TUGAS AKHIR - TF 141581 PERANCANGAN SISTEM ACTIVE FAULT TOLERANT CONTROL (AFTC) PADA PENGENDALIAN POSISI SISTEM SERVO MODULAR MS150 DC DENGAN KESALAHAN PADA AKTUATOR DAN SENSOR IVAN TAUFIK AKBAR PRADHANA NRP. 2413 100 076 Dosen Pembimbing: Dr. Katherin Indriawati, S.T., M.T. DEPARTEMEN TEKNIK FISIKA Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017 i “Halaman ini sengaja dikosongkan” ii FINAL PROJECT - TF 141581 DESIGN ACTIVE FAULT TOLERANT CONTROL (AFTC) SYSTEM FOR POSITION CONTROL OF MODULAR SERVO MS150 DC WITH ACTUATOR AND SENSOR FAULT IVAN TAUFIK AKBAR PRADHANA NRP. 2413 100 076 Supervisor: Dr. Katherin Indriawati, S.T., M.T. ENGINEERING PHYSICS DEPARTMENT Faculty of Industrial Technology Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya 2017 iii “Halaman ini sengaja dikosongkan” iv v “Halaman ini sengaja dikosongkan” vi vii “Halaman ini sengaja dikosongkan” viii PERANCANGAN SISTEM ACTIVE FAULT TOLERANT CONTROL (AFTC) PADA PENGENDALIAN POSISI SISTEM SERVO MODULAR MS150 DC DENGAN KESALAHAN PADA AKTUATOR DAN SENSOR Nama NRP Departemen Dosen Pembimbing : Ivan Taufik Akbar Pradhana : 2413 100 076 : Teknik Fisika FTI-ITS : Dr. Katherin Indriawati, S.T., M.T. Abstrak Pengendalian posisi motor DC dengan sistem servo modular MS150 DC merupakan sistem yang non-linier, tidak stabil, dan sulit mendapatkan performansi respon sistem yang tinggi dalam penerapan tracking karena terjadi kesalahan pada sensor dan atau aktuator. Oleh karena itu dilakukan perancangan sistem Active Fault Tolerant Control (AFTC) pada pengendalian posisi sistem servo modular MS150 DC dengan kesalahan pada aktuator dan sensor sehingga dapat mengestimasi dan mengakomodasi kesalahan. Pengendali proportional (P) dirancang pada sistem dengan nilai gain sebesar -20 dan didapatkan respon sistem posisi sesuai dengan standar ISA, yaitu nilai maximum overshoot < 25% dan error steady state < 5% untuk set point posisi 0,05 Volt. Kemudian dirancang observer dan reconfigurable control. Berdasarkan hasil pengujian AFTC pada pengendalian posisi sistem servo modular MS150 DC dengan memberi kesalahan bias pada aktuator dan sensor sebesar 40%, 60%, dan 80% maka dapat disimpulkan bahwa algoritma AFTC mampu mengestimasi dan mengakomodasi kesalahan sehingga respon sistem dapat kembali ke set point. Nilai maximum overshoot/undershoot dan error steady state dari sistem dengan AFTC lebih kecil daripada tanpa AFTC. Settling time sistem dengan AFTC lebih cepat daripada sistem tanpa AFTC. AFTC memiliki batas toleransi kesalahan maksimum 80% karena error > 5%. Kata Kunci: pengendalian posisi servo modular MS150 DC, kesalahan aktuator, kesalahan sensor, AFTC. ix “Halaman ini sengaja dikosongkan” x DESIGN ACTIVE FAULT TOLERANT CONTROL (AFTC) SYSTEM FOR POSITION CONTROL OF MODULAR SERVO MS150 DC WITH ACTUATOR AND SENSOR FAULT Name NRP Department Supervisors : Ivan Taufik Akbar Pradhana : 2413 100 076 : Teknik Fisika FTI-ITS : Dr. Katherin Indriawati, S.T., M.T. Abstract Position control of DC motor using modular servo MS150 DC is non-linear, unstable system, and difficult to get high performance of system response in tracking application because fault occurred in sensor and or actuator. Therefore it is designed Active Fault Tolerant Control (AFTC) system for position control of modular servo MS150 DC with fault in actuator and sensor, so it can estimate and accomodate that fault. The proportional controller is applied for position control system with gain value is -20 and the system response of position control is according to ISA standard, ie maximum overshoot <25% and error steady state <5% for set point of position is 0,05 Volt. After that it is designed the observer and reconfigurable control. Based on AFTC test result on position control of modular servo MS150 DC by giving 40%, 60%, and 80% of bias fault in actuator and sensor, so it can be concluded that AFTC algorithm is able to estimate and accommodate faults so that system response can return to set point. The value of maximum overshoot/undershoot and error steady state from system with AFTC are smaller than system without AFTC. The settling time of system with AFTC is faster than system without AFTC. AFTC has maximum fault tolerance limit of 80% due to that error > 5%. Keywords: position control of modular servo MS150 DC, actuator fault, sensor fault, Active Fault Tolerant Control (AFTC). xi “Halaman ini sengaja dikosongkan” xii KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sehingga dapat terselesaikannya tugas akhir beserta laporan tugas akhir yang berjudul PERANCANGAN SISTEM ACTIVE FAULT TOLERANT CONTROL (AFTC) PADA PENGENDALIAN POSISI SISTEM SERVO MODULAR MS150 DC DENGAN KESALAHAN PADA AKTUATOR DAN SENSOR. Penulis telah banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak dalam penyelesaian tugas akhir dan laporan tugas akhir ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Agus Muhamad Hatta, S.T., M.Si., Ph.D selaku Ketua Departemen Teknik Fisika ITS yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta sarana dan prasarana selama menempuh pendidikan di Teknik Fisika ITS. 2. Ibu Dr. Katherin Indriawati, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar memberikan petunjuk, ilmu, serta bimbingan dalam pengerjaan tugas akhir ini. 3. Bapak Totok Ruki Biyanto, S.T., M.T., Ph.D selaku Kepala Laboratorium Rekayasa Instrumensi yang telah memberikan ilmu, petunjuk, dan kemudahan perizinan. 4. Bapak Ir. Heri Joestiono, M.T. selaku dosen wali yang telah membimbing penulis selama perkuliahan dan memberikan ilmu serta nasihat yang sangat bermanfaat. 5. Seluruh dosen Teknik Fisika ITS atas segala ilmu, bimbingan, petunjuk, dan nasihat yang sangat bermanfaat. 6. Kedua orang tua (Bapak H. Achmad Soeharno, S.H. dan Ibu Hj. Diyah Purwatiningsih, S.E.) atas segala cinta, kasih sayang, doa, perhatian, serta dukungan moril dan materiil yang telah diberikan. 7. Seluruh teman seperjuangan dalam tugas akhir, yaitu Viqi Bhagaskara Kresna, Alief Ghazi, dan Alif Helmi Aghnia, Shinta Aprilia Safitri, dan Ayu Fitriyah Wahyuni, terima kasih untuk semuanya. xiii 8. Seluruh teman–teman Departemen Teknik Fisika ITS angkatan 2013, terima kasih untuk semuanya. 9. Seluruh karyawan dan civitas akademika Teknik Fisika ITS, terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuannya. Penulis sadar bahwa penulisan laporan tugas akhir ini masih terdapat kekurangan. Namun, semoga laporan ini dapat memberikan kontribusi yang berarti dan menambah wawasan yang bermanfaat bagi pembaca, keluarga besar Teknik Fisika ITS khususnya, dan civitas akademika ITS pada umumnya. Semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat sebagai referensi pengerjaan laporan tugas akhir bagi mahasiswa lainnya. Surabaya, 27 Juli 2017 Penulis xiv DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul ............................................................................... i Cover Page...................................................................................iii Lembar Pengesahan I.....................................................................v Lembar Pengesahan II ................................................................ vii Abstrak ........................................................................................ ix Abstract.........................................................................................xi KATA PENGANTAR............................................................... xiii DAFTAR ISI ...............................................................................xv DAFTAR GAMBAR ............................................................... xvii DAFTAR TABEL......................................................................xix DAFTAR NOTASI ................................................................... xxi BAB I PENDAHULUAN .............................................................1 1.1 Latar Belakang ................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ...........................................................3 1.3 Tujuan .............................................................................3 1.4 Batasan Masalah .............................................................3 1.5 Sistematika Laporan ........................................................4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................7 2.1 Motor Direct Current (DC) Magnet Permanen...............7 2.2 Modular Servo Motor DC MS150 ..................................9 2.3 Pemodelan Motor DC ...................................................12 2.4 Identifikasi Sistem.........................................................15 2.5 Sistem Pengendalian .....................................................16 2.6 Pengendali Proportional (P) .........................................17 2.7 Penalaan/Tuning Ziegler-Nichols ..................................20 2.8 Kesalahan pada Sistem Kontrol ....................................24 2.9 Sistem Active Fault Tolerant Control (AFTC) .............24 2.10 Observer........................................................................28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................35 3.1 Perumusan Masalah.......................................................37 3.2 Studi Literatur ...............................................................37 3.3 Perancangan (Set-up) Sistem Servo Modular MS150DC......................................................................38 3.4 Identifikasi Sistem Servo Modular MS150 DC ............39 xv 3.5 3.6 3.7 Perancangan Pengendali Proportional (P) ................... 48 Kesalahan pada Sensor dan Aktuator Motor DC ......... 51 Perancangan Sistem Active Fault Tolerant Control (AFTC) ......................................................................... 52 3.8 Uji Performansi Sistem ................................................ 66 3.9 Kesimpulan dan Saran.................................................. 67 BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN ................. 68 4.1 Validasi Data ................................................................ 69 4.2 Sistem Kendali Proportional (P).................................. 71 4.3 Uji Performansi ............................................................ 73 4.3.1 Uji Kesalahan Bias 40% pada Aktuator dan Sensor ............................................................... 74 4.3.2 Uji Kesalahan Bias 60% pada Aktuator dan Sensor ............................................................... 79 4.3.3 Uji Kesalahan Bias 80% pada Aktuator dan Sensor ............................................................... 84 BAB V PENUTUP ..................................................................... 91 5.1 Kesimpulan .................................................................. 91 5.2 Saran............................................................................. 92 DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 93 LAMPIRAN BIODATA PENULIS xvi DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Motor DC ................................................................. 9 Gambar 2.2 Sistem Servo Modular MS150 ............................... 10 Gambar 2.3 Rangkaian Motor DC ............................................. 12 Gambar 2.4 Alur Identifikasi Sistem..........................................16 Gambar 2.5 Diagram Blok Sistem Pengendalian Tertutup. ....... 17 Gambar 2.6 Diagram Blok Pengendali Proportional ................18 Gambar 2.7 Diagram Blok Pengendali P Metode Ziegler – Nichols......................................................................................... 21 Gambar 2.8 Kurva Respon Step Sistem . ................................... 22 Gambar 2.9 Struktur Umum dari Active Fault Tolerant Control System .......................................................................................... 26 Gambar 2.10 Struktur Umum dari Reconfigurable Control ...... 28 Gambar 2.11 Observer dalam Domain Diskrit ......................... 32 Gambar 2.12 Kestabilan Pole Placement Sistem Diskrit ......... 33 Gambar 3.1 Diagram Alir Tugas Akhir.....................................37 Gambar 3.2 Diagram Perancangan Sistem Servo Modular ....... 39 Gambar 3.3 Pengambilan Data Kecepatan dengan Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ............................................... 41 Gambar 3.4 Pengambilan Data Arus dengan Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ............................................... 42 Gambar 3.5 Pemodelan dengan Metode Parametrik Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ........................ 43 Gambar 3.6 Validasi Posisi, Kecepatan, dan Arus pada Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ............................................... 47 Gambar 3.7 Diagram Blok Sistem Pengendalian Proportional. 48 Gambar 3.8 Diagram Blok Sistem Pengendalian P Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a .......................................... 48 Gambar 3.9 Pengendali Proportional Untuk Pengendalian Posisi Motor DC Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ...... 50 Gambar 3.10 Diagram Blok Sistem Motor DC dengan Kesalahan Sensor dan Aktuator ................................................................... 52 Gambar 3.11 Diagram Blok Observer Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a ........................................................... 57 Gambar 3.12 Diagram Blok Observer ....................................... 59 xvii Gambar 3. 13 Observer dan Estimator Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ................................................................ 60 Gambar 3. 14 Diagram Blok Sistem Reconfigurable Control ... 63 Gambar 3.15 Diagram Blok Sistem Reconfigurable Control Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a ................... 64 Gambar 3.16 Reconfigurable Control Sistem AFTC pada Perangkat Lunak LabVIEW 2013................................................65 Gambar 4. 1 Respon Sistem Validasi Kecepatan Dalam Bentuk Kecepatan Sudut .......................................................................... 69 Gambar 4.2 Respon Sistem Validasi Arus Dalam Bentuk Tegangan ..................................................................................... 70 Gambar 4.3 Respon Sistem Validasi Posisi Dalam Bentuk Tegangan ..................................................................................... 70 Gambar 4.4 Respon Sistem Perancangan Pengendali P Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a ................... 72 Gambar 4.5 Respon Sistem Real Penerapan Pengendali P Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013........................ 73 Gambar 4.6 Respon Sistem Hasil Simulasi AFTC dengan Kesalahan Bias 40% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a......................................................................................... 74 Gambar 4.7 Respon Sistem Hasil Real AFTC dengan Kesalahan Bias 40% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ....... 