tinjauan yuridis terhadap kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN
PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE)
DALAM PEMBUKTIAN SIDANG PERKARA PERDATA
SKRIPSI
RIEYA APRIANTI
0806461783
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JULI, 2012
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN
PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE)
DALAM PEMBUKTIAN SIDANG PERKARA PERDATA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
RIEYA APRIANTI
0806461783
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN PRAKTISI HUKUM
DEPOK
JULI, 2012
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Rieya Aprianti
NPM
: 0806461783
Tanda Tangan :
Tanggal
: 10 Juli 2012
ii
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama
: Rieya Aprianti
NPM
: 0806461783
Program Studi
: Ilmu Hukum (Praktisi Hukum)
Judul
: “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN
PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE) DALAM
PEMBUKTIAN SIDANG PERKARA PERDATA“
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan
Praktisi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Sri Laksmi Anindita, S. H., M. H.
(.................................)
Pembimbing : Disriani Latifah, S. H., M.H., M. Kn.
(.................................)
Penguji
: Chudry Sitompul, S. H., M. H.
(.................................)
Penguji
: Sonyendah Retnaningsih, S. H., M. H.
(.................................)
Penguji
: Febby Mutiara Nelson, S. H., M. H
(.................................)
Ditetapkan di : Depok
Tanggal
: 10 Juli 2012
iii
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana
Hukum Program Kekhusuan Praktisi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan, serta doa dari
berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini,
sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
(1)
Yth. Bapak Chudry Sitompul, S.H., M.H. selaku Ketua Program
Kekhususan III Praktisi Hukum yang telah meloloskan judul skripsi penulis,
sehingga penulis dapat memulai penyusunan skripsi dengan topik yang
penulis angkat ini;
(2)
Yth. Ibu Sri Laksmi Anindita, S.H., M.H. selaku pembimbing materi yang
dari awal hingga akhir selalu memberikan masukan kritis guna
memperlancar dan menghasilkan materi skripsi yang baik dan terarah.
Penulis sangat kagum dengan beliau yang sangat teliti dan cermat dalam
memeriksa dan mengoreksi kata per kata, lembar demi lembar, dan
membantu mensinkronisasi tulisan penulis dari satu bab ke bab lainnya
dalam skripsi ini. Beliau juga selalu memberikan ‘pekerjaan rumah’ pada
saat bimbingan, yang bahkan sering menanyakan materi-materi dasar untuk
menguji kemampuan penulis dalam menjawab pertanyaan pada saat
bimbingan. Tanpa beliau, skripsi ini mungkin tidak akan pernah selesai dan
dapat diuji sebagai sebuah karya ilmiah. Terima kasih Mbak Amy atas
keikhlasannya menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
(3)
Yth. Ibu Disriani Latifah, S.H., M.H., M.Kn. selaku pembimbing teknis
yang sangat detail dalam membaca, memeriksa, dan menemukan kesalahan
iv
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
sekecil apapun dalam tulisan penulis. Penulis sangat bangga dapat menjadi
anak bimbingan beliau yang sangat pengertian dan perhatian, bahkan beliau
tidak hanya memberikan bimbingan teknis, namun ikut serta memberikan
masukan-masukan tentang materi dalam pokok pembahasan skripsi penulis,
baik pada saat bimbingan maupun pada saat topik skripsi ini dalam tahap
sidang panel. Penulis juga senantiasa diajarkan untuk konsisten dalam
penulisan, yang membuat penulis menjadi lebih cermat dan teliti. Terima
kasih Mbak Disri atas semua jasa-jasa yang telah diberikan.
(4)
Seluruh pengajar dan staf di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang
telah berjasa dalam memberikan bimbingan dan bekal ilmu pengetahuan
dalam bidang hukum.
(5)
Ibunda tercinta, Erni Ariyani Vivianti, malaikat dalam kehidupan penulis
yang selalu memberi dukungan baik moril maupun materiil serta tidak
pernah letih berjuang dan bekerja keras demi melihat anak-anaknya dapat
meraih kehidupan yang lebih baik. Terima kasih untuk setiap pengorbanan,
kerja keras, dan doa yang dipanjatkan untuk anak-anakmu. Terima kasih
untuk setiap peluh keringat yang pernah mengalir dan untuk setiap air mata
yang pernah menetes. Terima kasih untuk cinta yang luar biasa untuk
anakmu ini. Semua jasa dan pengorbananmu mungkin tidak akan pernah
bisa terbayar selama perjalanan hidup penulis kelak;
(6)
Nenek terkasih, Endang Setianingsih, yang juga telah merawat dan
mendidik penulis sejak kecil; om Edi yang banyak membantu dan
memberikan pelajaran dalam hidup. Serta kepada saudara-saudara penulis,
Sandi Ermawan, Doni Apriansa, Elisa Gusti Rahayu, Randi Wijaya,
Renita Dinda Larasati, Nur Hayati, dan Henny Sofianti yang juga telah
memberi
motivasi
secara
tidak
langsung
kepada
menyelesaikan skripsi ini;
v
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
penulis
dalam
(7)
Kepada forum empat serangkai, Vannia Alienjhon, Prakoso Anto
Nugroho, dan Nirmala Azizah yang tidak pernah absen mengganggu harihari yang dilewati oleh penulis, yang selalu menemani penulis dalam
menjalani suka dan duka dalam menghadapi kerasnya perjuangan dalam
dunia perkuliahan, yang senantiasa berbagi pengalaman dan cerita dalam
bentuk apapun, berbagi kesedihan, tawa dan canda, serta menjadi pelipur
lara saat penulis dalam kegundahan yang berkepanjangan;
(8)
Sahabat penulis Maria Yudithia, orang yang selalu menjadi tempat untuk
menumpahkan cerita dan keluh kesah dari jauh sebelum topik skripsi ini
diangkat sampai dengan proses pembuatan skripsi ini selesai. Semoga kelak
impianmu menjadi seorang hakim dalam institusi pengadilan dapat
terwujud. Selanjutnya untuk rekan sesama PK III, Femi Angraini, yang
hampir keseluruhan mata kuliah yang penulis ambil selalu ditempuh
bersamanya, yang sedikit banyak juga sering menjadi tempat curahan hati
penulis dalam suka duka selama menempuh bangku perkuliahan;
(9)
Kepada teman-teman yang juga senasib dan sepenanggungan selama kuliah
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Revina Ani Yosepa, Vannia
Nurjanitra, Dian Kirana, Aya Sofia, Vina Aliya, Sokhib Nur Prasetyo,
Rizky Fauziah Putri, Diany Maya Anindita, dan Firizky Ananda. Kelak
suatu saat nanti penulis pasti akan merindukan momen-momen bersama
kalian. Teman-teman yang selalu berbagi keceriaan dan kekonyolan, Liza
Farihah, Fathan Nautika, Derry Patra Dewa, Gede Aditya Pratama,
Radian Adi Nugraha, Riko Fajar Romadhon, Endah Dewi Purbasari,
Fadillah Isnan, dan Agung Sudrajat yang walaupun cenderung konyol
namun mereka memiliki pandangan dan pengetahuan yang luar biasa dalam
bidang hukum;
(10) Sahabat sekaligus keluarga yang menjadi sepotong bagian terbaik dalam
perjalanan hidup penulis, M. Arditama Febrianza, Tiara Rahmawati,
Yudion Atria Ismail – my twin soul and true best friend. Not many words
vi
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
to be verbalized between us -as usual- but you always, ALWAYS know that
you’re a great coffee-time mate, a rational nature to match my sentimental
one, and you mean a lot -every friendship could ever meant- to me!;
Anggun Tri Kusumaningrum, Dea Claudia, Nur Fithryani, Nurul
Sardwiyanti, Fitria Mala, Putri Winda Perdana, Tasya Dewi Parastika,
Fina Alamanda, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Terima kasih Pragivakya Yazazkara yang selalu memberi motivasi kepada
penulis melalui sebuah janji masa lalu bahwa kita semua harus menjadi
orang-orang hebat nantinya.
(11) Keluarga besar Lembaga Kajian Keilmuan (LK2 FHUI), lembaga yang
membuat penulis merasa mempunyai keluarga kedua, yang mengajarkan
penulis tentang banyak hal, tentang bagaimana cara berorganisasi, loyalitas,
serta sangat banyak memberikan manfaat dan menambah pengetahuan dan
wawasan yang penulis miliki, khususnya untuk Badan Pengurus Harian
Periode 2010, Prakoso Anto Nugroho, Femi Angraini, Fathan Nautika,
Pratiwi Astriasari, Derry Patra Dewa, Archie Michael, Radian Adi
Nugraha, Indri Astuti, M. Reza Alfiandri, Rantie Septianti, Liza
Farihah, Fadillah Isnan, Anissa Tri Nuruliza, Maria Yudithia, Graciella
Estrelita, Amanah Rahmatika, dan Najmu Laila;
(12) Keluarga besar LaSALe FHUI (Law Student’s Association for Legal
Practice), khususnya untuk Badan Pengurus Harian Periode 2011, Domas
Manalu yang telah mempercayakan penulis untuk menjabat sebagai Wakil
Kepala Divisi Mooting, Luh Putu Sri Anggrayani selaku partner penulis
dalam berbagi tugas dan bersama-sama memikul suka duka dalam menjalani
seluruh program kerja yang ada, serta kepada pengurus lain, Maria
Yudithia, Clara Anastasia Sianipar, Stephanie Simbolon, Gaby
Anastasia, Puspita Rani, Aria Bahana, Randolph Yosua Siagian, Ichsan
Zikry, Alldo Felix Januardy, Fenny Marlinda, Gusnandi Arief, dan
Ferny Melissa Tobing.
vii
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
(13) Senior-senior dalam komunitas peradilan semu, Dodik Setyo Wijayanto
yang sangat berjasa dalam mendidik penulis tanpa pamrih untuk mengetahui
praktik peradilan yang ideal maupun senyata-nyatanya di lapangan, bahkan
sedikit banyak juga membantu penulis dalam mendapatkan materi maupun
bahan skripsi ini; Rian Hidayat yang pertama kali memperkenalkan penulis
dalam kerasnya dunia peradilan semu dengan semboyannya ‘datang saat
langit masih biru, pulang langit sudah biru lagi’; Yizreel Alexander
Sianipar, senior yang menjadi role model penulis yang dengan sabar
melatih tentang bagaimana menjalankan peran menjadi seorang penuntut
umum yang ideal (cool-but-pierce prosecutor); Nicolas Roni yang
senantiasa memberikan kritikan ‘pedas’ dan tajam kepada penulis, bahkan
sangat ‘pelit’ pujian karena semata-mata untuk mendorong penulis menjadi
lebih baik lagi; Riki Susanto dan Fernandes Raja Saor yang memberi
inspirasi kepada penulis tentang ilmu padi ‘semakin berisi maka semakin
merunduk’, memberi inspirasi mengenai ilmu kehidupan yang hanya dapat
diperoleh dari pengalaman dan kebijaksanaan, yang juga mengajarkan
bahwasanya tidak ada seorang pun yang bisa menjadi orang hebat tanpa
bantuan dari orang-orang kecil; Nancy Setiawati Silalahi, Grace Hutapea,
Ronaldlionar Sitohang, Togar Tanjung, Willy P. Wibowo, dan Felix
Suranta Tarigan;
(14) Rekan-rekan sesama PK III, Devina Puspita yang sedikit banyak telah
direpotkan oleh penulis untuk bertanya hal-hal kecil namun penting artinya;
Fransiscus Manurung, Handiko Natanael Nainggolan, Hangkoso Satrio
Wibowo, Sari Hadiwinoto, Hanna Luciana Marbun, dan Frans Ricardo
Pardede yang sama-sama berjuang menyusun skripsi di program
kekhususan praktisi hukum;
(15) Teman-teman MCC UDAYANA ‘Indonesia Against Transnational Crime’,
Yizreel Alexander Sianipar, Hersinta Setiarini, Lulu Latifah, Puspita
Rani, Anugerah Rizki Akbari, Adam Khaliq Soelaeman, Andreas
Aditya Salim, M. Tanziel Aziezi, Arief Raja Jacob Hutahaean,
viii
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
Damianagatayuvens, Darma Zendrato, Nardo Silalahi, Ahmad Rashed
Haidar, dan Lidya Alide Manalu;
(16) Teman-teman MCC UNPAD ‘National Human Rights’, Gede Aditya
Pratama, Arief Raja Jacob Hutahaean, Endah Dewi Purbasari,
Fransiscus Manurung, Mahiswara Timur, Jesi Karina, Aria Bahana,
Aga P. Samuel Marpaung, Rainer Faustine Jonathan, Yohan Misero,
Gusnandi Arief Haliadi, Muhammad Bonar, Ridho Suryadana, Devi
Darmawan, Ferny Melissa Tobing, Rachmawati Putri, dan Muhammad
Rafi.
(17) Junior-junior penulis, Hesky Manurung dan Yohan Misero yang seringkali
dimintai bantuan oleh penulis baik dalam perkuliahan maupun saat lomba
mooting; Diyana Theresia, Agung Kurnia Saputra, dan Muhammad
Rafi yang pernah bekerja sama dengan penulis dalam menjalani pahit manis
dunia peradilan semu; Arini Faradinna dan Frederick Angwyn yang
senantiasa ramah dengan senyuman khasnya; serta Christine Elisia Wijaya
yang juga sedang berjuang mewujudkan impian untuk lulus 3 tahun dari
FHUI tercinta;
(18) Teman-teman MCC UII, MCC UNAIR, dan MCC Mahkamah Konstitusi
2011;
(19) Terakhir, penulis ucapkan terima kasih tak terhingga kepada (Almarhum)
Bapak tercinta yang semasa hidupnya tidak pernah letih berdoa dan
berkorban. Seribu maaf rasanya tidak akan pernah cukup dituturkan oleh
penulis yang belum sempat membalas kebaikan beliau sedikitpun di masamasa hidupnya. Penyesalan mungkin akan selalu ada di hati penulis yang
bahkan tidak sempat melihat detik-detik terakhir hembusan nafasnya.
Semoga engkau selalu diberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya dan
diberikan kebahagiaan yang kekal di akhirat nanti. Wahai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha lagi diridhai-Nya.
ix
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Depok, 10 Juli 2012
Penulis
x
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama
: Rieya Aprianti
NPM
: 0806461783
Program Studi
: Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Praktisi Hukum (PK III)
Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“TINJAUAN
YURIDIS
TERHADAP
KEKUATAN
PEMBUKTIAN
PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE) DALAM PEMBUKTIAN
SIDANG PERKARA PERDATA”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 10 Juli 2012
Yang Menyatakan,
(Rieya Aprianti)
xi
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
ABSTRAK
Nama
: Rieya Aprianti
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul
: “TINJAUAN YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN
PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE) DALAM PEMBUKTIAN
SIDANG PERKARA PERDATA”
Dalam perkara perdata seringkali ada obyek sengketa yang tidak dapat dihadirkan
di muka persidangan, oleh karena itu perlu dilakukan sidang pemeriksaan
setempat (descente) oleh hakim karena jabatannya untuk mendapatkan gambaran
yang lebih jelas dan rinci mengenai obyek sengketa yang dapat dijadikan bahan
oleh hakim dalam pertimbangan saat menjatuhkan putusan. Berdasarkan latar
belakang tersebut, ada dua pokok permasalahan yang diangkat oleh penulis, yaitu
(1) bagaimana kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat sebagai salah satu
pendukung alat bukti dalam perkara perdata; (2) Bagaimana pertimbangan hakim
dalam menilai kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat tersebut? Adapun
metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode yuridis-normatif
yang menggunakan data sekunder atau studi kepustakaan dengan menggunakan
bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Dari penelitian yang dilakukan,
hasil pemeriksaan setempat pada hakekatnya merupakan fakta persidangan yang
dapat digunakan sebagai keterangan bagi hakim. Dengan demikian, pemeriksaan
setempat memiliki kekuatan pembuktian bebas yaitu tergantung pada hakim
dalam menilai kekuatan pembuktiannya.
Kata kunci: pemeriksaan setempat, descente, kekuatan pembuktian
xiii
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
ABSTRACT
Name
: Rieya Aprianti
Study Program
: Legal Studies
Title
: “LEGAL ANALYSIS ON LOCAL INVESTIGATION IN
CIVIL PROCEDURE”
In civil cases there is often a subject of dispute that can’t be presented in a court of
law, therefore it is necessary for a local investigation (descente) by a judge
because of his position to get a clearee picture and detail information on the
subject of dispute that can be taken into consideration by judges when verdict.
Based on this background, there are two principal issues raised by the author; (1)
How the strenght of local investigation as one of the supporting evidence in civil
procedure, (2) How does the judge considered in assessing the strenght of the
evidence the local investigation? The research methods used by the authors is a
juridical-normative method that uses secondary data or library research using
primary legal materials, secondary, and tertiary. From research conducted, the
results of the local court is essentially a fact that can be used as evidence for the
judge. Thus, the local investigation has the power that is free of evidence depends
on the judge in assessing the strength of evidence.
Key words
: local investigation, descente, the strength of evidence
xiv
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..........................................
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................
ABSTRAK ....................................................................................................
ABSTRACT ....................................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
ii
iii
iv
xi
xiii
xiv
xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .....................................................................................
1.2. Pokok Permasalahan ............................................................................
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................
1.4. Definisi Operasional.............................................................................
1.5. Metode Penelitian.................................................................................
1.6. Sistematika Penulisan ..........................................................................
1
8
8
9
10
12
BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM
HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
2.1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Acara Perdata .................................
2.1.1 Pengertian Hukum Acara Perdata ............................................
2.1.2 Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata ...................................
2.1.3 Asas-Asas dalam Hukum Acara Perdata .................................
2.2. Hukum Pembuktian Pada Pemeriksaan Perkara Perdata .....................
2.2.1. Pengertian Pembuktian.............................................................
2.2.2. Prinsip-Prinsip Umum Pembuktian .........................................
2.2.3. Sistem Pembuktian ...................................................................
2.2.4. Beban Pembuktian ...................................................................
2.3. Tinjauan Umum Mengenai Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata .
2.3.1. Alat Bukti Surat .......................................................................
2.3.1.1. Akta ...........................................................................
2.3.1.2. Surat Bukan Akta ......................................................
2.3.2. Alat Bukti Saksi .......................................................................
2.3.3. Alat Bukti Persangkaan ............................................................
2.3.3.1. Persangkaan Menurut Undang-Undang ....................
2.3.3.2. Persangkaan Berdasarkan Keyakinan Hakim ...........
2.3.4. Alat Bukti Pengakuan ..............................................................
2.3.4.1. Pengakuan Murni ......................................................
2.3.4.2. Pengakuan dengan Kualifikasi ..................................
2.3.4.3. Pengakuan dengan Klausula .....................................
2.3.5. Alat Bukti Sumpah ...................................................................
2.3.5.1. Sumpah Pemutus .......................................................
2.3.5.2. Sumpah Pelengkap ....................................................
2.3.5.3. Sumpah Penaksir .......................................................
14
14
16
21
26
27
30
39
41
46
46
48
55
57
60
61
62
63
66
67
67
69
71
73
75
xv
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
BAB 3 PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMBUKTIAN
SIDANG PERKARA PERDATA DI INDONESIA
3.1. Tinjauan Mengenai Pemeriksaan Setempat dalam Hukum Acara
Perdata ..................................................................................................
3.1.1. Pengaturan Tentang Pemeriksaan Setempat Dalam
Peraturan Perundang-Undangan...............................................
3.1.2. Pengertian Pemeriksaan Setempat ...........................................
3.1.3. Tujuan Pemeriksaan Setempat .................................................
3.1.4. Tata Cara Pemeriksaan Setempat .............................................
3.1.5. Syarat-Syarat Pemeriksaan Setempat .......................................
3.1.6. Pendelegasian Pemeriksaan Setempat .....................................
3.1.7. Biaya Pemeriksaan Setempat ...................................................
3.2. Pemeriksaan Setempat Sebagai Salah Satu Pendukung Alat Bukti
dalam Pembuktian Sidang Perkara Perdata..........................................
3.3. Kekuatan Pembuktian Pemeriksaan Setempat dalam Hukum Acara
Perdata ..................................................................................................
94
BAB 4 ANALIS KASUS
4.1. Analisis Putusan Nomor 31/Pdt.G/2006/PN.Jr ....................................
4.1.1. Kasus Posisi .............................................................................
4.1.2. Analisis Kasus ..........................................................................
4.2. Analisis Putusan Nomor 18/Pdt.G/2011/PN.Tmk ...............................
4.2.1. Kasus Posisi .............................................................................
4.2.2. Analisis Kasus ..........................................................................
99
99
102
111
111
114
76
77
78
80
81
86
89
90
93
BAB 5 PENUTUP
5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 119
5.2. Saran..................................................................................................... 121
DAFTAR REFERENSI ................................................................................ 122
xvi
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dari keseluruhan tahap persidangan perkara perdata, maka pembuktian
merupakan tahap spesifik dan menentukan.1 Dikatakan spesifik, karena pada tahap
pembuktian ini para pihak diberi kesempatan untuk menunjukkan kebenaran
terhadap fakta-fakta hukum yang menjadi titik pokok sengketa. Sedangkan
disebut sebagai tahap menentukan, dikarenakan hakim dalam rangka proses
mengadili dan memutus perkara tergantung terhadap pembuktian para pihak di
persidangan.
Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang
amat
penting
dan
sangat
kompleks
dalam
proses
litigasi.
Keadaan
kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan
merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu
kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses
peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate absoluth),
tetapi bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan
(probable), namun untuk mencari kebenaran yang demikian tetap menghadapi
kesulitan.2
Menurut Krisna Harahap, prinsip umum pembuktian adalah :
“Landasan penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus
berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud. Memang di
samping itu, masih terdapat lagi prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk
setiap jenis alat bukti, sehingga harus dijadikan patokan dalam penerapan
1
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia,
(Jakarta : Djambatan, 1999), hal. 150.
2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 498.
1
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
2
sistem pembuktian. Namun apa yang dibicarakan dalam prinsip umum,
merupakan kekuatan yang berlaku bagi sistem pembuktian secara umum.”3
Seperti kita ketahui, hukum acara atau hukum formil bertujuan untuk
memelihara dan mempertahankan hukum materiil. Secara formal hukum
pembuktian mengatur bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat dalam
Het Herziene Indonesisch Reglement yang selanjutnya disingkat HIR dan
Rechtglement Buitengewesten yang selanjutnya disingkat dengan R.Bg, sedangkan
secara materiil, hukum pembuktian itu mengatur bagaimana diterima atau
tidaknya pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan, serta kekuatan
pembuktian dari alat-alat bukti itu.
Dalam menyelesaikan perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah
menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar
ada atau tidak. Untuk itu, hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang
bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian
bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk
menetapkan hubungan hukum antara kedua pihak dan menetapkan putusan
berdasarkan hasil pembuktian.4 Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, hakim
terikat pada alat-alat bukti yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan diajukan oleh para pihak di persidangan. Berdasarkan hal tersebut, maka
keyakinan hakim bukanlah merupakan hal yang esensial dalam menentukan
kebenaran suatu peristiwa. Berbeda halnya dengan hukum acara pidana yang
menggariskan bahwa selain berdasarkan alat-alat bukti yang sah sesuai peraturan
perundang-undangan, keyakinan hakim mutlak diperlukan untuk menentukan
apakah terdakwa memang bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana. Di dalam tradisi hukum Anglo-Saxon seperti di Inggris, perbedaan antara
perkara perdata dan pidana ini disebut dengan terminologi yang berbeda, yaitu
3
Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata : Mediasi, Class Action, Arbitrase & Alternatif,
(Bandung : Grafiti, 2008), hal. 67.
4
Tata Wijayanta, et. al., Laporan Penelitian Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif
Serta Relevansinya Terhadap Konsep Kebenaran Formal, (Yogyakarta : Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 2009), hal. 1.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
3
preponderance of evidence dan beyond reasonable doubt.5 Dalam bahasa yang
sudah dikenal secara populer, ahli hukum mengontraskan kebenaran yang
diperoleh dari proses acara perdata dari kebenaran menurut proses acara pidana
dengan istilah “pencarian kebenaran formal” dan “pencarian kebenaran material”.
Secara umum, beban pembuktian yang dianut oleh hukum acara di
Indonesia adalah beban pembuktian yang berasaskan bahwa “siapa yang
mendalilkan, maka wajib untuk membuktikannya, begitu pula dengan yang
membantah hak orang lain wajib untuk membuktikannya”.6 Asas tersebut dapat
ditemukan dalam Pasal 163 HIR yang berbunyi :
“Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan
suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak
orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya
kejadian itu.” 7
Serta Pasal 1865 KUH Perdata yang berbunyi :
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau
guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang
lain maka menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut.” 8
Ketentuan dalam Pasal 163 HIR dan Pasal 1865 KUH Perdata merupakan
suatu pedoman bagi hakim dalam menentukan beban pembuktian, akan tetapi
apabila hakim mutlak mengikuti aturan tersebut, maka akan menimbulkan beban
pembuktian yang berimbang antara para pihak. Kebenaran suatu peristiwa hanya
dapat diperoleh melalui proses pembuktian ini dan untuk dapat menjatuhkan
5
Sri wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di
Indonesia, (Yogyakarta : Gama Media, 2007), hal. 12.
6
R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, (Bogor : Politeia, 1995), hal. 119.
7
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M.
Karjadi, (Bogor : Politeia, 1992), Pasal 163.
8
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2008), Pasal 1865.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
4
putusan yang adil, maka hakim harus mengenal peristiwa yang telah dibuktikan
kebenarannya.9
Hukum acara perdata mengenal bermacam-macam alat bukti. Sedangkan
menurut hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang
berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat
bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam hukum
acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam
Pasal 164 HIR10 dan Pasal 1866 KUH Perdata11, yaitu :
a. Bukti surat;
b. Bukti saksi;
c. Persangkaan;
d. Pengakuan; dan
e. Sumpah.
Adapun sistem pembuktian dalam perkara perdata, dijelaskan oleh M.
Yahya Harahap12 ke dalam fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata
hanya terbatas :
1. mencari dan menemukan kebenaran formil,
2. kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung.
Sehubungan dengan sikap pasif hakim, sekiranya hakim harus yakin
bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi apabila
penggugat tidak mampu mengajukan bukti tentang kebenaran yang diyakininya,
maka hakim harus menyingkirkan keyakinan itu, dengan menolak kebenaran dalil
gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam persidangan.13 Tugas hakim
9
Sudikno Mertokusumo (a), Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh,
(Yogyakarta : Liberty, 2006), hal. 132.
10
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M.
Karjadi, op. cit., Pasal 164.
11
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1866.
12
13
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 499.
Ibid..
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
5
adalah menerapkan hukum atau undang-undang. Dalam sengketa yang
berlangsung di muka hakim, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang
saling bertentangan. Di sini hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil
manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan
duduknya perkara yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya itu, hakim dalam
amar atau diktum putusannya, memutuskan siapakah yang dimenangkan dan
siapakah yang dikalahkan. Dalam melaksanakan pemeriksaan tadi, hakim harus
mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang merupakan hukum
pembuktian. Ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenangwenangan (willekeur) akan timbul apabila hakim dalam melaksanakan tugasnya
itu diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, walaupun
itu sangat kuat dan sangat murni.14 Keyakinan hakim itu harus didasarkan pada
sesuatu yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti sebagaimana yang telah
disebutkan di atas. Dengan alat bukti ini masing-masing pihak berusaha
membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada hakim yang
diwajibkan memutuskan perkara.
Proses pembuktian sebagai salah satu proses acara dalam hukum perdata
formil menjadi salah satu proses yang paling penting. Suatu perkara di pengadilan
tidak dapat diputus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Pembuktian
dalam arti yuridis sendiri tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang
mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa pengakuan,
kesaksian atau surat-surat yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa
kemungkinan tidak benar palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa
setiap perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak.15
Tidak jarang dalam kasus perdata yang menekankan pada pencarian
kebenaran formil yakni melalui alat bukti surat justru menemui kesulitan. Dalam
pencarian kebenaran formil melalui pembuktian di sidang perkara perdata, ada
14
Subekti (a), Hukum Acara Perdata, Cet. Ketiga, (Bandung : Binacipta, 1989), hal. 79.
15
Eman Suparman, “Alat Bukti Pengakuan Dalam Hukum Perdata.”
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/2F%20Makalah-Alat-BuktiKump.pdf, 14 Mei 2010, diunduh 23 Maret 2012.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
6
kalanya hakim menemui kesulitan-kesulitan dalam hal alat-alat bukti yang satu
bertentangan dengan alat bukti lain yang diajukan oleh kedua belah pihak yang
bersengketa. Dalam sengketa tanah misalnya, seringkali ditemukan perbedaan
mengenai fakta atau dalil yang diajukan oleh baik penggugat ataupun tergugat.
Tak jarang mengenai luas, batas, dan keadaan tanah yang dikemukan masingmasing pihak bertentangan satu sama lain. Hal ini bertambah pelik karena apa
yang menjadi obyek sengketa tidak dapat dihadirkan di muka persidangan. Dalam
hal ini maka untuk menjatuhkan putusan yang adil maka sudah seharusnya apabila
hakim melakukan pemeriksaan setempat guna memperoleh fakta-fakta yang
sebenarnya.
Dalam acara perdata, terdapat dua tindakan hukum atau permasalahan
hukum yang erat kaitannya dengan pembuktian. Untuk menguatkan atau
memperjelas fakta atau peristiwa maupun objek barang perkara, salah satu atau
kedua tindakan hukum itu sering dipergunakan atau diterapkan. Misalnya, untuk
menentukan secara pasti dan definitif lokasi, ukuran dan batas atau kuantitas dan
kualitas objek barang terperkara, peradilan sering menerapkan Pasal 153 HIR,
Pasal 180 R.Bg, dan Pasal 211 Rv dengan jalan memerintahkan pemeriksaan
setempat (plaatsopneming).16
Menurut Pasal 153 HIR yang menentukan bahwa :
“Bila ketua menganggap perlu dapat mengangkat seorang atau dua orang
komisaris dari majelis, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan
melihat keadaan setempat dan melakukan pemeriksaan yang dapat
memberi keterangan kepada hakim.” 17
Hal ini menentukan bahwa jika hakim memang memerlukan keterangan yang
dapat diperoleh dari benda yang tidak bisa dihadirkan dalam persidangan, maka
dapat mengangkat seorang wakil untuk melakukan pemeriksaan setempat.
Namun pemeriksaan setempat yang dilaksanakan oleh hakim karena
jabatannya ini pasti menemui kesulitan-kesulitan, sehingga hakim harus
16
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 779.
17
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M.
Karjadi, op. cit., Pasal 153.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
7
mempertimbangkan benar untuk mengadakan pemeriksaan setempat, yang
nantinya hasil dari pemeriksaan setempat tersebut merupakan hasil yang benarbenar objektif untuk dijadikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Kesulitan-kesulitan tersebut mungkin dapat timbul dikarenakan pihakpihak yang berperkara memiliki pandangan serta pendapat sendiri terhadap
kesaksian yang diajukan pada majelis untuk membela dalilnya masing-masing.
Hakim tentunya telah memiliki pertimbangan lain sehingga hakim memutuskan
untuk memeriksa benda yang berada di luar pengadilan. Pemeriksaan setempat
tersebut dapat diajukan berdasarkan putusan baik atas permintaan para pihak
maupun atas kehendak hakim sendiri karena jabatannya sebagaimana tertuang
dalam Pasal 211 Rv.
