BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bab ini menyajikan uraian kesimpulan, kebaharuan (novelty) dan implikasi penelitian. Bagian kesimpulan digunakan untuk memusatkan perhatian kembali terhadap tujuan penelitian. Sedangkan bagian kebaharuan (novelty) yang dimaksud adalah apakah penelitian yang dilakukan bisa menjawab ekspektasi dan kegelisahan masyarakat banyak. Adapun implikasi penelitian, yaitu: menerangkan bagaimana hasil-hasil tersebut mungkin akan dapat merubah atau mengkoreksi teori yang bersangkutan dan menunjukkan perlunya diadakan penelitian selanjutnya, baik secara teoristis maupun dalam implementasi kebijakan. 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwa proses penataan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) bisa dilakukan secara damai dan tidak dilakukan dengan cara kekerasandalam perspektif komunikasi pembangunan di Surarta karena lebih pada kemampuan Pemkot Surakarta (2005-2012) dalam membangun dan mensinergiskan berbagai potensi stakeholder dibanding dengan komunikasi interpersonalnya dan termasuk paradigma yang digunakan bukan penertiban, tetapi pemberdayaan. 2. Bahwa efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta (2005-2012) dalam penilaian PKL dalam katagori sedang, biasa-biasa saja, karena semata- 296 mata bukan hasil pekerjaan atau jerih-payah PKL, tetapi karena peran dan keterlibatan stakeholder. 3. bahwa keberhasilan proses penataan dan pembinaan PKL di Surakarta dalam penilaian PKL baik faktor komunikasi interpersonal dan faktor gaya kepemimpinan demokratis dimana secara bersama-sama berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta (2005-2012), sehingga bisa dilakukan secara dama dan tidak dilakukan dengan cara kekerasan. Namun jika kedua faktor tersebut dilihat secara sendiri-sendiri bahwa penelitian menunjukkan bahwa faktor gaya kepemimpinan demokratis Pemkot Surakarta memberi kontribusi lebih besar daripada faktor komunikasi interpersonal terhadap efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta. 4. bahwa efektivitas komunikasi dengan produktivitas Pembangunan Pemkot Surakarta menunjukan hubungan positif. Artinya, bahwa efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta berpengaruh positif terhadap produktivitas pembangunan Pemkot Surakarta, sebaliknya produktivitas pembangunan Pemkot Surakarta berpengaruh positif terhadap efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta. 7.2 Temuan Baru (novelty) Studi komunikasi pembangunan berkembang sejak tahun 1960-an. Salah satu kajian krusial dalam komunikasi pembangunan ialah permasalahan betapa rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, yang merupakan konsekuensi dari minimnya kesempatan terjadinya komunikasi yang adil dan 297 seimbang antara masyarakat dengan pemerintah dalam menentukan jalannya proses pembangunan. Sementara pembangunan dalam arti di atas sendiri baru dimulai di Indonesia sejak awal 1970-an. Bersamaan pada dekade tersebut dikenalkan studi komunikasi pembangunan, terutama beraliran modernisasi. Teori-teori keterbelakangan mempengaruhi perkembangan teori komunikasi terhadap pembangunan pada dasa warsa 1970-an, dengan menumbuhkan teori-teori beraliran kritis. Teori komunikasi kritis membahas permasalahan yang muncul muncul sebagai konsekuensi perkembangan media massa, dan menganalisis model difusi-inovasi. Maka bisa disebut bahwa ketertinggalan ilmu komunikasi pembangunan muncul sebagai konsekuensi dari perkembangan konsep pembangunan itu sendiri. Komunikasi massa telah lahir sejak usai Perang Dunia I, bahkan studi difusi telah muncul seabad sebelumnya (Melkote, 1991; Rogers, 1973). Manakala pembangunan dimulai sejak tahun 1940-an, sosiologi pembangunan baru muncul pada dekade 1950-an. Pada masa itu mulai tumbuh aliran modernisasi, yang menganggap hanya ada satu jalur bagi kemajuan negara dunia ketiga, yaitu dengan mereplikasi kemajuan negara maju. Ketertinggalan teoritis tersebut semakin mendalam pada saat ini. Realitas pembangunan dipandang mengalami perubahan kualitatif sejak 1980-an, terutama dalam bentuk globalisme, penguatan makna jaringan dan komunitas. Studi pembangunan pada umumnya mulai