Penerapan Kesantunan Berbahasa dalam

advertisement
Penerapan Kesantunan Berbahasa dalam Kegiatan Pembelajaran
Nuryani
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]
Abstrak
Indonesia terkenal akan kebudayaannya yang adi luhung. Dalam bahasa Indonesia,
meskipun termasuk dalam kategori bahasa yang egaliter namun di dalamnya tetap mencerminkan
pola perilaku masyarakat yang santun. Kesantunan bahasa sangat perlu untuk diperlihatkan dan
terus dipertahankan di masyarakat kita, karena itu akan menjadi ciri dan kekhasan masyarakat
Indonesia. Kesantunan berbahasa perlu diterapkan dalam semua aspek kahidupan. Salah satu
tempat yang penting untuk menerapkan kesantunan berbahasa adalah dalam kegiatan belajar
mengajar (KBM). Dalam kegiatan ini sangat penting untuk memasukkan semua unsur yang
positif. Hal tersebut penting karena KBM menjadi ujung tombak dalam penanaman nilai-nilai
positif dari guru kepada siswa, siswa kepada guru, maupun siswa dengan siswa. Untuk itu, dalam
kegiatan atau proses belajar mengajar hendaklah dapat berjalan dengan penuh kesantunan yang
terwujud melalui bahasa yang digunakan. Kesantunan berbahasa dalam KBM akan membawa
dampak positif pada pandangan siswa terhadap guru, guru terhadap siswa, maupun siswa dengan
siswa.
Kata kunci: kesantunan berbahasa, kegiatan pembelajaran
Absract
Indonesia is famous for its nice and good culture. In Indonesian , although included on
the egalitarian languages category but it still reflects the behavior patterns of polite society.
Politeness on language is very necessary to be shown and continues to be maintained in our
society, because it will be the characteristics of Indonesian society. Politeness should be applied
in all aspects of life. One of the places that are important to implement politeness is in teaching
and learning activities (KBM). In this activity is very important to incorporate all the positive
elements. That is important because KBM will be one of places to get of positive values from
teacher to student, student to teacher, and student with student. To the end, the activities or the
teaching and learning process can run fully let politeness manifested through the language used.
Politeness in KBM will bring a positive impact on students' views on teachers, teachers’s view to
student, and student’s view with student.
Key word: politeness, teaching and learning activities
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang telah terkenal memiliki adat istiadat
yang luhur. Hal itu terjadi sejak zaman dahulu dan akan terus dipertahankan oleh setiap generasi
sampai nanti. Keluhuran yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia meliputi banyak aspek dan
mencakup hamper semua nilai-nilai dalam kehidupan. Untuk itulah tidak seharusnya bangsa
Indonesia dan seluruh masyarakatnya meninggalkan keluhuran tersebut.
Salah satu aspek nilai keluhuan kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
adalah dalam penggunaan bahasa. Hampir semua suku yang ada di Indonesia memiliki bahasa
yang berbeda. Perbedaan tersebut telah diantisipasi oleh para pendiri bangsa dengan
mengemukakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan demikian, bahasa persatuan
inilah yang seharusnya mampu menyatukan kita dan mampu menjadi wakil dari pengenalan jati
diri bangsa.
Dalam kehidupan beragama juga banyak hal yang menjelaskan betapa pentingnya untuk
berkata dengan baik. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim
disampaikan juga tentang pentingnya bertutur kata yang baik. Adapun arti hadisnya sebagai
berikut. Dari Abu Huroiroh Radliyallahuanhu, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “barang siapa
beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berkata yang baik, atau hendaklah
diam saja” (Bukhori dan Muslim).
Dalam hadis di atas ditekankan pentingnya kita untuk berbicara dengan baik. Apabila hal
tersebut tidak dapat kita lakukan, akan lebih baik jika kita diam. Dengan mengikuti anjuran
tersebut, harapannya adalah tidak ada pihak yang merasa dirugikan ketika dalam kegiatan
bertutur. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti manusia harus lebih banyak diam, melainkan
manusia hendaknya lebih bijak dalam memilih bahasa dan kata-kata yang akan dituturkan.
Melihat hal di atas dapat tergambarkan betapa pentingnya memelihara kesantunan
berbahasa. Akan tetapi, kesantunan berbahasa saat ini dirasakan sudah mulai memudar. Di
lingkungan masyarakat, hal tersebut sudah terlihat sangat jelas, seperti kegiatan komunikasi
antara anak-orang tua, murid-guru, maupun antara orang yang satu dengan yang lain dalam
kegiatan komunikasi dengan orang yang tidak saling mengenal. Hal itu, cukup bertentangan
dengan budaya masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi kesopanan dan kesantunan
dalam berbagai aspek. Untuk itulah, kesantunan ini perlu dihidupkan kembali dalam berbagai
bentuk dan sarana, salah satunya adalah bahasa atau kegiatan berbahasa.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali pola-pola kesantunan
berbahasa. Salah satu caranya adalah melalui kegiatan belajar mengajar, yang di dalamnya
banyak terjadi interaksi. Interaksi yang mungkin ditemukan adalah interaksi antara guru dengan
siswa maupun siswa dengan siswa. Di dalam interaksi tersebut sangat dimungkinkan muncul
kegiatan berbahasa, karena hakikat bahasa dapat dikatakan sebagai alat untuk berinteraksi.
Berbahasa merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia dalam upaya melakukan
komunikasi. Komunikasi yang berjalan antara petutur dengan penutur membutuhkan adanya
saling kesepahaman di antara keduanya. Di dalam proses tersebut terdapat interaksi antara
penutur dengan petutur. Interaksi merupakan kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan
komunikasi resiprokal. Komunikasi resiprokal dapat berlangsung jika ada pertukaran informasi
antarpartisipan, sehingga partisipan saling berganti peran secara berkelanjutan dalam proses
interaksi yang berlangsung tersebut (Nuryani, 2009, 19). Pergantian peran yang berlangsung
antara penutur dan petutur yang dalam tulisan ini adalah siswa dengan guru seharusnya dapat
berlangsung dengan lancer dan tidak menimbulkan kesalahpahaman maupun rasa yang dinilai
kurang santun baik bagi guru maupun siswa. Untuk itulah, segala hal yang terkait dengan
ketatabahasaan baik yang tertulis maupun tidak sudah selayaknya dipahami antara guru dengan
siswa.
