PELATIHAN KOMUNIKASI EFEKTIF UNTUK MENINGKATKAN

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
PELATIHAN KOMUNIKASI EFEKTIF UNTUK MENINGKATKAN
PENGETAHUAN IBU DALAM MENGATASI TANTRUM
PADA ANAK USIA PRASEKOLAH
( Effective Communication Training to Enhance Mother’s Knowledge
to Dealing with Pre Schooler’s Tantrum)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
AGUSTINA WULANDARI
1006742094
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI
PEMINATAN TERAPAN PSIKOLOGI ANAK USIA DINI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
9 JANUARI 2013
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan pertolonganNya sehingga
penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi
syarat untuk meraih gelar Magister Sains dengan peminatan terapan Psikologi Anak Usia Dini
pada program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tesis ini penulis
persembahkan untuk suami tercinta Drs. Bambang Wispriyono Apt., PhD yang selalu setia
mendampingi dan memberi dorongan dan semangat, juga untuk Ibunda Hj. Soeti Roebiah yang
selalu mendoakan dan membantu menjaga anak-anak ketika penulis sedang sibuk menyelesaikan
tesis.
Terima kasih yang tek terhingga penulis haturkan kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dr. Wilman Dahlan Mansoer M.Org., Psi
dan seluruh pengelola Program Studi Ilmu Psikologi Peminatan Terapan.
2. Dr. Soemiarti Patmonodewo Psi, dan Airin Yustikarini Saleh, SPsi., M.Psi., selaku dosen
pembimbing tesis ini yang membimbing dengan sabar dan ihlas.
3. Eko Handayani SPsi, MPsi dan Efriyani Djuwita SPsi., MPsi selaku dosen penguji tesis
yang telah memberikan revisi dengan teliti.
4. Para Bapak dan Ibu rekan dosen selaku pengajar di peminatan Psikologi Anak Usia Dini
yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
5. Anak-anakku Nissa, Zahra, Ja’far, Dini, Laila dan Khalid yang rela kehilangan waktu demi
selesainya tesis ini.
6. Teman-temanku satu angkatan Djamila Djauhari, Djuanita Bowman, dan Fadilah Ariyati
yang telah membantu dalam pelatihan dan pembuatan tesis.
7. Teman-teman kuliah PAUD 2010: Betty, Dita, Mba Indah, Okke, Bu Nur, Endah, Gita, Sisy,
Mba Widi, Mba Sari, dan Amy. Terima kasih atas kebersamaan kita selama dua tahun yang
penuh arti.
8. Teman-teman taklim dan murid-murid yang yang selalu memberikan dukungan, semangat,
dan doa.
Penulis menghaturkan permohonan maaf atas ketidaksempurnaan penyusunan tesis ini. Penulis
berharap tesis ini bisa bermanfaat bagi civitas akademika maupun masyarakat. Amin.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
ABSTRAK
Nama
: Agustina Wulandari
NPM
: 1006742094
Program Studi : Ilmu Psikologi
Peminatan
: Terapan Psikologi Anak Usia Dini
Judul Tesis : Pelatihan Komunikasi Efektif untuk Meningkatkan Pengetahuan Ibu dalam
Mengatasi Tantrum pada Anak Usia Prasekolah
Anak melakukan tantrum di Pusat Perbelanjaan atau di ruang tunggu Rumah Sakit adalah suatu
pemandangan yang biasa dilihat, namun tingkah laku tantrum harus segera diatasi pada usia dini
agar tidak menjadi tingkah laku yang menetap pada usia selanjutnya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui adanya perbedaan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia
prasekolah sebelum dan sesudah pelatihan. Penelitian ini menggunakan desain pelatihan one
group pretest posttest design. Intervensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelatihan
komunikasi efektif untuk mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah. Materi yang diberikan
dalam pelatihan ini meliputi karakteristik dan tugas perkembangan anak prasekolah,
perkembangan tantrum, komunikasi efektif dan mengatasi tantrum. Setelah pelatihan dilakukan
evaluasi untuk melihat manfaat pelatihan yang dirasakan oleh ibu untuk melaksanakan hasil
pelatihan di rumah dan hambatan-hambatan yang dihadapi. Analisis data dalam pelatihan ini
merupakan metode analisis data kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan paired sample ttest dan wawancara. Analisis data kuantitatif dalam penelitian ini menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan terhadap pengetahuan mengenai tantrum dan komunikasi efektif
untuk mengatasi anak tantrum sebelum dan setelah intervensi. Hasil analisa kualitatif dengan
wawancara terhadap empat orang partisipan menunjukan bahwa semua partisipan merasakan
manfaat pelatihan dan dapat dapat melakukan komunikasi efektif untuk mengatasi anak tantrum.
Kata kunci
: tantrum, prasekolah, komunikasi efektif
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
ABSTRACT
Name
Student’s ID
Study Program
Interest Area
Thesis’s Tittles
: Agustina Wulandari
: 1006742094
: Psychology
: Early Childhood Applied Psychology
: Effective Communication Training to Enhance Mother’s
Knowledge to Dealing With Preshooler’s Tantrum
Children’s temper tantrum is a common behavior problem that can be seen in any place in public
service areas such as in shopping centre, hospital, etc. However, temper tantrum should be
handled in earlier age to protect children from permanent temper tantrum behavior. The objective
of this research is to know any differences in mother’s knowledge in dealing with temper
tantrum in preschooler’s before and after receiving the training. The design of this research is
one group pretest posttest design with Effective Communication Method intervention. The
moduls of this training were including: characteristics and development task in preschoolers,
temper tantrum, effective communication, and dealing with preschooler’s temper tantrum. The
evaluation after the training also has been done to know the benefit of the training to participants
to implement the moduls in the real activity situations and the obstacle they found. Data analysis
has been done with quantitative and qualitative data analysis by using paired sample t-test from
questionaire and interview. The results shown there is a significantly difference before and after
training intervention in mothers’s knowledge of how to dealing with the tantrum. The qualitative
result shown that the training is usefull and participants can do effective communication in
dealing with preschooler’s tantrum.
Key words : tantrum, preschoolers, effective communication
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
DAFTAR ISI
Halaman Pernyataan Orisinalitas ...........................................................................
i
Halaman Pengesahan .............................................................................................
ii
Kata Pengantar .......................................................................................................
iii
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi ...........................................................
iv
Abstrak ....................................................................................................................
v
Abstract ...................................................................................................................
vi
Daftar Isi .................................................................................................................
vii
Daftar Tabel ............................................................................................................
x
Daftar Gambar ........................................................................................................
xi
Daftar Lampiran .....................................................................................................
xii
I.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah ………………………………………………………… 1
1.2. Permasalahan Penelitian ………………………………………………………… 6
1.3.Tujuan Penelitian ………………………………………………………………… 6
1.4.Manfaat Penelitian ……………………………………………………………….. 7
1.5.Sistematika Penulisan ……………………………………………………………. 7
II.
Tinjauan Pustaka
2.1.Karakteristik Perkembangan Anak Usia Prasekolah 4-5 tahun
2.1.1. Karakteristik perkembangan fisik, motorik, kognitif, dan psikososial ………
9
2.2. Tantrum
2.2.1. Definisi ………………………………………………………………………… 12
2.2.2. Perkembangan Tantrum ………………………………………………………
12
2.2.3. Penyebab Tantrum ……………………..……………………………………..
14
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ……………………………………………. 15
2.3. Komunikasi efektif ……………………….……………………………………… 16
2.4. Gaya Pengasuhan Orang Tua
2.4.1. Definisi ………………………………………………………………………
20
2.4.2. Macam-macam Gaya Pengasuhan ……………………………………………
20
2.4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Pengasuhan Orang tua……………
24
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
2.4. Karakteristik Ibu
2.4.1. Definisi …………………………………………………………………….,.
25
2.4.2. Karakteristik perkembangan fisik, kognitif, dan social emosional………….
26
2.4.3. Tugas perkembangan ibu dengan anak usia prasekolah 3-5 tahun ……….…
26
2.5. Pembelajaran Orang Dewasa
2.5.2.Prinsip-prinsip Pembelajaran orang dewasa…………………………………..
27
2.6. Pelatihan
2.6.1. Definisi …………………………………………………………………………
28
2.6.2.Tujuan dan Manfaat …………………………………………………………….. 28
2.6.3. Model pelatihan ……………………………………………………….……….. 29
2.6.4. Teknik penyusunan program pelatihan …………..….………………………… 30
III.
Metode Penelitian
3.1. Masalah dan tujuan penelitian ………………………………………….……….
33
3.2. Partisipan ………………………………………….…………………………….
33
3.2.1. Kriteria partisipan ….…………………………….…………………………..
33
3.2.2. Proses perekrutan partisipan …………………………………………………
34
3.2.3. Populasi Penelitian ……………………………….…………………………
35
3.2.4. Sampel Penelitian ….…………………………….…………………………..
35
3.3. Jenis dan desain penelitian ….…………………………….…………………….
36
3.4. Prosedur penelitian ……………………………………….……………………..
37
3.4.1. Tahap Persiapan Penelitian ….…………………………….………………….
37
3.4.2. Tahap Pembuatan Program Pelatihan ….…………………………….………..
38
(1) Rancangan program ….…………………………….…………………………. 39
(2) Fasilitator pelatihan ………….…………………….…………………………. 40
(3) Waktu pelaksanaan pelatihan. .………………………….……………………
41
(4) Sarana Pendukung ………………………………….………………………… 41
3.5. Metode Pengumpulan Data ….…………………………….…………………….
43
3.6. Alat Ukur ….……………………………………………….……………………. 44
3.7.Metode analisis data ….…………………………………….…………………….
47
3.8. Materi Kegiatan ….………………………...……………….……………………. 47
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
IV.
Hasil Penelitian dan Analisis Data
4.1. Gambaran umum partisipan ….………………………………………………….. 54
4.1.1. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Usia ….…………………………….…… 54
4.1.2. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Pendidikan ……..………………….…… 55
4.1.3. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Jenis Pekerjaan ….……………………… 56
4.1.4. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Jumlah Anak yang Dimiliki …..……… 57
4.2.Analisis Data Kuantitatif ….…………………………………………………….
57
4.2.1. Hasil Penelitian Pengetahuan Para Ibu Mengenai Tantrum………………….. 57
4.2.2. Hasil Penelitian Perubahan Cara Komunikasi Ibu dalam Mengatasi Anak
Tantrum Melalui Metode Bermain Peran
……………………………
4.3. Analisis Data Kualitatif : Wawancara dengan Partisipan Pasca Pelatihan……..
V.
59
61
Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
5.1.Kesimpulan .. ….…………….…………………………….……………………… 64
5.2. Diskusi .. ….……………………………………………….……………………. 64
5.3. Saran …...………………………………………………….……………………. 68
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………….. 69
Lampiran …………………………………………………………………………….. 73
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tabel Hubungan antara Gaya Pengasuhan dan Kualitas Anak …..
23
Tabel 2.2. Contoh kalimat positif dan negatif ……………………………….
26
Tabel 3.1. Kisi-kisi kuesioner pengetahuan tentang tantrum …………………
43
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Behavioral Checklist Perubahan Cara Komunikasi Ibu
dalam Mengatasi AnakTantrum ……………………………………
44
Tabel 3.3 Kategorisasi Reabilitas Alat Ukur …………………………………...
46
Tabel 3.4 Kisi-kisi wawancara pasca pelatihan ………………………………..
46
Tabel 4.1 Skor Pengetahuan Para Ibu mengenai Tantrum …………………….
59
Tabel 4.2 Skor Pre-test dan Posttest Perubahan Cara Komunikasi Ibu dalam
Mengatasi Tantrum ………………………………….………………
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
61
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Interaksi kehangatan dan penerapan disiplin terhadap gaya
parenting …………………………………………………………..
21
Gambar 4.2: Persentase berdasarkan Usia Ibu …………………………………..
54
Gambar 4.2: Persentase Latar Belakang Pendidikan Para Ibu …………………..
55
Gambar 4.3: Persentase Jenis Pekerjaan Para Ibu ……………………………….
56
Gambar 4.4: Persentase Jumlah Anak yang Dimiliki Para Ibu …………………..
57
Gambar 4.5: Skor Pengetahuan Para Ibu Mengenai Tantrum
(Pretest dan Posttest) ………………………………………………. 58
Gambar 4.6: Skor Behavior Checklist Pre-test dan Posttest Cara Komunikasi Ibu
dalam Mengatasi Tantrum ………………………….……………… 60
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal pelatihan komunikasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu
dalam mengatasi tantrum ………………………………………………..
73
Lampiran 2. Data peserta pelatihan …………………………………………………… 79
Lampiran 3. Data kuesioner terbuka ………………………………………………….
82
Lampiran 4. Data Behavior Checklist…………………………………………………
83
Lampiran 5. Hasil Output SPSS 17…………………………………………………...
85
Lampiran 6. Hasil wawancara pasca pelatihan ……………………………………….
87
Lampiran 7. Hasil Evaluasi Pelatihan ………………………………………………..
89
Lampiran 8. Foto-Foto Kegiatan ……………………………………………………..
95
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kita sering melihat anak menangis menjerit-jerit, menendang, menarik-narik baju
ibunya, ataupun berguling-guling di lantai ketika sedang berada di pusat-pusat
perbelanjaan. Anak yang bertingkah laku demikian membuat orang tua merasa malu
karena semua mata memandangi mereka. Pandangan mata orang-orang membuat orang
tua merasa tertekan, belum lagi komentar yang diberikan oleh pengunjung lain sering kali
memaksa orang tua segera mengabulkan keinginan anak untuk menghentikan
kelakuannya. Anak mengetahui bahwa orang tua akan segera mengabulkan keinginan
mereka jika mereka berperilaku demikian dan mereka mengulanginya setiap kali mereka
menginginkan sesuatu. Tingkah laku demikian dalam istilah psikologi disebut tantrum.
Masyarakat di Indonesia menyebutnya mengadat atau mengamuk. Berdasarkan fenomena
tersebut dilakukan praasesmen dengan mewawancarai 10 orang ibu yang tinggal di
wilayah kelurahan Pancoran Mas.
Hasil wawancara kepada 10 orang ibu
yang memiliki anak usia 3-5 tahun,
diperoleh masalah tingkah laku anak yang paling menempati 5 permasalahan terbesar
adalah masalah anak yang tantrum, (orang tua menamai tingkah laku tersebut menangis
berguling, marah menjerit-jerit, ngambek, ngamuk), tidak patuh pada orang tua, susah
makan (pilih-pilih makanan), mengompol, bertengkar dengan kakak/adik. Lebih dari
separuhnya mengatakan anak mereka masih melakukan tantrum di rumah maupun di
tempat-tempat umum meskipun usia anak lebih dari 5 tahun. Sisanya mengatakan sudah
jarang. Hasil wawancara juga menunjukan penyebab terbesar tantrum adalah karena
keinginannya tidak bisa dipenuhi dengan segera (60%), misalnya minta dibelikan mainan
atau makanan, atau mengajak pergi ke suatu tempat, dan keasyikannya terganggu (40%),
misalnya disuruh berhenti bermain untuk makan atau mandi. Ini menunjukan bahwa
diperlukan suatu pelatihan untuk mengatasi tingkah laku tantrum.
Dua orang ibu mempunyai anak yang melakukan tantrum lebih dari sepuluh kali
sehari. Salah seorang ibu (Hp) mengatakan bukan anak keduanya saja yang masih
tantrum bahkan anak pertamanya masih melakukan tantrum sampai sekarang, berusia 8
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
tahun. Anak melakukan tantrum dengan berguling-guling di lantai dan menendang meja
dan kursi. Ibu sudah berusaha menasehati bahkan memarahi namun tidak tampak
hasilnya. Tingkah laku tantrum ini membuat ibu merasa habis akal dan mengikat anaknya
di kursi. Ibu merasa bersalah dan akhirnya mengabulkan keinginan anak, namun tingkah
laku tantrumnya tidak berkurang.
Seorang ibu lainnya mengatakan anaknya masih
tantrum meskipun sudah berusia lebih dari 4 tahun . Anak tersebut melakukan tantrum
ketika keinginannya untuk jajan ditolak. Ibu merasa stres karena pengeluaran untuk jajan
anak sama dengan belanja dalam sehari. Ibu sering putus asa dalam menghadapi anak
yang tantrum dan melakukan tindakan yang dapat menyakiti anak yaitu memukul atau
mencubit. Setelah mencubit atau memukul, ibu merasa bersalah sehingga memberi uang
jajan lagi. Semua ibu merasa sudah berupaya maksimal untuk mengatasi tingkah laku
anaknya namun tingkah laku tersebut selalu berulang kembali.
Tingkah laku tantrum merupakan salah satu masalah tingkah laku yang terjadi
pada anak usia dini (Sanders, 1997). Tantrum biasanya terjadi karena anak mengalami
emosi marah, depresi, kesedihan yang mendalam, dan stress, dan tidak tahu bagaimana
cara mengekspresikan emosi tersebut. Emosi tersebut menyebabkan anak frustrasi dan
dikeluarkan dalam bentuk tingkah laku tantrum (Borba, 2009). Tantrum merupakan
masalah perkembangan yang harus segera diatasi karena masalah tingkah laku yang tidak
diatasi segera akan menjadi pola tingkah laku yang menetap dan berkembang menjadi
masalah tingkah laku yang serius di usia berikutnya, seperti impulsif, melawan orang tua,
dan aturan di rumah (www.kidsmatter.edu.au).
Selain untuk mencegah tingkah laku yang serius, masalah tantrum juga harus
segera diatasi karena dapat mengganggu tugas perkembangan anak usia prasekolah.
Anak prasekolah berada pada fase anak usia dini dan sering disebut sebagai usia emas
(golden age) karena anak pada usia ini mempunyai beberapa periode kritis
perkembangan, yaitu perkembangan fisik, motorik, kognitif dan psikososial. Periode
krtitis sangat penting
dan menjadi dasar seluruh perkembangan di usia selanjutnya
(Baltes dalam Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Perkembangan tersebut juga
saling berkaitan satu sama lain. Perkembangan psikososial-emosional berpengaruh
terhadap perkembangan kognitif. Perkembangan psikososial anak usia prasekolah
memegang peranan penting (Tracy Dennis, 2006). Erikson mengatakan perkembangan
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
psikososial anak usia prasekolah berada pada fase initiative versus guilt (Erik Erikson
dalam Papalia, Old, dan Martorell, 2012). Anak pada periode ini mengembangkan
inisiatifnya dengan menjelajahi lingkungan disekitarnya. Mereka gemar menanyakan
apa-apa yang dilihat, didengar, maupun dirasakannya. Anak pada usia ini juga mulai
menunjukan kemandirian. Anak ingin melakukan semua tugas atau pekerjaan tanpa
bantuan orang tua padahal belum bisa melakukan semuanya. Orang tua merasa khawatir
dan melarang anak sedangkan anak tidak mau dilarang, di sinilah konflik dimulai.
Konflik yang tidak segera diatasi ini akan membuat anak merasa stres dan melakukan
tantrum. Anak merasa tidak mendapat dukungan dari orang tua dalam mengembangkan
inisiatifnya. Anak yang tidak mendapatkan dukungan yang diharapkan akan membentuk
rasa bersalah (guilt) dan insiatif dan kreatifitasnya menurun bahkan bisa hilang. Anak
yang mendapatkan dukungan dari orang tua kemampuan inisiatifnya berkembang dengan
baik dan anak semakin meningkatkan kreativitasnya dalam menjelajahi lingkungan
disekitarnya. Anak yang membentuk inisiatif, perkembangan kognitifnya juga optimal,
maka untuk membentuk anak yang inisiatif tingkah laku tantrum perlu segera diatasi.
Tingkah laku tantrum dipengaruhi oleh berbagai faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal yang berpengaruh pada frekuensi tantrum anak adalah temperamen dan
usia (Hammer, 1998 dalam Frey, 2003), sedangkan faktor eksternal yang paling
berpengaruh adalah keluarga. Anak dengan temperamen sulit lebih sering frustrasi dan
sulit mengendalikan amarah dibandingkan anak dengan temperamen mudah, sehingga
lebih sering tantrum (Buss & Goldsmith, 1998 dalam Frey, 2003). Frekuensi tantrum
juga sebanding dengan bertambahnya usia. Anak usia prasekolah 4-6 tahun, frekuensi
dan durasi temper tantrumnya berkurang dibandingkan pada waktu berusia 2-4 tahun
(Frey, 2003). Temperamen merupakan faktor bawaan sejak lahir, namun pengasuhan dan
lingkungan yang baik dapat mempengaruhi temperamen agar berkembang sesuai yang
diharapkan. Tingkah laku tantrum pada anak dengan temperamen sulit bisa diminimalisir
dengan cara mengatasi yang tepat.
Borba (2009) mengatasi tingkah laku tantrum pada anak melalui 3 tahap yaitu
tahap pertama intervensi awal untuk mencegah anak tantrum, tahap kedua respon cepat
pada saat anak tantrum dan tahap ketiga adalah mengubah kebiasaan tingkah laku
tantrum. Metode yang dilakukan dalam ketiga tahap tersebut adalah metode mendengar
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
aktif, mengenali dan menerima perasaan anak, serta menyelesaikan konflik secara positif.
Berdasarkan hal itu maka peneliti mengambil metode komunikasi efektif untuk mengatasi
tantrum pada anak prasekolah karena metode mengatasi tantrum yang ditulis oleh Borba
merupakan bagian dari komunikasi efektif.
Dasar penyusunan komunikasi efektif
diambil dari teori komunikasi efektif Gordon (1993) dan Miller (2000). Miller
mengelompokan komunikasi efektif ke dalam 5 kelompok yaitu meliputi mendengar
aktif, mengenali dan menamai perasaan, memberikan instruksi positif, komunikasi
asertif, dan mengelola konflik secara positif.
Komunikasi efektif menciptakan hubungan yang akrab antara orang tua dan anak
dan membuat anak bahagia karena merasa dicintai dan dihargai. Anak yang bahagia akan
lebih peduli, percaya pada diri dengan kemampuannya, melakukan tugas dengan baik,
lebih ramah, dan responsif terhadap orang lain. Komunikasi efektif adalah cara
komunikasi yang baik karena pesan yang disampaikan orang tua sama dengan pesan yang
diterima anak. Komunikasi yang efektif, selain menciptakan hubungan yang akrab antara
orang tua dan anak juga membuat anak belajar berkomunikasi secara efektif. Anak
belajar dengan meniru. Orang tua yang melakukan komunikasi efektif dengan anak
menjadi
model
yang
baik
untuk
anak
dalam
mengembangkan
kemampuan
komunikasinya menjadi komunikasi efektif pula.
Orang tua sering tidak tahu bagaimana berkomunikasi secara efektif dengan anak.
Orang tua hanya berkomunikasi ketika anak melakukan kesalahan atau menggunakan
kalimat yang biasa digunakan ketika berkomunikasi dengan sesama orang dewasa
sehingga anak kurang memahami apa yang diinginkan oleh orang tuanya dan hal itu
membuat anak frustrasi sehingga melakukan tantrum, maka untuk penanganan cepat dan
tepat dalam mengatasi anak yang tantrum adalah dengan komunikasi efektif. Brooks
(1991) mengatakan komunikasi merupakan faktor penting dalam pengasuhan dan cara
orang tua berkomunikasi dipengaruhi gaya pengasuhan.
Faktor-faktor penting dalam pengasuhan adalah menjadi model (contoh) bagi
anak, komunikasi yang hangat antara orang tua dan anak, memberi kepercayaan pada
anak, jujur, menghormati anak, memberikan kasih sayang dan disiplin, memberikan label
yang baik, waktu, perhatian, dan kepedulian pada anak Brooks (1991). Pendapat yang
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
sama disampaikan oleh Baumrind. Baumrind mengatakan ada 4 dimensi penting dalam
pengasuhan yaitu cara penerapan disiplin, kehangatan dan pelayanan pada anak, cara
komunikasi, dan harapan terhadap kematangan dan kontrol. Berdasarkan keempat
dimensi tersebut, gaya pengasuhan terbagi 4 yaitu permisif, otoriter, autoritatif, dan
mengabaikan (Baumrind, 1991). Pengasuhan yang baik akan meningkatkan kualitas anak
yaitu kompetensi dan ketangguhan anak (Brooks, 1991). Anak yang kompeten dan
tangguh tidak cepat frustrasi ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan.
Menurut penelitian Baumrind (1991), gaya pengasuhan yang menghasilkan kualitas anak
paling unggul adalah gaya pengasuhan autoritatif. Orang tua dengan gaya pengasuhan
otoritatifmenerapkan metode anti kalah dalam pengasuhan sehingga orang tua selalu
melakukan komunikasi efektif untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan
konflik dengan anak (Gordon, 1993). Meskipun demikian, orang tua dengan gaya
pengasuhan yang lain seperti otoriter, permisif dan mengabaikan juga dapat melakukan
komunikasi efektif dengan anak jika mau belajar dan berlatih.
