BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini akan menjelaskan terkait penyelenggaraan good governance dalam pengelolaan CSR di Kota Cilegon melalui forum multi-stakeholder. Penelitian ini difokuskan pada aspek transparansi dan akuntabilitas lembaga Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR) sebagai forum multistakeholder. Baik dari sisi pengelolaan CSR, maupun dari fungsi kordinasi terhadap pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan CSR di Kota Cilegon. Lembaga CCSR yang berdiri sejak tahun 2011 ini memiliki beberapa perbedaan dengan forum multi-stakeholder lain, hal ini dapat dilihat melalui kepemilikan dua rekening yang dibedakan peruntukan dan fungsinya, dan model kerja partisipatif yang turut melibatkan masyarakat, perusahaan, dan Pemkot dalam pengelolaan CSR di Kota Cilegon. Lembaga CCSR bahkan pernah diundang oleh Kementrian Sosial RI untuk menjelaskan tata kerja lembaga dan dijadikan sebagai model kemitraan di beberapa daerah di Indonesia. (www.bantenposnews.com 2013) Namun di sisi lain, hal tersebut bertolak belakang dengan diseminasi informasi lembaga CCSR yang cenderung tertutup. Bahkan lembaga ini tidak menyediakan akses informasi yang terbuka dalam proses penyelenggaraan CSR integratif terhadap publik. Dengan kata lain, lembaga CCSR belum dapat dikatakan sepenuhnya akuntabel dan transparan dalam pengelolaan CSR di Kota Cilegon. Maka dari itu, penting untuk melihat dan menganalisa sejauh mana derajat transparansi maupun akuntabilitas lembaga CCSR sebagai lembaga publik dalam pengelolaan CSR di Kota Cilegon. Dengan adanya tulisan ini, diharapkan dapat memberikan rekomendasi perubahan yang membangun terhadap aspek transparansi dan akuntabilitas lembaga CCSR kedepannya. Sehingga penyelenggaraan pengelolaan CSR 1 melalui forum multi-stakeholder ini benar-benar menghasilkan program CSR yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di Kota Cilegon. Serupa dengan penelitian ini, penulis menyajikan dua literature review yang juga meneliti terkait forum multi-stakeholder. Penelitian pertama, merupakan karya yang ditulis oleh Dini Suryani dalam tulisan skripsinya dengan judul “THE POLITIC OF CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY : (Studi Tentang Peran Forum Multistakeholder CSR dalam Melakukan Kontrol Terhadap CSR sebagai Co-production dalam Penyediaan Public Goods di Kabupaten Kutai Timur)”. Tulisan ini menggambarkan kontestasi kepentingan para pemangku kepentingan (pemerintah, perusahaan, dan masyarakat) dalam rangka penyediaan public goods di Kutai Kalimantan Timur. Penelitian ini menemukan adanya peran dominan salah satu perusahaan anggota MSH-CSR disebabkan karna ketergantungan MSH-CSR terhadap biaya operasional forum. Selain itu penelitian ini menemukan masih banyaknya praktek rente ataupun pihak-pihak yang mencari keuntungan dalam penerapan program CSR di Kutai Kalimantan Timur. Penelitian kedua dilakukan oleh Rahmatullah dalam thesisnya dengan judul “Kemitraan antara Pemerintah Kota Cilegon dengan Perusahaan di Wilayah Kota Cilegon dalam Melaksanakan Program Corporate Social Responsibility melalui Lembaga Cilegon Corporate Social Responsibility”. Thesis ini secara garis besar menggambarkan hubungan kemitraan yang terjalin antar tiga aktor, yaitu perusahaan, Pemkot Cilegon dan masyarakat. Penelitian ini menyimpulkan rendahnya jumlah perusahaan yang berpartisipasi dalam forum, landasan hukum lembaga CCSR yang cenderung lemah, dan keterlibatan masyarakat yang cenderung pasif dalam tahapan pelaksanaan program CSR. Berbeda dengan penelitian di atas, penulis mencoba untuk melihat aspek transparansi dan akuntabilitas lembaga CCSR sebagai forum multi-stakeholder. Penulis memiliki anggapan dasar bahwa kapasitas lembaga CCSR sebagai forum multi-stakeholder cenderung lemah, sehingga berimplikasi terhadap akuntabilitas dan transparansi lembaga CCSR terhadap publik. Sehingga 2 penting untuk menganalisa sejauh mana kapasitas lembaga CCSR dalam menyelenggarakan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Seperti yang kita ketahui, dinamika aktor-aktor yang terlibat dalam lingkup Governance terkait isu mengenai pembangunan masyarakat, menjadi isu hangat pada beberapa tahun terakhir. Tidak jarang beberapa daerah di Indonesia mendirikan forum maupun lembaga independen sebagai mitra kerja pemerintah dan perusahaan dalam menerapkan program-program pembangunan masyarakat yang integratif. Diantaranya penerapan program tanggung jawab sosial perusahaan/Corporate Social Responsibility (disingkat CSR) melalui forum multi-stakeholder. Pemerintah Indonesia sendiri dalam menaggapi isu CSR melalui UU nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, memberikan mandat terhadap seluruh perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaanya, terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar perusahaan. Melalui kebijakan ini, Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tidak lagi dipandang sebagai sebuah program voluntary, namun telah menjadi sebuah program mandatory yang wajib dijalankan oleh sebuah perusahaan. Tuntutan kontribusi nyata perusahaan dalam pembangunan masyarakat inilah yang memerlukan adanya kontrol pemerintah sebagai pembuat kebijakan maupun masyarakat sebagai sasaran kegiatan CSR. UU nomor 40 tahun 2007 di atas juga turut memberikan pengaruh pada konsep penerapan CSR sebagai sebuah bentuk sinergi antar pemangku kepentingan (negara, swasta, masyarakat) yang terlibat dalam penerapan CSR, sehingga seluruh pengelolaan program CSR tidak lain mencakup seluruh kepentingan stakeholder. Menanggapi isu terkait kontribusi perusahaan dalam pembangunan masyarakat di Kota Cilegon, maupun sebagai partner perusahaan dan partner pemerintah daerah Kota Cilegon. Lembaga independen CCSR (Cilegon Corporate Social Responsibility) hadir sebagai forum pemangku kepentingan dalam tata kelola CSR di Kota Cilegon yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 3 tahun 2011. 