BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit Ikan Kulit merupakan hasil samping dari pemotongan hewan yang berupa organ tubuh pada saat proses pengulitan. Kulit hewan, berupa tenunan dari tubuh hewan yang terbentuk dari sel-sel hidup. Judoamidjojo et al. (1979) mengemukakan bahwa struktur dasar kulit hewan terdiri dari tenunan serat protein yang disebut serat kolagen, komponen yang berfungsi sebagai kerangka penguat. Kulit ikan umumnya terdiri dari dua lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Lapisan dermis merupakan jaringan pengikat yang cukup tebal dan mengandung sejumlah serat-serat kolagen (Lagler et al., 1977). Lapisan dermis adalah bagian pokok tenunan kulit yang diperlukan dalam pembuatan gelatin, karena lapisan ini sebagian besar (berkisar 80%) terdiri atas jaringan serat kolagen yang dibangun oleh tenunan pengikat (Setiawati 2009) Kulit ikan mengandung air 69,6%, protein 26,9%, abu 2,5% dan lemak 0,7% (Rusli 2004). Judoamijoyo (1974) menyatakan bahwa kira-kira 80% dari bahan kering kulit terdapat dari protein yang banyak macamnya serta sangat kompleks kompisisinya. Protein pada kulit dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu (1) protein yang tergolong serat protein meliputi kolagen, keratin, dan elastin; (2) protein yang tergolong globular protein meliputi albumin dan globulin Choi dan Regenstein (2000) mengemukakan bahwa kulit, tulang, dan gelembung renang ikan merupakan limbah yang secara komersial dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri gelatin karena bahan-bahan tersebut dihasilkan dalam jumlah banyak sehingga dapat memberikan keuntungan dan menambah penghasilan secara ekonomi bagi pengelola limbah industri perikanan.Tulang dan kulit ikan sangat potensial sebagai bahan pembuatan gelatin karena mencakup 10-20% dari berat tubuh ikan (Surono et al., 1994). 5 6 2.2 Gelatin Gelatin merupakan salah satu produk turunan protein yang diperoleh dari hasil hidrolisis kolagen hewan yang terkandung dalam tulang dan kulit, dan merupakan senyawa yang tidak pernah terjadi secara ilmiah (Amiruldin, 2007). Gelatin terbagi menjadi dua tipe berdasarkan proses pengolahannya, yaitu tipe A dan tipe B. Dalam pembuatan gelatin tipe A, bahan baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan asam sehingga proses ini dikenal dengan sebutan proses asam. Sedangkan dalam pembuatan gelatin tipe B, perlakuan yang diaplikasikan adalah perlakuan basa. Proses ini disebut proses alkali (Utama, 1997). Perbedaan sifat kedua tipe tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedan Sifat Gelatin Tipe A dan Gelatin Tipe B Sifat Kekuatan gel (bloom) Tipe A 75-300 Tipe B 75-275 Viskositas (cP) 2,0-7,5 2,0-7,5 Kadar abu (%) 0,3-2,0 0,05-2,0 pH 3,8-6,0 5,0-7,1 Titik isoelektrik 9,0-9,2 4,8-5,0 Sumber : Tourtellote (1980) dalam Dianti (2008) Bahan baku yang biasanya digunakan pada proses asam adalah tulang dan kulit babi, sedangkan bahan baku yang biasa digunakan pada proses basa adalah tulang dan kulit jangat sapi. Menurut Wiyono (2001), gelatin ikan dikategorikan sebagai gelatin tipe A. Gelatin yang dihasilkan oleh ikan berasal dari kulit dan tulang ikan. Berikut adalah perbedaan gelatin yang dihasilkan dari tulang dan kulit ikan nila dalam Tabel 2. 