Jurnal Hukum.indd - Universitas Udayana Repository

advertisement
KERTHA PATRIKA
Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum
Volume 34 Nomor 1, Januari 2010
Penanggung Jawab:
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH.
Pemimpin Redaksi:
Prof. Dr. I Wayan P. Windia, S.H.,M.Si.
Dewan Redaksi:
Prof. Dr. Philipus M. Hadjon,SH. (Unsakti)
Prof. Dr. Nindyo Pramono,SH.,MS. (UGM)
Prof. Dr. Hikmahanto Juwana,SH.,LLM. (UI)
Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.,MS (Unud)
Prof. Dr. I Nyoman Sirtha,SH.,MS. (Unud)
Prof. Dr. I Gusti Ayu Agung Ariani,SH.,MS. (Unud)
Prof. Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS. (Unud)
Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum. (Unud)
Prof. Dr. Ibrahim R. SH.,M.Hum. (Unud)
Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan,SH.,M.Hum. (Unud)
Sekretaris Redaksi:
I Ketut Sudantra,SH.,MH.
IGN Parikesit Widiatedja,S.H.,M.Hum.
Administrasi:
I Gede Yusa,SH.,MH.
Cok Istri Anom Pemayun,SH.,MH.
AA Istri Ari Atu Dewi,SH.,MH.
Cokorda Dalem Dahana,SH.,M.Kn.
Kadek Sarna,SH.,M.Kn.
Bendahara:
Ni Luh Gede Astariyani,SH.,MH.
Distribusi:
Luh Putu Sri Arwati,SE.
Ni Nengah Serni
Alamat Redaksi:
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Jalan Bali No.1 Denpasar, Bali
Telp.(0361) 222666, Fax (0361)222666
[email protected]
Daftar Isi
Pengantar Redaksi ................................................
2
A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR
(Corporate Social Responsibility) di Indonesia
Ni Ketut Supasti Dharmawan .......................... 3 - 13
Implementasi Prinsip Tri Hita Karana dalam Kontrak
Konstruksi
I Wayan Wiryawan ........................................... 14 - 26
Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Korporasi di Indonesia
Dewa Suartha ................................................... 27 - 38
Implementasi
Good Corporate Governance (GCG)
dalam Perusahaan Publik di Indonesia
I Ketut Westra ................................................... 39 - 48
Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam AwigAwig dalam Kaitan dengan Penjatuhan Sanksi Adat
Kasepekang di Desa Pakraman
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi ..................... 49 - 64
Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan
Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee)
dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/pembaruan
Agraria
I Gusti Nyoman Agung .................................... 65 - 77
Fenomena Cyber Terrorism
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti ........... 78 - 87
Perlindungan Hak Asasi Anak
dalam Hukum Nasional
dan Hukum Internasional
I Gede Pasek Eka Wisanjaya ........................... 88 - 100
Implementasi Yuridis Kedudukan Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah Pusat di Daerah
Cokorda Istri Anom Pemayun........................... 101-110
Petunjuk Bagi Penulis ..........................................
Pracetak: Udayana University Press
Kampus Unud Sudirman Gedung Pascasarjana Lt.1 R1.1
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar-Bali Telp. (0361) 9173067
Design & Layout: I Putu Mertadana
111
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
1
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Pengantar Redaksi
Edisi perdana di tahun 2010 ini tampak mengalami berbagai perubahan.
Dari sisi tampilan, kulit muka (cover) Kertha Patrika berupaya menampilkan
ciri, identitas dan jati diri suatu jurnal hukum tanpa mengesampingkan aspek
seni dan estetika yang ada. Format penulisan pun juga telah disesuaikan
dengan mengikuti standar-stándar yang ada. Dari sisi personil, Kertha Patrika
juga mengalami pergantian staf redaksi untuk melakukan proses penyegaran
dan meningkatkan koordinasi baik secara internal maupun eksternal. Dari sisi
substansi, ada sesuatu yang membanggakan di edisi kali ini. Telah nampak
suatu kesadaran dan kegairahan untuk menulis yang ditunjukkan dengan
banyaknya naskah yang diterima oleh redaksi dan datang dari beberapa
bagian yang ada di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Hampir seluruh bagian menyumbangkan tulisannya di edisi ini.
Bagian Perdata diwakili oleh Ni Ketut Supasti Dharmawan dengan A Hybrid
Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility)
Di Indonesia, I Wayan Wiryawan dengan Implementasi Prinsip Tri Hita
Karana Dalam Kontrak Konstruksi, I Ketut Westra dengan Implementasi
Good Corporate Governance dalam Perusahaan Publik di Indonesia, dan I
Gusti Nyoman Agung dengan Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundangundangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum, Absentee) Dalam
Rangka Penyempurnaan UUPA/ Pembaruan Agraria. Dewa Suartha
mewakili Bagian Acara dengan tulisannya mengenai Pertanggungjawaban
Tindak Pidana Korporasi di Indonesia.Bagian Hukum Administrasi Negara
diwakili oleh Cokorda Istri Anom Pemayun dengan tulisannya Implementasi
Yuridis Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi mewakili Bagian Hukum dan Masyarakat
dengan tulisan Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-awig dalam
kaitan dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman.
Bagian Hukum Pidana diwakili oleh I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti,
SH dengan tulisannya Fenomena Cyber Terrorism. Sebagai pamungkas, Bagian
Internasional diwakili langsung oleh ketua bagiannya
I Gede Pasek
Eka Wisanjaya melalui tulisan Perlindungan Hak Asasi Anak dalam Hukum
Nasional dan Hukum Internasional.
Semoga dengan relatif seimbangnya informasi dan pengetahuan yang
diberikan oleh para penulis dari beberapa disiplin hukum yang berbeda, dapat
menyumbangkan segala konsep, ide, teori, dan pemikiran hukum dengan
melihatnya dari beragam sudut pandang dan fokus kajian. Pada gilirannya,
proses ini akan memperkaya khazanah keilmuan hukum yang ada khususnya
bagi Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Redaksi
2 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
A Hybrid Framework
Suatu Alternatif Pendekatan CSR
(Corporate Social Responsibility)
di Indonesia1
oleh:
Ni Ketut Supasti Dharmawan
(Bagian Hukum Perdata FH-Unud)
Abstract
There is different way to enforce a CSR in developed countries such as in Europe and America,
they enforce the CSR voluntary, otherwise in Indonesia, and it is enforced mandatory based on the
Act No. 40 Year 2007 and the Act No. 25 Year 2007. Alternatively, a Hybrid Framework can
be employed as solution for further enforcement of CSR in Indonesia instead of mandatory based.
Through a hybrid framework, the corporation may contribute better corporate social responsibility
that flexibly adopting their programs by reflecting the local genuine problem.
Key words: CSR, Voluntary based, Mandatory Based, A Hybrid Framework.
I.
PENDAHULUAN
Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
(UUPT) , khususnya Pasal 74, dan Pasal 15 huruf b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal (UUPM), maka CSR ( Corporate Social Responsibility ) di Indonesia secara resmi
terkonstruksi melalui bentuk Perundang-Undangan dengan sebutan ”Tanggung Jawab Sosial
Dan Lingkungan” pada UUPT, dan ”Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ” pada UUPM.
Sehubungan dengan keberadaan ”Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan” dan
”Tanggung Jawab Sosial Perusahaan” dalam kedua Undang-Undang tersebut di atas, ternyata
telah mengundang pendapat pro dan kontra dari berbagai kalangan. Konsep CSR di pergaulan
dunia internasional lebih dikenal sebagai konsep yang pelaksanaannya melalui framework
”voluntary based”, atau tim peneliti dari Komisi Hukum Nasional
(KHN) menyebutkan
bahwa dalam praktik CSR berlangsung melalui mekanisme soft law ( deregulasi) seperti code
of conducts. Mekanisme soft law ini,2 telah menjadi ciri tersendiri dari pelaksanaan CSR di dunia
hukum korporasi.3 Meskipun dalam praktek korporasi di negara-negara maju seperti misalnya
1
2
3
Makalah ini disajikan sebagai bahasan atas Makalah Utama yang disajikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro,SH,MH
dengan tema: “CSR ( Corporate Social Responsibility) dalam peraturan Perundang-undangan”, yang disampaikan dalam Acara
DISEMINASI REKOMENDASI BAGI PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA, Kerjasama Komisi Hukum
Nasional RI dengan FH UNUD Bali, Ina Sindhu Beach Sanur Bali, 16 November 2009.
Soft law is collectively rules that are neither strictly binding nor completely lacking in legal significance. In international law , soft law : Guideline,
police declarations, or codes of conduct that set standards of conduct but are not legally binding. See Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law
Dictionary, Thomson West Publishing Co, USA, page 1426.
Mardjono Reksodiputro( Tim Peneliti KHN), CSR ( Corporate Social Responsibility) Dalam Peraturan Perundang-Undangan,
Makalah Desiminasi, 2009, hal 4.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
3
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
di Amerika dan Uni Eropa, CSR diatur melalui mekanisme soft law, namun keberadaan CSR di
Indonesia secara tegas diformulasikan dalam bentuk perundang-undangan (UUPT dan UUPM).
Sehubungan dengan penomena tersebut, CSR dari konsep awalnya voluntary based bergeser
ke mandatory based, ternyata telah menimbulkan perdebatan dan diskusi hangat, pro dan kontra
mempertanyakan tentang ketidaklaziman pengaturan CSR (secara mandatary) yang berbeda
dengan praktek-praktek di negara maju. Dalam acara Desiminasi Rekomendasi KHN, fokus
kajian dan rekomendasi lebih diarahkan untuk mengkaji keberadaan CSR di Indonesia yang
tidak sama dengan kelazimannya di negara-negara seperti Eropa dan Amerika, juga mengkritisi
tentang apakah ”Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan” serta ”Tanggung jawab Sosial
Perusahaan” memiliki konsep yang sama dengan CSR di negara-negara maju ? serta bagaimanakah
keberadaan Pasal 74 U.U. No. 40 Tahun 2007 yang mengatur tentang ”Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan” apakah keberadaan pasal tersebut tidak tumpang tindih (inkonsisten) dengan
perundang-undangan lainnya? atau bahkan inkonsisten dalam Undang-Undang itu sendiri.
Sehubungan dengan tema sentral kajian tersebut diatas, melalui kertas kerja / makalah
ini saya mencoba untuk ikut menyumbangkan pemikiran dan rekomendasi. Pokok-pokok
pembahasan dalam tulisan ini hanya akan difokuskan pada perbedaan model pendekatan dan
argumentasi pendukungnya, serta luas cakupan konsep CSR di Indonesia yang tertuang dalam
UUPM dan UUPT dan perbandingannya dengan CSR di Eropa dan negara maju lainnya.
Dalam tulisan ini, digunakan studi kepustakaan4 yaitu dengan meneliti bahan hukum
primer dan sekunder untuk mengkaji dan membahas keberadaan CSR di Indonesia dan
perbandingannya dengan konsep dan teori CSR di negara-negara maju.
II. PEMBAHASAN
1.
Studi Perbandingan Tentang CSR Dalam Dunia Korporasi Di Negara Maju
Dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Dalam UUPT dan Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan Pada UUPM
Keberadaan dan perkembangan CSR secara yuridis formal dengan menyebut secara tegas
istilah ”Tanggung Jawab Sosial Perusahaan” (CSR) memang masih sangat dini di Indonesia,
yaitu melalui pendekatan mandatory diatur dalam UUPT 2007 dan UUPM 2007. Namun demikian,
dalam bentuk dan ”nama lain” CSR sudah dikenal sejak lama di Indonesia, misalnya dalam
bentuk ”peran serta perusahaan” terhadap pembangunan di masyarakat sekitarnya. Kemudian
dengan diundangkannya UUPT dan UUPM perusahaan-perusahaan besar atau perusahaanperusahaan multinasional mulai mengembangkan program dan konsep CSR.
Praktek perusahaan-perusahaan di Eropa dan Amerika Serikat ( perusahaan transnasional)
menunjukkan bahwa norma-norma CSR dicantumkan dalam code of conduct, dan merupakan satu
tipe regulasi internal yang mampu diterapkan atau diberlakukan pada perusahaan yang globalised.
Konsep CSR atau pertanggungjawaban sosial di negara-negara maju seperti di Eropa dan AS
diberlakukan dan bersifat sukarela atau voluntary.5
CSR diterapkan secara sukarela (voluntary based) di negara-negara maju tentu saja menjadi
4
5
In legal research, case law, treaties and statutes constituted as part of primary source, otherwise such mass media and
textbooks fall within secondary sources. See The Staffs of George Washington University Journal of International Law
and Economic, 1993. Guide to International Legal Research, Second Edition, Butterworth Legal Publishers, United States, page
37.
Ibid, hal 12
4 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia
Ni Ketut Supasti Dharmawan
wajar-wajar saja dan tidak terlalu istimewa, terutama jika praktek tersebut dikaitkan dengan
berbagai definisi tentang CSR yang dapat dijumpai dari berbagai literatur. Seperti misalnya
menurut World Bank, CSR didefinisikan sebagai ”the commitment of business to contribute to sustainable
economic development working with employees and their representatives the local community and society at large
to improve quality of life, in ways that are both and good for business development.”6 Senada dengan
World Bank, Danette Wineberg and Philip H Rudolph mengemukakan definisi CSR adalah
“the contribution that a company make in society through its core business activities, its social investment and
philanthropy programs, and its engagement in public policy.”7 Mencermati adanya konsep Corporate
Philanthropy (CP), yaitu kedermawanan perusahaan dan komitmen perusahaan dalam memberi
kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (tempat
perusahaan beroperasional), sekali lagi menjadi sangat wajar jika praktek penerapan CSR di
negara-negara maju diterapkan secara sukarela atau voluntary.
Keberadaan CSR di Indonesia sekarang ini, selain kontroversial yaitu perdebatan seputar
voluntary based v. mandatory based, juga persoalan lain yang juga dipertanyakan adalah mengapa
perusahaan atau korporasi yang harus melakukan tanggung jawab sosial ? mengapa bukan pihak
lainnya ? mengapa tanggung jawab sosial harus dibebankan kepada perusahaan ?. Jawabannya
akan menjadi sangat sederhana jika mengacu pada legal term “CSR” adalah kepanjangan dari
Corporate Social Responsibility, tentu saja dari istilah dan konsep tersebut menentukan perusahaan
atau korporasi yang mempunyai tanggung jawab sosial. Sehubungan dengan mengapa korporasi
atau perusahaan harus bertanggungjawab dan seberapa besar tanggungjawab social yang harus
dilakukan oleh perusahaan, dalam ranah keilmuan di kenal empat (4) teori yang berkaitan dengan
tanggung jawab sosial dari perusahaan yaitu: 8
•
Maximizing Profits theory, berdasarkan teori ini, yang lebih dikenal sebagai teori atau pandangan
tradisional tentang tanggung jawab sosial, mengemukakan bahwa sebagai bentuk dari
tanggung jawab sosial perusahaan, maka perusahaan berkewajiban untuk meningkatkan
dan memaksimalkan keuntungan dari shareholders (pemilik saham perusahaan). Menurut
Milton Friedman, seorang pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi melalui teorinya
menambahkan bahwa memaksimalkan profit diartikan sepanjang dilakukan dalam jalur
yang tepat (rule game) dalam skema persaingan bebas tanpa suatu kecurangan. Teori ini
banyak dikecam karena hanya menekankan pada tanggungjaab dan kewajiban meningkatkan
keuntungan bagi shareholders.
•
Moral Minimum theory, konsep tanggung jawab sosial menurut teori yang ke dua ini adalah
bahwa perusahaan wajib untuk menghasilkan keuntungan dalam operasinya, namun jangan
sampai merugikan atau membahayakan pihak lainnya. Sebagai contoh dalam teori ini
jika suatu perusahaan menimbulkan pencemaran lingkungan, maka perusahaan tersebut
wajib memberikan kompensasi ganti rugi atas kerugian yang terjadi. Jika kemudian pihak
perusahaan telah memberikan ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang diakibatkan
oleh pencemaran lingkungan tersebut , maka perusahaan tersebut telah melakukan
tanggung jawab sosial yaitu memenuhi moral minimum konsep CSR. Teori ini pun banyak
menuai kritik karena tanggung jawab sosial hanya berorientasi pada program pemulihan
keadaan setelah terjadi negatif effects .
6
7
8
Johannes Simatupang, Memeriksa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, http://johannessimatupang.wordpress.com/2009/06/08/,
diakses 8 Nopember 2009, hal 1.
Mardjono Reksodiputro, op. cit, hal 2.
Henry R. Cheeseman, 2003. Contemporary Business & E-Commerce Law, Prentice Hall Upper Saddle River, New Jersey,
page186-192.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
5
KERTHA PATRIKA
•
•
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Stakeholder Interest Theory, menurut teori ini perusahaan harus mempertimbangkan efek
dari kegiatan operasionalnya terhadap kepentingan stakeholder (karyawan, konsumen,
kreditor, masyarakat setempat). Kritik terhadap teori ini adalah bahwa tidak mudah
mengharmonisasikan kepentingan stakeholder yang satu dengan stakeholder lainnya, misalnya
suatu tindakan mungkin akan mememenuhi kepentingan stakeholder dari kalangan para
kreditor, namun belum tentu memenuhi keinginan dan kepentingan stakeholder pegawai/
karyawan maupun masyarakat setempat.
Corporate Citizenship theory, menurut teori ini, tanggung jawab sosial berarti perusahaan
berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang baik (to do good) baik untuk perkembangan
perusahaannya sendiri maupun keseluruhan stakeholders termasuk didalamnya lingkungan,
perusahaan bertanggungjawab untuk membantu memecahkan masalah sosial, mensubsidi
mendirikan sekolah-sekolah maupun mendidik anak-anak. Teori ini kemudian banyak
diikuti berkaitan dengan penerapan CSR dalam praktek.
Senada dengan Corporate Citizenship theory, berkembang konsep CSR dengan tiga piramida
dasarnya berdasarkan konsep triple bottom lines yaitu : profit, people, dan planet (3P), keberadaan
perusahaan ataupun korporasi tidak hanya dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan, akan
tetapi sejak awal sudah turut melakukan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, orangorang, atau stakholdernya dan lingkungan.
Konsep CSR di Eropa dan AS, jika dikaitkan dengan CSR yang tercantum dalam UndangUndang Penanaman Modal (UU No. 25 Tahun 2007 ) dan Undang-Undang PT (UU No.
40 Tahun 2007 ) memang terlihat ada perbedaan. Konsep dan teori-teori CSR sebagaimana
tersebut diatas, khususnya dari “pemaksaan” pelaksanaannya dan luas cakupan dari CSR itu
sendiri. Sekali lagi di negara-negara maju mekanisme pelaksanaannya CSR adalah voluntary based,
sedangkan di Indonesia adalah mandatory atau kewajiban hukum, kewajiban tersebut sangat tegas
dicantumkan melalui ketentuan Pasal 15 dan Pasal 34 UU No. 25 Tahun 2007 yang menentukan
bahwa : setiap Penanam Modal (perseroan ataupun perusahaan berbadan hukum ataupun bukan
badan hukum) berkewajiban untuk:
1. Menerapkan prinsip dan tata kelola perusahaan yang baik
2. Melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan
3. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada
Badan Koordinasi Penanaman Modal
4. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal
5. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan ( Pasal 5 UU No 25 Tahun
2007 )9
Undang-Undang Penanaman Modal mengatur sanksi secara tegas mengenai pelanggaran
terhadap kewajiban CSR yaitu:
1. Peringatan tertulis
2. Pembatasan kegiatan usaha
3. Pembekuan kegiatan usaha dan / atau fasilitas penanaman modal dan
4. Pencabutan kegiatan usaha dan / atau fasilitas penanaman modal.
Sementara itu CSR dalam UU PT yang kemudian lebih dikenal sebagai Tanggung Jawab
9
Jamin Ginting, 2007,. Hukum Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 98.
6 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia
Ni Ketut Supasti Dharmawan
Sosial Dan Lingkungan, melalui ketentuan Pasal 74 U.U. No. 40 Tahun 2007 menyebutkan
bahwa:
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan
sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan
peraturan pemerintah.
5. Penjelasan Pasal 74 UUPT menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan
usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan yang dimaksud
dengan ”perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber
daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya
alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Dengan mencermati bunyi Pasal 74 UUPT dan kemudian membandingkannya konsep
CSR di negara-negara maju, saya sependapat dengan tim peneliti dari KHN bahwa bahwa konsep
dasar Tanggung Jawab Sosial Korporasi dalam Undang-Undang tersebut telah mengalami
perubahan yaitu dari konsep dasar ’tanggung jawab sosial” (social responsibility) menjadi
”kewajiban hukum” (legal obligation). Meskipun konsep CSR kemudian mengalami
perubahan ketika diterapkan di Indonesia, kiranya itu bukan suatu kesalahan. CSR sebagai suatu
konsep, sebagai suatu pemahaman seperti halnya perkembangan teori-teori CSR tersebut diatas,
bukanlah sesuatu yang vacuum melainkan senantiasa progress dan berubah. Dengan demikian bukan
merupakan sesuatu yang sangat aneh jika dalam penerapannya di Indonesia konsep CSR berubah
dari social responsibility menjadi legal obligation, jika memang perubahan pemahaman atas konsep
CSR tersebut lebih tepat untuk mengakomodir tidak hanya kepentingan perusahaan, akan
tetapi juga seluruh stakeholders perusahaan seperti: masyarakat setempat, karyawan, konsumen,
investor, dan pemerintah. CSR sebagai salah satu perwujudan best practice dari GCG (Good
Corporate Governance), jika memang dalam kontekstualnya di Indonesia lebih tepat diformulasikan
melalui bentuk Undang-Undang, mengapa tidak ? Indonesia harus berani berbeda karena
memang situasi dan kondisi indonesia berbeda dengan negara-negara maju seperti Amerika dan
Eropa.
Sebagaimana telah dikemukakan, Indonesia harus berani berbeda dengan negara-negara
maju dalam penerapkan CSR jika memang itu diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan,
kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat, melindungi, melestarikan dan merabilitasi
lingkungan hidup manusia serta pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
Secara singkat, konsep CSR idealnya tetap dikaitkan dengan konsep Community Development (CD).
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pengaturan dan pengimplementasian CSR di Indonesia,
adalah suatu progress step dan langkah yang sangat berarti bagi perkembangan Indonesia ke depan
dengan berani ”bertegur sapa” dengan pluralism approach, terutama jika memang pendekatan
itu yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia (masyarakatnya, lingkungannya, dan juga
alamnya). Melalui mekanisme mandatory based, kepastian bahwa keberadaan perusahaan tidak
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
7
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
hanya akan memikirkan perkembangan perusahaan itu sendiri akan tetapi sama pentingnya
dengan berkontrubusi untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat
setempat dimana perusahaan tersebut beroperasi. Secara etis moral, perusahaan dinilai memiliki
tanggung jawab sosial terhadap lingkungan masyarakatnya. Untuk memastikan bahwa tanggung
jawab sosial itu terlaksana dengan baik, pendekatan legal obligation atau konsep pertanggungjawaban
sosial yang bersifat mandatory kiranya tidak berlebihan diterapkan di Indonesia.
Archie B. Carrol, mengembangkan piramida CSR yaitu sebagai suatu kepedulian perusahaan
yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lones : profit, people, dan planet
( 3P), konsep piramida CSR haruslah difahami sebagai suatu kesatuan. Dalam pemahaman CSR
sebagai suatu kesatuan, maka penerapan CSR dipandang sebagai sebuah keharusan. Karenanya
CSR bukan saja sebagai tanggungjawab, tetapi juga sebuah kewajiban.10
Kontroversi tentang pengaturan CSR dalam Undang-Undang di Indonesia kiranya juga
sah-sah saja, sebab baik yang pro maupun yang kontra, mereka mempunyai argumentasi yang
kuat untuk mendukung pendapatnya. Seperti halnya pandangan yang mengkritisi legalisasi CSR
ke dalam Undang-Undang yang khusus mengatur tentang korporasi, memandang legalisasi
seperti itu malah akan membebankan pihak pengusaha. Kelaziman praktek CSR juga menjadi
argumentasi yang relevan untuk mengkritisi pengaturan CSR ke dalam bentuk Undang-Undang.
Praktek CSR yang berlangsung lewat mekanisme soft laws ( deregulasi) seperti code of conducts
telah menjadi ciri tersendiri pelaksanaan CSR di dunia hukum korporasi, karenanya setiap upaya
untuk menstransformasikan CSR dalam hukum perusahaan (regulasi) akan selalu memunculkan
permasalahan dan preseden regulasi. CSR dengan ciri khasnya yang terformulasikan dalam
bentuk soft law sesungguhnya berada di luar wilayah hukum formal.
Tanggung jawab sosial adalah tanggung jawab sebuah organisasi atas dampak dari
keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku transparan dan
etis, konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Konsep CSR
dengan demensinya (lingkungan, hak asasi manusia, pemberdayaan masyarakat, organizational
governance, isu konsumen, dan praktek bisnis yang sehat), pelaksanaannya sangat beragam dan
sangat bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela yang didasarkan pada dorongan
moral dan etika, dan biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan
perundang-undangan. Oleh karena penerapan CSR dalam prakteknya selalu disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakatnya. Pendekatan regulasi
(dalam bentuk UU) sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan fairness,
seperti mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, yang tidak hanya pelaporan tentang
aspek keuangan, akan tetapi juga pelaporan yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan
GCG.11 Namun demikian keberadaan CSR dalam bentuk Undang-Undang juga akan dapat
menjadi dasar hukum bagi sektor bisnis agar mampu menjalankan kegiatan usahanya secara lebih
bertanggung jawab dan bagi masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban para pebisnis atas
berbagai malpraktek yang dilakukannya selama ini dan berdampak sangat merugikan tidak hanya
masyarakat setempat, lingkungan, dan bumi Indonesia.
Di negara Eropa, situasi kontroversi sehubungan dengan penerapan CSR juga terjadi seperti
yang dialami di Indonesia. Meskipun kelazimannya CSR diterapkan secara sukarela di Eropa,
10
11
Bing Bedjo Tanudjaja, Perkembangan Corporate Social Responsibility Di Indonesia, http://www.petra.ac.id/ , diakses 8 November
2009, hal.93.
Mohamad S. Hidayat, Pandangan Dunia Usaha Terhadap Undang-Undang, http://www.madani-ri.com/2007/10/31 , diakses
7 Nopember 2009, hal 3.
8 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia
Ni Ketut Supasti Dharmawan
namun dewasa ini, seiring dengan banyaknya terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh korporasi, seperti pelanggaran HAM12, keinginan untuk menerapkan konsep CSR melalui
pendekatan Undang-Undang mulai tumbuh secara progress dan umumnya disuarakan oleh
kalangan akademisi dan Non Government Organization (NGO). Kalangan ini berargumen bahwa
tanggungjawab korporasi terutama yang berdimensi human rights terlalu riskan dan amat penting
jika hanya dibiarkan dikelola oleh korporasi. Menurut pandangan para akademisi dan NGO ini,
kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh korporasi sudah sewajarnya diimbangi dengan serangkaian
tanggungjawab berbasis hukum, terutama korporasi-korporasi dari kalangan Foreign Direct
Investment (FDI) yang memiliki serentetan hak-hak yang sangat mendominasi, mengapa harus
takut membebani mereka dengan kewajiban hukum. Namun demikian dalam kenyataannya
suara-suara mereka belum cukup kuat jika dibandingkan dengan kekuatan korporasi, sehingga di
Eropa, CSR masih diterapkan sesuai konsep awalnya yaitu dalam bentuk social responsibility yang
voluntary based.13
Di Eropa, starting point tentang perdebatan CSR antara regulatory atau voluntary, khususnya
tanggung jawab perusahaan terkait human rights, social and environmental responsibilities, dapat
disebutkan berawal dari the EU’s Corporate Social Responsibility Police: The European Commission’s Green
Paper On CSR of 2001. Mengkaji proses perkembangannya, The Green Paper 2001 mendifinisikan
CSR sebagai sebuah konsep pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap stakeholders nya
dengan basis voluntary atau secara sukarela, namun tetap mempertimbangkan peran aktif dari
otoritas publik. Perkembangan selanjutnya tentang CSR adalah pada tahun 2002, melalui the EU
Multi-Stakeholder Forum dan the Lisbon Strategy review pada tahun 2005 yang nampaknya masih
didominasi oleh para pebisnis (korporasi), karenanya CSR pendekatannya masih pada ranah
voluntary. Di sisi lain, pandangan dari the European Parliement agak kontras (berbeda) dengan
the EU Multi-Stakeholder Forum maupun the Green Paper 2001, dengan mengedepankan konsep
a mixed approach, yaitu suatu kombinasi voluntary dan regulatory. Meskipun European Parliement dan
juga NGO yang pada awalnya berkeinginan agar CSR diterapkan dalam format regulatory, namun
dalam perkembangannya ternyata suara korporasi yang masih tetap unggul, dan sebagai hasil
akhirnya sudah dapat dipastikan bahwa CSR tetap dalam format voluntary approach14.
Proses perdebatan dan kontroversi tentang pendekatan CSR di Eropa, kiranya juga dapat
dijadikan perenungan bahwa meski di negara maju seperti Eropa, konsep CSR tidak begitu saja
harus diterapkan dalam format voluntary, akan tetapi ada juga keinginan untuk mengaturnya
dalam format regulatory, atau pendekatan yang lebih memadai dengan mixed framework
A mixed framework atau a hybrid framework adalah sebuah pendekatan yang menggabungkan
antara pelaksanaan CSR secara voluntary dan regulatory. Dalam pendekatan hybrid ini tidak melihat
keduanya terpisah secara ekslusif, akan tetapi melihatnya sebagai dua hal yang saling melengkapi.
Dengan adanya suatu usaha legislasi, itu bukan berarti menganggap inisiatif voluntary sebagai
suatu hal yang tidak penting, melainkan usaha atau pemasukan konsep CSR ke dalam Undangundang lebih dimaksudkan sebagai salah satu faktor yang akan dapat lebih mempengaruhi
12
13
14
Pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi terkait dengan keberadaan Korporasi (MNC) seperti misalnya dalam kasus
Filartiga v. Pena-Irala case, Wiwa v. Royal Dutch Petroleum Co Case, Doe I v Unocol Corp Case, dll . penomena seperti itu telah menarik banyak experts untuk melakukan penelitian terkait dengan tanggungjawab perusahaan. Lihat Menno T. Kamminga
and Saman Zia-Zarifi, 2000, Liability of Multinational Corporations Under International Law, Kluwer Law International, The
Netherlands, page 3.
Jan Wouters, Leen Chanet, Corporate Human Rights Responsibility : A European Perspective, http://www.law.nortwestern.edu/
journals/jihr/v6/n2/3 , diakses 8 Mei 2009, hal 3.
Ibid, hal 7-12.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
9
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
ketaatan prilaku korporasi dalam menjalankan tanggungjawab sosialnya. Dalam banyak hal, di
luar pendekatan regulatory framework, justru sangat diharapkan korporasi lebih dapat menjalankan
tanggungjawab sosialnya melebihi dari apa yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang. Melalui
alternatif hybrid model ini, secara yuridis setiap perusahaan sebagaimana pengertian perusahaan
dalam UUPT dan UUPM wajib menjalankan CSR, (mandatory based), namun dari aspek
mekanisme pelaksanaanya yang berkaitan dengan apakah perusahaan secara langsung atau harus
bermitra dengan pemerintah untuk melaksanakannya, begitu juga jenis-jenis kegiatan apa saja
yang menjadi cakupan dari CSR, apakah harus dalam bentuk rekrtmen pegawai, pemberian
beasiswa, pola pendampingan usaha, model-model pelestarian lingkungan, partisipasi aktif ke
masyarakat, dan lain sebagainya, kiranya pelaksanaannya dilakukan dalam sekema voluntary
based, dengan berorientasi pada local genuine problem. Model hybrid framework inilah yang kiranya
cukup memadai digunakan dalam penerapan CSR di Indonesia ditengah-tengah kontroversi
CSR antara voluntary dan regulatory ( mandatory).
Dalam kaitannya dengan persoalan apakah konsep CSR yang berlaku secara umum di dunia
korporasi sama dengan konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan di dalam UUPT No. 40
Tahun 2007, dapat dikemukakan bahwa dari segi pendekatan yang digunakan memang berbeda.
CSR yang berlaku secara umum di dunia korporasi berbasis social responsibility yang voluntary,
sementara itu dalam UU No. 40 Tahun 2007 tanggung jawab sosial yang berbasis ”kewajiban
hukum” atau legal obligation. Namun demikian, sebagaimana dengan model pendekatan a hybrid
framework seperti tersebut diatas, penerapan CSR dalam perundang-undangan hendaknya tidak
dilihat sebegai suatu yang berbenturan akan tetapi suatu pendekatan yang saling melengkapi.
Jikapun harus dilihat sebagai suatu yang berbeda, sekali lagi pencantuman konsep CSR dalam
format Undang-Undang bukan suatu ”kesalahan” melainkan suatu ”kebutuhan”.
Mencermati mengapa CSR dalam prakteknya (kelazimannya) di negara-negara maju
dilakukan secara voluntary, mungkin jawabannya karena ”kebutuhan” mereka seperti itu. Umumnya
korporasi-korporasi ”MNE”, holding company- nya berasal dari Eropa maupun Amerika. Dalam
situasi seperti itu penerapan CSR lebih menguntungkan jika dilakukan dengan pendekatan
voluntary. Jika negara negara maju posisinya ditukar, mereka berposisi seperti negara Indonesia
yang lingkungannya dan sumber daya alamnya dimanfaatkan untuk kepentingan operasional
bisnis para korporasi, akankah kebutuhan mereka tetap menginginkan CSR diterapkan dengan
pendekatan voluntary ? atau jangan-jangan dengan bargaining position mereka yang lebih kuat,
pihaknya akan memaksakan agar CSR dimasukkan dalam framework regulatory.
Dalam perkembangan globalisasi sekarang ini, negara-negara maju yang memiliki posisi tawar
yang lebih kuat senantiasa sangat concern memperjuangkan framework regulatory jika menyangkut
”kebutuhannya”, seperti halnya dalam pengimplementasian WTO dengan berbagai Annex- nya
yang senantiasa menuai kontroversial. Bagi negara maju, globalisasi ekonomi dan international
trade tentunya sangat menguntungkan, namun belum tentu situasinya sama bagi negara-negara
berkembang. Oleh karenanya penerapannya mesti dibarengi dengan good governance dan bantuan
secara berkesinambungan dari negara-negara maju, sebab jika tidak kehadiran perangkat regulasi
ini lebih akan menjadi kutukan atau nestapa (a curse ) dari pada berkah (a blessing to humankind).15
Dalam hal ’kebutuhan” berkorelasi dan menyangkut ”keadilan” masyarakat manusia dan alam
lingkungannya, kiranya bertegur sapa dengan pendekatan pluralisme bukanlah sesuatu yang
tabu.
15
Peter Van Den Bossche,2008. The Law And Policy of the World Trade Organization, Cambridge University Press, page 71.
10 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia
Ni Ketut Supasti Dharmawan
2.
Perbandingan Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (UU No. 25 Tahun 2007)
dan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan (UU No. 40 Tahun 2007) Dengan
Konsep CSR di Eropa Dan Amerika.
Sehubungan dengan keberadaan Pasal 15 huruf b UUPM serta penjelasannya tentang
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) dan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 74
Ayat 1 UUPT berkaitan dengan kewajiban perseroan untuk melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial Dan Lingkungan ( TJSL), kiranya memang konsep yang diakomodirnya tidak sama persis
dengan CSR di Eropa dan AS. CSR baik dalam UUPM maupun UUPT hanya mengedepankan
kewajiban perusahaan untuk menciptakan dan memelihara bina lingkungan yaitu berinteraksi
dan menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma,
dan budaya masyarakat setempat. Konsep CSR seperti yang lazim dipraktekkan di Eropa dan
Amerika cakupannya lebih luas juga mencakup kewajiban perusahaan untuk mematuhi standar
internasional di bidang ketenagakerjaan, pemenuhan kepuasan, atau kebutuhan pemangku
kepentingan seperti misalnya konsumen.16 Secara eksplisit cakupan yang seluas CSR di negara
maju memang tidak diatur baik dalam UUPM maupun UUPT. Mengingat CSR merupakan
salah satu bentuk perwujudan dari best practice GCG, kiranya kedepannya akan sangat relevan
dalam UUPM maupun UUPT mengatur secara eksplisit prihal kewajiban mematuhi standar
internasional di bidang ketenagakerjaan, seperti halnya yang lazim dalam praktek di Eropa dan
Amerika, begitu juga kewajiban tanggungjawab sosial ( pemenuhan kepuasan dan kebutuhan )
pemangku kepentingan seperti konsumen.
Perbedaan konsep CSR dalam UU di Indonesia dengan CSR di negara maju, selain dalam
UUPM maupun UUPT tidak mengakomodir secara eksplisit elemen-elemen penting dari
CSR sebagaimana konsep CSR di negara maju, saya sependapat dengan tim peneliti dari KHN
bahwa keduanya tidak secara tegas mencantumkan dan menjelaskan apakah konsep CSR dalam
Undang-Undang tersebut mencakup bidang ketenagakerjaan dan hak asasi manusi seperti CSR
di negara maju. Dalam UUPT Pasal 1 angka 3 hanya menyebutkan : ”Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat.” Selain
itu, saya juga sependapat dengan pemakalah, bahwa CSR dalam UUPT terkesan diskriminatif,
yaitu karena hanya mewajibkan TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan / atau yang berkaitan dengan sumber daya alam saja. Idealnya CSR diterapkan pada
perseroan dalam semua lini.
Konflik norma tampak jelas mewarnai keberadaan CSR dalam UUPT, terutama pada Pasal
1 angka 3 dengan Pasal 74. pada Pasal 1 ayat 3 UUPTmenyebutkan ”tanggung jawab sosial dan
lingkungan adalah merupakan komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat,
baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”, sementara
itu pada Pasal 74 UUPT mengemukakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di
bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial
dan lingkungan, jika kewajiban itu tidak dilaksanakan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam konteks ini, dengan mendasarkan pada konstruksi hukum yang
dikemukakan oleh Lawerence Friedman, dimana sistem hukum ( legal system) terdiri dari tiga
16
Mardjono Reksodiputro, OpCit, hal 10.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
11
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
unsur yaitu legal substance ( substansi hukum ), legal structure ( struktur hukum ) dan legal culture
( budaya hukum),17 idealnya suatu produk hukum mengakomodir sistem hukum sebagaimana
dikemukakan oleh Friedman agar dalam penerapannya tidak bermasalah. Jika dalam tatanan legal
substance (substansi hukumnya) terjadi konflik norma maupun norma kabur, tentu saja dalam
proses penegakan hukumnya akan menyulitkan dan akan menjadi sebagai salah satu faktor
penyebab tidak efektifnya hukum dalam ranah penegakannya. Rekomendasi yang dapat diajukan
adalah untuk mencermati kembali keberadaan pasal 1 ayat 3 dan relasinya dengan Pasal 74
UUPT .
III. PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian pada Bab Pembahasan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa penerapan konsep CSR di negara Eropa dan Amerika tidak sama dengan di
Indonesia, dimana di negara maju tersebut CSR diterapkan dengan mekanisme voluntary
based sedangkan di Indonesia melalui UUPT dan UUPM diterapkan dengan mandatory
based.
2. Pendekatan hybrid framework relevan sebagai suatu alternatif penerapan konsep CSR dalam
situasi kontekstual, terutama pada kondisi kontroversial antara pendekatan regulatory (legal
obligation) seperti dalam UUPM dan UUPT dengan voluntary based sebagaimana penerapan
CSR di negara-negara maju.
3. Konsep CSR yang dituangkan dalam UUPM dan UUPT cakupannya lebih sempit dari
konsep CSR di negara maju seperti Eropa dan Amerika. Baik UUPM maupun UUPT
tidak secara tegas mengakomodir kewajiban tanggungjawab sosial yang terkait dengan
bidang ketenagakerjaan, lingkungan hidup dan hak asasi manusia, serta tidak secara eksplisit
menentukan adanya kewajiban tanggungjawab sosial (pemenuhan kepuasan dan kebutuhan
) pada pemangku kepentingan seperti konsumen.
4. Pengaturan CSR dalam UUPT selain diskriminatif juga diwarnai dengan konflik
norma, sehingga substansi hukum seperti itu akan dapat menjadi faktor penghambat dalam
pengimplementasiannya.
Rekomendasi
1.
2.