3 CCSR merupakan lembaga independen non pemerintah yang mensinkronisasikan dan mengintegrasikan program dan kegiatan CSR perusahaan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Cilegon. Maksud pendirian CCSR adalah sebagai mitra pemerintah dan dunia usaha dalam rangka penerapan CSR dari perusahaanperusahaan yang terdapat di Kota Cilegon. Perannya sebagai lembaga independen non-pemerintah memungkinkan lembaga ini menjadi “wadah” bertemunya pemerintah, masyarakat, maupun perusahaan dalam merumuskan kepentingannya masing-masing melalui program CSR, dan juga sebagai lembaga pengelola dana CSR perusahaan. Kedepannya, kontribusi perusahaan yang diharapkan mampu membantu pemerintah dalam proyek pembangunan maupun kesejahteraan masyarakat daerah tidak lagi hanya terdistribusi pada daerah ring 1 perusahaan saja, namun secara merata diterapkan keseluruh daerah di Kota Cilegon. Kota Cilegon sendiri dikenal dengan label “Kota Baja”, yang menjadikan kota ini sebagi basis vital ekonomi daerah karena keberadaan BUMN penghasil baja, yaitu PT Krakatau Steel. Sebagai perusahaan terbesar di Kota Cilegon, Krakatau Steel sering mendapatkan berbagai penghargaan, diantaranya penghargaan sebagai pemenang untuk kategori Industri Strategis dalam ajang Metro TV Economic Challenges Award 2012. (krakatausteel.com). Pengelolaan limbah yang baik dan keberhasilan program CSR bina lingkungan dan program kemitraan (PKBL) menjadi salah satu faktor penting peneliti memilih perusahaan ini sebagai salah satu objek penelitian. Selain capaian perusahaan ini dalam praktek penerapan CSR kemanusiaan dan beberapa kegiatan lingkungan, dari beberapa penelitian sebelumnya, perusahaan ini juga merupakan perusahaaan yang paling aktif dalam penerapan program CSR melalui Lembaga CCSR (Cilegon Corporate Social Responsibility). Di Kota Cilegon sendiri, terhitung memiliki kurang lebih sebanyak 170 perusahaan, mulai dari skala kecil hingga besar. Namun demikian, tidak semua perusahaan bergabung sebagai anggota CCSR, bahkan berdasarkan beberapa narasumber, tidak sedikit perusahaan yang program CSR-nya cenderung tidak 4 berjalan. Sehingga, dengan hadirnya lembaga CCSR di Kota Cilegon, diharapkan kedepannya seluruh perusahaan mau bergabung dan mengintegrasikan program CSR-nya sejalan dengan program Pemkot Cilegon. Lembaga CCSR sendiri memiliki beberapa model kerja yang cenderung partisipatif, dengan penerapan tiga model kerja utama yang melibatkan tiga pemangku kepentingan, yaitu Pemkot Cilegon, Perusahaan, dan Masyarakat Kota Cilegon. Selain itu, CCSR memiliki dua rekening pendukung kinerja lembaga, diantaranya rekening operasional dan rekening program CSR. Hal ini yang pada praktiknya menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi perusahaan untuk bergabung dalam forum ini. Dikarenakan perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan diluar dari biaya program CSR. Meskipun dalam segi normatif lembaga CCSR memiliki beberapa kelebihan, namun dari segi praktis lembaga CCSR cenderung mengesampingkan aspirasi maupun peran aktif publik. Berdasarkan beberapa narasumber pun menyampaikan kinerja lembaga yang cenderung tertutup dan tidak transparan terhadap publik. Hal ini yang juga memengaruhi tersebarnya spekulasi-spekulasi negatif terhadap lembaga CCSR di masyarakat Kota Cilegon. Forum multi-stakeholder dalam pengelolaan CSR sebagaimana bentuk dan namanya, selayaknya menyelenggarakan pengelolaan CSR berdasarkan aspirasi dari masing-masing pemangku kepentingan. Sehingga sifat kesetaraan dan kesejajaran yang juga menjadi pondasi dasar good governance benar-benar tercipta. Bukan hanya sekedar menerapkan check and balances saja, namun juga turut menyelenggarakan program CSR yang sesuai dan tepat sasaran. Untuk itu, konsep good governance dianggap mampu dalam menggambarkan dan menganalisa kinerja forum multi-stakeholder dalam penyelenggaraan pengelolaan CSR yang akuntabel dan transparan. Penelitian dengan tema Good Governance dalam pengelolaa CSR melalui Forum Multi-stakeholder ini mencoba untuk menganalisa sejauh mana kapasitas lembaga CCSR sebagai forum multi-stakeholder dalam perspektif good governance. Berdasarkan penelitian sebelumnya, forum multi-stakeholder 5 telah banyak diteliti dan dianalisa melalui berbagi aspek dan perspektif. Untuk itu, penelitian ini akan lebih difokuskan pada aspek transparansi dan akuntabilitas lembaga CCSR dalam rangka perwujudan good governance dalam pengelolaan CSR. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan diatas, pertanyaan besar penelitian ini adalah: “Bagaimana kapasitas lembaga Cilegon Corporate Social Responsibiilty (CCSR) dalam menyelenggarakan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan CSR di Kota Cilegon?” 1.3 Tujuan Penelitian 1. Menganalisa kapasitas lembaga CCSR dalam penyelenggaraan pengelolaan CSR yang transparan terhadap publik di Kota Cilegon. 2. Menganalisa sejauh mana derajat akuntabilitas lembaga CCSR sebagai forum multi-stakeholder. 3. Menganalisa urgensi lembaga CCSR sebagai forum multi-stakeholder dalam tata kelola CSR di Kota Cilegon. 1.4 Kerangka Teori Konsep mengenai tanggung jawab sosial perusahaan sudah sejak lama diperdebatkan dalam dimensi politik, peran maupun keikutsertaan pemangku kepentingan menjadi kunci utama dalam melihat dinamika politik yang berkembang pada penerapan tanggung jawab sosial perusahaan. Peran penting pemangku kepentingan dalam tanggung jawab sosial perusahaan pada akhirnya memengaruhi tata kelola CSR, dimana pengelolaan tanggung jawab sosial tidak lagi hanya diemban oleh aktor tunggal perusahaan, namun lebih melibatkan pemangku kepentingan lain- diantaranya pemerintah daerah maupun masyarakat. Konsep good governance dengan berbagai prinsip dalam penyelenggaraan CSR, menawarkan beberapa aspek yang harus dipenuhi oleh sebuah lembaga 6 publik, dalam hal ini lembaga CCSR. Diantaranya akuntabilitas dan transparansi yang secara fundamental menyediakan sarana bagi keikutsertaan publik yang lebih partisipatif melalui aspek keterbukaan dan kesetaraan dalam pengelolaan CSR. Paragraf di bawah akan menjelaskan toeri mengenai forum multistakeholder dalam pengelolaan CSR, dimulai dengan penjelasan mengenai konsep CSR dan urgensi keikutsertaan stakeholder melalui forum multistakeholder. Dilanjutkan dengan penjelasan teori good governance dari aspek akuntabilitas dan transparansi dalam melihat kapasitas lembaga CCSR sebagai forum multi-stakeholder. 1.4.1 Forum Multi-stakeholder dalam Pengelolaan CSR Terdapat beberapa pengertian mengenai CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan, diantaranya yang dikemukakan oleh Suharto, mengenai program CSR yang berkesinambungan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan. CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk membangun sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. (Suharto 2006). Sama halnya dengan penjelasan CSR menurut (Carrol 1979) dalam tulisannya, yang merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dari sebuah korporasi, yaitu tanggung jawab filantropis terhadap lingkungan maupun masyarakat sekitar perusahaan. Berhubungan dengan aktor-aktor yang terlibat dalam penerapan program CSR, pengertian lain mengenai CSR juga diungkapkan Tsoutsoura (2004), dimana CSR merupakan seperangkat kebijakan, tindakan, dan program komprehensif yang terintegrasi kedalam operasi bisnis, distribusi, dan proses pengambilan keputusan dalam perusahaan yang umumnya berkaitan dengan isu-isu mengenai etika bisnis, investasi masyarakat, masalah lingkungan, tata laksanakan, serta pasar, dan