Orang tua terdiri dari ayah dan ibu. Meskipun ayah dan ibu mempunyai peran
yang sama pentingnya dalam mendidik anak usia dini namun ibu mempunyai ikatan yang
kuat dengan anak sejak dalam kandungan dan terus berkembang setelah anak dilahirkan
selama ibu menjadi pengasuh utama (Mirriam Spinner, 1978, Sutcliffe,2002 dalam
Papalia, Feldmandan Martorell, 2012). Anak tumbuh, mengembangkan kemampuannya
dengan melihat dan meniru ibunya dan mengikuti perintahnya. Anak melakukan sesuatu
berdasarkan pujian dan dorongan dari ibunya. Ibu sering kali melakukan tugas
pengasuhan utama di sebagian besar keluarga, meskipun pada beberapa keluarga
pengasuh utama digantikan oleh kakak, nenek, anggota keluarga lain, atau pengasuh yang
dipekerjakan, namun tanggung jawab pengasuhan utama tetap berada di tangan ibu
sehingga apabila terjadi permasalahan atau kenakalan anak maka ibu yang dipersalahkan,
padahal ibu tidak pernah dilatih. Ibu yang mendapatkan pelatihan untuk menghadapi anak
yang tantrum akan mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalah
tingkah laku tantrum pada anak usia prasekolah.
Ibu sebagai orang dewasa mempunyai cara belajar yang berbeda dengan anak.
Cara belajar orang dewasa disebut pendidikan orang dewasa (andragogi), sedangkan cara
belajar anak disebut pedagogi (Malcolm Knowles, 1970 dalam Suprananto, 2012).
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Konsep andragogi terdiri atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi.
Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut: orang dewasa konsep dirinya sudah
matang sehingga dapat mengarahkan diri sendiri. Kedua, orang dewasa sudah punya
pengalaman maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman
lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai. Asumsi ketiga, orang dewasa belajar sesuatu
karena membutuhkan tingkatan perkembangan dan asumsi keempat orang dewasa
cenderung
memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan masalah
kehidupannya.
Pembelajaran dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode, diantaranya
metode ceramah, diskusi, pelatihan, dan lain-lain. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini berbentuk pelatihan. Menurut Fauzi (2011), pelatihan adalah suatu proses
dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan
kelompok atau organisasi. Pelatihan dapat bermanfaat jika dilakukan dengan tahapan atau
langkah-langkah yang sistematis. Secara umum ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap
penilaian kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan, dan tahap evaluasi (Fauzi, 2011).
Metode pelatihan dipilih karena cara menghadapi anak tantrum merupakan suatu
keterampilan sehingga pelatihan merupakan sarana yang paling efektif untuk
mengajarkan suatu keterampilan baru.
B. Permasalahan Penelitian
Masalah yang dihadapi adalah para ibu tidak mengetahui bagaimana cara
menghadapi anak ketika temper tantrum supaya masalah tingkah laku temper tantrum ini
tidak berulang terus-menerus. Berdasarkan hal di atas maka permasalahan
pada
penelitian ini adalah: “Apakah ada perbedaan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum
pada anak usia prasekolah sebelum dan sesudah pelatihan ?”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk:
meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini bagi para ibu adalah:
-
Ibu mengetahui cara tepat untuk mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah
sehingga tingkah laku tantrum dapat segera diatasi.
Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah:
-
Peneliti mengetahui efektifitas pelatihan komunikasi efektif terhadap peningkatan
pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah
E. Sistematika Penulisan
Bab I: Pendahuluan
Bab Pendahuluan berisi berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah yang
menimbulkan ketertarikan peneliti untuk menyususn program pelatihan mengatasi
anak tantrum. Selain itu juga dicantumkan perumusan
masalah, tujuan, manfaat,
dan sistematika penulisan.
Bab II: Tinjauan Pustaka
Bab Tinjauan Pustaka berisi landasan teori yang digunakan dalam penyusunan
program mengatasi anak tantrum meliputi karakteristik anak usia prasekolah, masalah
tingkah laku tantrum, definisi, penyebab, dan faktor-faktor yang mempengaruhi, gaya
pengasuhan, komunikasi efektif berisi mendengar aktif, mengenali dan menerima
perasaan, instruksi positif, komunikasi asertif dan menyelesaikan konflik secara
positif, pembelajaran orang dewasa, dan pelatihan.
Bab III: Metode Penelitian
Bab Metode Penelitian berisi penyusunan program, yang berisi uraian mengenai
tahapan-tahapan
dalam menyusun program mengatasi anak tantrum berupa
penentuan partisipan dan lokasi penelitian, jenis dan desain penelitian yang
digunakan dan jadwal penelitian. Selain itu juga terdapat rancangan alat ukur yang
akan digunakan untuk mengevaluasi hasil pelatihan.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Bab IV: Hasil dan Pembahasan
Bab Hasil dan Pembahasan berisi demografi partisipan, hasil analisis kuantitatif dan
kualitatif dari data yang diperoleh. Demografi partisipan berisi rentang usia
partisipan, tingkat pendidikan, dan pekerjaan dan jumlah anak. Analisis kuantitatif
berisi pengetahuan ibu mengenai anak tantrum dan cara mengatasi tantrum dengan
komunikasi efektif sebelum dan sesudah pelatihan dan analisis kualitatif
berisi
wawancara dengan ibu-ibu pasca pelatihan untuk mengetahui manfaat pelatihan
bagipara ibu dan penerapan hasil pelatihan di rumah.
Bab V: Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab terakhir ini menjelaskan mengenai kesimpulan hasil pelaksanaan program
mengatasi anak tantrum, diskusi mengenai kelebihan dan kelemahan penelitian, serta
saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab kedua ini berisi tinjauan kepustakaan yang dipakai sebagai acuan dalam
penelitian efektivitas pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi
tantrum pada anak usia prasekolah. Tinjauan kepustakaan ini meliputi karakteristik
perkembangan anak usia prasekolah 3-5 tahun, definisi, penyebab, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi tantrum, komunikasi efektif, gaya pengasuhan, faktor-faktor yang
mempengaruhi gaya pengasuhan, karakteristik perkembangan ibu sebagai dewasa muda
dan sebagai ibu dengan anak usia prasekolah. Selain itu juga diuraikan juga kepustakaan
mengenai pembelajaran orang dewasa serta segala sesuatu yang berkaitan dengan
pelatihan.
2.1. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Prasekolah
Anak prasekolah adalah anak yang belum memasuki sekolah atau pendidikan
formal, atau dengan kata lain anak yang belum memasuki sekolah dasar. Menurut
Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) anak prasekolah adalah anak yang berusia 3-5
tahun. Anak pada usia ini memiliki beberapa perkembangan khusus dalam perkembangan
fisik, motorik, kognitif, sosial dan emosinya. Perkembangan tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain, Sebagai contoh kemampuan fisik dan motorik
mempengaruhi kemampuan sosial (Henniger, Michel L., 2009), misalnya anak yang
berbadan tinggi besar, perkembangan fisiknya normal lebih percaya diri dibandingkan
anak yang perkembangan fisiknya kurang misalnya badannya lebih pendek dari temanteman sekelasnya. Sebaliknya perkembangan psikososial berpengaruh terhadap
perkembangan fisik-motorik, misalnya anak yang percaya diri merasa mampu
menggambar atau menulis akan rajin melakukan hal tersebut sehingga kemampuan
motorik halusnya berkembang baik.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Perkembangan fisik anak usia prasekolah mulai melambat dibanding usia
sebelumnya. Pada usia ini anak mulai kehilangan postur bayinya dan mulai langsing
(Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
155/ Menkes/Per/I/2010 yang tertuang dalam Kartu Menuju sehat (KMS) anak usia ini
mempunyai berat badan rata-rata 16 kg pada usia 4 tahun (48 bulan) dengan tinggi badan
94 cm dan 19 kg pada usia 5 tahun dengan tinggi badan rata-rata 100 cm. Rata-rata
pertumbuhan berat dan tinggi badan anak pada usia ini adalah sekitar 2-3 kg dan 5-7 cm
pertahun. Perkembangan fisik juga diikuti perkembangan motorik kasar dan motorik
halus. Anak prasekolah dapat berlari lebih jauh dan lebih cepat, efektif dalam berhenti,
mulai lagi dan berbalik arah. Meloncat sejauh 0.5 sampai 1 meter, menaiki tangga dengan
kaki bergantian, dan meloncat dengan satu kaki sejauh 4-6 loncatan tanpa terjatuh
(Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Selain perkembangan motorik kasar anak usia
prasekolah juga mengembangkan keterampilan motorik halusnya. Keterampilan motorik
halus yang berkembang pada usia ini adalah mengancingkan baju, memegang pensil dan
menggambar dan lain-lain.
Jean Piaget dalam Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) mengatakan
perkembangan kognitif anak usia prasekolah berada pada fase preoperasional. Anak pada
fase ini belum dapat menghubungkan logika operasi mental atau logika operasi yang
tidak konkrit. Anak usia ini hanya mampu memikirkan logika yang konkrit. Meskipun
demikian pada fase preoperasional ini anak sudah mempunyai kemampuan memahami
fungsi simbolik, letak objek dalam ruang, sebab akibat, identitas dan kategorisasi, dan
konsep bilangan. Fase preoperasional selain mempunyai kelebihan juga mempunyai
beberapa keterbatasan diantaranya egosentris dan tidak memahami konservasi (Papalia,
Old, dan Frieman, 2012). Egosentris adalah bentuk dari pemusatan. Sifat egosentris pada
anak usia prasekolah berarti anak memandang segala sesuatu berpusat pada dirinya.
Segala sesuatu disebabkan oleh dirinya. Jika orangtua bermasalah atau kakaknya sakit, ia
merasa menjadi penyebabnya. Anak pada usia ini juga selalu merasa dirinya benar, ia
merasa segala sesuatu adalah miliknya, semua mainan, buku cerita dan semua yang
dilihat adalah miliknya, dan jika menginginkan sesuatu maka ia harus mendapatkan apa
yang ia mau, dan ia akan melakukan apapun untuk memperoleh keinginannya termasuk
menangis berguling-guling.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Perkembangan kognitif pada usia ini juga menyebabkan perkembangan bahasa
yang cukup pesat dalam kosa kata namun masih rancu dalam penggunaan tata bahasa
dan sintaksis (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Akibatnya kalimat yang digunakan
oleh anak masih sulit dipahami oleh orangtua sehingga komunikasi orangtua dan anak
belum lancar, apalagi sebagian anak yang berusia 3 tahun masih cadel. Anak prasekolah
dapat mengucapkan kalimat yang terdiri dari 4-5 kosa kata, meskipun maknanya kadang
tidak tepat. Kemampuan anak untuk berkomunikasi ini berakibat pada perkembangan
psikososialnya.
Perkembangan psikososial anak usia prasekolah menurut Erikson dalam Papalia,
Feldman, dan Martorell (2012) adalah berada pada fase initiative versus guilt. Pada fase
ini anak banyak melakukan aktivitas-aktivitas eksplorasi untuk membentuk inisiatifnya.
Konflik muncul ketika rencana aktivitas yang dibuat oleh anak tidak dapat dilaksanakan.
Hal inilah yang memicu stres pada anak. Oleh sebab itu, anak harus belajar untuk
memahami dan mengendalikan emosi agar tidak mudah stres (Dennis, 2006 dalam
Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Menurut Duvall (1977)
kemampuan
mengendalikan emosi termasuk belajar mengekspresikan perasaannya, rasa frustrasi,
kebutuhan dan pengalamannya, belajar menunda keinginan dan menunggu kepuasan,
memperbaiki rasa senang atau sedih dengan rasa senang, antusias, lembut, sayang,
simpati, takut, cemas, rasa belas kasihan, kesedihan, dan lain-lain. Cara untuk
membentuk inisiatif dan menghindari rasa bersalah adalah orangtua harus mendukung
dengan memberikan cukup kebebasan pada anak untuk melakukan eksplorasi, memberi
apresiasi jika anak berhasil dan memaafkan jika anak gagal.
Anak yang mendapat dukungan dari orangtua akan membentuk inisiatif yang
akan bermanfaat terhadap pembentukan konsep diri (self concept) dan rasa percaya diri
(self esteem). Menurut Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) konsep diri adalah cara
pandang seseorang terhadap kemampuan dirinya dan tujuan yang hendak dicapainya.
Anak yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi akan termotivasi untuk meraih
sukses dan kesuksesan itu menambah rasa percaya dirinya. Sebaliknya anak yang rasa
percaya dirinya rendah merasa ia tidak mampu meraih kesuksesan sehingga ia tidak mau
berusaha atau mencoba.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Karakteristik anak prasekolah menyebabkan anak prasekolah lebih mandiri dalam
mengurus dirinya sendiri, oleh karena itu anak pada usia ini ingin mengerjakan sendiri
segala sesuatu padahal tidak semua hal bisa dikerjakannya. Orangtua berusaha
melindungi
anak
dengan
melarang
anak
melakukan
sesuatu
yang
dianggap
membahayakan anak. Larangan ini justru membuat anak marah dan melakukan tantrum.
Hal ini diperkuat dengan sigfat egosentris anak sehingga tidak mau menerima pendapat
orang lain. Faktor pemicu tantrum lainnya adalah kesulitan yang dialami anak prasekolah
untuk berkomunikasi dengan orang lain karena si pendengar tidak memahami makna
kalimat yang disampaikan anak tersebut.
2.2. Tantrum
Subbab temper tantrum ini akan menerangkan mengenai definisi tantrum,
perkembangan, penyebab, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
2.2.1. Definisi Tantrum
Menurut kamus bahasa Inggris tantrum diterjemahkan sebagai kemarahan atau
luapan kemarahan atau kemurkaan (Nichols dan Shadily, 2002). Tantrum dipakai untuk
kondisi anak yang menangis menjerit-jerit, berguling-guling, memukul atau menendang
bahkan kadang-kadang menahan nafas (Fetsch dan Jacobson, 1996, 2007). Mencari
padanan kata yang sesuai dengan tingkah laku tantrum cukup sulit.
Tingkah laku
tantrum dikenal masyarakat dengan istilah mengadat atau mengamuk. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ditulis oleh Moeliono dan kawan-kawan (2012),
mengadat berarti merajuk dan menangis dan mengamuk berarti menyerang membabi buta
karena marah (Moeliono, 2012). Pada penulisan tesis ini tetap digunakan istilah tantrum.
2.2.2. Perkembangan Tantrum
Ttantrum biasanya mulai muncul pada usia 2-3 tahun ketika anak mulai
membentuk rasa percaya diri (Fetsch dan Jacobson, 2007) karena anak pada usia ini
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
berada pada tahap otonomi vs shame and doubt (Erikson dalam Papalia, Feldman, dan
Martorell, 2012). Anak usia ini ingin menunjukan otonominya sehingga merasa bisa
melakukan segala sesuatu, padahal tidak. Emosi mereka berkembang lebih pesat daripada
kemampuan pengendaliannya. Tantrum disebabkan emosi marah, depresi, kesedihan
yang mendalam, dan stres yang tidak dapat dikendalikan (Borba, 2009). Sekitar 23%83% anak usia 2-4 tahun melakukan tantrum sekali dalam seminggu, dan 20%
diantaranya tantrum setiap hari. Namun demikian, banyak pula anak usia lebih dari 4
tahun yang masih tantrum. Anak yang berusia lebih dari 4 tahun frekuensi tantrum mulai
menurun, namun ada pula yang mulai menurun pada usia 5 tahun (Fletsch dan Jacobson,
2007). Menurut Borba (2009) perkembangan tingkah laku tantrum pada anak adalah
sebagai berikut:
1. Anak usia 2-3 tahun. Anak pada usia ini 80% menunjukan tingkah laku tantrum,
dan 20% anak tantrum 2 kali atau lebih dalam sehari.
2. Anak usia prasekolah (3-5 tahun).
Anak usia prasekolah
20% diantaranya
melakukan tantrum 2 kali atau lebih dalam sehari dan anak di atas usia 4 tahun
hanya 11% yang menunjukan tingkah laku tantrum lebih dari 2 kali sehari.
3. Anak usia sekolah (6-8 tahun). Anak usia ini seharusnya tidak menunjukan tingkah
laku tantrum, seandainya ada persentasenya sangat kecil. Tantrum pada anak usia
sekolah ditunjukan dengan perilaku impulsif, membangkang, mudah frustrasi, dan
mudah “meledak” jika sedang marah. Tingkah laku tantrum ini muncul jika anak
mengalami trauma, diatur orangtua dengan sangat ketat atau karena perubahan
lingkungan yang tajam karena pindah rumah atau perceraian.
4.
Tantrum pada usia remaja dan dewasa. Beberapa orang remaja dan dewasa juga
dapat menunjukan tingkah laku tantrum. Tingkah laku tantrum pada remaja dan
orang dewasa ditunjukan dengan mengamuk ketika keinginannya tidak dapat
dipenuhi. Tingkah laku ini yang masih menetap hingga usia dewasa memerlukan
pertolongan ahli.
Penelitian Borba di atas menunjukan bahwa semakin tinggi usia anak, tingkah laku
tantrum semakin menurun. Tingkah laku tantrum diawali dengan merajuk (whinning),
menangis (crying), menjerit (screaming), memukul (hitting), menendang (kicking),
menarik baju/rambut orangtua, dan berguling-guling di lantai. Beberapa anak juga
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
menahan nafas (holding the breath) ketika tantrum (Fetsch dan Jacobson, 2007).
Tingkah laku tantrum perlu diwaspadai oleh orangtua jika:
1. Frekuensi dan intesitas meningkat.
2. Mengancam keselamatan anak dan orang lain.
3. Tidak sesuai dengan tahap perkembangannya (tingkah laku temper tantrum
seharusnya mulai menurun pada usia 4 tahun.
4. Tantrum yang disebabkan oleh emosi yang tersembunyi misalnya kejadian traumatis
atau anak mengalami stres berkepanjangan.
5. Tantrum yang disebabkan oleh kondisi fisik, misalnya kelainan sistem syaraf.
2.2.3. Penyebab Tantrum
Borba (2009) mengatakan anak melakukan tantrum karena marah, frustrasi, stres,
dan kesedihan yang mendalam. Borba mengatakan penyebab marah, frustrasi, stres, dan
sedih pada anak-anak itu akibat pengubahan kondisi yang drastis seperti pindah tempat
tinggal, bencana alam, atau perceraian, namun penelitian Katrinca Ford (2012)
menemukan penyebab temper tantrum lebih luas lagi. Ford (2012) mengatakan anak
tantrum
karena 3 alasan yaitu untuk berkomunikasi dengan ortu/pengasuh, untuk
menguji suatu aturan, dan untuk melepaskan energi
emosional karena marah atau
frustasi.
Awalnya anak melakukan tantrum untuk berkomunikasi dengan orang tua atau
pengasuh. Anak ingin orangtua tahu bahwa mereka lapar, sakit, mengantuk, dan lainlain. Ketika anak mulai bisa bicara, mereka mengeluarkan perasaannya dengan kata-kata,
namun ketika stres anak kehilangan kata-kata dan kembali melakukan tantrum (Ford,
2012). Perkembangan kognitif dan kemampuan fisik anak usia dini lebih cepat
dibandingkan perkembangan kemampuan komunikasi dengan kata-kata. Perkembangan
penggunaan kata-kata yang cepat dapat mengurangi tantrum. Orangtua dapat
menstimulasi komunikasi anak dengan cara komunikasi efektif (Miller, 2000).
Alasan kedua anak melakukan tantrum adalah untuk melawan
kontrol dari
orangtua yaitu untuk memperoleh keinginannya. Anak menginginkan sesuatu yang
dilarang oleh orangtuanya atau anak tidak setuju dengan peraturan yang dibuat orangtua
dan berusaha menguji batas kekuatan peraturan tersebut. Anak juga ingin melakukan
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
sesuatu yang belum bisa dikerjakannya karena anak sedang berusaha menunjukan
kemandiriannya dengan melakukan semua hal yang diinginkan, meskipun kadang-kadang
membahayakan dirinya, sedangkan orangtua berusaha untuk menjaga anak agar selamat
dari bahaya. Anak juga melakukan tantrum untuk memperoleh perhatian. Hal yang perlu
diperhatikan adalah meskipun tujuan utamanya mendapatkan perhatian dan keinginan,
perhatian, dan pemenuhan keinginan yang terus-menerus tidak akan menghentikan
tantrum malah justru meningkatkan frekuensinya.
Alasan ketiga adalah untuk melepaskan energi emosional. Emosi menyebabkan
reaksi fisik pada tubuh. Anak tidak dapat menahannya sehingga terjadi ledakan emosi.
Pada beberapa anak mempunyai temperamen yang sulit menahan ledakan emosi. Anak
memerlukan waktu untuk belajar mengendalikan emosinya. Oleh karena itu diperlukan
dukungan dari orangtua atau pengasuh untuk memahami berbagai macam emosi yang
dimiliki dan bagaimana mengekspresikan emosi tersebut dengan cara yang dapat diterima
lingkungan. Beberapa anak yang tantrum karena ledakan emosi biasanya mudah reda,
hanya perlu didiamkan sejenak, dipeluk atau diberikan kata-kata yang menenangkan.
2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tantrum
Faktor-faktor yang mempengaruhi tantrum disebut faktor risiko (risk factor).
Faktor resiko terbagi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang
mempengaruhi adalah temperamen dan usia. (William Sears & Martha Sears, 1995).
Seperti dikatakan di atas, tantrum adalah emosi yang “meledak” karena anak tidak
mampu mengendalikannya dan 50% pengendalian emosi anak dipengaruhi oleh
temperamen (Hammer, 1998 dalam Frey, Diane E). Anak dengan temperamen sulit
frekuensi tantrum lebih tinggi dibandingkan anak dengan temperamen mudah. Anak
dengan temperamen sulit bisa melakukan tantrum 10-15 kali sehari. Anak dengan
temperamen mudah melakukan tantrum 3-4 kali sehari selama 15 menit Sebagian anak
prasekolah hanya melakukan tantrum di rumah dan tidak di sekolah namun ada juga anak
yang temper tantrum di sekolah.
Faktor internal lain yang turut andil dalam menurunkan frekuensi tantrum adalah
usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin rendah frekuensi temper
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
tantrumnya (Borba, 2009). Hal ini terjadi pertama karena anak mulai banyak menguasai
kosa kata untuk mengeluarkan emosi dan perasaannya dengan menggunakan kata-kata
atau kalimat, dan kedua karena kematangan (mature). Salah satunya adalah kematangan
kognitif. Kematangan kognitif yang terjadi selama masa prasekolah dan masa kanakkanak secara bertahap akan meningkatkan kapasitas individu untuk membuat
pertimbangan sosial dan mengontrol perilakunya (Piaget dalam Santrock 2009).
Kemampuan menyelesaikan masalah juga meningkat sehingga anak tidak mudah
frustrasi.
Selain faktor internal, faktor eksternal juga berpengaruh frekuensi tantrum.
Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap perkembangan tantrum adalah lingkungan
yang terdekat yakni orangtua. Faktor risiko orangtua yang berpengaruh terhadap
pengasuhan adalah kekerasan, depresi, pemakaian narkotika dan alkohol serta stres dalam
perkawinan (Berns, 2009). Faktor-faktor tersebut berpengaruh juga terhadap anak dan
dapat menimbulkan stres pada anak. Gaya pengasuhan yang terlalu melindungi (over
protective) dan sebaliknya terlalu mengabaikan membuat anak tidak mendapatkan kasih
sayang dan perhatian yang cukup dari orangtuanya.
2.3. Komunikasi Efektif
Komunikasi berarti menyampaikan pesan kepada orang lain (Fauzi, M. Ali,
2012). Komunikasi positif merupakan cara berkomunikasi dalam berinteraksi dengan
orang lain dengan cara memberi dan menerima dengan ekspresif dan responsif (Miller,
Daria Ferris, 2000). Anak belajar berkomunikasi pada awal kehidupannya. Namun
berkomunikasi secara efektif diperlukan waktu bertahun-tahun. Anak belajar cara
berkomunkasi efektif dengan meniru atau berinteraksi dengan orangtua sebagai model
pertama dan utama anak. Komunikasi positif adalah komunikasi yang efektif (Miller,
2005, Gordon, 1993). Komunikasi efektif penting dalam mendidik anak karena orangtua
mudah memahami kebutuhan anak, dapat mengungkapkan harapan orangtua terhadap
anak secara jelas, dan mengajarkan anak cara komunikasi efektif .
Cara kita berkomunikasi juga menentukan respon yang kita terima (Fauzi, 2012).
Seseorang melakukan komunikasi, terutama dalam konteks mendidik, bukan hanya
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
menyampaikan informasi. Komunikasi juga berperan dalam mendorong motivasi,
memodifikasi sikap, memacu kreativitas, dan merangsang pemikiran. Sebaliknya,
komunikasi yang kurang baik akan menimbulkan salah paham, munculnya kesan kurang
baik, pesan akan terdistorsi dan sulit dipahami, juga proses belajar bisa menjadi
terhambat.
Komunikasi selalu menyampaikan atau mengirim pesan. Komunikasi yang efektif
tercapai jika pesan yang diterima anak sesuai dengan pesan yang dikirim oleh orangtua.
