BAB III DASAR TEORI

advertisement
BAB III
DASAR TEORI
Tidak setiap tempat di bumi ini mempunyai endapan batubara dan tidak setiap waktu
geologi menghasilkan endapan batubara yang ekonomis. Dua tahap penting yang
dapat dibedakan untuk mempelajari genesa batubara adalah gambut dan batubara.
Dua tahap ini merupakan hasil dari suatu proses yang berurutan terhadap barang
dasar yang sama (tumbuhan). Proses tersebut yaitu penggambutan (peatification) dan
pembatubaraan (coalification).
3.1.
PEMBENTUKAN BATUBARA
Batubara terbentuk dari gambut di dalam rawa. Gambut merupakan tahap paling awal
dari proses pembetukan batubara. Gambut didefinisikan sebagai sedimen organik
tidak padat yang dapat terbakar dan berasal dari hancuran atau bagian tumbuhan yang
terhumifikasi dalam kondisi tertutup udara, mempunyai kandungan air lebih dari 75%
(berat) dan kandungan mineral kurang dari 50% dalam kondisi kering.
Beberapa faktor penting dalam pembentukan rawa gambut menurut Bend,1992
dalam Diessel (1992):
1. Evolusi tumbuhan
Ragam tumbuh–tumbuhan seperti yang dikenal pada saat ini telah mengalami
proses evolusi yang sangat panjang mulai dari Jaman Devon. Mulai dari satu
jenis tumbuhan (alga/ganggang) pada jaman sebelum Devon menjadi sekian
banyak pada waktu–waktu berikutnya. Perkembangan ini perlu diketahui
karena ada beberapa tumbuhan yang hanya tumbuh pada jaman tertentu saja
sehingga memudahkan untuk menginterpretasikan genesanya.
14
2. Iklim
Iklim mengendalikan kecepatan perkembangan tumbuh–tumbuhan, jenis
tumbuh–tumbuhan serta kecepatan dekomposisi tumbuh–tumbuhan yang pada
akhirnya iklim pada suatu daerah banyak mempengaruhi pembentukan
gambut. Pada daerah beriklim tropis yang banyak air dan hangat akan
menghasilkan banyak lapisan gambut dan tebal, yang terbentuk dari batang
kayu yang besar. Kenaikan suhu disamping mempercepat pertumbuhan
tanaman juga mempercepat proses dekomposisi. Sebagai contoh, di daerah
beriklim tropis telah ditemukan rawa yang luas dipenuhi gambut
yang
ketebalannya sampai lebih dari 30 m (Taylor et. al., 1998).
3. Geografi dan struktur daerah
Gambut dan batubara terbentuk pada daerah yang memiliki kondisi:
a. Kenaikan muka air tanah yang lambat
b. Perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai
c. Energi relief rendah
Jika kenaikan muka air tanah terlalu cepat naik terhadap rawa maka kondisi
akan berubah menjadi limnik atau terjadi pengendapan sedimen marine.
Sebaliknya jika terlalu lambat, maka material tumbuhan akan membusuk dan
gambut yang sudah terbentuk akan tererosi. Energi relief yang rendah
berdampak pada persediaan sedimen yang membiarkan gambut untuk
terbentuk selama periode tertentu tanpa terganggu oleh sedimen lain.
3.2.
PENGGAMBUTAN (PEATIFICATION)
Tahap awal pembentukan batubara adalah pembentukan gambut. Proses terpenting
dalam tahap ini adalah pembentukan humic subtance (humification), yang dikontrol
oleh suplai oksigen, kenaikan temperatur, fasies dan lingkungan alkali. Berikutnya
15
derajat humifikasi tidak tergantung pada kedalaman akan tetapi bergantung pada
fasies.
Proses pembentukan gambut mencakup proses mikrobial dan perubahan kimia
(biochemical
coalification).
Tahap
selanjutnya
adalah
tahap
geochemical
coalification dimana dalam prosesnya tidak melibatkan bakteri (proses mikrobial).
Pada tahap biokimia, subtansi tumbuhan seperti selulosa, pektin, karbohidrat, dan
lain–lain terdekomposisi oleh aktifitas aerobik mikroba di bagian permukaan yang
mengakibatkan pengkayaan lignin yang kaya karbon dan pembentukan asam humin.
Alterasi paling kuat dengan kondisi tertutup oksigen yang terjadi pada permukaan
gambut sampai dengan kedalaman 0,5 meter yang dikenal dengan istilah peatigenic
layer. Pada bagian ini terjadi aktifitas bakteri aerobik, actinomyces dan fungi.
Dengan bertambahnya kedalaman, bakteri aerobik digantikan oleh bakteri anaerobik,
karena suplai oksigen semakin berkurang, bertambahnya kedalaman ini sebanding
dengan bertambahnya kandungan karbon. Pada kedalaman lebih dari 10 meter praktis
bakteri tidak lagi memiliki peranan, yang terjadi hanyalah proses kimia
(polomerisasi, kondensasi, dan reaksi reduksi).
Profil gambut pada bagian permukaan dicirikan dengan kandungan karbon yang
bertambah cepat dengan bertambahnya kedalaman sehingga substan yang kaya akan
oksigen di permukaan (selulose dan hemiselulose) terdekomposisi oleh mikrobiologi
yang menyebabkan pengkayaan lignin yang kaya karbon dan terbentuknya asam
humin.
