jadwal Subuh shalat Zhuhur Bandung -3 Mnt, Yogyakarta -14 Mnt, Semarang -14 Mnt, Surabaya -24 Mnt, Jambi + 13 Mnt, Padang +26 Mnt, Medan +33 Mnt. Makassar +8 Mnt. Ashar 04.08 11.39 14.56 Maghrib 17.48 Isya REPUBLIKA MAHAKA MEDIA 19.01 12 Halaman >> Kamis > 4 November 2010 Kajian Islam akan Ditata Ulang Yulianingsih BANJARMASIN — Kajian ilmu keislaman di perguruan tinggi agama Islam akan ditata ulang. Kasubdit Akademik dan Kemahasiswaan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama, Mastuki, mengatakan, tata ulang berhubungan dengan masih terabaikannya kajian Islam Indonesia. “Kajian tersebut selama ini hanya menjadi bagian kecil dari mata kuliah peradaban Islam,” kata Mastuki di sela-sela penyelenggaraan Konferensi Internasional Kajian Islam yang dikenal juga dengan “Annual Conference on Islamic Studies” (ACIS) X, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (3/11). Mata kuliah itu membahas peradaban Islam dari zaman Nabi Muhammad hingga masuknya Islam ke Indonesia. Padahal, keberadaan Islam di nusantara sangat beragam. Inilah yang menyebabkan pemerintah berencana menata ulang agar keberadaan Islam di nusantara lebih banyak lagi dikaji. Penataan ulang, ungkap Mastuki, rencananya dilakukan pada tahun ini selepas penyelenggaraan ACIS X. Nantinya, penataan ulang tidak hanya dilakukan pada kurikulum, tetapi juga wawasan dan pandangan perguruan tinggi Islam terhadap kajian itu sendiri. Hal konkret yang akan dilakukan adalah dengan membuka program khusus untuk memperdalam kajian Islam Indonesia. Sebagai langkah awal, program tak langsung diberlakukan secara massal di seluruh perguruan tinggi agama Islam. “Akan ada proyek percontohan,” ujar Mastuki. Khususnya, dipilih perguruan tinggi yang ada di daerah dengan ciri khas Islam Indonesia yang kental. Ia menyatakan, ada target yang ingin dicapai dari pelaksanaan program khusus ini. Lima tahun mendatang diharapkan akan muncul pemikir-pemikir yang berkemampuan tinggi dalam kajian Islam Indonesia dan dunia. Mastuki yang juga ketua panitia ACIS X menuturkan, penataan ulang menjadi salah satu rekomendasi penting dari penyelenggaraan ACIS X ini. Sementara itu, mantan menteri agama Tolchah Hasan merasa prihatin karena semakin sedikitnya calon sarjana Islam yang menggeluti ilmu kalam, tafsir, dan tasawuf. Mereka, ujar dia, lebih tertarik mendalami ilmu tarbiyah. “Saya miris melihat ketidakseimbangan peminat ilmu keislaman di Indonesia. Jika terus begini, pada sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, kita sulit menemukan ahli tasawuf dan pemikir Islam di negeri ini,’’ keluhnya. Dari ratusan perguruan tinggi agama Islam, setiap tahunnya meluluskan sekitar 50 ribu orang, baik dari S1 maupun S3. Oleh karena itu, dalam sepuluh tahun, Indonesia akan dipenuhi oleh sedikitnya 500 ribu sarjana Muslim. Sayang, dari jumlah itu hanya sedikit yang menguasai ilmu tentang pemikiran Islam, baik tasawuf, kalam, maupun ilmu tafsir. ■ ed: ferry kisihandi INSAN KAMIL AMIN MADANI/REPUBLIKA Mohammad Nabi Zadeh, dekan Fakultas Teologi Universitas Imam Shadiq, Iran (tengah) berbicara dalam seminar ''Insan Kamil dalam Pemikiran Islam'' di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tengerang Selatan, Rabu (3/11). Hadir pula Mulyadhi Kartanegara, guru besar akidah filsafat UIN Syarif Hidayatullah. Mereka menguraikan konsep insan kamil atau manusia sempurna dalam pemikiran Islam. Pesantren Dituntut Berbenah Diri Kreativitas dan kecekatan pesantren sangat dibutuhkan. BOGOR — Dunia pesantren masih belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan bangsa. Indikasinya, masih banyak pesantren yang bertahan dengan kondisi tak layak. Hal