Menurut Miller (2000) komunikasi efektif terdiri dari mendengar efektif, mengenali dan
menamai perasaan, instruksi positif, komunikasi asertif dan mengelola konflik secara
positif.
1. Mendengar aktif. Mendengar aktif meliputi tidak hanya mendengarkan saja
pembicaraan anak tetapi juga merespon keinginan anak, apakah anak hanya ingin
informasi, mendapat perhatian, menunjukan kemandirian, membutuhkan bantuan atau
anak ingin menghilangkan rasa tidak nyaman dengan merengek, memprotes dan lainlain sehingga orang tua dapat memberi reaksi yang tepat. Orang tua juga perlu
memperhatikan sikap dan bahasa tubuh ketika mendengar aktif. Sikap yang baik
dalam mendengar aktif adalah orang tua menyesesuaikan dengan tinggi anak
sehingga mata orang tua sejajar dengan mata anak, dan melakukan kontak mata.
Orang tua juga menyingkirkan hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi dalam
mendengarkan anak, seperti mematikan televise, melipat koran, dan lain-lain.
2. Mengenali dan menamai perasaan. Anak usia dini tidak bisa mengenali perasaannya
tanpa dibantu orang dewasa, karena itu orang dewasa atau orangtua memegang
peranan penting untuk mengejarkan anak mengenali perasaannya atau emosinya dan
cara merefleksikan emosinya dengan kata-kata. Orangtua juga memberikan contoh
pada anak bagaimana bereaksi terhadap emosi. Menurut Paul Ekman (1992) ada
enam emosi dasar yaitu takut, marah, sedih, bahagia, jijik dan terkejut. Sedangkan
emosi lain seperti malu, terkejut, dan terharu merupakan perpaduan antara beberapa
emosi dasar tersebut. Pada dasarnya ada 2 macam emosi dasar yaitu emosi negatif
dan emosi positif. Emosi negatif misalnya marah, sedih, takut. malu dan cemas.
Emosi positif misalnya cinta, bahagia, senang, gembira, terpesona, dan ceria. Anak
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
usia prasekolah perlu mengetahui emosi dasar lebih dahulu, bila emosi tersebut terjadi
dan bagaimana cara mengekspresikannya.
3. Memberikan instruksi positif. Ada dua macam instruksi yaitu instruksi negatif dan
instruksi positif. Intruksi negatif yaitu instruksi yang mengunakan kata “jangan”.
Instruksi positif adalah kebalikannya, yaitu suatu instruksi atau perintah yang tidak
menggunakan kata jangan atau tidak. Selain kalimat verbal orang tua sebaiknya juga
tidak menggunakan instruksi negative dengan bahasa tubuh, misalnya mengangkat
telunjuk dan menggoyang-goyangkannya. Contoh instruksi positif dan negatif bisa
dilihat pada contoh pada table 2.2. berikut ini:
Instruksi Negatif
Jangan berlari-lari di dalam rumah
Instruksi Positif
1. Main lari-lariannya di halaman ya
2. Jalan saja ya, lantainya licin
Jangan teriak-teriak
1. Tolong bicaranya agak pelan ya
2. Harap tenang ya nak, ibu sedang
cape/kurang sehat
Tabel 2.2. Contoh kalimat positif dan negatif (Miller, 2000)
4. Komunikasi asertif. Komunikasi asertif adalah komunikasi dua arah antara orang tua
dan anak yang melibatkan emosi. Komunikasi asertif menggunakan “pesan aku” dan
agar terjalin komunikasi asertif antara orangtua dan anak maka dalam berbicara
orangtua menggunakan kalimat pendek/sederhana, jujur, gunakan kalimat langsung
pada sasaran, tidak menjuluki anak dengan sebutan yang tidak disukai anak,
menggunakan kalimat konkret dan jelas, menghormati anak dengan tidak
mempermalukan di hadapan orang lain ataupun menyakiti, memberikan motivasi
pada anak untuk lebih baik. Komunikasi asertif juga berarti memberikan fleksibilitas
dalam menerapkan disiplin dan tidak memberikan target di atas kemampuan anak.
Komunikasi asertif berhasil baik jika dilakukan secara terus-menerus dengan
memberikan empati terhadap anak.
5. Mengelola konflik secara positif. Ketika berkonflik dengan anak, orangtua
mendengarkan secara aktif untuk mengidentifikasi masalah, menganalisa dan
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
mengekspresikan emosinya sesuai konteks yang terjadi dan tidak mengeluarkan katakata kotor dan kasar. Orangtua harus tetap tenang karena dengan ketenangan orangtua
dapat melihat solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik dengan anak. Jika anak
berkonflik dengan anak lain beri kesempatan anak untuk menyelesaikan masalah.
Orangtua juga dapat memandu anak tetapi tidak secara langsung menyelesaikan
konflik sehingga anak belajar menyelesaikan konfliknya sendiri. Menyelesaikan
konflik secara positif juga berarti mencari win-win solution dalam penyelesaian
masalah antara orang tua dan anak atau sering disebut dengan “anti kalah”. Orang tua
dan anak mencari penyelesaian masalah yang bisa mengakomodir kepentingan
keduanya.
Bab pendahuluan telah memaparkan anak mengadat adalah salah cara anak
berkomunikasi dengan orang tua (Baker, 2012) karena anak tidak menemukan cara
lain untuk mengkomunikasikan kebutuhan atau keinginannya. Anak yang dapat
berkomunikasi dengan baik akan menyalurkan keinginannya tanpa mengadat. Anak
belajar komunikasi pertama kali dari orang tua. Anak belajar dengan cara meniru.
Orang tua yang berkomunikasi secara efektif dengan anak membuat anak belajar
berkomunikasi dengan orang tua secara efektif pula.
Komunikasi merupakan cara yang tepat untuk mengatasi anak mengadat
(Borba, 2009). Borba membagi cara mengatasi anak mengadat dalam 3 tahap, yaitu :
Tahap 1. Intervensi Awal
Tahap pertama adalah menghindari atau mencegah tingkah laku mengadat dengan
melakukan tindakan-tindakan dan kata-kata yang membuat anak merasa nyaman
Tahap 2. Respon Cepat pada saat anak mengadat
a. Ketika anak anda menunjukan tanda-tanda mulai mengadat, ibu mempunyai
waktu beberapa detik untuk menghentikan atau mengalihkan.
b. Ketika anak sedang mengadat
c. Setelah anak selesai mengadat
Tahap 3. Merubah kebiasaan anak bertingkah laku mengadat dengan cara melakukan
komunikasi efektif kepada anak sehingga orang tua dapat berkomunikasi dengan baik
dengan anak.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Cara mengatasi mengatasi mengadat pada tahapan tersebut digunakan mendengar aktif,
menerima perasaan dan menyelesaikan konflik secara positif. Ketiga cara tersebut termasuk
bagian dari cara komunikasi efektif. Komunikasi dipengaruhi oleh gaya pengasuhan. Gaya
pengasuhan orang tua berbeda-beda. Subbab 2.4 membahas mengenai gaya pengasuhan.
2.4. Gaya Pengasuhan
Orang tua berperan
penting dalam mengoptimalkan pertumbuhan dan
perkembangan anak. Tugas orang tua selain memelihara dan melindungi, juga mendidik
dan memandu anak agar tumbuh dan berkembang secara optimal (Duvall, 1977). Subbab
gaya pengasuhan ini menerangkan mengenai definisi pengasuhan, macam-macam gaya
pengasuhan dan kualitas anak yang dihasilkan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
gaya pengasuhan.
2.4.1. Definisi
Pengasuhan berasal dari bahasa Inggris parenting yang berarti rangkaian cara dan
keputusan yang akan di sosialisasikan pada anak agar anak menjadi bertanggung jawab
dan dapat diterima di masyarakat (Roberta M. Berns, 2010). Brooks (1991) mengatakan
dedinisi pengasuhan adalah mengasuh, mendidik, dan melindungi anak selama
pertumbuhannya, proses interaksi antara orang tua dan anak, peranan untuk memelihara
hubungan yang hangat dan penerapan disiplin pada anak, dan aktifitas sehari-hari yang
biasa dilakukan dalam sebuah keluarga
2.4.2. Macam-macam Gaya Pengasuhan
Baumrind mengatakan ada 4 dimensi penting dalam pengasuhan yaitu cara
penerapan disiplin, kehangatan dan pelayanan pada anak, cara komunikasi, dan tuntutan
terhadap kematangan dan kontrol. Berdasarkan keempat dimensi tersebut, gaya
pengasuhan terbagi 3 yaitu permisif, otoriter dan autoritatif (Baumrind, 1966). Gaya
pengasuhan yang pertama kali dipublikasi oleh Diana Baumrind (1966) dipengaruhi oleh
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
2 faktor penting yaitu kehangatan dan tuntutan orang tua. Interaksi antara keduanya
merupakan faktor penting dalam pengasuhan anak.Gaya pengasuhan berdasarkan
kehangatan dan tuntutan dapat dilihat pada gambar 2.1.
Kehangatan tinggi
Permisif
Otoritatif
tuntutan
tuntutan
rendah
Mengabaikan
Otoriter
tinggi
Kehangatan Rendah
Gambar 2.1. Interaksi kehangatan dan penerapan disiplin terhadap
gaya parenting (Baumrind, 1991)
Berdasarkan kehangatan dan tuntutan orang tua gaya pengasuhan terbagi 3 yaitu :
permisif, otoriter, dan otoritatif. Berdasarkan penelitian lebih lanjut Maccoby & Martin
(1983) menambahkan satu macam gaya pengasuhan keempat yaitu gaya pengasuhan
mengabaikan. Jika kehangatan dan tuntutan tinggi maka gaya pengasuhan otoritatif, jika
kehangatan tinggi dan tuntutan rendah maka gaya pengasuhan permisif dan sebaliknya
jika kehangatan rendah namun tuntutan tinggi maka gaya pengasuhan otoriter. Jika
kehangatan dan tuntutan rendah maka gaya pengasuhan mengabaikan.
Gaya pengasuhan dapat dijelaskan sebagai berikut (Baumrind, 1967, Gordon,
1993) :
a.
Permisif (anak menang). Orang tua permisif menyerahkan kontrol
sepenuhnya pada anak. Sangat sedikit, atau hampir tidak ada, aturan yang diterapkan di
rumah. Kalaupun mereka menetapkan aturan biasanya diterapkan secara tidak konsisten.
Orang tua tidak menciptakan batasan, disiplin, ataupun tuntutan bagi perilaku anak.
Mereka menerima saja, perilaku baik atau buruk, dan tidak berkomentar apakah perilaku
tersebut berguna atau tidak. Mereka juga tidak mengajarkan anak disiplin dan patuh pada
peraturan yang berlaku.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
b.
Otoriter (orang tua menang). Orang tua yang otoriter selalu berusaha
mengontrol dan memaksakan kehendak pada anak. Mereka mengajarkan disiplin yang
kaku, dan biasanya dilakukan tanpa ekspresi kehangatan dan kasih sayang. Mereka
memiliki standard perilaku yang kaku dan suka mengkritik anak, jika tidak patuh maka
anak akan mendapat hukuman. Mereka mendikte anak apa yang harus dilakukan,
memaksa anak untuk patuh dan tidak memberikan pilihan bagi anak. Orang tua otoriter
biasanya tidak menerangkan pada anak alasan dibalik permintaan mereka. Orang tua
cenderung memfokuskan pada kesalahan anak ataupun perilaku yang tidak disetujui
orang tua, bukan pada perilaku anak yang positif. Anak dikritik, dimaki, atau dihukum,
jika tidak menurut aturan.
c.
Otoritatif (anti kalah). Orang tua yang otoritatif membantu anak untuk
belajar bertanggung jawab dan memikirkan konsekuensi dari perbuatannya. Orang tua
melakukannya dengan cara menerangkan harapan dan keinginan mereka dengan jelas dan
sesuai dengan usia perkembangan anak. Mereka juga mengambil waktu untuk
menerangkan alasan tuntutan mereka. Lebih penting lagi, orang tua memonitor perilaku
anak untuk memastikan bahwa anak mengikuti aturan dan harapan orang tua dan jika
anak gagal, orang tua tidak menghukum tetapi memaafkan kesalahan anak dan
mengarahkan kembali. Orang tua melakukan semua itu tidak dengan kekerasan, namun
dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Mereka berorientasi pada perilaku positif
anak dan mendorong perilaku yang baik, bukannya memfokuskan pada perilaku buruk.
d.
Gaya pengasuhan keempat baru ditambahkan tahun 1983 berdasarkan
penelitian Maccoby & Martin (1983) yang juga ditulis oleh Baumrind (1991) disebut
gaya pengasuhan mengabaikan. Orang tua dengan gaya pengasuhan mengabaikan tidak
terlibat secara emosional dalam pengasuhan anak, mereka merasa hanya perlu memenuhi
kebutuhan dasar anak seperti makanan dan pakaian. Mereka menginginkan emosi negatif
anak untuk segera berakhir. Biasanya mereka mengalihkan perhatian anak untuk
menghentikan emosi anak. Efek dari gaya pengasuhan mengabaikan, anak belajar bahwa
perasaan mereka salah, tidak tepat dan tidak penting. Mereka kesulitan mengatur
emosinya. Anak-anak tersebut belajar untuk mengabaikan perasaannya dan tidak belajar
untuk mengenali dan mengatasi emosinya.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Gaya pengasuhan yang paling baik untuk membentuk kualitas anak dengan
perkembangan psikososial terbaik adalah gaya pengasuhan otoritatif (Baumrind, 1991)
karena gaya pengasuhan ini memberikan ruang pada anak untuk melakukan inisiatif .
Gaya pengasuhan berpengaruh terhadap kualitas anak secara lebih rinci dan
lengkap dapat dilihat pada table 2.1. sebagai berikut :
GAYA
PENGASUHAN
KUALITAS ANAK
Permisif
Manja dan kemampuan mengendalikan emosi rendah
(anak menang –
Membangkang dan memberontak, Tidak menyukai tantangan
orang tua kalah)
Mempunyai tingkah laku antisosial, seperti mengadat, aggresif,
mudah marah dan memukul orang
Selalu khawatir, menarik diri dari lingkungan, Mudah frustrasi
Otoriter
Terlibat masalah penggunaan alkohol dan narkotika di usia
(orang tua menang – remaja
anak kalah)
Sering terlibat tindakan antisosial, seperti mengadat, aggresif,
mudah marah dan memukul orang
Prestasi belajar di sekolah menyamai anak dengan gaya
pengasuhan otoritatif
Otoritatif
Tampak bersemangat dan bahagia, Rasa percaya diri tinggi
(anti kalah)
Mampu dan menyukai tugas atau tantangan
Mempunyai kemampuan mengendalikan emosi yang baik
Mempunyai kemampuan sosial yang baik
Lebih sensitif untuk anak laki-laki dan lebih mandiri pada anak
perempuan
Mempunyai motivasi belajar tinggi dan biasanya prestasi di
sekolah baik
Mengabaikan
Kemampuan mengendalikan emosi rendah
Mudah frustrasi dan sulit memahami orang lain
Tabel 2.1. Tabel Hubungan antara Gaya Pengasuhan dan Kualitas Anak
(Baumrind, 1991) dan Gordon (1993)
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
2.4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Pengasuhan Orangtua
Menurut Berns (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi gaya pengasuhan orangtua
adalah ideologi dan politik, status sosial-ekonomi, pekerjaan orangtua, seni budaya dan
agama.
a. Ideologi dan politik mengikut pada kebijakan pemerintah. Negara-negara dimana
seseorang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas atau otokrasi seperti Australia dan
dan Inggris, gaya pengasuhan umumnya otoriter. Sedangkan pada negara-negara
Demokrasi ibu, ayah dan anak mempunyai hak yang lebih seimbang sehingga sebagian
besar gaya pengasuhan otoritatif.
b. Status sosial-ekonomi. Orangtua dengan status ekonomi rendah biasanya mempunyai
gaya pengasuhan otoriter, sangat kaku dalam menerapkan disiplin dan sering melakukan
hukuman fisik. Anak diharapkan patuh, hormat, dan menjauhi masalah. Orangtua dengan
status ekonomi tinggi umumnya mempunyai gaya pengasuhan otoritatif. Mereka
mengasuh
anak
dengan
demokrasi,
menyampaikan
alasan
tindakannya,
dan
mendengarkan pendapat anak.
c. Pekerjaan orangtua. Pekerjaan orangtua juga berpengaruh terhadap gaya pengasuhan
orangtua. Orangtua yang bekerja sebagai tentara umumnya mempunyai gaya pengasuhan
otoriter karena mereka biasa dengan disiplin yang kaku dan perintah yang harus
dijalankan. Menurut Melvin Kohn, 1995 dalam Berns, 2010, pekerja kelas menengah
mempunyai gaya pengasuhan otoritatif, dan orangtua yang termasuk pekerja kelas rendah
mempunyai gaya pengasuhan otoriter.
d. Budaya dan Agama. Berns (2010) mengatakan budaya dan agama merupakan faktor
yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap gaya pengasuhan. Budaya diwarisi dari
setiap generasi. Seorang ibu dalam mengasuh anaknya cenderung mengikuti pola asuh
yang diterapkan oleh orangtuanya dahulu. Agama berpengaruh terhadap gaya pengasuhan
terutama masalah penanaman moral dan ahlak.
Tugas pengasuhan utama di berbagai negara dilakukan oleh ibu (Berns, 2010). Ibu
adalah orang pertama kali berinteraksi dengan anak, oleh karena itu ibu memegang peranan
penting dalam perkembangan anak.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
2.5. Karakteristik Ibu pada Fase Dewasa Muda
Ibu adalah wanita yang telah melahirkan atau membesarkan anak (Moeliono,
2012). Sebagian besar wanita mengharapkan menjadi ibu karena merasa bahagia dengan
pengalaman menjadi ibu. Menurut Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) rata-rata usia
wanita menjadi ibu berbeda-beda tergantung budaya setempat. Di Asia wanita menikah
dan menjadi ibu rata-rata pada usia 15-20 tahun. Sedangkan di Eropa dan Amerika ratarata menikah pada usia 25-28 tahun. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (2012) Rata-rata usia kawin masyarakat Indonesia adalah 19,6 tahun maka ratarata wanita menjadi ibu sekitar usia 20 tahun. Papalia, Feldman, dan Martorell (2012)
mengatakan usia 20-40 tahun adalah fase dewasa muda. Hal ini berarti di Indonesia
wanita menjadi ibu pada fase dewasa muda.
2.5.1. Definisi Dewasa Muda
Schaie & Willis (1991) menyatakan bahwa tidaklah mudah untuk mendefiniskan
bahwa seseorang sudah menjadi dewasa, karena tidak ada kondisi yang sama persis yang
dapat diterapkan pada semua orang. Papalia, Feldman, dan Martorell (2012)
mendefinisikan dewasa sebagai individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan
siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya. Arnett (2006)
dalam Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) mengatakan ada tiga ciri orang dewasa yaitu
mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, mampu membuat keputusan, dan
mandiri secara keuangan.
Vaillant (dalam Papalia, Feldman, dan Martorell 2012) membagi fase dewasa
menjadi tiga, yaitu masa pembentukan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa
pembentukan (emerging adulthood) dimulai pada usia 20 sampai 25 tahun dengan tugas
perkembangan mulai memasuki universitas/perguruan tinggi, bekerja, memisahkan diri
dari orangtua, menikah, memiliki anak, dan mengembangkan persahabatan (Schulenberg,
O’Malley, Bachman, & Johnston, 2005 dalam Papalia, Feldman, dan Martorell 2012).
Masa konsolidasi, usia 30-40 tahun merupakan masa konsolidasi karier dan memperkuat
ikatan perkawinan, sedangkan masa transisi sekitar usia 40 tahun merupakan masa
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah
diperoleh.
2.5.2. Karakteristik Perkembangan Fisik, Kognitif, dan Sosio-Emosional
Karakteristik perkembangan fisik dan kognitif pada usia dewasa muda adalah
yang paling baik dibandingkan dengan dewasa tengah dan dewasa akhir (Papalia,
Feldman, dan Martorell, 2012). Pola makan yang bergizi, beragam,dan berimbang dapat
meningkatkan kesehatan dan mencegah obesitas (Achadi, 2011). Obesitas selain
berpengaruh terhadap kesehatan juga berpengaruh terhadap emosional seseorang karena
menurunnya rasa percaya diri dan berdampak pula terhadap pengasuhan. yaitu tidak
mempunyai ketegasan tentang apa yang dinginkannya sehingga membingungkan anak
dan menyebabkan anak frustasi karena sering disalahkan.
Ibu sebagai dewasa muda perkembangan kognitifnya berada pada fase operasi
formal (Piaget dalam Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Namun para ahli
menemukan bahwa kematangan pemikiran lebih kompleks daripada operasi formal.
Mereka menyebutnya pemikiran reflektif dan pemikiran pasca formal. Pemikiran reflektif
adalah bentuk kompleks dari pemikiran yang aktif, tangguh, dan penuh pertimbangan
dalam menerima informasi sebagai bukti pendukung kesimpulan yang akan dibuatnya
(John Dewey dalam Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Sedangkan pemikiran pasca
formal adalah kemampuan untuk menyesuaikan pemikiran tentang kondisi yang ideal
dengan kondisi yang berlawanan, dan harus berkompromi, dengan demikian ibu
mempunyai kemampuan berpikir yang jauh lebih kompleks dan lebih luas untuk
memahami dan menangani suatu peristiwa atau kejadian. Pelatihan mengatasi tantrum
yang diberikan kepada ibu akan mampu diserap dengan baik dan ibu dapat
menyelesaikan masalah tingkah laku tantrum jika memperoleh informasi yang cukup.
2.5.3. Tugas Perkembangan Ibu dengan Anak Usia Prasekolah
Anak usia dini atau anak prasekolah memerlukan kebutuhan khusus untuk merasa
nyaman, dicintai, dihargai, dan menikmati hidupnya (Duvall, 1977). Orangtua, termasuk
ibu perlu
memahami tugas mereka untuk membantu mengembangkan kompetensi
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
anaknya. Orangtua juga perlu belajar memahami kegagalan dan kesalahan anaknya tanpa
menyalahkan anak atau menghukumnya. Orangtua yang mempunyai anak prasekolah
mempunyai tugas perkembangan sebagai berikut:
-
Menyediakan tempat, fasilitas, dan lingkungan yang lebih luas untuk keluarga.
-
Menyesuaikan penghasilan dengan biaya hidup dengan anak usia prasekolah.
-
Berusaha untuk lebih matang dalam melaksanakan perannya dalam keluarga.
-
Memelihara komunikasi timbal balik yang baik dalam keluarga.
-
Mengasuh dan membuat perencanaan untuk anak.
-
Menyiapkan lingkungan lain di luar keluarga, misalnya Taman Kanak-Kanak,
mengajak main ke tetangga, Taman Pendidikan Al Qur’an, dan lain-lain untuk
mengembangkan kompetensinya.
-
Berusaha lebih fleksibel dalam menerapkan disiplin pada anak.
-
Memotivasi seluruh anggota keluarga untuk memberi ruang gerak yang lebih bebas
untuk anak usia prasekolah.
-
Menjadi model bagi anak. Tingkah laku orangtua sangat berpengaruh terhadap
tingkah laku anak. Anak belajar mengontrol emosi dengan melihat orangtua atau
pengasuh bereaksi terhadap emosi yang tidak menyenangkan seperti cemas, marah,
dan takut. Jika orangtua dapat mengendalikan emosi dengan baik pada situasi konflik,
maka anak belajar mengendalikan dorongan emosi (Bronson, 2000).
2.6. Prinsip-prinsip Pembelajaran Orang Dewasa
Pembelajaran orang dewasa adalah cara belajar orang dewasa. Orang dewasa
mempenyai karakter psikologis yang berbeda dengan anak-anak. Perbedaan karakter ini
menyebabkan perbedaan dalam belajar. Pembelajaran orang dewasa menggunakan
pendekatan andragogis yang berarti ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Subbab
pembelajaran orang dewasa ini berisi prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa.
Menurut Knowles (1984) dalam Fauzi (2011) proses belajar pada orang dewasa
dilandasi empat asumsi, yaitu pertama sudah mempunyai konsep diri, sehingga mereka
harus dilibatkan secara penuh dalam setiap tahapan pembelajaran. Asumsi kedua adalah
pengalaman. Orang dewasa mengakumulasi semua pengalaman hidupnya. Pengalaman
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
tersebut dapat dimobilisasi menjadi sumber belajar. Asumsi ketiga adalah kesiapan
belajar.kesiapan belajar berkenaan denga upaya pemecahan kebutuhan belajar sehingga
program pembelajaran harus dihubungkan dengan tugas perkembangan orang dewasa.
Asumsi keempat adalah orientasi belajar. Orientasi belajar orang dewasa terpusat pada
masalah , jadi program pembelajaran orang dewasa harus dibuat program yang dapat
memecahkan masalah yang dihadapi orang tersebut.
2.5. Pelatihan
Penelitian ini menggunakan metode pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu
dalam mengatasi anak temper tantrum. Subbab pelatihan ini berisi definisi, tujuan dan
manfaat pelatihan, model pelatihan, dan teknik penyusunan program pelatihan.