Meningkatnya tekanan pada tahap geokimia menyebabkan kandungan air berkurang
dengan cepat, sehingga kandungan air dapat dijadikan parameter pengukur tingkat
diagenesa gambut. Juga munculnya selulose bebas (tak bercampur dengan lignin)
juga merupakan indikator diagenesa gambut yang baik.
16
3.3.
PEMBATUBARAAN (COALIFICATION)
Proses pembatubaraan didefinisikan sebagai peningkatan karbon secara bertahap dari
materi fosil organik dalam suatu proses yang alami. Proses ini dibedakan menjadi
tahapan biokimia yang meliputi seluruh proses pembentukan rawa gambut
(peatification) dan tahapan geokimia (biochemical coalification) yang merupakan
proses metamorfosis. Berdasarkan tahapan yang telah dilaluinya batubara dibagi
menjadi beberapa peringkat (Tabel 3.1).
17
Tabel 3.1 Peringkat batubara (Taylor et.al., 1998)
Proses pembatubaraan meliputi perubahan baik secara fisik dan kimia dari gambut
melalui lignit, sub-bituminus, bituminus, antrasit, sampai metaantrasit. Kontrol utama
perubahan ini adalah derajat metamorfisme (temperatur dan tekanan). Tahapan yang
dicapai oleh batubara dalam deret pembatubaraan ini disebut sebagai peringkat
batubara.
18
Pada proses ini, tekanan yang bertambah besar akan mengakibatkan porositas gambut
berkurang dan peningkatan anisotropi. Sifat porositas ini dapat dilihat dari kandungan
airnya (moisture content) yang berkurang selama proses perubahan dari gambut
menjadi brown coal. Sifat porositas dan anisotropi ini paralel dengan bidang
perlapisan dan bisa dikorelasikan dengan tekanan overburden. Sementara itu, secara
kimia, gambut mengalami perubahan komposisi dari unsur–unsur karbon, oksigen,
dan hidrogen. Derajat pembatubaraan ditentukan oleh perubahan komposisi kimianya
(C, H, O dan VM) atau dengan sifat optis (reflektansi vitrinit).
Selama tahap hard brown coal (lignit-sub bituminus) maka sisa terakhir dari selulose
dan lignin ditransformasikan menjadi material humik. Asam humik terkondensasi
menjadi molekul yang lebih besar dan kehilangan sifat keasamannya membentuk
humin yang tak larut dalam alkali.
Perubahan paling menonjol pada batas peringkat sub bituminous C dan B adalah
perubahan petrografis yang disebabkan oleh proses gelifikasi geokimia (vitrinisasi)
dari substansi hunik yang berubah menjadi hitam dan mengkilap. Pada tahap antrasit
dicirikan oleh turunnya hidrogen dan perbandingan H terhadap C secara drastis,
bertambah kuatnya reflektivitas dan anisotropisme.
Proses pembatubaraan terutama disebabkan oleh naiknya temperatur dan waktu.
Pengaruh temperatur dipercayai sangat dominan disebabkan sering ditemukan adanya
intrusi–intrusi batuan beku yang berdekatan dengan lapisan batubara dengan
peringkat tinggi (antrasit) karena terjadi kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat
batubara juga dapat diamati pada kedalaman yang lebih besar (Hukum Hilt) yang
disebabkan oleh kenaikan temperatur akibat bertambahnya kedalaman. Menurut Hilt
kecepatan peningkatan peringkat bergantung juga pada gradien geotermal.
19
Waktu akan memberikan pengaruh yang berarti jika temperatur pembatubaraan
tinggi. Tekanan makin tinggi maka proses pembatubaraan akan semakin cepat
terutama pada daerah–daerah yang terlipatkan dan terpatahkan.
3.4.
FASIES BATUBARA
Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang diekspresikan
melalui komposisi maseral, kandungan mineral, komposisi kimia dan tekstur (Taylor
G.H and Teichmüller, 1993).
Faktor yang mempengaruhi karekteristik fasies batubara:
1. Tipe pengendapan
Endapan authochtonous terbentuk dari materi yang berasal dari tempat
pengendapan itu sendiri. Endapan allochtonous terbentuk dari materi yang
telah mengalami perpindahan tempat. Endapan allochtonous relatif lebih
banyak
mengandung
mineral
dibandingkan
endapan
authochtonous.
Dekomposisi tumbuhan juga berlangsung selama proses transport oleh air
(angin) sehingga maseral yang tahan terhadap proses dekomposisi akan
terkonsentrasi pada sedimen klastik.
2. Rumpun tumbuhan pembentuk
Ada empat tipe rawa berdasarkan rumpun tumbuhan pembentuknya yaitu:
o Rawa daerah terbuka dengan tumbuhan air
o Rawa daerah terbuka dengan tumbuhan alang-alang
o Rawa hutan
o Rawa lumut
20
Menurut Martini dan Glooschenko (1984) dalam Diessel (1992), rawa gambut
dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis berdasarkan jenis tumbuhan
pembentuk, yaitu :
a) Bog, yaitu lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau
tanaman merambat yang miskin kandungan makanan (Damman & French,
1987).
b) Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa
jenis pohon lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan ombrogenik
yaitu transisi antara daerah yang melimpah akan kandungan air dengan
daerah yang terkadang kering.
c) Marsh, yaitu lokasi rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau
tanaman merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut.
d) Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang
didominasi oleh tumbuhan berkayu.