17
Hendaknya pendekatan regulatory berkaitan dengan CSR di Indonesia tidak dibenturkan
dengan tajam dengan pendekatan voluntary, melainkan dipahami sebagai suatu pendekatan
yang saling melengkapi. A Hybrid Framework dapat dijadikan sebagai suatu alternatif solusi
.dalam penerapan CSR di Indonesia
Perlu pengkajian lebih mendalam tentang substansi hukum dalam UUPT agar tidak terjadi
konflik norma.
Lawrence Friedman, 2001, American law : An introduction, 2nd edition, diterjemahkan oleh Wisnu basuki, Tatanusa, bandung,
hal 6-12.
12 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia
Ni Ketut Supasti Dharmawan
DAFTAR PUSTAKA
Bryan A. Garner.2004. Black’s Law Dictionary..USA: Thomson West Publishing Co.
Henry R. Cheeseman. 2003. Contemporary Business & E-Commerce Law. New Jersey: Prentice Hall
Upper Saddle River.
Jamin Ginting. 2007. Hukum Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007). Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Lawrence Friedman. 2001. American law: An introduction, 2nd edition. Diterjemahkan oleh Wisnu
Basuki.Bandung: Tatanusa.
Menno T. Kamminga and Saman Zia-Zarifi. 2000. Liability of Multinational Corporations Under
International Law. The Netherlands: Kluwer Law International.
Peter Van Den Bossche 2008. The Law And Policy of the World Trade Organization. Cambridge
University Press.
The Staffs of George Washington University Journal of International Law and Economic.1993.
Guide to International Legal Research, Second Edition. USA: Butterworth Legal Publishers.
Mardjono Reksodiputro.2009. CSR ( Corporate Social Responsibility) Dalam Peraturan Perundangundangan. Makalah Desiminasi.
Bing Bedjo Tanudjaja, Perkembangan Corporate Social Responsibility Di Indonesia, http://www.petra.
ac.id/
Jan Wouters, Leen Chanet, Corporate Human Rights Responsibility : A European Perspective, http://
www.law.nortwestern.edu/journals/jihr/v6/n2/3
Johannes Simatupang, Memeriksa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, http://johannessimatupang.
wordpress.com/2009/06/08/
Mohamad S. Hidayat, Pandangan Dunia Usaha Terhadap Undang-Undang, http://www.madaniri.com/2007/10/31
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
13
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Implementasi Prinsip Tri Hita Karana
dalam Kontrak Konstruksi.1
Oleh:
I Wayan Wiryawan
(Bagian Hukum Perdata FH-Unud)
Abstract
The Tri Hita Karana literally means three things that cause welfare, as an expression of relating
pattern in harmony and equitability bears universal values, it means could be implemented by everyone
in live activities or in contractual related between each individual and others. Relating to the construction
contract, the form and function of Tri Hita Karana which are reflected in scope of construction
works are covered of planning construction works, implementing construction works and controlling
construction works.
Keywords: Implementation, Tri Hita Karana, Construction Contract.
I. PENDAHULUAN
Dalam pembangunan nasional, bidang usaha jasa konstruksi mempunyai peranan penting
dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan dan bentuk
fisik lain, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan
dan perkembangan bidang ekonomi, sosial dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata material dan spritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Selain berperan mendukung berbagai pembangunan, usaha jasa konstruksi berperan
pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya industri barang dan jasa yang diperlukan
dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.2 Bidang usaha jasa konstruksi diharapkan mampu
mengembangkan perannya dalam pembangunan melalui peningkatan keandalan yang didukung
oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang
berkualitas. Keandalan tersebut tercermin dalam daya saing dan kemampuan menyelenggarakan
pekerjaan konstruksi secara lebih efisien dan ekektif. Struktur usaha yang kokoh tercermin
dengan terwujudnya pola kemitraan yang sinergis antara pengguna jasa dan penyedia jasa baik
yang berskala besar, menengah dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum, spesialis, dan
terampil. Untuk itu perlu diwujudkan pola ketertiban penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi
untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan
kewajiban.
1
2
Disampaikan Pada Seminar Pekan Ilmiah Dalam Rangka HUT Ke- XLV Dan Badan Kekeluargaan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar ,9-10 Oktober 2009.
Penjelasan Umum Undang-Undang Jasa Konstruksi (angka 1).
14 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Prinsip Tri Hita Karana dalam Kontrak Konstruksi
I Wayan Wiryawan
Dengan demikian pengaturan jasa konstruksi mempunyai tujuan untuk:
a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan
struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang
berkualitas;
b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan
kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta
meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.3
Dalam kaitannya dengan tujuan pengaturan jasa konstruksi tersebut untuk mewujudkan
tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, perlu dikemukakan jenis usaha jasa konstruksi,
yaitu: usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksana konstruksi dan usaha pengawasan
konstruksi. Adapun bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitek, sipil, mekanikal,
elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya. Para pihak yang terlibat
dalam pekerjaan konstruksi adalah yang disebut pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa.
Pengaturan hubungan kerja para pihak tersebut dituangkan ke dalam bentuk kontrak konstruksi.4
Salah satu syarat dalam kontrak konstruksi itu mencakup uraian mengenai kewajiban para pihak
dalam pemenuhan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bentuk tanggungjawab
mengenai gangguan terhadap lingkungan dan manusia.5
Kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi perlu ditingkatkan
termasuk kepatuhan para pihak yakni pengguna jasa dan penyedia jasa dalam pemenuhan
kewajibannya serta pemenuhan terhadap ketentuan yang terkait dengan aspek keamanan,
keselamatan, kesehatan dan lingkungan, agar dapat mewujudkan bangunan yang berkualitas dan
mampu berfungsi sebagaimana yang direncanakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, pengikatan dalam hubungan kerja kontrak
konstruksi di dalam implementasinya selain dilandasi oleh Undang-undang Jasa Konstruksi
(Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999) dan peraturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 2000), juga memperhatikan ketentuan mengenai prinsip dan norma hukum
yang berlaku dalam suatu wilayah atau tempat di mana penyelenggaraan kontrak konstruksi itu
diselenggarakan. Pada wilayah provinsi Bali, prinsip dan norma hukum yang dimaksud tertuang
dalam aturan tentang pemanfaatan tataruang wilayah yang dikenal dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi (disingkat RTWRP) Bali dan tertuang pula dalam aturan mengenai persyaratan
arsitektur bangunan, dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Peraturan Daerah yang mengatur
tentang pemanfaatan tataruang wilayah provinsi Bali yakni Perda RTRWP Bali Nomor 3 Tahun
2005 yang saat ini perubahannya masih dalam pembahasan, dan Peraturan Daerah Bali Nomor
5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.
Penyelenggaraan kontrak konstruksi di Bali sudah sepatutnya memperhatikan ketentuan
peraturan daerah yang dimaksud, karena kedua peraturan daerah tersebut, baik Peraturan
Daerah Nomor 3 tahun 2005 maupun Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 pada azasnya
berdasarkan pada landasan filosofis yang dikenal dengan Tri Hita Karana. Hal ini penting untuk
dikemukakan, sebab Tri Hita Karana telah menjadi landasan keharmonisan hidup masyarakat
3
4
5
Pasal 3 Undang-Undang Jasa Koonstruksi.
Pasal 22 Undang-Undang Jasa Konstruksi.
Pasal 22 Undang-Undang Jasa Konstruksi jo Pasal 23 ayat (1) Huruf m PP No. 29/2000
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
15
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Bali. Oleh karena itu perlu dikaji bagaimanakah wujud, fungsi dan implementasi Tri Hita
Karana dalam penyelenggaraan kontrak konstruksi di Bali serta penegakan hukumnya (dari
aspek filosofis, aspek yuridis dan aspek sosiologis).
II. PEMBAHASAN
1. Wujud dan Implementasi Tri Hita Karana
Berdasarkan etimologi, Tri Hita Karana terdiri dari kata: Tri artinya tiga, Hita artinya
kemakmuran, dan Karana artinya penyebab atau sebab musabab. Jadi, Tri Hita Karana diartikan
sebagai tiga unsur penyebab kebahagian atau kemakmuran. Tiga unsur yang dimaksud adalah:
Unsur pertama yang disebut dengan Parhyangan (Ida sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa); Unsur yang kedua yang disebut dengan Pawongan (Umat manusia); dan Unsur yang ketiga
yang disebut dengan Palemahan (Alam lingkungan). Konsepsi filosofis Tri Hita Karana tercantum
dalam Kitab Suci agama Hindu (Bhagawadgita: III.10) yang pada intinya menyebutkan bahwa Tri
Hita Karana adalah ”membangun kebahagiaan dengan mewujudkan sikap hidup yang seimbang
dan harmonis antara ber-bhakti (ketulusan) pada Tuhan, mengabdi pada sesama dan menyayangi
alam berdasarkan yadnya (ritual, korban suci)”.6
Harmonisasi dan keseimbangan berdasarkan yadnya dari tiga unsur tersebut sebagai sebab
(Karana) datangnya kebahagiaan atau kesejahteraan hidup (Hita). Dengan demikian harmoni
dan seimbang merupakan faktor yang menghasilkan keharmonisan dan keseimbangan sehingga
membentuk satu prinsip yang luhur sebagai bagian dari suatu sistem budaya untuk menuju pada
intergrated balance harmony. Menurut A White, suatu sistem budaya terbentuk atau terdiri atas tiga
elemen pokok yaitu: teknologi, sosiologi dan ideologi.7 Di dalam elemen teknologi terdiri atas
peralatan termasuk cara penggunaan atau pemakaiannya. Pada elemen sosiologi meliputi adat
kebiasaan (customs), pranata atau lembaga sosial (institution), dan peraturan (codes). Sedangkan
pada elemen idiologi mencakup ide-ide atau konsep-konsep dan kepercayaan. Ketiga elemen
sistem budaya itu saling terkait satu dengan yang lainnya. Masing-masing hanya bermakna kalau
berkolerasi satu dengan yang lain dalam satu kesatuan sistem secata keseluruhan.
Dalam konteks pengertian Tri Hita Karana, sistem budaya pada masyarakat Bali pada
hakekatnya adalah merupakan implementasi dari unsur Parhyangan yang analog dengan subsistem
budaya atau pola pikir, unsur Pawongan yang analog dengan subsistem sosial dan unsur Palemahan
yang analog dengan subsistem teknis atau kebendaan termasuk lingkungan alam.8
Berdasarkan konsepsi tersebut, Tri Hita Karana secara aplikatif merupakan ekspresi
pola-pola hubungan yang serasi, harmonis dan seimbang yang bersifat universal dalam arti
dapat diterapkan oleh setiap manusia dalam aktivitas kehidupannya ataupun dalam hubungan
kontraktual antara individu satu dengan individu lainnya. Sifat universal dari pola hubungan
yang serasi, harmonis dan seimbang tersebut tercermin di dalam pengaturan jasa konstruksi
yang berlandaskan pada asas keserasian dan keseimbangan, di samping asas kejujuran dan
6
7
8
I.B. Mantra, 2004. Bhagawadgita (Alih Bahasa Dan Penjelasan), Upada Sastra, Denpasar, h.22. Periksa: I Made Titib, Veda
(Sabda Suci) Pedoman Praktis Kehidupan, Paramita, Surabaya, 2004, h. 224. Periksa juga: I Ketut Wiana, 2004.Bali Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif (Tri Hita Karana Sehari-hari), Pustaka Bali Post, Denpasar, h. 264-265
A. White, The Concept of Culture System, Columbia University Press, New York.
Wayan Windia, Transformasi Sistem Irigasi Subak yang berlandaskan Konsep Tri Hita Karana, Pustaka Bali Post, Denpasar, 2006,
Cetakan Pertama, h. 28.
16 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Prinsip Tri Hita Karana dalam Kontrak Konstruksi
I Wayan Wiryawan
keadilan, manfaat, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan.9 Asas keserasian
mengandung pengertian harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa
dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan
produk berkualitas dan bermanfaat tinggi. Asas keseimbangan mengandung pengertian
bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin
terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya serta menjamin
terpilihnya penyedia jasa secara proporsional oleh pengguna jasa.
Sejalan dengan asas keseimbangan dalam kaitannya dengan hubungan kontraktual, patut
disimak pendapat Herlin Budiono yang menyatakan bahwa: ”asas keseimbangan difungsikan
sebagai pembenaran daya ikat suatu perjanjian di samping tiga asas pokok lainnya dalam hukum
kontrak yakni asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat dan asas kebebasan berkontrak”.10
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembenaran daya ikat suatu perjanjian itu diekstrasi dari cara
pikir khas Indonesia. Keterikatan kontraktual itu dilandaskan pada faktor idiil dan riil sebagai
”bahan dasar” (bouwstenen) yang mencakup pandangan hidup atau wawasan tertentu (pemahaman
tentang hukum, falsafah hukum dan cita hukum) serta realitas (kondisi faktual) suatu masyarakat
tertentu. Dengan demikian asas keseimbangan memiliki tujuan utama yaitu kepatutan sosial
(social gezindheid) untuk menjamin tercapainya keseimbangan antara individu satu dengan individu
lainnya atau individu dan masyarakatnya.11
Oleh karena itu, wujud dan implementasi Tri Hita Karana dalam konteks penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi yang dituangkan ke dalam bentuk kontrak konstruksi fokus pada
perwujudan dari unsur keserasian dan keseimbangan hubungan antara pihak pengguna jasa dan
pihak penyedia jasa (sebagai unsur sesama manusia/pawongan dalam hubungan kontraktual), di
samping perwujudan dua unsur lainnya yaitu unsur keserasian dan keseimbangan hubungan
dengan Tuhan/Parhyangan, dan unsur keserasian dan keseimbangan hubungan dengan alam
lingkungan/Palemahan yang realisasinya diwujudkan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
yang telah dikerjakan.12
2. Fungsi Tri Hita Karana Dalam Kontrak Konstruksi
Kajian tentang fungsi Tri Hita Karana dengan ketiga unsur yang terkandung di dalamnya
yakni: pertama, unsur Parhyangan (Tuhan) yang perwujudannya menunjuk pada fungsi ruang
sebagai tempat yang bernilai kesucian termasuk kawasan suci atau tempat-tempat suci. Kedua,
unsur Pawongan (manusia) yang perwujudannya menunjuk pada fungsi ruang sebagai tempat
tinggal di dalam suatu wilayah atau teritorial. Ketiga, unsur Palemahan (alam lingkungan) yang
perwujudannya menunjuk pada fungsi ruang yang menempatkan pemanfaatan lahan sesuai
dengan peruntukannya, mencegah terjadinya eksploatasi terhadap potensi sumber daya alam.
Dalam konteks ini, faktor fungsi mempunyai peranan penting. Pengertian fungsi dalam
natuurwissenschaft (ilmu pengetahuan alam) mempunyai empat arti, yaitu:
9
10
11
12
Pasal 2 Undang-Undang Jasa Konstruksi.
Herlin Budiono, 2006. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-Asas Wigati
Indonesia, Citra Adtya Bakti, Bandung, h. 507
Ibid., h.413
Pelaksanaan pekerjaan konstruksi “Pengamanan Pura Tanah Lot” dalam kontrak paket III No.001/PKK/Ar.01/DPB.2000
dengan spesifikasi pekerjaan (scope of work) meliputi pembuatan artificial reef di lepas pantai untuk mereduksi energi gelombang, rehabilitasi areal pura, dan penataan lingkungan kawasan puraTanah Lot.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
17
KERTHA PATRIKA
(1).
(2).
(3).
4).
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Bergantung pada;
Tugas;
Hubungan timbal balik antara bagian dan keseluruhan; dan
Kerja (werking).13
Dalam terminologi hukum, fungsi diartikan sebagai ”tugas khusus dari suatu jabatan”.14
Dengan demikian fungsi baru menampakan arti yang benar jika dihubungkan dengan suatu
masalah.15 Permasalahan yang dimaksud dalam konteks kontrak konstruksi diantaranya syaratsyarat kontrak yang memuat tentang kewajiban terhadap pemenuhan ketentuan perundangundangan yang berlaku dan bentuk tanggungjawab mengenai lingkungan dan manusia.16
Pembangunan proyek panas bumi yang dikenal dengan proyek ”Geothermal Bedugul” di
kabupaten Tabanan pada tahun 1998 yang dilaksanakan oleh PT Pertamina dengan Bali Energi
Ltd. yang sampai saat ini masih dipermasalahkan dari aspek sosiologisnya yaitu terkait dengan
adanya penolakan masyarakat atas proyek yang dimaksud, dan dari aspek yuridisnya yaitu tidak
dipatuhinya ketentuan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2005
bahwa lokasi proyek tersebut berada dalam areal kawasan suci dan kawasan hutan lindung.
Merujuk pada pendapat bahwa fungsi berarti bergantung pada dan hubungan timbal balik
antara bagian dan keseluruhan, sangat relevan pada permasalahan proyek panas bumi tersebut.
Peranan fungsi dari ketiga unsur Tri Hita Karana telah diabaikan sehingga mengakibatkan proyek
tersebut sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya disampaikan fungsi Tri Hita Karana dalam konteks ruang lingkup atau obyek
kontrak yakni lingkup pekerjaan perencanaan konstruksi, lingkup pekerjaan pelaksanaan
konstruksi dan lingkup pekerjaan pengawasan konstruksi. Ketiga lingkup pekerjaan konstruksi
tersebut lebih lanjut dapat dijabarkan pada fungsi unsur-unsur dari Tri Hita Karana sebagai
berikut:
1). Unsur Parhyangan yang diimplementasikan sebagai tempat yang mempunyai kekuatan
magis (supranatural) berfungsi sebagai media untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Unsur ini
wajib diperhatikan oleh pihak penyedia jasa (kontraktor) berkait dengan tata letak dan fungsi
bangunan yang akan dikerjakan. Ketentuan mengenai tata letak dan fungsi bangunan merujuk pada
Peraturan Daerah Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung
dan berdasarkan Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu Tentang Arsitektur
Bali, maka ketentuan untuk membangun atau tempat bangunan berpedoman pada pustaka yang
disebut dengan Asta Bumi, ketentuan untuk bangunan atau konstruksinya berpedoman pada
pustaka Asta Kosala-Kosali, dan ketentuan untuk bahan-bahan atau material yang akan digunakan
berpedoman pada Asta Dewa.17 Sedangkan pedoman untuk kawasan bangunan yang berfungsi
sebagai tempat suci berdasarkan ”pola pewilayahan” yang disebut dengan Tri Mandala (Tri=tiga,
Mandala=wilayah) yakni: Utama Mandala yang berarti berada pada wilayah yang utama, Madya
Mandala yang berarti berada pada wilayah tengah, dan Nista Mandala, yang berarti berada pada
13
14
15
16
17
Sjachran Basah, Tiga Tulisan Tentang Hukum, Armico Bandung, 1986, h. 18-19. Periksa: Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangannya), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 34-35
IPM Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, h. 301
Koesnoe Goesniardi S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan (Lex Spesialis Suatu Masalah), JP Books,
Surabaya,2006, h.25-26
Pasal 23 Huruf m PP No.29/2000
Ida Pedanda Mpu Jaya Wijayananda, 2004. Tata Letak Tanah Dan Bangunan (Pengaruhnya Terhadap Penghuninya), Paramita,
Surabaya, h.6-9. Periksa: I Made Bidja, Asta Kosala-Kosali, Asta Bumi, Pustaka Bali Post, Denpasar, h.13
18 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Prinsip Tri Hita Karana dalam Kontrak Konstruksi
I Wayan Wiryawan
wilayah paling belakang.18
Berdasarkan konsep form follows function (bentuk mengikuti fungsi),19 maka bangunan yang
akan dibangun akan disesuaikan dengan fungsinya terlebih dahulu, baru kemudian bentuk
bangunannya mengikuti fungsi tersebut. Apabila fungsi bangunan tersebut sebagai tempat
peribadatan atau tempat suci, maka bentuk bangunannya akan disesuaikan dengan kaidah atau
norma yang berlaku berdasarkan arsitektur bangunan atau berdasarkan tafsir terhadap aspek
agama Hindu mengenai arsitektur Bali.
(2). Unsur Pawongan yang diimplementasikan sebagai teritorial atau wilayah yang
mengatur ruang pribadi, ruang transisi, dan ruang bersama dalam kebersamaan fungsi sebagai
tempat untuk mengadakan kesepakatan atau perjanjian dalam hubungan kontraktual dan saling
menghormati hak dan kewajiban pihak satu dan pihak lainnya. Dalam kaitannya dengan kontrak
konstruksi, unsur pawongan ini merupakan media atau sarana untuk saling berinteraksi antara
pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa yang dituangkan dalam syarat-syarat sahnya
kontrak. Dari unsur pawongan ini tercermin beberapa prinsip dasar yang perlu dikemukakan,
antara lain:
a. Prinsip ”kerja keras” yakni mengerjakan pekerjaan dengan tekun dan disiplin.
Dalam Bhagawadgita disebutkan: ”tanpa kerja, orang tidak akan mencapai kebebasan dan
kesempurnaan. Hanya orang-orang yang giat bekerja, tulus dan tidak mengenal lelah akan
berhasil dalam hidup”.20
b. Prinsip ”kerjasama”. Dalam pustaka Hindu (Yayur Weda dan Rig Weda) disebutkan: ”manusia
harus membantu orang lain yang mengalami kesulitan atau ditimpa kemalangan. Tuhan
akan selalu memberi karunia kepada orang yang selalu berusaha untuk menciptakan dan
memelihara keharmonisan yang selaras diantara sesama”.21
Dalam konteks ini, prinsip ”kerjakeras” dan ”kerjasama” tercermin dalam ketentuan yang
mengatur tentang ”Hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak konstruksi” yang meliputi:
1). Hak dan kewajiban pengguna jasa;
2). Hak dan kewajiban penyedia jasa.22
Penjabaran lebih lanjut dari prinsip ini tercermin pula pada ketentuan yang mengatur
bagian ”Pelaksanaan Kontrak” yang tercantum dalam Bab II Huruf D 1 a Lampiran I Keppres
No.80/2003 memuat tentang Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) bahwa: ”selambat-lambatnya
empatbelas hari sejak tanggal penandatanganan kontrak, pihak pengguna jasa sudah harus
menerbitkan SPMK”. Ini artinya prinsip ”kerja keras” sebagaimana dimaksud telah dapat
dilakukan oleh penyedia jasa setelah menerima perintah mulai kerja dari pengguna jasa. Demikian
pula pada ketentuan yang mengatur tentang ”Pemeriksaan Bersama” yang menyatakan: ”pada
tahap awal periode pelaksanaan kontrak dan pada pelaksanaan pekerjaan, pihak pengguna jasa
bersama-sama dengan pihak penyedia jasa melakukan pemeriksaan bersama”. Implementasi
prinsip ”kerjasama” sebagaimana dimaksud nampak dengan dilakukannya pemeriksaan secara
bersama sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Ikatan kerjasama yang
dilakukan dapat menciptakan suasana yang serasi dan harmonis.
18
19
20
21
22
Ibid
Eko Budiharjo, 1997. Arsitektur & Kota Di Indonesia, Alumni, Bandung, h.31
B.Ashrama, 2003.Buku Panduan (Handbook) Tri Hita Karana, Tourism Award&Accreditation Bali Travel News, Cet.Pertama,
h.7
Ibid
Pasal 23 ayat (1) Huruf e PP No. 29/2000
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
19
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
(3). Unsur Palemahan yang diimplementasikan dalam bentuk-bentuk penataan ruang bagi
kehidupan yang heterogen, profesional dan struktural, yang berfungsi untuk mengatur kegiatan
pemanfaatan alam. Berdasarkan kenyataan, unsur palemahan ini berhubungan dengan aspek
fisik suatu konstruksi bangunan. Ketinggian suatu bangunan tidak melebihi dari limabelas meter
atau setinggi pohon kelapa, kecuali bangunan umum dan bangunan khusus yang memerlukan
persyaratan ketinggian lebih dari limabelas meter seperti menara pemancar, mercusuar, bangunan
pertahanan dan keamanan dan bangunan keagamaan.23
Implementasi dari unsur palemahan ini dapat dipergunakan sebagai acuan untuk
melaksanakan pelestarian dan pengembangan kualitas lingkungan sesuai dengan pemanfaatannya
dan sekaligus berfungsi sebagai salah satu syarat untuk dapat tidaknya suatu pekerjaan konstruksi
diselenggarakan. Di samping itu hal ini penting untuk diperhatikan, karena pelanggaran terhadap
ketentuan normatif dari pemanfaatan ruang dan ketentuan yang berlaku memungkinkan
terjadinya pekerjaan konstruksi tidak dapat dilanjutkan.24
3. Penegakan Hukum
Penegakan hukum yang dimaksud dalam kajian ini adalah penegakan hukum dalam
konteks implementasi prinsip Tri Hita Karana dalam peraturan daerah yakni Peraturan Daerah
Bali Nomor 3 Tahun 2005 dan Peraturan Daerah Bali Nomor 5 Tahun 2005. kedua peraturan
daerah tersebut pada prinsipnya di arahkan untuk mewujudkan pembangunandi wilayah Provinsi
Bali seseuai dengan prinsip Tri Hita Karana. Pada kenyataannya, pembangunan yang telah
dilaksanakan pada beberapa wilayah di Provinsi Bali tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
tertuang di dalam peraturan daerah tersebut. Oleh karena itu penegakan hukum dalam hal ini
perlu tegas dan konsisten terhadap tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip dan norma hukum
yang berlaku.
Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu:
a. kepastian hukum (rechtssicherheit);
b. kemanfaatan (zweckmassiheit); dan
c. keadilan (gerechtigheit).25
Kepastian hukum merupakan perlindungan masyarakat terhadap tindakan sewenangwenang. Dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknnya masyarakat
mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum
harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Demikian pula penegakan hukum
harus memperhatikan keadilan. Sebab hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat
umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sebaliknya keadilan bersifat subyektif,
individualistis dan tidak menyamaratakan.26
Secara konsepsional, esensi dari arti penegakan hukum (dari aspek filosofisnya) adalah
terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah atau
23
24
25
26
Pasal 30 ayat (1) Huruf e angka 2 Perda No.3/2005
Kasus penataan Loloan Yeh Poh di Desa Kuta Utara, Kabupaten Badung Tahun 2007 yang dilakukan oleh PT Bali Unicorn
Corporation selaku pihak kontraktor, pengerjaan proyek tidak dapat dilanjutkan karena berdasarkan Surat Keputusan Bupati Badung No.637/2003: Loloan termasuk daerah limitasi yang tidak dapat dikembangkan untuk pembangunan.
Sudikno Mertokusumo, 1993.Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, , h. 1
Ibid
20 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Prinsip Tri Hita Karana dalam Kontrak Konstruksi
I Wayan Wiryawan
norma yang mantap dan diimplementasikan pada sikap tindak untuk menciptakan, memelihara
dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup.27 Dengan demikan, penegakan hukum
adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum
secara nyata sebagar pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan-hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk menuju pada tujuan hukum yaitu kepastian
hukum dan keadilan.
Sejalan dengan konsepsi di atas, pada saat hukum akan ditegakan untuk menjamin adanya
kepastian hukum, maka akan ada kemungkinan rasa keadilan masyarakat akan terganggu,
sehingga dalam situasi yang demikian ada konflik atau benturan kepentingan antara kepastian
hukum dengan rasa keadilan masyarakat.28
Sehubungan dengan hal tersebut, maka fokus kajian penegakan hukum (aspek yuridisnya)
adalah dalam kaitannya dengan penerapan prinsip Tri Hita Karana dalam Peraturan Daerah Bali
Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali dan dalam Peraturan
Daerah Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.
3.1. Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2005.
Potensi dan daya dukung alam Bali yang terbatas menimbulkan permasalahan pada
tataruang Bali. Permasalahan itu dapat dilihat pada pembangunan fisik disepanjang jalan arteri
sehingga dapat mengurangi dayatarik keindahan alam sekitarnya, alih fungsi lahan pertanian
menjadi bangunan, ketimpangan pembangunan antar kabupaten, tumpang tindih pemanfaatan
ruang pada kawasan lindung dan budidaya, serta ancaman terhadap pelestarian budaya daerah.
Permasalahan-permasalahan tersebut menjadikan semakin rumitnya persoalan tataruang Bali
yang menurut Ketua Badan Perencana Pembangunan Daerah Bali (Bapeda Bali) pada waktu
itu, disebabkan oleh lemahnya kesadaran hukum serta kemampuan aparat dalam menegakan
hukum sehingga belum mampu menjadikan hukum sebagai panglima dalam pembangunan.29
Secara sosiologis dari akibat lemahnya kesadaran hukum dan kemampuan aparat dalam
menegakan hukum dapat mengakibatkan munculnya persoalan pada daerah kawasan baru
pembangunan jalan, munculnya pembangunan fisik dan pelanggaran jalur hijau, mencerminkan
tidak terkendalinya pemanfaatan ruang yang potensial merusak fungsi lingkungan. Telah
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diamanatkan dalam perundang-undangan
yang berlaku, sehingga mengakibat pula telah terjadi ketidakserasian dan ketidakseimbangan
hubungan sebagaimana tercermin dari unsur-unsur Tri Hita Karana.
Kasus yang menjadi sorotan berbagai pihak adalah Vila Bukit Berbunga dan sejumlah
Rumah Makan bermunculan di kawasan penyangga danau Beratan, Desa Bedugul, Kabupaten
Tabanan. Demikian juga pelanggaran kawasan jalur hijau dan peruntukan tataruang disepanjang
jalan Desa Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Permasalahan menjadi semakin
rumit karena pengelolaan dan kewenangan penataan ruang dilakukan secara parsial oleh masingmasing kabupaten dan kota. Hal ini terbukti dari pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali yang baru sebagai pengganti RTRWP Bali Tahun 2005 yang sampai saat ini belum
dapat diselesaikan. Pembahasan menjadi alot karena kecenderungan pemerintah kabupaten dan
kota menggali sumberdaya alam dengan mendorong pembangunan semata-mata untuk mengejar
27
28
29
Soerjono Soekanto,1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 5
Muchammad Zaidun, 2006. Tantangan Dan Kendala Kepastian Hukum Di Indonesia (Kapita Selekta Penegakan Hukum Di Indonesia), Prestasi Pustaka, Jakarta, h.120
Putu Sujana Cahyanta, 2004. Lemahnya Penegakan Hukum, Penyimpangan Peruntukan Ruang (Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita), Pustaka
Bali Post, h. 168
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
21
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
target Pendapat Asli Daerah (PAD), sehingga menimbulkan ketidakefektifan dalam pemanfaatan
tataruang dan mengakibatkan pula terjadinya ketidakserasian dan ketidakseimbangan dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian tataruang wilayah.
Penegakan hukum dalam persoalan konflik kepentingan yang dirasakan saat ini perlu
pengkajian secara cermat. Dalam konteks ini, terhadap semua tindakan yang tidak sesuai
dengan kaidah atau norma yang berlaku harus dilakukan upaya penegakan hukum yang tegas
dan konsisten. Berbagai pelanggaran di dalam pemanfaatan tataruang selama ini tidak mendapat
tindakan secara proporsional sehingga terus berlangsung dan cenderung meningkat. Berdasarkan
kenyataan sebagaimana dimuat dalam media surat kabar dengan judul: ”Pelemahan Bali Nan
Terkoyak”, antara lain ditulis bahwa bangunan vila tidak hanya menyerbu kawasan suci sekitar
Pura Uluwatu di Desa Pecatu Kabupaten Badung, di daerah persawahan di Desa Canggu dan
Desa Kerobokan, juga di kawasan hulu seperti lereng, danau di Kabupaten Tabanan mulai
dirambah pembangunan vila. Ironisnya pembangunan vila-vila tersebut tidak lagi mengindahkan
pemanfaatan ruang sebagaimana tertuang dalam peraturan daerah yang berlaku saat ini. Kawasan
hulu yang diharapkan mampu menyediakan air untuk kawasan hilir, secara perlahan mulai
digerogoti dengan adanya alih fungsi lahan.30
Secara spesifik penegakan hukum di wilayah kabupaten Badung belum berjalan secara
optimal. Masih banyak pelanggaran tataruang dibiarkan tanpa adanya tindakan tegas. Penegakan
aturan tataruang pemerintah kabupaten Badung dinilai ”ompong”.31 Penegakan aturan itu tidak
berdaya karena tidak adanya pengenaan sanksi. Sesungguhnya penjatuhan sanksi pidana dapat
dikenakan bagi pelanggar tataruang sebagaimana di atur dalam Pasal 42 Perda RTRWP Bali,
yang selengkapnya berbunyi:
Ayat (1) : setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 7 Perda ini (yakni wajib memelihara
kualitas ruang dan wajib menaati rencana tataruang yang telah ditetapkan),
diancam pidana kurungan paling lama 6(enam) bulan atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Ayat (2) : tindak pidana yang dimaksud adalah pelanggaran.
Ayat (3) : selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat juga dikenakan
sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seyogyanya pemerintah
kabupaten Badung lebih serius memperhatikan penegakan hukum tersebut untuk mewujudkan
keserasian dan keseimbangan hubungan sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana. Pemerintah
kabupaten Badung harus meningkatkan pengawasan terhadap pengaturan, penataan,
pemanfaatan dan pengendalian tataruang. Apalagi dengan berlakunya Undang-undang Nomor
26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, lebih menekankan pentingnya penjagaan lingkungan
termasuk pengenaan sanksinya. Berdasarkan undang-undang tersebut, para pelanggar aturan
dapat dikenakan sanksi denda Rp.500.000.000,-(lima ratus juta rupiah) dan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun.32 Sanksi yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 jauh
lebih berat dibandingkan sanksi yang di atur dalam Peraturan Daerah tersebut. Dengan payung
hukum yang lebih tegas sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang, tentunya pemerintah
kabupaten Badung tidak ragu-ragu lagi dalam penegakan hukum.
30
31
32
Harian Umum Bali Post, Jumat 25 April 2008, h. 2
Harian Umum Bali Post, Kemis 21 April 2008, h. 2
Pasal 69 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
22 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Prinsip Tri Hita Karana dalam Kontrak Konstruksi
I Wayan Wiryawan
Dari persoalan lemahnya penegakan hukum dalam kasus-kasus sebagaimana dipaparkan
di atas, perlu ada komitmen dari semua pihak khususnya dari aparat penegak hukum untuk
lebih tegas dan konsisten menjadikan hukum sebagai panglima dalam pembangunan terutama
penegakan aturan sebagaimana di atur dalam undang-undang dan peraturan daerah yang berlaku
yang dilandasi oleh prinsip Tri Hita Karana.
3.2. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 yang mengatur tentang Persyaratan Arsitektur
Bangunan Gedung (selanjutnya disingkat Perda No.5/2005) pada prinsipnya adalah menjamin
keselamatan pengguna dan lingkungan serta mengakomodir nilai-nilai luhur budaya masyarakat
Bali yang di dalam penyelenggaraannya berdasarkan prinsip Tri Hita Karana. Menjadi persoalan,
bagaimanakah penegakan hukum dari peraturan daerah ini dengan tidak adanya kejelasan atau
tidak dicantumkannya ketentuan tentang sanksi bagi persyaratan arsitektur bangunan gedung
yang tidak sesuai dengan peraturan daerah tersebut?
Patut dicermati bahwa di dalam Pasal 23 Perda No.5/2005 hanya menentukan: “arsitektur
bangunan gedung yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Perda ini, harus menyesuaikan
dengan persyaratan arsitektur bangunan gedung sebagaimana di atur dalam Perda ini”. Demikan
pula di dalam ”Penjelasan” pasal ini disebutkan ”Cukup jelas”. Oleh karena itu, Perda No.5/2005
sudah sepatutnya direvisi dan diberdayakan terutama dalam penegakan hukumnya. Sebab, sesuai
dengan fungsi penegakan hukum, bahwa Perda ini harus dapat menciptakan kepastian hukum
agar pelaksanaan persyaratan arsitektur bangunan gedung menjadi tertib. Selanjutnya dengan
terciptanya kepastian hukum, Perda ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan
masyarakat pengguna dan lingkungannya. Demikian pula dengan adanya Perda ini rasa keadilan
akan terwujud dengan sanksi yang akan dikenakan bagi setiap pelanggarnya.
Merujuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (selanjutnya
disingkat UU No.28/2002) dalam Bab IV, Bagian Ketiga, Paragraf 3 Pasal 14 di atur mengenai
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung. Dengan adanya aturan tersebut, maka bagi pihak yang
tidak memenuhi kewajibannya, akan dikenakan saksi. ”Setiap pemilik atau pengguna yang tidak
memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, persyaratan, dan penyelenggaraan bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dikenakan sanksi administratif dan atau sanksi
pidana”.33 Pengenaan sanksi tidak membebaskan pemilik dan atau pengguna bangunan gedung
dari kewajibannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Undang-undang Nomor 28/2002 ini patut dijadikan acuan dalam penjatuhan sanksi,
karena sanksi yang di atur dalam perda No.5/2005 tidak tegas. Sanksi administratif yang
dimaksud adalah sanksi yang diberikan oleh administrator (pemerintah) kepada pemilik atau
pengguna bangunan gedung tanpa melalui proses peradilan, meliputi beberapa jenis tergantung
pada tingkat kesalahannya. Sanksi administratif dapat berupa: peringatan tertulis, pembatasan
kegiatan pembangunan, penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan
pembangunan, penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan pembangunan, pencabutan
izin mendirikan bangunan gedung, pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung, atau
perintah pembongkaran bangunan gedung.34
Selain pengenanaan sanksi administratif, dapat juga dikenakan sanksi denda paling banyak
10 %0 (per seratus) dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun. Nilai bangunan yang
33
34
Pasal 44 UU No.28/2002
Pasal 45 ayat (1) UU No.28/2002
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
23
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
dimaksud adalah nilai keseluruhan suatu bangunan pada saat sedang dibangun. Bagi yang sedang
dalam proses pelaksanaan konstruksi, dihitung berdasarkan nilai keseluruhan bangunan gedung
yang ditetapkan pada saat sanksi dikenakan bagi bangunan gedung yang telah berdiri. Sedangkan
sanksi pidananya ditujukan kepada setiap pemilik atau pengguna bangunan gedung yang tidak
memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini, di ancam pidana mulai dari tiga tahun hingga
lima tahun tergantung dari akibat kerugian yang ditimbulkan.35
Dari ketentuan di atas, nampak jelas perbedaan ancaman hukuman yang dikenakan, baik
sanksi administratif maupun sanksi pidana pada UU No.28/2002. Sebaliknya di dalam Perda
5/2005 tidak di atur atau tidak jelas ancaman hukuman yang dikenakan baik berupa sanksi
administratif maupun sanksi pidananya. Walaupun Perda No.5/2005 tidak menyebutkan sanksi
secara jelas, namun dapat ditafsirkan bahwa Perda No.5/2005 itu merupakan penjabaran dari
UU No.28/2002, karena UU No.28/2002 mengatur hal-hal yang bersifat pokok dan normatif,
sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan di atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah atau
peraturan perundang-undangan lainnya termasuk peraturan daerah.36
Dengan demikian, apabila pengenaan sanksi pada Perda No.5/2005 tidak mengatur secara
jelas, dapat dikenakan sanksi sebagaimana di atur dalam UU No.28/2002 dengan merujuk
pada produk hukum yang lebih tinggi berdasarkan asas perundang-undangan yakni Lex superiori
derogat legi inferiori (”peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah”).
Guna meningkatkan kepatuhan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku
terutama dalam ruang lingkup berlakunya Perda No.5/2005, masyarakat diupayakan untuk
terlibat dan berperan secara aktif bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan
bangunan gedung untuk kepentingan sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan
persyaratan arsitektur bangunan gedung dan lingkungan yang lebih luas. Oleh karena itu perlu
dibentuk sebuah Tim Pengendali Arsitektur Tradisional Bali (disingkat TPATB) sebagaimana
dicetuskan oleh Ketua Ikatan Konsultan Indonesia (Inkindo) Cabang Bali.37 Tim ini dibentuk
dalam kerangka kepedulian terhadap upaya-upaya mewujudkan tataruang Bali yang lestari melalui
pengembangan arsitektur tradisional Bali yang kontekstual, namun tetap menghormati nilai-nilai
luhur dan konsisten dalam penegakan hukumnya. Dengan upaya ini diharapkan ada komitmen
yang sama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya untuk menyelamatkan Bali melalui
arsitektur tradional Bali yang disusun oleh para leluhur dan dengan rambu-rambu pengendali
sebagaimana di atur dalam Perda No.5/2005 yang berlandaskan Tri Hita Karana.