7 Tabel 2. Perbedaan Sifat Gelatin dari Tulang dan Kulit ikan Nila Sifat Kadar air (%) Protein Lemak Kadar Abu (%) Kekuatan gel (bloom) Viskositas (cPs) Kulit Ikan Nila Tulang Ikan Nila (Pranoto, 2005) (Haris, 2008) 8,71 92,22 1,96 1,64 7,03 84,85 1,63 0,93 65,43-126,98 4,80-6,00 59,53 8,00 Menurut Hinterwaldner (1977), proses produksi utama gelatin dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan bahan baku antara lain penghilangan komponen non kolagen dari bahan baku, tahap konversi kolagen menjadi gelatin, dan tahap pemurnian gelatin dengan penyaringan dan pengeringan. Gelatin jika direndam dalam air akan mengembang dan menjadi lunak, berangsur-angsur menyerap air 5-10 kali bobotnya. Gelatin juga larut dalam air panas dan jika didinginkan akan membentuk gel. Gelatin merupakan produk utama dari pemecahan kolagen dengan pemanasan yang dikombinasikan dengan perlakuan asam atau alkali (Bennion, 1980). Jika dipanaskan pada suhu 71°C, gelatin akan larut karena pecahnya agregat molekul dan cairan yang tadinya bebas menjadi terperangkap sehingga larutan menjadi kental. Jumlah gelatin yang dibutuhkan untuk menghasilkan gel yang diinginkan berkisar antara 5-12% tergantung dari kekerasan produk akhir yang diinginkan (Lees dan Jackson, 1983). Mutu gelatin secara umum dapat dinilai dari sifat fisik dan kandungan unsur-unsur mineral tertentu yang terdapat dalam gelatin. Standar mutu gelatin menurut SNI tahun 1995 disajikan pada Tabel 3 dibawah ini. 8 Tabel 3. Standar Mutu Gelatin (1995) Karakteristik Syarat Warna Bau, rasa Kadar air Tidak berwarna Normal (diterima konsumen) Maks. 16% Kadar abu Logam berat Arsen Tembaga Seng Sulfit Maks. 3,25% Maks. 50 mg/kg Maks. 2 mg/kg Maks. 30 mg/kg Maks. 100 mg/kg Maks. 1000 mg/kg Mutu gelatin sangat ditentukan oleh sifat fisik, kimia dan fungsional yang menjadikan gelatin sebagai karakter yang unik. Sifat-sifat fisik gelatin menurut Budavari (1996) antara lain : 1. Tidak berwarna atau agak kuning transparan 2. Rapuh Tidak berbau 3. Tidak memiliki rasa 4. Berbentuk lembaran, serpihan atau tepung 5. Larut dalam air panas, gliserol dan asam asetat 6. Tidak larut dalam pelarut organik Gelatin sebagai pembentuk gel karena mempunyai sineresis yang rendah dan mempunyai kekuatan gel antara 220 atau 225 gram bloom, sehingga dapat digunakan dalam pembuatan produk jelly. Sebagai pengemulsi gelatin bisa diaplikasikan ke dalam sirup lemon, susu, mentega, margarine, pasta dan mayonnaise. Gelatin sebagai penstabil dapat digunakan dalam pembuatan es krim 9 dan yoghurt. Sebagai bahan pengikat, gelatin dapat digunakan dalam produk-produk daging (Jones, 1977). 2.3 Kolagen Bahan baku utama gelatin dalah kolagen. Kolagen biasanya terdapat pada kulit, tulang rawan, dan tulang keras pada hewan. Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan pengikat putih yang meliputi hampir 30% dari total protein pada jaringan organ tubuh vertebrata dan invertebrate (Poppe, 1992). Winarno (1997) menyatakan kolagen merupakan protein fibriler, yaitu protein yang berbentuk serabut. Jaringan kolagen tersusun atas fibril kolagen yang nampak seperti garis-garis melintang. Fibril ini terorganisir sesuai dengan sistem biologis jaringan tersebut. Kolagen merupakan protein yang mengandung 35% glisin dan sekitar 11% alanin serta kandungan prolin yang cukup tinggi (Lehninger, 1997). Eastoe (1977) menerangkan bahwa bahan dasar dan kelompok-kelompok hewan yang mempunyai sumber kolagen yang