Dalam kehidupan di masyarakat banyak ditemukan berbagai bentuk tuturan dan pola
bertutur. Pola bertutur antara orang tua dengan anak akan berbeda dengan pola bertutur antara
anak dengan orang tua, demikian juga pola bertutur antara sesama orang tua maupun sesama
anak yang dipastikan akan berbeda pula. Pada proses komunikasi yang terjadi di lingkungan
sekolah akan berbeda pula dengan kegiatan berkomunikasi yang berlangsung di lingkungan
masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa pola bertutur antara guru dengan
siswa juga berbeda dengan pola bertutur siswa dengan guru.
Pola bertutur yang mungkin terjadi antara guru dengan siswa dalam interaksi di kelas
biasanya satu arah. Artinya, pola tuturan yang berlangsung lebih didominasi oleh guru sebagai
pemberi materi, sementara siswa hanya memberikan tanggapan jika mereka merasa perlu. Hal
tersebut memunculkan pola tuturan yang tidak terlalu interaktif. Dalam proses pembelajaran
siswa lebih banyak ditemukan diam dan mendengarkan guru menyampaikan materi. Siswa
terlihat sesekali memberikan tanggapan tetapi dalam bentuk tuturan yang pendek. Meskipun hal
tersebut boleh, tetapi seharusnya tidak menjadi kebiasaan yang sedikit banyak akan
mempengaruhi kemampuan mereka dalam berkomunikasi. Akan tetapi, pada banyak kejadian
atau peristiwa hal tersebut telah banyak tidak ditemukan. Banyak faktor yang terjadi sehingga
pola tersebut banyak berubah. Salah satunya adalah faktor penggunaan kurikulum yang
diterapkan di sekolah.
Kurikulum yang diterapkan berimplikasi pada penggunaan metode dan media
pembelajaran. Hal tersebut akan berimplikasi pula pada peran guru yang tidak hanya sebagai
pusat pembelajaran. Dengan begitu, sedikit banyak akan tercipta pola tuturan yang sangat
interaktif dan komunikatif. Dalam kejadian yang demikian, akan terlihat kesantunan berbahasa
yang dimiliki dan digunakan oleh siswa dalam berinteraksi dengan guru. Proses komunikasi
yang terbuka secara idealnya harus mampu menjadi lahan bagi siswa untuk berkomunikasi
dengan tuturan yang bagus. Hal tersebut dapat terjadi karena siswa akan melihat contoh secara
langsung melalui tuturan guru. Guru hendaknya menjadi agen perubahan dan penanaman
karakter baik dalam diri siswa. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam fungsinya menjadi
agen perubahan adalah melalui penggunaan bahasa yang santun.
Siswa memiliki kecenderungan untuk meniru segala hal yang dilakukan oleh gurunya.
Terlebih lagi bagi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang masih dalam usia-usia rentan
terhadap pengaruh. Guru selayaknya mampu menjandi contoh atau tauladan yang baik sehingga
siswa memiliki panduan atau tuntutan dalam kegiatan berkomunikasi. Ketika guru menggunakan
pola tuturan yang bagus dan pemiliki bahasa yang santun harapannya adalah siswa akan dapat
menirunya. Apabila penggunaan bahasa yang santun terus berulang oleh semua guru dan di
semua pelajaran maka tidak menutup kemungkinaa siswa akan dapat menirunya. Demikian juga
ketika guru menggunakan tindak bahasa yang dianggap kurang santun, tidak menutup
kemungkinan jika siswa akan cenderung meniru juga.
Beberapa hal di atas membawa dampak yang cukup serius dalam proses pembelajaran.
Interaksi yang cair dan terbuka antara guru dengan siswa menjadikan kedekatan yang tercipta
antara guru dengan siswa juga terbuka lebar. Hal tersebut membuahkan beberapa penemuan
yang terkait dengan kesantunan. Proses pendidikan atau pembelajaran yang idealnya menjadi
sarana pembentukan karakter baik dapat saja berubaha menjadi sebaliknya. Siswa dapat kita
ibaratkan sebagai teko yang diisi oleh air. Segala jenis air dapat kita masukkan, tetapi imbasnya
adalah input itu pula yang akan dikeluarkan. Hal yang sama dapat dialami oleh siswa. Guru
dapat melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa yang beragam, baik dilihat dari sisi
kesantunan maupun kepantasan, dan hal itulah yang akan diserap dan direkam oleh siswa.
Dengan begitu, ketika kita menemukan kasus siswa tidak bertutur dengan santun sangat
dimungkinkan karena input yang diterima memang yang seperti itu.
Dewasa ini telah banyak ditemukan kasus kesantunan berbahasa yang semakin menurun.
Siswa lebih banyak menggunakan bentuk-bentuk kalimat yang cenderung langsung. Apabila
akan menyampaikan sesuatu, siswa kecenderungannya adalah menggunakan bentuk imperatif
maupun bentuk-bentuk kalimat lain yang maksudnya adalah langsung. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Eka Rihan, bahwa mahasiswa cenderung menggunakan kalimat imperatif secara
langsung untuk menyampaikan perintah (Rihan, 2015: 98). Penelitian lain dilakukan oleh
Montolalu, dkk. mengenai kesantunan verbal dan nonverbal pada tuturan imperatif siswa SMP.
Penelitian yang berjudul “Kesantunan Verbal dan Nonverbal pada Tuturan Imperatif dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Pangudi Luhur Ambarawa Jawa Tengah” memberikan
beberapa simpulan (Montolulu, dkk, 2013). Simpulan yang diberikan adalah (1) terdapat
kesantunan bentuk tuturan imperatif secara verbal dan nonverbal pada proses pembelajaran, (2)
terdapat prinsip kesantunan tuturan imperatif secara verbal dan nonverbal pada proses
pembelajaran, dan (3) terdapat penyimpangan prinsip kesantunan verbal dan nonverbal pada
tuturan imperatif dalam proses pembelajaran.