3. Lingkungan pengendapan
Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan
dan geologi di sekitarnya. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan
kualitas batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya.
Ada empat jenis lingkungan pengendapan:
o Telmatis / terrestrial
Lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan
gambut yang tidak terganggu dan tumbuh insitu (Forest peat, reed peat
dan high moor moss peat).
o Limnis / subakuatik
Lingkungan ini terendapkan di bawah air rawa danau. Batubara yang
terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan
karena pada forest swamp biasanya ada bagian yang berada di bawah
air (feed swamp).
21
o Payau / marine
Batubara yang terendapkan pada lingkungan ini mempunyai ciri khas
kaya abu, S dan N yang mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis
biasanya terbentuk dari mangrove (bakau) dan kaya S.
o Ca-rich
Lingkungan ini menghasilkan batubara yang kaya akan Ca dan
mempunyai ciri yang sama pada endapan payau. Batubara Ca-rich
selalu terjadi pada lingkungan bawah air dengan kondisi oksigen
terbatas. Lingkungan pengendapan ini juga banyak mengandung fosil.
Batubara Ca-rich banyak menghasilkan bitumen.
4. Persediaan bahan makanan
Rawa eutrophic (kaya bahan makanan), mesotrophic (sedang) dan
oligotrophic (miskin bahan makanan) dibedakan tergantung dari banyak
sedikitnya bahan makanan yang bisa digunakan. Low moor biasanya
eutrophic karena menerima air dari tanah yang banyak mengandung makanan
terlarut. Raised bog/hoch moor biasanya oligotrophic karena hanya
mengandalkan air hujan. Transisi antara topogenic low moor dan raised bog
disebut mesotrophic. Gambut pada pada high moor secara umum mengandung
sisa–sisa tumbuhan yang terawetkan dengan baik. Di bawah kondisi hidrologi
yang seragam maka tumbuhan rawa eutrophic banyak spesiesnya.
Oligotrophic di daerah iklim sedang pada umumnya berupa sphagnum
sedangkan untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi tidak
banyak spesiesnya karena rawa jenis ini akan asam (pH 3,5–4) dan kandungan
mineralnya sangat rendah.
5. pH, aktivitas bakteri dan sulfur
Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri yang berperan
dalam pengawetan sisa tumbuhan. Disamping tipe batuan dasar dan air yang
22
mengalir masuk ke rawa maka keasaman rawa tergantung pada rumpun
tumbuhan yang ada, suplai O2, dan konsentrasi asam humik yang sudah
terbentuk. Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (pH 7–7,5), jika
makin asam maka bakteri akan makin sedikit dan struktur kayu akan
terawetkan dengan lebih baik. Sebagai contoh lingkungan pengendapan Carich yang alkalin menyebabkan bakteri mampu mendekomposisi sisa
tumbuhan dengan baik serta membentukan humin gel dan produk
penggambutan yang kaya akan N dan H.
6. Temperatur
Temperatur permukaan gambut memegang peranan penting pada proses
dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri
hidup dengan lebih baik sehingga proses–proses kimia dapat berjalan dengan
baik. Temperatur tertinggi untuk bakteri penghancur sellulosa pada gambut
adalah 35-40˚C.
7. Potensial redoks
Potensial redoks memegang peranan yang penting untuk menunjang aktivitas
bakteri dan proses penggambutan. Jika rumpun tumbuhan, iklim dan kondisi
lingkungannya sama, maka persediaan oksigen menentukan apakah
pengambutan berjalan atau tidak.
Selanjutnya berdasarkan lingkungan sedimenternya, Diessel (1992) membagi
tempat terakumulasinya rawa gambut menjadi 4 bagian (Gambar 3.1), yaitu :
1. Braid Plain
Merupakan dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan, dimana
terendapkan sedimen berukuran kasar (>2 mm). Batubara yang terbentuk pada
daerah ini merupakan hasil diagenesa gambut ombrogenik yang mempunyai
penyebaran lateral terbatas dengan ketebalan rata–rata 1,5 meter.
23
Kandungan abu, sulfur total dan vitrinitenya umumnya rendah, sementara pada
daerah tropis kandungan vitrinite umumnya tinggi. Pada bagian tengah lahan
gambut umumnya kaya akan maseral inertinite (28%) karena suplai nutrisi yang
terbatas.
Kandungan
inertinite
(khususnya
semifusinite)
yang
besar
menyebabkan nilai TPI (Tissue Preservation Index) nya relatif tinggi yang
sekaligus dapat menunjukkan bahwa tumbuhan asalnya didominasi oleh bahan
kayu. Sementara
itu nilai GI (Gelification Index) yang rendah dan warna
batubara yang buram dapat menunjukkan bahwa secara periodik permukaan
gambut mengalami kekeringan dan proses oksidasi. Kandungan abu yang kadang
ditemukan cukup tinggi (±20%), kemungkinan dapat berasal dari banjir musiman
dan keluarnya air tanah ke permukaan.
