Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae

advertisement
3 TINJAUAN PUSTAKA
Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut
dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis
hitam vertikal pada tubuhnya.
Taksonomi
Klasifikasi harimau Sumatera menurut Pocock 1929 :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Carnivora
Famili
: Felidae
Genus
: Panthera
Spesies
: Panthera tigris
Subspesies
: sumatrae
Diketahui ada sembilan subspesies Panthera tigris yaitu Panthera tigris
tigris (harimau Bengala), Panthera tigris corbetti (harimau Indocina), Phantera
tigris altaica (harimau Siberia), Panthera tigris amoyensis (harimau Cina utara),
Panthera tigris virgata (harimau Caspian), Panthera tigris jacksoni (harimau
Malaya), dan tiga subspesies yang terdapat di Indonesia yaitu Panthera tigris
sumatrae (harimau Sumatera), Panthera tigris sondaica (harimau Jawa), dan
Panthera tigris balica (harimau Bali). Disayangkan tiga dari sembilan subspesies
ini dinyatakan telah punah yaitu Panthera tigris virgata (awal tahun 1970),
Panthera tigris sondaica (pertengahan tahun 1970) dan Panthera tigris balica
(sekitar tahun 1940) (IUCN 2011).
Morfologi
Harimau adalah spesies terbesar dari 36 spesies kucing, dan harimau
Sumatera mempunyai ukuran tubuh terkecil dari keseluruhan subspesies harimau
di dunia. Panjang harimau Sumatera rata-rata 2,4 meter untuk jantan dan 2,2 meter
untuk betina. Tinggi diukur dari kaki ke tengkuk rata-rata adalah 75 cm, ada juga
4 yang mencapai antara 80-95 cm. Rata-rata berat badan untuk harimau Sumatera
jantan adalah 120 kg dan untuk betina 90 kg (Honolulu Zoo 2011). Hewan ini
mempunyai bulu sepanjang 8-11 mm, surai pada harimau Sumatera jantan
berukuran 11-13 cm.
Harimau Sumatera memiliki bulu di dagu, pipi, dan belakang kepala lebih
pendek. Dagu, bagian tenggorokan, dan bagian bawah tubuh keputih-putihan.
Warna bulunya lebih gelap dari jenis harimau lainnya dan bervariasi dari warna
kuning-kemerahan sampai oranye gelap dengan belang berwarna hitam. Belang
harimau Sumatera lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Belang harimau
berfungsi sebagai kamuflase di antara alang-alang dan rumput. Pada bagian pipi
terdapat pili yang panjang yang berguna sebagai sensor ketika bergerak di semak
belukar. Rambut-rambut panjang di bagian pipi dapat melindungi mereka dari
cabang pohon dan ranting. Bulunya berubah menjadi hijau gelap ketika
melahirkan (Tilson 1994).
Bagian tubuh ventral dan paha bagian dalam hampir berwarna putih dan
berwarna kuning terang. Kaki belakang harimau Sumatera lebih panjang
dibandingkan dengan kaki depan sehingga memudahkan dalam mengatur
keseimbangan, memanjat, melompat dan menerkam mangsa. Panjang ekor
harimau Sumatera sekitar 65-95 cm. Ekor tersebut berguna sebagai alat
keseimbangan ketika berlari dengan kecepatan tinggi dan berbelok cepat serta
digunakan untuk berkomunikasi dengan harimau lainnya (Sinaga 2004).
Alat indera harimau seperti penglihatan dan pendengaran sangat bagus.
Indera penciumannya juga berkembang dengan baik. Mata digunakan saat malam
hari ketika berjalan di hutan. Ukuran tubuhnya yang kecil memudahkan mereka
menjelajahi rimba. Mereka menggunakan jari kaki untuk berjalan. Harimau
Sumatera dapat berlari dengan kecepatan 35 mil per jam. Seperti kebanyakan
bangsa kucing, harimau Sumatera memiliki cakar yang tajam dimana cakar
tersebut digunakan untuk mencengkeram mangsa. Selain itu cakaran juga
digunakan untuk menandai daerah kekuasaan dengan membuat cakaran di pohon
atau tanah. Kegiatan ini juga berfungsi untuk mengasah kuku dan otot di sekitar
kuku. Cakar atau kuku harimau dapat ditarik kembali agar tetap tajam. Terdapat
selaput di sela-sela jari berupa anyaman yang kuat dan lebar yang menjadikan
5 mereka sebagai hewan yang memiliki kemampuan berenang cepat dan bagus.
Harimau Sumatera dapat berenang dan menyeberangi sungai sejauh 5 mil.