Dalam pemeriksaan setempat, hakim berkedudukan sebagai pelaksana
pemeriksaan, walaupun pada dasarnya hakim dapat mengangkat seorang atau dua
orang komisaris dari majelis yang mana mereka memiliki tugas melihat keadaan
yang sebenarnya di lapangan. Akan tetapi hakim akan lebih yakin tentunya jika
hakim dapat melihat sendiri keadaan yang sebenarnya terjadi, sebab fungsi dari
pemeriksaan setempat tersebut merupakan alat bukti yang bebas. Artinya
kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim.18 Semua yang akan dijadikan
alat bukti tidak seluruhnya dapat dihadirkan di muka persidangan, seperti halnya
dalam kasus sengketa tanah yang objeknya tanah. Akan sulit kiranya kalau mau
membawa objek dari luar pengadilan ke pengadilan, dengan demikian maka akan
dilakukan pemeriksaan setempat (descente).
Pemeriksaan setempat mempunyai makna yang penting sebenarnya baik
untuk pihak-pihak yang berperkara maupun untuk hakim sebagai eksekutor dalam
sebuah perkara perdata. Bagi para pihak, dengan hakim melihat sendiri keadaan
sebenarnya, maka diharapkan putusan yang dijatuhkan akan adil bagi kedua belah
pihak. Adil bukan berarti apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak semua
dikabulkan, akan tetapi adil dalam arti sesuai dengan porsi yang seharusnya
sebagaimana hak. Para pihak tidak dapat menolak jika hakim telah memutuskan
untuk melaksanakan pemeriksaan setempat, sebab itu merupakan bagian dari
18
Mashudy Hermawan, Dasar-dasar Hukum Pembuktian, (Surabaya : UMSurabaya,
2007), hal. 149.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
8
proses pembuktian dalam sebuah perkara. Bagi hakim, dengan melaksanakan
pemeriksaan setempat akan memberi pandangan tersendiri mengenai duduk
perkara yang sebenarnya selain mendengar keterangan dari saksi yang diajukan di
hadapan persidangan.
Memang terkadang sulit, apalagi yang disampaikan para pihak di hadapan
majelis sering terjadi perbedaan yang tajam, padahal hakim di pengadilan ingin
mengetahui fakta-fakta yang sebenarnya. Dengan kata lain, pemeriksaan setempat
merupakan usaha hakim untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
diajukan oleh pihak penggugat terhadap pihak tergugat. Sehingga, hakim haruslah
kreatif untuk mencari keterangan, dan hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius
curia novit) agar dapat menjatuhkan putusan.19 Semua putusan hakim harus
disertai alasan-alasan atau pertimbangan mengapa hakim sampai pada putusannya
itu. Alasan atau konsideran itu merupakan pertanggungjawaban hakim kepada
masyarakat atas putusannya itu. Hal-hal tersebutlah yang kemudian menjadi
pokok pemikiran penulis untuk membahasnya lebih lanjut dalam skripsi ini.
1.2.
Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka
yang menjadi pokok permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian pada
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat sebagai salah satu
pendukung alat bukti dalam perkara perdata?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menilai kekuatan pembuktian
pemeriksaan setempat guna mendukung pembuktian dalam perkara perdata
(studi
kasus
putusan
No.
31/Pdt.G/2006/PN.Jr
dan
putusan
No.
18/Pdt.G/2011/PN.Tmk)?
1.3.
Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan penelitian secara
umum dan tujuan penelitian secara khusus, yaitu sebagai berikut :
19
Sudikno Mertokusumo (b), Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty,
2003), hal. 137.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
9
1.3.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memberikan
gambaran dan perkembangan baru dalam ilmu pengetahuan hukum, terutama
dalam bidang hukum acara perdata yang berkaitan dengan pemeriksaan setempat
(descente). Selain itu, penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk menambah dan
memperbanyak kepustakaan yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian
pemeriksaan setempat dalam perkara perdata, serta untuk menjabarkan apa saja
kendala-kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan
pemeriksaan setempat.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat sebagai salah
satu pendukung alat bukti dalam perkara perdata.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menilai kekuatan pembuktian
pemeriksaan setempat guna mendukung pembuktian dalam perkara perdata.
1.4.
Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penggambaran hubungan antara konsep-
konsep khusus yang akan diteliti.20 Dalam ilmu sosial, konsep diambil dari teori.
Dengan demikian kerangka konsep merupakan pengarah atau pedoman yang lebih
konkret dari kerangka teori dan mencakup definisi operasional atau kerja.21
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pokok permasalahan, akan diberikan
batasan mengenai pengertian atas beberapa masalah umum yang terkait dengan
permasalahan di atas. Pembatasan ini diharapkan dapat menjawab permasalahan
yang terkait dengan penelitian ini dan supaya terjadi persamaan persepsi dalam
memahami permasalahan yang ada.
20
Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 67.
21
Ibid, hlm. 67.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
10
1. Hukum acara perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara-caranya memelihara dan mempertahankan hukum perdata
materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya
mengajukan sesuatu perkara perdata.22
2. Pembuktian adalah suatu jalan guna mendapatkan suatu keputusan akhir
yang mana didalam pembuktian tersebut terdapat fakta-fakta yang
dibutuhkan oleh hakim. Dengan demikian maka tentang hukumnya tidak
perlu diberitahukan kepada hakim oleh para pihak, dan tidak perlu pula
untuk dibuktikan karena hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia
novit).23
3. Alat bukti adalah apa saja yang menurut undang-undang dapat dipakai
untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut
undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan benar atau tidaknya
suatu tuduhan/gugatan.24
4. Pemeriksaan setempat atau descente menurut Sudikno Mertokusumo ialah
pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang
dilakukan diluar gedung pengadilan atau di luar tempat kedudukan
pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau
keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang
menjadi sengketa.25
1.5.
Metode Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dimana penelitian
merupakan penelitian hukum yang mendasarkan pada konstruksi data yang
dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Penelitian yuridis
normatif itu sendiri adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika ilmu hukum dari sisi normatifnya (menelaah norma
22
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hal. 167.
23
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 131.
24
Sudarsono, op. cit., hal. 28.
25
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 142.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
11
hukum tertulis), dimana penelitian ini menekankan pada penggunaan data
sekunder atau studi kepustakaan.26 Penelitian ini melihat pada asas-asas hukum
yang terdapat dalam HIR, RBg, KUH Perdata, dan Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat.
Ditinjau dari segi sifatnya, tipe penelitian ini adalah penelitian deskripstif
karena memberikan dan menjabarkan bagaimana kenyataan di lapangan mengenai
kekuatan pemeriksaan setempat sebagai pendukung alat bukti dalam pembuktian
dalam sidang perkara perdata. Penelitian deskriptif itu sendiri merupakan
penelitian yang memberikan gambaran secara umum yang dapat ditangkap oleh
panca indera atau menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.27
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari studi kepustakaan, berupa teori-teori, definisi, permasalahan,
pembahasan, serta pengaturan yang berkaitan dengan hukum acara perdata, sistem
pembuktian perkara perdata, dan kekuatan pemeriksaan setempat sebagai
pendukung alat bukti dalam sidang perkara perdata. Jenis bahan hukum yang
digunakan itu sendiri adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
yaitu KUH Perdata, HIR, RBg, dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun
2001 tentang Pemeriksaan Setempat. Sedangkan bahan hukum sekunder dalam
penelitian ini adalah buku-buku dalam tinjauan pustaka yang berkaitan dengan
penelitian ini serta artikel-artikel dan makalah yang berkaitan dengan penelitian
ini. Selain bahan hukum primer dan sekunder yang telah disebutkan, penelitian ini
juga menggunakan bahan hukum tersier yaitu kamus dan ensiklopedia.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
dokumen yang dilakukan dengan penelusuran literatur-literatur yang berkaitan
dengan penelitian ini. Dalam studi dokumen, penulis berusaha menghimpun
sebanyak mungkin berbagai informasi yang berhubungan dengan pemeriksaan
setempat
dalam
perkara
perdata.
26
Sri Mamudji, et al., op. cit., hal. 3.
27
Ibid., hlm. 4.
Dengan
demikian,
diharapkan
dapat
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
12
mengoptimalkan konsep-konsep dan bahan teoritis lain yang sesuai konteks
permasalahan penelitian, sehingga terdapat landasan yang dapat lebih menentukan
arah dan tujuan penelitian. Di samping pengumpulan data berbentuk studi
dokumen, penulis juga melakukan kegiatan wawancara. Wawancara adalah suatu
kegiatan komunikasi verbal dengan tujuan mendapatkan informasi, guna
mendapatkan gambaran yang menyeluruh, terutama informasi penting berkaitan
dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif yaitu mendalami
makna dibalik realitas atau tindakan atau data yang diperoleh dan yang diteliti
atau dipelajari adalah objek penelitian yang utuh.28 Data yang telah didapatkan
untuk penelitian, kemudian diolah dan dianalisis. Hasil pengolahan data dianalisis
dengan pendekatan kualitatif kemudian disajikan dalam hasil penelitian deskriptifanalitis.
Adapun bentuk laporan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu
apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau
lisan dan perilaku nyata29 selain itu memberikan gambaran umum tentang gejala
dan menganalisisnya.
1.6.
Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan materi pada penulisan ini, maka penulis
membagi pembahasan menjadi lima bab dan bab-bab tersebut terdiri dari sub-sub
bab, sehingga sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
Bab 1 adalah bagian pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, pokok
permasalahan, tujuan penulisan yang terbagi ke dalam tujuan umum dan tujuan
khusus, definisi operasional, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab 2 akan membahas tentang tinjauan umum mengenai pembuktian
dalam hukum acara perdata di Indonesia yang terbagi dalam beberapa sub bab
antara lain mengenai tinjauan umum tentang hukum acara perdata itu sendiri yang
meliputi pengertian, sumber-sumber, dan asas-asas dalam hukum acara perdata,
28
Ibid, hal. 67.
29
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
13
tinjauan umum mengenai pembuktian pada pemeriksaan perkara perdata meliputi
pengertian pembuktian, prinsip-prinsip hukum pembuktian, sistem pembuktian,
dan beban pembuktian. Dalam bab ini selanjutnya juga akan dibahas mengenai
tinjauan umum mengenai alat bukti dalam hukum acara perdata yang berlaku di
Indonesia.
Bab 3 akan membahas mengenai pemeriksaan setempat (descente) dalam
pembuktian sidang perkara perdata di Indonesia yang dibagi dalam beberapa
subbab yaitu tinjauan mengenai pemeriksaan setempat itu sendiri, penjelasan
mengenai pemeriksaan setempat sebagai salah satu pendukung alat bukti dalam
pembuktian sidang perkara perdata, serta kekuatan pembuktian pemeriksaan
setempat dalam hukum acara perdata.
Bab 4 akan membahas mengenai analisis pertimbangan hakim dalam studi
kasus No. 31/Pdt.G/2006/PN.Jr yang merupakan perkara perdata antara Herman
Raharja sebagai Penggugat, melawan Erfan Fadillah dan P. Rusdiam sebagai Para
Tergugat dan putusan No. 18/Pdt.G/2011/PN.Tmk yang merupakan perkara antara
Tiraun M. Pardosi sebagai Penggugat I, Richard Togar Lubis sebagai Penggugat
II, Martin Lubis sebagai Penggugat III, Purwoyo sebagai Penggugat IV, dan
Hasudungan Lubis melawan Yosepha Alomang sebagai Tergugat I dan Yustina
Kwalik sebagai Tergugat II.
Bab 5 merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran yang
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam pokok permasalahan.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
BAB 2
TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM
ACARA PERDATA DI INDONESIA
2.1
Tinjauan Umum Tentang Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata bisa juga disebut dengan hukum perdata formal,
namun sebutan hukum acara perdata lebih lazim dipakai daripada hukum perdata
formal. Hukum acara perdata atau hukum perdata formal sebetulnya merupakan
bagian dari hukum perdata. Sebab di samping hukum perdata formal, juga ada
hukum perdata materiil. Hukum materiil di negara kita, baik yang termuat dalam
suatu bentuk perundang-undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan
pedoman atau pegangan ataupun penuntun bagi seluruh warga masyarakat dalam
segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup, baik itu perseorangan,
masyarakat maupun dalam bernegara, apakah yang dapat ia lakukan dan apa yang
tidak boleh dilakukan.30
2.1.1
Pengertian Hukum Acara Perdata
Dalam literatur-literatur hukum acara perdata, ada berbagai macam
definisi hukum acara perdata dari para ahli yang satu sama lain memberikan
rumusan yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang
sama. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa :
“hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan
dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.”31
Sudikno Mertokusumo memberi batasan hukum acara perdata yaitu :
30
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Cet. Keempat, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005),
hal. 1.
31
Wirjono Prodjodikoro (a), Hukum Acara Perdata di Indonesia, Cet. Keenam, (Bandung
: Sumur Bandung, 1975), hal. 13.
14
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
15
“peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain
hukum acara perdata merupakan peraturan yang menentukan bagaimana
caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih konkret
lagi dapatlah dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya” 32
R. Soepomo tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi
tugas dan peranan hakim menjelaskan bahwasanya :
“Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum
perdata (burgerlijk rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan oleh
hukum dalam suatu perkara” 33
Sedangkan menurut pendapat Lilik Mulyadi dalam bukunya disebutkan
bahwa hukum acara perdata adalah :34
a. Peraturan hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses
seseorang mengajukan perkara perdata (burgerlijk vordering, civil suit)
kepada hakim/pengadilan;
b. Peraturan
hukum
yang menjamin,
mengatur dan
menyelenggarakan
bagaimana proses hakim mengadili perkara perdata (burgerlijk vordering, civil
suit);
c. Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim “memutus”
perkara perdata (burgerlijk vordering, civil suit) tersebut;
d. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan
putusan hakim (executie).
Dengan melihat beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata
bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil. Dengan demikian
hukum acara perdata pada umumnya tidak membebani hak dan kewajiban seperti
yang termuat dalam hukum perdata materiil, tetapi memuat aturan tentang cara
32
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 2.
33
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cet. Ketigabelas, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1994), hal. 13.
34
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 3-5.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
16
melaksanakan dan mepertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat
dalam hukum perdata materiil, atau dengan perkataan lain untuk melindungi hak
perseorangan.
2.1.2
Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
Pada praktik peradilan perdata di Indonesia sebagai sumber dasar
penerapan hukum acara perdata terdapat pada berbagai peraturan perundangundangan. Hal ini terjadi karena belum adanya produk nasional tentang peraturan
hukum acara perdata seperti halnya pada hukum acara pidana melalui UndangUndang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LNRI 1981-76, TLNRI
3209).
Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-Undang
No. 1 Drt Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil
maka dapatlah disebutkan bahwa sumber dasar penerapan hukum acara perdata
dalam praktik peradilan pada asasnya adalah sebagai berikut :
a. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement atau Reglemen Indonesia Baru,
Staatsblad 1941 No. 44)35
HIR merupakan hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah Jawa
dan Madura sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
RI No. 19 Tahun 1964 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1099
K/Sip/1972.
HIR tidak hanya memuat ketentuan-ketentuan hukum acara
perdata saja, tetapi juga memuat ketentuan-ketentuan hukum acara pidana.
Namun dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana maka sebagian ketentuan HIR khusus yang mengatur
acara pidana dicabut.
Keseluruhan Pasal-Pasal HIR mengenai hukum acara perdata
terhimpun dalam satu bab yaitu Bab IX tentang “Perihal Mengadili Perkara
35
Dalam doktrin lazim disebut lengkap dengan : Reglement op de uit oefening van de
politie, de Burgerlijke rechtspleging en de Strafvordering onder de Indlanders en de Vremde
Oostelingen of Java en Madura (Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkara
perdata dan penuntutan perkara pidana golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan
Madura).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
17
Dalam Perkara Perdata yang Diperiksa Oleh Pengadilan Negeri” yang terdiri
dari :
-
Bagian Pertama tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan (Pasal
118-161);
-
Bagian Kedua tentang bukti (Pasal 162-177);
-
Bagian Ketiga tentang musyawarah dan putusan (Pasal 178-187);
-
Bagian Keempat tentang banding (Pasal 188-194);
-
Bagian Kelima tentang menjalankan putusan (Pasal 195-224);
-
Bagian Keenam tentang beberapa hal yang menjadi perkara-perkara yang
istimewa (Pasal 225-236);
-
Bagian Ketujuh tentang izin berperkara tanpa ongkos (Pasal 237-245).
b. RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten, Staatsblad 1927 No. 227)
RBg merupakan hukum acara perdata yang berlaku untuk daerahdaerah luar Pulau Jawa dan Madura yang ditetapkan berdasarkan Ordonansi
11 Mei 1927 dan berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927. Ketentuan hukum acara
perdata termuat dalam Bab II yang terdiri dari tujuh titel dari Pasal 104 sampai
dengan Pasal
323. Titel I, II, III, VI, dan VII sudah tidak berlaku lagi
dikarenakan Pengadilan Districtgerecht, Districraad, Magistraadgerecht,
Residenttigerecht dan Raad Justitie sudah dihapus. Sehingga yang berlaku
hingga sekarang hanya titel IV dan V bagi Landraad (sekarang Pengadilan
Negeri). Titel IV terdiri dari :
-
Bagian I tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan (Pasal 142-188);
-
Bagian II tentang musyawarah dan putusan (Pasal 189-198);
-
Bagian III tentang banding (Pasal 199-205);
-
Bagian IV tentang menjalankan putusan (Pasal 106-258);
-
Bagian V tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa (Pasal
259-272);
-
Bagian VI tentang izin berperkara tanpa ongkos perkara (Pasal 273-281).
Sedangkan titel V (Pasal 282-314) mengatur mengenai bukti.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
18
c. Rv (Reglement op de burgerlijke rechtsvordering voorde raden van Justitie
opa Java en het hoogerechtshof van Indonesie, alsmede voor de
risidentiegerechten op Java en Madura, Reglemen Hukum Acara Perdata
untuk Golongan Eropa, Staatsblad 1847 No. 52 jo. Staatsblad 1849 No. 63)
Pada dasarnya Rv merupakan reglemen yang berisi ketentuanketentuan hukum acara perdata yang berlaku khusus bagi golongan Eropa dan
bagi mereka yang dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di muka
Raad van Justitie dan Residentiegerecht. Menurut pendapat Prof. Dr. R.
Supomo, S.H. oleh karena telah dihapuskannya Raad van Justitie dan
Hooggerechtshof maka Rv sudah tidak berlaku lagi, sehingga dengan
demikian hanya HIR dan RBg sajalah yang berlaku.36 Akan tetapi dalam
praktik peradilan dewasa ini eksistensi ketentuan dalam Rv oleh Judex Facti
(Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) serta Mahkamah Agung RI tetap
dipergunakan dan dipertahankan.37
d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel). Meskipun KUH
Perdata sebagai kodifikasi hukum perdata materiil, namun juga memuat
hukum acara perdata, terutama dalam Buku IV tentang pembuktian dan
daluwarsa (Pasal 1865-1993). Selain itu juga terdapat dalam beberapa Pasal
Buku I misalnya tentang tempat tinggal atau domisili (Pasal 17-25), serta
beberapa Pasal Buku II dan III (misalnya Pasal 533, 535, 1244, 1365). Selain
itu hukum acara perdata juga diatur dalam Undang-Undang Kepailitan
(Faillissements Verordering, Staatsblad 1905 No. 217 jo. Staatsblad 1906 No.
348) dan Reglement op de Rechtsterlijke Organisatie in het beleid der Justitie
in Indonesia (R.O. atau Reglemen tentang Organisasi Kehakiman, Staatsblad
1847 No. 23) merupakan sumber dasar penerapan hukum acara perdata dalam
praktik peradilan.
36
R. Soepomo, op. cit., hal. 11.
37
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I dan II, (Jakarta :
Penerbit Mahkamah Agung RI, 1993/1994), hal. 126. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit., hal.
12.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
19
e. Undang-Undang
-
Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa
dan Madura;38
-
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo.
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985;
-
Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. UndangUndang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2
Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986;
-
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
-
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan
pelaksanaannya.
f. Peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung
-
Misalnya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan dan PERMA No. 2 Tahun 2002 tentang Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok.
-
Sedangkan contoh beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung RI misalnya :
SEMA No. 09 Tahun 1976 tentang Gugatan Terhadap Pengadilan dan
Hakim, SEMA No. 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, SEMA No. 7 Tahun 1992
tentang Pengawasan dan Pengurusan Biaya-Biaya Perkara dan SEMA No.
5 Tahun 1994 tentang Biaya Administrasi.
g. Yurisprudensi
Mengenai pengertian yurisprudensi dikemukakan oleh beberapa ahli dalam
kepustakaan, antara lain disebutkan :39
38
Dengan adanya Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 ini, maka peraturan mengenai
banding dalam HIR Pasal 188-194 tidak berlaku lagi.
39
Pustaka Peradilan Jilid VIII, (Jakarta : Penerbit Proyek Pembinaan Teknis Yustisial
MARI, 1995), hal. 146-147. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 14.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
20
1) Yurisprudensi adalah peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Poernadi
Poerbatjaraka dan Soerjono Soekanto).
2) Yurisprudensi yaitu ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh
peradilan (Kamus Fockema Andrea).
3) Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari Keputusan
Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh
hakim lain dalam memberi keputusan soal yang sama (Kamus Fockema
Andrea).
4) Yurisprudensi adalah sumber hukum yang lahir dan berkembang sebagai
hukum yang hidup (living law) dalam praktik peradilan, berasal dari
putusan peradilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap yang dalam
praktik peradilan dalam kasus dan masalah yang sama, selalu diikuti oleh
badan peradilan yang lain (Ida Bagus Ngurah Adhi, Hakim Pengadilan
Tinggi Jakarta).
Dari pengertian yurisprudensi yang dikemukakan dalam literatur tersebut di
atas, berdasarkan data lapangan yang diperoleh dari para hakim Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri serta Pengacara di Jakarta yang dijadikan
sampel penelitian bahwa sebagian dari mereka lebih condong menerima
pengertian yurisprudensi yang dikemukakan dalam Kamus Fockema Andrea
sebagaimana huruf c di atas.
h. Adat kebiasaan,40 perjanjian internasional,41 doktrin.42
40
Mengenai adat kebiasaan sebagai sumber hukum acara perdata diintrodusir oleh Prof.
Dr. Wirjono Projodikoro, S.H. dengan menyebutkan bahwa “seperti halnya dengan segala hukum
maka hukum acara perdata sebagian tertulis, artinya termuat dalam beberapa undang-undang
negara, sebagian tidak tertulis artinya menurut adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam
melakukan pemeriksaan perdata. (Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hal. 18)”
41
Definisi yang diambil dari Konvensi Wina Tahun 1969 disebutkan bahwa perjanjian
internasional merupakan perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk
mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya, mengatur perjanjian antarnegara selaku
subyek hukum internasional (“Pengertian Perjanjian Internasional Menurut Para Ahli”,
id.shvoong.com/law-and-politics/2158086-pengertian-perjanjian-internasional/ , diunduh 6 Juni
2012, pukul 22.04 WIB)
42
Doktrin antara ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara perdata juga, sumber
tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata. Tetapi doktrin itu sendiri bukanlah hukum
(Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 9).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
21
2.1.3
Asas-asas Dalam Hukum Acara Perdata
Seperti halnya hukum-hukum pada bidang yang lain, hukum acara perdata
juga mempunyai beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan
dalam hukum acara perdata tersebut. Berikut ini akan diuraikan beberapa asas
penting dalam hukum acara perdata, yaitu :
a. Hakim Bersifat Menunggu
Asas
dari
hukum
acara
perdata
pada
umumnya
yaitu
dalam
pelaksanaannya inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya
kepada yang berkepentingan. Jadi apakah akan diproses atau tidak, apakah suatu
perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan
kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan,
maka tidak ada hakim (Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine
actore).43 Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan,
sedang hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya
(index ne procedat ex officio). Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya,
hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan
dalih bahwa tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
b. Peradilan yang Terbuka Untuk Umum (openbaarheid van rechtspraak)
Sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata pada asasnya
terbuka untuk umum. Sebelum suatu perkara perdata mulai disidangkan maka
hakim ketua harus menyatakan bahwa sidang “dibuka” dan “terbuka untuk
umum”. Ini berarti bahwa setiap orang diperbolehkan untuk hadir, mendengar dan
menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara perdata itu di pengadilan sepanjang
undang-undang tidak menentukan lain dan apabila tidak dipenuhi hal tersebut
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum (Pasal 13 Undang-Undang No. 48
Tahun 2009). Tujuan asas ini adalah untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang
tidak memihak, adil dan benar sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku,
43
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 10-11.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
22
yakni dengan meletakkan peradilan di bawah pengawasan umum.44 Untuk
kepentingan kesusilaan hakim memang dapat menyimpang dari asas ini, misalnya
dalam perkara perceraian karena perzinahan. Akan tetapi, walaupun pemeriksaan
suatu perkara dilakukan secara tertutup, namun putusannya harus tetap diucapkan
dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
c. Hakim Bersikap Pasif (lijdelijkeheid van de rechter)
Menurut Riduan Syahrani,45 asas ini mengandung beberapa makna yaitu :
1) Hakim wajib mengadili seluruh gugatan/tuntutan dan dilarang menjatuhkan
putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada
yang dituntut (Pasal 178 ayat (3) HIR/189 ayat (3) RBg). Intinya ruang
lingkup gugatan serta kelanjutan pokok perkara hanya para pihak yang berhak
menentukan sehingga untuk itu hakim hanya bertitik tolak pada peristiwa yang
diajukan para pihak (secundum allegat iudicare).
2) Hakim mengejar kebenaran formal yakni kebenaran yang hanya didasarkan
kepada bukti-bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus
disertai keyakinan hakim. Jika salah satu pihak yang berperkara mengakui
kebenaran suatu hal yang diajukan oleh pihak lain, maka hakim tidak perlu
menyelidiki lebih lanjut apakah yang diajukan itu sungguh-sungguh benar
atau tidak. Berbeda dengan perkara pidana, dimana hakim dalam memeriksa
dan mengadili perkara dengan mengejar kebenaran materiil, yaitu kebenaran
yang harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
dan harus ada keyakinan hakim.
3) Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak
mengajukan verzet, banding dan kasasi terhadap putusan pengadilan.
Jadi pengertian pasif di sini hanyalah berarti bahwa hakim tidak
menentukan luas dari pokok sengketa. Hakim tidak boleh menambah atau
menguranginya. Akan tetapi itu semua tidak berarti bahwa hakim sama sekali
tidak aktif. Selaku pimpinan sidang, hakim harus aktif memimpin pemeriksaan
44
Riduan Syahrani (a), Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta :
Pustaka Kartini, 1988), hal. 17.
45
Ibid, hal 16-17.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
23
perkara dan tidak merupakan sekedar alat dari para pihak, dan harus berusaha
sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan. Hakim juga berhak memberi nasihat kepada kedua belah
pihak serta menunjukkan upaya hukum dan memberi keterangan kepada mereka
(Pasal 132 HIR/156 RBg).46
d. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Ketentuan dalam HIR maupun RBg tidak mengharuskan kepada pihakpihak yang berperkara untuk mewakilkan pengurusan perkara mereka kepada ahli
hukum, sehingga pemeriksaan di persidangan dilakukan secara langsung terhadap
pihak-pihak yang berkepentingan.47 Walaupun demikian, para pihak yang
berperkara apabila menghendaki boleh mewakilkan kepada kuasanya (Pasal 123
HIR/147 RBg). Dengan adanya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat maka hanya seorang sarjana hukum yang memiliki izin beracara/litigasi
di pengadilan saja yang dapat mewakili seseorang untuk beracara di pengadilan.48
46
R. Soepomo, op. cit., hal. 18.
47
Sistem hukum acara perdata dalam HIR dan RBg berbeda dengan sistem hukum acara
perdata dalam Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang mewajibkan para pihak
yang berperkara untuk mewakilkan kepada seorang ahli hukum (procureur) dalam beracara di
muka pengadilan. Perwakilan ini merupakan keharusan yang mutlak dengan akibat batalnya
tuntutan (Pasal 106 ayat (1) Rv) atau diputuskan di luar hadirnya tergugat (Pasal 109 Rv) apabila
para pihak ternyata tidak diwakili. Sistem yang mewajibkan bantuan dari seorang ahli hukum
dalam Rv ini didasarkan atas pertimbangan bahwa di dalam suatu proses yang memerlukan
pengetahuan hukum dan kecakapan teknis, maka para pihak yang berperkara perlu dibantu oleh
seorang ahli hukum supaya segala sesuatunya dapat berjalan lancar dan putusan dijatuhkan dengan
seadil-adilnya.
48
Pasal 3 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan bahwa :
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus-menerus pada kantor Advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
24
e. Mendengar Kedua Belah Pihak yang Berperkara (horen van beide partijen)
Asas ini berarti bahwa pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan
sama, diberikan kesempatan yang sama, untuk membela kepentingan mereka.
Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai suatu yang
benar tanpa mendengar atau memberi kesempatan kepada pihak yang lain untuk
mengemukakan atau menyampaikan pendapatnya. Hal ini juga berarti bahwa
pengajuan alat-alat bukti harus dilakukan di muka sidang pengadilan yang dihadiri
oleh pihak-pihak yang berperkara (Pasal 121 HIR/145 RRBg dan Pasal 132
HIR/157 RBg).
Hakim tidak boleh memberikan putusan dengan tidak memberikan
kesempatan untuk kedua belah pihak yang berperkara. Putusan verstek bukanlah
merupakan pengecualian asas ini, karena putusan verstek dijatuhkan justru karena
tergugat tidak hadir dan ia juga tidak mengirimkan kuasanya, padahal ia sudah
dipanggil dengan patut. Jadi pihak tergugat yang tidak hadir telah mendapat
kesempatan untuk didengar, akan tetapi ia tidak mempergunakan kesempatan itu.
f. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang dijadikan
dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009,
Pasal 184 ayat (1) HIR/195 RBg, Pasal 319 HIR/618 RBg). Asas ini dimaksudkan
agar jangan sampai terjadi perbuatan sewenang-wenang dari hakim. Alasan-alasan
atau argumentasi itu adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim dari
putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan
ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif.49 Putusan yang
tidak lengkap atau kurang pertimbangannya (anvoldoende gemotiveerd)
merupakan alasan untuk kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan.
49
Scholten, Algemeen Deel, hal. 114. Dikutip juga oleh Sudikno Mertokusumo (a), op.
cit., hal. 15.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
25
g. Beracara Perdata Dikenakan Biaya (niet-kosteloze rechtspraak)
Untuk beracara perdata pada asasnya dikenakan biaya50 (Pasal 2 ayat (4)
dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Pasal 121 ayat (4)
HIR/145 ayat (4) RBg, Pasal 182 HIR/192 RBg, Pasal 183 HIR/194 RBg).
Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara dapat
mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk
dibebaskan dari pembayaran biaya perkara dengan mengajukan surat keterangan
tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR/273 RBg). Dalam
Pasal 11 Lampiran A SEMA No. 10 Tahun 201051 disebutkan bahwa pemohon
bantuan
hukum
harus
membuktikan
bahwa
ia
tidak
mampu
dengan
memperlihatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah/Kepala
Desa setempat, surat keterangan tunjangan sosial lainnya seperti Kartu Keluarga
Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu
Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT), atau
surat pernyataan tidak mampu yang dibuat dan ditandatangani pemohon bantuan
hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Apabila penggugat yang
mengajukan permohonan pembebasan biaya perkara, maka permohonan diajukan
bersamaan dengan gugatan atau pada saat pemohon mengajukan gugatan secara
lisan sebagaimana dalam Pasal 237-241 HIR/273-277 RBg. Sedangkan apabila
diajukan oleh tergugat, maka permohonan pembebasan berperkara diajukan
bersamaan dengan penyampaian jawaban. Kemudian majelis hakim sebelum
menjatuhkan putusan sela yang berisi tentang pengabulan atau penolakan
berperkara secara prodeo, memeriksa bahwa penggugat atau tergugata tidak
mampu secara ekonomi (Pasal 19 Lampiran A SEMA No. 10 Tahun 2010).
2.2
Hukum Pembuktian Pada Pemeriksaan Perkara Perdata
Pembuktian adalah tahap terpenting dalam menyelesaikan perkara di
pengadilan, karena bertujuan untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa
50
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 5 Tahun 1994, biaya
perkara meliputi biaya kepaniteraan, biaya pemanggilan para pihak, biaya pemberitahuan, biaya
meterai, dan biaya administrasi.
