Dinamika Relasi Sosial Kelompok Ba’alwi dan Masayikh Dalam Komunitas Etnis Arab di Surakarta Syaila Rizal [email protected] Abstract This article attempts to explain identity of Ba‟alwi and Masayikh existence and to explain how the social dynamic relation between that two group within Arab community in Surakarta. The approach was used in this study is qualitatve with ethnographic method, where researcher do direct observation to the subject. The result show us that the construction of identity between them was formed in educational institution, pernikahan sekufu, and religi ritual. Those are bring influence of dynamic relationship betwen them. There are several efforts to regenerate the ideology of them which show there social distance in their dynamic relationship. Keywords: ba‟alwi, identitiy, masayikh, social relation, social startificaton. Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 PENDAHULUAN Sejarah masuknya keturunan Arab ke beberapa daerah di Nusantara mengalami perkembangan sekitar tahun 1870, menyusul perubahan kebijakan pemerintah kolonial yang secara perlahan menjadikan wilayah Jawa dan kepulauan lain di Nusantara terbuka bagi pasar internasional. Hal tersebut juga didukung dengan penggunaan alat transportasi kapal uap, sehinga lalu lintas laut antara dunia Arab ke Nusantara semakin intensif. Daerah yang pertama kali mereka singgahi adalah ujung paling barat pulau Sumatera, Aceh kemudian Palembang di Sumatera Selatan, sebagian menyebrang ke Pontianak di Kalimantan Barat. Mereka menyebar ke beberapa kota di Pantai Utara Jawa. (Adabiyyat 2008:292). Khususnya di Pulau Jawa, komunitas Arab menyebar hampir di seluruh kota besar yang ada, seperti Pekojan di Jakarta, Semarang, Pekalongan, Pasar Kliwon di Solo, wilayah Gapura di Gresik, Kauman di Pasuruan, Ampel di Surabaya, Jagalan di Malang, Bali dan Sumenep serta Pamekasan di Madura (Berg 1989:68-69; Rifai 2007:434; Slama 2005; Jonge 1989:28). Mayoritas orang-orang Arab di Indonesia adalah keturunan imigran dari Hadramaut, sehingga setiap pembahasan mengenai komunitas Arab di Indonesia praktis akan merujuk komunitas Hadrami (Shahab 1975; Bujra 1997; Slama 2005; Ganim 2007; Dewiyanti 2009). Sedangkan karakteristik masyarakat Hadrami sangat ditandai oleh stratifikasi sosial yang cukup kaku berbasiskan struktur kelas. Kelas tertinggi adalah kaum Sayyid yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad melalui cucunya yaitu Hussein. Di bawah Ba’alwi ada dua kelompok yang membentuk lapisan tengah masyarakat: Syekh dan yang kedua adalah Gabili. Kelompok ini mengklaim sebagai keturunan dari Qahtan, nenek moyang semua orang Arab Selatan. Syekh mengklaim kelompok mereka memiliki status yang lebih tinggi daripada Gabili. Mereka adalah elit agama pribumi, keturunan teolog dan orang bijak yang memenuhi tugas yang sama dengan Ba’alwi (Berg 1989:28). Sampai tahun 1970, sejauh yang diketahui batas antara ketiga kelas tersebut sangat dijaga di Hadramaut. Dan hal itu disajikan antara lain dalam Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 peraturan perkawinan. Ketiga kelas tersebut mengutamakan prinsip kesetaraan peringkat dengan mitra perkawinan, yang berarti perempuan tidak menikah di bawah status social mereka (Berg 1989: 29). Karakteristik masyarakat Hadrami berupa stratifikasi sosial berdasarkan struktur kelas ternyata tercermin dalam komunitas Arab di Indonesia. Hal tersebut diketahui berdasarkan berbagai kajian yang membahas etnis Arab di Indonesia, salah satunya yang dilakukan de Jong (1993). Ia menceritakan konflik yang muncul pada akhir tahun 1920 di Surakarta atas penggunaan istilah Sayid1 sebagai istilah tradisional yang dimiliki oleh anggota lapisan atas, semacam aristokrasi spiritual dalam etnis Arab. Pada saat itu orang Arab dari strata sosial yang lebih rendah di Surakarta tidak lagi mentolerir hak ekslusif elit tradisional (kelompok Ba’alwi) tersebut untuk menggunakan gelar Sayid. Mereka menyangkal adanya status khusus keturunan nabi. Hal ini ditandai dengan didirikannya yayasan Al Irsyad sebagai bentuk oposisi yayasan Jamiat Khayr2 yaitu yayasan pendidikan yang didirikan oleh kelompok Sayid. Pada intinya syekh Ahmad Soekarti sebagai menginginkan kesamarataan dalam tokoh pendiri Al Irsyad kehidupan etnis Arab. Ia menekankan ajaran agama Islam yang egaliter, yang tidak membeda-bedakan. Studi lainnya oleh Tridewayanthi (2009) tentang peranan perempuan Ba’alwi sebagai aktor reproduksi kebudayaan dalam komunitas etnis Arab di Surakarta. Ia menggambarkan upaya yang dilakukan kelompok Ba’alwi menjaga keturunannya melalui sistim pernikahan endogami yang melarang anak perempuannya menikahi kelompok diluar kelompok Ba’alwi. Bentuk perkawinan campuran yang akan menghilangkan garis keturunan kenabian biasanya akan ditentang oleh keluarga ba-alawi. Jika akhirnya disetujui, itu karena perempuan tersebut telah melalui proses yang panjang dan berliku agar seluruh keluarga menyetujui. Dari dua studi yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat diketahui secara sosial historis etnis Arab memang memiliki karakteristik berupa membedakan 1 Sayid merupakan sebutan bagi kaum laki-laki kelompok Ba’alwi (Keturunan Rasulullah SAW). 