2.5.1. Definisi Pelatihan
Pelatihan berasal dari kata latih yang adalah belajar dan membiasakan diri agar
mampu (dapat) melakukan sesuatu keterampilan hidup (Moeliono, 2012). Berbeda dengan
pelatihan biasa, pelatihan mengatasi temper tantrum ini merupakan salah satu bentuk
psikoedukasi dengan model skill deficit. Inti dari psikoedukasi dengan model ini adalah
memberikan pelatihan kepada individu pada setiap unsur lifeskill yang masih merupakan
defisit atau kekurangan (Supratiknya, 2011), oleh karena itu pada awal penelitian dilakukan
praasesmen untuk mengetahui apakah ibu mempunyai skill deficit dalam memgatasi anak
tantrum.
2.5.2. Tujuan Dan Manfaat Pelatihan
Pelatihan bertujuan untuk memperoleh 3 hal (Manulang 1978 dalam Fauzi, 2011)
yaitu menambah pengetahuan, menambah keterampilan hidup (lifeskill), dan merubah
sikap. Manfaat pelatihan dikelompokan menjadi tiga kategori, (Fauzi, 2011) yaitu:
a. Manfaat bagi peserta pelatihan itu sendiri berupa peningkatan pengetahuan atau
pemahaman terhadap bidangnya, peningkatan rasa tanggung jawab peningkatan
kemampuan kerja dan peningkatan kemampuan untuk mengikuti pelatihan lanjutan.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
b. Manfaat bagi pekerjaan yang menjadi tanggung jawab peserta pelatihan yang ditandai
dengan peningkatan kesadaran terhadap berbagai peluang untuk mengembangkan
bidang kerjanya. Manfaat bagi peserta pelatihan mengatasi anak temper tantrum ini
adalah diharapkan ada peningkatan kesadaran ibu-ibu untuk menerapkan hasil
pelatihan di rumah.
c. Manfaat bagi lingkungan dimana peserta pelatihan bekerja. Lingkungan peserta
pelatihan mengatasi temper tantrum ini adalah lingkungan keluarga ibu-ibu peserta.
Setelah pelatihan, selain dapat menerapkan di rumah, ibu-ibu diharapkan dapat
membagi pengetahuan dan pengalaman mereka dengan ibu-ibu lain di lingkungannya.
2.5.3.
Model Pelatihan
Goad dalam Fauzi (2011) menggambarkan model pelatihan yang terdiri dari
beberapa tahapan siklus seperti berikut:
1. Analisis kebutuhan pelatihan
2. Desain pelatihan
3. Pengembangan materi
4. Pelaksanaan pelatihan
5. Monitoring dan evaluasi
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mengadakan pelatihan orang
dewasa adalah (Fauzi 2011) adalah orang dewasa belajar dengan melakukan suatu
kegiatan. Mereka senantiasa ingin dilibatkan, masalah dan contoh yang diberikan harus
realistis dan relevan, menggunakan lingkungan belajar informal, dilakukan perubahan
teknik atau program pembelajaran dari waktu ke waktu, tidak menerapkan sistem
peringkat apapun. Pada pelatihan orang dewasa fasilitator berperan sebagai agen
pembaharuan. Fasilitator bertanggung jawab dalam memfasilitasi pembelajaran,
sedangkan kemampuan untuk menangkap pembelajaran merupakan tanggung jawab para
peserta.
Pelatihan menggunakan fasilitator yang berperan untuk memfasilitasi peserta
pelatihan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Fasilitator harus menjadi narasumber
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
yang baik untuk berbagai permasalahan, membantu orang untuk membuat keputusan,
serta mencapai hasil tertentu dari solusi permasalahan yang ditawarkan. Fauzi (2011)
menjelaskan peran dari fasilitator antara lain:
-
Narasumber. Peran fasilitator sebagai narasumber mendorongnya untuk memberikan
masukan melalui pertanyaan-pertanyaan kritis yang dapat memancing para peserta
pelatihan terhadap berbagai hal yang belum atau tidak dimengerti para peserta.
-
Guru. Berperan sebagai guru, fasilitator harus menjelaskan berbagai materi yang
dibutuhkan para peserta sesuai dengan pencapaian yang diharapkan. Dalam hal ini
fasilitator harus menyiapkan berbagai bahan belajar untuk memenuhi kebutuhan
peserta pelatihan.
-
Agen perubahan. Sebagai agen perubahan, fasilitator memiliki 2 peran yakni selaku
sumber ilmu pengetahuan dan kontributor.
Sebagai sumber ilmu pengetahuan,
fasilitator harus memiliki kemampuan akademik untuk memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan dan teknologi serta mampu mengembangkannya. Sebagai kontributor,
fasilitator memakai kemampuannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat, yaitu para peserta pelatihan.
-
Inovator.
Peran sebagai inovator merujuk pada kemampuan fasilitator untuk
memunculkan gagasan-gagasan baru yang diperlukan saat menyusun konsep-konsep
yang diperlukan untuk kebutuhan para partisipan.
2.6.4 Teknik Penyusunan Program Pelatihan
Sudjana dalam Fauzi (2011) mengembangkan model penyusunan program pelatihan
sebagai berikut :
1. Rekrutmen peserta pelatihan
Kegiatan ini meliputi pendaftaran dan seleksi para peserta pelatihan.
Pendaftaran dan
penerimaan para peserta didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan.
2. Identifikasi kebutuhan, sumber, dan kemungkinan hambatan
Untuk melaksanakan sebuah pelatihan yang efektif sehingga membawa manfaat bagi para
peserta maka diperlukan identifikasi kebutuhan belajar, sumber belajar, dan kemungkinan
hambatan yang akan dihadapi dalam teknis pelaksanaan. Identifikasi kebutuhan pelatihan
merupakan praasesmen yang penting untuk dilakukan terhadap para peserta karena suatu
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
pelatihan akan bermanfaat jika pelatihan tersebut dapat memenuhi kebutuhan para peserta.
Setelah mengidentifikasi kebutuhan peserta dalam kegiatan pembelajaran, maka selanjutnya
adalah identifikasi sumber belajar yang tepat sesuai dengan kegiatan pelatihan yang diadakan
kemudian mengidentifikasi hambatan-hambatan yang mungkin muncul dalam
kegiatan
pelatihan.
3. Menentukan dan merumuskan tujuan pelatihan
Tujuan pelatihan merupakan target yang dicapai dalam suatu kegiatan. Supaya pelatihan
yang diadakan lebih terarah maka perlu perumusan tujuan yang terarah, baik itu berupa
tujuan umum maupun khusus.
Rumusan tujuan tersebut akan menjadi acuan dalam
pelaksanaan pelatihan. Rumusan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pelatihan harus jelas,
terarah, dan konkrit.
3. Menyusun alat evaluasi awal dan evaluasi akhir peserta
Alat evaluasi awal berupa angket pre-test digunakan untuk mengetahui sejauh mana
pengetahuan, sikap, dan keterampilan dasar yang dimiliki peserta. Hasil evaluasi akhir
digunakan untuk mengetahui hasil pembelajaran peserta setelah mengikuti pelatihan.
4. Menyusun urutan kegiatan pelatihan, menentukan bahan belajar, dan memilih metode serta
teknik pelatihan.
Urutan kegiatan pelatihan mengacu pada urutan kegiatan pada program pelatihan dari awal
hingga akhir kegiatan. Menentukan materi pembelajaran didasarkan pada kompetensi yang
harus dimiliki dan dikuasai oleh para peserta. Sedangkan penentuan metode dan teknik
pelatihan didasarkan pada kesesuaian materi dan karakteristik para peserta pelatihan.
5. Latihan untuk pelatih
Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan pemahaman jalannya pelatihan kepada pihakpihak yang terkait atau kofasilitator, dengan kegiatan pelatihan secara menyeluruh.
6. Melaksanakan evaluasi awal terhadap peserta pelatihan
Evaluasi awal disebut pretest dilakukan terhadap para partisipan untuk mengetahui sejauh
mana kemampuan dasar yang dimiliki para peserta meliputi pengetahuan, sikap, dan
keterampilan dasar.
7. Mengimplementasikan proses pelatihan
Tahap ini merupakan inti kegiatan pelatihan. Pada tahap ini terjadi proses pembelajaran,
yakni proses interaksi dinamis antara partisipan dengan fasilitator dan materi pembelajaran.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
8. Melaksanakan evaluasi akhir pelatihan.
Evaluasi akhir pelatihan terdiri dari evaluasi hasil belajar dan evaluasi jalannya pelatihan.
evaluasi hasil belajar dilakukan untuk mengetahui hasil pembelajaran yang dicapai oleh para
peserta setelah mengikuti pelatihan. Evaluasi ini dilakukan dengan membandingkan pretest
dan postets. Selain evaluasi hasil belajar juga dilakukan evaluasi program pelatihan. Evaluasi
program pelatihan merupakan kegiatan pengumpulan data mengenai penyelenggaraan
pelatihan untuk dianalisis guna dijadikan masukan dalam pengambilan keputusan untuk
pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. Evaluasi dalam sebuah pelatihan dapat
dilakukan dengan melakukan perbandingan antara sebelum dan setelah pelatihan. Selain itu,
jika ingin mengevaluasi ada atau tidaknya perubahan perilaku setelah pelatihan juga biasa
dilakukan dengan rentang waktu yang beraneka ragam. Program pelatihan mengatasi ini juga
menggunakan sistem evaluasi kualitatif dengan wawancara untuk mengetahui apakah ibu
mampu menerapkan hasil penelitian di rumah dengan mengambil sampel 4 orang ibu untuk
diwawancara. Kriteria ibu yang di wawancara adalah 2 orang ibu dengan skor kuesioner
tertinggi dan 2 orang ibu dengan skor kuesioner terendah
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini menjabarkan mengenai metodologi penelitian yang meliputi masalah dan tujuan
penelitian, partisipan, metode pengambilan data, desain penelitian, prosedur penelitian, metode
pengumpulan data, pengolahan, dan analisis data. Selain itu juga diuraikan tentang alat ukur
serta rancangan program efektivitas pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam
mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah.
3.1. Masalah dan Tujuan Penelitian
Masalah pada penelitian ini adalah: “Apakah ada perbedaan pengetahuan ibu dalam
mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah sebelum dan sesudah pelatihan ?”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi
tantrum pada anak usia prasekolah.
3.2 Partisipan
Partisipan adalah orang yang menjadi subjek penelitian. Subbab partisipan ini
menjabarkan tentang kriteria partisipan yaitu faktor yang dikontrol dalam pemilihan partisipan,
populasi penelitian, dan sampel penelitian.
3.2.1
Kriteria Partisipan
Partisipan pada penelitian ini adalah para ibu yang memiliki kriteria sebagai berikut:
-
Berusia 20-40 tahun yang tinggal di wilayah sekitar Cagar Alam yaitu wilayah RW 1-17,
kelurahan Pancoran Mas. Alasan pemilihan subjek berdasarkan kriteria usia adalah
berdasarkan pada teori Papalia yang menyatakan usia 20-40 tahun merupakan usia dewasa
muda yang salah satu tugas perkembangannya adalah menikah dan memiliki anak. Usia
dewasa muda juga mempunyai daya pikir yang baik sehingga mudah menyerap pelajaran
yang diberikan dalam pelatihan. Alasan pemilihan wilayah adalah para ibu di wilayah
tersebut belum pernah mendapat pelatihan mengenai pengasuhan anak. Wilayah tersebut
termasuk wilayah padat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah (dari hasil kuesioner
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
identifikasi kebutuhan) yaitu dengan penghasilan 1 – 5 juta per bulan. Alasan pemilihan
partisipan dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah adalah karena partisipan tidak
dapat mengikuti pelatihan yang memerlukan biaya sehingga mereka belum pernah
mengikuti pelatihan apapun. Pelatihan ini menjadi lebih bermanfaat untuk orang-orang
dengan tingkat ekonomi menegah ke bawah dengan kriteria sebagai berikut:
-
Memiliki anak usia prasekolah 3-5 tahun
-
Memiliki tingkat pendidikan
yang setara yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA)
sampai dengan Sarjana (S1)
-
Tidak bekerja penuh di luar rumah sehingga menjadi pengasuh utama anak.
-
Belum pernah mendapatkan bekal komunikasi efektif untuk kepentingan penelitian
lain, bahkan ibu-ibu ini belum pernah mendapatkan pelatihan apapun.
3.2.2. Proses Perekrutan Partisipan
Proses perekrutan partisipan dimulai tanggal 5 September 2012 dalam arisan RT dan 8
September 2012 dalam arisan RW dengan cara diumumkan secara lisan bahwa peneliti akan
mengadakan pelatihan mengenai pengasuhan anak. Kemudian diterangkan kriteria ibu yang
boleh mengikuti pelatihan, misalnya usia ibu, pendidikan ibu, belum pernah mengikuti pelatihan
apapun tentang pengasuhan, dan syarat tidak boleh membawa anak pada saat pelatihan. Pada saat
itu ada sekitar 30 ibu muda yang mendaftar. Pertemuan kedua tanggal 5 September sebelum
arisan dimulai yaitu jam 16.00-17.00 diadakan focus group discussion (FGD) untuk membahas
masalah-masalah tingkah laku anak usia prasekolah, dihadiri oleh 25 orang ibu. Pertemuan FGD
kedua diadakan bulan Oktober 2012 untuk membahas jadwal pelatihan. Pertemuan kedua ini
jumlah ibu yang hadir berkurang kembali menjadi 21 orang. Para ibu mengusulkan pelatihan
tidak diadakan di hari libur karena suami dan anak-anak partisipan semua berada di rumah
sehingga partisipan kesulitan untuk mengikuti pelatihan. Maka diambil kesepakatan pelatihan
dilaksanakan hari Senin, Rabu, dan Jumat. Partisipan juga mengusulkan acara pelatihan
dilaksanakan pada pagi hari karena menurut partisipan kemampuan berpikir lebih baik saat pagi
hari. Penulis merencanakan pelatihan dilaksanakan pada bulan Nopember 2012, namun karena
satu dan lain hal maka penelitian baru bisa dilaksanakan pada pertengahan bulan Desember 2012
yaitu tanggal 17, 19, 21 Desember 2012. Hal ini menimbulkan kendala yaitu beberapa ibu harus
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
mengambil rapor anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama
sehingga pada hari Jumat pelatihan yang sedianya dimulai jam 08.00-11.30 dimulai lebih pagi
yaitu jam 07.00-10.30. Awalnya para ibu yang berniat mengikuti pelatihan sebanyak 20 orang,
tetapi pada saat pelatihan yang hadir hanya 14 orang karena yang lainnya sedang berhalangan
dating dikarenakan sakit, anaknya sakit, ataupun pergi ke luar kota.
3.2.3
Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang berusia 20-40 tahun. Kriteria ini
diambil berdasarkan teori Erikson dalam Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) bahwa usia
tersebut termasuk kelompok dewasa muda yang mempunyai salah satu tugas perkembangan
menikah dan mengasuh anak sehingga ibu-ibu pada usia ini membutuhkan informasi mengenai
cara mengasuh anak termasuk cara mengatasi masalah-masalah tingkah laku anak, salah satu
diantaranya adalah masalah tingkah laku tantrum. Alasan kedua usia dewasa muda juga
mempunyai kemampuan berpikir yang baik sehingga mudah menerima materi yang diajarkan.
Pemikiran pada usia ini jauh lebih kompleks dan lebih luas untuk memahami dan mengangani
suatu peristiwa atau kejadian sehingga ibu mampu mendidik anak atau menyelesaikan masalah
anak jika memperoleh informasi yang cukup.
3.2.4
Sampel Penelitian
Penelitian mengatasi temper tantrum ini mengambil sampel 14 orang. Rencana awal
peneliti akan mengambil sampel 12 orang. Menurut Gazda (1989) dalam Supratiknya (2011)
ukuran kelompok yang ideal untuk seorang fasilitator adalah 6-8 orang untuk kelompok kecil
dan 12-14 orang untuk kelompok besar. Pelatihan ini mengambil sampel kelompok besar karena
fasilitator pelatihan ada 2 orang dan dibantu juga dengan 2 orang kofasilitator. Jumlah partisipan
diambil genap untuk memudahkan dalam bermain peran berpasangan pada salah satu sesi
pelatihan. Selain itu efektivitas waktu juga menjadi bahan pertimbangan karena menyesuaikan
dengan waktu yang dialokasikan untuk bermain peran yaitu 60 menit. Fasilitator dan kofasilitator
yang merekam partisipan dalam bermain peran berjumlah 3 orang, maka pada sesi pertama dapat
direkam 6 orang atau 3 pasang. Demikian pula pada sesi kedua, sehingga setiap fasilitator dan
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
kofasilitator merekam 2 pasangan. Sepasang partisipan memerlukan waktu 10 menit untuk
berperan sebagai ibu dan 10 menit sebagai anak demikian seterusnya bergantian, maka sepasang
partisipan membutuhkan waktu 20 menit untuk bermain peran, dua pasang partisipan
membutuhkan waktu 40 menit ditambah waktu persiapan dan lain-lain maka genap 60 menit.
Waktu pelatihan dimulai pada hari pertama telah hadir 14 orang maka 2 orang kofasilitator
merekam dua pasang ibu dan fasilitator merekam 3 pasang ibu. Fasilitator merekam 3 pasang
partisipan jadi ada tambahan waktu sehingga fasilitator memerlukan waktu 60 menit untuk
merekam ditambah persiapan ketika akan merekam 20 menit maka waktu bermain peran menjadi
80 menit. Jadwal pelatihan pada hari pertama dan ketiga mengalami perpanjangan waktu 20
menit dari rencana semula.
3.3. Jenis dan Desain Penelitian
Sub bab jenis dan desain penelitian ini berisi beberapa aspek yang terkait dengan
penelitian dengan urutan jenis penelitian, desain penelitian, prosedur penelitian, tahap persiapan
penelitian, materi pelatihan, waktu pelaksanaan pelatihan, dan sarana pendukung.
3.3.1
Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini merupakan penelitian terapan atau applied research karena hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan memahami sifat serta
sumber-sumber yang berasal dari manusia dan sosial (Fauzi, 2011).
3.3.2
Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah pre-eksperimental, yaitu hanya memiliki satu kelompok
perlakuan dan tidak ada kelompok kontrol dengan menggunakan desain penelitian one group
pretest-postest design, yaitu menggunakan satu kelompok subjek penelitian sebagai kelompok
eksperimental tanpa adanya kelompok kontrol, pada desain penelitian ini
mendapatkan:
(a) evaluasi praperlakuan
(b) perlakuan (pelatihan)
(c) evaluasi setelah mendapat perlakuan
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
satu grup akan
Kegiatan evaluasi dilakukan sebanyak dua kali. Evaluasi pertama dilakukan sebelum pelatihan
dimulai, lalu kemudian program pelatihan diberikan kepada subjek. Setelah pelatihan diadakan
kembali evaluasi dengan pertanyaan yang sama untuk melihat perubahan pengetahuan ibu.
Dalam one group pretest posttest, kegiatan didalamnya akan dikontrol oleh kondisi sebelum dan
sesudah evaluasi. Kondisi pretest dan posttest sangat dipengaruhi oleh latar belakang subjek
yang terlibat didalamnya yang mempunyai karakteristik yang sama, misalnya kelompok usia dan
pendidikan terakhir. Penelitian ini memilih subjek para ibu dengan usia dan tingkat pendidikan
yang hampir sama. Furlong (2000) menyatakan bahwa desain penelitian yang menilai
keefektivitasan suatu intervensi dengan cara membandingkan skor yang didapatkan setelah
intervensi dengan skor sebelum intervensi dinamakan one group pretest posttest design.
3.4. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini membahas mengenai tahap persiapan, tahap pembuatan program,
dan tahap evaluasi pelatihan. Penelitian ini menggunakan intervensi melalui program pelatihan
komunikasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam menghadapi anak temper
tantrum usia prasekolah.
3.4.1. Tahap Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian ini diawali dengan identifikasi dan analisis kebutuhan. Hasil
identifikasi dan analisis kebutuhan ini akan dipakai sebagai pedoman untuk membuat modul
pelatihan komunikasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam
mengatasi anak temper tantrum anak usia prasekolah. Agar pelatihan komunikasi efektif ini
berjalan secara efektif, maka dibutuhkan beberapa langkah pelaksanaan penelitian sebagai
berikut:
a. Identifikasi dan analisis kebutuhan.
Langkah pertama yang dilakukan dalam menyusun program pelatihan adalah identifikasi
dan analisis kebutuhan dari peserta pelatihan. Analisis kebutuhan diawali dengan
wawancara mengenai masalah-masalah tingkah laku anak usia prasekolah yang dihadapi
para ibu di wilayah kelurahan Pancoran Mas. Hasil wawancara dari 10 orang ibu tersebut
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
diperoleh data mengenai masalah tingkah laku anak. Lima masalah yang paling banyak
dikeluhkan adalah masalah tantrum (ibu-ibu menyebutnya menangis, marah, ngambek,
ngamuk), tidak patuh pada orang tua, susah makan (pilih-pilih makanan), mengompol,
dan bertengkar dengan kakak. Lebih dari separuhnya (70%) mengatakan anak mereka
masih sering tantrum di rumah maupun di tempat-tempat umum meskipun usia anak
lebih dari 5 tahun. Sisanya mengatakan sudah jarang. Hasil wawancara juga menunjukan
penyebab terbesar tantrum adalah karena keinginannya tidak bisa dipenuhi dengan segera
(60%), misalnya minta dibelikan mainan atau makanan, atau mengajak pergi ke suatu
tempat, dan keasyikannya terganggu (40%) misalnya disuruh berhenti bermain karena
hendak pulang ke rumah. Hasil wawancara juga menunjukan para ibu tidak tahu persis
apa yang harus dilakukan ketika anak mereka melakukan tantrum. Mereka melakukan
tindakan berdasarkan perasaan saja.
Jika sedang sabar, para ibu menasehati atau
mendiamkan saja, Namun jika sudah kesal, ibu memarahi atau mencubit anak. Ini
menunjukan bahwa diperlukan suatu pelatihan untuk mengatasi tantrum pada anak usia
prasekolah. Hasil analisis kebutuhan menunjukan perlunya dibuat pelatihan untuk
meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum.
b. Merumuskan tujuan pelatihan
Program pelatihan mengatasi tantrum ini memiliki tujuan agar dapat meningkatkan
pengetahuan para ibu di wilayah Kelurahan Pancoran Mas dalam mengatasi tantrum pada
anak usia prasekolah.
c. Merancang program pelatihan
Tahapan perancangan program pelatihan ini terdiri dari beberapa bagian yakni penetapan
materi, peserta pelatihan, fasilitator, waktu pelaksanaan, dan sarana pendukung.
3.4.2. Tahap Pembuatan Program Pelatihan
Tahap pembuatan program terdiri atas rancangan program, sarana pendukung dan alat
bantu pelatihan, fasilitator pelatihan, serta waktu pelaksanaan. Berikut ini akan diuraikan tahaptahap tersebut:
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
1. Rancangan program
Merancang program pelatihan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
proses penelitian. Prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Peneliti memberikan pretest berupa kuesioner terbuka kepada partisipan untuk
mengukur sejauh mana pengetahuan ibu tentang anak temper tantrum, dan behavior
checklist untuk menilai cara peserta menghadapi anak temper tantrum pada saat
bermain peran, sebagai data tambahan.
b. Peneliti memberikan perlakuan atau intervensi kepada partisipan yakni melalui
Program pelatihan komunikasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam
berkomunikasi dengan anak usia prasekolah selama 3 hari berselang satu hari
berturut-turut.
c. Peneliti kemudian memberikan posttest berupa kuesioner terbuka yang daftar
pertanyaannya sama dengan pretest untuk mengukur pengetahuan para ibu tentang
anak temper tantrum setelah pelatihan. Peneliti juga memberikan posttest dengan
behavior checklist untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu dalam mengatasi anak
temper tantrum dengan komunikasi efektif setelah pelatihan.
d. Peneliti kemudian membandingkan pretest dengan posttest untuk mengetahui
perbedaan yang terdapat diantara keduanya, jika terdapat perbedaan maka hal tersebut
akibat dari adanya perlakuan yakni program pelatihan komunikasi efektif ini.
e. Dilakukan tes statistik yang sesuai yakni paired sample t-test untuk mengetahui
apakah dari perbedaan yang ditemukan bersifat signifikan atau tidak. Kumar (2005)
menyatakan bahwa mayoritas penelitian pada ilmu sosial adalah terapan. Penelitian
ini merupakan jenis penelitian eksperimen yang menggunakan jenis penelitian
terapan (applied research). Dalam penelitian terapan teknik penelitian, prosedur, dan
metode-metode yang terdapat pada metodologi penelitian diterapkan untuk
mengumpulkan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi situasi, isu-isu,
atau masalah. Informasi-informasi tersebut dikumpulkan dan digunakan untuk
meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang terjadi (Kumar, 2005).
f. Dilakukan analisis kualitatif berupa wawancara kepada 4 orang ibu, yaitu 2 orang ibu
dengan skor kuesioner dan behavior checklist tertinggi dan 2 orang ibu dengan skor
kuesioner dan behavior checklist terendah. Hasil wawancara akan digunakan untuk
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
analisis jalannya pelatihan, motivasi partisipan mengikuti pelatihan, dan penerapan
hasil penelitian dalam rumah tangga partisipan.