51
Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung Tentangt Pedoman Pemberian
Bantuan Hukum, SEMA No. 10 Tahun 2010, Pasal 11 Lampiran A.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
26
atau hubungan hukum tertentu yang dijadikan dasar mengajukan gugatan ke
pengadilan. Melalui tahap pembuktianlah hakim akan memperoleh dasar-dasar
untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara. Acara
pembuktian dilakukan baik oleh pihak penggugat maupun tergugat dalam
persidangan untuk membuktikan adanya kejadian-kejadian atau peristiwaperistiwa, juga untuk membuktikan adanya suatu hak.52 Proses pembuktian ini
merupakan suatu susunan kesatuan untuk mencapai suatu tujuan, yaitu
membuktikan kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak, baik itu
peristiwa, kejadian, maupun hak.53 Pembuktian itu sendiri diperlukan dalam suatu
perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan (juridicto contentiosa)
maupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan
(juridicto voluntair).
Pembuktian yang dilakukan hakim dalam mengadili perkara untuk
menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak yang
berperkara. Tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dapat
dibuktikan tetapi adanya suatu hak juga dapat dibuktikan. Segala peristiwa yang
menimbulkan sesuatu hak harus dibuktikan oleh yang menuntut hak tersebut,
sedangkan peristiwa yang menghapuskan hak harus dibuktikan oleh pihak yang
menyangkal hak tersebut.54
Munir Fuady dalam bukunya mengungkapkan sejarah mengenai hukum
pembuktian. Dipaparkan bahwa hukum pembuktian merupakan salah satu bidang
hukum yang cukup tua umurnya. Hal ini karena manusia dan masyarakat
seprimitif apapun dia pada hakikatnya memiliki rasa keadilan dimana rasa
keadilan tersebut akan tersentuh jika ada putusan hakim yang menghukum orang
yang tidak bersalah atau membebaskan orang yang bersalah ataupun
memenangkan orang yang tidak berhak dalam suatu persengketaan. Agar tidak
52
Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata, (Bandung :
Alumni, 2009), hal. 110.
53
Ibid.
54
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung : Alumni,
1992), hal. 9.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
27
sampai diputuskan secara keliru maka dalam suatu proses peradilan diperlukan
pembuktian-pembuktian.55
2.2.1
Pengertian Pembuktian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembuktian adalah “suatu
proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya
terdakwa dalam sidang pengadilan.”56 Berikut ini akan diuraikan definisi
pembuktian menurut beberapa ahli.
Menurut Riduan Syahrani, yang dimaksud dengan pembuktian adalah
“penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang
memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang dikemukakan.” 57
Kemudian menurut Bachtiar Effendi, S.H. dkk menyebutkan bahwa
pengertian pembuktian adalah
“penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara
kepada hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat
kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa,
sehingga hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar
putusannya.”58
Sedangkan menurut pandangan praktisi (para hakim) dalam beberapa
Penataran Hakim menyebutkan bahwa :
a. Pembuktian adalah memperkuat kesimpulan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.59
55
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, cet. 1., (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2006), hal. 9.
56
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 4,
(Jakarta : Balai Pustaka, 2005), hal. 172.
57
Riduan Syahrani (b), Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung : PT Citra Aditya
Bakti, 2004), hal. 83.
58
Bachtiar Effendi, Masdari Tasmin, A. Chodari, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian
Dalam Perkara Perdata, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 50.
59
Penataran Hakim 1976/1977 di Jakarta Jilid II, (Jakarta : Penerbit Direktorat Jenderal
Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, 1978), hal. 122. Dikutip juga oleh
Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 155.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
28
b. Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang
dikemukakan dalam suatu proses sengketa, dengan mempergunakan
alat-alat bukti menurut undang-undang.60
c. Pembuktian adalah semua perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh
para pihak dalam persidangan perkara perdata yang bertujuan untuk
membuat atau memberi keyakinan kepada hakim tentang kebenaran
atas dalil, peristiwa-peristiwa serta fakta-fakta yang diajukan di dalam
proses
perdata
dengan
cara
mempergunakan
alat-alat
bukti
sebagaimana yang ditentukan menurut undang-undang.61
d. Pembuktian adalah memberi suatu kepastian yang layak menurut akal,
apakah perbuatan itu sungguh atau benar terjadi dan apa motif dari
perbuatan tersebut.62
e. Pembuktian berarti meyakinkan hakim dengan mempergunakan alatalat bukti tertentu menurut undang-undang akan kebenaran dalil-dalil
yang diketengahkan dalam suatu persengketaan oleh para pihak dalam
proses pengadilan.63
Selanjutnya
menurut
Prof.
Sudikno
Mertokusumo,
S.H.
dengan
menyebutkan kata “membuktikan” maka ada beberapa pengertian :64
a. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Membuktikan di sini
berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi
setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
60
Penataran Hakim 1979/1980, (Jakarta : Penerbit Direktorat Jenderal Pembinaan Badan
Peradilan Umum Departemen Kehakiman, 1981), hal. 15. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit.,
hal 155.
61
Penataran Hakim 1979/1980, op. cit., hal. 88. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op.
cit., hal. 155.
62
Penataran Hakim 1980/1981, (Jakarta : Penerbit Direktorat Jenderal Pembinaan Badan
Peradilan Umum Departemen Kehakiman, 1982), hal 195. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op.
cit., hal. 155.
63
Penataran Hakim 1982 di Jakarta Ceramah dan Kuliah, (Jakarta : Penerbit Direktorat
Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, 1983), hal. 134. Dikutip
juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 155.
64
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 107-108.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
29
Berdasarkan suatu axioma65, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam
ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat
mutlak. Terhadap pembuktian ini tidak dimungkinkan adanya bukti
lawan, kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Di sini
axioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan
pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga
diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang memberi kepastian yang
bersifat mutlak.
b. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensionil. Di sini pun
membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan
kepastian mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya
yang mempunyai tingkatan-tingkatan :
-
kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan
atas perasaan maka kepastian ini bersifat intuitif dan disebut
conviction intime.
-
Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh
karena itu disebut conviction raisone.
c. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Di dalam
ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan
mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala
kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian
yang konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis
ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang
memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti
yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinannya
bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu
atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti
lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian
65
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut aksioma, yang artinya pernyataan yang
tidak diragukan lagi kebenarannya. Aksioma merupakan pendapat yang dijadikan pedoman dasar
dan merupakan dalil pemula, sehingga kebenarannya tidak perlu dibuktikan lagi. Sedangkan dalil
itu sendiri merupakan suatu kebenaran yang diturunkan dari aksioma, sehingga perlu dibuktikan
terlebih dahulu kebenarannya.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
30
“historis”. Pembuktian yang bersifat historis ini mencoba menetapkan
apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik dalam pembuktian yang
yuridis maupun ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti
mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu
dianggap benar.
Dari beberapa pandangan teoritis dan praktisi hukum sebagaimana tersebut
di atas, Lilik Mulyadi menarik suatu kesimpulan bahwa dalam pengertian
“pembuktian” terkandung elemen-elemen sebagai berikut :66
-
merupakan bagian dari hukum acara perdata;
-
merupakan suatu proses prosesuil untuk meyakinkan hakim terhadap
kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan para pihak berperkara perdata di
sidang pengadilan;
-
merupakan dasar bagi hakim dalam rangka menjatuhkan putusan.
2.2.2
Prinsip-Prinsip Umum Pembuktian
Yang dimaksud prinsip umum pembuktian adalah landasan penerapan
pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang
digariskan prinsip yang dimaksud. Memang di samping itu masih terdapat lagi
prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk setiap jenis alat bukti, sehingga harus
juga dijadikan patokan dalam penerapan sistem pembuktian.
1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil
Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel
negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses
pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran materiil, dimana selain
harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal
pembuktian, juga harus didukung oleh keyakinan hakim. Prinsip inilah yang
disebut beyond reasonable doubt. Sistem pembuktian ini yang dianut Pasal 183
KUHAP.67 Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan
bukti-bukti
66
Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 156-157.
67
Indonesia (a), Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, Pasal
183.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
31
yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai
kebenaran hakiki (materiele waarheid, ultimate truth).68
Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata. Kebenaran yang
dicari dan diwujudkan hakim, cukup kebenaran formil (formeel waarheid)
sehingga tidak dituntut adanya keyakinan hakim. Para pihak yang berperkara
dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun
fakta yang demikian secara teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau
mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.69
Dalam kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat mengakui
dalil penggugat, meskipun itu bohong atau palsu, hakim harus menerima
kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu, tergugat
dianggap
dan
dinyatakan
melepaskan
hak
perdatanya
atas
hal
yang
diperkarakan.70
Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa
prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun para pihak yang berperkara, yaitu
sebagai berikut :
a. Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif
Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai
hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan
peran hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas pada mencari dan
menemukan kebenaran formil, dimana kebenaran itu diwujudkan sesuai
dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama
proses persidangan berlangsung. Sehubungan dengan sikap pasif tersebut,
sekiranya hakim yakin bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah
benar, tetapi penggugat tidak mampu mengajukan bukti tentang kebenaran
yang diyakininya, maka hakim harus menyingkirkan keyakinan itu dengan
menolak kebenaran dalil gugatan karena tidak didukung dengan bukti dalam
persidangan.
68
Subekti (b), Hukum Pembuktian, Cet. Kedelapan, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1987),
69
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 498.
70
Subekti (a), op. cit., hal. 107.
hal. 9.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
32
Makna pasif bukan hanya sekadar menerima dan memeriksa apa-apa
yang diajukan para pihak, tetapi tetap berperan dan berwenang menilai
kebenaran fakta yang diajukan ke persidangan, dengan ketentuan sebagai
berikut :71
1) Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak
mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan. Semuanya itu
menjadi hak dan kewajiban para pihak. Cukup atau tidak alat bukti yang
diajukan terserah sepenuhnya kepada kehendak para pihak. Hakim tidak
dibenarkan membantu pihak manapun untuk melakukan sesuatu, kecuali
sepanjang hal yang ditentukan undang-undang. Misalnya berdasarkan
Pasal 165 RBg/139 HIR, salah satu pihak dapat meminta bantuan kepada
hakim untuk memanggil dan menghadirkan seorang saksi melalui pejabat
yang berwenang agar saksi tersebut menghadap pada hari sidang yang
telah ditentukan, apabila saksi yang bersangkutan relevan akan tetapi
pihak tersebut tidak dapat menghadirkan sendiri saksi tersebut secara
sukarela.
2) Menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di
persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim.
3) Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan
penggugat dalam gugatan.
b. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta
Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci
ditolak atau dikabulkannya gugatan, mesti berdasarkan pembuktian yang
bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat
ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta.
1) Fakta yang dinilai dan dan diperhitungkan, terbatas yang diajukan dalam
persidangan
Selama proses berlangsung, terutama pada saat persidangan memasuki
tahap pembuktian, para pihak diberi kesempatan menyampaikan bahan
atau alat bukti, kemudian bahan atau alat bukti itu diserahkan kepada
71
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 500.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
33
hakim. Bahan atau alat bukti yang dinilai membuktikan kebenaran yang
didalilkan pihak manapun, hanya fakta langsung dengan perkara yang
disengketakan. Kalau bahan atau alat bukti yang disampaikan di
persidangan tidak mampu membenarkan fakta yang berkaitan dengan
perkara yang disengketakan, maka tidak bernilai sebagai alat bukti.72
2) Fakta yang terungkap di luar persidangan
Hanya fakta-fakta yang diajukan di persidangan yang boleh dinilai dan
diperhitungkan menentukan kebenaran dalam mengambil putusan.
Sehubungan dengan itu, fakta yang boleh dinilai dan diperhitungkan hanya
yang disampaikan para pihak kepada hakim dalam persidangan. Hakim
tidak dibenarkan menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang tidak
diajukan pihak yang berperkara. Misalnya, fakta yang ditemukan hakim
dari surat kabar atau majalah adalah fakta yang diperoleh hakim dari
sumber luar, bukan dalam persidangan maka tidak dapat dijadikan fakta
untuk membuktikan kebenaran yang didalilkan oleh salah satu pihak.
Walaupun sedemikian banyak fakta yang diperoleh dari berbagai sumber,
selama fakta tersebut bukan diajukan dan diperoleh dalam persidangan
maka fakta tersebut tidak dapat dinilai dalam mengambil putusan.
Meskipun banyak orang yang memberitahukan dan menunjukkan fakta
kepada hakim tentang kebenaran perkara yang disengketakan, fakta
tersebut harus ditolak dan disingkirkan dalam mencari kebenaran atas
perkara dimaksud. Fakta yang demikian disebut out of court, oleh karena
itu tidak dapat dijadikan dasar mencari dan menemukan kebenaran.73
3) Hanya fakta berdasar kenyataan yang bernilai pembuktian
Selain fakta harus diajukan dan ditemukan dalam proses persidangan,
fakta yang bernilai sebagai pembuktian hanya :
a) Terbatas pada fakta yang konkret dan relevan, yakni jelas dan nyata
membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang berkaitan langsung
dengan perkara yang disengketakan. Artinya, alat bukti yang diajukan
72
Ibid, hal. 500-501.
73
Ibid, hal. 501.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
34
mengandung fakta konkret dan relevan atau bersifat prima facie, yaitu
membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang langsung berkaitan
erat dengan perkara yang sedang diperiksa.
b) Fakta yang abstrak dalam hukum pembuktian, dikategorikan sebagai
hal yang khayal atau semu, oleh karena itu tidak bernilai sebagai alat
bukti untuk membuktikan suatu kebenaran.74
2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu
pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok
perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok
yang didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai,
karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum
yang terjadi antara para pihak. Begitu juga sebaliknya, kalau penggugat
membenarkan dan mengakui dalil bantahan yang diajukan tergugat, berarti sudah
dapat dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan penggugat sama sekali
tidak benar. Apalagi jika didekati dari ajaran pasif, meskipun hakim mengetahui
dan yakin pengakuan itu bohong atau berlawanan dengan kebenaran, hakim harus
menerima pengakuan itu sebagai fakta dan kebenaran. Oleh karena itu, hakim
harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan tersebut materi pokok
perkara dianggap telah selesai secara tuntas.75
Sehubungan dengan itu, agar penerapan pengakuan mengakhiri perkara
tidak keliru, perlu dijelaskan lebih lanjut beberapa patokan sebagai berikut : 76
a. Pengakuan yang Diberikan Tanpa Syarat
Pengakuan yang berbobot mengakhiri perkara, apabila :
1) Pengakuan diberikan secara tegas (expressis verbis)
Pengakuan yang diucapkan atau diutarakan secara tegas baik dengan lisan
atau tulisan di depan persidangan.
74
Ibid, hal. 501-502.
75
Ibid, hal. 505.
76
Ibid, hal. 505-506.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
35
2) Pengakuan yang diberikan murni dan bulat
Syarat yang kedua, pengakuan itu bersifat murni dan bulat serta
menyeluruh terhadap materi pokok perkara, dengan demikian pengakuan
yang diberikan harus tanpa syarat atau tanpa kualifikasi dan langsung
mengenai materi pokok perkara.
b. Tidak Menyangkal dengan Cara Berdiam Diri
Seandainya tergugat tidak mengajukan sangkalan tetapi mengambil sikap
berdiam diri, maka peristiwa itu tidak boleh ditafsirkan menjadi fakta atau
bukti pengakuan tanpa syarat. Oleh karena itu tidak boleh dikonstruksi sebagai
pengakuan murni dan bulat, karena kategori pengakuan yang demikian harus
dinyatakan secara tegas, baru sah dijadikan pengakuan yang murni tanpa
syarat. Sedangkan dalam keadaan diam, tidak pasti dengan jelas apa saja yang
diakui sehingga belum tuntas penyelesaian mengenai pokok perkara.77
c. Menyangkal Tanpa Alasan yang Cukup
Dalam hali ini ada diajukan sangkalan atau bantahan tetapi tidak didukung
dengan dasar alasan (opposition without basic reason) dapat dikonstruksi dan
dianggap sebagai pengakuan yang murni dan bulat tanpa syarat sehingga
membebaskan pihak lawan untuk membuktikan fakta-fakta materi pokok
perkara dengan demikian proses pemeriksaan perkara dapat diakhiri. Akan
tetapi perkembangan praktik memperlihatkan kecenderungan yang lebih
bersifat lentur, yang memberikan hak kepada pihak yang berdiam diri atau
kepada yang mengajukan sangkalan tanpa alasan (opposition without basic
reason) untuk mengubah sikap diam atau sangkalan itu dalam proses
persidangan selanjutnya, dan hal itu merupakan hak sehingga hakim wajib
memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengubah dan
memperbaikinya. Lain halnya pengakuan yang diberikan secara tegas di
persidangan. Pengakuan tersebut langsung bersifat mengikat (binding) kepada
para pihak, oleh karena itu tidak dapat dicabut kembali ( onherroeppelijk ) dan
77
Ibid, hal. 506.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
36
juga tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi sesuai dengan ketentuan Pasal
1926 KUHPerdata.78
3. Fakta-fakta yang Tidak Perlu Dibuktikan
Tidak semua fakta mesti dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada
kejadian atas peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan
sesuai yang didalilkan atau fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa
yang disangkal pihak lawan pada sisi lain.79
a. Hukum Positif Tidak Perlu Dibuktikan
Bertitik tolak dari doktrin ius curia novit, yakni hakim dianggap
mengetahui segala hukum positif. Bahkan bukan hanya hukum positif, tetapi
meliputi semua hukum. Pihak yang berperkara tidak perlu menyebut hukum
mana yang dilanggar dan diterapkan, karena hal itu sudah diketahui hakim.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, maka tuntutan atas doktrin ius
curia novit tidak hanya terbatas pada hukum positif yang berlaku nasional atau
domestik.
Pengetahuan
hakim
harus
menjangkau
konvensi
hukum
internasional.
b. Fakta yang Diketahui Umum Tidak Dibuktikan
Dalam hukum acara perdata tidak diatur secara tegas tetapi telah
diterima secara luas sebagai doktrin hukum pembuktian yang dikenal dengan
terminologi notoir feiten atau fakta notoir. Hukum menganggap berlebihan
membuktikan sesuatu keadaan yang telah diketahui masyarakat umum. Fakta
yang diketahui umum ini mempunyai makna bahwa setiap peristiwa atau
keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan atau
beradab yang mengikuti perkembangan zaman. Mereka dianggap mesti
mengetahui kejadian atau keadaan tersebut tanpa melakukan penelitian atau
pemeriksaan yang seksama dan mendalam, dan hal itu diketahui secara pasti
berdasarkan pengalaman umum dalam kehidupan bermasyarakat, bahwa
kejadian atau keadaan itu memang demikian, untuk dipergunakan sebagai
78
Ibid, hal. 506-507.
79
Subekti (b), op. cit., hal. 11.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
37
dasar hukum membenarkan suatu tindakan kemasyarakatan yang serius dalam
bentuk putusan hakim.80 Akan tetapi, fakta yang diketahui hakim secara
pribadi tidak termasuk fakta yang diketahui umum. Oleh karena itu tidak dapat
berdiri sendiri sebagai alat bukti tetapi harus didukung lagi oleh alat bukti lain
untuk mencapai batas minimal pembuktian.
c. Fakta yang Tidak Dibantah, Tidak Perlu Dibuktikan
Sesuai dengan prinsip pembuktian, yang wajib dibuktikan ialah hal
atau fakta yang disangkal atau dibantah pihak lawan. Bertitik tolak dari prinsip
tersebut, fakta yang tidak disangkal pihak lawan, tidak perlu dibuktikan,
karena secara logis sesuatu fakta yang tidak dibantah dianggap telah terbukti
kebenarannya. Tidak menyangkal atau membantah, dianggap mengakui dalil
dan fakta yang diajukan.
d. Fakta yang Ditemukan Selama Proses Persidangan Tidak Perlu Dibuktikan
Fakta atau peristiwa yang diketahui, dialami, dilihat atau didengar
hakim selama proses pemeriksaan persidangan berlangsung, tidak perlu
dibuktikan. Karena fakta atau peristiwa itu memang demikian adanya
sehingga telah merupakan kebenaran yang tidak perlu lagi dibuktikan sebab
hakim sendiri mengetahui bagaimana yang sebenarnya. Misalnya, tergugat
tidak datang menghadiri sidang yang telah ditentukan, penggugat tidak perlu
membuktikan fakta tersebut sebab hakim sendiri mengetahuinya dan bahkan
hal tersebut telah dicatat pula dalam berita acara. Atau misalnya apabila
penggugat ataupun tergugat menyatakan pengakuan secara tegas di
persidangan, peristiwa itu tidak perlu dibuktikan karena hakim mengetahui
dan mendengar sendiri hal tersebut. Atau ketika tergugat menolak ataupun
tidak mampu menunjukkan surat, dokumen asli maupun fotokopi alat bukti
yang diajukannya, hal ini merupakan fakta yang tidak perlu dibuktikan, karena
hakim sendiri melihat dan mengetahui sendiri hal tersebut melalui
persidangan, bahkan hal tersebut tercatat dalam berita acara sidang.81
4. Bukti Lawan
80
Ibid, hal. 102.
81
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 513.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
38
Di dalam ketentuan Pasal 1918 KUH Perdata pada akhir ayat disebutkan,
memberi hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya
terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan
bukti lawan atau tegenbewijs (counter proof). Bukti lawan selalu diartikan sebagai
bukti yang diajukan tergugat untuk kepentingan pembelaannya terhadap dalil dan
fakta yang diajukan penggugat, berarti merupakan bukti penyangkalan atau bukti
balasan terhadap pembuktian yang diajukan penggugat.82 Adapun tujuan utama
pengajuan bukti lawan yaitu selain untuk membantah dan melumpuhkan
kebenaran pihak lawan, juga bermaksud untuk meruntuhkan penilaian hakim atas
kebenaran pembuktian yang diajukan pihak lawan tersebut.
Terdapat dua prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam penerapan
bukti lawan. Prinsip yang pertama, semua alat bukti dapat disangkal dengan bukti
lawan. Semua alat bukti yang diajukan pihak lain pada prinsipnya dapat dibantah
atau dilumpuhkan dengan bukti lawan. Alat bukti keterangan saksi dapat dibantah
pihak lawan dengan alat bukti yang sama maupun dengan jenis alat bukti lain.
Bahkan akta otentik dapat dibantah dengan bukti lawan. A. Pitlo menyatakan
bahwa bukti lawan dapat dikemukakan juga dalam hal bukti yang diberikan
mempunyai daya pembuktian wajib. Semua bukti dapat disangkal ataupun
dilemahkan. Beliau juga menambahkan bahwa bukti lawan adalah bukti yang
sama mutunya dan sama kadarnya dengan bukti. Alat yang dipakai untuk
memberikan bukti lawan adalah sama dengan alat yang dipakai untuk
memberikan memberikan bukti, dan daya alat-alat itu sama kuatnya.83 Prinsip
yang kedua yaitu bukti tertentu tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.
Dalam hal ini tidak semua alat bukti dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. Hal
itu
tergantung
pada
ketentuan
undang-undang.
Apabila
undang-undang
menentukan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti itu bersifat
menentukan (beslissende bewijs kracht) atau memaksa (dwingende bewijs kracht),
maka alat bukti tersebut tidak dapat dibantah maupun dilumpuhkan dengan bukti
82
Ibid, hal. 514.
83
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa (terj.), (Jakarta : Internusa, 1986), hal. 35.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
39
lawan. Misalnya alat bukti sumpah pemutus (beslissende eed) yang disebut dalam
Pasal 1929 KUH Perdata dan Pasal 155 HIR/182 RBg, dinyatakan sebagai alat
bukti yang mempunyai kekuatan menentukan. Oleh karena itu, terhadapnya tidak
dapat diajukan bukti lawan, dan kekuatannya tidak dapat dilumpuhkan dengan alat
bukti mana pun.84
Satu poin penting yang harus diperhatikan yaitu bahwa pengajuan bukti
lawan haruslah berdasarkan asas proporsional. Artinya, bukti lawan yang diajukan
tidak boleh lebih rendah nilainya dari bukti yang hendak dilumpuhkan.
Sehubungan dengan itu pula, dianggap beralasan menentukan syarat ataupun
kadar bukti lawan yang dapat diajukan untuk melumpuhkan bukti yang diajukan
pihak lawan yaitu : 85
1) mutu dan kadar kekuatan pembuktiannya paling tidak sama dengan bukti yang
dilawan;
2) alat bukti lawan yang diajukan sama jenisnya dengan alat bukti yang dilawan;
3) kesempurnaan dan nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya sama
kuatnya.
Akan tetapi, persyaratan tersebut tidak mutlak sifatnya. Apabila peraturan
perundang-undangan menentukan lain maka syarat tersebut dapat disingkirkan.
2.2.3
Sistem Pembuktian
Secara teoritis, terdapat empat macam sistem pembuktian dalam hukum
acara, yaitu :
1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (positief
wettelijke bewijs theorie)
Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat
bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Singkatnya,
undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang
dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim menggunakannya, kekuatan alat
84
M. Yahya Harahap, op. cit., hal 515.
85
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
40
bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus terbukti atau tidaknya
perkara yang sedang diadili. Hal ini juga berarti bahwa jika suatu perbuatan
sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka
keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.86 Menurut D. Simons, sistem
pembuktian berdasar undang-undang secara positif ini berusaha untuk
menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim. Sistem pembuktian
inilah yang dianut oleh hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia.
2. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (conviction intime)
Sistem pembuktian ini menekankan pada keyakinan hati nurani hakim
itu sendiri tanpa didasarkan pada alat-alat bukti dalam undang-undang.
Menurut Wirjono Prodjodikoro,87 sistem pembuktian demikian pernah dianut
di Indonesia yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem
ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar
keyakinannya, misalnya perasaan pribadi, dukun, ramalan, dan sebagainya.
3. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis
(laconviction raisonnee)
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan suatu perkara berdasarkan
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu.88 Keyakinan ini diperoleh tidak
berdasarkan undang-undang, tetapi berdasarkan ketentuan-ketentuan menurut
pengalaman atau ilmu pengetahuan hakim sendiri.
4. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Negatif (negatief
wettelijke bewijs theorie)
86
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Pertama,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 251.
87
Wirjono Prodjodikoro (b), Hukum Atjara Pidana di Indonesia, (Bandung : Sumur,
1967), hal. 72.
88
Andi Hamzah, op. cit., hal. 253.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
41
Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan putusan terhadap
suatu perkara apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh
undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap
eksistensi alat-alat bukti tersebut.89 Sistem pembuktian ini dianut dalam
hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, dimana untuk menentukan
seorang terdakwa bersalah atau tidak maka setidak-tidaknya didukung dengan
dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP.
2.2.4
Beban Pembuktian
Sudah menjadi suatu kewajiban bagi hakim di dalam memeriksa suatu
perkara yang diajukan kepadanya, harus memperhatikan kepentingan-kepentingan
para pihak yang berperkara. Dalam arti, harus dijaga jangan sampai kepentingan
salah satu pihak yang berperkara itu dirugikan oleh pihak lain dan sebaliknya.
Beban pembuktian itu sendiri menurut Teguh Samudera90 diartikan
sebagai masalah yang dapat menentukan jalannya pemeriksaan perkara dan
mentukan hasil perkara, yang pembuktiannya itu harus dilakukan oleh para pihak
(bukan hakim) dengan jalan mengajukan alat-alat bukti dan hakimlah yang akan
menentukan pihak mana yang harus membuktikan, dan yang kebenarannya itu
dijadikan salah satu dasar untuk mengambil putusan akhir. Dari perumusan Pasal
163 HIR/283 RBg dan Pasal 1865 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang mendalilkan adanya sesuatu hak atau kejadian untuk meneguhkan
haknya itu, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Di dalam
penjelasan pasal tersebut juga diterangkan bahwa yang harus dibuktikan itu
hanyalah perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian yang dipersengketakan oleh
kedua belah pihak yang berperkara, jadi hal-hal yang telah diakui atau yang tidak
disangkal oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan.
89
Ibid., hal. 254.
90
Teguh Samudera, op. cit., hal. 22.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
42
Terhadap teori beban pembuktian yang menyebutkan bahwa barang siapa
yang mendalilkan, maka dia yang wajib untuk membuktikan ini terdapat sebuah
pengecualian dalam hal adanya strict liability. Tanggung jawab mutlak (strict
liability) itu sendiri adalah bentuk khusus dari trot (perbuatan melawan hukum),
yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak
didasarkan kepada kesalahan. tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum
itu. Karenanya, prinsip strict liability ini disebut juga dengan liability without
fault.91 Di Indonesia konsep strict liability (tanggung gugat mutlak, tanggung
jawab resiko) secara implisit dapat di temukan dalam Pasal 1367 dan Pasal 1368
KUH Perdata. Pasal 1367 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab
seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang ada di bawah
pengawasannya. Misalnya seorang pemilik barang tertentu, suatu ketika barang itu
mengakibatkan kerugian bagi orang lain, misalnya meledak dan melukai orang
lain, maka pemiliknya bertanggung jawab atas luka-luka yang ditimbulkan, tanpa
mempersoalkan ada tidaknya kesalahan yang menimbulkan ledakan itu. Konsep
ini juga dianut dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 88 undang-undang ini menyebutkan
bahwa “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab
mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”92
Konsep strict liability ini juga terdapat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang
Perlindungan
Konsumen.
Dalam
Pasal
88
undang-undang
ini
menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam
gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23
merupakan
beban
dan
tanggung
jawab
pelaku
usaha.
Pelaku
usaha
bertanggungjawab membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dalam suatu
91
Nur
Khalimatus
Sa’diyah,
“Prinsip
Pertanggungjawaban
Produsen”,
http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/06/26/prinsip-pertanggungjawaban-produsen/, diakses
pada tanggal 2 Mei 2012.
92
Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No. 32. LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
43
gugatan ganti rugi. Dengan demikian, beban pembuktian yang digunakan dalam
sengketa konsumen di pengadilan adalah beban pembuktian terbalik karena pihak
pelaku usaha (tergugat) harus membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan pada
gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh konsumen (penggugat).
Menurut Sudikno Mertokusumo, terdapat beberapa teori tentang beban
pembuktian yang merupakan pedoman bagi hakim, yaitu : 93
1. Teori Pembuktian yang Bersifat Menguatkan Belaka (bloot affifmatief)
Menurut teori ini, siapa yang mengemukakan sesuatu maka harus
membuktikannya, bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar
hukum dari teori ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal-hal yang
negative tidak mungkin dibuktikan (negative non sunt probando). Peristiwa
negative tidak dapat menjadi dasar dari suatu hak; sekalipun pembuktiannya
memungkinkan, tidaklah penting oleh karena itu tidak dapat dibebankan pada
seseorang. Teori ini sekarang sudah ditinggalkan.
2. Teori Hukum Subyektif
Teori ini berpendapat bahwa suatu proses perdata selalu merupakan
pelaksanaan dari hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum
subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai suatu
hak harus membuktikannya. Dalam hal ini penggugat tidak perlu
membuktikan semuanya, penggugat berkewajiban membuktikan adanya
peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak, sedangkan
tergugat harus membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat)
umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menghalanghalangi dan bersifat membatalkan.
3. Teori Hukum Obyektif
Menurut teori ini, penggugat harus membuktikan kebenaran dan peristiwa
yang diajukannya dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan
pada peristiwa tersebut. Hakim yang tugasnya menerapkan hukum obyektif
pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak, hanya dapat mengabulkan
gugatan apabila unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum obyektif ada. Jadi
atas dasar isi hukum obyektif yang diterapkan, dapat ditentukan pembagian
93
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 135.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
44
beban pembuktian. Teori ini tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang
tidak diatur oleh undang-undang, dan bersifat formalistis.
