenis tanah di suatu daerah. Hubungan tersebut tidak selalu sama di semua daerah. Hubungan antara topografi (termasuk lereng) dengan jenis tanah ditunjukkan oleh asosiasi tanah tertentu dengan keadaan iklim, bahan induk, dan sebagainya. Lereng berpengaruh terhadap warna tanah. Warna tanah biasanya lebih merah di daerah berlereng daripada daerah datar. Di kaki lereng dan di lembah warna tanah sering berubah menjadi kelabu dengan bercak-bercak merah karena pengaruh genangan air yang lebih sering (Hardjowigeno, 2003). Tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk volkanik terbentuk dari bahan-bahan lepas gunung berapi yang disebut tephra atau pyroclastic materials, yang dihasilkan dari serangkaian proses yang berkaitan dengan letusan gunung berapi. Istilah abu volkan dalam Ilmu Tanah mencakup keseluruhan bahan-bahan lepas tersebut, bukan hanya yang berukuran < 2 mm tetapi termasuk bahan-bahan berukuran > 32 mm (Shoji et al.,1975). Abu volkan biasanya mengandung gelas volkan yang amorf, sedikit feldspar, mineral-mineral kelam (Fe dan Mg) dan sejumlah kuarsa, disebut bertipe vitrik. Gelas volkanik masam umumnya berwarna putih/tidak berwarna, sedangkan yang alkalis biasanya berwarna kecoklatan karena mengandung besi. Ditemukan pula abu volkan yang tidak 5 terdapat/sangat sedikit mengandung gelas tetapi kaya akan fragmen batuan, disebut bertipe lithik. Kebanyakan abu volkan bersifat andesitik (Hardjowigeno, 2003). Di daerah volkanik seperti pulau Jawa, penyebaran jenis tanah dipengaruhi oleh umur bahan induk serta letak ketinggian dari permukaan laut (Hardjowigeno, 2003). Di daerah humid Indonesia, di sekitar daerah abu volkan muda banyak dijumpai tanah Andosol. Andosol ditemukan dari permukaan laut hingga ketinggian 3.000 m, tetapi umumnya ditemukan di daerah yang tinggi (Dudal dan Soepraptohardjo, 1957). Di Kabupaten Bogor, khususnya di daerah Cijeruk dan sekitarnya Latosol berkembang dari batuan induk yang berasal dari batuan volkanik bertufa kuarter dari G. Salak (Effendi, Kusnama, dan Hermanto, 1998). Latosol ditemukan pada iklim yang hampir sama dengan Andosol, tetapi umumnya Andosol ditemukan pada iklim yang lebih dingin dan curah hujan yang lebih tinggi. Di Indonesia, Latosol umumnya berkembang dari bahan induk volkanik baik berupa tufa maupun batuan beku (Dudal dan Soepraptohardjo, 1957). Latosol ditemukan dari permukaan laut hingga ketinggian 900 m, di daerah iklim tropika basah dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 2.500 – 7.000 mm (Hardjowigeno, 2003). Hubungan antara topografi dengan keadaan iklim mempunyai asosiasi tanah yang berbeda antara yang beriklim humid (udik) dengan yang beriklim kering (ustik). Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor Skala 1:250.000 (Hardjono dan Soepraptohardjo, 1966) yang beriklim humid, Latosol ditemukan pada lereng utara dari Gunung Gede – Pangrango dan Gunung Salak dan transisinya hingga ke dataran rendah Jakarta. Berdasarkan ketinggian, penyebaran tanahnya adalah sebagai berikut: pada elevasi > 700 m dpl. ditemukan tanah Latosol Coklat Kekuningan, pada elevasi 400 – 700 m dpl. ditemukan Latosol Coklat, dan pada elevasi < 400 m dpl. ditemukan asosiasi Latosol Merah dan Latosol Coklat Kemerahan. Penelitian yang dilakukan oleh Hardjono (1968) menyebutkan bahwa Latosol masih dijumpai di atas ketinggian 1.000 m dpl. Hal ini berbeda dengan penelitian Subardja dan Buurman (1980) yang menemukan bahwa Latosol hanya 6 sampai ketinggian 900 m dpl., sedangkan pada ketinggian 1.020 m dpl. telah beralih menjadi Andosol Coklat (Tabel 1). Tabel 1 Penyebaran tanah pada toposekuen Latosol (lahan kering) berbahan induk volkanik di daerah Bogor – Jakarta Lokasi Cikopo Cikopo Sukaraja Sukaraja Gadog Rancamaya Baranangsiang Semplak* Parung Ciputat Elevasi (m dpl.) 1.020 900 750 650 500 450 320 205 140 40 Dudal - Soepraptohardjo (1957) Andosol Coklat Latosol Coklat Latosol Coklat Latosol Coklat Latosol Coklat Latosol Coklat Latosol Coklat Latosol Coklat Kemerahan Latosol Merah Kekuningan Latosol Merah Nama FAO (1974) Tanah Soil Survey Staff (1975) Humic Andosol Humic Cambisol Eutric Cambisol Dystric Cambisol Dystric Cambisol Dystric Cambisol Eutric Cambisol Dystric Gleysol Orthic Ferralsol Rhodic Ferralsol Typic Dystrandept Andic Humitropept Andic Humitropept Andic Humitropept Typic Dystropept Typic Humitropept Typic Eutropept Aeric Tropaquept Typic Eutrorthox Typic Eutrorthox Soil Survey Staff (2006) Typic Hapludand Andic Eutrudept Andic Eutrudept Andic Dystrudept Typic Dystrudept Typic Dystrudept Typic Eutrudept Aeric Epiaquept Typic Eutrudox Typic Eutrudox Diolah dari: Subardja dan Buurman (1980). * Tanah pernah disawahkan Karakteristik Tanah Latosol merupakan tanah dengan pelapukan lanjut, sangat tercuci, batasbatas horison baur, kandungan mineral primer (mudah lapuk) dan unsur hara rendah, pH rendah (4,5 – 5,5), kandungan bahan organik rendah, konsistensi gembur, struktur remah, stabilitas agregat tinggi, terjadi akumulasi seskuioksida akibat pencucian silika. Warna tanah merah, merah kekuningan, coklat kemerahan, coklat, atau coklat kekuningan, tergantung dari bahan induk, umur, iklim dan ketinggian (Dudal dan Soepraptohardjo, 1957). Menurut Hardjowigeno (2003) definisi Latosol tadi tidak bersifat kuantitatif, seperti pelapukan lanjut, sangat tercuci, mineral mudah lapuk rendah, terjadi akumulasi seskuioksida akibat pencucian silika. Dengan demikian, Latosol ditujukan untuk tanah-tanah tua, hal yang kurang tepat untuk Latosol yang ada di Indonesia. Dalam Taksonomi Tanah, Latosol Indonesia justru tidak terlalu banyak yang dapat diklasifikasikan sebagai Oxisol. Pusat Penelitian Tanah (1983) memodifikasi definisi Latosol menjadi tanah yang mempunyai kadar liat tinggi (≥ 60 %), remah sampai gumpal, gembur, warna homogen dengan penampang tanah dalam (> 150 cm), batas horison terselubung, kejenuhan basa < 50 % sekurang-kurangnya pada beberapa bagian dari horison B di dalam penampang 125 cm dari permukaan, tidak mempunyai horison diagnostik (kecuali jika tertimbun oleh ≥ 50 cm bahan baru), selain 7 horison A umbrik atau horison B kambik, tidak memperlihatkan gejala plintik di dalam penampang 125 cm dari permukaan, dan tidak mempunyai sifat-sifat vertik. Penelitian Subardja dan Buurman (1980) pada toposekuen Latosol Bogor – Jakarta menjumpai juga Latosol yang solumnya dangkal (53 cm), yaitu di daerah Sukaraja dengan ketinggian 750 m dari permukaan laut. Menurut Subardja dan Buurman (1980), Latosol, dalam sistem FAO (1974) setara dengan Cambisol dan Ferralsol, sedangkan untuk tanah yang pernah disawahkan setara dengan Gleysol. Cambisol adalah tanah dengan horison kambik atau epipedon umbrik dengan ketebalan > 25 cm, sedangkan Ferralsol adalah tanah dengan horison oksik. Sementara itu Gleysol adalah tanah yang mempunyai sifat hidromorfik pada kedalaman ≤ 50 cm dan tidak mempunyai horison penciri lain (kecuali tertimbun ≥ 50 cm oleh bahan baru) selain horison A histik, kambik, kalsik, atau gipsik. Dalam sistem Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2006) Latosol dapat dimasukkan ke dalam beberapa ordo yaitu Inceptisol, Alfisol, Ultisol, atau Oxisol (Hardjowigeno, 2003). Tanah-tanah Latosol pada penelitian Subardja dan Buurman (1980), berdasarkan Soil Survey Staff (2006) dapat digolongkan ke dalam dua ordo tanah yaitu Inceptisol dan Oxisol. Karakteristik tanah pada toposekuen Latosol pada bahan induk volkanik di daerah Bogor - Jakarta yang diteliti Subardja dan Buurman (1980) adalah: (a) Sifat fisika dan kimia: kandungan liat meningkat dengan meningkatnya pelapukan, kandungan liat lebih tinggi pada elevasi lebih rendah. Pedon pada kipas aluvial dan teras sungai mempunyai distribusi liat seragam, sedangkan pedon pada lereng volkan tidak sama penyebarannya, mencerminkan stratifikasi pada bahan induk. Kandungan C-organik