76 Gambar 4.8 Respon Sistem Hasil Simulasi AFTC dengan Kesalahan Bias 60% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a......................................................................................... 79 Gambar 4.9 Respon Sistem Hasil Real AFTC dengan Kesalahan Bias 60% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ....... 81 Gambar 4.10 Respon Sistem Hasil Simulasi AFTC dengan Kesalahan Bias 80% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a......................................................................................... 85 Gambar 4.11 Respon Sistem Hasil Real AFTC dengan Kesalahan Bias 80% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ............................................................................................. 86 xviii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Parameter , τi, dan τd Metode Ziegler-Nichols tipe 1 ..................................................................................................... 22 Tabel 4.1 Karakteristik Respon Sistem AFTC dengan Kesalahan Bias 40% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a .. 75 Tabel 4.2 Karakteristik Respon Sistem Real AFTC dengan Kesalahan Bias 40% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ............................................................................................. 76 Tabel 4.3 Karakteristik Respon Sistem AFTC dengan Kesalahan Bias 60% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a .. 80 Tabel 4.4 Karakteristik Respon Sistem Real AFTC dengan Kesalahan Bias 60% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ............................................................................................. 81 Tabel 4.5 Karakteristik Respon Sistem AFTC dengan Kesalahan Bias 80% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a .. 85 Tabel 4.6 Karakteristik Respon Sistem Real AFTC dengan Kesalahan Bias 80% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 ............................................................................................. 87 xix “Halaman ini sengaja dikosongkan” xx DAFTAR NOTASI ea eb I R L V (s) V(s) b K R J L ( ) ( ) A B C D ( ) ( ) ( ) p = tegangan yang dikenakan pada jangkar, volt = ggl - gaya gerak listrik balik, volt = arus kumparan jangkar, ampere = Tahanan kumparan jangkar, ohm = induktansi kumparan jangkar, henry = tegangan masukan servo, volt = posisi motor, radian = tegangan masukan servo, volt = Koefisien gesekan viskos ekivalen dari motor dan beban pada poros motor, N.m/rad.dt = Konstanta torsi motor = Tahanan kumparan jangkar, ohm = momen inersia ekuivalen dari motor, kg.m2 = induktansi kumparan jangkar, henry = sinyal keluaran pengendali proportional domain diskrit = konstanta/gain pengendali proportional = error atau sinyal kesalahan = setpoint – keluaran sistem = pita proportional (proportional band) = Matriks keadaan (state) = Matriks masukan/matriks kendali = Matriks keluaran = Matriks gangguan = Sinyal kendali dalam domain diskrit = Keluaran dalam domain diskrit = Keadaan (state) dalam domain diskrit = Sampling time = poles = nilai sebenarnya = nilai pengukuran yang mengandung kesalahan = Kesalahan sensor = nilai masukan sebenarnya = nilai masukan yang mengandung kesalahan = kesalahan aktuator xxi “Halaman ini sengaja dikosongkan” xxii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Motor arus searah atau motor Direct Current (DC) merupakan sebuah perangkat elektromagnetis yang berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi mekanik. Motor ini paling banyak digunakan dalam dunia industri dan untuk sumber penggerak mobil listrik (Koksal, 2007). Selain itu, motor DC merupakan motor servo mekanik yang banyak digunakan dalam sistem posisi servo dengan akurasi kendali yang tinggi karena ketepatannya serta karakteristik pengendalian yang sederhana dan kontinyu (Hartono, 2008). Kelebihan lain dari motor DC adalah memiliki torsi yang tinggi, tidak memiliki kerugian daya reaktif, dan tidak menimbulkan harmonisa pada sistem tenaga listrik yang menyuplainya. Pengendalian posisi pada motor DC merupakan permasalahan tracking. Permasalahan tersebut banyak ditemukan dalam dunia industri, persenjataan, elektronik, maupun dirgantara. Pengendalian posisi pada motor DC diaplikasikan untuk tracking antena pada satelit stasiun bumi (ground station), tracking data pada R/W head pada hard disk, manufaktur, robotika, dan tracking meriam kapal (Setyaningrum, 2012). Desain pengendalian feedback merupakan desain pengendalian paling umum dan sederhana yang sering digunakan pada sebagian besar sistem pengendalian yang ada di dunia, khususnya di dunia industri. Namun kelemahan pengendalian feedback yang sering terjadi dan mengganggu sistem plant adalah kesalahan yang terjadi pada komponen sensor atau aktuator (Maulana, 2015). Sensor dan aktuator merupakan komponen yang paling mudah rusak karena terletak di lapangan dan langsung berhubungan dengan lingkungan. Sensor mekanik juga lebih mudah rusak daripada sensor elektrik (Campos-Delgado, 2008). Pengendalian posisi motor DC sulit mendapatkan kinerja yang cukup tinggi dalam penerapan tracking karena terjadi kesalahan pada sensor dan atau aktuator. Kesalahan pada sensor 1 2 dan atau aktuator pada motor DC dapat mengakibatkan performansi sistem tracking cenderung menurun. Pengendalian posisi pada motor DC merupakan suatu sistem yang non-linier dan tidak stabil (Indriawati, 2015). Dalam penelitian sebelumnya telah dilakukan perancangan pengendalian posisi motor DC dengan menggunakan pengendali proportional (P). Saat menggunakan pengendali proportional, respon sistem bisa cepat mencapai set point namun terjadi osilasi (Hartono, 2008). Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan pengendali Proportional (P). Pengendali proportional (P) untuk pengendalian posisi motor DC memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi kesalahan pada komponen, yaitu pada sensor dan aktuator. Efek kesalahan aktuator dan sensor dapat digambarkan sebagai input tambahan yang tidak diketahui yang mempengaruhi dinamika sistem atau pengukuran (Noura, Theilliol, Ponsart, & Chamseddine, 2009). Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka dikembangkan pendekatan baru dalam mengendalikan sistem yang berfungsi untuk menoleransi kerusakan komponen sehingga performansi dan kestabilan sistem tetap terjaga serta dapat mencapai kondisi yang optimal. Sistem pengendalian yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan kestabilan dan performansi sistem pada saat terjadi kesalahan pada komponen sensor atau/dan aktuator disebut Fault Tolerant Control System (FTCS) (Indriawati, 2015). Fault Tolerant Control System (FTCS) merupakan suatu pengembangan teknologi pengendalian untuk kebutuhan keamanan (safety) dan perbaikan unjuk kerja. FTCS dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu passive fault tolerant control system (PFTCS) dan active fault tolerant control system (AFTCS) (Zhang & Jiang, 2008). Pada Active Fault Tolerant Control System terdiri dari dua tahapan, yaitu tahapan Fault Detection and Indentification (FDI) dan Reconfigurable Controller. Reconfigurable Controller digunakan agar respon sistem menjadi lebih baik dengan parameter maximum overshoot yang rendah, settling time yang cepat, error steady state yang mendekati nol, dan kestabilan tinggi (Zhang & Jiang, 2008). 3 Pada tugas akhir ini dilakukan perancangan pengendalian posisi pada servo modular MS150 DC yang toleran terhadap kesalahan pada sensor dan aktuator. Dengan menggunakan pengendali proportional diharapkan respon bisa mencapai set point, mempercepat respon sistem menuju kondisi steady, dan mampu mengikuti perubahan (tracking) set point. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut. a. Bagaimana merancang sistem pengendalian tracking posisi motor pada servo modular MS150 DC secara real-time? b. Bagaimana merancang Active Fault Tolerant Control System untuk kesalahan yang terjadi pada sensor dan aktuator pada sistem pengendalian posisi servo modular MS150 DC? 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian tugas akhir ini adalah merancang sistem pengendalian posisi motor pada sistem servo modular MS150 DC dengan algoritma pengendali proportional (P) yang mampu mengakomodasi kesalahan minus pada sensor dan aktuator sehingga sistem secara keseluruhan dapat tetap bekerja sesuai dengan performansi yang ditetapkan. 1.4 Batasan Masalah Batasan masalah dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut. a. Algoritma AFTC diterapkan pada sebuah perangkat skala laboratorium, yaitu Feedback MS150 Modular Servo System. b. Pengendalian posisi servo modular MS150 DC tidak diberi variasi beban (torque load). c. Performansi respon posisi ditetapkan sebagai berikut: Maximum overshoot < 25% Settling time < 30 detik Error steady state < 5% 4 d. e. f. Variabel yang diukur adalah kecepatan rotasi dan posisi motor DC dalam bentuk tegangan dengan kesalahan sensor hanya terjadi pada potensiometer atau pengeluaran posisi. Komponen yang digunakan dalam menjalankan aksi kontrol atau aktuator adalah rangkaian servoamplifier dengan kesalahan yang terjadi adalah kesalahan bias. Sensor posisi yang digunakan adalah potensiometer dengan kesalahan yang terjadi adalah kesalahan bias. 1.5 Sistematika Laporan Sistematika penulisan laporan tugas akhir adalah sebagai berikut: a. BAB I PENDAHULUAN Pada bab I ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika laporan. b. BAB II TEORI PENUNJANG Pada bab II ini dibahas mengenai teori-teori yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan, seperti teori pemodelan posisi motor DC, sistem pengendalian proportional, FTC, dan observer. c. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab III ini berisi mengenai rancangan dari penelitian yang dilakukan, metode, dan langkah-langkah dalam penelitian. d. BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Pada bab IV ini berisi tentang hasil penelitian dari perancangan pengendali proportional (P) dan Active Fault Tolerant Control System (AFTCS) pada pengendalian posisi sistem servo modular MS150 DC dengan kesalahan pada sensor dan aktuator yang diharapkan mampu mentolerir kesalahan yang terjadi pada sistem servo modular MS150 DC serta mampu menghasilkan respon yang lebih baik dibandingkan dengan pengendalian PID biasa. e. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab V ini diberikan kesimpulan tentang tugas akhir yang telah dilakukan berdasarkan data-data yang diperoleh 5 serta diberikan saran sebagai penunjang pengembangan tugas akhir selanjutnya. maupun 6 “Halaman ini sengaja dikosongkan” 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Motor Direct Current (DC) Magnet Permanen Motor Direct Current (DC) adalah mesin listrik yang prinsip kerjanya mengubah energi listrik arus searah menjadi energi mekanik. Energi mekanik yang dihasilkan berupa energi gerak putar pada poros motor. Konversi energi tersebut dilakukan dalam waktu yang cepat dan merupakan implementasi hukum Lorentz, yaitu hukum yang berlaku untuk aliran listrik pada kawat penghantar yang berada di dalam medan magnet (Koksal, 2007). Salah satu jenis motor DC adalah motor DC magnet permanen dimana medan magnet dihasilkan oleh magnet permanen dan menghasilkan fluks konstan. Motor DC merupakan sistem yang akan dikendalikan dalam penelitian tugas akhir ini. Motor DC terdiri dari tiga penyusun utama, yaitu (Ogata, 1997): a. Kutub Magnet Interaksi dua kutub magnet akan menyebabkan perputaran pada motor DC. Motor DC memiliki kutub medan yang stasioner dan dinamo yang menggerakkan bearing pada ruang di antara kutub medan. Motor DC sederhana memiliki dua kutub medan, yaitu kutub utara dan kutub selatan. Untuk motor yang lebih kompleks terdapat beberapa elektromagnet. Elektromagnet menerima listrik dari sumber daya luar sebagai penyedia medan magnet. b. Rotor Bila arus masuk menuju kumparan jangkar maka arus ini menjadi elektromagnet. Rotor yang berbentuk silinder dihubungkan ke as penggerak untuk menggerakkan beban. Untuk motor DC yang kecil, rotor berputar dalam medan magnet yang dibentuk oleh kutub-kutub, sampai kutub utara dan kutub selatan magnet berganti lokasi. Jika hal ini terjadi, arus berbalik mengubah kutub utara dan selatan rotor. 7 8 c. Komutator Komponen ini terdapat pada motor DC dan berfungsi untuk menghasilkan tegangan searah dalam kumparan jangkar. Komutator juga membantu transmisi arus antara kumparan jangkar dan saluran daya. Motor DC magnet permanen seperti ditunjukkan pada gambar 2.1 tersusun dari beberapa bagian, yaitu magnet permanen, kumparan jangkar (armature), komutator (commutator), dan sikat (brush). Terdapat dua prinsip dasar yang mendasari kerja motor DC. Pertama, magnet permanen sebagai stator motor tersusun dari dua magnet dengan kutub yang berbeda (kutub utara dan kutub selatan), yang saling berhadapan dan berfungsi menghasilkan medan magnet yang nilainya konstan. Komutator yang termasuk bagian dari rotor motor terletak pada kedua ujung kumparan jangkar yang berfungsi mengumpulkan arus induksi dari jangkar dan mengkonversinya menjadi arus searah dan sikat berfungsi menyalurkan arus listrik dari sumber di luar motor ke dalam kumparan jangkar. Letak sikat di sepanjang sumbu netral dari komutator merupakan letak dimana medan listrik yang dihasilkan bernilai nol. Hal ini dimaksudkan agar pada proses perpindahan dari sikat ke komutator tidak terjadi percikan api. Kumparan jangkar (armature) sebagai rotor motor digambarkan dalam bentuk sebuah kawat yang memiliki bentuk persegi panjang dan berfungsi untuk mengubah energi listrik menjadi energi mekanik dalam bentuk gerak putar (Ogata, 1997). Kedua, sumber tegangan DC pada gambar 2.1 digambarkan dengan baterai yang terhubung dengan sikat karbon pada masingmasing kutub baterai sehingga tercipta arus listrik (I) dengan arah arus dari kutub positif ke kutub negatif melewati sikat karbon, kemudian komutator, kumparan jangkar (armature), kembali ke komutator, sikat karbon, dan ke kutub negatif baterai. Di bagian stator motor, kumparan medan stator menghasilkan fluks dari kutub utara ke kutub selatan. Dengan adanya arus di dalam kumparan jangkar yang terletak di dalam kumparan magnet yang mengandung fluks maka akan menghasilkan suatu gaya, yang 9 disebut gaya Lorentz (F). Komponen komutator yang selalu ikut berputar dengan rotor dan sikat karbon yang selalu diam menjadi komponen yang akan menjaga arah arus listrik untuk selalu tetap, yakni mengalir dari sisi kiri kawat menuju ke sisi kanan. Arah arus listrik yang selalu tetap di setiap setengah putaran rotor inilah yang akan membuat rotor motor listrik selalu berputar selama masih ada arus listrik yang mengalir ke kumparan jangkar. Gambar 2.1 Motor DC (Burridge & Qu, 2003) 2.2 Modular Servo Motor DC MS150 Motor servo adalah motor dengan sistem closed feedback dimana posisi dari motor akan diinformasikan kembali ke rangkaian kendali yang ada di dalam motor servo. Sistem servo modular MS150 merupakan blok rangkaian elektronik yang digunakan untuk pengendalian kecepatan dan posisi dari motor DC. Servo modular MS150 merupakan produk dari Feedback Instruments, Ltd, yang