UNIVERSITAS INDONESIA PELATIHAN KOMUNIKASI EFEKTIF UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN IBU DALAM MENGATASI TANTRUM PADA ANAK USIA PRASEKOLAH ( Effective Communication Training to Enhance Mother’s Knowledge to Dealing with Pre Schooler’s Tantrum) TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains AGUSTINA WULANDARI 1006742094 FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI PEMINATAN TERAPAN PSIKOLOGI ANAK USIA DINI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 9 JANUARI 2013 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan pertolonganNya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk meraih gelar Magister Sains dengan peminatan terapan Psikologi Anak Usia Dini pada program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tesis ini penulis persembahkan untuk suami tercinta Drs. Bambang Wispriyono Apt., PhD yang selalu setia mendampingi dan memberi dorongan dan semangat, juga untuk Ibunda Hj. Soeti Roebiah yang selalu mendoakan dan membantu menjaga anak-anak ketika penulis sedang sibuk menyelesaikan tesis. Terima kasih yang tek terhingga penulis haturkan kepada : 1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dr. Wilman Dahlan Mansoer M.Org., Psi dan seluruh pengelola Program Studi Ilmu Psikologi Peminatan Terapan. 2. Dr. Soemiarti Patmonodewo Psi, dan Airin Yustikarini Saleh, SPsi., M.Psi., selaku dosen pembimbing tesis ini yang membimbing dengan sabar dan ihlas. 3. Eko Handayani SPsi, MPsi dan Efriyani Djuwita SPsi., MPsi selaku dosen penguji tesis yang telah memberikan revisi dengan teliti. 4. Para Bapak dan Ibu rekan dosen selaku pengajar di peminatan Psikologi Anak Usia Dini yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 5. Anak-anakku Nissa, Zahra, Ja’far, Dini, Laila dan Khalid yang rela kehilangan waktu demi selesainya tesis ini. 6. Teman-temanku satu angkatan Djamila Djauhari, Djuanita Bowman, dan Fadilah Ariyati yang telah membantu dalam pelatihan dan pembuatan tesis. 7. Teman-teman kuliah PAUD 2010: Betty, Dita, Mba Indah, Okke, Bu Nur, Endah, Gita, Sisy, Mba Widi, Mba Sari, dan Amy. Terima kasih atas kebersamaan kita selama dua tahun yang penuh arti. 8. Teman-teman taklim dan murid-murid yang yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan doa. Penulis menghaturkan permohonan maaf atas ketidaksempurnaan penyusunan tesis ini. Penulis berharap tesis ini bisa bermanfaat bagi civitas akademika maupun masyarakat. Amin. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 ABSTRAK Nama : Agustina Wulandari NPM : 1006742094 Program Studi : Ilmu Psikologi Peminatan : Terapan Psikologi Anak Usia Dini Judul Tesis : Pelatihan Komunikasi Efektif untuk Meningkatkan Pengetahuan Ibu dalam Mengatasi Tantrum pada Anak Usia Prasekolah Anak melakukan tantrum di Pusat Perbelanjaan atau di ruang tunggu Rumah Sakit adalah suatu pemandangan yang biasa dilihat, namun tingkah laku tantrum harus segera diatasi pada usia dini agar tidak menjadi tingkah laku yang menetap pada usia selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah sebelum dan sesudah pelatihan. Penelitian ini menggunakan desain pelatihan one group pretest posttest design. Intervensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelatihan komunikasi efektif untuk mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini meliputi karakteristik dan tugas perkembangan anak prasekolah, perkembangan tantrum, komunikasi efektif dan mengatasi tantrum. Setelah pelatihan dilakukan evaluasi untuk melihat manfaat pelatihan yang dirasakan oleh ibu untuk melaksanakan hasil pelatihan di rumah dan hambatan-hambatan yang dihadapi. Analisis data dalam pelatihan ini merupakan metode analisis data kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan paired sample ttest dan wawancara. Analisis data kuantitatif dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap pengetahuan mengenai tantrum dan komunikasi efektif untuk mengatasi anak tantrum sebelum dan setelah intervensi. Hasil analisa kualitatif dengan wawancara terhadap empat orang partisipan menunjukan bahwa semua partisipan merasakan manfaat pelatihan dan dapat dapat melakukan komunikasi efektif untuk mengatasi anak tantrum. Kata kunci : tantrum, prasekolah, komunikasi efektif Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 ABSTRACT Name Student’s ID Study Program Interest Area Thesis’s Tittles : Agustina Wulandari : 1006742094 : Psychology : Early Childhood Applied Psychology : Effective Communication Training to Enhance Mother’s Knowledge to Dealing With Preshooler’s Tantrum Children’s temper tantrum is a common behavior problem that can be seen in any place in public service areas such as in shopping centre, hospital, etc. However, temper tantrum should be handled in earlier age to protect children from permanent temper tantrum behavior. The objective of this research is to know any differences in mother’s knowledge in dealing with temper tantrum in preschooler’s before and after receiving the training. The design of this research is one group pretest posttest design with Effective Communication Method intervention. The moduls of this training were including: characteristics and development task in preschoolers, temper tantrum, effective communication, and dealing with preschooler’s temper tantrum. The evaluation after the training also has been done to know the benefit of the training to participants to implement the moduls in the real activity situations and the obstacle they found. Data analysis has been done with quantitative and qualitative data analysis by using paired sample t-test from questionaire and interview. The results shown there is a significantly difference before and after training intervention in mothers’s knowledge of how to dealing with the tantrum. The qualitative result shown that the training is usefull and participants can do effective communication in dealing with preschooler’s tantrum. Key words : tantrum, preschoolers, effective communication Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 DAFTAR ISI Halaman Pernyataan Orisinalitas ........................................................................... i Halaman Pengesahan ............................................................................................. ii Kata Pengantar ....................................................................................................... iii Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi ........................................................... iv Abstrak .................................................................................................................... v Abstract ................................................................................................................... vi Daftar Isi ................................................................................................................. vii Daftar Tabel ............................................................................................................ x Daftar Gambar ........................................................................................................ xi Daftar Lampiran ..................................................................................................... xii I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah ………………………………………………………… 1 1.2. Permasalahan Penelitian ………………………………………………………… 6 1.3.Tujuan Penelitian ………………………………………………………………… 6 1.4.Manfaat Penelitian ……………………………………………………………….. 7 1.5.Sistematika Penulisan ……………………………………………………………. 7 II. Tinjauan Pustaka 2.1.Karakteristik Perkembangan Anak Usia Prasekolah 4-5 tahun 2.1.1. Karakteristik perkembangan fisik, motorik, kognitif, dan psikososial ……… 9 2.2. Tantrum 2.2.1. Definisi ………………………………………………………………………… 12 2.2.2. Perkembangan Tantrum ……………………………………………………… 12 2.2.3. Penyebab Tantrum ……………………..…………………………………….. 14 2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ……………………………………………. 15 2.3. Komunikasi efektif ……………………….……………………………………… 16 2.4. Gaya Pengasuhan Orang Tua 2.4.1. Definisi ……………………………………………………………………… 20 2.4.2. Macam-macam Gaya Pengasuhan …………………………………………… 20 2.4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Pengasuhan Orang tua…………… 24 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 2.4. Karakteristik Ibu 2.4.1. Definisi …………………………………………………………………….,. 25 2.4.2. Karakteristik perkembangan fisik, kognitif, dan social emosional…………. 26 2.4.3. Tugas perkembangan ibu dengan anak usia prasekolah 3-5 tahun ……….… 26 2.5. Pembelajaran Orang Dewasa 2.5.2.Prinsip-prinsip Pembelajaran orang dewasa………………………………….. 27 2.6. Pelatihan 2.6.1. Definisi ………………………………………………………………………… 28 2.6.2.Tujuan dan Manfaat …………………………………………………………….. 28 2.6.3. Model pelatihan ……………………………………………………….……….. 29 2.6.4. Teknik penyusunan program pelatihan …………..….………………………… 30 III. Metode Penelitian 3.1. Masalah dan tujuan penelitian ………………………………………….………. 33 3.2. Partisipan ………………………………………….……………………………. 33 3.2.1. Kriteria partisipan ….…………………………….………………………….. 33 3.2.2. Proses perekrutan partisipan ………………………………………………… 34 3.2.3. Populasi Penelitian ……………………………….………………………… 35 3.2.4. Sampel Penelitian ….…………………………….………………………….. 35 3.3. Jenis dan desain penelitian ….…………………………….……………………. 36 3.4. Prosedur penelitian ……………………………………….…………………….. 37 3.4.1. Tahap Persiapan Penelitian ….…………………………….…………………. 37 3.4.2. Tahap Pembuatan Program Pelatihan ….…………………………….……….. 38 (1) Rancangan program ….…………………………….…………………………. 39 (2) Fasilitator pelatihan ………….…………………….…………………………. 40 (3) Waktu pelaksanaan pelatihan. .………………………….…………………… 41 (4) Sarana Pendukung ………………………………….………………………… 41 3.5. Metode Pengumpulan Data ….…………………………….……………………. 43 3.6. Alat Ukur ….……………………………………………….……………………. 44 3.7.Metode analisis data ….…………………………………….……………………. 47 3.8. Materi Kegiatan ….………………………...……………….……………………. 47 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 IV. Hasil Penelitian dan Analisis Data 4.1. Gambaran umum partisipan ….………………………………………………….. 54 4.1.1. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Usia ….…………………………….…… 54 4.1.2. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Pendidikan ……..………………….…… 55 4.1.3. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Jenis Pekerjaan ….……………………… 56 4.1.4. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Jumlah Anak yang Dimiliki …..……… 57 4.2.Analisis Data Kuantitatif ….……………………………………………………. 57 4.2.1. Hasil Penelitian Pengetahuan Para Ibu Mengenai Tantrum………………….. 57 4.2.2. Hasil Penelitian Perubahan Cara Komunikasi Ibu dalam Mengatasi Anak Tantrum Melalui Metode Bermain Peran …………………………… 4.3. Analisis Data Kualitatif : Wawancara dengan Partisipan Pasca Pelatihan…….. V. 59 61 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran 5.1.Kesimpulan .. ….…………….…………………………….……………………… 64 5.2. Diskusi .. ….……………………………………………….……………………. 64 5.3. Saran …...………………………………………………….……………………. 68 Daftar Pustaka ……………………………………………………………………….. 69 Lampiran …………………………………………………………………………….. 73 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel Hubungan antara Gaya Pengasuhan dan Kualitas Anak ….. 23 Tabel 2.2. Contoh kalimat positif dan negatif ………………………………. 26 Tabel 3.1. Kisi-kisi kuesioner pengetahuan tentang tantrum ………………… 43 Tabel 3.2 Kisi-Kisi Behavioral Checklist Perubahan Cara Komunikasi Ibu dalam Mengatasi AnakTantrum …………………………………… 44 Tabel 3.3 Kategorisasi Reabilitas Alat Ukur …………………………………... 46 Tabel 3.4 Kisi-kisi wawancara pasca pelatihan ……………………………….. 46 Tabel 4.1 Skor Pengetahuan Para Ibu mengenai Tantrum ……………………. 59 Tabel 4.2 Skor Pre-test dan Posttest Perubahan Cara Komunikasi Ibu dalam Mengatasi Tantrum ………………………………….……………… Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 61 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Interaksi kehangatan dan penerapan disiplin terhadap gaya parenting ………………………………………………………….. 21 Gambar 4.2: Persentase berdasarkan Usia Ibu ………………………………….. 54 Gambar 4.2: Persentase Latar Belakang Pendidikan Para Ibu ………………….. 55 Gambar 4.3: Persentase Jenis Pekerjaan Para Ibu ………………………………. 56 Gambar 4.4: Persentase Jumlah Anak yang Dimiliki Para Ibu ………………….. 57 Gambar 4.5: Skor Pengetahuan Para Ibu Mengenai Tantrum (Pretest dan Posttest) ………………………………………………. 58 Gambar 4.6: Skor Behavior Checklist Pre-test dan Posttest Cara Komunikasi Ibu dalam Mengatasi Tantrum ………………………….……………… 60 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Jadwal pelatihan komunikasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum ……………………………………………….. 73 Lampiran 2. Data peserta pelatihan …………………………………………………… 79 Lampiran 3. Data kuesioner terbuka …………………………………………………. 82 Lampiran 4. Data Behavior Checklist………………………………………………… 83 Lampiran 5. Hasil Output SPSS 17…………………………………………………... 85 Lampiran 6. Hasil wawancara pasca pelatihan ………………………………………. 87 Lampiran 7. Hasil Evaluasi Pelatihan ……………………………………………….. 89 Lampiran 8. Foto-Foto Kegiatan …………………………………………………….. 95 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kita sering melihat anak menangis menjerit-jerit, menendang, menarik-narik baju ibunya, ataupun berguling-guling di lantai ketika sedang berada di pusat-pusat perbelanjaan. Anak yang bertingkah laku demikian membuat orang tua merasa malu karena semua mata memandangi mereka. Pandangan mata orang-orang membuat orang tua merasa tertekan, belum lagi komentar yang diberikan oleh pengunjung lain sering kali memaksa orang tua segera mengabulkan keinginan anak untuk menghentikan kelakuannya. Anak mengetahui bahwa orang tua akan segera mengabulkan keinginan mereka jika mereka berperilaku demikian dan mereka mengulanginya setiap kali mereka menginginkan sesuatu. Tingkah laku demikian dalam istilah psikologi disebut tantrum. Masyarakat di Indonesia menyebutnya mengadat atau mengamuk. Berdasarkan fenomena tersebut dilakukan praasesmen dengan mewawancarai 10 orang ibu yang tinggal di wilayah kelurahan Pancoran Mas. Hasil wawancara kepada 10 orang ibu yang memiliki anak usia 3-5 tahun, diperoleh masalah tingkah laku anak yang paling menempati 5 permasalahan terbesar adalah masalah anak yang tantrum, (orang tua menamai tingkah laku tersebut menangis berguling, marah menjerit-jerit, ngambek, ngamuk), tidak patuh pada orang tua, susah makan (pilih-pilih makanan), mengompol, bertengkar dengan kakak/adik. Lebih dari separuhnya mengatakan anak mereka masih melakukan tantrum di rumah maupun di tempat-tempat umum meskipun usia anak lebih dari 5 tahun. Sisanya mengatakan sudah jarang. Hasil wawancara juga menunjukan penyebab terbesar tantrum adalah karena keinginannya tidak bisa dipenuhi dengan segera (60%), misalnya minta dibelikan mainan atau makanan, atau mengajak pergi ke suatu tempat, dan keasyikannya terganggu (40%), misalnya disuruh berhenti bermain untuk makan atau mandi. Ini menunjukan bahwa diperlukan suatu pelatihan untuk mengatasi tingkah laku tantrum. Dua orang ibu mempunyai anak yang melakukan tantrum lebih dari sepuluh kali sehari. Salah seorang ibu (Hp) mengatakan bukan anak keduanya saja yang masih tantrum bahkan anak pertamanya masih melakukan tantrum sampai sekarang, berusia 8 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 tahun. Anak melakukan tantrum dengan berguling-guling di lantai dan menendang meja dan kursi. Ibu sudah berusaha menasehati bahkan memarahi namun tidak tampak hasilnya. Tingkah laku tantrum ini membuat ibu merasa habis akal dan mengikat anaknya di kursi. Ibu merasa bersalah dan akhirnya mengabulkan keinginan anak, namun tingkah laku tantrumnya tidak berkurang. Seorang ibu lainnya mengatakan anaknya masih tantrum meskipun sudah berusia lebih dari 4 tahun . Anak tersebut melakukan tantrum ketika keinginannya untuk jajan ditolak. Ibu merasa stres karena pengeluaran untuk jajan anak sama dengan belanja dalam sehari. Ibu sering putus asa dalam menghadapi anak yang tantrum dan melakukan tindakan yang dapat menyakiti anak yaitu memukul atau mencubit. Setelah mencubit atau memukul, ibu merasa bersalah sehingga memberi uang jajan lagi. Semua ibu merasa sudah berupaya maksimal untuk mengatasi tingkah laku anaknya namun tingkah laku tersebut selalu berulang kembali. Tingkah laku tantrum merupakan salah satu masalah tingkah laku yang terjadi pada anak usia dini (Sanders, 1997). Tantrum biasanya terjadi karena anak mengalami emosi marah, depresi, kesedihan yang mendalam, dan stress, dan tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan emosi tersebut. Emosi tersebut menyebabkan anak frustrasi dan dikeluarkan dalam bentuk tingkah laku tantrum (Borba, 2009). Tantrum merupakan masalah perkembangan yang harus segera diatasi karena masalah tingkah laku yang tidak diatasi segera akan menjadi pola tingkah laku yang menetap dan berkembang menjadi masalah tingkah laku yang serius di usia berikutnya, seperti impulsif, melawan orang tua, dan aturan di rumah (www.kidsmatter.edu.au). Selain untuk mencegah tingkah laku yang serius, masalah tantrum juga harus segera diatasi karena dapat mengganggu tugas perkembangan anak usia prasekolah. Anak prasekolah berada pada fase anak usia dini dan sering disebut sebagai usia emas (golden age) karena anak pada usia ini mempunyai beberapa periode kritis perkembangan, yaitu perkembangan fisik, motorik, kognitif dan psikososial. Periode krtitis sangat penting dan menjadi dasar seluruh perkembangan di usia selanjutnya (Baltes dalam Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Perkembangan tersebut juga saling berkaitan satu sama lain. Perkembangan psikososial-emosional berpengaruh terhadap perkembangan kognitif. Perkembangan psikososial anak usia prasekolah memegang peranan penting (Tracy Dennis, 2006). Erikson mengatakan perkembangan Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 psikososial anak usia prasekolah berada pada fase initiative versus guilt (Erik Erikson dalam Papalia, Old, dan Martorell, 2012). Anak pada periode ini mengembangkan inisiatifnya dengan menjelajahi lingkungan disekitarnya. Mereka gemar menanyakan apa-apa yang dilihat, didengar, maupun dirasakannya. Anak pada usia ini juga mulai menunjukan kemandirian. Anak ingin melakukan semua tugas atau pekerjaan tanpa bantuan orang tua padahal belum bisa melakukan semuanya. Orang tua merasa khawatir dan melarang anak sedangkan anak tidak mau dilarang, di sinilah konflik dimulai. Konflik yang tidak segera diatasi ini akan membuat anak merasa stres dan melakukan tantrum. Anak merasa tidak mendapat dukungan dari orang tua dalam mengembangkan inisiatifnya. Anak yang tidak mendapatkan dukungan yang diharapkan akan membentuk rasa bersalah (guilt) dan insiatif dan kreatifitasnya menurun bahkan bisa hilang. Anak yang mendapatkan dukungan dari orang tua kemampuan inisiatifnya berkembang dengan baik dan anak semakin meningkatkan kreativitasnya dalam menjelajahi lingkungan disekitarnya. Anak yang membentuk inisiatif, perkembangan kognitifnya juga optimal, maka untuk membentuk anak yang inisiatif tingkah laku tantrum perlu segera diatasi. Tingkah laku tantrum dipengaruhi oleh berbagai faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang berpengaruh pada frekuensi tantrum anak adalah temperamen dan usia (Hammer, 1998 dalam Frey, 2003), sedangkan faktor eksternal yang paling berpengaruh adalah keluarga. Anak dengan temperamen sulit lebih sering frustrasi dan sulit mengendalikan amarah dibandingkan anak dengan temperamen mudah, sehingga lebih sering tantrum (Buss & Goldsmith, 1998 dalam Frey, 2003). Frekuensi tantrum juga sebanding dengan bertambahnya usia. Anak usia prasekolah 4-6 tahun, frekuensi dan durasi temper tantrumnya berkurang dibandingkan pada waktu berusia 2-4 tahun (Frey, 2003). Temperamen merupakan faktor bawaan sejak lahir, namun pengasuhan dan lingkungan yang baik dapat mempengaruhi temperamen agar berkembang sesuai yang diharapkan. Tingkah laku tantrum pada anak dengan temperamen sulit bisa diminimalisir dengan cara mengatasi yang tepat. Borba (2009) mengatasi tingkah laku tantrum pada anak melalui 3 tahap yaitu tahap pertama intervensi awal untuk mencegah anak tantrum, tahap kedua respon cepat pada saat anak tantrum dan tahap ketiga adalah mengubah kebiasaan tingkah laku tantrum. Metode yang dilakukan dalam ketiga tahap tersebut adalah metode mendengar Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 aktif, mengenali dan menerima perasaan anak, serta menyelesaikan konflik secara positif. Berdasarkan hal itu maka peneliti mengambil metode komunikasi efektif untuk mengatasi tantrum pada anak prasekolah karena metode mengatasi tantrum yang ditulis oleh Borba merupakan bagian dari komunikasi efektif. Dasar penyusunan komunikasi efektif diambil dari teori komunikasi efektif Gordon (1993) dan Miller (2000). Miller mengelompokan komunikasi efektif ke dalam 5 kelompok yaitu meliputi mendengar aktif, mengenali dan menamai perasaan, memberikan instruksi positif, komunikasi asertif, dan mengelola konflik secara positif. Komunikasi efektif menciptakan hubungan yang akrab antara orang tua dan anak dan membuat anak bahagia karena merasa dicintai dan dihargai. Anak yang bahagia akan lebih peduli, percaya pada diri dengan kemampuannya, melakukan tugas dengan baik, lebih ramah, dan responsif terhadap orang lain. Komunikasi efektif adalah cara komunikasi yang baik karena pesan yang disampaikan orang tua sama dengan pesan yang diterima anak. Komunikasi yang efektif, selain menciptakan hubungan yang akrab antara orang tua dan anak juga membuat anak belajar berkomunikasi secara efektif. Anak belajar dengan meniru. Orang tua yang melakukan komunikasi efektif dengan anak menjadi model yang baik untuk anak dalam mengembangkan kemampuan komunikasinya menjadi komunikasi efektif pula. Orang tua sering tidak tahu bagaimana berkomunikasi secara efektif dengan anak. Orang tua hanya berkomunikasi ketika anak melakukan kesalahan atau menggunakan kalimat yang biasa digunakan ketika berkomunikasi dengan sesama orang dewasa sehingga anak kurang memahami apa yang diinginkan oleh orang tuanya dan hal itu membuat anak frustrasi sehingga melakukan tantrum, maka untuk penanganan cepat dan tepat dalam mengatasi anak yang tantrum adalah dengan komunikasi efektif. Brooks (1991) mengatakan komunikasi merupakan faktor penting dalam pengasuhan dan cara orang tua berkomunikasi dipengaruhi gaya pengasuhan. Faktor-faktor penting dalam pengasuhan adalah menjadi model (contoh) bagi anak, komunikasi yang hangat antara orang tua dan anak, memberi kepercayaan pada anak, jujur, menghormati anak, memberikan kasih sayang dan disiplin, memberikan label yang baik, waktu, perhatian, dan kepedulian pada anak Brooks (1991). Pendapat yang Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 sama disampaikan oleh Baumrind. Baumrind mengatakan ada 4 dimensi penting dalam pengasuhan yaitu cara penerapan disiplin, kehangatan dan pelayanan pada anak, cara komunikasi, dan harapan terhadap kematangan dan kontrol. Berdasarkan keempat dimensi tersebut, gaya pengasuhan terbagi 4 yaitu permisif, otoriter, autoritatif, dan mengabaikan (Baumrind, 1991). Pengasuhan yang baik akan meningkatkan kualitas anak yaitu kompetensi dan ketangguhan anak (Brooks, 1991). Anak yang kompeten dan tangguh tidak cepat frustrasi ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Menurut penelitian Baumrind (1991), gaya pengasuhan yang menghasilkan kualitas anak paling unggul adalah gaya pengasuhan autoritatif. Orang tua dengan gaya pengasuhan otoritatifmenerapkan metode anti kalah dalam pengasuhan sehingga orang tua selalu melakukan komunikasi efektif untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan konflik dengan anak (Gordon, 1993). Meskipun demikian, orang tua dengan gaya pengasuhan yang lain seperti otoriter, permisif dan mengabaikan juga dapat melakukan komunikasi efektif dengan anak jika mau belajar dan berlatih. Orang tua terdiri dari ayah dan ibu. Meskipun ayah dan ibu mempunyai peran yang sama pentingnya dalam mendidik anak usia dini namun ibu mempunyai ikatan yang kuat dengan anak sejak dalam kandungan dan terus berkembang setelah anak dilahirkan selama ibu menjadi pengasuh utama (Mirriam Spinner, 1978, Sutcliffe,2002 dalam Papalia, Feldmandan Martorell, 2012). Anak tumbuh, mengembangkan kemampuannya dengan melihat dan meniru ibunya dan mengikuti perintahnya. Anak melakukan sesuatu berdasarkan pujian dan dorongan dari ibunya. Ibu sering kali melakukan tugas pengasuhan utama di sebagian besar keluarga, meskipun pada beberapa keluarga pengasuh utama digantikan oleh kakak, nenek, anggota keluarga lain, atau pengasuh yang dipekerjakan, namun tanggung jawab pengasuhan utama tetap berada di tangan ibu sehingga apabila terjadi permasalahan atau kenakalan anak maka ibu yang dipersalahkan, padahal ibu tidak pernah dilatih. Ibu yang mendapatkan pelatihan untuk menghadapi anak yang tantrum akan mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalah tingkah laku tantrum pada anak usia prasekolah. Ibu sebagai orang dewasa mempunyai cara belajar yang berbeda dengan anak. Cara belajar orang dewasa disebut pendidikan orang dewasa (andragogi), sedangkan cara belajar anak disebut pedagogi (Malcolm Knowles, 1970 dalam Suprananto, 2012). Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Konsep andragogi terdiri atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut: orang dewasa konsep dirinya sudah matang sehingga dapat mengarahkan diri sendiri. Kedua, orang dewasa sudah punya pengalaman maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai. Asumsi ketiga, orang dewasa belajar sesuatu karena membutuhkan tingkatan perkembangan dan asumsi keempat orang dewasa cenderung memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan masalah kehidupannya. Pembelajaran dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode, diantaranya metode ceramah, diskusi, pelatihan, dan lain-lain. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk pelatihan. Menurut Fauzi (2011), pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan kelompok atau organisasi. Pelatihan dapat bermanfaat jika dilakukan dengan tahapan atau langkah-langkah yang sistematis. Secara umum ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan, dan tahap evaluasi (Fauzi, 2011). Metode pelatihan dipilih karena cara menghadapi anak tantrum merupakan suatu keterampilan sehingga pelatihan merupakan sarana yang paling efektif untuk mengajarkan suatu keterampilan baru. B. Permasalahan Penelitian Masalah yang dihadapi adalah para ibu tidak mengetahui bagaimana cara menghadapi anak ketika temper tantrum supaya masalah tingkah laku temper tantrum ini tidak berulang terus-menerus. Berdasarkan hal di atas maka permasalahan pada penelitian ini adalah: “Apakah ada perbedaan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah sebelum dan sesudah pelatihan ?”. C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah untuk: meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 D. Manfaat Penelitian Manfaat Penelitian ini bagi para ibu adalah: - Ibu mengetahui cara tepat untuk mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah sehingga tingkah laku tantrum dapat segera diatasi. Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah: - Peneliti mengetahui efektifitas pelatihan komunikasi efektif terhadap peningkatan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah E. Sistematika Penulisan Bab I: Pendahuluan Bab Pendahuluan berisi berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah yang menimbulkan ketertarikan peneliti untuk menyususn program pelatihan mengatasi anak tantrum. Selain itu juga dicantumkan perumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan. Bab II: Tinjauan Pustaka Bab Tinjauan Pustaka berisi landasan teori yang digunakan dalam penyusunan program mengatasi anak tantrum meliputi karakteristik anak usia prasekolah, masalah tingkah laku tantrum, definisi, penyebab, dan faktor-faktor yang mempengaruhi, gaya pengasuhan, komunikasi efektif berisi mendengar aktif, mengenali dan menerima perasaan, instruksi positif, komunikasi asertif dan menyelesaikan konflik secara positif, pembelajaran orang dewasa, dan pelatihan. Bab III: Metode Penelitian Bab Metode Penelitian berisi penyusunan program, yang berisi uraian mengenai tahapan-tahapan dalam menyusun program mengatasi anak tantrum berupa penentuan partisipan dan lokasi penelitian, jenis dan desain penelitian yang digunakan dan jadwal penelitian. Selain itu juga terdapat rancangan alat ukur yang akan digunakan untuk mengevaluasi hasil pelatihan. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Bab IV: Hasil dan Pembahasan Bab Hasil dan Pembahasan berisi demografi partisipan, hasil analisis kuantitatif dan kualitatif dari data yang diperoleh. Demografi partisipan berisi rentang usia partisipan, tingkat pendidikan, dan pekerjaan dan jumlah anak. Analisis kuantitatif berisi pengetahuan ibu mengenai anak tantrum dan cara mengatasi tantrum dengan komunikasi efektif sebelum dan sesudah pelatihan dan analisis kualitatif berisi wawancara dengan ibu-ibu pasca pelatihan untuk mengetahui manfaat pelatihan bagipara ibu dan penerapan hasil pelatihan di rumah. Bab V: Kesimpulan, Diskusi dan Saran Bab terakhir ini menjelaskan mengenai kesimpulan hasil pelaksanaan program mengatasi anak tantrum, diskusi mengenai kelebihan dan kelemahan penelitian, serta saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab kedua ini berisi tinjauan kepustakaan yang dipakai sebagai acuan dalam penelitian efektivitas pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah. Tinjauan kepustakaan ini meliputi karakteristik perkembangan anak usia prasekolah 3-5 tahun, definisi, penyebab, dan faktor-faktor yang mempengaruhi tantrum, komunikasi efektif, gaya pengasuhan, faktor-faktor yang mempengaruhi gaya pengasuhan, karakteristik perkembangan ibu sebagai dewasa muda dan sebagai ibu dengan anak usia prasekolah. Selain itu juga diuraikan juga kepustakaan mengenai pembelajaran orang dewasa serta segala sesuatu yang berkaitan dengan pelatihan. 2.1. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Prasekolah Anak prasekolah adalah anak yang belum memasuki sekolah atau pendidikan formal, atau dengan kata lain anak yang belum memasuki sekolah dasar. Menurut Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) anak prasekolah adalah anak yang berusia 3-5 tahun. Anak pada usia ini memiliki beberapa perkembangan khusus dalam perkembangan fisik, motorik, kognitif, sosial dan emosinya. Perkembangan tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, Sebagai contoh kemampuan fisik dan motorik mempengaruhi kemampuan sosial (Henniger, Michel L., 2009), misalnya anak yang berbadan tinggi besar, perkembangan fisiknya normal lebih percaya diri dibandingkan anak yang perkembangan fisiknya kurang misalnya badannya lebih pendek dari temanteman sekelasnya. Sebaliknya perkembangan psikososial berpengaruh terhadap perkembangan fisik-motorik, misalnya anak yang percaya diri merasa mampu menggambar atau menulis akan rajin melakukan hal tersebut sehingga kemampuan motorik halusnya berkembang baik. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Perkembangan fisik anak usia prasekolah mulai melambat dibanding usia sebelumnya. Pada usia ini anak mulai kehilangan postur bayinya dan mulai langsing (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 155/ Menkes/Per/I/2010 yang tertuang dalam Kartu Menuju sehat (KMS) anak usia ini mempunyai berat badan rata-rata 16 kg pada usia 4 tahun (48 bulan) dengan tinggi badan 94 cm dan 19 kg pada usia 5 tahun dengan tinggi badan rata-rata 100 cm. Rata-rata pertumbuhan berat dan tinggi badan anak pada usia ini adalah sekitar 2-3 kg dan 5-7 cm pertahun. Perkembangan fisik juga diikuti perkembangan motorik kasar dan motorik halus. Anak prasekolah dapat berlari lebih jauh dan lebih cepat, efektif dalam berhenti, mulai lagi dan berbalik arah. Meloncat sejauh 0.5 sampai 1 meter, menaiki tangga dengan kaki bergantian, dan meloncat dengan satu kaki sejauh 4-6 loncatan tanpa terjatuh (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Selain perkembangan motorik kasar anak usia prasekolah juga mengembangkan keterampilan motorik halusnya. Keterampilan motorik halus yang berkembang pada usia ini adalah mengancingkan baju, memegang pensil dan menggambar dan lain-lain. Jean Piaget dalam Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) mengatakan perkembangan kognitif anak usia prasekolah berada pada fase preoperasional. Anak pada fase ini belum dapat menghubungkan logika operasi mental atau logika operasi yang tidak konkrit. Anak usia ini hanya mampu memikirkan logika yang konkrit. Meskipun demikian pada fase preoperasional ini anak sudah mempunyai kemampuan memahami fungsi simbolik, letak objek dalam ruang, sebab akibat, identitas dan kategorisasi, dan konsep bilangan. Fase preoperasional selain mempunyai kelebihan juga mempunyai beberapa keterbatasan diantaranya egosentris dan tidak memahami konservasi (Papalia, Old, dan Frieman, 2012). Egosentris adalah bentuk dari pemusatan. Sifat egosentris pada anak usia prasekolah berarti anak memandang segala sesuatu berpusat pada dirinya. Segala sesuatu disebabkan oleh dirinya. Jika orangtua bermasalah atau kakaknya sakit, ia merasa menjadi penyebabnya. Anak pada usia ini juga selalu merasa dirinya benar, ia merasa segala sesuatu adalah miliknya, semua mainan, buku cerita dan semua yang dilihat adalah miliknya, dan jika menginginkan sesuatu maka ia harus mendapatkan apa yang ia mau, dan ia akan melakukan apapun untuk memperoleh keinginannya termasuk menangis berguling-guling. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Perkembangan kognitif pada usia ini juga menyebabkan perkembangan bahasa yang cukup pesat dalam kosa kata namun masih rancu dalam penggunaan tata bahasa dan sintaksis (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Akibatnya kalimat yang digunakan oleh anak masih sulit dipahami oleh orangtua sehingga komunikasi orangtua dan anak belum lancar, apalagi sebagian anak yang berusia 3 tahun masih cadel. Anak prasekolah dapat mengucapkan kalimat yang terdiri dari 4-5 kosa kata, meskipun maknanya kadang tidak tepat. Kemampuan anak untuk berkomunikasi ini berakibat pada perkembangan psikososialnya. Perkembangan psikososial anak usia prasekolah menurut Erikson dalam Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) adalah berada pada fase initiative versus guilt. Pada fase ini anak banyak melakukan aktivitas-aktivitas eksplorasi untuk membentuk inisiatifnya. Konflik muncul ketika rencana aktivitas yang dibuat oleh anak tidak dapat dilaksanakan. Hal inilah yang memicu stres pada anak. Oleh sebab itu, anak harus belajar untuk memahami dan mengendalikan emosi agar tidak mudah stres (Dennis, 2006 dalam Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Menurut Duvall (1977) kemampuan mengendalikan emosi termasuk belajar mengekspresikan perasaannya, rasa frustrasi, kebutuhan dan pengalamannya, belajar menunda keinginan dan menunggu kepuasan, memperbaiki rasa senang atau sedih dengan rasa senang, antusias, lembut, sayang, simpati, takut, cemas, rasa belas kasihan, kesedihan, dan lain-lain. Cara untuk membentuk inisiatif dan menghindari rasa bersalah adalah orangtua harus mendukung dengan memberikan cukup kebebasan pada anak untuk melakukan eksplorasi, memberi apresiasi jika anak berhasil dan memaafkan jika anak gagal. Anak yang mendapat dukungan dari orangtua akan membentuk inisiatif yang akan bermanfaat terhadap pembentukan konsep diri (self concept) dan rasa percaya diri (self esteem). Menurut Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) konsep diri adalah cara pandang seseorang terhadap kemampuan dirinya dan tujuan yang hendak dicapainya. Anak yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi akan termotivasi untuk meraih sukses dan kesuksesan itu menambah rasa percaya dirinya. Sebaliknya anak yang rasa percaya dirinya rendah merasa ia tidak mampu meraih kesuksesan sehingga ia tidak mau berusaha atau mencoba. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Karakteristik anak prasekolah menyebabkan anak prasekolah lebih mandiri dalam mengurus dirinya sendiri, oleh karena itu anak pada usia ini ingin mengerjakan sendiri segala sesuatu padahal tidak semua hal bisa dikerjakannya. Orangtua berusaha melindungi anak dengan melarang anak melakukan sesuatu yang dianggap membahayakan anak. Larangan ini justru membuat anak marah dan melakukan tantrum. Hal ini diperkuat dengan sigfat egosentris anak sehingga tidak mau menerima pendapat orang lain. Faktor pemicu tantrum lainnya adalah kesulitan yang dialami anak prasekolah untuk berkomunikasi dengan orang lain karena si pendengar tidak memahami makna kalimat yang disampaikan anak tersebut. 2.2. Tantrum Subbab temper tantrum ini akan menerangkan mengenai definisi tantrum, perkembangan, penyebab, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya 2.2.1. Definisi Tantrum Menurut kamus bahasa Inggris tantrum diterjemahkan sebagai kemarahan atau luapan kemarahan atau kemurkaan (Nichols dan Shadily, 2002). Tantrum dipakai untuk kondisi anak yang menangis menjerit-jerit, berguling-guling, memukul atau menendang bahkan kadang-kadang menahan nafas (Fetsch dan Jacobson, 1996, 2007). Mencari padanan kata yang sesuai dengan tingkah laku tantrum cukup sulit. Tingkah laku tantrum dikenal masyarakat dengan istilah mengadat atau mengamuk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ditulis oleh Moeliono dan kawan-kawan (2012), mengadat berarti merajuk dan menangis dan mengamuk berarti menyerang membabi buta karena marah (Moeliono, 2012). Pada penulisan tesis ini tetap digunakan istilah tantrum. 2.2.2. Perkembangan Tantrum Ttantrum biasanya mulai muncul pada usia 2-3 tahun ketika anak mulai membentuk rasa percaya diri (Fetsch dan Jacobson, 2007) karena anak pada usia ini Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 berada pada tahap otonomi vs shame and doubt (Erikson dalam Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Anak usia ini ingin menunjukan otonominya sehingga merasa bisa melakukan segala sesuatu, padahal tidak. Emosi mereka berkembang lebih pesat daripada kemampuan pengendaliannya. Tantrum disebabkan emosi marah, depresi, kesedihan yang mendalam, dan stres yang tidak dapat dikendalikan (Borba, 2009). Sekitar 23%83% anak usia 2-4 tahun melakukan tantrum sekali dalam seminggu, dan 20% diantaranya tantrum setiap hari. Namun demikian, banyak pula anak usia lebih dari 4 tahun yang masih tantrum. Anak yang berusia lebih dari 4 tahun frekuensi tantrum mulai menurun, namun ada pula yang mulai menurun pada usia 5 tahun (Fletsch dan Jacobson, 2007). Menurut Borba (2009) perkembangan tingkah laku tantrum pada anak adalah sebagai berikut: 1. Anak usia 2-3 tahun. Anak pada usia ini 80% menunjukan tingkah laku tantrum, dan 20% anak tantrum 2 kali atau lebih dalam sehari. 2. Anak usia prasekolah (3-5 tahun). Anak usia prasekolah 20% diantaranya melakukan tantrum 2 kali atau lebih dalam sehari dan anak di atas usia 4 tahun hanya 11% yang menunjukan tingkah laku tantrum lebih dari 2 kali sehari. 3. Anak usia sekolah (6-8 tahun). Anak usia ini seharusnya tidak menunjukan tingkah laku tantrum, seandainya ada persentasenya sangat kecil. Tantrum pada anak usia sekolah ditunjukan dengan perilaku impulsif, membangkang, mudah frustrasi, dan mudah “meledak” jika sedang marah. Tingkah laku tantrum ini muncul jika anak mengalami trauma, diatur orangtua dengan sangat ketat atau karena perubahan lingkungan yang tajam karena pindah rumah atau perceraian. 4. Tantrum pada usia remaja dan dewasa. Beberapa orang remaja dan dewasa juga dapat menunjukan tingkah laku tantrum. Tingkah laku tantrum pada remaja dan orang dewasa ditunjukan dengan mengamuk ketika keinginannya tidak dapat dipenuhi. Tingkah laku ini yang masih menetap hingga usia dewasa memerlukan pertolongan ahli. Penelitian Borba di atas menunjukan bahwa semakin tinggi usia anak, tingkah laku tantrum semakin menurun. Tingkah laku tantrum diawali dengan merajuk (whinning), menangis (crying), menjerit (screaming), memukul (hitting), menendang (kicking), menarik baju/rambut orangtua, dan berguling-guling di lantai. Beberapa anak juga Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 menahan nafas (holding the breath) ketika tantrum (Fetsch dan Jacobson, 2007). Tingkah laku tantrum perlu diwaspadai oleh orangtua jika: 1. Frekuensi dan intesitas meningkat. 2. Mengancam keselamatan anak dan orang lain. 3. Tidak sesuai dengan tahap perkembangannya (tingkah laku temper tantrum seharusnya mulai menurun pada usia 4 tahun. 4. Tantrum yang disebabkan oleh emosi yang tersembunyi misalnya kejadian traumatis atau anak mengalami stres berkepanjangan. 5. Tantrum yang disebabkan oleh kondisi fisik, misalnya kelainan sistem syaraf. 2.2.3. Penyebab Tantrum Borba (2009) mengatakan anak melakukan tantrum karena marah, frustrasi, stres, dan kesedihan yang mendalam. Borba mengatakan penyebab marah, frustrasi, stres, dan sedih pada anak-anak itu akibat pengubahan kondisi yang drastis seperti pindah tempat tinggal, bencana alam, atau perceraian, namun penelitian Katrinca Ford (2012) menemukan penyebab temper tantrum lebih luas lagi. Ford (2012) mengatakan anak tantrum karena 3 alasan yaitu untuk berkomunikasi dengan ortu/pengasuh, untuk menguji suatu aturan, dan untuk melepaskan energi emosional karena marah atau frustasi. Awalnya anak melakukan tantrum untuk berkomunikasi dengan orang tua atau pengasuh. Anak ingin orangtua tahu bahwa mereka lapar, sakit, mengantuk, dan lainlain. Ketika anak mulai bisa bicara, mereka mengeluarkan perasaannya dengan kata-kata, namun ketika stres anak kehilangan kata-kata dan kembali melakukan tantrum (Ford, 2012). Perkembangan kognitif dan kemampuan fisik anak usia dini lebih cepat dibandingkan perkembangan kemampuan komunikasi dengan kata-kata. Perkembangan penggunaan kata-kata yang cepat dapat mengurangi tantrum. Orangtua dapat menstimulasi komunikasi anak dengan cara komunikasi efektif (Miller, 2000). Alasan kedua anak melakukan tantrum adalah untuk melawan kontrol dari orangtua yaitu untuk memperoleh keinginannya. Anak menginginkan sesuatu yang dilarang oleh orangtuanya atau anak tidak setuju dengan peraturan yang dibuat orangtua dan berusaha menguji batas kekuatan peraturan tersebut. Anak juga ingin melakukan Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 sesuatu yang belum bisa dikerjakannya karena anak sedang berusaha menunjukan kemandiriannya dengan melakukan semua hal yang diinginkan, meskipun kadang-kadang membahayakan dirinya, sedangkan orangtua berusaha untuk menjaga anak agar selamat dari bahaya. Anak juga melakukan tantrum untuk memperoleh perhatian. Hal yang perlu diperhatikan adalah meskipun tujuan utamanya mendapatkan perhatian dan keinginan, perhatian, dan pemenuhan keinginan yang terus-menerus tidak akan menghentikan tantrum malah justru meningkatkan frekuensinya. Alasan ketiga adalah untuk melepaskan energi emosional. Emosi menyebabkan reaksi fisik pada tubuh. Anak tidak dapat menahannya sehingga terjadi ledakan emosi. Pada beberapa anak mempunyai temperamen yang sulit menahan ledakan emosi. Anak memerlukan waktu untuk belajar mengendalikan emosinya. Oleh karena itu diperlukan dukungan dari orangtua atau pengasuh untuk memahami berbagai macam emosi yang dimiliki dan bagaimana mengekspresikan emosi tersebut dengan cara yang dapat diterima lingkungan. Beberapa anak yang tantrum karena ledakan emosi biasanya mudah reda, hanya perlu didiamkan sejenak, dipeluk atau diberikan kata-kata yang menenangkan. 2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tantrum Faktor-faktor yang mempengaruhi tantrum disebut faktor risiko (risk factor). Faktor resiko terbagi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi adalah temperamen dan usia. (William Sears & Martha Sears, 1995). Seperti dikatakan di atas, tantrum adalah emosi yang “meledak” karena anak tidak mampu mengendalikannya dan 50% pengendalian emosi anak dipengaruhi oleh temperamen (Hammer, 1998 dalam Frey, Diane E). Anak dengan temperamen sulit frekuensi tantrum lebih tinggi dibandingkan anak dengan temperamen mudah. Anak dengan temperamen sulit bisa melakukan tantrum 10-15 kali sehari. Anak dengan temperamen mudah melakukan tantrum 3-4 kali sehari selama 15 menit Sebagian anak prasekolah hanya melakukan tantrum di rumah dan tidak di sekolah namun ada juga anak yang temper tantrum di sekolah. Faktor internal lain yang turut andil dalam menurunkan frekuensi tantrum adalah usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin rendah frekuensi temper Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 tantrumnya (Borba, 2009). Hal ini terjadi pertama karena anak mulai banyak menguasai kosa kata untuk mengeluarkan emosi dan perasaannya dengan menggunakan kata-kata atau kalimat, dan kedua karena kematangan (mature). Salah satunya adalah kematangan kognitif. Kematangan kognitif yang terjadi selama masa prasekolah dan masa kanakkanak secara bertahap akan meningkatkan kapasitas individu untuk membuat pertimbangan sosial dan mengontrol perilakunya (Piaget dalam Santrock 2009). Kemampuan menyelesaikan masalah juga meningkat sehingga anak tidak mudah frustrasi. Selain faktor internal, faktor eksternal juga berpengaruh frekuensi tantrum. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap perkembangan tantrum adalah lingkungan yang terdekat yakni orangtua. Faktor risiko orangtua yang berpengaruh terhadap pengasuhan adalah kekerasan, depresi, pemakaian narkotika dan alkohol serta stres dalam perkawinan (Berns, 2009). Faktor-faktor tersebut berpengaruh juga terhadap anak dan dapat menimbulkan stres pada anak. Gaya pengasuhan yang terlalu melindungi (over protective) dan sebaliknya terlalu mengabaikan membuat anak tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari orangtuanya. 2.3. Komunikasi Efektif Komunikasi berarti menyampaikan pesan kepada orang lain (Fauzi, M. Ali, 2012). Komunikasi positif merupakan cara berkomunikasi dalam berinteraksi dengan orang lain dengan cara memberi dan menerima dengan ekspresif dan responsif (Miller, Daria Ferris, 2000). Anak belajar berkomunikasi pada awal kehidupannya. Namun berkomunikasi secara efektif diperlukan waktu bertahun-tahun. Anak belajar cara berkomunkasi efektif dengan meniru atau berinteraksi dengan orangtua sebagai model pertama dan utama anak. Komunikasi positif adalah komunikasi yang efektif (Miller, 2005, Gordon, 1993). Komunikasi efektif penting dalam mendidik anak karena orangtua mudah memahami kebutuhan anak, dapat mengungkapkan harapan orangtua terhadap anak secara jelas, dan mengajarkan anak cara komunikasi efektif . Cara kita berkomunikasi juga menentukan respon yang kita terima (Fauzi, 2012). Seseorang melakukan komunikasi, terutama dalam konteks mendidik, bukan hanya Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 menyampaikan informasi. Komunikasi juga berperan dalam mendorong motivasi, memodifikasi sikap, memacu kreativitas, dan merangsang pemikiran. Sebaliknya, komunikasi yang kurang baik akan menimbulkan salah paham, munculnya kesan kurang baik, pesan akan terdistorsi dan sulit dipahami, juga proses belajar bisa menjadi terhambat. Komunikasi selalu menyampaikan atau mengirim pesan. Komunikasi yang efektif tercapai jika pesan yang diterima anak sesuai dengan pesan yang dikirim oleh orangtua. Menurut Miller (2000) komunikasi efektif terdiri dari mendengar efektif, mengenali dan menamai perasaan, instruksi positif, komunikasi asertif dan mengelola konflik secara positif. 1. Mendengar aktif. Mendengar aktif meliputi tidak hanya mendengarkan saja pembicaraan anak tetapi juga merespon keinginan anak, apakah anak hanya ingin informasi, mendapat perhatian, menunjukan kemandirian, membutuhkan bantuan atau anak ingin menghilangkan rasa tidak nyaman dengan merengek, memprotes dan lainlain sehingga orang tua dapat memberi reaksi yang tepat. Orang tua juga perlu memperhatikan sikap dan bahasa tubuh ketika mendengar aktif. Sikap yang baik dalam mendengar aktif adalah orang tua menyesesuaikan dengan tinggi anak sehingga mata orang tua sejajar dengan mata anak, dan melakukan kontak mata. Orang tua juga menyingkirkan hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi dalam mendengarkan anak, seperti mematikan televise, melipat koran, dan lain-lain. 2. Mengenali dan menamai perasaan. Anak usia dini tidak bisa mengenali perasaannya tanpa dibantu orang dewasa, karena itu orang dewasa atau orangtua memegang peranan penting untuk mengejarkan anak mengenali perasaannya atau emosinya dan cara merefleksikan emosinya dengan kata-kata. Orangtua juga memberikan contoh pada anak bagaimana bereaksi terhadap emosi. Menurut Paul Ekman (1992) ada enam emosi dasar yaitu takut, marah, sedih, bahagia, jijik dan terkejut. Sedangkan emosi lain seperti malu, terkejut, dan terharu merupakan perpaduan antara beberapa emosi dasar tersebut. Pada dasarnya ada 2 macam emosi dasar yaitu emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif misalnya marah, sedih, takut. malu dan cemas. Emosi positif misalnya cinta, bahagia, senang, gembira, terpesona, dan ceria. Anak Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 usia prasekolah perlu mengetahui emosi dasar lebih dahulu, bila emosi tersebut terjadi dan bagaimana cara mengekspresikannya. 3. Memberikan instruksi positif. Ada dua macam instruksi yaitu instruksi negatif dan instruksi positif. Intruksi negatif yaitu instruksi yang mengunakan kata “jangan”. Instruksi positif adalah kebalikannya, yaitu suatu instruksi atau perintah yang tidak menggunakan kata jangan atau tidak. Selain kalimat verbal orang tua sebaiknya juga tidak menggunakan instruksi negative dengan bahasa tubuh, misalnya mengangkat telunjuk dan menggoyang-goyangkannya. Contoh instruksi positif dan negatif bisa dilihat pada contoh pada table 2.2. berikut ini: Instruksi Negatif Jangan berlari-lari di dalam rumah Instruksi Positif 1. Main lari-lariannya di halaman ya 2. Jalan saja ya, lantainya licin Jangan teriak-teriak 1. Tolong bicaranya agak pelan ya 2. Harap tenang ya nak, ibu sedang cape/kurang sehat Tabel 2.2. Contoh kalimat positif dan negatif (Miller, 2000) 4. Komunikasi asertif. Komunikasi asertif adalah komunikasi dua arah antara orang tua dan anak yang melibatkan emosi. Komunikasi asertif menggunakan “pesan aku” dan agar terjalin komunikasi asertif antara orangtua dan anak maka dalam berbicara orangtua menggunakan kalimat pendek/sederhana, jujur, gunakan kalimat langsung pada sasaran, tidak menjuluki anak dengan sebutan yang tidak disukai anak, menggunakan kalimat konkret dan jelas, menghormati anak dengan tidak mempermalukan di hadapan orang lain ataupun menyakiti, memberikan motivasi pada anak untuk lebih baik. Komunikasi asertif juga berarti memberikan fleksibilitas dalam menerapkan disiplin dan tidak memberikan target di atas kemampuan anak. Komunikasi asertif berhasil baik jika dilakukan secara terus-menerus dengan memberikan empati terhadap anak. 5. Mengelola konflik secara positif. Ketika berkonflik dengan anak, orangtua mendengarkan secara aktif untuk mengidentifikasi masalah, menganalisa dan Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 mengekspresikan emosinya sesuai konteks yang terjadi dan tidak mengeluarkan katakata kotor dan kasar. Orangtua harus tetap tenang karena dengan ketenangan orangtua dapat melihat solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik dengan anak. Jika anak berkonflik dengan anak lain beri kesempatan anak untuk menyelesaikan masalah. Orangtua juga dapat memandu anak tetapi tidak secara langsung menyelesaikan konflik sehingga anak belajar menyelesaikan konfliknya sendiri. Menyelesaikan konflik secara positif juga berarti mencari win-win solution dalam penyelesaian masalah antara orang tua dan anak atau sering disebut dengan “anti kalah”. Orang tua dan anak mencari penyelesaian masalah yang bisa mengakomodir kepentingan keduanya. Bab pendahuluan telah memaparkan anak mengadat adalah salah cara anak berkomunikasi dengan orang tua (Baker, 2012) karena anak tidak menemukan cara lain untuk mengkomunikasikan kebutuhan atau keinginannya. Anak yang dapat berkomunikasi dengan baik akan menyalurkan keinginannya tanpa mengadat. Anak belajar komunikasi pertama kali dari orang tua. Anak belajar dengan cara meniru. Orang tua yang berkomunikasi secara efektif dengan anak membuat anak belajar berkomunikasi dengan orang tua secara efektif pula. Komunikasi merupakan cara yang tepat untuk mengatasi anak mengadat (Borba, 2009). Borba membagi cara mengatasi anak mengadat dalam 3 tahap, yaitu : Tahap 1. Intervensi Awal Tahap pertama adalah menghindari atau mencegah tingkah laku mengadat dengan melakukan tindakan-tindakan dan kata-kata yang membuat anak merasa nyaman Tahap 2. Respon Cepat pada saat anak mengadat a. Ketika anak anda menunjukan tanda-tanda mulai mengadat, ibu mempunyai waktu beberapa detik untuk menghentikan atau mengalihkan. b. Ketika anak sedang mengadat c. Setelah anak selesai mengadat Tahap 3. Merubah kebiasaan anak bertingkah laku mengadat dengan cara melakukan komunikasi efektif kepada anak sehingga orang tua dapat berkomunikasi dengan baik dengan anak. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Cara mengatasi mengatasi mengadat pada tahapan tersebut digunakan mendengar aktif, menerima perasaan dan menyelesaikan konflik secara positif. Ketiga cara tersebut termasuk bagian dari cara komunikasi efektif. Komunikasi dipengaruhi oleh gaya pengasuhan. Gaya pengasuhan orang tua berbeda-beda. Subbab 2.4 membahas mengenai gaya pengasuhan. 2.4. Gaya Pengasuhan Orang tua berperan penting dalam mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Tugas orang tua selain memelihara dan melindungi, juga mendidik dan memandu anak agar tumbuh dan berkembang secara optimal (Duvall, 1977). Subbab gaya pengasuhan ini menerangkan mengenai definisi pengasuhan, macam-macam gaya pengasuhan dan kualitas anak yang dihasilkan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi gaya pengasuhan. 2.4.1. Definisi Pengasuhan berasal dari bahasa Inggris parenting yang berarti rangkaian cara dan keputusan yang akan di sosialisasikan pada anak agar anak menjadi bertanggung jawab dan dapat diterima di masyarakat (Roberta M. Berns, 2010). Brooks (1991) mengatakan dedinisi pengasuhan adalah mengasuh, mendidik, dan melindungi anak selama pertumbuhannya, proses interaksi antara orang tua dan anak, peranan untuk memelihara hubungan yang hangat dan penerapan disiplin pada anak, dan aktifitas sehari-hari yang biasa dilakukan dalam sebuah keluarga 2.4.2. Macam-macam Gaya Pengasuhan Baumrind mengatakan ada 4 dimensi penting dalam pengasuhan yaitu cara penerapan disiplin, kehangatan dan pelayanan pada anak, cara komunikasi, dan tuntutan terhadap kematangan dan kontrol. Berdasarkan keempat dimensi tersebut, gaya pengasuhan terbagi 3 yaitu permisif, otoriter dan autoritatif (Baumrind, 1966). Gaya pengasuhan yang pertama kali dipublikasi oleh Diana Baumrind (1966) dipengaruhi oleh Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 2 faktor penting yaitu kehangatan dan tuntutan orang tua. Interaksi antara keduanya merupakan faktor penting dalam pengasuhan anak.Gaya pengasuhan berdasarkan kehangatan dan tuntutan dapat dilihat pada gambar 2.1. Kehangatan tinggi Permisif Otoritatif tuntutan tuntutan rendah Mengabaikan Otoriter tinggi Kehangatan Rendah Gambar 2.1. Interaksi kehangatan dan penerapan disiplin terhadap gaya parenting (Baumrind, 1991) Berdasarkan kehangatan dan tuntutan orang tua gaya pengasuhan terbagi 3 yaitu : permisif, otoriter, dan otoritatif. Berdasarkan penelitian lebih lanjut Maccoby & Martin (1983) menambahkan satu macam gaya pengasuhan keempat yaitu gaya pengasuhan mengabaikan. Jika kehangatan dan tuntutan tinggi maka gaya pengasuhan otoritatif, jika kehangatan tinggi dan tuntutan rendah maka gaya pengasuhan permisif dan sebaliknya jika kehangatan rendah namun tuntutan tinggi maka gaya pengasuhan otoriter. Jika kehangatan dan tuntutan rendah maka gaya pengasuhan mengabaikan. Gaya pengasuhan dapat dijelaskan sebagai berikut (Baumrind, 1967, Gordon, 1993) : a. Permisif (anak menang). Orang tua permisif menyerahkan kontrol sepenuhnya pada anak. Sangat sedikit, atau hampir tidak ada, aturan yang diterapkan di rumah. Kalaupun mereka menetapkan aturan biasanya diterapkan secara tidak konsisten. Orang tua tidak menciptakan batasan, disiplin, ataupun tuntutan bagi perilaku anak. Mereka menerima saja, perilaku baik atau buruk, dan tidak berkomentar apakah perilaku tersebut berguna atau tidak. Mereka juga tidak mengajarkan anak disiplin dan patuh pada peraturan yang berlaku. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 b. Otoriter (orang tua menang). Orang tua yang otoriter selalu berusaha mengontrol dan memaksakan kehendak pada anak. Mereka mengajarkan disiplin yang kaku, dan biasanya dilakukan tanpa ekspresi kehangatan dan kasih sayang. Mereka memiliki standard perilaku yang kaku dan suka mengkritik anak, jika tidak patuh maka anak akan mendapat hukuman. Mereka mendikte anak apa yang harus dilakukan, memaksa anak untuk patuh dan tidak memberikan pilihan bagi anak. Orang tua otoriter biasanya tidak menerangkan pada anak alasan dibalik permintaan mereka. Orang tua cenderung memfokuskan pada kesalahan anak ataupun perilaku yang tidak disetujui orang tua, bukan pada perilaku anak yang positif. Anak dikritik, dimaki, atau dihukum, jika tidak menurut aturan. c. Otoritatif (anti kalah). Orang tua yang otoritatif membantu anak untuk belajar bertanggung jawab dan memikirkan konsekuensi dari perbuatannya. Orang tua melakukannya dengan cara menerangkan harapan dan keinginan mereka dengan jelas dan sesuai dengan usia perkembangan anak. Mereka juga mengambil waktu untuk menerangkan alasan tuntutan mereka. Lebih penting lagi, orang tua memonitor perilaku anak untuk memastikan bahwa anak mengikuti aturan dan harapan orang tua dan jika anak gagal, orang tua tidak menghukum tetapi memaafkan kesalahan anak dan mengarahkan kembali. Orang tua melakukan semua itu tidak dengan kekerasan, namun dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Mereka berorientasi pada perilaku positif anak dan mendorong perilaku yang baik, bukannya memfokuskan pada perilaku buruk. d. Gaya pengasuhan keempat baru ditambahkan tahun 1983 berdasarkan penelitian Maccoby & Martin (1983) yang juga ditulis oleh Baumrind (1991) disebut gaya pengasuhan mengabaikan. Orang tua dengan gaya pengasuhan mengabaikan tidak terlibat secara emosional dalam pengasuhan anak, mereka merasa hanya perlu memenuhi kebutuhan dasar anak seperti makanan dan pakaian. Mereka menginginkan emosi negatif anak untuk segera berakhir. Biasanya mereka mengalihkan perhatian anak untuk menghentikan emosi anak. Efek dari gaya pengasuhan mengabaikan, anak belajar bahwa perasaan mereka salah, tidak tepat dan tidak penting. Mereka kesulitan mengatur emosinya. Anak-anak tersebut belajar untuk mengabaikan perasaannya dan tidak belajar untuk mengenali dan mengatasi emosinya. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Gaya pengasuhan yang paling baik untuk membentuk kualitas anak dengan perkembangan psikososial terbaik adalah gaya pengasuhan otoritatif (Baumrind, 1991) karena gaya pengasuhan ini memberikan ruang pada anak untuk melakukan inisiatif . Gaya pengasuhan berpengaruh terhadap kualitas anak secara lebih rinci dan lengkap dapat dilihat pada table 2.1. sebagai berikut : GAYA PENGASUHAN KUALITAS ANAK Permisif Manja dan kemampuan mengendalikan emosi rendah (anak menang – Membangkang dan memberontak, Tidak menyukai tantangan orang tua kalah) Mempunyai tingkah laku antisosial, seperti mengadat, aggresif, mudah marah dan memukul orang Selalu khawatir, menarik diri dari lingkungan, Mudah frustrasi Otoriter Terlibat masalah penggunaan alkohol dan narkotika di usia (orang tua menang – remaja anak kalah) Sering terlibat tindakan antisosial, seperti mengadat, aggresif, mudah marah dan memukul orang Prestasi belajar di sekolah menyamai anak dengan gaya pengasuhan otoritatif Otoritatif Tampak bersemangat dan bahagia, Rasa percaya diri tinggi (anti kalah) Mampu dan menyukai tugas atau tantangan Mempunyai kemampuan mengendalikan emosi yang baik Mempunyai kemampuan sosial yang baik Lebih sensitif untuk anak laki-laki dan lebih mandiri pada anak perempuan Mempunyai motivasi belajar tinggi dan biasanya prestasi di sekolah baik Mengabaikan Kemampuan mengendalikan emosi rendah Mudah frustrasi dan sulit memahami orang lain Tabel 2.1. Tabel Hubungan antara Gaya Pengasuhan dan Kualitas Anak (Baumrind, 1991) dan Gordon (1993) Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 2.4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Pengasuhan Orangtua Menurut Berns (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi gaya pengasuhan orangtua adalah ideologi dan politik, status sosial-ekonomi, pekerjaan orangtua, seni budaya dan agama. a. Ideologi dan politik mengikut pada kebijakan pemerintah. Negara-negara dimana seseorang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas atau otokrasi seperti Australia dan dan Inggris, gaya pengasuhan umumnya otoriter. Sedangkan pada negara-negara Demokrasi ibu, ayah dan anak mempunyai hak yang lebih seimbang sehingga sebagian besar gaya pengasuhan otoritatif. b. Status sosial-ekonomi. Orangtua dengan status ekonomi rendah biasanya mempunyai gaya pengasuhan otoriter, sangat kaku dalam menerapkan disiplin dan sering melakukan hukuman fisik. Anak diharapkan patuh, hormat, dan menjauhi masalah. Orangtua dengan status ekonomi tinggi umumnya mempunyai gaya pengasuhan otoritatif. Mereka mengasuh anak dengan demokrasi, menyampaikan alasan tindakannya, dan mendengarkan pendapat anak. c. Pekerjaan orangtua. Pekerjaan orangtua juga berpengaruh terhadap gaya pengasuhan orangtua. Orangtua yang bekerja sebagai tentara umumnya mempunyai gaya pengasuhan otoriter karena mereka biasa dengan disiplin yang kaku dan perintah yang harus dijalankan. Menurut Melvin Kohn, 1995 dalam Berns, 2010, pekerja kelas menengah mempunyai gaya pengasuhan otoritatif, dan orangtua yang termasuk pekerja kelas rendah mempunyai gaya pengasuhan otoriter. d. Budaya dan Agama. Berns (2010) mengatakan budaya dan agama merupakan faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap gaya pengasuhan. Budaya diwarisi dari setiap generasi. Seorang ibu dalam mengasuh anaknya cenderung mengikuti pola asuh yang diterapkan oleh orangtuanya dahulu. Agama berpengaruh terhadap gaya pengasuhan terutama masalah penanaman moral dan ahlak. Tugas pengasuhan utama di berbagai negara dilakukan oleh ibu (Berns, 2010). Ibu adalah orang pertama kali berinteraksi dengan anak, oleh karena itu ibu memegang peranan penting dalam perkembangan anak. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 2.5. Karakteristik Ibu pada Fase Dewasa Muda Ibu adalah wanita yang telah melahirkan atau membesarkan anak (Moeliono, 2012). Sebagian besar wanita mengharapkan menjadi ibu karena merasa bahagia dengan pengalaman menjadi ibu. Menurut Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) rata-rata usia wanita menjadi ibu berbeda-beda tergantung budaya setempat. Di Asia wanita menikah dan menjadi ibu rata-rata pada usia 15-20 tahun. Sedangkan di Eropa dan Amerika ratarata menikah pada usia 25-28 tahun. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2012) Rata-rata usia kawin masyarakat Indonesia adalah 19,6 tahun maka ratarata wanita menjadi ibu sekitar usia 20 tahun. Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) mengatakan usia 20-40 tahun adalah fase dewasa muda. Hal ini berarti di Indonesia wanita menjadi ibu pada fase dewasa muda. 2.5.1. Definisi Dewasa Muda Schaie & Willis (1991) menyatakan bahwa tidaklah mudah untuk mendefiniskan bahwa seseorang sudah menjadi dewasa, karena tidak ada kondisi yang sama persis yang dapat diterapkan pada semua orang. Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) mendefinisikan dewasa sebagai individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya. Arnett (2006) dalam Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) mengatakan ada tiga ciri orang dewasa yaitu mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, mampu membuat keputusan, dan mandiri secara keuangan. Vaillant (dalam Papalia, Feldman, dan Martorell 2012) membagi fase dewasa menjadi tiga, yaitu masa pembentukan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukan (emerging adulthood) dimulai pada usia 20 sampai 25 tahun dengan tugas perkembangan mulai memasuki universitas/perguruan tinggi, bekerja, memisahkan diri dari orangtua, menikah, memiliki anak, dan mengembangkan persahabatan (Schulenberg, O’Malley, Bachman, & Johnston, 2005 dalam Papalia, Feldman, dan Martorell 2012). Masa konsolidasi, usia 30-40 tahun merupakan masa konsolidasi karier dan memperkuat ikatan perkawinan, sedangkan masa transisi sekitar usia 40 tahun merupakan masa Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh. 2.5.2. Karakteristik Perkembangan Fisik, Kognitif, dan Sosio-Emosional Karakteristik perkembangan fisik dan kognitif pada usia dewasa muda adalah yang paling baik dibandingkan dengan dewasa tengah dan dewasa akhir (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Pola makan yang bergizi, beragam,dan berimbang dapat meningkatkan kesehatan dan mencegah obesitas (Achadi, 2011). Obesitas selain berpengaruh terhadap kesehatan juga berpengaruh terhadap emosional seseorang karena menurunnya rasa percaya diri dan berdampak pula terhadap pengasuhan. yaitu tidak mempunyai ketegasan tentang apa yang dinginkannya sehingga membingungkan anak dan menyebabkan anak frustasi karena sering disalahkan. Ibu sebagai dewasa muda perkembangan kognitifnya berada pada fase operasi formal (Piaget dalam Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Namun para ahli menemukan bahwa kematangan pemikiran lebih kompleks daripada operasi formal. Mereka menyebutnya pemikiran reflektif dan pemikiran pasca formal. Pemikiran reflektif adalah bentuk kompleks dari pemikiran yang aktif, tangguh, dan penuh pertimbangan dalam menerima informasi sebagai bukti pendukung kesimpulan yang akan dibuatnya (John Dewey dalam Papalia, Feldman, dan Martorell, 2012). Sedangkan pemikiran pasca formal adalah kemampuan untuk menyesuaikan pemikiran tentang kondisi yang ideal dengan kondisi yang berlawanan, dan harus berkompromi, dengan demikian ibu mempunyai kemampuan berpikir yang jauh lebih kompleks dan lebih luas untuk memahami dan menangani suatu peristiwa atau kejadian. Pelatihan mengatasi tantrum yang diberikan kepada ibu akan mampu diserap dengan baik dan ibu dapat menyelesaikan masalah tingkah laku tantrum jika memperoleh informasi yang cukup. 2.5.3. Tugas Perkembangan Ibu dengan Anak Usia Prasekolah Anak usia dini atau anak prasekolah memerlukan kebutuhan khusus untuk merasa nyaman, dicintai, dihargai, dan menikmati hidupnya (Duvall, 1977). Orangtua, termasuk ibu perlu memahami tugas mereka untuk membantu mengembangkan kompetensi Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 anaknya. Orangtua juga perlu belajar memahami kegagalan dan kesalahan anaknya tanpa menyalahkan anak atau menghukumnya. Orangtua yang mempunyai anak prasekolah mempunyai tugas perkembangan sebagai berikut: - Menyediakan tempat, fasilitas, dan lingkungan yang lebih luas untuk keluarga. - Menyesuaikan penghasilan dengan biaya hidup dengan anak usia prasekolah. - Berusaha untuk lebih matang dalam melaksanakan perannya dalam keluarga. - Memelihara komunikasi timbal balik yang baik dalam keluarga. - Mengasuh dan membuat perencanaan untuk anak. - Menyiapkan lingkungan lain di luar keluarga, misalnya Taman Kanak-Kanak, mengajak main ke tetangga, Taman Pendidikan Al Qur’an, dan lain-lain untuk mengembangkan kompetensinya. - Berusaha lebih fleksibel dalam menerapkan disiplin pada anak. - Memotivasi seluruh anggota keluarga untuk memberi ruang gerak yang lebih bebas untuk anak usia prasekolah. - Menjadi model bagi anak. Tingkah laku orangtua sangat berpengaruh terhadap tingkah laku anak. Anak belajar mengontrol emosi dengan melihat orangtua atau pengasuh bereaksi terhadap emosi yang tidak menyenangkan seperti cemas, marah, dan takut. Jika orangtua dapat mengendalikan emosi dengan baik pada situasi konflik, maka anak belajar mengendalikan dorongan emosi (Bronson, 2000). 