secara berangsur naik dengan ketinggian. Kapasitas tukar kation liat rendah pada elevasi rendah, dan lebih tinggi pada elevasi tinggi. (b) Sifat mineralogi: pada fraksi pasir semua pedon menunjukkan adanya penambahan bahan segar pada lapisan permukaan. Mineral opak dan mineral stabil menurun dengan meningkatnya ketinggian. Fragmen batuan dan hipersten meningkat dengan meningkatnya ketinggian. Fraksi liat pada elevasi rendah 8 didominasi oleh haloisit; pada elevasi tinggi proporsi haloisit, goetit, dan kuarsa menurun secara berangsur, interstratified vermikulit-ilit menjadi dominan. Tanah Sawah Karakteristik Tanah Sawah Tanah sawah dapat diartikan sebagai tanah yang ‘sudah lama’ digunakan untuk budidaya padi sawah (low land rice), sehingga akan memperlihatkan perkembangan profil tanah yang ‘khas’ yang berbeda dari tanah aslinya. Pengertian sederhana tentang tanah sawah adalah setiap jenis tanah yang mengalami proses penggenangan dan pengeringan secara periodik untuk media tumbuh tanaman padi sawah. Namun demikian, para pakar tanah telah berusaha untuk mendefinisikan tanah sawah yang lebih tepat. Kanno (1978) menyatakan bahwa tanah sawah adalah tanah yang di antaranya mengalami proses hidromorfik, baik secara buatan maupun secara alami (seperti rawa-rawa). Berdasarkan definisi tersebut, maka tanah sawah mempunyai sifat morfologi yang khas sebagai berikut: (1) Horison eluviasi tereduksi terdiri dari lapisan olah dan lapisan tapak bajak, (2) horison iluviasi teroksidasi, ditunjukkan oleh adanya karatan besi dan mangan, (3) horison eluviasi yang secara berkala tereduksi ditunjukkan oleh noda-noda glei dan karatan kuning kecoklatan, dan (4) horison yang selalu tereduksi. Horison-horison ini tidak selalu harus ada semuanya dalam satu profil. Pendapat lainnya, tanah sawah adalah tanah yang mengalami perkembangan morfologi dan sifat kimia yang khusus seperti terbentuknya glei permukaan dan lapisan tapak bajak sebagai akibat dari penggenangan buatan secara periodik pada bagian atas dari profil tanah yang berkaitan dengan penanaman padi (Tan, 1968; Moormann dan van de Wetering, 1985). Berapa lama tanah harus digenangi dan dikeringkan untuk memenuhi syarat sebagai tanah sawah tidak diketahui dengan pasti. Kanno et al. (1964 dalam Moormann dan van Breemen, 1978) melaporkan bahwa pada tanah sawah lempung berpasir, lapisan tapak bajak mulai terbentuk setelah tiga tahun dengan pengolahan secara mekanisasi, sedangkan pada tanah sawah bertekstur liat halus lapisan tapak bajak terbentuk setelah 10–12 tahun. Setelah 10 tahun tapak bajak terlihat jelas dan setelah 200 tahun tapak bajak berkembang dengan baik. 9 Menurut Buringh (1979), tanah sawah merupakan suatu tanah “buatan manusia” karena sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Hal ini terutama dapat dilihat pada sifat kelembabannya yang spesifik yang tidak dimiliki oleh tanah-tanah hidromorfik alami (Mitsuchi, 1974 dalam Moormann, 1978). Contohnya adalah Ustept yaitu Inceptisol yang mempunyai regim kelembaban tanah ustik (tanah setiap tahun kering > 90 hari secara kumulatif tetapi < 180 hari). Sifat tersebut akan hilang apabila sistem pengelolaannya berubah dari tanah bukan sawah menjadi sistem persawahan tergantung pada lamanya penggenangan. Penggenangan mengakibatkan terjadinya perubahan regim kelembaban tanah, misalnya berubah menjadi Udept atau Aquept. Menurut Soil Survey Staff (2006), Udept adalah Inceptisol yang mempunyai kelembaban udik (tanah tidak pernah kering selama 90 hari secara kumulatif setiap tahun); sedangkan Aquept yaitu Inceptisol yang mempunyai regim kelembaban akuik (tanah sering jenuh air, sehingga terjadi reduksi ditunjukkan oleh adanya karatan dengan kroma rendah). Perubahan ini bukan semata-mata terjadi secara alami, melainkan terjadi karena adanya campur tangan manusia. Sementara itu, tanah-tanah hidromorfik alami memang dari semula sudah memiliki regim kelembaban akuik. Hal ini sesuai dengan penelitian Rayes (2000). Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa umumnya tanah yang disawahkan di daerah Merapi pada elevasi (250 m dpl) yang ditanami 1x padi setahun pada tekstur modifier pasir berkerikil dan tekstur pasir karena ketersediaan air terbatas termasuk kelembaban ustik. Pada elevasi > 250 m dpl yang ditanami 2x padi, tanah memiliki regim kelembaban udik, sedangkan tanah yang ditanami 3x padi baik pada elevasi > 250 m dpl. maupun pada elevasi < 250 m dpl., khususnya pada tanah lempung berpasir, memiliki regim kelembaban akuik. Penggenangan pada tanah sawah akan membawa kepada perkembangan karakteristik akuik akibat peningkatan kebasahan (wetness) tanah (Mitsuchi, 1974 dalam Moormann, 1978). Pada tanah yang berdrainase baik, regim kelembaban akuik mungkin terjadi, dan pada tanah berdrainase buruk atau agak terhambat regim kelembaban akuik diperkuat (Moormann dan van Breemen, 1978). Dengan demikian jika penggenangan terus menerus terjadi, klasifikasi tanah akan berubah menjadi subordo akuik (Moormann, 1978). 10 Tanah-tanah yang lama digunakan sebagai sawah menunjukkan perbedaan yang nyata dengan tanah yang tidak disawahkan, walaupun bahan induknya sama (Koenigs, 1950). Tanah sawah cenderung mempunyai sifat morfologi dan pedogenetik yang khusus, sebagai hasil penggunaan tanah yang diairi selama beberapa bulan dalam satu tahun (Kawaguchi dan Kyuma, 1977). Penggenangan tanah ini menyebabkan timbulnya lapisan reduksi yang berwarna kelabu di bagian atas (Mohr et al., 1972) yang bisa mencapai kedalaman sampai 30 – 80 cm, tergantung pada tekstur, komposisi mineral dan drainase setempat (Dudal, 1966). Selain terbentuknya lapisan reduksi, dalam profil tanah sawah juga terbentuk karatan besi dan mangan. Kandungan karatan besi dan mangan pada tanah tersebut tergantung pada keadaan drainase setempat (Mohr et al., 1972). Tanah Latosol Bogor yang disawahkan yang mengalami reduksi dan oksidasi yang berulang-ulang sepanjang tahun banyak mengandung karatan besi dan mangan, sebagaimana disajikan pada Gambar 1 (Koenigs, 1950). Meskipun demikian tidak semua tanah yang disawahkan akan membentuk lapisan tersebut (Tan, 1968; Munir, 1987). Gambar 1 memperlihatkan lapisan olah (Ap) yang merupakan lapisan paling atas yang mengalami pergantian reduksi-oksidasi sangat intensif dan menyangkut perubahan yang mengakibatkan terjadinya hasil-hasil dekomposisi bahan organik. Bila digenangi, lapisan olah dapat dibagi menjadi: (1) lapisan oksidasi yang tipis (Ap1g/Gambar 2) di permukaan tanah, letaknya langsung di bawah air genangan setebal 1-2 mm, dan (2) lapisan tereduksi yang terletak di bawahnya (Ap2g/Gambar 2). Lapisan ini merupakan lapisan eluviasi Fe dan Mn dalam keadaan tereduksi. Tingkat gleisasi yang terjadi tergantung dari lamanya penggenangan dan tekstur tanah. Semakin lama tanah digenangi dan semakin halus tekstur tanah, semakin tinggi gleisasi (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Hal ini disebabkan karena semakin lama tanah digenangi menyebabkan peredaran udara terganggu sehingga terjadi proses reduksi Fe/Mn dalam keadaan anaerob, yang menyebabkan terbentuk warna kebiruan atau kehijauan dengan/atau tanpa bercak kuning, hitam, konkresi Fe dan/atau Mn. Semakin halus tekstur (liat) menyebabkan drainase terhambat sehingga air tidak mudah hilang dari tanah. 