dikhususkan untuk percobaan oleh mahasiswa dan umum yang sedang belajar sistem pengendalian closed-loop. Rangkaian sistem servo modular MS150 dari produk Feedback ditunjukkan pada gambar 2.2. Sistem servo modular MS150 menyediakan pengaturan yang dibutuhkan oleh teknisi dan mahasiswa. Sistem servo modular MS150 terdiri dari sumber tenaga (power supply), servo amplifier, motor DC, reduction gear 10 tacho unit, potentiometer, dan beberapa transducer serta modul lainnya (Setyaningrum, 2012). Gambar 2.2 Sistem Servo Modular MS150 (Mehta & Chiasson, 1998) Bagian-bagian sistem servo modular MS150 adalah (Setyaningrum, 2012). a. Power supply Sumber tegangan yang dipakai untuk menyuplai rangkaian pengendali motor DC adalah modul Feedback tipe PS150E. Alat ini menghasilkan tegangan keluaran sebesar 24V DC, 2A dengan 8-way connector ke servo amplifier yang diatur untuk menyuplai motor. Sedangkan masukan yang disediakan sebesar 115 V dan 230 V, 50 Hz atau 60 Hz, 40VA. Bagian depan modul tersebut terdapat 2 set konektor 4 mm untuk menghasilkan tegangan keluaran 15 Volt DC dan rangkaian pembagi tegangan yang diinginkan. b. Motor DC Dalam modul Feedback digunakan motor DC tipe DCM150F. Motor DC ini merupakan motor DC magnet permanen dengan poros motor atau rotor yang diperpanjang (extended shaft). Pada ujung rotor motor terdapat cakram yang berfungsi 11 c. d. e. f. g. sebagai pengereman pada motor. Tipe pengereman yang dapat dilakukan pada motor ini adalah pengereman magnetik dan pengereman secara mekanik atau inersia. Batangan (shaft) motor diperpanjang untuk bantalan/ganjalan secara langsung dari pengereman magnetik dan inersia. Poros yang diperpanjang ini juga berfungsi untuk mengubah energi mekanik ke energi listrik dengan menggunakan tachogenerator yang dikopel pada motor. Reduction Gear Tacho Unit Modular feedback tachogenerator GT150X digunakan untuk mengubah besaran mekanik menjadi besaran listrik. Di dalam perangkat ini terdapat gearbox dengan perbandingan 1:30 yang berfungsi untuk mengubah kecepatan dan torsi motor. Servo amplifier Modular feedback servo amplifier SA150D terdiri dari rangkaian transistor yang dapat menggerakan motor DC dengan dua arah putaran. Untuk mencegah adanya pembebanan berlebih pada motor DC maka terdapat meter arus yang membatasi arus maksimum yang mengalir dalam rangkaian sebesar 2 Ampere sehingga tidak terjadi overloading. Op Amp Unit Op Amp Unit berfungsi sebagai penguat pada pengendalian umpan balik. Penggunaannya meliputi operasi penjumlahan untuk mengoreksi kesalahan untuk sistem pengaturan loop tertutup dan dapat juga digunakan sebagai penambah konstanta waktu ekstra untuk menunjukkan ketidakstabilan. Attenuator Unit Attenuator unit AU150B berfungsi menyediakan tegangan referensi ketika dihubungkan dengan sumber DC dan dapat digunakan untuk mengatur penguatan ketika dihubungkan dengan keluaran amplifier. Output Potentiometer Sensor posisi yang digunakan pada tugas akhir ini adalah potensiometer OP150K. Potensiometer jenis ini merupakan 12 potensiometer jenis rotasi (rotary). Output potentiometer dapat diputar secara kontinyu 360 derajat. Potensiometer ini disuplai oleh power supply sebesar 15 Volt. Pada sudut nol derajat, keluaran tegangan yang dihasilkan oleh output potentiometer adalah sebesar 0 Volt. 2.3 Pemodelan Motor DC Suatu sistem disusun dari bermacam-macam komponen yang saling berhubungan dalam menjalankan suatu aksi. Tergantung dari komponen yang dipergunakan, suatu sistem dapat berupa mekanik, pneumatik, elektrik atau jenis elektro-mekanik. Motor DC adalah termasuk dalam sistem komponen elektro-mekanik. Suatu prasyarat dasar pada kebanyakan strategi yang dipergunakan dalam membangun suatu sistem kendali adalah kemampuan dalam memodelkan secara matematika dari sistem yang akan dikendalikan. Model matematika dari suatu sistem dapat berupa persamaan diferensial, fungsi alih atau persamaan ruang keadaan (Ogata, 1997). Gambar 2.3 Rangkaian Motor DC (Wai, 2007) Berdasarkan gambar 2.3, tegangan catu (V) untuk sistem motor DC adalah masukan yang dipasang pada armatur (R, L, motor). Tegangan tersebut oleh motor diubah menjadi gerak putar, dalam hal ini merupakan keluaran sistem dan sebagai kecepatan rotasi dari rotor motor. Kecepatan rotasi poros motor dinyatakan sebagai , dengan asumsi rotor dan poros rigid. 13 Secara umum, torsi yang dibangkitkan oleh motor DC adalah proporsional terhadap arus motor (armatur) dan kuat medan magnet, dengan asumsi bahwa medan magnet konstan maka torsi motor proporsional terhadap arus motor i dengan faktor konstanta Kt seperti dituliskan pada persamaan berikut (Ogata, 1997). (2.1) Bila kumparan magnet berputar maka tegangan akan sebanding dengan hasil kali fluks dan kecepatan sudut yang diinduksikan pada kumparan magnet. Untuk fluks yang konstan, tegangan induksi eb berbanding lurus dengan kecepatan sudut , atau (Ogata, 1997) (Mehta & Chiasson, 1998). ̇ (2.2) dimana eb adalah emf balik dan Kb adalah konstanta emf balik. Dalam unit SI, konstanta torsi motor dan gaya gerak listrik emf balik adalah sama, sehingga Kt = Kb; dengan demikian dapat digunakan konstanta K untuk menyatakan keduanya. Arus jangkar magnet menghasilkan torsi yang bekerja terhadap inersia dan gesekan (Ogata, 1997), sehingga (2.3) Kecepatan jangkar magnet servomotor DC dikendalikan oleh tegangan kumparan magnet ea. Persamaan diferensial rangkaian kumparan magnet adalah (Ogata, 1997), (2.4) ̇ Keterangan: (2.5) 14 ea eb I R L V = tegangan yang dikenakan pada jangkar, volt = ggl - gaya gerak listrik balik, volt = arus kumparan jangkar, ampere = Tahanan kumparan jangkar, ohm = induktansi kumparan jangkar, henry = tegangan masukan servo, volt Dengan menggunakan transformasi Laplace maka persamaan (2.4) dan (2.5) dapat diubah menjadi persamaan dalam bentuk domain Laplace (s). ( ) ( ) ( ( ) (2.6) )( ) ( ) (2.7) Dengan mengeliminasi I(s) maka didapatkan fungsi alih, dimana kecepatan sudut sebagai keluaran dan tegangan sebagai masukan. ̇ ( )( ( ) ) Untuk mendapatkan fungsi alih dimana posisi sebagai keluaran sistem maka dapat dilakukan dengan mengintegralkan ̇ dengan cara membagi persamaan (2.8) dengan s. (( )( ) ) Keterangan: (s) = posisi motor V(s) = tegangan masukan servo, volt b = Koefisien gesekan viskos ekivalen dari motor dan beban pada poros motor, N.m/rad.dt K = Konstanta torsi motor R = Tahanan kumparan jangkar, ohm ( ) 15 = momen inersia ekuivalen dari motor, kg.m2 = induktansi kumparan jangkar, henry Dalam bentuk persamaan ruang keadaan, persamaan (2.9) dapat dituliskan dengan memilih posisi motor, kecepatan rotasi motor, dan arus yang mengalir sebagai variabel state dan tegangan sebagai masukan serta posisi motor sebagai keluaran. J L [ ̇] [ ̇] [ [ [ ] ] ] [ ̇] (2.10) 2.4 Identifikasi Sistem Identifikasi sistem adalah suatu metode umum untuk membangun model matematika berdasarkan data masukan dan data keluaran. Metode ini termasuk dalam teori kendali modern namun menggunakan dasar statistika. Identifikasi sistem merupakan perpaduan harmonis antara statistika dengan teori kontrol. Tiga komponen utama yang diperlukan dalam identifikasi sistem (Institut Teknologi Bandung, 2014), yaitu: a. Data masukan dan data keluaran b. Himpunan model yang dipilih c. Metode identifikasi, yaitu kriteria pemilihan model dari himpunan model berdasarkan informasi data. [ITB] Metode yang sering digunakan untuk identifikasi sistem adalah teknik parametrik. Pada teknik ini, nilai parameter dari suatu sistem dapat diperoleh secara langsung dan merupakan solusi yang tepat terutama jika terkait dengan pekerjaan sintesa on-line atau real time (Olalla, 2008). 16 Gambar 2.4 Alur Identifikasi Sistem (Olalla, 2008) Berdasarkan gambar 2.4, proses identifikasi sistem dimulai dengan memperoleh data dari sistem dan kemudian dianalisis data numerik stimulus serta respon untuk memperkirakan parameter sistem. Selanjutnya, dilakukan pemilihan model dan dilakukan modelling. Setelah itu, melakukan validasi bahwa model yang dihasilkan cocok dengan perilaku sistem yang diamati. Jika hasilnya tidak memuaskan maka parameter harus direvisi dan diiterasi (Olalla, 2008). [mas 2.5 Sistem Pengendalian Sistem pengendalian adalah gabungan dari kerja suatu komponen yang digunakan untuk mempertahankan variabel yang dikendalikan (process variable) pada suatu nilai tertentu (set point) sehingga sistem dapat dikatakan stabil (Basilio, 2002). Sistem pengendalian juga merupakan kombinasi dari instrumen dan komponen yang dihubungkan oleh sebuah interaksi untuk melakukan kerjasama dengan tujuan tertentu. Sistem pengendalian dapat berupa sistem fisika, biologi, ekonomi, dan sebagainya. Sistem pengendalian dapat diaplikasikan pada berbagai bidang, misalnya pada pengendalian suhu, posisi, aliran, tekanan, level, dan lain sebagainya. Pada dasarnya pengendalian terbentuk dari empat fungsi dasar, yaitu pengukuran (measurement), perbandingan (comparison), koreksi (correction), dan hasil (Ogata, 1997). 17 Pengendali adalah komponen yang berfungsi meminimalisir atau mereduksi sinyal kesalahan, yaitu perbedaan antara sinyal setting dan sinyal aktual. Hal ini sesuai dengan tujuan sistem kendali, yaitu memanipulasi sinyal error sehingga respon sistem (output) sama dengan yang diinginkan (input) (Basilio, 2002). Semakin cepat reaksi sistem mengikuti sinyal aktual dan semakin kecil kesalahan yang terjadi maka semakin baik kinerja sistem kendali yang diterapkan. Apabila perbedaan antara nilai setting dengan nilai keluaran relatif lebih besar maka pengendali seharusnya mampu mengamati perbedaan ini untuk segera menghasilkan sinyal keluaran untuk mempengaruhi sistem. Dengan demikian, sistem secara cepat dapat mengubah keluaran sistem sampai diperoleh selisih antara setting dengan nilai keluaran sistem sekecil mungkin. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu sistem pengendalian sudah memakai unit kendali otomatis seperti pada gambar 2.5. Gambar 2.5 Diagram Blok Sistem Pengendalian Tertutup (Basilio, 2002). 2.6 Pengendali Proportional (P) Pengendali proportional memiliki keluaran yang sebanding atau proporsional dengan besar sinyal error. Jadi, keluaran pengendali proportional merupakan perkalian antara konstanta/gain proportional dengan masukannya yang berupa sinyal error. Perubahan pada sinyal masukan menyebabkan 18 sistem secara langsung mengubah keluarannya sebesar konstanta/ gain proportional (Basilio, 2002). Diagram blok pengendali proportional dapat dilihat pada gambar 2.6. E(k) R(k) + - 𝑲𝑷 U(k) Plant C(k) Gambar 2.6 Diagram Blok Pengendali Proportional (Basilio, 2002). Persamaan matematis dari pengendali proportional dalam domain diskrit sebagai berikut (Franklin, 1998) (Chen, 2013). ( ) ( ) (2.11) Keterangan: ( ) = sinyal keluaran pengendali proportional domain diskrit = konstanta/gain pengendali proportional ( ) = error atau sinyal kesalahan = setpoint – keluaran sistem Untuk mempermudah dalam analisa matematis maka persamaan (2.11) perlu diubah ke dalam domain z (transformasi z) sebagai berikut (Franklin, 1998) (Chen, 2013). ( ) ( ) ( ) ( ) Pengendali proportional juga dikenal sebagai gain/ penguatan. Pertambahan nilai akan menaikkan penguatan sistem sehingga dapat digunakan untuk memperbesar kecepatan tanggapan dan mengurangi error steady state (penyimpangan dalam keadaan tunak). Penggunaan pengendali proportional ini sering tidak memuaskan karena penambahan akan membuat sistem lebih sensitif tetapi juga cenderung mengakibatkan 19 ketidakstabilan. Di samping itu, penambahan nilai terbatas dan tidak cukup untuk mencapai tanggapan sampai suatu nilai yang diinginkan. Kenyataannya dalam mengatur nilai terdapat keadaan-keadaan yang bertentangan. Di satu pihak, diharapkan untuk mengurangi error steady state sebanyak mungkin tetapi hal ini akan mengakibatkan osilasi bagi tanggapan yang berarti memperlama settling time sedangkan di pihak lain tanggapan terhadap setiap perubahan masukan harus terjadi secepat mungkin tetapi dengan lonjakan dan osilasi sekecil mungkin. Tanggapan yang cepat memang dapat diperoleh dengan memperbesar tetapi hal ini juga akan mengakibatkan osilasi dan ketidakstabilan sistem (Ogata, 1997). Pengendali proportional memiliki dua parameter, yaitu pita proportional (proportional band) dan konstanta/gain proportional. Daerah kerja efektif pengendali dicerminkan oleh pita proportional sedangkan konstanta proportional ( ) menunjukkan nilai faktor penguatan terhadap sinyal kesalahan. Hubungan antara pita proportional (PB) dengan konstanta proportional ( ) ditunjukkan sebagai berikut (Ogata, 1997). ( ) ( ) Keterangan: = pita proportional (proportional band) = konstanta/gain pengendali proportional Ketika konstanta proportional ( ) semakin tinggi maka pita proportional menunjukkan penurunan yang semakin kecil sehingga lingkup kerja yang dikuatkan akan semakin sempit. Ciri–ciri pengendali proportional harus diperhatikan ketika pengendali tersebut diterapkan pada suatu sistem dengan ketentuan–ketentuan sebagai berikut (Basilio, 2002). 20 Jika nilai kecil maka pengendali proportional hanya mampu melakukan koreksi kesalahan yang kecil sehingga akan menghasilkan respon sistem yang lambat. Jika nilai dinaikkan maka respon sistem semakin cepat mencapai keadaan tunaknya (steady state). Jika nilai diperbesar hingga mencapai harga yang berlebihan akan mengakibatkan sistem bekerja tidak stabil atau menyebabkan sistem akan berosilasi. 2.7 Penalaan/Tuning Ziegler-Nichols Dalam penggunaan pengendali P maka parameter pengendali proportional (P) harus diatur terlebih dulu untuk mendapatkan respon sesuai dengan yang diinginkan. Proses pemilihan parameter pengendali P ( ) sehingga diperoleh karakteristik respon sistem yang baik dikenal dengan istilah penalaan atau tuning (Setyaningrum, 2012). Kegiatan menala dilakukan berulangkali apabila terjadi perubahan beban yang mengakibatkan perubahan gain dari lup pengendalian sehingga operator tidak dapat begitu saja mengasumsikan bahwa sekali ditala maka performansi pengendali akan baik untuk setiap kondisi operasi. Oleh karena itu, teknik penalaan yang baik sangatlah penting. Ada beberapa aturan penalaan yang biasa digunakan dalam perancangan pengendali P, antara lain penalaan berdasarkan metode relay feedback ZieglerNichols, penalaan gain-scheduling, manual (hand-tuning/trialerror), metode analitik dengan optimasi, penempatan pole (pole placement), swatala (auto-tuning), dan penalaan P menggunakan expert system (Basilio, 2002). Jika pemodelan matematis sistem susah untuk dilakukan maka perancangan pengendali P secara analitis tidak mungkin dilakukan sehingga perancangan pengendali P harus dilakukan secara eksperimental (Ogata, 1997). Perancangan pengendali P secara eksperimental dengan metode Ziegler –Nichols memiliki aturan untuk menentukan nilai yang didasarkan pada 21 karakteristik respon transien dari sistem. Diagram blok pengendalian P metode Ziegler–Nichols ditunjukkan gambar 2.7. e(k) x(k) + - 𝑲𝒑 u(k) Plant y(k) Gambar 2.7 Diagram Blok Pengendali P Metode Ziegler – Nichols (Basilio, 2002) Perancangan pengendali Ziegler–Nichols digunakan untuk mendapatkan respon sistem terhadap masukan sinyal step. Ada dua tipe metode penalaan Ziegler–Nichols yang bertujuan mencapai maximum overshoot kurang dari 25%. Nilai gain berdasarkan pada respon step sistem secara eksperimental atau berdasarkan pada nilai yang dihasilkan dalam kestabilan marginal bila hanya aksi kendali proporsional yang digunakan. Jika sistem tidak mengandung integrator atau kutub pasangan kompleks yang dominan maka digunakan metode Ziegler-Nichols tipe 1 sehingga kurva respon step sistem tersebut seperti kurva bentuk S. Kurva respon step dapat dihasilkan secara eksperimen atau dari simulasi dinamika sistem yang ditunjukkan pada gambar 2.8 (Basilio, 2002). 