BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan program komputer berdasarkan metode sintesis dua arah TBIO, dimana proses sintesis daerah pengkode IFNα2b sintetis berjalan dua arah, dari arah dalam menuju ke luar. Urutan daerah pengkode IFNα2b sintetis berdasarkan urutan yang terdapat pada GenBank no.DQ922943 yang telah dioptimasi kecenderungan penggunaan kodonnya di E. coli. Urutan nukleotida yang dikenali oleh enzim restriksi EcoRI ditambahkan ke ujung 5` dari rantai sense dan HindIII ke ujung 5` dari rantai antisense. Oligonukleotida sintetis yang dirancang mencakup urutan basa no 1-274 dari daerah sense dan basa urutan no 249-522 dari daerah antisense (Tabel 4.1). Oligonukleotida sintetis dirancang memiliki daerah yang saling bertumpang tindih, dimana suhu penempelan (Tm) daerah yang saling bertumpang tindih dirancang sedemikian supaya seragam untuk menghasilkan produk yang spesifik dengan panjang nukleotida yang diinginkan. Program VectorNTi digunakan untuk mengoptimasi suhu penempelan daerah yang bertumpangtindih. Parameter yang dapat dioptimasi dengan program VectorNTi meliputi %GC, dimer, hairpin, palindrome, dan repeat. Suhu penempelan untuk daerah yang bertumpangtindih didapatkan sebesar 60,35±2,11ºC. Daerah tumpang tindih antar oligonukleotida sintetis dirancang menggunakan program sebesar 18-26 nukleotida untuk memastikan terjadinya penempelan antar pasangan oligonukleotida yang relatif stabil tetapi di sisi lain juga memiliki suhu penempelan yang tidak terlalu tinggi 21 22 Tabel 4.1 Hasil Rancangan Oligonukleotida Keterangan: Urutan dari 5`→3` Oligonukleotida kemudian disintesis dan dimurnikan oleh Biolabs dengan metode pemurnian Polyacrilamide Gel Electrophoresis (PAGE). Oligonukleotida dimurnikan terlebih dahulu dengan PAGE untuk memastikan bahwa oligonukleotida yang digunakan untuk sintesis adalah oligonukleotida yang memiliki panjang nukleotida tepat sama dengan oligonukleotida yang dirancang. Hal ini untuk menghindarkan terjadinya delesi maupun perubahan urutan nukleotida (mutasi) dari daerah pengkode IFNα2b sintetis. Proses sintesis daerah pengkode IFNα2b sintetis dilakukan menggunakan metode PCR dua tahap. Oligonukleotida sintetis murni digunakan sebagai cetakan pada PCR tahap I yang merupakan tahap sintesis lengkap rantai panjang daerah pengkode IFNα2b sintetis. Pada PCR tahap I terjadi sintesis cetakan daerah pengkode IFNα2b sintetis berdasarkan metode sintesis dua arah TBIO, dimana cetakan hasil pemanjangan pasangan oligonukleotida yang pertama kali saling menempel menjadi cetakan bagi pasangan oligonukleotida yang kedua dan seterusnya. 23 Hal ini diharapkan memberikan spesifisitas lebih tinggi dalam menghasilkan produk yang diinginkan, karena hanya cetakan dengan urutan nukleotida dan panjang yang benar saja yang menempel pada pasangan oligonukleotida berikutnya sampai terbentuk produk lengkap daerah pengkode IFNα2b sintetis berukuran 522 pb. PCR tahap I menggunakan DNA polimerase Pfu yang memiliki aktivitas proof reading yang mampu melakukan pembacaan dari arah 3`-5` sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya mutasi atau perubahan urutan nukleotida produk. Produk PCR menggunakan polimerase Pfu memiliki ujung-ujung yang tumpul. PCR tahap I dilakukan secara Hot Start dimana polimerase Pfu baru ditambahkan ke dalam reaksi setelah suhu reaksi mencapai 95ºC. PCR tahap I menghasilkan produk tidak spesifik dengan ukuran bervariasi yang relatif lebar di daerah antara 500-1000 pb (Gambar 4.1A lajur 1-2). Produk PCR tahap I ini kemudian dijadikan sebagai