11 Gambar 1 Profil tanah sawah sekitar Bogor (Koenigs, 1950). Di bawah lapisan olah dijumpai lapisan tapak bajak, yaitu lapisan tanah yang memadat dengan indeks pemadatan yang lebih tinggi dari lapisan manapun. Ketebalan lapisan ini sekitar 5 – 10 cm yang terletak di antara kedalaman 10 – 40 cm (Kanno, 1978). Menurut Moormann dan van Breemen (1978) lapisan tapak bajak terbentuk bukan karena hasil iluviasi liat, karena terbukti tidak ada peningkatan kandungan liat halus dan tidak ditemukan selaput (kutan) liat. Sedangkan Rayes (2000) melaporkan proses pedogenesis yang dominan dalam lapisan tapak bajak adalah iluviasi bahan-bahan yang berasal dari lapisan olah di atasnya, penghancuran agregat-agregat tanah di lapisan olah akibat pengolahan tanah dalam keadaan basah dan terjadinya pengendapan bahan-bahan halus dari lapisan olah yang menutupi pori-pori makro sehingga jumlah pori makro berkurang, sedangkan pori mikro meningkat, disertai dengan tekanan oleh kaki manusia dan hewan penarik bajak yang dapat menyebabkan lapisan ini menjadi lebih padat. Pembajakan di lapisan olah selalu dilakukan pada kedalaman yang hampir sama, yang menyebabkan lapisan ini menjadi semakin padat. Di bawah lapisan tapak bajak ditemukan horison iluviasi besi/mangan yang teroksidasi. Horison ini dapat terbentuk pada tanah berdrainase baik yang disawahkan yang kedalaman air tanahnya > 1 m. Horison ini meliputi horison iluviasi besi (Bir) dan horison iluviasi mangan (Bmn), letaknya di dalam profil ditentukan oleh proses oksidasi-reduksi yang terjadi akibat pengaruh air yang 12 diberikan. Umumnya horison Bir terletak di atas horison Bmn, tetapi sebaliknya pada keadaan air tanah yang dangkal Bir dapat dijumpai di bawah Bmn. Lapisan Fe umumnya sangat tipis (< 1 cm), sedangkan lapisan Mn umumnya lebih tebal (Koenigs, 1950; Grant, 1965). Di bawah horison iluvasi Fe/Mn dijumpai horison B tanah asal. Pada tanahtanah dengan air tanah dalam yang disawahkan, horison-horison tanah di bawah horison iluvasi ini umumnya tidak terpengaruh oleh resapan air genangan akibat penyawahan, oleh karena itu tidak terlihat adanya perubahan sifat tanah akibat penyawahan. Horison ini tetap mempertahankan sifat tanah asalnya (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Menurut Kanno (1978), di Jepang terdapat juga tanah sawah yang tidak memiliki horison seperti tanah sawah tipikal tersebut. Hal ini disebabkan keragaman dalam pengaruh air tanah maupun air genangan (hidromorfisme). Profil tanah sawah tipikal dengan air tanah relatif dangkal sedikit berbeda dari profil tanah sawah tipikal dengan air tanah dalam yang dikemukakan oleh Koenigs (1950). Pada tanah sawah dengan air tanah yang relatif dangkal terbentuk horison iluviasi Fe dan Mn di atas garis permukaan air tanah akibat naik turunnya air tanah sesuai dengan musim. Pada waktu permukaan air tanah naik ke lapisan yang lebih oksidatif di atasnya, Fe2+ dan Mn2+ juga ikut terbawa. Namun, karena Fe lebih sukar larut daripada Mn, maka Fe akan mengendap lebih dahulu. Hal ini mengakibatkan terbentuknya horison Bir dibawah horison Bmn. Kedua horison tersebut kadang-kadang dapat terpisah dengan jelas, tetapi kadang-kadang juga tidak jelas. Hal ini dilukiskan oleh Moormann dan van Breemen (1978) pada Gambar 2. Pola perkembangan profil tanah yang disawahkan sangat beragam tergantung dari kondisi dan jenis tanah asalnya. Secara skematik Kanno (1978) menyajikan pola perkembangan profil tanah sawah yang masing-masing berasal dari tanah kering dan tanah tergenang (Gambar 3). Dari Gambar 3 tersebut dapat dijelaskan bahwa pada tanah dengan kedalaman air tanah > 1,5 meter kemungkinan besar horison glei (G) tidak terbentuk, yang akan terbentuk adalah horison B yang berada dalam kondisi reduksi dan oksidasi yang silih berganti (Bg). Dari skema tersebut terlihat bahwa 13 Gambar 2 Profil tanah sawah tipikal dengan air tanah relatif dangkal (Moormann dan van Breemen, 1978). 1. G 2. g 3. 4. 5. 6. 7. = horison tereduksi oleh air tanah = adanya karatan Fe dan/atau Mn 8. BG = horison iluviasi yang tereduksi 9. BgG= horison iluviasi dengan noda glei dan karatan Fe/Mn Apg = lapisan olah dengan karatan Fe/Mn 10. Bir = horison iluviasi dengan Fe dominan ApG = lapisan olah yang tereduksi 11.Bmn= horison iluviasi dengan Mn dominan A12g = tapak bajak dengan karatan Fe/Mn 12.Bmi = horison iluviasi campuran Fe dan Mn sebanding A12gG = tapak bajak dengan noda-noda glei 13.Cg = horison tereduksi permanen dengan karatan kuning kecoklatan 14.Gg = horison dengan perkembangan Bg = horison iluviasi dengan karatan Fe/Mn struktur sangat lemah/tak berstuktur Gambar 3 Skema diagram perkembangan profil pada tanah kering dan basah (Kanno, 1978). 14 perkembangan profil tanah berasal dari tanah kering (bukan sawah), apabila digenangi akan membentuk susunan horison sebagai berikut: Apg, A12g - B1gG B2gG - Cg. Proses pembentukan horison ini memerlukan waktu yang sangat lama dengan kondisi air yang cukup memadai. Simbol ’g’ yang dimaksud oleh Kanno (1978) bukan untuk simbol ’gleisasi’, tetapi hanya untuk menerangkan adanya karatan Fe dan Mn. Simbol yang digunakan untuk gleisasi adalah ’G’, berbeda dengan Soil Survey Staff (2006) yang menggunakan simbol ’g’ untuk gleisasi. Proses perkembangan profil tanah tergenang dengan susunan horison awal G1 - G2, apabila terjadi pengeringan akan mengalami perubahan susunan horison. Apabila sistem drainasenya diperbaiki dengan pembuatan jalur-jalur pembuangan, dalam kurun waktu sekitar 400 tahun dapat terbentuk susunan horison Apg - A12g - Bmi - Bmn – BmG (Kanno, 1978). Pengolahan dalam keadaan tergenang menyebabkan perubahan sifat fisik tanah antara lain hancurnya agregat (struktur) tanah, berkurangnya pori-pori kasar dan meningkatnya pori halus. Penggenangan tanah dalam keadaan berlumpur menyebabkan partikel-partikel halus bergerak ke bawah bersama air perkolasi membentuk lapisan tapak bajak di bawah lapisan olah, sehingga bobot isi pada lapisan ini meningkat (Moormann dan van Breemen, 1978; Kanno, 1978). Kebanyakan tanah-tanah sawah mempunyai permeabilitas yang sangat lambat karena kaya liat atau debu, tingginya air tanah atau adanya lapisan yang tidak tembus pada subsoil (Sanchez, 1976). Permeabilitas pada lapisan tapak bajak umumnya lebih rendah daripada lapisan di atas atau di bawahnya (Moormann dan van Breemen, 1978). Penelitian Mitsuchi (1975) mengemukakan bahwa profil tanah sawah dapat berbeda akibat permeabilitas tanah yang berbeda. Berdasarkan atas perbedaan permeabilitas, maka dibedakan tiga jenis tanah sawah: (1) tanah sawah coklat (brown lowland paddy soil), yang memiliki ciri mempunyai permeabilitas sedang, warna lapisan olah dan lapisan tapak bajak kelabu tua (5Y 4/1), sedangkan horison di bawahnya berwarna coklat tua (10YR 4/3) dengan bercak kelabu (5Y 4/1), horison paling bawah berwarna coklat tua (10YR 4/3) tanpa bercak-bercak kelabu; (2) tanah sawah kelabu (gray lowland paddy soil), yang memiliki ciri mempunyai permeabilitas lambat, berwarna kelabu (5Y 4/1 – 5/1), dari horison 15 permukaan hingga horison bawah dengan karatan besi dan mangan yang cukup banyak; dan (3) tanah sawah glei (hanging water gley lowland paddy soil), yang memiliki ciri-ciri mempunyai permeabilitas sangat lambat, horison permukaan dengan warna glei (7,5 GY 4/1 - 10G 4/1) karena adanya genangan air (hanging water horizon), di horison bawah warna tanah masih lebih terang (10Y 5/1). Hasil penelitian Rayes (2000) menunjukkan bahwa pada kelompok tekstur pasir berkerikil, permeabilitas tanah pada lapisan olah (Ap) maupun lapisan tapak bajak dan padas besi adalah sawah 1x < sawah 2x < sawah 3x. Permeabilitas terendah (paling lambat) ada pada horison padas Fe/Mn dan lapisan tapak bajak, sejalan dengan tingginya bobot isi tanah dan adanya sementasi pada padas Fe/Mn. Rayes (2000) menambahkan meskipun tanahnya bertekstur pasir bahkan juga berkerikil dan berbatu masih ditemukan tapak bajak, karena pengolahan tanah selalu dilakukan secara intensif dalam keadaan basah pada kedalaman pengolahan yang sama dan berlangsung bertahun-tahun, yang menyebabkan butirbutir halus tanah menyumbat pori dibawahnya sehingga terjadi pemadatan. Adanya sementasi lemah oleh besi dan mangan maupun oleh silikat (meskipun tidak terlalu kuat) dapat mendukung pembentukan tapak bajak. Pada padas besi tersebut, diimpregnasi (diisi atau diresapi) oleh besi oksida dan hidroksida