Penerapan Kesantunan Berbahasa dalam Kegiatan Pembelajaran Nuryani Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta [email protected] Abstrak Indonesia terkenal akan kebudayaannya yang adi luhung. Dalam bahasa Indonesia, meskipun termasuk dalam kategori bahasa yang egaliter namun di dalamnya tetap mencerminkan pola perilaku masyarakat yang santun. Kesantunan bahasa sangat perlu untuk diperlihatkan dan terus dipertahankan di masyarakat kita, karena itu akan menjadi ciri dan kekhasan masyarakat Indonesia. Kesantunan berbahasa perlu diterapkan dalam semua aspek kahidupan. Salah satu tempat yang penting untuk menerapkan kesantunan berbahasa adalah dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Dalam kegiatan ini sangat penting untuk memasukkan semua unsur yang positif. Hal tersebut penting karena KBM menjadi ujung tombak dalam penanaman nilai-nilai positif dari guru kepada siswa, siswa kepada guru, maupun siswa dengan siswa. Untuk itu, dalam kegiatan atau proses belajar mengajar hendaklah dapat berjalan dengan penuh kesantunan yang terwujud melalui bahasa yang digunakan. Kesantunan berbahasa dalam KBM akan membawa dampak positif pada pandangan siswa terhadap guru, guru terhadap siswa, maupun siswa dengan siswa. Kata kunci: kesantunan berbahasa, kegiatan pembelajaran Absract Indonesia is famous for its nice and good culture. In Indonesian , although included on the egalitarian languages category but it still reflects the behavior patterns of polite society. Politeness on language is very necessary to be shown and continues to be maintained in our society, because it will be the characteristics of Indonesian society. Politeness should be applied in all aspects of life. One of the places that are important to implement politeness is in teaching and learning activities (KBM). In this activity is very important to incorporate all the positive elements. That is important because KBM will be one of places to get of positive values from teacher to student, student to teacher, and student with student. To the end, the activities or the teaching and learning process can run fully let politeness manifested through the language used. Politeness in KBM will bring a positive impact on students' views on teachers, teachers’s view to student, and student’s view with student. Key word: politeness, teaching and learning activities 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang telah terkenal memiliki adat istiadat yang luhur. Hal itu terjadi sejak zaman dahulu dan akan terus dipertahankan oleh setiap generasi sampai nanti. Keluhuran yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia meliputi banyak aspek dan mencakup hamper semua nilai-nilai dalam kehidupan. Untuk itulah tidak seharusnya bangsa Indonesia dan seluruh masyarakatnya meninggalkan keluhuran tersebut. Salah satu aspek nilai keluhuan kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah dalam penggunaan bahasa. Hampir semua suku yang ada di Indonesia memiliki bahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut telah diantisipasi oleh para pendiri bangsa dengan mengemukakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan demikian, bahasa persatuan inilah yang seharusnya mampu menyatukan kita dan mampu menjadi wakil dari pengenalan jati diri bangsa. Dalam kehidupan beragama juga banyak hal yang menjelaskan betapa pentingnya untuk berkata dengan baik. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim disampaikan juga tentang pentingnya bertutur kata yang baik. Adapun arti hadisnya sebagai berikut. Dari Abu Huroiroh Radliyallahuanhu, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berkata yang baik, atau hendaklah diam saja” (Bukhori dan Muslim). Dalam hadis di atas ditekankan pentingnya kita untuk berbicara dengan baik. Apabila hal tersebut tidak dapat kita lakukan, akan lebih baik jika kita diam. Dengan mengikuti anjuran tersebut, harapannya adalah tidak ada pihak yang merasa dirugikan ketika dalam kegiatan bertutur. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti manusia harus lebih banyak diam, melainkan manusia hendaknya lebih bijak dalam memilih bahasa dan kata-kata yang akan dituturkan. Melihat hal di atas dapat tergambarkan betapa pentingnya memelihara kesantunan berbahasa. Akan tetapi, kesantunan berbahasa saat ini dirasakan sudah mulai memudar. Di lingkungan masyarakat, hal tersebut sudah terlihat sangat jelas, seperti kegiatan komunikasi antara anak-orang tua, murid-guru, maupun antara orang yang satu dengan yang lain dalam kegiatan komunikasi dengan orang yang tidak saling mengenal. Hal itu, cukup bertentangan dengan budaya masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi kesopanan dan kesantunan dalam berbagai aspek. Untuk itulah, kesantunan ini perlu dihidupkan kembali dalam berbagai bentuk dan sarana, salah satunya adalah bahasa atau kegiatan berbahasa. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali pola-pola kesantunan berbahasa. Salah satu caranya adalah melalui kegiatan belajar mengajar, yang di dalamnya banyak terjadi interaksi. Interaksi yang mungkin ditemukan adalah interaksi antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa. Di dalam interaksi tersebut sangat dimungkinkan muncul kegiatan berbahasa, karena hakikat bahasa dapat dikatakan sebagai alat untuk berinteraksi. Berbahasa merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia dalam upaya melakukan komunikasi. Komunikasi yang berjalan antara petutur dengan penutur membutuhkan adanya saling kesepahaman di antara keduanya. Di dalam proses tersebut terdapat interaksi antara penutur dengan petutur. Interaksi merupakan kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan komunikasi resiprokal. Komunikasi resiprokal dapat berlangsung jika ada pertukaran informasi antarpartisipan, sehingga partisipan saling berganti peran secara berkelanjutan dalam proses interaksi yang berlangsung tersebut (Nuryani, 2009, 19). Pergantian peran yang berlangsung antara penutur dan petutur yang dalam tulisan ini adalah siswa dengan guru seharusnya dapat berlangsung dengan lancer dan tidak menimbulkan kesalahpahaman maupun rasa yang dinilai kurang santun baik bagi guru maupun siswa. Untuk itulah, segala hal yang terkait dengan ketatabahasaan baik yang tertulis maupun tidak sudah selayaknya dipahami antara guru dengan siswa. Dalam kehidupan di masyarakat banyak ditemukan berbagai bentuk tuturan dan pola bertutur. Pola bertutur antara orang tua dengan anak akan berbeda dengan pola bertutur antara anak dengan orang tua, demikian juga pola bertutur antara sesama orang tua maupun sesama anak yang dipastikan akan berbeda pula. Pada proses komunikasi yang terjadi di lingkungan sekolah akan berbeda pula dengan kegiatan berkomunikasi yang berlangsung di lingkungan masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa pola bertutur antara guru dengan siswa juga berbeda dengan pola bertutur siswa dengan guru. Pola bertutur yang mungkin terjadi antara guru dengan siswa dalam interaksi di kelas biasanya satu arah. Artinya, pola tuturan yang berlangsung lebih didominasi oleh guru sebagai pemberi materi, sementara siswa hanya memberikan tanggapan jika mereka merasa perlu. Hal tersebut memunculkan pola tuturan yang tidak terlalu interaktif. Dalam proses pembelajaran siswa lebih banyak ditemukan diam dan mendengarkan guru menyampaikan materi. Siswa terlihat sesekali memberikan tanggapan tetapi dalam bentuk tuturan yang pendek. Meskipun hal tersebut boleh, tetapi seharusnya tidak menjadi kebiasaan yang sedikit banyak akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam berkomunikasi. Akan tetapi, pada banyak kejadian atau peristiwa hal tersebut telah banyak tidak ditemukan. Banyak faktor yang terjadi sehingga pola tersebut banyak berubah. Salah satunya adalah faktor penggunaan kurikulum yang diterapkan di sekolah. Kurikulum yang diterapkan berimplikasi pada penggunaan metode dan media pembelajaran. Hal tersebut akan berimplikasi pula pada peran guru yang tidak hanya sebagai pusat pembelajaran. Dengan begitu, sedikit banyak akan tercipta pola tuturan yang sangat interaktif dan komunikatif. Dalam kejadian yang demikian, akan terlihat kesantunan berbahasa yang dimiliki dan digunakan oleh siswa dalam berinteraksi dengan guru. Proses komunikasi yang terbuka secara idealnya harus mampu menjadi lahan bagi siswa untuk berkomunikasi dengan tuturan yang bagus. Hal tersebut dapat terjadi karena siswa akan melihat contoh secara langsung melalui tuturan guru. Guru hendaknya menjadi agen perubahan dan penanaman karakter baik dalam diri siswa. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam fungsinya menjadi agen perubahan adalah melalui penggunaan bahasa yang santun. Siswa memiliki kecenderungan untuk meniru segala hal yang dilakukan oleh gurunya. Terlebih lagi bagi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang masih dalam usia-usia rentan terhadap pengaruh. Guru selayaknya mampu menjandi contoh atau tauladan yang baik sehingga siswa memiliki panduan atau tuntutan dalam kegiatan berkomunikasi. Ketika guru menggunakan pola tuturan yang bagus dan pemiliki bahasa yang santun harapannya adalah siswa akan dapat menirunya. Apabila penggunaan bahasa yang santun terus berulang oleh semua guru dan di semua pelajaran maka tidak menutup kemungkinaa siswa akan dapat menirunya. Demikian juga ketika guru menggunakan tindak bahasa yang dianggap kurang santun, tidak menutup kemungkinan jika siswa akan cenderung meniru juga. Beberapa hal di atas membawa dampak yang cukup serius dalam proses pembelajaran. Interaksi yang cair dan terbuka antara guru dengan siswa menjadikan kedekatan yang tercipta antara guru dengan siswa juga terbuka lebar. Hal tersebut membuahkan beberapa penemuan yang terkait dengan kesantunan. Proses pendidikan atau pembelajaran yang idealnya menjadi sarana pembentukan karakter baik dapat saja berubaha menjadi sebaliknya. Siswa dapat kita ibaratkan sebagai teko yang diisi oleh air. Segala jenis air dapat kita masukkan, tetapi imbasnya adalah input itu pula yang akan dikeluarkan. Hal yang sama dapat dialami oleh siswa. Guru dapat melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa yang beragam, baik dilihat dari sisi kesantunan maupun kepantasan, dan hal itulah yang akan diserap dan direkam oleh siswa. Dengan begitu, ketika kita menemukan kasus siswa tidak bertutur dengan santun sangat dimungkinkan karena input yang diterima memang yang seperti itu. Dewasa ini telah banyak ditemukan kasus kesantunan berbahasa yang semakin menurun. Siswa lebih banyak menggunakan bentuk-bentuk kalimat yang cenderung langsung. Apabila akan menyampaikan sesuatu, siswa kecenderungannya adalah menggunakan bentuk imperatif maupun bentuk-bentuk kalimat lain yang maksudnya adalah langsung. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Eka Rihan, bahwa mahasiswa cenderung menggunakan kalimat imperatif secara langsung untuk menyampaikan perintah (Rihan, 2015: 98). Penelitian lain dilakukan oleh Montolalu, dkk. mengenai kesantunan verbal dan nonverbal pada tuturan imperatif siswa SMP. Penelitian yang berjudul “Kesantunan Verbal dan Nonverbal pada Tuturan Imperatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Pangudi Luhur Ambarawa Jawa Tengah” memberikan beberapa simpulan (Montolulu, dkk, 2013). Simpulan yang diberikan adalah (1) terdapat kesantunan bentuk tuturan imperatif secara verbal dan nonverbal pada proses pembelajaran, (2) terdapat prinsip kesantunan tuturan imperatif secara verbal dan nonverbal pada proses pembelajaran, dan (3) terdapat penyimpangan prinsip kesantunan verbal dan nonverbal pada tuturan imperatif dalam proses pembelajaran. Penelitian kesantunan berbahasa juga telah dilakukan oleh Rukni Setyawai dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Penelitian yang dilakukan berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam Pembelajaran di Kelas” (Setyawati, 2015). Catatan yang diberikan oleh Rukni dalam tulisannya meliputi empat hal. Keempat catatan tersebut adalah (1) komunikasi merupakan hal yang pokok dalam menyampaikan pesan, untuk dapat menyampaikan pesan dengan baik perlu dilakukan secara santun, (2) proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru haruslah berdasarkan kaidah dan tata cara penyampaian yang santun, baik isi, bahasa, cara menyampaikan, maupun mimic dan gerak geriknya, (3) siswa dalam mengikuti pelajaran supaya menjaga sikap dengan baik, dan tutur kata yang santun baik kepada sesame teman maupun kepada guru, dan (4) kunci kesuksesan dalam pembelajaran adalah kesepahaman antara guru dan siswa dalam transaksi pembelajaran, yakni dengan menggunakan sikap dan tutur kata yang santun. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu tersebut dapat disampaikan beberapa temuan yang terkait dengan tindakan kesantunan berbahasa dalam proses pembelajaran. Salah satu yang dapat digarisbawahi adalah bahwa memang saat ini telah banyak ditemukan kecenderung menurunnya kesantunan berbahasa terutama pada bentuk imperatif. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Input yang diterima maupun contoh yang ditemukan menjandi beberapa faktor yang ikut mempengaruhi. Selain itu, faktor lingkungan dan media ikut menyumbang juga adanya kecenderungan menurunnya tingkat kesantunan berbahasa. Berdasarkan ulasan di atas maka dalam tulisan ini akan fokus membahas mengenai penerapan kesantunan berbahasa dalam proses pembelajaran. Di dalam analisis disajikan contoh data-data mengenai tuturan yang ditemukan selama proses pembelajaran berlangsung. Contoh data yang diambil meliputi tuturan antara guru dengan siswa dan siswa dengan guru. Suasana yang melatarbelakangi tuturan tentu akan digambarkan dalam konteks tuturan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan kesantunan berbahasa dalam kegiatan pembelajaran di sekolah? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan atau menggambarkan penerapan kesantunan berbahasa dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. 1.4 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan berupa kata-kata atau bahasa dalam kegiatan pertuturan di dalam pemebalajaran di kelas. Untuk itulah, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah kegiatan pembelajaran di sekolah. Data yang dikumpulkan berupa tuturan antara guru dan siswa dan tuturan yang terjadi dalam interaksi keduanya. Untuk mendapatkan data tersebut, teknik yang digunakan oleh peneliti adalah berupa rekaman dan observasi. Peneliti menggunakan rekaman untuk mendapatkan data pada saat proses pembelajaran berlangsung. Dengan menggunakan rekaman data yang didapatkan akan bersifat langsung. Setelah mendapatkan data berupa rekaman peneliti kemudian melanjutkan pengamatan terhadap hasil rekaman tersebut dan kemudian data tuturan yang terdapat di dalamnya ditranskripsikan. Setelah itu, peneliti melanjukan dengan melakukan observasi di dalam kelas. Teknik analisis data yang digunakan meliputi display data, reduksi data, dan analisis data. Peneliti menyajikan data berupa tuturan yang terjadi antara guru dengan siswa ataupun sebaliknya. Selanjutnya, peneliti memilah data yang akan dianalisis dan dilanjutkan dengan membahas dengan menggunakan teori yang disajikan. 2. KAJIAN TEORI 2.1 Kesantunan Berbahasa Kesantunan berbahasa sangatlah penting untuk dimiliki dan diterapkan oleh siswa dan guru. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata santun adalah halus dan baik (budi bahasanya dan tingkah lakunya) (Depdikbud, 2008). Berdasar pada pengertian tersebut, santun tidak hanya diartikan dari satu sisi, melainkan beberapa sisi, yakni bahasa dan tingkah laku (verbal maupun nonverbal). Kesantunan berbahas dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dengan mitra tutur (Montolulu, 2013). Dengan demikian, santun dan kesantunan merupakan anggapan yang muncul dari sisi petutur atau mitra tutur. Banyak para pakar bahasa yang berbicara mengenai kesantunan. Di antara beberapa pakar tersebut dapat kita sebutkan Lakof, Frases, Leech, dan Levinson (Sibarani, 2004: 174). Fraser memberikan pengertian mengenai kesantunan dari sisi strategi, sementara Lakof membedakan kesantunan berdasarkan kaidah. Bagi Fraser, kesantunan adalah property yang diasosiasikan dengan ujaran