2. Alluvial Valley and Upper Delta Plain
Kedua lingkungan ini sulit dibedakan karena adanya kesamaan litofasies dan
sifat batubara yang terbentuk sehingga pembahasannya dapat disatukan.
Lingkungan ini merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan
dataran delta, umumnya melalui sungai berstadium dewasa yang memiliki
banyak meander. Lapisan batubara umumnya memiliki ketebalan bervariasi dan
endapan
sedimennya
terutama
terdiri
atas
perselingan
batupasir
dan
lanau/lempung.
Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti pada rawa, dataran
dan cekungan banjir, bagian luar saluran sungai dan lain-lain. Permukaan
gambut cenderung selalu basah dan jarang mengalami periode kemarau sehingga
menghasilkan endapan batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI relatif
tinggi serta didominasi oleh maseral telovitrinite/humotellinite dan secara
kualitas memiliki kandungan abu dan sulfur yang rendah dibanding batubara
pada lingkungan lainnya.
24
3. Lower Delta Plain
Lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat pengaruh
pasang air laut terhadap sedimentasi, dimana batas antara keduanya adalah pada
daerah batas tertinggi dari air pasang. Endapan sedimen pada lower delta plain
terutama terdiri dari batulanau, batulempung dan serpih yang diselingi oleh
batupasir halus.
Pada saat pasang naik, air laut akan membawa nutrisi ke dalam rawa gambut
sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi
lain dengan naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik halus
yang akan menjadi pengotor dalam batubara.
Di samping itu, pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam
batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut.
Menurut Horne and Ferm (1987), batubara yang terendapkan dalam lingkungan
ini memiliki penyebaran luas tetapi ketebalan relatif tipis. Batubaranya memiliki
kandungan inertinite yang rendah dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan
vitrinite/huminite nya terutama didominasi oleh detrovitrinite/humotellinite
sehingga nilai TPI nya relatif rendah. Hal ini menunjukkan tingginya proporsi
tumbuhan dengan jaringan lunak (soft-tissued plant) dan biodegradasi pada
kondisi pH yang relatif tinggi.
4. Barrier Beach
Pada lingkungan ini, morfologi garis pantai dikontrol oleh rasio suplai sedimen
dengan energi pantai, yaitu gelombang pasang dan arus. Jika nilai rasio tinggi
maka akan terbentuk delta, namun jika nilai rasio rendah maka sedimentasi akan
terdistribusi di sepanjang pantai.
Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih rendah
terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang.
Gambut akan terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi
25
sehingga timbunan material gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian
rawa gambut pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh regresi dan transgresi
air laut.
Diessel (1992) mengelompokkan berbagai kondisi akumulasi gambut menjadi 5
(lima) kategori bedasarkan penelitian terhadap batubara humik bituminous
(Gambar
3.1).
Kelima
kategori
tersebut
dibedakan
berdasarkan
faktor
kelembaban, konsentrasi ion hidrogen (pH), suplai makanan dan aktifitas
bakteri. Tiga kategori diantaranya adalah tipe topogenic mires (rawa gambut
topogenik) yang dibagi atas : high watertable dengan kondisi asam,
high
watertable dengan kondisi netral serta variable watertable dan dua lainnya
adalah rawa gambut ombrogenik yang dibagi atas : continuously wet dan
intermittenly dry.
Pada kategori high watertable dibedakan menjadi asam dan netral. Perbedaan
utama
antara kedua kondisi tersebut adalah terletak pada konsentrasi ion
hidrogennya, dimana pada kolom 1 yang konsentrasinya rendah merupakan
lingkungan air tawar (flood basin) dan kolom 2 yang konsentrasinya lebih tinggi
merupakan lingkungan payau atau laut. Kategori variable watertable (kolom 3)
adalah lingkungan air tawar namun dengan tinggi muka air tanah berubah–ubah,
seperti pada dataran banjir yang terkadang kering pada masa tertentu. Adanya
kecenderungan dalam kondisi tergenang pada ketiga kategori ini menyebabkan
suplai makanan tersedia cukup banyak (eurotrophy).
Kategori continuously wet dan intermittenly dry merupakan tipe rawa gambut yang
tumbuh berkembang karena suplai air yang berasal dari curah hujan yang sangat
tinggi (iklim tropis), hanya pada intermittenly dry sering mengalami perubahan
musim, termasuk di dalamnya musim kering. Gambut yang terendapkan pada
lingkungan bog-ombrotrophic (kolom 4 dan 5) terbentuk dalam kondisi asam dengan
suplai makanan yang rendah (oligotrophy).
26
5
4
3
2-1
1-2
3
4
5
Gambar 3.1 Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut
(Diessel, 1992)
3.5.
MATERI PENYUSUN BATUBARA
Batubara tidak hanya disusun oleh materi organik tetapi ada juga materi anorganik
yang menjadi bagian dari batubara.