35
36
37
Periksa: Pasal 46 ayat (1), (2), (3), UU No.28/2002
Bagian Umum Penjelasan Atas UU No.28/2002
IGN Adnyana dalam: Alit Sumerta, 2004. Perlu Tim Pengendali Arsitektur Tradisional Bali (Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita), Pustaka
Bali Post, Denpasar, h.179-180.
24 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Prinsip Tri Hita Karana dalam Kontrak Konstruksi
I Wayan Wiryawan
III. PENUTUP
1. Simpulan
1.1. Asas keserasian dan asas keseimbangan sebagai landasan pengaturan jasa konstruksi
sebagaimana di atur dalam Pasal 2 Undang-Undang Jasa Konstruksi, seiring dan sejalan
dengan prinsip Tri Hita Karana dengan ketiga unsurnya yakni Parhyangan, Pawongan dan
Palemahan, merupakan pola hubungan keterikatan para pihak (pengguna jasa dan penyedia
jasa) dalam hubungan kontraktual dan dikaji dari asas hukum kontrak merupakan prinsip
dan norma hukum yang mengikat (pacta sunt servanda).
1.2. Implementasi prinsip Tri Hita Karana dalam kaitannya dengan kontrak konstruksi
tercermin dalam wujud dan fungsinya pada setiap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
yang meliputi pekerjaan perencanaan konstruksi, pekerjaan pelaksanaan konstruksi dan
pekerjaan pengawasan konstruksi. Ketiga ruang lingkup pekerjaan konstruksi tersebut
merupakan obyek dari kontrak konstruksi, yang di dalam pembentukannya mengacu pada
Undang-Undang Jasa Konstruksi dan aturan pelaksanaannya, juga tunduk pada kewajiban
terhadap pemenuhan ketentuan perundang-undangan lain termasuk peraturan daerah.
1.3. Penegakan hukum dalam rangka untuk meminimalkan bahkan meniadakan terjadinya
pelanggaran atas pengelolaan, pemanfaatan, dan pengendalian tataruang Bali, pengenaan
sanksinya merujuk pada Perda No. 3/2005 Tentang RTRWP Bali jonto UU No. 28/2007
Tentang Penataan ruang, sedangkan pengenaan sanksi bagi setiap pemilik atau pengguna
yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, persyaratan dan atau penyelenggaraan
bangunan gedung, merujuk pada Perda No.5/2005 Tentang Persyaratan Arsitektur
Bangunan Gedung jonto UU No. 28/2002 Tentang Bangunan Gedung.
2. Saran
2.1. Pola hubungan kontraktual sebagai pencerminan dari prinsip Tri Hita Karana diyakini
sebagai suatu sistem keharmonisan hidup masyarakat (Bali) yang berasal dari kearifan lokal,
seyogyanya dapat terus dipertahankan bahkan ditingkatkan lagi dalam implementasinya
pada skala yang bersifat universal untuk menuju pada integrated balance harmony.
2.2. Implementasi prinsip Tri Hita Karana dalam kaitannya dengan kontrak konstruksi, idealnya
perlu dicantumkan dalam suatu klausula kontrak guna mengakomodir unsur-unsur dari Tri
Hita Karana.
2.3. Segera dilakukan revisi pada peraturan daerah yang pengenaan sanksinya masih lemah dan
tidak jelas dengan merujuk pada produk hukum yang lebih tinggi agar penegakan hukum
dapat berjalan sesuai dengan harapan.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
25
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ashrama, B., 2003. Buku Panduan (Hand Book) Tri Hita Karana, Tourism Award & Accreditation
Bali Travel News, Cet. Pertama.
Basah, Sjachran, 1986. Tiga Tulisan Tentang Hukum, Armico, Bandung.
Bija, I Made, 2000. Asta Kosala-Kosali, Asta Bumi, Bali Post, Denpasar.
Budiono, Herlin, 2006. Azas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Mantra, IB., 2004. Bhagawadgita, Alih Bahasa Dan Penjelasan, Upada Sastra, Denpasar.
Mertokusumo, Sudikno,1996. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
White, A., 1975. The Concept of Culture System, Columbia University Press, New York.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, LNRI
Tahhun 1999 No. 53, TLNRI No. 3833.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Bali Nomor 5
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan
Gedung, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2005, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Bali Nomor 4.
26 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Korporasi di Indonesia
oleh :
Dewa Suartha
(Bagian Hukum Acara FH Unud)
Abstract
The acceptance of corporation as subject of criminal act brings problem to criminal law policy in
corporation criminal act respnsibility. There are two principle problems in this study : 1) How is
the current criminal law policy in corporation criminal act responsibility ? 2) How is criminal law
policy upon the corporation criminal act responsibility in insconstituendum perspective? The result
of the research : 1) criminal code has not regulates corporation as the subject of criminal act that is
accountable for criminal law, nevertheless it is partial but inconsistent; 2) criminal code bill 19992000 has clearly and completely regulated corporation as subject of criminal act and is accountable
for criminal law and accept unconditional criminal responsibility as well as substitute criminal
responsibility, although with the exception to solve difficult problem ini order to prove mistakes mide
by corporation.
Keywords : policy on corportion, criminal act
I.
PENDAHULUAN
Konsep badan hukum, pada mulanya timbul dalam konsep hukum perdata sebagai
kebutuhan untuk menjalankan kegiatan yang diharapkan akan lebih berhasil. Apa yang dinamakan
badan hukum itu sebenarnya tiada lain sekedar ciptaan hukum yaitu dengan menunjuk kepada
adanya suatu bdan, dimana terhadap badan ini diberi status sebagai subyek hukum, disamping
subyek hukum yang berujud “manusia alamiah” (natuurlijk persoon). Diciptakan pengakuan
adanya suatu badan yang sekalipun badan sekedar suatu badan, namun dianggap badan ini bisa
menjalankan segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu
harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi, manusia
yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan itu timbul kerugian, maka inipun hanya dapat
dipertanggungjawabkan semata-mata dengan harta kekayaan yang ada dalam badan hukum yang
bersangkutan1.
Menurut Chaidir Ali, Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai
hak dan kewajiban anggota masing-masing2. Di Indonesia dikenal berbagai bentuk badan
hukum, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Jo Undang-Undang No.
3 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), ada pula dalam bentuk perkumpulan yang diatur
dalam titel IX Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), berbentuk
1
2
H. Setiojono, 2002, Kejahatan Korporasi Analisis Vikti mologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
Indonesia, Overasi Press, Malang, hal. 4
Chaidir Ali.1987. Badan Hukum. Bandung: Alumni,h.64
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
27
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
koperasi yang diatur dalam Undang-Undang No.25 tahun 1992, berbentuk Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1960 joncto UndangUndang No. 6 Tahun 1969 juncto Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 dan Yayasan yang diatur
dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2001. Sebagai suatu kenyataan sosiologis peranan badan
hukum (korporasi) dalam aktivitas ekonomi sudah tidak usah dipertanyakan lagi. Sejalan dengan
perkembangan IPTEK yang berpengaruh pula pada dinamika ekonomi, sehingga sepak terjang
korporasi yang saat ini lazim dikenal dengan sebutan perusahaan-perusahaan multi nasional
(multi nasional corporation) yang tidak saja berdampak positif, melainkan yang negatifpun tidak
kalah bahayanya yang sangat merugikan masyarakat luas. Pada awal tahun 1960 mulai menjadi
perhatian para akhli sosial ekonomi dan kriminologi. Fenomena dan sepak terjang korporasi itu
telah berlangsung sebelum perang dunia ke-2, namun study yang sistimatis dan mendalam baru
dimulai pada awal tahun itu, sementara itu dikalangan kriminologi, study kritis terhadap peranan
korporasi sudah dimulai sejak tahun 1939, melalui suatu pidato bersejarah Edwin H. Suter Land
di depan : “The American Sosiological Association” Ia mengemukakan konsep “White Collar
Crime (WCC) yang didefinisikan sebagai : a crime committed by a person of respectability and high social
status in the cowese of hisaccuption3.
Perhatian masyarakat Internasional terhadap korporasi secara jelas nampak pula dari
usaha dunia Internasional untuk menangkal prilaku negatif dari perusahaan-perusahaan multi
nasional (multi nasional enter prise). Usaha tersebut merupakan hasil kerjasama Internasional
dalam bentuk code conduct of Transnasional Corporation (UN Ecosoe, 1977) yang antara
lain mengatur : (1) Aktivitas Transnational Corporation (TNC), (2) Treatment of TNC dan
(3) Intergovernmental co-operation4.
Di Indonesia kebijakan hukum pidana dalam pertanggungjawaban tindak pidana terhadap
korporasi harus dilihat melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan
perundang-undangan di luar KUHP. Kenyataannya bahwa pertanggungjawaban pidana
terhadap tindak pidana korporasi sebagai subyek hukum tidak diatur dalam KUHP secara
tegas, mengingat hukum pidana nasional di desain untuk menghadapi prilaku individu manusia
alamiah (natuurlijk person), sedangkan beberapa perundang-undangan di luar KUHP telah ada
mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korporasi, tetapi masih
bersifat parsial dan tidak konsisten, sehingga sangat sulit penerapannya dalam praktek peradilan
di Indonesia.
Mengingat pertanggungjawaban tindak pidana dalam hukum pidana Indonesia cenderung
kepada pelaku manusia sebagai subyek hukum, sedangkan korporasi sebagai subyek hukum yang
juga bisa melakukan tindak pidana tidak pernah mendapat perhatian dalam praktek peradilan
kiranya perlu dibahas selanjutnya menyangkut hal-hal sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kebijakan Hukum Pidana saat ini dalam pertanggung jawaban tindak pidana
korporasi ?
2. Bagaimanakah kebijakan Hukum Pidana terhadap pertanggung-jawaban tindak pidana
korporasi dalam perspektif ins constituendum?
3
4
Shofic Yusuf, 2002, Pelaku Usaha dan Tindak Prilaku Korporasi, Ghalia Indonesia Jakarta, hal. 20.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undil, Semarang, hal. 6
28 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi di Indonesia
Dewa Suartha
II. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK
PIDANA KORPORASI
1.
Pengaturan dalam KUHP
KUHP berlandaskan pada azas bahwa hanya manusia (natuurlijk persoon) yang dapat dituntut
sebagai pelaku (dader) dari suatu delik, baik yang berupa kejahatan, maupun pelanggaran. Hal
tersebut dapat dilihat dari, antara lain :
a. Cara perumusan delik yang selalu dimulai dengan kata “barang siapa” yang secara umum
dimaksudkan kepada orang atau manusia secara pribadi. Perumusan yang lain adalah :
seorang ibu (Pasal 341, 342 KUHP), Perempuan (346 KUHP) Guru (Pasal 294 KUHP),
Pemula Agama (Pasal 530 KUHP), Nahoda (Pasal 93, 325 KUHP), Tabib (Pasal 267
KUHP), Pedagang (Pasal 392, 397 KUHP), Pengurus atau Komisaris Perusahaan (Pasal
398, 399, 403 KUHP), seorang pemborong (Pasal 387 KUHP), Panglima Tentara (Pasal 413
KUHP), Pegawai Negeri (Pasal 414 s/d 419 KUHP), Hakim (Pasal 420 KUHP), Mucikari
atau Germo (Pasal 506 KUHP). Jadi keseluruhan perumusan pasal-pasal tersebut bukan
untuk badan hukum (Korporasi).
b. Sistem Pidana yang dianut, khususnya pidana hilang kemerdekaan yang hanya dapat
dijatuhkan pada manusia pribadi dan tidak mungkin dapat dijatuhkan kepada badan hukum
atau korporasi.
c. Menurut asas-asas hukum pidana Indonesia, badan hukum tidak dapat mewujudkan delik.
d. Tidak ada prosedur khusus dalam Hukum Acara Pidana untuk korporasi.
e. Sesungguhnya dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang kelihatannya menyangkut
korporasi sebagai subyek hukum, akan tetapi ancaman pidananya ditujukan kepada orang
atau manusia pribadi bukan korporasi, misalnya Pasal 169, 398, 399 KUHP.
2.
Pengaturan dalam Perundang-Undangan di luar KUHP
Sebagai upaya untuk mengetahui pengaturan pertanggung jawaban tindak pidana korporasi
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, ternyata korporasi dapat melakukan suatu
tindak pidana dalam perkembangannya diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar
KUHP sudah dikenal sejak 1951 dan mulai dikenal secara luas pada tahun 1955 yaitu dengan
dikeluarkannya undang-undang No. 7 Drt tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadikan korporasi sebagai subyek hukum
pidana adalah :
a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-Undang
Tenaga Kerja No. 12 untuk seluruh Indonesia.
b. Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun
1947 untuk seluruh Indonesia.
c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-Undang No.
23 Tahun 1948 tentang Pengawasan perburuhan untuk seluruh Indonesia.
d. Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan
tindak pidana ekonomi.
e. Undang-Undang No. 12 Drt Tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak.
f. Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Jo Undang-Undang No. 26 tahun 1957 tentang
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
29
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
penyelesaian perburuhan.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1958 tentang penempatan tenaga asing.
Undang-Undang No. 38 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah untuk tanaman
tertentu.
i. Undang-Undang No. 2 tahun 1981 tentang Metrologi
j. Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang wajib lapora ketenaga kerjaan di Perusahaan.
k. Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang wajib Daftar perusahaan
l. Undang-Undang No. 14 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular
m. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan.
n. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
o. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
p. Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika
q. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
r. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
s. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi.
t. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (money
laundering)
u. Perpu No. 1 Tahun 2002 Jo Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Jo Undang-Undang No.
15 dan 16 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
g.
h.
Dari beberapa ketentuan perundang-undangan di atas, nampaknya ada keinginan untuk
menempatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi mengenai pertanggungjawabannya
tidak jelas arah perkembangannya. Jika diklasifikasikan maka akan tampak ada beberapa cara
pembuat Undang-Undang dalam merumuskan kedudukan korporasi sebagai pelaku dan
pertanggungjawabannya sebagai berikut :
a. Hanya pengurus sebagai pelaku dan penguruslah yang bertanggung jawab kepada pengurus
korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu yang sebenarnya adalah kewajiban
korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Rumusan
yang demikian dapat dilihat dalam pasal 169, 398, 339 KUHP. Dalam hal perumusan yang
demikian, (maka berlakulah syarat-syarat umum tentang perbuatan dan pertanggungjawaban
dalam hukum pidana terahdap orang atau manusia pribadi.
b. Korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, tetapi pertanggung-jawaban pidananya
kepada pengurus.
Pendapat ini berdasarkan kepada anggapan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dilakukan
oleh manusia secara fisik dalam keadaan nyata dan kemampuan bertanggung jawab atas
perbuatan tersebut menyangkut kejiwaan yang hanya dapat dimiliki oleh manusia saja.
Rumusan seperti tersebut dapat dilihat dalam pasal 4 UU No. 3 Tahun 1958, Pasal 34
UU No. 7 Tahun 1981, pasal 35 UU No. 3 Tahun 1982, pasal 15 Tahun 1984. Ketentuan
ini menganut prinsip pelimpahan tanggungjawab secara tanpa syarat. Disebut demikian
karena menempatkan pengurus korporasi sebagai pihak yang harus menerima pelimpahan
tanggung jawab pidana dengan mengabaikan apakah yang bersangkutan mengetahui atau
tidak tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Dalam hal ini beban
30 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi di Indonesia
Dewa Suartha
c.
tanggung jawab pidana dari pengurus seakan-akan hanya sebagai konskuensi dari suatu
jabatan yang telah ditetapkan oleh peraturan intern korporasi. Jadi disini sama sekali tidak
disyaratkan bahwa pengurus tersebut harus ebagai pemberi perintah atau pemimpin didalam
perbuatan tersebut. Dengan demikian “asas tiada pidana tanpa kesalahan” yang merupakan
dasar dari ada atau tidak adanya pertanggungjawaban pidana telah dikecualikan.
Sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pengurus menurut kewenangannya berdasarkan
anggaran dasar badan hukum tersebut, maka dalam hal ini pertanggungjawaban pidana itu
diidentikkan dengan apa yang diatur dalam hukum perdata, khususnya tentang perbuatan
“intravires” dan “ultra vires”. Perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup
dalam kecakapan bertindak (badan hukum) adalah perbuatan “intra veres” sebaliknya
setiap perbuatan yang dilakukan berada di luar lingkup kecakapan bertindak di Perseroan
Terbatas (PT) atau diluar maksud dan tujuan badan hukum adalah perbuatan “ultra veres”
yang karenanya tidak sah dan tidak mengikat PT.
Korporasi Diakui Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Korporasi secara tegas diakui dapat menjadi pelaku tindak pidana dan dapat di
pertanggunjawabkan dalam hukum pidana. Dimuat dalam rumusan pasal 15 UU No. 7 Drt
Tahun 1955, Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1997, Pasal 70 UU No. Tahun 1997, Pasal 80 UU
No. 22 Tahun 1997, Pasal 20 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2002.
III. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORPORASI
DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM
1.
Pengaturan Dalam Rancangan KUHP 1999/2000
Dalam ruang lingkup pembentukan KUHP Nasional Indonesia, muncul perhatian khusus
mengenai perlindungan sosial terhadap aktivitas korporasi yang bersifat merugikan masyarakat,
sehingga korporasi dipandang perlu untuk dirumuskan sebagai pelaku dan yang bertanggung
jawab.
Konsep korporasi dan pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana
dirumuskan oleh Tim Penyusun Naskah Rancangan KUHP 1999/2000 Pasal 162 dan Pasal 44
sampai dengan pasal 49. Bunyi rumusan pasal-pasal tersebut adalah, sebagai berikut :
Pasal 162 : Korporasi adalah kumpulan terorganisir dari orang dan atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum ataupun bukan.
Pasal 44 : Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak
Pasal45 : Jika tindak pidana dilakukan oleh atau untuk korporasi, penjatuhan pidananya
dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya
Pasal 46 : Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi, apabila perbuatan
tersebut tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan
dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang
bersangkutan.
Pasal 47 : Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi di batasi sepanjang pengurus
mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
Pasal 48
Ayat (1) : Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
31
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna dari pada
menjatuhkan pidana terhadap korporasi.
Ayat (2) : Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam
putusan hakim.
Pasal 49 : Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang
alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan pada
korporasi.
Mengenai kedudukan sebagai pelaku dan sifat pertanggung jawaban korporasi disebutkan
dalam penjelasan Pasal 46 Rancangan KUHP 1999/2000 sebagai berikut :
a. Pengurus korporasi sebagai pelaku dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggung
jawab.
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab.
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Oleh karena itu jika
suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, maka penuntutannya dapat
dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan
pengurusnya atau pengurusnya saja.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi menurut Rancangan KUHP 1999/2000
hanyalah “pidana denda” dengan ancaman maksimum pidana denda lebih berat dibandingkan
pidana denda terahdap orang, yaitu katagori lebih tinggi berikutnya. Pidana denda paling banyak
untuk korporasi adalah yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling lama
7 tahun sampai dengan 5 tahun adalah denda katagori V dan mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling lama 20 tahun adalah denda kategori VI. Sedangkan pidana denda
paling sedikit untuk korporasi adalah denda katagori IV (Pasal 75 ayat (4), (5) & (6). Pidana
tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pencabutan hak yang diperoleh
korporasi (Pasal 84 ayat (2).
2.
Relevansi Penerimaan Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Korporasi dalam
hukum Pidana.
Dalam hukum pidana konsep liability atau pertanggungjawaban merupakan konsep sentral
yang dikenal dengan ajaran, kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan ini dikenal dengan
sebutan “Mens Rea”. Doktrin Mens Rea itu dilandaskan pada maxim “actus non facit comisi mens sit
rea” yang berarti “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah, kecuali jika pikiran
orang itu jahat”. Dalam hukum pidana Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan “an act does
not make a person quilty unsless the mind is legally blame worthy”.
Berdasarkan asas tersebut, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana
seseorang, yaitu : (1) ada perbuatan lahiriah yang terlarang (actus rens) dan (2) ada sikap bathin
jahat atau tercela lahiriah yang terlarang (mens rea). Pertanggungjawaban pidana itu selalu
berhubungan dengan kesalahan, baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealfaan.
Kesalahan adalah keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan itu dan hubungannya
dengan perbuatan yang dilakukan itu, sehingga orang itu dapat dicela melakukan perbuatan
tersebut. Asas tiada pidana tanpa kesalahan merupakan asas fundamental dalam mempertanggung32 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi di Indonesia
Dewa Suartha
jawabkan pelaku delik karena telah melakukan perbuatan pidana. Asas tersebut juga merupakan
dasar dijatuhkannya pidana kepada pelaku delik. Pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap, jika
ada salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi yang memaafkan itu5. Hukum pidana
Indonesia pada dasarnya juga menganut asas kesalahan, misal : Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 UU
No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999 jo UU No. 4 Tahun 2004, tentang Ketentuan,
Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 183, Pasal 193 ayat (1), Pasal 197 ayat (1) huruf h UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan di
dalam KUHP, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi dari rumusan pasal-pasalnya
mengidentifikasikan dianutnya asas kesalahan, baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealfaan.
Disamping itu juga dalam hukum pidana dikenal suatu asas yang tidak tertulis yang berbunyi :
“geen straf zonder schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan).
Dengan perkembangan masyarakat, baik perkembangan di bidang teknologi, ekonomi,
maupun dunia usaha, muncul perbuatan-perbuatan melawan hukum yang sifatnya ringan, namun
sangat membahayakan bagi masyarakat umum (public welfare offences). Kejahatan dalam bentuk ini
kadang-kadang tidak disertai dengan niat jahat sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain,
seperti : pembunuhan, penganiayaan dan sebagainya.
Kejahatan ini juga kadang kala hanya berupa pelanggaran peraturan yang berdampak
pada membahayakan masyarakat (regulatory offences), misalnya yang berkaitan dengan minuman
keras, penggunaan obat-obatan terlarang, pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen
dan sebagainya. Dalam rangka mengatasi perkembangan kejahatan yang semakin kompleks
tersebut, nampaknya hukum pidana klasik yang menganut asas kesalahan sudah tidak mampu
lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan di bidang hukum pidana dengan mengakui
bahwa asas kesalahan bukan satu-satunya asas yang dapat dipakai. Dalam hukum pidana modern
pertanggungjawaban pidana juga dapat dikenakan kepada seseorang, meskipun orang tersebut
tidak mempunyai kesalahan sama sekali.
Alasan utama untuk menerapkan pertanggung jawaban pidana tanpa kesalahan itu adalah
demi perlindungan masyarakat, karena untuk delik-delik tertentu, seperti tindak pidana korporasi
sangat sulit membuktikan adanya unsur kesalahan.
Ada tiga macam bentuk atau model sistem pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan,
yaitu: (a) pertanggungjawaban mutlak, (b) pertanggungjawaban pidana pengganti dan
pertanggungjawaban korporasi.
Ad. a. Pertanggungjawaban Pidana Mutlak
Pertanggungjawaban pidana mutlak adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan, dimana
pelaku sudah dapat dipidana apabila telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana telah
dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap bathinnya. Asas ini diartikan
dengan istilah “Liability Without Foulty”, Unsur pokok dalam strict liability adalah : perbuatan (actus
rens), sehingga yang harus dibuktikan hanya actus rens, bukan mens rea. Landasan penerapan
strict liability, antara lain:
1) Tidak berlaku umum terhadap semua jenis perbuatan pidana, tetapi sangat terbatas dan
tertentu terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial.
2) Perbuatan terbenar-benar bersifat melawan hukum (unlawful) yang sangat bertentangan
dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan.
5
Roeslan Saleh , 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 21.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
33
KERTHA PATRIKA
3)
4)
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Perbuatan tersebut dilarang keras oleh undang-undang, karena dikatagorikan sebagai
aktivitas yang sangat potensial mengandung bahaya kepada kesepakatan, keselamatan dan
moralik (a particular activity potential danger of public health, safety, or moral).
Perbuatan tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara tidak melakukan pencegahan
yang sangat wajar (unreasonable preausions)6.
Dalam persefektif ius constituendum, sistem pertanggung-jawaban pidana mutlak juga sudah
dirumuskan dalam Rancangan KUHP, Pasal 32 ayat (3) yang bunyinya sebagai berikut: Untuk
tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana
semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan
adanya kesalahan.
Latar belakang dan alasan dicantumkannya asas tersebut dalam Rancangan Konsep
KUHP 1999-2000 dapat dilihat pada penjelasan Pasal 32 ayat (3) yang menyatakan bahwa
ketentuan ini merupakan suatu perkecualian. Oleh karena itu tidak berlaku juga bagi semua
tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh UndangUndang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pelakunya sudah dapat dipidana oleh
perbuatannya. Disini kesalahan pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi
diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas tanggung jawab mutlak atau “strict liability”.
Secara teoritis, asas tanggung jawab mutlak (strict liability) telah diperkenalkan sejak pertengahan
abad ke-19. Di Indonesia sendiri, pengetahuan mengenai asas strict liability tidak hanya terbatas
di kalangan teoritis atau ilmu pengetahuan hukum pidana. Sebab, asas strict liability sesungguhnya
telah diterapkan sejak lama dalam penegakan hukum terutama dalam penegakan hukum lalu
lintas dalam hal terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum lalu lintas dan angkutan
jalan7.
Ad. b. Pertanggungjawaban Pidana Pengganti
Pertanggungjawaban pidana pengganti adalah pertanggung-jawaban seseorang, tanpa
kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain. Doktrin ini pada mulanya diterapkan
dalam kasus-kasus perdata, kemudian berkembang akhirnya dicoba untuk diterapkan pada kasuskasus pidana dalam sistem precedent, seperti: Inggris dan Amerika. Asas pertanggungjawaban
pidana pengganti dikenal “Vicarious Leability”, yaitu prinsip pendelegasian (the delegation principle”
dan prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan (the servant’s act is the master’s act in
law)8.
(1) Prinsip pendelegasian (the delegation prinsiple)
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain,
apabila seseorang itu telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang
kepada orang lain
(2) Prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan (the servant’s act is the master’s act in
law). Seseorang majikan dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik dilakukan
oleh buruhnya atau pekerjaannya, jika menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang
sebagai perbuatan majikan. Jadi apabila si pekerja sebagai permbuat matriil/ fisik (auctor
ficiens) dan majikan sebagai pembuatan intelektual (auctor intellectualis).
6
7
8
Yahya, Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya bakti Badung, hal. 37-38.
Barda Nawawi Arief , 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , hal. 237
Marcus Flacher.1990. A-Level Principle of English Law, 1st Edition. London. HLT Publication, hal.194.
34 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi di Indonesia
Dewa Suartha
Rancangan KUHP 1999/2000 juga menganut sistem pertanggungjawaban pidana
pengganti ini dalam pasal 32 ayat (2) yang rumusannya menyatakan bahwa: “Dalam hal-hal
tertentu, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang
lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang”.
Ad.c. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Korporasi disebut sebagai legal personality, artiya korporasi dapat memiliki harta kekayaan
sebagaimana manusia dan dapat menuntut dan dituntut dalam perkara perdata sehingga timbul
pertanyaan apakah korporasi dapat dituntut/dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana ?
Pada mulanya orang menoleh untuk mempertanggungjawab dan korporasi dalam perkara
pidana. Alasannya, korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia, sehingga ia tidak
mungkin melakukan kesalahan. Disamping itu pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap
korporasi. Namun mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi, maka
timbul pemikirn untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam perkara pidana. Dikatakan
bahwa korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh anggotanya dalam kaitan
dengan ruang lingkup pekerjaannya. Tentu saja pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi
biasanya pidana denda atau berupa tindakan lain, seperti : tindakan tata tertib atau tindakan
administratif9.
Sehubungan hal tersebut pertanyaan yang muncul adalah : sampai sejauhmana
penyimpangan asas kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana korporasi mempunyai relevansi
untuk diterapkan di Indonesia ? Dengan kata lian, sampai sejauhmana relevansinya dalam rangka
pembaharuan hukum pidana Indonesia ? Dengan kata lain, sampai sejauhmana relevansinya
dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
maka ada beberapa tolak ukur yang dapat dipergunakan sebagai dasar pembenar, yaitu : (1) dasar
pembenar teoritis, (2) dasar pembenar sosiologis, (3) dasar pembenar filosofis.
Ad. 1: Dasar Pembenar Teoritis
Relevansi teoritis ini perlu dikemukakan dengan pertimbangna apakah berlakunya suatu
kaedah hukum tidak bertentangan dengan kecenderungan perkembangan pemikiran global.
Relevansi Teoritis ini juga kasus dikaitkan dengan jalan pemikiran ilmiah di kalangan akademis
hukum, artinya apakah kaedah hukum yang baru di introdusir itu dapat diterima atau ditolak oleh
kalangan ilmiah hukum dengan berbagai alasan dan argumentasi yang di kemukakan. Alasan dan
argumentasi para akhli hukum tersebut di samping didasarkan pada pemikiran yang abtrak, juga
didasarkan pada realitas yang terjadi dalam masyarakat. Lebih karena itu pembahasan mengenai
relevasi teoritis ini tidak dapat dilepaskan dari realitas yang ada dalam masyarakat, baik mengenai
perundang-undangan, mmaupun realitas penegakan hukumnya melalui putusan penyidikan
(Yuriprudensi).
Barda Nawawi Arief berpendapat, penyesuaian pangan tidak alas kesalahan, jangan
dilihat semata-mata sebagai suatu pertentangan (Contralietensi), tetapi juga harus dilihat sebagai
pelengkap (complement) dalam mewujudkan asal keseimbangan yaitu keseimbangan antara
kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, keseimbangan antara kedua kepentingan
itulah oleh beliau dinamakan sebagai asas monodualistik10. Pembenaran penyimpangan terhadap
kesalahan dalam pertanggung jawaban tindak pidana berporasi dapat di kaji atas dasar tujuan
9
10
Sue Titus Reid, Criminal Low, 3 Edition, Prentici Hall, New Jersey, hal. 51
Barda Narawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Aditya Bakti, Bandung, hal.112-113
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
35
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
hukum pidana dan pemidanaan yang bersifat integretif dalam rangka perlindungan sosial, yaitu
: (1) pencegahan umum dan khusus, (2) perlindungan masyarakat, (3) memelihara solidaritas
masyarakat, pengimbalan atau pengimbangan. Alasan perlunya perumusan “Strict Leability” dan
“Vicarious Liability” dalam pemidanaan korporasi merupakan refleksi dalam menjaga kepentingan
sosial.
Ad 2 : Dasar Pembenar Sosiologis
Relevansi sosiologis ini dibutuhkan untuk menilai sejauhmana penyimpangan asas
kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana dapat diterima oleh masyarakat. Sehubungan
dengan hal tersebut, ada dua teori yang dikenal, yaitu teori pengakuan dan teori kekuasaan.
Kedua teori tersebut digunakan oleh Soerjono Soekanto dalam menilai keberlakuan hukum adat
di Indonesia, juga akna dipergunakan dalam menilai sejauhmana penyimpangan asas kesalahan
itu dapat diberlakukan atau tidak dalam masyarakat Indonesia11.
Menurut teori pengakuan, berlaku tidaknya suatu norma hukum itu ditentukan oleh
sejauhmana masyarakat menerima dan mengakui sebagai norma yang ditaati. Secara ekstrim
menurut pandangan teori pengakuan, suatu ketentuan hukum baru boleh dianggap sebagai
hukum apabila ia diakui secara sah oleh masyarakat sendiri. Sedangkan menurut teori kekuasaan,
berlaku tidaknya suatu norma itu dilihat sejauhmana norma itu diberlakukan oleh suatu kekuasaan
tertentu. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa dalam pandangan teori kekuasaan, suatu norma
hukum itu berlaku karena kekuatannya sendiri yang bersifat perintah, terpisah dari pertimbangan
ada tidaknya pengakuan dari masyarakat yang diaturnya.
Menurut hukum adat pidana, dalam masalah pertanggung-jawaban pidana, tidak sematamata menganut asas kesalahan sebagai unsur yan mutlak yang harus ada dalam suatu delik.
Hukum adat pidana juga menuntut seseorang untuk bertanggungjawab, walaupun tidak ada
kesalahan sama sekali. (seperti strict liability)12. Tindakan reaksi atau koreksi itu tidak hanya dapat
dikenakan pada si pelaku tetapi dapat juga dikenakan pada kerabat atau keluarganya atau mungkin
juga dibebankan pada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangna yang
terganggu (seperti vicarious liability)13. Penyimpangan asas kesalahan ini dengan pembatasanpembatasan yang ketat dapat saja diberlakukan atau tidak diberlakukan di Indonesia, bergantung
pada bagaimana sikap pembentuk undang-undang untuk menentukannya14. Melihat hukum
pidana dalam perspektif (us constituendum) penyimpangan asas kesalahan itu sudah diterima oleh
pembentuk Rancangan KUHP 1999-2000. Pertimbangannya adalah mengingat perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat yang diikuti perkembangan bentuk dan modus
operensi kejahatan yang semakin kompleks. Penerimaan penyimpangan asas kesalahan dalam
pertanggungjawaban tindak pidana korporasi merupakan refleksi tanggung jawab pemerintah
untuk menjaga keseimbangan kepentingan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
11
Soerjono Soekanto.1979. Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat. Jakarta: Akademika, hal 5-6.
12
13
14
I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Adat, PT. Ereco, Bandung, hal. 19-27
Ibid.
Jimly Asshiddiqi, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Angkasa Bandung., hal. 216-217.
36 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi di Indonesia
Dewa Suartha
Ad. 3 Dasar Pembenar Filosofis
Perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang diikuti pula perkembangan kejahatan yang
semakin kompleks, yaitu munculnya perbuatan melawan hukum yang sifatnya ringan namun
sangat membahayakan masyarakat, maka pembuktian unsur kesalahan dalam pertanggungjawaban
korporasi sangat sulit dalam praktek penegakan hukumnya. Adanya keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan (terutama unsur kesengajaan) dalam pertanggungjawaban
tindak pidana korporasi cenderung akan memberi peluang kepada korporasi untuk memperoleh
profit (menguntungkan) dengan tidak mematuhi peraturan-peraturan penting tertentu yang
bertujuan untuk memelihara kepentingan sosial. Akibatnya kepentingan sosial dan kepentingan
umum menjadi terancam. Oleh karena itu diambil jalan tengah, yaitu penyimpangan asas
kesalahan diterima, namun dibatasi hanya terhadap perbuatan pidana tertentu yang mengatur
kepentingan umum atau yang sifatnya ringan. Apabila kebijakan seperti itu dijalankan, maka
berarti salah satu prinsip dasar dari Pancasila, yakni adanya keseimbangan antara kepentingan
umum dengan kepentingan umum dengan kepentingan pribadi (asas monodualistik) telah
dijalankan. Penerimaan terhadap asas yang menyimpang dari asas kesalahan adalah sesuai dan
tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila. Dengan kata lain, penyimpangan asas kesalahan
itu mempunyai relevansi filosofis.
IV. SIMPULAN
Dalam mengakhiri tulisan ini, dapat dikemukakan beberapa simpulan berkaitan dengan
permasalahan pertanggungjawaban tindak pidana korporasi yaitu :
1. KUHP tidak dapat menjaring korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dipidana, karena
masih menganut prinsip subyek hukum hanyalah manusia alamiah. Sedangkan peraturan
perundang-undangan di luar KUHP telah mulai sejak 1951 menempatkan korporasi.
Sebagai subyek hukum pidana dan masalah pertanggungjawaban pidananya. Namun cara
merumuskannya masih bersifat parsial dan tindak konsisten.
2. Dalam perspektif ius constituendum subyek tindak pidana korporasi dan pertanggunjawaban
pidananya telah dirumuskan secara tegas dan terperinci dalam naskah rancangan KUHP
1999/2000, Pasal 162, Pasal 44 s/d Pasa 49. Dan Rancangan KUHP 1999/2000 tersebut
telah menerima dan merumuskan konsep pertanggungjawaban pidana mutlak (strict
liability) dan konsep pertanggungjawaban pidana pengganti (Vicarions liability), sebagai
eksepsional atau menyimpangi asas mensria yang merupakan asas fundamental dalam
pertanggungjawaban pidana, walaupun masih merupakan perkecualian terhadap tindak
pidana tertentu saja, misal : tindak pidana korporasi.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
37
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
DAFTAR PUSTAKA
Barda Narawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Barda Narawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Aditya Bakti, Bandung.
Chaidir Ali.1987. Badan Hukum. Bandung: Alumni.
Widnyana I Made, 1993, Kapita Selekta Hukum Adat, PT. Ereco, Bandung.
Jimly Asshiddiqi, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Angkasa Bandung.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undil Semarang.
Marcus Flacher.1990. A-Level Principle of English Law, 1st Edition. London. HLT
Publication.
Roeslan Saleh, 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Setiojono, H, 2002, Kejahatan Korporasi Analisis Vikti mologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam
Hukum Pidana Indonesia, Overasi Press, Malang.
Shofif Yusuf, 2002, Pelaku Usaha dan Tindak Prilaku Korporasi, Ghalia Indonesia jakarta.
Sue Titus Reid, Criminal Low, 3 Edition, Prentici Hall, New Jersey.
Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya bakti
Badung.
Soerjono Soekanto.1979. Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat. Jakarta: Akademika.
38 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi
Good Corporate Governance (GCG)
dalam Perusahaan Publik di Indonesia
Oleh :
I KETUT WESTRA
(Bagian Hukum Perdata FH-Unud)
Abstract
Intrisically,Good Corporate Governance is a comprehensive mechanism which regulates managing
a corporate company based on compulsory requirement such as articles of association, law
concerning limited liability company and other regulations in related with company activities of
doing business. It also has a cardinal role to manage a company that can bring investor trust
institutionally. Beside that, GCG is marketable internalization need and financial modernization
of investor which provides basic concept for the development of company value in pertinent with
business landscape, independent, transparent, profesionalism and social responsibility principle.
The implementation of Good Corporate Governance principle in public company in Indonesia has
not been efective yet. It can be denoted from several problems comprising a protection of minority
shareholders, low performance of audit committee, and cultural as well as historical problem.
Key words: implementation, good corporate governance, public company
I. PENDAHULUAN
Good Corporate Governance (GCG) merupakan bagian dari salah satu prinsip ideal yang
harus terangkum dalam setiap penerapan Corporate governance (CG) pada setiap perusahaan. Saat
ini Indonesia menjadi perhatian bagi berbagai kalangan, mulai dari pelaku bisnis, pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat, termasuk kalangan akademisi. Besarnya perhatian terhadap GCG,
menurut pandangan dari berbagai kalangan dikarenakan penerapan GCG yang lemah pada
perusahan-perusahaan dinilai turut serta memberikan kontribusi terjadinya krisis ekonomi pada
tahun 1998 hingga saat kini.1
GCG merupakan suatu sistem pengelolaan perusahaan yang mencerminkan hubungan
sinergi antara manajemen dan pemegang saham, kreditor, pemerintah, supplier, dan stakeholder
lainnya. Istilah corporate governance pertama kali digunakan pada tahun 1970-an ketika terdapat
beberapa skandal korporasi yang terjadi di Amerika Serikat, dan beberapa tindakan perusahaanperusahaan di Amerika Serikat yang terlibat dalam kegiatan berpolitik yang tidak sehat, dan
budaya korupsi, kegagalan perusahaan- perusahaan berskala besar, skandal-skandal keuangan,
dan krisis-krisis ekonomi diberbagai Negara, telah membuat banyak perusahaan memusatkan
1
. Tjager.N. Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan bagi Komonitas Bisnis Indonesia, Prenhallindo, Jakarta, 2003,h 99.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
39
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
perhatiannya pada pentingnya penerapan corporate governance.2
Laporan penelitian yang dilakukan oleh Asia Development Bank menyebutkan bahwa cikal
bakal dari konsep GCG muncul dari adanya keinginan untuk memisahkan aspek pemilikan atas
perseroan dari pengendalian terhadap perseroan. Hal ini didasari oleh suasana rumit yang sering
dihadapi direksi dan jajaran manajemen perseroan, yaitu upaya menjalankan perseroan untuk
mencapai kepentingan perseroan sendiri dengan tuntutan untuk memenuhi kepentingan dari
para pemegang saham.3
Untuk memahami konsep GCG, tidak dapt dipisahkan dari pemahaman tentang
corporate governance (CG). CG mulai diperkenalkan oleh Cadbury Committee tahun 1992. Komite
ini dipimpin oleh Sir Adrian Cadbury yang saat itu menjabat sebagai Direktur Bank England
dan Mantan CEO Grup Cadbury. Istilah CG dipergunakan dalam laporan tahunan mereka
yang kemudian dikenal dengan istilah Cadbury Report. Cadbury Committee menyebutkan CG
merupakan seperangkat aturan yang merumuskan hubungan antara para pemegang saham,
manager, kreditor, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, baik
internal maupun eksternal sehubungan dengan hak-hak dan tanggung jawab mereka.4
Corporate Governance (CG) mengatur aspek-aspek yang terkait dengan keseimbangan
hubungan antara organ-organ perusahaan yaitu RUPS, Komisaris, dan Direksi yang mencakup
hal-hal yang berkaitan dengan struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga organ
perusahaan tersebut (keseimbangan internal), dan pemenuhan tanggung jawab sebagai entitas
bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder, yang mencakup hal-hal yag terkait dengan
pengaturan hubungan antara perusahaan dengan seluruh stakeholder.