cetakan DNA untuk digunakan dalam PCR tahap II yang merupakan tahap amplifikasi daerah pengkode IFNα2b sintetis. PCR tahap II menggunakan DNA polimerase yang berbeda dengan PCR tahap I, yaitu polimerase Taq. Produk PCR tahap II menghasilkan pita tebal di daerah antara 500-600 pb dan satu pita tipis di daerah 1000 pb (Gambar 4.1B lajur 2-5). Pita tebal di daerah antara 500-600 pb merupakan produk dengan ukuran yang diinginkan karena sesuai dengan ukuran daerah pengkode IFNα2b sintetis yang dirancang yaitu 522 pb. Pita tipis di daerah 1000 pb merupakan produk dengan ukuran tidak diinginkan yang dapat terjadi karena cetakan DNA berasal dari PCR tahap I memiliki ukuran bervariasi. Hanya pita dengan ukuran sekitar 500 pb saja yang akan diproses lebih lanjut, oleh karena itu perlu dilakukan optimasi terhadap PCR tahap II. 24 Gambar 4.1 Produk PCR tahap 1 (A) dan PCR Tahap II (B). 1-2 (A) = Produk PCR TBIO; 3(A) = Kontrol negatif; 4(A) = Marka DNA 100 pb; 1,6 (B) = Produk Re-PCR; 2-5 (B) = Produk PCR Tahap II; 7 = Kontrol negatif; 8 = Marka DNA 100 pb. Optimasi ini dilakukan dengan cara melakukan PCR ulang menggunakan cetakan DNA yang berasal dari PCR tahap II. Produk PCR diamplifikasi kembali untuk menghasilkan satu pita DNA di daerah antara 500-600 pb dan tidak ada pita di daerah 1000 pb (Gambar 4.1B lajur 1 dan 7). Produk PCR ini kemudian dimurnikan dari gel dan larutan menggunakan kolom GFX. Hasil pemurnian menggunakan kolom GFX setelah dielektroforesis menunjukkan satu pita di daerah 500 pb (Gambar 4.4 lajur 1-5). Tabel 4.2 Karakteristik Hasil Sekuensing Produk PCR Rantai Forward Sense Reverse Antisense Identitas Maksimum 171/178 (96%) 72/88 (81%) Analisis penentuan urutan nukleotida dilakukan terhadap produk PCR yang telah dimurnikan untuk mengetahui dan mengkonfirmasi urutan nukleotida produk PCR. Hasil penentuan urutan nukleotida menggunakan primer forward dan reverse kemudian disejajarkan dengan urutan nukleotida daerah pengkode IFNα2b sintetis yang terdapat pada GenBank menggunakan program BLAST1. 1 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ 25 Hasil BLAST menggunakan primer forward (Gambar 4.2) dan primer reverse (Gambar 4.3) menunjukkan total 243 nukleotida produk PCR dikenali secara spesifik sebagai daerah pengkode IFNα2b sintetis atau 49 persen dari total panjang daerah pengkode IFNα2b sintetis (Tabel 4.2). Gambar 4.2 Hasil BLAST penentuan urutan nukleotida produk PCR menggunakan primer forward Identitas maksimum yang diperoleh dari hasil penentuan urutan nukleotida belum dapat menyatakan bahwa urutan nukleotida daerah pengkode IFNα2b sintetis adalah identik dengan urutan nukleotida yang ada di GenBank dan tidak mengandung mutasi. Identitas maksimum yang tidak terlalu tinggi ini disebabkan karena kualitas hasil sekuensing rendah. Kualitas hasil penentuan urutan nukleotida yang rendah dapat disebabkan karena kualitas DNA tidak bagus. Gambar 4.3 Hasil BLAST penentuan urutan nukleotida produk PCR menggunakan primer reverse 26 Produk PCR yang telah ditentukan urutan nukleotidanya dan sudah murni serta hanya mengandung produk dengan ukuran diinginkan kemudian diligasi dengan vektor kloning pGEM-T menggunakan T4 DNA Ligase. Komposisi vektor : produk PCR yang digunakan adalah 1:3. Jumlah produk PCR lebih banyak dari jumlah vektor untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya ligasi. Hasil ligasi ini kemudian ditransformasikan ke dalam sel kompeten E. coli JM109 sebagai inang melalui mekanisme induksi panas. E. coli JM109 ini kemudian ditumbuhkan di dalam media LB