Penelitian kesantunan berbahasa juga telah dilakukan oleh Rukni Setyawai dari Balai
Bahasa Jawa Tengah. Penelitian yang dilakukan berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam
Pembelajaran di Kelas” (Setyawati, 2015). Catatan yang diberikan oleh Rukni dalam tulisannya
meliputi empat hal. Keempat catatan tersebut adalah (1) komunikasi merupakan hal yang pokok
dalam menyampaikan pesan, untuk dapat menyampaikan pesan dengan baik perlu dilakukan
secara santun, (2) proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru haruslah berdasarkan kaidah
dan tata cara penyampaian yang santun, baik isi, bahasa, cara menyampaikan, maupun mimic
dan gerak geriknya, (3) siswa dalam mengikuti pelajaran supaya menjaga sikap dengan baik, dan
tutur kata yang santun baik kepada sesame teman maupun kepada guru, dan (4) kunci kesuksesan
dalam pembelajaran adalah kesepahaman antara guru dan siswa dalam transaksi pembelajaran,
yakni dengan menggunakan sikap dan tutur kata yang santun.
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu tersebut dapat disampaikan beberapa temuan
yang terkait dengan tindakan kesantunan berbahasa dalam proses pembelajaran. Salah satu yang
dapat digarisbawahi adalah bahwa memang saat ini telah banyak ditemukan kecenderung
menurunnya kesantunan berbahasa terutama pada bentuk imperatif. Hal tersebut dipengaruhi
oleh banyak faktor. Input yang diterima maupun contoh yang ditemukan menjandi beberapa
faktor yang ikut mempengaruhi. Selain itu, faktor lingkungan dan media ikut menyumbang juga
adanya kecenderungan menurunnya tingkat kesantunan berbahasa.
Berdasarkan ulasan di atas maka dalam tulisan ini akan fokus membahas mengenai
penerapan kesantunan berbahasa dalam proses pembelajaran. Di dalam analisis disajikan contoh
data-data mengenai tuturan yang ditemukan selama proses pembelajaran berlangsung. Contoh
data yang diambil meliputi tuturan antara guru dengan siswa dan siswa dengan guru. Suasana
yang melatarbelakangi tuturan tentu akan digambarkan dalam konteks tuturan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan kesantunan berbahasa dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan penerapan kesantunan berbahasa dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah.
1.4 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data
dikumpulkan berupa kata-kata atau bahasa dalam kegiatan pertuturan di dalam pemebalajaran di
kelas. Untuk itulah, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data dalam
penelitian ini adalah kegiatan pembelajaran di sekolah. Data yang dikumpulkan berupa tuturan
antara guru dan siswa dan tuturan yang terjadi dalam interaksi keduanya. Untuk mendapatkan
data tersebut, teknik yang digunakan oleh peneliti adalah berupa rekaman dan observasi. Peneliti
menggunakan rekaman untuk mendapatkan data pada saat proses pembelajaran berlangsung.
Dengan menggunakan rekaman data yang didapatkan akan bersifat langsung. Setelah
mendapatkan data berupa rekaman peneliti kemudian melanjutkan pengamatan terhadap hasil
rekaman tersebut dan kemudian data tuturan yang terdapat di dalamnya ditranskripsikan. Setelah
itu, peneliti melanjukan dengan melakukan observasi di dalam kelas. Teknik analisis data yang
digunakan meliputi display data, reduksi data, dan analisis data. Peneliti menyajikan data berupa
tuturan yang terjadi antara guru dengan siswa ataupun sebaliknya. Selanjutnya, peneliti memilah
data yang akan dianalisis dan dilanjutkan dengan membahas dengan menggunakan teori yang
disajikan.
2. KAJIAN TEORI
2.1 Kesantunan Berbahasa
Kesantunan berbahasa sangatlah penting untuk dimiliki dan diterapkan oleh siswa dan
guru.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata santun adalah halus dan baik
(budi bahasanya dan tingkah lakunya) (Depdikbud, 2008). Berdasar pada pengertian tersebut,
santun tidak hanya diartikan dari satu sisi, melainkan beberapa sisi, yakni bahasa dan tingkah
laku (verbal maupun nonverbal). Kesantunan berbahas dapat dipandang sebagai usaha untuk
menghindari konflik antara penutur dengan mitra tutur (Montolulu, 2013). Dengan demikian,
santun dan kesantunan merupakan anggapan yang muncul dari sisi petutur atau mitra tutur.
Banyak para pakar bahasa yang berbicara mengenai kesantunan. Di antara beberapa
pakar tersebut dapat kita sebutkan Lakof, Frases, Leech, dan Levinson (Sibarani, 2004: 174).
Fraser memberikan pengertian mengenai kesantunan dari sisi strategi, sementara Lakof
membedakan kesantunan berdasarkan kaidah. Bagi Fraser, kesantunan adalah property yang
diasosiasikan dengan ujaran dan dalam hal ini menurut si pendengar, penutur tidak melampaui
hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya (Sibarani, 2004: 176).
Sibarani menyampaikan bahwa kesantunan berbahasa sedikitnya dapat dilakukan dengan
lima cara (Sibarani, 2004: 192-194). Lima cara tersebut adalah, pertama, kita perlu menerapkan
prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa, yakni sebuah prinsip yang berusaha
untuk memaksimalkan kesenangan atau kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat,
maupun pujian kepada orang lain, dan sebaliknya meminimalkan hal-hal tersebut kepada diri
sendiri. Kedua, kesantunan berbahasa harus menghindarkan kata-kata tabu (taboo) dalam
berkomunikasi. Norma yang berlaku terkait dengan kata-kata tabu ini memang berbeda antara
satu daerah dengan daerah yang lain. Akan tetapi, pada beberapa contoh kasus ditemukan juga
kesamaannya. Sebagai contoh adalah pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang memiliki
asosiasi dengan seks atau kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang ditutupi pakaian
biasanya dianggap sebagai kata-kata tabu. Selain itu, kata-kata yang merujuk pada suatu benda
yang menjijikkan, kata-kata kotor dan kasar, juga dianggap sebagai kata-kata tabu. Ketiga, dalam
upaya menghindari penggunaan kata-kata tabu, maka penggunaan eufimisme sangat disarankan.