4. Teori Hukum Publik
Mengatakan bahwa mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan
merupakan kepentingan publik, oleh karena itu hakim harus diberi wewenang
yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu ada kewajiban para
pihak yang sifatnya hukum publik, yaitu untuk membuktikan dengan segala
macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai dengan sanksi pidana.
5. Teori Hukum Acara
Asas kedudukan prosesuil yang sama bagi para pihak di muka hakim (audi et
alteram partem merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori
ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan
kedudukan para pihak, asas ini membawa akibat bahwa kemungkinan untuk
menang bagi para pihak harus sama. Oleh karena itu hakim harus membebani
para pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut.
Dalam hukum acara terdapat tiga buah teori bagi hakim di dalam menilai
alat bukti yang diajukan oleh para pihak, yaitu :
1. Teori pembuktian bebas
Teori ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam
menilai alat bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum atau
setidak-tidaknya
ikatan-ikatan
oleh
ketentuan
hukum
harus
dibatasi
seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh
kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur,
tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun
dan oleh siapapun.94
2. Teori pembuktian negatif
Teori ini menginkannya adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang
bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim
94
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan
Praktisi, (Bandung : CV Mandar Maju, 2005), hal. 23.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
45
dilarang dengan pengecualian (Pasal 169 HIR/306 RBg, Pasal 1905 KUH
Perdata).95
Pasal 169 HIR/306 RBg :
“Keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain,
tidak dapat dipercayai di dalam hukum.”
Pasal 1905 KUH Perdata :
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka
pengadilan tidak boleh dipercaya.”
3. Teori pembuktian positif
Di samping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada
hakim. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (Pasal 165 HIR/285
RBg, Pasal 1870 KUH Perdata).96
Pasal 165 HIR /285 RBg :
“Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan
undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa
untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua
belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak
daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan
juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan
saja; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu
langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta
tersebut.”97
Pasal 1870 KUH Perdata :
“Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli
waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka,
suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.”98
95
Ibid.
96
Ibid.
97
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M.
Karjadi, op. cit., Pasal 165.
98
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1870.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
46
Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hukum
pembuktian itu sendiri terdiri dari :
a. Pembuktian formil, yang mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian
seperti terdapat dalam RBg/HIR.
b. Pembuktian materiil, mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan
alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari bukti itu.
2.3 Tinjauan Umum Mengenai Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata
Alat bukti bermacam-macam bentuk dan jenisnya yang mampu member
keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Alat
bukti mana diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugatan atau dalil
bantahan. Berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan alat bukti itulah
hakim melakukan penilaian,pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, telah disebutkan bahwa
mengenai alat bukti dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR/284
RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata, yaitu alat bukti surat, alat bukti saksi, alat
bukti persangkaan, alat bukti pengakuan, dan terakhir alat bukti sumpah.
2.3.1
Alat Bukti Surat
Alat bukti surat dalam perkara perdata merupakan bukti yang paling utama
atau merupakan alat bukti yang nomor satu jika dibandingkan dengan alat-alat
bukti lain dalam lalu lintas keperdataan. Apabila ditinjau dari visi gradasinya atau
urutannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 164 HIR/284 RBg atau Pasal 1866
KUH Perdata, maka alat bukti surat merupakan alat bukti yang pertama dan
utama. Dikatakan pertama, oleh karena alat bukti surat gradasinya disebut pertama
dibandingkan dengan alat bukti lainnya. Sedangkan dikatakan yang utama, oleh
karena dalam hukum perdata yang dicari adalah kebenaran formal maka alat bukti
surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat prmbuktian
utama.99
Dalam hukum acara perdata alat bukti ini diatur dalam Pasal 138
HIR/164 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Pasal 285-305 RBg, Stb. 1867
Nomor 29, dan Pasal 1867-1894 KUH Perdata.
99
Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 160.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
47
Surat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kertas dan
sebagainya yang bertulis (berbagai-bagai isi, maksudnya); secarik kertas dan
sebagainya sebagai tanda atau keterangan; atau sesuatu yang ditulis, yang tertulis,
atau tulisan.100 Dalam Black’s Law Dictionary, surat diartikan sebagai :
“one of the arbitrary marks or characters constituting the alphabet, and
used in written language as the representatives of sounds or articulations
of the human organs of speech.”101
Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian dari beberapa ahli
mengenai pengertian alat bukti dalam bentuk tertulis yang biasa disebut dengan
surat.
Surat menurut Prof. A. Pitlo adalah
“pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, menerjemahkan suatu isi
pikiran.” 102
Kemudian Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa
“alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian” 103
Dalam hal yang sama I. Rubini dan Chidir Ali menyatakan bahwa
“surat adalah suatu benda (bisa kertas, kayu, daun lontar) yang memuat
tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran
(diwujudkan dalam suatu surat).” 104
Selanjutnya Teguh Samudera berpendapat bahwa
100
Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., hal. 1250.
101
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul Minn: West
Publishing Co., 1997)., hal. 712.
102
A. Pitlo, op. cit., hal. 51.
103
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 100-101.
104
I. Rubini dan Chidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni,
1974), hal. 88.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
48
“surat adalah suatu pernyataan buah pikiran atau isi hati yang diwujudkan
dengan tanda-tanda bacaan dan dimuat dalam sesuatu benda.” 105
Lebih lanjut Riduan Syahrani mengemukakan bahwa
“alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dapat dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.” 106
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
alat bukti tulisan atau surat adalah segala sesuatu yang memjuat tanda-tanda
bacaan yang merupakan buah pikiran atau isi hati dari orang yang membuatnya.
Maka surat yang dijadikan alat pembuktian ditekankan pada adanya tanda-tanda
bacaan yang menyatakan buah pikiran. Jadi, walaupun ada sesuatu benda yang
memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak menyatakan buah pikiran atau isi
hati, maka hal tersebut tidak termasuk sebagai alat bukti tertulis atau surat.
Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan
surat bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik
dan akta di bawah tangan.
2.3.1.1 Akta
Adapun yang dimaksud dengan akta menurut Riduan Syahrani adalah
“suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang
sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.” 107
Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa
“Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwaperistiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang
dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.” 108
105
Teguh Samudera, op. cit., hal. 36.
106
Riduan Syahrani (a), op. cit., hal. 60.
107
Ibid.
108
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 101.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
49
Selanjutnya A. Pitlo juga mengemukakan bahwa
“Akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai
sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa
surat itu dibuat.” 109
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tidak setiap surat itu
merupakan akta. Unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian
akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk
dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan
ditandatangani. Adanya tanda tangan dalam suatu akta adalah perlu untuk
identifikasi yaitu menentukan ciri-ciri atau membedakan akta yang satu dengan
akta yang lainnya. Dan dengan penandatangan itu seseorang dianggap menjamin
tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut. Sedangkan yang
dimaksud dengan penandatanganan itu sendiri ialah membubuhkan suatu tanda
dari tulisan tangan yang merupakan spesialisasi suatu surat atas nama si pembuat.
Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan dan atas
kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau cap jempol dianggap identik dengan
tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh
seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Pengesahan
sidik jari atau cap jempol oleh pihak yang berwenang dikenal dengan
waarmerking.110
Ditinjau dari segi hukum pembuktian, akta mempunyai beberapa fungsi :
a. Berfungsi sebagai Formalitas Kausa
Maksudnya, suatu akta berfungsi sebagai suatu syarat atas keabsahan
suatu tindakan hukum yang dilakukan. Apabila perbuatan atau tindakan
hukum yang dilakukan tidak dengan akta, maka tindakan itu menurut hukum
tidak sah, karena tidak memenuhi formalitas kausa.111 Dalam hal ini dapat
109
A. Pitlo, op. cit., hal. 52.
110
Dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan, dimasukan (didaftarkan) oleh notaris
kedalam buku khusus. Artinya bahwa notaris menyatakan bahwa dokumen/surat tersebut
tercatat/register dalam buku khusus notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen/surat
tersebut sudah ditanda-tangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum di sampaikan kepada
notaris yang bersangkutan. (http://www.bikinpt.com/service/legalisasi-waarmerking-register-danakta-notaris-akta-otentik, diunduh 3 Mei 2012 pukul 08. 28. WIB)
111
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 563-564.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
50
diambil contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal-Pasal 1681, 1682, 1683
KUH Perdata tentang cara menghibahkan; Pasal 1945 KUH Perdata tentang
sumpah di muka hakim, untuk akta otentik sedangkan untuk akta di bawah
tangan seperti dalam Pasal-Pasal 1610 KUH Perdata tentang pemborongan
kerja, 1767 KUH Perdata tentang meminjamkan uang dengan bunga, Pasal
1851 KUH Perdata tentang perdamaian. Jadi akta di sini maksudnya
digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum.
b. Berfungsi sebagai Alat Bukti
Fungsi utama akta adalah sebagai alat bukti. Artinya, tujuan utama
dibuat akta memang diperuntukkan dan dipergunakan sebagai alat bukti.
Dalam masyarakat sekarang, segala aspek kehidupan dituangkan dalam bentuk
akta. Misalnya, dalam perjanjian jula-belu para pihak menuangkannya dalam
bentuk akta dengan maksud sebagai alat bukti tertulis tentang perjanjian
tersebut. Bila timbul sengketa, sejak semula telah tersedia akta untuk
membuktikan kebenaran transaksi.112
c. Fungsi Probationis Causa
Fungsi ini memberi arti bahwa akta merupakan satu-satunya alat bukti
yang dapat dan sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. Jadi, fungsi akta itu
merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa tertentu, tanpa
akta peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi tidak dapat dibuktikan.
Menurut bentuknya maka akta dapat dibagi menjadi dua, yaitu akta otentik
dan akta di bawah tangan.
1. Akta Otentik
Secara teoritis, apa yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau
akta yang sejak semula dengan sengaja dan secara resmi dibuat untuk pembuktian.
Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu
tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari apabila terjadi sengketa.
Dikatakan secara resmi karena tidak dibuat di bawah tangan. Sedangkan secara
112
Ibid, hal. 564-565.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
51
dogmatis (menurut hukum positif), apa yang dimaksud dengan akta otentik
terdapat dalam Pasal 1868 KUH Perdata dan Pasal 165 HIR/285 RBg.
Pasal 1868 KUH Perdata :
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”113
Pasal 165 HIR/285 RBg :
“akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undangundang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk
membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak
dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya,
tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu, dan juga tentang yang
tercanntum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yang
tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung
dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.”114
Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada akta otentik yang
dibuat oleh pegawai atau pejabat umum dan ada yang dibuat di hadapan pegawai
atau pejabat umum yang berkuasa membuatnya. Akta otentik yang dibuat oleh
pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta pejabat (acte ambtelijk),
sedangkan akta otentik yang dibuat di hadapan pegawai/pejabat umum sering
disebut dengan akta partai (acte partij). Pejabat yang berwenang memuat akta
otentik adalah notaris, camat, panitera, pegawai pencatat perkawinan, dan lain
sebagainya. Berita acara pemeriksaan suatu perkara di persidangan pengadilan
yang dibuat panitera, berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang
tergugat yang dibuat oleh juru sita, dan berita acara pelanggaran lalu lintas yang
dibuat oleh polisi, merupakan akta-akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang. Sedangkan akta jual beli tanah di buat di hadapan camat atau
notaris merupakan akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang
berwenang.115 Untuk membuat akta partai (acte partij) pejabat tidak pernah
113
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1868.
114
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh
M. Karjadi, op. cit., Pasal 165.
115
Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 163.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
52
memulai inisiatif, sedangkan untuk membuat akta pejabat (acte ambtelijk) justru
pejabatlah yang bertindak aktif, yaitu dengan inisiatif sendiri membuat akta
tersebut. Oleh karena itu, akta pejabat berisikan tidak lain daripada keterangan
tertulis dari pejabat, sedangkan dalam akta partai berisikan keterangan para pihak
sendiri yang dituangkan (diformulasikan) oleh pejabat ke dalam akta.116
Adapun kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik merupakan
perpaduan dari kekuatan bukti luar, kekuatan pembuktian formil, dan kekuatan
pembuktian materiil sehingga akta otentik tersebut memiliki nilai kekuatan
pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende).117
a) Kekuatan bukti luar
Dalam hal ini berlaku asas acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa
suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap
sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya.118 Suatu akta otentik harus
dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya bahwa akta tersebut bukanlah akta otentik. Selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar,
maksudnya harus diterima kebenarannya sebagai akta otentik. Hal ini berarti
bahwa tanda tangan pejabat dianggap sebagai aslinya, sampai ada pembuktian
sebaliknya. Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang mempersoalkan
otentik tidaknya (authenticity). Beban pembuktian ini terikat pada ketentuan
khusus seperti yang diatur dalam Pasal 138 HIR (Pasal 164 RBg, 148 Rv).119
Sehingga sesuai dengan prinsip kekuatan bukti luar, hakim dan para pihak
yang berperkara wajib menganggap akta otentik itu sebagai akta otentik,
sampai pihak lawan dapat membuktikan bahwa akta yang diajukan bukan akta
otentik karena pihak lawan dapat membuktikan adanya suatu cacat hukum
karena pejabat yang membuatnya tidak berwenang atau tanda tangan pejabat
116
Ibid.
117
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 566.
118
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 153-154.
119
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
53
di dalamnya adalah palsu atau isi yang terdapat di dalamnya telah mengalami
perubahan, baik berupa pengurangan atau penambahan kalimat.120
b) Kekuatan pembuktian formil
Pasal 1871 KUH Perdata menjelaskan bahwa segala keterangan yang tertuang
di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penanda tangan kepada
pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu, segala keterangan yang diberikan
penanda tangan dalam akta otentik dianggap benar sebagai keterangan yang
dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran
yang tercantum di dalamnya bukan hanya terbatas pada keterangan atau
pernyataan
yang
terdapat
di
dalamnya
benar
dari
orang
yang
menandatanganinya, tetapi juga meliputi kebenaran formil yang dicantumkan
pejabat pembuat akta.
c) Kekuatan pembuktian materiil
Mengenai kekuatan pembuktian materiil akta otentik yaitu menyangkut
permasalahan benar atau tidak keterangan yang tercantum di dalamnya.
Dengan kata lain membuktikan antara para pihak bahwa benar peristiwa yang
tersebut dalam akta itu telah terjadi.
2. Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat
antara para pihak yang berkepentingan.121 Mengenai akta di bawah tangan ini
tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam Staatblad 1867 No. 29 untuk Jawa dan
Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286-305 RBg
(lihat juga Pasal 1874-1880 KUH Perdata).122 Termasuk dalam pengertian surat di
bawah tangan menurut Pasal 1 Staatblad 1867 No. 29 (Pasal 1874 KUH Perdata,
Pasal 286 RBg) ialah akta di bawah tangan, surat-surat daftar (register), catatan
mengenai rumah tangga, dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan
seorang pejabat.
120
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 566-567.
121
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 151.
122
Hari Sasangka, op. cit., hal. 56.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
54
Pasal 1874 KUH Perdata menyebutkan :
“sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang
ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat
urusan rumah rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa
perantaraan seorang pegawai umum.”123
Kemudian dalam Pasal 286 ayat (1) RBg dinyatakan :
“dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan
rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak
memakai bantuan seorang pejabat umum.”124
Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan sudah barang tentu tidak
seluas dan setinggi derajat akta otentik. Tidak demikian halnya dengan akta
otentik, menurut M. Yahya Harahap, pada akta di bawah tangan tidak melekat
kekuatan pembuktian lahir, tetapi hanya terbatas pada daya kekuatan pembuktian
formil dan materiil dengan bobot kualitas yang jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kekuatan pembuktian yang dimiliki akta otentik.125 Mengenai hal ini,
Sudikno Mertokusumo126 dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia
mengemukakan bahwa oleh karena tanda tangan pada akta di bawah tangan
kemungkinannya masih dapat dipungkiri, maka akta di bawah tangan itu tidak
mempunyai kekuatan pembuktian lahir. Baru kalau tanda tangan diakui oleh yang
bersangkutan, maka akta di bawah tangan itu mempunyai kekuatan dan menjadi
bukti sempurna.
Sehingga kekuatan pembuktian yang melekat pada akta di bawah tangan,
antara lain meliputi :
a) Kekuatan pembuktian formil
Apabila tanda tangan pada akta di bawah tangan telah diakui, maka berarti
bahwa keterangan atau pernyataan di atas tanda tangan itu adalah keterangan
123
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudubio, op. cit., Pasal 1874.
124
Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura S. 1927 No.27 (RBg),
diterjemahkan oleh Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Cet. Kedua, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2003), Pasal 286.
125
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 591.
126
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 155.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
55
atau pernyataan dari si penanda tangan. Kekuatan pembuktian formil dari akta
di bawah tangan ini sama dengan kekuatan pembuktian formil dari akta
otentik.127
b) Kekuatan pembuktian materiil
Menurut Pasal 1875 KUH Perdata (lihat juga Pasal 288 RBg) maka akta di
bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu digunakan atau
yang
dapat
dianggap
diakui
menurut
undang-undang,
bagi
yang
menandatangani, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari
mereka, merupakan bukti sempurna seperti akta otentik. Jadi isi keterangan di
dalam akta di bawah tangan itu berlaku sebagai benar terhadap siapa yang
membuatnya dan demi keuntungan orang untuk siapa pernyataan itu dibuat.
Suatu akta di bawah tangan hanyalah memberi pembuktian sempurna demi
keuntungan orang kepada siapa si penanda tangan hendak memberi bukti.
Sedangkan terhadap setiap orang lainnya kekuatan pembuktiannya adalah
bebas.128
2.3.1.2 Surat Bukan Akta
Surat bukan akta ialah setiap surat yang tidak sengaja dijadikan bukti
tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun
tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang
bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di
kemudian hari. Baik HIR, RBg, maupun KUH Perdata tidaklah mengatur tentang
kekuatan pembuktian dari surat-surat yang bukan akta. Surat di bawah tangan
yang bukan akta hanya disebut dalam Pasal 1874 KUH Perdata (Staatblad 1867
No. 29). Di dalam Pasal 1881 KUH Perdata (Pasal 294 RBg) dan 1883 KUH
Perdata (Pasal 297 RBg) diatur secara khusus beberapa surat-surat di bawah
tangan yang bukan akta, yaitu buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan
catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang
selamanya
dipegangnya.
127
Ibid, hal. 156.
128
Ibid.
Dikarenakan
tidak
diatur
mengenai
kekuatan
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
56
pembuktiannya, maka surat-surat yang demikian itu hanya dapat dianggap sebagai
petunjuk ke arah pembuktian.129 Sehingga perihal kekuatan pembuktian daripada
surat-surat yang bukan akta tersebut sepenuhnya diserahkan kepada penilaian
hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 1881 ayat (2) KUH Perdata.130
Di samping sebagaimana disebutkan di atas undang-undang masih
menetapkan beberapa surat bukan akta yang mempunyai kekuatan pembuktian
yang lengkap yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1881 KUH Perdata dan
Pasal 1883 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 1881 KUH Perdata disebutkan
bahwa Daftar dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan bukti untuk
keuntungan pembuatnya; daftar dan surat itu merupakan bukti terhadap
pembuatnya :
1. dalam hal surat itu menyebutkan dengan tegas suatu pembayaran yang telah
diterima;
2. bila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat
adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan dalam suatu alas hak untuk
kepentingan orang yang disebutkan dalam perikatan. Dalam segala hal
lainnya, hakim akan memperhatikannya sepanjang hal itu dianggap perlu.131
Sedangkan Pasal 1883 KUH Perdata menyebutkan bahwa selama di tangan
seorang kreditur, catatan-catatan yang dibubuhkan pada suatu tanda alas hak harus
dipercayai, walaupun catatan-catatan itu tidak ditandatangani dan tidak diberi
tanggal, bila apa yang tertulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap
debitur.132 Demikian pula catatan-catatan yang oleh seorang kreditur dibubuhkan
pada salinan suatu tanda alas hak atau suatu tanda pembayaran, asalkan salinan
atau tanda pembayaran ini masih di tangan kreditur. Maka dapat disimpulkan
bahwa walaupun surat-surat yang bukan akta merupakan alat pembuktian yang
bebas nilai kekuatan buktinya, tetapi ada juga surat-surat yang bukan akta yang
129
Teguh Samudera, op. cit., hal. 54., menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
petunjuk ke arah pembuktian adalah surat-surat itu dapat dipakai sebagai alat bukti tambahan
ataupun dapat pula dikesampingkan, dan bahkan sama sekali tidak dapat dipercaya.
130
Ibid.
131
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1881.
132
Ibid, Pasal 1883.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
57
memiliki kekuatan bukti yang lengkap antara lain, surat-surat yang ditetapkan
dalam Pasal 1881 KUH Perdata dan Pasal 1883 KUH Perdata.133
2.3.2
Alat Bukti Saksi
Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut dengan kesaksian.
Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR
sampai dengan Pasal 179 RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306
RBg/169 HIR sampai dengan Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi,
serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902 sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata.
Ada beberapa pendapat mengenai kesaksian :
Menurut A. Pitlo, kesaksian hanya boleh berisikan apa yang dilihat oleh
saksi dengan pancainderanya dan tentang apa yang dapat diketahui sendiri dengan
cara yang demikian.134 Sedangkan menurut S. M. Amin, kesaksian hanya
gambaran dari apa-apa yang telah dilihat, didengar dan dialaminya, keteranganketerangan ini semata-mata bersifat obyektif.135 Kemudian Sudikno Mertokusumo
juga mengemukakan bahwa kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada
hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.136
Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau
kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh
secara berpikir tidaklah merupakan kesaksian. Pembuktian dengan alat bukti saksi
diperbolehkan dalam segala hal ini diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR dan
Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang menentukan lain. Misalnya,
mengenai perjanjian pendirian perseoran firma diantara para persero firma itu
sendiri yang harus dibuktikan dengan akta notaris (Pasal 22 KUHD), mengenai
133
Teguh Samudera, op. cit., hal. 56.
134
Hari Sasangka, op. cit., hal. 60.
135
Ibid.
136
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 159.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
58
perjanjian pertanggungan/asuransi hanya dapat dibuktikan dengan polis (Pasal
258 KUHD).
Keterangan saksi itu haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di
persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak boleh diwakilkan serta
tidak boleh dibuat secara tertulis. Mengenai ketentuan bahwa saksi harus memberi
keterangan secara lisan dan pribadi diatur dalam Pasal 140 ayai (1) HIR/166 ayat
(1) RBg dan Pasal 148 HUR/176 RBg, dimana ditentukan bahwa terhadap saksi
yang telah dipanggil dan terhadap saksi yang telah datang di persidangan enggan
memberi keterangan dapat diberikan sanksi juga. Yang dapat didengar sebagai
saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak yang berperkara (Pasal 139
ayat (1) HIR/165 ayat (1) RBg).
Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak
diajukan pihak-pihak yang berpekara. Namun demikian ada beberapa orang yang
tidak dapat didengar sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai
saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146
HIR, serta Pasal 1910 KUHPerdata. Orang-orang yang tidak dapat didengar
sebagai saksi adalah :
a. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan
lurus dari salah satu pihak;
b. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
c. Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;
d. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat;
Adapun alasan pembentuk undang-undang menentukan mereka tidak dapat
didengar sebagai saksi adalah :
a. Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar
sebagai saksi;
b. Untuk menjamin hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan
retak apabila mereka memberikan kesaksian;
c. Untuk mencegah timbulnya tekanan batin
bagi mereka setelah
memberikan kesaksian;
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
59
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak
sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian pekerjaan. Orang-orang yang dapat
meminta dibebaskan memberikan kesaksian adalah :
a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan salah
satu pihak;
b. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan
perempuan dari suami/istri dari salah satu pihak;
c. Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah
diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal itu
saja yang dipercayakan karena martabat, pekerjaan dan jabatannya itu,
misalnya dokter, advokat dan notaries.
Mengenai kesaksian yang harus diberikan oleh saksi di muka persidangan
adalah tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat, dengar
dan alami sendiri serta alasan atau dasar yang melatar belakangi pengetahuan
tersebut. Dalam hal ini saksi tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan
ataupun memberikan pendapat tentang kesaksiannya karena hal ini bukan
dianggap sebagai kesaksian ( Pasal 308 RBg/171 ayat (2) HIR dan Pasal 1907
KUHPerdata). Kesaksian juga harus dikemukakan dengan lisan dan secara pribadi
apa yang diketahuinya, tidak boleh secara tertulis dan diwakilkan oleh orang lain.
Ketentuan ini di tafsirkan dari Pasal 166 ayat (1) RBg/140 ayat (1) HIR dan Pasal
176 RBg/148 HIR yang menentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil
dengan patut dan tidak datang diberi saksi dan terhadap saksi yang telah datang di
persidangan tetapi enggan memberikan keterangan juga dapat diberi sanksi.137
2.3.3
Alat Bukti Persangkaan
Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR/310 RBg dan Pasal
1915 sampai dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Satu-satunya Pasal dalam HIR
yang mengatur mengenai persangkaan adalah Pasal 173 HIR/310 RBg. Pasal ini
sendiri tidak menguraikan apa yang dimaksud dengan persangkaan, akan tetapi
hanyalah mengemukakan bahwa persangkaan itu boleh diperhatikan sebagai alat
bukti, yaitu bahwa persangkaan saja yang tidak berdasarkan suatu peraturan
137
Teguh Samudera, op. cit., hal. 60.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
60
undang-undang yang tertentu, hanya harus diperhatikan oleh hakim pada waktu
menjatuhkan keputusan, jika persangkaan itu penting, saksama, tertentu, dan satu
sama lain bersetujuan.138 Pasal 1915 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“persangkaan-persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang
atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah
suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.”139
Alat bukti ini dalam Kamus Hukum disebut vermoedem yang berarti dugaan atau
presumptie, berupa kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau oleh hakim
dari suatu hal atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang
belum diketahui.140 Mengenai persangkaan ini, Prof. Subekti memberikan definisi
yang lebih sederhana:
“persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suati peristiwa yang
telah terkenal atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang
tidak terkenal, artinya sebelum terbukti.”141
Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk
mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang
harus dibuktikan. Misalnya, dalam perkara gugatan perceraian yang didasarkan
pada perzinahan sangat sulit sekali untuk mendapatkan saksi yang telah melihat
sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk membuktikan peristiwa perzinahan hakim
harus menggunakan alat bukti persangkaan.
Menurut Sudikno Mertokusumo142, pada hakekatnya yang dimaksudkan
dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung.
Misalnya saja pembuktian daripada ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu di
tempat tertentu dengan membuktikan ketidakhadirannya pada waktu yang sama di
138
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh
M. Karjadi, op. cit., Pasal 173.
139
Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, (Jakarta : Internusa,
1992), hal. 590.
140
Andreae Fockema, Kamus Istilah Hukum Fochema Andreae (terj.), (Bandung : Bina
Cipta, 1983), hal. 626.
141
Subekti (a), op.cit., hal. 95.
142
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 169-170.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
61
tempat lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan.
Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir
sebagai persangkaan.
Jika yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim maka persangkaan
tersebut dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik kesimpulan
tersebut undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.
2.3.3.1 Persangkaan Menurut Undang-Undang
Menurut Pasal 1916 KUH Perdata143, persangkaan-persangkaan menurut
undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus
undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwaperistiwa tertentu. Persangkaan-persangkaan semacam ini menurut Pasal 1916
KUH Perdata antara lain :
1. perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata
demi sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu
ketentuan undang-undang.
2. hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau
pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu.
3. kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim
yang telah memperoleh kekuatan mutlak.
4. kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada
sumpah salah satu pihak.
Persangkaan menurut undang-undang ini dibagi menjadi dua, antara lain
praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang
memungkinkan adanya pembuktian lawan dan praesumptiones juris et de jure,
yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian
lawan.144 Contoh persangkaan menurut undang-undang yang memungkinkan
pembuktian lawan, misalnya : Pasal 159, 633, 658, 662, 1394, dan 1439 KUH
143
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1916.
144
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 171.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
62
Perdata. Menurut Pasal 1921 ayat (1) KUH Perdata,145 persangkaan berdasarkan
undang-undang ini membebaskan orang yang untung karenanya dari segala
pembuktian lebih lanjut. Tentang persangkaan menurut undang-undang yang tidak
memungkinkan pembuktian lawan diatur dalam Pasal 1921 ayat (2) KUH Perdata,
yaitu yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu,
misalnya : Pasal 184, 911, 1681 KUH Perdata.
2.3.3.2 Persangkaan Berdasarkan Keyakinan Hakim
Persangkaan ini diatur dalam Pasal 1922 KUH Perdata. Persangkaan
hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, dengan kata lain
kekuatan pembuktiannya terserah kepada penilaian hakim yang bersangkutan,
kekuatan bukti apa yang akan diberikan kepada persangkaan hakim tertentu itu,
apakah akan dianggap sebagai alat bukti yang berkekuatan sempurna, atau sebagai
bukti permulaan atau akan tidak diberi kekuatan apapun juga.146 Berbeda dengan
persangkaan menurut undang-undang, maka di sini hakim bebas dalam
menemukan persangkaan berdasarkan kenyataan. Setiap peristiwa yang telah
dibuktikan dalam persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan.147
Pengertian persangkaan hakim sesungguhnya amat luas. Segala peristiwa,
keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari pemeriksaan perkara
tersebut, kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk menyusun persangkaan
hakim.148 Pada umumnya apabila hanya ada satu persangkaan saja, maka
persangkaan tersebut tidaklah dianggap cukup untuk menganggap dalil yang
bersangkutan itu terbukti, dengan kata lain persangkaan hakim itu baru merupakan
bukti lengkap apabila saling berhubungan dengan persangkan-persangkaan hakim
yang lain yang terdapat dalam perkara itu.149 Menurut Pitlo150 sebagaimana
145
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1921.
146
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Cet. 8, (Bandung : CV Mandar Maju, 1997), hal. 78.
147
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 173.
148
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op. cit., hal. 78.
149
Tresna, Komentar Atas Reglemen Hukum Acara di Dalam Pemeriksaan di Muka
Pengadilan Negeri atau HIR, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1970), hal. 173.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
63
dikutip juga oleh Sudikno Mertokusumo, pendapat ini sudah tidak lagi dianut,
sehingga satu peristiwa saja sudah dianggap cukup.
Misalnya saja, dalam perkara perdata pemeriksaan setempat dan pendapat
ahli sangat erat kaitannya dengan pembuktian. Secara formil keduanya tidak
termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR/284 RBg.
Namun demikian, keduanya memiliki fungsi yang penting apabila dari hasil
pemeriksaan, hakim atau para pihak berpendapat masih ada hal-hal yang belum
jelas, dan satu-satunya cara yang dianggap mampu menjelaskannya hanya
berdasarkan pemeriksaan setempat atau mendengar pendapat ahli. Dalam praktek,
keduanya diposisikan sebagai pendukung alat bukti yang kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada hakim dan dapat dijadikan bahan-bahan untuk menyusun
persangkaan hakim.
2.3.4
Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) sebagai alat bukti diatur dalam Pasal
174-176 HIR/311-313 RBg dan Pasal 1923-1928 KUH Perdata. Dalam hukum
acara perdata dikenal dua macam pengakuan, yaitu pengakuan yang dilakukan di
depan sidang (di muka hakim) dan pengakuan yang dilakukan di luar persidangan.
Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis)
merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan
dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang
membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan
lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.151 Pengakuan merupakan keterangan
sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan. Dengan
demikian, maka dengan adanya pengakuan maka sengketanya dianggap selesai,
sekalipun pengakuannya itu tidak sesuai dengan kebenaran, dan hakim tidak perlu
meneliti kebenaran pengakuan tersebut.
150
Asser-Anema-Verdam, Vijfde Deel : Van Bewijs, hal 288. Dikutip oleh Pitlo, op. cit.,
hal. 117. Dikutip juga Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 173.