ini disampaikan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) atau Asosiasi Pesantren, Amin Haedari, di Cisarua, Bogor, Rabu (3/11). Amin berbicara dalam rapat kerja nasional RMI dengan tema ‘Revitalisasi Peran Pesantren Sebagai Pusat Peradaban’. Menurut dia, dengan kondisi tak layak itu membuat pesantren miskin keterampilan dan belum maksimal mengantarkan alumninya menjadi bagian masyarakat kelas menengah dan atas. “Jadi, dunia pesantren harus berbenah diri,” kata Amin. Ia menyampaikan beberapa cara untuk mengembangkan dan membenahi pesantren tanpa menghilangkan fungsi dan posisinya sebagai pendidikan moral keagamaan. Pesantren perlu membuka diri dan menerima pembelajaran modern serta teknologi. Dengan demikian, pendidikan di pesantren tak terkesan berjalan seadanya. Pesantren dituntut pula mengembangkan kurikulum yang diajarkan. Maksudnya, pesantren tak sebatas mengajarkan ilmu agama, tetapi juga antropologi, sosiologi, teknologi, dan ilmu pengetahuan lainnya. Cara lainnya, jelas Amin, pesantren mesti terlibat dalam perubahan sosial ekonomi masyarakat. Ia menyarankan agar para santri dibekali keterampilan dan kemampuan berwirausaha. “Dengan demikian, pesantren mampu mencetak kader yang tak hanya mahir di bidang agama, tetapi juga siap berkompetisi di persaingan global.” Saat Merasa Diawasi Oleh Ferry Kisihandi erasa diawasi. Perasaan ini kerap muncul di benak Muslim Amerika Serikat (AS), terutama jika terjadi peristiwa teror, baik lokal maupun global. Kejadian teranyar adalah ditemukannya paket bom melalui pesawat udara dari Yaman ke Inggris pada pekan lalu. Ini diyakini pekerjaan Alqaidah. AS juga ikut waspada. Apalagi, Anwar al-Awlaki, ulama garis keras kelahiran AS, bersembunyi di Yaman. Ia dianggap bagian dari Alqaidah yang ingin menyerang tanah Amerika. Pihak keamanan AS yakin ceramah-ceramah keras al-Awlaki berubah menjadi inspirasi upaya peledakan bom mobil di Times Square tahun ini. Juga penembakan markas tentara di Fort Hood, Texas, tahun lalu. Saat kejadian serupa muncul, perasaan itu mengemuka. Bagi banyak Muslim, merasa diawasi dianggap bagian dari kenyataan hidup. “Komunitas Muslim merasa diawasi,” kata Ibrahim Hooper, jubir Council on American-Islamic Relations (CAIR), seperti dikutip Arab News, Senin (1/11). Hooper menjelaskan, sekarang ini komunitas Muslim berasumsi ada beberapa agen atau informan yang memasuki masjid-masjid mereka. Namun, Katherine Schweit, seorang juru bicara Federal Bureau of Investigation (FBI), mengatakan, pihaknya tak menginvestigasi komunitas Muslim atau masjid. “Kami menjalankan tugas sesuai konstitusi. Kami pergi ke tempat yang memang perlu didatangi dan menanyai orang yang harus ditanya,” tegas Schweit. Sejumlah pejabat FBI memaparkan, sejak tahun lalu, lebih dari 60 warga AS didakwa atau dinyatakan bersalah dalam kasus terorisme. Sebenarnya, sejak serangan 11 September 2001, masjid dan komunitas Muslim di AS membangun kerja sama dengan pihak berwajib. Mereka menggelar pertemuan rutin untuk menjaga hubungan baik. Mereka bertukar informasi mengenai kejahatan yang dipicu M kebencian, vandalisme, dan Islamofobia. Secara proaktif, komunitas Muslim mendorong rasa saling memahami antarpemeluk agama. Usaha itu masih berlangsung. Pekan lalu, misalnya, puluhan masjid membuka pintunya untuk non-Muslim. Sebulan silam, pekan dialog nasional pertama disepakati dalam pertemuan pemimpin Muslim. Menyusul serangan terhadap seorang pengemudi taksi Muslim di New York City. Pertemuan pun membahas mengenai kontroversi rencana pembangunan pusat kegiatan Islam atau Park 51 di dekat Ground Zero, New York. Masjid-masjid di seluruh bagian AS membuka lebar pintunya