Disamping itu latar belakang pelaksanaan Good Corporate Governance juga didorong oleh
perkembangan perekonomian modern yang telah mempengaruhi perekonomian nasional
sehingga menuntut adanya pemisahan manajemen dan pengelolaan perusahaan dari kepemilikan
perusahaan. Hal tersebut sejalan dengan Agency Theory yang menekankan pentingnya pemegang
saham sebagai pemilik perusahaan untuk menyerahkan pengelolaan perusahaan tersebut kepada
tenaga-tenaga professional, yang bertugas untuk kepentingan dan memiliki keleluasaan dalam
menjalankan manajemen perusahaan.
Perkembanngan perekonomian juga mengakibatkan semakin banyaknya perusahaan yang
bergantung pada modal ekstern yang berasal dari equity capital, dan pinjaman yang dibutuhkan
untuk pembiayaan kegiatan-kegiatanya, melakukan investasi, dan mengembangkan usahanya.
Untuk kepentingan tersebut, perusahaan perlu memberikan kepastian kepada pemegang
saham dan penyandang dana ekstern, bahwa dana-dana tersebut digunakan secara tepat dan
efisien, serta manajemen pengelola yang ditunjuk oleh perusahaan bertindak yang terbaik untuk
kepentingan prusahaan. Kepastian yang dimaksud hanya dapat diberikan apabila perusahaan
menerapkan prinsip-prinsip dasar dalam GCG, karena dengan tercapainya GCG perusahaan
akan dapat menciptakan lingkungan kondusif terhadap pertumbuhan usahanya yang efisien dan
berkesinambungan.5
Beberapa tindakan penyalahgunaan corporate governance yang dilakukan oleh para organ
perusahaan tidak hanya dapat menyesatkan pemegang saham mengenai prospek dan kinerja
perusahaan, tetapi juga pihak lain yang terkait seperti stakeholder, karyawan, kreditor dan
2
3
4
5
Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini, Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan, PT Indek Kelompok Penerbit GRAMEDIA, Jakarta, 2004, h 2..
Tjager.N. Op Cit, h 97.
A Sofyan Djalil, Good Corporate Governance, Komite Nasional Corporate Governance , 200, h 3
.Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Rafika Aditama, Bandung, 2006, h 71.
40 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Good Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan Publik di Indonesia
I Ketut Westra
masyarakat. Hal ini tentu saja dapat berdampak pada menurunnya harga saham perusahaan,
para pekerja kehilangan pekerjaan, dan yang lebih ekstrim adalah perusahaan tersebut menjadi
pailit.6
Penerapan GCG di Indonesia saat ini sudah menjadi suatu kebutuhan. Dengan menerapkan
GCG diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi pemegang saham dan juga para stakeholder
yang lain. GCG merupakan suatu system yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk
menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stake holder. Sejak Indonesia terpuruk dalam
krisis ekonomi, maka GCG menjadi bagian untuk pembenahan pengelolaan korporasi.
GCG pada dasarnya merupakan suatu konsep yang menyangkut struktur perseroan,
pembagian tugas, pembagian kewenangan, dan pembagian beban tanggung jawab dari masingmasing unsur yang membentuk struktur perseroan dan mekanisme yang harus ditempuh oleh
masing-masing unsur dari struktur perseroan tersebut. GCG juga mengatur hubungan antara
unsur-unsur perseroan secara intern, dan juga unsur-unsur perseroan dengan unsur-unsur diluar
perseroan, yaitu negara yang sangat berkepentingan akan perolehan pajak, masyarakat luas yang
meliputi para investor public, dan stake holder.7
Good Corporate Governance (GCG) awalnya memang didorong tuntunan eksternal agar setiap
perusahaan tidak melakukan pembohongan kepada publik. Tekanan ini semakin memuncak
sejak terkuaknya kasus skandal akuntasi di Enron dan beberapa perusahaan di Amerika Serikat
pada tahun 1990-an, yang merupakan praktik manipulasi data keuangan yang banyak dilakukan
perusahaan. Hal ini jelas merugikan publik dan dianggap sebagai tindakan illegal, sehingga
lahirlah aturan hukum yang dikenal Sarbanes Oxley Act (SOX). Undang-undang ini didesain
untuk mencegah adanya praktik illegal sejenis yangn dilakukan di internal perusahaan yang dapat
merugikan publik dan investor.8
Mengingat pentingnya penerapan prinsip-prinsip Good Corporte Governance pada pengelolaan
perusahaan, dalam rangka mengantisipasi perkembangan perekonomian modern yang bersifat
global, serta untuk mencegah adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip GCG dan paraktikpraktik illegal dalam perusahaan, maka dapat dikemukakan beberapa isu-isu hukum antra
lain: 1. Apakah prinsip-prinsip GCG sudah terimplementasi dalam pengelolaan perusahaan
publik di Indonesia ? 2. Mengapa prinsip-prinsip GCG begitu penting dalam pengelolaan suatu
perusahaan Publik ?
II. PENGERTIAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Secara teoritis konsep GCG bukan sesuatu yang baru bagi manajemen korporasi, tetapi
di Indonesia konsep ini menjadi fenomena baru dalam tata kelola korporasi sejak pasca krisis
tahun 1998. Awalnya konsep GCG di Indonesia diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia dan
International Monetary Fund (IMF) dalam rangka economy recovery pasca krisis. GCG merupakan
suatu konsep tentang suatu tata kelola perusahaan yang sehat. Konsep ini diharapkan dapat
melindungi pemegang saham (stakeholder) dan kreditor agar dapat memperoleh kembali
6
7
8
Daniel .J.H.Greenwood, Enronities WhyGood Corporate Go Bed, Columbia Business Law review, 2004, h 774.,
Sutan Remy Sjahdeini, Peranan Fungsi Kepengawasan bagi pelaksana Good Corporate Governance, “ pada perusahaan Repormasi
Hukum di Indonesia sebuah Keniscayaan , R M Talib Puspokusum, ed , Tim Pakar Hukum Departemen kehakimandan
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2000, h 2.
Ridwan Khairandy, Camelia Malik, Good Corporate Governance, Perkembagan Pemikiran dan Implementasinya di Indeonesia dalam
Persefektif Hukum, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, h 116.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
41
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
investasinya.9
Amin Wijaya Tunggal :
Tata kelola perusahaan merupakan sistem yang mengatur ke arah mana kegiatan usaha akan
dilaksanakan, termasuk membuat sasaran yang akan dicapai, untuk apa sasaran tersebut
perlu dicapai, serta ukuran keberhasilannya.10
Hesel .Nogi.S Tangkilisan :
Corporate Governance adalah sistem yang mengatur, mengelola, dan mengawasi proses
pengendalian usaha dalam menaikkan nilai saham, sekaligus sebagai bentuk perhatian kepada
stake holder, karyawan, kreditor, dan masyarakat sekitar. Good Corporate Governance berusaha
menjaga keseimbangan diantara pencapaian tujuan ekonomi dan tujuan masyarakat.11
Forum For Corporate Governance Indonesia (FCGI):
Corporate Governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antar pemegang
saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditor, pemerintah, karyawan, serta para
pemegang kepentingan internal dan eksternal yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan.
Organization For Economic Co Operation and Development (OECD) :
Corporate Governance sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan, board, dan
pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan.
The 1992 Report of The Committee of the Financial Aspect of Corporate Governance mendefinisikan
corporate governance sebagai “the system by which companies are directed and controlled” dari difinisi
tersebut dapat dikatakan bahwa corporate governance bermakna sebagai suatu sitem di
mana perusahaan itu diarahkan dan dikendalikan.
The OECD Corporate Governance Principles of 1999 mendefinisikan corporate governance dengan
“ Corporate Governance involves a set of relationshipbetween a company s management, its board, its
shareholder and other stakeholder, Corporate governance also provides the structure through which the
objectives of the company are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance
are determined”
Menurut Vanderloo mendifinisikan corporate governance adalah: Corporate governance refer to those
procedures established within a company s organization that allow director oversight of key officer decisions,
provide disclosure of materialfact to investors and other stakeholders, and allow for efficient and accurate
decision making within the organization, Corporate governance describes “ the legal rules relating to the
perspective powers and duties of director, officer, and shareholder”. 12
Keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha
Milik Negara No KEP-23/M-PM.BUMN/2000 tgl 31 Mei 2000, Pasal 2 menyatakan GCG
adalah prinsip korporasi yang sehat yang perlu diterapkan dalam pengelolaan perusahaan
9
10
11
12
Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h 60.
Amin Wijaya Tunggal, Komite Audit ( Audit Committee , Jakarta, Harvarindo, 2003, h 9.
Hessel Nogi Tangkilan, Mengelola Kredit berbasis Good Corporate Governance , Yogyakarta, Balairung, 2003,h 12.
Nicolai Lazerev, “ an Certain Issues of the Modern Corporate Governance Reform in Rusia “ International Company and Commercial
Law Review, Volume 17, 2006, h 143.
42 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Good Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan Publik di Indonesia
I Ketut Westra
yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka
mencapai maksud dan tujuan perusahaan.
Bank Dunia sebagaimana dikutip Tangkilisan; mendefinisikan GCG sebagai sekumpulan
hukum, peraturan, dan kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumbersumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang
berkesinambungan bagi para pemegang saham, maupun masyarakat secara keseluruhan.13
Dengan demikian, corporate governance berarti seperangkat aturan yang dijadikan acuan
manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan secara baik, benar, dan penuh integritas,
serta membina hubungan dengan para stakeholder, guna mewujudkan visi, misi, tujuan, dan
sasaran perusahaan yang telah ditetapkan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu mekanisme yang mengatur tentang
tata cara pengelolaan perusahaan berdasarkan aturan-aturan yang menaungi perusahaan tersebut
seperti Anggaran Dasar, Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT), dan aturan – aturan yang
mengatur tentang kegiatan perusahaan dalam menjalankan usahanya.
III. PRINSIP-PRINSIP DASAR GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)
Secara umum prinsip-prinsip dasar yang harus diterapkan oleh perusahaan dalam rangka GCG
adalah :
1. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan pembagian tugas, wewenang, dan tanggung
jawab masing-masing organ-organ perusahaan yang diangkat setelah melalui fit and proper
test, sehingga pengelolaan perusahaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien.
2. Kemandirian (Independency), yaitu suatu keadaan, perusahaan dikelola secara profesional
tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun, terutama
pemegang saham mayoritas, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undanganyang
berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yangn baik.
3. Transparansi (Transparancy), yaitu keterbukaan terhadap proses pengembilan keputusan,
dan penyampaian informasi mengenai segala aspek perusahaan terutama yang berkaitan
dengan kepentingan stakeholder dan publik secara benar dan tepat waktu.
4. Pertanggungjawaban (Respossibility), yaitu perwujudan kewajiban organ perusahaan untuk
melaporkan kesesuaian pengelolaan perusahaan dengan peraturan perundang-undanngan
yang berlaku,dan keberhasilan maupun kegagalannya dalam pencapaian visi, misi, tujuan,
dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan.
5. Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders
yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Prinsip- prinsip dasar tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk konkret dengan melakukan
pemisahaan tanggung jawab dan kewenangan yang disertai dengan mekanisme kerjasama antara
organ-organ perusahaan, melakukan pengawasan terhadap organ-organ perusahaan untuk
menghindari benturan kepentingan, melakukan sistem pengendalian internal dan eksternal yang
kuat, serta menetapkan visi, misi, tujuan, dan strategi secara jelas.
13
Hessel Nogi S. Tangkilisan, Op Cit, h 43.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
43
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) yang merupakan forum perkumpulan dari
asosiasi-asosiasi bisnis dan profesi menjabarkan bentuk-bentuk konkret dari prinsip- prinsip
GCG sebagai berikut :14
1.
2.
3.
4.
5.
Hak-hak para pemeganng saham, yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada
waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusankeputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan, dan turut
dalam memperoleh keuntungan perusahaan.
Perlakuan sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham
minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi yang penting dan
melarang perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading).
Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerjasama
yang aktif antara perusahaan dan para pemegang saham, kepentingan dalam menciptakan
kekayaan, lapangan kerja, dari perusahaan yang sehat dari aspek keuangan.
Pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi mengenai semua
hal yang penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta para pemegang kepentingan
(stakeholder).
Tanggung jawab pengurus dalam manajemen, pengawasan manajemen, dan
pertanggungjawabankepada perusahaan
IV. TUJUAN DAN MANFAAT PENERAPAN PRINSIP- PRINSIP DASAR GOOD
CORPORATE GOVERNANCE (GCG).
Tujuan Penerapan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Penerapan prinsip-prinsip GCG diharapkan setidaknya dapat mencapai 4 (empat) situasi
ideal yang hendak dicapai yaitu :15
1. Existence of fair business: efficient market, efficient regulation, and efficient contract.
2. Information garding the (fair) price and specification of goods and services being exchange is available to all
parties.
3. Each party ia able is willing to comply to the rules and regulation, and term andcondition in contract.
4. Judicial processes axist and are able to implement the rules and to executie punishment to the noncompliant
of the contract.
Diterjemahkan secara bebas sebagai beriukut :
1. Keberadaan bisnis yang dikelola secara fair, mencakup efisiensi pasar, efisiensi regulasi, dan
efisiensi kontrak.
2. Adanya informasi tentang harga dan spesifikasi dari barang dan jasa yang menjadi objek
pertukaran para pihak.
3. Kemauan dan kemampuan para pihak untuk mengikuti aturan dan regulasi, syarat-syarat,
dan kondisi dalam kontrak, dan
4. Adanya proses peradilan, kepastian hukum ,dan pelaksanaan hukuman bagi pihak yang
tidak melaksanakan kontrak.
14
15
Forum for Corporate Governance in Indonesia Of Cit.
Hasnati , Analisis Hukum Komite Audit Dalam Organ Perusahaan Perseroan Terbatas Good Corporate Governance, Jakarta, Jurnal
Hukum Bisnis ,Volume 22, Nomor 6, 2003, h 20.
44 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Good Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan Publik di Indonesia
I Ketut Westra
Manfaat Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG).
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan
yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta lebih meningkatkan
pelayanan kepada stakeholder.
2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigid (karena
faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value;
3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia;
4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan
meningkatkan shareholders value dan deviden.
Penerapan Prinsip-Prinsip GCG Dalam Perusahaan Publik.
Penerapan prinsip-prinsip GCG membuat pengelolaan perusahaan menjadi lebih fokus,
lebih jelas dalam pembagian tugas, tanggung jawab serta pengawasannya. GCG memiliki andil
besar dalam meningkatkan performa perusahaan secara keseluruhan.
Penerapan GCG yang tepat merupakan modal utama perusahaan untuk mendapatkan
kepercayaan dari nasabah, investor, calon investor, dan stakeholder, lainnya. Oleh karena itu,
prinsip-prinsip GCG harus dicapai dengan standar yang tinggi untuk mendukung tujuan bisnis,
baik pertumbuhan usaha, profitabilitas, nilai tambah untuk stakeholder, serta meningkatkan
kemampuan agar kelangsungan usaha jangka panjang dapat tercapai.
Walaupun kehadiran GCG di Indonesia merupakan salah satu solusi untuk menciptakan
kegiatan berusaha yang kondusif dan dapat menghindarkan segala bentuk skandal dalam suatu
perusahaan, terutama di Indonesia yang merupakan negara dengan budaya korupsi yang sangat
tinggi. Dalam kenyataannya GCG hingga saat ini belum dapat diterapkan sepenuhnya. GCG
tampaknya masih dirasakan seperti sebuah slogan, harapan, atau cita-cita yang ideal.
Di Indonesia sendiri penerapan GCG dapat dikatakan belum begitu baik. Hal ini sesuai
dengan studi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dunia, seperti Booz-Allen & Hamilton, Mc
Kinsey dan Bank Dunia terhadap kinerja perekonomian Indonesia , yang menyimpulkan bahwa
praktik GCG di Indonesia masih rendah.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Asian Corporate Governance Association (ACGA),
Pricewaterhouse Coopers, dan McKinsey& Co menemukan beberapa persoalan yang menghambat
penerapan GCG di Indonesia al :
1. Praktek-praktek perusahaan yang dibiayai oleh perbankan milik kelompok usahanya sendiri,
serta adanya pinjaman jangka pendek dari luar negeri.
2. Dominasi pemegang saham.
3. Tidak efektifnya kinerja regulator dan lembaga-lembaga keuangan.
4. Lemahnya perlindungan terhadap kreditor dan investor.
Disamping itu, penerapan GCG di Indonesia sangat dipengaruhi baik oleh faktor-faktor
budaya, maupun historis. Kedua aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dan memiliki keterkaitan yang erat dengan elemen-elemen kemasyarakatan. Faktorfaktor tersebut merupakan kendala yang signifikan bagi pemerintah dalam memberlakukan dan
menerapkan berbagai kebijakannya. Kemajemukan dan kompleksitas masyarakat Indonesia juga
merupakan faktor kesulitan lain dalam upaya menciptakan atau mengadopsi konsep-konsep
manajemen atau pengelolan perusahaan yang baik.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
45
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan prinsip-prinsip GCG di Indonesia
khususnya pada perusahaan publik belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Sejalan dengan
hal tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa
perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar
GCG yang telah diterapkan di tingkat Internasional
Pentingnya Penerapan Prinsip-Prinsip GCG Pada Suatu Perusahaan.
Agenda Indonesia untuk menerapkan GCG dibagi menjadi tiga aktivitas, yakni menetapkan
kebijakan nasional, menyempurnakan kerangka regulasi, dan membangun inisiatif sektor swasta.
Dewasa ini seberapa jauh suatu perusahaan melaksanakan prinsip-prinsip GCG menjadi demikian
penting. Artinya makin dekat suatu entititas bisnis atau perusahaan menjalankan prinsip GCG,
maka akan semakin dekat yang bersangkutan dengan akses dana.
Penerapan GCG kini semakin penting sebagai faktor bagi keputusan investasi.
Kecendrungan tersebut kian terlihat saat ini, perusahaan yang menjalankan prinsip Corporate
Governance sudah menjadi karakter investasi Internasional. Karakter tersebut ditandai dengan
terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana diseluruh dunia. Intinya penerapan GCG
menjadi demikian penting bagi perusahaan yang ingin memperoleh manfaat dari Pasar Modal
global dalam menarik dana jangka panjang.
Pelaksanaan GCG dianggap sebagai terapi yang paling baik untuk membangun kepercayaan
antara pihak manajemen dan penanam modal beserta kreditornya, sehingga pemasukan modal
dapat direalisasikan, yang pada gilirannya dapat membantu proses pemulihan ekonomi di
Indonesia.
Secara formal penerapan GCG sebenarnya hanya ditujukan bagi perusahan yan statusnya
merupakan perusahaan publik. Secara sederhana bentuk GCG dalam perusahaan publik dapat
dilakukan melalui pelaksanaan tanggung jawab antara perusahaan sebagai badan hukum dengan
direksi dan komisaris sebagai pengurus kepada para pemegang saham. Hal tersebut dilakukan
dengan melaksanakan ketentuan anggaran dasar dan kewajiban untuk mengelola perusahaan
secara transparan, bertanggung jawab, adil, dan penuh akuntabilitas.
Untuk lebih mengefektifkan penerapan GCG pada perusahaan maka, Komisi Nasional
GCG kemudian merumuskan Pedoman Good Corporate Governance (Code For Good Corporate
Governance) yang memuat hal-hal : perlindungan hak-hak pemegang saham, perlakuan adil
terhadap seluruh pemegang saham, peranan stakeholder, keterbukaandan trasparansi, serta
peranan direksi perusahaan. Disamping itu juga dimuat tentang terciptanya hubungan yang fair,
seimbang, transparan, diantara para organ yang terdapat dalam PT.16
Penerapan GCG berperanan penting dalam perusahaan dikarenakan hal-hal sebagai berikut :17
1. Pihak investor institusional lebih menaruh kepercayaan kepada perusahaan yang memiliki
GCG. Bahkan investor tersebut menempatkan prinsip GCG sebagai salah satu kriteria
utama disamping kinerja keuangan dan potensi pertumbuhan.
2. Ada indikasi keterkaitan antara krisis ekonomi di Negara-negara Asia akhir abad 20
disebabkan lemahnya penerapan prinsip GCG dalam perusahaan di negara-negara tersebut.
Hal itu terlihat dari tindakan-tindakan manajemen keluarga, berkolusi dengan pemerintah,
politik proteksi, intervensi pemerintah, budaya suap, dan korupsi.
16
17
Ridwan Khairandy, Camelia Malik, Op Cit, h 123.
.Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 82.
46 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Good Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan Publik di Indonesia
I Ketut Westra
3.
4.
Penerapan prinsip GCG sudah merupakan kebutuhan dalam internasionalisasi pasar
termasuk juga modernisasi pasar finansial dan pasar modal, sehingga para investor bersedia
menanamkan modalnya.
Prinsip GCG telah memberi dasar bagi berkembangnya value perusahaan yang sesuai
dengan landscape bisnis yang sedang berkembang saat ini yang sangat mengedepankan nilainilai kemandirian, transparansi, profesionalisme, tanggung jawab sosial, dan lain-lain.
Simpulan
1.
2.
3.
4.
Konsep Good Corporate Governance (GCG) adalah suatu mekanisme yang mengatur tentang
tata cara pengelolaan perusahaan berdasarkan aturan-aturan yang menaungi perusahaan
tersebut. Konsep GCG di Indonesia dapat diartikan sebagai konsep pengelolaan perusahaan
yang baik. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini yaitu : pertama, pentingnya hak
pemegang saham untuk memperoleh informasi yang benar dan tepat waktu, kedua adanya
kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat
waktu, dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan
stakeholder.
Penerapan prinsip-prinsip GCG pada perusahaan publik dimaksudkan untuk meningkatkan
perlindungan investor, terutama pemegang saham, mendorong tumbuhnya mekanisme
check and balance dalam lingkungan kinerja perusahaan.
Penerapan Prinsip-prinsip GCG pada perusahaan publik di Indonesia dapat dikatakan
belum sepenuhnya dapat diterapkan, hal mana dapat dilihat dari berbagai permasalahan
yang muncul seperti perlindungan pemegang saham minoritas yang belum maksimal,
kinerja komite audit yang belum efektif, adanya faktor-faktor budaya dan historis yang
juga merupakan kendala penerapan prinsip-prinsip GCG.
Good Corporate Governance berperanan sangat penting dalam pengelolaan suatu perusahaan,
karena GCG dapat memberikan kepercayaan investor institusional, GCG merupakan
kebutuhan dalam Internasionalisasi pasar dan modernisasi pasar finansial terhadap investor,
GCG memberi dasar bagi berkembangnya value perusahaan yang sesuai landscape bisnis,
nilai-nilai kemandirian, transparansi, profesionalisme, tanggung jawab sosial perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Wijaya Tunggal.2003. Komite Audit (Audit Committee).Jakarta: Harvarindo.
A Sofyan Djalil.2000. Good Corporate Governance. Jakarta: Komite Nasional Corporate
Governance.
Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini.2004. Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di
Perusahaan, Jakarta: PT Indek Kelompok Penerbit GRAMEDIA.
Daniel .J.H. dan Greenwood, Enronities.2004. WhyGood Corporate Go Bed, Columbia
Business Law Review.
Hessel Nogi Tangkilan.2003. Mengelola Kredit berbasis Good Corporate Governance .
Yogyakarta: Balairung.
Johannes Ibrahim.2006. Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum. Bandung:
Rafika Aditama.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
47
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Munir Fuady.2006. Perseroan Terbatas Paradigma Baru. Bandung:Citra Aditya Bakti.
Nindyo Pramono.2006. Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ridwan Khairandy, Camelia Malik.2007. Good Corporate Governance, Perkembangan Pemikiran dan
Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.
Sutan Remy Sjahdeini. Peranan Fungsi Kepengawasan bagi Pelaksanaan Good Corporate Governance
pada Perusahaan dalam R M Talib Puspokusum, ed.2000. Reformasi Hukum di Indonesia
sebuah Keniscayaan. Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen kehakiman dan dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia.
Tjager.N. 2003. Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan bagi Komonitas Bisnis Indonesia.
Jakarta: Prenhallindo.
Hasnati.2003. Analisis Hukum Komite Audit Dalam Organ Perusahaan Perseroan Terbatas Good
Corporate Governance. Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, Nomor 6.
Nicolai Lazerev. An Certain Issues of the Modern Corporate Governance Reform in Rusia. International
Company and Commercial Law Review. Volume 17, 2006.
48 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awigawig dalam Kaitan dengan Penjatuhan Sanksi Adat
Kasepekang di Desa Pakraman
Oleh :
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
Bagian Hukum dan Masyarakat
Abstract
Kasepekang (expelation) is customary sanction which is exist in customary village in Bali. It can
be sentenced to people who are pressumed violating a customary law. This research has revealed that
Kasepekang is not always exist in customary law of customary village in written form. Nontheless,
due to customary law character, it can be executed promptly based on consensus of member in
customary village.
Key words: Existency,Customary Sanction, Customary law, Customary Village
I. PENDAHULUAN
Sanksi mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Sanksi merupakan salah
satu ciri dari hukum. Tanpa adanya sanksi maka hukum tidak akan memiliki wibawa untuk ditaati
oleh masyarakat. Secara umum istilah sanksi sering disamakan dengan istilah hukuman atau
tindakan. Dalam kamus bahasa Indonesia sanksi diartikan sebagai tindakan-tindakan, hukuman
untuk memaksa orang menepati perjanjian atau apa-apa yang sudah ditentukan1.
Sanksi pada umumnya merupakan alat pemaksa agar seorang warga atau warga mentaati
norma-norma yang berlaku. Adapun tugas sanksi adalah :
1. merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan.
2. agar norma hukum ditaati.
3. merupakan akibat hukum bagi seseorang melanggar norma hukum2.
Menurut Soeroso bahwa sanksi adalah ketentuan-ketentuan hukum yang menetapkan
apakah hukum yang ada dapat dikenakan kepada seseorang yang melanggar kaidah-kaidah
undang-undang atau kaidah-kaidah hukum lainnya3, sedangkan Hilman Hadikusuma
mengemukakan bahwa sanksi merupakan kreteria yang hakiki dari keputusan hukum, namun
harus disadari bahwa sanksi itu dapat saja berbentuk non fisik. Misalnya sanksi-sanksi yang
bersifat biologis seperti pengucilan,cemohan-celaan, tidak ditegur sapa atau tidak diberi bantuan
1
2
3
Ahmad A.K. Muda, 2006, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Reality Publisher , hal 474.
SR Sianturi, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Alumni Ahaem-Patehaem, Jakarta, hal 30.
R Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 189.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
49
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
yang merupakan sanksi-sanksi yang halus sifatnya dan sangat informal, tetapi bisa lebih efektif
dari hukuman tubuh4.
Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang dikenal dengan desa pakraman
diikat dengan aturan-aturan adat dan hukum adat yang hidup , tumbuh dan berkembang di
lingkungan masyarakat setempat. Aturan- aturan itu disebut awig-awig. Awig-awig merupakan
pedoman dalam berprilaku dan bertingkah laku yang mengandung sifat mengatur dan memaksa
demi terciptanya keserasian dan kentraman dalam masyarakat adat setempat. Setiap pelanggaran
aturan adat (awig-awig) akan mengakibatkan ketidakseimbangan pada masyarakat. Oleh karena
itu, setiap pelanggaran aturan adat harus diberi sanksi adat yang berfungsi sebagai sarana untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu.
Apabila keseimbangan itu terganggu, hukum adat mengenal upaya-upaya untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu yang berupa reaksi adat (adatreactie) atau
masyarakat umum mengenalnya dengan istilah sanksi adat. Pandecten van het Adatrecht, bagian X
yang terbit tahun 1936, seperti dikutip oleh R Soepomo, memuat jenis-jenis reaksi adat diberbagai
masyarakat hukum adat di Indonesia, yaitu:
1. pengganti kerugian “immaterieel” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis
yang telah dicemarkan;
2. bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian rokhani;
3. selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4. penutup malu, permintaan maaf;
5. pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;
6. pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum5.
Berbagai jenis sanksi juga dikemukakan oleh Pospisil dan Paul Bohannan untuk masyarakat
Kapauku di Irian Jaya sebagaimana dikutip oleh Wirtha Griadhi yang mengelompokkan jenisjenis sanksi sebagai berikut :
1. Corporal sanctions (hukuman badan)
2. Economic sanctions (denda/pembayaran)
3. Psycological sanctions (teguran/peringatan)
4. Supernatural sanctions (sanksi dari alam gaib)
5. Self Redress (sanksi langsung dari korban)6.
Jenis-jenis sanksi yang dikemukakan diatas adalah berkaitan dengan jenis pelanggaran
adat yang dilakukan. Pada prinsipnya pelanggaran adat yang dilakukan akan mengakibatkan
keseimbangan alam (sekala dan niskala) terganggu. Perbuatan yang mengakibatkan terganggunya
keseimbangan masyarakat dapat dipandang sebagai perbuatan yang menggangu ketertiban
masyarakat. B. Ter Haar pernah menulis dalam kepustaan hukum adat sebagai berikut: di
masyarakat-masyarakat hukum kecil rupa-rupanya yang dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah
setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu
pada barang-barang kehidupan materiil dan imatereel orang seorang, atau dari pada orang-orang
4
5
6
H. Hilman Hadikusuma, 2004, Pengantar Antropologi Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 115.
R.Soepomo, 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,hal 94.
I Ketut Wirta Griadhi, 2008, ”Kasepekang Dalam Perspektif Hukum Adat”, Makalah disajikan dalam semiloka Kasepekang
Dalam Perspektif Hukum dan Ham, diselenggarakan oleh Bali Shanti ( Pusat Pelayanan Konsultasi Adat dan Budaya Bali),
Denpasar, hal 4.
50 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-Awig dalam Kaitan
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan); tindakan itu menimbulkan suatu reaksi
yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat – ialah reaksi adat (adatreactie),
karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan
jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang)7.
Menurut R. Soepomo, dalam sistem hukum adat dirumuskan bahwa segala perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum adat
mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum, jika hukum itu diperkosa8.
Rumusan-rumusan di atas mengandung arti bahwa suatu perbuatan atau pelanggaran yang
merupakan delik adat apabila ada unsur terganggunya keseimbangan dalam kehidupan
masyarakat. Dalam masyarakat Bali keseimbangan itu senantiasa dipelihara yang merupakan
unsur-unsur dari tri hita karana, yaitu: kesimbangan hubungan manusia dengan sesamanya
(pawongan), keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya (palemahan),
dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan Sang Maha Pencipta (parhyangan.
Demikianlah pola hubungan yang dikehendaki mengenai hubungan antara manusia, alam,
dan Tuhan menurut alam pikiran masyarakat Bali. Semua itu ditujukan agar dapat dicapainya
kehidupan yang harmonis antara kesejahteraan lahir dan bathin (sukerta sekala niskala).
Apabila ditelusuri kepustakaan hukum adat di tanah air, alam pikiran demikian ternyata
tidak hanya berlaku lokal dalam masyarakat Bali, melainkan merupakan alam pikiran universal
yang dianut dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Soepomo menyatakan bahwa alam
pikiran orang Indonesia adalah bersifat kosmos, artinya selalu mencari keseimbangan dengan
alam. Dalam alam pikiran masyarakat Indonesia, eksistensi alam kosmos selalu dibedakan
menjadi alam nyata dengan alam tidak nyata (alam gaib). Kedua alam ini tidak bisa dipisahkan
melainkan merupakan suatu totalitas.
Tujuan sanksi adat ini adalah untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat
adanya pelanggaran adat9. Oleh karena pelanggaran adat (delik adat) dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan dalam kehidupan nyata maupun tidak nyata, maka dalam hukum adat
Bali dikenal penggolongan sanksi adat yang menyangkut perbaikan kehidupan alam nyata dan
tidak nyata (sekala niskala) pula. Dalam hukum adat Bali, sanksi adat dikenal dengan istilah
danda atau pamidanda. Ada tiga golongan pamidanda yang dikenal dengan sebutan tri danda, yang
terdiri dari:
1. artha danda, yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan denda (berupa uang atau barang);
contoh dosa atau dedosan yaitu hukuman denda berupa pembayaran sejumlah uang
2. jiwa danda, tindakan hukum berupa pengenaan penderitaan jasmani maupun rohani bagi
pelaku pelanggaran (hukuman fisik dan psikis); seperti kasepekang, kanohrayang dan lain
sebagainya.
3. sangaskara danda, berupa tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan magis
(hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama) seperti maprayascita , nyarunin desa
yaitu kewajiban melakukan upacara keagamaan untuk menghilangkan leteh atau kekotoran
gaib10.
7
8
9
10
B Ter Haar, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (terjemahan K.Ng.Soebakti Poeponoto), Cetakan Ketigabelas, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 226.
R Soepomo, Op. cit, hal 110.
I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Eresco Bandung, hal 19.
I Made Swastawa Darmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Propinsi Bali, Upada sastra, hal 145.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
51
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Pada prinsipnya, pamidanda atau danda yang dijatuhkan sebagai tindakan hukum bukan
ditujukan untuk pembalasan atas tindakan pelanggar hukum, melainkan lebih ditujukan sebagai
sarana untuk mengembalikan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat, baik dalam
kehidupan dunia nyata (sekala) maupun dunia tidak nyata (niskala) sesuai dengan filosofi tri hita
karana.
II. KONSEP KASEPEKANG
Kasepekang merupakan salah satu bentuk dari sanksi adat (pamidanda) yang dikenal di
Bali. Sebagai sanksi adat, kasepekang merupakan sanksi yang sangat ditakuti dan tergolong
sanksi adat yang berat, namun demikian akhir-akhir ini sanksi adat kasepekang banyak mendapat
perhatian dari kalangan masyarakat. Antusias perhatian masyarakat terhadap sanksi kasepekang
ini dikarenakan banyaknya kasus-kasus adat yang terjadi dan berujung pada penjatuhan sanksi
adat kasepekang. Kasepekang dalam terminologinya dapat diartikan sebagai pengucilan. Istilah
lain dari kasepekang adalah kemenengan, tan polih arah-arahan, kagedongin, kapuikin dsea, kapuikin
gumi dan tan polih suaran kulkul. Walaupun ada banyak istilah yang digunakan untuk penyebutan
sanksi adat ini, namun dalam kehidupan masyarakat luas lebih dikenal dengan istilah kasepekang.
Pemikiran ini didasarkan pada kenyataan bahwa istilah kasepekang sudah merupakan istilah yang
umum digunakan baik oleh media cetak maupun media elektronik dan bahkan awig-awig desa
pakraman juga mencantumkan istilah kasepekang sebagai salah satu bentuk pamidanda. Menurut
Kersten sebagaimana dikutip oleh P Windia11 menyatakan kasepekang berasal dari kata sepek
yang mengandung arti mempermasalahkan dihadapan orang. Koti Cantika12 menyatakan bahwa
kasepekang ini berasal dari kata Ka sepi ikang yang mengandung arti dikucilkan. Dalam konteks
sanksi adat, kasepekang menurut Koti Cantika sejatinya adalah mereka yang dijatuhi sanksi adat
kasepekang tidak diladeni dalam aktivitas suka dan duka dengan tidak mendapat pemberitahuan,
tidak mendapat suara kentongan dan tidak mendapat pelasksanaan persembahyangan serta
tidak mendapat gotongan dalam penguburan, namun demikian mereka tetap berhak melakukan
persembahyangan di pura serta melaksanakan penguburan di kuburan (setra) milik desa.
Nyoman Serikat Putra Jaya13 sebagaimana dikutip dari hasil penelitian Tjokorda Istri Putra
Astiti menyatakan bahwa sanksi kasepekang adalah tidak diajak bicara oleh krama banjar/desa
karena terlalu sering melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik / melanggar peraturanperaturan di desa/ banjar. Sanksi adat kasepekang ini merupakan sanksi adat yang sangat berat
bukan hanya sekedar tidak diajak bicara oleh krama desa melainkan akan berbuntut panjang ,
seperti sampai tidak dilayani segala urusan yang berhubungan dengan desa pakraman bahkan
sampai tidak bisa menggunakan kuburan atau setra.
I Made Suasthawa Dharmayuda14 berpendapat bahwa sanksi adat kasepekang adalah sanksi
yang dikenakan kepada krama desa pakraman yang pada intinya tidak mendapat pemberitahuan
(tan polih arah-arahan), tidak mendapat layanan kentongan (tan polih suaran kukul), dan tidak
11
12
13
14
I Wayan P Windia, 2008, “Konflik Adat dan Sanksi Kasepekang Di Desa Adat Bungaya Kabupaten Karangasem Bali :
Perspektif Kajian Budaya”, Disertasi Program Doktor Program Studi Kajian Budaya Udayana, hal 31.
I Wayan Koti Cantika, 2007, “Tata Cara Penerapan Pamidanda” Dalam I Ketut Sudantra dan Anak agung Oka Parwata,
Editor Wicara Lan Pamidanda Pemberdayaan Desa Pakraman Dalam Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan, Upada
sastra Denpasar Bekerjasama Dengan Bagian Hukum dan MAsyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal 94.
Serikat Putra Jaya, Nyoman 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. Citra Aditya
bakti Bandung, hal 186.
I Made Swastawa Dharmayuda, Op.cit, hal 145.
52 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-Awig dalam Kaitan
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
mendapat bantuan banjar (tan polih penyanggran banjar).
Dari rumusan diatas maka pada prinsipnya kasepekang itu adalah salah satu bentuk
sanksi adat yang berupa pengucilan yang dikenakan kepada warga desa (krama desa pakraman)
dimana telah melanggar ketentuan-ketentuan adat dan terhadap pelanggar tersebut dikenakan
sanksi kasepekang yang pada intinya tidak mendapat pemberitahuan (tan polih arah-arahan), tidak
mendapat layanan kentongan (tan polih suaran kukul), dan tidak mendapat bantuan banjar (tan
polih penyanggran banjar) dan mereka masih tetap berhak menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh
desa pakraman seperti kuburan (setra) dan pura sebagai tempat persembahnyangan. Namun
penerapan sanksi adat kasepekang sekarang ini tidak lagi berjalan pada prinsip semula melainkan
sudah mengarah kepada perbuatan anarkis atau perbuatan kesewenang-wenangan desa pakraman
kepada krama (warga) desa pakraman seperti tidak dijinkan untuk menggunakan setra, pura
bahkan tidak dilayani secara administrasi (kedinasan).
III. EKSISTENSI YURIDIS SANKSI ADAT KASEPEKANG
Untuk melihat dasar hukum dari sanksi adat kasepekang maka sebelumnya harus dilihat
terlebih dahulu pengaturannya dalam konstitusi negara Republik Indonesia. Konstitusi Negara
Republik Indonesia merupakan suatu aturan hukum yang levelnya paling tinggi dalam hukum
nasional15 .
Terkait dengan eksistensi secara yuridis sanksi adat kasepekang maka terlebih dahulu akan
dikaji dari konstitusi negara Republik Indonesia yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (disingkat UUD NKRI Tahun 1945). Istilah sanksi adat kasepekang secara
teknik yuridis belum ada pengaturan yang jelas dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Walaupun demikian istilah sanksi adat kasepekang sering digunakan dalam sistim hukum adat
khususnya sistem hukum adat di Bali yaitu diatur dalam awig-awig desa pakraman. Desa pakraman
merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang telah mendapat pengakuan secara tegas
dalam UUD NKRI tahun 1945 khususnya Pasal 18 B ayat (2). Pasal ini menyatakan bahwa
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
Rumusan Pasal tersebut di atas menunjukan adanya perhatian dan pengakuan yang
kuat terhadap hukum adat yang didalamnya termasuk sanksi adat kasepekang sebagai hukum
yang tidak tertulis yang hidup dan masih berlaku dalam masyarakat hukum adat disamping
hukum tertulis, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip negara kesatuan yang diatur dalam
Undang-undang. Dari uaraian diatas dapat digarisbawahi bahwa eksistensi sanksi adat kasepekang
mempunyai landasan yuridis yang kuat karena telah mendapat pengakuan berdasarkan Pasal 18
B ayat (2) UUD NKRI tahun 1945.