Gambar 1 Harimau sumatera (WWF 2011)
Ekologi
Habitat harimau Sumatera di pulau Sumatera dan tersebar di semua provinsi
mulai dari Aceh sampai Lampung. Habitatnya meliputi hutan dataran rendah
hingga hutan pegunungan. Harimau Sumatera, seperti jenis-jenis harimau lainnya
merupakan jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan
tempat tinggalnya. Kondisi mutlak yang mempengaruhi pemilihan habitat seekor
harimau adalah adanya kualitas yang baik untuk vegetasi cover sebagai tempat
beristirahat dan berteduh agar terlindung dari panas serta sebagai tempat untuk
membesarkan anak. Selain itu harus terdapat sumber air karena satwa ini sangat
tergantung pada air untuk minum, mandi, dan berenang serta tersedianya mangsa
dalam jumlah yang cukup.
Tipe lokasi yang biasanya menjadi habitat pilihan harimau Sumatera
bervariasi, dengan ketinggian antara 0-3000 meter dari permukaan laut seperti
hutan hujan tropis, hutan primer dan sekunder pada dataran rendah sampai dataran
tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka, pantai berlumpur, mangrove,
6 pantai berawa payau, pantai air tawar, padang rumput, daerah datar sepanjang
aliran sungai, khususnya pada sungai yang mengalir melalui tanah yang ditutupi
oleh hutan hujan tropis, areal hutan gambut dan juga sering terlihat di daerah
perkebunan dan tanah pertanian (Sinaga 2004). Menurut Adlington (2003), hanya
harimau Sumatera liar saja yang dapat ditemukan di hutan Sumatera. Sebagian
besar harimau Sumatera yang berada di Kebun Binatang di Indonesia ataupun di
luar Indonesia merupakan harimau Sumatera yang berasal dari alam, pertukaran
antar satwa yang ada di Kebun Binatang atau sitaan dan titipan yang diberikan
oleh Departemen Kehutanan.
Harimau membutuhkan wilayah jelajah yang cukup luas. Menurut Hamaide
(2007), harimau memiliki daerah jelajah seluas 100 km2, tetapi wilayah jelajah ini
dapat bervariasi, tergantung ketersediaan makanan di suatu wilayah. Wilayah
jelajah akan mengecil jika mangsa harimau tersedia lebih dari cukup. Home range
untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km² sedangkan untuk harimau
jantan sekitar 60-100 km². Akan tetapi, angka tersebut bukan merupakan
ketentuan yang pasti, karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh
keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Biasanya
daerah teritori harimau jantan 3-4 kali lebih luas dibandingkan harimau betina.
Harimau dapat bekelana lebih dari 20 mil (32 km) pada saat malam hari
(Honolulu Zoo 2011).
Tingkah Laku Sosial dan Aktifitas Harian
Harimau bukan jenis satwa yang biasa tinggal berkelompok melainkan jenis
satwa soliter, yaitu satwa yang sebagian besar waktunya hidup menyendiri,
kecuali selama musim kawin atau betina memelihara anaknya. Harimau jantan
dan betina menandai wilayah mereka dengan cara membuat cakaran di tanah dan
pohon. Cakaran dibuat setelah melakukan urinasi. Pada saat urinasi harimau
Sumatera
menyemprotkan
urine
untuk
menimbulkan
bau-bauan
serta
meninggalkan bekas kotoran.
Harimau merupakan hewan pemakan daging atau disebut juga karnivora.
Menurut Sankhala (1997) harimau tidak akan membunuh mangsanya tanpa
alasan, mereka tidak akan membunuh mangsanya apabila tidak merasa lapar.
7 Hewan yang biasanya menjadi mangsa adalah rusa Sambar, kijang, kancil, babi
hutan, dan satwa liar lainnya. Hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, domba, dan
ayam menjadi mangsa bila habitat harimau terganggu atau rusak karena manusia
tinggal di habitatnya sehingga memaksa harimau masuk ke pemukiman. Saat
membunuh mangsanya, harimau akan menggigit bagian belakang leher, dan
merusak tulang belakang. Untuk memenuhi kebutuhannya, harimau berburu 3-6
hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor
harimau membutuhkan sekitar 6-7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang
sampai 40 kg daging sekali makan (Macdonald 1986).
Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut
mencari makan untuk dirinya sendiri atau berapa banyak anggota yang harus
diberi makan seperti harimau betina yang harus mencari makan untuk dirinya
sendiri dan anak-anaknya. Masa hidup seekor harimau adalah sekitar 10-15 tahun.
Harimau yang tinggal di penangkaran umumnya lebih lama lagi, dapat mencapai
16-25 tahun (Macdonald 1986).