2. Fasilitator pelatihan
Fauzi (2011) menyatakan bahwa fasilitator atau pelatih merupakan orang yang
memberikan bantuan dalam memperlancar proses komunikasi sekelompok orang, sehingga
mereka dapat memahami atau memecahkan masalah bersama-sama. Pada pelatihan ini, fasilitator
dipilih individu yang memiliki latar belakang psikologi pendidikan anak usia dini. Ada 2 orang
yang bertugas sebagai fasilitator dengan latar belakang sebagai berikut:
a. Fasilitator 1 adalah peneliti sendiri dengan alasan peneliti mempunyai latar belakang
psikologi pendidikan anak usia dini dan memahami materi temper tantrum dan komunikasi
efektif yang telah disusun sendiri.
b. Fasilitator 2 adalah master psikologi pendidikan anak usia dini Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia dengan tujuan untuk menerangkan tugas perkembangan dan
karakteristik anak usia prasekolah. Fasilitator 2 dipilih master psikologi pendidikan anak
usia dini karena dianggap mampu menerangkan materi tugas perkembangan dan
karakteristik anak usia prasekolah dengan baik.
c. Kofasilitator. Selain fasilitator, pelatihan komunikasi efektif ini juga dibantu oleh beberapa
kofasilitator. Tugas kofasilitator adalah memberi bantuan teknis pada saat pelatihan
berlangsung. Pelatihan ini melibatkan 5 orang kofasilitator, 2 orang mahasiswa magister
psikologi anak usia dini Universitas Indonesia dan 3 orang kader PKK dan posyandu RW 4.
Pelatihan ini melibatkan kofasilitator mahasiswa magister psikologi anak usia dini karena
mereka punya dasar ilmu yang sama dengan peneliti untuk membantu merekam, memeriksa,
serta mengumpulkan pretest dan posttest. Sedangkan kader PKK dan posyandu setempat
membantu persiapan pelatihan seperti absen pesera, pembagian modul pada awal acara dan
pengumpulan modul pada akhir acara, konsumsi, dan dokumentasi sehingga penelitian
berjalan lancar serta peneliti dapat fokus pada materi dan jalannya pelatihan.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
3. Waktu pelaksanaan pelatihan
Waktu pelatihan ditetapkan hari tiga hari berselang-seling satu hari yaitu hari Senin,
Rabu, dan Jum’at tanggal 17, 19, dan 21 bulan Desember 2012 pada pukul 08.00-12.00 kecuali
hari Jumat yaitu pada pukul 07.00-10.30. Penetapan waktu pelatihan ditentukan berdasarkan
rapat peneliti dengan partisipan. Partisipan meminta pelatihan diselenggarakan pada hari kerja.
Hal ini disebabkan pada hari libur partisipan sibuk dengan pekerjaan rumah tangga karena suami
dan anak-anak kumpul di rumah. Pelatihan diselenggarakan berselang satu hari karena belajar
akan lebih efektif apabila periode-periode belajar disusun terpencar, tetapi periode-periode
belajar itu tidak boleh terlalu dekat atau terlampau terpencar (Mustaqim & Abdul Wahid, 2010).
Partisipan memerlukan waktu untuk beristirahat lebih dahulu setelah mempelajari suatu bahan
pelajaran, baru memulai bahan yang lain sehingga bahan yang dipelajari lebih dahulu dapat
mengendap. Belajar yang terpencar juga untuk mencegah kelelahan dan kebosanan (Mustaqim &
Abdul Wahid, 2010).
4. Sarana Pendukung
Sarana pendukung pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi anak
temper tantrum ini memerlukan sarana pendukung sebagai berikut:
a. Materi Pelatihan, terdiri dari:
-
Modul pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi anak temper
tantrum usia prasekolah bagi fasilitator dan kofasilitator.
-
Modul pelatihan bagi para ibu yang berisikan kegiatan-kegiatan yang harus mereka
lakukan pada setiap sesi pelatihan ini. Selain itu, didalamnya juga terdapat materi
perkembangan anak prasekolah, perilaku temper tantrum anak usia prasekolah, jenis,
penyebab, faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta mengapa temper tantrum harus
diatasi sedini mungkin dan komunikasi efektif.
-
Kuesioner pertanyaan terbuka pretest dan posttest mengenai pengetahuan ibu dalam
mengatasi anak temper tantrum yaitu untuk mengukur efektifitas pelatihan pada ranah
-
kognitif. Selain itu terdapat pula behavioral checklist pre-test dan posttest mengenai
pengetahuan ibu tentang cara mengatasi anak temper tantrum melalui komunikasi efektif
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
lewat adegan bermain peran untuk mengukur efektifitas pelatihan pada ranah psikomotor.
Terakhir dilakukan wawancara setelah pelatihan kepada dua orang ibu dengan skor
posttest tertinggi dan dua orang dengan skor posttest terendah untuk mengetahui manfaat
pelatihan yang dirasakan oleh ibu.
b. Media Pembelajaran, terdiri dari :
-
Media audiovisual yang merupakan petikan film singkat mengenai rekaman kegiatan
posttest cara komunikasi efektif pada waktu anak temper tantrum dari para peserta
pelatihan.
-
Aneka lembar kerja bagi para peserta yang meliputi lembar kerja individu maupun
kelompok.
-
Modul dan buku materi untuk ibu dan kofasilitator
-
Perlengkapan presentasi seperti LCD, laptop, speaker dan mikrofon.
-
Alat-alat lainnya seperti, kertas HVS, pulpen, stiker, spidol, gunting, alat permainan (bola
plastik kecil, kentang, sedotan), penghapus, dan tip-ex.
c. Tata Ruang
Ruangan yang digunakan adalah ruang tamu rumah ketua RW Siaga dengan luas ruangan
35 meter persegi. Awalnya pelatihan akan diselenggarakan di Masjid Al Amal di wilayah RW 4,
kelurahan Pancoran Mas. Tetapi pada hari Jumat masjid tidak bisa dipinjam karena akan dipakai
untuk sholat Jumat. Para ibu merasa repot jika harus ganti-ganti tempat, maka tempat
dipindahkan ke rumah ketua RW Siaga di wilayah RW 04 yang berjarak 100 meter dari masjid.
Ruangan yang digunakan telah dilengkapi 2 buah kipas angin serta 1 buah mikrofon. Lantai
ruangan dilapisi tikar rotan sehingga para peserta pelatihan dapat melakukan seluruh aktivitas
pelatihan dengan posisi duduk. Pada sisi dinding ditempeli beberapa poster yang berisikan
kalimat-kalimat ataupun gambar-gambar yang berhubungan dengan anak temper tantrum.
Poster-poster tersebut bertujuan untuk menghidupkan suasana pelatihan. Selain itu, pencahayaan
dan ventilasi ruangan juga cukup baik sehingga ruangan terang dan nyaman.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
3.5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode kuantitatif dan kualitatif.
Metode pengumpulan data kuantitatif adalah metode kuesioner dan behavioral checklist.
Menurut Fauzi (2011) keuntungan penggunaan metode kuesioner ini adalah (1) murah dan cepat
daripada metode wawancara, (2) tidak membutuhkan investigator yang terlatih, dan (3) Mudah
untuk menganalisis hasil kuesioner. Alat ukur behavioral checklist digunakan sebagai data
tambahan untuk mengukur pengetahuan ibu dalam mengatasi anak temper tantrum dengan
metode komunikasi efektif dalam praktek dengan metode main peran. Analisis kualitatif
menggunakan metode wawancara untuk mengetahui efektifitas dan manfaat pelatihan yang
dirasakan oleh partisipan, motivasi partisipan dalam mengikuti pelatihan, dan hambatan atau
kesulitan yang dihadapi dalam menerapkan hasil pelatihan di rumah tangga partisipan.
3.6 Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu kuesioner
pertanyaan terbuka, behavioral checklist, dan wawancara.
Kuesioner pertanyaan terbuka
digunakan untuk mengetahui sejauh mana perubahan tingkat pengetahuan para ibu mengenai
tingkah laku tantrum pada saat sebelum dan setelah pelatihan yang diambil dari buku yang
ditulis oleh Borba (2009). Kuesioner pertanyaan terbuka terdiri atas 6 buah pertanyaan terbuka..
Jawaban diberi skor sesuai jawaban yang benar.
Tabel 3.1. Kisi-kisi Kuesioner Pengetahuan Ibu Mengenai Anak Temper tantrum
No
Pertanyaan
Skor
1
Pertanyaan ke-1: pengenalan tingkah laku tantrum
1
2
Pertanyaan ke-2: penyebab tantrum
3
3
Pertanyaan ke-3: faktor yang mempengaruhi tantrum
3
4
Pertanyaan ke-4: cara mencegah tantrum
4
5
Pertanyaan ke-5: cara mengatasi
12
6
Pertanyaan ke-6: alasan tantrum harus diatasi dengan segera
2
Total skor
25
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Alat ukur kedua berupa behavioral checklist digunakan sebagai data tambahan untuk
mengetahui sejauh mana perubahan pengetahuan ibu tentang cara mengatasi anak tantrum
melalui komunikasi efektif pada saat sebelum dan setelah pelatihan. Alat ukur ini disusun
berdasarkan pengelompokan komunikasi efektif Gordon (1993) dan Miller (2000) serta jurnal
yang ditulis oleh Barker (2012) dan Pantley (2007). Behavioral checklist ini diisi berdasarkan
adegan bermain peran yang dilakukan oleh para ibu pada saat sebelum dan setelah pelatihan .
Behavioral checklist ini diisi dengan memberi tanda centang (V) pada kolom ya atau kolom
tidak. Jawaban benar diberi nilai satu dan jawaban salah diberi nilai 0 (nol).
Tabel 3.2. Kisi-Kisi Behavioral Checklist Perubahan Perilaku Ibu dalam Mengatasi Anak
Temper tantrum Melalui Komunikasi Efektif dengan Metode Bermain Peran
Pernyataan
Skoring
Mendengar Aktif ( 5 buah pernyataan)
Contoh :
Jika Ya
nilai 1
Ibu memulai pembicaraan. Misal: “Ada apa nak?”
Jika Tidak
nilai 0
Perilaku yang Harus dihindari Ketika Mendengarkan Anak (3 buah pernyataan)
Contoh :
Jika Ya
Nilai 0
Ibu memandang ke arah lain (televisi atau hand phone)
Jika Tidak
nilai 1
Mengenali dan Menerima Perasaan (3 buah pernyataan)
Contoh:
Jika Ya
nilai 1
Ibu berkata: “Adik sedih karena ……….. ya?”
Jika Tidak
nilai 0
Contoh :
Jika Ya
nilai 0
Ibu menggunakan kata “jangan” atau “tidak”
Jika Tidak
nilai 1
Instruksi Positif (2 buah pernyataan)
Komunikasi Asertif (9 buah pernyataan)
Contoh :
Ibu menyentuh bahu anak ketika bicara
Jika Ya
nilai 1
Jika Tidak
nilai 0
Mengelola Konflik Secara Positif (5 buah pernyataan)
Contoh :
Jika Ya
nilai 1
Ibu tetap tenang ketika anak tantrum
Jika Tidak
nilai 0
Total pernyataan 27 buah
Total skor
27
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Alat ukur sebelum digunakan diuji reliabilitas dan validitasnya. Uji reabilitas dan
validitas dilakukan melalui kegiatan uji coba terhadap alat ukur yang akan digunakan dalam
pelatihan. Kegiatan ini dilakukan agar pertanyaan yang terdapat dalam alat ukur mampu
dipahami dengan baik oleh para responden. Kegiatan ini diujicobakan pada 6 (enam) orang ibu
yang memiliki kemiripan karakteristik dengan para peserta pelatihan.
Alat ukur kuesioner
pertanyaan terbuka diujicobakan kepada enam orang ibu dengan cara meminta mereka untuk
menjawab sekitar 6 (enam) pertanyaan essay. Sedangkan untuk alat ukur behavioral checklist
diujicobakan kepada sekelompok ibu yang sama dengan cara meminta mereka untuk menangani
anak mereka yang sedang tantrum. Peneliti merekam beberapa adegan di mana terdapat kejadian
sang anak sedang tantrum lalu ibu mencoba untuk menangani hal tersebut. Rekaman tersebut
lalu dinilai oleh peneliti dan 1 (satu) orang kofasilitator dengan memberikan skoring nilai 1
untuk jawaban “ya” dan nilai 0 untuk jawaban “tidak”. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana reabilitas dari alat ukur yang telah disusun. Melalui kegiatan ujicoba alat ukur ini
akan diketahui item pertanyaan yang sebaiknya harus diubah, dikurangi, ataupun ditambah.
Penentuan reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini ditentukan dengan 2 (dua) metode
yakni pengolahan data statistik dengan SPSS versi 17.00 dan inter-rater reability. Berdasarkan
hasil pengolahan data statistik terhadap kuesioner pertanyaan terbuka, maka didapatkan bahwa
nilai r = 0.8. Berdasarkan kategorisasi reliabilitas alat ukur maka dapat dikatakan kuesioner
pertanyaan terbuka ini bersifat reliable. Alat ukur behavioral checklist diukur reliabilitasnya
dengan menggunakan inter-rater reability. Behavioral checklist ini dikatakan telah reliable jika
skornya mencapai angka ≥ 80% kesamaan jawaban antara pengamat 1 dan 2. Dalam kegiatan ini
peneliti serta 1 orang pengamat lainnya menyaksikan beberapa rekaman ibu yang sedang
berusaha menentramkan anaknya yang sedang tantrum.
Setelah pengisian dilakukan lalu
dilakukan pemeriksaan kesamaan jawaban diantara kedua pengamat.
Dari skoring yang
dilakukan didapat bahwa skor alat ukur tersebut bernilai 80% sehingga dapat dikatakan alat ukur
ini sudah reliable. Pada akhirnya ada beberapa pertanyaan yang diubah struktur kalimatnya agar
tidak ambigu serta terdapat 8 pernyataan pada behavioral checklist yang dihapus.
Kuesioner pertanyaan terbuka akan diolah dengan data statistik dengan menggunakan
standar yang ditulis oleh Hastono (2007) mengenai acuan reliabilitas sebagai berikut:
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Rentang r
Kategori
r < 0,7
Tidak reliable
0,7 ≤ r < 0.799
Cukup reliable
0.8 ≤ r < 0.899
Reliabel
r ≥ 0.9
Sangat Reliabel
Tabel 3.3 Kategorisasi Reabilitas Alat Ukur
Uji coba alat ukur, selain untuk mengukur reliabilitas juga digunakan untuk mengukur
validitas. Sebuah alat ukur dikatakan valid jika ia mampu mengukur apa yang ingin diukur oleh
peneliti (Furlong, 2000). Penentuan item-item yang bersifat valid ini menggunakan standar yang
ditentukan oleh Hastono (2007) yakni sebuah alat ukur dikatakan valid jika nilai r≥ 0.60.
Berdasarkan perhitungan statistik dengan menggunakan SPSS diperoleh validitas terhadap alat
ukur pertanyaan terbuka yakni dengan nilai r = 0.7 Hal ini menunjukkan bahwa alat ukur
pertanyaan terbuka tersebut bersifat valid.
Pasca pelatihan, seminggu setelah pelatihan dilakukan wawancara kepada 4 orang ibu
yaitu 2 orang ibu yang mempunyai skor kuesioner dan behavior checklist tertinggi dan 2 orang
ibu dengan nilai kuesioner dan behavior checklist terendah untuk mengetahui efektivitas dan
manfaat pelatihan yang dirasakan partisipan. Kisi-kisi pertanyaan dalam wawancara dijabarkan
dalam tabel 3.3.
Tabel 3.4. Kisi-Kisi Wawancara dengan Partisipan Pasca Pelatihan
No
Pertanyaan
1
Pertanyaan 1 : kesan ibu tentang pelatihan
2
Pertanyaan 2 : manfaat pelatihan
3
Pertanyaan 3 : hambatan atau kesulitan ketika menerapkan hasil pelatihan di rumah
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
3.7. Metode Analisis Data
Analisis data kuantitatif yakni berupa skor pengetahuan ibu mengenai cara mengatasi
anak temper tantrum dibuat dalam bentuk grafik batang untuk melihat apakah ada kenaikan
pretest dan posttest, kemudian dilakukan uji t dengan SPSS 17. Uji t dalam penelitian ini
digunakan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya perbedaan skor pengetahuan ibu dalam
mengatasi anak temper tantrum tersebut, sebelum dan sesudah pemberian intervensi melalui
pelatihan. Selain itu analisis data kuantitatif ini juga dilakukan terhadap data tambahan yakni
skor perubahan perilaku ibu dalam mengatasi anak temper tantrum melalui komunikasi efektif
yang terdapat pada behavior checklist.
Metode analisis data yang digunakan adalah paired sample t-test. Paired sample t-test ini
merupakan metode analisis data yang digunakan untuk membandingkan mean dari suatu sampel
yang berpasangan (paired) pada data normal. Sampel berpasangan adalah sebuah kelompok
sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang
berbeda (Furlong, 2000). Analisis data kualitatif disusun berdasarkan jawaban-jawaban dari
partisipan yang diwawancara.
3.8. Materi Kegiatan
Materi kegiatan adalah materi-materi yang diberikan dalam kegiatan pelatihan mengatasi
anak temper tantrum. Materi kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini disusun sebagai
berikut: pendahuluan, materi anak emas, materi anak temper tantrum, komunikasi efektif ,
mengatasi anak temper tantrum, dan penutup.
a. Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan pada pelatihan ini diawali dengan perkenalan fasilitator,
kofasilitator, dan peserta pelatihan. Tujuan pendahuluan ini adalah mencairkan suasana
dan mengakrabkan peserta. Fauzi (2011) menyatakan bahwa dalam pelatihan diperlukan
pencairan suasana agar lebih santai, terbuka, informal, transparan, tidak ada ketakutan,
dan lain sebagainya sehingga tercipta suasana kondusif yang memungkinkan peserta
pelatihan terlibat aktif tanpa ada beban. Kegiatan pendahuluan ini dipandu oleh fasilitator
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
melalui permainan perkenalan. Selain itu, di dalam kegiatan pendahuluan ini pun berisi
aktivitas-aktivitas mengenai kesepakatan bersama, harapan, dan komitmen para peserta
terhadap pelatihan ini. Kesepakatan bersama ini merupakan beberapa aturan yang
disepakati oleh para peserta pelatihan seperti komitmen peserta untuk datang tepat waktu,
penggunaan alat komunikasi, keaktifan peserta, dan pemberian hadiah atau hukuman.
Aturan-aturan yang telah disepakati tersebut akan menjadi peraturan tata tertib selama
pelatihan berlangsung.
b. Materi Anak Emas
Materi yang diberi judul Anak Emas ini berisi aspek-aspek perkembangan anak usia dini
khususnya anak usia prasekolah. Pemberian materi ini bertujuan untuk memberikan
pengetahuan mengenai aspek-aspek perkembangan anak usia prasekolah pada ranah fisik
motorik, kognitif, dan psikososial. Materi ini juga berisikan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan anak usia dini sehingga para peserta dapat memahami
keunikan dari setiap anak. Sumber utama penyusunan materi ini berasal dari buku
Human Development yang ditulis oleh Papalia, Olds, & Feldman (2012). Materi
perkembangan anak usia dini ini merupakan pembekalan bagi para ibu untuk memahami
proses perkembangan anak sehingga para ibu mendapatkan gambaran utuh mengenai
tahapan perkembangan anak dan pentingnya pendidikan pada anak usia dini. Selain itu
juga dipaparkan materi mengenai nutrisi yang diperlukan oleh anak usia dini agar ibu
memahami dan bisa memenuhi kebutuhan nutrisi anak usia dini sehingga pertumbuhan
dan perkembangan anak normal sesuai dengan usianya. Anak yang pertumbuhan dan
perkembangannya normal akan dapat dilatih berkomunikasi dengan baik dibandingkan
dengan anak yang pertumbuhan dan perkembangannya mengalami keterlambatan.
c. Materi Anak Temper tantrum
Materi ini berisikan penyebab anak temper tantrum, perkembangan temper tantrum, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi dan mengapa temper tantrum perlu diatasi sedini
mungkin. Pemberian materi anak temper tantrum ini bertujuan agar para ibu mempunyai
motivasi kuat untuk segera mengatasi tingkah laku temper tantrum anaknya. Selain
termotivasi, para ibu diharapkan mengetahui tentang penyebab, perkembangan temper
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
tantrum, dan faktor-faktor yang mempengaruhi anak temper tantrum agar ibu bisa
memahami mengapa anak temper tantrum dan dapat menghindari penyebab temper
tantrum sehingga ibu dapat melakukan respon yang tepat dan konsisten sehingga dapat
mengatasi tingkah laku tersebut.
d. Materi Komunikasi Efektif untuk mengatasi anak temper tantrum
Materi ini berisi uraian mengenai cara komunikasi efektif untuk mencegah, menghadapi,
dan merubah kebiasaan anak bertingkah laku temper tantrum. Teori komunikasi efektif
dengan anak yang dipakai pada penelitian ini adalah teori komunikasi efektif Miller
(2005) dan Gordon (1993). Komunikasi efektif terbagi 5 kelompok yaitu mendengar
aktif, mengenali dan menamai perasaan, memberikan instruksi positif, komunikasi
asertif, dan mengelola konflik secara positif. Kemudian dari komunikasi efektif tersebut
diambil sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mengatasi anak temper tantrum (Borba,
2009) sebagai berikut:
1. Tahap pertama adalah menghindari tingkah laku temper tantrum ketika anak mulai
menunjukan tanda-tanda akan temper tantrum. Beberapa tips dalam hal ini adalah
sebagai berikut:
a. Cari tahu penyebab anak temper tantrum
-
Anak ingin menunjukan kemandirian..
-
Pengelaian emosi yang belum matang sehingga ambang batas frustasi rendah
dan anak cepat merasa frustasi
-
Keinginan lebih kuat daripada kemampuan untuk melakukan berbagai hal.
-
Ketidakmampuan mengekspresikan perasaan, kebuthan atau rasa frustrasi
dengan cara lain.
-
Stres, trauma, penyakit, atau depresi karena perubahan kehidupan yang
mendadak karena bencana alam, perceraian, dan lain-lain.
-
Untuk memperoleh perhatian karena dengan pengalaman sebelumnya, temper
tantrum selalu berhasil mendapat perhatian.
-
Dampak dari stres lingkungan, yaitu stres orang tua karena pekerjaan atau
perceraian.
-
Gagal memahami perintah orang tua.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
-
Capek, lapar, bosan, dan mengantuk.
-
Terlalu banyak atau terlau sedikit pilihan.
-
Kelainan bawaan, kelainan sistem syaraf, kelainan
gizi, kesehatn mental
terganggu.
-
Perubahan rutinitas secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih dulu.
-
Efek pengobatan. Beberapa obat tertentu pada anak tertentu dapat
meningkatkan rasa frustrasi.
b. Kenali sifat asli anak, apakah anak anda termasuk anak yang muda, sulit atau perlu
waktu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Anak tipe sulit biasanya lebih
sering temper tantrum daripada tipe anak lainnya.
c. Perhatikan tingkah laku orang tua. Anak meniru orang tuanya. Jika orang tuanya
muda “meledak” maka anak pun akan bertingkah laku demikian.
d. Cek harapan ibu terhadap anak.
Harapan yang terlalu tinggi terhadap anak
membuat anak stress karena tidak mampu memenuhi harapang orang tuanya.
e. Kenali tanda-tanda anak anda mulai temper tantrum. Beberapa anak menunjukan
gejala temper tantrum dengan merengek, menangis, atau mengepalkan tangan.
2. Tahap kedua adalah respon cepat.
Ketika anak anda menunjukan tanda-tanda mulai temper tantrum, anda punya waktu
beberapa detik untuk menghentikan atau mengalihkan. Cobalah tips di bawah ini:
1. Gunakan teknik menenangkan. Peluk anak dengan lembut, usap punggungnya, atau
nyanyikan lagu, turunlah setinggi mata anak dan bicaralah dengan suara pelan dan
lembut.
2. Alihkan perhatian anak dan arahkan ke permainan yang disukai, misalnya kita main
boneka yuk!
3. Gambarkan perasaan anak, contoh: “Kamu kelihatan lelah. Kamu lelah ya? Yuk kita
istirahat dulu.” atau “Adik marah ya?”
4.
Ungkapkan
keinginan anak dengan kata-kata, misalnya: “Oh kamu ingin ibu
mendengarkanmu ya?” atau “Oh adik capek ya, mau pulang?”
5. Hindari terlalu keras pada anak, misalnya memukul, mencubit, berteriak,
mengancam dan sebagainya.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
6. Berikan peringatan jika melakukan tingkah laku tantrum dan jika tingkah laku
tersebut berulang berikan konsekuensi dari tingkah lakunya.