tertinggi dan dapat dijadikan gelatin adalah sebagai berikut : a) tulang : mamalia (sapi, babi, kelinci), burung, reptil, dan ikan. b) kulit : mamalia, reptil (buaya, ular), ikan. c) tulang rawan : burung / ayam, ikan. d) tendon : burung / ayam. Kolagen jika dipanaskan akan mengakibatkan struktur kolagen rusak dan rantai-rantai terpisah. Berat molekul, bentuk, dan konformasi larutan kolagen sensitif terhadap perubahan temperatur. Hal tersebut akan mengakibatkan hancurnya makromolekul. Ikatan kovalen pada kolagen akan terputus pada suhu 60oC atau lebih. Kolagen dapat mengalami penyusutan pada saat kolagen dipanaskan pada suhu diatas suhu penyusutan. Suhu tersebut berkisar antara 45oC. Pada suhu tersebut terjadi perpendek serat kolagen menjadi sepertiga atau seperempat dari panjang asalnya. Pemecahan strukutur tersebut menjadi lilitan 10 acak yang larut dalam air yang disebut dengan gelatin. Jika suhu dinaikan sampai 80°C, kolagen akan berubah menjadi gelatin (de Man, 1989). 2.4 Marshmallow Marshmallow merupakan suatu jenis permen yang bertekstur lembut yang berbahan dasar gelatin dan gula terutama sukrosa dan beberapa tipe glukosa yang berbeda. Produk marshmallow ini berasal dari tanaman yang bernama marshmallow (Althea officinalis). Pada pembuatan yang sebenarnya produk ini menggunakan ekstrak tanaman marshmallow yang mempunyai sifat liat dan lengket serta membentuk gel bila ditambahkan dengan air. Gelatin merupan salah satu bahan dasar pengganti ekstrak tanaman marshmallow karena mempunyai sifat yang hampir sama. Gambar 1. Marshmallow komersial (Anonima 2008) Menurut Nakai dan Modler (1999), marshmallow merupakan makanan ringan bertekstur seperti busa yang lembut dalam berbagai bentuk, aroma dan warna. Marshmallow bila dimakan meleleh di dalam mulut karena merupakan hasil dari campuran gula atau sirup jagung, putih telur, gelatin, gum arab dan bahan perasa yang dikocok hingga mengembang. Syarat mutu untuk marshmallow sebagai salah satu produk kembang gula lunak jelly menurut SNI 01-3547-1994 dapat dilihat pada Tabel 4. 11 Tabel 4. Syarat Mutu Kembang Gula Lunak Jelly berdasarkan SNI 01-3547 1994 Karakteristik Bentuk Rasa Bau Kadar air (% b/b) Kadar abu (% b/b) Gula reduksi(sebagai gula invert) (% b/b) Sakarosa (% b/b) Pemanis buatan Pewarna tambahan Getah (gum base) (% b/b) Cemaran timbal (mg/kg) Cemaran tembaga (mg/kg) Cemaran seng (mg/kg) Cemaran timah (mg/kg) Cemaran raksa (mg/kg) Cemaran aksen (mg/kg) Angka lempeng total (koloni/g) Bakteri koliform (APM/g) Escherichia coli (APM/g) Salmonella Syarat Normal Normal Normal Maks. 20 Maks. 3 Maks. 20 Min. 30 Negatif Negatif Min. 12 Maks. 1,5 Maks. 10 Maks. 10 Maks. 40 Maks 0,03 Maks. 1 Maks. 5 x 104 Maks. 20 <3 Negatif/25 g 12 Staphylococcus aureus (koloni/g) Kapang dan khamir (koloni/g) Maks. 102 Maks. 10 Sumber : BSN (1944) Produk marshmallow dapat dikelompokan sebagai produk endapan dan ektrusi. Perbedaan produk endapan dan ektrusi terdapat pada densitas dan kekerasan produk yang dihasilkan. Produk endapan dan ektrusi biasanya mengandung gelatin 200 – 250 bloom. Tekstur marshmallow dapat berubah tergantung pada formulasi, densitas yang diinginkan, metode pembuatan termasuk peralatan yang digunakan. Marshmallow dihasilkan dari sistem koloid. Sistem koloid terdiri dua fase, yakni fase terdispersi (fase dalam) dan fase pendispersi (fase luar). Berdasarkan fase zat terdispersi, sistem koloid terbagi atas tiga bagian, yaitu koloid sol, emulsi dan buih. Sol adalah koloid dengan zat terdispersinya fase padat. Emulsi adalah koloid dengan zat terdispersinya fase cair. Buih adalah koloid dengan zat terdispersinya fase gas (McWilliams, 1989). Marshmallow termasuk emulsi gas, zat terdispersi berupa fase cair dan medium pendispersi berupa fase gas. Marshmallow akan terbentuk jika fungsi aerasi, penstabil dan pembentuk gel dalam marshmallow berjalan dengan baik. Teknik aerasi ini merupakan cara mentransformasi bentuk cair menjadi bentuk busa (foam) dan diikuti bergabungnya sejumlah udara dalam bentuk gelembung-gelembung gas. Buih (gelembung gas) yang terbentuk berasal dari hasil kocokan gelatin, sukrosa, sirup glukosa dan air yang teraduk rata sehingga hasil kocokan tersebut mengembang. Oleh karena itu, produk marshmallow akan meningkat volumenya serta memiliki kesan organoleptik yang khas, yaitu produk yang memiliki tekstur seperti busa lembut dengan rasa manis dan beraroma tertentu serta meleleh ketika di mulut (Nakai dan Modler 1999 dalam Sartika 2009). Formulasi marshmallow biasanya digunakan untuk meningkatkan aerasi dan membentuk tekstur marshmallow. Putih telur biasanya digunakan untuk pengocok dan isolat protein kedelai, kadang-kadang ditambahkan untuk 13 menentukan aerasi dan memodifikasi tekstur. Sukrosa, sirup jagung, gula invert, dan humektan (biasanya gliserin atau sorbitol), ditambahkan dan digunakan untuk memberikan rasa manis (Matz dan Matz, 1978). Pembuatan marshmallow pada prinsipnya adalah menghasilkan gelembung udara secara cepat dan memerangkapnya sehingga terbentuk busa yang stabil. Ada beberapa macam gelling agent yang berbeda yang dapat digunakan untuk pembuatan marshmallow, tergantung dari tekstur akhir yang diinginkan. Kekuatan gel yang dihasilkan tergantung dari jumlah gelling agent yang ditambahkan dan bahan lain yang digunakan. Jumlah gelatin yang dibutuhkan untuk menghasilkan gel yang diinginkan berkisar antara 5-12%, tergantung dari kekerasan produk akhir yang diinginkan (Jackson, 1995). 2.4.1 Bahan Baku Marshmallow Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan marshmallow adalah sirup glukosa, sukrosa, air dan perisa. 2.4.1.1 Sirup Glukosa Sirup glukosa didefinisikan sebagai cairan jernih dan kental yang komponen utamanya adalah glukosa yang diperoleh dari hidrolisis pati. Bahan baku pembuatan sirup glukosa dapat digunakan bermacam-macam sumber karbohidrat seperti ubi jalar, ubi kayu, sagu, jagung, limpul dan sebagainya (Azwar, 2009). Hidrolisis biasanya dapat dilakukan dengan bantuan asam atau enzim pada waktu, suhu dan pH tertentu. Glukosa tergolong jenis monosakarida. Monosakarida yaitu senyawa gula sederhana yang tidak mungkin diuraikan lagi menjadi molekul yang lebih kecil oleh hidrolisis. Fase cair dari permen harus memiliki konsentrasi bahan kering sebesar (75-76%) berat, untuk mencegah kerusakan karena mikrobiologi. Kondisi tersebut tidak mungkin didapat dari melarutkan gula secara sendiri-sendiri. Larutan 14 semacam ini hanya dapat diperoleh dengan mencampurkan gula (sukrosa) dengan gula invert, sirup glukosa dan maltose (Tjokroadikoesoemo, 1986). 