mengarah kepada perubahan realitas tersebut. Akan tetapi studi komunikasi pembangunan di Indonesia masih menggunakan teori yang serupa dengan masa 1970-an. 298 Adapun kebaharuan (novelty) dari hasil penelitian ini adalah terkait dengan teori komunikasi interpersonal dalam konteks komunikasi pembangunan. Ada dua hal penting, Pertama, berdasarkan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) bahwa saluran interpersonal masih memegang peranan penting dibanding dengan media massa, terlebih-lebih di negara-negara yang belum maju. Namun, hasil penelitian dalam batas-batas tertentu membenarkan dari hasil studi Rogers & Shoemaker (1971) tersebut bahwa saluran interpersonal masih memegang peranan penting dibanding dengan media massa, sebagaimana yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta, seperti, jamuan makan, pendekatan memanusiakan PKL, optimalisasi komunikasi SLJJ atau blusukan. Namun, disisi lain peranan media dan wartawan tidak bisa diabaikan juga dalam program penataan dan pembinaan PKL di Surakarta (tabel 6.6). Maka dengan demikian dari segi teoritis bahwa komunikasi interpersonal sebagaimana hasil studi Rogers & Shoemaker (1971) tidak sepenuhnya benar, karena berdasarkan hasil penelitian bahwa peran media massa masih cukup besar (tabel 6.6 ). Hal ini membenarkan hasil studi Feliciano (1976) di mana di Indonesia, minimal sampai akhir 1970-an, komunikasi pembangunan masih menggabungkan pendekatan media massa dan komunikasi interpersonal. Pada masa itu radio menempati posisi penting. Isi siaran disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan. Sementara pada masyarakat tani dikembangkan kelompok media. Kedua, untuk mengukur efektivitas komunikasi interpersonal menurut Cruden dan Sherman (1989) ada beberapa faktor yang mempengaruhi: 1) 299 Completeness (Lengkap). 2) Conciseness (Singkat). 3) Consideration (Meyakinkan). 4) Concreteness (kongkrit). 5) Clarity (Kejelasan). 6) Courtessy (Kesopanan), 7) Correctness (ketelitian). Namun, yang menarik bahwa tingkat komunikasi interpersonal Pemkot Surakarta berdasarkan penilaian PKL dalam katagori sedang, bahkan rendah (tabel 6.2). Bahkan berdasarkan hasil uji regresi (tabel 6.7) bahwa tingkat komunikasi interpersonal justru tidak berpengaruh secara signifikan (nyata) terhadap efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta, jika dilihat dengan ukuran dikemukakan oleh Cruden dan Sherman (1989). Ada dua penjelasan, pertama, bahwa keberhasilan program tersebut bukan semata-mata faktor pendekatan dengan PKL saja, tetapi juga karena adanya faktor pendekatan kepada LSM dan media Massa (kemampuan membangun sinergisitas dengan stakeholder). Teori ini (Cruden dan Sherman, 1989) terlalu teknis dan hanya melihat proses komunikasi hanya dari sisi yang verbal saja, sehingga teorinya kurang bisa mengungkap atau menjelaskan apa yang terjadi di Surakarta, tepatnya model komunikasi interpersonal Pemkot Surakarta. Kedua, ada faktor lain dan penting dalam proses komunikasi interpersonal Pemkot Surakarta yang tidak disinggung oleh Cruden dan Sherman (1989) adalah faktor sosial dan budaya (Claude Shannon dan Warren Weaver, 1949). Berdasarkan uraian di atas bahwa studi komunikasi pembangunan, terutama terkait dengan komunikasi interpersonal di Indonesia belum menemukan format yangjelas. Belum ada studi yang komperehensif, bagaimana memposisikan komunikasi interpersonal dalam perpektif komunikasi pembangunan. Masih melihat komunikasi interpersonal secara hitam-putih atau parsial. Misalnya, melihat komunikasi interpersonal dalam konteks sosial-budaya, sistem politik dan 300 sistem pemerintahannya. Terkait dengan penelitian ini lebih tepat melakukan studi komunikasi interpersonal dalam konteks sosial-budaya. 