tempat kerja. Dengan kata lain, hal ini menjelaskan terkait peran perusahaan dalam usaha 7 peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun lingkungan, dan juga usaha pengembangan masyarakat yang berkelanjutan. Maraknya penerapan CSR yang dilakukan oleh beberapa perusahaan dibeberapa daerah sebenarnya tidak terlepas dari logika dasar pertumbuhan CSR itu sendiri. Seperti istilah “the triple bottom lines” yang diperkenalkan oleh Elkington dalam Brundtland Report (1987), yaang terdiri dari Profit, planet, people. Elkington dan Brundland menyatakan bahwa sebuah perusahaan agar mampu terus bertahan/eksis, baiknya tidak hanya mencari profit semata, namun juga memperdulikan planet atau lingkungan tempat perusahaan itu beraktifitas, dan people atau masyarakat sekitar yang terkena dampak dari aktifitas perusahaan (Marlia & Hidayat 2008). Baik teori the triple bottom lines, maupun tuntutan tanggung jawab filantropis perusahaan, dapat dilihat betapa pentingnya CSR bagi aktivitas sebuah korporasi. Hal ini yang turut memengaruhi penerapan CSR sebagai salah satu bentuk capaian Good Corporate Governance, karena mewadahi berbagai kepentingan stakeholder di dalamnya. Freeman merupakan salah seorang yang turut mempopulerkan Corporate Governance dalam arti luas. CG menempatkan shareholder dan stakeholder berada dalam posisi yang sama dalam memengaruhi kinerja maupun aktivitas perusahaan.(Freeman 1984) Berbicara terkait dengan peran penting partisipasi stakeholder dalam pengelolaan CSR. Maka kita dapat merujuk pada teori stakeholder yang diperkenalkan oleh Freeman. Stakeholder atau sering disebut sebagai pemangku kepentingan menurut Freeman (1984) merupakan kelompok atau individu yang dapat memengaruhi/dipengaruhi oleh capaian dari tujuan sebuah organisasi. Secara implisit hal ini menunjukan bahwa sebuah korporasi dalam melakukan aktivitasnya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal perusahaan-seperti pemilik perusahaan dll, namun juga faktor-faktor eksternal perusahaan-seperti pemerintah maupun masyarakat. Logika stakeholder sendiri tidak terlepas dari penerapan CSR yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap 8 pengembangan masyarakat daerah. Hal ini yang turut menempatkan pemerintah dan masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang dipengaruhi ataupun berpengaruh terhadap aktivitas sosial perusahaan, terutama dalam pelaksanaan CSR. Urgensi stakeholder dalam sebuah korporasi bahkan dalam perkembangannya turut mendorong adanya usaha dalam penyelenggaraan dialog maupun kolaborasi antar stakeholder oleh korporasi. Toyo Keiza Weekly dalam Nobuyuki Tokoro merekomendasikan tahapan tertinggi dalam dialog pembangunan antar stakeholder, yaitu “kolaborasi” sebagai metode operasional CSR maupun dialog secara langsung dengan pemangku kepentingan. Dalam tulisannya, Tokoro menjelaskan terkait kolaborasi antara korporasi dan NGO dalam pelaksanaan CSR sebuah korporasi adalah penting diterapkan oleh sebuah perusahaan. (Tokoro, Nobuyuki 2007) Sehingga penerapan program CSR tidak semata-mata hanya untuk menjalankan kewajiban filantropis perusahaan, namun juga turut menghadirkan aktor lain yang memiliki kompetensi dalam pengembangan masyarakat, misalnya saja LSM. Pemberian ruang terhadap stakeholder dalam pengelolaan CSR tidak lain merupakan sebuah bentuk sinergi dan kemitraan antar stakeholder, hal ini yang pada gilirannya membentuk konsep kemitraan tiga aktor dalam pengelolaan CSR. Menurut Natural Resources Cluster dari Business Partners for Development dalam Suryani, dini (2010), kemitraan tiga aktor merupakan “A voluntary collaboration to promote sustainable development based on an efficient allocation of complementary resources accross business, civil society and government” Melalui interaksi maupun kolaborasi dari kemitraan tiga pemangku kepentingan (Pemerintah, korporasi, dan masyarakat), terdapat beberapa manfaat bagi korporasi, antara lain : membantu korporasi dalam memahami kapasitas dan keterbatasan yang dimiliki oleh perusahaan, dan bertindak berdasarkan kebutuhan dan aspirasi publik (Business impact 2000). Tidak 9 jarang, dari beberapa kasus, hal ini berimplikasi positif terhadap kenaikan tingkat pendapatan perusahaan, reputasi baik perusahaan, dan bahkan akan menciptakan manfaat komersial yang disebut Suchman sebagai “licence to operate” bagi perusahaan. (Suchman : 1995) Sejalan dengan logika partisipasi stakeholder dalam penerapan program CSR, beberapa penelitian merekomendasikan sebuah lembaga/forum pemangku kepentingan sebagai wadah dalam menampung dan mengelola aspirasi pemangku kepentingan dalam CSR. Hadirnya forum pemangku kepentingan tidak dapat dipisahkan dengan apa yang disebut Freeman (1984) sebagai stakeholder democracy : “every corporation of a certain size . . . must form a Board of Directors comprised of representatives of five stakeholder groups, including employees, customers, suppliers, stockholders, and members of the local community” (Evan & Freeman, 1988, p. 104).” Stakeholder democracy menyediakan sarana partisipasi dalam membuat suatu keputusan melalui lembaga yang di dalamnya menghimpun seluruh stakeholder yang terlibat. Maka dalam hal ini, pentingnya membentuk sebuah lembaga independen dapat dibenarkan dalam hal mengontrol dan mengurangi sifat dominasi oleh salah satu pemangku kepentingan. Dapat dikatakan bahwa konsep stakeholder democracy turut mendorong terciptanya kesamaan dan kesejajaran posisi dan hak suara masing-masing stakeholder. Sama halnya dengan kemitraan tiga aktor, Multi-stakeholder Process (MSP) juga merupakan pendekatan baru untuk mendorong individu maupun organisasi bekerjasama atau memperbaharui kerjasamanya dalam lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang telah berubah semakin rumit. (Zakaria 2005). (Minu Hemmati 2002) pada tulisannya menempatkan gagasan MSP sebagai faktor pendorong stakeholder menuju “…a new form of communication, decision-finding (and possibly decision- making)…”Dimana, pada beberapa kasus di Indonesia, MSP banyak 10 digunakan untuk mencari solusi dalam isu lingkungan, pembangunan, pengelolaan hutan, dan HAM. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa forum multistakeholder dalam pengelolaan CSR merupakan sebuah wadah bertemunya stakeholder dalam mengapresiasi hak suara dalam proses pembuatan keputusan, dengan menekankan aspek kesetaraan bagi stakeholder dalam pengelolaan CSR. Forum pemangku kepentingan dalam penelitian ini yang dimaksud merupakan lembaga CCSR, sedangkan stakeholder yang dimaksud pada penelitian ini terdiri dari Pemkot Cilegon, Perusahaan anggota CCSR, dan masyarakat Kota Cilegon. Namun daripada itu, penelitian ini sebagian besar akan fokus terhadap lembaga CCSR sebagai forum multi-stakeholder. 