dan dalam hal ini menurut si pendengar, penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya (Sibarani, 2004: 176). Sibarani menyampaikan bahwa kesantunan berbahasa sedikitnya dapat dilakukan dengan lima cara (Sibarani, 2004: 192-194). Lima cara tersebut adalah, pertama, kita perlu menerapkan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa, yakni sebuah prinsip yang berusaha untuk memaksimalkan kesenangan atau kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, maupun pujian kepada orang lain, dan sebaliknya meminimalkan hal-hal tersebut kepada diri sendiri. Kedua, kesantunan berbahasa harus menghindarkan kata-kata tabu (taboo) dalam berkomunikasi. Norma yang berlaku terkait dengan kata-kata tabu ini memang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Akan tetapi, pada beberapa contoh kasus ditemukan juga kesamaannya. Sebagai contoh adalah pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang memiliki asosiasi dengan seks atau kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang ditutupi pakaian biasanya dianggap sebagai kata-kata tabu. Selain itu, kata-kata yang merujuk pada suatu benda yang menjijikkan, kata-kata kotor dan kasar, juga dianggap sebagai kata-kata tabu. Ketiga, dalam upaya menghindari penggunaan kata-kata tabu, maka penggunaan eufimisme sangat disarankan. Eufimisme merupakan ungkapan yang halus sebagai pengganti segala kata yang dianggap tabu. Eufimisme dilakukan supaya bahasa tetap terjaga dan sopan. Keempat, kesantunan juga dapat tercapai dengan menggunakan pilihan kata yang honorifik. Honorifik adalah ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan honorifik tentu saja dengan melihat unsur efek kesantunan yang ditimbulkan. Kelimat, kesantunan juga dapat tercapai melalui penerapan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act). Tindak tutur ini merupakan jenis ujaran yang disampaikan dengan menggunakan modus kalimat yang berbeda dari maksud kalimatnya. Modus kalimat dibedakan atas kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Ketiga modus kalimat tersebut memiliki fungsi sesuai dengan jenisnya. Kalimat berita digunakan untuk memberitahukan atau menginformasikan sesuatu. Kalimat tanya digunakan untuk menanyakan sesuatu. Sementara itu, kalimat perintah digunakan untuk memerintah, mengajak, maupun memohon. 2.2 Pembelajaran Proses pembelajaran merupakan proses yang di dalamnya terdapat tujuan yang akan dicapai. Secara sederhana Hamalik memberikan definisi mengenai belajar, yakni memodifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (Hamalik, 2009: 27). Dalam kegiatan pembelajaran, tujuan memang merupakan sesuatu yang penting. Akan tetapi, terdapat hal yang lebih penting lagi dari sekedar hasil, yakni proses pembelajaran itu sendiri. Dalam proses yang berlangsung, akan dapat ditemukan banyak sekali pelajaran yang dapat diambil. Dalam proses itu juga akan banyak contoh-contoh dan teladan yang bisa diteladani. Hampir dapat dipastikan bahwa dalam proses pembelajaran guru menjadi sebuah peran yang sangat diharapkan dapat memberikan keteladanan kepada siswa. Dengan begitu, hal-hal yang dilakukan oleh guru sudah seharusnya merupakan hal-hal yang baik sehingga dapat dilihat dan dicontoh langsung oleh siswa. Hal yang dapat dilakukan oleh guru salah satunya adalah dengan menata bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran. Guru seharusnya mampu memberikan contoh dan teladan berupa penggunaan bahasa yang santun. Kesantunan berbahasa yang ditunjukkan oleh guru dalam berinteraksi dengan siswa akan menimbulkan respon yang baik dari siswa sehingga terjadi komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik akan menunjang tercapainya tujuan pembelajaran secara maksimal (Sibarani, 2004: 176). Akan tetapi, hal yang terjadi sekarang adalah banyak sekali ditemukan penyimpangan-penyimpangan dalam tuturan guru kepada siswa. Guru sebagai pusat perhatian di dalam kelas justru terkadang memunculkan keegoannya dan menunjukkannya melalui bahasa yang digunakan. 3. PEMBAHASAN Pembahasan yang dilakukan dalam tulisan ini akan mendasarkan pada teori yang telah disajikan. Teori yang terkait dengan kesantunan yang akan digunakan sebagai alat analisis adalah pembentukan kesantunan berbahasa yang disampaikan oleh Sibarani. Sementara itu, yang di maksud dengan belajar adalah proses perubahan tingkah laku seseorang yang relative menetap yang meliputi perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, dan pemahaman berkat adanya pengalaman, yaitu interaksi antara individu dengan lingkungan (Setyawati, 2015). Proses pembelajaran berlangsung dan melibatkan beberapa pihak, yakni adanya guru dan adannya siswa. Kedua pihak ini memiliki peran masing-masing yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, peran keduanya juga tidak ada yang lebih mengungguli satu dengan yang lain. Rukni Setyawati menyampaikan bahwa proses pembelajaran harus dapat memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dan berguna bagi siswa (Setyawati, 2015). Berdasarkan hal-hal di atas, maka yang di maksud dengan proses pembelajaran dalam tulisan ini adalah proses atau kegiatan yang dilaksanakan di dalam kelas untuk tujuan tertentu dengan melibatkan guru dan siswa sebagai individu yang melakukan interaksi secara bersama. Pembahasan akan dilakukan dengan mengacu pada pola pembentukan kesantunan berbahasa seperti yang disampaikan oleh Sibarani, yakni