2 Kini sudah berganti nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 tatanan sosial menurut identitas sebagai keturunan Rasulullah SAW. Hal ini dibawa hingga ke Nusantara, pada kala itu, tatanan sosial dalam etnis Arab yang merujuk pada paham keturunan Rasul justru menimbulkan ketegangan dalam masayarakat arab di Nusantara khususnya Surakarta (de Jong, 1993). Hal tersebut mempelopori berdirinya yayasan pendidikan yang saling merepresentasikan keberadaan kedua kelompok. Dengan demikian, tulisan iniakan menggambarkan lebih lanjut secara sosiologis bahwa upaya yang dilakukan kelompok Ba’alwi dalam mempertahankan identitasnya berpengaruh pada relasi sosial yang terjalin dengan kelompok Masayikh dalam komunitas Etnis Arab di Surakarta. Dalam tulisan ini juga dijelaskan bahwa ternyata terdapat upaya-upaya lainnya yang dilakukan maing-masing kelompok dalam melanggengkan identitasnya, dengan melihat peranan Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro dan Al Irsyad di dalam komunitas etnis Arab di Surakarta saat ini. Serta institusi lainnya yang cukup signifikan berpengaruh dalam upaya memproduksi serta mereproduksi nilai-nilai identitas masing-masing kelompok. IDENTITAS DAN ETNISITAS Dalam mengkaji relasi sosial di dalam kelompok etnis berkaitan dengan upaya membangun serta mempertahankan identitas kelompok etnis. Identitas etnis merupakan salah satu dimensi dari diri yang telah mendapat perhatian empiris dan teoritis dalam ilmu-ilmu sosial. Mengingat hal tersebut memberikan implikasi luas untuk, antara lain, hubungan antar kelompok (Hofman, 1988; Verkuyten, 2005), prilaku linguistik (Jaspal dan Coyle, 2009, 2010a, b) dan kehidupan pskiologikal yang baik (Phinney et al, 2001;. Taylor dan Brown, 1988). Jenkins (1966: 231-234) berargumen bahwa identitas adalah pemahaman kita akan siapa kita, dan siapa orang lain, serta secara resiprokal pemahaman orang lain akan diri mereka sendiri dan orang lain. Identitias adalah sesuatu yang bisa dinegosiasikan dan dibuat dalam proses interaksi manusia. Bagi Jenkins, identitas adalah mengenai „meaning‟ (arti) dan meaning ini lebih kepada dikonstruksi secara sosial, daripada mengenai perbedaan mendasar antara manusia, karena identitas merupakan bagian integral dari kehidupan sosial. Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 Identitas terbentuk melalui proses sosialisasi. Melalui proses ini orang belajar untuk membedakan persamaan dan perbedaan signifikan secara sosial antara mereka dengan orang lain. Lebih lanjut, ‘identitas tidak pernah sepihak’- identitas seseorang selalu dibentuk dalam hubungan dengan orang lain. Dalam tulisan ini, identitas merujuk pada satuan kelompok etnik. Menurut Weber (Sinisa 2004: 24-28), etnisitas Keberadaan suatu „status group‟. merupakan etnis hanya muncul jika terdapat kepercayaan tertentu secara kolektif. Jika tidak ada individu yang saling berbagi kepercayaan tidak dapat dikatakan sebagai kelompok etnis. Kedua, etnisitas berakar pada kepercayaan tunggal yang mahakuasa, kepercayaan terhadap keturunan (common descent). Dan terakhir, meskipun kepercayaan terhadap nenek moyang ini lebih bersifat fiktif tetapi hal ini senantiasa diperkuat dan dikonfirmasi kembali atas dasar kebudayaan (on the grounds of cultural) atau kesamaan fisik (physical similarity) atau pada saat saling berbagi memori kolektif (shared collective memory ) (2004:24). Weber juga menyebut etnisitas sebagai suatu mekanisme monopolistic social closure3. Bagi Weber, etnisitas seperti kelompok status lainnya bersifat amorphous, ditetentukan oleh estimasi sosial kehormatan tertentu, diciptakan melalui proses sosialisasi. Hal ini diekspresikan dengan gaya hidup tertentu dan sering diklaim sebagai monopoli status. sebuah penghargaan sosial khusus dan sebuah Kelompok status ini memberikan anggotanya perasaan bermartabat (sense of dignity) yang berakar pada prestise dan kehormatan sosial terhadap kelompok etnis mereka. Etnisitas cenderung endogami sehingga menggambarkan hereditary status group (kelompok keturunan). Kelompok keturunan ini mengekspresikan kehormatan etnis mereka yang diartikan sebagai keyakinan terhadap keunggulan adat sendiri dan inferioritas orang luar dan merupakan suatu kehormatan khusus, hal ini hanya dapat diakses oleh siapa saja yang termasuk dalam komunitas keturunan tersebut. Pembatasan karakter status keanggotaan menghasilkan kemungkinan 3 Adalah sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Max Weber yang mengacu pada praktek melestarikan keistimewaan dengan membatasi akses orang lain terhadap sumber daya dan manfaat. Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 stratifikasi sosial tertutup dalam keanggotaan kelompok etnik dimana membawa kita pada definisi kedua Weber mengenai etnik, yaitu etnik sebagai perangkat monopolistic social closure (2004:25). Dalam melihat hubungan antara kelompok etnik, Weber (1968) membedakan antara hubungan sosial terbuka dan hubungan sosial tertutup. Hubungan sosial terbuka adalah yang mengijinkan adanya partisipasi sukarela dari orang lain (angota kelompok etnik lain) dan hubungan sosial tertutup adalah yang menutup akses orang lain sesuai dengan pemaknaan subyektif dan aturan yang memikat mereka kecuali pada orang-orang tertentu dan sesuai kondisi. Kelompok status menggunakan social closure adalah dimana mereka memonopoli posisi mereka untuk mencegah yang bukan anggota kelompok mereka dalam memperoleh keuntungan simbolik dan material. Ia juga menaruh perhatian pada kualitas dinamis relasi etnis, menurut weber etnisitas memiliki struktur yang kabur dan tidak jelas. Yang menarik bagi Weber adalah fenomena kasta di dalam etnis. Dalam kondisi tertentu pada jangka waktu yang lama dalam monopolisasi social closure kelompok status berubah perbedaan menjadi kasta lebih sistem kasta. Tidak seperti kelompok status, bersifat rigid dan tertutup. Antara kelompok saling terpisah dalam kebiasaan adat, hukum dan ritualnya. Mereka membangun perbedaan dan sering juga memiliki sistem nilai yang berlawanan (termasuk perbedaan praktek agama, makan, kebiasaan). Keadaan lainnya adalah adanya kontak sosial bahkan kontak fisik yang cenderung eksklusif dengan kasta lainnya dan terdapat praktik endogami. Tetapi batasan kelompok mereka paling ditentukan oleh ‘walls of ritualistic impurity‟. Perbedaan derajat social honour diantara kasta dalam etnik berhubungan dengan peranan kasta mereka dalam memberikan aturan kelompok (contoh: raja, kyai). Ketika kelompok etnik memiliki struktur kasta, kelompok tersebut akan mengekspresikan status inequalities yang rigid dengan tatanan hirarkis kelompok etnik dalam kaitannya dengan social honour dan prestise. (2004:27) UPAYA PRODUKSI DAN REPRODUKSI IDENTITAS KELOMPOK Kampung Arab adalah salah satu indikator dari keberadaan fisik masyarakat hadrami karena di lokasi tersebut kita dapat menemukan angka Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 yang cukup signifikan dari penduduk keturunan Arab antara kelompok etnis lainnya. Ada beberapa tempat di Indonesia disebut sebagai 'kampung Arab'. Demikian pula, fenomena ini ada di beberapa kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara dan Irian (Shahab 2010: 87). Etnis Arab di Surakarta tinggal berkelompok di perkampungan Arab yang teletak di Kecamatan Pasar Kliwon. Kecamatan Pasar Kliwon merupakan salah satu kecamatan yang berada di kota Surakarta. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Banjarsari dan Kecamatan Jebres. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Serengan dan Kabupaten Sukoharjo. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Serengan dan Kecamatan Banjarsari dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo (Data Kecamatan Pasar Kliwon 2012). Penempatan kampung Arab secara berkelompok tersebut sudah diatur sejak jaman dulu untuk mempermudah pengurusan bagi etnis asing di Surakartadan demi terwujudnya ketertiban dan keamanan. Etnis Arab mulai datang di Pasar Kliwon diperkirakan sejak abad ke-19. Terbentuknya perkampungan di Pasar Kliwon, selain disebabkan oleh adanya politik pemukiman di masa kerajaan, jugatidak terlepas dari kebijakan pemerintah kolonial. Pola pemukiman di daerahkerajaan masih mengacu pada pembagian kelas sosial, yakni sentono dalem, abdi dalem dan kawulo dalem. Sedangkan kedudukan etnis Arab sebagai orang asing yang berada di luar sistem sosial masyarakat Jawa, pemukimannya dikelompokkan terpisah dari penduduk di daerah tertentu serta lainnya. Munculnya perkampungan Arab di Pasar Kliwon yang telah ada sejak zaman kerajaan, dipertajam lagi pada masa kolonial Belanda (Mulyadi,1999:77). Dalam kehidupan komunitas etnis Arab di Surakarta, terdapat penggolongan kelompok berdasarkan klaim salah satu pihak sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. Kelompok keturunan Nabi disebut sebagai kelompok Ba’alwi dan yang bukan disebut kelompok Masayikh. Masing-masing kelompok senantiasa memproduksi serta mereproduksi identitas kelompoknya terhadap anak keturunannya guna mempertahankan identitasnya. Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 Kelompok Ba’alwi menarik garis keturunannya dari Fatimah tu Zahra anak Rasulullah SAW yang menikah dengan Ali, kemudian memilliki anak bernama Hasan dan Husein. Diperoleh pemahaman bahwa upaya-upaya produksi serta reproduksi yang dilakukan oleh kelompok Ba’alwi mencakup tiga hal yaitu: 1. Pernikahan Sekufu. 2. Ritual keagamaan. 