Pengaturan tentang eksistensi sanksi adat kasepekang dalam peraturan perundang-undangan
nasional tidak diatur secara eksplisit, tetapi secara implisit eksistensi secara yuridis hukum adat
dapat dilihat dalam beberapa peraturan perundnag-undangan nasional diantaranya: UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Pasal 28 ayat (1) Undang-undang
ini menyatakan bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara diwajibkan menggali
, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Pernyataan
15
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Makamh
Konstitusi RI, Jakarta, hal 110.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
53
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
ini menegaskan bahwa dalam hal hakim memutus suatu perkara hendaknya seorang hakim
memperhatikan dan wajib menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat (living law).
Mochtar Kusumaatmadja 16 sebagaimana dikutip Otje Salman Soemadiningrat melihat
bahwa hukum tidak semata-mata merupakan gejala normatif yaitu keseluruhan asas-asas dan
kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat. Lebih dari itu, hukum juga
merupakan gejala sosial yang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat.
Jika dikaji lebih mendalam bahwa landasan yuridis yang dapat dijadikan dasar bagi
eksistensi hukum adat adalah Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakantindakan Sementara Untuk Penyelenggara Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan,
khususnya Pasal 5 ayat 3b yang menyatakan sebagai berikut:
Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum pidana materiil sipil
yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dulu
diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan
pengertian:
bahwa untuk suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Sipil, maka dengan dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga
bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian
yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum;
bahwa, bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran Hakim melampaui
padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan
terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan
pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan
jaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip
kepada perbuatan pidana itu.
Dari rumusan Pasal 5 ayat 3b Undang-undang darurat Nomor 1 Tahun 1951 dapat
disarikan sebagai berikut :
1. perbuatan yang menurut hukum adat dipandang sebagai perbuatan atau delik adat tetapi
tidak diatur dalam peraturan prundang-undangan adalah tetap diakui keberadaanya sebagai
perbuatan pidana meskipun tidak dirumuskan dalam Undnag-undang (hukum tertulis).
2. delik adat yang telah dijatuhi sanksi adat oleh masyarakat hukum adat dan tidak ditaati oleh
yang terkena sanksi adat maka dapat diancam dengan pidanatidak lebih dari 3 bulan penjara
atau denda Rp. 500,- sebagai hukuman pengganti.
3. sanksi adat yang dijatuhkan kepada pelaku yang menurut pikiran hakim melampaui
hukuman kurungan dan dendadiatas, karena kesalahannya kepada pelaku dapat dikenakan
16
Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontenporer, Alumni Bandung, hal 22.
54 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-Awig dalam Kaitan
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
4.
hukuan pengganti sepuluh tahun penjara.
hukum adat yang tidak selaras dengan perkembangan jaman hendaknya diganti.
Rumusan Pasal 5 ayaut 3 (b) Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 secara eksplisit
tidak mengatur mengenai eksistensi sanksi adat khusunya sanksi adat kasepekang. Namun
dalam rumusan yang berbunyi ”...hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang
terhukum....”. Dari ketentuan itu dapat ditafsirkan bahwa Undnag-undang mengakui keberadaan
sanksi adat dan penjatuhan sanksi adat oleh prajuru adat sepanjang ditaati oleh masyarakat dan
pelaku, danapabila tidak ditaati dapat diganti dengan sanksi pidana.
Eksistensi sanksi adat kasepekang juga mendapat pengakuan dalam Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang telah diubah dengan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2003. Walaupun secara eksplisit istilah ”sanksi
adat kasepekang” tidak disebutkan di dalam Peraturan Daerah tersebut, namun dalam Pasal 8
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa prajuru desa
pakraman bertugas melaksanakan awig-awig desa pakraman dan mewakili desa pakraman dalam
bertindak untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar peradilan atas
persetujuan paruman desa. Rumusan Pasal 8 Peraturan Daerah tersebut dapat ditafsirkan bahwa
desa pakraman dalam hal ini prajuru desa pakraman bertugas melaksanakan awig-awig termasuk
penerapan sanksi adat yang telah diatur dalam awig-awig. Prajuru desa pakraman juga diberikan
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar peradilan atas
persetujuan paruman desa. Pernyataan ini menunjukan adanya kewenangan dari prajuru desa
pakraman dalam penerapan sanksi adat. Pengakuan terhadap sanksi adat ini penting sebab
dengan ini eksistensi sanksi adat khususnya sanksi adat kasepakang mempunyai landasan yuridis
yang kuat dalam hukum tertulis.
Dalam awig-awig Desa Pakraman, eksistensi sanksi adat kasepekang mendapat pengakuan
yang sangat jelas. Sebagai contoh awig-awig Desa Pakraman Kerobokan, Baturiti, Tabanan dalam
Pawos 67 tentang Pamidanda menentukan sebagai berikut :
Bacakan pamidanda luire :
a. Panukun kasisipin
b. Danda arta
c. Rerampagan
d. Kasepekang
e. Penyangaskara
f. Kasuwudang mebanjar/madesa adat
Selain itu awig-awig desa pakraman Padonan Kuta Utara Badung juga menggunakan istilah
kasepekang sebagai salah satu bentuk dari pamidanda, seperti terdapat dalam Pawos 82 kaping (4)
yang menyebutkan penggolongan sanksi adat (pamidanda) antara lain :
1. Danda arta miwah panikel-panikelnia
2. Pengampura/Nyewaka
3. Upakara Panyangaskara
4. Kasepekang makrama.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
55
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Eksistensi sanksi adat kasepekang juga terdapat dalam Pedoman/teknis penysunan awigawig Propinsi Bali, khususnya Pawos 61 kaping 3 yang menyebutkan:
Bacakan pamidanda luire ;
ha. Ayahan panukun kasisipan;
na. Danda arta (dosa, danda saha panikel-nikelnya miwah panikel-nikel urunan);
ca. Rarampagan;
ra. Kesepekang;
ka. Kewusang mekrama kewaliang pipilnyane;
da. Penyangaskara17.
IV. PENGATURAN SANKSI ADAT KASEPEKANG DALAM AWIG-AWIG
Dalam awig-awig desa pakraman khususnya bab wicara lan pamidanda (masalah dan sanksi)
umumnya diatur mengenai sanksi adat. Penjatuhan sanksi adat kepada krama dimaksudkan
apabila krama melakukan pelangaran adat, seperti yang dinyatakan Hilman Hadikusuma18
yaitu apabila perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban,
keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan maka akan dikenakan
suatu sanksi adat. Sanksi adat dalam terminologi adat Bali disebut pamidanda (danda). Sanksi
adat secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu Sangaskara danda, artha
danda dan jiwa danda. Sanksi adat pada dasarnya bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan
apabila terjadi gangguan keseimbangan yang berkaitan dengan parhyangan (hubungan manusia
dengan Tuhan), pawongan (hubungan manusia dengan manusia lainnya) dan palemahan (hubungan
manusia dengan alam lingkungannya). Namun dilihat dari pengaturan sanksi adat (pamidanda)
dalam awig-awig , ketiga istilah pamidanda tersebut tidak dimuat dan diatur dalam awig-awig.
Pengaturan sanksi adat (pamidanda) dalam awig-awig desa pakraman sangat bervariasi. Untuk
lebih jelasnya akan dibuat dalam tabel mengenai pengaturan sanksi adat (pamidanda) dalam awigawig desa pakraman. Awig-awig yang akan diteliti adalah beberapa awig-awig desa pakraman
yang ada di Kabupaten Gianyar.
17
18
Biro Hukum Setda Propinsi Bali, 2001, Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-Awig Dan Keputusan Desa Adat, Denpasar, hal 44.
Hilman Hadikusuma, Op.cit. hal.20, lihat juga R. Soepomo , Op.cit., hal 112.
56 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-Awig dalam Kaitan
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
Tabel 1.7
Pamidanda dalam awig-awig desa pakraman
Awig-awig desa pakraman
Pengaturan Pamidanda/Sanksi adat
Awig-awig desa pakraman Pawos 83 menyatakan :
Jero Kuta Batubulan
(1) Desa utawi banjar wenang niwakang pamidanda ring
warga desa utawi banjar sane sisip
(2) Paniwak inucap kemargiang olih Bendesa utawi Klian
banjar
(3) Bacakan pamidanda luire :
Ha. Ayahan panukun sisip
Na. Danda arta (desa, danda panikel-nikelnya miwah
panikel-nikel urunan)
Ca. Rerampagan
Ra. Kenorayang
Ka. Kawusang mekrama kewaliang pipilnyaane
Da. Penyangaskara.
(4) Pamidanda katiwakang patut masor singgih manut ring
kesisipane utamanya ngemanggehang kasudamalan
desa.
(5) Jinah utawi raja brana pamidanda, ngeranjing dados
druwe desa utawi banjar.
Awig-awig desa pakraman Pawos 75 menyatakan :
Jasan Tegalalang
(1) Desa/Banjar wenag niwakang pamidanda ring warga
Desa sane sisip.
(2) Tetiwak inucap kelaksanayang olih bendesa utawi klian
banjar
(3) Bacakan pamidanda luire :
1. Ayahan panukun sisip
2. Danda arta (dosa, kagenda miwah panikel)
3. Rerampasan
4. Kedaut karang ayahan
5. Penyangaskara
(4) Pamidanda sane katiwakang patut masor singgih
manut ring kasisipane.
(5) Jinah utawi arta brana pamidanda punika, ngeranjing
dados druwen desa.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
57
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Awig-awig desa pakraman Pawos 68 menyatakan :
Payangan Desa, Payangan
(1) Desa/Banjar wenang niwakang pamidanda ring warga
Desa sane sisip
(2) Paniwak inucap kelaksanayang olih Bendesa/Klian
Banjar.
(3) Bacakan Pamidanda luwire:
a. Ayahan panukun sisip
b. Data Arta (dosan sahapanikel-nikelnya miwah
panikel urunan)
c. Kadaut karang ayahan
d. Kanohrayang
e. Panyangaskara
(4) Pamidanda sane katiwakang patut masor singgih
manut ring kasisipane.
(5) Jinah utawi raja brana pamidanda ngranjing dados
drewen desa/banjar.
Awig-awig desa pakraman Pawos 76 menyatakan :
Ubud
(1) Prajuru desa/banjar lan Bendesa wenang niwakin
pamidanda ring krama desa pakraman sane sisip
(2) Agung alit pamidanda manut kasisipanya, tan maren
ngupasi dharma kawelas asihan kariinin antuk
pamarisuda
(3) Bacakan pamidanda luwire :
Ha. Atma danda (nunas pangampura ring paruman).
Na. Sangaskara danda (melarapang antuk ngemargiang
pemarascita).
Ca. Artha danda (nawur antuk brana)
Ra. Panukun ayah (nawur kaisisipan antuk ayah)
(4) Jinah utawi artha brana pamidanda, ngeranjing dados
druwe desa/banjar.
58 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-Awig dalam Kaitan
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
Awig-awig desa pakraman Pawos 99 menyatakan :
Sayan Ubud
(1) Desa utawi banjar wenang niwakin pamidanda ring
warga desa sane sisip.
(2) Yanin sampun janten kasisipang (kapastika iwang)
ring klian Banjar, olih sang mawicara kebandingan ke
desa, tur antuk Bendesa kapastika iwang, patut keni
pamidanda nikel ring pamidanda sane katiwakin ring
Kelihan Banjar.
(3) Peniwak inucap kelaksanayang olih Bendesa utawi
Kelihan banjar nnggal-nunggal utawi sinarengan
manut dudonan.
(4) Agung alit pamidanda manut sor singgih kesisipan, tan
maren ngupadi dharma keolas arsan pinih ajeng make
buatan kasudamalan desa.
(5) Bacakan pamidandane sakeluwire :
1. Dange arta muah panikel-panikelnye;
2. Nunas pangampura
3. Upakara pangaskara
4. Kenoroyang mekrama
(6) Jinah utawi arta brana pamidanda ngranjing dados
druwen desa utawi banjar.
Awig-awig desa pakraman Pawos 70 menyatakan:
Gitgit, Gianyar
(1) Desa/banjar wenang niwakang pamidanda ring warga
desa/banjar sane sisip.
(2) Paniwak inucap kelaksanayang olih Bendesa/Klian
Banjar
(3) Bacakan Pamidanda luwire :
Ha. Ayahan panukun sisip
Na. Danda Artha
Ca. Kanorayang
Ra. Panyangaskara
(4) Pamidanda sane katiwakang patut masor singgih
manut ring kasisipane
(5) Jinah utawi raja brana pamidanda dados druwen
Desa/banjar.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
59
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Awig-awig desa pakraman Pawos 73 menyatakan:
Pakudui Tegalalang
(1) Desa/banjar wenang niwakang pamidanda ring warga
desa/banjar sane sisip.
(2) Paniwak inucap kelaksanayang oleh Bendesa/Klian
Banjar.
(3) Bacakan Pamidanda luire:
Ha. Ayahan panukun sisip
Na. Danda artha
Ca. Kanorayang
Ra.Panyangaskara
(4) Pamidanda sane katiwakang patut masor singgih
manut ring kasisipanne
(5) Jinah utawi raja brana pamidanda ngaranjing dados
druwen desa /banjar
Awig-awig desa pakraman Pawos 67 menyatakan :
Samplangan Gianyar
(1) Desa utawi banjare wenang niwakang pamidanda
ring wong desane sane sisip.
(2) Tetiwak inucap kelaksanayang olib bendesa adat
utawi Kelian Banjar.
(3) Bacakan Pamidanda luire :
a. Ayahan panukun kasisipan
b. Danda arta
c. Panikel-panikel
urunan
utawi
panikel
dedandan.
d. Upakara panyangaskara
e. Kanorayang makrama
Beberapa model awig-awig desa pakraman yang telah diteliti menunjukan bahwa pengaturan
mengenai sanksi adat (pamidanda) tampaknya sudah mengacu pada pedoman penyuratan awigawig yang dikeluarkan Pemerintah Propinsi Bali. Secara tegas pengaturan sanksi adat (pamidanda)
terdapat dalam Pawos 61 Pedoman penyusunan awig-awig, yang menyatakan ;
(1) Desa utawi banjar wenang niwakang pamidanda ring warga desa utawi banjar sane sisip.
(2) Paniwak inucap kemargiang olih Bendesa utawi Klian Banjar.
(3) Bacakan pamidanda luire :
Ha. Ayahan panukun sisip;
Na. Danda arta ( dosa, danda saha panikel-panikelnya miwah panikel-nikel urunan);
Ca. Rarampagan;
Ra. Kasepekang;
Ka. Kewusang mekrama kewaliang pipilnyane;
Da. Penyangakara;
(4) Pamidanda sane katiwakang patut mesor singgih manut ring kesisipane utamanya ngemanggehang
kesudamalan desa.
(5) Jinah utawi raja brana pamidanda, ngranjing dados druwe desa utawi banjar.
60 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-Awig dalam Kaitan
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
Berkaitan dengan pengaturan sanksi adat kasepekang dalam awig-awig desa pakraman,
ternyata dari awig-awig yang diteliti tidak ada mengatur tentang sanksi adat kasepekang. Namun
secara implisit dalam awig-awig desa pakraman ubud mengatur mengenai atma danda. Atma
danda merupakan istilah yang mempunyai pengertian yang sama dengan jiwa danda (denda
yang dikenakan secara pisik maupun psikis). Salah satu katagori jiwa danda adalah kasepekang.
Mendukung penyataan di atas I Made Widnyana menyatakan bahwa sanksi adat jiwa danda sama
dengan atma danda. Namun demikian, atma danda yang ada dalam awig-awig desa pakraman ubud
mempunyai makna yang berbeda yaitu meminta maaf pada paruman desa jika membuat suatu
kesalahan (nunas pangampura ring paruman).
Beberapa model awig-awig diatas dilihat dari substansi hukum (legal substance) bahwa
mengenai sanksi adat kasepekang tidak diatur secara eksplisit dalam awig-awig, baik istilah, rumusan
atau pengertian kasepekang serta prosedur dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang. Prosedur
yang dimaksud adalah mekanisme dan proses pentahapan (tahap-tahap) sampai suatu perkara
dijatuhkan sanksi adat kasepekang. Ini dapat diartikan bahwa ada kekosongan hukum terhadap
pengaturan sanksi adat kasepekang dalam awig-awig desa pakraman .
V.
ANALISA TERHADAP PENJATUHAN SANKSI ADAT KASEPEKANG YANG
TIDAK BERDASARKAN AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
Dalam kepemerintahan Desa Pakraman di Bali, penjatuhan sanksi adat umumnya selalu
berdasarkan pada awig-awig desa pakraman yang ada. Awig-awig yang merupakan patokanpatokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang
bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat dalam
hubungan antara krama (anggota desa pakraman) dengan Tuhan, antar sesama krama Desa
Pakraman maupun krama dengan lingkungannya19yang secara yuridis dapat dilihat dalam
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 dalam Pasal 1 angka 11 yang menyatakan awig-awig
adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang
dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan
dharma agama di desa pakraman/ banjar pakraman masing-masing. Awig-awig tersebut termasuk
substansi hukum sebagaimana yang dimaksud oleh Lawrence M. Friedman adalah aturanaturan, norma-norma yang berada dalam persekutuan masyarakat hukum termasuk produk
hukum yang dihasilkan oleh masyarakat hukum adat setempat termasuk keputusan-keputusan
masyarakat hukum adat.
Untuk mengetahui bahwa dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang berdasarkan awigawig atau tidak, maka dalam forum ilmiah ini akan diungkapkan beberapa hasil penelitian
penelitian mengenai penjatuhan sanksi adat kasepekang. Hasil penelitian yang diungkapkan adalah
penjatuhan sanksi adat kasepekang di desa pakraman Samplangan dan desa pakraman Pakudui.
Hasil penelitian yang di dapat dari dua lokasi di Gianyar yaitu di desa pakraman Samplangan dan
desa pakraman Pakudui, bahwa dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang, desa pakraman tersebut
tidak berdasarkan pada awig-awig yang ada. Terhadap penjatuhan sanksi adat kasepekang banyak
kalangan baik masyarakat maupun pemerintah menyatakan bahwa sanksi adat kasepekang pada
19
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas
hokum Universitas Udayana, hal 19.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
61
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
dasarnya tidak bisa dijatuhkan (diterapkan) karena tidak ada dasar untuk menjatuhkan sanksi
adat kasepekang tersebut (awig-awig tidak mengatur mengenai sanksi adat kasepekang).
Penjatuhan sanksi adat kasepekang tersebut juga sangat terkait dengan wujud awig-awig
yang ada pada masing-masing desa pakraman. Mengenai wujud awig-awig di desa pakraman
Samplangan dan Pakudui sudah dalam bentuk tercatat (tertulis). Pada dasarnya Awig-awig dalam
bentuk tertulis akan sangat meringankan tugas dari pengurus (prajuru desa pakraman) dalam
menerapkan aturan hukum dan bersifat pasti bagi semua kalangan (pasti bagi prajuru desa, pasti
bagi masyarakat dan pasti bagi pemerintah). Namun yang unik adalah eksistensi awig-awig desa
pakraman Pakudui dimana awig-awig desa pakraman pakudui wujudnya sudah dalam bentuk
tercatat namum belum disahkan dan dicatatkan pada kantor Bupati Gianyar. Terhadap hal ini,
masyarakat memandang bahwa awig-awig tersebut belum bisa diterapkan dengan alasan belum
disahkan oleh pejabat Pemerintah.
Mengenai tangapan masyarakat terhadap pencatatan dan pengesahan awig-awig dapat
dilihat dalam Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2001 dalam ketentuan Pasal 12 Ayat (1 dan 2)
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang menyatakan :
(1) Awig-awig desa pakraman dibuat dan disahkan oleh krama desa pakraman melalui paruman
desa pakraman.
(2) Awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor bupati/walikota masing-masing.
Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat dijelaskan dua (2) poin penting yaitu sahnya
awig-awig dan pendaftaran awig-awig secara administrasi di kantor Bupati/Walikota. Bahwa
sahnya awig-awig desa pakraman apabila ada suatu kesepakatan krama desa melalui suatu
paruman desa. Sehingga awig-awig yang telah disahkan melalui kesepakatan dalam paruman
tersebut baru dapat diberlakukan kepada krama desa pakraman. Mengenai pencatatan awigawig pada kantor Bupati/Walikota berdasarkan pasal 12 ayat (2) diatas, hanya memenuhi unsur
administrasi birokrasi pada kantor Bupati/Walikota. Tidak menjadi suatu keharusan untuk
mencatatkan awig-awig desa pakraman tersebut mengingat, sekalipun awig-awig desa pakraman
tidak dicatatkan secara administrasi di kantor Bupati/Walikota sepanjang sudah disahkan oleh
krama desa melalui paruman maka awig-awig desa pakraman bisa berlaku dan mengikat bagi
krama desa pakraman. Sehingga dapat dikatakan bahwa pencatatan awig-awig desa pakraman di
kantor Bupati/walikota hanya bersifat administrasi saja.
Berdasarkan hasil penelitian awig-awig yang terkait dengan penjatuhan sanksi adat
kasepekang, bahwa tidak diaturnya sanksi adat kasepekang dalam awig-awig, tidak berarti sanksi adat
kasepekang tidak bisa diterapkan (dijatuhkan) pada krama desa pakraman. Mengingat dalam hukum
adat salah satu karakter hukum adat adalah kesepakatan dalam arti pengambilan keputusan dalam
hukum adat adalah dengan kesepakatan bersama melalui paruman desa pakraman. Oleh karena
itu dapat diartikan, sanksi adat kasepekang dapat dijatuhkan (diterapkan) sepanjang keputusan itu
diambil berdasarkan kesepakatan bersama melalu paruman desa pakraman. Analisa yang lain
juga sangat mendukung terhadap hal ini diantaranya adalah bahwa hukum adat tidak mengenal
asas legalitas, sehingga sanksi adat kasepekang tidak mutlak ada pengaturannya terlebih dahulu
dalam awig-awig dalam kaitannya dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang di desa pakraman.
62 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi Sanksi Adat Kasepekang dalam Awig-Awig dalam Kaitan
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas, mengenai pengaturan sanksi adat kasepekang dalam awigawig Desa Pakraman ternyata tidak diatur secara eksplisit. Yang menjadi pokok permasalahan
yaitu ketika sanksi adat kasepekang dijatuhkan dan tidak berdasarkan pada awig-awig (sanksi
adat kasepekang tidak diatur dalam awig-awig) sehingga banyak kalangan yang berpendapat
bahwa sanksi adat kasepekang tidak bisa dijatuhkan, dengan alasan bahwa sanksi adat kasepekang
tidak diatur dalam awig-awig desa pakraman. Terhadap hal ini dapat dikemukakan analisa yang
berkaitan dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang tersebut.
Analisa yang dikemukakan terhadap penjatuhan sanksi adat kasepekang yang tidak ada
pengaturannya dalam awig-awig desa pakraman adalah bahwa sesuai dengan salah satu karakter
hukum adat yaitu kesepakatan dan tidak mengenal asas legalitas sehingga sanksi adat kasepekang
dapat dijatuhkan pada krama desa pakraman walaupun tidak ada pengaturan secara eksplisit
dalam awig-awig desa pakraman. Jadi yang dipakai dasar dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang
adalah kesepakatan bersama krama desa melalui paruman desa pakraman atau pengambilan
keputusan berdasarkan musyawarah mufakat krama desa melalui paruman desa pakraman dan
bukan pengambilan keputusan dengan suryak siu, karena hukum adat tidak mengenal asas
suryak siu.
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi
dan Publikasi Fakultas hokum Universitas Udayana.
Ahmad A.K. Muda, 2006, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Reality Publisher .
Biro Hukum Setda Propinsi Bali, 2001, Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-Awig Dan Keputusan Desa
Adat, Denpasar
Hadikusuma, H. Hilman, 2004, Pengantar Antropologi Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Isntitut Hindu Dharma, 1986, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu, Proyek Daerah ingkat I Bali.
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan
Kepanitraan Makamh Konstitusi RI, Jakarta
Koti Cantika, I Wayan 2007, “Tata Cara Penerapan Pamidanda” Dalam I Ketut Sudantra dan
Anak agung Oka Parwata, Editor Wicara Lan Pamidanda Pemberdayaan Desa Pakraman
Dalam Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan, Upada sastra Denpasar Bekerjasama
Dengan Bagian Hukum dan MAsyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontenporer, Alumni Bandung.
Sianturi SR, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Alumni Ahaem-Patehaem, Jakarta
Soeroso R, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Soepomo R., 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta
Serikat Putra Jaya, Nyoman 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional. Citra Aditya bakti Bandung.
Ter Haar B, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (terjemahan K.Ng.Soebakti Poeponoto),
Cetakan Ketigabelas, Pradnya Paramita, Jakarta.
Wirta Griadhi, I Ketut, 2008, ”Kasepekang Dalam Perspektif Hukum Adat”, Makalah disajikan
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
63
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
dalam semiloka Kasepekang Dalam Perspektif Hukum dan Ham, diselenggarakan oleh
Bali Shanti ( Pusat Pelayanan Konsultasi Adat dan Budaya Bali, Denpasar.
Widnyana, I Made, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Eresco Bandung.
Windia, I Wayan P, 2008, “Konflik Adat dan Sanksi Kasepekang Di Desa Adat Bungaya
Kabupaten Karangasem Bali : Perspektif Kajian Budaya”, Disertasi Program Doktor
Program Studi Kajian Budaya Udayana.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk
Penyelenggara Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan.
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman
64 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan
Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee)
dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan
Agraria
Oleh :
I GUSTI NYOMAN AGUNG
(Bagian Hukum Perdata FH-Unud)
Abstract
To renew the agrarian affairs as stated in Tap.MPR RI No. IX/2001 (the Decisions made
by the People`s Advisory Assembly), some provisions with regard to land reform as included in
UUPA and the regulations regulating its implementation should be reviewed.
What can be recommended as far as the excessive ownership of land the minimum limit of
ownership of land and the absentee ownwership of land (as part of the substance of the land
reform program) are concerned is as follows:
1. The maximum limit ownership of land: (a) the indicator used for classifying areas should
be reviewed; (b) the decree made by the Agrarian Minister No. 978/Ka/1960 should be
adjusted to the current situation and condition of the areas; (c) the provision determining the
maximum limit of ownership of land for non agricultural purpose needs to be immediately
realized.
2. The minimum limit of ownership of land: (a) the reduction of the minimum limit of
ownership of land should accurately and thoroughly taken into account; (b) solution to the
fragmentation of agricultural land (due to inheritance) should be sought after and should be
regulated in the form of rules and regulations (Peraturan Perundang-undangan abbreviated
as PP).
3. The provisions regulating the absentee ownership of land is still relevant; however, some
should be made more perfect. Those which should be made more perfect are: (a) the criterion
of “kecamatam” (the creterion that head of a district can determine the absentee ownership
of land) needs to be reviewed; (b) it would be advisable that the exception for the maximum
limit of absentee ownership of agricultural land refers to the minimum limit of ownership
of land.
Key word: action of making UUPA more perfect, renewal of agrarian affairs, land reform,
maximum limit, minimum limit, absentee.
I.
PENDAHULUAN
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
65
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah
berusia setengah abad, melewati masa orde lama, orde baru dan saat ini berada dalam era
reformasi. Jauh sebelumnya wacana tentang penyempurnaan UUPA/pembaruan agraria telah
digulirkan. Tuntutan-tuntutan pembaruan ini semakin hari semakin kuat dan pada akhirnya
mencapai puncaknya pada tgl. 9 Nopember 2001 yang ditandai dengan terbitnya Tap.MPR
No. IX/ MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembaruan
agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan dan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan
dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran
bagi seluruh rakyat Indonesia1.
Dalam pada itu arah dan kebijakan pembaruan agraria ditetapkan dalam Pasal 5 ayat
(1) Tap.MPR.RI No. IX/MPR/2001 yang dalam butir tiga-nya menetapkan: “melaksanakan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform)
yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat”. Pengaturan dan
pelaksanaan lebih lanjut pembaruan agraria ini ditugaskan kepada DPR bersama Presiden,
termasuk mengubah dan/atau mengganti semua UU dan peraturan pelaksanaannya yang tidak
sejalan dengan ketetapan MPR tersebut.2
Terbitnya Tap.MPR.RI No.IX/MPR/2001 mendapat sambutan hangat dari pelbagai
kalangan dan diyakini akan membawa angin segar bagi penyempurnaan UUPA/pembaruan
agraria. Dalam pada itu sikap para cendekiawanpun beragam, paling tidak ada tiga pemikiran
yang berkembang antara lain: (1) golongan pertama menginginkan perubahan mendasar dengan
membuat UU baru sebagai pengganti UUPA; (2) golongan kedua menginginkan amandemen
terhadap pasal-pasal tertentu dari UUPA; dan (3) golongan ketiga berpendapat hanya sebatas
penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan yang diperintahkan oleh UUPA.
Terlepas dari perbedaan pendapat dalam hal menanggapi penyempurnaan UUPA/
pembaruan agraria sebagaimana disebutkan di atas maka yang jelas adalah, bahwa beberapa
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan landreform sebagai salah satu
substansi hukum dibidang agraria perlu mendapat pemikiran kembali secara mendalam lebihlebih dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 6 Tap. MPR. RI No. IX/MPR/2001 di atas.
Berhubung ruang yang tersedia sangat terbatas, maka materi Peraturan perundang-undangan
landreform yang akan dibahas dalam tulisan ini berkisar pada: (1) pemilikan/penguasaan tanah
melampaui batas; (2) batas minimum pemilikan tanah; dan (3) pemilikan tanah pertanian secara
absente/guntai;
II. PEMILIKAN/PENGUASAAN TANAH MELAMPAUI BATAS
1
2
Pasal 2 Tap. MPR.RI No. IX/ MPR/ 2001.
Pasal 6 Tap.MPR. RI No. IX/2001.
66 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee)
dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria
I Gusti Nyoman Agung
Pemilikan dan/atau penguasaan tanah melampaui batas maksimum diatur dalam Pasal 7
dan 17 UUPA.
Pasal 7 UUPA menetapkan:
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan.
Pasal 17 UUPA menetapkan:
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai
dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh suatu keluarga atau badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan
perundang-undangan di dalam waktu yang singkat.
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut dalam ayat (2) pasal
ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada
rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 7 dan 17 UUPA, ditetapkanlah UU No.56
Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang ini mengatur tentang: (1)
penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; (2) penetapan luas
minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; dan
(3) penebusan tanah pertanian yang digadaikan. Dengan demikian maka UU tersebut khusus
mengatur mengenai soal tanah pertanian saja sedangkan untuk tanah non pertanian akan
diatur sendiri dengan PP (Pasal 12 UU No.56 Prp/1960). Sampai saat ini PP termaksud belum
diterbitkan, yang ada hanya berupa Instruksi Mendagri No. 21/1973 dan No. 27/1973 yang
mendeteksi adanya penguasaan tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha sesunguhnya dan
menegaskan kembali pengawasan sebagaimana diatur oleh Pasal 19 dan 44 PP No.10/1961.
Disinyalir oleh Abdurrahman, bahwa pada saat ini telah terjadi meluasnya wabah lapar tanah
untuk perumahan oleh karena itulah ketentuan Pasal 12 UU No.56 Prp/1960 perlu segera
direalisir. 3
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 12 UU No.56 Prp/1960, Maria S.W. Sumardjono,
2008: 13-14 menyatakan, apabila dicermati ketentuan Pasal 12 UU No.56.Prp/1960 maka ukuran
maksimum tanah bangunan didasarkan pada luas dan jumlah tanah. Hal ini berarti bahwa bila
sudah ditentukan maksimum untuk daerah tertentu seyogyanya dibedakan antara daerah yang
dinilai mempunyai arti strategis bagi pembangunan dan daerah yang kegiatan pembangunannya
belum berlaku secara intensif, maka kriterianya dapat dipilih antara: (1) menentukan batas
luas tertentu (baik untuk tanah yang sudah ada bangunannya maupun yang belum ada),
misalnya 5.000 M2 bagi daerah strategis dan 10.000 M2 bagi daerah lain dengan penentuan
bidang tanah sekitar lima atau sepuluh bidang, atau (2) hanya menentukan batas luas tertentu
tanpa menentukan bidang tanahnya. Selanjutnya dikatakan bahwa alternatif kedua tampaknya
lebih fleksibel mengingat adanya kemungkinan penetapan luas kapling tanah yang diatur oleh
3
Abdurrahman,
1985, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni, Bandung, hal 89-90.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
67
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Pemerintah Daerah yang bersangkutan untuk berbagai penggunaan.
Pada dasarnya Pasal 7 UUPA menegaskan dilarangnya suatu asas groot grondbezit untuk
mencegah tertumpuknya tanah di tangan golongan tertentu saja. Pemilikan dan/ atau penguasaan
tanah yang melapui batas merugikan kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya
persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya, hal ini
menyebabkan menjadi sempitnya kalau tidak dapat dikatakan hilangnya sama sekali kemungkinan
bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri4. Yang dilarang oleh Pasal 7 UUPA bukan hanya
pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi penguasaan tanah. Dalam pengertian penguasaan
tidak terbatas pada penguasaan dengan hak milik saja tetapi juga dengan hak-hak lainnya seperti
hak gadai, sewa dan sebagainya.
Penentuan batas maksimum memakai dasar keluarga, walaupun yang berhak atas tanahnya
mungkin orang seorang. Menurut Penjelasan Pasal 17 UUPA yang dimaksud dengan keluarga
adalah suami, istri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang
jumlahnya berkisar tujuh orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.
Selanjutnya ditegaskan melalui Instruksi Bersama Mendagri dan Otonimi Daerah dengan Menteri
Agraria dalam suratnya No. 9/1/2 tgl. 5/1/1961 yang pada butir 5a-nya menyatakan: keluarga
adalah sekelompok orang-orang yang merupakan kesatuan penghidupan dengan mengandung
unsur pertalian darah atau perkawinan. Namun demikian dalam prakteknya masih terjadi
kesulitan sebagaimana diungkap oleh Boedi Harsono, 2007: 374, yang mempermasalahkan:
apakah seseorang yang beristri lebih dari satu dianggap berkeluarga satu atau lebih? Dalam
peraturan tersebut hal ini tidak diberi penjelasan. Sehubungan dengan itu ia berpendapat,
kiranya yang menentukan adalah kenyataan dalam penghidupannya dan bagaimana pendapat
umum di daerah ybs. Kalau masing-masing istri serta suami bersama itu pada kenyataannya
merupakan kelompok sendiri dalam kehidupannya misalnya tinggal di tempat yang berlainan,
mempunyai sumber nafkah sendiri-sendiri -- kiranya masing-masing itu dapat dianggap sebagai
satu kesatuan keluarga.
Terlepas dari pandangan Boedi Harsono di atas maka penulis memandang perlu adanya
aturan yang memberi ketegasan yang lebih rinci terhadap pengertian keluarga termaksud. Dalam
pada itu jumlah anggota keluarga ditetapkan tujuh orang termasuk kepala keluarga (yang dapat
laki-laki atau wanita). Apabila jumlah satu keluarga lebih dari tujuh orang maka kelebihan anggota
keluarga diperhitungkan berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No.56 Prp/1960 yang antara lain
menetapkan:
(1) Jika jumlah anggota suatu keluarga melebihi 7 orang maka keluarga itu luas maksimum
sebagai yang ditetapkan dalam Pasal 1 untuk setiap anggota yang selebihnya ditambah
dengan 10%, dengan ketentuan bahwa jumlah tambahan tersebut tidak boleh lebih dari
50%, sedang jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20
hektar, baik sawah, tanah kering maupun sawah dan tanah kering.
(2) Dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus Menteri Agraria dapat menambah
luas maksimum 20 hektar tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan paling banyak 5 hektar.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 UU No.56 Prp/1960, Maria S.W. Sumardjono, 1990:
4
Efendi Peranginangin, 1979, Hukum Agraria I, Sari Kuliah (2), Jurusan Notariat, FH UI, Jakarta,hal.53.
68 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee)
dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria
I Gusti Nyoman Agung
87 menyatakan, untuk masa yang akan datang mungkin dapat dipikirkan tentang penyesuaian
jumlah anggota keluarga dalam kaitannya dengan batas maksimal yang ditentukan berdasarkan
pertimbangan ekonomis agar dapat menunjang kehidupan yang layak bagi petani beserta
keluarganya yang bervariasi sesuai dengan kondisi daerahnya saat ini serta perkiraannya dimasa
yang akan datang.
Menurut Penjelasan Umum butir (7) a UU No. 56 Prp/1960 luas maksimum ditetapkan
untuk tiap-tiap Daerah Tingkat II dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan
faktor-faktor sebagai berikut: (1) tersedianya tanah yang masih dapat dibagi; (2) kepadatan
penduduk; (3) jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah dan tanah kering,
diperhatikan apakah ada pengairan yang teratur atau tidak; (4) besarnya usaha tani yang sebaikbaiknya (the best farm size) menurut kemampuan satu keluarga dengan mengerjakan beberapa
buruh tani; dan (5) tingkat kemajuan teknik pertanian sekarang ini.
Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor lainnya, maka luas
maksimum ditetapkan sebagai berikut:
Di daerah-daerah yang
1. Tidak padat
2. Padat
a. kurang padat
b. cukup padat
c. sangat padat
Sawah
(hektar)
atau
Tanah kering
(hektar)
15
20
10
7,5
5
12
9
6
Beberapa faktor yang dipakai sebagai tolok ukur untuk mengklasifikasikan suatu daerah ke
dalam daerah padat dan tidak padat perlu mendapat sorotan, diantaranya:
Luas daerah; yang dipakai sebagai perhitungan oleh UU adalah luas keseluruhan tanah
yang ada si suatu daerah yang bersangkutan. Apakah perhitungan luas tanah secara keseluruhan
ini dapat dianggap memadai? Menurut hemat penulis cara perhitungan ini kurang tepat oleh
karena, yang diatur oleh Undang-Undang adalah mengenai tanah pertanian dan oleh karenanya
lebih proporsional apabila yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah luas tanah pertanian yang
ada di daerah yang bersangkutan.
1. Perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas daerah; apakah tepat kalau yang
dibandingkan jumlah penduduk secara keseluruhan (tanpa membedakan klasifikasi
pekerjaan) dengan luas tanah secara keseluruhan dalam suatu daerah? hal ini juga
memerlukan pemikiran. Penulis berpendapat bahwa secara rasional yang kiranya tepat
dibandingkan adalah jumlah petani yang ada dalam suatu daerah dengan jumlah luas tanah
pertanian sehingga diperoleh perbandingan yang lebih realistis.
2. Selanjutnya pelaksanaan Pasal 1 ayat (2) UU No.56 Prp/1960 sebagaimana dituangkan
dalam Keputusan Menteri Agraria No. Sk 978/KA/1960 tentang penegasan luas
maksimum tanah pertanian. Apakah ketentuan ini masih relevan untuk dipertahankan?
Dalam perkembangannya seperti sekarang ini tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi
perubahan yang sangat mendasar. Peta daerah yang pada mulanya ditetapkan sebagai
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
69
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
daerah yang tidak padat bisa berubah menjadi daerah padat, daerah yang kurang padat bisa
berubah menjadi daerah yang cukup padat bahkan bisa dikatagorikan sebagai daerah yang
sangat padat lebih-lebih di beberapa daerah telah mengalami pemekaran. Dengan demikian
apa yang ditetapkan oleh Menteri Agraria setengah abad yang lalu tidak realistis dimasa
sekarang ini dan oleh karenanya mutlak perlu ditinjau kembali, meskipun penetapan yang
dilakukan kemudian tidak bisa dipertahankan dalam kurun waktu yang panjang.
III. PENETAPAN BATAS MINIMUM PEMILIKAN TANAH
Selain batas maksimum, UUPA memandang perlu menetapkan batas minimum pemilikan
tanah dengan tujuan supaya setiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk
dapat mencapai taraf penghidupan yang layak, ketentuan ini dimuat dalam Pasal 17 ayat (1) dan
(4) UUPA. Menurut Penjelasan Pasal 17 UUPA ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti
bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan
tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah
pemecahbelahan (versplintering) tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha
misalnya, transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran di luar Jawa dan industrialisasi supaya
batas minimum itu dapat dicapai secara berangsur-angsur. Ketentuan lebih lanjut tentang batas
minimum pemilikan tanah diatur dalam Pasal 8 dan 9 UU No.56 Prp/1960.