pada semua pori, sehingga lapisan padas besi lebih keras karena tersementasi selain oleh besi dan mangan juga tersementasi oleh silika. Perubahan sifat kimia yang sangat intensif dapat ditemui pada tanah sawah akibat penggenangan yang berulang. Perubahan sifat-sifat kimia yang penting akibat penggenangan adalah: (1) penurunan oksigen; (2) reduksi kimia dalam tanah atau penurunan potensial redoks; (3) meningkatnya pH pada tanah masam dan menurunnya pH pada tanah alkali; (4) reduksi Fe (III) menjadi Fe (II) dan Mn (IV), Mn (III) menjadi Mn (II); (5) reduksi NO3¯ dan NO2¯ menjadi N2 dan N2O; (6) reduksi SO42¯ menjadi S¯ ; (7) bertambahnya sumber dan ketersediaan nitrogen; (8) bertambahnya ketersediaan P, Si, Mo, Ca, Na dan lain-lain; (9) penurunan konsentrasi larutan Zn dan Cu; (10) akumulasi CO2, CH4, asam organik dan H2S sebagai hasil dekomposisi bahan organik (De Datta, 1981). Berdasarkan ketersediaan airnya, tanah sawah dapat ditanami padi sawah secara terus-menerus sepanjang tahun, atau bergiliran dengan tanaman palawija, 16 atau sengaja diberakan. Menurut Kanno (1978) pengaruh pengelolaan terhadap genesis tanah sawah tergantung pada perubahan dalam teknik bertani, penanaman dan pola tanam. Perbedaan dalam pola tanam menyebabkan perbedaan dalam periode penggenangan dan jumlah air irigasi yang diberikan. Sawah yang ditanami padi 3x (sepanjang tahun) akan tergenang terus menerus. Sawah dengan pergiliran tanaman padi-padi-palawija mengalami masa tergenang yang lebih lama daripada masa kering, sedangkan sawah dengan pola tanam padi-palawija-bera mengalami masa tergenang yang lebih singkat daripada masa kering setiap tahunnya. Sawah-sawah tipikal yang telah dikeringkan selama puluhan tahun, masih menunjukkan adanya lapisan Fe/Mn, tetapi lapisan atas tidak pucat lagi, warnanya mendekati warna tanah asal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Munir (1987) pada sawah yang mengalami pengeringan (tidak dimanfaatkan sebagai lahan persawahan lagi) yang dalam kurun waktu 20 tahun, epipedonnya mengalami perubahan warna dari kelabu (10 YR 5/1) menjadi warna coklat kekuningan (10 YR 5/4), dimana warna ini merupakan warna tanah aslinya sebelum disawahkan. Pola tanam juga berpengaruh terhadap klasifikasi tanah sawah. Misalnya klasifikasi lahan kering pada tingkat subgrup, pada awalnya adalah Typic Dystrudept. Dengan adanya penyawahan, terjadi penggenangan secara terus menerus dalam waktu yang lama, sehingga tanah menjadi lebih basah. Menurut definisi Soil Survey Staff (1999; 2006), tanah menjadi lebih basah dengan urutan: Oxyaquic Dystrudept, Aquic Dystrudept, Aeric Epiaquept, dan yang paling basah Typic Epiaquept. Hasil penelitian Rayes (2000) menunjukkan bahwa klasifikasi tanah sawah bertekstur pasir pada elevasi 300-500 m dpl. adalah: Aquic Durudept (1x padi), Anthraquic Eutrudept (2x padi), dan Typic Epiaquept (3x padi). Moormann dan van Breemen (1978) mengemukakan bahwa perubahan sifat yang terjadi pada tanah sawah dapat dibedakan menjadi dua yaitu perubahan yang bersifat sementara dan perubahan permanen. Disebut perubahan sementara karena setelah penyawahan selesai dan digantikan dengan tanaman palawija atau diberakan, terjadi perubahan sementara sifat-sifat tanah akibat pengeringan. Perubahan sementara sifat tanah akibat disawahkan umumnya terjadi di lapisan permukaan tanah. Perubahan sementara sifat fisik tanah pada waktu disawahkan 17 berkaitan dengan pengolahan tanah dalam keadaan tergenang (pelumpuran), perubahan sifat kimia berkaitan dengan proses reduksi-oksidasi, selanjutnya menyebabkan perubahan sifat morfologi tanah baik pada waktu tanah disawahkan maupun pada waktu ditanami palawija atau bera. Perubahan permanen terjadi akibat efek kumulatif dari perubahan sementara akibat penggenangan sawah musiman, atau akibat praktek percetakan sawah (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Perubahan yang bersifat sementara berkaitan dengan pengolahan tanah dalam keadaan tergenang (pelumpuran) yang menyebabkan perubahan sifat fisik tanah antara lain hancurnya agregat (struktur) tanah, pori-pori kasar berkurang dan pori halus meningkat (Kanno, 1978; Ghildyal; 1978). Penggenangan juga berpengaruh terhadap sifat kimia melalui penurunan nilai potensial redoks sehingga mobilitas Fe dan Mn meningkat. Jumlah besi Feri (Fe3+) yang tereduksi menjadi fero (Fe2+) selama penggenangan sangat beragam dari beberapa persen hingga 90% (Mitsuchi, 1974 dalam Kanno, 1978). Sebagian besar fero terdapat dalam bentuk padat dan terjerap, sedangkan sebagian lainnya terdapat dalam larutan (Moormann dan van Breemen, 1978). Penggenangan dan pengeringan berulang-ulang menyebabkan mineral feri hidroksida/Fe(OH)3 amorf yang mudah direduksi jumlahnya meningkat. Ferihidroksida ini berasal dari ferioksida (Fe2O3) yang lebih stabil seperti goetit dan hematit yang kristalin. Mekanisme perubahan besi oksida kristalin menjadi besi oksida amorf tersebut disajikan pada Gambar 4. Perubahan tanah sawah yang bersifat permanen terlihat dari sifat morfologi tanahnya yang seringkali menjadi sangat berbeda dengan profil tanah asalnya. Menurut Moormann dan van Breemen (1978) perubahan tanah sawah yang bersifat permanen disebabkan oleh: (a) praktek pencetakan sawah seperti perataan, penterasan, dan pembuatan pematang, (b) praktek budidaya sehingga sifat fisiknya berubah seperti pembentukan tapak bajak dan lain-lain, (c) penggenangan yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat kimia dan mineralogi yang merupakan bagian dari proses pembentukan tanah (misalnya eluviasi dan iluviasi Fe/Mn, proses ferolisis, pembentukan oksida Fe/Mn, dan lain-lain), dan (d) perubahan regim kelembaban tanah. 18 Reduksi Oksidasi lambat cepat Fe (II) Fe(III) kristalin (goetit) Fe (III) amorf (feri hidroksida) Reduksi cepat Kristalisasi Lambat Gambar 4 Mekanisme perubahan besi oksidasi kristalin menjadi besi oksida amorf (Moormann dan van Breemen, 1978). Genesis Tanah Sawah Proses pembentukan tanah sawah tidak terlepas dari proses pedogenesis yang berlangsung sebelum tanah disawahkan, karena sebelum disawahkan tanah asal telah mengalami proses pedogenesis yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk tanah. Proses-proses pembentukan tanah menurut Simonson (1959) meliputi: (1) penambahan bahan organik dan mineral ke dalam tanah, dalam bentuk padat, cair, ataupun gas; (2) kehilangan bahan organik dan mineral tersebut dari tanah; (3) translokasi (pemindahan) bahan-bahan tersebut dari satu tempat ke tempat yang lain; dan (4) transformasi (perubahan bentuk) bahan-bahan mineral dan organik di dalam tanah. Proses-proses pembentukan tanah yang menunjukkan sifat dari proses tersebut di atas oleh Buol et al. (1980) dibedakan atas 13 kelompok, diantaranya: (1) eluviasi (pemindahan bahan-bahan tanah dari satu horison ke horison lain) dan iluviasi (penimbunan bahan-bahan tanah dalam suatu horison), (2) leaching (bahan-bahan tanah hilang dari solum) dan enrichment (penambahan bahan-bahan terutama berasal dari daerah sekitarnya di dalam suatu horison), (3) erosi permukaan (pengikisan lapisan atas tanah oleh air atau angin) dan kumulasi (penimbunan tanah atau mineral di permukaan tanah oleh air atau angin), (4) lessivage (pencucian liat atau debu halus dalam bentuk suspensi, melalui pori-pori atau rekahan tanah) dan pedoturbasi (pencampuran secara biologi atau fisik yaitu 19 basah dan kering yang bergantian dari horison-horison tanah sehingga tanah menjadi homogen atau perbedaan horison-horison menjadi tidak jelas, (5) feritisasi/feralisasi/latosolisasi (pemindahan silika secara kimia dan keluar dari solum tanah, sehingga konsentrasi Al dan Fe/seskuioksida meningkat dengan atau tanpa pembentukan plintit dan konkresi) dan podzolisasi/silikasi (pemindahan Al dan Fe dan/atau bahan organik secara kimia sehingga Si tertinggal dan meningkat