3. Melalui Kegiatan pendidikan Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro. Ketiga upaya tersebut diatas, dapat dikatakan efektif dalam mempertahankan identitas kelompok Ba’alwi sebagai upaya sosialisasi nilai-nilai keba’alwian yang membentuk identitas anggota kelompoknya. Melalui praktik pernikahan sekufu identitas sebagai seorang Sayid dan Syarifah dipertahankan. Selain seorang Sayid dan Syarifah disosialisasikan nilai tentang siapa mereka, dan siapa orang lain4, melalui praktik pernikahan tersebut menutup akses orang lain dalam melakukan pernikahan dengan seorang Sayid dan Syarifah. Sehingga melalui praktik tersebut identitas Ba’alwi dipertahankan. Kedua, melalui institusi keagamaan yaitu Masjid Assegaf dan Masjid Arriyad. Melalui kegiatan keagamaan yang terpusat pada dua mesjid tersebut nilai-nilai keba’alwian disosialisasikan. Kedua masjid tersebut memiliki sejarah sosio historis para pendiri hingga pengurusnya saat ini adalah dari kelompok Ba’alwi. Nilai-nilai sebagai seorang keturunan Rasulullah disosialisasikan melalui kegiatan keagamaan, yaitu Khaul, Maulid, Tahlil dan lain sebagainya. Dalam ritual keagamaan ini senantiasa ditanamkan nilai bahwa sebagai seorang keturunan Rasul seorang Sayid dan Syarifah berkewajiban berprilaku lebih baik dibandingkan dengan orang lain.5 Ritual kegamaan yang paling berpengaruh dalam proses produksi dan reproduksi identitas kelompok Ba’alwi adalah dalam ritual Khaul. Dimana kegiatan keagamaan tersebut mencerminkan 4 Proses penanaman nilai terhadap seorang Sayid dan Syarifah dilakukan ditingkat keluarga, sekolah, dan melalui pemuka agama (Habib). Contoh nilai yang disosialisasikan adalah „jika Syarifah menikah dengan Non Sayid maka di Surga tidak akan mendapat Syafaat dari Fatima (anak Rasul)‟ 5 Kepercayaan orang Ba’alwi seorang Syarifah memegang tanggung jawab yang besar. Jika berdosa, dosanya lebih besar 2x lipat dibanding non-Syarifah (contoh penanaman nilai) Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 dominasi yang besar bagi kelompok Ba’alwi dalam kegiatan Agama. Khaul merupakan kegiatan memuja salah satu tokoh yang dianggap memiliki otoritas tradisional terhadap umat Ba’alwi. Pada hari tersebut tokoh Habib Ali Bin Muhammad Al Habsyi diingat kembali, melalui serangkaian acara dan doa yang dibangun oleh pemuka agama kelompok Ba’alwi dalam komunitas Etnis Arab di Surakarta. Acara ini mampu menjadi upaya produksi dan reproduksi identitias kelompok Ba’alwi karena secara kuantitas dan kualitas memberikan dampak yang besar pada komunitas Etnis Arab di Surakarta. Hal ini karena acara tersebut mampu mengundang berbagai orang dari berbagai kalangan dalam jumlah banyak, dengan tujuan melegitimasi nilai-nilai serta status sosial yang dibangun oleh kelompok Ba’alwi. Dalam kegiatan tersebut kelompok Ba’alwi menutup akses terhadap partisipasi kelompok Masayikh. Hal ini juga disebabkan oleh paham keagamaan yang berbeda pada masing-masing kelompok. Bahwa kelompok Ba’alwi berpedoman pada paham Ahli Sunah Wal Jamaah sedangkan kelompok Masayikh sangat menolak adanya praktik Khaul, dan ritual keagamaan lain yang dilakukan kelompok Ba’alwi. Jadi, kelompok Ba’alwi cenderung melakukan kegiatan simbolik ritual keagamaan dalam upayanya memproduksi dan mereproduksi identitasnya. Ketiga, melalui kegiatan pendidikan Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro. Institusi pendidikan YPID merupakan institusi yang dibangun dan dikelola oleh kelompok Ba’alwi. Hingga saat ini para pengurus, pengajar dan siswanya didominasi oleh kelompok Ba’alwi. Hal ini merupakan contoh institusionalisasi nilai-nilai keba’alwian karena dalam kegiatan pendidikan inilah ideologi keagamaan Ba’alwi serta nilai-nilai keba’alwian disosialiasasikan. Seperti praktik qunut, maulid dan pernikahan sekufu yang diajarkan dalam pelajaran Fiqh dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah (data hasil wawancara mendalam informan, april 2013). Dalam kegiatannya kegiatan pendidikan juga terintegrasi dengan masjid Assegaf dan Arriyadh yang didominasi oleh kelompok Ba’alwi. Dengan demikian, insitutusi tersebut mampu memproduksi dan mereproduksi identitas kelompok Ba’alwi. Ketiga hal tersebut diatas dilihat sebagai upaya kelompok Ba’alwi dalam mempertahankan identitasnya hingga saat ini. Dimana terdapat upaya Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 penanaman nilai-nilai terhadap generasi Ba’alwi selanjutnya, yang berujung pada pemaknaan bahwa kelompok Ba’alwi merupakan kelompok yang status sosialnya lebih tinggi dibandingkan kelompok Masayikh pada khususnya dan kelompok lain pada umumnya. Upaya produksi dan reproduksi dalam rangka mempertahankan identitas hingga saat ini masih berjalan bukan hanya berdasarkan tiga upaya tersebut, tetapi juga karena adanya upaya kontrol sosial berupa (fitnah, gosip, pengucilan)6, juga mengenai otoritas tradisional seorang Habib pada kelompok Ba’alwi. Selanjutnya mengenai upaya produksi dan reproduksi yang berlaku dalam kelompok Masayikh. Secara sosio historis, berdasarkan de Jonge (1993), sejak akhir tahun 1920 seorang tokoh dari kelompok Masayikh memisahkan diri pengaruh kelompok Ba’alwi. Seorang Syekh Ahmad Soorkati yang dari dahulunya merupakan ustad dari institusi pendidikan yang didominasi kelompok Ba’alwi (Jamiat Khair), mengeluarkan diri serta mendirikan institusi pendidikan yayasan Al Irsyad sebagai oposisi institusi pendidikan Jamiat Khair. Hal ini