Pasal 8 UU No. 56 Prp/1960 menetapkan:
Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah
pertanian minimum 2 ha.
Pasal 9 UU No. 56 Prp/1960 menetapkan
(1) Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan dilarang apabila
pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang
luasnya kurang dari dua hektar. Larangan termaksud tidak berlaku kalau sipenjual hanya
memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan tanah itu dijual sekaligus.
(2) Jika dua orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya peraturan ini memiliki tanah
pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar, di dalam waktu satu tahun mereka itu wajib
menunjuk salah seorang dari antaranya yang selanjutnya akan memiliki tanah itu, atau
memindahkannya kepada pihak lain, dengan mengingat ketentuan ayat (1).
(3) Jika mereka yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak melaksanakan kewajiban tersebut
di atas, maka dengan memperhatikan keinginan mereka Menteri Agraria atau pejabat yang
ditunjuknya, menunjuk salah seorang dari antara mereka itu, yang selanjutnya akan memiliki
tanah yang bersangkutan, ataupun menjualnya kepada pihak lain.
(4) Mengenai bagian warisan tanah pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar, akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan perkembangan penduduk yang semakin meningkat sedangkan luas tanah pertanian
semakin menyempit maka pertanyaannya adalah apakah batas minimum ini (baik untuk sawah/
tanah kering) masih bisa dipertahankan? Sehubungan dengan masalah ini Abdurrahman5
5
Abdurahman, op.cit.,h.85.
70 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee)
dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria
I Gusti Nyoman Agung
menyatakan: ada yang beranggapan bahwa batas tersebut harus diturunkan menjadi satu hektar
saja sekalipun sebenarnya dua hektar tersebut sudah sangat minim dan kurang memungkinkan
kelayakan hidup bagi seorang petani, tetapi apa yang hendak dikata tanah mana yang harus
diberikan kepada mereka yang jumlahnya selalu bertambah sedangkan jumlah tanah relatif tetap
tidak bertambah.
Terhadap masalah ini penulis berpendapat bahwa diperlukan kajian yang mendalam, penuh
hati-hati dan landasan pijakannya tidak terlepas dari tujuan UUPA itu sendiri yaitu kemakmuran
rakyat (terutama petani). Sehubungan dengan itu untuk menetapkan batas minimum ini apakah
tidak perlu dipikirkan klasifikasi jenis tanah pertanian (sawah atau tanah kering), tingkat kesuburan
tanah di masing-masing daerah, jenis tanaman yang bisa ditanam di atas tanah tersebut disamping
kemampuan seorang petani mengerjakan tanah dalam luas tertentu.
Dalam pada itu pernyataan beberapa pejabat dan para akhli ternyata telah memperkuat
adanya fragmentasi tanah pertanian yang semakin meluas. Data terbaru mengenai hal ini belum
ditemukan, akan tetapi bercermin dari realita yang diungkap sekitar dua puluh tahun yang lalu
dapat ditunjukkan melalui uraian berikut:
Sunandar Priyosudarmo (mantan Gubernur Jawa Timur) dalam pertemuan pimpinan
AMPI se-Jawa Timur menyatakan rata-rata pemilikan tanah pada akhir Tahun 1979 akan
menururn dari 0,3 Ha. Tahun 1974 menjadi 0,1 Ha. Pada Tahun 1979. Demikianlah fragmentasi
berlangsung tanpa dapat dikontrol. Seirama dengan gambaran di atas, Soeharto (mantan Presiden
RI) dalam pidato kenegaraan tgl. 18 Agustus 1982 menyatakan: masalah yang terasa semakin
gawat yaitu meningkatnya jumlah petani gurem; (1) selama tujuh tahun (1973-1980) jumlah
petani meningkat dari empat belas juta menjadi tujuh belas juta atau 2,8% pertahun; (2) petani
yang amat miskin yang menggarap tanah kurang dari 0,5 hektar yang juga sering disebut petani
gurem jumlahnya naik dari 6,6 juta menjadi sebelas juta orang; (3) jumlah petani penggarap
(penduduk pedesaan miskin tak bertanah) meningkat selama periode yang sama dari 490.000
menjadi dua juta orang.
Dalam pada itu Sayogyo menyatakan; ratio antara petani yang memiliki tanah dua hektar
lebih dan mereka yang memiliki kurang dari dua hektar adalah satu berbanding lebih dari
delapan. Demikian juga halnya dengan pernyataan Tampubolon, berdasarkan sensus pertanian
Tahun 1983, penguasaan lahan usaha tani rata-rata per keluarga petani adalah 1,05 hektar untuk
seluruh Indonesia, dan + 0,67 hektar untuk Pulau Jawa dan Bali, bahkan mungkin sudah berada
dibawah 0,50 hektar. Untuk Pulau Jawa dan Bali rata-rata penguasaan lahan beririgasi berkisar
antara 0,1 – 0,2 hektar per keluarga.6
Pernyatan-pernyataan di atas sangat memprihatinkan dan olehkarenanya perlu mendapat
perhatian khusus. Apabila fragmentasi ini berlangsung terus maka proses kemiskinan dikalangan
petanipun akan terus berlangsung. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya fragmentasi adalah
pewarisan tanah. Beberapa pendapat muncul menanggapi masalah ini, ada yang menyarankan
agar diadakan pembatasan mengenai pewarisan tanah yang luasnya kurang dari batas minimum,
akan tetapi ada juga yang kurang sependapat karena menyangkut sendi-sendi yang fundamentil
dalam sistem hukum kewarisan dibidang spiritual.7
6
7
Maria S.W. Sumardjono, 1990, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Cet. pertama, Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, h.87
Abdurrahman,
1985, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung: Alumni,h.149
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
71
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Terlepas dari silang pendapat sebagaimana dipaparkan di atas, dengan menunjuk ketentuan
Pasal 9 ayat (4) UU No. 56/Prp/1960 tentang pengaturan lebih lanjut bagian warisan tanah
pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar dalam bentuk PP maka perlu adanya beberapa
alternatif pemecahan yang dalam uraian ini dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Maria S.W. Sumardjono mengemukakan: pengaturannya lebih lanjut perlu mengacu pada
ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU No. 56 Prp/1960 yakni menunjuk salah seorang diantara
akhli waris yang akan memiliki tanah itu atau memindahkannya kepada pihak lain dalam
jangka waktu satu tahun setelah diterimanya warisan tersebut. Tidak kalah pentingnya
dalam masalah fragmentasi ini adalah upaya non yuridis berupa penyediaan lapangan kerja
yang dapat menyerap tenaga kerja pertanian ini ke sektor lain.8
2. Dengan menyitir pandangan Sayogyo yang menyatakan, bahwa landreform hanya dikenakan
pada golongan yang paling gurem maka cara pemecahan masalah adalah sebagai berikut:
misalnya yang menguasai kurang dari 0,2 hektar, tanah mereka dibeli Pemerintah kemudian
dititipkan sebagai tanah negara yang harus diurus oleh Badan Usaha Buruh Tani (BUBT)
di desa. Uang pembelian tanah itu sebagian dijadikan modal BUBT baik modal untuk usaha
bersama maupun modal yang dipinjamkan kepada anggota untuk usaha perseorangan.
Atas dasar gagasan apa untuk mengkomunalkan tanah yang paling gurem itu ? Secara
tersendiri-sendiri usaha di atas tanah yang sesempit itu mereka tidak mempunyai masa
depan yang layak, daripada membiarkan mereka terombang-ambing dalam nasib, lebih
tepat dengan sadar memiliki kebijaksanaan untuk mempersatukan mereka di satuan-satuan
badan usaha setiap desa di bawah tokoh-tokoh pilihan mereka yang diberi tempat sebagai
anggota baru pamong desa pelaksana program. Pembinaan BUBT dalam fase permulaan
seyogyanya adalah Departemen Dalam Negeri (Cq Agraria dan PMD) dengan dukungan
Dep. Nakertranskop.9
3. Alternatif lain diajukan oleh Parlindungan yang memperkenalkan suatu konsep tentang
larangan fragmentasi secara tuntas dan land consolidation. Keduanya dapat dituangkan
dalam suatu produk hukum. Larangan fragmentasi harus dengan tegas dilaksanakan dan
termasuk masalah mengenai pewarisan. Bebarapa negara seperti Jepang menetapkan
anak tertua yang mewarisi tanah sedangkan bagi anak-anak lainnya sejumlah uang yang
menjadi bagiannya dan untuk keperluan itu bank akan memberikan pinjaman. Sedangkan
land consolidation dicapai dengan cara menghimpun semua tanah-tanah, baik tanah yang
tersebar maupun tanah-tanah yang kecil-kecil untuk dihimpun dan kemudian dibagi lagi
dengan kavling yang memenuhi syarat untuk menjadi lahan keluarga (lahan yang dapat
memberikan kehidupan yang layak kepada satu keluarga). Selanjutnya dikatakan, hak akhli
waris tidak diganggu namun hak untuk mendapatkan tanah perlu ditata dan tanah tidak boleh
dipecah-pecah lagi dalam lahan-lahan yang tidak lagi sebagai lahan ukuran keluarga yaitu
lebih kurang dua hektar (menurut versi UU No. 56 Prp/1960) dan sekaligus dilaksanakan
land consolidation atas tanah yang terpecah-pecah sehingga tidak lagi ekonomis dan juga
atas tanah-tanah milik seseorang yang tersebar di beberapa lokasi.10
Ketiga alternatif yang diajukan oleh para akhli di atas dalam rangka usaha mencegah dan
8
9
10
Maria S.W. Sumardjono,op.cit.,h.88
Abdurrahman,op.cit.,h.66
Parlindungan, A.P., 1987, Landreform di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan, Bandung: Alumni,h. 66
72 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee)
dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria
I Gusti Nyoman Agung
menanggulangi fragmentasi tanah pertanian sangat menarik untuk disimak. Catatan penulis atas
pandangan Sayogyo adalah, apakah Pemerintah mempunyai cukup dana untuk membeli tanah
milik petani ? dan bagimana pula mengenai penetapan harganya ?
IV. PEMILIKAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE
Pasal 10 ayat (1) UUPA menetapkan: “setiap orang dan badan hukum yang mempunyai
sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakannya sendiri secara aktif,
dengan mencegah cara-cara pemerasan”.
Ditegaskan lebih lanjut oleh Penjelasan Umum II butir (7) bahwa, ketentuan Pasal 10 ayat
(1) dan (2) adalah merupakan suatu perumusan asas yang menjadi dasar perubahan-perubahan
dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia yaitu di negara-negara yang telah/sedang
menyelenggarakan apa yang disebut landreform atau agraria reform yaitu bahwa tanah pertanian
harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri. Sehubungan dengan itu
maka diadakanlah ketentuan-ketentuan untuk menghapuskan tanah pertanian secara absentee/
guntai (yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal yang empunya).
Tindak lanjut ketentuan Pasal 10 UUPA diatur oleh Pasal 3 PP No. 224/1961 dan Pasal I
PP No. 41/1964. Pada dasarnya kedua pasal tersebut melarang pemilikan tanah pertanian oleh
orang yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat tanahnya. Pemilikan tanah absentee
menimbulkan penggarapan tanah yang tidak efisien, misalnya tentang penyelenggaraannya,
pengawasannya dan pengangkutan hasilnya. Disamping itu dapat juga menimbulkan sistem
penghisapan misalnya orang-orang yang tinggal di kota memiliki tanah di desa yang digarapkan
kepada para petani-petani yang ada di desa itu dengan sistem bagi hasil. Hal ini berarti bahwa
petani yang memeras keringat dan mengeluarkan tenaga hanya mendapat sebagian saja dari
hasil tanah yang dikerjakan, sedang pemilik tanah yang tinggal di kota yang kebanyakan juga
sudah mempunyai mata pencaharian lain dengan tidak perlu mengerjakan tanahnya mendapat
bagian dari hasil tanahnya pula. Berhubung dengan itu perlu pemilik tanah bertempat tinggal
di kecamatan letak tanah tersebut, agar tanah itu dapat dikerjakan sendiri. Batas daerah diambil
kecamatan karena jarak dalam kecamatan masih memungkinkan pengusahaan tanahnya secara
efektif. Meskipun pemilikan tanah pertanian secara absentee tidak diperkenankan oleh UU akan
tetapi dimungkinkan juga adanya pengecualian-pengecualian.
Sangat menarik pandangan Maria S.W. Sumardjono yang menyatakan bahwa, perlu adanya
perhatian terhadap beberapa aspek tertentu berkaitan dengan pemilikan tanah secara absentee
antara lain11:
1. Alasan jarak antara tempat tinggal dan letak tanahnya mengingat kemajuan dalam bidang
komunikasi dan transportasi saat ini (Pasal 3 PP No. 224/1960).
2. Pengecualian yang diberlakukan bagi PNS/ABRI atau yang dipersamakan, pensiunan PNS/
ABRI dan janda PNS/ABRI/pensiunan (PP No. 4/1977), mengingat bahwa pengecualian
itu didasari atas penyediaan jaminan di hari tua.
a. kemungkinan yang dapat mengadakan pembelian adalah mereka yang relatif mampu
yang mungkin tidak perlu menggantungkan diri pada perolehan nafkah di bidang
pertanian. Justru mereka yang mungkin lebih dapat memanfaatkan hasil pertanian
sebagai sumber kehidupan di hari tuanya, secara finansial kurang/tidak mampu
11
Maria S.W. Sumardjono,op.cit,h.88
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
73
KERTHA PATRIKA
b.
c.
d.
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
melakukan pembelian tanah pertanian.
Bila istri yang berstatus PNS/ABRI, apakah ketentuan ini berlaku terhadap duda/
PNS/ABRI ?
Apakah tidak seyogyanya ditegaskan keharusan untuk pindah ke tempat pertaniannya
sesudah ybs. pensiun, mengingat bahwa pengecualian dari asas yang termuat dalam
Pasal 10 UUPA itu sifatnya temporer ?
Terlepas dari ketiga hal tersebut, mungkinkah ketentuan tentang pemilikan tanah
absentee ini kelak dihapuskan ?
Masalah No. 1 sebagaimana diungkap di atas nampaknya sangat tepat. Sehubungan
dengan itu sudah saatnyalah untuk meninjau kembali produk hukum yang berkaitan dengan
jarak tempat tinggal dengan tanah untuk disesuaikan dengan kemajuan dibidang komunikasi,
teknologi dan transportasi. Diilhami oleh masalah sebagaimana disebutkan di atas maka
penulis merasa perlu juga untuk mempermasalahkan, apakah daerah kecamatan yang dipakai
sebagai dasar untuk menentukan pemilikan tanah absentee masih relevan ? hal ini didasarkan
atas pemikiran bahwa kemungkinan seseorang memiliki tanah di luar kecamatan yang tidak
berbatasan dengan kecamatan tempat tinggalnya akan tetapi masih memungkinkan untuk
dikerjakan secara efisien (bila dihitung berdasarkan jarak). Sehubungan dengan itu, apakah tidak
lebih tepat untuk menentukan absentee atau tidaknya pemilikan tanah dipakai kabupaten/kota
atau kalau menemui kasus seperti tersebut di atas tetap dipakai ukuran kecamatan tetapi apabila
masih memenuhi kriteria jarak yang ditentukan bisa juga dikecualikan ?
Masalah No. 2a kiranya perlu mendapat perhatian yang seksama. Apabila yang disinyalir itu
benar maka perlu kajian yang lebih mendalam terhadap ketentuan-ketentuan yang mengaturnya
sehingga harapan yang terkandung dalam PP termaksud sasarannya tepat. Oleh karena itu
penulis mengacu pada tujuan UUPA dan penetapan batas minimum pemilikan tanah. Salah satu
tujuan UUPA adalah untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara
dan rakyat terutama rakyat tani. Penetapan batas minimum bertujuan agar tiap keluarga petani
mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk mencapai taraf penghidupan yang layak. Bertumpu
pada alasan yang telah diungkap di atas maka penulis berpendapat bahwa, ketentuan-ketentuan
yang mengatur tentang pemilikan maksimal tanah pertanian secara absentee bagi PNS/ABRI
dan yang dipersamakan, pensiunan PNS/ABRI dan janda PNS/ABRI/pensiunan perlu ditinjau
kembali dan menurut hemat penulis batas maksimum berpatokan pada luas minimum (yaitu
dua hektar) bukan 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk Daerah Tingkat II (sekarang
Kabupaten/Kota). Hal ini didasarkan pada pemikiran berikut: (a) PNS/ABRI dan janda PNS/
ABRI sudah mempunyai penghasilan tetap (gaji/pensiunan); (2) perlakuan terhadap petani pada
umumnya dengan PNS/ABRI, pensiunan PNS/ABRI dan janda PNS/ABRI hendaknya tidak
menunjukkan gap terlalu tajam agar tidak memicu kecemburuan sosial.
Terhadap masalah 2b tentang kemungkinan diberlakukannya ketentuan untuk janda
PNS/ABRI terhadap duda PNS/ABRI. Penulis merasa perlu untuk melakukan kajian terhadap
istilah janda yang dalam pengertiannya yang luas istilah janda tercakup didalamnya janda
perempuan dan janda laki/duda. Istilah janda laki sebagai sinonim istilah duda dipakai oleh
Surojo Wignjodipuro, 1973: 233, dan pakar hukum adat lainnya. Dari Penjelasan Umum angka
7 PP No. 4/1977 dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan janda adalah terbatas pada
seorang istri yang ditinggal suami karena meninggal dunia. Dengan demikian tidak termasuk
mereka yang berstatus janda sebagai akibat perceraian. Motif apa yang mendorong Pemerintah
74 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee)
dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria
I Gusti Nyoman Agung
menetapkan hanya janda yang ditinggalkan oleh suaminya karena meninggal dunia saja yang bisa
memiliki tanah pertanian secara absentee tidak pernah diungkap oleh PP itu sendiri. Dengan
mendasarkan diri pada interpretasi ekstensif dan mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal
8 UU No.56 Prp/1960 penulis berpendapat bahwa, terhadap duda PNS/ABRI dapat juga
diberlakukan ketentuan untuk janda PNS/ABRI.
Terhadap masalah 2c, menurut hemat penulis ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
antara lain:
(1) Apakah alasan yang diungkap dalam PP termaksud masih relevan? Penulis berpendapat
bahwa alasan yang dimuat dalam PP termaksud masih bisa diterima. Bukankah untuk pindah
ke tempat letak tanah memerlukan biaya yang cukup tinggi? Bagaimana pula dengan anakanaknya yang masih memerlukan bimbingan/perhatian orang tua disamping kemungkinan
adanya kesulitan untuk beradaptasi dengan suasana/situasi dan kondisi lingkungan yang
baru.
(2) Kalaupun pensiunan PNS/ABRI bisa pindah ke kecamatan letak tanahnya belum tentu ia
dapat mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif apalagi yang bersangkutan tidak mempunyai
ketrampilan dibidang pertanian, faktor usia, disamping UU masih memungkinkan untuk
menyerahkan pengusahaan tanahnya kepada orang lain (bagi hasil).
(3) Tidak pindahnya pensiunan PNS/ABRI ke kecamatan letak tanahnya justru kurang
menguntungkan pensiunan itu sendiri. Bukankah pemilikan tanah absentee dibatasi (hanya
sampai 2/5 dari batas maksimum)?
(4) Ditinjau dari umur rata-rata orang Indonesia, maka bagi pensiunan tidak lama lagi
menikmati hidupnya, sehingga setelahnya ia meninggal dunia terjadilah proses pewarisan,
hal mana berarti berakhirnya pemilikan tanah pertanian absentee.
Terhadap masalah 2d tentang kemungkinan penghapusan ketentuan pemilikan tanah
absentee, menurut hemat penulis diperlukan pemikiran yang cermat. Ada beberapa akibat yang
mungkin timbul antara lain:
1. Adanya kesulitan untuk melacak/memonitor pemilikan/penguasaan tanah seseorang
dalam kaitannya dengan penetapan pemilikan batas maksimum (seandainya memiliki tanah
terpencar).
2. Pemilikan/penguasaan tanah secara terpencar menimbulkan penggarapan yangtidak efisien
dan optimal, dus ini berarti kurang menguntungkan petani itu sendiri.
3. Memperluas terjadinya pemerasan oleh golongan ekonomi kuat terhadap golongan
ekonomi lemah yang tersalur dalam bentuk sewa, bagi hasil dsb.
4. Memberikan peluang kepada segolongan orang tertentu untuk menyimpang dari ketentuanketentuan landreform.
Atas dasar pertimbangan di atas maka ketentuan tentang pemilikan tanah pertanian secara
absentee belum saatnya dihapus.
V.
SIMPULAN
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
75
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik simpulan berikut:
1.
Pemilikan dan/atau penguasaan tanah melampaui batas:
a. Kriteria yang digunakan untuk membedakan daerah padat dan tidak padat berdasarkan
indikator sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Umum butir (7) UU No. 56 Prp/1960
perlu dikaji ulang.
b. Sementara belum ditetapkan penggolongan daerah berdasar peraturan perundangundangan baru maka, Keputusan Menteri Agraria No. Sk 978/ Ka/1960 hendaknya
diperbarui, disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang ada pada saat ini.
c. Pemilikan batas maksimum untuk tanah non pertanian sebagaimana ditetapkan oleh
Pasal 12 UU No. 56 Prp/1960 perlu segera direalisir untuk mencegah terjadinya
spekulasi dibidang pertanahan.
2.
Pemilikan batas minimum
a. Penurunan batas minimum pemilikan tanah pertanian perlu pertimbangan yang
cermat. Nampaknya penetapan yang sifatnya bervariasi dirasa lebih rasional dan adil.
b. Fragmentasi tanah pertanian yang disebabkan karena pewarisan hendaknya jangan
dibiarkan terus berlanjut, untuk itu perlu dipikirkan jalan keluarnya sekaligus dalam
rangka merealisir Pasal 9 UU No. 56 Prp/1960.
3.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai
a. Dalam rangka penyempurnaan UUPA/pembaruan agraria, ketentuan-ketentuan
mengenai pemilikan tanah pertanian secara absentee masih relevan oleh karena itu
hendaknya dipertahankan, namun beberapa hal diantaranya perlu dikaji ulang.
b. Kecamatan sebagai kriteria penetapan pemilikan tanah secara absentee perlu ditinjau
kembali. Kiranya ukuran yang lebih tepat adalah Kabupaten/ Kota.
c. Batas pemilikan tanah pertanian secara absentee khusus bagi mereka yang dikecualikan,
sebaiknya mengacu pada pemilikan batas minimum.
Demikianlah uraian penulis, semoga dalam penyempurnaan UUPA/ pembaruan agraria
buah pikiran ini ada manfaatnya.
DAFTAR PUSTAKA
76 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform (Batas Maksimum, Minimum dan Absentee)
dalam Rangka Penyempurnaan UUPA/Pembaruan Agraria
I Gusti Nyoman Agung
Abdurrahman,
1985, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni,
Bandung.
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cet. kesebelas
(edisi revisi), Djambatan, Jakarta.
Efendi Peranginangin, 1979, Hukum Agraria I, Sari Kuliah (2), Jurusan Notariat, FH UI,
Jakarta.
Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Cet. pertama, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.
_______, 1990, Penggunaan Tanah di Pedesaan Menyongsong Era Industrialisasi,
Makalah pada Seminar Nasional Tri Dasa Warsa UUPA kerjasama Fakultas Hukum UGMBPN, 24 September, Yogyakarta.
Parlindungan, A.P., 1987, Landreform di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan,
Alumni,
Bandung.
Surojo Wignjodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-azas Hukum Adat, Alumni,Bandung.
Ketetapan MPR RI No. IX / MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.
Undang Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Undang Undang No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Peraturan Pemerintah No. 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian.
Peraturan Pemerintah No.41/1964 tentang Perubahan dan Tambahan PP No.224/1961
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Peraturan Pemerintah No. 4/1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai/
Absentee Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.
Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria No.
Sekra 9/1/2/1961 tentang Pelaksanaan Undang Undang No. 56 Prp/1960.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
77
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Fenomena Cyber Terrorism
oleh :
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti
(Bagian Hukum Pidana FH-Unud)
Abstract
For Indonesian socities, cyber terrorism is not so famous like other crimes eventhough the phenomenon
of this crime was exist one time in Indonesia criminal lifestyle. Terrorism via cyber space also do
not take a lot of attention because of less knowledge about cyber space. In addition crime via cyber
space in every kind of its doesn’t have a rule of law to solve its.
Keywords: Cyber terrorism
I. PENDAHULUAN
Peradaban dunia masa kini ditandai dengan adanya kemajuan dibidang teknologi khususnya
teknologi informasi atau umum disebut juga sebagai teknologi telekomunikasi. Teknologi
informasi atau teknologi telekomunikasi ini telah membantu umat manusia dalam berinteraksi
dengan dengan manusia lain pada komunitas yang berbeda dengan mudah. Interaksi sosial pada
masa kini dapat dilakukan dengan tanpa melakukan perpindahan komunitas asal atau tempat
dimana ia tinggal, interaksi ini bahkan dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja.
Teknologi informasi atau teknologi telekomunikasi disadari telah membawa manusia pada
suatu peradaban baru dimana masyarakat konvensional akan berkembang menuju masyarakat
informasi internasional yang memiliki struktur global dengan sistem tata nilai yang global
universal. Hal ini mengandung arti sekat-sekat wilayah suatu negara perlahan mulai memudar
(state borderless) dan terjadi perubahan besar pada nilai, norma, moral serta kesusilaan.
Ditambah kemudian dengan terjadinya konvergensi antara komputer, telekomunikasi
dan media yang melahirkan internet sebagai suatu sarana baru yang memudahkan masyarakat
melakukan interaksi sosial, semakin membawa masyarakat pada suatu fenomena baru yang
mampu mengubah hampir setiap aspek kehidupan. Pada awal penemuannya internet hanya
ditujukan untuk kepentingan dunia pendidikan dan lembaga penelitian semata. Namun sejak
internet mulai diperkenalkan kepada publik pada tahun 1995 ternyata internet telah membawa
banyak kemudahan-kemudahan bagi manusia, seperti misalnya manusia dengan mudah
mengakses informasi melalui world wide web (www) yang diperkenalkan oleh Tim Berners-Lee
dan mulai banyak bermunculan aplikasi-aplikasi bisnis melalui internet yang menunjukkan
adanya aspek finansial. Contohnya melalui internet manusia bisa memesan tiket penerbangan,
pembayaran rekening telepon, listrik dan lain sebagainya dimana semuanya itu dapat dilakukan
dengan tanpa mendatangi tempat-tempat transaksi yang nyata.
Penemuan internet memang membawa banyak kemudahan bagi manusia. Akan tetapi
kemudian disadari bahwa internet juga membawa dampak yang kurang baik bagi kehidupan
78 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fenomena Cyber Terrorism
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, Sh
manusia. Kini melalui media internet banyak kejahatan-kejahatan atau tindak pidana yang terjadi
seperti tindak pidana pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, pembobolan rekening,
perusakan jaringan (hacking), penyerangan melalui virus sampai dengan cyber terrorism.
Berbicara mengenai cyber terrorism, di Indonesia kejahatan jenis ini memang belum pernah
terjadi namun dengan berkembangnya infrastruktur berbasis komputer potensi kejahatan
terorisme yang difasilitasi teknologi informasi sangat rentan terjadi. salahsatu contoh yang telah
nyata, dari laptop Imam Samudra (salah seorang terpidana mati Bom Bali I) yang disita oleh
penyidik dapat diketahui adanya hubungan yang kuat antara aksi terorisme dengan tindak pidana
berbasis teknologi informasi. Dimana internet dijadikan sarana untuk melakukan komunikasi,
propaganda, serta carding untuk memperoleh dana bagi pembiayaan teror.
Cyber terrorism memang belum cukup dikenal di Indonesia namun apa yang terjadi
dengan Imam Samudra ini sekiranya dapat dijadikan pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk
tetap waspada akan bahaya terorisme yang menggunakan teknologi informasi sebagai sarana
kejahatan. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan mengenai cyber terrorism dalam
kehidupan masyarakat awam sehingga penting rasanya untuk mengulas sedikit mengenai cyber
terrorism. Diharapkan dengan adanya tulisan ini akan lahir tulisan-tulisan lain yang lebih luas
wawasannya dalam memandang permasalahan cyber crime khususnya mengenai cyber terrorism.
II. TINJAUAN TENTANG PENGERTIAN TERORISME
Sebelum membahas mengenai cyber terrorism maka terlebih dahulu akan diulas sedikit
mengenai terorisme. Hal ini dilakukan karena cyber terrorism merupakan bentuk lain daripada aksi
terorisme yang umum kita kenal.
Terorisme berasal dari kata teror. Sebagaimana dikutip oleh Dikdik M. Arief Mansur dan
Elsatris Gultom dari Franz Magnis-Suseno, Istilah “teror” diinkorporasi ke dalam kosakata
politik pada saat Revolusi Perancis. Maximillan Roberspierre (1758 - 1794), ”Imam Agung” teror
besar dalam Revolusi Perancis, pemimpin agung Revolusi Perancis memaklumatkan ”la grande
terreur”, teror agung terhadap setiap lawan politiknya. Pengagum berat Jean-Jacques Rousseau
ini menghukum mati siapa saja yang dicurigai sebagai antirevolusi tanpa proses pengadilan yang
wajar. Menurut Roberspierre, kecurigaan rakyat selalu benar1. Diungkapkan pula oleh Oka Metria
dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul “Terorisme Internasional Dalam Kerangka Teori Hukum
Internasional (Suatu Analisis Teori)”, di Eropa sendiri kata “teror” baru dikenal pada akhir abad
ke-18, lima abad setelah tumpasnya sekte “assassin” itu. Dengan Revolusi Perancis, kekuasaan
teror telah berhasil menangkap pasling kurang 300.000 orang tertangkap dan 17.000 orang telah
dipenggal kepalanya dengan gillotine dan banyak lagi tindakan kekerasan telah terjadi di luar
hukum tanpa melalui proses peradilan2.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom juga mengatakan bahwa teror merupakan
fenomena yang cukup tua dalam sejarah kehidupan manusia. Aksi kekerasan berbau teror dapat
ditelusuri dari tulisan Xenophon (431-350) mengenai perang psikologis, kekerasan bangsa Roma
yang terjadi di Spartacus pada tahun 73 SM, juga peristiwa di sekitar tahun 14 – 34 Masehi dan
37 – 41 Masehi tatkala Kaesar Tiberius dan Caligula dari Romawi mengeksekusi musuhnya tanpa
1
2
Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT. Refika Aditama, Bandung, hal.49
Oka Metria K, 1988, Terorisme Internasional Dalam Kerangka Teori Hukum Internasional (Suatu Analisis Teori), Majalah Ilmiah
Universitas Udayana, Pusat Penelitian Univ. Udayana, Denpasar, hal.119.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
79
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
melalui saluran hukum atau pengadilan, melakukan penangkapan-penangkapan, perampasan
harta benda, dan berbagai tindakan kekerasan lainnya3. Hal demikian telah membawa kehidupan
rakyat pada masa itu penuh dengan rasa takut dan cemas, penuh dengan pertanyaan kapan akan
dirampas harta benda jiwanya oleh Kaesar (penguasa).
Oka Metria dalam tulisannya kemudian menambahkan munculnya kelompok “assassin”
pada masa itu terutama awal abad ke-12 yang telah menyebar keberbagai daratan di Eropa seperti
ke Suriah, Persia dan Asia Tengah, yang sekarang dikenal sebagai orang Khojas, keadaan “great
fear ” antar negara dan bangsa menjadi berkembang Sebagai tambahan diungkapkan juga bahwa
diakhir abad 19, awal abad ke 20 dan menjelang PD II, ” terorisme” menjadi teknik perjuangan
revolusi dan dapat dilakukan negara. Sebagai contoh rezim Stalin pada tahun 1930-an yang
dianggap sebagai “pemerintahan teror”.
Mengenai pengertian terorisme sendiri masih terdapat perbedaan pemahaman antara
para pakar dimana masing-masing pakar mengungkapkan pengertian terorisme sesuai dengan
teori yang melandasi dan kepentingan politis masing-masing. Sebagaimana juga diungkap oleh I
Wayan Parthiana, perbedaan definisi ini disebabkan karena pandangan dan kepentingan negaranegara terhadap terorisme itu sendiri yang beraneka macam yang sulit untuk dikompromikan
antara satu dengan lainnya4. Negara-negara yang sedang berkembang tidak setuju jika usaha
kelompok bangsa-bangsa terjajah dalam memperjuangkan hak-haknya yang kadang-kadang
dengan tindakan kekerasan, diisebut sebagai kelompok teroris, suatu posisi yang berlawanan
dengan negara-negara maju. Sekelompok negara menolak jika tindakannya yang mendukung
ataupun membantu terorisme digolongkan juga sebagai tindakan teror, berhadapan dengan
negara-negara yang mengklasifikasikan tindakan semacam itu sebagai terorisme dan masih
banyak lagi lainnya.
Selain itu juga diketahui bahwa kesulitan dalam memberikan definisi terorisme terjadi
karena kejahatan ini memiliki kompleksitas yang cukup rumit misalkan mengenai latar belakang
peristiwa dan pelaku, target sasaran yang kerap kali tidak pandang bulu serta bentuk-bentuk
terorisme yang terus menerus mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan jaman.
Peraturan perundang-undangan mengenai terorisme yang ada di dunia sendiri masih belum
secara jelas memberikan definisi terorisme. Liga Bangsa-Bangsa (the league of nations) pernah
memberikan definisi terorisme dalam Konvensi Jenewa 1937 yaitu “terrorisme is all criminal acts
directed against a state amd intended and calculated to create a state of terror in the minds of particular persons
or a group of persons or the general public.” Akan tetapi yang disayangkan konvensi ini (Konvensi
Jenewa) tidak pernah dinyatakan berlaku sebagai hukum internasional positif, sebab karena
tidak memenuhi persyaratan untuk berlakunya karena jumlah negara yang meratifikasinya tidak
mewakili. Oleh karenanya dalam Resolution F Statuta International Criminal Court disebutkan
bahwa sangat disesalkan tidak ada definisi kejahatan terorisme yang dapat diterima secara
umum. Dalam prakteknya kemudian, masyarakat internasional mengupayakan definisi daripada
terorisme dengan membuat konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang kejahatankejahatan yang substansinya berkaitan dengan terorisme dan kejahatan tertentu lainnya sebagai
wujud terorisme.
Di Indonesia ketidakjelasan mengenai definisi terorisme juga dapat dilihat dari peraturan
perundang-undangan bangsa kita yang mengatur mengenai tindak pidana terorisme, Pada Bab
I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Perppu No.1 Tahun 2002 yang ditetapkan menjadi UU No.
3
4
Ibid.
I Wayan Parthiana, 2004, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, CV. Yrama Widya, Bandung, hal. 74
80 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fenomena Cyber Terrorism
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, Sh
15 Tahun 2003 menyebutkan tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam perppu ini. Jika berdasarkan pasal
ini maka tidak terdapat kejelasan pengertian mengenai terorisme bahkan bunyi pasal terkesan
mendua dan multitafsir. Ini dapat dilihat dalam pernyataan “ segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana”, jadi perbuatan yang bagaimana yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana ini tidak dijelaskan. Kemudian bila menunjuk unsur-unsur yang terkandung dalam pasalpasal lainnya seperti pada pasal 5, 6, 7, 9,11, 12 dan 14 yang mengandung delik formil dan
material maka akan semakin nampak sifat ambigu dan multitafsir yang dikandung oleh UU
No. 15 Tahun 2003. Pada pasal-pasal ini juga tidak terdapat kejelasan yang dapat memberikan
kepastian mengenai pengertian tindak pidana terorisme.
Akan tetapi meskipun terdapat kesulitan dalam memberikan definisi dari terorisme,
beberapa literatur telah mencoba memberikan pegangan mengenai pengertian terorisme dengan
mengemukakan beberapa pendapat antara lain :
1. Ayatullah Sheikh Muhammad Al Taskhiri menyatakan bahwa “terrorism is an act carried out to
achieve on in “human and corrupt objective and involving threat to security of mankind, and violation of
rights acknowledge by religion and mankind” .
2. FBI menyatakan bahwa “terrorism is the unlawful use of violence “against persons or property to
intimidate or coerce a governed, civilian populations, or any segment threat, in furtherance or political or
social objective.”
3. Sebuah forum bersama (brain stroming) antara para akademisi profesional, pakar, pengamat
politik dan diplomat terkemuka pada pertemuan bersama di kantor Menko Polkam
tanggal 15 September 2001 berpendapat bahwa terorisme dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ekstrimis, separtatis, suku bangsa) sebagai
jalan terakhir untuk memperoleh keadilan yang tidak dapat dicapai mereka melalui saluran
resmi atau jalur hukum.
4. T.P. Thornton dalam bukunya Terror as a Weapon of Political Agitation yang ditulis pada tahun
1964 menyatakan bahwa terorisme merupakan penggunaan teror sebagai tindakan simbolis
untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstranormal,
khususnya penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Menurut Thornton, terorisme
dapat dibagi menjadi dua macam yaitu enforcement terror dan agitational terror. Bentuk pertama
adalah teror oleh penguasa untuk menindas yang melawan kekuasaannya, sedangkan bentuk
kedua yaitu teror yang dilakukan untuk mengganggu tatanan politik yang mapan untuk
kemudian dikuasai.
5. Igor Primoratz menyatakan bahwa “terrorism is best defined as the deliberate use of violence, or
threat of its use, against innocent people, with the aim of intimidating some other people into a course of
action they otherwise would not take”
6. F. Budi Hardiman menyatakan bahwa dalam mendefinisikan secara objektif mengenai
terorisme harus dilihat unsur kualitas aksinya. Kualitas aksi tersebut adalah adanya
penggunaan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas.
Menurut Hardiman, pendefinisian dengan melihat kualitas aksi atau peristiwa lebih
menguntungkan karena dapat mengidentifikasi pola-pola yang luas dari aksi, dapat
mengenali kecenderungan dimasa depan dan dapat mengetahui pertumbuhan terorisme
serta menemukan penyebarannya di dunia5.
5
Seluruhnya dikutip dari Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom, op.cit., hal.62 – 63.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
81
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Bila diperhatikan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat dilihat bahwa terorisme adalah
merupakan suatu perbuatan melawan hukum, menggunakan kekerasan dengan tujuan sosial
politik, menjatuhkan pemerintahan, pemaksaan, yang menyerang masyarakat sipil, orang-orang
tidak berdosa sampai dengan objek-objek vital strategis yang memiliki peranan penting bagi
kemanusiaan.. Kekerasan yang dimaksud dipertegas dengan bentuknya yang dapat menimbulkan
rasa takut pada orang lain secara meluas (ancaman) dan bentuknya yang nyata (tindakan yang
dilakukan oleh badan).
III. PENGERTIAN CYBER TERRORISM
Sebagaimana telah diungkap di atas, cyber terrorism merupakan bentuk lain dari terorisme.
Sebagai bentuk lain dari terorisme, cyber terrorism adalah terorisme yang dilakukan di dunia maya
memiliki sedikit kesamaan dengan terorisme, yaitu sama-sama kejahatan atau tindak pidana
yang menyerang objek-objek vital strategis hanya saja pelaksanaan cyber terrorism umumnya lebih
mudah dan lebih sedikit memerlukan biaya.
Cyber terrorism sendiri lahir sebagai akibat dari proses globalisasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya sistem informasi.yakni internet. Oleh Andi Widjajanto
dalam F. Budi Hardiman sebagaimana dikutip oleh Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom,
kemajuan teknologi dibidang telekomunikasi dan informasi menjadi sarana penerapan strategi
perlawanan teroris secara tidak langsung (indirect strategy). Karena sifatnya yang tidak dibatasi
ruang dan waktu maka aksi teror dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja sebab distribusi
geografisnya mencakup seluruh dunia, tidak ada pusat kontrolnya dan kecepatan beroperasi
sesuai waktu sesungguhnya (real time speed).