konsentrasinya, (6) dekomposisi (penghancuran bahan mineral dan bahan organik) dan sintesis (pembentukan partikel mineral atau bahan organik baru), (7) leusinisasi (pembentukan horison pucat karena pencucian bahan organik atau bahan organik berubah menjadi tidak berwarna) dan melanisasi (pembentukan mineral kelam dari warna tanah mineral terang karena pencampuran dengan bahan organik seperti pada epipedon molik atau umbrik), (8) braunifikasi/ rubifikasi/ feruginasi (pelepasan besi dari mineral primer dan dispersi partikel-partikel besi oksida yang makin meningkat) dan gleisasi (reduksi besi dalam keadaan anaerobik sehingga terbentuk warna kelabu dengan atau tanpa karatan atau konkresi), serta (9) hardening (pengisian pori-pori tanah oleh bahan-bahan halus seperti silika, besi oksida, dan lain-lain; atau pengurangan pori akibat pemadatan) dan loosening (volume pori-pori tanah bertambah karena kegiatan tanaman, hewan, manusia atau proses fisika lainnya dan pemindahan bahan-bahan tanah dengan pencucian). Menurut Kanno (1978) pembentukan tanah sawah melibatkan berbagai proses yaitu: (1) proses yang dipengaruhi oleh kondisi reduksi-oksidasi (redoks) yang bergantian; (2) penambahan dan pemindahan bahan kimia atau partikel tanah; dan (3) perubahan sifat fisik, kimia dan mikrobiologi tanah akibat irigasi (pada tanah kering disawahkan) atau perbaikan drainase (pada tanah rawa-rawa yang disawahkan). Dalam proses pembentukan tanah sawah, iluviasi dalam keadaan reduktif memainkan peranan yang penting dalam diferensiasi horison. Pembentukan lapisan tapak bajak, noda-noda karatan, selaput dan noda-noda kelabu (Gong, 1986), dan pembentukan padas besi/mangan terjadi dalam keadaan oksidatif. 20 Klasifikasi Tanah Sawah Secara umum istilah tanah sawah dalam bahasa Inggris adalah rice soil, atau paddy soil. Istilah lainnya adalah : lowland paddy soil (Mitsuchi, 1975), artificial hydromorphic soil (Kanno, 1962), greatgroup anthraquic (Dudal dan Moormann, 1964); subgroup anthrophic (Dudal, 1958), aquorizem (Kyuma dan Kawaguchi, 1966), dan typical paddy soils (Dudal, 1958). Dalam klasifikasi tanah FAO (World Reference Base for Soil Resources) tanah sawah termasuk Anthrosols (FAO, 1998). Penyempurnaan klasifikasi tanah sawah telah lama diupayakan oleh USDA, melalui Komite Internasional untuk tanah-tanah yang memiliki Regim Kelembaban Akuik (ICOMAQ), dan dilanjutkan oleh Komite Internasional untuk Tanah-tanah Antropogenik (ICOMANTH). Komite-komite ini sepakat untuk memodifikasi Taksonomi Tanah dengan penambahan kelas baru untuk tanahtanah yang dimodifikasi manusia atau disebut juga Tanah Antropogenik. Seperti yang diharapkan, pada Keys to Soil Taxonomy mulai edisi ke-8 (Soil Survey Staff, 1998) penamaan tanah sawah terutama di daerah tropis sudah lebih mencerminkan sifat tanah sawah dibandingkan dengan edisi-edisi Taksonomi Tanah sebelumnya. Hal ini karena ditiadakannya great group Tropaquept pada edisi ke-8, sehingga tanah-tanah Inceptisol di daerah tropis dari sub order Aquept yang diirigasi (karena pengaruh manusia) yang sebelumnya termasuk Tropaquept yang tentunya sifatnya sangat berbeda dengan Inceptisol yang memiliki regim kelembaban akuik secara alami, kini menjadi great grup tersendiri yaitu Epiaquept. Pada Keys to Soil Taxonomy edisi sebelumnya Epiaquept terletak setelah Tropaquept, sehingga tanah-tanah Inceptisol yang disawahkan di tropika tidak pernah termasuk ke dalam Epiaquept. Epiaquept mencerminkan kondisi akuik pada kedalaman 40-50 cm dari permukaan tanah yang disebabkan oleh pengaruh campur tangan manusia yang sengaja menjenuhkan lapisan olah dengan melakukan penggenangan permukaan tanah. Tanah sawah digenangi air terus menerus selama pertumbuhan padi sehingga pada tanah sawah tersebut dapat tercipta kondisi akuik, yang menyebabkan terjadinya perubahan regim kelembaban tanah dari regim kelembaban tanah udik atau ustik menjadi regim kelembaban akuik atau dari ustik 21 menjadi udik. Kondisi akuik telah diperhitungkan dalam Taksonomi Tanah sejak tahun 1992 (Soil Survey Staff, 1992) yang dicirikan oleh warna tanah dengan kroma rendah (kroma ≤ 2; value ≥ 4) baik pada seluruh tanah maupun berupa bercak-bercak, atau ditemukannya besi fero aktif yang bereaksi positif dengan ααdipiridil. Tanah dengan kondisi akuik adalah tanah yang telah mengalami jenuh air dan tereduksi secara kontinyu atau secara berkala yang ditunjukkan oleh adanya gejala redoksimorfik (Soil Survey Staff, 1999). Berdasarkan kondisi saturasinya dikenal pula istilah endosaturasi, episaturasi dan saturasi anthrik. Endosaturasi adalah tanah jenuh air di semua lapisan mulai batas atas lapisan yang jenuh air hingga kedalaman ≥ 200 cm dari permukaan tanah mineral. Episaturasi adalah tanah mineral yang mempunyai ≥ 1 lapisan jenuh air, yang terletak pada kedalaman ≤ 200 cm dari permukaan tanah, dan juga mempunyai ≥ 1 lapisan tidak jenuh air, yang terletak pada kedalaman ≤ 200 cm, di bawah lapisan jenuh tersebut. Lapisan jenuh air tersebut merupakan lapisan yang tergenang air resapan yang tertahan di atas lapisan yang relatif kedap air. Saturasi anthrik merupakan variasi dari episaturasi yaitu penggenangan yang diatur oleh manusia (misalnya untuk tanaman padi sawah), yang menyebabkan proses reduksi pada lapisan atas yang jenuh air dan melumpur serta proses oksidasi besi dan mangan yang tereduksi dan tercuci dari lapisan atas yang jenuh air dan mengendap di lapisan bawah yang tidak jenuh air. Selain itu juga dikenal istilah kondisi antrakuik yang menunjukkan jenis khusus dari kondisi akuik yang terjadi dalam tanah-tanah yang diirigasi (Soil Survey Staff, 1999). Berdasarkan besarnya perubahan regim kelembaban tanah tersebut maka tanah-tanah sawah dapat diklasifikasikan ke dalam kategori subordo atau subgrup. Contoh subordo aquic adalah pada tata nama seperti Aquept (great grup Epiaquept), Aquox, Aquod, Aquert, Aqualf, dan Aquult. Contoh subgrup aquic adalah pada tata nama seperti Aquic Dystrudept; sedangkan subgrup Oxyaquic contohnya pada Oxyaquic Eutrudept (Soil Survey Staff, 1999). Subgrup Anthraquic contohnya pada Anthraquic Eutrudept (Soil Survey Staff, 2003). Perbedaan intensitas penanaman padi dalam setahun mengakibatkan terjadinya perbedaan beberapa karakteristik tanah yang menyebabkan perbedaan klasifikasi tanah pada tingkat subgrup. Misalnya, tanah sawah pada tanah 22 berpasir (elevasi 300 – 500 m dpl.) dijumpai Typic Durustept, Anthraquic Haplustept, dan Typic Epiaquept, berturut-turut untuk sawah yang ditanami padi 1, 2, dan 3 kali setahun, sedangkan tanah yang tidak disawahkan termasuk Typic Durustoll (Rayes, 2004). Hal menarik dari penelitian Rayes (2000, 2004) adalah perubahan ordo tanah dari ordo Mollisol pada tanah yang tidak disawahkan menjadi Inceptisol pada semua tanah yang di sawahkan. Hal ini disebabkan pada tanah sawah warna horison Ap tidak memenuhi epipedon molik (value lembab ≤ 3 dan kering ≤ 5; serta kroma lembab ≤ 3) yaitu memiliki value dan kroma lembab ≤ 3 tetapi mempunyai value kering 6 – 7; sedangkan pada lahan kering di horison A dan B memiliki value kering 5, value dan kroma lembab ≤ 3. Hardjowigeno dan Rayes (2005) menambahkan bahwa perubahan ordo juga dapat terjadi misalnya pada tanah-tanah yang berasal dari Entisol, karena pengaruh penggenangan pada budidaya padi sawah bisa berkembang menjadi Inceptisol, atau justru sebaliknya, misalnya karena pembuatan teras. Pembentukan Lapisan Padat dan Jenis-jenisnya Lapisan Tapak Bajak Lapisan yang memadat adalah lapisan yang mempunyai bobot isi tinggi sehingga tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Lapisan tapak bajak (plow sole, plow pan, atau traffic pan) merupakan lapisan padat, terdapat di bawah lapisan olah dalam profil tanah sawah, yang terbentuk karena pemadatan selama pembajakan lapisan olah dalam keadaan basah, atau oleh pemadatan lain (tekanan kaki manusia atau hewan). Pelumpuran pada tanah sawah menyebabkan perusakan sebagian atau seluruh agregat tanah yang disebabkan oleh swelling koloid atau oleh dampak mekanik. Selain itu pori makro menghilang dan pori mikro menjadi sangat meningkat, menyebabkan kapasitas menahan air tanah melumpur ini lebih tinggi. Pengolahan yang berulang-ulang menyebabkan pemadatan lapisan bawah dari lapisan atas yang diolah dan membentuk lapisan tapak bajak. Pemadatan menurunkan porositas dan perkolasi air ke bawah melalui tanah. 