22 Gambar 2.8 Kurva Respon Step Sistem (Basilio, 2002) Nilai parameter , τi, dan τd berdasarkan metode ZieglerNichols tipe 1 diuraikan pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Parameter , τi, dan τd Metode Ziegler-Nichols tipe 1 (Ogata, 1997) Tipe τi τd Pengendali P T/L ∞ 0 PI 0,9 T/L L/0,3 0 PID 1,2 T/L 2L 0,5L Beberapa karakteristik sistem dalam algoritma pengendali PID sistem closed loop yang juga harus diketahui, yaitu rise time, % overshoot, settling time, time constant, dan error steady state (Ogata, 1997). a. Rise time adalah waktu yang dibutuhkan dari output sistem melebihi 90% dari tingkat saat suatu sistem dijalankan. b. % overshoot adalah peak level lebih tinggi dari keadaan steady state. 23 c. Settling time adalah waktu yang dibutuhkan sistem hingga stabil. Atau ukuran waktu yang menyatakan respon telah masuk ±5% atau ±2% atau ±0,5% dari respon steady state. d. Time constant adalah ukuran waktu yang menyatakan kecepatan respon, yang diukur mulai t = 0 sampai dengan respon mencapai 63,2% dari respon steady state. e. Error steady state adalah nilai error yang dihasilkan dari keadaan steady ketika belum mencapai set point yang diinginkan. Selain itu, hal-hal yang perlu diperhatikan untuk gain adalah nilai gain yang terlalu besar akan mengakibatkan sistem menjadi semakin sensitif dan cenderung tidak stabil. Jika nilai terlalu kecil maka akan menyebabkan offset yang besar. Jadi, pengendali P yang dipasang pada sistem akan mengantisipasi terjadinya error ke depan dan menerapkan aksi pengendalian yang proporsional terhadap perubahan laju error. (Basilio, 2002). 2.8 Kesalahan pada Sistem Kontrol Istilah kesalahan digunakan untuk menjelaskan tingkat degradasi sistem. Menurut (Isermann, 2006), kesalahan didefinisikan sebagai penyimpangan yang tak diinginkan atas paling tidak satu sifat karakteristik atau parameter sistem dari kondisi standar/biasa/ yang dapat diterima. Pada sebuah sistem kontrol, kesalahan dapat terjadi pada aktuator, sensor, dan proses. Kesalahan aktuator berkaitan dengan loss of effectiveness dan bias. Kesalahan sensor dapat disebabkan kalibrasi yang buruk atau bias dan perubahan karakteristik dinamik yang menyebabkan error pada keluaran sensor. Dalam (Noura, Theilliol, Ponsart, & Chamseddine, 2009), kesalahan sensor dan aktuator dibedakan menurut tingkat keparahannya (severity), yaitu kesalahan minor dan kesalahan mayor. Dalam hal ini, tingkat kerusakan diukur dari dampak yang ditimbulkan terhadap performa sistem. Kesalahan minor adalah kesalahan dengan tingkat keparahan yang kecil sehingga sistem 24 masih dapat bekerja dengan performa yang diijinkan. Pada sensor, kesalahan pembacaan akibat perubahan sensitivitas dan adanya bias merupakan bentuk kesalahan minor. Sedangkan pada aktuator, kesalahan minor dapat muncul dalam bentuk loss of effectiveness dan bias. Kesalahan mayor adalah kesalahan yang menyebabkan sistem tidak mungkin dapat mempertahankan performa yang ditetapkan. Berdasarkan lokasi terjadinya kesalahan pada sistem, terdapat tiga jenis kesalahan, yaitu kesalahan aktuator, kesalahan sensor, dan kesalahan sistem. Dalam (Alwi & Edwards, 2011) disebutkan beberapa jenis kesalahan sensor yang biasa ditemukan, yaitu bias (error konstan pada output), freezing, drift (penambahan pada deviasi output), loss of accuracy, dan calibration error. Sedangkan kesalahan aktuator dibagi dalam beberapa kategori, yaitu bias, loss of effectiveness (hilangnya sebagian tekanan hidrolik atau pneumatik), actuator lock, a float failure, dan a hardover actuator failure. Dampak kesalahan pada sistem kontrol telah diinvestigasi oleh (Shaker & Patton, 2012) untuk kasus tracking. Kesalahan sensor menyebabkan kontroler mulai menghasilkan sinyal kontrol berdasarkan pada data pengukuran yang tidak lagi merepresentasikan situasi riil sistem. Sedangkan dampak kesalahan aktuator pada kasus tracking, yaitu kontroler membaca kesalahan aktuator sebagai bentuk ketidakpastian yang sepadan sehingga dalam batas tingkat kesalahan tertentu, kesalahan ini dapat ditoleransi secara pasif oleh kontroler nominal. Selain itu, dampak kesalahan aktuator adalah menimbulkan error tracking kondisi mantap. 2.9 Sistem Active Fault Tolerant Control (AFTC) Peningkatan performansi dan keamanan (safety) sangat dibutuhkan dalam suatu sistem pengendalian. Desain sistem pengendalian umpan balik (feedback control design) yang diperuntukkan bagi sistem yang kompleks dapat menghasilkan kinerja yang kurang stabil apabila terjadi beberapa kerusakan 25 pada aktuator, sensor, ataupun komponen penyusun sistem tersebut. Pada industri proses, manufaktur, dan lainnya sering terjadi beberapa kerusakan pada aktuator, sensor ataupun komponen-komponen yang menyusun sistem tersebut. Untuk mengatasi kerusakan tersebut telah dilakukan penelitian terkait dengan desain sistem pengendalian yang mampu memberikan toleransi terhadap kerusakan yang terjadi dengan tetap menjaga stabilitas sistem yang diinginkan. Fault Tolerant Control (FTC) adalah sebuah sistem pengendalian modern yang mampu mengakomodasi kegagalan secara otomatis untuk memaintenance kestabilan dan kinerja saat terjadi kegagalan (failure). FTC juga merupakan sistem pengendalian yang mampu mentoleransi kesalahan dalam suatu sistem untuk meningkatkan kehandalan dan kinerja yang diinginkan. Sistem pengendalian ini sering disebut dengan Fault Tolerant Control System (FTCS) (Zhang & Jiang, 2008). FTCS dapat diklasifikasikan pada dua tipe, yaitu active fault tolerant control system (AFTCS) dan passive fault tolerant control system (PFTCS) (Zhang & Jiang, 2008). AFTCS bereaksi terhadap kesalahan yang terjadi pada suatu komponen dengan merekonfigurasi aksi pengendali sehingga kestabilan dan kinerja pada sistem dapat dijaga, sedangkan PFCTS didesain untuk menjadi sistem pengendalian yang robust dari kesalahan suatu komponen. Dengan demikian, tujuan utama dari FTCS adalah merancang pengendali dengan struktur yang cocok untuk mencapai kestabilan dan kinerja yang diinginkan. Tidak hanya ketika pengendalian komponen berfungsi secara normal tetapi ketika terjadi kesalahan pada suatu komponen tersebut. Perbedaan sistem AFTC dan PFTC terletak pada perancangan fault detection and identification (FDI), Reconfigurable Control (RC), dan mekanisme Reconfigurable Control (RC) (Zhang & Jiang, 2008). Sehingga kunci utama pada AFTC adalah merancang pengendali yang dapat direkonfigurasi, skema FDI dengan sensitivitas yang tinggi terhadap kesalahan, dan robust terhadap ketidakpastian, serta mekanisme 26 rekonfigurasi yang sebisa mungkin mampu memulihkan performansi sistem setelah terjadi kesalahan walaupun terdapat ketidakpastian dan time delay pada FDI. Secara umum Active Fault Tolerant Control Terdiri atas empat sub sistem (Zhang & Jiang, 2008), yaitu: 1. Reconfigurable Control (RC); 2. Fault Detection and Identification (FDI) Scheme; 3. Mekanisme RC; dan 4. Command Reference Governor Struktur umum dari Active Fault Tolerant Control System (AFTCS) dapat dilihat pada gambar 2.11. Gambar 2.9 Struktur Umum dari Active Fault Tolerant Control System (Zhang & Jiang, 2008) Berdasarkan gambar 2.9 diketahui bahwa reconfigurable control harus dirancang secara otomatis untuk menjaga stabilitas dan performansi yang diinginkan. Selain itu, untuk memastikan bahwa sistem tersebut closed loop maka reconfigurable control harus dirancang secara feedforward. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penurunan performansi setelah terjadinya kesalahan. Selain itu, ditambahkan dengan command governor untuk menyesuaikan aksi pengendali secara online (Indriawati, 2015). Pada intinya, perancangan sistem yang paling penting dalam AFTC terdiri atas dua sub sistem, yaitu fault detection and identification (FDI) dan mekanisme reconfigurable control (RC). 27 FDI berfungsi sebagai pendeteksi jenis kesalahan dan besarnya kesalahan tersebut. Sedangkan mekanisme reconfigurable control (RC) merupakan pengubahan aksi pengendali untuk menghilangkan kesalahan yang terjadi (Indriawati, 2015). 2.9.1. Fault Detection and Identification (FDI) Fault Detection and Identification (FDI) disebut juga dengan Fault Detection and Diagnosis (FDD) merupakan suatu tahapan untuk mendeteksi fault atau kesalahan yang terjadi pada aktuator, sensor, maupun komponen penyusun dalam sistem (Indriawati, 2015). Tujuan dari pendeteksian kesalahan ini agar sinyal pengendali yang baru dapat menyampaikan informasi pada pengendali untuk mentoleransi kesalahan yang terjadi. Dalam Fault Detection and Identification ada tiga hal yang perlu dilakukan, yaitu mendeteksi kesalahan pada sistem serta waktu selang selama terjadinya kesalahan, mengisolasi lokasi kesalahan dan tipe terjadinya kesalahan, serta mengidentifikasi besarnya kesalahan yang terjadi (Ogata, 1997). Oleh karena itu, tahapan FDD juga disebut dengan FDI, yaitu Fault Detection and Identification. Observer merupakan salah satu jenis FDI yang digunakan berdasarkan model matematika (Indriawati, Agustinah, & Jazidie, 2015). 2.9.2 Reconfigurable Control Untuk merancang sistem pengendali yang toleran terhadap kesalahan aktuator dan sensor maka dilakukan konfigurasi ulang sinyal pengendali secara otomatis berdasarkan jenis kesalahan yang terjadi. Konfigurasi ulang sinyal kendali untuk mengatasi kesalahan pada aktuator dan sensor memerlukan proses diagnosis kesalahan (fault diagnosis) untuk mendeteksi dan mengidentifikasi (isolasi) kesalahan yang terjadi (Indriawati, Agustinah, & Jazidie, 2015). 28 Gambar 2.10 Struktur Umum dari Reconfigurable Control (Ogata, 1997) Berdasarkan gambar 2.10 dijelaskan bahwa desain reconfiguration control akan bekerja secara otomatis agar dapat mengakomodasi kesalahan sehingga sistem tetap beroperasi sesuai keinginan. Berdasarkan hal tersebut sejumlah kesalahan yang terjadi dapat diestimasi dan hasil estimasi tersebut digunakan untuk mengatur ulang sinyal kendali. Mekanisme rekonfigurasi dirancang sebisa mungkin mampu memulihkan performansi sistem setelah terjadi kesalahan meskipun terdapat ketidakpastian dan delay time pada fault detection. 2.10 Observer Observer adalah suatu algoritma yang digunakan untuk mengestimasi keadaan (state) dari variabel yang tidak terukur berdasarkan model matematis sistem sehingga observer juga dapat digunakan untuk mengestimasi kesalahan yang terjadi pada suatu sistem jika kesalahan tersebut masuk dalam pemodelan (Zhang & Jiang, 2008) (Indriawati, 2015). Suatu sistem umumnya dimodelkan dalam bentuk state space yang dapat didefinisikan secara umum, seperti persamaan sistem dalam bentuk diskrit ini. ( ( ) ) ( ) ( ) ( ) ( ) (2.14) (2.15) 29 dengan: A = Matriks keadaan (state) B = Matriks input C = Matriks output D = Matriks gangguan ( ) = Masukan proses ( ) = Keluaran proses ( ) = Keadaan (state) Perancangan observer digunakan untuk mengestimasi kesalahan pembacaan sensor dan aktuator pada motor DC. Perancangan dilakukan dengan cara mengembangkan persamaan ruang keadaan dasar observer dengan cara diberi kesalahan pada sensor dan aktuator (Sami & Patton, 2013). Untuk membandingkan hasil maka digunakan dua algoritma observer, yaitu untuk kesalahan sensor dan kesalahan aktuator. Berikut adalah persamaan ruang keadaan dasar observer yang telah terdapat kesalahan aktuator. ( ) ( ) ( ( ) ( ) ) ( ) (2.16) ( ) (2.17) [ ( ) ( ) ( ) ( ) ( )] ( ) (2.18) Berikut adalah persamaan ruang keadaan dasar observer yang telah terdapat kesalahan sensor. ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (2.19) ( ) ( ) (2.20) (2.21) 30 Maka didapatkan persamaan ruang keadaan dasar observer yang telah diberi kesalahan sensor dan aktuator. ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (2.22) ( ) (2.23) Kemudian didefinisikan variabel baru, yaitu variabel ( ). Variabel ( ) digunakan untuk memindahkan kesalahan sensor dari ( ) ke ( ) supaya output yang dihasilkan sudah benar (tidak mengandung kesalahan sensor). ( ) ( ) ( ) [ ( ) [ ( ) [ ( ) ( ) ( ) ( )] ( )] ( ) ( ) ( )] ( ) ( ) ( ( ( ) ( ) ) ( ) ) ( )(2.25) Maka didapatkan matriks persamaan observer yang telah ditambah variabel z seperti berikut. [ ( ( ) ] ) ̅( ) ̅( ) [ ][ ̅ ( ) ̅( ) [ ̅ ̅( ) ][ ( ) ] ( ) ( ) ] ( ) * + ( ) ̅ (̅ ) [ ][ ( ) ] ( ) (2.26) (2.27) Setelah itu, didapatkan matriks persamaan extended state seperti berikut. ̅( ) 31 ̅( [ ̅ ( ) ] ) [ ̅ ̅ ̅( ) ][ ̅ ] ( ) ̅ [ ] ( ) (2.28) ̅ ( ) mengandung komponen ( ) dan ( ) sedangkan ̅( ) mengandung komponen dan . Kemudian didapatkan persamaan berikut ini. ̃( ) ̃ ̃( ) ̃ ( ) (2.29) Kemudian didapatkan persamaan observer yang telah dikembangkan untuk mengestimasi kesalahan oleh observer terhadap hasil pengukuran seperti berikut. ̂̃ ( ) ̃ ̂̃ ( ) ̃ ( ) ̃ ̃̂( ) ( ) ̂̃ ( ) ̃ ̂̃ ( ) ̃ ( ) ̃ ̃̂( ) (̃( ) ̂̃ ( ) ̃ ̂̃ ( ) ̃ ( ) ̃ ̃̂( ) ̂̃ ( ) [ ] ̂̃ ( ) [ ̃( ) (2.30) ) (2.31) ̃ ̂̃ ( )] (2.32) (2.33) dengan: ̂̃ ( ) = Estimasi state ( ) yang telah dikembangkan = Gain observer Setelah itu, ditentukan persamaan untuk adjust kesalahan sensor dan aktuator seperti berikut ini. ̂( ) ̂( ) ̂( ) ( ) ( ) ̂( ) ( ) (2.35) Jadi, didapatkan persamaan akhir observer yang dapat digunakan untuk mengestimasi kesalahan seperti berikut ini. 32 ̂̅ ( *̂ (̅ ) + ) ̂̃ ( ) [ ̅ ̅ ̃ ̃( ) ̅( ) ][ ̅ ] ( ) ̃ ( ) ̅ [ ] ( ) ̃ ( ) [ ] ( ) (2.36) (2.37) ̂̃ [ ̅( ) ][ ̅ ] ( ) (2.38) ̃̂ [ ] ̃( ) (2.39) Berikut adalah diagram blok observer dalam domain diskrit yang ditunjukkan pada gambar 2.11. Gambar 2.11 Observer dalam Domain Diskrit (Franklin, 1998) Gambar 2.11 menunjukkan ketika diperoleh nilai error maka diperlukan suatu gain penguat pengendalian, yaitu 0 33 dengan menggunakan metode pole-placement sehingga sistem memiliki nilai error sekecil mungkin. Untuk menentukan nilai sangat dipengaruhi oleh letak pole, seperti pada gambar 2.11. Untuk sistem dengan domain diskrit, posisi nilai pole berada tidak lebih dari 1 atau -1 pada sumbu imajiner maupun sumbu riil, seperti ditunjukkan gambar 2.12. Jadi, persamaan karakteristik observer menjadi, | | (2.40) dengan menggunakan persamaan karakteristik poles yang telah ditetapkan maka didapatkan ( )( ) ( ) (2.41) dan dengan menyetarakan persamaan (2.40) dan (2.41) maka akan diperoleh nilai . Gambar 2.12 Kestabilan Pole Placement Sistem Diskrit (Franklin, 1998) 34 “Halaman ini sengaja dikosongkan” 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Langkah-langkah dalam pengerjaan ditunjukkan pada diagram alir berikut ini. 35 tugas akhir ini 36 37 Gambar 3.1 Diagram Alir Tugas Akhir 3.1 Perumusan Masalah Permasalahan sering terjadi pada motor DC dan menyebabkan sistem tidak bekerja secara optimal sehingga performansi sistem kurang baik. Permasalahan yang sering terjadi pada motor DC adalah sulitnya pengendalian tracking posisi motor DC serta kegagalan sistem pada motor DC karena terjadi kesalahan pada aktuator dan sensor yang menyebabkan kerugian pada bidang industri, yaitu terhambatanya proses produksi perusahaan yang dapat merugikan perusahaan. Selain itu, kegagalan sistem motor DC pada mobil listrik karena kesalahan aktuator dan sensor juga dapat menimbulkan kecelakaan yang dapat membahayakan pengendara maupun masyarakat sekitar. Dari permasalahan tersebut dilakukan penelitian mengenai sistem kendali yang mampu mengatasi masalah berupa kesalahan pada komponen aktuator dan sensor secara otomatis dan real-time berupa sistem Active Fault Tolerant Control. 