2.4.1.2 Sukrosa Sukrosa adalah oligosakarida yang mempunyai peran penting dalam pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu. Untuk industri-industri makanan biasa digunakan sukrosa dalam bentuk kristal halus atau kasar, dan dalam jumlah yang banyak dipergunakan dalam bentuk cairan sukrosa (sirup). Pada pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert (Winarno, 2004). Penambahan sukrosa dalam pembuatan produk makanan berfungsi untuk memberikan rasa manis, dan dapat pula sebagai dalam konsentrasi tinggi menghambat pertumbuhan pengawet, yaitu mikroorganisme dengan cara menurunkan aktivitas air dari bahan pangan (Malik dalam Hasniarti 2012).Faktor utama yang mempengaruhi mutu sukrosa adalah pemanasan (Buckle, et al., 1987). Sukrosa meleleh pada suhu 1600C membentuk cairan yang jernih yang pada pemanasan selanjutnya warnanya berangsur-angsur berubah menjadi coklat (Hughes dan Bennion, 1970). Produk-produk pangan berkadar gula tinggi cenderung rusak oleh khamir dan kapang, yaitu kelompok mikroorganisme yang relatif mudah rusak oleh panas (seperti dalam pasteurisasi) atau dihambat oleh hal-hal lain. Monosakarida lebih efektif dalam menurunkan Aw bahan pangan dibanding dengan disakarida atau polisakarida pada konsentrasi yang sama dan digunakan dengan sukrosa dalam beberapa produk seperti selai (Buckle et al., 1987) Pembuatan marshmallow menggunakan sukrosa sebagai salah satu bahan baku, karena selain dapat memberi rasa manis juga memberikan peranan dalam pembentukan gel permen. Sukrosa dapat dikombinasikan dengan monosakarida seperti glukosa atau fruktosa, untuk mencegah kristalisasi (Birch dan Parker, 15 1979). Campuran glukosa atau fruktosa dengan sukrosa akan menghasilkan tekstur yang lebih liat tetapi sifat kekerasan permen cenderung menurun (Ward, 1977) 2.4.3 Bahan Pelapis Permen Umumnya permen gelatin dilapisi dengan tepung pati kering untuk membentuk lapisan luar yang tahan lama dan mempertahankan bentuk gel yang baik. Pelapisan permen marshmallow dapat menggunakan tepung kanji dan tepung gula (Birch dan Parker, 1979). Marshmallow biasanya memiliki sifat kecenderungan menjadi lengket karena sifat higrokopis dari gula pereduksi yang membentuk permen, sehingga perlu ditambahkan bahan pelapis berupa tepung gula. Selain berfungsi sebagai pelapis, tepung gula tersebut juga berfungsi memberikan rasa manis (Birch dan, Parker 1979). 2.4.4 Perisa Perisa adalah semua persepsi yang diterima oleh indra manusia pada saat mengkonsumsi makanan atau minuman, yaitu bau, rasa, penampakan, perasaan dan bunyi saat makanan tersebut dikonsumsi. Perisa ditimbulkan oleh adanya senyawa citarasa (flavoring agents) yang biasanya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil dalam bahan pangan. Komponen perisa didefinisikan sebagai bahan yang berupa bahan kimia atau campuran, baik yang berasal dari alami maupun sintetis, yang digunakan untuk menunjang sebagian atau seluruh perisa dari makanan di dalam mulut. Protein, lemak dan karbohidrat adalah komponen struktural pada sel makhluk hidup yang merupakan sumber terbesar pembentuk perisa. Penambahan perisa sangat penting dalam mempengaruhi tanggapan organoleptik dan penerimaan konsumen. Penambahan perisa buatan bertujuan untuk mencegah hilangnya perisa akibat pemasakan pada suhu tinggi dan waktu pemasakan yang terlalu lama. Selain itu, penggunaannya dapat memberikan 16 aroma yang disukai, sekaligus untuk menutup bau khas gelatin ikan akibat pemasakan (Ali, 1987).