23 Kondisi optimal untuk pembentukan lapisan tapak bajak terdapat pada tanah-tanah berlempung halus (Mitsuchi, 1968 dalam Moormann dan van Breemen, 1978). Pada tanah yang mengandung liat terlalu tinggi dan pada tanah dengan air tanah sangat dangkal atau selalu tergenang air, lapisan tapak bajak yang terbentuk kurang begitu nyata. Lapisan ini tidak dapat terbentuk pada tanah yang mempunyai sifat mengembang dan mengerut, dan pada tanah berpasir. Lapisan tapak bajak merupakan sebagian dari horison A (eluvial) dan sebagian dari horison B (iluvial) atau salah satu dari keduanya, tetapi umumnya lebih mirip horison A (Rayes, 2000). Lapisan tapak bajak dalam hal kondisi redoks dan pencucian Fe dan Mn tereduksi mempunyai sifat lebih mirip horison Ap(g) daripada horison B sehingga dianggap sebagai bagian dari horison A (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Lapisan tapak bajak bukan merupakan horison genetik tersendiri (Kyuma dan Kawaguchi, 1966). Lapisan ini tidak dianggap sebagai horison genetik tersendiri di dalam taksonomi tanah, sampai edisi kesepuluh (Soil Survey Staff, 2006). Kanno (1978) menyimbolkan lapisan ini sebagai horison A12g (jika tidak dijumpai karatan besi dan/atau mangan), atau A12gG (jika terdapat karatan tersebut). Dalam Taksonomi Tanah simbol untuk lapisan memadat (lapisan tapak bajak) ini adalah Ad, ABd, atau Bd (jika tidak terjadi gleisasi kuat), dan bila terjadi gleisasi kuat disimbolkan sebagai Adg, ABdg atau Bdg. Penelitian Rayes (2000) melaporkan bahwa pada tanah sawah yang ditanami padi tiga kali dalam setahun ditemukan lapisan tapak bajak pada kedalaman 15 – 25 cm dari permukaan tanah dengan tebal 5 – 20 cm. Pada tanah sawah yang ditanami padi satu dan dua kali dalam setahun, lapisan tapak bajak berkembang menjadi padas besi dan/atau mangan (horison Bsdm). Selanjutnya Rayes (2000) menambahkan, di dalam lapisan tapak bajak juga terjadi pencucian Fe dan Mn ke lapisan di bawahnya. Di lapisan ini juga dijumpai karatan yang menunjukkan terjadinya proses oksidasi Fe yang berasal dari besi fero yang tertinggal di lapisan ini. Hal ini sesuai dengan penemuan Koenigs (1950) yang menyatakan bahwa meskipun warna matriks lapisan tapak bajak abuabu seperti horison Apg, tetapi karatan besi masih sering ditemukan. 24 Menurut Moormann dan van Breemen (1978) lapisan tapak bajak tidak terbentuk dalam tanah bertekstur sangat berpasir karena kohesi di antara butirbutir pasir rendah sehingga sulit merekat. Namun demikian, dalam penelitian Rayes (2000) tapak bajak juga terbentuk pada semua tekstur yang diamati termasuk pada tekstur modifier pasir berkerikil, yang terjadi karena adanya perekatan antara butir tanah oleh silika, besi, dan mangan. Pada pengamatan mikromorfologi, Rayes (2000) menemukan adanya selaput liat dan debu (meskipun tipis) yang berasal dari lapisan olah di atasnya. Proses pedogenesis ini mengarah kepada pembentukan horison agrik, yaitu horison yang terdapat langsung di bawah lapisan olah, mengandung akumulasi debu, liat, dan humus, C/N rasio < 8, pH 6 – 6,5, dan tebal ≥ 10 cm. Adanya lapisan tapak bajak berpengaruh positif terhadap ketersediaan air pada tanah sawah, tetapi pada waktu pergiliran dengan tanaman palawija pengaruh tersebut menjadi tidak nyata. Bahkan pada tanah dengan lapisan tapak bajak yang telah berkembang dengan baik, menyebabkan tanah menjadi dangkal dan lapisan tersebut dapat menghambat perkembangan akar, serta ketersediaan lengas dan hara bagi tanaman palawija (Moormann dan van Breemen, 1978). Lapisan Besi/Mangan Lapisan besi/mangan dapat terbentuk pada tanah sawah yang berdrainase baik, dengan kedalaman air tanah > 1 meter. Lapisan ini oleh Kanno (1978) disebut sebagai horison iluviasi oksidatif. Unsur besi dan mangan tercuci (eluviasi) dari lapisan olah (Ap) dalam keadaan reduksi (Fe2+ dan Mn2+), kemudian terjadi proses iluviasi (diendapkan) di horison B yang berada dalam keadaan oksidasi. Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ pada potensial redoks yang lebih rendah daripada Mn2+ yang dioksidasi menjadi Mn3+, karena adanya peningkatan gradien redoks di bawah horison melumpur, maka Fe2+ pertama kali mencapai kondisi untuk terjadinya oksidasi, dan kemudian diendapkan. Mn2+ bergerak lebih dalam, hingga tercapai kondisi redoks cukup untuk terjadinya oksidasi dan pengendapan. Oleh karena kelarutan Fe2+ lebih rendah daripada Mn2+, maka Fe akan mengendap terlebih dahulu sehingga terbentuk suatu pemisahan lapisan yang nyata, yaitu: (1) lapisan atas merupakan 25 iluviasi Fe (B ir) berwarna kuning kecoklatan; dan (2) lapisan di bawahnya merupakan iluviasi Mn (B mn) berwarna kehitaman (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Sama halnya dengan lapisan tapak bajak, hingga ke edisi sepuluh lapisan ini tidak dianggap sebagai horison genetik tersendiri dan tidak dijumpai padanannya untuk simbol lapisan ini dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2006). Menurut Kanno (1978) horison ini diberi simbol B ir (jika didominasi oleh Fe), B mn (jika didominasi oleh Mn), dan B ir-mn atau B im (jika Fe lebih dominan dari Mn), dan B mn-ir atau B mi (jika Mn lebih dominan dari Fe). Horison iluviasi Fe (B ir) umumnya sangat tipis (< 1 cm), sedangkan horison iluviasi Mn (B mn) umumnya lebih tebal sekitar lebih dari 19 cm (Koenigs, 1950; Grant, 1965). Horison B ir yang telah berkembang lanjut, dapat mengeras menjadi padas besi tipis yang disebut horison plakik. Horison plakik merupakan horison padas tipis (1 – 25 mm), berwarna coklat gelap kemerahan sampai hitam, yang tersementasi oleh besi (atau besi dan mangan) serta bahan organik, pada umumnya terletak pada kedalaman < 50 cm (Soil Survey Staff, 2006). Selain itu sering juga ditemukan horison B ir-mn (B im) atau B mn-ir (B mi), dimana iluviasi Fe dan Mn terpisahkan secara tidak jelas. Dari iluviasi Fe dan Mn tersebut dapat terbentuk struktur majemuk, prismatik, gumpal bersudut dengan selaput Fe atau Mn pada bidang-bidang strukturnya (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Pada penelitian Rayes (2000) di lereng G. Merapi tidak dijumpai horison iluviasi Fe dan Mn. Yang dijumpai pada tanah sawah yang ditanami padi satu dan dua kali dalam setahun adalah horison Fe dan Mn yang memadas (Bsdm). Berbeda dari lapisan iluviasi Fe/Mn yang letaknya di bawah lapisan tapak bajak, lapisan ini terletak langsung di bawah lapisan olah, merupakan lapisan yang berkembang lanjut dari lapisan tapak bajak yang tersementasi. Horison ini ditemukan di bawah lapisan olah pada kedalaman 17 – 40 cm, dengan ketebalan 4 – 14 cm. Horison ini terjadi akibat adanya sementasi Fe dan Mn, serta bahanbahan lain. Horison ini mirip fragipan tetapi belum memenuhi syarat sebagai 26 fragipan karena ketebalannya < 15 cm, dan/atau akar-akar yang terdapat pada padas tersebut memiliki jarak lateral < 10 cm (Rayes, 2000). Grant (1965) serta Driessen dan Moormann (1985) menggunakan istilah padas besi/mangan yang setara dengan lapisan Fe dan/atau Mn (Koenigs, 1950). Padas Fe/Mn bukan merupakan istilah dalam Taksonomi Tanah, di samping itu padas Fe/Mn dalam Taksonomi Tanah tidak memiliki simbol tersendiri karena tidak dijumpai padanannya. Padas besi dan mangan pada penelitian Rayes (2000), dengan mengacu pada Soil Survey Division Staff (1993) diberi simbol Bsdm mencakup sementasi