3.2 Studi Literatur Penyusunan laporan tugas akhir ini diperlukan konsep dan ide awal untuk pelaksanaannya. Studi literatur dimaksudkan 38 untuk membangun pemahaman awal hingga detail mengenai topik tugas akhir. Oleh karena itu, diperlukan studi literatur yang berhubungan erat dengan pengendalian posisi pada motor DC dan beberapa referensi dari penelitian sebelumnya. Pendalaman materi dilakukan untuk materi motor DC, sistem servo modular MS150 DC, identifikasi sistem motor DC dalam domain diskrit, pemodelan sistem dalam domain diskrit, sistem kendali PID, sistem pengendalian posisi motor DC dengan menggunakan pengendali P dalam domain diskrit, dan perancangan Active Fault Tolerant Control System (observer dan reconfigurable control) domain diskrit. Selain itu, juga mempelajari teori berdasarkan jurnal-jurnal penelitian yang sudah pernah dilakukan dan juga studi teoritis dari handbook dengan tema pengendalian posisi motor DC. Penelitian ini dilakukan secara simulasi dengan perangkat lunak MATLAB R2013a dan secara real plant dengan menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013 maka diperlukan studi pembelajaran tentang pemrograman yang akan digunakan. 3.3 Perancangan (Set-up) Sistem Servo Modular MS150 DC Langkah awal dalam pengendalian posisi pada sistem servo modular MS150 DC, yaitu perancangan sistem sehingga dapat diperoleh model dari sistem. Pada perancangan ini, sistem kendali berada pada komputer/laptop. Sistem kendali berfungsi untuk mengatur sinyal masukan pada motor DC karena kecepatan motor DC dipengaruhi oleh besarnya tegangan masukan yang diberikan. Media pengubah sinyal digital-to-analog berupa DAQ NI-6008. Keluaran sinyal dari DAQ NI-6008 menuju ke servoamplifier. Kemudian servoamplifier mengeluarkan sinyal analog untuk menggerakkan motor DC dengan rentang 0 – 5 volt. Kecepatan motor DC direkam oleh tachogenerator berupa tegangan dan RPM (rotasi per menit) dengan rentang 0 – 2000 RPM yang diubah menjadi tegangan dengan rentang 0 – 5 volt. Keluaran dari tachogenerator dihubungkan ke DAQ NI 6008 sebagai data masukan. Selain data tegangan kecepatan motor DC, data arus dalam bentuk tegangan juga dihubungkan dengan DAQ NI 6008 sebagai data masukan (Setyaningrum, 2012). 39 Hasil pergerakan dari motor DC akan dikopel dengan tachogenerator, dimana di dalam modul tersebut terdapat roda gigi (reduction gear) yang akan mengubah kecepatan tinggi ke kecepatan rendah. Pergerakan pada bagian kecepatan rendah akan dibaca oleh potensiometer yang kemudian dikonversi ke besaran tegangan. Tegangan yang dimaksud adalah tegangan keluaran posisi yang akan diproses dengan perangkat lunak LabVIEW 2013. Data posisi dalam bentuk tegangan juga dihubungkan dengan DAQ NI 6008 sebagai data masukan. Untuk mengambil data posisi pada motor DC maka perlu dirancang sistem seperti gambar 3.2 berikut ini. Gambar 3.2 Diagram Perancangan Sistem Servo Modular MS150 DC 3.4 Identifikasi Sistem Servo Modular MS150 DC Identifikasi sistem servo modular MS150 DC dilakukan dengan langkah–langkah sebagai berikut: 40 3.4.1 Pengambilan Data Sistem Servo Modular MS150 DC Data-data yang dibutuhkan untuk identifikasi sistem atau plant berupa data posisi dalam bentuk tegangan, data kecepatan dalam bentuk tegangan yang dikonversi oleh tachogenerator, dan data arus dalam bentuk tegangan dari servoamplifier. Data diperoleh dengan membuat program pada perangkat lunak LabVIEW 2013 dengan nilai sampling time 1 ms dan dengan memberikan sinyal berupa sinyal reference. Program dihubungkan dengan sistem servo modular MS150 DC yang terdapat di ruang laboratorium instrumentasi dan kontrol Teknik Fisika ITS dengan NI-DAQ 6008. Setelah itu data disimpan dalam bentuk .LVM. Pemilihan sinyal PRBS disebabkan sinyal ini memberikan sinyal dengan rentang amplitudo 0 – 1 secara acak, sehingga baik digunakan untuk mengetahui karakteristik sistem. Pengambilan data kecepatan dan arus servo modular MS150 DC dengan menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013 ditunjukkan pada gambar 3.3 dan 3.4. 41 Gambar 3.3 Pengambilan Data Kecepatan dengan Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 42 Gambar 3.4 Pengambilan Data Arus dengan Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 43 3.4.2 Pemodelan Sistem Setelah data masukan dan keluaran dari plant diperoleh, dilakukan pemilihan model berupa model parametrik. Model parametrik dipilih karena pada teknik ini nilai parameter dari suatu sistem dapat diperoleh secara langsung dan merupakan solusi yang tepat jika terkait dengan sistem riil dan sampai saat ini model parametrik lebih banyak digunakan dalam aplikasi riil. Sebelum dilakukan pemodelan dengan menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013 maka dilakukan studi literatur mengenai bentuk persamaan ruang keadaan (state-space) yang diperlukan untuk posisi motor DC dan bentuk fungsi transfer yang dapat diubah ke dalam bentuk persamaan ruang keadaan untuk posisi motor DC. Selanjutnya model matematik posisi motor DC diperoleh dari sistem servo modular MS150 DC dengan menggunakan bantuan perangkat lunak LabVIEW 2013. Gambar 3.5 Pemodelan dengan Metode Parametrik Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 Setelah dilakukan pemodelan dengan menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013 maka didapatkan fungsi transfer dalam domain z karena sistem merupakan sistem diskrit dengan model orde 1 sebagai berikut. ( ) (3.1) Persamaan fungsi transfer orde 1 motor DC memiliki nilai seperti berikut ini: a. Tegangan kecepatan = ( ) ( ) (3.2) 44 b. Arus = ( ) ( ) (3.3) Setelah diperoleh nilai fungsi transfer untuk kecepatan dan arus motor DC maka nilai fungsi transfer diubah ke dalam bentuk persamaan ruang keadaan (state space) seperti berikut ini. ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (3.4) ( ) (3.5) a. Tegangan Kecepatan ( ) ( ) ( )( (3.6) ) ( ) ( ) ( ) (3.7) ( ) (3.8) Kemudian persamaan (3.8) diinvers Z menjadi persamaan ( ) ( ) ( ) (3.9) b. Arus ( ) ( ) ( )( ) ( ) (3.10) ( ) ( ) (3.11) ( ) (3.12) Kemudian persamaan (3.12) invers Z menjadi persamaan ( ̇ ) ( ) ( ) (3.13) 45 c. Posisi ( ) ( ) ( ) ( )( ( ) ) (3.15) Kemudian persamaan (3.15) diinvers Z menjadi persamaan ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (3.16) ( ) (3.17) Diketahui, = 0,5144 = 0,001 detik Maka didapatkan, ( ) ( ) ( ) (3.18) Dari persamaan (3.9), (3.13), dan (3.18) diperoleh persamaan ruang keadaan untuk sistem posisi servo modular MS150 DC. ( [ ( ( ( ) ) )] ) [ ( ) ] [ ( )] ( ) [ ( ) ] [ ( )] ( ) [ ] ( ) (3.19) 3.4.3 Validasi Validasi diperlukan untuk memastikan model yang telah diperoleh sesuai atau merepresentasikan keadaan sistem secara real time. Validasi pemodelan dari kecepatan, arus, dan posisi 46 motor DC dilakukan untuk memastikan sistem yang dimodelkan sesuai dengan kondisi riil. Validasi dilakukan dengan membandingkan nilai referensi yang masuk ke dalam motor DC dan ke dalam state-space model sistem, yaitu dengan memberikan nilai referensi yang bernilai 0,05 volt ke dalam motor DC dan ke dalam state-space model sistem. Perancangan validasi untuk model kecepatan, arus, dan posisi servo modular MS150 DC dengan perangkat lunak LabVIEW 2013 ditunjukkan pada gambar 3.6. Validasi dilakukan dengan cara membandingkan keluaran dari model sistem dengan sistem secara real sehingga nilai error antara sistem real dengan model sistem diperoleh dengan menggunakan persamaan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) berikut ini. MAPE = ( )∑ | | (3.20) 47 Gambar 3.6 Validasi Posisi, Kecepatan, dan Arus pada Perangkat Lunak LabVIEW 2013 48 3.5 Perancangan Pengendali Proportional (P) Dalam sistem pengendalian posisi motor DC dilakukan perancangan sistem kendali proportional (P) secara simulasi dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a. Kemudian dilakukan pengujian sistem kendali proportional (P) secara real time dengan menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013. Diagram blok sistem pengendalian proportional ditunjukkan oleh gambar 3.7. Set point +- 𝑲𝒑 Servo amplifier Motor DC y(k) Potentiometer Gambar 3.7 Diagram Blok Sistem Pengendalian Proportional Perancangan sistem pengendali P bertujuan untuk mengetahui respon dari sistem jika ditambahkan dengan nilai gain ( ) serta untuk mengetahui kesesuaian kerja sistem secara keseluruhan. Perancangan sistem kendali P juga digunakan untuk mengatur posisi motor DC. Untuk mengetahui sistem pengendali P yang dirancang telah bekerja dengan baik maka dapat dilihat dari respon sistem yang diberi masukan sinyal step. Simulink pengujian sistem pengendali P ditunjukkan pada gambar 3.8 dan program pengujian sistem pengendali P secara real time pada perangkat lunak LabVIEW 2013 ditunjukkan pada gambar 3.9. Gambar 3.8 Diagram Blok Sistem Pengendalian P Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a Setelah dilakukan perancangan pengendali P secara simulasi dengan perangkat lunak MATLAB R2013a maka selanjutnya 49 dilakukan uji pengendali P secara langsung (real) pada modular servo MS150 DC menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013. Nilai untuk sistem real didapatkan secara eksperimental dengan metode Ziegler–Nichols yang didasarkan pada karakteristik respon transien dari sistem maka didapatkan nilai = -20. Sinyal kontrol yang dihasilkan dari pengendali proportional akan diumpankan ke aktuator, yaitu servo amplifier. Sinyal kontrol yang diumpankan ke servo amplifier harus bernilai positif. Selain itu, servo amplifier menggunakan dua input untuk menggerakkan motor DC dalam dua arah putaran, yaitu putaran maju dan mundur. Oleh karena itu, sinyal kontrol yang diumpankan ke servo amplifier harus memenuhi ketentuan bahwa ketika satu input sinyal kontrol bernilai positif maka input sinyal kontrol lainnya bernilai nol sehingga motor DC berputar maju (ke depan). Sedangkan ketika satu input sinyal kontrol bernilai nol maka input sinyal kontrol lainnya bernilai negatif sehingga motor DC berputar mundur (ke belakang). Untuk itu, pada program perancangan sistem AFTC pada pengendalian posisi motor DC dengan menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013, hasil dari keluaran pengendali proportional harus dimodifikasi dengan menggunakan logika sebagai berikut. if (Um>0) Um1=Um; else Um1=0; if (Um>0) Um2=0; else Um2= -Um; dimana Um adalah sinyal kontrol yang diumpankan ke servo amplifier. Sinyal kontrol U perlu dibulatkan satu angka di belakang koma agar sinyal kontrol keluaran pengendali proportional lebih stabil dan sinyal kontrol yang diumpankan ke servo amplifier memenuhi ketentuan dari logika yang telah dibuat. 50 Gambar 3.9 Pengendali Proportional untuk Pengendalian Posisi Motor DC Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 51 3.6 Kesalahan Pada Sensor dan Aktuator Motor DC Dalam (Noura, Theilliol, Ponsart, & Chamseddine, 2009), kesalahan sensor dan aktuator dibedakan menurut tingkat keparahannya (severity), yaitu kesalahan minor dan kesalahan mayor. Dalam hal ini, tingkat kerusakan diukur dari dampak yang ditimbulkan terhadap performa sistem. Kesalahan minor adalah kesalahan dengan tingkat keparahan yang kecil sehingga sistem masih dapat bekerja dengan performa yang diijinkan. Pada sensor, kesalahan pembacaan akibat perubahan sensitivitas dan adanya kesalahan bias merupakan bentuk kesalahan minor. Sedangkan pada aktuator, kesalahan minor dapat muncul dalam bentuk loss of effectiveness dan bias. Kesalahan mayor adalah kesalahan yang menyebabkan sistem tidak mungkin dapat mempertahankan performa yang ditetapkan. Berdasarkan lokasi terjadinya kesalahan pada sistem, terdapat tiga jenis kesalahan, yaitu kesalahan aktuator, kesalahan sensor, dan kesalahan sistem. Dalam (Alwi & Edwards, 2011) disebutkan beberapa jenis kesalahan sensor yang biasa ditemukan, yaitu bias (error konstan pada output), freezing, drift (penambahan pada deviasi output), loss of accuracy, dan calibration error. Sedangkan kesalahan aktuator dibagi dalam beberapa kategori, yaitu bias, loss of effectiveness (hilangnya sebagian tekanan hidrolik atau pneumatik), actuator lock, a float failure, dan a hardover actuator failure. Dampak kesalahan pada sistem kontrol telah diinvestigasi oleh (Shaker & Patton, 2012) untuk kasus tracking. Kesalahan sensor menyebabkan kontroler menghasilkan sinyal kontrol berdasarkan pada data pengukuran yang tidak lagi merepresentasikan situasi riil sistem. Sedangkan dampak kesalahan aktuator pada kasus tracking, yaitu kontroler membaca kesalahan aktuator sebagai bentuk ketidakpastian yang sepadan sehingga dalam batas tingkat kesalahan tertentu, kesalahan ini dapat ditoleransi secara pasif oleh kontroler nominal. Selain itu, dampak kesalahan aktuator adalah menimbulkan error tracking kondisi mantap. 52 Dalam tugas akhir ini, kesalahan yang diberikan ke sensor dan aktuator hanya berupa kesalahan bias sebesar 40%, 60%, dan 80% dari sinyal pengukuran dan sinyal kontrol sehingga dapat diketahui dampak dari pemberian kesalahan bias terhadap performansi sistem pengendalian posisi motor DC. Selain itu, dapat diketahui pula batas toleransi kesalahan bias maksimum yang dapat diakomodasi dan ditolerir oleh sistem AFTC. Berikut adalah diagram blok kesalahan bias pada aktuator dan sensor. 𝑓𝑎 Set point +- 𝑲𝒑 u(k) Servo amplifier Motor DC y(k) Potentiometer 𝑓𝑠 Gambar 3.10 Diagram Blok Sistem Motor DC dengan Kesalahan Sensor dan Aktuator 3.7 Perancangan Sistem Active Fault Tolerant Control (AFTC) Perancangan sistem Active Fault Tolerant Control (AFTC) terdiri dari dua tahapan, yaitu perancangan observer untuk kesalahan aktuator, perancangan estimator untuk kesalahan sensor, dan perancangan reconfigurable control. 3.7.1 Perancangan Observer Untuk Kesalahan Aktuator Perancangan observer dilakukan untuk mengestimasi kesalahan aktuator yang terjadi dengan cara mencari nilai matriks sistem terlebih dahulu. Nilai matriks tersebut didapatkan dengan cara mengubah persamaan fungsi transfer menjadi persamaan ruang keadaan (state space) seperti berikut. 53 ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (3.21) ( ) (3.22) Dari persamaan (3.19) maka didapatkan nilai matriks dari persamaan ruang keadaan seperti berikut. [ ] [ ] [ (3.23) (3.24) ] (3.25) [ ] (3.26) Dengan adanya kesalahan pada aktuator maka persamaan ruang keadaan pada persamaan (3.21) dan (3.22) menjadi persamaan (3.27) dan (3.28). ( ( ) ) ( ) ( ) ( ) ( ) (3.27) (3.28) Kemudian ditambahkan variabel baru ( ) yang bertujuan untuk memindahkan kesalahan dari keluaran ( ) ke state ( ) supaya output yang dihasilkan sudah benar atau tidak mengandung kesalahan. 