bagi orang lain. Zaheer Uddin, direktur eksekutif Islamic Leadership Council of Metropolitan New York, mengisahkan, sebanyak 20 masjid mengundang warga non-Muslim. Ahad lalu, dialog antariman diorganisasi pengurus dua gereja, satu sinagog, dan satu masjid di Manhattan, yang bertempat di masjid. Sebanyak 300 orang hadir dalam acara itu. Peserta diberi kesempatan berkeliling masjid dan melihat shalat berjamaah dari awal hingga akhir. Bagi kebanyakan orang, kunjungan ke masjid merupakan yang pertama kalinya. “Bahkan, sejumlah orang kaget mengetahui bahwa seseorang belum dianggap Muslim jika tak meyakini Yesus, Musa, dan Yakub,” ungkap Uddin. Masjid-masjid yang berserak di California, Texas, Illinois, dan beberapa negara bagian lainnya menjalankan langkah yang sama. “Tak terlalu sulit menjelaskan ajaran Islam atau memahami Islam jika orang yang hadir datang dengan pikiran terbuka,” kata Shakeel Syed, Direktur Eksekutif Islamic Shura Council of Soutern California. Bagi Syed, hadirnya 200 orang dari beragam keyakinan ke masjidnya tak sekadar bermanfaat memerangi kebencian dan mitos tentang Islam. Lebih dari itu, acara tersebut adalah kesempatan memberikan informasi objektif tentang Islam dan Muslim serta menanam benih kemitraan. ■ Apalagi, pesantren sebagai lembaga pengembang peradaban mesti tampil menggagas peradaban Indonesia ke depan sehingga nilai-nilai yang aman dan konstruktif bisa dikembangkan bagi kemajuan Indonesia. Di sini, kreativitas dan kecekatan pesantren sangat dibutuhkan. Minat berkurang Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ihsan, Samarinda, Kalimantan Timur, KH Fakhruddin, mengungkapkan, sekarang minat masyarakat terhadap pesantren semakin berkurang. Akibatnya, jumlah santri surut. Pemicunya, saat ini masyarakat cenderung pragmatis karena tujuan mereka menyekolahkan anak-anaknya adalah mendapatkan pekerjaan. Fakhruddin menyebutkan, di Kalimantan Timur, terdapat kurang lebih 120 pesantren yang menghadapi persoalan sama, yaitu krisis minat masyarakat atas pendidikan agama apalagi pendidikan di pesantren. Ia mengaku belum mengetahui berapa besar penurunannya, tetapi cukup signifikan. Pesantren, jelas dia, dianggap sebagai lembaga pendidikan yang efektif menanamkan moral dan mencetak kader agama. Di sisi lain, ia merasa heran mengapa minat masyarakat terhadap pesantren menurun. “Pengasuh pesantren, pemerintah, dan masyarakat hendaknya berbuat mengatasi kondisi yang ada.” Ia mendesak pengembangan kurikulum dan program pendidikan untuk mengatasi masalah yang ada. Pemerintah juga harus mendukung dengan tak memandang sebelah mata lulusan pesantren. Selain itu, lakukan terus sosialisasi pentingnya lembaga pendidikan agama seperti pesantren dalam membangun karakter bangsa. Menurut Romdon, pengasuh Pondok Pesantren Al-Karima, Cigombong, Bogor, penurunan jumlah santri salah satunya di- sebabkan merebaknya pesantren yang mengadopsi salafi murni atau menerapkan pendidikan formal. Tapi, sikap masyarakat yang pragmatis jadi penyebab utama. Di Bogor, kata dia, ada 800 pesantren. Diakui, rendahnya kualitas sejumlah pesantren mempunyai andil menyurutkan minat masyarakat. “Dari internal pesantren, ke depan harus ada peningkatan mutu pendidikan. Pesantren didesak membuka diri pada perubahan dengan tetap mempertahankan jati dirinya,” ujar Romdon. Pemerintah diminta aktif memberikan dukungan, baik prasarana, pengembangan jaringan, maupun pemberian pelatihan wirausaha. Dengan harapan, pesantren bisa melahirkan generasi muda Islam yang dipertimbangkan masyarakat. “Pemerintah tak boleh abai dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia,” katanya. ■ cr1 ed: ferry kisihandi