1.4.2 Good Governance/Tata Kelola Pemerintahan yang Baik Dalam dinamika ilmu politik, kita mengenal adanya konsep governance, dimana konsep ini menekankan pada proses pengelolaan urusan publik secara bersama-sama antar tiga komponen, yaitu pemerintah, bisnis dan masyarakat. Governance merupakan kritik terhadap konsep lama government yang menempatkan Pemerintah sebagai satu-satunya aktor yang memainkan peran penting dalam sebuah Negara. Konsep lama yang digunakan dalam mengkerangkai hubungan ketiganya, yaitu konsep distributif (kecenderungan negara untuk tidak membagi kekuasaanya karena akan mengurangi power-nya sendiri), lambat laun berubah menjadi konsep generatif (kecenderungan negara untuk membagi kekuasaanya dengan aktor swasta dan Civil Society dalam pembentukan legitimasi yang akan memperkuat kekuasaan negara). Pola Goverment lama bukan hanya menempatkan negara sebagai “The one and only” aktor dalam sebuah segala urusan publik, namun juga cenderung menguatkan sifat dominasi oleh negara. Beberapa ilmuwan politik seperti Tocquiville menyebutkan praktek demokrasi yang menempatkan negara sebagai aktor tunggal, sebenarnya menggambarkan 11 sebuah pola tirani halus dibalik makna “kebebasan” yang diusung oleh demokrasi itu sendiri, sehingga Tocqueville dalam tulisannya menganggap pentingnya eksistensi sebuah lembaga diluar negara yang juga turut andil dalam mengurusi urusan publik. Tata kelola pemerintahan/governance merupakan fenomena dimana persoalan-persoalan publik bukan hanya merupakan urusan negara (peran dominan Pemerintah) namun juga merupakan urusan bersama pemerintah (negara), perusahaan dan masyarakat sipil sebagai tiga komponen pokok. Sektor negara (pemerintah) dengan ciri utama monopoli dan penggunaan alat paksa (coercion), sektor swasta (sektor pasar) yang bekerja melalui mekanisme pasar untuk memperoleh laba (profit), dan sektor sukarela (sektor masyarakat) yang bekerja tanpa menggunakan kekerasan atau alat pemaksa (non-coersive) seperti sektor negara, serta tidak berorientasi mencari keuntungan. Ketika kesamaan derajat, kesejajaran, dan adanya saling kontrol antar tiga komponen (pemerintah, bisnis, dan masyarakat) terjamin, maka hal tersebut dapat dinamakan dengan pola good governance. (Thoha 2010) Kesamaan derajat inilah yang pada akhirnya menempatkan masing-masing aktor pada posisi idealnya masing-masing. Di satu sisi, ketika tataran keseimbangan antar relasi yang terjalin cenderung tidak seimbang, maka hal ini akan sangat berpengaruh terhadap pembiasan konsep good governance. UNDP menganggap tata kelola pemerintahan/Governance bukan hanya untuk membatasi peran dominan negara (kritik terhadap konsep Governance yang menganggap negara sebagai aktor negatif), namun merupakan semacam pengelolaan urusan bersama (publik) dimana kelompok (semua level lembaga) dapat mengartikulasikan kepentingan mereka diatas perbedaan dalam mengelola urusan sebuah negara. “Governance is the exercise of economic, political, and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels (which) comprises mechanisms, processes, and institutions trough which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences” (UNDP) 12 Dalam penerapan good governance, tiga pilar utama Governance (Pemerintah, Perusahaan, dan Masyarakat) harus saling bersinergi dan saling melengkapi untuk terciptanya check and balance antar ketiganya. Hal ini menuntut adanya pemenuhan nilai-nilai ideal terbentuknya tata kelola pemerintah yang baik atau sering dikenal dengan sebutan good governance. Beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam tata kelola pemerintahan yang baik diantaranya, pertama, pemberian ruang kepada aktor non-pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara aktor dan lembaga pemerintah dengan non-pemerintah seperti masyarakat sipil dan mekanisme pasar. Kedua, praktik tata kelola pemerintahan yang baik harus memenuhi nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan bersama (nilai efisiensi, keadilan, dan daya tanggap). Ketiga, praktik pemerintahan yang bebas dari KKN serta berorientasi pada kepentingan publik.hal ini yang menjadi indikator untuk mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan yang baik. (Dwiyanto, Agus dkk 2005). UNDP dalam menjelaskan praktik good governance merekomendasikan beberapa karakteristik yang harus dipenuhi, yaitu partisipasi, transparansi, akuntabel, efektifitas dan efisiensi, kepatuhan pada hukum yang berlaku, responsive/daya tanggap, orientasi bersama, dan kesetaraan. (Jurnal Transformasi Vol 1, No.1 Februari 2005). Namun dalam penelitian ini, untuk mengukur kapasitas dari lembaga CCSR sebagai rumusan masalah penelitian, prinsip good governance yang digunakan adalah pada aspek akuntabilitas dan transparansi lembaga CCSR. 1.4.3 Transparansi Transparansi merupakan mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses pelayanan publik, transparansi memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor 13 publik. Transparansi menurut Krina dalam tulisannya merupakan mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani. (Krina, 2003 hal 15) Dwiyanto (2005) dalam tulisannya menjelaskan tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat transparansi. Indikator pertama adalah mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik. Penilaian terhadap keterbukaan disini meliputi seluruh proses pelayanan publik, termasuk didalamnya adalah persyaraatan waktu yang dibutuhkan serta mekanisme atau prosedur pelayanan yang harus dipenuhi. Indikator kedua dari transparansi adalah menunjuk pada seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat dipahami oleh pengguna dan stakeholders lainnya. Indikator ketiga dari transparansi adalah kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam rangka menciptakan transparansi, maka hal ini berkaitan pula dengan peran penting media. Media publik tidak hanya memiliki peran dalam menyampaikan informasi relevan terkait penyelenggaraan pelayanan oleh lembaga publik, namun juga berperan dalam menyampaikan perilakuperilaku meyimpang dari dari aparat lembaga publik. Di satu sisi, transparansi juga memiliki korelasi negatif ketika publik menunjukan respon dan kontrol berlebih terhadap keterbukaan informasi yang disediakan. Untuk itu penting untuk mengukur sejauh mana ukuran dari prinsip transparansi. Antara lain: 1. Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses pelayanan publik. 2. Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses dalam sektor publik. 14 3. Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik di dalam kegiatan melayani. (Krina 2003) Dalam pelaksanaan pelayanan publik, maupun kebijakan yang bersentuhan terhadap masyarakat, bukan hanya keberhasilan penerapan program yang diperlukan. Karena peran dan posisi masyarakat bukan hanya sebagai penerima, namun harus juga memiliki hak dalam menyampaikan aspirasi. Sehingga, transparansi merupakan hal mutlak yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif. Hal lain yang muncul kemudian adalah seberapa besar keterbukaan informasi yang disediakan, dan seberapa luas akses yang dimiliki masyarakat terhadap informasi tersebut. Dardias dkk dalam tulisannya menjelaskan terkait dua unsur utama dalam penerapan transparansi, diantaranya tersedianya aksesibilitas dan akurasi informasi atas aktivitas pemerintahan. (dardias dkk 2009) Pada penerapannya, ketika salah satu unsur cenderung tidak muncul, maka hal ini akan berdampak terhadap derajat dari transparansi penyelengaaraan pemerintahan. Terdapat sebanyak 4 derajat transparansi, diantaranya tertutup, manipulatif, isolatif, dan transparan (dardias dkk 2009). Berikut merupakan kombinasi dari unsur aksesibilitas dan akurasi yang membentuk derajat dari transparansi, antara lain : 1. Tertutup Merupakan derajat transparansi paling rendah. Ciri utamanya adalah aksesibilitas publik terhadap aktivitas dan dokumen-dokumen pemerintah sangat rendah dan akurasi informasi yang disampaikan oelh pemerintah sangat diragukan.Pemerintah dijalankan secara tertutup. 2. Manipulatif Pada derajat ini publik memiliki aksesibilitas tinggi terhadap aktivitas pemerintahan, tetapi akurasi informasi yang disampaikan diragukan validitasnya. Boleh jadi informasi yang disampaikan adalah ditambah, dikurangi atau dimanipulasi sedemikian rupa. 15 3. Isolatif Berkebalikan dengan derajat manipulati. Pada derajat ini aksesibilitas publik terhadap aktivitas dan dokumen pemerintah adalah rendah tetapi informasi yang dimiliki oleh pemerintah sesungguhnya sangat akurat. Atas nama rahasia negara derajat ini biasanya terjadi. 4. Transparan Adalah derajat paling tinggi dari transparansi. Derajat ini merupakan hakekat dari transparansi itu sendiri. Pada derajat ini aksesibilitas publik dan akurasi informasi dari aktivitas dan dokumen-dokumen pemerintahan sangat tinggi. Merupakan kondisi ideal dari transparansi yang hendak dituju dari penyelenggaraan pemerintahan. Gambar di dibawah secara sederhana menjelaskan keterkaitan antara aksesibilitas dan tingkat akurasi terhadap derajat transparansi : Gambar 1.1 Derajat Transparansi Aksesibilitas Tinggi Manipulatif Transparan Akurasi Rendah Akurasi Tinggi Tertutup Isolatif Aksesibilitas Rendah (Sumber : Bayu Dardias, dkk 2009) Sebagai tambahan terkait transparansi, ada beberapa hal penting yang turut menjadi ukuran tingkat transparansi kegiatan pemerintahan, diantaranya: Dokumen-dokumen publik. Seperti APBD, SK Bupati/Walikota, Perda, dsb. Aktivitas-aktivitas birokrasi, khususnya yang terkait dengan proses pembuatan kebijakan, mulai dari agenda setting, 16 perumusan masalah, penentuan kebijakan, sampai pada tahap implementasi dan evaluasi. Terakhir, aktivitas-aktivitas birokrasi terkait dengan anggaran yang menjadi titik sensitif dalam penegakan transparansi. (Dardias dkk 2009) Jika dilihat berdasarkan transparansinya sebagai sebuah lembaga publik, forum multi-stakeholder CCSR setidaknya harus memenuhi tiga indikator. Pertama, terjaminnya ketersediaan informasi terkait pengelolaan CSR, dimana stakeholder terutama masyarakat memiliki hak untuk mengakses informasi mengenai prosedur pengajuan proposal program CSR oleh masyarakat, jumlah alokasi anggaran, data capaian program CSR maupun transparansi laporan pertanggungjawaban lembaga CCSR terhadap publik. Dengan memiliki akses terhadap informasi tersebut, publik dapat menilai seberapa banyak dana anggaran yang telah digunakan dalam penerapan program CSR maupun penilaian terhadap kinerja forum multistakeholder. Pentingnya ketersediaan informasi bagi stakeholder maupun masyarakat, dinilai perlu untuk mengetahui apakah program CSR beserta sejumlah biaya anggaran pendukung telah benar-benar merupakan capaian program CSR yang sesuai dengan kepentingan masyarakat. Karena transparansi dalam pengelolaan CSR memiliki peran penting bagi masyarakat untuk memahami dengan mudah proses pengelolaan CSR, serta menguatkan kapasitas masyarakat dalam menentukan program CSR yang layak untuk diajukan sebagai program CSR. Kedua, merupakan aksesibilitas publik terhadap informasi terkait pengelolaan CSR melalui forum multi-stakeholder CCSR. Dengan membuka akses publik terhadap informasi, diharapkan dapat membentuk forum multi-stakeholder yang responsif terhadap perubahan dan kepentingan masyarakat, maupun proses pengelolaan CSR partisipatif bagi stakeholder. Terakhir, merupakan akurasi informasi yang disediakan oleh lembaga CCSR yang turut mendorong penyelenggaraan pengelolaan CSR 17 oleh forum multi-stakeholder yang akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika seluruh aspek proses pengelolaan CSR seperti proses pengajuan proposal program, data alokasi anggaran, data capaian, dan laporan pertanggungjawaban telah dipublikasikan secara terbuka, dan informasi yang dipublikasikan oleh forum multi-stakeholder bernilai akurat, maka praktik pengelolaan CSR dapat dinilai memiliki derajat transparansi yang transparan. Begitupun sebaliknya, ketika aspek dari proses pengelolaan CSR cenderung tertutup, aksesbilitas publik rendah, dan keaakuratan informasi cenderung rendah, maka praktik pengelolaan CSR dapat dikatakan tidak transparan atau tertutup. Kemudian masih terkait dengan derajat transparansi, jika proses pengelolaan CSR melalui forum multi-stakeholder telah menjamin tingkat partisipasi dan aksesibilitas publik terhadap informasi yang tinggi, namun di satu sisi informasi yang dipublikasikan cenderung diragukan validitasnya, maka dapat dikatakan bahwa praktik pengelolaan CSR memiliki derajat transparansi yang manipulatif. Namun sebaliknya, ketika proses pengelolaan CSR telah menyediakan informasi, data capaian, maupun laporan pertanggungjawaban yang akurat dan valid, namun ketersediaan informasi dan aksesibilitas publik cenderung tertutup, maka dapat dikatakan bahwa derajat transparansi forum multi-stakeholder berada pada derajat tanasparansi yang isolatif. Dalam kinerja lembaga CCSR, transparansi publik merupakan hal yang mutlak disediakan, karena erat kaitannya terhadap partisipasi publik sebagai salah satu stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan CSR di Kota Cilegon. Untuk itu dalam penelitian ini, penting untuk melihat sejauh mana derajat transparansi yang telah dilakukan lembaga CCSR sebagai forum multistakeholder. 1.4.4 Akuntabilitas 18 Akuntabilitas menurut miriam budiarjo dalam (krina : 2003) mendefinisikan sebagai “pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat”. Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (check and balance sistem). Akuntabilitas dalam rangka check and balances merupakan ukuran yang menunjukan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengartikulasikan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Kumorotomo (2008:3) Terkait penyelenggaraan efisiensi dan efektifitas, hal ini dapat dilihat melalui tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilainilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat. (Dwiyanto dkk, 2006). Selain itu, daya tanggap tinggi lembaga terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat atau yang sering disebut dengan responsiveness merupakan hal yang turut memengaruhi akuntabilitas sebuah lembaga publik. Akuntabilitas lembaga tidak hanya dilihat berdasarkan penyelenggaraan mekanisme legal-formal saja, namun akuntabilitas juga mensyaratkan adanya keterlibatan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kasus di Cilegon, dimana forum multi-stakeholder CCSR memiliki fungsi dalam kordinasi antar stakeholder, maka sudah dapat dipastikan, bahwa partisipasi publik adalah hal yang tidak terlepas dari aktivitas lembaga CCSR. Karena masyarakat merupakan salah satu stakeholder yang ikut dilibatkan dalam pengelolaan CSR di Kota Cilegon Prinsip akuntabilitas menempatkan sebuah lembaga publik sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas kewajiban yang dibebankan serta menginformasikannya kepada publik, dan terakhir tersedianya kapasitas 19 pemberian sanksi kepada para pemegang otoritas jika tidak berkesesuaian dengan hukum yang berlaku. (Ikhsanto & Bayo 2009) Hal diatas yang pada gilirannya menempatkan sebuah lembaga publik dapat dikatakan akuntabel atau tidak akuntabel. Akuntabilitas berhubungan erat dengan bagaimana dan untuk siapa sebuah lembaga harus menerapkan prinsip akuntabilitas. Terdapat setidaknya tiga jenis akuntabilitas dilihat kepada siapa akuntabilitas ditujukan. Antara lain : 1) Akuntabilitas horizontal yang merupakan akuntabilitas terhadap sesama lembaga lainnya yang tidak memiliki hubungan atasan dan bawahan, dan merupakan bagian dari fungsi check and balances yang berada di dalam pemerintahan. 2) akuntabilitas vertikal merupakan pertanggungjawaban pemerintah atas segala aktivitasnya kepada publik yang merupakan bentuk akuntabilitas yang bertumpu pada perlibatan masyarakat. 3) dan terakhir merupakan akuntabilitas diagonal yaitu merupakan perlibatan partisipasi vertical aktor dalam mekanisme akuntabilitas horisontal. (Ikhsanto & Bayo 2009) Jenis akuntabilitas yang telah dijelaskan di atas akan merujuk pada derajat akuntabilitas sebuah lembaga publik. (lihat gambar 1.2) Diantaranya: 1) pertanggungajawaban yang tinggi, yaitu suatu bentuk pemerintahan yang ideal dari aspek akuntabilitas. Pada titik ini, derajat akuntabilitas horizontal dan akuntabilitas vertikal mencapai titik yang tertinggi. 2) tidak dapat dipertanggungjawaban. Merupakan kebalikan dari konsep pertama, dimana akuntabilitas horizontal dan vertikal mencapat titik terendah. 3) Pertanggungjawaban teknokratis. dimana kapasitas teknokratis dan derajat akuntabilitas horizontal mencapai titik tertinggi, tetapi di sisi lain, akuntabilitas vertikal berada pada titik nol. 4) pertanggungjawaban partisipatoris, diamana derajat akuntabilitas horizontal berada pada titik terendah, tetapi di sisi lain akuntabilitas vertikal mencapat titik tertinggi. (Ikhsanto & Bayo 2009) Sebuah forum multi-stakeholder dapat dikatakan akuntabel apabila dapat mempertanggungjawabkan seluruh kinerja, dan capaian lembaga 20 dalam praktik pengelolaan CSR kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangannya itu dimiliki berasal. Pentingnya akuntabilitas bagi forum multi-stakeholder CCSR, dikarenakan forum multi-stakeholder melibatkan banyak stakeholder, antara lain pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Sehingga, lembaga CCSR harus mampu menunjukan kredibilitas kinerja lembaganya yang dapat dipertanggungjawabkan. Akuntabilitas seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak hanya mendorong pada tersedianya mekanisme legal-formal dalam perwujudan pertanggungjawaban lembaga, namun juga harus mendorong pada keterlibatan publik di dalamnya. Hal ini yang disebut sebagai akuntabilitas sosial yang merupakan perwujudan dari akuntabilitas vertikal lembaga. (Ikhsanto & Bayo 2009). Dimana dalam hal ini, terdapat beberapa faktor yang turut memengaruhi akuntabilitas sosial sebuah lembaga. Pertama, adalah keberadaan mekanisme yang menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat. Di dalam mekanisme ini, dapat dikatakan bahwa lembaga CCSR harus mampu menjalankan fungsi kordinasinya sebagai forum multistakeholer dalam mengelola kepentingan stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan CSR. Sehingga dapat dikatakan, bahwa forum multistakeholder memiliki pengaruh yang besar terhadap intensitas keterlibatan publik dalam penuangan aspirasi masyarakat pada perencanaan program CSR. Faktor kedua, bahwa adanya keinginan dan kapasitas dari warga negara dan aktor-aktor civil society yang kuat untuk secara aktif terlibat dalam proses akuntabilitas pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat Kota Cilegon sebagai sasaran program maupun stakeholder yang memiliki hak dalam menuangkan pendapat pada proses perencanaan program CSR, harus memiliki kapasitas yang cukup terutama dalam menentukan program apa yang layak untuk diajukan sebagai program CSR. Serta memiliki kapasitas dalam menentukan program CSR yang tidak hanya berisi terkait perbaikan infrastruktur pembangunan maupun bentuk sumbangan saja, namun lebih 21 kepada program CSR yang turut menguatkan pemberdayaan masyarakat seperti program kesehatan dan pendidikan. Faktor ketiga merupakan keinginan dan kapasitas dari politisi dan birokrat untuk mempertimbangkan masyarakat, dan keempat, adalah lingkungan yang memungkinkan dan memadai. Sama halnya dengan faktor pertama, lembaga CCSR setidaknya harus menyediakan mekanisme yang mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengelolaan CSR, serta kapasitas pegawai yang baik dalam mengadvokasi dan memberdayakan masyarakat, terutama dalam keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan CSR, seperti pendampingan terhadap masyarakat dalam penyusunan program CSR. Sehingga capaian akuntabilitas sosial lembaga CCSR dapat tercapai. Forum multi-stakeholder CCSR sebagai pengelola dalam penyelenggaraan CSR setidaknya harus mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya terhadap Pemerintah Kota Cilegon maupun perusahaan sebagai institusi yang memberikan dana terhadap lembaga CCSR, maupun terhadap publik. Dalam hal ini, akuntabilitas finansial dan akuntabilitas program merupakan salah satu bentuk dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh lembaga CCSR.