padat mengandung ampisilin, IPTG dan X-Gal menggunakan metode sebar. Gambar 4.4 Produk PCR yang telah dimurnikan dengan kolom GFX. 1-5 = Sampel GFX; 6=Marka DNA 100 pb. Seleksi koloni E. coli JM109 yang mengandung plasmid rekombinan dilakukan menggunakan metode seleksi antibiotika dan seleksi koloni biru putih. E. coli JM 109 yang mengandung plasmid pGEM-T tanpa DNA sisipan akan berwarna biru karena plasmid tanpa DNA sisipan mengandung daerah pengkode enzim β galaktosidase yang dengan adanya IPTG sebagai penginduksi dan X-gal sebagai substrat dari enzim β galaktosidase akan menghasilkan koloni berwarna biru. Koloni putih mengandung plasmid pGEM-T dengan DNA sisipan karena DNA sisipan akan merusak urutan daerah pengkode enzim β galaktosidase sehingga plasmid tidak dapat lagi menghasilkan enzim β galaktosidase yang menyebabkan tidak terjadi perubahan warna koloni menjadi biru. Koloni biru dan putih 27 yang diduga mengandung plasmid pGEM-T -tanpa ataupun dengan DNA sisipan- ini kemudian diisolasi menggunakan metode lisis cepat dan kit reaksi GeneAid. Hasil isolasi kemudian dielektroforesis gel agarosa 1% untuk melihat apakah ada perbedaan ukuran antara plasmid pGEM-T yang terdapat di dalam koloni biru dan plasmid pGEM-T yang terdapat di dalam koloni putih dengan melihat jarak migrasi masing-masing plasmid. Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa plasmid pGEM-T yang diisolasi dari koloni putih menunjukkan jarak migrasi lebih lambat dibandingkan dengan plasmid pGEM-T yang diisolasi dari koloni biru yang menunjukkan jarak migrasi lebih cepat (Gambar 4.5). Jarak migrasi yang lebih pendek ini menunjukkan bahwa plasmid ini lebih berat dibandingkan dengan plasmid yang terdapat di koloni biru. Untuk memastikan apakah plasmid pGEM-T yang lebih berat ini mengandung DNA sisipan dilakukan analisis lebih lanjut. A Gambar 4.5 B Analisa plasmid rekombinan hasil isolasi lisis cepat (A) dan kit GeneAid (B). 1 (A) = pGEM-T tanpa DNA sisipan; 2 (A) = pGEM-T dengan DNA sisipan, 1-2 (B) = pGEM-T dengan DNA sisipan; 3 = pGEM-T tanpa DNA sisipan. Analisis selanjutnya adalah analisis pemotongan menggunakan enzim EcoRI dan HindIII. Daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang supaya memiliki sisi pengenalan terhadap enzim EcoRI dan HindIII masing-masing pada salah satu ujungnya. Plasmid pGEM-T rekombinan IFNα2b sintetis kemudian dipotong dengan salah satu enzim untuk membuat 28 plasmid menjadi linear dan dapat ditentukan berapa panjang basanya dengan membandingkannya dengan ukuran marka DNA. Hasil pemotongan dengan enzim EcoRI dan HindIII kemudian dielektroforesis gel agarosa 1 %. Elektroforesis menunjukkan satu pita tebal berukuran 3587 pb, baik untuk plasmid yang dipotong dengan enzim EcoRI maupun yang dipotong dengan enzim HindIII (Gambar 4.6). Ukuran ini sesuai dengan ukuran vektor pGEM-T yang sebesar 3000 pb ditambah dengan daerah pengkode IFNα2b sintetis yang sebesar 522 pb. Hal ini membuktikan bahwa plasmid berhasil dipotong oleh enzim EcoRI dan HindIII dan juga membuktikan adanya DNA sisipan yang mengandung sisi pengenalan EcoRI dan HindIII karena sisi pengenalan terhadap enzim EcoRI dan HindIII secara teoritis hanya dimiliki oleh DNA sisipan daerah pengkode IFNα2b sintetis dan tidak dimiliki oleh plasmid pGEM-T. A B Gambar 4.6 Hasil analisis klon dengan enzim EcoRI (A) dan HindIII (B). 