151
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 173.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
64
Mengenai pengakuan di muka hakim di depan persidangan haruslah
diperhatikan ketentuan dalam Pasal 1926 KUH Perdata152 yang menyebutkan
bahwa pengakuan di muka hakim di depan persidangan tidak dapat ditarik
kembali, kecuali kalau terbukti bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu
kesesatan atau kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi. Dengan alasan seolaholah orang yang melakukan pengakuan keliru tentang hal hukumnya, suatu
pengakuan tidak dapat ditarik kembali.
Berbeda dengan pengakuan di muka hakim di persidangan, pengakuan di
luar sidang ialah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu
perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan
yang diberikan lawannya.153 Pengakuan di luar persidangan diatur dalam Pasal
175 HIR/312 RBg, Pasal 1927-1928 KUH Perdata. Menurut Sudikno
Mertokusumo,154 pengakuan di luar sidang ini dapat ditarik kembali.
Kedua macam pengakuan yang telah disebutkan di atas, satu sama lain
berbeda nilai pembuktiannya.155 Pasal 174 HIR156/311 RBg157 dan Pasal 1925
KUH Perdata158 tidak menentukan apa yang disebut pengakuan di muka hakim di
persidangan, akan tetapi hanya menentukan bahwa pengakuan merupakan bukti
sempurna terhadap yang melakukannya, baik secara pribadi maupun diwakilkan
secara khusus. Dalam hal ini pengakuan bukan hanya sekedar merupakan alat
bukti yang sempurna saja, tetapi juga merupakan alat bukti yang bersifat
menentukan, yang tidak memungkinkan pembuktian lawan (Pasal 1916 ayat (2)
152
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1926.
153
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 178.
154
Ibid, hal. 179.
155
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op. cit., hal. 80.
156
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh
M. Karjadi, op. cit., Pasal 174.
157
Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura S. 1927 No.27 (RBg),
diterjemahkan oleh Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 311.
158
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1925.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
65
nomor 4 KUH Perdata). Sebaliknya dalam Pasal 175 HIR159/312 RBg160 diatur
perihal pengakuan yang dilakukan di luar sidang, dimana ditentukan bahwa
diserahkan kepada pertimbangan dan awasan hakim akan menentukan kekuatan
mana akan diberikannya kepada suatu pengakuan dengan lisan yang diperbuat di
luar hukum. Dengan demikian penilaian terhadap kekuatan pembuktian
pengakuan di luar sidang merupakan bukti bebas.
Terhadap alat bukti pengakuan ini berlaku apa yang disebut onsplitsbare
aveu, yang artinya bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan. Pasal 176
HIR/313 RBg menyebutkan bahwa:
“Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas
akan menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan
orang yang mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan maksud
akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti yang
kenyataan dusta.”161
Selanjutnya Pasal 1924 KUH Perdata pada pokoknya juga mengatur ketentuan
yang sama, dijelaskan bahwa :
“Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang
melakukannya. Namun hakim adalah leluasa untuk memisah-misah
pengakuan itu manakala si berutang didalam melakukannya, guna
membebaskan dirinya, telah memajukan peristiwa-peristiwa yang ternyata
palsu.”162
Dari dua ketentuan tersebut jelas bahwa suatu pengakuan harus diterima
bulat. Hakim tidak boleh memisah-misah atau memecah-mecah pengakuan itu dan
menerima sebagian dari pengakuan sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan
menolak sebagian lainnya yang masih perlu dibuktikan lebih lanjut.
159
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh
M. Karjadi, op. cit., Pasal 175.
160
Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura S. 1927 No.27 (RBg),
diterjemahkan oleh Ropaun Rambe, op. cit.,, Pasal 312.
161
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh
M. Karjadi, op. cit., Pasal 176.
162
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1924.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
66
Yurisprudensi dan ilmu pengetahuan membedakan pengakuan menjadi
tiga, yaitu pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi, dan yang terakhir
pengakuan dengan klausula.163 Yang dimaksud dengan kualifikasi bukan sematamata sangkalan, tetapi hendak memberikan kualifikasi terhadap pengakuan.
Demikian juga pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dengan tambahan
yang bersifat membebaskan.164
2.3.4.1 Pengakuan Murni (aveu pur et-simple)
Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai
sepenuhnya dengan posita pihak lawan.165 Penggugat menyatakan suatu peristiwa
pada pihak tergugat, kemudian tergugat mengakui atau membenarkan seluruh
gugatan penggugat tersebut, sehingga dengan pengakuan saja hakim menyatakan
terbukti apa yang dikemukakan oleh penggugat. Pengakuan tersebut mutlak, tidak
ada syarat apapun. Dengan demikian pengakuan tersebut harus dinyatakan
terbukti oleh hukum. Misalnya, penggugat menyatakan bahwa tergugat meminjam
uang sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah), kemudian tergugat
mengakui bahwa ia memang meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp
3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
2.3.4.2 Pengakuan dengan Kualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu
qualifie)
Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.166 Di dalam pengakuan dengan
kualifikasi ini tergugat menambahkan sesuatu pada pokok gugatan, sehingga
sebenarnya tergugat tidak mengakui apa pun melainkan memberikan gambaran
menurut pandangannya sendiri.167 Misalnya, penggugat menyatakan bahwa
163
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 175.
164
Eman Suparman, Alat Bukti Pengakuan Dalam Hukum Acara Perdata, (Bandung :
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, s.l.), hal. 18.
165
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 175.
166
Ibid, hal. 176.
167
Eman Suparman, op. cit., hal. 21.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
67
tergugat telah membeli tanah dari penggugat seharga Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah), kemudian tergugat mengaku bahwa memang telah membeli
tanah dari penggugat, tetapi bukan seharga Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah), melainkan sebesar Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Berdasarkan hal di atas, pengakuan dengan kualifikasi sebenarnya adalah
pengakuan dan sangkalan. Di satu pihak tergugat mengakui sebagian dari gugatan
penggugat, sedangkan di lain pihak tergugat juga menyangkal sebagian lainnya
dari gugatan. Terhadap pengakuan dengan kualifikasi ini, undang-undang
melarang untuk memisah-misahkan pengakuan tersebut. Pengakuan semacam itu
harus diterima secara bulat, dalam arti tidak boleh hanya pengakuan yang diterima
sebagai terbukti sedangkan sangkalannya tidak diterima.168
2.3.4.3 Pengakuan
dengan
Klausula
(geclausuleerde
bekentenis,
aveu
complexe)
Pengakuan dengan klausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Misalnya, penggugat
menyatakan bahwa tergugat telah membeli rumah penggugat seharga Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), tergugat mengaku telah mengadakan
perjanjian jual beli rumah milik penggugat seharga Rp 30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah), tetapi ditambahkan bahwa harga rumah tersebut telah dibayar lunas.
Keterangan-keterangan tambahan atau klausula semacam itu lainnya ialah :
pembayaran, pembebasan, kompensasi, dan sebagainya. Pengakuan ini pada
hakekatnya adalah pengakuan dengan sangkalan. Akan tetapi bedanya adalah
bahwa dalam pengakuan dengan klausula ini terdapat keterangan tambahan yang
sifatnya membebaskan sebagai dasar penolakan gugatan. Seperti halnya
pengakuan dengan kualifikasi, maka pengakuan dengan klausula pun harus
diterima secara bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan
tambahannya (onsplitsbare aveu).
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal terdapat pengakuan tergugat
yang disertai keterangan tambahan, maka masih diperlukan sesuatu keterangan
berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada penggugat.
168
Pembentuk
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
68
undang-undang secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak layak
apabila tergugat yang memberi pengakuan masih harus dibebani dengan
pembuktian. Oleh karena itu ketentuan Pasal 173 HIR merupakan akekecualian
dari Pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan ps. 1865 BW). Dengan demikian terhadap
pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, kewajiban pembuktian dibebankan
kepada penggugat.169 Dalam pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan
dengan klausula ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan
tambahan dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat
dipisah-pisahkan. Dalam hal ini maka pembuktian kebenarannya dibebankan
kepada pihak tergugat.
Dalam hal tergugat mengajukan pengakuan yang tidak boleh dipisahpisahkan maka penggugat dapat memilih :
1. menolak sama sekali pengakuan (onsplitsbare aveu) itu seluruhnya dan
memberi pembuktian sendiri, atau
2. membuktikan bahwa keterangan tambahan pada pengakuan itu tidak benar.
Apabila penggugat berhasil membuktikannya, maka ia dapat meminta kepada
hakim untuk memisahkan pengakuan tergugat dari keterangan tambahan
tergugat yang terbukti tidak benar. Karena pemisahan itu, maka pengakuan
tergugat menjadi pengakuan biasa yang mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna dan mengikat.170
2.3.5
Alat Bukti Sumpah
Alat bukti sumpah ini diatur dalam Pasal 155-158 HIR/182-185 RBg,
Pasal 177 HIR/314 RBg, dan Pasal 1929-1945 KUH Perdata. Undang-undang
tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud sumpah dalam hukum
acara perdata, maka dari itu para ahli hukum memberikan pengertian, antara lain :
169
Ibid, hal. 22.
170
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 178.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
69
1) Menurut A. Pitlo
“sumpah adalah hal menguatkan suatu keterangan dengan berseru kepada
Tuhan.”171
2) Menurut Sudikno Mertokusumo
“sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang
diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan
dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan, dan percaya
bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan
dihukum oleh-Nya.”172
3) Menurut M. H. Tirtaamidjaja
“sumpah adalah suatu keterangan yang diucapkan dengan khidmat, bahwa
jika orang yang mengangkat sumpah itu memberi keterangan yang tidak
benar, ia bersedia dikutuk Tuhan.”173
4) Menurut Krisna Harahap
“sumpah adalah pernyataan untuk memastikan sesuatu, yang disampaikan
atas nama Yang Maha Kuasa.”174
Ada dua macam sumpah menurut Sudikno Mertokusumo175, yaitu sumpah
untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah
promissoir dan sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa
sesuatu itu benar demikian atau tidak, yang disebut sumpah assertoir atau
confimatoir. Termasuk sumpah promissoir adalah sumpah saksi dan sumpah ahli,
karena sebelum memberikan kesaksian atau pendapatnya harus diucapkan
pernyataan atau janji akan memberi keterangan yang benar dan tidak lain daripada
yang sebenarnya, sedangkan sumpah confirmatoir tidak lain adalah sumpah
sebagai alat bukti, karena fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm) suatu
peristiwa.
171
A. Pitlo, op. cit., hal. 172.
172
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 179.
173
Hari Sasangka, op. cit., hal. 113.
174
Krisna Harahap, op. cit., hal. 100.
175
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 179-180.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
70
Dalam pembuktian hukum acara perdata, para pihak yang bersengketa
tidak boleh didengar sebagai saksi. Walaupun para pihak tidak dapat didengar
sebagai saksi, namun dibuka kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari
para pihak dengan diteguhkan dengan sumpah yang dimasukkan dalam golongan
alat bukti. Pasal 177 HIR//314 RBg menyatakan bahwa :
“Kepada seorang, yang dalam satu perkara telah mengangkat sumpah yang
ditangguhkan atau ditolak kepadanya oleh lawannya atau yang disuruh
sumpah oleh hakim tidak dapat diminta bukti yang lain untuk menguatkan
kebenaran yang disumpahkannya itu.”176
Sumpah harus dilakukan di persidangan, kecuali apabila karena alasanalasan yang sah penyumpahan tidak dapat dilangsungkan di persidangan, dan
hanya dapat dilakukan di hadapan lawannya (Pasal 158 HIR/185 RBg, Pasal
1944-1945 KUH Perdata). Sumpah tidak memberi pembuktian selain untuk
keuntungan atau kerugian yang memerintahkan atau yang mengembalikannya
atau ahli warisnya serta mereka yang memperoleh hak dari padanya (Pasal 1937
KUH Perdata).
HIR sendiri menyebutkan ada tiga macam sumpah sebagai alat bukti ,
yaitu sumpah pemutus (decisoir), sumpah pelengkap (suppletoir), dan sumpah
penaksir (aestimator, schattingseed).
2.3.5.1 Sumpah Pemutus (decisoir)
Sumpah pemutus ialah sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh
penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk
menggantungkan putusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah.177
Sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya ini
diatur dalam Pasal 156 HIR/183 RBg dan Pasal 1930 KUH Perdata. Sumpah ini
disebut
juga
dengan
sumpah
yang
menentukan.
Adapun
pihak
yang
memerintahkan atau meminta mengucapkan sumpah disebut deferent, yaitu pihak
176
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh
M. Karjadi, op. cit., Pasal 177.
177
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 750.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
71
yang memerintahkan sumpah pemutus, sedangkan pihak yang diperintahkan
untuk bersumpah disebut delaat atau gedefereerde.
Sumpah pemutus ini dapat dibebankan dan diperintahkan meskipun tidak
ada pembuktian sama sekali, sehingga pembebanan sumpah pemutus ini dapat
dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan di persidangan. Insiatif untuk
membebani sumpah pemutus ini datang dari salah satu pihak (deferent) dan ia
pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya. Dan sumpah pemutus itu dapat
dibebankan kepada siapa saja yang dapat menjadi pihak dalam perkara secara
pribadi atau oleh orang yang diberi kuasa khusus dengan akta otentik (Pasal 157
HIR/184 RBg, Pasal 1945 KUH Perdata).
Makna sumpah pemutus ini menurut Prof. Subekti178 yaitu memiliki daya
kekuatan memutuskan perkara atau mengakhiri perselisihan, sehingga sumpah
pemutus mempunyai sifat dan daya litis decisoir, yang berarti dengan adanya
pengucapan sumpah pemutus maka dengan sendirinya mengakhiri proses
pemeriksaan
perkara
yang
kemudian
diikuti
dengan
pengambilan
dan
menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang diucapkan dan undangundang melekatkan kepada sumpah pemutus tersebut nilai kekuatan pembukytian
sempurna, mengikat, dan menentukan.
Sumpah pemutus harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh
pihak yang diperintahkan untuk bersumpah. Apabila perbuatan tersebut dilakukan
kedua belah pihak, pihak yang diperintahkan bersumpah, tetapi tidak bersedia,
dapat mengembalikan sumpah tersebut kepada lawannya (relaat). Akan tetapi,
bila perbuatan yang dimintakan sumpah bukan merupakan perbuatan yang
dilakukan bersama oleh kedua belah pihak, melainkan hanya dilakukan sendiri
oleh pihak yang dibebani sumpah, maka sumpah tersebut tidak dapat
dikembalikan kepada pihak lawan yang tidak ikut melakukan perbuatan. Pasal 156
HIR/183 RBg dan Pasal 1932 KUHPerdata menyatakan :
“barangsiapa diperintahkan mengangkat sumpah, dan menolak
mengangkatnya atau menolak mengembalikannya, ataupun barangsiapa
memerintahkan sumpah dan setelah kepadanya dikembalikan sumpah itu,
178
Subekti (b), op. cit., hal. 61.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
72
menolak mengangkatnya, harus dikalahkan dalam tuntutan maupun
tangkisannya.”179
Hakim tidak boleh menolak keinginan pihak-pihak yang berperkara untuk
menyelesaikan
perkaranya
dengan
sumpah
pemutus.
Hakim
hanya
mempertimbangkan, apakah hal-hal atau kejadian-kejadian yang akan dilakukan
dengan sumpah tersebut akan membawa pada penyelesaian perkara dan apakah
benar-benar mengenai hal-hal dan kejadian-kejadian yang benar tidaknya memang
dapat dikuatkan oleh sumpah dari pihak yang berperkara. Bila segala sesuatu
untuk melakukan sumpah telah terpenuhi, hakim harus memperkenankan
penyumpahan itu dan harus memberi putusan sesuai dengan bunyi sumpah
tersebut.
Pasal 1936 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“apabila seorang yang telah diperintahkan melakukan sumpah pemutus,
atau seorang yang kepada sumpahnya telah dikembalikan pemutusan
perkaranya, sudah mengangkat sumpahnya, maka tak dapatlah pihak
lawan diterima untuk membuktikan kepalsuan sumpah itu.”180
Pihak yang memerintahkan pihak lawannya untuk bersumpah harus dikalahkan,
tanpa ada kemungkinan untuk mengajukan alat bukti lain. Jika pihak yang
dikalahkan menuduh bahwa sumpah yang diangkat pihak lawannya itu palsu,
maka ia dapat mengajukan pengaduan kepada aparat yang berwenang dan
meminta supaya pihak yang mengangkat sumpah itu dituntut dalam perkara
pidana atas dakwaan bersumpah palsu yang disebut dalam Pasal 242 KUHP.181
2.3.5.2 Sumpah Pelengkap (suppletoir)
Sumpah pelengkap atau sumpah penambah ialah sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk
melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar
179
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1932.
180
Ibid, Pasal 1936.
181
Riduan Syahrani (a), op. cit., hal. 119.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
73
putusannya. Sumpah pelengkap ini diatur dalam Pasal 155 HR/182 RBg dan Pasal
1940 KUH Perdata. Pasal 1940 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“hakim dapat, karena jabatan, memerintahkan sumpah kepada salah satu
pihak yang berperkara, untuk menggantungkan pemutusan perkara pada
penyumpahan itu, atau untuk menetapkan jumlah yang akan
dikabulkan.”182
Jadi sumpah pelengkap atau sumpah penambah diperintahkan oleh hakim untuk
menambah atau melengkapi pembuktian peristiwa yang belum lengkap. Jadi,
sumpah pelengkap hanya dapat diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak
yang berperkara apabila sudah ada permulaan pembuktian, tetapi masih belum
mencukupi dan tidak ada alat bukti lain, misalnya apabila hanya ada seorang saksi
saja.
Sumpah pelengkap ini mempunyai fungsi menyelesaikan perkara, maka
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan adanya
bukti lawan. Pihaj lawan boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu apabila
putusan yang didasarkan atas sumoah pelengkap itu telah mempunyai kekuatan
hukum yang pasti, maka bagi pihak yang dikalahkan terbuka kesempatan
mengajukan request civil setelah putusan pidana yang menyatakan bahwa sumpah
itu palsu.183
Kepada pihak mana yang harus diperintahkan oleh hakim untuk
mengangkay sumpah pelengkap atau penambah sepenuhnhya terserah kepada
kebijaksanaan hakim yang mempunyai inisiatif untuk membebani sumpah,184
atinya hakim bebas dalam memilih siapa dari pihak-pihak yang berperkara yang
akan dibebani sumpah. Dalam hal ini yang harus dipertimbangkan oleh hakim
ialah pihak manakah yang dengan sumpah pelengkap itu sekiranya akan
menjamin kebenaran peristiwa yang menjadi sengketa. Pihak yang diperintahkan
oleh hakim untuk mengangkat sumpah pelengkap tidak boleh mengembalikan
sumpah tersebut kepada pihak lawan (Pasal 1943 KUH Perdata).
182
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1940.
183
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 180.
184
Ibid, hal. 181.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
74
Hakim dapat memerintahkan sumpah penambah tersebut apabila ia
berpendapat bahwa tuntutan atau tangkisan tidak terbukti dengan sempurna
ataupun tuntutan atau tangkisan tersebut juga tidak sama sekali tidak terbukti
(Pasal 182 RBg/155 HIR ayat (1) dan Pasal 1941 KUHPerdata).185 Adapun apa
yang dinyatakan dalam sumpah penambah tidak harus berhubungan dengan
perbuatan yang dilakukan secara pribadi oleh orang yang bersumpah. Dan kepada
pihak lawan diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa sesuatu yang telah
diteguhkan oleh sumpah tersebut adalah tidak benar.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat diambil beberapa perbedaan
yang utama dari sumpah pemutus dengan sumpah penambah, antara lain :186
1. sumpah pemutus dibebankan oleh hakim atas inisiatif para pihak dalam
perkara, sedangkan sumpah pelengkap atau penambah atas inisiatif hakim
sendiri;
2. sumpah pemutus hanya diperbolehkan apabila tidak ada suatu bukti apapun,
sedangkan sumpah penambah harus ada permulaan pembuktian;
3. sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak lain, sedangkan sumpah
penambah tidak dapat dikembalikan atau dialihkan kepada pihak lain;
4. sumpah palsu tidak dapat mempengaruhi akibat dari sumpah pemutus,
sedangkan untuk sumpah penambah dapat dipengaruhi dengan adanya sumpah
palsu;
5. dalam sumpah pemutus yang menjadi obyek sumpah harus mengenai
perbuatan pribadi, sedangkan dalam sumpah penambah yang menjadi obyek
sumpah adalah perbuatan orang lain;
6. sumpah pemutus memberikan bukti yang menentukan, sedangkan sumpah
penambah memberikan bukti sementara, yang dapat dilawan dengan bukti
lain.
185
Hari Sasangka, op. cit., hal. 116.
186
Ibid, hal. 128.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
75
2.3.5.3 Sumpah Penaksir
Sumpah ini diatur dalam Pasal 155 HIR/182 RBg dan Pasal 1940 KUH
Perdata. Sumpah penaksir yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.187
Apabila dalam persidangan penggugat tidak mampu membuktikan berapa jumlah
ganti rugi yang sebenarnya atau berapa nilai harga barang yang dituntutnya,
begitu juga tergugat tidak mampu membuktikan bantahannya berapa ganti rugi
atau harga barang yang sebenarnya, taksiran atas ganti rugi atau harga barang itu
dapat ditentukan melalui pembebanan sumpah penaksir.
Sumpah penaksir ini baru dapat dibebankan oleh hakim kepada penggugat
apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian itu.
Sumpah tersebut dapat dipergunakan oleh hakim bila ia berpendapat bahwa alat
bukti yang telah ada tidak dapat menetapkan besarnya kerugian tersebut.188
Kekuatan pembuktian sumpah penaksir ini sama dengan sumpah penambah yaitu
bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.
187
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 182.
188
Hari Sasangka, op. cit., hal. 120.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
BAB 3
PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMBUKTIAN SIDANG
PERKARA PERDATA DI INDONESIA
3.1.
Tinjauan Mengenai Pemeriksaan Setempat Dalam Hukum Acara
Perdata
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, lima alat bukti yang berlaku
dalam hukum acara perdata baik yang diatur dalam pasal 164 HIR, Pasal 284
RBg, maupun pasal 1866 KUH Perdata bersifat limitatif. Akan tetapi dalam
praktek terdapat pendukung alat bukti yang dapat dipergunakan untuk
memperoleh kepastian mengenai suatu kebenaran peristiwa yang menjadi
sengketa. Hakim Pengadilan Negeri sebagai judex factie harus memeriksa faktafakta dari suatu perkara dengan sebaik-baiknya sehingga ia mengetahui dengan
jelas seluk-beluknya. Dengan demikian, ia akan dapat mempertimbangkan dengan
sebaik-baiknya dan memberikan putusan yang seadil-adilnya menurut peraturan
hukum yang berlaku.
Untuk mengetahui dengan jelas seluk-beluk suatu perkara kadangkala
tidak selalu mudah, apalagi keterangan yang disampaikan pihak-pihak yang
berperkara di persidangan sangat tajam bertentangan satu sama lain. Selain itu
terhadap suatu keadaan kadangkala tidak bisa atau tidak begitu mudah dijelaskan
secara lisan maupun tulisan, bahkan dengan gambar atau sketsa sekalipun,
sedangkan untuk membawa obyek yang ingin dijelaskan tersebut ke depan sidang
pengadilan tidak mungkin, misalnya barang-barang tidak bergerak seperti rumah,
tanah, gedung, dan sebagainya. Dalam keadaan yang demikian maka untuk
mengetahui keadaan-keadaan atau fakta-fakta dari perkara tersebut dengan sebaikbaiknya, perlu dilakukan pemeriksaan setempat. Walaupun secara formil
pemeriksaan setempat tidak termasuk alat bukti, namun demikian pemeriksaan
setempat berfungsi untuk membuktikan kejelasan dan kepastian tentang lokasi,
ukuran, dan batas-batas obyek sengketa.
76
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
77
3.1.1
Pengaturan Tentang Pemeriksaan Setempat Dalam Peraturan
Perundang-undangan
Pemeriksaan setempat dalam HIR hanya diatur dalam satu pasal yang
terdiri dari dua ayat yaitu Pasal 153 HIR. Ketentuan dalam pasal tersebut pada
pokoknya berisi dapat dilakukannya pemeriksaan setempat yang dapat
dipergunakan hakim sebagai keterangan dalam mengambil keputusan, serta
kewajiban bagi panitera untuk membuat berita acara pemeriksaan setempat yang
ditandatangani hakim komisaris dan panitera itu sendiri. Pengaturan dalam HIR
ini sangatlah ringkas dan tidak diatur berbagai hal lainnya yang erat kaitannya
dengan pemeriksaan setempat. Ketentuan Pasal 153 HIR itu sendiri menyebutkan
bahwa :
(1) Jika dipandang perlu atau berfaedah, Ketua boleh mengangkat satu
atau dua komisaris dari dewan itu yang dengan bantuan panitera
pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan
pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim.
(2) Panitera pengadilan hendaklah membuat berita acara tentang pekerjaan
itu dan hasilnya, berita acara itu harus ditandatangani oleh komisaris
dan panitera pengadilan itu.189
Sama halnya dengan HIR, pada RBg pun ketentuan mengenai pemeriksaan
setempat hanya diatur dalam satu pasal yang terdiri dari tiga ayat yaitu Pasal 180
RBg. Substansi yang tedapat dalam ketentuan pasal ini pada pokoknya sama
dengan Pasal 153 HIR, akan tetapi kelebihannya terdapat pada ayat (3) yang
mengatur perihal pendelegasian pemeriksaan setempat. Pasal 180 RBg memuat :
(1) Ketua, jika dipandangnya perlu atau bermanfaat, dapat mengangkat
satu atau dua orang komisaris untuk, dengan dibantu oleh panitera,
mengadakan pemeriksaan di tempat agar mendapat tambahan
keterangan.
(2) Tentang apa yang dilakukan oleh komisaris serta pendapatnya dibuat
berita acara atau pemberitaan oleh panitera dan ditandatangani oleh
komisaris dan panitera itu (IR. 153.)
(3) Jika tempat yang akan diperiksa itu terletak di luar daerah hukum
tempat kedudukan pengadilan itu, maka ketua dapat diminta kepada
189
Engelbrecht, op. cit., hal. 721.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
78
pemerintah setempat supaya melakukan atau menyuruh melakukan
pemeriksaan itu dan mengirimkan dengan selekas-lekasnya berita
acara pemeriksaan itu.190
Di samping kedua peraturan tersebut di atas, pemeriksaan setempat diatur
pula dalam Bab II, Bagian 7 Rv yaitu dalam Pasal 211 sampai dengan Pasal 214
dengan titel Pemeriksaan di Tempat dan Penyaksiannya. Apa yang diatur dalam
Rv ini memiliki ketentuan yang lebih luas dibandingkan dengan yang diatur
dalam HIR dan RBg. Pasal 211 Rv menentukan bahwa :
(1) Jika hakim atas permintaan para pihak atau karena jabatan memandang
perlu, maka dengan surat putusan dapat diperintahkan agar seorang
atau lebih para anggota yang duduk dalam majelis, disertai oleh
panitera, datang di tempat yang harus diperiksa untuk menilai keadaan
setempat dan membuat akta pendapatnya, baik dilakukan sendiri
maupun dengan dibantu oleh ahli-ahli.
(2) Dengan cara dan maksud yang sama dapat diperintahkan dengan suatu
putusan, penyaksian benda-benda bergerak yang tidak dapat atau sukar
untuk diajukan ke depan sidang pengadilan.
(3) Putusan itu menentukan waktu pemeriksaan di tempat atau waktu dan
tempat peninjauan, tenggang waktu, bilamana berita acara seperti
tersebut dalam Pasal 212 harus disediakan di kepaniteraan, dan
menentukan waktu dilakukannya persidangan bagi para pihak untuk
melanjutkan perkaranya.191
3.1.2
Pengertian Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan setempat dikenal dengan istilah gerechtelijke plattsopneming
atau descente. Menurut pandangan doktrin, selain istilah tersebut di atas,
pemeriksaan setempat juga lazim disebut dengan istilah plaatselijke onderzoek
atau local investigation.192 Baik HIR, RBg, maupun Rv tidaklah memberikan
suatu pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat.
190
Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura S. 1927 No.27 (RBg),
diterjemahkan oleh Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 180.
191
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S.
1849 No. 63, diterj. Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Cet. Kedua, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2003), Pasal 211.
192
Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 194.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
79
Maka dari itu, berikut ini akan dijabarkan apa yang dimaksud pemeriksaan
setempat menurut pendapat beberapa ahli.
1) Menurut Sudikno Mertokusumo,
“pemeriksaan setempat atau descente ialah pemeriksaan mengenai perkara
oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat
kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh
gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwaperistiwa yang menjadi sengketa.”193
2) Menurut Subekti,
“pemeriksaan setempat tidaklah lain daripada memindahkan tempat sidang
hakim ke tempat yang dituju itu, sehingga apa yang dilihat oleh hakim
sendiri di tempat tersebut, dapat dianggap sebagai dilihat oleh hakim di
muka sidang pengadilan.”194
3) Menurut Lilik Mulyadi,
“pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan perkara yang dilakukan hakim
di luar persidangan Pengadilan Negeri atau di lokasi pemeriksaan setempat
dilakukan sehingga hakim dapat secara lebih tegas dan terperinci
memperoleh gambaran terhadap peristiwa yang menjadi pokok
sengketa.”195
4) Menurut Abdulkadir Muhammad,
“pemeriksaan di tempat adalah pemeriksaan dengan pergi ke tempat
barang yang menjadi obyek perkara, yang tidak dapat dibawa ke muka
persidangan, misalnya keadaan pekarangan, bangunan, dan lain-lain.”196
5) Menurut Riduan Syahrani,
“pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai fakta-fakta atau
keadaan-keadaan suatu perkara yang dilakukan oleh hakim karena
jabatannya di tempat obyek perkara berada.”197
193
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 187.
194
Subekti, op. cit., hal. 88.
195
Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 194.
196
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Alumni, 1982),
197
Riduan Syahrani, op. cit., hal. 79.
hal. 175.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
80
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemeriksaan setempat pada hakekatnya tidak lain daripada pemeriksaan perkara
dalam persidangan, hanya saja persidangan tersebut berlangsung di luar gedung
dan tempat pengadilan, tetapi masih di dalam wilayah hukum pengadilan yang
bersangkutan di tempat obyek barang perkara terletak untuk melihat keadaan atau
memeriksa secara langsung obyek tersebut. Di dalam praktek, pemeriksaan
setempat biasanya dilakukan berkenaan dengan letak gedung atau batas tanah.
3.1.3
Tujuan Pemeriksaan Setempat
Di dalam praktek, pemeriksaan setempat biasanya dilakukan berkenaan
dengan letak gedung atau batas tanah. Tujuan pemeriksaan setempat itu sendiri
yaitu untuk mengetahui dengan jelas dan pasti mengenai letak, luas, dan batas
obyek barang yang menjadi obyek sengketa, atau untuk mengetahui dengan jelas
dan pasti mengenai kuantitas dan kualitas barang sengketa, jika obyek barang
sengketa merupakan barang yang dapat diukur jumlah dan kualitasnya.198
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2001 tentang
Pemeriksaan Setempat dijelaskan bahwa banyak perkara-perkara perdata yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak dapat dieksekusi (non
executable) dikarenakan obyek perkara atas barang-barang tidak bergerak
(misalnya: sawah, tanah, dan sebagainya) tidak sesuai dengan diktum putusan,
baik mengenai letak, luas, batas-batas, maupun situasi pada saat dieksekusi akan
dilaksanakan. Oleh sebab itu, untuk menghindari terjadinya non executable dalam
menjalankan putusan pengadilan, maka SEMA ini meminta kepada majelis hakim
yang memeriksa perkara perdata dalam hal-hal tersebut mengadakan pemeriksaan
setempat atas obyek perkara dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan atau
keterangan yang lebih rinci atas obyek perkara.199
Apa yang dikemukakan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7
Tahun 2001 tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 3537
198
Mashudy Hermawan, Dasar-dasar Hukum Pembuktian, (Surabaya : UMSurabaya,
2007), hal. 151.