karena sebagai seorang Masayikh ia tidak terima atas klaim kelompok Ba’alwi sebagai seorang yang menduki status sosial yang lebih tinggi berdasarkan keturunan Rasulullah SAW. Kelompok Masayikh tidak mengakui adanya status sosial berdasarkan ascribed status yang dikonstruksi oleh kelompok Ba’alwi dalam tatanan sosial komunitas Etnis Arab juga menolak keras paham Islam yang dianut oleh kelompok Ba’alwi. Hal ini membentuk identitas kelompok Masayikh sebagai suatu kelompok yang resisten terhadap nilai-nilai yang dianut oleh kelompok Ba’alwi. Upaya produksi dan reproduksi niali-nilai paham Islam yang dianut kelompok Masayikh dilakukan ditingkat keluarga, kegiatan keagamaan, juga melalui kegiatan pendidikan yaitu yayasan Al Irsyad. Di tingkat keluarga seorang anak dari Masayikh ditanamkan paham Islam yang dianggap benar oleh kelompok Masayikh serta penolakan terhadap klaim Ba’alwi. Hal ini tercermin dari pengakuan para informan yang tidak mengakui klaim para Ba’alwi. Hal ini juga sangat berkaitan dengan paham Islam yang diajarkan 6 Jika seorang Syarifah menikah dengan Non Sayid maka akan dikucilkan oleh sebagian besar keluarga Syarifah karena pernikahan tersebut dianggap haram. (hasil data temuan, April, 2013) Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 pada kegiatan keagamaan dan pendidikan. Hal tersebut diantaranya adalah (data yayasan pendidikan Al Irsyad) : a. Meneguhkan doktrin persatuan kaum muslim dan membersihkan ibadah dari unsur bidah b. Mewujudkan kesetaraan derajat di antara Muslim dalam menggali al Quran dan Sunah c. Memerang taqlid yang merebak d. Menyiarkan ilmu dan ajaran Islam e. Membangun pemahaman antara musim Indonesia dan keturunan Arab di Indonesia Melalui kegiatan pendidikan Al Irsyad diajarkan ideologi agama Islam menurut kelompok Masayikh. Poin pertama menggambarkan bahwa yang dimaksud doktrin kaum muslim cenderung pada klaim kelompok Ba’alwi atas paham Islam kelompok mereka, juga mengenai nilai kelompok Masayikh yang menganggap ritual keagamaan yang dianut oleh kelompok Ba’alwi merupakan Bid’ah. Kelompok mengenai paham Masayikh Islam menanamkan nilai-nilai pada generasinya tauhid yang tidak membeda-bedakan serta berpedoman hanya pada Al Qur’an dan Hadis. Sehingga praktik Khaul, Tahlil dan Talqin yang dianggap tidak diajarkan Al Qur’an dan Hadis sangat dilarang oleh kelompok Masayikh, hal ini yang disosialisasikan pada anak keturunan Masayikh. Mengenai praktik pernikahan pun, karena memiliki ideologi agama yang berbeda kelompok tersebut cenderung menikah dengan kelompok sesama Masayikh atau sesama ideologi agama mereka ( bukan kelompok Ba’alwi). MONOPOLISTIC SOCIAL CLOSURE MELALUI PRAKTIK PERNIKAHAN SEKUFU Mengacu pada definisi etnisitas Weber (dalam Sinisa, 2004) kelompok etnis merupakan suatu bentuk dari ‟status group‟. memiliki kepercayaan Suatu kelompok yang subyektif terhadap keturunan mereka serta memori kolektif terhadap identitas mereka. Namun yang menjadi menarik dalam internal komunitas etnis Arab di Surakarta justru terbagi menjadi dua ‟status group‟, yaitu kelompok Ba’alwi dan kelompok Masayikh. Seperti dibahas Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 dalam sebelumnya, identitias kedua kelompok senantiasa dipertahankan hingga saat ini sebagai suatu kelompok status bagi para anggotanya. Kelompok Ba’alwi memiliki kepercayaan subyektif dan memori kolektifnya sendiri, yang berbeda dengan kelompok Masayikh. Jadi, dalam analisa ini etnis Arab di Surakarta dilihat sebagai suatu tatanan sosial yang terbentuk dari dua „status group‟. mempertahankan Dalam hal ini kedua kelompok saling identitasnya serta menciptakan batasan sosial dalam berinteraksi satu sama lain. Utamanya dalam praktik pernikahan sekufu yang dilakukan kelompok Ba’alwi. Melihat upaya-upaya yang dilakukan masing-masing kelompok dala mempertahankan idetitasnya ternyata menciptakan batasan sosial diantara kedua kelomok. Kelompok Ba’alwi mengklaim diri mereka menepati status sosial yang lebih tinggi di masyarakat sehingga seantiasa memepertahankan identitasnya. Begitu juga pada kelompok Masayikh, yang tidak terima atas klaim yang dibangun identitias oleh kelompok Ba’alwi. Dalam upaya-upaya mempertahankan masing-masing kelompok mencerminkan adanya dikotomisasi seseorang sebagai orang asing, hal ini yang kemudian berpengaruh membentuk batasan sosial diantara keduanya. Kelompok Ba’alwi melalui praktik pernikahan sekufunya menutup akses terhadap kelompok Masayikh untuk mendapatkan sumber daya dalam bentuk social honour dan prestise yang dimiliki sebagai seorang keturunan Rasulullah SAW. Sebagai anggota kelompok keturunan Rasulullah memberikan perasaan pada para Sayid dan Syarifah a sense of dignity yang menurut Weber(1968) berakar dari social huonour dan prestise tersebut. Menjadikan para anggota kelompok tersebut menjaga batas-batas sosial kelompok melalui praktik pernikahan endogami. Hal ini yang disebut Weber(1968) sebagai sistem monopolistic social closure. Proses tersebut terlihat dalam kegiatan lainnya