(Hopwood dan Thomkins 1984 : Elwood 1993). Jika forum multi-stakeholder CCSR dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya terhadap institusi Pemerintah Kota Cilegon, maupun perusahaan sebagai institusi mitra, serta dapat menunjukan akuntabilitasnya terhadap masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa derajat akuntabilitas lembaga CCSR tinggi. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka dapat dikatakan bahwa lembaga CCSR adalah tidak akuntabel. Masih berbicara terkait derajat akuntabilitas lembaga, ketika lembaga CCSR cenderung menunjukan kecenderungan dalam aktualisasi akuntabilitas vertical, dalam arti, bahwa lembaga CCSR hanya mengutamakan proses informal yang mengikutsertakan publik, namun dalam aktualisasi akuntabilitas terhadap pemkot dan perusahaan cenderung lemah, dapat dikatakan bahwa akuntabilitas lembaga CCSR berada pada 22 derajat partisipatoris. Dan sebaliknya, jika keterlibatan publik cenderung rendah dan hanya mengutamakan proses teknokratis formal, dalam arti, lembaga CCSR hanya mengutamakan akuntabilitas lembaganya terhadap pemkot dan perusahaan sebagai mitra kerja, maka dapat dikatakan bahwa derajat akuntabilitas lembaga CCSR berada pada derajat teknokratis. Berikut merupakan gambaraan derajat akuntabilitas berdasarkan dari jenis akuntabilitasnya: Gambar 1.2 Derajat Akuntabilitas Civil Society 3. Participatoris-Accountability 4. High-Accountability Vertikal Prasyarat:tingkatkan Diagonal Social Accountability Horisontal 1. Not-Accountable Agencies of accountability (Ikhsanto, Adhi & Bayo 2009) 2.Technocratic-Accountability Rule of Law Dalam penelitian ini, lembaga CCSR akan dianalisa berdasarkan jenis akuntabilitas yang melekat pada lembaga CCSR, sehingga sesuai dengan tujuan penelitian yaitu seberapa akuntabel derajat akuntabilitas lembaga CCSR sebagai forum multi-stakeholder. 23 1.5 DEFINISI KONSEPTUAL Penyederhaan teori guna memahami fokus teori dalam sebuah penelitian adalah penting, hal ini dimaksudkan untuk memberikan batasan teori yang digunakan penulis dalam penelitiannya. 1.5.1 Forum Multi-Stakeholder dalam Pengelolaa CSR Forum Multi-stakeholder merupakan sebagai wadah bagi stakeholder dalam menegosiasikan maupun mengapresiasikan kepentingnnya, serta secara tidak langsung memposisikan stakeholder dalam posisi seimbang dalam rangka memengaruhi kebijakan, serta menyediakan akses terhadap stakeholder dalam mengawasi proses penerapan CSR. Dalam penelitian ini, lembaga CCSR dilihat berdasarkan urgensi forum multi-stakeholder dalam pengelolaan CSR di Kota Cilegon. 1.5.2 Transparansi Transparansi merupakan penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka dan menyediakan informasi yang luas bagi stakeholder dalam mengakses setiap informasi maupun aktivitas penyelenggaraan pemerintahan. Penelitian ini menganalisa aktivitas lembaga CCSR dalam aspek transparansi pengelolaan CSR terhadap publik. 1.5.3 Akuntabilitas Akuntabilitas merupakan tolak ukur sejauh mana lembaga publik dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya, dan bagaimana sebuah lembaga publik dapat menunjukan sikap responsif terhadap publik. Sehingga hal ini akan memengaruhi derajat akuntabilitas lembaga publik. 1.6 Definisi Operasional Penulis menggunakan beberapa indikator dalam merumuskan teori-teori yang diterapkan pada penelitian ini. Berdasarkan dari proses abstraksi teori peneliti, maka didapatkan beberapa indikator inti penelitian, diantaranya: 24 1.6.1 Forum multi-stakeholder dalam Pengelolaan CSR forum multistakeholder CCSR akan dilihat berdasarkan perannya sebagai lembaga fasilitator , guna fungsi kordinasi antar stakeholder. 1.6.2 Transparansi Transparansi dalam penelitian ini dilihat dari : 1. Ketersediaan informasi terkait Pengelolaan CSR 2. Aksesibilitas publik terhadap informasi terkait Pengelolaan CSR forum multi-stakeholder CCSR 3. Akurasi informasi yang disediakan oleh lembaga CCSR. 1.6.3 Akuntabilitas Derajat akuntabilitas forum multi-stakeholder CCSR dalam penelitian ini dilihat berdasarkan: 1. Akuntabilitas horizontal, dilihat dari pertanggungjawaban lembaga CCSR terhadap institusi pemerintah maupun perusahaan selaku institusi mitra. 2. Akuntabilitas vertikal/sosial, dilihat dari faktor: mekanisme yang prosedural sebagai bentuk kinerja dan fungsi kordinasi lembaga, mekanisme pertanggungjawaban lembaga, dan mekanisme yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan CSR. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam melihat dan menggambarkan data-data temuan lapangan. Sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin melihat dan menganalisa prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan CSR melalui forum multi-stakeholder, data dan informasi mendalam diperlukan untuk mendukung hasil penelitian. Metode kualitatif ini digunakan selain untuk melihat secara mendalam mengenai data-data lapangan, juga dapat menjelaskan secara luas mengenai data-data spesifik yang ditemukan di lapangan. 25 Proses penelitian dimulai dari penyusunan desain penelitian sebagai kaidah penelitian pada saat melakukan riset. Proses selanjutnya adalah proses pengambilan data di lapangan yang didahulukan dengan mengumpulkan data-data terkait penelitian dengan membaca sumber-sumber referensi terkait, dan melihat perkembangan praktek CSR melalui media internet. Proses pencarian data yang digunakan peneliti adalah dengan mencari sumber informasi dari narasumbernarasumber terkait pelaksanaan program CSR perusahaan. Pencarian data dilakukan dengan bertemu secara “face to face” dengan narasumber, maupun pertemuan via media lain. Proses penelitian menggunakan wawancara dengan narasumber terkait, diantaranya Pemerintah Kota Cilegon, Lembaga CCSR, perusahaan, dan masyarakat akan secara berkesinambungan dilakukan peneliti. Seluruh hasil data temuan lapangan, maupun data-data pendukung terkait riset kemudian diolah, dan juga dianalisis, kemudian diklasifikasikan berdasarkan sistematika penulisan. kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan skripsi. 