Reproduksi
Harimau merupakan satwa dengan tingkat perkembangbiakan yang cukup
tinggi. Kematangan seksual (pubertas) harimau Sumatera terjadi pada usia sekitar
3-4 tahun (Seidensticker 1996). Untuk harimau betina mencapai pubertas pada
usia 3-4 tahun, sedangkan harimau jantan pada usia 4-5 tahun. Menurut Sankhala
(1997) selama masa kawin pasangan harimau Benggala dapat hidup bersamasama. Mereka akan tinggal bersama selama betina birahi yang umumnya selama
satu minggu. Kopulasi terjadi setiap 15-20 menit dan terjadi 5-6 hari. Kopulasi
terjadi hanya dalam waktu 10-30 detik. Harimau betina dapat menerima beberapa
pejantan sehingga harimau merupakan hewan yang berpoligami. Lama kehamilan
harimau betina berkisar 95-110 hari atau rata-rata 103 hari seperti dalam
Seidensticker et al. (1993). Jumlah anak harimau dalam sekali kelahiran
jumlahnya berkisar antara 1-6 ekor, dan bahkan kadang-kadang lahir 7 ekor, tetapi
dari jumlah tersebut yang mampu bertahan dan hidup sampai dewasa hanya dua
atau tiga ekor saja. Menurut Andriyanto (2001) jumlah serta nisbah jantan dan
betina harimau Sumatera di Taman Safari Indonesia, Taman Margasatwa
8 Ragunan, Kebun Binatang Surabaya dan Kebun Binatang Gembira Loka tidak
tetap.
Anak harimau terlahir dalam keadaan mata tertutup seperti buta. Mata anakanak harimau tertutup oleh membran tipis dan akan terbuka pada saat berumur
satu minggu (Jackson 1990). Selama 8 minggu, anak harimau hanya
mengkonsumsi susu dari induknya. Anak harimau baru bisa berburu sendiri
setelah berumur 18 bulan dan menjadi mandiri saat berumur 24 bulan. Harimau
betina selama hidupnya dapat melahirkan anak dengan jumlah total sampai 30
ekor dan setiap tahun dapat melahirkan anak. Jarak antar kelahiran kurang lebih
22 bulan, atau 2-3 tahun, tetapi dapat lebih cepat bila anaknya mati. Dari
penelitian Hidayani (2007) didapatkan hasil bahwa seekor harimau Sumatera
betina dapat melahirkan anak sebanyak 35 ekor selama 7 tahun masa
produktifnya.
Musim Kawin
Musim kawin adalah suatu musim dalam suatu tahun dimana hewan
menunjukkan aktivitas perkawinan. Dalam periode satu musim, hewan betina
jenis tertentu baik yang telah dewasa maupun baru mencapai pubertas
memperlihatkan gejala birahi. Para pejantan dengan bersemangat akan melayani
kehendak betina ini. Dalam tradisi rimba pada saat inilah terjadi pertarungan antar
pejantan untuk memperebutkan betina. Bagi betina yang beruntung mendapat
bibit pada musim kawin sebelumnya maka akan mengalami kebuntingan. Bagi
betina yang kurang beruntung tidak menampakkan aktivitas kawin atau disebut
juga nonbreeding season (Partodihardjo 1980).
Banyak hewan yang melakukan perkawinan sepanjang tahun. Tetapi banyak
juga yang memiliki musim kawin tertentu. Musim kawin beberapa hewan yang
tergolong mamalia dipengaruhi oleh perubahan panjang jam siang setiap hari. Di
daerah subtropis, pada bulan November, Desember, dan Januari siang hari
menjadi pendek, sekitar 8-10 jam, sedangkan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus
siang hari menjadi panjang sekitar 13-15 jam. Di daerah tropis, lamanya siang hari
merata sepanjang tahun, yaitu 12 jam. Pada hewan yang hidup di daerah subtropis,
perkawinan terjadi mengikuti pola tertentu. Pada daerah subtropis terdapat empat
9 musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Bagi
hewan yang berada di daerah subtropis, sangat penting untuk melahirkan pada
musim tertentu dimana dapat menjamin keturunannya bertahan hidup, biasanya
terjadi pada musim semi sampai panas (Short 1984). Pada mamalia yang hidup di
daerah tropis terjadinya perkawinan tidak mengikuti pola reproduksi tertentu.
Dalam Geptner et al (1992) reproduksi nonseasonal adalah karakteristik dari
hewan tropis. Perbedaan iklim kemungkinan berpengaruh terhadap profil
reproduksi hewan termasuk harimau.