setidaknya terdapat lima cara yang dapat dilakukan untuk membentuk kesantunan berbahasa. Kelima landasan tersebut adalah menerapkan prinsip kesopanan, menghindarkan kata-kata tabu, menggunakan eufimisme, menggunakan pilihan honorifik yang tepat, dan menerapkan tindak tutur tidak langsung. Pada kegiatan bertutur, penutur seharusnya menerapkan prinsip kesopanan (politeness principle). Terdapat enam maksim dalam prinsip kesopanan, yakni maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksin kerendahan hati, maksim kecocokan, maksim kesimpatikan1. Maksim kebijaksanaan mengutamakan kearifan bahasa, maksim penerimaan 1 Lebih lanjut baca Sibarani (2004), Leech (1983), dan Wijana (1996) mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri. Makasim kemurahan mengutamakan rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, maksim kerendahan mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri. Maksim kecocokan mengutamakan kecocokan kepada orang lain, dan maksim kesimpatikan mengutamakan rasa simpati pada orang lain. Prinsip-prinsip di atas seharusnya juga dipertimbangkan dalam interaksi pada proses pembelajaran di sekolah. Dalam proses interaksi, dapat menciptakan hubungan sosial tersendiri bagi pelakunya. Geertz berasumsi “that social relations are determined by the interaction of cultural, social structural, and personality system”2. Antara siswa dengan guru ataupun sebaliknya memiliki peran dan posisi tersendiri dalam interaksi social. Keduanya dipisahkan oleh usia, pendidikan, dan kategori social lain yang ikut berpengaruh dalam proses berbahasa. Terlebih dalam interaksi dalam pembelajaran yang dapat dipastikan peran guru adalah menjadi teladan bagi siswa. Berdasarkan data yang disajikan di atas dapat dilihat adanya tuturan yang mematuhi prinsip kesopanan namun juga terdapat beberapa tuturan yang tidak mematuhi prinsip tersebut. Pada data yang dipaparkan di atas terlihat adanya upaya guru untuk menggunakan bahasa yang santun. Contoh tuturan 1. 1 Guru – Siswa Guru menyajikan wacana mengenai hormat pada orang tua untuk a) “Semua masih pada punya orang tua kan?” Siswa – Guru menjelaskan materi mengenai hak b) “masih buuu” Guru – Siswa dan kewajiban orang tua dan anak c) “Tahu kan apa yang harus pada mata pelajaran Agama. kalian lakukan jika masih punya orang tua?” Siswa – Guru d) “Tau buuuu” Pada tuturan di atas terlihat guru mencoba mematuhi prinsip kesopanan dengan cara mematuhi beberapa prinsip kesopanan. Guru menggunakan pilihan bahasa yang cukup mampu 2 Lebih jelas baca Claudia Straus and Naomi Quinn, A Cognitive Theory Of Cultural Meaning, (Australia: Cambridge University Press, 1997) menunjukkan kearifan seorang guru dengan menanyakan kepada sisiwa tentang kondisi mereka, masih memiliki orang tua atau tidak. Berdasarkan pertanyaan yang diajukan tersebut, sebenarnya guru tidak hendak melakukan pendataan terhadap orang tua siswa melainkan ingin menyampaikan bahwa mereka selayaknya menjaga dan berbakti kepada orang tua selagi mereka masih memiliki orang tua. Berdasarkan itu pula dapat dikatakan bahwa guru memilih menggunakan bentuk tuturan tidak langsung. Guru tidak hendak menyuruh siswa melakukan perbuatan berbakti kepada orang tua dengan kalimat perintah secara langsung melainkan menggunakan bentuk lain. Guru memilih menggunakan kalimat interogatif untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya adalah imperatif. Dalam upaya memerintah guru juga tidak terlihat memaksakan segala yang menjadi keinginannya. Di dalam tuturan yang digunakan juga tidak terlihat adanya upaya memaksa melainkan adanya upaya untuk mengajak siswa berpikir secara analitis dan logis. Tuturan guru pada data 1 tidak ditemukan adanya penggunaan kata-kata tabu. Kalimat yang dituturkan dapat dikatakan mencerminakn kesantunan berbahasa. Dengan menggunakan kalimat-kalimat seperti yang dituturkan pada data 1, kegiatan berkomunikasi menjadi sebuah kegiatan yang bebas dari unsur pemaksaan. Akan tetapi, menjadi memiliki makna lain ketika unsur paralinguistic dalam konteks tuturan tersebut dianalisis dan menjadi bahan pertimbangan. Upaya guru untuk mengajak siswa untuk berpikir analitis dan logi tidak terlalu mendapatkan sambutan baik dari siswa. Hal tersebut terlihat dari jawaban yang diberikan oleh siswa maupun cara dan ekspresi mereka ketika memberikan jawaban. Siswa terlihat memberikan jawaban yang sekenanya dan dengan eskpresi yang terlihat malas. Penggunaan jawaban “buuuu” dengan nada yang cukup panjang memberikan kesan bahwa mereka pada dasarnya tidak suka diberikan pertanyaan yang demikian. Terlebih lagi untuk pertanyaan lanjutan mengenai “tahu kana pa yang harus kalian lakukan jika masih punya orang tua?”Siswa menjawab dengan nada panjang dan ekspresi kemalasan sehingga menimbulkan kesan pertanyaan tersebut sebenarnya tidak perlu dijawab. Contoh tuturan 2. 2 Guru - Siswa Guru meminta siswa untuk hadir a) “Murid-murid sekarang tu dalam upacara bendera memperingati pada males-males, upacara Hari Kemerdekaan RI aja kalo gak dipaksa, gak ditakut-takuti nilai, pada gak mau datang, mau jadi apa kalian nanti. (suasana kelas hening sejenak, kemudian guru melanjutkan) b) “Bisa gak anak muda sekarang berpersetasi kayak pemuda-pemuda zaman dulu? Banyak gak bisanya. Saya yakin”. Pada data berikutnya, yakni data tuturan 2 di atas konteksnya adalah guru sedang meminta siswa untuk hadir dalam upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Melihat konteks yang digambarkan sebenarnya dapat dibayangkan bahwa guru cukup memberikan perintah menggunakan kalimat imperatif berupa tuturan “Besok wajib menghadiri upacara bendara di Kecamatan!”