Eufimisme merupakan ungkapan yang halus sebagai pengganti segala kata yang dianggap tabu.
Eufimisme dilakukan supaya bahasa tetap terjaga dan sopan. Keempat, kesantunan juga dapat
tercapai dengan menggunakan pilihan kata yang honorifik. Honorifik adalah ungkapan hormat
untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan honorifik tentu saja dengan melihat unsur
efek kesantunan yang ditimbulkan. Kelimat, kesantunan juga dapat tercapai melalui penerapan
tindak tutur tidak langsung (indirect speech act). Tindak tutur ini merupakan jenis ujaran yang
disampaikan dengan menggunakan modus kalimat yang berbeda dari maksud kalimatnya. Modus
kalimat dibedakan atas kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat
perintah (imperatif). Ketiga modus kalimat tersebut memiliki fungsi sesuai dengan jenisnya.
Kalimat berita digunakan untuk memberitahukan atau menginformasikan sesuatu. Kalimat tanya
digunakan untuk menanyakan sesuatu. Sementara itu, kalimat perintah digunakan untuk
memerintah, mengajak, maupun memohon.
2.2 Pembelajaran
Proses pembelajaran merupakan proses yang di dalamnya terdapat tujuan yang akan
dicapai. Secara sederhana Hamalik memberikan definisi mengenai belajar, yakni memodifikasi
atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (Hamalik, 2009: 27). Dalam kegiatan
pembelajaran, tujuan memang merupakan sesuatu yang penting. Akan tetapi, terdapat hal yang
lebih penting lagi dari sekedar hasil, yakni proses pembelajaran itu sendiri. Dalam proses yang
berlangsung, akan dapat ditemukan banyak sekali pelajaran yang dapat diambil. Dalam proses itu
juga akan banyak contoh-contoh dan teladan yang bisa diteladani. Hampir dapat dipastikan
bahwa dalam proses pembelajaran guru menjadi sebuah peran yang sangat diharapkan dapat
memberikan keteladanan kepada siswa. Dengan begitu, hal-hal yang dilakukan oleh guru sudah
seharusnya merupakan hal-hal yang baik sehingga dapat dilihat dan dicontoh langsung oleh
siswa.
Hal yang dapat dilakukan oleh guru salah satunya adalah dengan menata bahasa yang
digunakan dalam proses pembelajaran. Guru seharusnya mampu memberikan contoh dan teladan
berupa penggunaan bahasa yang santun. Kesantunan berbahasa yang ditunjukkan oleh guru
dalam berinteraksi dengan siswa akan menimbulkan respon yang baik dari siswa sehingga terjadi
komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik akan menunjang tercapainya tujuan pembelajaran
secara maksimal (Sibarani, 2004: 176). Akan tetapi, hal yang terjadi sekarang adalah banyak
sekali ditemukan penyimpangan-penyimpangan dalam tuturan guru kepada siswa. Guru sebagai
pusat perhatian di dalam kelas justru terkadang memunculkan keegoannya dan menunjukkannya
melalui bahasa yang digunakan.
3. PEMBAHASAN
Pembahasan yang dilakukan dalam tulisan ini akan mendasarkan pada teori yang telah
disajikan. Teori yang terkait dengan kesantunan yang akan digunakan sebagai alat analisis adalah
pembentukan kesantunan berbahasa yang disampaikan oleh Sibarani. Sementara itu, yang di
maksud dengan belajar adalah proses perubahan tingkah laku seseorang yang relative menetap
yang meliputi perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, dan pemahaman berkat
adanya pengalaman, yaitu interaksi antara individu dengan lingkungan (Setyawati, 2015).
Proses pembelajaran berlangsung dan melibatkan beberapa pihak, yakni adanya guru dan
adannya siswa. Kedua pihak ini memiliki peran masing-masing yang tidak dapat dipisahkan.
Selain itu, peran keduanya juga tidak ada yang lebih mengungguli satu dengan yang lain. Rukni
Setyawati menyampaikan bahwa proses pembelajaran harus dapat memberikan pengalaman
belajar yang menyenangkan dan berguna bagi siswa (Setyawati, 2015). Berdasarkan hal-hal di
atas, maka yang di maksud dengan proses pembelajaran dalam tulisan ini adalah proses atau
kegiatan yang dilaksanakan di dalam kelas untuk tujuan tertentu dengan melibatkan guru dan
siswa sebagai individu yang melakukan interaksi secara bersama.
Pembahasan akan dilakukan dengan mengacu pada pola pembentukan kesantunan
berbahasa seperti yang disampaikan oleh Sibarani, yakni setidaknya terdapat lima cara yang
dapat dilakukan untuk membentuk kesantunan berbahasa. Kelima landasan tersebut adalah
menerapkan prinsip kesopanan, menghindarkan kata-kata tabu, menggunakan eufimisme,
menggunakan pilihan honorifik yang tepat, dan menerapkan tindak tutur tidak langsung.
Pada kegiatan bertutur, penutur seharusnya menerapkan prinsip kesopanan (politeness
principle). Terdapat enam maksim dalam prinsip kesopanan, yakni maksim kebijaksanaan,
maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksin kerendahan hati, maksim kecocokan, maksim
kesimpatikan1. Maksim kebijaksanaan mengutamakan kearifan bahasa, maksim penerimaan
1
Lebih lanjut baca Sibarani (2004), Leech (1983), dan Wijana (1996)
mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri. Makasim
kemurahan mengutamakan rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri,
maksim kerendahan mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri.
Maksim kecocokan mengutamakan kecocokan kepada orang lain, dan maksim kesimpatikan
mengutamakan rasa simpati pada orang lain.
Prinsip-prinsip di atas seharusnya juga dipertimbangkan dalam interaksi pada proses
pembelajaran di sekolah. Dalam proses interaksi, dapat menciptakan hubungan sosial tersendiri
bagi pelakunya. Geertz berasumsi “that social relations are determined by the interaction of
cultural, social structural, and personality system”2. Antara siswa dengan guru ataupun
sebaliknya memiliki peran dan posisi tersendiri dalam interaksi social. Keduanya dipisahkan oleh
usia, pendidikan, dan kategori social lain yang ikut berpengaruh dalam proses berbahasa.