seperti melalui yayasan pendidikan serta masjid yang didominasi oleh kelompok Ba’alwi. Kelompok Ba’alwi juga menutup akses partisipasi kelompok Masayikh pada kegiatan ritual keagamaan, seperti pada praktik Khaul. ESKLUSIFITAS KELOMPOK KETURUNAN NABI DALAM KEGIATAN KEAGAMAAN Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 Ekslusifitas yang dibangun kelompok Ba’alwi terhadap kelompok Masayikh tercermin dalam kegiatan sosial maupun keagamaan, hal ini bukan hanya karena keyakinan teradap keunggulan adat sendiri oleh masing-masing kelompok tetapi juga karena terdapat perbedaan ideologi agama Islam antara kedua kelompok tersebut. Hal tersebut semakin mempengaruhi relasi sosial yang terjalin antara kelompok Ba’alwi dan kelompok Masayikh yaitu terciptanya jarak sosial diantra dua kelompok. Hal ini yang dikatakan Weber (1968) sebagai relasi sosial tertutup, karena masing-masing kelompok samasama menutup akses terhadap sumber daya yang mereka miliki untuk kelompok lain. Namun berkaitan dengan ini stratifikasi sosial yang dibangun oleh kelompok Ba’alwi tidak diterima begitu saja oleh kelompok Masayikh. Melalui institusi pendidikan Al Irsyad, kelompok Masayikh mensosialisasikan ideologi Islam menurut kelompok mereka, termasuk diantaranya menentang praktik keagamaan kelompok Ba’alwi seperti tahlil, talqin yang dianggap Bid’ah. Jadi, kedua kelompok membangun perbedaan serta memiliki nilainilai yang berlawanan. Melalui institusi pedidikan dan keagamaan masing- masing kelompok melakukan kontestasi identitas mereka dalam komunitas etnis Arab di Surakarta. Perbedaan ideologi agama Islam diantara kedua kelompok, berdampak pada kegiatan ritual keagamaan yang terpisah diantara kedua kelompok. Kelompok Ba’alwi yang merasa memiliki kuasa yang lebih tinggi sebagai keturunan Rasul, memimpin dan medominasi kegiatan keagamaan di kalangan etnis Arab Surakarta. Kelompok Ba’alwi memegang peranan yang besar melalui dua intitusi Masjid yang paling berpengaruh pada kehidupan komunitas Arab di Pasar Kliwon. Yaitu Masjid Arriyadh dan Masjid Assegaf. Dua masjid tersebut didominasi oleh keluarga Assegaf dan Alhabsy dari kelompok Ba’alwi. Seluruh kegiatan keagamaan di masjid tersebut menutup partisipasi dari kelompok Masayikh. Kelompok Masayikh hanya dilibatkan dalam hal kecil seperti pembersihan lingkungan mesjid, atau terbuka sebagai makmum masjid. Terdapat perbedaan pendapat terhadap ritual keagamaan yang erat kaitannya dengan perbedaan ideologi agama masing-masing kelompok (berdasarkan hasil wawancara, April 2013). Yang pertama adalah Khaul bahwa Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 kelompok Ba’alwi menganggap upacara tersebut penting diadakan sebagai media komunikasi umat serta mencari ilmu dan mengenang jasa para tokoh terdahulu. Namun menurut kelompok Masayikh hal tersebut merupakan cerita fiktif yang jauh dari apa yang diajarkan agama Islam sesungguhnya. Selanjutnya mengenai tahlil, kelompok Ba’alwi menganggap bahwa ritual tersebut penting untuk mendoakan sanak saudara yang sudah meninggal lebih dulu. Sedangkan menurut kelompok Masayikh itu tidak ada tuntunannya dalam agama Islam. Hal tersebut tidak pernah diajarkan Rasulullah SAW. Juga mengenai talqin yaitu mengadzani mayit yang kerap dilakukan kelompok Ba’alwi. Bagi mereka adzan dan iqamat tersebut perlu dilakukan dalam menghantarkan sang mayit dan mengingatkan tentang kematian pada orang-orang yang berziarah. Namun hal ini juga ditentang oleh kelompok Masayikh, bahwa menurutnya tidak ada satu riwayatpun baik yang sohih maupun yang lemah mengajarkan hal tersebut. Dengan demikian, ketiga hal tersebut diatas menjelaskan bahwa masingmasing kelompok memiliki keyakinan subyektifnya dalam memaknai ritual keagamaan. Keyakinan subyektif berupa ideologi nilai agama tersebut yang menghantarkan mereka menilai kelompok diluar mereka salah, dan hanya mereka yang benar. Perbedaan paham agama ini menjadi penting dideskripsikan dalam melhat hubungan antara kedua kelompok. Karena nantinya perbedaan paham ini berimplikasi pada hubungan kedua kelompoksecara sosial. Superioritas berbasis legitimasi nilai agama yang dibangun oleh kelompok Ba’alwi, tidak diterima oleh kelompok Masayikh, sehingga tercipta jarak sosial daintara kedua kelompok bahkan dalam kegiatan keagamaan. Selain itu perbedaan paham tersebut mempengaruhi masing-masing kelompok dalam menilai baik’buruknya kelompok lainnya. Sehingga dalam kegiatan sehari-hari juga tercipta Jarak sosial antara keduanya. Secara sosial misalnya ternyata kelompok Ba’alwi sebagai kelompok yang dominan berprilaku ekslusif dalam kegiatan keagamaan. Kelompok Ba’alwi cenderung mendiskriminasi kelompok Masayikh dalam kegiatan ritual agama,. Seperti pemaparan para informan dari kelompok Masayikh yang menjelaskan Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 bahwa kelompok Ba’alwi tidak mau beribadat di Masjid Masayikh. Sebagian besar kelompok Ba’alwi hanya melakukan ibadat shalat di Mesjid Ba’alwi. Hal ini dikarenakan kelompok Ba’alwi tidak ingin