3.5.1 Materi organik
3.5.1.1 Maseral
Maseral pada batubara analog dengan mineral pada batuan. Maseral merupakan
bagian terkecil dari batubara yang bisa teramati dengan mikroskop. Maseral
dikelompokan berdasarkan tumbuhan atau bagian tumbuhan penyusunnya menjadi
tiga grup (Tabel 3.2), yaitu:
27
1. Vitrinit
Vitrinit ialah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal dari
selulosa (C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat
kayu (woody tissues) seperti batang, akar, daun, dan akar. Vitrinite adalah
bahan utama penyusun batubara di Indonesia (>80%). Di bawah mikroskop,
kelompok maseral ini memperlihatkan warna pantul yang lebih terang
daripada kelompok liptinite, namun lebih gelap dari kelompok inertinite,
berwarna mulai dari abu–abu tua hingga abu–abu terang. Kenampakan di
bawah mikroskop tergantung dari tingkat pembatubaraannya (rank), semakin
tinggi tingkat pembatubaraan maka warnanya akan semakin terang.
Kelompok vitrinite mengandung unsur hidrogen dan zat terbang yang
persentasenya berada diantara inertinite dan liptinite. Mempunyai berat jenis
1,3–1,8 dan kandungan oksigen yang tinggi serta kandungan volatille matter
sekitar 35,75%.
2. Liptinit (exinit)
Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan
berasal dari sisa tumbuhan atau dari dari jenis tanaman tingkat rendah seperti
spora, ganggang (algae), kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari
(pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya, kelompok liptinite
dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran pollen), cutinite (kutikula),
resinite (resin/damar), exudatinite (maseral sekunder yang berasal dari getah
maseral liptinite lainnya yang keluar pada proses pembatubaraan), suberinite
(kulit kayu/serat gabus), fluorinite (degradasi dari resinite), liptodetrinite
(detritus dari maseral liptinite lainnya), alginite (ganggang) dan bituminite
(degradasi material algae).
Relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau bisa juga
sekunder, terjadi selama proses pembatubaraan dari bitumen. Sifat optis:
reflektivitas rendah dan fluoresense tinggi, dari liptinit mulai gambut dan
batubara pada rank rendah sampai pada batubara sub bituminus relatif stabil
(Taylor et.al., 1998). Di bawah mikroskop, kelompok liptinite menunjukkan
28
warna kuning muda hingga kuning tua di bawah sinar fluoresence, sedangkan
di bawah sinar biasa kelompok ini terlihat berwarna abu-abu sampai gelap.
Liptinit mempunyai berat jenis 1,0–1,3 dan kandungan hidrogen yang paling
tinggi dibanding dengan maseral lain, sedang kandungan volatille matter
sekitar 66%.
3. Inertinit
Inertinit disusun dari materi yang sama dengan vitrinit dan liptinit tetapi
dengan proses dasar yang berbeda. Kelompok inertinite diduga berasal dari
tumbuhan yang sudah terbakar dan sebagian lagi berasal dari hasil proses
oksidasi maseral lainnya atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh
jamur dan bakteri. Kelompok ini mengandung unsur hidrogen paling rendah
dan karakteristik utamanya adalah reflektansi yang tinggi diantara dua
kelompok lainnya.
Pemanasan pada awal penggambutan menyebabkan inertinit
kaya akan
karbon. Sifat khas inertinit adalah reflektivitas tinggi, sedikit atau tanpa
flouresense, kandungan hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab,
seperti pembakaran (charring), mouldering dan penghancuran oleh jamur,
gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Sebagian besar inertinit
sudah pada bagian awal proses pembatubaraan. Inertinit mempunyai berat
jenis 1,5–2,0 dan kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain
serta kandungan volattile matter sekitar 22,9%.
Untuk
pengelompokan
maseral
yang
digunakan
adalah
mengacu
pada
pengelompokan maseral berdasarkan Standar Australia (AS 2856-1986) (Tabel 3.2),
untuk hasil pengamatan klasifikasi maseral adalah dalam presentase volume (% vol).
29
Tabel 3.2 Klasifikasi grup maseral berdasarkan Standar Australia (1986)
Grup Maseral
Sub Grup Maseral
Telovitrinite
Vitrinite
Detrovitrinite
Gelovitrinite
Type Maseral
Textinite
Texto - Ulminite
Eu- Ulminite
Telocolinite
Atrinite
Densinite
Desmocolinite
Corpogelinite
Porigelinite
Eugelinite
Sporinite
Cutinite
Resinite
Suberinite
Fluorinite
Liptodetrinite
Exudatinite
Alginite
Bituminite
Liptinite
Teloinertinite
Fusinite
Semifusinite
Sclerotinite
Detroinertinite
Inertodetrinite
Micrinite
Geloinertinite
Macrinite
Inertinite
Maseral menghasilkan materi yang mudah menguap (volatile matter). Materi ini
banyak dihasilkan oleh liptinit yaitu sekitar 66% sedangkan vitrinit menghasilkan
35,75% dan inertinit menghasilkan 22,9%.
30
3.5.1.1.1 Maseral dan Lingkungan Pengendapan Batubara
Peranan maseral dalam analisis penentuan lingkungan pengendapan batubara
dapat didasarkan pada sifat–sifat yang dimilikinya, antara lain : sifat attribute
dan sifat skalar. Suatu lapisan batubara mulai dari lapisan dasar (floor) hingga atas
(roof) memiliki sifat–sifat tertentu, yang mencerminkan kondisi lingkungan
pengendapannya.
