Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori
Kajian teori merupakan kerangka acuan yang digunakan untuk dijadikan
sebagai paradigma dalam penelitian ini. Dalam pembahasan ini, teori-teori yang
dikaji antara lain teori-teori tentang IPA, teori tentang minat dan teori-teori
tentang belajar. Juga dikaji hasil-hasil penelitian yang relevan sebelumnya dan
dari semuanya disusun sebuah hipotesis tentang penelitian ini.
2.1.1 Pengertian IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu
Pengetahuan atau sains yang semula dari bahasa Inggris ‘science’ (Triyanto,
2010:136). Kata „scienceā€Ÿ kata science berasal dari Bahasa Latin ‘science’ yang
berarti tahu. Menurut Jujun Suriasumantri dalam Trianto (2010:136) dalam
perkembangan science sering diterjemahkan sebagai sains yang berarti Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) walaupun pengertian ini kurang pas dan bertentangan
dengan etimologi.
IPA mempelajari alam semesta, benda-benda yang ada dipermukaan
bumi, di dalam perut bumi dan di luar angkasa, baik yang dapat diamati indera
maupun yang tidak dapat diamati dengan indera. Oleh karena itu dalam
menjelaskan hakikat fisika, pengertian IPA dipahami terlebih dahulu. IPA atau
ilmu kealaman adalah ilmu tentang dunia zat, baik makhluk hidup maupun
benda mati (Kardi dan Nur dalam Trianto 2010:136).
Menurut Wahyana dalam Trianto (2010:136) mengatakan bahwa IPA
adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik dan dalam
penggunaannya
secara
umum
terbatas
pada
gejala-gejala
alam.
Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh
adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah.
6
7
Berdasarkan definisi IPA menurut para ahli tersebut, maka yang
dimaksud dengan IPA dalam penelitian ini adalah ilmu yang mempelajari
tentang bumi dan isinya baik makhluk hidup maupun benda mati.
2.1.1.1 Hakikat IPA di SD
Pada hakikatnya IPA dapat dipandang dari segi proses, produk dan
pengembangan sikap.
1)
IPA Sebagai Pemupukan Sikap
Menurut Wynne Harlen (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis,
1991: 7) setidak-tidaknya ada Sembilan aspek sikap ilmiah yang dapat
dikembangkan pada anak usia Sekolah dasar, yaitu:
a.
Sikap ingin tahu (curiousity)
Sikap ingin tahu sebagai bagian sikap ilmiah di sini maksudnya adalah suatu
sikap yang selalu ingin mendapatkan jawaban yang benar dari objek yang
diamatinya. Kata benar di sini artinya rasional atau masuk akal dan objektif
atau sesuai dengan kenyataan.
b.
Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality)
Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru bertitik tolak dari kesadaran
bahwa jawaban yang telah mereka peroleh dari rasa ingin tahu itu tidaklah
bersifat mutlak, tetapi masih bersifat sementara atau tentatif. Hal ini
disebabkan keterbatasan kemampuan berpikir maupun keterbatasan
pengamatan pancaindera manusia untuk menetapkan suatu kebenaran. Jadi,
jawaban benar yang mereka peroleh itu sebatas pada suatu “tembok
ketidaktahuan”. Sikap anak usia Sekolah Dasar seperti itu dapat dipupuk
dengan cara mengajaknya melakukan pengamatan langsung pada objekobjek yang terdapat di lingkungan sekolah.
c.
Sikap kerja sama (cooperation)
Yang dimaksud kerjasama disini adalah untuk memperoleh pengetahuan
yang lebih banyak. Seorang yang bersikap cooperative ini menyadari bahwa
pengetahuan yang dimiliki orang lain mungkin lebih banyak dan lebih
8
sempurna daripada apa yang ia miliki. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
pengetahuannya ia merasa membutuhkan kerjasama dengan orang lain.
Kerjasama ini dapat juga bersifat berkesinambungan. Anak usia Sekolah
Dasar perlu dipupuk sikapnya untuk dapat bekerjasama satu dengan yang
lain kerjasama itu dapat dalam bentuk kerja kelompok, pengumpulan data
maupun diskusi untuk menarik suatu kesimpulan hasil observasi.
d.
Sikap tidak putus asa (perseverance)
Tugas guru untuk memberikan motivasi bagi anak didik yang mengalami
kegagalan dalam upaya menggali ilmu dalam bidang IPA agar tidak putus
asa.
e.
Sikap tidak berprasangka (open-mindedness)
IPA mengajarkan kita untuk menetapkan kebenaran berdasarkan dua
kriteria, yaitu rasionalitas dan objektivitas. Munculnya faktor objektivitas
dalam menetapkan kebenaran menjadikan orang tidak lagi purba sangka.