54 ( ) ( ) [ ( ) ( )] ( ) Kemudian persamaan (3.29) dimasukkan ke persamaan (3.28) menjadi ( [ ( ) ) [ ( )] ( ) ( )] ( ) ( ) diketahui nilai ( ( ) ( ) ( ) ( ) ( ( ) ) ( ) (3.30) ) = 0, maka ( ) (3.31) Sehingga dari persamaan (3.27) dan (3.30) diubah ke dalam bentuk persamaan ruang keadaan menjadi, ( ( ) ] ) ̅( ) [ [ [ ][ ][ ( ) ] ( ) ( ) ] ( ) * + ( ) * +[ ( ) ] ( ) (3.32) Dengan nilai: Az = 1.000 dan = 0,001. Kemudian dari persamaan (3.32) diubah ke dalam persamaan yang lebih sederhana menjadi ̅( ̅( ) ) ̅ ̅ ̅( ) ̅( ) ̅ ̅( ) ̅ (̅ ) (3.33) (3.34) 55 Dengan demikian diketahui nilai matriks extended state seperti berikut ini. ̅ (3.35) [ ] ̅ (3.36) [ ] ̅ (3.37) [ ̅ ] [ ] (3.38) Setelah matriks persamaan ruang keadaan dengan kesalahan aktuator didapatkan maka matriks digunakan untuk merancang observer sebagai fault estimate atau elemen yang mengestimasi kesalahan yang terjadi dengan persamaan sebagai berikut. ̂̃ ( ̂̃ ( ) ) ̃ ̂̃ ( ) ̃ ̂̃ ( ) ̃ ( ) ̃ ̂̃ ( ) [ ̃( ) ̃ ̂̃ ( )] (3.39) (3.40) 56 Kemudian ditambahkan gain untuk adjust kesalahan aktuator seperti berikut ini. ̂( ) ̂( ) ̂( ) ( ) ( ) ( ) ̂( ) (3.42) Sehingga dari persamaan (3.39) dan (3.42) diubah ke dalam bentuk persamaan keadaan menjadi ̂̅ ( *̂ ̅( ) + ) ̂̃ ( ) ̅ [ ̅ ̅( ) ][ ̅ ] ( ) ̅ [ ] ( ) [ ] ( ) (3.43) ̅( ) ][ ̅ ] ( ) [ (3.44) Dari persamaan (3.43) dan (3.44) dapat diubah ke dalam bentuk yang lebih sederhana seperti berikut. ̂̃ ( ̃̂( ) ) ̃ ̃( ) ̃ ̃̂( ) ̃ ( ) ̃ [ ̃( ) ̂̃ ( )] (3.45) (3.46) Dengan demikian diketahui nilai matriks observer seperti berikut ini. ̃ [ ̃ [ ] ] (3.47) (3.48) 57 ̃ [ ] (3.49) Dengan demikian observer sebagai estimator kesalahan akan memiliki keluaran hasil pembacaan kesalahan aktuator. Selanjutnya persamaan (3.49), (3.50), dan (3.51) dibuat dalam program simulink di perangkat lunak MATLAB R2013a untuk dilakukan simulasi. Blok diagram dari program observer dalam simulink di perangkat lunak MATLAB R2013a ditunjukkan pada gambar 3.11 berikut ini. Gambar 3.11 Diagram Blok Observer Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a Diketahui pada persamaan observer, yaitu persamaan (3.47) terdapat nilai gain observer (̃ ) sehingga sistem memiliki error sekecil mungkin. Untuk mendapatkan nilai gain observer ( ̃ ) atau Ktild digunakan metode pole-placement. Syarat untuk mendapatkan nilai pole-placement yang baik terdapat pada subbab 2.9. Nilai pole ditentukan dengan metode trial-and-error. Dengan berdasarkan ilmu kestabilan berdasarkan letak pole diketahui bahwa sebuah sistem diskrit didefinisikan stabil jika seluruh akar-akar karakteristik bagian riil atau imajiner bernilai tidak lebih dari 1 atau -1. Sehingga dengan metode trial-anderror diperoleh nilai pole sebesar 0.9;0.91;0.93;0.95. 58 Selanjutnya nilai matriks gain observer didapatkan dengan menggunakan program perangkat lunak MATLAB R2013a dengan command sebagai berikut. p1 = 0.9; p2 = 0.91; p3 = 0.93; p4 = 0.95; Ktild = place(Atild',Ctild',1*[p1 p2 p3 p4]) K = Ktild(:,1:n) L = Ktild(:,n+1:n+fa) Sehingga diperoleh nilai matriks gain observer (̃ ) sebagai berikut. ̃ [ ] (3.50) Persamaan observer jika digambarkan dalam diagram blok dapat dilihat pada gambar 3.12 yang dikelilingi oleh garis putusputus berwarna biru dengan nilai matriks observer, yaitu A, B, C, dan . Pada blok observer diganti dengan nilai matriks ̃ , ̃, ̃ , dan ̃ atau matriks-matriks yang digunakan untuk mengestimasi kesalahan pada aktuator. 59 Gambar 3.12 Diagram Blok Observer Setelah dilakukan perancangan observer menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a maka selanjutnya dilakukan penerapan observer secara real time dengan menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013 pada sistem modular servo MS150 DC yang ditunjukkan gambar 3.13. 60 Gambar 3.53 Observer dan Estimator Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 61 3.7.2 Perancangan Estimator Untuk Kesalahan Sensor Dalam tugas akhir ini, kesalahan sensor dalam pengendalian posisi servo modular MS150 DC diestimasi di luar observer. Hal ini disebabkan karena hasil pengukuran arus motor DC tidak tepat sehingga tidak dapat digunakan untuk mengestimasi kesalahan sensor. Oleh karena itu, untuk mengestimasi kesalahan sensor digunakan hasil pengurangan antara sistem real dengan model persamaan posisi sistem yang diturunkan dari hasil pengukuran kecepatan motor DC. Model persamaan posisi sistem didapatkan dari integral terhadap hasil pengukuran kecepatan motor DC dalam domain diskrit. Persamaan model untuk posisi motor DC dapat dituliskan sebagai berikut. ̂( ) ( ) ( ̂( )( ) ( ) ) (3.52) Kemudian persamaan (3.52) diinvers Z sehingga menjadi ̂( ) ̂( ) ̂( ) ( ) ̂( ) ( ( ) ) (3.54) dengan: ̂( ) = Estimasi persamaan model posisi sistem motor DC ̂( ) = Persamaan model posisi sistem motor DC saat ini = Gain untuk adjust posisi sistem motor DC = Sampling time ( ) = Nilai pengukuran kecepatan motor DC Jadi, persamaan (3.54) merupakan estimasi persamaan model posisi motor DC maka persamaan tersebut digunakan 62 untuk membuat program MATLAB R2013a pada gambar 3.11 serta digunakan untuk membuat program LabVIEW 2013 pada gambar 3.13. Nilai pengukuran kecepatan motor DC atau ( ) yang digunakan untuk mengestimasi persamaan model posisi sistem motor DC memiliki ketentuan bahwa ( ) bernilai nol jika hasil pengukuran kecepatan aktual lebih kecil dari 0,015 volt karena hasil pengukuran kecepatan aktual yang lebih kecil dari 0,015 volt dianggap sebagai noise. Jadi, ketika motor DC berhenti berputar maka nilai pengukuran kecepatan motor DC atau ( ) bernilai nol sehingga hasil integral dapat konstan di nilai tertentu. Hasil integral yang konstan tersebut merupakan estimasi persamaan model posisi sistem motor DC. Untuk mendapatkan estimasi persamaan model posisi sistem motor DC yang sesuai dengan ketentuan nilai pengukuran kecepatan motor DC atau ( ) maka perlu dibuat logika menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013 seperti berikut. if (abs(wm) > 0.015) w=abs(wm); else w=0; dimana wm adalah hasil pengukuran kecepatan aktual motor DC. Untuk mengestimasi nilai kesalahan sensor digunakan hasil pengurangan antara nilai pengukuran posisi secara real dengan model persamaan posisi sistem motor DC yang diturunkan dari hasil pengukuran kecepatan motor DC dan dapat dituliskan sebagai berikut. ̂( | ) dengan: ̂( | ) ( ) ̂( ) ( ) ̂( ) (3.55) = nilai estimasi kesalahan sensor = nilai pengukuran posisi sistem real = estimasi persamaan model posisi motor DC 63 3.7.3 Perancangan Reconfigurable Controller Pengaturan ulang sistem kendali dengan metode kompensasi digunakan untuk mengakomodasi kesalahan sehingga sistem tetap dapat beroperasi dengan stabil atau sesuai setpoint ketika terjadi kesalahan. Diagram blok reconfigurable control dapat dilihat pada gambar 3.14. Yc Gambar 3.14 Diagram Blok Sistem Reconfigurable Control Untuk kompensasi kesalahan pada sensor menggunakan persamaan berikut ini. ( ) dengan: ( ) ( ) ̂( | ( ) ) ̂( | ) (3.56) = nilai yang diumpankan ke kontroller = nilai pengukuran langsung = nilai estimasi kesalahan sensor Untuk kompensasi kesalahan pada aktuator menggunakan persamaan berikut ini. ( ) ( ) ̂( | ) (3.57) 64 dengan: (k) (k) ̂( | ) = nilai kontrol yang diumpankan ke aktuator = nilai dari kontroller = nilai estimasi kesalahan aktuator Berdasarkan persamaan (3.53) dan (3.54) maka perancangan skema blok reconfigurable control pada perangkat lunak MATLAB R2013a ditunjukkan pada gambar 3.15. Untuk mengetahui kinerja dari reconfigurable control maka sistem diuji menggunakan sinyal pulse dengan nilai set point sama, yaitu 0,05 Volt. Gambar 3.65 Diagram Blok Sistem Reconfigurable Control Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a Setelah dilakukan perancangan secara simulasi dengan menggunakan bantuan perangkat lunak MATLAB R2013a maka langkah selanjutnya adalah penerapan langsung reconfigurable control pada sistem servo modular MS150 DC dengan menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013, seperti ditunjukkan gambar 3.16. 65 Gambar 3.76 Reconfigurable Control Sistem AFTC pada Perangkat Lunak LabVIEW 2013 66 3.8 Uji Performansi Sistem Uji performansi sistem dilakukan untuk menguji pengendali proportional (P) dan algoritma AFTC yang telah dibuat dapat berjalan sesuai dengan fungsinya. 3.8.1 Uji Performansi Pengendali Proportional (P) Pengujian pengendali P dilakukan dengan cara melihat respon sistem yang dihasilkan. Respon sistem harus tracking sesuai set point yang diberikan dan memenuhi kriteria maximum overshoot ( ), settling time ( ), dan error steady state (ess). 3.8.2 Uji Performansi AFTC dengan Kesalahan Secara Simulasi Pengujian algoritma AFTC dilakukan dengan memberikan kesalahan pada sensor dan aktuator. Kesalahan yang diberikan berupa kesalahan bias. Kesalahan bias dihasilkan secara simulasi dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a sehingga pada sensor posisi (potentiometer) dan aktuator (servo amplifier) terjadi kesalahan. Kesalahan bias yang diberikan pada sensor posisi dan servo amplifier diatur sebesar 40%, 60%, dan 80% dari sinyal pengukuran dan sinyal kendali. Setelah itu, respon sistem yang mengandung kesalahan dianalisa nilai maximum overshoot ( ), settling time ( ), dan error steady state (ess). Kemudian sistem reconfigurable control (kompensasi) diaktifkan sehingga respon sistem dapat kembali mencapai set point dan dianalisa nilai maximum overshoot ( ), settling time ( ), dan error steady state (ess). Dari kedua respon sistem tersebut kemudian ditentukan mana yang lebih baik antara sistem dengan AFTC dibandingkan sistem tanpa AFTC. 3.8.3 Uji Performansi AFTC dengan Kesalahan Secara Real Time Setelah itu, dilakukan pengujian algoritma AFTC dengan memberi kesalahan pada sensor dan aktuator secara real time (langsung). Kesalahan yang diberikan berupa kesalahan bias. Kesalahan bias dihasilkan secara real (langsung) menggunakan 67 perangkat lunak LabVIEW 2013 sehingga pada sensor posisi (potentiometer) dan aktuator (servo amplifier) terjadi kesalahan. Kesalahan bias yang diberikan pada sensor posisi dan servo amplifier diatur sebesar 40%, 60%, dan 80% dari sinyal pengukuran dan sinyal kendali. Setelah itu, respon sistem yang mengandung kesalahan dianalisa nilai maximum overshoot ( ), settling time ( ), dan error steady state (ess). Kemudian sistem reconfigurable control (kompensasi) diaktifkan sehingga respon sistem dapat kembali mencapai set point dan dianalisa nilai maximum overshoot ( ), settling time ( ), dan error steady state (ess). Dari kedua respon sistem tersebut kemudian ditentukan mana yang lebih baik antara sistem dengan AFTC dibandingkan sistem tanpa AFTC. 3.9 Kesimpulan dan Saran Dari pengambilan data berupa nilai kecepatan rotasi dan posisi motor DC dalam bentuk tegangan maka didapatkan fungsi alih dan persamaan ruang keadaan dari kecepatan rotasi dan posisi motor DC. Kemudian dilakukan perancangan sistem kendali posisi otomatis pada motor DC dengan menggunakan pengendali P. Untuk mengestimasi kesalahan yang terjadi pada sensor dan aktuator serta mengakomodasi kegagalan secara otomatis untuk mempertahankan kestabilan dan kinerja saat terjadi kegagalan (failure) maka dilakukan perancangan Active Fault Tolerant Control dan observer. Setelah itu dilakukan pengujian performansi sistem sehingga akan didapatkan suatu kesimpulan yang menjadi parameter ketercapaian tujuan dari tugas akhir ini yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan laporan tugas akhir sesuai dengan buku panduan tugas akhir yang telah disediakan. 68 “Halaman ini sengaja dikosongkan” 69 BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Tahap perancangan yang telah dilakukan berupa pengambilan data posisi, kecepatan, dan arus motor DC dalam bentuk tegangan (V). Kemudian dengan menggunakan sistem identifikasi parametrik diperoleh fungsi alih dari posisi, kecepatan, dan arus motor DC. Ketiga fungsi alih tersebut perlu dilakukan validasi dengan memberikan sinyal masukan. Validasi dilakukan dengan membandingkan grafik keluaran model motor DC dan grafik keluaran motor DC secara langsung (real) dengan memberikan masukan sebesar 0,05 volt. Data validasi kecepatan, arus, dan posisi motor DC dapat dilihat di lampiran B. Untuk mengkonversi data tegangan menjadi kecepatan rotasi (rad/ms) maka digunakan persamaan (4.1). Kecepatan rotasi = Tegangan kecepatan (V) x 365 (4.1) Pada gambar 4.1 merupakan grafik validasi kecepatan motor DC. 20,0 Kecepatan Rotasi (rad/ms) 18,0 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 Real Model 4,0 2,0 0,0 1 201 401 601 801 1001 1201 1401 1601 1801 Waktu (ms) Gambar 4.1 Respon Sistem Validasi Kecepatan Dalam Bentuk Kecepatan Sudut 69 70 Pada gambar 4.2 merupakan grafik validasi arus motor DC. 1,2 Real Model 1 Arus Servo (V) 0,8 0,6 0,4 0,2 0 1 201 401 601 801 1001 1201 1401 1601 1801 2001 Waktu (ms) -0,2 Gambar 4.2 Respon Sistem Validasi Arus Dalam Bentuk Tegangan Pada gambar 4.3 merupakan grafik validasi posisi motor DC. 0,06 Posisi Servo (V) 0,05 0,04 0,03 0,02 Real Model 0,01 0 1 201 401 601 801 1001 1201 1401 1601 1801 Waktu (ms) Gambar 4.3 Respon Sistem Validasi Posisi Dalam Bentuk Tegangan 71 Dari ketiga grafik validasi pada gambar 4.1, 4.2, dan 4.3 maka diperoleh nilai error antara model sistem dengan sistem secara langsung (real) dengan menggunakan persamaan 3.21. ∑ ∑ ∑ | | | | | | Dari hasil error tersebut dapat disimpulkan bahwa model sistem kecepatan, arus, dan posisi valid atau sesuai bila dibandingkan dengan sistem real yang digunakan karena error model sistem masih di bawah 5%. 4.2 Sistem Kendali Proportional (P) Tahapan penentuan nilai gain pengendali telah dilakukan berupa persamaan dalam bentuk state-space dengan bantuan perangkat lunak MATLAB R2013a. Respon sistem pengendali posisi motor DC yang telah dipasang pengendali P dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a ditunjukkan pada gambar 4.4. 72 Gambar 4.4 Respon Sistem Perancangan Pengendali P Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a Berdasarkan respon sistem simulasi pengendalian posisi motor DC dengan perangkat lunak MATLAB R2013a yang telah diberi gain pengendali dan dipasang nilai set point sebesar 0,05 volt maka didapatkan karakteristik respon sistem sebagai berikut. Maximum overshoot/undershoot : 10,36% Error steady state : 0,196% Settling time : 0,23 detik Untuk melihat respon sistem pengendalian posisi motor DC secara langsung (real time) maka gain pengendali ( ) diterapkan pada perangkat lunak LabVIEW 2013. Nilai gain pengendali ( ) yang didapat secara eksperimental adalah = -20. Grafik respon sistem posisi motor DC dengan menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013 setelah diberi nilai serta set point 0,05 volt ditunjukkan pada gambar 4.5 berikut ini. 73 0,06 Posisi Servo (V) 0,05 0,04 0,03 0,02 Real Model 0,01 0 1 201 401 601 801 1001 1201 1401 1601 1801 Waktu (ms) Gambar 4.5 Respon Sistem Real Penerapan Pengendali P Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 Berdasarkan respon sistem real pengendalian posisi motor DC dengan perangkat lunak LabVIEW 2013 yang telah diberi gain pengendali dan dipasang nilai set point sebesar 0,05 volt maka didapatkan karakteristik respon sistem sebagai berikut. Maximum overshoot : 0,097% Error steady-state : 0,121% Settling time : 0,069 detik 4.3 . Uji Performansi AFTC Uji performansi dilakukan untuk mengetahui algoritma active fault tolerant control (AFTC) yang telah dibuat dapat berkerja dengan baik atau tidak jika diberikan kesalahan. Pengujian dilakukan dengan memberikan kesalahan pada aktuator dan sensor berupa kesalahan bias. Uji performansi dilakukan secara simulasi dengan menggunakan bantuan perangkat lunak MATLAB R2013a dan kemudian uji performansi dilakukan secara langsung (real) pada motor DC dengan menggunakan bantuan perangkat lunak LabVIEW 2013. 