Studbook
Seifert dan Muller (1984) mengatakan Studbook adalah kronologi populasi
harimau yang ada di dalam penangkaran. Untuk setiap harimau yang terdaftar,
pada studbook dicatat informasi mengenai tanggal lahir, tanggal kematian, induk
jantan dan betina, lokasi keberadaan dan perpindahan harimau, serta nomor
identifikasi institusi yang memiliki harimau dan nomor identifikasi Studbook yang
terstandarisasi. Setiap hewan ditandai dengan nomor identitas yang khas atau
nomor studbook yang memberikan susunan silsilah untuk analisis genetik. Data
umur dari kelahiran dan kematian hewan dapat digunakan untuk analisis
demografis. Selain itu data yang didapat dari studbook dapat dijadikan sebagai
acuan dalam pengelolaan penangkaran. Dengan data dari studbook dapat dicegah
terjadinya kawin silang dalam (inbreeding) dan mempertahankan keragaman
genetik. (WAZA 2011).
Ancaman dan Konservasi
Penyebab
utama
kerusakan
alam
dan
komunitas
biologi
adalah
bertambahnya populasi manusia di muka bumi. Ancaman utama pada lingkungan
akibat kegiatan manusia adalah kerusakan habitat, fragmentasi habitat, degradasi
habitat, perubahan iklim global, pemanfaatan spesies yang berlebih untuk
kepentingan manusia, invasi spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit
serta sinergi dari faktor-faktor tersebut. Kebanyakan spesies dan komunitas yang
terancam punah menghadapi sedikitnya dua atau lebih dari masalah-masalah
10 tersebut, yang mendorong kepunahan dan menyulitkan usaha perlindungan
(Sunquist 2010).
Begitu juga halnya dengan harimau Sumatera. Berkurangnya populasi
harimau Sumatera di habitanya disebabkan oleh pembukaan lahan secara besarbesaran oleh manusia yang menyebabkan berkurangnya habitat yang membuat
seolah-olah harimau merusak pemukiman penduduk untuk mencari makan. Selain
itu perburuan dan penjualan ilegal bagian tubuh harimau juga meningkat. Menurut
Twist (2004) pengobatan tradisional Cina merupakan ancaman bagi harimau
Sumatera karena pengobatan tradisional tersebut menggunakan bagian-bagian
tubuh harimau. Jepang, Hong Kong dan Korea Selatan merupakan negara-negara
pengimpor tulang harimau untuk pengobatan tradisional Asia.
Strategi terbaik bagi pelestarian jangka panjang dan untuk melindungi
individu yang tersisa adalah dengan menempatkannya dalam suatu lingkungan
yang dapat dipantau secara berkelanjutan (Indrawan et al 2007). Strategi ini
dikenal dengan pelestarian ex-situ. Habitat ex-situ merupakan tempat tinggal
satwa yang berada di luar habitatnya. Disain habitat ex-situ dibuat semirip
mungkin dengan aslinya agar hewan merasa nyaman. Konservasi ex-situ
didefinisikan dalam Convention on Biological Diversity sebagai pengawetan
komponen-komponen keragaman plasma nutfah di luar habitat aslinya. Kegiatan
yang dilakukan seperti pengambilan sampel, transfer, dan penyimpanan dari suatu
taxa target dari daerah koleksi dan biasanya dilakukan untuk menjamin
keberadaan suatu spesies atau populasi yang memiliki potensi kehancuran fisik,
tergerus dan tergantikan oleh spesies lain, atau kemerosotan genetik (UNCED
1992). Tujuan jangka panjang dari program pelestarian ex-situ adalah untuk
membentuk populasi cadangan, hingga jumlah individu spesies tersebut
mencukupi dan habitat yang sesuai tersedia. Taman nasional, kebun binatang,
akuarium, dan peternakan satwa buruan, serta berbagai program penangkaran
merupakan contoh dari fasilitas ex-situ atau disebut lembaga konservasi.
Perlindungan keanekaragaman hayati bagi spesies dan lingkungannya diatur
dalam UU No. 5 Tahun 1990. Usaha perlindungan terhadap harimau Sumatera di
Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1931 yaitu berdasarkan Undang-undang
Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 134 serta SK Menteri Pertanian tahun 1972
11 No. 327/kpts/im/7/1972. Usaha pelestarian yang diusulkan adalah pembinaan
populasi dan penetapan suaka alam khusus harimau Sumatera. Usaha yang
dilakukan oleh masyarakat internasional adalah dengan mendirikan berbagai
organisasi yang bertujuan untuk melindungi satwa-satwa liar yang terancam
punah, diantaranya adalah International Union for Conservation of Nature
(IUCN) pada tahun 1948 serta Convention on International Trade In Endangered
Species (CITES) yang ditandatangani tahun 1975 (Adlington 2003).
Download