Ketika anak sedang tantrum:
1. Tetap tenang. Berteriak, mencubit, atau memukul justru memperburuk
suasana.
2. Pastikan sekeliling anak aman dari benda-benda tajam atau benda-benda yang
dapat dilempar. Buatlah “safety zone” untuk anak yang sedang tantrum.
3. Abaikan anak ketika tantrum dimulai. Jangan ada kontak mata, kata-kata, atau
reaksi apapun sampai anak berhenti tantrum. Ibu yang bereaksi ketika anak
tantrum membuat anak mengulangi tingkah laku tantrum.
4. Jangan menberikan alasan mengapa ibu melarang apa yang anak inginkan
ketika anak sedang tantrum, karena anak yang sedang tantrum tidak bisa
menerima alasan apapun
5. Pindahkan anak ke tempat yang aman jika tingkah laku tantrum anak melukai
atau mengganggu orang lain.
6. Atau anak dipeluk supaya tidak melukai orang lain atau dirinya sendiri,
misalnya ketika anak membenturkan badan atau kepalanya ke dinding atau
lantai, dan katakan “Kamu sangat marah maka ibu akan memelukmu sekarang
sampai kamu tenang”
7. Abaikan komentar orang-orang di sekitar ibu karena komentar-komentar itu
tidak ada manfaatnya, fokuslah pada anak.
8. Berikan respon yang konsisten seperti di atas setiap kali anak tantrum.
Setelah tingkah laku tantrum selesai:
1. Tarik nafas dalam-dalam ketika anak selesai tantrum.
2. Peluk anak dan jangan berikan komentar apapun. Hindari perkataan “kamu
tuh malu-maluin” atau “kok kamu sudah besar masih tantrum sih”.
3. Cobalah untuk menganalisis respon ibu ketika anak tantrum. Apakah ibu tetap
tenang dan dapat menahan diri? Apakah ibu sudah konsisten dalam merespon
tingkah laku tantrum anak?
4. Kenali penyebab anak tantrum.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
5. Buat konsekuensi jika anak masih sering tantrum. Konsekuensi yang paling
efektif menurut ahli anak usia dini adalah dengan menyuruh anak duduk di
kursi hukuman selama beberapa menit sesuai usia anak, misal: anak usia 3
tahun maka duduk di kursi tersebut selama 3 menit. Nama kursi bisa
disesuaikan, misalnya: kursi hukuman, kursi tenang, kursi berpikir dan lainlain.
3. Tahap ketiga adalah merubah kebiasaan anak bertingkah laku tantrum
1. Ajarkan anak cara mengatasi frustrasi, misalnya minta tolong ibu atau kakak jika
tidak bisa melakukan sesuatu, menangis, atau minta dipeluk ibu jika sedang
sedih, dan lain-lain.
2. Berikan pujian ketika anak dapat mengucapkan kebutuhan atau perasaannya
dengan kata-kata, misalnya : “Adik sudah bisa mengatakan perasaan adik ketika
marah, itu bagus sekali!”, “Sini ibu peluk supaya marahnya hilang”, atau “Mari
ibu bantu apa yang adik gak bisa kerjakan”.
3. Bekerjasamalah dengan pendidik di sekolah jika anak ibu sudah sekolah atau
tempat pengasuhan anak tentang cara menghadapi anak ibu yang sedang
tantrum.
4. Tetaplah pada langkah-langkah yang sudah dilakukan dan carilah pertolongan
ahli jika tidak ada perubahan. Tingkah laku yang positif dapat berkembang
tergantung pada beberapa faktor, yaitu frekuensi temper tantrum sering dan
tingkah laku tantrumnya membahayakan diri anak atau lingkungan sekitarnya
dan kekonsistenan respon ibu dalam menghadapi anak tantrum. Oleh karena itu,
tandai kalender setiap anak melakukan tingkah laku tantrum dan tulislah lama
berlangsungnya tingkah laku tersebut. Kekonsistenan ibu dalam menghadapi
anak tantrum paling berperan dalam mengubah tingkah laku ini.
e. Penutupan
Penutupan pelatihan berisi tentang kegiatan evaluasi secara keseluruhan mengenai
proses pelatihan. Sudjana dalam Fauzi (2011) mendefinisikan evaluasi sebagai kegiatan
sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data yang diperlukan
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
sebagai bahan masukan untuk pengambilan suatu keputusan. Fauzi (2011) menjelaskan
bahwa evaluasi pelatihan mencakup 2 tujuan yakni tujuan edukasional dan tujuan
operasional.
Tujuan
edukasional
berhubungan
dengan
perubahan-perubahan
pengetahuan, sikap, dan perilaku sebagai hasil mengikuti pembelajaran dalam pelatihan.
Evaluasi dengan tujuan edukasional ini dilakukan dengan menggunakan angket posttest
mengenai pengetahuan ibu mengenai komunikasi efektif untuk menghadapi dan
mencegah anak tantrum dan wawancara kepada 2 orang ibu dengan skor kuesioner dan
behavior checklist teringgi dan 2 orang ibu denga skor skor kuesioner dan behavior
checklist terendah. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui kesan ibu tentang
pelatihan atau hasil pelatihan seperti yang ibu harapkan atau tidak, motivasi ibu
mengikuti latihan, dan kesulitan yang dialami oleh para ibu dalam menerapkan hasil
pelatihan di rumah. Efektivitas penyelenggaraan pelatihan juga dilihat dengan metode
pengisian kuesioner pada setiap akhir pelatihan yang meliputi pelaksanaan kegiatan,
performa fasilitator, materi pelatihan, serta metode yang digunakan dalam pelatihan.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai laporan hasil penelitian serta analisis data.
Laporan hasil penelitian meliputi data demografi para ibu sebagai peserta pelatihan serta
skoring hasil pretest dan posttest terhadap tingkat pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum.
Analisis data mencakup pengolahan data dengan sample paired t-test beserta analisisnya.
4.1.Gambaran Umum Partisipan
Pelatihan ini diadakan selama 3 (tiga) hari berselang-seling. Pelatihan selama 3 (tiga)
hari ini dihadiri oleh 14 (empat belas) orang ibu sebagai peserta pelatihan. Semua data dari
ke-14 orang ibu tersebut merupakan data valid yang seluruhnya diikutsertakan dalam analisis
data. Berikut ini disajikan data demografi dari para peserta pelatihan ini yang mencakup
kategorisasi usia, latar belakang pendidikan, jenis pekerjaan, dan jumlah anak yang dimiliki:
4.1.1. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Usia
Para ibu yang mengikuti pelatihan ini adalah para ibu yang sedang dalam tahap
dewasa muda yakni dengan rentang usia antara 20 – 40 tahun. Berikut ini disajikan
persentase usia para ibu berdasarkan rentang usia 5 tahunan:
Persentase Usia Para Ibu Berdasarkan
Rentang Usia
7.14%
20-25 tahun
28.57%
35.71%
28.57%
26-30 tahun
31-35 tahun
36-40 tahun
Gambar 4.1: Persentase Usia Para Ibu Berdasarkan Rentang Usia
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Berdasarkan Gambar 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa mayoritas para ibu berada
dalam rentang usia 26 – 30 tahun (35.71%) di mana mayoritas mereka adalah para
ibu muda. Secara terperinci, terdapat 1 orang ibu yang berada dalam rentang usia
20-25 tahun, 5 orang ibu dalam rentang usia 26-30 tahun, 4 orang ibu dalam rentang
usia 31-35 tahun, serta 4 orang ibu dalam rentang usia 36-40 tahun.
Secara
keseluruhan para ibu berada dalam periode perkembangan dewasa muda sesuai
dengan perencanaan penelitian yang telah disusun. Fase dewasa muda mempunyai
tingkat pemikiran operasi formal sehingga diharapkan para ibu menyerap materi
pelatihan dan dapat menerapkan di rumah meskipun dengan kondisi yang berbeda.
4.1.2. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
Partisipan adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah dengan
latar belakang pendidikan yang dijelaskan melalui gambar diagram seperti berikut:
Persentase Latar Belakang Pendidikan Para
Ibu
14.29%
14.29%
SMK
SLTA
D1
71.43%
Gambar 4.2: Persentase Latar Belakang Pendidikan Para Ibu
Melalui gambar di atas dapat dilihat bahwa mayoritas pendidikan para ibu adalah
sampai pada tingkat SLTA yakni sekitar 71,43% (10 orang).
Sisanya memiliki latar
belakang pendidikan SMK (14, 29%) dan D1 (14, 29%). Latar belakang pendidikan ibu
yang mayoritas SLTA ini dapat dikatakan cukup untuk memahami materi pelatihan yang
diberikan.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
4.1.3. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Ibu-ibu yang mengikuti pelatihan ini memiliki beberapa jenis pekerjaan atau profesi.
Jenis-jenis pekerjaan dan profesi itu dapat dilihat pada Gambar 4.3 sebagai berikut:
Persentase Jenis Pekerjaan Para Ibu
14.29%
7.14%
wiraswasta
Ibu rumah tangga
Guru TK
78.57%
Gambar 4.3: Persentase Jenis Pekerjaan Para Ibu
Berdasarkan Gambar 4.3 di atas dapat dilihat bahwa para ibu yang mengikuti
pelatihan ini memiliki 3 (tiga) jenis pekerjaan yakni sebagai wiraswasta, ibu rumah
tangga, dan guru TK.
Mayoritas para ibu berprofesi sebagai ibu rumah tangga yakni
sekitar 11 orang ibu dengan persentase sebesar 78,57%. Sementara itu terdapat dua orang
ibu yang berprofesi menjadi guru TK dengan persentase sebesar 14,29%. Dua orang ibu
yang berprofesi sebagai guru TK ini memiliki jam kerja mulai dari pukul 7.30 - 10.00
selebihnya mereka habiskan waktu dengan mengasuh anak mereka. Selain itu terdapat
satu orang ibu (7.14%) yang berprofesi sebagai wiraswasta yakni dengan membuka
warung di sekitar rumahnya sambilmengasuh anaknya.
4.1.4. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Jumlah Anak yang Dimiliki
Para ibu yang merupakan subjek dalam pelatihan ini adalah kumpulan para ibu yang
sedang dalam masa perkembangan dewasa muda di mana mereka mempunyai tugas
perkembangan menikah dan mengasuh anak. Persentase jumlah anak yang dimiliki oleh
masing-masing ibu dapat dilihat melalui Gambar 4.4 berikut ini:
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Persentase Jumlah Anak yang dimiliki Para Ibu
7.14%
21.43%
1 anak
2 anak
35.71%
3 anak
4 anak
35.71%
Gambar 4.4: Persentase Jumlah Anak yang Dimiliki Para Ibu
Melalui gambar di atas dapat dipaparkan bahwa mayoritas para ibu memiliki 2-3 anak
yakni masing-masing sebanyak 5 orang ibu. Sisanya adalah para ibu yang hanya memiliki 1
anak (21,43%) yakni sekitar 3 orang ibu serta ibu yang memiliki 4 anak (7,14%) yakni hanya
1 orang ibu. Jika dilihat dari jumlah anak yang dimiliki oleh para ibu, mayoritas mereka
merupakan golongan keluarga kecil.
4.2. Analisis Data Kuantitatif
Pada penelitian ini para ibu berperan sebagai subjek pelatihan mengalami dua kali
pengukuran yakni pada saat sebelum dan setelah pemberian intervensi berupa pemberian
pelatihan. Paired sample t-test dalam penelitian ini mengukur perubahan pengetahuan para ibu
mengenai cara mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah.
Selain itu juga dilakukan
pengukuran sebagai data tambahan yakni perubahan cara atau perilaku para ibu dalam mengatasi
anak yang sedang tantrum melalui komunikasi efektif.
4.2.1. Hasil Penelitian Pengetahuan Para Ibu Mengenai Tingkah Laku Tantrum
Hasil penelitian mengenai perubahan tingkat pengetahuan para ibu mengenai tingkah
laku tantrum diperoleh dari kuesioner pertanyaan terbuka yang terdiri dari 6 (enam) buah
pertanyaan essay. Kuesioner tersebut sebelumnya telah diujicobakan kepada sekelompok orang
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
ibu yang memiliki karakteristik yang mirip dengan peserta pelatihan. Kuesioner tersebut juga
telah diukur reabilitas serta validitasnya sebelum diberikan kepada partisipan.
Penelitian
terhadap perubahan pengetahuan para ibu ini dilakukan sebanyak 2 (dua) kali yakni pada saat
sebelum dan setelah diberikan intervensi. Hasil perubahan pengetahuan para ibu mengenai
tingkah laku tantrum dapat dilihat melalui Gambar 4.5. Sebelum pelatihan skor pengetahuan ibu
hanya berada dikisaran 2 – 7 poin sedangkan setelah diberikan intervensi skor meningkat tajam
menjadi berada dalam kisaran 11 – 25 poin.
25
Gambar 4.5
Data Pengetahuan Ibu Mengenai Tantrum
Skor Jawaban Benar
(Nilai Maksimal=25)
20
15
Pre Test
Post Test
10
5
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Partisipan
Gambar 4.5: Skor Pengetahuan Para Ibu Mengenai Cara Mengatasi Anak
Temper tantrum (Pretest dan Posttest)
Melalui gambar grafik batang tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan para ibu
mengenai tingkah laku tantrum mengalami perubahan yang cukup besar, namun belum diketahui
apakah perubahan tersebut signifikan atau tidak signifikan, untuk mengetahui
perubahan
signifikansi maka dilakukan analisis statistik dengan SPSS 17. Penjelasan lebih lanjut mengenai
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
perubahan pengetahuan para ibu ini dilakukan dengan pengolahan data melalui metode sample
paired t-test pada Tabel 4.1 berikut ini:
Tabel 4.1 Skor Pengetahuan Para Ibu Mengenai Temper tantrum
N
Pretest
Posttest
Mean of
T
Sig (p)
Correlation
-8.815
0.000
0.068
Differences
(Pre-Post)
14
2.8571
13.5714
-10.71429
Tabel di atas menunjukan skor pretest yakni sebesar 2.8571 dan skor posttest memiliki skor
13.5714. Dalam hal ini nilai posttest memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibanding nilai
pretest, hal ini menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan para ibu antara sebelum dan
setelah diberikan intervensi berupa pelatihan. Berdasarkan kegiatan pretest dan posttest terdapat
perbedaan skor yakni sebesar -10.71429 yang dapat dilihat pada kolom mean of difference.
Tanda negatif tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara sebelum dan setelah pemberian
intervensi yakni sebesar 10.71429. Selain itu, nilai t sebesar -8.815 dengan nilai p = 0.000
(p ≤ 0.05) menunjukkan telah terjadi perubahan signifikan terhadap pengetahuan ibu mengenai
cara mengatasi anak temper tantrum pada saat sebelum dan setelah pelatihan. Nilai correlation
sebesar 0.068 menunjukkan hubungan antara kegiatan pretest dan posttest sebesar 0.068.
4.2.2. Hasil Penelitian Perubahan Cara Para Ibu dalam Mengatasi Tantrum dengan
Komunikasi Efektif
Hasil penelitian mengenai perubahan perilaku para ibu dalam mengatasi anak temper
tantrum melalui metode bermain peran ini dilakukan oleh fasilitator utama dan 2 (dua) orang
kofasilitator. Alat ukur yang digunakan dalam olah data perubahan perilaku ibu ini adalah
behavioral checklist yang sebelumnya telah diuji reabilitasnya melalui metode inter-rater
reability. Gambar 4.6 ini menunjukan hasil perolehan skor perubahan perilaku para ibu dalam
melakukan komunikasi efektif untuk mengatasi tantrum melalui metode bermain peran:
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Gambar 4.6
27
Behavior Check List Komunikasi Efektif Untuk Mengatasi Tantrum
Skor Tingkah Laku Yang Tepat
(Nilai Maksimal=27)
24
21
18
15
Pre Test
Post Test
12
9
6
3
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Partisipan
Gambar 4.6: Skor Behavior Checklist Pre-test dan Posttest
Komunikasi dengan Anak Temper tantrum
Melalui Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa terjadi grafik peningkatan perubahan
perilaku para ibu dalam mengatasi anak temper tantrum melalui metode bermain peran.
Pada gambar tersebut skor posttest lebih tinggi dibandingkan skor pretest sehingga secara
umum dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan perubahan perilaku para ibu dalam
mengatasi anak temper tantrum yakni mulai dari anak menunjukkan tanda-tanda temper
tantrum, pada saat anak temper tantrum, dan pada saat anak selesai temper tantrum yang
kesemuanya dilakukan melalui metode bermain peran. Analisis lebih lanjut dilakukan
dengan program SPSS untuk melihat apakah perubahan tersebut signifikan atau tidak.
Penjelasan lebih rinci mengenai perubahan perilaku para ibu dalam mengatasi anak
temper tantrum ini dapat dijelaskan melalui tabel pengolahan data statistik dengan
metode sample paired t-test pada Tabel 4.2.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Tabel 4.2 Skor Pre-test dan Posttest Perubahan Cara Komunikasi Para Ibu dalam
Mengatasi Anak Temper tantrum Melalui Metode Bermain Peran
N
Pretest
Posttest
Mean of
T
Sig (p)
Correlation
-16.405
0.000
0.493
Differences
(Pre-Post)
14
7.2857
19.4286
-12.14286
Berdasarkan Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa skor pretest menunjukkan nilai
7.2857 sedangkan skor posttest menunjukkan nilai 19.4286. Nilai posttest yang jauh
lebih tinggi dibanding nilai pretest menunjukkan adanya perubahan cara ibu dalam
berkomunikasi dengan anak temper tantrum melalui metode bermain peran. Perbedaan
nilai antara kegiatan pretest dengan posttest adalah sebesar -12.14286 pada kolom mean
of differences.
Tanda negatif pada angka tersebut menunjukkan adanya perubahan
perilaku para ibu dalam mengatasi anak temper tantrum pada saat sebelum dan setelah
diberikan intervensi. Selain itu nilai t sebesar -16.405 dengan nilai p = 0.000 (p ≤ 0 .05)
menunjukkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap cara komunikasi para ibu
dengan anak temper tantrum melalui metode bermain peran. Nilai correlation sebesar
0.493 menunjukkan ada hubungan antara kegiatan pretest dengan posttest yakni sebesar
0.493. Ini berarti 0.493 perubahan posttest terjadi karena adanya intervensi pelatihan ini
sedangkan sisanya 0.507 disebabkan oleh faktor lain.
4.3.Analisis Data Kualitatif Hasil Wawancara dengan Partisipan Pasca Pelatihan
Pasca pelatihan dilakukan wawancara kepada empat orang peserta pelatihan yakni
dua orang partisipan dengan nilai kuesioner dan behavior checklist tertinggi serta dua
orang partisipan dengan nilai terendah untuk melihat sejauh mana tanggapan partisipan
terhadap jalannya pelatihan. Wawancara dilakukan 5 hari setelah pelatihan yaitu pada
hari Rabu, tanggal 26 Desember 2012 dengan mengajukan 3 buah pertanyaan. Jawaban
terdapat pada lampiran 6. Partisipan peraih skor tertinggi untuk kuesioner dan behavior
checklist adalah nomor 13 dan 14 yaitu ibu Ss dan ibu Rh (lampiran 3 dan 4). Ibu Ss
mendapatkan skor 24 sedangkan ibu Rh mendapatkan skor 25 dalam skala 27. Hasil
wawancara dengan ibu Ss menyatakan bahwa ibu Ss sangat senang dapat mengikuti
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
pelatihan mengatasi anak tantrum karena anak pertamanya berusia 5 tahun sering
tantrum. Menurut hasil diagnosis dokter psikiatri, anak tersebut memiliki keterlambatan
atau disebut mental retardasi ringan. Wajah dan tinggi anak tersebut tampak seperti anak
normal hanya bicara tidak lancar dan artikulasi tidak jelas. Bicara yang belum lancar
menyebabkan anak tersebut tidak dapat mengutarakan keinginannya sehingga sering
temper tantrum (bisa mencapai 5-10 kali sehari. Kondisi anak yang demikian menjadi
motivasi kuat bagi Ss untuk mengikuti pelatihan ini sehingga untuk mengikuti pelatihan
Ss mengundang orang tuanya untuk menginap di rumahnya untuk menjaga putranya
selama pelatihan. Ss mengatakan pelatihan ini sangat bermanfaat karena ia lebih percaya
diri dan tidak stres lagi menghadapi anaknya yang sedang temper tantrum, dan ia merasa
lebih bisa berkomunikasi dengan anaknya. Kesulitan yang dirasakan Ss dalam
menerapkan hasil pelatihan di rumah adalah melatih kesabaran agar tidak terpancing
untuk marah ketika anak sedang tantrum.
Hasil wawancara dengan partisipan peraih skor tertinggi adalah nomor 14 yaitu
ibu Rh dengan skor 25 dalam skala 27. Selain sebagai ibu, Rh juga bekerja sebagai guru
di sebuah Taman Kanak-kanak (TK). Rh mengatakan pelatihan ini sangat bermanfaat
karena ia lebih percaya diri dalam mengatasi anak temper tantrum karena tahu persis
tahap-tahap yang harus dilalui. Sebelum pelatihan Rh mengaku panik dan pusing
menghadapi anaknya yang sedang temper tantrum. Rh mengatakan ia mencoba cara-cara
komunikasi efektif dengan ketiga anaknya. Rh merasa komunikasinya dengan anakanaknya bertambah akrab, tidak hanya dengan anak prasekolah saja tetapi juga dengan
anaknya yang bersekolah di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
TK. Kesulitan Rh dalam menerapkan pelatihan di rumah adalah memilih atau menyusun
kata-kata yang tepat ketika anak mulai menunjukan tanda-tanda temper tantrum karena
Rh sebelum pelatihan adalah ibu yang pendiam dan jarang jarang interaksi dengan anak
karena jarang bicara. Setelah mengikuti pelatihan Rh selalu berkomunikasi dan interaksi
dengan anak karena ia tahu ia bisa berkomunikasi dengan anak tanpa perlu bicara
panjang lebar, misalnya dengan mendengar aktif.
Skor behavior checklist terendah diperoleh partisipan nomor 2 dan 5 yakni ibu En
dan ibu In (lampiran 3). En dan In mendapatkan skor yang sama yakni 16 dalam skala 27.
Wawancara dilakukan pada En dan In. En mengatakan pelatihan sangat berkesan
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
bermanfaat karena ia lebih tenang saat anak temper tantrum karena tahu persis apa yang
harus dilakukan. Kesulitan yang dihadapi En dalam menerapkan hasil pelatihan di rumah
adalah ikut campurnya orang tua En ketika En sedang menghadapi anaknya yang temper
tantrum karena En masih tinggal serumah dengan orang tua. Peneliti menyarankan En
untuk mengkomunikasikan cara mengatasi anak yang temper tantrum agar orang tuanya
mempunyai pemahaman yang sama sehingga En dapat bekerja sama.
Wawancara dengan In diperoleh hasil In sangat puas dan senang dengan pelatihan
komunikasi efektif untuk mengatasi tantrum ini. Pelatihan ini sangat bermanfaat karena
anaknya yang berusia 4 tahun setiap hari tantrum minimal satu kali. Setelah mengikuti
pelatihan In merasa lebih tenang dalam menghadapi anak yang sedang tantrum karena
tahu apa yang harus dilakukan Kesulitan penerapan di rumah adalah memelihara
kesabaran karena ketika anak sedang tantrum In merasa kepalanya pusing dan ingin
berteriak.
Hasil wawancara dengan 4 orang partisipan yaitu peraih skor tertinggi (Ss dan
Rh) dan partisipan peraih skor terendah menunjukan semua partisipan merasa puas
dengan jalannya pelatihan dan merasda bahwa pelatihan komunikasi efektif ini sangat
bermanfaat. Keempat partisipan dapat menerapkan cara komunikasi efektif ini di rumah,
meskipun ada beberapa kendala yang dihadapi.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi mengenai
beberapa hal penting yang terkait dalam penelitian, dan saran-saran yang dapat untuk
meningkatkan kualitas penelitian di masa yang akan datang.
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian mengenai efektivitas pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan
ibu dalam mengatasi anak temper tantrum usia prasekolah 3 – 5 tahun tahun diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
a. Terdapat perubahan yang signifikan mengenai pengetahuan para ibu tentang tingkah laku
tantrum anak usia prasekolah sebelum dan setelah mengikuti pelatihan.
b. Terdapat perubahan yang signifikan terhadap pengetahuan ibu tentang cara mengatasi
tingkah laku tantrum dengan metode komunikasi efektif sebelum dan setelah mengikuti
pelatihan
5.2 DISKUSI
Penelitian mengambil metode yang sama dengan beberapa penelitian sebelumnya.