. Akan tetapi, guru tidak menggunakan tuturan langsung untuk memberikan beberapa efek kepada siswa. Guru lebih memilih menggunakan tuturan yang “menunjukkan ancaman dan emosi”. Hal tersebut didasari atas kenyataan dan pengalaman bahwa pada tahun-tahun sebelumnya, siswa lebih memilih tidak menghadiri upacara karena tidak ada sanksi maupun reward yang mereka terima. Dalam kasus yang demikian, dapat dikatakan bahwa budaya “menakuti-nakuti” atau budaya ingin “ditakuttakuti” telah menjadi bagian dari diri siswa. Jangan sampai budaya tersebut terus berkembang dan pada akhirnya menjadi sesuatu yang tertanam menjadi karakter siswa maupun guru. Karena pada dasarnya bahasa menjadi cerminan pikiran manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa jika guru mengeluarkan bahasa yang demikian dapat dikatakan bahwa hal itu mencerminkan sikap dan karakter guru itu juga (Nuryani dan Putra, 2013; 53). Dengan demikian, selayaknya guru memberikan pilihan jawaban atau petunjuk lain yang lebih meningkatkan daya analitis dan logika siswa. Untuk itu, guru memberikan analisis dan contoh yang menjadi pertimbangan siswa untuk hadir dalam upacara bendera atau tidak. Meskipun demikian, dalam tuturan tersebut sebenarnya secara tidak langsung guru telah memiliki pemikiran yang “sedikit merendahkan” siswa. Dapat dilihat dalam bentuk tuturannya yang menyatakan bahwa “mau jadi apa kalian nanti?’. Tuturan tersebut telah menimbulkan kesan bahwa siswa tidak akan jadi apa-apa karena tidak memiliki daya juang. Terbukti dengan perilaku mereka yang ketika menghadiri upacara bendera saja harus dengan ancaman nilai. Demikian juga dengan tuturan selanjutnya, yang lebih memperlihatkan pandangan guru terhadap siswanya. Guru menyampaikan “Bisa gak anak muda sekarang berprestasi kayak pemuda-pemuda zaman dulu?”. Kalimat tersebut tergolong kalimat pertanyaan yang membutuhkan jawaban dan reaksi dari siswa. Akan tetapi, guru memiliki jawaban sendiri yang mencerminkan pandangan dia terhadap keadaan muridnya. Guru kemudian melanjutkan tuturannya dengan memberikan jawaban “Banyak gak bisanya, saya yakin”. Berdasarkan prinsip kesopanan yang dipaparkan di atas, tuturan tersebut dapat digolongkan telah melanggar maskim kecocokan, kemurahan, penerimaan, dan maksim kesimpatikan. Dalam hal ini guru tidak menunjukkan rasa simpati atas keadaan siswa, karena guru justru mengeluarkan tuturan yang merendahkan siswa. Sebenarnya akan lebih bagus dan santun ketika guru menjawab pertanyaan yang dia sampaikan dengan memberikan contoh-contoh yang dapat dianalisis siswa. Guru dapat memberikan perbandingan mengenai keadaan pemuda zaman dulu dengan pemuda zaman sekarang dari berbagai sisi. Dengan begitu, selain tidak terlalu langsung dalam memberikan pandangan terhadap siswanya guru juga memberikan banyak pelang kepada siswanya untuk memberikan pandangan yang logis dan analitis sehingga siswanya dapat memberikan simpulan atas keadaan mereka sekarang. Contoh tuturan 3. 3 Siswa- - Guru Guru sedang menjelaskan materi dan a) “Jamnya sudah habis buuu” Guru - Siswa tiba-tiba b) “trus, kalo habis kenapa?” bersuara. salah seorang siswa c) “tadi saya menjelaskan kalian pada gak mau diem, ya resiko kalian kalo harus melebih jamnya” (guru menuturkan dengan intonasi yang agak tinggi, karena sebelumnya siswa ramai dan membiarkan saja) Tuturan yang digambarkan pada data 3 merupakan tuturan yang disampaikan oleh siswa kepada gurunya. Adapun konteks tuturan tersebut adalah siswa mengingatkan guru tentang jam pelajaran yang telah usai dan sudah saatnya guru mengakhiri jam pelajarannya. Siswa memberikan celetukan tuturan tersebut karena dia melihat waktu pelajaran sebenarnya telah usai tetapi guru masih bersemangat dalam menjelaskan materi dan terlihat tidak memperhatikan waktu pelajaran. Hal tersebut yang kemudian memunculkan tuturan siswa di atas. Dalam tuturan tersebut siswa sebenarnya tidak menggunakan tuturan langsung, artinya dia memilih menggunakan tindakn tutur tidak langsung. Akan tetapi, pilihan katanya yang dirasakan oleh petutur yang dalam hal ini adalah guru, kurang sopan. Rasa atau anggapan itulah yang kemudian memunculkan reaksi yang “negative” dari guru. Guru kemudian memberikan tanggapan dengan memberikan pertanyaan balik “trus kalo habis kenapa?”. Pertanyaan balik yang disampaikan oleh guru tersebut merupakan reaksi yang sebenarnay tidak diharapkan oleh siswa. Terlebih lagi guru melanjutkan tuturannya yang menjadi dasar bagi guru untuk meneruskan jam pelajarannya meskipun sebenarnya jam pelajarannya telah usai. Tuturan yang disampaikan oleh guru selanjutnya juga justru memperlihatkan kondisi siswa yang kurang bagus. Adapun tuturan yang disampaikan oleh guru adalah “Tadi saya menjelaskan kalian pada gak mau diem, ya resiko kalian kalo harus melebihi jamnya”. Apabila dilihat dari penggunaan katanya tuturan guru tersebut dapat dikategorikan dalam kalimat tuturan langsung. Guru langsung menyampaikan guru alasannya tanpa memilih menggunakan perumpamaan atau pilihan kata yang menunjukkan maksudnya. Dalam prinsip kesopanan hal tesebut dikategorikan melanggar maksim kerendahan. Maksim kerendahan menutut penutur untuk memaksimalkan pujian kepada