Sikap tidak purba sangka dapat dikembangkan secara dini kepada anak usia
SD dengan jalan melakukan observasi dan eksperimen dalam mencari
kebenaran ilmu.
f.
Sikap mawas diri (self criticism)
Objektivitas tidak hanya ditunjukkan di luar dirinya tetapi juga terhadap
dirinya sendiri. Itulah sikap mawas diri untuk menjunjung tinggi kebenaran.
Anak usia SD harus dikembangkan sikapnya untuk jujur pada dirinya
sendiri, menjunjung tinggi kebenaran dan berani melakukan koreksi pada
dirinya sendiri.
g.
Sikap bertanggungjawab (responsibility)
Sikap bertanggungjawab harus dikembangkan sejak usia SD misalnya
dengan membuat dan melaporkan hasil pengamatan, hasil eksperimen
ataupun hasil kerjanya yang lain kepada teman sejawat, guru atau orang
lain, dengan sejujur-jujurnya.
9
h.
Sikap berpikir bebas ( independence in thinking)
Tugas guru untuk dapat mengembangkan pikiran bebas dari siswa (dan
bukan sebaliknya untuk mendiktekan pendapatnya agar sesuai dengan buku
teks). Jadi, mencatat atau merekam hasil pengamatan sesuai dengan apa
adanya dan membuat kesimpulan dengan hasil kerja mereka sendiri
merupakan saat-saat yang penting bagi anak dalam mengembangkan sikap
berpikir bebas.
i.
Sikap kedisiplinan diri (self discipline)
Menurut Morse dan Wingo (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis,
1991: 8) kedisiplinan diri dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk dapat menngontrol ataupun mengatur dirinya menuju kepada tingkah
laku yang dikehendaki dan dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu
bentuk pengembangan kedisiplinan diri adalah pengorganisasian kelas
termasuk adanya regu-regu kebersihan dan sebagainya yang dapat diatur
sendiri oleh siswa.
2)
IPA sebagai Proses
Yang dimaksud dengan proses disini adalah proses mendapatkan IPA.
Proses IPA tidak lain adalah metode ilmiah. Untuk anak usia SD, metode ilmiah
dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan, dengan harapan bahwa
pada akhirnya akan berbentuk suatu paduan yang lebih utuh sehingga anak SD
dapat melakukan penelitian sedarhana. Adapun tahapan pengembangannya
disesuaikan dengan tahapan dari suatu proses penelitian eksperimen yang
meliputi: (1) observasi, (2) klasifikasi, (3) interpretasi, (4) prediksi, (5) hipotesis,
(6) mengendalikan variabel, (7) merencanakan dan melaksanakan penelitian, (8)
inferensi, (9) aplikasi, dan (10) komunikasi.
10
2.1.1.2 Ruang Lingkup Pembelajaran IPA di SD
Menurut Permendiknas No. 22 tahun 2006 ruang lingkup mata
pelajaran IPA meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1 Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan
dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
2 Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.
3 Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana.
4 Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya.
2.1.1.3 Tujuan Pembelajaran IPA di SD
Menurut Permendiknas No. 22 tahun 2006, ada tujuh tujuan mata
pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), yaitu:
1.
Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkaan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaannya.
2.
Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep
IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari
3.
Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif
dan kesadaran
tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA,
lingkungan, teknologi dan masyarakat
4.
Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam
sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan
5.
Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara,
menjaga dan melestarikan lingkungan alam
6.
Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7.
Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA
sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
11
2.1.2 Pengertian Minat
Minat menurut Suryosubroto (2003: 109), adalah kecenderungan dalam diri
individu untuk tertarik pada suatu obyek atau menyenangi sesuatu obyek. Dalam
konteks belajar, maka minat belajar adalah kecenderungan dalam diri siswa untuk
tertarik pada kegiatan belajar mengajar (pelajaran, model pembelajaran yang
disampaikan guru, dan metode pembelajaran yang disajikan) yang diperoleh di
sekolahnya.
Menurut
Abror
(1999:
112)
dalam
bukunya
Educational
Pshychology, minat atau interest bisa berhubungan dengan daya gerak yang
mendorong
individu untuk merasa tertarik pada orang, benda atau kegiatan
ataupun bisa berupa pengalaman yang efektif yang dirangsang oleh kegiatan itu
sendiri. Dengan kata lain, minat dapat menjadi penyebab kegiatan dan penyebab
partisipasi dalam kegiatan.
Menurut Hurlock (1978: 114), minat merupakan sumber motivasi yang
mendorong orang untuk dapat melakukan apa yang mereka inginkan bila mereka
bebas memilih. Menurut Mappiarer (1994: 62) mengatakan bahwa minat adalah
suatu perangkat mental yang terdiri dari suatu campuran perasaan, harapan,
pendirian, prasangka, rasa takut, atau kecenderungan-kecenderungan lain yang
mengarahkan individu pada suatu pilihan tertentu. Menurut Slameto (2010: 57)
mengemukakan
bahwa
minat
adalah kecenderungan
yang tetap
untuk
memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati
seseorang, diperhatikan terus-menerus yang disertai rasa senang.