Sifat attribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya suatu maseral
tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting untuk
dijadikan
penciri suatu lingkungan tertentu (Diessel, 1992). Navale (1981) menyatakan
bahwa batubara yang diendapkan pada lingkungan lagoon relatif kaya akan
desmocolinite, batubara dari lingkungan upper delta plain dan fluviatil (wet
forest swamp) kaya akan vitrinite dan material klastik seperti mineral lempung,
sedangkan batubara dari lingkungan air tawar biasanya lebih kaya akan telinite,
resinite dan inertinite.
Sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas faktor kehadiran atau
morfologi maseral tertentu, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif antara
tiap maseral dalam batubara. Diessel (1986) memperkenalkan dua parameter
utama dalam penentuan fasies batubara berdasarkan komposisi maseral pada
batubara yaitu : TPI (Tissue Preservation Index) dan GI (Gelification Index).
TPI (Tissue Preservation Index) menyatakan perbandingan antara struktur
jaringan pada maseral yang terawetkan dan struktur jaringan yang tidak
terawetkan (terdekomposisi). TPI juga dapat menunjukkan derajat humifikasi
yang terjadi pada lahan gambut dalam proses penggambutan. Tingginya derajat
humifikasi dapat menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan sel yang
dinyatakan oleh harga TPI yang kecil.
31
TPI
=
Telovitrinite + Teloinertinite
Detrovitrinite + Gelovitrinite + Inerto det rinite + Geloinertinite
Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada
tanaman yang mengandung banyak selulose (tumbuhan perdu), sedangkan
tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit
dihancurkan. Semakin meningkatnya harga TPI dapat menunjukkan semakin
tingginya persentase kehadiran tumbuh–tumbuhan kayu (dalam hal ini
ditunjukkan dengan banyaknya persentase telovitrinite). Sementara itu bila
harga TPI < 1 maka maseral vitrinite akan disertai oleh kehadiran cutinite yang
biasanya akan cepat terhancurkan oleh air laut. Kombinasi antara kandungan
densinite dan cutinite yang banyak dengan kandungan vitrinite yang sedikit
dapat menggambarkan bahwa batubara berasal dari serat tumbuhan perdu pada
suatu lingkungan marsh.
GI (Gelification Index) berhubungan dengan kontinuitas kelembaban pada lahan
gambut serta menyatakan perbandingan antara maseral yang terbentuk karena
proses gelifikasi dan maseral yang terbentuk akibat proses oksidasi.
GI
=
Vitrinite + Geloinertinite
Teloinertinite + Detroinertinite
Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini
semakin kecil harga GI menunjukkan tingkat oksidasi yang semakin besar.
Tingkat Gelifikasi akan memberikan beberapa gambaran antara lain :
1.
Menunjukkan basah/keringnya kondisi pembentukan batubara. Hal ini
terjadi karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang kontinyu.
2.
Sebagai indikator pH relatif karena efektifitas bakteri dapat berlangsung
pada derajat keasaman rendah.
3.
Sebagai ukuran proses diagenesa selama gelifikasi biokimia.
32
Kombinasi TPI dan GI dapat dipergunakan untuk memperkirakan derajat
dekomposisi dan penentuan lingkungan pengendapan batubara. Nilai TPI dan
GI yang
tinggi dapat mengindikasikan tingkat dekomposisi aerobik yang
rendah, sebaliknya kondisi kering dicirikan oleh nilai TPI rendah dan GI yang
tinggi mengindikasikan dekomposisi aerobik yang terbatas.
3.5.1.1.2 Pengaruh Air Tanah dan Vegetasi
Salah
satu
parameter
dalam
pembentukan
suatu
mire/
lahan
gambut
(rheotrophic, mesotrophic dan ombrotrophic) adalah kondisi pengaruh air tanah
yang dicerminkan melalui nilai indeks GWI (Groundwater Index) yang secara
langsung berhubungan dengan kontinuitas air hujan dan suplai nutrisi/ion – ion
yang ada pada air. Rheotrophic mire menerima suplai air dari aliran air tanah, air
dari lingkungan dan dari air hujan sehingga kaya akan suplai nutrisi dan ion
serta kandungan mineral, sementara ombrotrophic mire hanya menerima dari air
hujan sehingga miskin nutrisi (oligotrophic). Rheotrophic mire dapat dibagi
menjadi fen, swamp dan marsh yang tergantung pada tingkat genangan air pada
lahan gambut. Sementara
ombrotrophic mire dapat istilahkan sebagai bogs
(Moore, 1987 dalam Calder et.al., 1991).
GWI merupakan rasio perbandingan antara jaringan tumbuhan yang tergelifikasi
kuat terhadap jaringan tumbuhan yang tergelifikasi lemah. Perbandingan ini
dapat menggambarkan proses gelifikasi yang meyimpulkan tentang keadaan
suplai air dan pH dari suatu lahan gambut atau mire.