Fe dan Mn. Mineralogi Tanah-tanah yang Berkembang dari Bahan Volkan Mineral Primer Komposisi mineral tanah-tanah yang terkembang dari bahan volkan tergantung dari batuan volkan dan tingkat pelapukan tanah. Besoain (1969) menguraikan berbagai jenis mineral menurut ukuran fraksinya sebagai berikut: (1) Fraksi pasir (2 mm – 50 µm) mengandung mineral yang sering dijumpai dalam tanah-tanah bukan abu volkan, bersama-sama dengan mineral-mineral lain yang memang merupakan bagian dari bahan volkan seperti mineral feromagnesium (olivin, piroksin, dan amfibol), kuarsa dan kristobalit, tridimit, magnetit, serta berbagai kompleks silikat dan gelas volkan; (2) Fraksi debu (50 – 2 µm) terdiri dari mineral-mineral primer dan sekunder. Mineral sekunder, terutama yang mengandung alofan, merupakan agregat liat dalam bentuk semu (pseudomorf) dari debu dan pasir terutama ditemukan dalam fraksi debu kasar. Bahan-bahan pseudomorf tersebut terbentuk karena adanya koagulasi atau sementasi dengan matriks dari bahan feri amorf atau komponen organik. Seringkali pula gibsit dan oksida-oksida Fe yang terhidrasi berakumulasi dalam fraksi debu halus (5 - 2 µm); (3) Fraksi liat (< 2 µm) terutama terdiri dari mineral sekunder tetapi seringkali terdapat beberapa mineral primer seperti α-kristobalit, kuarsa bahkan feldspar terutama dalam fraksi liat kasar (2 – 0,2 µm). Tanah yang tidak disawahkan pada umumnya mempunyai komposisi mineral primer yang sama dengan tanah sawah, hal ini disebabkan tanah-tanah tersebut mempunyai bahan induk yang sama. Namun beberapa pendapat 27 menyatakan bahwa telah terjadi perubahan susunan mineral primer antara tanah yang disawahkan dengan tanah yang tidak disawahkan (Winoto, 1985; Munir, 1987; dan Rayes, 2000). Munir (1987) menemukan bahwa tanah yang disawahkan, dengan kondisi tergenang dan dikeringkan bergantian (pengolahan tanah), telah menyebabkan terjadinya perubahan pada kandungan mineral biotit. Kandungan mineral biotit pada tanah yang disawahkan lebih rendah daripada tanah yang tidak disawahkan. Sedangkan Winoto (1985) mendapatkan pada tanah yang disawahkan kandungan mineral mudah lapuk yang lebih tinggi daripada tanah yang tidak disawahkan. Terdapat beberapa jenis mineral primer yang banyak dijumpai pada tanah sawah di Indonesia. Antara lain: forsterit, fayalit, augit, enstatit, hiperstin, hornblende, muskovit, biotit, feldspars, orthoklas, sanidin, plagioklas, kuarsa, dan gelas volkan (Puslitbangtanak, 2004). Mineral tanah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) mineral skeletal; berupa mineral primer (mineral pasir dan debu, masing-masing butir merupakan satu macam mineral primer), agregat mikrokristalin (abu volkan berupa campuran berbagai mineral primer), chert (silika mikrokristalin), serta fragmen (pecahan batuan dalam ukuran pasir atau debu terdiri dari berbagai macam mineral primer); dan (2) mineral liat kristalin dan amorf (Hardjowigeno, 2003). Menurut Soil Survey Staff (2006) fragmen batuan adalah fraksi tanah berukuran ≥ 2 mm sampai ukuran horisontalnya lebih kecil dari sebuah pedon. Di samping itu sering ditemukan juga fragmen batuan semu (para rock fragment) yang berukuran sama seperti batuan, tetapi dapat hancur menjadi < 2 mm pada waktu persiapan tanah untuk analisa, sehingga dianggap sebagai fraksi tanah halus. Mulyanto (1995) yang meneliti pelapukan batuan andesit di daerah Cigudeg (Jawa Barat) mengemukakan bahwa pelapukan plagioklas diawali dari bahanbahan amorf yang berupa inklusi dalam plagioklas, seperti terlihat dalam kenampakan warna kekuningan pada rekahan, bidang belahan, dan bidang kembaran plagioklas, diikuti terjadinya pengaburan warna interferensi pada permukaan rekahan dan belahan. Selanjutnya menyertai produk pelapukan 28 terlihat bahan amorf dengan undifferentiated b-fabric pada permukaan mineral, disertai neoformasi gibsit/haloisit pada dinding belahan dan rekahan (kristal terorientasi tegak lurus dinding). Selanjutnya terjadi akumulasi/neoformasi mineral liat dalam rekahan (kristal sejajar dinding) dan dalam pori yang berdekatan. Akumulasi diduga disebabkan oleh transformasi. Mineral Sekunder Pelapukan bahan volkan dapat menyebabkan pembentukan mineral-mineral sekunder (mineral liat) yang berbeda-beda di bawah kondisi drainase baik dan kelembaban yang cukup. Mineral-mineral amorf (bersusunan buruk) seperti alofan dominan dalam tanah-tanah muda, sedangkan haloisit/metahaloisit dominan dalam tanah-tanah yang telah berkembang (Besoain, 1969). Mineral sekunder dapat merupakan hasil bentukan baru (neoformation) atau pecahan (state of rupture) dari mineral primer. Kondisi kelembaban dan bahan organik yang terbatas serta basa-basa yang cukup kaya merangsang pembentukan mineral liat kristalin tipe 2:1 dan 2:2 yaitu montmorillonit, vermikulit, dan klorit (Besoain, 1969). Urutan pelapukan yang berlangsung dalam tanah-tanah bahan volkan menurut Fieldes (1955 dalam Parfitt dan Wilson, 1985) adalah sebagai berikut: bahan volkan → alofan → haloisit. Pelapukan awal bahan volkan ditandai oleh adanya silika opal, kompleks Al dan Fe humus, bahan-bahan mirip mineral liat alofan, imogilit dan ferihidrit (Wada dan Harward, 1974). Mineral liat alofan dan imogolit terbentuk bersamaan dengan meningkatnya umur bahan volkan. Untuk mengetahui adanya mineral liat Fe-Al oksida, Fe-Al amorf, dan FeAl humus di dalam tanah dapat dianalisa dengan teknik pelarutan selektif. Pengekstrak ditionit-sitrat-bikarbonat digunakan untuk menentukan oksidaoksida besi-bebas dalam tanah (Mehra dan Jackson, 1960), yang terdiri dari ferihidrit (bukan-kristal), kristal goetit, dan partikel-partikel hematit berukuran sampai dengan 50 µm, kompleks Al- dan Fe-humus dan Al-(oksi)hidroksida yang bersusunan buruk. Pengekstrak oksalat-asam (pH 3) mengekstrak semua Al-aktif dan Fe-aktif yang amorf, dan juga Si yang berasosiasi meliputi alofan, imogolit, kompleks Al- 29 dan Fe-humus, oksida-oksida amorf atau oksida-oksida bersusunan buruk seperti ferihidrit, tetapi tidak termasuk gibsit, goetit, dan hematit, maupun liat silikat (Wada, 1989). Ekstraksi dengan oksalat melarutkan Al-aktif yang meliputi mineral amorf alofan dan imogolit (sebagian), Al-humus, Al-antar lapisan, dan Al- dapat ditukar (Mizota dan van Reeuwijk, 1989). Gibsit/Al (OH)3 biasanya terdapat bersama-sama dengan polimorfi dari FeOOH dan Fe2O3 dan merupakan sebagai hasil pelapukan lanjut. Fe2O3 dan FeOOH terbentuk lebih awal kemudian baru terbentuk gibsit. Pengekstrak natrium-pirofosfat secara selektif hanya melarutkan Al- dan Fe-organik berupa humus di dalam tanah. Alo (Al yang diekstrak dengan oksalat) dikurangi Alp (Al yang diekstrak dengan pirofosfat) merupakan Al yang berada dalam alofan/imogolit (Mizota dan van Reeuwijk, 1989). Nisbah Feo/Fed yang juga disebut nisbah aktifitas telah digunakan secara luas sebagai indeks tingkat pengkristalan dan umur oksida-oksida besi. Tanah Andisol dan tanah-tanah muda lainnya memiliki nisbah Feo/Fed yang tinggi (> 0,75), sedangkan untuk tanah-tanah lebih tua nisbah tersebut lebih rendah, seperti Oxisol < 0,1 (McKeague dan Day, 1966). Child (1985 dalam Mizota dan van Reeuwijk, 1989) mengusulkan rumus untuk mengestimasi kadar ferihidrit dalam tanah yaitu: % ferihidrit = % Feo x 1,7. Rumus tersebut didukung oleh penelitian Child, Matsue dan Yoshinaga (1990) dalam mengestimasi jumlah ferihidrit dalam tanah-tanah abu volkan di Jepang. Schwertmann dan Taylor (1989) mengemukakan adanya korelasi antara jumlah goetit yang ditentukan berdasarkan difraksi sinar-x atau DTA dengan selisih antara Fed – Feo. Dengan kata lain, jumlah mineral besi kristal dapat diduga dari selisih antara kadar Fed dikurangi Feo. Goetit (α-FeOOH) merupakan mineral besi oksihidroksida yang memberikan efek pigmentasi/pewarnaan coklat kekuningan pada tanah dan mineral yang melapuk. Di samping teknik pelarutan