Mengenai pelaksanaan teror melalui dunia cyber ini juga sulit untuk diberi definisi selayaknya
terorisme yang sampai saat ini masih belum memiliki satu definisi yang jelas dan tegas. Beberapa
definisi pernah disebutkan guna memperoleh satu pandangan mengenai cyber terrorism, definisi
tersebut antara lain yang diberikan oleh:
1. NPA yang merumuskan cyber terrorism sebagai “serangan elektronik melalui network
komputer terhadap infrastruktur kritis yang berpotensi besar mengganggu aktifitas sosial
dan ekonomi bangsa/negara”.
2. The U.S. Department of Justice menyatakan “...any illegal act requiring knowledge of computer
technology for it’s preparation, investigation or prosecution”.
3. OECD menyatakan “any ilegal, unethical or unauthorized behaviour relating to the automatic processing
and/or the transmission of data”.
4. Cahyana Ahmadjayadi yang menyatakan bahwa terorisme pada dasarnya sudah terjadi jika
seseorang atau kelompok orang melakukan kegiatan ilegal melalui teknologi informasi.
Menurutnya, penyusupan kedalam sistem komputer yang duproteksi miliki orang lain
dan mencuri data atau merusak data maupun informasi digolongkan sebagai “terorisme
informasi”.
5. James A. Lewis mendefiniskan cyber terrorism sebagai “the use of computer network tools to shut
down critical national infrastructures (such as energy, transportation, government operations) or to coerce or
intimidate a government or civilian population”.
6. Dorothy E. Denning memberikan definisi cyber terrorism secara luas dan menekankan aspek
target, motivasi, tujuan dan pelakunya. Menurut Dorothy, istilah cyber terrorism adalah : “...is
82 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fenomena Cyber Terrorism
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, Sh
generally understood to mean a computer-based attack or threat of attack intended to intimidate or coerce
governments or societies in pursuit of goals that are political, religious, or ideological. The attack should be
sufficiently destructive or disruptive to generate fear comparable to that from physicl acts of terrorism. Attacks
that lead to death or bodily injury, extended power outages, plane crashes, water contamination, or major
economic losses woukd be examples. Depending on their impact, attacks against critical infrastructures such
as electric power or emergency services could be acts of cyber terrorism. Attacks that disrupt nonessential
services or that are mainly costly nuisance would not”6.
Berdasarkan beberapa pemahaman-pemahaman di atas mengenai cyber terrorism sekiranya
dapatlah dipahami bahwa cyber terrorism adalah jenis tindak pidana terorisme yang paling mudah,
cepat dan murah karena hanya menggunakan media komputer / laptop yang telah dilengkapi
dengan sistem internet kejahatan telah dapat terlaksana. Selain itu dapat pula dipahami bahwa
terorisme yang “tadinya” dilakukan hanya di dunia nyata kini beralih dapat dilakukan di dunia
maya (cyber). Dimana internet menjadi salahsatu media untuk melakukan perancangan sekaligus
media untuk melaksanakan serangan terhadap pihak musuh dengan melakukan penyerangan
melalui objek-objek sasaran yang memiliki sistem komputer. Jadi teror dapat dilakukan terhadap
infrastruktur yang strategis sepanjang berhubungan dengan sistem komputer dan memiliki
hubungan dengan internet.
Adapun perbedaan tipisnya dengan terorisme konvensional adalah mengenai proses
pelaksanaan kejahatannya. Apabila dalam terorisme konvensional tindakan kejahatan umumnya
lebih nyata melukai perasaan jiwa dan tubuh seseorang maka dalam cyber terrorism yang dilukai
adalah sistem dari data atau infrastruktur yang berbasis komputer dan internet yang juga
bisa berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Apabila dalam terorisme konvensional bentuk
kejahatannya adalah perusakan yang menyeluruh baik manusia maupun objek vital strategis
maka dalam cyber terrorism bentuk-bentuk kejahatannya adalah perusakan terhadap objek vital
strategis yang berbasiskan komputer dan internet.
IV. BENTUK-BENTUK CYBER TERRORISM
Telah diketahui bersama sehebat apapun suatu teknologi tetap saja memiliki kelemahankelemahan atau kekurangan-kekurangan demikian juga dengan komputer atau internet. Tidak
ada satu pun sistem jaringan dalam internet yang tidak memiliki kelemahan, hampir setiap sistem
komputer memiliki tingkat keamanan yang rendah sehingga teroris yang pintar mengoperasikan
dan tahu seluk beluk komputer dapat mengeksploitasinya dengan mudah. Oleh karena itu ada
beberapa bentuk-bentuk kegiatan dalam dunia cyber dapat digunakan dalam kegiatan terorisme
seperti :
a. Unauthorized Acces to Computer System and Service merupakan kejahatan yang dilakukan dengan
memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin
atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer.
b. Carding atau yang disebut credit card fraud merupakan tindakan memanfaatkan kartu kredit
orang lain untuk berbelanja di toko-toko online guna membeli peralatan terorisme dan
pembiayaan operasional. Teroris mencari nomor-nomor credit card orang lain melalui chanel
di IRC, melalui CC Generator, meng-hack toko online dan masuk data basenya, membuat
6
Seluruhnya dikutip dari Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom, op. cit., hal. 65-66.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
83
KERTHA PATRIKA
c.
d.
e.
f.
g.
h.
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
website palsu mengenai validitas kartu kredit seperti pada umumnya di situs-situs porno.
E-mail. Teroris dapat menggunakan email untuk menteror, mengancam dan menipu,
spamming dan menyebar virus ganas yang fatal, menyampaikan pesan di antara sesama
anggota kelompok dan antara kelompok.
Cyber Espionage merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan
kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer
(computer network system) pihak sasaran.
Cyber Sabotage and Extortion. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan
atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer
yang terhubung dengan internet.
Membajak media dengan menunggangi satelit dan siaran-siaran TV Kabel utuk
menyampaikan pesan-pesannya. Selain itu, teroris dapat mencari metode-metode untuk
menyingkap “penyandian” signal-signal TV Kabel yang ada dan menyadap siarannya.
Contoh kasus demikian adalah kasus “Captain Midnight” memanipulasi siaran HBO yang
berjudul “The Falcon and Snowman”.
Phreaker, merupakan Phone Freaker yaitu kelompok yang berusaha mempelajari dan menjelajah
seluruh aspek sistem telepon misalnya melalui nada-nada frekwensi tinggi (system multy
frequency). Pada perkembangannya setelah perusahaan-perusahaan telekomunikasi Amerika
Serikat menggunakan komputer untuk mengendalikan jaringan telepon, para phreaker
beralih ke komputer dan mempelajarinya seperti hacker. Sebaliknya para hacker mempelajari
teknik phreaking untuk memanipulasi sistem komputer guna menekan biaya sambungan
telepon dan menghindari pelacakan.
Hacking untuk merusak sistem dilakukan melalui tahap mencari komputer (foot printing)
dan mengumpulkan informasi untuk mencari pintu masuk (scanning). Setelah menyusup,
penjelajahan sistem dan mencari akses keseluruh bagian (enumeration) pun dilakuka.
Kemudian, para hacker membuat backdoor (creating backdoor) dan menghilangkan jejak7. Selain
hal-hal tersebut di atas Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom juga menambahkan
pernyataan dari Michael Vatism yang menyatakan bahwa ada tiga cara komputer dapat
dimanfaatkan oleh kaum teroris untuk melakukan aksinya. Pertama, komputer digunakan
sebagai alat (tool). Kedua, sebagai penerima atau alat bukti dan yang ketiga sebagai target.
Contoh komputer dijadikan sebagai alat (tool) adalah membuat home page sebagai sarana
propaganda, rekruitmen, mengumpulkan data (informasi) dari sektor privat atau data
rahasia dam mengadakan hubungan dengan kelompok teroris lainnya.
Di Indonesia bentuk kegiatan dunia cyber yang digunakan untuk melancarkan aksi terorisme
ditemukan dalam laptop milik Imam Samudra pelaku Bom Bali I, disinyalir Imam Samudra
melakukan propaganda, komunikasi, pendanaan terorisme melalui internet. Oleh karena itu
Indonesia rasanya perlu untuk waspada terhadap munculnya fenomena kejahatan terorisme
yang menggunakan komputer berbasis internet sebagai alat melancarkan aksi terorisme.
7
Cahyana Ahmadjayadi, makalah tahun 2003 “Dampak Teknologi Komunikasi dan Informasi Terhadap Kegiatan Terorisme”; dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom, op.cit., hal. 65-66.
84 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fenomena Cyber Terrorism
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, Sh
V.
MENYIKAPI FENOMENA CYBER TERRORISM
Cyber terrorism mungkin memang belum muncul sebagai kejahatan biasa selayaknya kejahatan
konvensional yang ada. Cyber terrorism sampai saat ini masih merupakan fenomena kecil dari
kejahatan cyber yang harus diwaspadai. Yang menjadi inti dari tulisan ini sesungguhnya adalah
mengenal sedikit mengenai cyber terrorism kemudian berupaya untuk meningkatkan kewaspadaan
terhadap munculnya kejahatan terorisme yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi
sebagai salahsatu alat untuk melancarkan kejahatan. Mengingat penanggulangan terorisme telah
menjadi komitmen bersama bangsa Indonesia yang tidak boleh dilupakan. Oleh karenanya
perang terhadap terorisme dengan segala bentuknya haruslah dilakukan secara komprehensif
dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang bersifat nasional maupun internasional. Hal
tersebut patut untuk dilakukan dalam upaya menciptakan iklim masyarakat nasional maupun
internasional yang tidak mengijinkan adanya terorisme tumbuh dan berkembang.
Di lain sisi, penggunaan komputer (khususnya disini laptop) yang berbasis internet adalah
merupakan hak setiap manusia yang mampu untuk itu. Ini berkaitan dengan apa yang namanya
hak atas kebebasan informasi dan komunikasi yang memperoleh jaminan dari berbagai instrumen
hukum internasional seperti UDHR 1948, the European Convention on Civil and Political Rights 1950;
the International Covenant in Civil and Political Rights (ICCPR), the American Convention on Human Rights
1969 dan the African Charter on Human and People’s Rights 1986. Akan tetapi meskipun demikian
kebebasan akan informasi dan komunikasi ini tidaklah bersifat mutlak. Ini dilihat dari ajaran
aliran filsafat hukum kodraf mengenai hak milik yang dikembangkan oleh Sonny Keraf dimana
dalam ajaran tersebut diungkapkan hak untuk melakukan komunikasi dan hak atas informasi
sebenarnya merupakan kewajiban sekaligus hak manusia untuk mempertahankan hidup
manusia. Kodrat individual harus harmonis dengan kodrat sosial. Hak individual harus bersifat
fungsi sosial dan tidak merusak atau merugikan individu lain dan masyarakat. Oleh karena itu
sepatutnya dunia cyber haruslah dimanfaatkan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya untuk
menciptakan komunikasi dan informasi yang positif bukan sebaliknya menjadikan dunia cyber
sebagai sarana untuk melakukan kejahatan terhadap individu lain.
Hal ini nampaknya bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan dari aksi terorisme
yang lebih mengarah pada timbulnya ancaman perusakan fisik maupun non fisik yang merusak
kelangsungan hidup orang lain dengan alasan mempertahankan hidup individu dan kolektif
kelompoknya. Oleh karena itu penting rasanya untuk menciptakan suatu hukum ataupun
peraturan hukum yang dapat dipergunakan untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan
yang terkait dengan terorisme termasuk di dalamnya cyber terrorism.
Berbicara mengenai hukum mengenai terorisme khususnya cyber terrorism, dunia internasional
memang belum berhasil memiliki satu peraturan yang bersifat global yang dapat digunakan oleh
semua bangsa sebagai pedoman. PBB memang pernah mengadakan suatu kongres di Havana
sekitar tahun 1990 yang mengantarkan lahirnya Manual on the Prevention and Control of Computer
Related Crime dan Vienna Declaration on Crime and Justice pada tahun 1994 dan Masyarakat Ekonomi
Eropa juga mengeluarkan sebuah Council of Europe’s Convention on Cybercrime pada tahun 2001
yang sekiranya dapat dipergunakan untuk sementara bagi bangsa-bangsa yang ada didunia untuk
menegakkan hukum bagi terorisme yang berbasis teknologi komputer dalam melaksanakan
aksinya.
Sedangkan jika menurut hukum nasional Indonesia, UU No. 15 Tahun 2003 tentang
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
85
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
terorisme sampai saai ini adalah satu-satunya undang-undang yang dapat digunakan dalam
penegakan hukum terhadap tindak pidana cyber terrorism guna menghindari terjadinya kekosongan
hukum ( ini dapat kita temui dalam pengaturan pasal 6, 7, 9 dan pasal 11 serta pasal 12. cat. pen ).
Undang-undang terorisme ini dengan tegas menyatakan bahwa seseorang dianggap melakukan
aksi terorisme dan dapat dijatuhi hukuman walaupun tindak pidana terorisme belum terjadi atau
baru hanya sampai pada tahap maksud atau merencanakan.
Dengan demikian dalam rangka menyikapi fenomena cyber terrorism di Indonesia, bilamana
dikemudian hari terjadi cyber terrorism aparat penegak hukum dapat mempergunakan UU No. 15
Tahun 2003 tentang terorisme sebagai hukum yang berlaku. Hal ini dilakukan demi menjaga
kepentingan orang banyak dan menghindari terjadinya kekosongan hukum mengenai cyber
terrorism. Di sisi lain ada suatu pengharapan besar bahwa pemerintah akan melahirkan sebuah
undang-undang mengenai cyber law yang nantinya dapat menjadi peraturan hukum bagi dunia
cyber.
VI. PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan wacana di atas, penulis menemukan beberapa kesimpulan-kesimpulan yang
dapat membantu mempermudah pemikiran mengenai Cyber Terrorism yaitu :
1. Cyber Terrorism di Indonesia belum pernah terjadi namun indikasi kearah itu sudah pernah
ada. Ini dapat dilihat dari ditemukannya upaya komunikasi teroris melalui internet dan
propaganda dalam laptop Imam Samudra salah seorang pelaku Bom Bali I.
2. Permasalahan Cyber Terorrism tidak dapat dipandang dengan sebelah mata mengingat
kemajuan teknologi dan sistem informasi yang terus berkembang dengan pesat. Teknologi
dan sistem informasi yang maju dipandang dapat membantu atau memudahkan pelaksanaan
daripada aksi terorisme.
3. Tidak adanya pemahaman yang sama mengenai terorisme menyulitkan juga dalam
memberikan pemahaman terhadap Cyber Terrorism. Yang dapat dipahami adalah cyber
terrorism merupakan bentuk lain dari terorisme yang mempergunakan teknologi dan sistem
informasi ( komputer dan internet) sebagai alat untuk melancarkan aksi terorisme . Dengan
kata lain Sebagai bentuk lain dari terorisme, cyber terrorism memiliki sedikit kesamaan dengan
terorisme, yaitu sama-sama kejahatan atau tindak pidana yang menyerang objek-objek vital
strategis hanya saja pelaksanaan cyber terrorism umumnya lebih mudah dan lebih sedikit
memerlukan biaya.
4. Tidak adanya peraturan mengenai dunia cyber/Cyber Law menjadi salahsatu faktor penyebab
tingginya tingkat kejahatan dalam dunia cyber. Hal ini juga menjadi faktor penentu terjadinya
Cyber Terrorism.
5. Untuk saat ini UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme adalah satu-satunya peraturan
perundang-undangan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana Cyber Terrorism.
86 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Fenomena Cyber Terrorism
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, Sh
Saran
Ada beberapa saran yang ingin penulis sertakan berkaitan dengan wacana ini yaitu :
1. Bangsa Indonesia hendaknya jangan melupakan ideologi bangsa yakni Pancasila yang
merupakan pedoman falsafah hidup bangsa Indonesia yang mempersatukan seluruh
manusia Indonesia dalam suatu bangsa meski ada dalam perbedaan suku dan agama.
2. Cyber Terrorism memang belum pernah terjadi di Indonesia tetapi sekiranya hal ini perlu
diwaspadai oleh kita bangsa Indonesia mengingat adanya pernyataan bangsa kita saat ini
menjadi surganya para teroris. Jangan sampai kelemahan karena ketiadaan undang-undang
menjadi dasar teroris untuk berani melakukan aksi terorisme di Indonesia. Oleh karena
itu menjadi agenda penting bagi pemerintah untuk melahirkan suatu peraturan mengenai
dunia cyber yang mencakup segala aspek hukum yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Alvin Toffler, Kejutan Masa Depan “Future Shock”, PT. Pantja Simpati, Jakarta, 1992
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), PT. Refika Aditama,
Bandung, 2005.
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara “Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia”, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elsatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2005.
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, CV. Yrama Widya, Bandung,
2004.
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku
Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi),
Universitas Indonesia, Jakarta, 1984.
Oka Metria, K, Terorisme Internasional Dalam Kerangka Teori Hukum Internasional (Suatu Analisis
Teori), Majalah Ilmiah Universitas Udayana, Pusat Penelitian Univ. Udayana, Denpasar,
1988
Oppenheimer-Lauterpacht, International Law, A Treaties, Vol. 1: Peace, Longmans, London,
1960.
UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
87
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Perlindungan Hak Asasi Anak
dalam Hukum Nasional
dan Hukum Internasional
Oleh:
I Gede Pasek Eka Wisanjaya
(Bagian Hukum Internasional)
Abstract
Children are very important in every family which have rights and dignity. Nonetheless, in fact a
lot of children are afflicted by violence treatment that mainly come neither their own family nor
outside. Daily news in news paper or television have shown its gloomy phenomenon. State has a
duty to be a shelter of our children from violence which has been strictly regulated in national law.
This duty is derived from international law such as convention concerning protection of children
which has been ratified by the state concern.
Key words: protection, children’s rights, national, international, law
I. PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini media dihebohkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anakanak. Dalam berbagai berita dikesankan bahwa seolah-olah kekerasan seperti itu meningkat
drastis. Berita-berita tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan dan
kejenuhan pemirsa terhadap berbagai berita politk dan sosial yang mengisi wahana informasi
publik. Apakah pemberitaan itu juga mencerminkan perhatian publik yang makin serius dengan
persoalan ini? Hal ini susah diukur, karena sejak lama kita telah disuguhi dengan berbagai kasus
kekerasan terhadap anak yang tingkat kesadisannya bervariasi, tetapi komunitas terpelajar dan
pengembang kebijakan tenang-tenang saja, seperti menderita sindroma ketakberdayaan.
Jauh sebelum kasus Arie Hanggara tahun 1983, ada paradigma keliru tentang anak di
kalangan banyak orangtua. Seolah anak adalah hak milik orangtua yang boleh diperlakukan
semaunya, asal dengan alasan yang menurut orangtua masuk akal. Data Komnas Perlindungan
Anak menunjukkan, kekerasan pada anak tidak mengenal strata sosial. Dikalangan menengah
ke bawah, kekerasan pada anak karena faktor kemiskinan. Dikalangan menengah ke atas, karena
ambisi orangtua untuk menjadikan anaknya yang terbaik, di sekolah, di masyarakat, termasuk
selebritis cilik agar bisa tampil di televisi.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan
perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas Perlindungan Anak mencatat, anak
(9 tahun) korban kekerasan akhirnya ingin membunuh ibunya jika ia bertemu. Ini semua akibat
tindak kekerasan pada anak. Paradigma keliru yang menganggap anak tidak memiliki hak, dan
harus selalu menurut orang tuanya, harus diakhiri. Sudah saatnya orang tua menyadari, anakanak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa lainnya yang harus dihargai. Maka, hak-hak
anak perlu ditegakkan, antara lain hak untuk hidup layak, tumbuh, dan berkembang optimal;
88 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perlindungan Hak Asasi Anak dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional
I Gede Pasek Eka Wisanjaya
memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya
sendiri sebagai anak.
Hak anak tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Pemerintah Indonesia
tahun 1990, disusul disahkannya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang
mencantumkan berbagai sanksi bagi pelanggaran hak anak. Bahkan, Pasal 13 UU Perlindungan
Anak menyebutkan, orangtua diposisikan pada garda paling depan bagi upaya perlindungan
anak, di mana sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak
akan ditambah sepertiga jika yang melakukan adalah orang tuanya sendiri. Hal itu harus terus
disosialisasikan oleh pemerintah, media, LSM, lembaga pendidikan, perorangan maupun
organisasi yang memiliki akses kepada ibu dan keluarga, untuk mengubah paradigma keliru
tentang anak. Selama ini, pembicaraan soal hak anak hanya muncul menjelang Hari Anak
Nasional, lalu dilupakan.1
Diberlakukannya UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak seolah menjadi antiklimaks
dari banyak aktivis perlindungan anak. Padahal UU ini saja tidak cukup untuk menurunkan
tingkat kejadian kekerasan pada anak. UU ini juga belum dapat diharapkan untuk mempunyai
efek deteren karena belum banyak dikenal oleh aparat maupun masyarakat. Oleh karena itu,
kekerasan terhadap anak akan tetap berlanjut dan jumlah kejadiannya tidak akan menurun karena
sikon hidup saat ini sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalam
rumah tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu. Anak
adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain.
Untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan berbagai tindakan
sekaligus. Di Malaysia, misalnya selain UU perlindungan anak dan KDRT yang telah ada, dengan
segera pemerintah kerajaan membuat sebuah sistem deteksi dini, rujukan, penanganan terpadu
untuk menanggapi masalah kekerasaan. Di Malaysia sejak awal tahu 90-an telah dibentuk SCAN
TEAM (Suspected Child Abuse and Neglect Team) yang keberadaannya diakui oleh seluruh jajaran
pemerintahan sampai pada tingkat RT dan anggota timnya terdiri dari relawan, masyarakat dan
pegawai kerajaan, serta anggota kepolisian dan profesi kesehatan. Setiap kasus ditangani secara
terpadu dan semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan kesehatan biayanya ditanggung oleh
pemerintah federal. Dengan sistem seperti ini, masyarakat tahu apa yang mereka harus perbuat
dan tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan ketika menyaksikan peristiwa kekerasaan
terhadap anak.
Di Indonesia sistem seperti itu belum ada, kita mempunyai pihak-pihak yang dianggap
berwenang dan berkompeten dalam menangani kasus-kasus kekerasaan seperti tokoh
masyarakat, pejabat pemerintahan sampai pada tingkat kelurahan, kepolisian, pekerja sosial
masyarakat, pendidik, dan profesi kesehatan ? tetapi peranan mereka tidak diatur dalam sebuah
sistem yang memungkinkan mereka saling bekerja sama dan tidak ada kebijakan pemerintah yang
membebaskan biaya terhadap tindakan yang diambil untuk meyelamatkan anak. Oleh karena itu
jangan heran jika masyarakat tidak tahu apa yang mereka perbuat, takut, atau ragu-ragu untuk
melaporkan dan mengambil tindakan jika melihat peristiwa kekerasan tehadap anak.2
Sudah menjadi hal yang “lumrah” di zaman sekarang ini kita mendengar berita seorang
anak dibunuh oleh ibunya dengan cara dibakar, seorang bapak yang memperkosa anak gadisnya
sendiri, seorang anak bunuh diri karena sering dipukuli kakaknya, dan masih banyak lagi hal-hal
1
2
Seto Mulyadi, Kekerasan Pada Anak, http://www.mail-archive.com, diakses 19 Agustus 2008.
Irwanto, Pelaku Kekerasan Pada Anak : Apakah Hukuman Saja Cukup?, http://himpsijaya.org, diakses 19 Agustus 2008.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
89
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
“lumrah” yang sering kita dengar yang membuat bulu kuduk manusia normal merinding.
Entah sudah berapa banyak kasus yang ditangani polisi mengenai kasus-kasus tersebut,
kasus kekerasan dalam rumah tangga yang lebih spesifik lagi adalah kasus kekerasan terhadap
anak. Sebagai contoh kekerasan terhadap anak yang terjadi pada tahun 2008, yaitu seorang ayah
di Asahan, Sumatra Utara tega menganiaya anaknya. Akibatnya, Amar Ma`ruf yang baru berusia
delapan tahun terluka pada pelipis kanan dan lengan kiri, memar di bagian wajah serta bengkak
di kakinya. Korban mengaku, penganiayaan dilakukan saat menanyakan tas sekolah. Bukan
jawaban yang diterima, tapi penganiayaan. Tubuh kecil Amar juga diempaskan ke halaman rumah
hingga dua kali yang membuat korban pingsan. Warga yang melihat kejadian ini tak tinggal
diam. Mereka melapor ke polisi. Sang ayah, Kisman, lalu ditangkap. Sedangkan Amar dibawa ke
klinik. Kisman mengaku tega menganiaya karena kesal dengan ulah anaknya. Dari keterangan
warga, Kisman sudah bercerai dengan istrinya empat tahun lalu. Diduga karena perceraian
mengakibatkan Kisman sering memukul istrinya. Perceraian membuat kisman menjadi orangtua
tunggal bagi dua anaknya.
Demikian juga seorang ayah di Bengkulu tega menganiaya anaknya yang baru berusia tiga
tahun. Revina, si bocah cilik harus dilarikan ke rumah sakit akibat luka memar dan bengkak di
pipi serta kepala. Perut, dada, dan tangan Revina lecet. Dan yang paling mengenaskan, kemaluan
Revina tidak luput dari penganiayaan. Berdasarkan pemeriksaan dokter, penyiksaan yang dialami
Revina ternyata sering terjadi karena bekas-bekas luka lama masih terlihat. Alasan Rudi Hadmoko,
ayah Revina sungguh di luar kewajaran. Pemicu kejadian terakhir ternyata lantaran buah hatinya
itu buang air besar di ruang tamu. Revina pun tidak luput dari amarah sang ayah. Karena masih
rewel, bocah malang tersebut menerima penganiayaan dari Rudi, yaitu dengan menggigit,
mendorong, hingga membentur dinding. Atas penganiayaan ini, Rudi terancam hukuman lima
tahun penjara. Kekerasan terhadap anak termasuk dari orang-orang terdekat seperti orangtua
mereka semakin memprihatinkan. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat hingga Juni
2008, 43 juta anak di 33 provinsi mengalami tindakan kekerasan mulai fisik, psikis, maupun
seksual. Angka ini naik 50 persen dibandingkan tahun lalu (tahun 2007).3
Anak bukanlah objek, itu yang dikemukan banyak organisasi wanita yang memperjuangkan
hak-hak anak. Anak bukanlah objek, bukanlah permainan, dan bukanlah milik siapa-siapa
termasuk orang tuannya sendiri. Orang tua bertugas membimbing anak tersebut dan bukannya
menyiksa anak tersebut atau bahkan membunuhnya. Anak memiliki hak-hak sewajarnya, hakhak sebagai manusia.
Melihat masalah yang cukup pelik ini, pemerintah sudah mengesahkan undang-undang
mengenai “Kekerasan Dalam Rumah Tangga” yang biasa disingkat UU KDRT. Dalam undangundang ini masalah-masalah yang berhubungan dengan kekerasan yang terjadi di rumah tangga,
termasuk kekerasan anak sudah resmi menjadi bagian dari perbuatan kriminal. Maka bagi para
orang tua bisa ditangkap dan dipenjara jika melakukan kekerasan terhadap anak. Tetapi yang
menjadi masalah di sini adalah, walaupun UU KDRT sudah resmi disahkan tetap saja masalah
kekerasan dalam rumah tangga meningkat dengan jumlah yang tidak signifikan.Tetap saja setiap
hari ada kasus di mana anak-anak menjadi korban dari penganiayaan yang mengerikan dan
bahkan yang menganiaya anak tersebut adalah orang terdekatnya dan lebih parahnya lagi adalah
orang tua dari anak tersebut.
3
http://www.liputan6.com, diakses 19 Agustus 2008.
90 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perlindungan Hak Asasi Anak dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional
I Gede Pasek Eka Wisanjaya
Berdasarkan fakta, tantangan dan penderitaan yang dialami anak-anak masih belum
berakhir. Kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi fakta yang
tidak tersembunyikan lagi. Karenanya, tidak tepat jika kekerasan terhadap anak dianggap
urusan domestik atau masalah internal keluarga yang tidak boleh diintervensi oleh masyarakat,
pemerintah, dan penegak hukum. Kekerasan terhadap anak (fisik, psikis, dan seksual), selain
tidak tersembunyikan lagi, juga membawa dampak yang permanen dan berjangka panjang. Serta
di sisi lain, berbagai macam dan ragamnya pelanggaran terhadap hak anak yang semakin tidak
terkendali, mengkhawatirkan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.4
II. PEMBAHASAN
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus
kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam UUD 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus citacita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hakhak sipil dan kebebasan.
Meskipun Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak, namun masih
memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan
bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan
nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga,
dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai
dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan
perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan
aksebilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara
optimal dan terarah.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam
kandungan sampai anak berusia 18 tahun (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi
perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan
kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
a. non-diskriminasi;
b. kepentinganyang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan, dan;
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
4
Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Stop Kekerasan Pada Anak, http://www.eramuslim.com, diakses 19
Agustus 2008).
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
91
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa atau lembaga
pendidikan.
Dasar yuridis dikeluarkannya Undang-Undang Perlindungan Anak antara lain:
1. Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28I ayat (4), (5) dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar
1945;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts
Women);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.138
Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum
untuk Diperbolehkan Bekerja);
7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No.182
Concerning The Prohibition and Immedeiate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child
Labour (Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak).
Perbincangan tentang hak kodrati atau hak asasi manusia memang sudah sering dikalangan
filsuf dan ahli hukum, namun baru pada beberapa dekade belakangan gagasan mengenai hak
asasi manusia menjadi bagian dari kosakata masyarakat luas di sebagian besar kawasan dunia
(James W. Nickel, 1996: xi).
Sama seperti halnya keadilan, hak asasi manusia merupakan bahasa universal bagi bangsa
manusia dan menjadi kebutuhan pokok rokhaniah bagi bangsa baradab di muka bumi. Keadilan
dan hak asasi manusia tidak mengenal batas territorial, bangsa, ras, suku, agama, dan ideologi
politik. Keadilan dan hak asasi merupakan faktor determinan dalam proses eksistensi dan
pembangunan peradaban umat manusia. Bukti jejak sejarah kehidupan manusia menunjukkan
adanya beberapa guru bangsa manusia, begitu pun adanya dokumen-dokumen hak asasi manusia
yang berkorelasi dengan adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Piagam-piagam tertulis
tentang hak asasi manusia mengabadikan hati nurani dan akal manusia untuk tetap menghargai
hak asasi dan martabat kemanusiaan. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan selalu
mendapat respon moral dan konsekuensi sosial politik sesuai dengan radius dan kompetensi
otoritas yang berlaku.
Eksistensi hak asasi manusia (HAM) dan keadilan merupakan ramuan dasar dalam
membangun komunitas bangsa manusia yang memiliki kohesi sosial yang kuat. Betapapun
banyak ragam ras, etnis, agama, dan keyakinan politik, akan dapat hidup harmonis dalam suatu
komunitas anak manusia, jika ada sikap penghargaan terhadap nilai-nilai HAM dan keadilan.
Penegakan HAM dan keadilan merupakan tiang utama dari tegaknya bangunan peradaban
bangsa, sehingga bagi negara yang tidak menegakkan HAM dan keadilan akan menanggung
konsekuensi logis yaitu teralienasi dari komunitas bangsa beradab dunia internasional. Lebih
92 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perlindungan Hak Asasi Anak dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional
I Gede Pasek Eka Wisanjaya
dari itu, biasanya harus menanggung sanksi politis atau ekonomis sesuai dengan respon negara
yang menilainya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan bersifat universal, apalagi pada
era globalisasi dewasa ini. Secara yuridis, Hukum HAM (Hak Asasi Manusia) Internasional
menentukan adanya Jus Cogen yang dikualifikasikan sebagai a peremtory norm of general international
law. A norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as a norm from which
no derogation is permitted and which can be modified only by subsequent norm of general international law
having the same character.5
Sering dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah
instrumen Hukum Internasional setidak-tidaknya telah melampauai tiga generasi perkembangan.
Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:
Generasi Pertama, pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama
berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era ‘enlightenment’ di Eropah, meningkat menjadi
dokumen-dokumen Hukum Internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama
hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatangan naskah Universal Declaration of Human
Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan
hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti
di Inggeris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Decalaration of
Independence, dan di Perancis dengan Declaration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi
generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas
manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi
Kedua, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan
untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak
untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah,
dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditandatanganinya
‘International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights’ pada tahun 1966.
Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup
pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau ‘rights to development’. Hak atas atau untuk
pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi
segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa
tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati
hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi
pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli
disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.6
Terkait dengan perkembangan generasi hak asasi manusia tersebut, bahwasannya
perlindungan hak asasi anak dari tindakan kekerasan sejatinya adalah penghormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia, karena konsep perlindungan hak asasi manusia
tidak mengenal batas usia, ras, agama, warna kulit, dan status sosial. Penghormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia ini termasuk kedalam perkembangan hak asasi
manusia generasi pertama. Sejarah menunjukkan bahwa puncak perkembangan hak asasi
5
6
vide
Thomas
Bueergental
&
Harold
G.
Maieer,
1990:
108
dalam
Artidjo
Alkostar
2007, http://pushamuii.org, diakses 18 Agustus 2008.
Jimly Asshiddiqie, Dimensi Konseptual Dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, http://www.theceli.com,
diakses tahun 2006.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
93
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
manusia generasi pertama ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration
of Human Rights (Deklarasi Umum Tentang Hak Asasi Manusia) Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada tahun 1948. Deklarasi PBB tahun 1948 ini merupakan tonggak sejarah yang sangat
penting dalam penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia. Lahirnya deklarasi ini
mencerminkan bahwa negara-negara (masyarakat internasional) yang ada di dunia sangat sadar
bahwa harkat dan martabat manusia harus dijunjung tinggi, dalam arti harus dihargai, dihormati,
serta dilindungi.
Mukadimah naskah Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Tentang Hak
Asasi Manusia) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 menyebutkan beberapa hal
penting, yaitu:
Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua
anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,
Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak asasi manusia telah mengakibatkan
perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan
terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan beragama
serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita tertinggi dari rakyat
biasa,
Menimbang bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang
tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan
penindasan,
Menimbang bahwa pembangunan hubungan persahabatan antara negara-negara perlu digalakkan,
Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sekali lagi telah menyatakan di
dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa kepercayaan mereka akan hak-hak dasar dari manusia,
akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari pria maupun wanita,
dan telah bertekad untuk menggalakkan kemajuan sosial dan taraf hidup yang lebih baik di dalam
kemerdekaan yang lebih luas,
Menimbang bahwa Negara-Negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan dalam
penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan asasi,
dengan bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Menimbang bahwa pengertian umum tentang hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut sangat
penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari janji ini, maka, Majelis Umum dengan ini
memproklamasikan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia:
Sebagai satu standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar
setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat dengan senantiasa mengingat Pernyataan ini, akan
berusaha dengan jalan mengajar dan mendidik untuk menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak
dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan progresif yang bersifat nasional
maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannya secara universal dan efektif, baik
oleh bangsa-bangsa dari Negara-Negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari daerah-daerah
yang berada di bawah kekuasaan hukum mereka.
94 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perlindungan Hak Asasi Anak dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional
I Gede Pasek Eka Wisanjaya
Secara spesifik perlindungan individu dari tindakan kekerasan terdapat dalam Pasal 5
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia PBB Tahun 1948, yang menyatakan:
Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum
secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya.
Pernyataan pasal di atas menegaskan bahwa tidak seorang pun boleh diperlakukan secara
kejam, seperti misalnya disiksa, dianiyaya, dihukum secara tidak manusiawi dan direndahkan
martabatnya, dengan tidak mengenal batas usia, ras, warna kulit, agama, dan status sosial.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia dari tindakan kekerasan yang diatur dalam Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia PBB Tahun 1948 ini sangat terkait dengan perlindungan hak asasi
anak dari tindakan kekerasan. Penyiksaan atau penganiyaan kepada anak-anak dapat mengambil
bermacam-macam bentuk: mungkin dilakukan dengan sengaja, tak terelakkan atau karena
situasi.7
Secara spesifik perlindungan hak asasi anak dari tindakan kekerasan telah pula diatur dalam
Konvensi Tentang Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tanggal 20 Nopember 1989. Dalam mukadimah Konvensi Hak-hak Anak ini, disebutkan
beberapa hal penting antara lain:
Mempertimbangkan bahwa menurut prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam
Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa pengakuan terhadap martabat yang melekat, dan hak-hak yang sama dan tidak
terpisahkan dari semua anggota umat manusia, merupakan dasar dari kebebasan, keadilan dan
perdamaian di dunia,
Mengingat bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan sekali lagi dalam
piagam keyakinan mereka akan hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan penghargaan seseorang
manusia, dan telah berketetapan untuk meningkatkan kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih
baik dalam kebebasan yang lebih luas,
Mengakui bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi
Manusia dan Kovenan-kovenan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia, menyatakan dan
menyetujui bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dinyatakan didalamnya,
tanpa pembedaan macam apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat
politik, atau pendapat yang lain, kewarganegaraan atau asal usul sosial, harta kekayaan atau status yang
lain,
Mengingat bahwa dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, Perserikatan BangsaBangsa telah menyatakan bahwa anak-anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus,
Meyakini bahwa keluarga, sebagai kelompok dasar masyarakat dan lingkungan alamiah bagi pertumbuhan
dan kesejahteraan semua anggotanya dan terutama anak-anak, harus diberikan perlindungan dan
bantuan yang diperlukan sedemikian rupa sehingga dapat dengan sepenuhnya memikul tanggung jawabnya
didalam masyarakat,
Mengakui bahwa anak, untuk perkembangan kepribadiannya sepenuhnya yang penuh dan serasi, harus
tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian,
Mempertimbangkan bahwa anak harus dipersiapkan seutuhnya untuk hidup dalam suatu kehidupan
individu dan masyarakat, dan dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dan terutama dalam semangat perdamaian, kehormatan, tenggang rasa, kebebasan,
persamaan dan solidaritas,
7
Peter Davies (ed), 1991, Human Rights, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Hak-hak Asasi Manusia, penerjemah: A.
Rahman Zainuddin,Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1994, h.63.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
95
KERTHA PATRIKA
-
-
-
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Mengingat bahwa kebutuhan untuk memberikan pengasuhan khusus kepada anak, telah dinyatakan
dalam Deklarasi Jenewa mengenai Hak-hak Anak tahun 1924 dan dalam Deklarasi Hak-hak Anak
yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 20 November 1959 dan diakui dalam Deklarasi
Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik (terutama dalam pasal 23 dan pasal 24), dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (terutama pasal 10) dan dalam statuta-statuta dan instrumen-instrumen
yang relevan dari badan-badan khusus dan organisasi-organisasi internasional yang memperhatikan
kesejahteraan anak,
Mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam Deklarasi mengenai Hak-hak Anak, ”anak,
karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan
khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum dan juga sesudah kelahiran”,
-Mengingat ketentuan-ketentuan Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Sosial dan Hukum yang berkenaan
dengan Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, dengan Referensi Khusus untuk Meningkatkan
Penempatan dan Pemakaian Secara Nasional dan Internasional; Aturan Standard Minimum Perserikatan
Bangsa-Bangsa, untuk administrasi Peradilan Remaja (Aturan-aturan Beijing); dan Deklarasi tentang
Perlindungan Wanita dan Anak-anak dalam Keadaan Darurat dan Konflik Bersenjata,
Mengakui pentingnya kerjasama internasional untuk memperbaiki penghidupan anak-anak di setiap
negara, terutama di negara-negara sedang berkembang.
Bukan orang dewasa saja yang mempunyai hak, anak-anakpun mempunyai hak. Hakhak untuk anak-anak ini telah diakui dalam Konvensi Hak Anak yang dikeluarkan oleh Badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989. Menurut konvensi tersebut, semua anak, tanpa
membedakan ras, suku bangsa, agama, jenis kelamin, asal-usul keturunan maupun bahasa,
memiliki 4 (empat) hak dasar yaitu :
•
Hak Atas Kelangsungan Hidup
Termasuk di dalamnya adalah hak atas tingkat kehidupan yang layak, dan pelayanan
kesehatan. Artinya anak-anak berhak mendapatkan gizi yang baik, tempat tinggal yang
layak dan perwatan kesehatan yang baik bila ia jatuh sakit.
•
Hak Untuk Berkembang
Termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang,
berkreasi seni dan budaya, juga hak asasi untuk anak-anak cacat, dimana mereka berhak
mendapatkan perlakuan dan pendidikan khusus.
•
Hak Partisipasi
Termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan
berkumpul serta ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Jadi,
seharusnya orang-orang dewasa khususnya orangtua tidak boleh memaksakan kehendaknya
kepada anak karena bisa jadi pemaksaan kehendak dapat mengakibatkan beban psikologis
terhadap diri anak.