199
Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung Tentang Pemeriksaan Setempat,
SEMA No. 7 Tahun 2001.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
81
K/Pdt/1984.200 Menurut putusan ini, hasil pemeriksaan setempat berfungsi untuk
memperjelas obyek gugatan. Dengan adanya pemeriksaan setempat yang
dibarengi dengan pembuatan sketsa tanah terperkara, maka dengan demikian telah
jelas letak dan luas tanah terperkara secara definitif, sehingga tidak ada lagi
kesulitan untuk melaksanakan eksekusi riil atas putusan yang dijatuhkan.
3.1.4
Tata Cara Pemeriksaan Setempat
Berdasarkan Pasal 153 HIR, 180 RBg, serta Pasal 211 Rv, pemeriksaan
setempat dapat dilakukan oleh hakim karena jabatannya atau atas permintaan para
pihak.
1. Oleh Hakim Karena Jabatannya
Hakim karena jabatannya, secara ex officio dapat menetapkan atau
memerintahkan diadakan pemeriksaan setempat, apabila hal itu dianggapnya
penting untuk mengetahui secara pasti keadaan yang berkenaan dengan obyek
gugatan. Dengan demikian, pemeriksaan setempat ini bukanlah pemeriksaan oleh
hakim secara pribadi, tetapi pemeriksaan oleh hakim karena jabatannya, oleh
karena pemeriksaan yang bersifat pribadi oleh hakim itu tidak boleh dijadikan
bukti.201
Sehubungan dengan hal itu, maka hakim perlu memperhatikan Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat.
Apabila dari hasil proses persidangan, terdapat kesan atau indikasi barang obyek
gugatan masih kabur, maka sangat tepat dan beralasan melaksanakan ketentuan
dalam SEMA untuk melakukan pemeriksaan setempat guna menghindari
kesulitan pelaksanaan eksekusi putusan di kemudian hari.
Mengenai sejauh mana kewenangan hakim dalam menetapkan atau
memerintahkan pemeriksaan setempat, tidak hanya terbatas pada hakim tingkat
pertama (Pengadilan Negeri). Dapat juga oleh hakim tingkat banding dan kasasi.
Jadi, pengertian hakim berdasarkan jabatannya meliputi semua hakim secara
200
Tanggal 3-2-1986, jo. PT Manado No. 205/1983, tanggal 27-7-1983, jo. PN Gorontalo
No. 29/1982, tanggal 23-3-1983.
201
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 187.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
82
instansional.202 Apabila ada ketidakjelasan mengenai obyek sengketa, terlebih lagi
ada perbedaan yang sangat signifikan antara apa yang didalilkan oleh penggugat
maupun yang didalilkan oleh tergugat, maka hakim akan mengambil inistiatif
sendiri untuk melakukan pemeriksaan setempat baik diminta atau pun tidak oleh
para pihak. Mengenai apabila pada pengadilan tingkat pertama tidak
melaksanakan pemeriksaan setempat, kemudian perkara sudah masuk pada tingkat
banding atau kasasi, dan pada pengadilan tingkat banding atau kasasi Majelis
Hakim memandang perlu untuk dilakukan pemeriksaan setempat terhadap obyek
sengketa, maka Majelis Hakim pada tingkat banding atau kasasi dapat
memerintahkan kepada pengadilan negeri untuk membuka kembali persidangan
dalam perkara a quo dan selanjutnya melakukan sidang pemeriksaan setenpat
secara langsung di lokasi obyek sengketa guna melakukan pemeriksaan tambahan
terhadap tanah obyek sengketa baik menyangkut luas, batas-batas, letak tanah
obyek sengketa secara jelas, tegas, dan terperinci. Kemudian nanti selanjutnya
juga diperintahkan kepada pengadilan negeri agar setelah selesai melakukan
pemeriksaan setempat terhadap tanah obyek sengketa yang dimaksud segera
mengirimkan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Setempat kepada pengadilan
tingkat banding atau kasasi untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap
materi pokok perkaranya.203
Pendapat tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 274
K/Sip/1976,204 dalam perkara ini hakim tingkat kasasi memerintahkan Pengadilan
Negeri melakukan pemeriksaan setempat. Dalam amar putusannya dikatakan
bahwa oleh karena judex factie belum memeriksa tanah obyek gugatan, maka
kepada Pengadilan Negeri diperintahkan mengadakan pemeriksaan setempat yang
disertai dengan pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Begitu juga
yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung Np. 436 K/Sip/1974.205 Dalam
202
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 782.
203
Dodik Setyo Wijayanto, 25 Mei 2012, Wawancara Personal.
204
Tanggal 25-4-1979, Rangkuman Yurisprudensi (RY) Mahkamah Agung Indonesia II,
Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata, Proyek Yurisprudensi MA, 1997, hal. 306.
205
Tanggal 30-3-1978, Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
83
perkara ini pun tingkat kasasi juga memerintahkan Pengadilan Negeri untuk
mengadakan pemeriksaan tambahan mengenai batas-batas tanah berperkara.
2. Atas Permintaan Para Pihak
Selain oleh hakim karena jabatannya, pemeriksaan setempat juga dapat
diajukan atas permintaan salah satu pihak maupun kedua belah pihak yang
berperkara. Hak para pihak tentang ini ditegaskan dalam Pasal 211 ayat (1) Rv,
bahwa atas permintaan para pihak dapat diadakan pemeriksaan setempat.
Permintaan itu dapat diajukan oleh salah satu pihak apabila pihak lawan
membantah kebenaran letak, luas, atau batas-batas tanah obyek sengketa.206 Maka
untuk memperoleh kejelasan yang pasti, sangat penting dilakukan pemeriksaan
setempat seperti yang dapat dilihat dalam Putusan MA No. 274 K/Sip/1976
maupun Putusan No. 436K/Sip/1974 dimana hakim pada tingkat kasasi
berpendapat, letak dan ukuran luas atau batas-batas tanah yang menjadi obyek
perkara belum jelas dan pasti, sehingga dianggap sangat beralasan untuk
melakukan pemeriksaan setempat.
Mengenai permintaan dari para pihak ini sedikit banyak timbul pertanyaan
seperti apabila hakim menetapkan atau memerintahkan dilakukannya pemeriksaan
setempat, apakah hal tersebut harus mendapat persetujuan dari para pihak yang
berperkara atau apabila yang meminta diadakannya pemeriksaan setempat oleh
salah satu pihak, apakah diperlukan persetujuan dari pihak yang lain atau tidak.
Dalam hal ini tidaklah diperlukan persetujuan dari para pihak, karena perintah
untuk dilakukannya pemeriksaan setempat merupakan wewenang penuh yang
dimiliki oleh hakim.207 Meskipun demikian terkadang seringkali menimbulkan
dilematik terkait dengan ketentuan dalam Pasal 211 Rv. Pasal ini memuat
ketentuan bahwa apabila hakim yang memerintahkan untuk dilakukannya
pemeriksaan setempat, maka hakim harus menentukan siapa yang akan
menanggung biaya terkait dengan pelaksanaannya. Misalnya apabila hakim
menetapkan bahwa biaya pelaksanaan pemeriksaan setempat dibebankan kepada
206
Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 152.
207
Ibid, hal. 153.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
84
penggugat dan ternyata atas penetapan itu penggugat menolak untuk menanggung
biaya pemeriksaan setempat. Dari sinilah kemudian timbul pertanyaan mengenai
apa akibat yang harus ditanggung penggugat atas penolakan tersebut. Dalam kasus
yang demikian, penolakan tersebut tidak sama dengan persetujuan, tetapi
bermakna pengingkaran dalam melaksanakan kewajiban yang diperintahkan
hukum kepadanya, dalam hal ini Pasal 214 ayat (2) Rv. Kepadanya dapat
ditimpakan akibat hukum, yaitu keingkaran itu merupakan fakta di persidangan
yang dapat dijadikan alasan merugikan kepentingannya.208
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pelaksanaan pemeriksaan
setempat didasarkan pada perintah majelis hakim yang memeriksa perkara.
Perintah itu menurut Pasal 153 HIR dan Pasal 180 RBg secara samar dituangkan
dalam bentuk putusan sela. Namun dalam Pasal 211 Rv, perintah penuangan
dalam putusan sela (interlocutoir vonnis)209 atau tussen vonnis ditentukan secara
tegas, yang antara lain berisi hal-hal berikut :
a. Penunjukan Pelaksana Pemeriksaan Setempat
Dalam putusan sela tersebut, terdapat nama pejabat yang bertindak sebagai
pelaksana yang terdiri dari :
1) Paling tidak salah seorang hakim anggota majelis
Dalam pelaksanaan pemeriksaan setempat setidaknya terdiri dari seorang
hakim anggota majelis yang memeriksa perkara tersebut. Baik HIR maupun
RBg menyebut hakim anggota yang ditunjuk sebagai pelaksana pemeriksaan
setempat dengan sebutan komisaris. Pasal 153 HIR/180 RBg menyebutkan
bahwa untuk melaksanakan pemeriksaan setempat, dapat diangkat satu atau
dua orang komisaris yang terdiri dari hakim anggota majelis yang mengadili
208
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 783.
209
Merupakan salah satu bentuk putusan sela (sementara). Berdasarkan Pasal 185 ayat (1)
HIR atau Pasal 48 Rv, hakim dapat mengambil atau menjatuhkan putusan yang bukan putusan
akhir (eind vonnis), yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan berlangsung. Namun, putusan
tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dengan putusan akhir mengenai
pokok perkara. Putusan interlocutoir itu sendiri adalah suatu putusan dimana hakim sebelum
memberi putusan terakhir, memerintahkan kepada salah satu pihak supaya membuktikan hal
sesuatu dimana putusan interlocutoir ini dapat mempengaruhi akan bunyinya putusan terakhir, atau
putusan yang memerintahkan penyelidikan setempat (Soepomo, op. cit., hal. 93).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
85
perkara. Dalam Pasal 211 Rv juga disebutkan bahwa yang akan bertindak
melakukan pemeriksaan setempat diangkat dari seorang atau dua orang
anggota majelis yang mengadili perkara. Ini merupakan suatu ketentuan yang
tepat karena hakim anggota majelis yang ikut memeriksa perkara secara
realitas dan obyektif lebih tepat diangkat karena mereka sudah mengetahui
dan mendalami kasus yang diperkarakan.210
2) Disertai seorang panitera
Anggota pelaksana pemeriksaan setempat selanjutnya adalah panitera yang
dalam hal ini bertindak untuk mendampingi hakim anggota majelis yang
ditunjuk sebagai pelaksana, di samping itu panitera juga bertugas untuk
membuat berita acara pemeriksaan setempat.
3) Dapat dibantu oleh ahli
Pasal 211 Rv juga mengatur tentang kebolehan mengikutsertakan ahli.
Ketentuan ini tidaklah bersifat mutlak karena yang mutlak ditentukan
hanyalah hakim anggota majelis dan panitera. Menyertakan ahli dalam
pemeriksaan setempat sifatnya insidentil, yaitu tergantung pada kebutuhan dan
keadaan. Apabila dianggap perlu, maka dalam putusan sela dapat dimasukkan
seorang atau beberapa orang ahli sesuai dengan obyek barang yang menjadi
sengkata para pihak. Misalnya jika obyeknya tanah, maka dapat dibantu oleh
ahli dari kantor Badan Pertanahan Nasional.211
Terlepas dari ketentuan pasal-pasal yang dikemukakan, dibolehkan juga
pelaksanaan pemeriksaan setempat dilakukan secara lengkap oleh majelis hakim
dalam perkara yang bersangkutan.212 Pendapat yang demikian dijelaskan dalam
Putusan Mahkamah Agung No. 316 K/Sip/1983.213 Dalam putusan tersebut
dikatakan bahwa pemeriksaan setempat yang dilakukan majelis dan panitera yang
bersangkutan dianggap lebih sempurna dari ketentuan pelaksanaan yang
210
Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 155.
211
Ibid.
212
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 784.
213
Tanggal 6-2-1985, jo. PT Ujung Pandang No. 429/1982, tanggal 27-12-1982, jo. PN
Bulu Kumba No. 6/1982, tanggal 11-5-1982.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
86
digariskan Pasal 180 RBg yang hanya terdiri dari satu atau dua orang hakim
anggota majelis. Menurut putusan ini pelaksanaan yang dilakukan oleh majelis
hakim secara komplet tidaklah dilarang dalam ketentuan Pasal 180 RBg, atas
alasan ketentuan pasal itu tidak bersifat imperatif, melainkan regulatif (aanvullend
recht). Selain itu yang paling penting untuk diperhatikan adalah kesediaan bagi
pihak yang meminta untuk diadakannya pemeriksaan setempat untuk membayar
biaya yang timbul dari pelaksanaan pemeriksaan setempat tersebut.
b. Berisi Perintah Hal yang Harus Diperiksa
Dalam putusan sela yang memerintahkan dilakukannya pemeriksaan
setempat memuat rumusan untuk melakukan pemeriksaan terhadap obyek barang
sengketa di tempat barang tersebut berada. Namun dalam putusan sela sebaiknya
perintah tersebut dideskripsikan secara jelas dan rinci, seperti perintah memeriksa
lokasi, ukuran, dan batas-batasnya, atau jumlah serta kualitasnya. Pokoknya
disebutkan satu per satu hal-hal yang harus diperiksa dan dinilai mengenai
keadaan barang obyek perkara. Karena pada prinsipnya hasil yang ingin dicapai
dari pemeriksaan setempat yaitu agar dapat ditemukan fakta yang terang, pasti,
dan definitif mengenai keadaan barang obyek perkara. Berarti untuk mencapai
hasil yang demikian, dalam putusan sela harus ditegaskan apa saja yang mesti
diperiksa dan dinilai.214
3.1.5
Syarat-syarat Pelaksanaan Pemeriksaan Setempat
Mengenai pelaksanaan pemeriksaan setempat berpedoman pada ketentuan
Pasal 153 HIR, Pasal 180 RBg, dan Pasal 211 Rv. Syarat-syarat dalam
pelaksanaan pemeriksaan setempat antara lain sebagai berikut :
a. Dihadiri para pihak
Pada
prinsipnya,
pemeriksaan
setempat
adalah
sidang
resmi
pengadilan. Hanya saja tempat persidangannya yang berpindah dari ruang
sidang pengadilan ke tempat letaknya barang yang menjadi obyek sengketa.
Oleh karena itu, meskipun tempatnya berpindah secara formil harus lengkap
214
Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 155.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
87
dihadiri para pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Karena secara formil harus
dihadiri oleh para pihak, maka dari itu pelaksanaan sidang pemeriksaan
setempat harus diberitahukan secara resmi kepada para pihak, baik penggugat
maupun tergugat. Apabila pemberitahuan tersebut sudah dilakukan, akan
tetapi kemudian yang bersangkutan tidak hadir tanpa alasan yang sah (default
without reason), maka sidang pemeriksaan setempat dapat dilangsungkan
secara op tegenspraak atau tanpa bantahan dari pihak yang tidak hadir
berdasarkan Pasal 127 HIR.215
Dengan demikian, sebagai syarat formil, sidang pemeriksaan setempat
harus dihadiri para pihak. Namun apabila salah satu pihak tidak hadir tanpa
alasan yang sah, pemeriksaan dapat dilangsungkan tanpa hadirnya pihak
tersebut. Pemeriksaan tidak boleh digantungkan kepada kehadiran para pihak,
terlebih lagi apabila ketidakhadiran itu tanpa alasan yang sah.216
b. Datang ke tempat barang terletak
Suatu hal yang perlu diingat, pemeriksaan setempat bukan hanya
terbatas pada benda tidak bergerak seperti tanah atau kapal. Menurut Pasal
211 ayat (2) Rv, pemeriksaan setempat dapat juga diperintahkan terhadap
benda bergerak (movable goods) dengan syarat apabila barang tersebut sulit
atau tidak mungkin dibawa atau diajukan di sidang pengadilan.
Proses sidang pemeriksaan setempat mesti dilangsungkan di tempat
lokasi barang itu terletak. Pejabat yang diangkat atau ditunjuk datang langsung
ke tempat barang yang hendak diperiksa terletak. Setelah sampai di tempat,
hakim yang memimpin pemeriksaan membuka secara resmi sidang
pemeriksaan setempat. kemudian kepada para pihak diberi hak dan
kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti atau fakta untuk memperkuat
dalil maupun bantahan masing-masing. Dalam hal ini para pihak dibolehkan
mengajukan saksi yang mereka anggap dapat memperkuat dalil gugatan atau
215
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 785.
216
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
88
bantahan.217 Pemeriksaan setempat ini sebenarnya dapat dilakukan melalui
dua cara, yaitu yang pertama sidang dibuka terlebih dahulu di pengadilan, baru
kemudian menuju lokasi obyek sengketa atau yang kedua sidang pemeriksaan
setempat langsung dibuka di lokasi barang terperkara terletak.
Jadi, tidak ada bedanya dengan proses persidangan biasa sebagaimana
layaknya di ruang sidang pengadilan. Segala sesuatu yang berkenaan dengan
tata tertib dan hak serta asas yang semestinya ditegakkan, berlaku sepenuhnya
pada sidang pemeriksaan setempat.
c. Panitera membuat berita acara
Sebagaimana halnya dengan persidangan biasa, sidang pemeriksaan
setempat pun harus dituangkan dalam berita acara yang disebut berita acara
pemeriksaan setempat. Dalam hal ini yang bertugas untuk membuat berita
acara tersebut adalah panitera. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 153 ayat (2)
HIR, Pasal 180 RBg, dan Pasal 212 Rv. Pasal 212 Rv menyebutkan bahwa :
“Panitera membuat berita acara tentang semua hal yang terjadi di
tempat dilakukan pemeriksaan.”218
Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 186 HIR yang menegaskan :
(1) Panitera membuat berita acara dari tiap-tiap satu perkara di dalam
berita acara itu disebut juga selain dari yang terjadi dalam
persidangan, nasehat yang tersebut pada ayat ketiga pasal 7
Reglemen tentang Aturan Hakim dan Mahkamah serta
Kebijaksanaan Kehakiman di Indonesia.
(2) Berita acara ini ditandatangani oleh hakim dan panitera.219
Perlu diingat, bahwa Berita Acara Pemeriksaan Setempat merupakan bagian
dari Berita Acara Persidangan dan Berita Acara Persidangan itu sendiri
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam suatu putusan. Berbeda dengan
217
Ibid.
218
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S.
1849 No. 63, diterj. Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 212.
219
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (H.I.R) diterj. Karjadi, op.
cit., Pasal 186.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
89
pelaksanaan sita jaminan, berita acara dibuat oleh juru sita, sehingga terpisah
dari Berita Acara Persidangan.
d. Membuat akta pendapat
Selain panitera membuat berita acara pemeriksaan setempat, hakim
yang ditugaskan sebagai pelaksana pemeriksaan setempat juga ditugaskan
membuat akta pendapat yang berisi penilaian atas hasil pemeriksaan yang
dilakukan. Dasar hukum ketentuan ini tertuang dalam Pasal 211 Rv. Untuk
membuat akta pendapat yang obyektif dan realistis, hakim pelaksana dapat
meminta bantuan kepada ahli, agar pada saat pemeriksaan dilakukan
didampingi ahli. Dalam hal ini sudah barang tentu akta pendapat harus
konsisten dengan berita acara yang dibuat oleh panitera, karena rujukan akta
itu adalah berita acara pemeriksaan setempat itu sendiri.220
Dalam praktek, akta pendapat ini jarang sekali dibuat oleh Majelis
Hakim yang ditunjuk untuk memimpin pemeriksaan setempat. Hal ini
dikarenakan sudah ada Berita Acara Pemeriksaan Setempat yang telah dibuat
oleh panitera yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau catatan bagi hakim
nantinya.
3.1.6
Pendelegasian Pemeriksaan Setempat
Pasal 180 ayat (3) RBg dan Pasal 213 Rv mengatur tentang pendelegasian
pelaksanaan sidang pemeriksaan setempat kepada Pengadilan Negeri yang lain.
Apabila pemeriksaan setempat harus dilakukan dalam wilayah hukum Pengadilan
Negeri yang lain, disebabkan obyek barang sengketa terletak di wilayah hukum
Pengadilan Negeri dimaksud, maka pemeriksaan dilimpahkan kepadanya. Pasal
213 Rv menyebutkan bahwa :
“Jika pemeriksaan setempat atau penyaksian harus dilakukan dalam
wilayah hukum suatu pengadilan, tetapi di luar tempat kedudukannya,
maka hal itu dapat diserahkan kepada Residentierechter. Dengan suatu
220
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 786.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
90
keputusan ditetapkan hari perkara itu mendapat giliran pemeriksaan
lagi.”221
Pelimpahan itu sesuai dengan prinsip atau patokan yurisdiksi relatif yang
dimiliki setiap Pengadilan Negeri yang hanya terbatas dalam daerah hukumnya.
Jika diperlukan pemeriksaan suatu barang di luar daerah hukum pengadilan yang
memeriksa perkara yang bersangkutan, maka pemeriksaan tersebut harus
dilaksanakan
oleh
pengadilan
negeri
yang
bersangkutan
dengan
jalan
mendelegasikan kepada pengadilan negeri dimana barang tersebut terletak. Sistem
ini merupakan aturan yang bersifat tata tertib beracara yang harus dipenuhi oleh
setiap pengadilan negeri.222 Jadi pengadilan negeri asal mengajukan permohonan
kepada pengadilan negeri dimana obyek sengketa terletak, nantinya pengadilan
negeri setempat yang akan memeriksa ke lokasi. Kemudian pengadilan negeri
setempat akan memberikan berita acara hasil pemeriksaan setempat kepada
pengadilan negeri pengaju.
3.1.7
Biaya Pemeriksaan Setempat
Mengenai biaya atau ongkos pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 214
Rv, dimana terdapat beberapa hal yang penting untuk diketahui, antara lain :
a. Dibebankan kepada pihak yang meminta
Pihak yang meminta dilakukannya pemeriksaan setempat, maka dengan
sendirinya menurut hukum dibebankan kewajiban untuk membayar biaya
pemeriksaan dimana biaya itu dibayar lebih dahulu sebelum pemeriksaan
dilakukan. Pasal 214 ayat (1) Rv menegaskan bahwa :
“Ongkos jalan ditanggung oleh pihak yang menghendaki diadakannya
pengamatan atau penyaksian setempat, dibayar lebih, dan diserahkan
kepada panitera.”223
221
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S.
1849 No. 63, diterj. Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 213.
222
Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 157-158.
223
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S.
1849 No. 63, diterj. Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 214 ayat (1).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
91
Tentang biaya ini sesuai dengan ketentuan pembayaran panjar biaya
perkara yang disebut dalam Pasal 121 ayat (4) HIR yang menegaskan sebelum
gugatan diregister oleh panitera, penggugat harus lebih dahulu membayar panjar
biaya perkara yang ditentukan.224 Secara lengkap Pasal 121 ayat (4) HIR
berbunyi:
“memasukkan ke dalam daftar seperti di dalam ayat pertama, tidak
dilakukan, kalau belum dibayar lebih dahulu kepada panitera sejumlah
uang yang akan diperhitungkan kelak yang banyaknya buat sementara
ditaksir oleh ketua pengadilan negeri menurut keadaan, untuk bea kantor
kepaniteraan dan ongkos melakukan segala panggilan serta pemberitahuan
yang diwajibkan kepada kedua belah pihak dan harga materai yang akan
dipakai.”225
b. Hakim sendiri yang menentukan
Apabila pemeriksaan setempat bukan atas permintaan salah satu pihak,
tetapi atas perintah hakim secara ex officio maka beban pembayaran panjar biaya
ditentukan oleh hakim sendiri. Hakim bebas menentukan kepada siapa dipikulkan
untuk membayar biaya pemeriksaan setempat tersebut, dapat dipikulkan kepada
penggugat maupun kepada tergugat. Pasal 214 ayat (2) Rv menegaskan bahwa :
“Jika hakim yang memerintahkan pengamatan dan penyaksian setempat,
maka ia menentukan pula siapa yang harus membayar lebih dahulu
biayanya.”226
Dikarenakan yang dianggap sebagai pihak yang paling berkepentingan
dalam suatu perkara adalah pihak penggugat, maka pihak penggugatlah urutan
pertama yang layak dibebani biaya pemeriksaan setempat oleh hakim. Namun
dalam hal ini, hakim sedapat mungkin realistis sesuai dengan asas kepatutan.
Tidak patut hakim membebankan biaya pemeriksaan setempat kepada pihak
ekonomi lemah. Misalnya, apabila ternyata tergugat secara nyata berada dalam
224
Ibid., hal. 787.
225
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (H.I.R) diterj. Karjadi, op.
cit., Pasal 121.
226
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S.
1849 No. 63, diterj. Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 214 ayat (2).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
92
posisi ekonomi yang lebih kuat dari penggugat, maka dianggap beralasan untuk
membebankan biaya pemeriksaan setempat tersebut kepada tergugat.227
Namun demikian, apabila pihak yang dibebani enggan atau tidak mau
membayar, maka pelaksanaan pemeriksaan setempat tersebut tidak dilakukan.228
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 160 ayat (2) HIR yang berbunyi :
“Jika kedua pihak enggan memanjarkan biaya itu, dan sia-sia dinasihatkan
oleh ketua untuk itu, maka perbuatan yang diperintahkan, kecuali jika itu
diwajibkan oleh undang-undang, tidak dilakukan, dan pemeriksaan
diteruskan, kalau perlu pada persidangan lain yang ditetapkan oleh ketua ,
dan diberitahukan kepada kedua pihak.”229
c. Komponen biaya pemeriksaan setempat
Komponen pokok biaya pemeriksaan setempat menurut Pasal 214 Rv
adalah ongkos jalan. Komponen inilah yang umum yaitu biaya perjalanan
pelaksanaan yang terdiri dari paling sedikit dua orang, yaitu hakim dan panitera.
Mengenai besarnya ongkos jalan itu sendiri tergantung pada jarak antara kantor
Pengadilan Negeri dengan tempat letaknya barang yang menjadi obyek sengketa.
Dasar perhitungan ialah ongkos transportasi yang dikeluarkan ke tempat tersebut.
Hal ini sejalan dengan sebagaimana ketentuan yang termuat dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 5 Tahun 1994 tentang Biaya Administrasi, dimana dalam
poin 8 disebutkan :
“Bersamaan dengan ini disampaikan bahwa pemeriksaan setempat yang
dilakukan oleh Majelis/Hakim di luar ruang sidang pengadilan adalah
sama sifatnya dengan persidangan yang dilakukan di kantor Pengadilan.
Karenanya untuk melakukan persidangan pemeriksaan setempat, tidak
dibenarkan adanya pembebanan biaya yang sifatnya honor/uang makan
bagi Majelis/Panitera Pengganti, kecuali untuk pengadaan biaya
transportasi dari Kantor Pengadilan ke tempat persidangan pulang
pergi.”230
227
Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 158.
228
Ibid.
229
Engelbrecht, op. cit., Pasal 160 ayat (2).
230
Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung Tentang Biaya Administrasi,
SEMA No. 5 Tahun 1994, poin 8.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
93
Komponen biaya pemeriksaan setempat ini juga meliputi biaya
pemanggilan saksi atau ahli jika memang ada. Bahkan dalam hal tertentu, apabila
pemeriksaan memerlukan pengamanan dari aparat kepolisian, maka perhitungan
panjar biaya juga meliputi ongkos yang diperlukan untuk itu sesuai dengan
kewajaran.231
Berdasarkan Pasal 214 Rv, komponen panjar biaya pemeriksaan setempat
tidak sebanyak yang disebut dalam Pasal 182 HIR. Komponen biaya pemeriksaan
setempat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 214 HIR antara lain meliputi :
1) biaya kantor panitera dan biaya meterai,
2) biaya saksi, ahli, atau juru bahasa,
3) biaya pemeriksaan setempat,
4) biaya pemanggilan,
5) biaya yang disebut dalam Pasal 138 HIR,
6) biaya eksekusi.
3.2.
Pemeriksaan Setempat Sebagai Salah Satu Pendukung Alat Bukti
Dalam Pembuktian Sidang Perkara Perdata
Seiring dengan perkembangan zaman, pernah dipersoalkan apakah di
samping lima macam alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284
RBg, dan Pasal 1866 KUH Perdata terdapat lagi alat-alat bukti lainnya atau tidak.
Menurut R. Soesilo dalam penjelasan Pasal 164 ini, ia berpendapat bahwa apa
yang disebutkan sebagai alat-alat bukti dalam pasal tersebut sebenarnya kurang
lengkap. Menurut HIR sesungguhnya masih ada beberapa macam alat bukti lain
lagi, seperti misalnya hasil pemeriksaan hakim sendiri atau hasil penyelidikan
setempat yang tersebut dalam Pasal 153 HIR, hasil pemeriksaan ahli yang
disebutkan dalam Pasal 155 HIR dan begitu pula hal-hal yang diakui oleh umum,
atau yang diakui kebenarannya oleh kedua belah pihak.232 Hal ini sejalan dengan
apa yang dikemukakan Subekti yang menyatakan bahwa penyebutan alat-alat
bukti dalam Pasal 164 tersebut tidak berarti melarang alat-alat bukti lainnya.
231
Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 159.
232
R. Soesilo, HIR Penjelasan, Pasal 164.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
94
Tidak dilarang misalnya mengajukan bukti-bukti yang berupa tanda-tanda yang
bukan tulisan.233 Pasal 1887 KUH Perdata misalnya menyebutkan :
“Tongkat-tongkat berkelar yang sesuai dengan kembarnya, harus
dipercaya, jika dipergunakan antara orang-orang yang biasa membuktikan
penyerahan-penyerahan barang yang dilakukannya atau diterimanya dalam
jumlah-jumlah kecil, dengan cara yang demikian itu.”234
Menurut Sudikno Mertokusumo,235 meskipun pemeriksaan setempat ini tidak
dimuat di dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBG, dan Pasal 1866 KUH Perdata
sebagai alat bukti, tetapi oleh karena tujuan pemeriksaan setempat ialah agar
hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa, maka
fungsi pemeriksaan setempat pada hakekatnya adalah sebagai alat bukti.
Terlepas dari persoalan apakah pemeriksaan setempat merupakan alat
bukti atau tidak yang tidak ada kesepakatan para ahli, namun pemeriksaan
setempat yang pelaksanaannya seringkali disaksikan oleh masyarakat ramai akan
memberi kesan yang positif bahwa pengadilan benar-benar berusaha melakukan
pemeriksaan perkara seteliti dan seobyektif mungkin untuk memberikan putusan
yang adil dan benar menurut peraturan hukum yang berlaku.236 Oleh sebab itu,
walau secara yuridis formil tidak termasuk sebagai alat bukti, namun hasil
pemeriksaan setempat dapat dijadikan sebagai pendukung alat bukti dalam
persidangan.
3.3.
Kekuatan Pembuktian Pemeriksaan Setempat Dalam Hukum Acara
Perdata
Secara yuridis formil, hasil pemeriksaan setempat bukanlah merupakan
alat bukti, karena sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pemeriksaan
setempat tidak termasuk sebagai alat bukti baik yang disebut dalam Pasal 164
HIR, Pasal 283 RBg, maupun Pasal 1866 KUH Perdata. Namun demikian, hasil
233
Subekti, op. cit., hal. 88.
234
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterj. Subekti dan
Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1887.
235
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 187-188.