1.6.1 Metode Studi Kasus Metode studi kasus merupakan metode yang relevan bagi penulis untuk menjelaskan secara detail dan terperinci mengenai satu kasus tertentu. Studi kasus dalam penelitian ini dianggap lebih baik dari metode lain, dimana peneliti dituntut harus mampu menganalisa, memahami, berbagai hal-hal penting yang terkait dalam penelitian, dan bagaimana satu hal lain dapat memberikan dampak terhadap hal lainnnya. Alasan pemilihan metode studi kasus adalah karena dalam proses penelitian, peneliti masuk dalam sebuah situasi alamiah, dimana setiap hal maupun fenomena yang terjadi benar-benar merupakan fenomena alamiah, bukan artifisial, sehingga fenomena tersebut tetap ada, bahkan setelah penelitian dilakukan. (Yin : 2009). Metode studi kasus dapat diterapkan pada kondisi-kondisi alamiah, menjelaskan sebuah interaksi dan proses, dan juga studi mendalam. Metode ini juga merupakan tolak ukur yang efisien bagi penulis untuk melihat dan 26 menganalisa secara mendalam mengenai lembaga CCSR, dan melihat kontribusi maupun pengaruh pemangku kepentingan dalam tata kelola CSR di Kota Cilegon. Penelitian ini menggambarkan sebuah fenomena hubungan berkesinambungan antara aktor pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam proses penerapan CSR melalui lembaga independen CCSR. Fenomena ini bahkan jarang ditemukan dalam proses penerapan CSR di daerah-daerah lain dimana program CSR biasanya dilakukan secara independen oleh perusahaan. Dalam kasus ini pun, peneliti tidak sama sekali melakukan intervensi atau memiliki kontrol terhadap situasi yang terjadi. Studi Kasus juga menjawab pertanyaan “How”, sesuai dengan pertanyaan penelitian mengenai “Bagaimana hubungan antara tipologi pemangku kepentingan dengan prinsip good governance dalam Pengelolaan CSR .” Dalam penelitian ini, strategi “cross check” dalam melakukan wawancara meruapakan metode yang tepat untuk menanggulangi masalah pada metode studi kasus ini. Wawancara dengan pihak yang saling berbeda kepentingan, dan perspektif sangat penting untuk meminimalisir bias data yang mungkin terjadi. Dalam penelitian ini akan membutuhkan proses yang cukup lama, dan juga cakupan kasus yang tidak dapat diterapkan secara universal di settingan atau objek penelitian lain. Model sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dalam penerapan CSR melalui lembaga multi-stakeholder memang hanya terjadi pada beberapa daerah di Indonesia saja. 1.6.2 Unit Analisis Penelitian Fokus penelitian adalah pada good governance dalam Pengelolaan CSR. Penelitian dilakukan pada Lembaga CCSR, terutama pada level pengurus harian Lembaga CCSR (Direktur Eksekutif, Sekretaris Eksekutif, dan Bendahara Eksekutif). PT Krakatau Steel yang memiliki andil cukup signifikan dalam penerapan CSR di Kota Cilegon dan merupakan anggota 27 aktif lembaga CCSR. Pemerintah Kota Cilegon yaitu BPMKP (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Ketahanan Pangan) Kota Cilegon, selaku pendamping lembaga CCSR. Masyarakat Kota Cilegon, diantaranya pegawai perusahaan anggota/non anggota CCSR, kalangan akademisi (mahasiswa), salah seorang tokoh masyarakat/agama di daerah Kota Cilegon untuk melihat tingkat transparansi dan diseminasi lembaga CCSR. Program CSR yang dijadikan rujukan dalam penelitian merupakan seluruh program prioritas maupun program CSR tambahan CCSR. Namun penulis menggunakan program jambanisasi dalam menjelaskan perihal/bahasan program CSR yang lebih spesifik. 1.6.3 Pengumpulan Data dengan Teknik Multisumber Bukti Multi Sumber bukti dari penelitian yang dilakukan adalah melalui data-data sekunder dan data-data primer yang ditemui dalam penelitian. Dalam data-data primer atau data yang didapatkan dari hasil wawancara terhadap narasumber, peneliti melakukan wawancara secara mendalam dengan narasumber penelitian. Untuk mengurangi bias dan ketergantungan dengan satu narasumber saja, peneliti juga melakukan “cross check” dengan melakukan wawancara dengan narasumber lain. Wawancara dilakukan dengan narasumber yang berasal dari empat aktor. Pertama, narasumber dari pihak perusahaan terkait program CSR yang dibebankan terhadap perusahaan. Dalam hal ini, narasumber yang diwawancarai adalah Specialist Community Development departemen PKBL PT. KS. Kedua, dari pihak pemerintah Kota Cilegon. Pemerintah Kota Cilegon dalam hal ini diwakili pimpinan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Ketahanan Pangan (BPMKP), selaku aktor badan pendamping lembaga non pemerintah CCSR. Ketiga, dari pihak masyarakat, narasumber yang dijadikan rujukan antara lain pegawai perusahaan anggota/bukan anggota dan akademisi. Hal ini dilakukan dalam rangka menganalisa terkait diseminasi lembaga CCSR. Terakhir, pengurus harian CCSR (Cilegon 28 Corporate Social Responsibility). Alasan pemilihan keempat aktor tersebut adalah untuk melakukan metode cross check sehingga hasil data yang didapatkan merupakan hasil data yang valid, dan mengurangi resiko bias dan keberpihakan peneliti. Data sekunder yang menjadi pendukung dari penelitian ini antara lain dokumen-dokumen pelaksanaan CSR perusahaan krakatau steel yang di cetak dalam bentuk buku maupun dipublish melalui media internet, kebijakan pemerintah terkait CSR maupun peraturan Walikota mengenai pembentukan lembaga CCSR, RPJMD Kota Cilegon, berita-berita di internet, pemberitaan media massa terkait impelementasi CSR Perusahaan, dan literatur akademis maupun artikel-artikel terkait lainnya. 1.6.4 Teknik Analisa Data Dalam menganalisa data yang didapat dari hasil wawancara maupun data-data sekunder, peneliti harus mampu mensinergikan antara hasil data wawancara dengan narasumber dan diintegrasikan dengan data-data sekunder yang didapat. Sehingga data informasi tersebut sesuai dan valid. Setelah mengumpulkan data-data dan informasi sekunder, wawancara merupakan data informasi primer yang juga krusial. Peneliti bukan hanya dituntut untuk jeli dalam observasi situasi dan lingkungan penelitian, namun peneliti juga harus mampu secara cermat membawa situasi wawancara agar tidak keluar dari topik penelitian. Hasil wawancara secara langsung ditranskrip dan di klasifikasikan berdasarkan “interview guide” yang telah dibuat. Langkah terakhir, setelah semua input data didapatkan, peneliti menganalisa data temuan lapangan tersebut, dan disinergikan dengan kerangka teori yang telah dibuat dalam konstruksi awal penelitian, dari situ, peneliti akan dapat menarik kesimpulan berdasarkan data-data temuan lapangan dan analisis peneliti. 1.8 Sistematika Penulisan 29 Penulisan penelitian ini akan dibagi kedalam Lima Bab utama yang didalamnya mencakup: Pertama, Bab I mengenai pendahuluan. Kedua, Forum Multi-stakeholder dalam Lingkup CSR Kota Cilegon. Bab III, Transparansi Pengelolaan CSR di Kota Cilegon. Bab IV Akuntabilitas Forum Multi-stakeholder CCSR. Bab V Saran dan Kesimpulan. BAB I merupakan bab pendahuluan, yang secara garis besar mengkerangkai penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. BAB II akan menjelaskan secara rinci mengenai konteks ekonomi Kota Cilegon dan urgensi lembaga independen dalam penerapan tata kelola CSR, diterakan pula profil lembaga CCSR dalam penerapan CSR di Kota Cilegon. Bab III akan menjelaskan terkait transparansi dalam tata kelola CSR melalui lembaga CCSR di Kota Cilegon. BAB IV secara garis besar membahas mengenai akuntabilitas lembaga CCSR dalam pengelolaan CSR perusahaan di Kota Cilegon. Tata kelola CSR dilihat menggunakan indikator good governance, yang secara garis besar mengkerangkai pola transparansi dan akuntabilitas lembaga CCSR. BAB V Saran dan Kesimpulan. 30