74 Kesalahan bias merupakan penyimpangan nilai sinyal kendali dari nilai sinyal kendali seharusnya. Bias dalam pengukuran juga bisa disebut dengan nilai error sistematik. Error sistematik mendeskripsikan error pada pembacaan output sistem pengukuran yang secara konsisten (error steady state) pada satu sisi pembacaan yang benar, yaitu seluruh error adalah positif atau seluruh error adalah negatif (Ardhiantama, 2016). Kesalahan bias yang diberikan sebesar 40%, 60%, dan 80% dari sinyal kendali. Uji performansi pada perangkat lunak MATLAB R2013a dilakukan untuk mengetahui algoritma AFTC yang dirancang sudah dapat melakukan reconfigurable control sebelum dilakukan implementasi algoritma AFTC secara langsung ke sistem menggunakan bantuan perangkat lunak LabVIEW 2013. 4.3.1 Uji Kesalahan Bias 40% pada Aktuator dan Sensor Respon sistem hasil simulasi AFTC dengan kesalahan bias 40% pada aktuator dan sensor menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a ditunjukkan gambar 4.6 berikut ini. Gambar 4.6 Respon Sistem Hasil Simulasi AFTC dengan 75 Kesalahan Bias 40% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a Berikut adalah karakteristik respon sistem hasil simulasi AFTC dengan kesalahan bias 40% menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a yang ditunjukkan pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Karakteristik Respon Sistem Simulasi AFTC dengan Kesalahan Bias 40%Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a Karakteristik Kesalahan Kesalahan Sistem Sensor Aktuator Dengan Tanpa Dengan Tanpa AFTC AFTC AFTC AFTC Maximum 0% 0% 0,299% 0,83% Overshoot Maximum 0,09% 10,71% 0% 0% Undershoot Error Steady 0,055% 66,44% 0,16% 65,563% State Settling Time 0,52 0,31 detik detik Kemudian dilakukan implementasi algoritma AFTC secara langsung ke sistem servo modular MS150 DC dengan kesalahan 40% menggunakan bantuan perangkat lunak LabVIEW 2013 dan didapatkan hasil seperti gambar 4.7 berikut ini. 76 Gambar 4.7 Respon Sistem Hasil Real AFTC dengan Kesalahan Bias 40% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 Berikut adalah karakteristik respon sistem hasil real AFTC dengan kesalahan bias 40% menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013 yang ditunjukkan pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Karakteristik Respon Sistem Real AFTC dengan Kesalahan Bias 40% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 Karakteristik Kesalahan Kesalahan Sistem Sensor Aktuator Dengan Tanpa Dengan Tanpa AFTC AFTC AFTC AFTC Maximum 0% 0,162% 0% 0,134% Overshoot Maximum 0,13% 0% 0,128% 0% Undershoot Error Steady 0,21% 59,65% 0,21% 5,031% State Settling Time 0,16 0,042 detik detik 77 Pada gambar 4.6 dan tabel 4.1 merupakan hasil dari simulasi AFTC dengan kesalahan bias 40% dari sinyal kendali menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a, yang menunjukkan bahwa dengan pemberian kesalahan bias pada sensor sebesar 0,02 di detik ke-7 dan kesalahan bias pada aktuator sebesar 0,002 di detik ke-12 maka dapat disimpulkan bahwa algoritma AFTC mampu mengatasi kesalahan tersebut sehingga respon sistem dapat kembali ke set point. Nilai maximum undershoot untuk kesalahan sensor dengan AFTC sebesar 0,09% dan sistem tanpa AFTC menghasilkan maximum undershoot 10,71% sedangkan maximum overshoot untuk kesalahan aktuator dengan AFTC sebesar 0,299% dan tanpa AFTC sebesar 0,83%. Error steady state pada kesalahan sensor dengan AFTC sebesar 0,055% dan tanpa AFTC sebesar 66,44% sedangkan error steady state pada kesalahan aktuator dengan AFTC sebesar 0,16% dan tanpa AFTC sebesar 65,563%. Untuk settling time pada kesalahan sensor dengan AFTC sebesar 0,52 detik dan tanpa AFTC sebesar (tak terhingga) sedangkan settling time pada kesalahan aktuator dengan AFTC sebesar 0,31 detik dan tanpa AFTC sebesar (tak terhingga). Kemudian algoritma AFTC tersebut diterapkan secara langsung pada motor DC dengan menggunakan bantuan perangkat lunak LabVIEW 2013 dengan memberi kesalahan bias pada sensor dan aktuator sebesar 40%. Kesalahan sensor diberikan dari detik ke-3.997 milidetik hingga detik ke-7.980 milidetik. Namun, sistem AFTC mulai diaktifkan dari detik ke5.998 milidetik hingga detik ke-7.980 milidetik. Sedangkan kesalahan aktuator diberikan dari detik ke-7.981 milidetik hingga detik ke-11.505 milidetik. Namun, sistem AFTC mulai diaktifkan dari detik ke-9.000 milidetik hingga detik ke-11.505 milidetik. Dari hasil respon sistem pada gambar 4.7 dan tabel 4.2 maka dapat disimpulkan bahwa sistem dengan algoritma AFTC mampu mengatasi kesalahan bias pada aktuator dan sensor lebih baik daripada sistem tanpa algoritma AFTC. Respon sistem dengan algoritma AFTC dapat kembali ke nilai set point ketika diberi kesalahan aktuator dan sensor serta memiliki nilai error steady 78 state sebesar 0,21% untuk kesalahan bias pada aktuator dan 0,21% untuk kesalahan bias pada sensor. Sedangkan respon sistem tanpa algoritma AFTC tidak dapat kembali ke nilai set point saat diberi kesalahan bias dengan nilai error steady state sebesar 5,031% untuk kesalahan bias aktuator dan 59,65% untuk kesalahan bias pada sensor. Respon sistem dengan algoritma AFTC dapat kembali menuju set point karena adanya reconfigurable control yang bekerja untuk mengakomodasi kesalahan. Selain itu, penggunaan algoritma AFTC juga menghasilkan nilai maximum overshoot yang lebih kecil. Kesalahan bias pada aktuator dengan sistem AFTC menghasilkan maximum undershoot 0,128% dan kesalahan bias pada sensor dengan AFTC menghasilkan maximum undershoot 0,13%. Sedangkan sistem tanpa menggunakan algoritma AFTC menghasilkan nilai maximum overshoot 0,134% untuk kesalahan bias aktuator dan 0,162% untuk kesalahan bias sensor. Settling time sistem dengan algoritma AFTC sebesar 0,042 detik untuk kesalahan bias aktuator dan 0,16 detik untuk kesalahan bias sensor sedangkan sistem tanpa menggunakan algoritma AFTC memiliki nilai settling time sebesar (tak terhingga) untuk kesalahan bias aktuator dan (tak terhingga) untuk kesalahan bias sensor. Jadi, settling time sistem dengan AFTC lebih cepat dibandingkan sistem tanpa AFTC. Berdasarkan hasil simulasi dan sistem real dapat diketahui bahwa untuk kesalahan aktuator dan sensor diperlukan algoritma AFTC untuk mengatasi kesalahan yang terjadi sehingga respon sistem dapat kembali ke nilai set point sedangkan tanpa menggunakan algoritma AFTC maka respon tidak dapat kembali ke nilai set point. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa kesalahan aktuator dan sensor tidak dapat diperbaiki tanpa algoritma AFTC atau tidak dapat diperbaiki dengan pengendali konvensional. Nilai maximum overshoot/undershoot dari sistem yang menggunakan algoritma AFTC lebih kecil daripada tanpa algoritma AFTC untuk kesalahan sensor dan kesalahan aktuator. Error steady state dari sistem yang menggunakan algoritma AFTC juga lebih kecil daripada sistem tanpa AFTC. Selain itu, 79 dapat diketahui bahwa nilai settling time sistem dengan menggunakan algoritma AFTC lebih cepat daripada sistem tanpa menggunakan algoritma AFTC. Hal tersebut terjadi dikarenakan sistem tanpa algoritma AFTC tidak bisa mencapai nilai set point sehingga settling time dari sistem tanpa AFTC sebesar (tak terhingga). 4.3.2 Uji Kesalahan Bias 60% pada Aktuator dan Sensor Respon sistem hasil simulasi AFTC dengan kesalahan bias 60% pada aktuator dan sensor menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a ditunjukkan gambar 4.8 berikut ini. Gambar 4.8 Respon Sistem Hasil Simulasi AFTC dengan Kesalahan Bias 60% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a 80 Berikut adalah karakteristik respon sistem hasil simulasi AFTC dengan kesalahan bias 60% menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a yang ditunjukkan pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Karakteristik Respon Sistem Simulasi AFTC dengan Kesalahan Bias 60% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a Karakteristik Kesalahan Kesalahan Sistem Sensor Aktuator Dengan Tanpa Dengan Tanpa AFTC AFTC AFTC AFTC Maximum 0% 0% 0,34% 1,48% Overshoot Maximum 0,215% 10,98% 0% 0% Undershoot Error Steady 0,22% 298% 0,3% 146,91% State Settling Time 0,427 0,33 detik detik Kemudian dilakukan implementasi algoritma AFTC secara langsung ke sistem servo modular MS150 DC dengan kesalahan 60% menggunakan bantuan perangkat lunak LabVIEW 2013 dan didapatkan hasil seperti gambar 4.9 berikut ini. 81 Gambar 4.9 Respon Sistem Hasil Real AFTC dengan Kesalahan Bias 60% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 Berikut adalah karakteristik respon sistem hasil real AFTC dengan kesalahan bias 60% menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013 yang ditunjukkan pada tabel 4.4. Tabel 4.4 Karakteristik Respon Sistem Real AFTC dengan Kesalahan Bias 60% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 Karakteristik Kesalahan Kesalahan Sistem Sensor Aktuator Dengan Tanpa Dengan Tanpa AFTC AFTC AFTC AFTC Maximum 0% 0,122% 0% 0,158% Overshoot Maximum 0,111% 0% 0,153% 0% Undershoot Error Steady 0,01% 136,64% 0,05% 5,59% State 82 Karakteristik Sistem Settling Time Kesalahan Sensor Dengan Tanpa AFTC AFTC 0,116 detik Kesalahan Aktuator Dengan Tanpa AFTC AFTC 0,148 detik Pada gambar 4.8 dan tabel 4.3 merupakan hasil dari simulasi AFTC dengan kesalahan bias 60% dari sinyal kendali menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a, yang menunjukkan bahwa dengan pemberian kesalahan bias pada sensor sebesar 0,03 di detik ke-7 dan kesalahan bias pada aktuator sebesar 0,003 di detik ke-12 maka dapat disimpulkan bahwa algoritma AFTC mampu mengatasi kesalahan tersebut sehingga respon sistem dapat kembali ke set point. Nilai maximum undershoot untuk kesalahan sensor dengan AFTC sebesar 0,215% dan sistem tanpa AFTC menghasilkan maximum undershoot 10,98% sedangkan maximum overshoot untuk kesalahan aktuator dengan AFTC sebesar 0,34% dan tanpa AFTC sebesar 1,48%. Error steady state pada kesalahan sensor dengan AFTC sebesar 0,22% dan tanpa AFTC sebesar 298% sedangkan error steady state pada kesalahan aktuator dengan AFTC sebesar 0,3% dan tanpa AFTC sebesar 146,91%. Untuk settling time pada kesalahan sensor dengan AFTC sebesar 0,427 detik dan tanpa AFTC sebesar (tak terhingga) sedangkan settling time pada kesalahan aktuator dengan AFTC sebesar 0,33 detik dan tanpa AFTC sebesar (tak terhingga). Kemudian algoritma AFTC tersebut diterapkan secara langsung pada motor DC dengan menggunakan bantuan perangkat lunak LabVIEW 2013 dengan memberi kesalahan bias pada sensor dan aktuator sebesar 60%. Kesalahan sensor diberikan dari detik ke-3.080 milidetik hingga detik ke-9.012 milidetik. Namun, sistem AFTC mulai diaktifkan dari detik ke5.006 milidetik hingga detik ke-9.012 milidetik. Sedangkan kesalahan aktuator diberikan dari detik ke-9.013 milidetik hingga detik ke-11.200 milidetik. Namun, sistem AFTC mulai diaktifkan 83 dari detik ke-9.999 milidetik hingga detik ke-11.200 milidetik. Dari hasil respon sistem pada gambar 4.9 dan tabel 4.4 maka dapat disimpulkan bahwa sistem dengan algoritma AFTC mampu mengatasi kesalahan bias pada aktuator dan sensor lebih baik daripada sistem tanpa algoritma AFTC. Respon sistem dengan algoritma AFTC dapat kembali ke nilai set point ketika diberi kesalahan aktuator dan sensor serta memiliki nilai error steady state sebesar 0,05% untuk kesalahan bias pada aktuator dan 0,01% untuk kesalahan bias pada sensor. Sedangkan respon sistem tanpa algoritma AFTC tidak dapat kembali ke nilai set point saat diberi kesalahan bias dengan nilai error steady state sebesar 5,59% untuk kesalahan bias aktuator dan 136,64% untuk kesalahan bias pada sensor. Respon sistem dengan algoritma AFTC dapat kembali menuju set point karena adanya reconfigurable control yang bekerja untuk mengakomodasi kesalahan. Selain itu, penggunaan algoritma AFTC juga menghasilkan nilai maximum overshoot yang lebih kecil. Kesalahan bias pada aktuator dengan sistem AFTC menghasilkan maximum undershoot 0,153% dan kesalahan bias pada sensor dengan AFTC menghasilkan maximum undershoot 0,111%. Sedangkan sistem tanpa menggunakan algoritma AFTC menghasilkan nilai maximum overshoot 0,158% untuk kesalahan bias aktuator dan 0,122% untuk kesalahan bias sensor. Settling time sistem dengan algoritma AFTC sebesar 0,148 detik untuk kesalahan bias aktuator dan 0,116 detik untuk kesalahan bias sensor sedangkan sistem tanpa menggunakan algoritma AFTC memiliki nilai settling time sebesar (tak terhingga) untuk kesalahan bias aktuator dan sebesar (tak terhingga) untuk kesalahan bias sensor. Jadi, settling time sistem dengan AFTC lebih cepat dibandingkan sistem tanpa AFTC. Berdasarkan hasil simulasi dan sistem real dapat diketahui bahwa untuk kesalahan aktuator dan sensor diperlukan algoritma AFTC untuk mengatasi kesalahan yang terjadi sehingga respon sistem dapat kembali ke nilai set point sedangkan tanpa menggunakan algoritma AFTC maka respon tidak dapat kembali ke nilai set point. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa 84 kesalahan aktuator dan sensor tidak dapat diperbaiki tanpa algoritma AFTC atau tidak dapat diperbaiki dengan pengendali konvensional. Nilai maximum overshoot/undershoot dari sistem yang menggunakan algoritma AFTC lebih kecil daripada tanpa algoritma AFTC untuk kesalahan sensor dan kesalahan aktuator. Error steady state dari sistem yang menggunakan algoritma AFTC juga lebih kecil daripada sistem tanpa AFTC. Selain itu, dapat diketahui bahwa nilai settling time sistem dengan menggunakan algoritma AFTC lebih cepat daripada sistem tanpa menggunakan algoritma AFTC. Hal tersebut terjadi dikarenakan sistem tanpa algoritma AFTC tidak bisa mencapai nilai set point sehingga settling time dari sistem tanpa AFTC sebesar (tak terhingga). 