•
Hak Perlindungan
Termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam
dan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana maupun dalam hal lainnya. Contoh
eksploitasi yang paling sering kita lihat adalah mempekerjakan anak-anak di bawah umur.8
8
(http://yuwielueninet.wordpress.com, diakses 18 Agustus 2008).
96 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perlindungan Hak Asasi Anak dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional
I Gede Pasek Eka Wisanjaya
Penghormatan dan perlindungan negara terhadap hak asasi anak dari tindakan kekerasan
atau penganiyayaan secara tegas diatur dalam Konvensi PBB tahun 1989 tentang Hak Anak
dalam pasal-pasal sebagai berikut:
-
Pasal 2 Konvensi:
1. Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi
ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa
pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau
status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak.
2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak
dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat
yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga
anak.
-
Pasal 19 Konvensi:
1. Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan
pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, lukaluka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi,
termasuk penyalahgunaan seks selama dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang
lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak.
2. Tindakan-tindakan perlindungan tersebut, sebagai layaknya, seharusnya mencakup prosedurprosedur yang efektif untuk penyusunan program-program sosial untuk memberikan dukungan
yang perlu bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab perawatan anak, dan juga untuk
bentuk-bentuk pencegahan lain, dan untuk identifikasi, melaporkan, penyerahan, pemeriksaan,
perlakuan dan tindak lanjut kejadian-kejadian perlakuan buruk terhadap anak yagn
digambarkan sebelum ini, dan sebagaimana layaknya, untuk keterlibatan pengadilan.
-
Pasal 37 Konvensi:
Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa:
(a) Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain,
tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan...
Dari paparan beberapa pasal konvensi tersebut, terlihat jelas bahwa negara termasuk juga
warga negara (masyarakat) wajib memberikan pengayoman dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat anak dari tindakan kekerasan baik yang bersihat pisik maupun psikis. Penghormatan
terhadap nilai-nilai hak asasi manusia yang diatur dalam instrumen Hukum Internasional
(Deklarasi dan Konvensi PBB) tersebut kemudian diadopsi ke dalam beberapa instrumen hukum
nasional kita dalam bentuk undang-undang, diantaranya adalah dengan diterbitkannya UU No.
39 Th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak.
UU No. 39 Th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertujuan untuk mengoptimalkan
pemajuan, penegakan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap seluruh umat manusia yang
ada di Indonesia. UU No. 39 Th. 1999 mengatur juga tentang hak anak, bahwasannya anak
harus mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang merugikan, termasuk dari tindakan
kekerasan. Hak anak diatur dalam Pasal 52 UU No. 39 Th. 1999 yang menyatakan:
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
97
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi
oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Perlindungan terhadap hak asasi anak, khususnya perlindungan dari tindakan kekerasan
secara lebih lengkap diatur didalam UU No. 23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak, hal tersebut
diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
-
Pasal 1, angka 2:
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
-
Pasal 3:
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
-
Pasal 4:
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
-
Pasal 13:
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Anak mempunyai posisi yang sangat mulia sesuai dengan penjelasan No. 23 Th. 2002
tentang Perlindungan Anak, anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah
masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan
dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Meskipun Undang-undang
98 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Perlindungan Hak Asasi Anak dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional
I Gede Pasek Eka Wisanjaya
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak,
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara untuk memberikan perlindungan pada anak, namun masih memerlukan suatu undangundang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan
tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak
dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya
dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
III. SIMPULAN
Anak mempunyai posisi yang sangat mulia karena dalam dirinya melekat harkat, martabat,
dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Perlindungan terhadap hak asasi anak
sangat jelas diatur dalam instrumen hukum nasional maupun instrumen hukum internasional.
Dalam instrumen hukum internasional diatur dalam Universal Declaration of Human Rights
(Deklarasi Umum Tentang Hak Asasi Manusia) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948;
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1989 tentang Hak Anak, demikian pula
dalam instrumen hukum nasional diatur dalam konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar
1945 yang kemudian dijabarkan dalam beberapa undang-undang yaitu: Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
IV. SARAN
1)
2)
Pemerintah harus secara kontinyu mensosialisasikan substansi Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kepada masyarakat, agar masyarakat mengerti
dan memahami isi atau substansi dari undang-undang tersebut, sehingga hal ini akan
mencegah atau meminimalisasi tindakan-tindakan pelanggaran terhadap hak asasi anak.
Lembaga atau komisi perlindungan anak harus terus tanggap dan bekerja secara efektif
dan maksimal dalam melindungi hak asasi anak serta memonitor pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi terhadap hak asasi anak di masyarakat, sehingga harkat dan martabat anak
benar-benar terjaga dan terlindungi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Artidjo Alkostar, 2007, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, Cetakan ke: I, PUSHAMUII,
Yogyakarta, http://pushamuii.org/index.php?lang=id&page=buku&id=22, diakses 18
Agustus 2008.
James W. Nickel, 1987, Making Sense Of Human Rights, Philosophical Reflection On The Universal
Declaration Of Human Rights, University Of California Press, Berkeley, Los Angeles, London,
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Hak Asasi Manusia, Refleksi Filosofis Atas Deklarasi
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
99
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Universal Hak Asasi Manusia, penerjemah: Titis Eddy Arini, Gramedia Pustaka Utama,
1996, Jakarta.
Peter Davies (ed), 1991, Human Rights, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Hak-hak Asasi
Manusia, penerjemah: A. Rahman Zainuddin,Yayasan Obor Indonesia, 1994, Jakarta.
B. Perjanjian Internasional Dan Peraturan Perundang-Undangan Nasional
Deklarasi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1948 Tentang Hak Asasi Manusia.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1989 Tentang Hak-Hak Anak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
C. Artikel
Gde Made Swardhana, Upaya Perlindungan Anak Dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, makalah disampaikan pada Lokakarya Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RANHAM) Provinsi Bali, untuk Panitia Pelaksana RANHAM Provinsi Bali, Pemerintah
Kabupaten/Kota se-Bali, yang diselenggarakan Biro Hukum dan HAM Provinsi Bali di
Denpasar, 18 Oktober 2005.
http://www.liputan6.com/news/?id=162531&c_id=3, diakses 19 Agustus 2008.
http://yuwielueninet.wordpress.com/2008/08/05/ hak- hak- anak/, diakses 18 Agustus 2008.
Irwanto, Pelaku Kekerasan Pada Anak : Apakah Hukuman Saja Cukup?, http://himpsijaya.
org/2006/10/21/ pelaku- kekerasan- pada- anak- apakah-hukuman-saja-cukup/, diakses
19 Agustus 2008.
Jimly Asshiddiqie, Dimensi Konseptual Dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa
Ini, Makalah Dalam Rangka
Diskusi Terbatas Tentang Perkembangan
Pemikiran Mengenai Hak Asasi Manusia, Yang Diadakan Oleh Institute For
Democracy And Human Rights, The Habibie Center, April 2000, http://www.theceli.
com/dokumen/produk/jurnal/jimly/j009.htm, diakses tahun 2006.
Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Stop Kekerasan Pada Anak, http://www.
eramuslim.com/berita/nas/8721114129 -kak- seto- stop -kekerasan- pada-anak.htm,
diakses 19 Agustus 2008.
Seto Mulyadi, Kekerasan Pada Anak, http://www.mail-archive.com/dharmajala@yahoogroups.
com/msg03716.html, diakses 19 Agustus 2008.
100 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Yuridis Kedudukan Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah Pusat di Daerah
Oleh :
Cokorda Istri Anom Pemayun
(Bagian Hukum Administrasi Negara FH-Unud)
Abstract
The implementation of decentralization and deconcentration principle in province underlied by law
number 32 year 2004 has engendered a governor in two rules comprising head of province all at
once as central government representatives. In his rules a central government representative, emerged
subordination relation beetwen governor and major.
Key words ; Implementation, Governor Position, subordination relation
I.
PENDAHULUAN
Sejalan dengan maksud pasal 18 UUD 1945, penyelenggaraan pemerintahan daerah
sepanjang sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah mengalami pasang surut dalam
beberapa dekade penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, desentralisasi dan
dekonsentrasi adalah azas utama pemerintahan daerah. Desentralisasi selalu bermakna penyerahan
sejumlah urusan kepada daerah atau pengakuan bahwa daerah dapat menyelenggarakan
sejumlah urusan yang bukan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dekonsentrasi
bermakna pelimpahan wewenang kepada pejabat pemerintah di daerah. Dekonsentrasi juga
dapat bermakna sebagai penyebaran fungsi-fungsi (pemerintah) secara berjenjang dan meluas
pada organisasi yang bernaung di bawah jenjang itu (seperti instansi vertikal pada masa lalu).1
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang dari pemerintah atau kepada wilayah. Azas ini menjadi dasar pembentukan wilayah,
sebagai lingkungan kerja perangkat pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
umum. Secara hierarkhis yang dibentuk berdasarkan azas dekonsentrasi terdiri dari provinsi,
kabupaten/kotamadya, kota administratif dan kecamatan.
Wilayah administratif pada tingkat provinsi dan kabupaten/kotamadya berhimpitan
(fused model) dengan daerah otonom tingkat I dan daerah otonom tingkat II. Wilayah-wilayah
administratif yang dibentuk berdasarkan azas dekonsentrasi itu adalah lingkungan kerja perangkat
pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan umum. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 secara eksplisit mengatur dan membangun konsep dekonsentrasi sebagai suatu azas
yang menjadi dasar pembentukan wilayah kerja pemerintah pusat di daerah yang melaksanakan
1
Ateng Syafrudin, 1976. Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Daerah, Bandung: Tarsito,h. 14
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
101
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
tugas pemerintahan umum. Urusan-urusan dekonsentrasi adalah urusan-urusan pemerintahan
umum, yang meliputi bidang ketentraman dan ketertiban, pembinaan politik dalam negeri,
koordinasi, pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, dan urusan pemerintahan lainnya
yang tidak menjadi urusan rumah tangga daerah dan bukan menjadi urusan instansi vertikal.2
Konsep pemerintahan umum yang dikonstruksi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 sesungguhnya telah berakar sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda (dezentralisatie
wet 1903) yang dikenal sebagai algemeen bestuur, yang berhubungan dengan tugas-tugas
aparatur negara, tidak menjadi urusan departemen tertentu, tetapi fungsi dan tugas gewestelijke
bestuurshoofden (kepala wilayah) yang bertanggungjawab kepada pemerintah pusat.
Pembentukan instansi-instansi vertikal di daerah terutama setelah ditetapkannya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 tidak menghilangkan fungsi-fungsi pemerintahan umum, tetapi
telah membatasi ruang lingkup urusan pemerintahan umum yang sebelumnya bersifat bebas
(vriijbestuur). Urusan kepolisian dan justisi pada masa pemerintahan Hindia misalnya, kemudian
dipisahkan dari pemerintahan umum dengan terbentuknya lembaga-lembaga kepolisian
dan peradilan. Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, adakalanya kewenangan
pelaksanaan urusan pemerintahan umum diinkorporasikan dalam badan-badan daerah otonom
atau diserahkan kepada daerah. Jika penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak menganut azas
dekonsentrasi sebagaimana terdapat pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948, maka tugas-tugas pemerintahan umum dilaksanakan oleh kepala daerah. Meskipun dalam
prakteknya pejabat pamong praja tetap melaksanakan fungsi sebagai wakil pemerintah pusat
yang melaksanakan juga tugas-tugas pemerintahan umum.3
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 menganut azas desentralisasi dan dekonsentrasi secara bersamaan pada semua jenjang
pemerintahan. Dalam undang-undang ini secara lengkap diatur bidang-bidang yang menjadi
ruang lingkup dekonsentrasi. Konstruksi dekonsentrasi yang dianut sebenarnya tetap relevan
dalam pergeseran politik desentralisasi yang terjadi. Akan tetapi, konstruksi ini tidak berlanjut
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Bahkan undang-undang ini, meskipun menyebut
dekonsentrasi sebagai azas penyelenggaraan pemerintahan provinsi, tetapi tidak mengaturnya
secara eksplisit. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan
Dekonsentrasi mengatur tentang ruang lingkup urusan-urusan dekonsentrasi, tidak memiliki
dasar pengaturan cakupan dekonsentrasi sehingga penetapan ruang lingkup dekonsentrasi tidak
tepat sasaran, karena di dalamnya tidak sepenuhnya memuat aspek-aspek pemerintahan umum
yang disebut sebagai kewenangan dekonsentrasi. Bahkan pada Peraturan Pemerintah ini terdapat
kejanggalan karena urusan otonomi dimasukkan sebagai aspek dekonsentrasi seperti pendidikan
dan latihan, penelitian dan pengembangan, dan perencanaan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengulangi kesalahan pada Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, dalam ketentuan umum dijelaskan pengertian dekonsentrasi, tetapi sama
sekali tidak mengaturnya dalam batang tubuh undang-undang. Undang-undang ini tidak mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut azas dekonsentrasi. Ada kecenderungan
menafsirkan bahwa pembinaan dan pengawasan sebagian diatur pada pasal 217 sebagai urusan
dekonsentrasi. Akan tetapi, hendaknya dipahami bahwa pembinaan dan pengawasan itu hanya
salah satu aspek dalam dekonsentrasi yang termasuk dalam pemerintahan umum.
Formulasi atas urusan-urusan dekonsentrasi perlu dilakukan agar pelaksanaannya efektif.
2
3
Kansil, C.S.T.,1979. Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah, Jakarta: Aksara Baru,h. 47
Ibid,h. 22
102 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Yuridis Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah
Cokorda Istri Anom Pemayun
Meskipun tidak terdapat kaidah pengaturan yang menjadi dasar penyusunan aturan pelaksanaan,
tetapi kehadiran suatu peraturan pemerintah sangat urgen dan mendesak. Urgensi ini mendorong
pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Peraturan pemerintah ini selain kurang memiliki
konsep yang jelas tentang dekonsentrasi, juga tidak tampak secara eksplisit hubungan antara
dekonsentrasi dengan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah. Oleh karena itu, perlu
pengaturan kedudukan gubernur sebagai pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam pasal 37
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
II. URGENSI PENGATURAN
1.
Urgensi normatif
Pasal 80 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengatur kedudukan kepala wilayah
(gubernur, bupati/walikota dan camat) sebagai wakil pemerintah pusat yang menyelenggarakan
pemerintahan umum, meliputi pembinaan politik dalam negeri, pembinaan ketentraman dan
ketertiban, pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah. Pada penjelasan undang-undang ini,
tugas dan wewenang kepala wilayah dirinci secara jelas, sehingga urgensi pengaturan dalam
suatu peraturan perundangan yang lebih rendah tingkatnya tidak lagi diperlukan. Sebaliknya,
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, meskipun gubernur tetap dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat karena azas
dekonsentrasi dianut di provinsi, tetapi tidak mengatur secara lengkap tugas dan kewenangan
gubernur dalam konteks dekonsentrasi. Bahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya
mencantumkan azas dekonsentrasi di dalam ketentuan umum dan tidak mengaturnya dalam
batang tubuh undang-undang.
Pengaturan tentang dekonsentrasi yang tidak lengkap pada Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah menimbulkan ketidakjelasan
konstruksi dekonsentrasi yang berimplikasi pada pengaturan dekonsentrasi yang kurang tepat
dan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak dapat dielaborasi secara lengkap
dengan hanya menggunakan pengaturan yang terbatas dalam undang-undang. Urgensi pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah berdasarkan azas dekonsentrasi telah mendorong
pemerintah pusat menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, di tengah ketiadaan dasar pengaturan. Seharusnya pasal
37 dan 38 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi dasar pengaturan dekonsentrasi
yang dilaksanakan oleh gubernur, dan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus
dilihat dalam konteks dekonsentrasi. Oengan demikian, tidak perlu pengaturan yang khusus
tentang dekonsentrasi dalam suatu peraturan pemerintah yang berbeda dengan pengaturan
tentang kedudukan gubemur sebagai wakil pemerintah pusat.
Pasal 38 ayat (4) mengatur bahwa tatacara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain urgensi normatif pengaturan menurut pasal ini,
peraturan pemerintah tentang kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus dapat
meletakkan hubungan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam konteks
dekonsentrasi, sehingga terdapat keterkaitan yang tidak sating meniadakan atau tidak saling
bertentangan antara Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 dengan peraturan pemerintah
tentang kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang akan ditetapkan kemudian.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
103
KERTHA PATRIKA
2.
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Urgensi Politik.
Secara normatif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 telah menggeser pola hubungan pusat dan daerah dari dominasi pusat
ke diskresi daerah. Perubahan format hubungan ini kemudian menimbulkan berbagai ekses
dalam implementasinya yang menimbulkan ketidakserasian hubungan antara pusat dan daerah.
Pusat beranggapan bahwa pergeseran format itu telah menimbulkan egosentris daerah yang
cenderung mengancam hubungan antar pemerintahan, sedangkan daerah beranggapan bahwa
pemerintah pusat masih tidak berubah dan cenderung sentralistik. Penataan hubungan antara
pusat dan daerah urgen dilakukan agar hubungan yang proporsional dan serasi dapat dipelihara.
Meskipun hubungan daerah terhadap pusat tetap berada dalam subordinasi, tetapi pengaturan
interaksi antara pusat dan daerah yang saling mempercayai secara timbal balik (reciprocal trust) perlu
dibangun.4 Penataan hubungan pemerintah dengan gubernur sebagai wakil pemerintah, selain
dapat menghindari terjadinya salah pengertian yang menimbulkan konflik antara pemerintah
pusat dan pemerintah provinsi yang cenderung terjadi saat ini, juga akan menjamin efektivitas
pelaksanaan tugas pemerintah pusat di daerah yang selama ini cenderung terbengkalai.
Dalam hubungan antar daerah, pengaturan kedudukan gubemur sebagai wakil pemerintah
pusat akan memberi kejelasan hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota yang cenderung
tidak harmonis. Kabupaten/kota beranggapan bahwa pemerintah provinsi memasuki area urusan
otonomi kabupaten/kota, sementara pemerintah provinsi beranggapan bahwa pemerintah
kabupaten/kota lepas kendali. Hal ini disebabkan kevakuman aturan pelaksanaan yang cukup
lama di dalam penyelenggaraan azas dekonsentrasi yang menghubungkan provinsi dengan
kabupaten/kota.
Sebagai daerah otonom, provinsi dan kabupaten/kota adalah setara. Konsekunsi kedudukan
yang setara adalah pengakuan bahwa masing-masing daerah otonom merupakan organisasi
yang otonom. Masing-masing daerah otonom memiliki kedudukan yang mandiri (zelf-standing).
Hubungan antara provinsi dengan kabupaten/kota tidak bersifat hierarchische gebondenheid dan
pejabat-pejabat yang ada di kabupaten/kota tidak dapat dianggap berada pada posisi arnbtelijk
ondergeschikt kepada pejabat-pejabat provinsi. Dianutnya azas desentralisasi dan dekonsentrasi
di provinsi menempatkan gubernur pada posisi dua peran (dual role) yaitu sebagai kepala daerah
dan sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,
terbentuk hubungan subordinasi antara gubernur dengan bupati/walikota.5
Hubungan yang terbentuk berdasarkan azas dekonsentrasi yang diletakkan pada provinsi
menghubungkan provinsi dengan kabupaten/kota yang bersifat fungsional. Kewenangan yang
melekat pada gubernur sebagai wakil pemerintah tidak identik dengan campur tangan gubernur
terhadap urusan otonomi kabupaten/kota, tetapi hubungan yang terbentuk bersifat hirarkhis,
subordinasi karena gubernur menjalankan fungsi pemerintah pusat terhadap kabupaten/kota.
3.
Urgensi administrasi
4
5
Kavanagh, 1985. British Politics Continuities and Change, Oxford University Press, h.116.
Peter Blau, M., & Richard A.S.1971.The Structure of Organization, New York: Basic Books, Inc,h. 115.
104 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Yuridis Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah
Cokorda Istri Anom Pemayun
Dari perspektif administrasi pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat akan memberi kejelasan ruang lingkup tugas dan wewenang, pengorganisasian dan
pembiayaan. Ketidakjelasan ruang lingkup tugas dan wewenang akan dapat menimbulkan
ketidakpastian tindakan yang dapat berakibat gubernur memasuki ranah urusan otonomi
kabupaten/kota atau tugas yang seharusnya dijalankan dalam posisi sebagai wakil pemerintah
pusat tidak terlaksana dengan baik.
Tugas dan wewenang hanya akan terlaksana dengan efektif jika diikuti dengan
pengorganisasian yang relevan. Fungsi-fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi
menjadi dasar pengorganisasian ke dalam satu unit kerja yang fungsional, dan secara spesifik
melaksanakan tugas-tugas yang dielaborasi dari fungsi-fungsi yang ada. Urgensi administrasi
terletak pada pengaturan fungsi-fungsi ke dalam satuan kerja yang melaksanakan tugas-tugas
yang didekonsentrasikan kepada gubernur, bukan ke dalam unit kerja yang melaksanakan urusanurusan daerah. Selain menghindari terjadinya duplikasi, pengorganisasian ke dalam satuan
kerja yang berbeda dengan SKPD, juga akan lebih menjamin efektivitas kinerja pembinaan,
pengawasan dan koordinasi. Pada aspek pembiayaan, urgensi pengaturan terletak pada jaminan
pelaksanaan tugas-tugas secara berkelanjutan dengan dukungan anggaran yang pasti dan
sepadan.
III. LANDASAN NORMATIF PENGATURAN
Pembagian wilayah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 didasarkan pada
ketentuan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen). Penjelasan pasal
18 menunjukkan bahwa daerah-daerah yang dibentuk bersifat otonom (streek dan locale
rechtsgemeenschappen) atau bersifat administrasi belaka. Daerah yang dibentuk berdasarkan
azas desentralisasi disebut daerah terdiri dan daerah tingkat I dan daerah tingkat II, sedangkan
wilayah yang dibentuk berdasarkan azas dekonsentrasi disebut wilayah yang tersusun secara
vertikal merupakan lingkungan kerja pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
umum di daerah. Kepala daerah menjalankan dua fungsi (dual role), yaitu fungsi sebagai kepala
daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggungjawab sepenuhnya tentang
jalannya pemerintahan daerah, dan fungsi kepala wilayah yang memimpin penyelenggaraan
urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah.
Kedudukan gubernur sebagai kepala wilayah yang menyelenggaran tugas-tugas pemerintahan
umum, tetap relevan dan menjamin konstruksi pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil
pemerintah. Tugas dan wewenang yang dilakukan gubernur sebagai wakil pemerintah terbentuk
karena urusan dekonsentrasi yang diletakkan pada provinsi, tugas dan wewenang dimaksud
adalah tugas dan wewenang yang termasuk dalam ruang lingkup pemerintahan umum. Meskipun
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak secara jelas mengatur tugas pemerintahan umum
sebagai dekonsentrasi tetapi pengaturan tentang kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah
harus diletakkan dalam konteks pemerintahan umum.
Pasal 37 dan 38 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebenarnya tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pengaturan dekonsentrasi karena tidak ada perintah dalam kedua pasal tersebut
yang mengharuskan pengaturan dekonsentrasi. Kedua pasal dimaksud lebih tepat menjadi kaidah
pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, dan mestinya pengaturan
kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus dipahami sebagai dekonsentrasi.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
105
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Urgensi normatif pengaturan terletak pada mendudukan tugas dan wewenang gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat dalam konteks dekonsentrasi. Pasal 37 dan 38 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 harus dipahami sebagai pengaturan tentang dekonsentrasi yang member!
kedudukan pada gubernur untuk menjalankan tugas dan wewenang pembinaan, pengawasan
dan koordinasi atas jalannya pemerintahan daerah dan tugas pembantuan sebagai aspek-aspek
pemerintahan umum.
IV. ASPEK-ASPEK YANG DIATUR
Pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mencakup aspek-aspek
ruang lingkup tugas dan kewenangan, pengorganisaian, dan pembiayaan.
1.
Tugas dan Kewenangan.
Berdasarkan konstruksi tugas dan wewenang yang melekat pada gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat, baik yang melekat (atributif) maupun yang dilimpahkan kepada gubernur
(delegatif), aspek-aspek kewenangan yang perlu diatur meliputi kedua bentuk tugas dan
kewenangan dimaksud.
a.
Tugas dan kewenangan atributif
Tugas dan kewenangan atributif adalah tugas yang dapat dikategorikan sebagai tugastugas yang diserahkan kepada gubernur karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah. Tugas
ini tidak didasarkan pada pelimpahan tetapi melekat pada jabatan gubernur, meliputi tugas dan
kewenangan sebagai berikut.
1) Pembinaan politik dalam negeri, mencakup segala upaya pembinaan ideologi negara, politik
dalam negeri, dan kesatuan bangsa sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah,
meliputi kegiatan:
upaya-upaya pengamanan dan pengamalan ideologi negara,
upaya-upaya menciptakan politik dalam negeri yang stabil,
upaya-upaya pembinaan kesatuan bangsa.
2) Pembinaan ketentraman dan ketertiban umum, mencakup segala upaya untuk menciptakan
suatu keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara aman,
tertib dan teratur sesuai kebijakan ketentraman dan ketertiban yang ditetapkan pemerintah,
meliputi kegiatan:
upaya-upaya menciptakan ketentraman dan ketertiban terhadap bentuk pelanggaran
hukum yang menyebabkan terganggungan ketentaram dan ketertiban masyarakat.
upaya-upaya menciptakan ketentraman dan ketertiban terhadap gangguan ketentraman
dan ketertiban yang disebabkan oleh bencana.
upaya-upaya pengaturan untuk mendorong terciptanya ketentraman dan ketertiban
masyarakat.
upaya-upaya pengaturan kegiatan dalam rangka penaggulangan bencana.
3) Koordinasi, mencakup segala upaya untuk menciptakan integrasi, simplifikasi, sinkronisasi
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan intansi vertikal dan penyelenggaraan
urusan-urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota agar tercapai dayaguna dan hasilguna yang optimal, meliputi kegiatan:
106 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Yuridis Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah
Cokorda Istri Anom Pemayun
-
4)
5)
membentuk forum bersama antara gubernur dengan instansi vertikal dalam rangka
pengintegrasian dan sinkronisasi perencanaan dan penyelenggaraan urusan-urusan
instansi vertikal dan urusan pemerintah provinsi.
membentuk forum bersama antara gubernur dengan pemerintah daerah kabupaten/
kota dalam rangka pengintegrasian dan sinkronisasi perencanaan dan penyelenggaraan
urusan-urusan pemerintahan kabupaten/kota dengan penyelenggaraan urusan
pemerintah provinsi.
Pengawasan, mencakup segala upaya membimbing dan mengarahkan agar tercipta
keserasian antara penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah untuk menjamin kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan daerah secara berhasilguna dan berdayaguna, meliputi
kegiatan:
Pengawasan umum, yaitu upaya-upaya untuk menjamin tertib pemerintahan agar
tercipta keserasian penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pengawasan preventif, yaitu tindakan melakukan pengesahan terhadap produk hukum
daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan represif. yaitu tindakan melakukan penangguhan atau
pembatalan
terhadap produk hukum daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya.
Tampungtantra (vrijbestuur), mencakup segala tindakan yang dilakukan terhadap
pelaksanaan suatu tugas yang nyata-nyata tidak menjadi tugas atau tidak dapat dilaksanakan
oleh instansi vertikal dan tidak dapat diselenggarakan oleh pemerintahan daerah. Dalam
rangka melaksanakan tugas tampungtantra, dengan alasan keterbatasan jangkauan
terhadap pelaksanaan tugas tampungtantra, gubernur dapat menunjuk pejabat yang
memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas tampungtantra dimaksud.
Aspek Kewenangan delegatif
Kewenangan yang berhubungan dengan tugas-tugas yang dilimpahkan oleh departemen
teknis, meliputi aspek-aspek pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah kabupaten/
kota dalam penyelenggaraan urusan-urusan daerah menurut bidang-bidang departemen teknis,
maupun pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pembantuan di provinsi,
kabupaten/kota, dan desa. Tugas dan kewenangan delegatif meliputi:
1) Pembinaan, mencakup kegiatan fasilitasi, supervisi, asistensi, monitoring dan evaluasi
terhadap penyelenggaran pemerintahan kabupaten/kota.
a) Supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam
bentuk kegiatan:
Memberi arah bagi keterpaduan perencanaan antara pemerintah provinsi
dengan kabupaten/kota dan antara kabupaten/kota.
Memberi bimbingan pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kabupaten/kota, dan pelaksanaan tugas pembantuan di kabupaten/kota
dan desa.
b) Asistensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam
bentuk kegiatan:
pemberian bantuan teknis kepada pemerintah kabupaten/kota dalam
bentuk bimbingan teknis perencanaan, pengorganisasian dan pembiayaan
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
107
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
-
2)
2.
pemberian bantuan administratif kepada pemerintah kabupaten/kota dalam
bentuk penyebarluasan norma dan standarisasi pelaksanaan urusan pemerintahan
daerah kabupaten/kota, dan sistem pelaporan.
c) Fasilitasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan provinsi, instansi vertikal, dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam bentuk kegiatan:
Menyediakan sarana pendukung dalam mendorong terciptanya penyelenggaraan
pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota yang berdayaguna dan
berhasilguna.
Melakukan kegiatan dalam bentuk forum-forum bersama antara instansi
tingkat provinsi, antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota, dan antar
kabupaten/kota.
Membantu memperlancar penyelenggaraan tugas-tugas instansi vertikal,
dan penyelenggaraan tugas-tugas urusan pemerintah kabupaten/kota, serta
pelaksnaaan tugas pembantuan di kabupaten/kota dan desa.
d) Monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
pemerintahan provinsi,
instansi vertikal, dan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam
bentuk kegiatan:
1. melakukan kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan norma dan strandar
penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota.
2. melakukan kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan tugas pembantuan di
daerah kabupaten/kota dan desa.
3. melakukan penilaian terhadap penerapan norma dan strandar, dan penilaian
kesesuaian antara rencana dengan hasil, penyelenggaraan urusan pemerintahan
di daerah kabupaten/kota, dan tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota dan
desa.
Pengawasan delegatif dapat berbentuk represif maupun preventif terhadap penyelenggaran
pemerintahan kabupaten/kota menurut norma dan standar penyelenggaraan bidang-bidang
yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka pelayanan masyarakat, meliputi:
upaya-upaya untuk menjamin tertib penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan
daerah kabupaten/kota berdasarkan norma dan standar yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
upaya-upaya untuk mengambil tindakan penyesuaian terhadap penyelenggaraan
urusan-urusan pemerintah daerah kabupaten/kota yang tidak berdasar pada norma
dan standar yang telah diterapkan oleh pemerintah.
Pengorganisasian
Penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat hanya
dapat efektif jika didukung yang relevan. Dalam melakukan pengorganisasian didahului dengan
identifikasi terhadap fungsi-fungsi yang melekat pada kedudukan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat. Menurut pasal 37 dan 38 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, fungsifungsi dimaksud mencakup pembinaan, pengawasan dan koordinasi. Ketiga fungsi dimaksud
menjadi dasar pengorganisasian ke dalam satu unit kerja yang fungsional, dan secara spesifik
melaksanakan tugas-tugas yang dielaborasi dari fungsi-fungsi yang ada.
Dalam pengorganisasian hendaknya didasarkan pada pertimbangan departementasi fungsi.
108 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Implementasi Yuridis Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah
Cokorda Istri Anom Pemayun
Fungsi adalah sekelompok aktivitas sejenis berdasarkan kesamaan sifat atau kesamaan dalam
pelaksanaannya. Dalam departementasi fungsi perlu diperhatikan pengelompokan aktivitas
ke dalam satuan-satuan organisasi berdasarkan kesamaan sifat dan kesamaan pelaksanaannya,
menghindari pembentukan satuan organisasi yang melaksanakan fungsi ganda. Berdasarkan
argumen ini, pengorganisasian dilakukan terhadap fungsi-fungsi pembinaan, pengawasan dan
koordinasi ke dalam satuan kerja.
Fungsi-fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi berdasarkan argumen dekonsentrasi
dapat berbentuk fungsi yang bersifat atributif maupun yang bersifat delegatif. Fungsi atributif,
berarti tugas dan kewenangan gubernur yang dapat dikategorikan sebagai tugas-tugas yang
melekat pada gubernur karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, meliputi
pembinaan politik dalam negeri, pembinaan ketentraman dan ketertiban, pengawasan, dan
koordinasi. Fungsi bersifat delegatif mencakup tugas dan kewenangan yang didasarkan pada
pelimpahan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat teknis dalam
bentuk pembimaan dan pengawasan atas penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.
Pengorganisasian hendaknya dilakukan ke dalam dua bentuk pilihan. Pertama, tugas dan
kewenangan yang bersifat atributif tidak dimasukan ke dalam unit kerja yang melaksanakan
urusan-urusan daerah, atau bukan menjadi SKPD, untuk menjamin pengelompokan aktivitas
ke dalam unit kerja yang memiliki kesamaan sifat dan kesamaan pelaksanaan dan menghindari
terjadinya fungsi ganda (duplikasi). Pengorganisasian tersediri akan lebih menjamin efektivitas
kinerja pembinaan, pengawasan dan koordinasi. Pembentukan organisasi di luar SKPD
dimungkinkan menurut pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, yang mengatur
bahwa daerah dapat membentuk lembaga lain untuk melaksanakan peraturan perundangan
dan tugas pemerintahan umum lainnya. Kedua, tugas dan kewenangan yang bersifat delegatif
diintegrasikan ke dalam unit kerja pelaksana urusan daerah (operating core) yang memiliki kesamaan
sifat.
Berdasarkan pertimbangan pengorganisasian yang relevan dan departementasi fungsi
serta peluang pengorganisasian tersediri, satuan kerja dalam rangka pelaksanaan tugas dan
kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, maka pengorganisasian dilakukan dalam
bentuk direktorat-direktorat, sebagai unit kerja baru yang dibentuk untuk melaksanakan dua
jenis tugas. Pertama, tugas-tugas pembinaan politik dalam negeri, pembinaan ketentraman dan
ketertiban masyarakat, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan provinsi
dan kabupaten/kota, dan pelaksanaan koordinasi, integrasi, sinkronisasi penyelenggaraan
pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, melaksanakan pembinaan teknis
penyelenggaraan urusan-urusan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan pelimpahan urusan
dari departemen teknis (delegative), berupa supervisi, asistensi dan fasilitasi.
Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan di bidang pembinaan politik dalam negeri dan
pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat sebenarnya telah terdapat unit kerja yang
ditempatkan sebagai bagian dari SKPD, yaitu badan kesatuan bangsa. Agar pengorganisasian
dekonsentrasi menjadi jelas, maka Badan Kesbang direposisi dari SKPD menjadi satuan kerja
dekonsentrasi (SKD) dengan sebutan direktorat pembinaan kesatuan bangsa yang melaksanakan
tugas-tugas dan kewenangan pembinaan politik dalam negeri. Untuk melaksanakan tugas
dan kewenangan pembinaan ketentraman dan ketertiban dibentuk direktorat pembinaan
ketentraman dan ketertiban. Sedangkan untuk melaksanakan tugas dan kewenangan pembinaan
dan pengawasan umum penyelenggaraan pemerintahan daerah dibentuk direktorat bina
pemerintahan daerah.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
109
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan yang didasarkan pada pelimpahan dalam bentuk
pembinaan teknis penyelenggaraan urusan-urusan pemerintah kabupaten/kota tidak didasarkan
pada pembentukan unit kerja direktorat baru, tetapi dikoorporasikan ke dalam SKPD yaitu ke
dalam tugas pokok dinas dan lembaga teknis daerah (existing). Tugas-tugas yang dilimpahkan
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat hanya mencakup pembinaan dan pengawasan
atas penyelenggaraan urusan pemerintah kabupaten/kota dan atas tugas pembantuan. Seluruh
tugas dimaksud menjadi tugas pokok tambahan dalam rangka dekonsentrasi dinas dan lembaga
teknis yang melaksanakan fungsi sejenis atau serumpun.
V.
PENUTUP
Kebutuhan pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat adalah
urgen segera dilakukan agar tugas-tugas pemerintah pusat di daerah, yang meliputi pembinaan,
pengawasan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dapat dilaksanakan secara
optimal. Pada sisi lain, pengaturan ini diharapkan akan dapat dipedomani dalam tautan hubungan
provinsi dengan kabupaten/kota yang akhir-akhir ini cenderung mengarah pada konflik.
Pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam bentuk peraturan
pemerintah mencakup pengaturan tugas dan wewenang gubernur yang bersifat atributif dan
delegatif. Konstruksi tugas dan wewenang ini menjadi dasar pengaturan pengorganisasian
satuan kerja dekonsentrasi yang selama ini telah menimbulkan kerancuan yang berakibat pada
ketidakjelasan pelaksanaan dekonsentrasi dan alokasi pembiayaan yang tidak tepat sasaran. Untuk
itu pengaturan peraturan pemerintah tentang kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat perlu segera dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Daerah, Tarsito, Bandung, 1976.
Kavanagh, British Politics Continuities and Change, Oxford University Press, 1985.
Kansil, C.S.T., Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah, Aksara Baru, Jakarta, 1979.
Lemans, A.F., Changing Pattern of Local Government, The Hauge, IULA, 1971.
Peter Blau, M., & Richard A.S., The Structure of Organization, Basic Books, Inc., New York,
1971.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintahan Daerah, FKAIIP, Jakarta, 2004.
110 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Petunjuk Bagi Penulis
1.
2.
3.
4.
5.
Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik dengan spasi rangkap
pada kertas A4, panjang 15-20 halaman dan diserahkan dalam bentuk naskah dan CD
dengan pengelolaan kata MS Word, font Times New Roman, size 12. bahasa Inggris dengan
standar penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Artikel yang dibuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang hokum, baik sebagai hasil
penelitian atau artikel ilmiah konseptual.
Tulisan hasil penelitian/tesis/disertai disajikan dengan sistematika sebagai berikut :
(a) Judul, (b) nama pengarang (disertai identitas diri), (c) abstrak (bahasa Inggris untuk
tulisan berbahasa Indonesia atau bahasa Indonesia untuk tulisan berbahasa Inggris) , berisi
pemadatan dari tujuan penulisan, metode penelitian, dan hasil pembahasan (50-100 kata),
(d) kata-kata kunci, (e) pendahuluan, berisi latar belakang dan rumusan masalah serta
tujuan-tujuan penelitian, (f) metode penelitian, (g) hasil dan pembahasan, (h) simpulan dan
saran, (i) daftar pustaka.
Tulisan artikel ilmiah konseptual disajikan dengan sistematika sebagai berikut : (a) Judul, (b)
nama pengarang, (c) abstrak (bahasa Inggris untuk tulisan berbahasa Indonesia atau bahasa
Indonesia untuk tulisan berbahasa Inggris) berisi pemadatan tujuan penulisan dan hasil
pembahasan (50-100 kata), (d) pendahuluan, berisi latar belakang dan perumusan masalah,
(e) pembahasan, (i) daftar pustaka.
Setiap kutipan harus menyebutkan sumbernya secara lengkap dalam tulisan dengan sistem
foot note. Contoh :
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hlm .26
Suparman Marzuki, “Hukum Modern dan Institusi Sosial”, artikel dalam Jurnal Hukum,
No. 7 hlm.35.
Erman Radjaguukguk, ”Analisis Ekonomi dalam Hukum Kontrak”, makalah pada
Pertemuan Ilmiah tentang Analisa Ekonomi terhadap Hukum dalam Menyongsong Era
Globalisasi, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Departeman Kahakiman, 1996, hlm.5.
”Jurnal BUMN Diciutkan Jadi 50”, Republika, 19 Oktober 2005.
Prijono Tjiptoherijanto, ”Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia”, http://www.pk.ut.
ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2006.
Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur de Rechstwetenschap,
Alih Bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003) , hlm.9.
6.
7.
8.
Daftar pustaka disusun secara alfabetis dengan jumlah minimal 10 judul.
Penulis melampirkan biodata singkat penulis yang berisi: nama lengkap dengan gelar, alamat
rumah, tempat bekerja, dan alamat e-mail.
Tulisan dialamatkan kepada:
Sekretariat Jurnal Hukum Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar,
Jl. Bali Denpasar. Contact Person: Kadek Sarna, HP. 081578555 atau IGN Parikesit
Widiatedja, HP. 081803861749
Atau dikirim melalui email ke alamat: [email protected].
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
111
Download