2.6. Prinsip-prinsip Pembelajaran Orang Dewasa Pembelajaran orang dewasa adalah cara belajar orang dewasa. Orang dewasa mempenyai karakter psikologis yang berbeda dengan anak-anak. Perbedaan karakter ini menyebabkan perbedaan dalam belajar. Pembelajaran orang dewasa menggunakan pendekatan andragogis yang berarti ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Subbab pembelajaran orang dewasa ini berisi prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa. Menurut Knowles (1984) dalam Fauzi (2011) proses belajar pada orang dewasa dilandasi empat asumsi, yaitu pertama sudah mempunyai konsep diri, sehingga mereka harus dilibatkan secara penuh dalam setiap tahapan pembelajaran. Asumsi kedua adalah pengalaman. Orang dewasa mengakumulasi semua pengalaman hidupnya. Pengalaman Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 tersebut dapat dimobilisasi menjadi sumber belajar. Asumsi ketiga adalah kesiapan belajar.kesiapan belajar berkenaan denga upaya pemecahan kebutuhan belajar sehingga program pembelajaran harus dihubungkan dengan tugas perkembangan orang dewasa. Asumsi keempat adalah orientasi belajar. Orientasi belajar orang dewasa terpusat pada masalah , jadi program pembelajaran orang dewasa harus dibuat program yang dapat memecahkan masalah yang dihadapi orang tersebut. 2.5. Pelatihan Penelitian ini menggunakan metode pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi anak temper tantrum. Subbab pelatihan ini berisi definisi, tujuan dan manfaat pelatihan, model pelatihan, dan teknik penyusunan program pelatihan. 2.5.1. Definisi Pelatihan Pelatihan berasal dari kata latih yang adalah belajar dan membiasakan diri agar mampu (dapat) melakukan sesuatu keterampilan hidup (Moeliono, 2012). Berbeda dengan pelatihan biasa, pelatihan mengatasi temper tantrum ini merupakan salah satu bentuk psikoedukasi dengan model skill deficit. Inti dari psikoedukasi dengan model ini adalah memberikan pelatihan kepada individu pada setiap unsur lifeskill yang masih merupakan defisit atau kekurangan (Supratiknya, 2011), oleh karena itu pada awal penelitian dilakukan praasesmen untuk mengetahui apakah ibu mempunyai skill deficit dalam memgatasi anak tantrum. 2.5.2. Tujuan Dan Manfaat Pelatihan Pelatihan bertujuan untuk memperoleh 3 hal (Manulang 1978 dalam Fauzi, 2011) yaitu menambah pengetahuan, menambah keterampilan hidup (lifeskill), dan merubah sikap. Manfaat pelatihan dikelompokan menjadi tiga kategori, (Fauzi, 2011) yaitu: a. Manfaat bagi peserta pelatihan itu sendiri berupa peningkatan pengetahuan atau pemahaman terhadap bidangnya, peningkatan rasa tanggung jawab peningkatan kemampuan kerja dan peningkatan kemampuan untuk mengikuti pelatihan lanjutan. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 b. Manfaat bagi pekerjaan yang menjadi tanggung jawab peserta pelatihan yang ditandai dengan peningkatan kesadaran terhadap berbagai peluang untuk mengembangkan bidang kerjanya. Manfaat bagi peserta pelatihan mengatasi anak temper tantrum ini adalah diharapkan ada peningkatan kesadaran ibu-ibu untuk menerapkan hasil pelatihan di rumah. c. Manfaat bagi lingkungan dimana peserta pelatihan bekerja. Lingkungan peserta pelatihan mengatasi temper tantrum ini adalah lingkungan keluarga ibu-ibu peserta. Setelah pelatihan, selain dapat menerapkan di rumah, ibu-ibu diharapkan dapat membagi pengetahuan dan pengalaman mereka dengan ibu-ibu lain di lingkungannya. 2.5.3. Model Pelatihan Goad dalam Fauzi (2011) menggambarkan model pelatihan yang terdiri dari beberapa tahapan siklus seperti berikut: 1. Analisis kebutuhan pelatihan 2. Desain pelatihan 3. Pengembangan materi 4. Pelaksanaan pelatihan 5. Monitoring dan evaluasi Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mengadakan pelatihan orang dewasa adalah (Fauzi 2011) adalah orang dewasa belajar dengan melakukan suatu kegiatan. Mereka senantiasa ingin dilibatkan, masalah dan contoh yang diberikan harus realistis dan relevan, menggunakan lingkungan belajar informal, dilakukan perubahan teknik atau program pembelajaran dari waktu ke waktu, tidak menerapkan sistem peringkat apapun. Pada pelatihan orang dewasa fasilitator berperan sebagai agen pembaharuan. Fasilitator bertanggung jawab dalam memfasilitasi pembelajaran, sedangkan kemampuan untuk menangkap pembelajaran merupakan tanggung jawab para peserta. Pelatihan menggunakan fasilitator yang berperan untuk memfasilitasi peserta pelatihan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Fasilitator harus menjadi narasumber Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 yang baik untuk berbagai permasalahan, membantu orang untuk membuat keputusan, serta mencapai hasil tertentu dari solusi permasalahan yang ditawarkan. Fauzi (2011) menjelaskan peran dari fasilitator antara lain: - Narasumber. Peran fasilitator sebagai narasumber mendorongnya untuk memberikan masukan melalui pertanyaan-pertanyaan kritis yang dapat memancing para peserta pelatihan terhadap berbagai hal yang belum atau tidak dimengerti para peserta. - Guru. Berperan sebagai guru, fasilitator harus menjelaskan berbagai materi yang dibutuhkan para peserta sesuai dengan pencapaian yang diharapkan. Dalam hal ini fasilitator harus menyiapkan berbagai bahan belajar untuk memenuhi kebutuhan peserta pelatihan. - Agen perubahan. Sebagai agen perubahan, fasilitator memiliki 2 peran yakni selaku sumber ilmu pengetahuan dan kontributor. Sebagai sumber ilmu pengetahuan, fasilitator harus memiliki kemampuan akademik untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi serta mampu mengembangkannya. Sebagai kontributor, fasilitator memakai kemampuannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, yaitu para peserta pelatihan. - Inovator. Peran sebagai inovator merujuk pada kemampuan fasilitator untuk memunculkan gagasan-gagasan baru yang diperlukan saat menyusun konsep-konsep yang diperlukan untuk kebutuhan para partisipan. 2.6.4 Teknik Penyusunan Program Pelatihan Sudjana dalam Fauzi (2011) mengembangkan model penyusunan program pelatihan sebagai berikut : 1. Rekrutmen peserta pelatihan Kegiatan ini meliputi pendaftaran dan seleksi para peserta pelatihan. Pendaftaran dan penerimaan para peserta didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan. 2. Identifikasi kebutuhan, sumber, dan kemungkinan hambatan Untuk melaksanakan sebuah pelatihan yang efektif sehingga membawa manfaat bagi para peserta maka diperlukan identifikasi kebutuhan belajar, sumber belajar, dan kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam teknis pelaksanaan. Identifikasi kebutuhan pelatihan merupakan praasesmen yang penting untuk dilakukan terhadap para peserta karena suatu Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 pelatihan akan bermanfaat jika pelatihan tersebut dapat memenuhi kebutuhan para peserta. Setelah mengidentifikasi kebutuhan peserta dalam kegiatan pembelajaran, maka selanjutnya adalah identifikasi sumber belajar yang tepat sesuai dengan kegiatan pelatihan yang diadakan kemudian mengidentifikasi hambatan-hambatan yang mungkin muncul dalam kegiatan pelatihan. 3. Menentukan dan merumuskan tujuan pelatihan Tujuan pelatihan merupakan target yang dicapai dalam suatu kegiatan. Supaya pelatihan yang diadakan lebih terarah maka perlu perumusan tujuan yang terarah, baik itu berupa tujuan umum maupun khusus. Rumusan tujuan tersebut akan menjadi acuan dalam pelaksanaan pelatihan. Rumusan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pelatihan harus jelas, terarah, dan konkrit. 3. Menyusun alat evaluasi awal dan evaluasi akhir peserta Alat evaluasi awal berupa angket pre-test digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan, sikap, dan keterampilan dasar yang dimiliki peserta. Hasil evaluasi akhir digunakan untuk mengetahui hasil pembelajaran peserta setelah mengikuti pelatihan. 4. Menyusun urutan kegiatan pelatihan, menentukan bahan belajar, dan memilih metode serta teknik pelatihan. Urutan kegiatan pelatihan mengacu pada urutan kegiatan pada program pelatihan dari awal hingga akhir kegiatan. Menentukan materi pembelajaran didasarkan pada kompetensi yang harus dimiliki dan dikuasai oleh para peserta. Sedangkan penentuan metode dan teknik pelatihan didasarkan pada kesesuaian materi dan karakteristik para peserta pelatihan. 5. Latihan untuk pelatih Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan pemahaman jalannya pelatihan kepada pihakpihak yang terkait atau kofasilitator, dengan kegiatan pelatihan secara menyeluruh. 6. Melaksanakan evaluasi awal terhadap peserta pelatihan Evaluasi awal disebut pretest dilakukan terhadap para partisipan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dasar yang dimiliki para peserta meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan dasar. 7. Mengimplementasikan proses pelatihan Tahap ini merupakan inti kegiatan pelatihan. Pada tahap ini terjadi proses pembelajaran, yakni proses interaksi dinamis antara partisipan dengan fasilitator dan materi pembelajaran. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 8. Melaksanakan evaluasi akhir pelatihan. Evaluasi akhir pelatihan terdiri dari evaluasi hasil belajar dan evaluasi jalannya pelatihan. evaluasi hasil belajar dilakukan untuk mengetahui hasil pembelajaran yang dicapai oleh para peserta setelah mengikuti pelatihan. Evaluasi ini dilakukan dengan membandingkan pretest dan postets. Selain evaluasi hasil belajar juga dilakukan evaluasi program pelatihan. Evaluasi program pelatihan merupakan kegiatan pengumpulan data mengenai penyelenggaraan pelatihan untuk dianalisis guna dijadikan masukan dalam pengambilan keputusan untuk pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. Evaluasi dalam sebuah pelatihan dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan antara sebelum dan setelah pelatihan. Selain itu, jika ingin mengevaluasi ada atau tidaknya perubahan perilaku setelah pelatihan juga biasa dilakukan dengan rentang waktu yang beraneka ragam. Program pelatihan mengatasi ini juga menggunakan sistem evaluasi kualitatif dengan wawancara untuk mengetahui apakah ibu mampu menerapkan hasil penelitian di rumah dengan mengambil sampel 4 orang ibu untuk diwawancara. Kriteria ibu yang di wawancara adalah 2 orang ibu dengan skor kuesioner tertinggi dan 2 orang ibu dengan skor kuesioner terendah Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjabarkan mengenai metodologi penelitian yang meliputi masalah dan tujuan penelitian, partisipan, metode pengambilan data, desain penelitian, prosedur penelitian, metode pengumpulan data, pengolahan, dan analisis data. Selain itu juga diuraikan tentang alat ukur serta rancangan program efektivitas pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah. 3.1. Masalah dan Tujuan Penelitian Masalah pada penelitian ini adalah: “Apakah ada perbedaan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah sebelum dan sesudah pelatihan ?”. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah. 3.2 Partisipan Partisipan adalah orang yang menjadi subjek penelitian. Subbab partisipan ini menjabarkan tentang kriteria partisipan yaitu faktor yang dikontrol dalam pemilihan partisipan, populasi penelitian, dan sampel penelitian. 3.2.1 Kriteria Partisipan Partisipan pada penelitian ini adalah para ibu yang memiliki kriteria sebagai berikut: - Berusia 20-40 tahun yang tinggal di wilayah sekitar Cagar Alam yaitu wilayah RW 1-17, kelurahan Pancoran Mas. Alasan pemilihan subjek berdasarkan kriteria usia adalah berdasarkan pada teori Papalia yang menyatakan usia 20-40 tahun merupakan usia dewasa muda yang salah satu tugas perkembangannya adalah menikah dan memiliki anak. Usia dewasa muda juga mempunyai daya pikir yang baik sehingga mudah menyerap pelajaran yang diberikan dalam pelatihan. Alasan pemilihan wilayah adalah para ibu di wilayah tersebut belum pernah mendapat pelatihan mengenai pengasuhan anak. Wilayah tersebut termasuk wilayah padat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah (dari hasil kuesioner Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 identifikasi kebutuhan) yaitu dengan penghasilan 1 – 5 juta per bulan. Alasan pemilihan partisipan dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah adalah karena partisipan tidak dapat mengikuti pelatihan yang memerlukan biaya sehingga mereka belum pernah mengikuti pelatihan apapun. Pelatihan ini menjadi lebih bermanfaat untuk orang-orang dengan tingkat ekonomi menegah ke bawah dengan kriteria sebagai berikut: - Memiliki anak usia prasekolah 3-5 tahun - Memiliki tingkat pendidikan yang setara yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai dengan Sarjana (S1) - Tidak bekerja penuh di luar rumah sehingga menjadi pengasuh utama anak. - Belum pernah mendapatkan bekal komunikasi efektif untuk kepentingan penelitian lain, bahkan ibu-ibu ini belum pernah mendapatkan pelatihan apapun. 3.2.2. Proses Perekrutan Partisipan Proses perekrutan partisipan dimulai tanggal 5 September 2012 dalam arisan RT dan 8 September 2012 dalam arisan RW dengan cara diumumkan secara lisan bahwa peneliti akan mengadakan pelatihan mengenai pengasuhan anak. Kemudian diterangkan kriteria ibu yang boleh mengikuti pelatihan, misalnya usia ibu, pendidikan ibu, belum pernah mengikuti pelatihan apapun tentang pengasuhan, dan syarat tidak boleh membawa anak pada saat pelatihan. Pada saat itu ada sekitar 30 ibu muda yang mendaftar. Pertemuan kedua tanggal 5 September sebelum arisan dimulai yaitu jam 16.00-17.00 diadakan focus group discussion (FGD) untuk membahas masalah-masalah tingkah laku anak usia prasekolah, dihadiri oleh 25 orang ibu. Pertemuan FGD kedua diadakan bulan Oktober 2012 untuk membahas jadwal pelatihan. Pertemuan kedua ini jumlah ibu yang hadir berkurang kembali menjadi 21 orang. Para ibu mengusulkan pelatihan tidak diadakan di hari libur karena suami dan anak-anak partisipan semua berada di rumah sehingga partisipan kesulitan untuk mengikuti pelatihan. Maka diambil kesepakatan pelatihan dilaksanakan hari Senin, Rabu, dan Jumat. Partisipan juga mengusulkan acara pelatihan dilaksanakan pada pagi hari karena menurut partisipan kemampuan berpikir lebih baik saat pagi hari. Penulis merencanakan pelatihan dilaksanakan pada bulan Nopember 2012, namun karena satu dan lain hal maka penelitian baru bisa dilaksanakan pada pertengahan bulan Desember 2012 yaitu tanggal 17, 19, 21 Desember 2012. Hal ini menimbulkan kendala yaitu beberapa ibu harus Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 mengambil rapor anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama sehingga pada hari Jumat pelatihan yang sedianya dimulai jam 08.00-11.30 dimulai lebih pagi yaitu jam 07.00-10.30. Awalnya para ibu yang berniat mengikuti pelatihan sebanyak 20 orang, tetapi pada saat pelatihan yang hadir hanya 14 orang karena yang lainnya sedang berhalangan dating dikarenakan sakit, anaknya sakit, ataupun pergi ke luar kota. 3.2.3 Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang berusia 20-40 tahun. Kriteria ini diambil berdasarkan teori Erikson dalam Papalia, Feldman, dan Martorell (2012) bahwa usia tersebut termasuk kelompok dewasa muda yang mempunyai salah satu tugas perkembangan menikah dan mengasuh anak sehingga ibu-ibu pada usia ini membutuhkan informasi mengenai cara mengasuh anak termasuk cara mengatasi masalah-masalah tingkah laku anak, salah satu diantaranya adalah masalah tingkah laku tantrum. Alasan kedua usia dewasa muda juga mempunyai kemampuan berpikir yang baik sehingga mudah menerima materi yang diajarkan. Pemikiran pada usia ini jauh lebih kompleks dan lebih luas untuk memahami dan mengangani suatu peristiwa atau kejadian sehingga ibu mampu mendidik anak atau menyelesaikan masalah anak jika memperoleh informasi yang cukup. 3.2.4 Sampel Penelitian Penelitian mengatasi temper tantrum ini mengambil sampel 14 orang. Rencana awal peneliti akan mengambil sampel 12 orang. Menurut Gazda (1989) dalam Supratiknya (2011) ukuran kelompok yang ideal untuk seorang fasilitator adalah 6-8 orang untuk kelompok kecil dan 12-14 orang untuk kelompok besar. Pelatihan ini mengambil sampel kelompok besar karena fasilitator pelatihan ada 2 orang dan dibantu juga dengan 2 orang kofasilitator. Jumlah partisipan diambil genap untuk memudahkan dalam bermain peran berpasangan pada salah satu sesi pelatihan. Selain itu efektivitas waktu juga menjadi bahan pertimbangan karena menyesuaikan dengan waktu yang dialokasikan untuk bermain peran yaitu 60 menit. Fasilitator dan kofasilitator yang merekam partisipan dalam bermain peran berjumlah 3 orang, maka pada sesi pertama dapat direkam 6 orang atau 3 pasang. Demikian pula pada sesi kedua, sehingga setiap fasilitator dan Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 kofasilitator merekam 2 pasangan. Sepasang partisipan memerlukan waktu 10 menit untuk berperan sebagai ibu dan 10 menit sebagai anak demikian seterusnya bergantian, maka sepasang partisipan membutuhkan waktu 20 menit untuk bermain peran, dua pasang partisipan membutuhkan waktu 40 menit ditambah waktu persiapan dan lain-lain maka genap 60 menit. Waktu pelatihan dimulai pada hari pertama telah hadir 14 orang maka 2 orang kofasilitator merekam dua pasang ibu dan fasilitator merekam 3 pasang ibu. Fasilitator merekam 3 pasang partisipan jadi ada tambahan waktu sehingga fasilitator memerlukan waktu 60 menit untuk merekam ditambah persiapan ketika akan merekam 20 menit maka waktu bermain peran menjadi 80 menit. Jadwal pelatihan pada hari pertama dan ketiga mengalami perpanjangan waktu 20 menit dari rencana semula. 3.3. Jenis dan Desain Penelitian Sub bab jenis dan desain penelitian ini berisi beberapa aspek yang terkait dengan penelitian dengan urutan jenis penelitian, desain penelitian, prosedur penelitian, tahap persiapan penelitian, materi pelatihan, waktu pelaksanaan pelatihan, dan sarana pendukung. 3.3.1 Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini merupakan penelitian terapan atau applied research karena hasil dari penelitian ini diharapkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan memahami sifat serta sumber-sumber yang berasal dari manusia dan sosial (Fauzi, 2011). 3.3.2 Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah pre-eksperimental, yaitu hanya memiliki satu kelompok perlakuan dan tidak ada kelompok kontrol dengan menggunakan desain penelitian one group pretest-postest design, yaitu menggunakan satu kelompok subjek penelitian sebagai kelompok eksperimental tanpa adanya kelompok kontrol, pada desain penelitian ini mendapatkan: (a) evaluasi praperlakuan (b) perlakuan (pelatihan) (c) evaluasi setelah mendapat perlakuan Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 satu grup akan Kegiatan evaluasi dilakukan sebanyak dua kali. Evaluasi pertama dilakukan sebelum pelatihan dimulai, lalu kemudian program pelatihan diberikan kepada subjek. Setelah pelatihan diadakan kembali evaluasi dengan pertanyaan yang sama untuk melihat perubahan pengetahuan ibu. Dalam one group pretest posttest, kegiatan didalamnya akan dikontrol oleh kondisi sebelum dan sesudah evaluasi. Kondisi pretest dan posttest sangat dipengaruhi oleh latar belakang subjek yang terlibat didalamnya yang mempunyai karakteristik yang sama, misalnya kelompok usia dan pendidikan terakhir. Penelitian ini memilih subjek para ibu dengan usia dan tingkat pendidikan yang hampir sama. Furlong (2000) menyatakan bahwa desain penelitian yang menilai keefektivitasan suatu intervensi dengan cara membandingkan skor yang didapatkan setelah intervensi dengan skor sebelum intervensi dinamakan one group pretest posttest design. 3.4. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini membahas mengenai tahap persiapan, tahap pembuatan program, dan tahap evaluasi pelatihan. Penelitian ini menggunakan intervensi melalui program pelatihan komunikasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam menghadapi anak temper tantrum usia prasekolah. 3.4.1. Tahap Persiapan Penelitian Persiapan penelitian ini diawali dengan identifikasi dan analisis kebutuhan. Hasil identifikasi dan analisis kebutuhan ini akan dipakai sebagai pedoman untuk membuat modul pelatihan komunikasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam mengatasi anak temper tantrum anak usia prasekolah. Agar pelatihan komunikasi efektif ini berjalan secara efektif, maka dibutuhkan beberapa langkah pelaksanaan penelitian sebagai berikut: a. Identifikasi dan analisis kebutuhan. Langkah pertama yang dilakukan dalam menyusun program pelatihan adalah identifikasi dan analisis kebutuhan dari peserta pelatihan. Analisis kebutuhan diawali dengan wawancara mengenai masalah-masalah tingkah laku anak usia prasekolah yang dihadapi para ibu di wilayah kelurahan Pancoran Mas. Hasil wawancara dari 10 orang ibu tersebut Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 diperoleh data mengenai masalah tingkah laku anak. Lima masalah yang paling banyak dikeluhkan adalah masalah tantrum (ibu-ibu menyebutnya menangis, marah, ngambek, ngamuk), tidak patuh pada orang tua, susah makan (pilih-pilih makanan), mengompol, dan bertengkar dengan kakak. Lebih dari separuhnya (70%) mengatakan anak mereka masih sering tantrum di rumah maupun di tempat-tempat umum meskipun usia anak lebih dari 5 tahun. Sisanya mengatakan sudah jarang. Hasil wawancara juga menunjukan penyebab terbesar tantrum adalah karena keinginannya tidak bisa dipenuhi dengan segera (60%), misalnya minta dibelikan mainan atau makanan, atau mengajak pergi ke suatu tempat, dan keasyikannya terganggu (40%) misalnya disuruh berhenti bermain karena hendak pulang ke rumah. Hasil wawancara juga menunjukan para ibu tidak tahu persis apa yang harus dilakukan ketika anak mereka melakukan tantrum. Mereka melakukan tindakan berdasarkan perasaan saja. Jika sedang sabar, para ibu menasehati atau mendiamkan saja, Namun jika sudah kesal, ibu memarahi atau mencubit anak. Ini menunjukan bahwa diperlukan suatu pelatihan untuk mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah. Hasil analisis kebutuhan menunjukan perlunya dibuat pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum. b. Merumuskan tujuan pelatihan Program pelatihan mengatasi tantrum ini memiliki tujuan agar dapat meningkatkan pengetahuan para ibu di wilayah Kelurahan Pancoran Mas dalam mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah. c. Merancang program pelatihan Tahapan perancangan program pelatihan ini terdiri dari beberapa bagian yakni penetapan materi, peserta pelatihan, fasilitator, waktu pelaksanaan, dan sarana pendukung. 