Terlebih dalam interaksi dalam pembelajaran yang dapat dipastikan peran guru adalah menjadi
teladan bagi siswa.
Berdasarkan data yang disajikan di atas dapat dilihat adanya tuturan yang mematuhi
prinsip kesopanan namun juga terdapat beberapa tuturan yang tidak mematuhi prinsip tersebut.
Pada data yang dipaparkan di atas terlihat adanya upaya guru untuk menggunakan bahasa yang
santun.
Contoh tuturan 1.
1
Guru – Siswa
Guru menyajikan wacana mengenai
hormat
pada
orang
tua
untuk
a) “Semua masih pada punya
orang tua kan?”
Siswa – Guru
menjelaskan materi mengenai hak
b) “masih buuu”
Guru – Siswa
dan kewajiban orang tua dan anak
c) “Tahu kan apa yang harus
pada mata pelajaran Agama.
kalian lakukan jika masih
punya orang tua?”
Siswa – Guru
d) “Tau buuuu”
Pada tuturan di atas terlihat guru mencoba mematuhi prinsip kesopanan dengan cara
mematuhi beberapa prinsip kesopanan. Guru menggunakan pilihan bahasa yang cukup mampu
2
Lebih jelas baca Claudia Straus and Naomi Quinn, A Cognitive Theory Of Cultural Meaning, (Australia:
Cambridge University Press, 1997)
menunjukkan kearifan seorang guru dengan menanyakan kepada sisiwa tentang kondisi mereka,
masih memiliki orang tua atau tidak. Berdasarkan pertanyaan yang diajukan tersebut, sebenarnya
guru tidak hendak melakukan pendataan terhadap orang tua siswa melainkan ingin
menyampaikan bahwa mereka selayaknya menjaga dan berbakti kepada orang tua selagi mereka
masih memiliki orang tua. Berdasarkan itu pula dapat dikatakan bahwa guru memilih
menggunakan bentuk tuturan tidak langsung. Guru tidak hendak menyuruh siswa melakukan
perbuatan berbakti kepada orang tua dengan kalimat perintah secara langsung melainkan
menggunakan bentuk lain. Guru memilih menggunakan kalimat interogatif untuk menyampaikan
maksud yang sebenarnya adalah imperatif. Dalam upaya memerintah guru juga tidak terlihat
memaksakan segala yang menjadi keinginannya. Di dalam tuturan yang digunakan juga tidak
terlihat adanya upaya memaksa melainkan adanya upaya untuk mengajak siswa berpikir secara
analitis dan logis. Tuturan guru pada data 1 tidak ditemukan adanya penggunaan kata-kata tabu.
Kalimat yang dituturkan dapat dikatakan mencerminakn kesantunan berbahasa. Dengan
menggunakan kalimat-kalimat seperti yang dituturkan pada data 1, kegiatan berkomunikasi
menjadi sebuah kegiatan yang bebas dari unsur pemaksaan. Akan tetapi, menjadi memiliki
makna lain ketika unsur paralinguistic dalam konteks tuturan tersebut dianalisis dan menjadi
bahan pertimbangan. Upaya guru untuk mengajak siswa untuk berpikir analitis dan logi tidak
terlalu mendapatkan sambutan baik dari siswa. Hal tersebut terlihat dari jawaban yang diberikan
oleh siswa maupun cara dan ekspresi mereka ketika memberikan jawaban. Siswa terlihat
memberikan jawaban yang sekenanya dan dengan eskpresi yang terlihat malas. Penggunaan
jawaban “buuuu” dengan nada yang cukup panjang memberikan kesan bahwa mereka pada
dasarnya tidak suka diberikan pertanyaan yang demikian. Terlebih lagi untuk pertanyaan lanjutan
mengenai “tahu kana pa yang harus kalian lakukan jika masih punya orang tua?”Siswa
menjawab dengan nada panjang dan ekspresi kemalasan sehingga menimbulkan kesan
pertanyaan tersebut sebenarnya tidak perlu dijawab.
Contoh tuturan 2.
2
Guru - Siswa
Guru meminta siswa untuk hadir
a) “Murid-murid
sekarang
tu
dalam upacara bendera memperingati
pada males-males, upacara
Hari Kemerdekaan RI
aja kalo gak dipaksa, gak
ditakut-takuti nilai, pada gak
mau datang, mau jadi apa
kalian nanti. (suasana kelas
hening
sejenak,
kemudian
guru melanjutkan)
b) “Bisa
gak
anak
muda
sekarang berpersetasi kayak
pemuda-pemuda zaman dulu?
Banyak gak bisanya. Saya
yakin”.
Pada data berikutnya, yakni data tuturan 2 di atas konteksnya adalah guru sedang
meminta siswa untuk hadir dalam upacara bendera dalam rangka memperingati Hari
Kemerdekaan Republik Indonesia. Melihat konteks yang digambarkan sebenarnya dapat
dibayangkan bahwa guru cukup memberikan perintah menggunakan kalimat imperatif berupa
tuturan “Besok wajib menghadiri upacara bendara di Kecamatan!”. Akan tetapi, guru tidak
menggunakan tuturan langsung untuk memberikan beberapa efek kepada siswa. Guru lebih
memilih menggunakan tuturan yang “menunjukkan ancaman dan emosi”. Hal tersebut didasari
atas kenyataan dan pengalaman bahwa pada tahun-tahun sebelumnya, siswa lebih memilih tidak
menghadiri upacara karena tidak ada sanksi maupun reward yang mereka terima. Dalam kasus
yang demikian, dapat dikatakan bahwa budaya “menakuti-nakuti” atau budaya ingin “ditakuttakuti” telah menjadi bagian dari diri siswa. Jangan sampai budaya tersebut terus berkembang
dan pada akhirnya menjadi sesuatu yang tertanam menjadi karakter siswa maupun guru. Karena
pada dasarnya bahasa menjadi cerminan pikiran manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa jika
guru mengeluarkan bahasa yang demikian dapat dikatakan bahwa hal itu mencerminkan sikap
dan karakter guru itu juga (Nuryani dan Putra, 2013; 53). Dengan demikian, selayaknya guru
memberikan pilihan jawaban atau petunjuk lain yang lebih meningkatkan daya analitis dan
logika siswa. Untuk itu, guru memberikan analisis dan contoh yang menjadi pertimbangan siswa
untuk hadir dalam upacara bendera atau tidak.