Pemilihan metode komunikasi untuk mengatasi tantrum pada penelitian ini adalah suatu metode
yang tepat karena di dalam metode tersebut terdapat pengetahuan mengenai cara ibu untuk
membantu anak menamai dan menerima perasaan. Anak yang mengenal dan menerima
perasaannya akan mudah mengendalikan perasaan atau emosinya. Pengendalian emosi yang baik
menyebabkan anak tidak mudah stres dan tingkah laku tantrum anak berkurang. Metode
komunikasi efektif yang memuat cara menamai dan menerima perasaan ini sejalan dengan
penelitian Yuli Setyowati tentang pengaruh pola komunikasi keluarga dengan pengembangan
emosi anak pada keluarga Jawa yang ditulis pada tahun 2005. Hasil penelitian yang dimuat pada
Jurnal ilmu komunikasi ini menyimpulkan pentingnya komunikasi dalam menstimulasi
perkembangan emosi anak usia dini yaitu pengenalan berbagai emosi dasar seperti marah, sedih,
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
senang, takut, dan bagaimana mengelola emosi tersebut. Menurut Borba (2009) marah adalah
emosi yang dapat menyebabkan timbulnya tingkah laku tantrum, maka jika dapat
memngendalikan emosi marah akan mengurangi tingkah laku tantrum. Penelitian lain untuk
mengatasi tingkah laku tantrum dilakukan oleh Dana H. Davidson dengan judul penelitian
Tantrums in Young Children tahun 2003. Penelitian Davidson (2003) ini juga menggunakan
metode komunikasi untuk mengatasi tingkah laku temper tantrum yaitu komunikasi asertif.
Komunikasi asertif adalah komunikasi yang melibatkan emosi. Komunikasi asertif antara ibu
terhadap anak usia prasekolah mempunyai dampak meningkatkan kompetensi emosi anak dalam
mengekspresikan emosi, responsif terhadap emosi, dan memahami emosi sehingga dapat
mengatasi ataupun menurunkan tingkah laku tantrum. Eva L. Feindler dan Karen A. Star (2003)
juga menulis tentang mengatasi tantrum atau pengendalian amarah dengan metode Anger
Control Training (ACT) yaitu pengendalian amarah dengan proses relaksasi dan pengalihan
fokus pikiran.
Diskusi dalam penelitian ini adalah efektivitas program pelatihan baik karena berhasil
meningkatkan pengetahuan ibu mengenai cara mengatasi anak temper tantrum yaitu cara
mencegah anak temper tantrum, reaksi spontan ketika anak temper tantrum dan cara untuk
merubah kebiasaan anak temper tantrum. Keberhasilan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang menunjang keberhasilan jalannya penelitian ini antara lain faktor peserta, materi, fasilitator,
dan metode pelatihan.
Para ibu yang merupakan peserta pelatihan ini merasa senang dan antusias mengikuti
pelatihan. Keempat belas ibu yang mengikuti pelatihan ini senang dan bersemangat pada saat
kegiatan ice breaking melalui permainan-permainan. Selain itu pada saat pemberian empat
materi yakni Anak Emas, Anak Mengadat (Temper tantrum), Komunikasi Efektif, dan Mengatasi
iantrum, para ibu terlihat antusias karena hal tersebut merupakan pengalaman pertama bagi
mereka dan merupakan masalah yang dihadapi sehari-hari. Para peserta pelatihan juga terlihat
aktif dalam kegiatan diskusi kelompok dan terdapat beberapa orang ibu yang aktif bertanya
kepada fasilitator terkait materi yang disampaikannya. Hal ini sejalan dengan dengan hal yang
diungkapkan oleh Patmonodewo (1992) bahwa orang dewasa dapat belajar dengan baik apabila
ia merasa senang dan aktif berpartisipasi.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Faktor materi juga berpengaruh terhadap kesuksesan hasil pelatihan. Materi yang
diberikan dalam pelatihan ini merupakan hal-hal yang dapat dipraktikkan langsung dalam
kehidupan sehari-hari sehingga mudah bagi para ibu untuk mengikuti proses pembelajaran di
dalamnya. Patmonodewo (1992) menyatakan bahwa orang dewasa akan mudah mempelajari
sesuatu jika bahan yang diberikan segera dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Materi
“Anak Emas” berisi pengetahuan mengenai cara mendidik anak pra sekolah dengan tepat yang
langsung dapat dipraktikkan oleh ibu kepada anak. Begitu pula dengan materi “Anak Mengadat”
(Temper tantrum) yang merupakan masalah bagi para ibu, maka dengan pemberian materi
“Komunikasi Efektif dengan Anak” dan “Mengatasi Tantrum” para ibu tampak sangat antusias
bertanya karena ingin lebih jelas memperoleh pengetahuan yang dapat memecahkan salah satu
masalah dalam pengasuhan yaitu masalah tingkah laku temper tantrum. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang dinyatakan oleh Knowles dalam Fauzi (2011) bahwa salah satu prinsip
pembelajaran orang dewasa adalah mereka mau mempelajari segala sesuatu yang ingin mereka
ketahui dan mau melakukannya jika hal tersebut dapat menyelesaikan masalah yang mereka
hadapi.
Fasilitator juga merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu pelatihan. Para
fasilitator yang terlibat dalam pelatihan ini adalah orang-orang yang memiliki latar belakang
pendidikan dan pengalaman dibidang psikologi anak usia dini sehingga proses pemberian materi
dapat mudah dipahami oleh para ibu. Fauzi (2011) menyatakan bahwa salah satu peran fasilitator
adalah sebagai agen perubahan di mana ia berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi para
peserta pelatihan. Cara penyampaian juga menarik yaitu dengan menggunakan metode belajar
yang beraneka ragam sehingga para ibu mendengarkan dengan antusias. Metode pelatihan yang
bervariasi membuat para ibu tidak mengalami kebosanan. Hal ini terlihat dari semangat para ibu
untuk hadir tepat waktu dan antusias mengikuti materi selama 4 jam dalam sehari yang dimulai
jam 08.00 sampai dengan jam 12.00. Metode pelatihan dengan menggunakan tayangan video
hasil rekaman ibu yang sedang berkomunikasi dengan anak tantrum merupakan metode yang
paling diminati. Ibu dapat langsung menyaksikan penampilan mereka, Selain itu tingkah laku
anak tantrum yang diperankan oleh ibu yang lain juga membuat para ibu tertawa. Metode lain
yang disukai adalah ceramah karena para ibu dapat langsung bertanya mengenai masalahmasalah yang terkait dengan materi pembelajaran. Metode permaianan juga disukai karena
menimbulkan suasana gembira dan tidak mengantuk.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Penelitian ini selain mempunyai beberapa kelebihan juga mempunyai beberapa
keterbatasan yaitu pertama luas ruangan pelatihan yang berukuran 5 x 7 meter persegi memadai
untuk pemberian materi tetapi kurang memadai untuk permainan. Ibu-ibu yang berjumlah 14
orang bergerak kurang leluasa dalam melakukan metode permainan. Kedua, penelitian belum
bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya karena ibu tidak menghadapi anak yang benarbenar sedang tantrum tetapi hanya berhadapan dengan ibu lain yang berperan sebagai anak
sehingga perasaan dan situasinya berbeda dengan menghadapi anak yang sedang tantrum yang
sesungguhnya. Ketiga, alat ukur kuesioner terbuka menunjukan hasil peningkatan pengetahuan
ibu secara signifikan tetapi rata-ratanya hanya 60% jawaban yang benar, dan hanya satu orang
yang kebenaran jawabannya di atas 90%. Hal ini terjadi karena banyaknya item yang harus
diingat yang dilakukan pada tahap-tahap (1) untuk mencegah tantrum, (2) pada saat anak sedang
tantrum, dan (3) merubah kebiasaan tantrum pada anak, sehingga ibu mengalami kesulitan untuk
menghafal. Seharusnya untuk menghafal item yang banyak dan tidak ada pengetahuan awal yang
relevan digunakan metode nemonik (Ormrod, 2012) atau disebut jembatan keledai. Nemonik
adalah suatu proses pemberian makna terhadap huruf atau suku kata awal dari suatu kalimat,
dengan pemberian makna menghafal dan memahami sesuatu menjadi lebih efektif.
Keterbatasan yang keempat yaitu penggunaan alat ukur behavioral checklist yang
mengukur pengetahuan ibu mengenai komunikasi efektif untuk mengatasi anak yang sedang
temper tantrum tidak mampu menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Hasil pretest dan
posttest dari behavioral checklist hanya diberikan “ya” dan “tidak”. Menurut Suprananto (2012)
dan Walgito (2003), alat ukur dengan pilihan jawaban “ya“ atau “tidak“ memiliki kelemahan
yaitu faktor kemungkinan subjek untuk menjawab pernyataan dengan benar adalah 50%
sehingga behavioral checklist mengenai cara ibu berkomunikasi efektif dengan anak temper
tantrum belum menggambarkan pengetahuan ibu yang sebenarnya.
Keterbatasan kelima, penelitian hanya melakukan dua tahap evaluasi dari empat tahap
yang dianjurkan dalam pelatihan. Menurut Fauzi (2011) evaluasi hasil pelatihan terdiri dari
empat tahap yaitu (1) tahap reaksi (2) tahap belajar, (3) tahap aplikasi, dan (4) tahap impact.
Tahap reaksi merupakan evaluasi tahap pertama, dilakukan segera setelah pelatihan selesai.
Evaluasi ini ditujukan untuk mengukur tingkat kepuasan peserta terhadap pelaksanaan pelatihan.
Evaluasi tahap kedua yaitu tahap belajar. Tujuannya mengukur tingkat pemahaman peserta
terhadap materi pelatihan. Evaluasi tahap ketiga yaitu tahap aplikasi yaitu kemampuan ibu
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
mengaplikasikan materi pelatihan ke dalam kehidupannya sehari-hari. Evaluasi tahap keempat
yaitu tahap impact yaitu melihat dampak dari perubahan sikap mental peserta terhadap masalah
yang dihadapi. Penelitian ini tidak melakukan evaluasi tahap ketiga dan keempat karena hanya
melihat perubahan pengetahuan ibu.
5.3 SARAN
Berdasarkan paparan diskusi dalam penelitian ini, maka terdapat beberapa saran yang
dapat digunakan untuk pelatihan di masa yang akan datang. Saran-saran tersebut antara lain
sebagai berikut:
a. Pada kegiatan role play sebaiknya dilakukan secara alami dengan cara merekam kegiatan ibu
yang sedang menghadapi anak yang sedang tantrum seperti ketika uji validitas dan
reliabilitas. Kegiatan ini berlaku untuk pretest dan posttest. Kegiatan pretest dapat dilakukan
melalui kegiatan observasi di mana peneliti mengunjungi rumah masing-masing ibu.
Kesulitan metode ini adalah tidak bisa ditentukan waktu anak menunjukan tingkah laku
tantrum secara pasti. Hal ini pun berlaku pada kegiatan posttest.
b. Dilakukan monitoring dan evaluasi berkala pasca pelatihan untuk melihat capaian hasil
pelatihan tahap ketiga yang disebut tahap aplikasi yaitu kemampuan para ibu dalam
mengatasi tingkah laku tantrum anak usia prasekolah. Fauzi (2011) mengatakan tahap
aplikasi ini penting karena mengukur apakah materi yang diajarkan telah diaplikasikan oleh
peserta dalam kehidupan sehari-hari untuk mengubah perilaku para partisipan menuju
perilaku unggul yang diharapkan dalam pelatihan. Pengukuran ini biasanya dilakukan 6
bulan hingga satu tahun setelah pelatihan.
c. Bisa ditambahkan tahap impact untuk mengukur apakah kegiatan pelatihan yang telah
dilakukan dapat memberikan perubahan sikap mental, perbaikan pengetahuan atau
menambah keterampilan para ibu sehingga berdampak terhadap kinerja yaitu menurunnya
frekuensi tantrum, karena penelitian tesis dibatasi oleh waktu maka penelitan tahap aplikasi
dan tahap impact dapat dilanjutkan oleh mahasiswa angkatan tahun berikutnya.
d. Usulan materi yang dibutuhkan oleh ibu terkait tingkah laku tantrum adalah ibu
menginginkan materi cara mengatasi anak tantrum usia sekolah, remaja dan dewasa
e. Mengatasi tantrum bisa dicoba dilakukan dengan metode lain, misalnya metode ACT (Anger
Control Treatment).
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Achadi, Endang L, dkk. (2011). Gizi Seimbang: Buku Pegangan Pendidik PKGK dan PUSKA.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Anonymous. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 58 tahun
2009. 28 April 2012 www.ranking-ptai.info/regulasi/permendiknas_58_09.pdf
Anonmus. Kartu Menuju
permenkes
Sehat (KMS). 4 Juli 2012. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_
Anonymous. (2012). How Serious Behavior Problems Affect Children. 11 Mei 2012.
www.kidsmatter.edu.au.
Barker, Larry. (2012). 10 Irritating Habits. www.focusas.com/ListeningSkills.html.
Baumrind, D. (1966). Effects of Authoritative Parental Control on Child Behavior, Child
Development, 37(4), 887-907.
Baumrind, D. (1967). Child Care Practices Ateceding Three Patterns of Preschool Behavior.
Genetic Psychology Monographs, 75(1), 43-88.
Baumrind, D. (1991). The Influence of Parenting Style on Adolescene Competence and
Substance Use. Journal of early adolescene, 11(1). 56-95.
Berns, Roberta. M. (2009). Child, Family, School, Community Sozialitation and Support.
Wadsworth Cengage Learning: Australia.
Borba, Michelle. (2001). Building Moral Intelegence. Jossey-Bass A Willey Imprint: California.
Borba, Michelle. (2009). The Big Book Parenting Solution. Jossey-Bass A Willey Imprint:
California.
Bronson, M. (2000). Self-Regulation in Early Childhood: Nature and Nurture. The Guildford
Press: New York.
Brooks, Jane B. (1991). The Process of Parenting. Mayfield Publishing Company. Mountain:
USA.
Davidson, Dana H. (2003). Temper Tantrums in Young Children. Children and Family Journal;
Nov:2003-CF7. University of Hawai.
Denham, Susanne, Susan Renwick-DeBardi, Susan Hewes. (1994). Emotional Communication
Between Mothers and Preschoolers: Relations with Emotional Competence. Merrill-Palmer
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Quarterly (1982-), Vol. 40, No. 4 (October 1994), pp. 488-508. Wayne State University
Press. 25 Desember 2012 http://www.jstor.org/stable/23087919
Duvall, Evelyn Millis. (1977). Marriage and Family Development. J.B. Lippincott Co:
Philadelphia.
Ekman, Paul. (1992). An Argumen for Basic Emotions. Journal Cognition and Emotion 6(3/4),
169-200. University of California. San fransisco: USA.
Fauzi, A. Ikka Kartika. (2011). Mengelola Pelatihan Parsitipatif. Alfabeta: Bandung.
Feindler, Eva, Starr, Karen E. (2003). From Steaming Mad to Staying Cool: A Constructive
Approach to Anger Control. Reclaiming Children and Youth. 2003; 12, 3; ProQuest.
Fetsch, R.B., Jacobson, B. (2007). Children Anger and Tantrum. Colorado State University.
Ford, Katrinca. (2012). Children and Tantrums: Why They Do It. How to get through it.
Worksheet. Cal State Hayward.
Fox, Nathan A., Susan D. Calkins, Susan D. (2003). The Development of Self-Control of
Emotion:Intrinsic and Extrinsic Influences. Motivation and Emotion, Vol. 27, No. 1, March
2003
Frey, Diane E. (2003). Creative Strategies for the Treatmen of Anger. Mandala Publinshing:
Dayton. Ohio
Furlong, N.E., Lovelace, E.A., & Lovelace,K.L. (2000). Research Methods and Statistics: An
Integrated Approach. New York: Thomson Wadsworth.
Gail E. Joseph, Strain, Phillip S. (2003). Social Emosional Teaching Strategies. The Center on
the Social and Emotional Foundations for Early Learning University of Illinois at UrbanaChampaign. Handout module.
Gillespie, Linda Groves dan Seibel Nancy L. (2006). Self-Regulation : A Cornerstone of Early
Childhood Development. National Association for the Education of Young Children.
www.journal.naeyc.org/about/permissions.as
Good, Tom W. (1982). Delivering Effective Training. San Diego: California.
Gordon, Thomas. (1993). Menjadi Orang Tua Efektif. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Hastono, P. Sutanto. (2007). Analisis Data Kesehatan. FKM UI. Depok
Henniger, Michael L. (2009). Teaching Young Children: An Introduction. Pearson: New Jersey
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Kochanska, G., Coy, K., & Murray, K. (2001). The Development of Self-Regulation Across the
First Four Years of Life. Child Development, 72, 1091–1111.
Kolb, David A. (1984). Experential Learning : Experience As the Source of Learning and
Development. Prentice-Hall: USA.
Levinson, Martin H. (2006). Anger Management and Violence Prevention: A Holistic Solution.
Apr 2006; 63, 2; ProQuest Research Library.
Maccoby, E.E., Martin J.A. (1983). Socialization in The Contact of The Family: Parent-Child
Interaction Handbook of Child Psychology: Socialization Personality and Social
Development (4th ed). Wiley: New York.
Miller, Alicia. (2010). The Importance of Effective Communication. www.livestrong.com.
Miller, Daria Ferris. (2000). Positive Child Guidance. Delmar Thomson Learning: Australia.
Moeliono, Anton M., Marcus Susanto, Mien A. Rifai, Muhammad Zairin, Sri Suksesi,
Adiwimarta, Sri Timur Suratman. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Edisi ke-4. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Mustaqim, Wahid, Abdul. (2010). Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta.
Nichols, John M., Hassan Shadily. 2002. Kamus Inggris Indonesia : An English-Indonesian
Dictionary. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Nini Subini, dkk. (2012). Psikologi Pembelajaran. Mentari Pustaka: Yogyakarta.
Omrod, Jeanne Ellis. (2011). Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang.
Gramedia: Jakarta.
Papalia, Diane E, Ruth Duskin Feldman, Gabriela Martorell. (2012). Experience human
development. Mc. Graw Hill: USA.
Patmonodewo, S. (1992). Buku Paket Pelatihan Ibu Manu Anak Bermutu – Seri Ibu, Petunjuk
Bagi Kader. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Reilly, Patrick M. & Shopshire, Michael S. (2011). Anger Management for Substance Abuse and
Mental Health Clients : A Cognitive Behavioral Therapy Manual. U.S. Departement of
Health and human Services. Substance Abuse and Mental Health Services Administration.
Center for Substance Abuse Treatment. 23 Mei 2012 www.samhsa.gov
Sanders, Matthew.R. (1997). Every Parent: A Positive Approach to Children Behavior. Addison
Wesley Longman: Australia.
Santrock, John W. (2009). Child development. Mc. Graw Hill: USA.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Sears, William, Martha, Sears. (1995). The Discipline Book: Everything You Need to Know to
Have A Better-Behave Child-From Birth to Eight Ten. Little Brown and Co: Boston.
Setyowati, Yuli. (2005). Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak: Studi
Kasus. Jurnal Ilmu komunikasi. Volume 2:1, 67-78, Juni 2005.
Simenyak, Sarah. (2009). Effective Communication Skills for Parents. Actual Workplace
Challenges. www.qomps.com.my
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Administrasi. CV Alfabeta: Bandung.
Suprananto, Kusaeri. (2012). Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Graha Ilmu: Jakarta.
Terrie E. Moffitt, Louise Arseneault, Daniel Belsky, Nigel Dickson, Robert J. Hancox, Hona
Lee Harrington, Renate Houts, Richie Poulton, Brent W. Roberts, Stephen Ross, Malcolm R.
Sears, W. Murray Thomson, and Avshalom Caspi. A gradient of childhood self-control
predicts health,wealth, and public safety. www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1010076108
PNAS Early Edition
Tracy Dennis. (2006). Emotional Self-Regulation in Preschoolers: The Interplay of Child
Approach Reactivity, Parenting, and Control Capacities. Developmental Psychology. Vol 42,
No. 1, 84–97 0012-1649/06/$12.00 DOI: 10.1037/0012-1649.42.1.84, American
Psychological Association.
Walgito, Bimo. (2003). Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Penerbit Andi: Yogyakarta.
Zolten, Kristin, Long, Nicholas. Effective Communication Skills for Parents. Department of
Pediatrics, University of Arkansas for Medical Sciences Artwork by Scott Snider.
www.parenting-ed.org
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
No
1.
Nama
Kegiatan
Pembukaan
dan
Perkenalan
Waktu
09.0009.20
20
menit
2.
Pre-Test
Kuesioner
tentang cara
komunikasi
efektif untuk
mengatasi
anak
mengadat dan
frekuensi
mengadat
anak selama 1
minggu
09.2009.40
20
menit
Tujuan
Kegiatan
• Menciptakan
suasana
keakraban antar
para peserta
pelatihan.
• Para peserta
siap untuk
mengikuti
pelatihan
komunikasi
efektif untuk
mengatasi anak
mengadat
Sasaran
Kegiatan
• Para ibu saling
mengenal satu
sama lain
• Para ibu siap
untuk mengikuti
pelatihan.
Deskripsi
Metode
Kegiatan
Permaina
• Pembukaan :
n
• Sanbutan ketua penyelenggara
pelatihan
• Perkenalan panitia
• Para ibu memperkenalkan namanya
satu persatu
• Ice Breaking : games KENTANG
DAN SEDOTAN . ibu berusaha
menusukan sedotan hingga
menenbus kentang . hikmahnya :
pekerjaan sulit jika dilakukan
dengan sungguh-sungguh akan
berhasil
• Untuk
mengetahui
pengetahuan
dasar para ibu
tentang cara
komunikasi
efektif untuk
mengatasi anak
prasekolah
mengadat
sebelum
pelatihan.
• Penjelasan Kuesioner
• Penyelenggara
pelatihan
• Pengisian Kuesioner
mengetahui
• Penutup
kemampuan dasar
para ibu tentang
cara komunikasi
efektif untuk
mengatasi anak
prasekolah
mengadat
sebelum
pelatihan.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Pengisian
angket
sesuai
pengala
man para
ibu
Media
Indikator
Mikrofon,
spidol.
Para ibu dapat
menyebutkan
hikmah games
KENTANG DAN
SEDOTAN
Alat tulis,
angket
mengenai
komunikasi
efektif untuk
menurunkan
frekuensi
mengadat
anak
prasekolah
Angket terisi
semua
No
3.
Nama
Kegiatan
ANAK EMAS
Waktu
09.4010.30
50
menit
4.
ISTIRAHAT
10.3010.40
5.
ANAK
MENGADAT
10.4011.20
40
menit
Tujuan
Sasaran
Deskripsi
Kegiatan
Kegiatan
Kegiatan
• Pengantar : tujuan sesi ini
• Para ibu
• Meningkatkan
mengetahui
pengetahuan
• Pembagian kelompok ibu (5-6
perkembangan
ibu mengenai
orang), dalam kelompok tersebut
fisik-motorik
perkembangan
ibu mendiskusikan perkembangan
(kasar & halus)
anak pra sekolah
anak pra sekolah.
/kognitif/psikososi • Role play : perwakilan ibu maju ke
dan pentingnya
al anak pra
usia emas
depan menjelaskan dan
sekolah.
(golden ages)
memperagakan perkembangan
pada anak usia
fisik-motorik (kasar & halus)
dini (AUD).
/kognitif/psikososial anak pra
sekolah.
Menyegarkan
Ibu merasa segar
• Ibu dipersilakan minum teh dan
fikiran kembali
dan siap ikut pelamakan snack atau ke toilet
tihan selanjutnya
Para ibu
• Para ibu berada dalam kelompok
• Memberikan
mendapat
kecil (1 kelompok 5-6 orang).
pengetahuan
pengetahuan
kepada para ibu
• Studi kasus : Fasilitator
mengenai
mengenai
menunjukan dua buah film
perilaku
perilaku
tentang anak prasekolah mengadat
mengadat
anak
mengadat anak
• Diskusi : Ibu mendiskusikan dalam
pra sekolah,
pra sekolah,
kelompok kecil mengenai
penyebab dan
penyebab dan
mengadat dan penyebabnya
faktor-faktor yang • Fasilitator meminta jawaban dari
faktor-faktor
mempengaruhi
yang
tiap kelompok
nya.
mempengaruhi
• Di akhir sesi, fasilitator memberi
nya.
ceramah singkat mengenai
perilaku mengadat anak pra
sekolah, penyebab dan faktorfaktor yang mempengaruhi
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Metode
Media
Indikator
Ceramah
singkat
Diskusi,
main
peran
Laptop, LCD,
Modul
fasilitator,
Handout
peserta
pelatihan.
• Ibu dapat
menyebutkan
ciri
perkembanga
n fisik-motorik
kasar &
halus,kognitif,
dan
psikososial
anak pra
sekolah.
Studi
kasus,
diskusi,
ceramah
singkat.
Gelas plastic,
sendok kecil,
teh, gula
Modul
fasilitator,
handout
peserta
pelatihan,
LCD, laptop,
mikrofon,
alat tulis,
kertas.
• Para ibu
mampu
menyebutkan
masalah
umum
perilaku anak
pra sekolah.
• Para ibu
mampu
memberikan
jawaban
terkait studi
kasus ang
diberikan.
No
6.
Nama
Kegiatan
Quiz
Waktu
09.0009.20
20
menit
7.
8.