3.4.2. Tahap Pembuatan Program Pelatihan Tahap pembuatan program terdiri atas rancangan program, sarana pendukung dan alat bantu pelatihan, fasilitator pelatihan, serta waktu pelaksanaan. Berikut ini akan diuraikan tahaptahap tersebut: Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 1. Rancangan program Merancang program pelatihan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam proses penelitian. Prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Peneliti memberikan pretest berupa kuesioner terbuka kepada partisipan untuk mengukur sejauh mana pengetahuan ibu tentang anak temper tantrum, dan behavior checklist untuk menilai cara peserta menghadapi anak temper tantrum pada saat bermain peran, sebagai data tambahan. b. Peneliti memberikan perlakuan atau intervensi kepada partisipan yakni melalui Program pelatihan komunikasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam berkomunikasi dengan anak usia prasekolah selama 3 hari berselang satu hari berturut-turut. c. Peneliti kemudian memberikan posttest berupa kuesioner terbuka yang daftar pertanyaannya sama dengan pretest untuk mengukur pengetahuan para ibu tentang anak temper tantrum setelah pelatihan. Peneliti juga memberikan posttest dengan behavior checklist untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu dalam mengatasi anak temper tantrum dengan komunikasi efektif setelah pelatihan. d. Peneliti kemudian membandingkan pretest dengan posttest untuk mengetahui perbedaan yang terdapat diantara keduanya, jika terdapat perbedaan maka hal tersebut akibat dari adanya perlakuan yakni program pelatihan komunikasi efektif ini. e. Dilakukan tes statistik yang sesuai yakni paired sample t-test untuk mengetahui apakah dari perbedaan yang ditemukan bersifat signifikan atau tidak. Kumar (2005) menyatakan bahwa mayoritas penelitian pada ilmu sosial adalah terapan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen yang menggunakan jenis penelitian terapan (applied research). Dalam penelitian terapan teknik penelitian, prosedur, dan metode-metode yang terdapat pada metodologi penelitian diterapkan untuk mengumpulkan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi situasi, isu-isu, atau masalah. Informasi-informasi tersebut dikumpulkan dan digunakan untuk meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang terjadi (Kumar, 2005). f. Dilakukan analisis kualitatif berupa wawancara kepada 4 orang ibu, yaitu 2 orang ibu dengan skor kuesioner dan behavior checklist tertinggi dan 2 orang ibu dengan skor kuesioner dan behavior checklist terendah. Hasil wawancara akan digunakan untuk Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 analisis jalannya pelatihan, motivasi partisipan mengikuti pelatihan, dan penerapan hasil penelitian dalam rumah tangga partisipan. 2. Fasilitator pelatihan Fauzi (2011) menyatakan bahwa fasilitator atau pelatih merupakan orang yang memberikan bantuan dalam memperlancar proses komunikasi sekelompok orang, sehingga mereka dapat memahami atau memecahkan masalah bersama-sama. Pada pelatihan ini, fasilitator dipilih individu yang memiliki latar belakang psikologi pendidikan anak usia dini. Ada 2 orang yang bertugas sebagai fasilitator dengan latar belakang sebagai berikut: a. Fasilitator 1 adalah peneliti sendiri dengan alasan peneliti mempunyai latar belakang psikologi pendidikan anak usia dini dan memahami materi temper tantrum dan komunikasi efektif yang telah disusun sendiri. b. Fasilitator 2 adalah master psikologi pendidikan anak usia dini Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dengan tujuan untuk menerangkan tugas perkembangan dan karakteristik anak usia prasekolah. Fasilitator 2 dipilih master psikologi pendidikan anak usia dini karena dianggap mampu menerangkan materi tugas perkembangan dan karakteristik anak usia prasekolah dengan baik. c. Kofasilitator. Selain fasilitator, pelatihan komunikasi efektif ini juga dibantu oleh beberapa kofasilitator. Tugas kofasilitator adalah memberi bantuan teknis pada saat pelatihan berlangsung. Pelatihan ini melibatkan 5 orang kofasilitator, 2 orang mahasiswa magister psikologi anak usia dini Universitas Indonesia dan 3 orang kader PKK dan posyandu RW 4. Pelatihan ini melibatkan kofasilitator mahasiswa magister psikologi anak usia dini karena mereka punya dasar ilmu yang sama dengan peneliti untuk membantu merekam, memeriksa, serta mengumpulkan pretest dan posttest. Sedangkan kader PKK dan posyandu setempat membantu persiapan pelatihan seperti absen pesera, pembagian modul pada awal acara dan pengumpulan modul pada akhir acara, konsumsi, dan dokumentasi sehingga penelitian berjalan lancar serta peneliti dapat fokus pada materi dan jalannya pelatihan. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 3. Waktu pelaksanaan pelatihan Waktu pelatihan ditetapkan hari tiga hari berselang-seling satu hari yaitu hari Senin, Rabu, dan Jum’at tanggal 17, 19, dan 21 bulan Desember 2012 pada pukul 08.00-12.00 kecuali hari Jumat yaitu pada pukul 07.00-10.30. Penetapan waktu pelatihan ditentukan berdasarkan rapat peneliti dengan partisipan. Partisipan meminta pelatihan diselenggarakan pada hari kerja. Hal ini disebabkan pada hari libur partisipan sibuk dengan pekerjaan rumah tangga karena suami dan anak-anak kumpul di rumah. Pelatihan diselenggarakan berselang satu hari karena belajar akan lebih efektif apabila periode-periode belajar disusun terpencar, tetapi periode-periode belajar itu tidak boleh terlalu dekat atau terlampau terpencar (Mustaqim & Abdul Wahid, 2010). Partisipan memerlukan waktu untuk beristirahat lebih dahulu setelah mempelajari suatu bahan pelajaran, baru memulai bahan yang lain sehingga bahan yang dipelajari lebih dahulu dapat mengendap. Belajar yang terpencar juga untuk mencegah kelelahan dan kebosanan (Mustaqim & Abdul Wahid, 2010). 4. Sarana Pendukung Sarana pendukung pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi anak temper tantrum ini memerlukan sarana pendukung sebagai berikut: a. Materi Pelatihan, terdiri dari: - Modul pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi anak temper tantrum usia prasekolah bagi fasilitator dan kofasilitator. - Modul pelatihan bagi para ibu yang berisikan kegiatan-kegiatan yang harus mereka lakukan pada setiap sesi pelatihan ini. Selain itu, didalamnya juga terdapat materi perkembangan anak prasekolah, perilaku temper tantrum anak usia prasekolah, jenis, penyebab, faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta mengapa temper tantrum harus diatasi sedini mungkin dan komunikasi efektif. - Kuesioner pertanyaan terbuka pretest dan posttest mengenai pengetahuan ibu dalam mengatasi anak temper tantrum yaitu untuk mengukur efektifitas pelatihan pada ranah - kognitif. Selain itu terdapat pula behavioral checklist pre-test dan posttest mengenai pengetahuan ibu tentang cara mengatasi anak temper tantrum melalui komunikasi efektif Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 lewat adegan bermain peran untuk mengukur efektifitas pelatihan pada ranah psikomotor. Terakhir dilakukan wawancara setelah pelatihan kepada dua orang ibu dengan skor posttest tertinggi dan dua orang dengan skor posttest terendah untuk mengetahui manfaat pelatihan yang dirasakan oleh ibu. b. Media Pembelajaran, terdiri dari : - Media audiovisual yang merupakan petikan film singkat mengenai rekaman kegiatan posttest cara komunikasi efektif pada waktu anak temper tantrum dari para peserta pelatihan. - Aneka lembar kerja bagi para peserta yang meliputi lembar kerja individu maupun kelompok. - Modul dan buku materi untuk ibu dan kofasilitator - Perlengkapan presentasi seperti LCD, laptop, speaker dan mikrofon. - Alat-alat lainnya seperti, kertas HVS, pulpen, stiker, spidol, gunting, alat permainan (bola plastik kecil, kentang, sedotan), penghapus, dan tip-ex. c. Tata Ruang Ruangan yang digunakan adalah ruang tamu rumah ketua RW Siaga dengan luas ruangan 35 meter persegi. Awalnya pelatihan akan diselenggarakan di Masjid Al Amal di wilayah RW 4, kelurahan Pancoran Mas. Tetapi pada hari Jumat masjid tidak bisa dipinjam karena akan dipakai untuk sholat Jumat. Para ibu merasa repot jika harus ganti-ganti tempat, maka tempat dipindahkan ke rumah ketua RW Siaga di wilayah RW 04 yang berjarak 100 meter dari masjid. Ruangan yang digunakan telah dilengkapi 2 buah kipas angin serta 1 buah mikrofon. Lantai ruangan dilapisi tikar rotan sehingga para peserta pelatihan dapat melakukan seluruh aktivitas pelatihan dengan posisi duduk. Pada sisi dinding ditempeli beberapa poster yang berisikan kalimat-kalimat ataupun gambar-gambar yang berhubungan dengan anak temper tantrum. Poster-poster tersebut bertujuan untuk menghidupkan suasana pelatihan. Selain itu, pencahayaan dan ventilasi ruangan juga cukup baik sehingga ruangan terang dan nyaman. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 3.5. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode kuantitatif dan kualitatif. Metode pengumpulan data kuantitatif adalah metode kuesioner dan behavioral checklist. Menurut Fauzi (2011) keuntungan penggunaan metode kuesioner ini adalah (1) murah dan cepat daripada metode wawancara, (2) tidak membutuhkan investigator yang terlatih, dan (3) Mudah untuk menganalisis hasil kuesioner. Alat ukur behavioral checklist digunakan sebagai data tambahan untuk mengukur pengetahuan ibu dalam mengatasi anak temper tantrum dengan metode komunikasi efektif dalam praktek dengan metode main peran. Analisis kualitatif menggunakan metode wawancara untuk mengetahui efektifitas dan manfaat pelatihan yang dirasakan oleh partisipan, motivasi partisipan dalam mengikuti pelatihan, dan hambatan atau kesulitan yang dihadapi dalam menerapkan hasil pelatihan di rumah tangga partisipan. 3.6 Alat Ukur Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu kuesioner pertanyaan terbuka, behavioral checklist, dan wawancara. Kuesioner pertanyaan terbuka digunakan untuk mengetahui sejauh mana perubahan tingkat pengetahuan para ibu mengenai tingkah laku tantrum pada saat sebelum dan setelah pelatihan yang diambil dari buku yang ditulis oleh Borba (2009). Kuesioner pertanyaan terbuka terdiri atas 6 buah pertanyaan terbuka.. Jawaban diberi skor sesuai jawaban yang benar. Tabel 3.1. Kisi-kisi Kuesioner Pengetahuan Ibu Mengenai Anak Temper tantrum No Pertanyaan Skor 1 Pertanyaan ke-1: pengenalan tingkah laku tantrum 1 2 Pertanyaan ke-2: penyebab tantrum 3 3 Pertanyaan ke-3: faktor yang mempengaruhi tantrum 3 4 Pertanyaan ke-4: cara mencegah tantrum 4 5 Pertanyaan ke-5: cara mengatasi 12 6 Pertanyaan ke-6: alasan tantrum harus diatasi dengan segera 2 Total skor 25 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Alat ukur kedua berupa behavioral checklist digunakan sebagai data tambahan untuk mengetahui sejauh mana perubahan pengetahuan ibu tentang cara mengatasi anak tantrum melalui komunikasi efektif pada saat sebelum dan setelah pelatihan. Alat ukur ini disusun berdasarkan pengelompokan komunikasi efektif Gordon (1993) dan Miller (2000) serta jurnal yang ditulis oleh Barker (2012) dan Pantley (2007). Behavioral checklist ini diisi berdasarkan adegan bermain peran yang dilakukan oleh para ibu pada saat sebelum dan setelah pelatihan . Behavioral checklist ini diisi dengan memberi tanda centang (V) pada kolom ya atau kolom tidak. Jawaban benar diberi nilai satu dan jawaban salah diberi nilai 0 (nol). Tabel 3.2. Kisi-Kisi Behavioral Checklist Perubahan Perilaku Ibu dalam Mengatasi Anak Temper tantrum Melalui Komunikasi Efektif dengan Metode Bermain Peran Pernyataan Skoring Mendengar Aktif ( 5 buah pernyataan) Contoh : Jika Ya nilai 1 Ibu memulai pembicaraan. Misal: “Ada apa nak?” Jika Tidak nilai 0 Perilaku yang Harus dihindari Ketika Mendengarkan Anak (3 buah pernyataan) Contoh : Jika Ya Nilai 0 Ibu memandang ke arah lain (televisi atau hand phone) Jika Tidak nilai 1 Mengenali dan Menerima Perasaan (3 buah pernyataan) Contoh: Jika Ya nilai 1 Ibu berkata: “Adik sedih karena ……….. ya?” Jika Tidak nilai 0 Contoh : Jika Ya nilai 0 Ibu menggunakan kata “jangan” atau “tidak” Jika Tidak nilai 1 Instruksi Positif (2 buah pernyataan) Komunikasi Asertif (9 buah pernyataan) Contoh : Ibu menyentuh bahu anak ketika bicara Jika Ya nilai 1 Jika Tidak nilai 0 Mengelola Konflik Secara Positif (5 buah pernyataan) Contoh : Jika Ya nilai 1 Ibu tetap tenang ketika anak tantrum Jika Tidak nilai 0 Total pernyataan 27 buah Total skor 27 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Alat ukur sebelum digunakan diuji reliabilitas dan validitasnya. Uji reabilitas dan validitas dilakukan melalui kegiatan uji coba terhadap alat ukur yang akan digunakan dalam pelatihan. Kegiatan ini dilakukan agar pertanyaan yang terdapat dalam alat ukur mampu dipahami dengan baik oleh para responden. Kegiatan ini diujicobakan pada 6 (enam) orang ibu yang memiliki kemiripan karakteristik dengan para peserta pelatihan. Alat ukur kuesioner pertanyaan terbuka diujicobakan kepada enam orang ibu dengan cara meminta mereka untuk menjawab sekitar 6 (enam) pertanyaan essay. Sedangkan untuk alat ukur behavioral checklist diujicobakan kepada sekelompok ibu yang sama dengan cara meminta mereka untuk menangani anak mereka yang sedang tantrum. Peneliti merekam beberapa adegan di mana terdapat kejadian sang anak sedang tantrum lalu ibu mencoba untuk menangani hal tersebut. Rekaman tersebut lalu dinilai oleh peneliti dan 1 (satu) orang kofasilitator dengan memberikan skoring nilai 1 untuk jawaban “ya” dan nilai 0 untuk jawaban “tidak”. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana reabilitas dari alat ukur yang telah disusun. Melalui kegiatan ujicoba alat ukur ini akan diketahui item pertanyaan yang sebaiknya harus diubah, dikurangi, ataupun ditambah. Penentuan reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini ditentukan dengan 2 (dua) metode yakni pengolahan data statistik dengan SPSS versi 17.00 dan inter-rater reability. Berdasarkan hasil pengolahan data statistik terhadap kuesioner pertanyaan terbuka, maka didapatkan bahwa nilai r = 0.8. Berdasarkan kategorisasi reliabilitas alat ukur maka dapat dikatakan kuesioner pertanyaan terbuka ini bersifat reliable. Alat ukur behavioral checklist diukur reliabilitasnya dengan menggunakan inter-rater reability. Behavioral checklist ini dikatakan telah reliable jika skornya mencapai angka ≥ 80% kesamaan jawaban antara pengamat 1 dan 2. Dalam kegiatan ini peneliti serta 1 orang pengamat lainnya menyaksikan beberapa rekaman ibu yang sedang berusaha menentramkan anaknya yang sedang tantrum. Setelah pengisian dilakukan lalu dilakukan pemeriksaan kesamaan jawaban diantara kedua pengamat. Dari skoring yang dilakukan didapat bahwa skor alat ukur tersebut bernilai 80% sehingga dapat dikatakan alat ukur ini sudah reliable. Pada akhirnya ada beberapa pertanyaan yang diubah struktur kalimatnya agar tidak ambigu serta terdapat 8 pernyataan pada behavioral checklist yang dihapus. Kuesioner pertanyaan terbuka akan diolah dengan data statistik dengan menggunakan standar yang ditulis oleh Hastono (2007) mengenai acuan reliabilitas sebagai berikut: Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Rentang r Kategori r < 0,7 Tidak reliable 0,7 ≤ r < 0.799 Cukup reliable 0.8 ≤ r < 0.899 Reliabel r ≥ 0.9 Sangat Reliabel Tabel 3.3 Kategorisasi Reabilitas Alat Ukur Uji coba alat ukur, selain untuk mengukur reliabilitas juga digunakan untuk mengukur validitas. Sebuah alat ukur dikatakan valid jika ia mampu mengukur apa yang ingin diukur oleh peneliti (Furlong, 2000). Penentuan item-item yang bersifat valid ini menggunakan standar yang ditentukan oleh Hastono (2007) yakni sebuah alat ukur dikatakan valid jika nilai r≥ 0.60. Berdasarkan perhitungan statistik dengan menggunakan SPSS diperoleh validitas terhadap alat ukur pertanyaan terbuka yakni dengan nilai r = 0.7 Hal ini menunjukkan bahwa alat ukur pertanyaan terbuka tersebut bersifat valid. Pasca pelatihan, seminggu setelah pelatihan dilakukan wawancara kepada 4 orang ibu yaitu 2 orang ibu yang mempunyai skor kuesioner dan behavior checklist tertinggi dan 2 orang ibu dengan nilai kuesioner dan behavior checklist terendah untuk mengetahui efektivitas dan manfaat pelatihan yang dirasakan partisipan. Kisi-kisi pertanyaan dalam wawancara dijabarkan dalam tabel 3.3. Tabel 3.4. Kisi-Kisi Wawancara dengan Partisipan Pasca Pelatihan No Pertanyaan 1 Pertanyaan 1 : kesan ibu tentang pelatihan 2 Pertanyaan 2 : manfaat pelatihan 3 Pertanyaan 3 : hambatan atau kesulitan ketika menerapkan hasil pelatihan di rumah Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 3.7. Metode Analisis Data Analisis data kuantitatif yakni berupa skor pengetahuan ibu mengenai cara mengatasi anak temper tantrum dibuat dalam bentuk grafik batang untuk melihat apakah ada kenaikan pretest dan posttest, kemudian dilakukan uji t dengan SPSS 17. Uji t dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya perbedaan skor pengetahuan ibu dalam mengatasi anak temper tantrum tersebut, sebelum dan sesudah pemberian intervensi melalui pelatihan. Selain itu analisis data kuantitatif ini juga dilakukan terhadap data tambahan yakni skor perubahan perilaku ibu dalam mengatasi anak temper tantrum melalui komunikasi efektif yang terdapat pada behavior checklist. Metode analisis data yang digunakan adalah paired sample t-test. Paired sample t-test ini merupakan metode analisis data yang digunakan untuk membandingkan mean dari suatu sampel yang berpasangan (paired) pada data normal. Sampel berpasangan adalah sebuah kelompok sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda (Furlong, 2000). Analisis data kualitatif disusun berdasarkan jawaban-jawaban dari partisipan yang diwawancara. 3.8. Materi Kegiatan Materi kegiatan adalah materi-materi yang diberikan dalam kegiatan pelatihan mengatasi anak temper tantrum. Materi kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini disusun sebagai berikut: pendahuluan, materi anak emas, materi anak temper tantrum, komunikasi efektif , mengatasi anak temper tantrum, dan penutup. a. Pendahuluan Kegiatan pendahuluan pada pelatihan ini diawali dengan perkenalan fasilitator, kofasilitator, dan peserta pelatihan. Tujuan pendahuluan ini adalah mencairkan suasana dan mengakrabkan peserta. Fauzi (2011) menyatakan bahwa dalam pelatihan diperlukan pencairan suasana agar lebih santai, terbuka, informal, transparan, tidak ada ketakutan, dan lain sebagainya sehingga tercipta suasana kondusif yang memungkinkan peserta pelatihan terlibat aktif tanpa ada beban. Kegiatan pendahuluan ini dipandu oleh fasilitator Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 melalui permainan perkenalan. Selain itu, di dalam kegiatan pendahuluan ini pun berisi aktivitas-aktivitas mengenai kesepakatan bersama, harapan, dan komitmen para peserta terhadap pelatihan ini. Kesepakatan bersama ini merupakan beberapa aturan yang disepakati oleh para peserta pelatihan seperti komitmen peserta untuk datang tepat waktu, penggunaan alat komunikasi, keaktifan peserta, dan pemberian hadiah atau hukuman. Aturan-aturan yang telah disepakati tersebut akan menjadi peraturan tata tertib selama pelatihan berlangsung. b. Materi Anak Emas Materi yang diberi judul Anak Emas ini berisi aspek-aspek perkembangan anak usia dini khususnya anak usia prasekolah. Pemberian materi ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai aspek-aspek perkembangan anak usia prasekolah pada ranah fisik motorik, kognitif, dan psikososial. Materi ini juga berisikan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak usia dini sehingga para peserta dapat memahami keunikan dari setiap anak. Sumber utama penyusunan materi ini berasal dari buku Human Development yang ditulis oleh Papalia, Olds, & Feldman (2012). Materi perkembangan anak usia dini ini merupakan pembekalan bagi para ibu untuk memahami proses perkembangan anak sehingga para ibu mendapatkan gambaran utuh mengenai tahapan perkembangan anak dan pentingnya pendidikan pada anak usia dini. Selain itu juga dipaparkan materi mengenai nutrisi yang diperlukan oleh anak usia dini agar ibu memahami dan bisa memenuhi kebutuhan nutrisi anak usia dini sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak normal sesuai dengan usianya. Anak yang pertumbuhan dan perkembangannya normal akan dapat dilatih berkomunikasi dengan baik dibandingkan dengan anak yang pertumbuhan dan perkembangannya mengalami keterlambatan. c. Materi Anak Temper tantrum Materi ini berisikan penyebab anak temper tantrum, perkembangan temper tantrum, dan faktor-faktor yang mempengaruhi dan mengapa temper tantrum perlu diatasi sedini mungkin. Pemberian materi anak temper tantrum ini bertujuan agar para ibu mempunyai motivasi kuat untuk segera mengatasi tingkah laku temper tantrum anaknya. Selain termotivasi, para ibu diharapkan mengetahui tentang penyebab, perkembangan temper Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 tantrum, dan faktor-faktor yang mempengaruhi anak temper tantrum agar ibu bisa memahami mengapa anak temper tantrum dan dapat menghindari penyebab temper tantrum sehingga ibu dapat melakukan respon yang tepat dan konsisten sehingga dapat mengatasi tingkah laku tersebut. d. Materi Komunikasi Efektif untuk mengatasi anak temper tantrum Materi ini berisi uraian mengenai cara komunikasi efektif untuk mencegah, menghadapi, dan merubah kebiasaan anak bertingkah laku temper tantrum. Teori komunikasi efektif dengan anak yang dipakai pada penelitian ini adalah teori komunikasi efektif Miller (2005) dan Gordon (1993). Komunikasi efektif terbagi 5 kelompok yaitu mendengar aktif, mengenali dan menamai perasaan, memberikan instruksi positif, komunikasi asertif, dan mengelola konflik secara positif. Kemudian dari komunikasi efektif tersebut diambil sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mengatasi anak temper tantrum (Borba, 2009) sebagai berikut: 1. Tahap pertama adalah menghindari tingkah laku temper tantrum ketika anak mulai menunjukan tanda-tanda akan temper tantrum. Beberapa tips dalam hal ini adalah sebagai berikut: a. Cari tahu penyebab anak temper tantrum - Anak ingin menunjukan kemandirian.. - Pengelaian emosi yang belum matang sehingga ambang batas frustasi rendah dan anak cepat merasa frustasi - Keinginan lebih kuat daripada kemampuan untuk melakukan berbagai hal. - Ketidakmampuan mengekspresikan perasaan, kebuthan atau rasa frustrasi dengan cara lain. - Stres, trauma, penyakit, atau depresi karena perubahan kehidupan yang mendadak karena bencana alam, perceraian, dan lain-lain. - Untuk memperoleh perhatian karena dengan pengalaman sebelumnya, temper tantrum selalu berhasil mendapat perhatian. - Dampak dari stres lingkungan, yaitu stres orang tua karena pekerjaan atau perceraian. - Gagal memahami perintah orang tua. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 - Capek, lapar, bosan, dan mengantuk. - Terlalu banyak atau terlau sedikit pilihan. - Kelainan bawaan, kelainan sistem syaraf, kelainan gizi, kesehatn mental terganggu. - Perubahan rutinitas secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih dulu. - Efek pengobatan. Beberapa obat tertentu pada anak tertentu dapat meningkatkan rasa frustrasi. b. Kenali sifat asli anak, apakah anak anda termasuk anak yang muda, sulit atau perlu waktu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Anak tipe sulit biasanya lebih sering temper tantrum daripada tipe anak lainnya. c. Perhatikan tingkah laku orang tua. Anak meniru orang tuanya. Jika orang tuanya muda “meledak” maka anak pun akan bertingkah laku demikian. d. Cek harapan ibu terhadap anak. Harapan yang terlalu tinggi terhadap anak membuat anak stress karena tidak mampu memenuhi harapang orang tuanya. e. Kenali tanda-tanda anak anda mulai temper tantrum. Beberapa anak menunjukan gejala temper tantrum dengan merengek, menangis, atau mengepalkan tangan. 2. Tahap kedua adalah respon cepat. Ketika anak anda menunjukan tanda-tanda mulai temper tantrum, anda punya waktu beberapa detik untuk menghentikan atau mengalihkan. Cobalah tips di bawah ini: 1. Gunakan teknik menenangkan. Peluk anak dengan lembut, usap punggungnya, atau nyanyikan lagu, turunlah setinggi mata anak dan bicaralah dengan suara pelan dan lembut. 2. Alihkan perhatian anak dan arahkan ke permainan yang disukai, misalnya kita main boneka yuk! 3. Gambarkan perasaan anak, contoh: “Kamu kelihatan lelah. Kamu lelah ya? Yuk kita istirahat dulu.” atau “Adik marah ya?” 4. Ungkapkan keinginan anak dengan kata-kata, misalnya: “Oh kamu ingin ibu mendengarkanmu ya?” atau “Oh adik capek ya, mau pulang?” 5. Hindari terlalu keras pada anak, misalnya memukul, mencubit, berteriak, mengancam dan sebagainya. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 6. Berikan peringatan jika melakukan tingkah laku tantrum dan jika tingkah laku tersebut berulang berikan konsekuensi dari tingkah lakunya. Ketika anak sedang tantrum: 1. Tetap tenang. Berteriak, mencubit, atau memukul justru memperburuk suasana. 2. Pastikan sekeliling anak aman dari benda-benda tajam atau benda-benda yang dapat dilempar. Buatlah “safety zone” untuk anak yang sedang tantrum. 3. Abaikan anak ketika tantrum dimulai. Jangan ada kontak mata, kata-kata, atau reaksi apapun sampai anak berhenti tantrum. Ibu yang bereaksi ketika anak tantrum membuat anak mengulangi tingkah laku tantrum. 4. Jangan menberikan alasan mengapa ibu melarang apa yang anak inginkan ketika anak sedang tantrum, karena anak yang sedang tantrum tidak bisa menerima alasan apapun 5. Pindahkan anak ke tempat yang aman jika tingkah laku tantrum anak melukai atau mengganggu orang lain. 6. Atau anak dipeluk supaya tidak melukai orang lain atau dirinya sendiri, misalnya ketika anak membenturkan badan atau kepalanya ke dinding atau lantai, dan katakan “Kamu sangat marah maka ibu akan memelukmu sekarang sampai kamu tenang” 7. Abaikan komentar orang-orang di sekitar ibu karena komentar-komentar itu tidak ada manfaatnya, fokuslah pada anak. 8. Berikan respon yang konsisten seperti di atas setiap kali anak tantrum. Setelah tingkah laku tantrum selesai: 1. Tarik nafas dalam-dalam ketika anak selesai tantrum. 2. Peluk anak dan jangan berikan komentar apapun. Hindari perkataan “kamu tuh malu-maluin” atau “kok kamu sudah besar masih tantrum sih”. 3. Cobalah untuk menganalisis respon ibu ketika anak tantrum. Apakah ibu tetap tenang dan dapat menahan diri? Apakah ibu sudah konsisten dalam merespon tingkah laku tantrum anak? 4. Kenali penyebab anak tantrum. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 5. Buat konsekuensi jika anak masih sering tantrum. Konsekuensi yang paling efektif menurut ahli anak usia dini adalah dengan menyuruh anak duduk di kursi hukuman selama beberapa menit sesuai usia anak, misal: anak usia 3 tahun maka duduk di kursi tersebut selama 3 menit. Nama kursi bisa disesuaikan, misalnya: kursi hukuman, kursi tenang, kursi berpikir dan lainlain. 3. Tahap ketiga adalah merubah kebiasaan anak bertingkah laku tantrum 1. Ajarkan anak cara mengatasi frustrasi, misalnya minta tolong ibu atau kakak jika tidak bisa melakukan sesuatu, menangis, atau minta dipeluk ibu jika sedang sedih, dan lain-lain. 2. Berikan pujian ketika anak dapat mengucapkan kebutuhan atau perasaannya dengan kata-kata, misalnya : “Adik sudah bisa mengatakan perasaan adik ketika marah, itu bagus sekali!”, “Sini ibu peluk supaya marahnya hilang”, atau “Mari ibu bantu apa yang adik gak bisa kerjakan”. 3. Bekerjasamalah dengan pendidik di sekolah jika anak ibu sudah sekolah atau tempat pengasuhan anak tentang cara menghadapi anak ibu yang sedang tantrum. 4. Tetaplah pada langkah-langkah yang sudah dilakukan dan carilah pertolongan ahli jika tidak ada perubahan. Tingkah laku yang positif dapat berkembang tergantung pada beberapa faktor, yaitu frekuensi temper tantrum sering dan tingkah laku tantrumnya membahayakan diri anak atau lingkungan sekitarnya dan kekonsistenan respon ibu dalam menghadapi anak tantrum. Oleh karena itu, tandai kalender setiap anak melakukan tingkah laku tantrum dan tulislah lama berlangsungnya tingkah laku tersebut. Kekonsistenan ibu dalam menghadapi anak tantrum paling berperan dalam mengubah tingkah laku ini. e. Penutupan Penutupan pelatihan berisi tentang kegiatan evaluasi secara keseluruhan mengenai proses pelatihan. Sudjana dalam Fauzi (2011) mendefinisikan evaluasi sebagai kegiatan sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data yang diperlukan Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 sebagai bahan masukan untuk pengambilan suatu keputusan. Fauzi (2011) menjelaskan bahwa evaluasi pelatihan mencakup 2 tujuan yakni tujuan edukasional dan tujuan operasional. Tujuan edukasional berhubungan dengan perubahan-perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku sebagai hasil mengikuti pembelajaran dalam pelatihan. Evaluasi dengan tujuan edukasional ini dilakukan dengan menggunakan angket posttest mengenai pengetahuan ibu mengenai komunikasi efektif untuk menghadapi dan mencegah anak tantrum dan wawancara kepada 2 orang ibu dengan skor kuesioner dan behavior checklist teringgi dan 2 orang ibu denga skor skor kuesioner dan behavior checklist terendah. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui kesan ibu tentang pelatihan atau hasil pelatihan seperti yang ibu harapkan atau tidak, motivasi ibu mengikuti latihan, dan kesulitan yang dialami oleh para ibu dalam menerapkan hasil pelatihan di rumah. Efektivitas penyelenggaraan pelatihan juga dilihat dengan metode pengisian kuesioner pada setiap akhir pelatihan yang meliputi pelaksanaan kegiatan, performa fasilitator, materi pelatihan, serta metode yang digunakan dalam pelatihan. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA Pada bab ini akan dipaparkan mengenai laporan hasil penelitian serta analisis data. Laporan hasil penelitian meliputi data demografi para ibu sebagai peserta pelatihan serta skoring hasil pretest dan posttest terhadap tingkat pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum. Analisis data mencakup pengolahan data dengan sample paired t-test beserta analisisnya. 4.1.Gambaran Umum Partisipan Pelatihan ini diadakan selama 3 (tiga) hari berselang-seling. Pelatihan selama 3 (tiga) hari ini dihadiri oleh 14 (empat belas) orang ibu sebagai peserta pelatihan. Semua data dari ke-14 orang ibu tersebut merupakan data valid yang seluruhnya diikutsertakan dalam analisis data. Berikut ini disajikan data demografi dari para peserta pelatihan ini yang mencakup kategorisasi usia, latar belakang pendidikan, jenis pekerjaan, dan jumlah anak yang dimiliki: 4.1.1. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Usia Para ibu yang mengikuti pelatihan ini adalah para ibu yang sedang dalam tahap dewasa muda yakni dengan rentang usia antara 20 – 40 tahun. Berikut ini disajikan persentase usia para ibu berdasarkan rentang usia 5 tahunan: Persentase Usia Para Ibu Berdasarkan Rentang Usia 7.14% 20-25 tahun 28.57% 35.71% 28.57% 26-30 tahun 31-35 tahun 36-40 tahun Gambar 4.1: Persentase Usia Para Ibu Berdasarkan Rentang Usia Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Berdasarkan Gambar 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa mayoritas para ibu berada dalam rentang usia 26 – 30 tahun (35.71%) di mana mayoritas mereka adalah para ibu muda. Secara terperinci, terdapat 1 orang ibu yang berada dalam rentang usia 20-25 tahun, 5 orang ibu dalam rentang usia 26-30 tahun, 4 orang ibu dalam rentang usia 31-35 tahun, serta 4 orang ibu dalam rentang usia 36-40 tahun. Secara keseluruhan para ibu berada dalam periode perkembangan dewasa muda sesuai dengan perencanaan penelitian yang telah disusun. Fase dewasa muda mempunyai tingkat pemikiran operasi formal sehingga diharapkan para ibu menyerap materi pelatihan dan dapat menerapkan di rumah meskipun dengan kondisi yang berbeda. 4.1.2. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Partisipan adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah dengan latar belakang pendidikan yang dijelaskan melalui gambar diagram seperti berikut: Persentase Latar Belakang Pendidikan Para Ibu 14.29% 14.29% SMK SLTA D1 71.43% Gambar 4.2: Persentase Latar Belakang Pendidikan Para Ibu Melalui gambar di atas dapat dilihat bahwa mayoritas pendidikan para ibu adalah sampai pada tingkat SLTA yakni sekitar 71,43% (10 orang). Sisanya memiliki latar belakang pendidikan SMK (14, 29%) dan D1 (14, 29%). Latar belakang pendidikan ibu yang mayoritas SLTA ini dapat dikatakan cukup untuk memahami materi pelatihan yang diberikan. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 4.1.3. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Jenis Pekerjaan Ibu-ibu yang mengikuti pelatihan ini memiliki beberapa jenis pekerjaan atau profesi. Jenis-jenis pekerjaan dan profesi itu dapat dilihat pada Gambar 4.3 sebagai berikut: Persentase Jenis Pekerjaan Para Ibu 14.29% 7.14% wiraswasta Ibu rumah tangga Guru TK 78.57% Gambar 4.3: Persentase Jenis Pekerjaan Para Ibu Berdasarkan Gambar 4.3 di atas dapat dilihat bahwa para ibu yang mengikuti pelatihan ini memiliki 3 (tiga) jenis pekerjaan yakni sebagai wiraswasta, ibu rumah tangga, dan guru TK. Mayoritas para ibu berprofesi sebagai ibu rumah tangga yakni sekitar 11 orang ibu dengan persentase sebesar 78,57%. Sementara itu terdapat dua orang ibu yang berprofesi menjadi guru TK dengan persentase sebesar 14,29%. Dua orang ibu yang berprofesi sebagai guru TK ini memiliki jam kerja mulai dari pukul 7.30 - 10.00 selebihnya mereka habiskan waktu dengan mengasuh anak mereka. Selain itu terdapat satu orang ibu (7.14%) yang berprofesi sebagai wiraswasta yakni dengan membuka warung di sekitar rumahnya sambilmengasuh anaknya. 4.1.4. Kategorisasi Partisipan Berdasarkan Jumlah Anak yang Dimiliki Para ibu yang merupakan subjek dalam pelatihan ini adalah kumpulan para ibu yang sedang dalam masa perkembangan dewasa muda di mana mereka mempunyai tugas perkembangan menikah dan mengasuh anak. Persentase jumlah anak yang dimiliki oleh masing-masing ibu dapat dilihat melalui Gambar 4.4 berikut ini: Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Persentase Jumlah Anak yang dimiliki Para Ibu 7.14% 21.43% 1 anak 2 anak 35.71% 3 anak 4 anak 35.71% Gambar 4.4: Persentase Jumlah Anak yang Dimiliki Para Ibu Melalui gambar di atas dapat dipaparkan bahwa mayoritas para ibu memiliki 2-3 anak yakni masing-masing sebanyak 5 orang ibu. Sisanya adalah para ibu yang hanya memiliki 1 anak (21,43%) yakni sekitar 3 orang ibu serta ibu yang memiliki 4 anak (7,14%) yakni hanya 1 orang ibu. Jika dilihat dari jumlah anak yang dimiliki oleh para ibu, mayoritas mereka merupakan golongan keluarga kecil. 4.2. Analisis Data Kuantitatif Pada penelitian ini para ibu berperan sebagai subjek pelatihan mengalami dua kali pengukuran yakni pada saat sebelum dan setelah pemberian intervensi berupa pemberian pelatihan. Paired sample t-test dalam penelitian ini mengukur perubahan pengetahuan para ibu mengenai cara mengatasi tantrum pada anak usia prasekolah. Selain itu juga dilakukan pengukuran sebagai data tambahan yakni perubahan cara atau perilaku para ibu dalam mengatasi anak yang sedang tantrum melalui komunikasi efektif. 4.2.1. Hasil Penelitian Pengetahuan Para Ibu Mengenai Tingkah Laku Tantrum Hasil penelitian mengenai perubahan tingkat pengetahuan para ibu mengenai tingkah laku tantrum diperoleh dari kuesioner pertanyaan terbuka yang terdiri dari 6 (enam) buah pertanyaan essay. Kuesioner tersebut sebelumnya telah diujicobakan kepada sekelompok orang Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 ibu yang memiliki karakteristik yang mirip dengan peserta pelatihan. Kuesioner tersebut juga telah diukur reabilitas serta validitasnya sebelum diberikan kepada partisipan. Penelitian terhadap perubahan pengetahuan para ibu ini dilakukan sebanyak 2 (dua) kali yakni pada saat sebelum dan setelah diberikan intervensi. Hasil perubahan pengetahuan para ibu mengenai tingkah laku tantrum dapat dilihat melalui Gambar 4.5. Sebelum pelatihan skor pengetahuan ibu hanya berada dikisaran 2 – 7 poin sedangkan setelah diberikan intervensi skor meningkat tajam menjadi berada dalam kisaran 11 – 25 poin. 25 Gambar 4.5 Data Pengetahuan Ibu Mengenai Tantrum Skor Jawaban Benar (Nilai Maksimal=25) 20 15 Pre Test Post Test 10 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Partisipan Gambar 4.5: Skor Pengetahuan Para Ibu Mengenai Cara Mengatasi Anak Temper tantrum (Pretest dan Posttest) Melalui gambar grafik batang tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan para ibu mengenai tingkah laku tantrum mengalami perubahan yang cukup besar, namun belum diketahui apakah perubahan tersebut signifikan atau tidak signifikan, untuk mengetahui perubahan signifikansi maka dilakukan analisis statistik dengan SPSS 17. Penjelasan lebih lanjut mengenai Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 perubahan pengetahuan para ibu ini dilakukan dengan pengolahan data melalui metode sample paired t-test pada Tabel 4.1 berikut ini: Tabel 4.1 Skor Pengetahuan Para Ibu Mengenai Temper tantrum N Pretest Posttest Mean of T Sig (p) Correlation -8.815 0.000 0.068 Differences (Pre-Post) 14 2.8571 13.5714 -10.71429 Tabel di atas menunjukan skor pretest yakni sebesar 2.8571 dan skor posttest memiliki skor 13.5714. Dalam hal ini nilai posttest memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibanding nilai pretest, hal ini menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan para ibu antara sebelum dan setelah diberikan intervensi berupa pelatihan. Berdasarkan kegiatan pretest dan posttest terdapat perbedaan skor yakni sebesar -10.71429 yang dapat dilihat pada kolom mean of difference. Tanda negatif tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara sebelum dan setelah pemberian intervensi yakni sebesar 10.71429. Selain itu, nilai t sebesar -8.815 dengan nilai p = 0.000 (p ≤ 0.05) menunjukkan telah terjadi perubahan signifikan terhadap pengetahuan ibu mengenai cara mengatasi anak temper tantrum pada saat sebelum dan setelah pelatihan. Nilai correlation sebesar 0.068 menunjukkan hubungan antara kegiatan pretest dan posttest sebesar 0.068. 4.2.2. Hasil Penelitian Perubahan Cara Para Ibu dalam Mengatasi Tantrum dengan Komunikasi Efektif Hasil penelitian mengenai perubahan perilaku para ibu dalam mengatasi anak temper tantrum melalui metode bermain peran ini dilakukan oleh fasilitator utama dan 2 (dua) orang kofasilitator. Alat ukur yang digunakan dalam olah data perubahan perilaku ibu ini adalah behavioral checklist yang sebelumnya telah diuji reabilitasnya melalui metode inter-rater reability. Gambar 4.6 ini menunjukan hasil perolehan skor perubahan perilaku para ibu dalam melakukan komunikasi efektif untuk mengatasi tantrum melalui metode bermain peran: Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Gambar 4.6 27 Behavior Check List Komunikasi Efektif Untuk Mengatasi Tantrum Skor Tingkah Laku Yang Tepat (Nilai Maksimal=27) 24 21 18 15 Pre Test Post Test 12 9 6 3 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Partisipan Gambar 4.6: Skor Behavior Checklist Pre-test dan Posttest Komunikasi dengan Anak Temper tantrum Melalui Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa terjadi grafik peningkatan perubahan perilaku para ibu dalam mengatasi anak temper tantrum melalui metode bermain peran. Pada gambar tersebut skor posttest lebih tinggi dibandingkan skor pretest sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan perubahan perilaku para ibu dalam mengatasi anak temper tantrum yakni mulai dari anak menunjukkan tanda-tanda temper tantrum, pada saat anak temper tantrum, dan pada saat anak selesai temper tantrum yang kesemuanya dilakukan melalui metode bermain peran. Analisis lebih lanjut dilakukan dengan program SPSS untuk melihat apakah perubahan tersebut signifikan atau tidak. Penjelasan lebih rinci mengenai perubahan perilaku para ibu dalam mengatasi anak temper tantrum ini dapat dijelaskan melalui tabel pengolahan data statistik dengan metode sample paired t-test pada Tabel 4.2. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Tabel 4.2 Skor Pre-test dan Posttest Perubahan Cara Komunikasi Para Ibu dalam Mengatasi Anak Temper tantrum Melalui Metode Bermain Peran N Pretest Posttest Mean of T Sig (p) Correlation -16.405 0.000 0.493 Differences (Pre-Post) 14 7.2857 19.4286 -12.14286 Berdasarkan Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa skor pretest menunjukkan nilai 7.2857 sedangkan skor posttest menunjukkan nilai 19.4286. Nilai posttest yang jauh lebih tinggi dibanding nilai pretest menunjukkan adanya perubahan cara ibu dalam berkomunikasi dengan anak temper tantrum melalui metode bermain peran. Perbedaan nilai antara kegiatan pretest dengan posttest adalah sebesar -12.14286 pada kolom mean of differences. Tanda negatif pada angka tersebut menunjukkan adanya perubahan perilaku para ibu dalam mengatasi anak temper tantrum pada saat sebelum dan setelah diberikan intervensi. Selain itu nilai t sebesar -16.405 dengan nilai p = 0.000 (p ≤ 0 .05) menunjukkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap cara komunikasi para ibu dengan anak temper tantrum melalui metode bermain peran. Nilai correlation sebesar 0.493 menunjukkan ada hubungan antara kegiatan pretest dengan posttest yakni sebesar 0.493. Ini berarti 0.493 perubahan posttest terjadi karena adanya intervensi pelatihan ini sedangkan sisanya 0.507 disebabkan oleh faktor lain. 4.3.Analisis Data Kualitatif Hasil Wawancara dengan Partisipan Pasca Pelatihan Pasca pelatihan dilakukan wawancara kepada empat orang peserta pelatihan yakni dua orang partisipan dengan nilai kuesioner dan behavior checklist tertinggi serta dua orang partisipan dengan nilai terendah untuk melihat sejauh mana tanggapan partisipan terhadap jalannya pelatihan. Wawancara dilakukan 5 hari setelah pelatihan yaitu pada hari Rabu, tanggal 26 Desember 2012 dengan mengajukan 3 buah pertanyaan. Jawaban terdapat pada lampiran 6. Partisipan peraih skor tertinggi untuk kuesioner dan behavior checklist adalah nomor 13 dan 14 yaitu ibu Ss dan ibu Rh (lampiran 3 dan 4). Ibu Ss mendapatkan skor 24 sedangkan ibu Rh mendapatkan skor 25 dalam skala 27. Hasil wawancara dengan ibu Ss menyatakan bahwa ibu Ss sangat senang dapat mengikuti Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 pelatihan mengatasi anak tantrum karena anak pertamanya berusia 5 tahun sering tantrum. Menurut hasil diagnosis dokter psikiatri, anak tersebut memiliki keterlambatan atau disebut mental retardasi ringan. Wajah dan tinggi anak tersebut tampak seperti anak normal hanya bicara tidak lancar dan artikulasi tidak jelas. Bicara yang belum lancar menyebabkan anak tersebut tidak dapat mengutarakan keinginannya sehingga sering temper tantrum (bisa mencapai 5-10 kali sehari. Kondisi anak yang demikian menjadi motivasi kuat bagi Ss untuk mengikuti pelatihan ini sehingga untuk mengikuti pelatihan Ss mengundang orang tuanya untuk menginap di rumahnya untuk menjaga putranya selama pelatihan. Ss mengatakan pelatihan ini sangat bermanfaat karena ia lebih percaya diri dan tidak stres lagi menghadapi anaknya yang sedang temper tantrum, dan ia merasa lebih bisa berkomunikasi dengan anaknya. Kesulitan yang dirasakan Ss dalam menerapkan hasil pelatihan di rumah adalah melatih kesabaran agar tidak terpancing untuk marah ketika anak sedang tantrum. Hasil wawancara dengan partisipan peraih skor tertinggi adalah nomor 14 yaitu ibu Rh dengan skor 25 dalam skala 27. Selain sebagai ibu, Rh juga bekerja sebagai guru di sebuah Taman Kanak-kanak (TK). Rh mengatakan pelatihan ini sangat bermanfaat karena ia lebih percaya diri dalam mengatasi anak temper tantrum karena tahu persis tahap-tahap yang harus dilalui. Sebelum pelatihan Rh mengaku panik dan pusing menghadapi anaknya yang sedang temper tantrum. Rh mengatakan ia mencoba cara-cara komunikasi efektif dengan ketiga anaknya. Rh merasa komunikasinya dengan anakanaknya bertambah akrab, tidak hanya dengan anak prasekolah saja tetapi juga dengan anaknya yang bersekolah di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). TK. Kesulitan Rh dalam menerapkan pelatihan di rumah adalah memilih atau menyusun kata-kata yang tepat ketika anak mulai menunjukan tanda-tanda temper tantrum karena Rh sebelum pelatihan adalah ibu yang pendiam dan jarang jarang interaksi dengan anak karena jarang bicara. Setelah mengikuti pelatihan Rh selalu berkomunikasi dan interaksi dengan anak karena ia tahu ia bisa berkomunikasi dengan anak tanpa perlu bicara panjang lebar, misalnya dengan mendengar aktif. Skor behavior checklist terendah diperoleh partisipan nomor 2 dan 5 yakni ibu En dan ibu In (lampiran 3). En dan In mendapatkan skor yang sama yakni 16 dalam skala 27. Wawancara dilakukan pada En dan In. En mengatakan pelatihan sangat berkesan Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 bermanfaat karena ia lebih tenang saat anak temper tantrum karena tahu persis apa yang harus dilakukan. Kesulitan yang dihadapi En dalam menerapkan hasil pelatihan di rumah adalah ikut campurnya orang tua En ketika En sedang menghadapi anaknya yang temper tantrum karena En masih tinggal serumah dengan orang tua. Peneliti menyarankan En untuk mengkomunikasikan cara mengatasi anak yang temper tantrum agar orang tuanya mempunyai pemahaman yang sama sehingga En dapat bekerja sama. Wawancara dengan In diperoleh hasil In sangat puas dan senang dengan pelatihan komunikasi efektif untuk mengatasi tantrum ini. Pelatihan ini sangat bermanfaat karena anaknya yang berusia 4 tahun setiap hari tantrum minimal satu kali. Setelah mengikuti pelatihan In merasa lebih tenang dalam menghadapi anak yang sedang tantrum karena tahu apa yang harus dilakukan Kesulitan penerapan di rumah adalah memelihara kesabaran karena ketika anak sedang tantrum In merasa kepalanya pusing dan ingin berteriak. Hasil wawancara dengan 4 orang partisipan yaitu peraih skor tertinggi (Ss dan Rh) dan partisipan peraih skor terendah menunjukan semua partisipan merasa puas dengan jalannya pelatihan dan merasda bahwa pelatihan komunikasi efektif ini sangat bermanfaat. Keempat partisipan dapat menerapkan cara komunikasi efektif ini di rumah, meskipun ada beberapa kendala yang dihadapi. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab ini dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi mengenai beberapa hal penting yang terkait dalam penelitian, dan saran-saran yang dapat untuk meningkatkan kualitas penelitian di masa yang akan datang. 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan penelitian mengenai efektivitas pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengatasi anak temper tantrum usia prasekolah 3 – 5 tahun tahun diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Terdapat perubahan yang signifikan mengenai pengetahuan para ibu tentang tingkah laku tantrum anak usia prasekolah sebelum dan setelah mengikuti pelatihan. b. Terdapat perubahan yang signifikan terhadap pengetahuan ibu tentang cara mengatasi tingkah laku tantrum dengan metode komunikasi efektif sebelum dan setelah mengikuti pelatihan 5.2 DISKUSI Penelitian mengambil metode yang sama dengan beberapa penelitian sebelumnya. Pemilihan metode komunikasi untuk mengatasi tantrum pada penelitian ini adalah suatu metode yang tepat karena di dalam metode tersebut terdapat pengetahuan mengenai cara ibu untuk membantu anak menamai dan menerima perasaan. Anak yang mengenal dan menerima perasaannya akan mudah mengendalikan perasaan atau emosinya. Pengendalian emosi yang baik menyebabkan anak tidak mudah stres dan tingkah laku tantrum anak berkurang. Metode komunikasi efektif yang memuat cara menamai dan menerima perasaan ini sejalan dengan penelitian Yuli Setyowati tentang pengaruh pola komunikasi keluarga dengan pengembangan emosi anak pada keluarga Jawa yang ditulis pada tahun 2005. Hasil penelitian yang dimuat pada Jurnal ilmu komunikasi ini menyimpulkan pentingnya komunikasi dalam menstimulasi perkembangan emosi anak usia dini yaitu pengenalan berbagai emosi dasar seperti marah, sedih, Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 senang, takut, dan bagaimana mengelola emosi tersebut. Menurut Borba (2009) marah adalah emosi yang dapat menyebabkan timbulnya tingkah laku tantrum, maka jika dapat memngendalikan emosi marah akan mengurangi tingkah laku tantrum. Penelitian lain untuk mengatasi tingkah laku tantrum dilakukan oleh Dana H. Davidson dengan judul penelitian Tantrums in Young Children tahun 2003. Penelitian Davidson (2003) ini juga menggunakan metode komunikasi untuk mengatasi tingkah laku temper tantrum yaitu komunikasi asertif. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang melibatkan emosi. Komunikasi asertif antara ibu terhadap anak usia prasekolah mempunyai dampak meningkatkan kompetensi emosi anak dalam mengekspresikan emosi, responsif terhadap emosi, dan memahami emosi sehingga dapat mengatasi ataupun menurunkan tingkah laku tantrum. Eva L. Feindler dan Karen A. Star (2003) juga menulis tentang mengatasi tantrum atau pengendalian amarah dengan metode Anger Control Training (ACT) yaitu pengendalian amarah dengan proses relaksasi dan pengalihan fokus pikiran. Diskusi dalam penelitian ini adalah efektivitas program pelatihan baik karena berhasil meningkatkan pengetahuan ibu mengenai cara mengatasi anak temper tantrum yaitu cara mencegah anak temper tantrum, reaksi spontan ketika anak temper tantrum dan cara untuk merubah kebiasaan anak temper tantrum. Keberhasilan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menunjang keberhasilan jalannya penelitian ini antara lain faktor peserta, materi, fasilitator, dan metode pelatihan. Para ibu yang merupakan peserta pelatihan ini merasa senang dan antusias mengikuti pelatihan. Keempat belas ibu yang mengikuti pelatihan ini senang dan bersemangat pada saat kegiatan ice breaking melalui permainan-permainan. Selain itu pada saat pemberian empat materi yakni Anak Emas, Anak Mengadat (Temper tantrum), Komunikasi Efektif, dan Mengatasi iantrum, para ibu terlihat antusias karena hal tersebut merupakan pengalaman pertama bagi mereka dan merupakan masalah yang dihadapi sehari-hari. Para peserta pelatihan juga terlihat aktif dalam kegiatan diskusi kelompok dan terdapat beberapa orang ibu yang aktif bertanya kepada fasilitator terkait materi yang disampaikannya. Hal ini sejalan dengan dengan hal yang diungkapkan oleh Patmonodewo (1992) bahwa orang dewasa dapat belajar dengan baik apabila ia merasa senang dan aktif berpartisipasi. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Faktor materi juga berpengaruh terhadap kesuksesan hasil pelatihan. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini merupakan hal-hal yang dapat dipraktikkan langsung dalam kehidupan sehari-hari sehingga mudah bagi para ibu untuk mengikuti proses pembelajaran di dalamnya. Patmonodewo (1992) menyatakan bahwa orang dewasa akan mudah mempelajari sesuatu jika bahan yang diberikan segera dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Materi “Anak Emas” berisi pengetahuan mengenai cara mendidik anak pra sekolah dengan tepat yang langsung dapat dipraktikkan oleh ibu kepada anak. Begitu pula dengan materi “Anak Mengadat” (Temper tantrum) yang merupakan masalah bagi para ibu, maka dengan pemberian materi “Komunikasi Efektif dengan Anak” dan “Mengatasi Tantrum” para ibu tampak sangat antusias bertanya karena ingin lebih jelas memperoleh pengetahuan yang dapat memecahkan salah satu masalah dalam pengasuhan yaitu masalah tingkah laku temper tantrum. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dinyatakan oleh Knowles dalam Fauzi (2011) bahwa salah satu prinsip pembelajaran orang dewasa adalah mereka mau mempelajari segala sesuatu yang ingin mereka ketahui dan mau melakukannya jika hal tersebut dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Fasilitator juga merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu pelatihan. Para fasilitator yang terlibat dalam pelatihan ini adalah orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman dibidang psikologi anak usia dini sehingga proses pemberian materi dapat mudah dipahami oleh para ibu. Fauzi (2011) menyatakan bahwa salah satu peran fasilitator adalah sebagai agen perubahan di mana ia berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi para peserta pelatihan. Cara penyampaian juga menarik yaitu dengan menggunakan metode belajar yang beraneka ragam sehingga para ibu mendengarkan dengan antusias. Metode pelatihan yang bervariasi membuat para ibu tidak mengalami kebosanan. Hal ini terlihat dari semangat para ibu untuk hadir tepat waktu dan antusias mengikuti materi selama 4 jam dalam sehari yang dimulai jam 08.00 sampai dengan jam 12.00. Metode pelatihan dengan menggunakan tayangan video hasil rekaman ibu yang sedang berkomunikasi dengan anak tantrum merupakan metode yang paling diminati. Ibu dapat langsung menyaksikan penampilan mereka, Selain itu tingkah laku anak tantrum yang diperankan oleh ibu yang lain juga membuat para ibu tertawa. Metode lain yang disukai adalah ceramah karena para ibu dapat langsung bertanya mengenai masalahmasalah yang terkait dengan materi pembelajaran. Metode permaianan juga disukai karena menimbulkan suasana gembira dan tidak mengantuk. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Penelitian ini selain mempunyai beberapa kelebihan juga mempunyai beberapa keterbatasan yaitu pertama luas ruangan pelatihan yang berukuran 5 x 7 meter persegi memadai untuk pemberian materi tetapi kurang memadai untuk permainan. Ibu-ibu yang berjumlah 14 orang bergerak kurang leluasa dalam melakukan metode permainan. Kedua, penelitian belum bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya karena ibu tidak menghadapi anak yang benarbenar sedang tantrum tetapi hanya berhadapan dengan ibu lain yang berperan sebagai anak sehingga perasaan dan situasinya berbeda dengan menghadapi anak yang sedang tantrum yang sesungguhnya. Ketiga, alat ukur kuesioner terbuka menunjukan hasil peningkatan pengetahuan ibu secara signifikan tetapi rata-ratanya hanya 60% jawaban yang benar, dan hanya satu orang yang kebenaran jawabannya di atas 90%. Hal ini terjadi karena banyaknya item yang harus diingat yang dilakukan pada tahap-tahap (1) untuk mencegah tantrum, (2) pada saat anak sedang tantrum, dan (3) merubah kebiasaan tantrum pada anak, sehingga ibu mengalami kesulitan untuk menghafal. Seharusnya untuk menghafal item yang banyak dan tidak ada pengetahuan awal yang relevan digunakan metode nemonik (Ormrod, 2012) atau disebut jembatan keledai. Nemonik adalah suatu proses pemberian makna terhadap huruf atau suku kata awal dari suatu kalimat, dengan pemberian makna menghafal dan memahami sesuatu menjadi lebih efektif. Keterbatasan yang keempat yaitu penggunaan alat ukur behavioral checklist yang mengukur pengetahuan ibu mengenai komunikasi efektif untuk mengatasi anak yang sedang temper tantrum tidak mampu menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Hasil pretest dan posttest dari behavioral checklist hanya diberikan “ya” dan “tidak”. Menurut Suprananto (2012) dan Walgito (2003), alat ukur dengan pilihan jawaban “ya“ atau “tidak“ memiliki kelemahan yaitu faktor kemungkinan subjek untuk menjawab pernyataan dengan benar adalah 50% sehingga behavioral checklist mengenai cara ibu berkomunikasi efektif dengan anak temper tantrum belum menggambarkan pengetahuan ibu yang sebenarnya. Keterbatasan kelima, penelitian hanya melakukan dua tahap evaluasi dari empat tahap yang dianjurkan dalam pelatihan. Menurut Fauzi (2011) evaluasi hasil pelatihan terdiri dari empat tahap yaitu (1) tahap reaksi (2) tahap belajar, (3) tahap aplikasi, dan (4) tahap impact. Tahap reaksi merupakan evaluasi tahap pertama, dilakukan segera setelah pelatihan selesai. Evaluasi ini ditujukan untuk mengukur tingkat kepuasan peserta terhadap pelaksanaan pelatihan. Evaluasi tahap kedua yaitu tahap belajar. Tujuannya mengukur tingkat pemahaman peserta terhadap materi pelatihan. Evaluasi tahap ketiga yaitu tahap aplikasi yaitu kemampuan ibu Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 mengaplikasikan materi pelatihan ke dalam kehidupannya sehari-hari. Evaluasi tahap keempat yaitu tahap impact yaitu melihat dampak dari perubahan sikap mental peserta terhadap masalah yang dihadapi. Penelitian ini tidak melakukan evaluasi tahap ketiga dan keempat karena hanya melihat perubahan pengetahuan ibu. 5.3 SARAN Berdasarkan paparan diskusi dalam penelitian ini, maka terdapat beberapa saran yang dapat digunakan untuk pelatihan di masa yang akan datang. Saran-saran tersebut antara lain sebagai berikut: a. Pada kegiatan role play sebaiknya dilakukan secara alami dengan cara merekam kegiatan ibu yang sedang menghadapi anak yang sedang tantrum seperti ketika uji validitas dan reliabilitas. Kegiatan ini berlaku untuk pretest dan posttest. Kegiatan pretest dapat dilakukan melalui kegiatan observasi di mana peneliti mengunjungi rumah masing-masing ibu. Kesulitan metode ini adalah tidak bisa ditentukan waktu anak menunjukan tingkah laku tantrum secara pasti. Hal ini pun berlaku pada kegiatan posttest. b. Dilakukan monitoring dan evaluasi berkala pasca pelatihan untuk melihat capaian hasil pelatihan tahap ketiga yang disebut tahap aplikasi yaitu kemampuan para ibu dalam mengatasi tingkah laku tantrum anak usia prasekolah. Fauzi (2011) mengatakan tahap aplikasi ini penting karena mengukur apakah materi yang diajarkan telah diaplikasikan oleh peserta dalam kehidupan sehari-hari untuk mengubah perilaku para partisipan menuju perilaku unggul yang diharapkan dalam pelatihan. Pengukuran ini biasanya dilakukan 6 bulan hingga satu tahun setelah pelatihan. c. Bisa ditambahkan tahap impact untuk mengukur apakah kegiatan pelatihan yang telah dilakukan dapat memberikan perubahan sikap mental, perbaikan pengetahuan atau menambah keterampilan para ibu sehingga berdampak terhadap kinerja yaitu menurunnya frekuensi tantrum, karena penelitian tesis dibatasi oleh waktu maka penelitan tahap aplikasi dan tahap impact dapat dilanjutkan oleh mahasiswa angkatan tahun berikutnya. d. Usulan materi yang dibutuhkan oleh ibu terkait tingkah laku tantrum adalah ibu menginginkan materi cara mengatasi anak tantrum usia sekolah, remaja dan dewasa e. Mengatasi tantrum bisa dicoba dilakukan dengan metode lain, misalnya metode ACT (Anger Control Treatment). Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 DAFTAR PUSTAKA Achadi, Endang L, dkk. (2011). Gizi Seimbang: Buku Pegangan Pendidik PKGK dan PUSKA. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Anonymous. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 58 tahun 2009. 28 April 2012 www.ranking-ptai.info/regulasi/permendiknas_58_09.pdf Anonmus. Kartu Menuju permenkes Sehat (KMS). 4 Juli 2012. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_ Anonymous. (2012). How Serious Behavior Problems Affect Children. 11 Mei 2012. www.kidsmatter.edu.au. Barker, Larry. (2012). 10 Irritating Habits. www.focusas.com/ListeningSkills.html. Baumrind, D. (1966). Effects of Authoritative Parental Control on Child Behavior, Child Development, 37(4), 887-907. Baumrind, D. (1967). Child Care Practices Ateceding Three Patterns of Preschool Behavior. Genetic Psychology Monographs, 75(1), 43-88. Baumrind, D. (1991). The Influence of Parenting Style on Adolescene Competence and Substance Use. Journal of early adolescene, 11(1). 56-95. Berns, Roberta. M. (2009). Child, Family, School, Community Sozialitation and Support. Wadsworth Cengage Learning: Australia. Borba, Michelle. (2001). Building Moral Intelegence. Jossey-Bass A Willey Imprint: California. Borba, Michelle. (2009). The Big Book Parenting Solution. Jossey-Bass A Willey Imprint: California. Bronson, M. (2000). Self-Regulation in Early Childhood: Nature and Nurture. The Guildford Press: New York. Brooks, Jane B. (1991). The Process of Parenting. Mayfield Publishing Company. Mountain: USA. Davidson, Dana H. (2003). Temper Tantrums in Young Children. Children and Family Journal; Nov:2003-CF7. University of Hawai. Denham, Susanne, Susan Renwick-DeBardi, Susan Hewes. (1994). Emotional Communication Between Mothers and Preschoolers: Relations with Emotional Competence. Merrill-Palmer Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Quarterly (1982-), Vol. 40, No. 4 (October 1994), pp. 488-508. Wayne State University Press. 25 Desember 2012 http://www.jstor.org/stable/23087919 Duvall, Evelyn Millis. (1977). Marriage and Family Development. J.B. Lippincott Co: Philadelphia. Ekman, Paul. (1992). An Argumen for Basic Emotions. Journal Cognition and Emotion 6(3/4), 169-200. University of California. San fransisco: USA. Fauzi, A. Ikka Kartika. (2011). Mengelola Pelatihan Parsitipatif. Alfabeta: Bandung. Feindler, Eva, Starr, Karen E. (2003). From Steaming Mad to Staying Cool: A Constructive Approach to Anger Control. Reclaiming Children and Youth. 2003; 12, 3; ProQuest. Fetsch, R.B., Jacobson, B. (2007). Children Anger and Tantrum. Colorado State University. Ford, Katrinca. (2012). Children and Tantrums: Why They Do It. How to get through it. Worksheet. Cal State Hayward. Fox, Nathan A., Susan D. Calkins, Susan D. (2003). The Development of Self-Control of Emotion:Intrinsic and Extrinsic Influences. Motivation and Emotion, Vol. 27, No. 1, March 2003 Frey, Diane E. (2003). Creative Strategies for the Treatmen of Anger. Mandala Publinshing: Dayton. Ohio Furlong, N.E., Lovelace, E.A., & Lovelace,K.L. (2000). Research Methods and Statistics: An Integrated Approach. New York: Thomson Wadsworth. Gail E. Joseph, Strain, Phillip S. (2003). Social Emosional Teaching Strategies. The Center on the Social and Emotional Foundations for Early Learning University of Illinois at UrbanaChampaign. Handout module. Gillespie, Linda Groves dan Seibel Nancy L. (2006). Self-Regulation : A Cornerstone of Early Childhood Development. National Association for the Education of Young Children. www.journal.naeyc.org/about/permissions.as Good, Tom W. (1982). Delivering Effective Training. San Diego: California. Gordon, Thomas. (1993). Menjadi Orang Tua Efektif. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Hastono, P. Sutanto. (2007). Analisis Data Kesehatan. FKM UI. Depok Henniger, Michael L. (2009). Teaching Young Children: An Introduction. Pearson: New Jersey Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Kochanska, G., Coy, K., & Murray, K. (2001). The Development of Self-Regulation Across the First Four Years of Life. Child Development, 72, 1091–1111. Kolb, David A. (1984). Experential Learning : Experience As the Source of Learning and Development. Prentice-Hall: USA. Levinson, Martin H. (2006). Anger Management and Violence Prevention: A Holistic Solution. Apr 2006; 63, 2; ProQuest Research Library. Maccoby, E.E., Martin J.A. (1983). Socialization in The Contact of The Family: Parent-Child Interaction Handbook of Child Psychology: Socialization Personality and Social Development (4th ed). Wiley: New York. Miller, Alicia. (2010). The Importance of Effective Communication. www.livestrong.com. Miller, Daria Ferris. (2000). Positive Child Guidance. Delmar Thomson Learning: Australia. Moeliono, Anton M., Marcus Susanto, Mien A. Rifai, Muhammad Zairin, Sri Suksesi, Adiwimarta, Sri Timur Suratman. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi ke-4. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Mustaqim, Wahid, Abdul. (2010). Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta. Nichols, John M., Hassan Shadily. 2002. Kamus Inggris Indonesia : An English-Indonesian Dictionary. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Nini Subini, dkk. (2012). Psikologi Pembelajaran. Mentari Pustaka: Yogyakarta. Omrod, Jeanne Ellis. (2011). Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Gramedia: Jakarta. Papalia, Diane E, Ruth Duskin Feldman, Gabriela Martorell. (2012). Experience human development. Mc. Graw Hill: USA. Patmonodewo, S. (1992). Buku Paket Pelatihan Ibu Manu Anak Bermutu – Seri Ibu, Petunjuk Bagi Kader. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Reilly, Patrick M. & Shopshire, Michael S. (2011). Anger Management for Substance Abuse and Mental Health Clients : A Cognitive Behavioral Therapy Manual. U.S. Departement of Health and human Services. Substance Abuse and Mental Health Services Administration. Center for Substance Abuse Treatment. 23 Mei 2012 www.samhsa.gov Sanders, Matthew.R. (1997). Every Parent: A Positive Approach to Children Behavior. Addison Wesley Longman: Australia. Santrock, John W. (2009). Child development. Mc. Graw Hill: USA. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Sears, William, Martha, Sears. (1995). The Discipline Book: Everything You Need to Know to Have A Better-Behave Child-From Birth to Eight Ten. Little Brown and Co: Boston. Setyowati, Yuli. (2005). Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak: Studi Kasus. Jurnal Ilmu komunikasi. Volume 2:1, 67-78, Juni 2005. Simenyak, Sarah. (2009). Effective Communication Skills for Parents. Actual Workplace Challenges. www.qomps.com.my Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Administrasi. CV Alfabeta: Bandung. Suprananto, Kusaeri. (2012). Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Graha Ilmu: Jakarta. Terrie E. Moffitt, Louise Arseneault, Daniel Belsky, Nigel Dickson, Robert J. Hancox, Hona Lee Harrington, Renate Houts, Richie Poulton, Brent W. Roberts, Stephen Ross, Malcolm R. Sears, W. Murray Thomson, and Avshalom Caspi. A gradient of childhood self-control predicts health,wealth, and public safety. www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1010076108 PNAS Early Edition Tracy Dennis. (2006). Emotional Self-Regulation in Preschoolers: The Interplay of Child Approach Reactivity, Parenting, and Control Capacities. Developmental Psychology. Vol 42, No. 1, 84–97 0012-1649/06/$12.00 DOI: 10.1037/0012-1649.42.1.84, American Psychological Association. Walgito, Bimo. (2003). Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Penerbit Andi: Yogyakarta. Zolten, Kristin, Long, Nicholas. Effective Communication Skills for Parents. Department of Pediatrics, University of Arkansas for Medical Sciences Artwork by Scott Snider. www.parenting-ed.org Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 No 1. Nama Kegiatan Pembukaan dan Perkenalan Waktu 09.0009.20 20 menit 2. Pre-Test Kuesioner tentang cara komunikasi efektif untuk mengatasi anak mengadat dan frekuensi mengadat anak selama 1 minggu 09.2009.40 20 menit Tujuan Kegiatan • Menciptakan suasana keakraban antar para peserta pelatihan. • Para peserta siap untuk mengikuti pelatihan komunikasi efektif untuk mengatasi anak mengadat Sasaran Kegiatan • Para ibu saling mengenal satu sama lain • Para ibu siap untuk mengikuti pelatihan. Deskripsi Metode Kegiatan Permaina • Pembukaan : n • Sanbutan ketua penyelenggara pelatihan • Perkenalan panitia • Para ibu memperkenalkan namanya satu persatu • Ice Breaking : games KENTANG DAN SEDOTAN . ibu berusaha menusukan sedotan hingga menenbus kentang . hikmahnya : pekerjaan sulit jika dilakukan dengan sungguh-sungguh akan berhasil • Untuk mengetahui pengetahuan dasar para ibu tentang cara komunikasi efektif untuk mengatasi anak prasekolah mengadat sebelum pelatihan. • Penjelasan Kuesioner • Penyelenggara pelatihan • Pengisian Kuesioner mengetahui • Penutup kemampuan dasar para ibu tentang cara komunikasi efektif untuk mengatasi anak prasekolah mengadat sebelum pelatihan. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Pengisian angket sesuai pengala man para ibu Media Indikator Mikrofon, spidol. Para ibu dapat menyebutkan hikmah games KENTANG DAN SEDOTAN Alat tulis, angket mengenai komunikasi efektif untuk menurunkan frekuensi mengadat anak prasekolah Angket terisi semua No 3. Nama Kegiatan ANAK EMAS Waktu 09.4010.30 50 menit 4. ISTIRAHAT 10.3010.40 5. ANAK MENGADAT 10.4011.20 40 menit Tujuan Sasaran Deskripsi Kegiatan Kegiatan Kegiatan • Pengantar : tujuan sesi ini • Para ibu • Meningkatkan mengetahui pengetahuan • Pembagian kelompok ibu (5-6 perkembangan ibu mengenai orang), dalam kelompok tersebut fisik-motorik perkembangan ibu mendiskusikan perkembangan (kasar & halus) anak pra sekolah anak pra sekolah. /kognitif/psikososi • Role play : perwakilan ibu maju ke dan pentingnya al anak pra usia emas depan menjelaskan dan sekolah. (golden ages) memperagakan perkembangan pada anak usia fisik-motorik (kasar & halus) dini (AUD). /kognitif/psikososial anak pra sekolah. Menyegarkan Ibu merasa segar • Ibu dipersilakan minum teh dan fikiran kembali dan siap ikut pelamakan snack atau ke toilet tihan selanjutnya Para ibu • Para ibu berada dalam kelompok • Memberikan mendapat kecil (1 kelompok 5-6 orang). pengetahuan pengetahuan kepada para ibu • Studi kasus : Fasilitator mengenai mengenai menunjukan dua buah film perilaku perilaku tentang anak prasekolah mengadat mengadat anak mengadat anak • Diskusi : Ibu mendiskusikan dalam pra sekolah, pra sekolah, kelompok kecil mengenai penyebab dan penyebab dan mengadat dan penyebabnya faktor-faktor yang • Fasilitator meminta jawaban dari faktor-faktor mempengaruhi yang tiap kelompok nya. mempengaruhi • Di akhir sesi, fasilitator memberi nya. ceramah singkat mengenai perilaku mengadat anak pra sekolah, penyebab dan faktorfaktor yang mempengaruhi Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Metode Media Indikator Ceramah singkat Diskusi, main peran Laptop, LCD, Modul fasilitator, Handout peserta pelatihan. • Ibu dapat menyebutkan ciri perkembanga n fisik-motorik kasar & halus,kognitif, dan psikososial anak pra sekolah. Studi kasus, diskusi, ceramah singkat. Gelas plastic, sendok kecil, teh, gula Modul fasilitator, handout peserta pelatihan, LCD, laptop, mikrofon, alat tulis, kertas. • Para ibu mampu menyebutkan masalah umum perilaku anak pra sekolah. • Para ibu mampu memberikan jawaban terkait studi kasus ang diberikan. No 6. Nama Kegiatan Quiz Waktu 09.0009.20 20 menit 7. 8. KOMUNIKASI EFEKTIF IBU EFEKTIF 09.2010.00 ISTIRAHAT 10.0010.10 40 menit Tujuan Kegiatan • Menyegarkan kembali pengetahuan para ibu mengenai materi “ANAK EMAS” dan “ANAK MENGADAT” Sasaran Kegiatan • Para ibu bersemangat untuk menunjukkan pengetahuan yang mereka memiliki dengan menjawab pertanyaan yang diajukan. Deskripsi Kegiatan • Panitia mengajukan sekitar 3 pertanyaan kepada para ibu. • Ibu yang tahu jawabannya, angkat tangan, dan uraikan jawabannya. • Pemberian hadiah bagi 3 orang ibu yang berhasil menjawab pertanyaan dengan benar. • Memberikan • Para ibu mempunyai • Fasilitator memberikan ceramah materi pelatihan pengetahuan mengenai komunikasi efektif komunikasi komunikasi efektif untuk mengatasi anak mengadat efektif untuk untuk mengatasi mengatasi anak anak mengadat mengadat • Menyegarkan fikiran kembali Ibu merasa segar dan siap mengikuti pelatihan selanjutnya • Ibu dipersilakan minum teh dan makan snack atau ke toilet Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Metode Media Indikator Tanya jawab. Lembar pertanyaan quiz, mikrofon. • Para ibu mau dan mampu menjawab pertanyaan yang diajukan. Uraian jawaban yang benar mengindikasi kan ibu mengetahui dengan baik materi yang diberikan. Talk Show TOR Talk show, mikrofon. • Para ibu tahu cara komunikasi efektif untuk mengatasi anak mengadat Gelas plastic, sendok kecil, teh, gula No 9. Nama Kegiatan Bermain peran Waktu 10.1011.10 60 menit Tujuan Sasaran Kegiatan Kegiatan Mengetahui cara Ibu dapat melakukan komunikasi efektif komunikasi efektif yang telah setelah pelatihan. dikuasai ibu setelah mendapat materi komunikasi efektif Deskripsi Kegiatan • Para ibu dibagi dalam kelompok kecil (4 orang) dan tiap kelompok didampingi oleh satu orang co-fasilitator. • Main peran : Satu orang ibu berperan sebagai anak yang mengadat, seoran ibu lainnya berperan sebagai ibu yang berkomunikasi efektif dengan anak yang mengadat, sementara ibu-ibu yang lainnya menonton sambil mengisi lembaran masukan bagi ibu yang berperan sebagai ibu. Demikian bergantian sampai semua ibu berperan sebagi ibu yang melakukan komunikasi efektif dengan anak. • Co-fasilitator merekam satu per satu ibu yang melakukan komuinikasi efektif dengan “anaknya” yang sedang mengadat • Setelah merekam, co-fasilitator mengisi behavioral checklist sesuai dengan hasil rekamannya. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Metode Main peran Media Behavioral checklist, handy cam, Indikator No 10. Nama Kegiatan Mari Menilai! Waktu 09.0010.00 60 menit 11. ISTIRAHAT 11. Wrap up komunikasi efektif 10.0010.10 10.1010.40 30 menit No Nama Waktu Tujuan Kegiatan • Untuk mengevaluasi apakah para ibu mampu mengoreksi kesalahan dalam cara komunikasi efektif pada saat menangani anak mengadat yang dilakukan oleh temannya melalui video. Menyegarkan fikiran kembali Membantu para ibu dalam mengingat kembali poin-poin penting dalam komunikasi efektif. Tujuan Sasaran Kegiatan • Agar para ibu mampu menyebutkan dan menganalisis kesalahan dalam cara komunikasi efektif pada saat menangani anak mengadat • Agar para ibu mampu memberikan masukan bagaimana seharusnya cara komunikasi efektif pada saat menangani anak mengadat. Ibu merasa segar dan siap mengi kuti pelatihan selanjutnya. Deskripsi Kegiatan • Panitia mempersiapkan 12 buah video rekaman hasil dari kegiatan posttest . • Fasilitator meminta para ibu untuk memperhatikan video tersebut dengan seksama lalu mengevaluasinya. • Para ibu menyaksikan 4 tayangan video terbaik hasil penilaian fasilitator tersebut satu per satu dan mengisi lembar evaluasi penilaian. • Para ibu mampu mengingat kembali materi mengenai perkembangan anak pra sekolah, mengadat, dan cara komunikasi efektif. Sasaran • Fasilitator memberikan tayangan slideshow yang berisi rangkuman materi karakteristik perkembangan anak prasekolah, mengadat dan komunikasi efektif yang telah diberikan sebelumnya. Metode Media Indikator Diskusi • Tayangan video main peran hari ke-2, mikrofon, lembar penilaian ibu. • Ibu mampu memberikan masukan yang konstruktif mengenai penguasaan cara komunikasi efektif Gelas plastic, sendok kecil, teh, gula • Ibu dipersilakan minum teh dan makan snack atau ke toilet Deskripsi Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Ceramah Metode LCD, laptop, mikrofon, modul fasilitator, handout peserta pelatihan. Media Para ibu mampu menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh fasilitator. Indikator 12. Kegiatan Wrap up komunikasi efektif 10.4011.10 30 menit 13. Post-test Kuesioner cara komunikasi efektif dalam mengatasi anak mengadat 11.1011.30 20 Menit Kegiatan Membantu para ibu dalam mengingat kembali poin-poin penting dalam komunikasi efektif. Kegiatan • Para ibu mampu mengingat kembali materi mengenai perkembangan anak pra sekolah, mengadat, dan cara komunikasi efektif. Kegiatan • Fasilitator memberikan tayangan slideshow yang berisi rangkuman materi karakteristik perkembangan anak prasekolah, mengadat dan komunikasi efektif yang telah diberikan sebelumnya. • Para ibu mengisi kuesioner posttest Cara Ibu mengetahui • Fasilitator memberitahukan petunjuk pengisian kuesioner dan para ibu mengisinya. mengatasi anak mengadat cara komunikasi efektif dalam mengatasi anak mengadat Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Ceramah LCD, laptop, mikrofon, modul fasilitator, handout peserta pelatihan. Pengisian angket sesuai pengalaman peserta setelah pelatihan. Alat tulis, angket mengenai cara mengatasi anak mengadat Para ibu mampu mengingat kembali dengan menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh fasilitator. Lampiran 2 DATA PESERTA PELATIHAN I. IDENTITAS IBU Nama Ibu : Usia : ___ tahun Pendidikan terakhir : Pekerjaan : Jenis pekerjaan : sehari penuh / setengah hari Ketika ibu bekerja anak diasuh oleh : ………………………………………………… Jumlah Anak : ………………………. orang Anak yang berusia 3-5 tahun adalah anak ke : _____ Kegiatan anak : HP/Telepon : Aktivitas ibu : dari ______ bersaudara - Pengajian : ……………………………………………………x per minggu - Arisan - Lain-lain : …………………………………………………… x per minggu - …………………………………………………… x per minggu : …………………………………………………… x per minggu ……………………………………………………. x per minggu II. IDENTITAS AYAH Nama Ayah : Usia : ___ tahun Pendidikan terakhir : Pekerjaan : Jenis pekerjaan : sehari penuh / setengah hari Aktivitas ayah sepulang kerja atau pada hari libur - : Pengajian Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 - Arisan - Lain-lain : …………………………………………………… …………………………………………………… ……………………………………………………. III. DATA ANGGOTA KELUARGA Anggota Nama Usia L/P Pekerjaan/sekolah Keluarga di ……. Anak ke - …… tahun 1 Anak ke - …… tahun 2 Anak ke - …… tahun 3 Anak ke - …… tahun 4 ANGGOTA KELUARGA LAIN YANG TINGGAL SERUMAH No Nama Hubungan dengan Usia anak (tahun) L/P Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Pekerjaan Harapan orang tua terhadap anak yang masih berusia 3, 4, atau 5 tahun ________________________________________________________________________ ________________________________________________________________________ ________________________________________________________________________ ________________________________________________________________________ ________________________________________________________________________ _____________________________________________________________________ Harapan orang tua setelah mengikuti pelatihan ini ________________________________________________________________________ ________________________________________________________________________ ________________________________________________________________________ I. RIWAYAT ANAK Nama anak (usia 3-5 tahun) : Anak ke : _____ dari ______ bersaudara Jika anak pertama, jarak antara pernikahan dan kehamilan : __________ tahun Proses kelahiran : _______________________ (normal, operasi, vakum) Beda usia dengan kakak : ____________ tahun Beda usia dengan adik : ____________ tahun Sifat anak : 1. Mudah beradaptasi dengan lingkungan 2. Sulit beradaptasi dengan lingkungan 3. Perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan Penyakit yang pernah di derita : 1. ___________________________________________ 2. ___________________________________________ 3. ___________________________________________ 4. ___________________________________________ Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Lampiran 3. DataKuesioner Terbuka Data Kuesioner Terbuka N o 1 2 3 4 5 6 Pertanyaa n Total skor Persentase jawaban yang benar No Pertanya an Total skor Persentase jawaban yang benar Rr En Da Hs In Dv Rt PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS E T E T E T E T E T E T E T 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 3 1 3 0 3 0 3 1 3 0 3 1 3 1 6 1 4 1 1 1 2 0 5 1 4 1 3 1 3 0 3 1 1 0 5 0 5 1 3 1 2 0 2 1 2 0 3 0 2 0 4 0 3 1 2 1 2 1 2 1 2 0 2 0 2 1 2 0 2 4 17 5 15 3 11 2 15 2 20 3 16 4 13 16 68 20 60 12 44 8 60 8 80 12 64 16 52 Rs Dn St Pj Sd Ss Rh PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS PR POS E T E T E T E T E T E T E T 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 3 1 1 1 2 0 1 1 2 0 3 1 3 0 1 2 3 0 5 1 1 0 3 1 10 1 6 1 5 2 2 1 4 0 3 0 1 0 5 0 5 0 4 1 2 1 4 1 3 1 1 1 4 0 3 0 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 0 2 1 16 7 11 5 18 3 11 3 10 4 25 3 20 4 64 28 44 20 72 12 44 12 40 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 16 98 12 80 Lampiran 4. Data Behavior Checklist DATA BEHAVIOR CHECKLIST CARA MENGATASI ANAK MENGADAT DENGAN KOMUNIKASI EFEKTIF N O PERNYATAA N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Skor perilaku yang tepat Persentase perilaku yang tepat Rr En Da Hs In Dv Rt PR PO PR PO PO PO PO PR PO PO E S E S PRE S PRE S PRE S E S PRE S 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 19 4 16 6 19 5 19 5 16 18 21 13 21 30 70. 4 15 59. 3 22. 2 70 18. 5 70. 4 18. 5 59. 3 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 67 78 48. 1 78 DATA BEHAVIOR CHECKLIST CARA MENGATASI ANAK MENGADAT DENGAN KOMUNIKASI EFEKTIF N O PERNYATAA N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Skor perilaku yang tepat Persentase perilaku yang tepat Rs Dn St Pj Sd Ss Rh PR PO PR PO PR PO PR PO PR PO PR PO PR PO E S E S E S E S E S E S E S 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 19 8 20 5 17 5 18 9 18 7 24 8 25 22 70 30 74 19 63 18 66 33 67 25 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 89 29 93 Lampiran 5. Hasil Output SPSS 17 HASIL OUTPUT SPSS VERSI 17.00 1. Pengetahuan Ibu Mengenai Cara Mengatasi Anak Mengadat T-Test [DataSet2] Paired Samples Statistics Mean Pair 1 N Std. Deviation Std. Error Mean Pretest 2.8571 14 1.29241 .34541 Posttest 13.5714 14 4.27361 1.14217 Paired Samples Correlations N Pair 1 Pretest & Posttest Correlation 14 Sig. -.068 .818 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of Mean Pair 1 Pretest - -10.71429 Std. Std. Error Deviation Mean 4.54767 the Difference Lower 1.21542 -13.34003 Upper -8.08854 Posttest Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Sig. (2t -8.815 df tailed) 13 .000 2. Perubahan Perilaku Ibu dalam Mengatasi Anak Mengadat Melalui Komunikasi Efektif dengan Metode Bermain Peran T-Test [DataSet2] Paired Samples Statistics Mean Pair 1 N Std. Deviation Std. Error Mean Pretest 7.2857 14 2.84006 .75904 Posttest 19.4286 14 2.65197 .70877 Paired Samples Correlations N Pair 1 Correlation Pretest & Posttest 14 Sig. .493 .073 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval Mean Pair 1 Pretest - -12.14286 Std. Std. Error Deviation Mean 2.76954 .74019 of the Difference Lower Upper -13.74194 -10.54377 Sig. (2t -16.405 Posttest Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 df 13 tailed) .000 Lampiran 6. Data Wawancara Pasca Pelatihan Data Wawancara dengan partisipan dengan skor tertinggi No Pertanyaan Jawaban Ss 1 Ya. Sangat senang, karena memperoleh pengetahuan untuk mengatasi anaknya yang sering mengadat . 2 Sangat terasa manfaatnya karena selama ini anak saya dibilang dokter psikiatri punya kelainan mental retardasi tapi ringan. Bicara yang belum lancar . kalau saya gak ngerti omongannya dia marah terus ngamuk. Anak saya ngadat bisa 5-10 kali sehari. Kondisi anak yang begitu menjadi motivasi buat saya untuk mengikuti pelatihan ini. Saya sampai ngundang ibu saya untuk nginap di rumahsupaya bisa jagain anak saya selama pelatihan. Pelatihan ini manfaat banget buat saya karena saya jadi lebih percaya diri dan tidak stres lagi menghadapi anaknya yang sedang mengadat, Saya juga gak stress lagi kalau anak saya lagi ngadat, saya bisa tenang gitu Bisa sih nerapin di rumah. Kesulitannya adalah ngelatih diri kita supaya sabar karena kadang kepancing marah juga 3 No 1 2 3 Pertanyaan Jawaban Rh (guru TK) Saya sangat senang, pelatihan sesuai dengan harapan saya. Saya jadi bisa menghadapi anak yang lagi ngadat Sangat bermanfaat karena saya jadi lebih percaya diri dalam mengatasi anak mengadat karena tahu persis tahap-tahap yang harus dilalui. Sebelum pelatihan saya suka panik dan pusing kalau anak ngadat. Saya juga coba komunikasi efektif sama kakak-kakaknya yang di SD dan SMP dan ternyata kami jadi semakin sering komunikasi jadi tambah akrab Tadinya saya pendiem jadi jarang komunikasi sama anak, sekarang saya tahu komunikasi kan gak mesti ngomong tapi bisa mendengar aktif Kesulitan yang saya hadapi yaitu menyusun kata-kata, karena saya emang jarang ngomong. Kalau belum ketemu susuan katanya saya diem aja sampai anak mengadatnya reda Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Data Wawancara dengan partisipan dengan skor terendah No 1 Pertanyaan Jawaban En Sangat berkesan, saya dapat pengetahuan sesuai harapan saya . saya senenng dengan acara nonton film dan ceramah karena bisa langsung tanya-tanya. Kalau ada pelatihan lagi saya mau ikut Pelatihan sangat bermanfaat karena sekarang saya lebih tenang waktu anak ngadat karena tahu persis cara mengatasinya . Kesulitan menerapkan hasil pelatihan di rumah adalah ikut campurnya orang tua saya, karena saya kan masih nyampur sama orang tua. Kalau anak ngadat karena ingin sesuatu dan saya gak kasih (ijin) pasti nenek atau kakeknya beliin. Pertanyaan Jawaban In 2 3 No 1 2 3 Sangat puas dan senang karena acaranya seru, dapet ilmu juga, seperti yang diharapkan Manfaatnya saya jadi lebih percaya diri menghadapi anak saya yang lagi tantrum dan tenang, gak panik lagi. Kesulitan penerapan di rumah adalah memelihara kesabaran karena ketika anak mengadat In merasa kepalanya pusing dan ingin berteriak. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Lampiran 7. Hasil Evaluasi Pelatihan Hasil Evaluasi Pelatihan Berikut ini hasil evaluasi pelatihan yang diadakan selama 3 hari: Hari 1: Senin, 17 Desember 2012 A. Pelaksanaan Kegiatan Aspek Penilaian Tema Pelatihan Ketepatan Waktu Kelengkapan materi Sikap melayani penyelenggara Alat bantu yang digunakan Pelaksanaan secara keseluruhan Total Persentase Sangat Baik 10 3 7 8 8 9 45 53.57% Baik Cukup Kurang 4 11 7 6 6 5 39 46.43% 0 0% 0 0% Baik Cukup Kurang 7 8 4 4 6 10 8 47 48% 1 2 2 1 6 6.09% 0 0% B. Pembicara 1. Djamila Djauhari Aspek Penilaian Penguasaan materi Penyajian materi Manfaat materi Interaksi dengan peserta Penggunaan alat bantu Alokasi waktu Penilaian pembicara secara keseluruhan Total Persentase Sangat Baik 6 4 10 10 8 2 5 45 45.91% Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 2. Agustina Wulandari Aspek Penilaian Penguasaan materi Penyajian materi Manfaat materi Interaksi dengan peserta Penggunaan alat bantu Alokasi waktu Penilaian pembicara secara keseluruhan Total Persentase Sangat Baik 8 5 10 10 7 5 8 53 54% Baik Cukup Kurang 6 9 4 4 7 8 6 44 44.98% 1 1 1.02% 0 0% C. Metode yang Digunakan Aspek Penilaian Ceramah Bermain peran Permainan/game Menonton video Diskusi Kelompok Total Persentase Sangat Baik 9 7 5 4 7 32 45.71% Baik Cukup Kurang 5 7 9 7 7 35 50% 3 3 4.29% 0 0% Sangat Baik 11 8 12 6 8 45 64.29% Baik Cukup Kurang 3 6 2 8 6 25 35.71% 0 0% 0 0% D. Topik Pelatihan Aspek Penilaian Topik yang dipilih Kesesuaian dengan tujuan Manfaat bagi peserta Penggunaan alat bantu Materi secara keseluruhan Total Persentase Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 E. Materi Pelatihan Aspek Penilaian Anak emas Anak mengadat Total Persentase Sangat Baik 10 13 23 82.14% Baik Cukup Kurang 4 1 5 17.86% 0 0% 0 0% Baik Cukup Kurang 2 9 5 7 5 5 33 39.29% 2 1 1 4 4.76% 0 0% Baik Cukup Kurang 5 10 4 4 6 9 5 43 43.88% 0 0% 0 0% Hari 2: Rabu, 19 Desember 2012 A. Pelaksanaan Kegiatan B. Aspek Penilaian Tema Pelatihan Ketepatan Waktu Kelengkapan materi Sikap melayani penyelenggara Alat bantu yang digunakan Pelaksanaan secara keseluruhan Total Persentase Sangat Baik 12 3 8 7 9 8 47 55.95% C. Pembicara 1. Agustina Wulandari Aspek Penilaian Penguasaan materi Penyajian materi Manfaat materi Interaksi dengan peserta Penggunaan alat bantu Alokasi waktu Penilaian pembicara secara keseluruhan Total Persentase Sangat Baik 9 4 10 10 8 5 9 55 56.12% Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 D. Metode yang Digunakan Aspek Penilaian Ceramah Bermain peran Permainan/game Diskusi Kelompok Total Persentase Sangat Baik 9 7 5 6 27 48.21% Baik Cukup Kurang 5 7 9 8 29 51.79% 0 0% 0 0% Baik Cukup Kurang 2 6 1 8 6 23 32.86% 0 0% 0 0% Baik Cukup Kurang 3 2 5 17.86% 0 0% 0 0% E. Materi Pelatihan Aspek Penilaian Topik yang dipilih Kesesuaian dengan tujuan Manfaat bagi peserta Penggunaan alat bantu Materi secara keseluruhan Total Persentase Sangat Baik 12 8 13 6 8 47 67.14% F. Materi Pelatihan Aspek Penilaian Komunikasi efektif dengan anak Mengatasi anak mengadat Total Persentase Sangat Baik 11 12 23 82.14% Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Hari 3: Jum’at, 21 Desember 2012 A. Pelaksanaan Kegiatan Aspek Penilaian Tema Pelatihan Ketepatan Waktu Kelengkapan materi Sikap melayani penyelenggara Alat bantu yang digunakan Pelaksanaan secara keseluruhan Total Persentase Sangat Baik 11 7 9 10 7 9 43 51.19% Baik Cukup Kurang 3 7 5 4 7 5 31 48.81% 0 0% 0 0% Baik Cukup Kurang 2 6 1 8 6 23 32.86% 0 0% 0 0% Baik Cukup Kurang 4 2 3 2 11 19.64% 0 0% 0 0% B. Materi Pelatihan Aspek Penilaian Topik yang dipilih Kesesuaian dengan tujuan Manfaat bagi peserta Penggunaan alat bantu Kesimpulan Materi Total Persentase Sangat Baik 12 8 13 6 8 47 67.14% C. Topik Aspek Penilaian Anak Emas Anak Mengadat Komunikasi Efektif dengan Anak Mengatasi Anak Mengadat Total Persentase Sangat Baik 10 12 11 12 45 80.36% Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 D. Metode yang Digunakan Aspek Penilaian Sangat Baik 9 7 5 4 7 32 45.71% Ceramah Bermain peran Permainan/game Menonton video Diskusi Kelompok Total Persentase Baik Cukup Kurang 5 7 9 8 7 36 51.43% 2 2 2.86% 0 0% Baik Cukup Kurang 8 5 13 46.43% 0 0% 0 0% E. Lain-lain Aspek Penilaian Sangat Baik 6 9 15 53.57% Penggunaan waktu Kondisi tempat pelatihan Total Persentase F. Kegiatan yang Paling Disukai Peserta Pelatihan Aspek Penilaian Jumlah Persentase Ceramah 12 Bermain peran 2 Tayangan video Diskusi kelompok Permainan/games 0 0 0 Alasan Menyukai KegiatanTersebut Bisa langsung menanyakan hal yang tidak diketahui, dapat mengetahui cara bagaimana kita menghadapi anak mengadat, dll Dapat mempraktikkan langsung bagaimana cara mengatasi anak mengadat. G. Kegiatan yang Paling Tidak Disukai Peserta Pelatihan Aspek Penilaian Jumlah Persentase Ceramah Bermain peran 0 10 Alasan Tidak Menyukai Kegiatan Tersebut Sulit memerankan anak mengadat, sulit menyusun kata-kata, malu, sulit mengeluarkan ekspresi, dll. Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Lampiran 8. Foto-Foto Kegiatan Lokasi Tempat Pelatihan Lingkungan Lokasi Tempat Pelatihan Lingkungan Lokasi Tempat Pelatihan Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Dinding Ruang Pelatihan 1 Dinding Ruang Pelatihan 2 21 Dinding Ruang Pelatihan 3 31 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Meja Absen Peserta pelatihan Peserta pelatihan Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Diskusi kelompok Mengajukan pertanyaan Permainan Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Fasilitator 1 : Materi mengadat Fasilitator 2 : Materi Anak Emas Fasilitator 1 : Materi Komunikasi Efektif dan Anak Mengadat Fasilitator Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013 Suasana Pelatihan 1 Suasana Pelatihan 2 Pemberian hadiah kepada peserta dengan dengan skor tertinggi ke-3 Pelatihan komunikasi..., Agustina Wulandari, Psikologi, 2013