orang lain dan sebaliknya meminimalkan pujian untuk diri sendiri. Hal yang sebaliknya terjadi dalam tuturan tersebut, yakni guru kemudian merendahkan petutur melalui tuturan yang mengungkapkan kesalaha-kesalahan mereka sehingga menimbulkan konsekuensi yang harus ditanggung. Apabila dilihat dari maksim kerendahan, sebenarnya guru dapat memilih menggunakan tuturan “Baik, terima kasih kalian telah mengingatkan, tetapi kita masih harus tetap melanjutkan karena materi yang hendak Ibu sampaikan belum tuntas karena adanya beberapa kendala, yang salah satunya kalian tahu sendiri dan Ibu harap kalian menyadarinya”. Akan tetapi, yang perlu dipahami adalah kondisi psikologis guru yang memang sudah dalam kondisi puncak kemarahan karena siswanya tidak dapat diajak kerja sama. Guru merasa jika harus melebih jam pelajaran itu semua karena siswa sendiri yang tidak kooperatif dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Dengan begitu, karena siswa yang berbuat maka mereka pula harus bertanggung jawab dengan mengorbankan waktu istirahatnya untuk tetap mendengarkan metari yang disampaikan oleh guru. Contoh tuturan 4 dan 5. 4 Siswa - Guru Guru menanyakan mengenai materi a) “Belum paham semuanya bu” yang sudah dijelaskan sebelumnya, (salah dan siswa menjawab seorang lebih banyak yang melanjutkan) belum paham. Akan siswa kemudian b) “Ibu jelasin lagi dong!” tetapi, jawaban tersebut bukan berarti (kemudian disusul dengan beberapa siswa betul-betul tidak paham akan siswa lain yang ikut memberikan materi yang disampaika, melainkan dukungan) sebagai upaya untuk mengindari tugas yang biasa diberikan oleh guru yang bersangkutan ketika c) “iya bu, Ibu harus jelasin lagi, kami kan gak paham” telah selesai menjelaskan materi. 5 Siswa - Guru Guru mengumumkan akan “Nggak mau Bu, besok sudah ada memberikan ulangan pada esok hari ulangan Matematika” Data yang dipaparkan pada tuturan 4 dan 5 di atas memperlihatkan adanya pelanggaran prinsip kesopanan. Selain itu, bentuk ketidaksantunan juga diperlihatkan melalui penggunaan tuturan langsung yang berupa penolakan. Seperti terlihat dalam tuturan 4 yang konteksnya adalah guru telah selesai memberikan penjelasan mengenai materi pelajaran, dan kemudian menanyakn kepada siswa tentang pemahaman mereka akan materi yang baru saja disampaikan. Siswa yang mengetahui kebiasaan guru tersebut maka memberikan jawaban yang menyatakan bahwa mereka semua belum paham dan langsung meminta guru untuk menjelaskan ulang. Adapun implikatur yang dimiliki oleh siswa adalah bahwa guru yang bersangkutan biasa memberikan tugas setelah selesai menjelaskan materi. Apabila siswa telah dianggap memahami materi yang diberikan guru akan langsung memberikan tugas yang menurut siswa dalam kategori “terlalu banyak”. Dengan adanya implikatur tersebut siswa memberikan jawaban guna menghindari tugas yang akan diberikan oleh guru yang bersangkutan. Implikatur tersebut yang pada akhirnya memunculkan jawaban siswa “Belum paham Bu”. Tuturan yang berikutnya muncul dari salah seorang siswa menjadi bentuk kepastian akan ketidaksantunan yang diwujudkan dalam tuturan langsung. Siswa tesebut menyampaikan “Ibu jelasin lagi dong!”. Sebenarnya akan lebih santyun jika dituturkan melalui penggunaan tuturan tidak langsung, seperti “Ibu, kami mohon ddapat dijelaskan ulang pada bagian ini”, atau “Pada bagian ini kami masih kesulitan memahami”. Dengan tuturan yang demikian, tanggapan atau reaksi guru akan sedikit berbeda dibandingkan dengan bentuk tuturan langsung yang meminta atau “menyuruh” gurunya untuk menjelaskan ulang. Terlebih lagi pada tuturan selenjutnya yang lebih memperlihatkan adanya “paksaaan” dari siswa kepada gurunya. Tuturan berikutnya yang menyatakan “Iya Bu, Ibu harus jelasin lagi, kami kan gak paham” memperlihatkan adanya banyak usnur kesantunan yang dilanggar. Ngusman Abdul Manaf dari Universitas Negeri Padang melakukan penelitian dengan mengambil judul “Perilaku Santun dalam Berbahas Indonesia Melalui Peminimalan Paksaan” (Manaf, 2010: 233-242). Dalam penelitian tersebut Manaf mengungkapkan bahwa hal yang memicunya untuk melakukan penelitian tersebut adalah adanya anggapan dari salah seorang dosen yang merasa didikte dan dipaksa oleh mahasiswanya melalui pesan singkat yang dikirimkan. Hal tersebut menurut petutur, yang dalam hal ini adalah dosen yang bersangkuta, dirasakan tidak santun. Sesuai dengan salah satu prinsip yang ditegaskan dalam kesantunan berbahasa adalah meminimalkan paksaan dalam tuturan (Sibarani, 2004: 174). Hal tersebut juga ditemukan dalam tuturan siswa kepada guru dalm data yang disajikan di atas. Siswa terlihat memaksa gurunya untuk dapat menjelaskan lebih lanjut atau menjelaskan ulang materi yang telah disampaikan. Dengan alasan bahwa mereka belum memahami materinya maka guru yang bersangkutan “dipaksa” untuk menjelaskan ulang. Siswa tidak menyadari bahwa hal tersebut dapat menimbulkan anggapan tersendiri dalam diri guru. Mungkin saja yang terjadi adalah betul bahwa seluruh siswa belum memahami materi yang disampaikan, tetapi cara atau bahasa yang digunakan siswa membuat guru berpikir ulang untuk menjelaskan kembali materi yang telah disampaikan. Hal itulah yang membuat manusia harus berpikir ulang ketika akan mengeluarkan atau menyampaikan pikirannya melalui bahasa yang diucapkan. Hal ini karena adanya anggapan bahwa kegiatan berbahasa sama halnya dengan kegiatan lain seperti