Meskipun demikian, dalam tuturan tersebut sebenarnya secara tidak langsung guru telah
memiliki pemikiran yang “sedikit merendahkan” siswa. Dapat dilihat dalam bentuk tuturannya
yang menyatakan bahwa “mau jadi apa kalian nanti?’. Tuturan tersebut telah menimbulkan kesan
bahwa siswa tidak akan jadi apa-apa karena tidak memiliki daya juang. Terbukti dengan perilaku
mereka yang ketika menghadiri upacara bendera saja harus dengan ancaman nilai. Demikian
juga dengan tuturan selanjutnya, yang lebih memperlihatkan pandangan guru terhadap siswanya.
Guru menyampaikan “Bisa gak anak muda sekarang berprestasi kayak pemuda-pemuda zaman
dulu?”. Kalimat tersebut tergolong kalimat pertanyaan yang membutuhkan jawaban dan reaksi
dari siswa. Akan tetapi, guru memiliki jawaban sendiri yang mencerminkan pandangan dia
terhadap keadaan muridnya. Guru kemudian melanjutkan tuturannya dengan memberikan
jawaban “Banyak gak bisanya, saya yakin”. Berdasarkan prinsip kesopanan yang dipaparkan di
atas, tuturan tersebut dapat digolongkan telah melanggar maskim kecocokan, kemurahan,
penerimaan, dan maksim kesimpatikan. Dalam hal ini guru tidak menunjukkan rasa simpati atas
keadaan siswa, karena guru justru mengeluarkan tuturan yang merendahkan siswa. Sebenarnya
akan lebih bagus dan santun ketika guru menjawab pertanyaan yang dia sampaikan dengan
memberikan contoh-contoh yang dapat dianalisis siswa. Guru dapat memberikan perbandingan
mengenai keadaan pemuda zaman dulu dengan pemuda zaman sekarang dari berbagai sisi.
Dengan begitu, selain tidak terlalu langsung dalam memberikan pandangan terhadap siswanya
guru juga memberikan banyak pelang kepada siswanya untuk memberikan pandangan yang logis
dan analitis sehingga siswanya dapat memberikan simpulan atas keadaan mereka sekarang.
Contoh tuturan 3.
3
Siswa- - Guru
Guru sedang menjelaskan materi dan
a) “Jamnya sudah habis buuu”
Guru - Siswa
tiba-tiba
b) “trus, kalo habis kenapa?”
bersuara.
salah
seorang
siswa
c) “tadi saya menjelaskan kalian
pada gak mau diem, ya resiko
kalian kalo harus melebih
jamnya” (guru menuturkan
dengan intonasi yang agak
tinggi,
karena
sebelumnya
siswa
ramai
dan
membiarkan saja)
Tuturan yang digambarkan pada data 3 merupakan tuturan yang disampaikan oleh siswa
kepada gurunya. Adapun konteks tuturan tersebut adalah siswa mengingatkan guru tentang jam
pelajaran yang telah usai dan sudah saatnya guru mengakhiri jam pelajarannya. Siswa
memberikan celetukan tuturan tersebut karena dia melihat waktu pelajaran sebenarnya telah usai
tetapi guru masih bersemangat dalam menjelaskan materi dan terlihat tidak memperhatikan
waktu pelajaran. Hal tersebut yang kemudian memunculkan tuturan siswa di atas. Dalam tuturan
tersebut siswa sebenarnya tidak menggunakan tuturan langsung, artinya dia memilih
menggunakan tindakn tutur tidak langsung. Akan tetapi, pilihan katanya yang dirasakan oleh
petutur yang dalam hal ini adalah guru, kurang sopan. Rasa atau anggapan itulah yang kemudian
memunculkan reaksi yang “negative” dari guru. Guru kemudian memberikan tanggapan dengan
memberikan pertanyaan balik “trus kalo habis kenapa?”. Pertanyaan balik yang disampaikan
oleh guru tersebut merupakan reaksi yang sebenarnay tidak diharapkan oleh siswa. Terlebih lagi
guru melanjutkan tuturannya yang menjadi dasar bagi guru untuk meneruskan jam pelajarannya
meskipun sebenarnya jam pelajarannya telah usai. Tuturan yang disampaikan oleh guru
selanjutnya juga justru memperlihatkan kondisi siswa yang kurang bagus. Adapun tuturan yang
disampaikan oleh guru adalah “Tadi saya menjelaskan kalian pada gak mau diem, ya resiko
kalian kalo harus melebihi jamnya”. Apabila dilihat dari penggunaan katanya tuturan guru
tersebut dapat dikategorikan dalam kalimat tuturan langsung. Guru langsung menyampaikan
guru
alasannya tanpa memilih menggunakan perumpamaan atau pilihan kata yang menunjukkan
maksudnya. Dalam prinsip kesopanan hal tesebut dikategorikan melanggar maksim kerendahan.
Maksim kerendahan menutut penutur untuk memaksimalkan pujian kepada orang lain dan
sebaliknya meminimalkan pujian untuk diri sendiri. Hal yang sebaliknya terjadi dalam tuturan
tersebut, yakni guru kemudian merendahkan petutur melalui tuturan yang mengungkapkan
kesalaha-kesalahan mereka sehingga menimbulkan konsekuensi yang harus ditanggung. Apabila
dilihat dari maksim kerendahan, sebenarnya guru dapat memilih menggunakan tuturan “Baik,
terima kasih kalian telah mengingatkan, tetapi kita masih harus tetap melanjutkan karena materi
yang hendak Ibu sampaikan belum tuntas karena adanya beberapa kendala, yang salah satunya
kalian tahu sendiri dan Ibu harap kalian menyadarinya”. Akan tetapi, yang perlu dipahami adalah
kondisi psikologis guru yang memang sudah dalam kondisi puncak kemarahan karena siswanya
tidak dapat diajak kerja sama. Guru merasa jika harus melebih jam pelajaran itu semua karena
siswa sendiri yang tidak kooperatif dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Dengan
begitu, karena siswa yang berbuat maka mereka pula harus bertanggung jawab dengan
mengorbankan waktu istirahatnya untuk tetap mendengarkan metari yang disampaikan oleh
guru.