4.3.3 Uji Kesalahan Bias 80% pada Aktuator dan Sensor Respon sistem hasil simulasi AFTC dengan kesalahan bias 80% pada aktuator dan sensor menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a ditunjukkan gambar 4.10 berikut ini. 85 Gambar 4.10 Respon Sistem Hasil Simulasi AFTC dengan Kesalahan Bias 80% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a Berikut adalah karakteristik respon sistem hasil simulasi AFTC dengan kesalahan bias 80% menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a yang ditunjukkan pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Karakteristik Respon Sistem Simulasi AFTC dengan Kesalahan Bias 80% Menggunakan Perangkat Lunak MATLAB R2013a Karakteristik Kesalahan Kesalahan Sistem Sensor Aktuator Dengan Tanpa Dengan Tanpa AFTC AFTC AFTC AFTC Maximum 0% 0% 0,48% 4,58% Overshoot Maximum 0,36% 10,51% 0% 0% Undershoot 86 Karakteristik Sistem Error Steady State Settling Time Kesalahan Sensor Dengan Tanpa AFTC AFTC 0,25% 397% 0,23 detik Kesalahan Aktuator Dengan Tanpa AFTC AFTC 0,4% 380,77% 0,29 detik Kemudian dilakukan implementasi algoritma AFTC secara langsung ke sistem servo modular MS150 DC dengan kesalahan 80% menggunakan bantuan perangkat lunak LabVIEW 2013 dan didapatkan hasil seperti gambar 4.11 berikut ini. Gambar 4.11 Respon Sistem Hasil Real AFTC dengan Kesalahan Bias 80% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 87 Berikut adalah karakteristik respon sistem hasil real AFTC dengan kesalahan bias 80% menggunakan perangkat lunak LabVIEW 2013 yang ditunjukkan pada tabel 4.6. Tabel 4.6 Karakteristik Respon Sistem Real AFTC dengan Kesalahan Bias 80% Menggunakan Perangkat Lunak LabVIEW 2013 Karakteristik Kesalahan Kesalahan Sistem Sensor Aktuator Dengan Tanpa Dengan Tanpa AFTC AFTC AFTC AFTC Maximum 0% 0% 0% 0% Overshoot Maximum 0,106% 0,141% 0,07% 0,132% Undershoot Error Steady 5,921% 357,08% 5,697% 7,285% State Settling Time 0,244 0,082 detik detik Pada gambar 4.10 dan tabel 4.5 merupakan hasil dari simulasi AFTC dengan kesalahan bias 80% dari sinyal kendali menggunakan perangkat lunak MATLAB R2013a, yang menunjukkan bahwa dengan pemberian kesalahan bias pada sensor sebesar 0,04 di detik ke-7 dan kesalahan bias pada aktuator sebesar 0,004 di detik ke-12 maka dapat disimpulkan bahwa algoritma AFTC mampu mengatasi kesalahan tersebut sehingga respon sistem dapat kembali ke set point. Nilai maximum undershoot untuk kesalahan sensor dengan AFTC sebesar 0,36% dan sistem tanpa AFTC menghasilkan maximum undershoot 10,51% sedangkan maximum overshoot untuk kesalahan aktuator dengan AFTC sebesar 0,48% dan tanpa AFTC sebesar 4,58%. Error steady state pada kesalahan sensor dengan AFTC sebesar 0,25% dan tanpa AFTC sebesar 397% sedangkan error steady state pada kesalahan aktuator dengan AFTC sebesar 0,4% dan tanpa AFTC sebesar 380,77%. Untuk settling time pada kesalahan sensor dengan AFTC sebesar 0,23 detik dan sistem tanpa AFTC 88 sebesar (tak terhingga) sedangkan settling time pada kesalahan aktuator dengan AFTC sebesar 0,29 detik dan tanpa AFTC sebesar (tak terhingga). Kemudian algoritma AFTC tersebut diterapkan secara langsung pada motor DC dengan menggunakan bantuan perangkat lunak LabVIEW 2013 dengan memberi kesalahan bias pada sensor dan aktuator sebesar 80%. Kesalahan sensor diberikan dari detik ke-2.902 milidetik hingga detik ke-8.949 milidetik. Namun, sistem AFTC mulai diaktifkan dari detik ke5.858 milidetik hingga detik ke-8.949 milidetik. Sedangkan kesalahan aktuator diberikan dari detik ke-8.950 milidetik hingga detik ke-11.916 milidetik. Namun, sistem AFTC mulai diaktifkan dari detik ke-10.500 milidetik hingga detik ke-11.916 milidetik. Dari hasil respon sistem pada gambar 4.11 dan tabel 4.6 maka dapat disimpulkan bahwa sistem dengan algoritma AFTC mampu mengatasi kesalahan bias pada aktuator dan sensor lebih baik daripada sistem tanpa algoritma AFTC. Respon sistem dengan algoritma AFTC dapat kembali ke nilai set point ketika diberi kesalahan aktuator dan sensor serta memiliki nilai error steady state sebesar 5,697% untuk kesalahan bias pada aktuator dan 5,921% untuk kesalahan bias pada sensor. Sedangkan respon sistem tanpa algoritma AFTC tidak dapat kembali ke nilai set point saat diberi kesalahan bias dengan nilai error steady state sebesar 7,285% untuk kesalahan bias aktuator dan 357,08% untuk kesalahan bias pada sensor. Respon sistem dengan algoritma AFTC dapat kembali menuju set point karena adanya reconfigurable control yang bekerja untuk mengakomodasi kesalahan. Selain itu, penggunaan algoritma AFTC juga menghasilkan nilai maximum overshoot yang lebih kecil. Kesalahan bias pada aktuator dengan sistem AFTC menghasilkan maximum undershoot 0,07% dan kesalahan bias pada sensor dengan AFTC menghasilkan maximum undershoot 0,106%. Sedangkan sistem tanpa menggunakan algoritma AFTC menghasilkan nilai maximum undershoot 0,132% untuk kesalahan bias aktuator dan 0,141% untuk kesalahan bias sensor. Settling time sistem dengan algoritma AFTC sebesar 0,082 detik untuk 89 kesalahan bias aktuator dan 0,244 detik untuk kesalahan bias sensor sedangkan sistem tanpa menggunakan algoritma AFTC memiliki nilai settling time sebesar (tak terhingga) untuk kesalahan bias aktuator dan sebesar (tak terhingga) untuk kesalahan bias sensor. Jadi, settling time sistem dengan AFTC lebih cepat dibandingkan sistem tanpa AFTC. Berdasarkan hasil simulasi dan sistem real dapat diketahui bahwa untuk kesalahan aktuator dan sensor diperlukan algoritma AFTC untuk mengatasi kesalahan yang terjadi sehingga respon sistem dapat kembali ke nilai set point sedangkan tanpa menggunakan algoritma AFTC maka respon tidak dapat kembali ke nilai set point. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa kesalahan aktuator dan sensor tidak dapat diperbaiki tanpa algoritma AFTC atau tidak dapat diperbaiki dengan pengendali konvensional. Nilai maximum overshoot/undershoot dari sistem yang menggunakan algoritma AFTC lebih kecil daripada tanpa algoritma AFTC untuk kesalahan sensor dan kesalahan aktuator. Error steady state dari sistem yang menggunakan algoritma AFTC juga lebih kecil daripada sistem tanpa AFTC. Selain itu, dapat diketahui bahwa nilai settling time sistem dengan menggunakan algoritma AFTC lebih cepat daripada sistem tanpa menggunakan algoritma AFTC. Hal tersebut terjadi dikarenakan sistem tanpa algoritma AFTC tidak bisa mencapai nilai set point sehingga settling time dari sistem tanpa AFTC sebesar (tak terhingga). Berdasarkan hasil pengujian sistem AFTC dengan kesalahan bias 80% untuk pengendalian posisi servo modular MS150 DC baik secara simulasi dan secara real time maka dapat diketahui bahwa sistem AFTC memiliki batas toleransi kesalahan bias maksimum sebesar 80% karena error steady state dari sistem dengan AFTC mencapai lebih dari 5%. 90 “Halaman ini sengaja dikosongkan” 91 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian tugas akhir ini tentang perancangan sistem Active Fault Tolerant Control (AFTC) pada pengendalian posisi sistem servo modular MS150 DC dengan kesalahan pada aktuator dan sensor. Kesimpulan dari penelitian tugas akhir ini sebagai berikut. a. Motor pada servo modular MS150 DC dapat mengikuti (tracking) posisi yang telah ditentukan set point secara realtime. Nilai gain kendali proportional ( ) yang sesuai dengan pengendalian posisi sistem servo modular MS150 DC secara real-time, yaitu sebesar -20. Berdasarkan hasil respon sistem secara simulasi dan sistem real dengan nilai gain kendali tersebut maka diperoleh nilai maximum overshoot < 25%, settling time < 1 detik, dan error steady state < 5% untuk set point posisi sebesar 0,05 Volt. Jadi, nilai maximum overshoot sistem tidak melebihi standar ISA yang telah ditentukan, yaitu maximum overshoot < 25%. Selain itu, nilai error steady state sistem memenuhi standar yang ditentukan, yaitu error steady state < 5%. b. Berdasarkan hasil pengujian sistem servo modular MS150 DC yang telah dipasang algoritma Active Fault Tolerant Control System (AFTCS) dengan memberi kesalahan bias pada aktuator dan sensor posisi sebesar 40%, 60%, dan 80% dari sinyal pengukuran dan sinyal kendali baik secara simulasi ataupun secara langsung (real time) maka dapat disimpulkan bahwa algoritma AFTC mampu mengestimasi dan mengakomodasi kesalahan sehingga respon sistem dapat kembali ke set point. Namun, algoritma AFTC memiliki batas toleransi kesalahan bias maksimum, yaitu kesalahan bias sebesar 80% karena nilai error steady state sistem dengan AFTC telah mencapai lebih dari 5%. Jadi, pengendalian posisi servo modular MS150 DC memerlukan algoritma AFTC untuk mengatasi kesalahan aktuator dan sensor yang terjadi sehingga respon sistem dapat kembali ke nilai set point sedangkan tanpa 91 92 menggunakan algoritma AFTC maka respon tidak dapat kembali ke nilai set point. Oleh karena itu, kesalahan aktuator dan sensor tidak dapat diperbaiki tanpa algoritma AFTC atau tidak dapat diperbaiki dengan pengendali konvensional. Nilai maximum overshoot/undershoot dari sistem yang menggunakan algoritma AFTC lebih kecil daripada tanpa algoritma AFTC untuk kesalahan sensor dan kesalahan aktuator. Error steady state dari sistem yang menggunakan algoritma AFTC juga lebih kecil daripada sistem tanpa AFTC. Selain itu, dapat diketahui bahwa nilai settling time sistem dengan menggunakan algoritma AFTC lebih cepat daripada sistem tanpa menggunakan algoritma AFTC. Hal tersebut terjadi dikarenakan sistem tanpa algoritma AFTC tidak bisa mencapai nilai set point sehingga settling time dari sistem tanpa AFTC sebesar (tak terhingga). 5.2 Saran Penulis memberikan saran untuk pengembangan penelitian lebih lanjut sebagai berikut: a. Dapat menambahkan variasi torque load pada pengendalian posisi servo modular MS150 DC sehingga hasil akan lebih mendekati kondisi sebenarnya. b. Untuk menyempurnakan sistem pengendalian dapat menggunakan gabungan pengendali PID dengan pengendali lain, misalnya dengan pengendali fuzzy. DAFTAR PUSTAKA Alwi, H., & Edwards, C. (2011). Fault Detection and FaultTolerant Control using Sliding Modes. New York: Springer-Verlag. Ardhiantama, A. (2016). Perancangan Active Fault Tolerant Control Pada Sistem Pengendalian Temperatur Fuel Gas Superheat Burner PT PETROKIMIA GRESIK Dengan Kesalahan Pada Sensor Temperatur. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Basilio, J. C. (2002). Design of PI and PID Controlers With Transient Performance Specification. IEEE Transactions On Education, Vol. 45, No.4. Burridge, M. J., & Qu, Z. (2003). An improved nonlinear control design for series DC motors. Computers and Electrical Engineering, vol. 29, 730-735. Campos-Delgado. (2008). Fault-tolerant control in variable speed drives: a survey. IET Electrical Power Application, vol. 2 (no. 2), 121-134. Chen, B. M. (2013, October 21). EE3304: Digital Control Systems (Part 2). Dipetik April 17, 2017, dari The National University of Singapore: http://vlab.ee.nus.edu.sg/~bmchen Franklin, G. (1998). Digital Control of Dynamic Systems 3rd Edition. New Jersey: Addison Wesley. Hartono, N. B. (2008). PENGATURAN POSISI MOTOR SERVO DC DENGAN METODE P, PI, DAN PID . POMITS vol. 1, 1-9. Indriawati, K. (2015). Robust Fuzzy Observer-Based Fault Tolerant Tracking Control for Nonlinear Systems with Simultaneous Actuator and Sensor Faults: Application to a DC Series Motor Speed Drive. 93 94 International Review of Automatic Control (I.RE.A.CO.), Vol. 8, N. 6, 375-385. Indriawati, K., Agustinah, T., & Jazidie, A. (2015). Robust observer-based fault tolerant tracking control for linear systems with simultaneous actuator and sensor faults: Application to a DC motor system. International Review on Modelling and Simulations (IREMOS), 8 (4), 410-417. Institut Teknologi Bandung. (2014). System Identification. Bandung: Ganesha. Isermann, R. (2006). Fault-diagnosis systems: An Introduction form Fault Detection to Fault Tolerance. New York: Springer-Verlag. Koksal, M. (2007). Position Control of a Permanent Magnet DC Motor by Model Reference Adaptive Control . IEEE, 112-117. Maulana, N. (2015). PENERAPAN ROBUST-PID PADA PENGENDALIAN KECEPATAN MS 150 DC MOTORSERVO SYSTEM . POMITS vol.2, 1-7. Mehta, S., & Chiasson, J. (1998). Nonlinear control of a series DC motor: theory and experiment. IEEE Transactions on Industrial Electronics, vol. 45 (no. 1), 134 - 141. Noura, H., Theilliol, D., Ponsart, J. C., & Chamseddine, A. (2009). Fault-tolerant Control Systems: Design and Practical Applications. London: Springer-Verlag. Ogata, K. (1997). Modern Control Engineering 3rd ed. London: Prentice Hall International. Olalla, R. S. (2008). Labview System Identification Toolkit. New Jersey: Prentice Hall. Sami, M., & Patton, R. J. (2013). Active Fault Tolerant Control for Nonlinear Systems with Simultaneous Actuator and Sensor Faults. International Journal of 95 Control, Automation, and Systems, vol. 11 (no. 6), 1149-1161. Setyaningrum, D. (2012). Desain dan Implementasi Model Reference Adaptive Control untuk Pengaturan Tracking Optimal Posisi Motor DC. JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, 1-6. Shaker, M., & Patton, R. J. (2012). A Multiple Model Approach to Fault Tolerant Tracking Control for Nonlinear Systems. 20th Mediterranean Conference on Control and Automation (MED). Barcelona. Wai, P. A. (2007). Analysis on Modeling and Simulink of DC motor and its Driving System Used for WheeledMobile Robot. IEEE, 25-33. Zhang, Y., & Jiang, J. (2008). Bibliographical Review on Reconfigurable Fault-Tolerant Control Systems. Annual Reviews in Control vol 32 (no.2), 229-252. 95 96 “Halaman ini sengaja dikosongkan” LAMPIRAN A SUBSYSTEM SIMULINK MATLAB R2013a A. Sistem Pengendalian Proportional (P) B. Observer C. Reconfigurable Control “Halaman ini sengaja dikosongkan” LAMPIRAN B PROGRAM PADA LABVIEW 2013 A. Pengambilan Data Identifikasi Kecepatan B. Pengambilan Data Identifikasi Arus C. Pemodelan dengan Metode Parametrik D. Validasi Posisi, Kecepatan, dan Arus E. Perancangan Pengendali Proportional (P) F. Observer G. Reconfigurable Control “Halaman ini sengaja dikosongkan” BIODATA PENULIS Nama penulis Ivan Taufik Akbar Pradhana. Penulis dilahirkan di Surabaya, tanggal 11 Mei 1995 dari ayah adalah H. Achmad Soeharno, S.H. dan ibu adalah Hj. Diyah Purwatiningsih, S.E. Saat ini penulis tinggal di jalan Karang Empat 9 No. 21, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Penulis telah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Rangkah VII/169 Surabaya hingga tahun 2007, pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Surabaya hingga tahun 2010, pendidikan menengah atas di SMAN 2 Surabaya hingga tahun 2013, dan sedang menempuh pendidikan S1 Teknik Fisika FTI di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya hingga sekarang. Selama perkuliahan di Teknik Fisika ITS, penulis pernah mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya staff departemen eksternal Himpunan Mahasiswa Teknik Fisika ITS tahun 2014-2015, anggota Society of Petroleun Engineer, dan anggota mobil listrik nasional Zelena ITS. Penulis juga pernah meraih medali perak bidang karsa cipta dalam lomba Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-28 tahun 2015. Pada bulan Juli 2017, penulis telah menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul Perancangan Sistem Active Fault Tolerant Control (AFTC) pada Pengendalian Posisi Sistem Servo Modular MS150 DC dengan Kesalahan pada Aktuator Dan Sensor. Bagi pembaca yang memiliki saran, kritik, atau ingin berdiskusi lebih lanjut mengenai tugas akhir ini maka dapat menghubungi penulis melalui email: [email protected].