Pada lingkungan rawa yang berkembang menjadi kondisi rawa di bawah
pengaruh air tanah yang semakin berkurang akan menghasilkan gambut yang
lebih baik (Grosse–Brauckmann, 1979 ; Tallis, 1983 and Moore, 1987 dalam
Calder, 1991). Bukti kondisi ini dapat terlihat pada lapisan batubara yang
menunjukkan perubahan tendensi umum secara vertikal. Perubahan tendensi
umum tersebut diantaranya adalah penurunan kadar sulfur dan abu, kenaikan
33
pengawetan jaringan tumbuhan, penurunan gelifikasi biokimia dan penurunan
maseral liptinite yang berasal dari lingkungan air (Calder, 1991).
GWI
=
corpogelinite + Mineral Matter
textinite + telocollinite + Detrovitrinite
Dalam perhitungan GWI juga dimasukkan parameter mineral matter selain
maseral. Kegunaan parameter mineral matter disini dapat mengindikasikan asal
mula dari dominasi detrital yang masuk pada mire dan juga dapat
mengasumsikan ukuran kondisi rawa gambut (rheotrophic, mesotrophic dan
ombrotrophic). (Cecil., C.B dalam Taylor G.H, 1998)
Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI, aspek
vegetasi
(Vegetation
Index)
juga
dapat
dijadikan
petunjuk
dalam
menginterpretasi asal mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori lahan
gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk dengan
menggunakan parameter kesamaan antar maseral.
Tumbuhan yang kaya akan lignin ditunjukkan dengan kandungan telovitrinite,
fusinite dan semifusinite yang tinggi. Dalam hal ini, suberinite dan resinite
adalah sebagai maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu yang kaya selulosa
melalui proses pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya akan
detrovitrinite, inertodetrinite dan liptodetrinite (Teichmüller, 1989). Kondisi
subaquatik seharusnya akan diindikasikan oleh kehadiran maseral alginite.
Sementara sporinite dan cutinite mempunyai distribusi yang sama pada batubara
yang terbentuk dari tumbuhan bawah air.
VI
=
Telovitrinite + fu sin ite + semifu sin ite + suberinite + re sin ite
Detrovitrinite + Inerto det rinite + lipto det rtinite + sporinite + cutinite + a lg inite
34
3.5.1.2 Mikrolitotip
Maseral dari batubara jarang berdiri sendiri, mereka berasosiasi dengan satu atau
lebih grup maseral lain. Asosiasi ini disebut mikrolitotip. Mikrolitotip dibagi menjadi
tiga grup (Tabel 3.3).
3.5.1.3 Litotip
Istilah litotip ditujukan untuk membedakan secara makroskopi penyusun lapisan
batubara berdasarkan kilap, warna dan tipe perlapisannya. Ada enam litotip yang
dibagi menjadi dua tipe berdasarkan genesa, unsur kimia dan petrografinya. Tipe
Humic Coal dibentuk oleh vegetasi yang tumbuh di atas permukaan tanah atau air
(rawa). Tipe Spropelic Coal terbentuk dari akumulasi pengendapan vegetasi yang
mengambang di bawah permukaan air, seperti alga. (Tabel 3.4)
Tabel 3.3 Mikrolitotip batubara (Taylor et. al., 1998)
Monomaseral
Bimaseral
Trimaseral
Mikrolitotip group
Komposisi maseralgroup
Vitrite
V > 95%
Liptite
L > 95%
Inertite
I > 95%
Clarite
V+L > 95%
Vitrinertite
V+I > 95%
Durite
I+L > 95%
Duroclarite
V > I,L
Vitrinertoliptite
L > I,V
Clorodurite
I > V,L
35
Tabel 3.4 Litotip batubara (Taylor et. al., 1998)
Tipe
Humic Coal
Litotip
Kenampakan makroskopi
Vitrain
Terang, rapuh, terdapat rekahan
Clarain
Semi terang, hitam, perlapisan jelas
Durain
Kusam, hitam atau keabuan, keras, permukaan kasar
Fusain
Kilap sutra, hitam, berserabut, halus, gampang rusak
Cannel coal
Sapropelic
Coal
Bog head coal
3.5.2
Kusam atau sedikit berminyak, hitam, homogen, tidak berlapis,
sangat keras, permukaan tidak rata, goresan hitam
Seperti cennel coal tapi terlihat coklat dengan goresan yang
coklat juga
Materi Anorganik
3.5.2.1 Mineral Matter
Mineral matter pada batubara dapat diartikan sebagai mineral–mineral dan material
anorganik lainnya yang berasosiasi dengan batubara. Secara keseluruhan mencakup
tiga gologan material, yaitu:
1. Mineral dalam bentuk partikel diskrit dan kristalin pada batubara.
2. Unsur atau senyawa anorganik yang terikat dengan molekul organik batubara
dan biasanya tidak termasuk unsur nitrogen dan sulfur.
3. Senyawa anorganik yang larut dalam air pori batubara dan air permukaan.
Mineral matter pada batubara dapat berasal dari unsur anorganik pada tumbuhtumbuhan pembentuk batubara atau disebut inherent mineral serta mineral yang
berasal dari luar rawa atau endapan yang kemudian di transport ke dalam cekungan
pengendapan batubara melalui air atau angin dan disebut
“extraneous” atau
‘adventitious’ mineral matter.