Contoh tuturan 4 dan 5.
4
Siswa - Guru
Guru menanyakan mengenai materi
a) “Belum paham semuanya bu”
yang sudah dijelaskan sebelumnya, (salah
dan
siswa
menjawab
seorang
lebih
banyak
yang melanjutkan)
belum
paham.
Akan
siswa
kemudian
b) “Ibu jelasin lagi dong!”
tetapi, jawaban tersebut bukan berarti (kemudian disusul dengan beberapa
siswa betul-betul tidak paham akan siswa lain yang ikut memberikan
materi yang disampaika, melainkan dukungan)
sebagai upaya untuk mengindari
tugas yang biasa diberikan oleh guru
yang
bersangkutan
ketika
c) “iya bu, Ibu harus jelasin lagi,
kami kan gak paham”
telah
selesai menjelaskan materi.
5
Siswa - Guru
Guru
mengumumkan
akan “Nggak mau Bu, besok sudah ada
memberikan ulangan pada esok hari
ulangan Matematika”
Data yang dipaparkan pada tuturan 4 dan 5 di atas memperlihatkan adanya pelanggaran
prinsip kesopanan. Selain itu, bentuk ketidaksantunan juga diperlihatkan melalui penggunaan
tuturan langsung yang berupa penolakan. Seperti terlihat dalam tuturan 4 yang konteksnya
adalah guru telah selesai memberikan penjelasan mengenai materi pelajaran, dan kemudian
menanyakn kepada siswa tentang pemahaman mereka akan materi yang baru saja disampaikan.
Siswa yang mengetahui kebiasaan guru tersebut maka memberikan jawaban yang menyatakan
bahwa mereka semua belum paham dan langsung meminta guru untuk menjelaskan ulang.
Adapun implikatur yang dimiliki oleh siswa adalah bahwa guru yang bersangkutan biasa
memberikan tugas setelah selesai menjelaskan materi. Apabila siswa telah dianggap memahami
materi yang diberikan guru akan langsung memberikan tugas yang menurut siswa dalam kategori
“terlalu banyak”. Dengan adanya implikatur tersebut siswa memberikan jawaban guna
menghindari tugas yang akan diberikan oleh guru yang bersangkutan. Implikatur tersebut yang
pada akhirnya memunculkan jawaban siswa “Belum paham Bu”. Tuturan yang berikutnya
muncul dari salah seorang siswa menjadi bentuk kepastian akan ketidaksantunan yang
diwujudkan dalam tuturan langsung. Siswa tesebut menyampaikan “Ibu jelasin lagi dong!”.
Sebenarnya akan lebih santyun jika dituturkan melalui penggunaan tuturan tidak langsung,
seperti “Ibu, kami mohon ddapat dijelaskan ulang pada bagian ini”, atau “Pada bagian ini kami
masih kesulitan memahami”. Dengan tuturan yang demikian, tanggapan atau reaksi guru akan
sedikit berbeda dibandingkan dengan bentuk tuturan langsung yang meminta atau “menyuruh”
gurunya untuk menjelaskan ulang. Terlebih lagi pada tuturan selenjutnya yang lebih
memperlihatkan adanya “paksaaan” dari siswa kepada gurunya. Tuturan berikutnya yang
menyatakan “Iya Bu, Ibu harus jelasin lagi, kami kan gak paham” memperlihatkan adanya
banyak usnur kesantunan yang dilanggar.
Ngusman Abdul Manaf dari Universitas Negeri Padang melakukan penelitian dengan
mengambil judul “Perilaku Santun dalam Berbahas Indonesia Melalui Peminimalan Paksaan”
(Manaf, 2010: 233-242). Dalam penelitian tersebut Manaf mengungkapkan bahwa hal yang
memicunya untuk melakukan penelitian tersebut adalah adanya anggapan dari salah seorang
dosen yang merasa didikte dan dipaksa oleh mahasiswanya melalui pesan singkat yang
dikirimkan. Hal tersebut menurut petutur, yang dalam hal ini adalah dosen yang bersangkuta,
dirasakan tidak santun. Sesuai dengan salah satu prinsip yang ditegaskan dalam kesantunan
berbahasa adalah meminimalkan paksaan dalam tuturan (Sibarani, 2004: 174). Hal tersebut juga
ditemukan dalam tuturan siswa kepada guru dalm data yang disajikan di atas. Siswa terlihat
memaksa gurunya untuk dapat menjelaskan lebih lanjut atau menjelaskan ulang materi yang
telah disampaikan. Dengan alasan bahwa mereka belum memahami materinya maka guru yang
bersangkutan “dipaksa” untuk menjelaskan ulang. Siswa tidak menyadari bahwa hal tersebut
dapat menimbulkan anggapan tersendiri dalam diri guru. Mungkin saja yang terjadi adalah betul
bahwa seluruh siswa belum memahami materi yang disampaikan, tetapi cara atau bahasa yang
digunakan siswa membuat guru berpikir ulang untuk menjelaskan kembali materi yang telah
disampaikan. Hal itulah yang membuat manusia harus berpikir ulang ketika akan mengeluarkan
atau menyampaikan pikirannya melalui bahasa yang diucapkan. Hal ini karena adanya anggapan
bahwa kegiatan berbahasa sama halnya dengan kegiatan lain seperti bernafas, makan, minum,
maupun tidur, sehingga kegiatan tersebut berlangsung hanya berdasarkan pada naluri tanpa
adanya pertimbangan lain (Nuryani dan Putra, 2013: 1).