7.3 Implikasi Penelitian Penelitian ini telah menunjukkan bahwa faktor gaya kepemimpinan demokratis Pemkot Surakarta memberi kontribusi lebih besar daripada faktor komunikasi interpersonal terhadap efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta (2005-2012). Atau, dengan kata lain hipotesa yang menyatakan bahwa komunikasi interpersonal yang diduga berpengaruh paling dominan terhadap efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta tertolak dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini memberikan dua implikasi, antara lain: (1) implikasi teoritis bahwa komunikasi interpersonal sebagaimana hasil studi Rogers & Shoemaker (1971) tidak sepenuhnya benar, karena berdasarkan hasil penelitian bahwa peran media massa masih cukup besar (tabel 6.6 ). Hal ini membenarkan hasil studi Feliciano (1976) di mana di Indonesia, minimal sampai akhir 1970-an, komunikasi pembangunan masih menggabungkan pendekatan media massa dan komunikasi interpersonal. Pada masa itu radio menempati posisi penting. Isi siaran disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan. Sementara pada masyarakat tani dikembangkan kelompok media. Sedangkan terkait dengan Teori ini (Cruden dan Sherman, 1989) terlalu teknis dan hanya melihat proses komunikasi hanya dari sisi yang verbal saja, sehingga teorinya kurang bisa mengungkap atau menjelaskan apa yang terjadi di Surakarta, tepatnya model komunikasi interpersonal Pemkot Surakarta. Juga ada faktor lain 301 dan penting dalam proses komunikasi interpersonal Pemkot Surakarta yang tidak disinggung oleh Cruden dan Sherman (1989) adalah faktor sosial dan budaya (Claude Shannon dan Warren Weaver, 1949). Maka dengan demikian ke depan perlu kajian yang lebih komprehensif, sebagimana hasil studi Berlo (1960) yang melihat komunikasi tidak hanya dari Source (sumber komunikasi), tetapi juga dari sisi Message (pesan komunikasi), Channel (saluran komunikasi), Receiver ( penerima pesan), Effect (efek, hasil, akibat) dan Feedback (umpan balik). Sekalipun demikian tetap memperhatikan konteks masyarakatnya (sistem sosial dan budayanya). Sebagaimana disinggung di atas perlu studi komunikasi pembangunan di Indonesia dan melihat komunikasi interpersonal dalam konteks sosial-budaya, sistem politik dan sistem pemerintahannya. (2) implikasi kebijakan. Implikasi dari penelitian terhadap kebijakan pemerintah pusat suatu hal yang penting dicatat pelajaran dari Pemkot Surakarta dalam penataan dan pembinaan PKL tidak semata-semata menggunakan pendekatan formalitas dan kelembagaan, tetapi yang jauh lebih penting adalah pendekatan personal dan gaya kepemimpinan solutif. Dengan kata lain bahwa setiap program pemerintah senantiasa mendasarkan aspek yuridis dan prosedural. Namun pengalaman Pemkot Surakarta dalam konteks Penataan dan Pembinaan PKL yang sama penting adalah terkait dengan implementasi, eksekusi, pengawalan dan menawarkan berbagai solusi yang tepat. Implikasi dari penelitian terhadap kebijakan Pemerintahan Daerah/ Kota dengan momentum otonomi daerah memberi ruang dan kesempatan 302 bagi Bupati maupun Walikota untuk melakukan berbagai kreasi dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk problem sosialekonomi. Hal ini telah dibuktikan oleh Pemkot Surakarta (2005-2012) dengan menggunakan “cara yang tidak biasa/ non-konvensional” dan ternyata mendapat apresiasi dari banyak pihak. Maka hendaknya bagi Pemerintah Kota/ Kabupaten disamping berpikir dan bekerja secara konvensional, ada baiknya untuk melakukan berbagai terobosan. Untuk mewujudkannya disamping penguasaan relugasi dan prosedur kelembagaan, juga yang sama penting adalah penguasaan masalah serta solusi yang ditawarkan. Implikasi dari penelitian terhadap kebijakan Pemerintahan Kota Surakarta tidak hanya sebagai dasar evaluasi, tetapi untuk menyempurnakan dalam penataan dan pembinaan PKL ke depan. Ada beberapa persoalan yang hingga sekarang belum terseleseikan secara baik, antara lain: a. penataan zona yang tidak proposional. Misalnya, barang-barang berat (baca: barang bekas) masih ditempatkan di lantai atas. b. Juga terkait dengan setting ruang yang belum ideal, sehingga banyak kios tidak berfungsi sebagai layaknya. Misalnya, hanya sebatas sebagai gudang. c. Problem parkir, baik dari segi tempat dan tarip yang sering diputuskan sepihak, tanpa melibatkan pedagang. d. Mengembalikan Paguyuban Pedagang kepada “khithah”, yang berorientasi pada kepentingan komunitas, bukan individu-individu. 303 e. Komitmen Pemkot Surakarta masih dipandang penting untuk keberlanjutan Program Penataan dan Pembinaan PKL di Surakarta. 304