bernafas, makan, minum, maupun tidur, sehingga kegiatan tersebut berlangsung hanya berdasarkan pada naluri tanpa adanya pertimbangan lain (Nuryani dan Putra, 2013: 1). Banyak hal yang mendasari munculnya keberagaman tuturan siswa. Salah satunya adalah ketidakpahaman siswa terhadap adanya kesantunan berbahasa yang harus dimiliki dan dipraktikkan dalamkeseharian mereka. Selain itu, input yang biasa diterima dan dilihat oleh siswa bisa saja sangat mempengaruhi kesantunan berbahasa yang mereka miliki. Dengan input yang diterima semacam itu maka tidak mengherankan jika tuturan siswa juga dipengaruhi oleh contoh-contoh yang mereka terima. Hal tersebut dapat dilihat dari contoh-contoh tuturan yang dipaparkan pada data di atas. Guru dalam bertutur juga cenderung tidak memperlihatkan adanya kesantunan berbahasa. Meskipun demikian, pada beberapa hal usaha untuk memperbaiki kesantunan berbahasa ada. Akan tetapi, banyak hal juga yang membuat guru pada akhirnya mengeluarkan tuturan yang “kurang atau tidak santun”. Kondisi psikologi dan beban kerja yang dimiliki menjadi salah satu hal yang ikut mempengaruhi pemilihan bahasa oleh guru. Pemahaman guru mengenai kesantunan berbahasa juga ikut berpengaruh dalam hal tersebut. Dengan begitu, banyak tuturan yang pada akhirnya dikategorikan melanggar prinsip-prinsip kesopanan. 4. SIMPULAN Berdasarkan analisis yang telah diuraikan di atas maka dalam tulisan ini menyimpulkan bahwa penerapan kesantunan berbahasa di dalam proses pembelajaran masih perlu ditingkatkan. Hal tersebut dapat dilihat melalui banyaknya tuturan baik guru dengan siswa dan siswa dengan guru yang memperlihatkan adanya ketidaksantunan dalam berbahasa. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kemunculan fenomena tersebut. Munculnya fenomena ketidaksantunan dalam berbahasa dari sisi siswa lebih dipengaruhi unsur keteladanan baik dari guru maupun lingkungan mereka. Sementara itu, dari sisi guru, adanya faktor kondisi psikologis dan beban kerja yang dimiliki menjadi unsur yang kemudian memunculkan pola berbahasa yang “kurang santun”. Sangat dipahami bahwa guru memiliki beban kerja yang lebih, yakni selain sekadar menyampaikan materi sebenarnya guru juga memiliki kewajiban untuk menanamkan karakter yang baik dalam diri siswa. Tugas ini menjadi sangat berat ketika banyak faktor lain di luar sekolah yang tutur berperan. Akan tetapi, apapun kondisi yang dibebankan kepada guru, mereka adalah pemimpin di kelas mereka. Terlebih dalam proses pembelajaran, gurulah yang menjadi tolok ukur perkembangan siswa, baik dari sisi afektif, kognitif, maupun psikomotoriknya. Untuk itulah, seberapun tingkat beban yang dipikul oleh guru sudah selayaknya kesantunan berbahasa tetap dicerminkan. Saran yang dapat disampaikan atas hasil temuan ini adalah perlu diadakan penyuluhan kesantunan berbaha di sekolah-sekolah. Penyuluhan tidak hanya diberikan kepada siswa saja melainkan semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran. Hal tersebut penting guna memberikan bekal pengetahuan dan pemahaman siswa mengenai adanya prinsip-prinsip kesantunan berbahasa yang mereka ketahui. Dengan begitu, posisi sekolah dan lembaga pendidikan sebagai pengubah perilaku menjadi lebih baik akan dapat terwujud. Selain itu, upaya ini juga merupakan tindakan nyata dalam mengembalikan fitrah pendidikan sebagai alat untuk menanamkan karakter yang baik dalam diri siswa sebagai bagian dari upaya membetuk generasi muda yang andal dan unggul dengan nilai-nilai positif. Dengan demikian, tidak ada lagi anggapan bahwa orang yang sekolah dengan yang tidak sekolah sama saja. Paling tidak, kita akan dapat memberikan bukti bahwa orang yang berpendidikan atau sekolah dapat lebih menggunakan bahasa dengan santun. DAFTAR PUSTAKA D.E. Montolalu, I N. Siandi, dan I M. Sutama, “Kesantunan Verbal dan Nonverbal pada Tuturan Imperatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Pangudi Luhur Ambarawa Jawa Tengah” memberikan beberapa simpulan” dalam e- Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Volume 2 Tahun 2013. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud. Ika Rihan K., “Kesantunan Pengungkapan Kalimat Perintah dalam Perkuliahan Bahasa Indonesia Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sultan Abdurrahman Tanjung Pinang, Kepulauan Riau”, dalam Jurnal Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Volume 2, No. 1 Juni 2015, ISSN 2407-506x Indy G. Khakim, Mutiara Kearifan Jawa, (Blora: Pustaka Kaona, 2008), hlm. 9 Ngusman Abdul Manaf, 2010 “Perilaku Santun dalam Berbahasa Indonesia Melalui Peminimalan Paksaan”, Proceedings The International Seminar on Multidisciplined Linguistics di Padang, 18 Maret 2010. Nuryani, 2009, “Interaksi Verbal Dalam Kegiatan Nonformal Sekolah Lapang (Sl) Kajian Sosiopragmatik (Studi Kasus Di Kelurahan Gadingan Kabupaten Indramayu)”, Tesis S-2 FIB UGM ,Yogyakarta: UGM, tidak diterbitkan. Nuryani dan Dona Aji Karunia Putra, 2013, Psikolinguistik, Jakarta: Mazhab Ciputat. Oemar Hamalik, 2009, Psikologi Belajar dan Mengajar, Bandung: Bumi Aksara Robert Sibarani, 2004, Antropolinguistik, Medan: Penerbit Moda. Rukni Setyawati, “Kesantunan Berbahasa dalam Pembelajaran di Kelas”, https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3428/8, diunduh pada Senin, 5 Oktober 2015, pukul 21.15 Straus, Claudia and Naomi Quinn, 1997, A Cognitive Theory Of Cultural Meaning, Australia: Cambridge University Press.