Banyak hal yang mendasari munculnya keberagaman tuturan siswa. Salah satunya adalah
ketidakpahaman siswa terhadap adanya kesantunan berbahasa yang harus dimiliki dan
dipraktikkan dalamkeseharian mereka. Selain itu, input yang biasa diterima dan dilihat oleh
siswa bisa saja sangat mempengaruhi kesantunan berbahasa yang mereka miliki. Dengan input
yang diterima semacam itu maka tidak mengherankan jika tuturan siswa juga dipengaruhi oleh
contoh-contoh yang mereka terima. Hal tersebut dapat dilihat dari contoh-contoh tuturan yang
dipaparkan pada data di atas. Guru dalam bertutur juga cenderung tidak memperlihatkan adanya
kesantunan berbahasa. Meskipun demikian, pada beberapa hal usaha untuk memperbaiki
kesantunan berbahasa ada. Akan tetapi, banyak hal juga yang membuat guru pada akhirnya
mengeluarkan tuturan yang “kurang atau tidak santun”. Kondisi psikologi dan beban kerja yang
dimiliki menjadi salah satu hal yang ikut mempengaruhi pemilihan bahasa oleh guru.
Pemahaman guru mengenai kesantunan berbahasa juga ikut berpengaruh dalam hal tersebut.
Dengan begitu, banyak tuturan yang pada akhirnya dikategorikan melanggar prinsip-prinsip
kesopanan.
4. SIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan di atas maka dalam tulisan ini menyimpulkan
bahwa penerapan kesantunan berbahasa di dalam proses pembelajaran masih perlu ditingkatkan.
Hal tersebut dapat dilihat melalui banyaknya tuturan baik guru dengan siswa dan siswa dengan
guru yang memperlihatkan adanya ketidaksantunan dalam berbahasa. Terdapat beberapa hal
yang mempengaruhi kemunculan fenomena tersebut. Munculnya fenomena ketidaksantunan
dalam berbahasa dari sisi siswa lebih dipengaruhi unsur keteladanan baik dari guru maupun
lingkungan mereka. Sementara itu, dari sisi guru, adanya faktor kondisi psikologis dan beban
kerja yang dimiliki menjadi unsur yang kemudian memunculkan pola berbahasa yang “kurang
santun”. Sangat dipahami bahwa guru memiliki beban kerja yang lebih, yakni selain sekadar
menyampaikan materi sebenarnya guru juga memiliki kewajiban untuk menanamkan karakter
yang baik dalam diri siswa. Tugas ini menjadi sangat berat ketika banyak faktor lain di luar
sekolah yang tutur berperan. Akan tetapi, apapun kondisi yang dibebankan kepada guru, mereka
adalah pemimpin di kelas mereka. Terlebih dalam proses pembelajaran, gurulah yang menjadi
tolok ukur perkembangan siswa, baik dari sisi afektif, kognitif, maupun psikomotoriknya. Untuk
itulah, seberapun tingkat beban yang dipikul oleh guru sudah selayaknya kesantunan berbahasa
tetap dicerminkan.
Saran yang dapat disampaikan atas hasil temuan ini adalah perlu diadakan penyuluhan
kesantunan berbaha di sekolah-sekolah. Penyuluhan tidak hanya diberikan kepada siswa saja
melainkan semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran. Hal tersebut penting guna
memberikan bekal pengetahuan dan pemahaman siswa mengenai adanya prinsip-prinsip
kesantunan berbahasa yang mereka ketahui. Dengan begitu, posisi sekolah dan lembaga
pendidikan sebagai pengubah perilaku menjadi lebih baik akan dapat terwujud. Selain itu, upaya
ini juga merupakan tindakan nyata dalam mengembalikan fitrah pendidikan sebagai alat untuk
menanamkan karakter yang baik dalam diri siswa sebagai bagian dari upaya membetuk generasi
muda yang andal dan unggul dengan nilai-nilai positif. Dengan demikian, tidak ada lagi
anggapan bahwa orang yang sekolah dengan yang tidak sekolah sama saja. Paling tidak, kita
akan dapat memberikan bukti bahwa orang yang berpendidikan atau sekolah dapat lebih
menggunakan bahasa dengan santun.
DAFTAR PUSTAKA
D.E. Montolalu, I N. Siandi, dan I M. Sutama, “Kesantunan Verbal dan Nonverbal pada Tuturan
Imperatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Pangudi Luhur Ambarawa Jawa
Tengah” memberikan beberapa simpulan” dalam e- Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha Volume 2 Tahun 2013.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Depdikbud.
Ika Rihan K., “Kesantunan Pengungkapan Kalimat Perintah dalam Perkuliahan Bahasa
Indonesia Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sultan Abdurrahman Tanjung Pinang,
Kepulauan Riau”, dalam Jurnal Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Volume 2, No. 1 Juni 2015, ISSN 2407-506x
Indy G. Khakim, Mutiara Kearifan Jawa, (Blora: Pustaka Kaona, 2008), hlm. 9
Ngusman Abdul Manaf, 2010 “Perilaku Santun dalam Berbahasa Indonesia Melalui
Peminimalan Paksaan”, Proceedings The International Seminar on Multidisciplined
Linguistics di Padang, 18 Maret 2010.
Nuryani, 2009, “Interaksi Verbal Dalam Kegiatan Nonformal Sekolah Lapang (Sl) Kajian
Sosiopragmatik (Studi Kasus Di Kelurahan Gadingan Kabupaten Indramayu)”, Tesis S-2
FIB UGM ,Yogyakarta: UGM, tidak diterbitkan.
Nuryani dan Dona Aji Karunia Putra, 2013, Psikolinguistik, Jakarta: Mazhab Ciputat.
Oemar Hamalik, 2009, Psikologi Belajar dan Mengajar, Bandung: Bumi Aksara
Robert Sibarani, 2004, Antropolinguistik, Medan: Penerbit Moda.
Rukni Setyawati, “Kesantunan Berbahasa dalam Pembelajaran di Kelas”,
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3428/8, diunduh pada Senin,
5 Oktober 2015, pukul 21.15
Straus, Claudia and Naomi Quinn, 1997, A Cognitive Theory Of Cultural Meaning, Australia:
Cambridge University Press.
Download