menjadi makmum dari kelompok Masayikh. Bahkan jika ada kelompok Masayikh yang menjadi makmun mereka, letaknya adalah dibelakang makmum Ba’alwi. Hal ini mencerminkan pembatasan sosial yang sanagat jelas bahkan dalam kehidupan keagamaan. Padahal kelompok Masayikh mengaku bahwa dapat beribadat di mana saja. Seperti pada penuturan salah satu ustad dari kelompok Masayikh berikut ini (13/04/2013): “ini jelas-jelas tanah masayikh tapi dalam penggunaannya banyak mereka yang gunaken….Mereka mandi di mesjid kita itu ya ndak pamit mandi aja tapi giliran sholatnya gamau sama kita lho apanya yang salah dengan kita. Jadi yang menghembuskan perbedaan itu sebenarnya mereka...Padahal kita mau bermakmum dengan mereka tapi mereka mana mau bermakmum dengan kita? Yaa kalo ada hanya 1, 2 orang saja... ini kasus yang ajaib. Mereka mintanya solat ditempat mereka , kalo kita banyak aja masayikh yang solat di Riyadh walaupun kita menyadari berebda dengan prnsip tapi solat aja ga ada masalah. Terus, mereka ga ada mau solat di mesjid masayikh itu mesjid Nur misalnya alasannya apa?karena mereka menganggap masayikh itu selalu bilang mereka sedikit-sedikit bid‟ah.” Kedua kelompok memiliki klaim terhadap tanah masjid masing-masing. Namun klaim terhadap tanah masjid Masayikh lebih lemah hal ini dikarenakan kelompok Masayikh memang tidak dominan dalam kegiatan keagamaan. Sehingga kerap kali yang menjadi tanah Masayikh diklaim sebagai mesjid Ba’alwi. Hal ini disadari oleh kelompok Masayikh namun jusru menciptakan prasangka yang buruk dan perasaan didominasi oleh kelompok Ba’alwi. Walaupun kelompok Masayikh juga menyadari bahwa mekanisme pengkaderan orang yang berkompetensi dalam bidang Agama di kelompok Masayikh tidak seperti yang dilakukukan kelompok Ba’alwi. Kaum masayikh menyadari adanya sistem pengkaderan yang dilakukan kelompok Ba’alwi lebih baik, dibandingkan kelompok mereka. Kelompok Ba’alwi menyekolahkan para anak muda mereka hingga Yaman untuk memperdalam ilmu Agama Islam sehingga setelah kembali di Indonesia mereka lebih kompeten dalam menyebarkan nilai-nilai keislaman mereka. Hal ini yang semakin menguatkan dominasi kelompok Ba’alwi dalam kehdiupan etnis Arab di Surakarta. Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 Kelompok Ba’alwi lebih memiliki sumber daya, kekuasaan serta kehormatan sosial dalam kehidupan etnis Arab di Surakarta. PENUTUP Identitas adalah ciri kolektif yang dimiliki individu. Bahwa individu adalah bagian dari kolektifitas. Bisa menjadi modal sosial yang dimiliki individu dalam memperoleh apa yang diinginkannya di masyarakat. Kelompok Ba’alwi memaknai identitas mereka sebagai suatu status sosial yang berada di kelas yang lebih tinggi dibandingkan kelompok Masayikh. sehari-hari anggota kelompok Sehingga dalam kehidupan Ba’alwi mengatur kesan sebagai seorang keturunan Rasul melalui kegiatan keagamaan yang ditonjolkan dalam setiap kehidupan. Hal ini berkaitan dengan upaya kelompok memepertahankan status quonya. Mengacu pada konsep etnisitas Weber (1968), etnis sebagai kelompok status seseorang. Yang menarik hingga saat ini status menganai keba’alwian masih dipertahankan di kehidupan sosial etnis Arab di Surakarta. Bukan hanya mengenai kepercayaan subyektif mereka terhadap garis keturunannya tetapi juga mengenai ideologi keagamaan yang berbeda dengan kelmpok Masayikh. Perbedaan ideologi keagamaan ini yang kemudian menciptakan jarak sosial antara masing-masing kelompok di dalam masyarakat etnis Arab di Surakarta. Upaya-upaya yang dilakukan kelompok Ba’alwi yang cenderung ekslusif pada kegiatan sosial keagamaan seperti praktik pernikahan sekufu, mencerminkan suatu relasi sosial yang tertutup diantara kedua kelompok. Yang terjadi pada kelompok Ba’alwi menurut Weber adalah monopolistic social closure yaitu keadaan dimana kelompok Ba’alwi mempertahankan sumberdaya mereka dalam mendapatkan status sosial yang lebih tinggi, berkaitan dengan kehormatan sosial dan prestise yang mereka miliki sebagai keturunan Rasulullah SAW. Kelompok Ba’alwi melakukan hal tersebut melalui praktik pernikahan sekufu. Dimana menutup akses terhadap kelompok Masayikh untuk menikah dengan para Syarifah dari kelompok Ba’alwi. Para Sayid dan Syarifahpun menerima nilai dan norma tersebut karena mereka merasakan sense of dignity sebagai seorang keturunan Rasul. Sehingga Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 mereka melanggengkan hal tersebut, termasuk menganggap kelompok Masayikh adalah kelompok minoritas. Hal ini didapat dari upaya kelompok Ba’alwi memproduksi dan mereproduksi nilai-nilai keba’alwian terhadap anak keturunannya. menonjokan Ada atribut proses instusionalisasi keba’alwiannya melalui dimana kelompok Ba’alwi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro dan Masjid Arriyad dan Assegaf. Melalui intitusi pendidikan dan keagamaan nilai-nilai keba’alwian tersbeut senantiasa disosialisasikan, guna memeprtahankan status quo nya di masayarakat. Namun yang menjadi menarik bahwa sebenarnya kelompok Masayikh tidak mengakui