KOMUNIKASI
EFEKTIF IBU
EFEKTIF
09.2010.00
ISTIRAHAT
10.0010.10
40
menit
Tujuan
Kegiatan
• Menyegarkan
kembali
pengetahuan
para ibu
mengenai
materi “ANAK
EMAS” dan
“ANAK
MENGADAT”
Sasaran
Kegiatan
• Para ibu
bersemangat untuk
menunjukkan
pengetahuan yang
mereka memiliki
dengan menjawab
pertanyaan yang
diajukan.
Deskripsi
Kegiatan
• Panitia mengajukan sekitar 3
pertanyaan kepada para ibu.
• Ibu yang tahu jawabannya,
angkat tangan, dan uraikan
jawabannya.
• Pemberian hadiah bagi 3 orang
ibu yang berhasil menjawab
pertanyaan dengan benar.
• Memberikan
• Para ibu mempunyai • Fasilitator memberikan ceramah
materi pelatihan
pengetahuan
mengenai komunikasi efektif
komunikasi
komunikasi efektif
untuk mengatasi anak mengadat
efektif untuk
untuk mengatasi
mengatasi anak
anak mengadat
mengadat
•
Menyegarkan
fikiran kembali
Ibu merasa segar
dan siap mengikuti
pelatihan
selanjutnya
• Ibu dipersilakan minum teh
dan makan snack atau ke toilet
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Metode
Media
Indikator
Tanya
jawab.
Lembar
pertanyaan
quiz,
mikrofon.
• Para ibu mau
dan mampu
menjawab
pertanyaan
yang diajukan.
Uraian
jawaban yang
benar
mengindikasi
kan ibu
mengetahui
dengan baik
materi yang
diberikan.
Talk Show
TOR Talk
show,
mikrofon.
• Para ibu tahu
cara
komunikasi
efektif untuk
mengatasi
anak
mengadat
Gelas plastic,
sendok kecil,
teh, gula
No
9.
Nama
Kegiatan
Bermain
peran
Waktu
10.1011.10
60
menit
Tujuan
Sasaran
Kegiatan
Kegiatan
Mengetahui cara Ibu dapat melakukan
komunikasi efektif komunikasi efektif
yang
telah setelah pelatihan.
dikuasai
ibu
setelah mendapat
materi komunikasi
efektif
Deskripsi
Kegiatan
• Para ibu dibagi dalam kelompok
kecil (4 orang) dan tiap
kelompok didampingi oleh satu
orang co-fasilitator.
• Main peran : Satu orang ibu
berperan sebagai anak yang
mengadat, seoran ibu lainnya
berperan sebagai ibu yang
berkomunikasi efektif dengan
anak yang mengadat,
sementara ibu-ibu yang lainnya
menonton sambil mengisi
lembaran masukan bagi ibu
yang berperan sebagai ibu.
Demikian bergantian sampai
semua ibu berperan sebagi ibu
yang melakukan komunikasi
efektif dengan anak.
• Co-fasilitator merekam satu
per satu ibu yang melakukan
komuinikasi efektif dengan
“anaknya” yang sedang
mengadat
• Setelah merekam, co-fasilitator
mengisi behavioral checklist
sesuai dengan hasil
rekamannya.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Metode
Main
peran
Media
Behavioral
checklist,
handy cam,
Indikator
No
10.
Nama
Kegiatan
Mari Menilai!
Waktu
09.0010.00
60
menit
11.
ISTIRAHAT
11.
Wrap up
komunikasi
efektif
10.0010.10
10.1010.40
30
menit
No
Nama
Waktu
Tujuan
Kegiatan
• Untuk
mengevaluasi
apakah para
ibu mampu
mengoreksi
kesalahan
dalam cara
komunikasi
efektif pada
saat menangani
anak mengadat
yang dilakukan
oleh temannya
melalui video.
Menyegarkan
fikiran kembali
Membantu para
ibu dalam
mengingat
kembali poin-poin
penting dalam
komunikasi
efektif.
Tujuan
Sasaran
Kegiatan
• Agar para ibu
mampu
menyebutkan
dan menganalisis
kesalahan dalam
cara komunikasi
efektif pada saat
menangani anak
mengadat
• Agar para ibu
mampu
memberikan
masukan
bagaimana
seharusnya cara
komunikasi
efektif pada saat
menangani anak
mengadat.
Ibu merasa segar
dan siap mengi
kuti pelatihan
selanjutnya.
Deskripsi
Kegiatan
• Panitia mempersiapkan 12 buah
video rekaman hasil dari kegiatan
posttest .
• Fasilitator meminta para ibu untuk
memperhatikan video tersebut
dengan seksama lalu
mengevaluasinya.
• Para ibu menyaksikan 4 tayangan
video terbaik hasil penilaian
fasilitator tersebut satu per satu
dan mengisi lembar evaluasi
penilaian.
• Para ibu mampu
mengingat kembali
materi mengenai
perkembangan
anak pra sekolah,
mengadat, dan cara
komunikasi efektif.
Sasaran
• Fasilitator memberikan tayangan
slideshow yang berisi rangkuman
materi karakteristik
perkembangan anak prasekolah,
mengadat dan komunikasi efektif
yang telah diberikan sebelumnya.
Metode
Media
Indikator
Diskusi
• Tayangan
video main
peran hari
ke-2,
mikrofon,
lembar
penilaian
ibu.
• Ibu mampu
memberikan
masukan yang
konstruktif
mengenai
penguasaan
cara
komunikasi
efektif
Gelas plastic,
sendok kecil,
teh, gula
• Ibu dipersilakan minum teh dan
makan snack atau ke toilet
Deskripsi
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Ceramah
Metode
LCD, laptop,
mikrofon,
modul
fasilitator,
handout
peserta
pelatihan.
Media
Para ibu mampu
menjawab
pertanyaanpertanyaan
yang diajukan
oleh fasilitator.
Indikator
12.
Kegiatan
Wrap up
komunikasi
efektif
10.4011.10
30
menit
13.
Post-test
Kuesioner
cara
komunikasi
efektif dalam
mengatasi
anak
mengadat
11.1011.30
20
Menit
Kegiatan
Membantu para
ibu dalam
mengingat
kembali poin-poin
penting dalam
komunikasi
efektif.
Kegiatan
• Para ibu mampu
mengingat kembali
materi mengenai
perkembangan
anak pra sekolah,
mengadat, dan cara
komunikasi efektif.
Kegiatan
• Fasilitator memberikan tayangan
slideshow yang berisi rangkuman
materi karakteristik
perkembangan anak prasekolah,
mengadat dan komunikasi efektif
yang telah diberikan sebelumnya.
• Para ibu
mengisi
kuesioner
posttest Cara
Ibu mengetahui
• Fasilitator memberitahukan
petunjuk pengisian kuesioner dan
para ibu mengisinya.
mengatasi
anak
mengadat
cara komunikasi
efektif dalam
mengatasi anak
mengadat
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Ceramah
LCD, laptop,
mikrofon,
modul
fasilitator,
handout
peserta
pelatihan.
Pengisian
angket
sesuai
pengalaman
peserta
setelah
pelatihan.
Alat tulis,
angket
mengenai
cara
mengatasi
anak
mengadat
Para ibu mampu
mengingat
kembali dengan
menjawab
pertanyaanpertanyaan
yang diajukan
oleh fasilitator.
Lampiran 2
DATA PESERTA PELATIHAN
I.
IDENTITAS IBU
Nama Ibu
:
Usia
: ___ tahun
Pendidikan terakhir
:
Pekerjaan
:
Jenis pekerjaan
: sehari penuh / setengah hari
Ketika ibu bekerja anak diasuh oleh : …………………………………………………
Jumlah Anak
: ………………………. orang
Anak yang berusia 3-5 tahun adalah anak ke : _____
Kegiatan anak
:
HP/Telepon
:
Aktivitas ibu
:
dari ______ bersaudara
-
Pengajian : ……………………………………………………x per minggu
-
Arisan
-
Lain-lain : …………………………………………………… x per minggu
-
…………………………………………………… x per minggu
: …………………………………………………… x per minggu
……………………………………………………. x per minggu
II.
IDENTITAS AYAH
Nama Ayah
:
Usia
: ___ tahun
Pendidikan terakhir
:
Pekerjaan
:
Jenis pekerjaan
: sehari penuh / setengah hari
Aktivitas ayah sepulang kerja atau pada hari libur
-
:
Pengajian
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
-
Arisan
-
Lain-lain
: ……………………………………………………
……………………………………………………
…………………………………………………….
III.
DATA ANGGOTA KELUARGA
Anggota
Nama
Usia
L/P
Pekerjaan/sekolah
Keluarga
di …….
Anak ke -
…… tahun
1
Anak ke -
…… tahun
2
Anak ke -
…… tahun
3
Anak ke -
…… tahun
4
ANGGOTA KELUARGA LAIN YANG TINGGAL SERUMAH
No
Nama
Hubungan dengan
Usia
anak
(tahun)
L/P
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Pekerjaan
Harapan orang tua terhadap anak yang masih berusia 3, 4, atau 5 tahun
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
Harapan orang tua setelah mengikuti pelatihan ini
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
I.
RIWAYAT ANAK
Nama anak (usia 3-5 tahun) :
Anak ke
: _____
dari ______ bersaudara
Jika anak pertama, jarak antara pernikahan dan kehamilan : __________ tahun
Proses kelahiran
: _______________________ (normal, operasi, vakum)
Beda usia dengan kakak
: ____________ tahun
Beda usia dengan adik
: ____________ tahun
Sifat anak :
1. Mudah beradaptasi dengan lingkungan
2. Sulit beradaptasi dengan lingkungan
3. Perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan
Penyakit yang pernah di derita :
1. ___________________________________________
2. ___________________________________________
3. ___________________________________________
4. ___________________________________________
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Lampiran 3. DataKuesioner Terbuka
Data Kuesioner Terbuka
N
o
1
2
3
4
5
6
Pertanyaa
n
Total skor
Persentase
jawaban
yang benar
No
Pertanya
an
Total skor
Persentase
jawaban
yang benar
Rr
En
Da
Hs
In
Dv
Rt
PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS
E
T
E
T
E
T
E
T
E
T
E
T
E
T
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
3
1
3
0
3
0
3
1
3
0
3
1
3
1
6
1
4
1
1
1
2
0
5
1
4
1
3
1
3
0
3
1
1
0
5
0
5
1
3
1
2
0
2
1
2
0
3
0
2
0
4
0
3
1
2
1
2
1
2
1
2
0
2
0
2
1
2
0
2
4
17
5
15
3
11
2
15
2
20
3
16
4
13
16
68
20
60
12
44
8
60
8
80
12
64
16
52
Rs
Dn
St
Pj
Sd
Ss
Rh
PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS
E
T
E
T
E
T
E
T
E
T
E
T
E
T
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
3
1
1
1
2
0
1
1
2
0
3
1
3
0
1
2
3
0
5
1
1
0
3
1
10
1
6
1
5
2
2
1
4
0
3
0
1
0
5
0
5
0
4
1
2
1
4
1
3
1
1
1
4
0
3
0
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
0
2
1
16
7
11
5
18
3
11
3
10
4
25
3
20
4
64
28
44
20
72
12
44
12
40
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
16
98
12
80
Lampiran 4. Data Behavior Checklist
DATA BEHAVIOR CHECKLIST CARA MENGATASI ANAK MENGADAT DENGAN KOMUNIKASI EFEKTIF
N
O
PERNYATAA
N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Skor perilaku
yang tepat
Persentase
perilaku
yang tepat
Rr
En
Da
Hs
In
Dv
Rt
PR PO PR PO
PO
PO
PO PR PO
PO
E
S
E
S
PRE S
PRE S
PRE S
E
S
PRE S
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
0
1
1
0
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8
19
4
16
6 19
5
19
5
16 18 21
13 21
30
70.
4
15
59.
3
22.
2
70
18.
5
70.
4
18.
5
59.
3
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
67
78
48.
1
78
DATA BEHAVIOR CHECKLIST CARA MENGATASI ANAK MENGADAT DENGAN KOMUNIKASI EFEKTIF
N
O
PERNYATAA
N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Skor perilaku
yang tepat
Persentase
perilaku
yang tepat
Rs
Dn
St
Pj
Sd
Ss
Rh
PR PO PR PO PR PO PR PO PR PO PR PO PR PO
E
S
E
S
E
S
E
S
E
S
E
S
E
S
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
0
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6 19
8 20
5 17
5 18
9 18
7 24
8 25
22
70
30
74
19
63
18
66
33
67
25
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
89
29
93
Lampiran 5. Hasil Output SPSS 17
HASIL OUTPUT SPSS VERSI 17.00
1. Pengetahuan Ibu Mengenai Cara Mengatasi Anak Mengadat
T-Test
[DataSet2]
Paired Samples Statistics
Mean
Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Pretest
2.8571
14
1.29241
.34541
Posttest
13.5714
14
4.27361
1.14217
Paired Samples Correlations
N
Pair 1
Pretest & Posttest
Correlation
14
Sig.
-.068
.818
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence Interval of
Mean
Pair 1 Pretest -
-10.71429
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
4.54767
the Difference
Lower
1.21542 -13.34003
Upper
-8.08854
Posttest
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Sig. (2t
-8.815
df
tailed)
13
.000
2. Perubahan Perilaku Ibu dalam Mengatasi Anak Mengadat Melalui Komunikasi Efektif dengan
Metode Bermain Peran
T-Test
[DataSet2]
Paired Samples Statistics
Mean
Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Pretest
7.2857
14
2.84006
.75904
Posttest
19.4286
14
2.65197
.70877
Paired Samples Correlations
N
Pair 1
Correlation
Pretest & Posttest
14
Sig.
.493
.073
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence Interval
Mean
Pair 1 Pretest -
-12.14286
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
2.76954
.74019
of the Difference
Lower
Upper
-13.74194 -10.54377
Sig. (2t
-16.405
Posttest
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
df
13
tailed)
.000
Lampiran 6. Data Wawancara Pasca Pelatihan
Data Wawancara dengan partisipan dengan skor tertinggi
No
Pertanyaan
Jawaban Ss
1
Ya. Sangat senang, karena memperoleh pengetahuan untuk mengatasi
anaknya yang sering mengadat .
2
Sangat terasa manfaatnya karena selama ini anak saya dibilang dokter
psikiatri punya kelainan mental retardasi tapi ringan. Bicara yang
belum lancar . kalau saya gak ngerti omongannya dia marah terus
ngamuk. Anak saya ngadat bisa 5-10 kali sehari. Kondisi anak yang
begitu menjadi motivasi buat saya untuk mengikuti pelatihan ini. Saya
sampai ngundang ibu saya untuk nginap di rumahsupaya bisa jagain
anak saya selama pelatihan.
Pelatihan ini manfaat banget buat saya karena saya jadi lebih percaya
diri dan tidak stres lagi menghadapi anaknya yang sedang mengadat,
Saya juga gak stress lagi kalau anak saya lagi ngadat, saya bisa tenang
gitu
Bisa sih nerapin di rumah. Kesulitannya adalah ngelatih diri kita
supaya sabar karena kadang kepancing marah juga
3
No
1
2
3
Pertanyaan
Jawaban Rh (guru TK)
Saya sangat senang, pelatihan sesuai dengan harapan saya. Saya jadi
bisa menghadapi anak yang lagi ngadat
Sangat bermanfaat karena saya jadi lebih percaya diri dalam mengatasi
anak mengadat karena tahu persis tahap-tahap yang harus dilalui.
Sebelum pelatihan saya suka panik dan pusing kalau anak ngadat. Saya
juga coba komunikasi efektif sama kakak-kakaknya yang di SD dan
SMP dan ternyata kami jadi semakin sering komunikasi jadi tambah
akrab Tadinya saya pendiem jadi jarang komunikasi sama anak,
sekarang saya tahu komunikasi kan gak mesti ngomong tapi bisa
mendengar aktif
Kesulitan yang saya hadapi yaitu menyusun kata-kata, karena saya
emang jarang ngomong. Kalau belum ketemu susuan katanya saya
diem aja sampai anak mengadatnya reda
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Data Wawancara dengan partisipan dengan skor terendah
No
1
Pertanyaan
Jawaban En
Sangat berkesan, saya dapat pengetahuan sesuai harapan saya . saya
senenng dengan acara nonton film dan ceramah karena bisa langsung
tanya-tanya. Kalau ada pelatihan lagi saya mau ikut
Pelatihan sangat bermanfaat karena sekarang saya lebih tenang waktu
anak ngadat karena tahu persis cara mengatasinya .
Kesulitan menerapkan hasil pelatihan di rumah adalah ikut campurnya
orang tua saya, karena saya kan masih nyampur sama orang tua. Kalau
anak ngadat karena ingin sesuatu dan saya gak kasih (ijin) pasti nenek
atau kakeknya beliin.
Pertanyaan
Jawaban In
2
3
No
1
2
3
Sangat puas dan senang karena acaranya seru, dapet ilmu juga, seperti
yang diharapkan
Manfaatnya saya jadi lebih percaya diri menghadapi anak saya yang
lagi tantrum dan tenang, gak panik lagi.
Kesulitan penerapan di rumah adalah memelihara kesabaran karena
ketika anak mengadat In merasa kepalanya pusing dan ingin berteriak.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Lampiran 7. Hasil Evaluasi Pelatihan
Hasil Evaluasi Pelatihan
Berikut ini hasil evaluasi pelatihan yang diadakan selama 3 hari:
Hari 1: Senin, 17 Desember 2012
A. Pelaksanaan Kegiatan
Aspek Penilaian
Tema Pelatihan
Ketepatan Waktu
Kelengkapan materi
Sikap melayani penyelenggara
Alat bantu yang digunakan
Pelaksanaan secara keseluruhan
Total
Persentase
Sangat
Baik
10
3
7
8
8
9
45
53.57%
Baik
Cukup
Kurang
4
11
7
6
6
5
39
46.43%
0
0%
0
0%
Baik
Cukup
Kurang
7
8
4
4
6
10
8
47
48%
1
2
2
1
6
6.09%
0
0%
B. Pembicara
1. Djamila Djauhari
Aspek Penilaian
Penguasaan materi
Penyajian materi
Manfaat materi
Interaksi dengan peserta
Penggunaan alat bantu
Alokasi waktu
Penilaian pembicara secara keseluruhan
Total
Persentase
Sangat
Baik
6
4
10
10
8
2
5
45
45.91%
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
2. Agustina Wulandari
Aspek Penilaian
Penguasaan materi
Penyajian materi
Manfaat materi
Interaksi dengan peserta
Penggunaan alat bantu
Alokasi waktu
Penilaian pembicara secara keseluruhan
Total
Persentase
Sangat
Baik
8
5
10
10
7
5
8
53
54%
Baik
Cukup
Kurang
6
9
4
4
7
8
6
44
44.98%
1
1
1.02%
0
0%
C. Metode yang Digunakan
Aspek Penilaian
Ceramah
Bermain peran
Permainan/game
Menonton video
Diskusi Kelompok
Total
Persentase
Sangat
Baik
9
7
5
4
7
32
45.71%
Baik
Cukup
Kurang
5
7
9
7
7
35
50%
3
3
4.29%
0
0%
Sangat
Baik
11
8
12
6
8
45
64.29%
Baik
Cukup
Kurang
3
6
2
8
6
25
35.71%
0
0%
0
0%
D. Topik Pelatihan
Aspek Penilaian
Topik yang dipilih
Kesesuaian dengan tujuan
Manfaat bagi peserta
Penggunaan alat bantu
Materi secara keseluruhan
Total
Persentase
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
E. Materi Pelatihan
Aspek Penilaian
Anak emas
Anak mengadat
Total
Persentase
Sangat
Baik
10
13
23
82.14%
Baik
Cukup
Kurang
4
1
5
17.86%
0
0%
0
0%
Baik
Cukup
Kurang
2
9
5
7
5
5
33
39.29%
2
1
1
4
4.76%
0
0%
Baik
Cukup
Kurang
5
10
4
4
6
9
5
43
43.88%
0
0%
0
0%
Hari 2: Rabu, 19 Desember 2012
A. Pelaksanaan Kegiatan
B.
Aspek Penilaian
Tema Pelatihan
Ketepatan Waktu
Kelengkapan materi
Sikap melayani penyelenggara
Alat bantu yang digunakan
Pelaksanaan secara keseluruhan
Total
Persentase
Sangat
Baik
12
3
8
7
9
8
47
55.95%
C. Pembicara
1. Agustina Wulandari
Aspek Penilaian
Penguasaan materi
Penyajian materi
Manfaat materi
Interaksi dengan peserta
Penggunaan alat bantu
Alokasi waktu
Penilaian pembicara secara keseluruhan
Total
Persentase
Sangat
Baik
9
4
10
10
8
5
9
55
56.12%
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
D. Metode yang Digunakan
Aspek Penilaian
Ceramah
Bermain peran
Permainan/game
Diskusi Kelompok
Total
Persentase
Sangat
Baik
9
7
5
6
27
48.21%
Baik
Cukup
Kurang
5
7
9
8
29
51.79%
0
0%
0
0%
Baik
Cukup
Kurang
2
6
1
8
6
23
32.86%
0
0%
0
0%
Baik
Cukup
Kurang
3
2
5
17.86%
0
0%
0
0%
E. Materi Pelatihan
Aspek Penilaian
Topik yang dipilih
Kesesuaian dengan tujuan
Manfaat bagi peserta
Penggunaan alat bantu
Materi secara keseluruhan
Total
Persentase
Sangat
Baik
12
8
13
6
8
47
67.14%
F. Materi Pelatihan
Aspek Penilaian
Komunikasi efektif dengan anak
Mengatasi anak mengadat
Total
Persentase
Sangat
Baik
11
12
23
82.14%
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Hari 3: Jum’at, 21 Desember 2012
A. Pelaksanaan Kegiatan
Aspek Penilaian
Tema Pelatihan
Ketepatan Waktu
Kelengkapan materi
Sikap melayani penyelenggara
Alat bantu yang digunakan
Pelaksanaan secara keseluruhan
Total
Persentase
Sangat
Baik
11
7
9
10
7
9
43
51.19%
Baik
Cukup
Kurang
3
7
5
4
7
5
31
48.81%
0
0%
0
0%
Baik
Cukup
Kurang
2
6
1
8
6
23
32.86%
0
0%
0
0%
Baik
Cukup
Kurang
4
2
3
2
11
19.64%
0
0%
0
0%
B. Materi Pelatihan
Aspek Penilaian
Topik yang dipilih
Kesesuaian dengan tujuan
Manfaat bagi peserta
Penggunaan alat bantu
Kesimpulan Materi
Total
Persentase
Sangat
Baik
12
8
13
6
8
47
67.14%
C. Topik
Aspek Penilaian
Anak Emas
Anak Mengadat
Komunikasi Efektif dengan Anak
Mengatasi Anak Mengadat
Total
Persentase
Sangat
Baik
10
12
11
12
45
80.36%
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
D. Metode yang Digunakan
Aspek Penilaian
Sangat
Baik
9
7
5
4
7
32
45.71%
Ceramah
Bermain peran
Permainan/game
Menonton video
Diskusi Kelompok
Total
Persentase
Baik
Cukup
Kurang
5
7
9
8
7
36
51.43%
2
2
2.86%
0
0%
Baik
Cukup
Kurang
8
5
13
46.43%
0
0%
0
0%
E. Lain-lain
Aspek Penilaian
Sangat
Baik
6
9
15
53.57%
Penggunaan waktu
Kondisi tempat pelatihan
Total
Persentase
F. Kegiatan yang Paling Disukai Peserta Pelatihan
Aspek Penilaian
Jumlah
Persentase
Ceramah
12
Bermain peran
2
Tayangan video
Diskusi kelompok
Permainan/games
0
0
0
Alasan Menyukai
KegiatanTersebut
Bisa langsung menanyakan
hal yang tidak diketahui,
dapat
mengetahui
cara
bagaimana kita menghadapi
anak mengadat, dll
Dapat
mempraktikkan
langsung bagaimana cara
mengatasi anak mengadat.
G. Kegiatan yang Paling Tidak Disukai Peserta Pelatihan
Aspek Penilaian
Jumlah
Persentase
Ceramah
Bermain peran
0
10
Alasan Tidak Menyukai
Kegiatan Tersebut
Sulit
memerankan
anak
mengadat, sulit menyusun
kata-kata,
malu,
sulit
mengeluarkan ekspresi, dll.
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Lampiran 8. Foto-Foto Kegiatan
Lokasi Tempat
Pelatihan
Lingkungan Lokasi
Tempat Pelatihan
Lingkungan Lokasi
Tempat Pelatihan
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Dinding Ruang
Pelatihan 1
Dinding Ruang
Pelatihan 2 21
Dinding Ruang
Pelatihan 3 31
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Meja Absen
Peserta
pelatihan
Peserta
pelatihan
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Diskusi
kelompok
Mengajukan
pertanyaan
Permainan
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Fasilitator 1 :
Materi mengadat
Fasilitator 2 :
Materi Anak Emas
Fasilitator 1 :
Materi Komunikasi
Efektif dan Anak
Mengadat
Fasilitator
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Suasana
Pelatihan 1
Suasana
Pelatihan 2
Pemberian
hadiah kepada
peserta dengan
dengan skor
tertinggi ke-3
Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013
Download