236
Riduan Syahrani, op. cit., hal. 80.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
95
pemeriksaan setempat dapat mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan oleh
majelis hakim nantinya.237 Kekuatan pembuktiannya itu sendiri diserahkan kepada
pertimbangan majelis hakim.238
a. Sebagai Keterangan Bagi Hakim
Dalam Pasal 153 ayat (1) HIR, Pasal 180 ayat (1) RBg, dan Pasal 211 Rv
ditegaskan bahwa nilai kekuatan yang melekat pada hasil pemeriksaan setempat
dapat dijadikan keterangan bagi hakim. Dengan demikian, nilai kekuatan yang
melekat padanya hanya sebagai keterangan yang menjelaskan tentang kepastian
definitif atas barang yang disengketakan. Namun kalau sesuatu keterangan yang
jelas dan definitif dijadikan sebagai dasar pertimbangan, berarti keterangan itu
pada dasarnya tiada lain dari pembuktian tentang eksistensi dan keadaan barang
yang bersangkutan. Dan oleh karena keterangan tersebut merupakan hasil yang
diperoleh dalam persidangan pemeriksaan setempat, berarti keterangan itu sama
dengan fakta yang ditemukan dalam persidangan. Sesuai dengan hukum
pembuktian, setiap fakta yang ditemukan dalam persidangan, hakim terikat untuk
menjadikannya sebagai bagian dasar pertimbangan mengambil putusan.239
Sehubungan dengan itu, pada dasarnya hasil pemeriksaan setempat
merupakan fakta yang ditemukan dalam persidangan, sehingga mempunyai daya
kekuatan mengikat kepada hakim dalam mengambil keputusan. Tetapi sifat daya
mengikatnya tidaklah mutlak. Hakim bebas untuk menentukan nilai kekuatan
pembuktiannya.240
b. Variabel Nilai Kekuatannya Dalam Putusan Pengadilan
1) Hasil pemeriksaan setempat dapat dijadikan dasar pertimbangan
Prinsip ini tetap bertitik tolak dari kebebasan hakim untuk menilainya,
karena patokan yang dipergunakan bukan mesti atau wajib dijadikan dasar
237
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 788.
238
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 188.
239
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 788.
240
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
96
pertimbangan, tetapi dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh
hakim. Pendapat itu antara lain dikemukakan dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 1497 K/Sip/1983.241 Menurut putusan ini, hakim atau
pengadilan dapat menetapkan luas tanah terperkara berdasarkan hasil
pemeriksaan setempat.242
2) Dapat dijadikan dasar mengabulkan gugatan
Dalam hal dalil gugatan tentang luasnya tanah dibantah oleh tergugat, dan
kemudian ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan setempat sama luasnya
dengan yang tercantum dalam dalil gugatan, maka dalam kasus yang
seperti ini hasil pemeriksaan setempat yang dimaksud dapat dijadikan
dasar pengabulan gugatan. Hal ini antara lain ditegaskan dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 3197 K/Sip/1983243 yang berpendapat bahwa hasil
pemeriksaan setempat dapat dijadikan dasar dalam pengabulan gugatan,
asal pengabulan tersebut tidak melebihi petitum gugatan. Dengan kata lain,
yang dikabulkan sama denga posita dan petitum gugatan yang ternyata
sama pula dengan hasil pemeriksaan setempat, sehingga tidak melanggar
asas ultra petitum partium sebagaimana dalam ketentuan Pasal 178 ayat
(3) HIR244 yang berbunyi :
“hakim tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang
tidak digugat, atau memberikan dari pada yang digugat.”245
241
Tanggal 20-12-1984, jo. PT Semarang No. 455/1981, Tanggal 29-11-1982, jo. PN
Pemalang No. 36/1980, Tanggal 15-6-1980.
242
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 788-789.
243
Tanggal 9-2-1985, jo. PT Padang No. 166/1980, Tanggal 15-6-1983, jo. PN Paddang
No. 128/1978, Tanggal 3-3-1980.
244
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 789.
245
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (H.I.R) diterj. Karjadi, op.
cit., Pasal 178 ayat (3).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
97
3) Dapat dipergunakan menentukan luas
Daya mengikat hasil pemeriksaan setempat yang lain yaitu bahwa hasil
pemeriksaan setempat dapat dijadikan dasar atau fakta untuk menentukan
luas obyek tanah yang menjadi obyek sengketa. Sifat daya kekuatannya
memang tidak mutlak. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 1777 K/Sip/1983.246 Dalam putusan tersebut dikatakan bahwa
hasil pemeriksaan setempat dapat dijadikan dasar untuk memperjelas letak,
luas, dan batas obyek tanah terperkara. Sehubungan dengan itu, maka
judex factie berwenang untuk menjadikan hasil pemeriksaan setempat
tersebut untuk menentukan luas obyek tanah terperkara.247
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa dalam praktik pemeriksaan setempat
biasanya memang dilakukan berkenaan dengan letak gedung atau batas tanah.
Berikut ini akan dijabarkan sebuah kasus dalam perkara di Pengadilan Negeri
Sidoarjo dengan Putusan No. 59/Pdt.G/1988/PN.Sda antara Achmad Chalimi dkk
sebagai Para Penggugat melawan Abdul Hadi alias Soepadi dkk sebagai Para
Tergugat, yang menyangkut warisan atas tanah tambak di Desa Kedungpeluk,
Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo.
Dalam kasus ini para penggugat mendalilkan bahwa para tergugat
menguasai tanah tambak harta peninggalan Mbok Seken yang semasa hidupnya
mempunyai tanah tambah barang asal dari orang tuanya yang semula bernama
Tambak Sepir, kemudian ditukar kepada pamannya yang bernama Mantri P.
Abdullah dengan Tambak Seloro Letter C No. 335 seluas ± 10,92 hektar. Semasa
perkawinannya dengan suami pertamanya yang bernama P. Sampe yang
kemudian meninggal dunia, Mbok Seken tidak mempunyai anak, tetapi
mempunyai seorang keponakan bernama H. Mariyam. Setelah meninggalnya P.
Sampe, Mbok Seken menikah lagi dengan seorang duda bernama H. Sulaiman
yang semasa perkawinannya terdahulu telah mempunyai beberapa anak, salah
satunya Abdul Hadi alias Soepadi yang menguasai tanah sengketa.
246
Tanggal 17-1-1985, jo. PT Medan No. 161/1981, Tanggal 23-3-1982, jo. PN P.
Sidemouan No. 50/1980, Tanggal 14-10-1980.
247
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 789.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
98
Merasa dikuasai secara sepihak oleh Abdul Hadi alias Soepadi, ahli waris
H. Mariyam yaitu Achmad Chalimi dkk kemudian mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri Sidoarjo. Dalam pemeriksaan di Pengadilan Negeri Sidoarjo,
para penggugat mengajukan saksi sejumlah 12 (dua belas) orang, akan tetapi
antara yang satu dengan yang lainnya memberikan keterangan yang tidak sama
mengenai luas tanah tambak tersebut. Karena tidak ada kejelasan mengenai luas
tanah sengketa, maka majelis hakim yang diketuai oleh Achmad Fatoni kemudian
merasa perlu melaksanakan pemeriksaan setempat.
Dari hasil pemeriksaan setempat tersebut, ternyata penggugat tidak dapat
menjelaskan berapa luas tanah tanah tambaknya karena dalam pemeriksaan
setempat hanya mengikutsertakan aparat keamanan (polisi), tetapi teknisi seperti
juru ukur dan juru gambar dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang
membantu kelancaran pemeriksaan setempat tidaklah dilibatkan, sehingga hasil
pemeriksaan setempat tersebut dapat menjadi keterangan bagi hakim yang
bersangkutan dalam memutus perkara. Padahal Yurisprudensi Mahkamah Agung
No. 274 K/Sip/1976 tertanggal 25 April 1979 dalam perkara Syamsiar melawan
Rosni Syarif, menegaskan bahwa : “Karena judex factie belum memeriksa tanah
milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat, kepada Pengadilan Negeri
diperintahkan untuk mengadakan pemeriksaan setempat disertai pengukuran
tanah tersebut oleh Badan Pertanahan Nasional yang disaksikan oleh hakim yang
bersangkutan dan pihak-pihak.” Dikarenakan penggugat tidak melibatkan juru
ukur dan teknisi dari Badan Pertanahan Nasional, sehingga walaupun telah
dilakukkan pemeriksaan setempat, akan tetapi tetap tidak dapat memberikan
kepastian definitif mengenai obyek sengketa. Oleh karena itu, akhirnya majelis
hakim memutuskan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
BAB 4
ANALISIS KASUS
4.1.
Analisis Kasus Nomor 31/Pdt.G/2006/PN.Jr
4.1.1. Kasus Posisi
Dalam perkara Nomor 31/Pdt.G/2006/PN.Jr ini sengketa berawal dari
diajukannya gugatan oleh Herman Raharja sebagai Penggugat, melawan Erfan
Fadillah dan P. Rusdiam sebagai Para Tergugat pada tanggal 17 April 2006.
Duduk perkara dalam sengketa ini antara lain bahwa penggugat merasa
kepentingannya terganggu dikarenakan para tergugat telah membangun dan
mendirikan rumah dengan merampas atau menyerobot sebagian tanah yang
menjadi hak penggugat. Penggugat sendiri mendalilkan bahwa dirinya memiliki
tanah yang terletak di Kelurahan Jember Kidul, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten
Jember yang terdaftar dalam Sertifikat Hak Milik No. 4999/Kelurahan Jember
Kidul, gambar situasi tanggal 13 Juli 1994 No. 3068/1994 seluas 3.103 m2 dengan
batas-batas sebagai berikut :
-
Utara
: selokan kemudian jalan dan tanah kuburan;
-
Timur
: Joko Slamet dan H. Maryam;
-
Selatan
: Sungai;
-
Barat
: kuburan dan Pak Rusdiam/Irfan Fadillah.
Pada tahun 2005, para tergugat tanpa sepengetahuan dan tanpa seizin
penggugat telah membangun/mendirikan rumah di atas tanah lokasi kuburan yang
diakui sebagai miliknya yang terletak bersebelahan (sebelah barat) dengan tanah
yang menjadi hak penggugat yaitu seluas ± 4,5 m2 (tanah sengketa) dengan bentuk
segitiga dengan batas-batas sebagai berikut :
-
Utara
: selokan kemudian jalan;
-
Timur
: Herman Raharja;
-
Selatan
: kuburan kemudian tanah Herman Raharja;
-
Barat
: Pak Rusdiam/Irfan Fadillah;
99
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
100
sehingga bangunan rumah yang dibangun oleh para tergugat sebagian terdiri di
atas tanah sengketa yang mengakibatkan tanah milik penggugat mengalami
perubahan batas dan luasnya menjadi berkurang.
Berdasarkan dalil-dalil tersebutlah, maka penggugat menyimpulkan bahwa
para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang telah
menimbulkan kerugian materiil yang ditaksir sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) untuk setiap tahunnya sejak Januari 2005 saat para tergugat membangun
rumah di atas sebagian tanah yang diakui milik penggugat sampai dengan
diserahkannya tanah sengketa tersebut kepada penggugat. Dikarenakan para
tergugat sudah merampas sebagian tanah milik penggugat dan mendirikan
bangunan rumah di atas tanah sengketa tanpa didukung alat bukti yang sah, maka
penggugat juga memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara untuk menghukum para tergugat untuk segera membongkar rumah yang
berdiri di atas tanah sengketa tersebut dan menyerahkan tanah sengketa tersebut
kepada penggugat dalam keadaan kosong seperti keadaan semula.
Menanggapi gugatan yang diajukan oleh penggugat, maka kemudian para
tergugat melalui kuasanya mengajukan jawaban yang dalam eksepsi menyatakan
bahwa surat gugatan penggugat yang menyebutkan tanah sengketa adalah ± 4,5
m2 dengan bentuk segitiga adalah sangat keliru sekali karena yang dikuasai oleh
para tergugat adalah seluas 750 m2 yang didasarkan pada petok C. 1109 a.n. P.
Sunaryo Satujo, persil 75, D.I.
Selanjutnya dalam pokok perkara, para tergugat juga mendalilkan bahwa
terbitnya Sertifikat Hak Milik No. 4999 milik penggugat berdasar pada petunjuk
bekas yasan, kutipan petok C No. 3881 persil 68 Klas S seluas 2.110 m2, namun
yang terjadi pada gambar situasi tanggal 13 Juli 1994 No. 3068/1994 luasnya
menjadi 3.103 m2, sehingga mempunyai selisih yang sangat signifikan sekali yaitu
seluas 993 m2. Hal ini tidak disadari oleh penggugat bahwa selisih tanah seluas
993 m2 adalah tanah milik P. Sunaryo Satujuo (alm) petok C. 1109 a.n. P.
Sunaryo Satujo, persil 75, D.I., dengan luas 750 m2, yang makamnya ada di
sebelah tanah sengketa tersebut yang tidak lain adalah kakek Rusdiam atau buyut
Erfan Fadillah selaku para tergugat. Dalam hal ini penggugat telah keliru
mendalilkan bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
101
dengan merampas tanah milik penggugat dan mendirikan rumah di atas sebagian
tanah milik penggugat. Para tergugat memang membangun rumah pada tahun
2005, namun rumah tersebut didirikan di atas tanah milik P. Sunaryo Satujo (alm)
yang merupakan orang tua dari tergugat, bukan di atas sebagian tanah milik
penggugat karena tanah milik penggugat ada di belakang atau di sebelah selatan
tanah milik para tergugat. Sehingga jelas para tergugat sangat keberatan apabila
harus membongkar rumah yang dibangun di atas tanah yang menjadi hak para
tergugat sendiri, bahkan menurut para tergugat sertifikat hak milik termasuk
gambar situasi tanah tanggal 13 Juli 1994 No. 3068/1994 milik penggugat sangat
membawa kerugian bagi para tergugat.
Selanjutnya dalam rekonpensi, para tergugat konpensi menyatakan bahwa
P. Sunaryo Satujo (alm) pada tahun 1962 meninggal dunia dan meninggalkan
beberapa ahli waris, dimana Tergugat II konpensi adalah salah satunya. P.
Sunaryp Satujo (alm) dalam hal ini meninggalkan harta peninggalan atau warisan
berupa tanah pekarangan dengan identitas petok C. 1109 a.n. P. Sunaryo SSatujo,
persil 75, D.I. dengan luas 750 m2 (tanah sengketa) dengan batas-batas sebagai
berikut :
-
Utara
: Jalan Sentot Prawirodirjo;
-
Timur
: Tanah milik Mulyono Tejo;
-
Selatan
: Tanah Herman Raharja;
-
Barat
: Tanah makam Kel. P. Sunaryo dan Erfan.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka para tergugat memohon kepada Majelis
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara menyatakan bahwa Sertifikat Hak
Milik No. 4999/Kelurahan Jember Kidul dan gambar situasi tanggal 13 Juli 1994
seluas 3.103 m2 tidak sah dan mengandung cacat hukum karena kelebihan luas
tanah mengingat Sertifikat Hak Milik No. 4999 tersebut berasal dari petunjuk
kutipan petok C No. 3881, persil 68, Klas S.II, dengan luas seharusnya ± 2.110
m2 .
Dikarenakan adanya perbedaan tentang tanah yang menjadi obyek
sengketa baik perbedaan luas maupun batas-batasnya antara penggugat dengan
para tergugat, maka sebelum penggugat mengajukan saksi-saksi, majelis hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara ini melakukan sidang pemeriksaan
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
102
setempat (descente) dengan datang langsung ke lokasi obyek sengketa pada
tanggal 23 Juni 2006.
Setelah dilakukan pemeriksaan setempat, ada pihak ketiga yang
mengajukan gugatan intervensi karena juga merasa memiliki tanah sengketa
tersebut, yaitu M. Slamet sebagai Penggugat Intervensi I, Rudi sebagai Penggugat
Intervensi II, Rudjamah sebagai Penggugat Intervensi III, Sulastri sebagai
Penggugat Intervensi IV, dan M. Taufik sebagai Penggugat Intervensi V yang
semuanya mengaku sebagai ahli waris dari P. Sunaryo Satujo yang berhak
mewarisi tanah sengketa tersebut. Pada pokoknya gugatan intervensi yang
diajukan oleh para penggugat intervensi serupa dengan jawaban yang diajukan
oleh para tergugat dalam konpensi bahwa Sertifikat Hak Milik No. 4999
Kelurahan Jember Kidul, gambar situasi tanggal 13 Juli 1994 No. 3068/1994
seluas 3.103 m2 adalah berasal dari kutipan petok C. 3881 persil 68, Klas S.II
dengan luas 2.110 m2 sebagaimana yang tertera di buku Desa Kelurahan Jember
Kidul pada tanggal 11 September 1975 tetapi pada kenyataannya gambar situasi
menjadi seluas 3.103 m2, sehingga kelebihan seluas 993 m2 dimana 750 m2 dari
kelebihan luas tersebut adalah tanah milik para penggugat intervensi yang
dikuatkan
dengan
Surat
Keterangan
dari
Lurah
Jember
Kidul
No.
590/147/535.04/2006.
4.1.2. Analisis Kasus
Dalam kasus ini, sidang pemeriksaan setempat dikehendaki oleh kedua
belah pihak, baik penggugat maupun tergugat. Apabila memperhatikan ketentuan
Pasal 211 ayat (1) Rv, maka hakim harus mengabulkan permohonan tersebut
diikarenakan adanya perbedaan mengenai luas dan batas-batas tanah yang menjadi
obyek sengketa antara dalil yang dikemukakan oleh penggugat dengan dalil yang
dikemukakan oleh para tergugat. Majelis hakim sendiri dalam pertimbangannya
menyatakan bahwa untuk kepentingan pembuktian, maka pada tanggal 23 Juni
2006 majelis hakim mengadakan pemeriksaan setempat di lokasi tanah sengketa
yang ternyata di samping tanah sengketa diakui sebagai milik penggugat, juga
diakui sebagai milik para tergugat. Pertimbangan majelis hakim ini telah sejalan
dengan ketentuan yang dikemukakan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
103
7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat yang memuat ketentuan bahwa
ketua/majelis hakim yang memeriksa perkara untuk mengadakan pemeriksaan
setempat guna mendapat penjelasan atau keterangan yang lebih rinci atas obyek
perkara untuk menghindari putusan non executable nantinya karena obyek perkara
tidak sesuai dengan diktum yang termuat dalam putusan, baik mengenai letak,
luas, batas-batas, maupun situasi pada saat eksekusi akan dilaksanakan. Terlebih
lagi dalam kasus ini pemeriksaan setempat tersebut dikehendaki oleh kedua belah
pihak yang berperkara, maka pertimbangan hakim untuk menyelenggarakan
pemeriksaan setempat guna kepentingan pembuktian sangatlah tepat.
a. Pelaksanaan Pemeriksaan Setempat
-
Pemeriksaan setempat dihadiri para pihak
Pemeriksaan setempat dalam perkara ini dilaksanakan dua kali.
Pada pemeriksaan setempat yang pertama dilaksanakan pada tanggal 23
Juni 2006, dimana dalam pemeriksaan setempat ini pihak penggugat dan
pihak tergugat sama-sama hadir untuk memeriksa tanah yang menjadi
obyek sengketa. Pemeriksaan setempat yang pertama ini diadakan oleh
majelis hakim sebelum memasuki tahap pengajuan saksi-saksi dari
masing-masing pihak yang berperkara. Pada saat dilakukan pemeriksaan
setempat ini ternyata tanah sengketa juga diakui sebagai milik pihak lain
atau pihak ketiga yang akhirnya masuk dalam perkara ini sebagai para
penggugat intervensi.
Pemeriksaan setempat yang kedua dilakukan oleh majelis hakim
setelah pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang diajukan oleh masingmasing pihak. Pada pemeriksaan setempat yang kedua ini dihadiri oleh
baik penggugat, para tergugat, dan para penggugat intervensi.
-
Datang ke tempat barang terletak
Dalam putusan disebutkan bahwa pemeriksaan setempat dilakukan
dengan mendatangi lokasi tanah yang menjadi obyek sengketa antara para
pihak yang terletak di Jalan Sentotprawirodirjo, Kelurahan Jember Kidul,
Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
104
-
Panitera membuat berita acara
Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 153 ayat (2) HIR,
Pasal 180 RBg, dan Pasal 212 Rv bahwa panitera diwajibkan untuk
membuat berita acara yang memuat hasil dari pemeriksaan setempat
tersebut. Dalam pertimbangan majelis hakim dalam putusan halaman 24
alinea ketiga telah disebutkan bahwa pemeriksaan setempat atas tanah
obyek sengketa yang hasil dari pemeriksaan setempat tersebut menunjuk
kepada Berita Acara Persidangan yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan ini.
b. Hasil Pemeriksaan Setempat
Seperti yang telah dikemukakan dalam kasus posisi, penggugat
mendalilkan bahwa yang menjadi tanah sengketa adalah seluas ± 4,5 m2 dengan
bentuk segitiga dengan batas-batas sebagai berikut :
-
Utara
: selokan kemudian jalan;
-
Timur
: Herman Raharja;
-
Selatan
: kuburan kemudian tanah Herman Raharja;
-
Barat
: Pak Rusdiam/Irfan Fadillah;
sedangkan menurut dalil yang diajukan oleh tergugat dalam jawabannya
disebutkan bahwa yang menjadi tanah sengketa adalah seluas 750 m2 dengan
batas-batas sebagai berikut :
-
Utara
: Jalan Sentot Prawirodirjo;
-
Timur
: Tanah milik Mulyono Tejo;
-
Selatan
: Tanah Herman Raharja;
-
Barat
: Tanah makam Kel. P. Sunaryo dan Erfan.
Setelah dilakukan pemeriksaan setempat, ditemukan suatu fakta bahwa
tanah peninggalan atau warisan dari P. Sunaryo Satujo (alm) adalah tanah petok
C. 1109, persil 75, D.I., seluas ± 750 m2 yang pada saat dilakukan pemeriksaan
setempat, tanah tersebut dikuasai oleh para tergugat yang sebelah barat berbatasan
langsung dengan makam keluarga P. Sunaryo Satujo dimana tanah tersebut telah
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
105
masuk dalam kelebihan luas tanah yang termuat dalam Sertifikat Hak Milik No.
4999 milik penggugat.
Majelis hakim berpendapat bahwa yang menjadi perselisihan hukum
adalah mengenai apakah tanah sengketa merupakan bagian dari tanah Sertifikat
Hak Milik No. 4999 atas nama penggugat atau merupakan tanah yang berasal dari
leluhur para tergugat yaitu P. Sunaryo Satujo yang berhak diwarisi oleh para
tergugat dan para tergugat intervensi. Namun, pada tahap pembuktian pada saat
diajukan saksi-saksi oleh penggugat, para tergugat, dan para tergugat intervensi
ternyata diperoleh keterangan yang berbeda antara saksi yang satu dengan saksi
yang lainnya. Oleh karena itu, akhirnya majelis hakim melakukan pemeriksaan
setempat untuk kedua kalinya terhadap tanah yang menjadi obyek sengketa. Dari
hasil pemeriksaan setempat yang kedua kalinya tersebut, majelis hakim dapat
menarik kesimpulan dengan mencocokkan hasil pemeriksaan setempat dengan
identitas tanah sengketa yang ada pada buku tanah di Kantor Kelurahan Jember
Kidul serta dihubungkan pula dengan keterangan saksi-saksi dari para pihak serta
bukti-bukti surat dari para pihak. Dalam hal ini diperoleh fakta hukum bahwa
bukti P-1 yang berupa Sertifikat Hak Milik No. 4999 milik penggugat memang
berasal dari petok C. 3881, persil 68, Klas S.II dengan luas seharusnya 2.110 m2
berupa tanah sawah dan apabila dicocokan dengan surat pembagian dan
pemisahan warisan atas nama Siti Aminah sebagaimana yang dimaksud dalam
bukti yang diajukan oleh para tergugat (T-5) ternyata ada persesuaian mengenai
luas tanah milik penggugat yaitu seluas 2.110 m2, bukan seluas 3.103 m2
sebagaimana yang telah didalilkan oleh penggugat. Hasil pemeriksaan setempat
yang dilakukan apabila dihubungkan dengan Surat Keterangan Lurah Jember
Kidul tertanggal 7 Maret 2006 No. 590/97/53504/2006 sebagaimana yang
dimaksud dalam bukti P-4 yang diajukan oleh penggugat, Surat Keterangan Lurah
Jember Kidul tertanggal 23 Maret 2006 No. 590/147/535.04/2006 sebagaimana
yang dimaksud dalam bukti T-2 yang diajukan oleh para tergugat, serta Surat
Keterangan
Lurah
Jember
Kidul
tertanggal
13
September
2006
No.
400/54/535.04/2006 sebagaimana yang dimaksud dalam bukti PI-7 yang diajukan
oleh para penggugat intervensi, isinya menerangkan bahwa Sertifikat Hak Milik
No. 4999 milik penggugat memang tidak ada keterkaitannya dengan tanah P.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
106
Sunaryo Satujo (alm), karena tanah milik P. Sunaryo Satujo berupa tanah
pekarangan dan bukan tanah sawah petok C. No. 1109 persil 75, Klas D.I. seluas
750 m2 sebagaimana yang dimaksud Surat Keterangan Iuran Pembangunan
Daerah No. 1109 a.n. P. Sunaryo Satujo, alamat Desa Jember Kidul, Kecamatan
Kaliwates, Kabupaten Jember, tertanggal 12 Juni 1980 dalam bukti T-1 dan PI-1
yang diajukan para tergugat dan para penggugat intervensi.
c. Kekuatan Pembuktian Pemeriksaan Setempat dalam Putusan Hakim
-
Sebagai keterangan bagi hakim
Dalam pertimbangan majelis hakim halaman 27 alinea keempat
disebutkan bahwa dari hasil pemeriksaan setempat serta melihat identitas
tanah serta dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi, maka majelis
hakim memperoleh fakta hukum bahwa Sertifikat Hak Milik No. 4999
berasal dari petok C. 3881, persil 68, Klas S.II luas 2.110 m2 berupa tanah
sawah, sehingga sertifikat tersebut tidak ada keterkaitannya dengan tanah
P. Sunaryo Satujo (alm) yang berupa tanah pekarangan.
Hasil pemeriksaan setempat dapat dijadikan keterangan bagi hakim
atau menambah keterangan secara lebih jelas, hal ini sebagaimana
tercantum dalam Pasal 153 ayat (2) HIR dan Pasal 180 ayat (1) RBg.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa hasil yang
diperoleh dalam persidangan pemeriksaan setempat merupakan keterangan
yang sama nilainya dengan fakta yang ditemukan dalam persidangan. Hal
ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh hakim yang diwawancarai
oleh penulis yang juga berpendapat bahwa dikarenakan pemeriksaan
setempat merupakan bagian dari sidang pengadilan, maka semua hasil
pemeriksaan setempat pada dasarnya disamakan dengan fakta yang
terungkap dalam persidangan. Dimana fakta-fakta ini nantinya dapat
dijadikan sebagai fakta yang saling berkaitan dengan fakta lain yang
muncul dalam persidangan ataupun dengan alat-alat bukti yang diajukan
oleh para pihak yang berperkara. Dikarenakan pemeriksaan setempat itu
sendiri bukanlah merupakan suatu alat bukti sebagaimana yang disebutkan
secara limitatif dalam Pasal 164 HIR/283 RBg dan Pasal 1866 KUH
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
107
Perdata, maka hakim biasanya hanya menjadikan pemeriksaan setempat
sebagai keterangan atau fakta persidangan untuk mempermudah proses
pembuktian. Terlebih lagi ada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7
Tahun 2001 yang menjadi pedoman bagi hakim untuk melaksanakan
pemeriksaan setempat. Namun, hasil dari pemeriksaan setempat ini
nantinya tergantung pada hakim apakah akan digunakan dalam
pertimbangan dalam menjatuhkan putusan atau tidak. Hal ini sebagaimana
yang
dinyatakan
oleh
Retnowulan
Sutantio
dan
Iskandar
Oeripkartawinata252 yang menyatakan bahwa persangkaan hakim sebagai
alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, dengan kata lain kekuatan
pembuktiannya terserah kepada penilaian hakim yang bersangkutan,
kekuatan bukti apa yang akan diberikan kepada persangkaan hakim
tertentu itu, apakah akan dianggap sebagai alat bukti yang berkekuatan
sempurna, atau sebagai bukti permulaan atau akan tidak diberi kekuatan
apapun juga.
Mengenai hasil pemeriksaan setempat sebagai keterangan atau
fakta
persidangan,
perlu
diperhatikan
pendapat
dari
Sudikno
Mertokusumo253 yang menyatakan bahwa setiap peristiwa yang telah
dibuktikan dalam persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan
hakim. Berbeda dengan persangkaan menurut undang-undang, maka di
sini hakim bebas dalam menemukan persangkaan berdasarkan kenyataan.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata254 yang menyatakan bahwa segala peristiwa keadaan
dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari pemeriksaan perkara
tersebut, kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk menyusun
persangkaan hakim.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hasil pemeriksaan
setempat merupakan fakta persidangan yang dapat dijadikan bahan atau
252
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op. cit., hal. 78.
253
Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 173.
254
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op. cit., hal. 78.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
108
keterangan
untuk
menyusun
persangkaan
hakim
yang
kekuatan
pembuktiannya diserahkan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara.
-
Hasil pemeriksaan setempat dijadikan sebagai dasar pertimbangan
Selanjutnya dalam pertimbangan majelis hakim dalam putusannya
halaman 28 alinea kedua juga disebutkan bahwa dengan memperhatikan
hasil pemeriksaan setempat dan saksi dari para tergugat konpensi
diperoleh fakta bahwa gambar situasi tanah menuju arah barat dan timur
bila dibandingkan dengan gambar situasi dari bukti surat P-1 panjang
tanah menjadi ke arah utara dan selatan dan batas sebelah timur dari bukti
surat P-1 tertulis nama H. Maryam yang sekarang dikuasai oleh P. Jalil
(saksi ke-4 dari penggugat).
Dari pertimbangan-pertimbangan di atas, majelis hakim dapat
menyimpulkan bahwa penggugat telah keliru menunjuk batas pada saat
pengukuran ulang dan tanah para tergugat adalah seluas 750 m2 yang telah
diukur dan masuk ke dalam surat ukur tanah Sertifikat Hak Milik No.
4999 (bukti P-1) dan fakta ini diperkuat dengan keberadaan bukti P-4 yang
mana surat dari Kelurahan Jember Kidul tersebut tidak mencantumkan
luas tanahnya dengan jelas, sehingga hal ini makin memperjelas tentang
adanya kesalahan penunjukan batas dari penggugat yang diwakili oleh
saksi P. Jalil mengandung kesalahan dan kekeliruan yang berakibat tanah
para tergugat dan para penggugat intervensi masuk ke dalam bagian dari
Sertifikat Hak Milik No. 4999 milik penggugat dan hal ini telah sejalan
dengan hasil pemeriksaan setempat, keterangan saksi-saksi yang diajukan
oleh para tergugat konpensi dan para penggugat intervensi.
Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah hasil pemeriksaan
setempat yang dijadikan sebagai pertimbangan majelis hakim sebelum
menjatuhkan putusan senantiasa dihubungkan dengan alat-alat bukti lain
yang diajukan oleh para pihak yang berperkara dalam persidangan. Hasil
pemeriksaan setempat yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun
persangkaan
hakim
memiliki
fungsi
dan
peran
perantara
yaitu
mengantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
109
yang lebih konkret mendekati kepastian.255 Sehingga dalam perkara ini,
hasil pemeriksaan setempat yang dilakukan dua kali oleh majelis hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara juga bersesuaian dan mendukung
alat bukti yang diajukan oleh penggugat, para tergugat, dan para
penggugat intervensi, dengan demikian dapat dijadikan sebagai salah satu
bahan untuk mengkonstruksi kesimpulan tentang keterbuktian suatu dalil
yang diajukan oleh para pihak dalam pertimbangan majelis hakim
nantinya.
Merujuk kepada ketentuan Pasal 173 HIR dan Pasal 1922 KUH
Perdata, persangkaan hakim (rechtelijke vermoeden) atau disebut juga
dengan
persangkaan
berdasarkan
kenyataan
atau
fakta
(fetelijke
vermoeden) atau presumptiones facti bersumber dari fakta yang terbukti
dalam persidangan sebagai pangkal titik tolak menyusun persangkaan,
dimana hal tersebut dilakukan hakim karena undang-undang sendiri
memberi
kewenangan
persangkaan.