identitas keba’alwian. Kelompok Masayikh tidak menerima klaim atas dibanding kelompok kelompok mereka Ba’alwi. berada Hal di kelas sosial yang lebih rendah ini berkaitan dengan ideologi Islam kelompok Masayikh, tentang kesamarataan dan tauhid. Kelompok Masayikh tidak meyakini adanya stratifikasi sosial berdasarkan garis keturuan seperti yang dibangun oleh kelompok Ba’alwi. Sehingga dalam kehidupannya dari dulu (lihat de Jong 1989) hingga saat ini kelompok Masayikh mereproduksi terus menerus identitasnya sebagai kelompok yang resisten terhadap kelompok Ba’alwi. Kelompok Masayikh senantiasa mensosialisasikan identitas tersebut melalui intitusi pendidikan Yayasan Al Irsyad, dan dalam aspek kehidupan lainnya. Anak turun kelompok Masayikh tidak pernah menagkui kehormatan sosial yang dimiliki oleh kelompok Ba’alwi. Juga mengenai stereotype terhadap keislaman Ba’alwi sebagai Islam yang Bid’ah. Dengan demikian, secara lebih luas dapat dikatakan ternyata dalam komunitas etnis Arab di Kota Surakarta terdapat kontestasi identitas. Bahwa apa yang homogen, disebut dalam berlaku. Antara sehingga dalam Weber konteks sebagai tipe ideal yaitu kelomok etnis adalah masyarakat Arab Surakarta justru hal ini tidak kedua kelompok memliki sistem nilai yang berlawanan kebiasaan agama, hukum dan ritualnya terdapat adat, pemisahan yang jelas. Mengenai klaim keturunan Rasullullah SAW hal ini terus menerus menjadi perdebatan yang hingga kini tidak pernah tuntas. Hal ini memberi pertanyaan baru bahwa secara sosiologis siapa yang sebenarnya menentukan dalam membentuk realitas sosial, atau suatu stratifikasi sosial. Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 Daftar Pustaka Buku Anis al Habsyi,Husein 2006. Biografi Habib Ali Habsyi Muallif Simtud Duror, Solo: Pustaka Zawiyah Algadri. C,Hamid.1984. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan. Badruzaman. 1922. Sejarah YPID Surakarta Periode tahun 1928-1992. Surakarta Barth, Fredik.1969. Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference. London: Allen &Unwin Cornell, Stephen and Hartmann, Douglass.1989. Ethnicity and Race: Making Identities in a Changing World. Thousand Oaks: Pine Forge Press. Creswell, John W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches Second Edition. London: SAGE Publication Inc. Jacobsen.F, Frode. 2009. Hadrami Arabs in Present day Indonesia.New York:Routledge Muhammad Alaydrus, Novel.2006. Jalan Nan Lurus : Sekilas Pandang Tarekat Bani „Alawi. Surakarta : Taman Ilmu. Mulyadi, Hari M dan Sudarmono.1999.Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit. Studi Radikalisasi Sosial Wong Solo dan Kerusuhan Mei 1998. LPTP.Central Grafika.Solo. Moeis,Syarief.2009. Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Malsevic,Sinisa. 2004.The Sociolog of Ethnicity.London: Sage Publication. Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 Noer,Deliar.1973. The Modernist Muslim Movement In Indonesia 1900-19442. Oxford University Press Neuman, W. Lawrence.(2006). Social Research Methods Sixth Edition.Boston: Allyn and Bacon. Natalie-Mobini Kesheh, 1999., Hadrami Awakening Communit and Identity in th Netherlands Indies, 1900-1942. Ithaca NY: Shoutheast Asia Publications Program, Cornell Universty. S. Bujra,(1967) Political Conflict and Stratification in Hadramauth-I," Middle Eastern Studies Smith, D Anthony. 2001.Nationalism. Polity Press Cambridge. Smith, D Anthony, dkk. 1996. Ethnicity. New York: Oxford University Press Suparlan, Parsudi . 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta: YPKIK Press hal. 18-19. Soekanto,Soerjono.1987. Masyarakat dan Kekuasaan.Jakarta : Rajawalipers. Van den Berg, L.W.C. 1989. Orang Arab di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu. Jurnal De Jonge, Hub. 1993. Discord and Solidarity Among The Arabs in The Netherlands East Indies 1900-1942. Jurnal Indonesia. Skripsi Agil Dani Perkasa. 2008.Dinamika Hubungan Antar Kelompok Etnis Pribumi Betawi dengan Etnis Pendatang Keturunan Arab di Condet (Batu Ampar).Skripsi Universitas Indonesia. Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013 Memik Zunainingsih. 2010.Sekolah Islam Diponegoro Surakarta tahun 19662005.SkripsiUniversitas Sebelas Maret Surakarta. Sri Surami Widyastuti.2006.Perkembangan Usaha Batik Masyarakat Keturunan Arab di Pasar Kliwon 1966-2005.Skripsi Universitas Sebelas Maret. Tridewiyanti,Kunti. 2009. Perempuan Arab Ba‟alwi dalam Sistem Perkawinan: Reproduksi Kebudayaan dan Resistensi.Disertasi Universitas Indonesia. Dokumen Syiar Islam. Edisi Juli-Desember2011. Surakarta: LPP Al Irsyad Al Islamiyyah SKA Mimbar Al Irsyad. Edisi:004 Ramadhan 1430. Surakarta: LPP AI Irsyad Al Islamiyyah SKA Sabili. Edisi Khusus. ISSN:1412-1077. Jakarta:PT Bina Media Sabili. Sejarah Yayasan Pendidikan Islam Dipoegoro Periode Tahun 1928-1992 Pedoman Asasi AD-ART Program Perjoang Ikhtisar sejarah Al irsyad 1981 Video Penayangan Simtu Duror, Masjid Arriyadh. Surakarta. Praktik Khaul ke 101. Dinamika relasi..., Syaila Rizal, FISIP UI, 2013