2-3(A) = plasmid dengan EcoRI; 1-2(B) = plasmid dengan HindIII; 4(A) dan 3(B) = uncut plasmid; 1(A) dan 1(B) = marka DNA 1Kb. Setelah berhasil dipotong menggunakan satu jenis enzim, plasmid kemudian dipotong dengan menggunakan dua jenis enzim (EcoRI dan HindIII) untuk memperkirakan ukuran DNA sisipan pada plasmid pGEM-T. Dari hasil pemotongan dapat dilihat bahwa semua plasmid terpotong oleh kedua enzim, dibuktikan dengan keberadaan pita berukuran 587 pb yang mendekati ukuran teoritis daerah pengkode IFNα2b sintetis sebesar 522 pb dan pita 29 berukuran 3000 pb yang merupakan ukuran plasmid pGEM-T linear tanpa DNA sisipan (Gambar 4.7). Gambar 4.7 Hasil analisis klon dengan pemotongan ganda menggunakan enzim EcoRI dan HindIII. 1 = Marka DNA 1kb; 2 = pGEM-T (+HindIII); 3 = uncut pGEM-T; 4-7 = pGEM-T (+EcoRI dan HindIII); 8 = Marka DNA 100 pb. Analisis selanjutnya untuk karakterisasi plasmid rekombinan adalah analisis PCR. Analisis PCR dilakukan untuk melihat apakah DNA sisipan daerah pengkode IFNα2b sintetis pada plasmid rekombinan dapat dikenali oleh primer. Analisis hasil PCR dengan elektroforesis gel agarosa 2% menunjukkan satu pita berukuran sekitar 500 pb yang sejajar dengan kontrol positif (Gambar 4.8). Analisis terakhir yang dilakukan adalah analisis penentuan urutan nukleotida untuk mengetahui kebenaran urutan nukleotida dari DNA sisipan yang terdapat di dalam plasmid pGEM-T rekombinan. Setelah dilakukan pensejajaran urutan nukleotida yang didapat dengan analisa penentuan urutan nukleotida dengan urutan yang terdapat di GenBank, 99 persen dari keseluruhan panjang nukleotida daerah pengkode IFNα2b sintetis adalah identik dengan urutan nukleotida DNA sisipan yang terdapat di dalam plasmid pGEM-T rekombinan (Gambar 4.9). 30 Gambar 4.8 Hasil analisis plasmid rekombinan dengan PCR. 1-5 = PCR plasmid pGEM-T IFNα2b; 6 = Kontrol positif; 7 = Kontrol negatif; 8 = Marka DNA 100 pb. Perbedaan urutan sebanyak 1% terjadi sebagai akibat insersi sebanyak 2 nukleotida dan delesi sebanyak 1 nukleotida. Insersi nukleotida terjadi pada nukleotida urutan ke 170 dan ke 340, dimana terjadi penambahan satu nukleotida A pada urutan ke 170 dan satu nukleotida C pada urutan ke 340. Delesi 1 nukleotida T terjadi pada nukleotida urutan ke 251. Open Reading Frame (ORF) daerah pengkode IFNα2b sintetis pada plasmid pGEM-T mengalami perubahan sebagai akibat mutasi, sehingga menghasilkan pembacaan menjadi asam-asam amino yang berbeda urutannya dengan asam-asam amino IFNα2b sesungguhnya. Hasil translasi secara teoritis dari daerah pengkode IFNα2b sintetis pada plasmid pGEM-T memberikan homologi sebesar 33,5 % dengan protein IFNα2b di bank data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa plasmid pGEM-T berhasil tersisipi oleh daerah pengkode IFNα2b sintetis yang disintesis menggunakan PCR dua tahap berbasis metode TBIO-Bidirectional Synthesis. Penelitian ini berhasil memodifikasi sintesis daerah pengkode IFNα2b sintetis menjadi lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Neves et al., 2004). Dalam penelitian terdahulu, diperlukan 25 oligonukleotida sintetis yang mencakup seluruh urutan nukleotida dari rantai sense dan antisense daerah pengkode IFNα2b sintetis untuk mensintesis daerah pengkode IFNα2b. 31 Gambar 4.9 Hasil BLAST penentuan urutan nukleotida DNA sisipan plasmid pGEM-T. Penelitian ini menggunakan 10 oligonukleotida, dimana keseluruhan oligonukleotida ini hanya mencakup setengah urutan nukleotida dari rantai sense dan setengah urutan nukleotida dari rantai antisense dari daerah pengkode IFNα2b sintetis. Perancangan oligonukleotida menggunakan metode TBIO serta penggunaan jumlah oligonukletida yang lebih sedikit akan lebih memudahkan proses sintesis dan amplifikasi daerah pengkode IFNα2b.