selektif, untuk memahami karakteristik mineral liat diperlukan informasi dari berbagai teknik analisis yang berbeda antara lain: xray diffragtometer/difraksi sinar-x (XRD), differential thermal analysis/analisis beda termal (DTA), stereoskopi infra-merah (IRS), scanning electron microscopy (SEM), dan transmission electron microscopy (TEM). Menurut Wilson (1987), 30 masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kelemahan, sehingga diperlukan kombinasi beberapa metode untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik untuk mineral liat. Metode analisis XRD terhadap bahan mineral liat berstruktur kristalin mempunyai akurasi yang cukup tinggi. Pada dasarnya metode ini hanya digunakan untuk analisis kuantitatif, walaupun demikian penerapannya untuk analisis semi-kuantitatif terhadap liat sering dilakukan dengan motode ini (Tan, 1998). Analisis mineral liat dengan metode ini tidak merusak struktur kristal, tetapi metode ini kurang tepat untuk analisis mineral liat non-kristalin (amorf). Sedangkan metode DTA digunakan terutama bila dalam identifikasi bahan amorf dengan metode XRD hanya menghasilkan kurva tanpa pola/highly disorder (Tan dan Hajek, 1977). Menurut Wada (1989) pembentukan Al-humus akan menyebabkan: (1) pembentukan mineral liat alofan dan imogolit melalui kompetisi terhadap Al yang dibebaskan dari pelapukan abu volkan terhambat, dan (2) menunjang pembentukan silika opal. Jika tidak terdapat humus atau tidak aktifnya akumulasi humus maka mineral liat alofan dan imogolit akan terbentuk. Mineral silika opal biasanya ditemukan dalam horison A tanah-tanah muda yang kaya organik yang terbentuk dari bahan volkan. Pembentukan silika opal didukung oleh adanya pelapukan cepat dari bahan induk yang kaya gelas, adanya periode musiman yang nyata dari silikasi, sehingga terjadi pengentalan larutan dan rendahnya aktifitas Al (karena terjadinya pembentukan kompleks Al humus) sehingga mencegah pembentukan mineral aluminosilikat. Tingginya konsentrasi Si dapat larut diperlukan untuk mencapai kondisi sangat jenuh yang dibutuhkan untuk mengendapkan silika (Dahlgren et al., 1993). Mineral silika tidak dapat larut pada pH rendah. Kelarutannya tidak akan meningkat jika dinaikkan sampai 9 (Krauskopf, 1956). Menurut Tan (1998) kelarutan baru terjadi bila pH tanah > 9 dengan reaksi sebagai berikut: Si(OH)4 + OH- Si(OH)3O- + H2O Menurut Dahlgren et al., (1993) pembentukan alofan dan imogolit dalam lingkungan tanah ideal pada kondisi: (1) pH (H2O) 5 - 7, (2) rendahnya senyawa organik pengkompleks, (3) bahan volkan yang kaya basa-basa, (4) jenis vegetasi 31 tertentu seperti rumput pampas Jepang (Miscanthus sinensis) yang sangat efektif dalam mendaur (biocycling) kation-kation basa yang membantu mempertahankan pH tinggi, dan (5) tidak terdapat mineral silikat 2:1. Ketersediaan Al merupakan faktor penentu dalam pembentukan alofan dan imogolit. Alofan jarang terbentuk pada tanah dengan regim kelembaban tanah ustik, xerik, dan arid karena rendahnya pencucian. Kalaupun terbentuk alofan, biasanya yang dijumpai adalah alofan kaya silika. Alofan dan imogolit banyak dijumpai dalam tanah-tanah yang berkembang pada bahan volkan yang mengandung gelas berwarna, karena mempunyai laju pelapukan 1,5 kali lebih cepat dari gelas yang tidak berwarna (Shoji et al., 1993). Rayes (2000) tidak menemukan adanya mineral liat alofan dalam penelitiannya. Pada tekstur lempung berpasir di ketinggian < 250 m dpl., pada lapisan tapak bajak dijumpai mineral smektit. Adanya smektit pada horison permukaan menunjukkan bahwa telah terjadi pembentukan mineral 2:1 dari bahan volkan. Menurut Wada (1985) dan Dahlgren et al. (1993) pada tahapan awal pelapukan bahan volkan dapat terbentuk smektit dan vermikulit. Jumlah mineral silikat tipe 2:1 biasanya lebih tinggi dalam horison A daripada horison B. Terkonsentrasinya smektit dalam horison A diperkirakan terjadi jika pembentukan kompleks Al-humus menghambat pembentukan alofan dan imogolit. Rayes (2000) menambahkan tidak terdapat perbedaan susunan mineral liat baik pada lahan kering maupun lahan yang disawahkan 1x, 2x, maupun 3x padi dalam setahun. Dahlgren et al. (1993) mengemukakan berbagai hipotesis tentang pembentukan mineral liat 2:1 dari bahan volkan yang berasal dari beberapa sumber sebagai berikut: (1) merupakan produk alterasi dari mineral-mineral mafik seperti piroksin, amfibol, dan mika dalam bahan induk; (2) terbentuk dari bahanbahan amorf sebagai produk tingkat lanjut dari pelapukan; (3) merupakan produk alterasi hidrotermal yang terbentuk dalam kawah sebelum letusan, kemudian diendapkan bersama dengan muntahan volkan, dan (4) transformasi solid state dari gelas volkan menjadi mineral liat 2:1 (ilit). Ferihidrit (5Fe2O3. 9H2O) merupakan ferihidroksida amorf, yang dominan dalam tanah-tanah berbahan volkan di Jepang. Tingginya tingkat disorder 32 merupakan akibat dari pembentukannya yang cepat sehingga menghambat proses kristalisasi (Schwertmann dan Taylor, 1989). Pembentukan ferihidrit berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk mineral kristalin seperti goetit dan hematit (Dahlgen et al., 1993). Ferihidrit juga ditemukan pada daerah gunung Merapi terutama pada padas Fe (Rayes, 2000). Karena kristalinitasnya yang kurang baik maka ferihidrit sulit untuk diidentifikasi dibandingkan oksida-oksida lainnya. Wada (1989) mengemukakan bahwa pembentukan haloisit (hidrat haloisit) dan metahaloisit dijumpai pada tanah-tanah tua dan tanah-tanah tertimbun yang berkembang dari bahan volkan. Terdapat indikasi bahwa pembentukan haloisit sangat sesuai pada tempat-tempat yang mengalami penimbunan (overburden) bahan abu volkan yang tebal, sebagai sumber silika untuk dapat berlangsungnya resilikasi pada alofan (Aomin dan Mizota 1973 dalam Wada, 1989), dan oleh regim kelembaban yang mengalami stagnasi (Dudas dan Harward, 1975), atau karena lemahnya tingkat pencucian (Parfitt et al., 1984). Haloisit {Si4Al4O10(OH). 4H2O}, komposisinya mirip kaolinit, tetapi pada setiap unit sel terdapat molekul 4H2O di antara lapisannya, molekul air tersebut terikat secara lemah. Jika haloisit dipanaskan 100 oC maka molekul H2O akan hilang dan jarak antar lapisan menjadi 7,2 วบ, mineralnya disebut metahaloisit. Drainase buruk dalam profil tanah (seperti pada tanah sawah) juga menyebabkan lingkungan kaya silika sehingga menunjang pembentukan haloisit, alofan kaya Si dan juga smektit (Wada dan Harward, 1974). Kecenderungan pembentukan mineral-mineral tersebut tidak berhubungan dengan proses dehidrasi, melainkan sebagai akibat dari konsentrasi silika yang sangat tinggi. Hasil penelitian Munir (1987) pada tanah Ultisol Lebak Banten menunjukkan bahwa pada tanah yang tidak disawahkan selain kaolinit juga ditemukan sejumlah vermikulit. Sedangkan pada tanah yang disawahkan, vermikulit telah berubah menjadi vermikulit dengan Al-antar lapisan (hydroxyinterlayer vermikulit) yang mendekati struktur mineral klorit. Penelitian Bahmaniar dan Mirna (2002 dalam Hardjowigeno dan Rayes, 2005) pada dataran aluvial di India menemukan bahwa terjadi perubahan jenis mineral liat pada tanah yang tidak disawahkan dibandingkan tanah yang 33 disawahkan. Pada tanah yang tidak disawahkan dijumpai mineral ilit, vermikulit, montmorillonit, kaolinit, dan klorit; sedangkan pada tanah sawah dijumpai mineral ilit, montmorillinit, kaolinit dan klorit. Selanjutnya mereka juga menemukan bahwa semakin lama periode tanah disawahkan secara terus menerus (> 30 tahun) maka jumlah mineral ilit berkurang dan montmorillonit meningkat. Mineral liat pada tanah sawah di Indonesia yang banyak dilaporkan adalah kaolinit, montmorilonit, vermikulit, montmorilonit dan vermikulit (interstratified) dengan pelapisan polimer Al, haloisit, goetit, ferihidrit serta gibsit (Munir, 1987; Prasetyo et al., 1996; 1998; Taberima, 1999; dan Rayes, 2000).