Materi anorganik di dalam batubara terbagi menjadi tiga katagori menurut
pembentukannya (Taylor et.al., 1998), yaitu:
36
1. Syngenetic inorganic matter
Merupakan materi anorganik yang berasal dari tumbuhan pembentuk
batubara. Contoh: Silika.
2. Syngenetic inorganic/organic complexs
Materi anorganik yang terbentuk selama tahap awal penggambutan, berasal
dari luar yang terbawa oleh air atau angin kedalam gambut. Contoh: Mineral
zirkon (ZrSiO4) dan pertukaran hidrogen dalam karbonat menjadi kalsium
karbonat.
3. Epigenetic minerals
Terbentuk setelah proses konsolidasi batubara oleh kristalisasi dalam rekahan
atau lubang
atau oleh alterasi mineral yang terendapkan secara primer.
Contoh: Pirit dan mineral Karbonat
Kebanyakan dari kehadiran bahan inorganik dalam batubara ialah berupa mineral–
mineral yang terdistribusi di dalam atau diantara maseral–maseral. Jenis dan
keterdapatan mineral–mineral dalam batubara dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Mineral terdistribusi diantara maseral dengan ukuran antara satu μm hingga ratusan
mikrometer. Mineral yang banyak terdapat dalam batubara ialah mineral lempung,
mineral karbonat, mineral sulfida dan mineral oksida.
3.5.2.2 Tipe Mineral pada Batubara
Berdasarkan atas kelimpahannya, maka mineral–mineral pada batubara dapat
dibedakan atas: mineral utama (major minerals), mineral tambahan (minor minerals)
dan mineral jejak (trace minerals). Umumnya yang termasuk mineral utama adalah
mineral lempung dan kuarsa sedangkan mineral minor yang umum adalah karbonat,
sulfida dan sulfat.
Mineral–mineral lain pada batubara dalam jumlah yang sedikit yaitu : fosfat, mineral
garam, felspar, mika, mineral silikat, oksida dan hidroksida (hematit, limonit, dan
37
geotit) jarang ditemukan dalam batubara kecuali pada batubara yang terpengaruh
kondisi oksidasi, mineral berat yang kemungkinannya sangat kecil ditemukan yang
berasosiasi dengan batubara (zirkon, rutil, turmalin, garnet).
Tabel 3.5 Keterdapatan mineral-mineral pada batubara (Taylor et.al, 1998)
Mineral
Keterdapatan*
Mineral Lempung
Illite-Serisit
umum-berlimpah
Montmorilonit
jarang-umum
Kaolinit
umum-berlimpah
Halosit
jarang
Besi Disulfida
Pirit
jarang-umum
Markasit
jarang-umum
Karbonat
Dolomit
umum-sangat
umum
umum-sangat
umum
umum-sangat
umum
jarang-umum
Aragonit
jarang
Siderit
Ankerit
Kalsit
Mineral
Keterdapatan*
Kalkopirit
sangat jarang
Pirhotit
sangat jarang
Fosfat
Apatit
jarang
Fosforit
jarang
Goyasit
jarang
Sulfat
Barit
jarang
Gypsum
sangat jarang
Silikat
Zirkon
jarang
Biotite
sangat jarang
Staurolit
sangat jarang
Witerit
jarang
Turmalin
sangat jarang
Strontianit
jarang
Garnet
sangat jarang
Epidot
sangat jarang
Sanidin
jarang
Oksida
Hematit
jarang
Ortoklas
sangat jarang
Kuarsa
jarang-umum
Augit
sangat jarang
Magnetit
sangat jarang
Amfibol
sangat jarang
Rutil
sangat jarang
Kyanit
sangat jarang
Klorit
jarang
Hidroksida
Limonit
jarang-umum
Garam
Goethit
jarang
Gypsum
Diaspor
jarang
Biskofit
Silfin
jarang
sangat jarangumum
sangat jarangumum
38
Sfalerit
jarang
Kieserit
Galena
jarang
Mirabilit
Milerit
sangat jarang
Melanterit
sangat jarangumum
sangat jarangumum
sangat jarangjarang
sangat jarang
Keramohalit
sangat jarang
Sulfida
Halit
* Proporsi keterdapatan berlimpah sampai umum pada kebanyakan batubara mempunyai kandungan
antara 5% sampai lebih 30% dari komposisi total mineral matter. Sedang klasifikasi jarang sampai
sangat jarang kurang dari 5% dari total mineral matter, akan tetapi juga termasuk beberapa mineral
yang kadang lebih banyak pada sebagian kecil batubara
3.5.2.3 Elemen jejak
Elemen jejak merupakan komponen dari mineral yang terdapat dalam batubara,
seperti timbal dalam galena.
Elemen jejak dapat digunakan untuk investigasi geologi, contohnya unsur boron yang
mengindikasikan pengaruh air laut. Selain itu elemen jejak dapat menyebabkan
kesulitan dalam pemanfaatan batubara. Kadar boron yang tinggi tidak cocok untuk
produk reaktor. Sedikit titanium, vanadium dan zinc dalam elektroda dapat
menyebabkan metal yang diproduksi menjadi rapuh.
39
Download