Dari
menyerahkan
kepada
kepadanya
pasal-pasal
pendapat
berupa
tersebut
dan
kebebasan
di
atas,
pertimbangan
menyusun
undang-undang
hakim
untuk
mengkontruksi alat bukti persangkaan yang bertitik tolak atau bersumber
dari alat-alat bukti yang telah ada dalam persidangan. Dari mana atau dari
pihak mana data atau fakta itu diambil hakim adalah bebas.256 Mengutip
pendapat Tresna, dikatakan bahwa satu persangkaan tidaklah dianggap
cukup untuk menganggap dalil yang bersangkutan terbukti, dengan kata
lain persangkaan hakim itu baru merupakan bukti lengkap apabila saling
berhubungan dengan persangkaan-persangkaan hakim yang lain terdapat
dalam suatu perkara,257 baik bersumber dari alat bukti yang diajukan oleh
para pihak maupun fakta-fakta lain yang muncul dalam persidangan,
termasuk hasil pemeriksaan setempat.
255
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 686.
256
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 696.
257
Tresna, op. cit., hal. 173.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
110
Dengan demikian, hasil pemeriksaan setempat sebagai salah satu
fakta atau peristiwa yang terjadi dalam persidangan digunakan sebagai
pendukung alat bukti lain untuk memperkuat kekuatan nilai pembuktian
serta sebagai dasar untuk memperkuat pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan.
-
Dipergunakan untuk menentukan luas
Seperti yang telah tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat bahwa dilakukannya
pemeriksaan setempat dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan atau
keterangan yang lebih rinci atas obyek perkara mengenai letak, luas, dan
batas-batas obyek sengketa. Dalam kasus posisi telah dijelaskan bahwa
terdapat perbedaan yang sangat signifikan mengenai luas dan batas-batas
tanah yang menjadi obyek sengketa antara pihak penggugat maupun pihak
tergugat dan para penggugat intervensi. Dalam gugatannya penggugat
mendalilkan bahwa tanah sengketa adalah seluas ± 4,5 m2 dengan batasbatas sebagai berikut :
o Utara
: Selokan kemudian jalan;
o Timur
: Herman Raharha;
o Selatan
: Kuburan kemudian tanah Herman Raharja;
o Barat
: Pak Rusdiam/Irfan Fadillah.
Sedangkan para terggugat dalam jawabannya dan para penggugat
intervensi dalam gugatan intervensinya mendalilkan luas tanah yang
menjadi sengketa bukan seluas ± 4,5 m2, melainkan seluas 750 m2 dengan
batas-batas sebagai berikut :
o Utara
: Jalan Sentot Prawirodirjo;
o Timur
: Tanah milik Mulyono Tejo;
o Selatan
: Tanah Herman Raharja;
o Barat
: Tanah makam Kel. P. Sunaryo dan Erfan.
Dari pemeriksaan setempat yang dilakukan, majelis hakim dalam
pertimbangannya dalam putusan halaman 30 alinea keenam menyebutkan
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
111
bahwa yang menjadi tanah sengketa adalah tanah pekarangan petok C.
1109, persil 75 klas D.I. dengan luas 750 m2 dengan batas-batas :
o Utara
: Jalan Sentot Prawirodirjo;
o Timur
: Tanah milik Mulyono Tejo;
o Selatan
: Tanah Herman Raharja;
o Barat
: Tanah makam Kel. P. Sunaryo dan Erfan.
sebagaimana yang didalilkan oleh para tergugat dan para penggugat
intervensi.
4.2.
Analisis Putusan Nomor 18/Pdt.G/2011/PN.Tmk
4.2.1. Kasus Posisi
Dalam perkara No. 18/Pdt.G/2011/PN.Tmk ini gugatan diajukan oleh
Tiraun M. Pardosi sebagai Penggugat I, Richard Togar Lubis sebagai Penggugat
II, Martin Lubis sebagai Penggugat III, Purwoyo sebagai Penggugat IV, dan
Hasudungan Lubis melawan Yosepha Alomang sebagai Tergugat I dan Yustina
Kwalik sebagai Tergugat II. Para penggugat dalam dalil yang diajukannya dalam
gugatan menyebutkan bahwa memiliki dua bidang tanah, yaitu :
a. 1 (satu) lahan tanah garapan seluas 60 m x 100 m ((6.000 m2) yang terletak di
Jalan Cenderawasih Baru sesuai dengan Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas
Tanah tertanggal 16 November 1990 dari Markus Kwalik (alm) dengan batasbatas sebagai berikut :
-
Utara : tanah Alm. Markus Kwalik/sekarang berbatasan dengan kali;
-
Selatan: Jalan Raya SP II/sekarang Jalan Cenderawasih SP 2;
-
Timur : berbatasan dengan kali;
-
Barat : tanah Andreas Eanem/sekarang tanah milik Penggugat I dan II.
Dimana setelah adanya jual beli yang dilanjutkan dengan pelepasan dan
penyerahan tanah dari Alm. Markus Kwalik kepada Penggugat I, selanjutnya
Penggugat I mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat kepada
Kantor Pertanahan Kabupaten Fak-Fak/sekarang Kabupaten Mimika dengan
terlebih dahulu membagi tanah obyek sengketa menjadi 3 bagian yaitu :
-
Penggugat II memperoleh tanah seluas 2.000 m2 sesuai dengan Sertifikat
No. 530/Kwamki tertanggal 19 Agustus 1997;
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
112
-
Penggugat III memperoleh tanah seluas 2.000 m2 sesuai Sertifikat No.
531/Kwamki tertanggal 19 Agustus 1997;
-
Penggugat IV memperoleh tanah seluas 1.980 m2 sesuai Sertifikat No.
528/Kwamki tertanggal 9 Agustus 1997.
b. 1 (satu) lahan tanah garapan seluas 72 m x 120 m (8.640 m2) yang terletak di
Jalan Cenderawasih SP2, dahulu Desa/Kelurahan Kwamki/sekarang Distrik
Mimika Baru, dahulu Kabupaten Daerah Tingkat II Fak-Fak/sekarang
Kabupaten Mimika, sesuai dengan Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas
Tanah tertanggal 21 Oktober 1991 dari Andreas Eanem, yang batasnya adalah
sebagai berikut :
- Utara
: Tanah Andreas Eanem/sekarang tanah Yakobus Bondon Pasang
dan Rani Sombolayuk;
- Selatan : Jalan Raya SP II/sekarang Jalan Cenderawasih SP 2;
- Timur
: Tanah Penggugat I;
- Barat:
: Dahulu tanah milik Hj. Nohong/sekaranf tanah milik Apen.
Setelah adanya jual beli dilanjutkan dengan pelepasan dan penyerahan tanah
dari Andreas Eanem kepada Penggugat I, selanjutnya Penggugat I melakukan
pemecahan atas tanah tersebut yaitu :
- Bapak Sibarani yang membeli dari Penggugat I seluas 1.710 m2;
- Bapak Sitohang yang membeli dari Penggugat I seluas 1.710 m2;
- Penggugat I memperoleh tanah seluas 1.997 m2 sesuai dengan Sertifikat
No. 549/Kwamki tertanggal 15 Oktober 1997;
- Penggugat V memperoleh tanah seluas 1.123 m2 sesuai dengan Serifikat
No. 338/Kwamki tertanggal 15 Oktober 1997.
Setelah penggugat I membeli tanah obyek sengketa, Penggugat I dan
Penggugat II kemudian membangun bangunan rumah sewa, tempat pencucian
mobil, usaha mebel dan laundry, counter hanphone, dan rumah makan. Kemudian
dalam gugatannya, para penggugat menyatakan bahwa para tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum karena telah menguasai tanah milik para
penggugat secara tidak sah dengan membangun rumah permanen di atas tanah
milik Penggugat IV dan Penggugat V. Setelah lebih dari 5 tahun pelepasan dan
penyerahan obyek sengketa yang sudah diperjualbelikan, Tergugat I mendatangi
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
113
Penggugat I dan mempermasalahkan kembali status kepemilikan tanah yang
menjadi obyek sengketa dan meminta sejumlah ganti rugi kepada Penggugat I
yang kemudian dipenuhi oleh Penggugat I dengan memberikan uang sebesar Rp
250.000,00 sesuai permintaan Tergugat I. Akan tetapi, pada tahun 2006 Tergugat I
kembali mempermasalahkan status kepemilikan tanah obyek sengketa dan
meminta secara paksa kepada para penggugat untuk mengembalikan tanah obyek
sengketa tersebut kepada Penggugat I.
Di samping itu, Tergugat II juga telah melakukan perbuatan melawan
hukum dengan menguasai secara tidak sah tanah obyek sengketa dengan cara
membangun rumah permanen pada tahun 2008 di atas tanah obyek sengketa,
dimana Tergugat II membangun rumah permanen tersebut atas izin dari Tergugat
I. Kemudian para tergugat pada tanggal 5 November 2009 pernah memagar dan
memalang tanah obyek sengketa tersebut dan sampai saai ini tiang-tiang pancang
yang digunakan memalang masih berada diatas tanah obyek sengketa, juga
mengusir secara paksa, menakut-nakuti orang-orang yang menyewa (kost) dan
karyawan yang tinggal serta bekerja di tempat usaha para Penggugat yang
dibangun di atas tanah obyek sengketa, dengan cara membawa massa serta
mengancam mau membakar bangunan-bangunan yang berdiri di atasnya dan
sering melempari atap-atap rumah kost dari seberang kali/batas tanah, sehingga
membuat para warga tersebut menjadi takut dan tertekan.
Para tergugat dalam jawabannya pada pokoknya menyatakan bahwa
Markus Kwalik (alm) tidak pernah menjual tanah yang terletak di Jalan
Cenderawasih SP 2 dikarenakan Tergugat I tidak pernah dilibatkan bahkan tidak
pernah mengetahui masalah jual beli tersebut, dan sekalipun tanah tersebut dijual
oleh Markus Kwalik (alm) semestinya Tergugat I ikut menandatangani kwitansi
jual beli tanah tersebut.
Setelah sidang memasuki tahap pembuktian dimana para penggugat dan
para tergugat mengajukan alat bukti surat dan saksi-saksi, majelis hakim
kemudian mengadakan pemeriksaan setempat untuk memastikan tanah yang
menjadi obyek sengketa pada hari Jumat, 22 Juli 2011.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
114
4.2.2. Analisis Kasus
Sebagaimana tercantum dalam pertimbangan majelis hakim dalam
putusannya, disebutkan bahwa untuk mendapatkan kejelasan dari tanah obyek
sengketa maka majelis hakim melakukan pemeriksaan setempat terhadap obyek
sengketa yang dilakukan pada hari Jumat, 22 Juli 2011. Selanjutnya dalam
putusan Majelis Hakim secara tegas menyatakan bahwa sebelum Majelis Hakim
mempertimbangkan pokok perkara, Majelis Hakim perlu mempertimbangkan
lebih dahulu mengenai syarat-syarat yang terpenting terhadap gugatan yang
diajukan oleh Penggugat, yaitu mengenai ukuran luas dan batas-batas tanah
terperkara yang menjadi obyek sengketa. Menurut Majelis Hakim, ukuran luas
dan batas-batas obyek tanah terperkara adalah merupakan hal yang penting
untuk mengetahui dengan jelas dan pasti mengenai ukuran luas dan batas-batas
obyek tanah terperkara, dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat untuk
menghindari jika kelak putusan dalam perkara ini hendak dieksekusi, yang mana
apabila obyek tanah sengketa tidak jelas, sehingga pelaksanaannya dinyatakan
non executable yaitu eksekusi tidak dapat dijalankan karena obyek tanah sengketa
tidak jelas dan tidak pasti. Pertimbangan yang diambil oleh Majelis Hakim untuk
melakukan pemeriksaan setempat ini sangat tepat, karena apabila terjadi
perbedaan mengenai letak, luas, dan batas-batas antara diktum putusan dengan
pada saat hendak dieksekusi maka akan menyebabkan putusan menjadi tidak
dapat dilaksanakan.
Akan tetapi, dalam pertimbangan Majelis Hakim terdapat suatu kesalahan
kutipan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan
Setempat yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Dalam pertimbangan
disebutkan sebagai berikut : “Menimbang bahwa berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan
Setempat yang menyatakan bahwa : “Setiap perkara yang objeknya tanah yang
alas haknya belum “Akta Otentik” maka Majelis Hakim wajib melakukan
“Sidang Lapangan” ke objek tanah terperkara sebagai acuan dalam
mengambil keputusan”. Sehingga dalam putusannya Majelis Hakim kemudian
mengemukakan bahwa obyek dalam perkara ini adalah masih beralaskan “suratsurat biasa”, maka Majelis Hakim akan mengadakan sidang lapangan ke obyek
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
115
tanah terperkara”. Dalam hal ini Majelis Hakim telah melakukan kesalahan
dalam meyebutkan ketentuan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun
2001 tentang Pemeriksaan Setempat, hal ini dikarenakan dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung tersebut tidak ada ketentuan sebagaimana yang disebutkan oleh
Majelis Hakim dalam pertimbangannya. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 7 Tahun 2001 hanya disebutkan bahwa Mahkamah Agung meminta perhatian
Ketua/Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut : mengadakan
pemeriksaan setempat atas obyek perkara yang perlu dilakukan oleh Majelis
Hakim dengan dibantu oleh Panitera Pengganti baik atas inisiatif hakim karena
merasa perlu mendapatkan penjelasan/keterangan yang lebih rinci atas obyek
perkara maupun karena diajukan eksepsi atau atas permintaan salah satu pihak
yang berperkara.
a. Hasil Pemeriksaan Setempat
Dalam putusannya, berdasarkan hasil pemeriksaan setempat yang
dilakukan oleh Majelis Hakim terhadap tanah terperkara, Majelis Hakim
berpendapat bahwa ukuran dan batas-batas tanah terperkara tidak sesuai dengan
gugatan penggugat. Seperti yang tercantum dalam dalil yang diajukan para
penggugat dalam gugatannya bahwa terdapat 2 lahan tanah yang menjadi obyek
sengketa, yaitu :
-
1 (satu) lahan tanah garapan seluas 60 m x 100 m ((6.000 m2) yang terletak di
Jalan Cenderawasih Baru dengan batas-batas sebagai berikut :
o Utara
: tanah Alm. Markus Kwalik/sekarang berbatasan dengan kali;
o Selatan: Jalan Raya SP II/sekarang Jalan Cenderawasih SP 2;
o Timur : berbatasan dengan kali;
o Barat
-
: tanah Andreas Eanem/sekarang tanah milik Penggugat I dan II.
1 (satu) lahan tanah garapan seluas 72 m x 120 m (8.640 m2) yang terletak di
Jalan Cenderawasih SP2, dahulu Desa/Kelurahan Kwamki/sekarang Distrik
Mimika Baru, dahulu Kabupaten Daerah Tingkat II Fak-Fak/sekarang
Kabupaten Mimika, yang batasnya adalah sebagai berikut :
o Utara
: Tanah Andreas Eanem/sekarang tanah Yakobus Bondon Pasang
dan Rani Sombolayuk;
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
116
o Selatan : Jalan Raya SP II/sekarang Jalan Cenderawasih SP 2;
o Timur
: Tanah Penggugat I;
o Barat:
: Dahulu tanah milik Hj. Nohong/sekaranf tanah milik Apen.
Segala peristiwa dan fakta yang ditemukan dalam pemeriksaan setempat,
semua termuat dalam Berita Acara Pemeriksaan Setempat yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Dari
hasil pemeriksaan setempat yang telah dilakukan, apa yang didalilkan oleh
penggugat dalam gugatannya memiliki perbedaan dari hasil pemeriksaan setempat
yang telah dilakukan. Sehingga menurut Majelis Hakim, hal tersebut dapat
terungkap sebagai suatu fakta hukum bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan
setempat ternyata penggugat sendiri tidak bisa menunjukkan dengan pasti batasbatas lokasi tanah sengketa yang dinyatakan dalam surat gugatan penggugat,
sehingga perihal batas-batas dan ukuran tanah obyek sengketa menjadi tidak
jelas.
b. Kekuatan Pembuktian Pemeriksaan Setempat
-
Sebagai keterangan dan dasar pertimbangan hakim
Sama halnya dengan pertimbangan hakim dalam putusan yang
dianalisis sebelumnya, dalam putusan ini pun Majelis Hakim menjadikan
hasil pemeriksaan sebagai suatu fakta yang dapat dijadikan sebagai dasar
dalam
pertimbangan
hakim
dalam
menjatuhkan
putusan.
Hasil
pemeriksaan setempat merupakan pengetahuan hakim sendiri yang dapat
dijadikan dasar sebagai fakta karena dihadiri oleh para penggugat/para
tergugat. Dan seperti sudah dijelaskan sebelumnya, hasil pemeriksaan
setempat yang dikategorikan sebagai fakta persidangan ini dapat dijadikan
salah satu bahan bagi hakim untuk menyusun persangkaan hakim yang
kekuatan pembuktiannya bersifat bebas.
-
Sebagai dasar untuk mengabulkan, menolak, atau menyatakan tidak
diterima suatu gugatan
Hasil pemeriksaan setempat yang sesuai dengan apa yang
didalilkan dalam gugatan dapat dijadikan sebagai salah satu dasar untuk
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
117
mengabulkan gugatan dari penggugat. Seperti Putusan Mahkamah Agung
No. 3197 K/Sip/1983,258 dimana Majelis Hakim berpendapat bahwa hasil
pemeriksaan setempat dapat dijadikan dasar dalam pengabulan gugatan,
asal pengabulan tersebut tidak melebihi petitum gugatan. Sebaliknya, hasil
pemeriksaan setempat pun dapat dijadikan sebagai pertimbangan Majelis
Hakim dalam menolak gugatan ataupun menyatakan gugatan tidak dapat
diterima.
Dalam kasus ini, hasil pemeriksaan setempat yang ditemukan oleh
Majelis Hakim di lapangan memiliki perbedaan dengan apa yang
didalilkan oleh para penggugat dalam gugatannya, oleh karena itu obyek
sengketa menjadi tidak jelas. Dalam hal ini perlu diperhatiakan ketentuan
dalam Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor : 81.K/Sip/1971 tanggal 09 Juli 1973,259 dalam yurisprudensi ini
dinyatakan bahwa “Karena setelah diadakan pemeriksaan setempat oleh
Pengadilan Negeri atas perintah Mahkamah Agung, tanah yang dikuasai
oleh Tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang
tercantum dalam gugatan, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima”.
Bertitik tolak dari yurisprudensi tersebut, maka Majelis Hakim
menyatakan bahwa berdasarkan seluruh pertimbagan-pertimbangan secara
terperinci tersebut diatas ternyata dapat terungkap sebagai fakta hukum
bahwa terdapat perbedaan, kekaburan serta ketidakjelasan mengenai batasbatas tanah objek sengketa dan letak tanah sengketa setelah dilakukan
pemeriksaan setempat, maka dengan berpedoman pada Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 81.K/Sip/1971 tanggal 09
Juli 1973 tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh karena ternyata
setelah dilakukan pemeriksaan setempat atas tanah objek sengketa tidak
sama dengan batas-batas tanah dan letak tanah sengketa, gugatan
Penggugat demi hukum harus dinyatakan tidak dapat diterima.
258
Tanggal 9-2-1985, jo. PT Padang No. 166/1980, Tanggal 15-6-1983, jo. PN Paddang
No. 128/1978, Tanggal 3-3-1980.
259
Tanggal 9 Juli 1973.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
118
Sehingga dengan demikian dikarenakan hasil pemeriksaan
setempat tidak sesuai dengan gugatan, maka gugatan penggugat
dinyatakan tidak dapat diterima, yang berakibat pada dalil-dalil gugatan
selanjutnya yang menyangkut materi pokok perkara tidak akan dinilai dan
dipertimbangkan lebih lanjut oleh Majelis Hakim.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
BAB 5
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan dan dihubungkan
dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka penulis memberikan
dua kesimpulan, antara lain :
1. Hukum acara perdata mengenal bermacam-macam alat bukti.
Sedangkan menurut hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat
bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil
keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undangundang saja. Namun demikian, walaupun secara yuridis formil
pemeriksaan setempat (descente) tidak termasuk sebagai alat bukti
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg,
dan Pasal 1866 KUH Perdata, hasil pemeriksaan setempat dapat
mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan oleh majelis hakim
nantinya. Pemeriksaan setempat yang berfungsi untuk memperoleh
kepastian dan keterangan yang lebih rinci mengenai obyek sengketa,
baik luas, letak, maupun batas-batas obyek sengketa pada hakekatnya
merupakan bagian dari sidang pengadilan meskipun pelaksanaannya
diadakan di luar gedung pengadilan, sehingga hasil yang diperoleh dari
pemeriksaan setempat disamakan nilainya dengan fakta yang muncul
dalam persidangan yang dapat dijadikan sebagai keterangan bagi
hakim dalam memutus perkara. Sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 153 ayat (1) HIR, Pasal 180 ayat (1) RBg, dan Pasal 211 Rv
bahwa hasil pemeriksaan setempat dapat dijadikan sebagai keterangan
bagi hakim. Sebagai fakta persidangan juga, maka hasil pemeriksaan
setempat dapat dijadikan bahan atau keterangan yang akan digunakan
untuk menyusun persangkaan hakim nantinya. Dikarenakan sama
nilainya dengan fakta yang terungkap dalam persidangan, maka hasil
pemeriksaan setempat ini tergantung pada Majelis Hakim apakah akan
119
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
120
digunakan dalam pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan
putusan atau tidak. Kekuatan pembuktiannya terserah kepada penilaian
hakim yang bersangkutan.
2. Berdasarkan studi kasus terhadap putusan No. 31/Pdt.G/2006/PN.Jr,
hasil pemeriksaan setempat oleh Majelis Hakim disebutkan sebagai
fakta persidangan dan senantiasa dihubungkan dengan alat bukti lain.
Sebagai suatu fakta yang ditemukan dalam persidangan, hasil
pemeriksaan setempat ini dapat dijadikan sebagai pendukung dalam
proses pembuktian. Artinya, hasil pemeriksaan setempat dapat
digunakan sebagai pendukung bagi keterangan saksi atau alat bukti
lainnya yang diajukan oleh para pihak yang berperkara dalam
persidangan. Dengan demikian, hasil pemeriksaan setempat sebagai
salah satu fakta atau peristiwa yang terjadi dalam persidangan dapat
digunakan sebagai pendukung alat bukti lain untuk memperkuat
kekuatan nilai pembuktian serta sebagai dasar untuk memperkuat
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Sedangkan dalam
putusan No. 18/Pdt.G/2011/PN.Tmk, hasil pemeriksaan setempat oleh
Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara dijadikan
sebagai satu-satunya dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam
memutus bahwa gugatan tidak dapat diterima. Sehingga hasil
pemeriksaan setempat selain sebagai fakta persidangan, juga dapat
dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan Majelis Hakim dalam
mengabulkan gugatan, menolak gugatan, maupun menyatakan gugatan
tidak dapat diterima. Dengan demikian, hasil pemeriksaan setempat
dalam putusan ini juga dijadikan sebagai salah satu pendukung alat
bukti dalam persidangan.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
121
5.2.
Saran
Dari kesimpulan di atas, terdapat beberapa saran yang dapat dikemukakan
sebagai masukan bagi pemeriksaan setempat. Adapun saran-saran yang hendak
dikemukakan antara lain sebagai berikut :
1. Pemeriksaan setempat masih berlandaskan pada HIR, RBg, dan Rv
yang pengaturan mengenai pelaksanaan pemeriksaan setempatnya
sangat terbatas dan umum sifatnya. Maka dari itu diharapkan adanya
perbaikan atau pembaharuan oleh pembuat undang-undang terhadap
peraturan-peraturan tersebut karena antara teori dan praktek seringkali
tidak sejalan.
2. Diperlukan
pelaksanaan
suatu
yang
peraturan
mengatur
internal
atau
standar operasional
secara
rinci
mengenai
prosedur
pemeriksaan setempat yang dapat menjadi pedoman bagi hakim yang
ditunjuk untuk melaksanakan pemeriksaan setempat.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2001 tentang
Pemeriksaan Setempat sebagai suatu peraturan internal bagi hakim
perlu direvisi segera oleh Mahkamah Agung dikarenakan terdapat
suatu kesalahan dalam menyebutkan peraturan lain yang harus
diperhatikan oleh hakim dalam pelaksanaan pemeriksaan setempat.
Dalam surat edaran ini disebutkan bahwa hakim perlu memperhatikan
tentang petunjuk Mahkamah Agung mengenai biaya pemeriksaan
setempat yaitu SEMA No. 5 Tahun 1999 poin 8, setelah penulis
melakukan riset SEMA tersebut tidak mengatur ketentuan mengenai
biaya pemeriksaan setempat, melainkan diatur dalam SEMA No. 5
Tahun 1994 tentang Biaya Administrasi poin 8 yang secara jelas
mengatur ketentuan mengenai biaya pemeriksaan setempat.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
DAFTAR REFERENSI
I.
Undang-Undang
Indonesia. Undang-Undang Tentang Advokat. UU No. 18 Tahun 2003. LN No. 49
Tahun 2003. TLN No. 4288.
_____. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981.
LN No. 76 Tahun 1981. TLN No. 3209.
_____. Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 48 Tahun 2009.
LN No. 157 Tahun 2009. TLN No. 5076.
_____. Undang-Undang Tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura. UU
No. 20 Tahun 1947.
_____. Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. UU No. 32 Tahun 2009. LN No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.
_____. Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun
1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821.
_____. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. UU No. 3 Tahun 2009. LN No. 8
Tahun 2009. TLN No. 4958.
_____. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 2
Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. UU No. 49 Tahun 2009. LN No.
158 Tahun 2009. TLN No. 5077.
_____.
Undang-Undang
Tentang
Tindakan-Tindakan
Sementara
untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan
Sipil. UU No. 1 Drt Tahun 1951.
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
(Burgerlijk
Wetboek).
2008.
Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta : Pradnya
Paramita.
122
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
123
II.
Peraturan
Reglemen
Acara
Hukum
Untuk
Daerah
Luar
Jawa
dan
Madura
(RBg/Rechtsreglement voor de Buitengewesten). Staatsblad 1927 No. 27.
Diterjemahkan oleh Ropaun Rambe. 2003. Hukum Acara Perdata
Lengkap. Cet. Kedua. Jakarta : Sinar Grafika.
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering). Staatsblad 1847 No.
52 jo. Staatsblad 1849 No. 63. Diterjemahkan oleh Ropaun Rambe. 2003.
Hukum Acara Perdata Lengkap. Cet. Kedua. Jakarta : Sinar Grafika.
Mahkamah Agung. Surat Edaran Mahkamah Agung Tentang Biaya Administrasi.
SEMA No. 5 Tahun 1994.
_____. Surat Edaran Mahkamah Agung Tentang Pedoman Pemberian Bantuan
Hukum. SEMA No. 10 Tahun 2010.
_____. Surat Edaran Mahkamah Agung Tentang Pemeriksaan Setempat. SEMA
No. 7 Tahun 2001.
Staatsblad 1941 No. 44. Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RIB/HIR). 1992.
Diterjemahkan oleh M. Karjadi. Bogor : Politeia.
III.
Buku
Effendi, Bachtiar. Masdari Tasmin dan A. Chodari. 1991. Surat Gugat dan
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata. Bandung : PT Citra Aditya
Bakti.
Engelbrecht. 1992. Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI. Jakarta :
Internusa.
Fakhriah, Efa Laela. 2009. Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata.
Bandung : Alumni.
Fuady, Munir. 2006. Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata. Cet. Kesatu.
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
124
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Cet.
Pertama. Jakarta : Sinar Grafika.
Harahap, Krisna. 2008. Hukum Acara Perdata : Mediasi, Class Action, Arbitrase
& Alternatif. Bandung : Grafiti.
Harahap, M. Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Cet. Kedua. Jakarta :
Sinar Grafika.
Hermawan, Mashudy. 2007. Dasar-dasar Hukum Pembuktian. Surabaya :
UMSurabaya.
Mamudji, Sri. et. al. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta :
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Cet. Pertama.
Edisi Keenam. Yogyakarta : Liberty.
_____. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Ketujuh. Yogyakarta :
Liberty.
_____. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty.
Muhammad, Abdulkadir. 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung :
Alumni.
Mulyadi, Lilik. 2002. Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik
Peradilan Indonesia. Cet. Kedua (Edisi Revisi). Jakarta : Djambatan.
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I dan II.
1993/1994. Jakarta : Penerbit Mahkamah Agung RI.
Pitlo, A. 1986. Pembuktian dan Daluwarsa (terj.). Jakarta : Internusa.
Prodjodikoro, Wirjono. 1975. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Cet. Keenam.
Bandung : Sumur Bandung.
_____. 1967. Hukum Atjara Pidana di Indonesia. Bandung : Sumur Bandung.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
125
Rasaid, M. Nur. 2005. Hukum Acara Perdata. Cet. Keempat. Jakarta : Sinar
Grafika.
Rubini, I. dan Chidir Ali. 1974. Pengantar Hukum Acara Perdata. Bandung :
Alumni.
Samudera, Teguh. 1992. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Bandung :
Alumni.
Sasangka, Hari. 2005. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata untuk
Mahasiswa dan Praktisi. Bandung : CV Mandar Maju.
Scholten. 1934. Algemeen Deel. Sl.
Soepomo, R. 1994. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Cet. Ketigabelas.
Jakarta : Pradnya Paramita.
Soesilo, R. 1995. RIB/HIR dengan Penjelasan. Bogor : Politeia.
Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. Cet. Ketiga. Bandung : Binacipta.
_____. 1987. Hukum Pembuktian. Cet. Kedelapan. Jakarta : Pradnya Paramita.
Sutantio, Retnowulan. dan Iskandar Oeripkartawinata. 1997. Hukum Acara
Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung : CV Mandar Maju.
Syahrani, Riduan. 1988. Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum.
Jakarta : Pustaka Kartini.
_____. 2004. Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung : PT Citra Aditya
Bakti.
Tresna. 1970. Komentar Atas Reglemen Hukum Acara di Dalam Pemeriksaan di
Muka Pengadilan Negeri atau HIR. Jakarta : Pradnya Paramita.
Wardah, Sri dan Bambang Sutiyoso. 2007. Hukum Acara Perdata dan
Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta : Gama Media.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
126
IV.
Kamus
Black, Henry Campbell. 1997. Black’s Law Dictionary. Sixth Edition. St. Paul
Minn: West Publishing Co.
Fockema, Andreae. 1983. Kamus Istilah Hukum Fochema Andreae (terj.),
Bandung : Bina Cipta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Cet. Keempat. Jakarta : Balai Pustaka.
Sudarsono. 2007. Kamus Hukum. Jakarta : Rineka Cipta.
V.
Putusan
Putusan No. 31/Pdt.G/2006/PN.Jr.
Putusan No. 18/Pdt.G/2011/PN.Tmk.
VI.
Internet
“Legalisasi,
Waarmerking,
Register,
dan
Akta
Notaris/Akta
Otentik”.
http://www.bikinpt.com/service/legalisasi-waarmerking-register-dan-aktanotaris-akta-otentik. Diunduh 3 Mei 2012.
“Pengertian Perjanjian Internasional Menurut Para Ahli”, id.shvoong.com/lawand-politics/2158086-pengertian-perjanjian-internasional/ , diunduh 6
Juni 2012.
Suparman,
Eman.
“Alat
Bukti
Pengakuan
Dalam
Hukum
Perdata.”
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/2F%2
0Makalah-Alat-Bukti-Kump.pdf. Diunduh 23 Maret 2012.
Sa’diyah,
Nur
Khalimatus.
“Prinsip
Pertanggungjawaban
Produsen.”
http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/06/26/prinsippertanggungjawa
ban-produsen/. Diunduh 2 Mei 2012.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
127
VII.
Makalah
Wijayanta, Tata. et. al. “Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif Serta
Relevansinya Terhadap Konsep Kebenaran Formal.” Laporan Penelitian
Dosen Hukum Acara pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta, 2009.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
Download