Walgito (1994; 38) menyatakan bahwa minat adalah suatu keadaan dimana
seseorang mempunyai perhatian dan mempelajari maupun membuktikan lebih
lanjut terhadap obyek tersebut.
2.1.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Belajar
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi minat menurut Crow dan Crow
(Gunarto, 2007: 7) adalah:
a.
Faktor pendorong dari dalam (the factor inner urge)
Merupakan rangsangan yang datang dari lingkungan/ruang lingkup yang
sesuai dengan keinginan/kebutuhan seseorang akan mudah menimbulkan minat:
12
cenderung terhadap belajar, dalam hal ini seseorang mempunyai hasrat ingin tahu
terhadap ilmu pengetahuan.
b.
Faktor motif sosial (the factor of social motif)
Adalah minat orang terhadap suatu obyek/suatu hal, disamping dipengaruhi
oleh faktor dari dalam diri manusia juga dipengaruhi oleh motif sosial, misalnya:
seseorang yang berminat pada prestasi tertinggi agar dapat status sosial yang lebih
tinggi pula.
c.
Faktor emosi (emotional factor)
Faktor perasaan dan emosi mempunyai pengaruh terhadap subyek,
misalnya: perjalanan sukses yang dipakai seseorang dalam sesuatu kegiatan
tertentu
dapat
membangkitkan
perasaan
senang
dan
dapat
menambah
semangat/kuatnya minat dalam kegiatan tersebut.
Menurut Haditono dalam Subekti (2007: 8), minat dipengaruhi oleh 2 (dua)
faktor:
a.
Faktor dari dalam (intrinsik) yaitu berarti bahwa sesuatu perbuatan memang
diinginkan karena seseorang senang melakukannya. Disini minat datang dari
dalam diri orang itu sendiri. Orang senang melakukan perbuatan itu demi
perbuatan itu sendiri. Seperti: rasa senang, mempunyai perhatian lebih,
semangat, motivasi emosi.
b.
Faktor dari luar (ekstrinsik) bahwa suatu perbuatan dilaksanakan atas
dorongan/pelaksanaan dari luar. Orang melakukan perbuatan itu karena ia
didorong/dipaksa dari luar. Seperti: lingkungan, orangtua, guru, masyarakat.
Sependapat dengan Haditono, Winkel (2004:), mengatakan bahwa ada dua
faktor yang mempengaruhi minat yaitu faktor intrinsik yang tumbuh dari
dalam diri seseorang atau faktor ekstrinsik yang berasal dari luar diri
seseorang yang merangsangnya untuk melakukan suatu aktivitas.
Selanjutnya, Syah (2002: 10-11), mengklasifikasikan faktor-faktor yang
berasal dari dalam diri kedalam dua aspek yaitu fisiologis dan aspek psikologis.
Aspek fisiologis berhubungan dengan aspek yang bersifat jasmaniah, sementara
aspek psikologis dimaknai sebagai aspek rohaniah. Saleh (2005: 270)
13
memaparkan bahwa minat yang berasal dari luar mencakup lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Berdasarkan keseluruhan pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa
minat adalah kecenderungan dalam diri siswa untuk tertarik pada kegiatan belajar
mengajar (pelajaran, model pembelajaran yang disampaikan guru, dan metode
pembelajaran
yang
disajikan)
yang
diperoleh
di
sekolahnya,
dimana
kecenderungan ini dapat terjadi karena ketertarikan dari dalam dirinya sendiri,
maupun karena dirangsang/didorong oleh sesuatu dari luar dirinya sendiri.
2.1.3 Hasil Belajar
2.1.3.1 Pengertian Belajar
Secara umum belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku,
akibat interaksi individu dengan lingkungan. Jadi perubahan perilaku adalah
hasil belajar. Artinya seorang dikatakan telah belajar, jika ia dapat melakukan
sesuatu yang tidak dapat dilakukan sebelumnya. (Sumiati dan Asra 2008:38).
Menurut
Gagne
dalam
Sumarjhono
(2012:13)
mengartikan
pembelajaran sebagai pengetahuan peristiwa yang berada diluar dari
pengetahuan siswa, sedangkan menurut Sugandi (2000:16) Pembelajaran adalah
suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja.
Menurut Slameto (2010:2) belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungan.
Menurut Morgan (dalam Heri 2012:5) belajar adalah perubahan tingkah
laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan dan pengalaman. Belajar
dalam hal ini merupakan proses yang bisa mengubah tingkah laku seseorang
disebabkan adanya reaksi terhadap suatu situasi tertentu atau adanya proses
internal yang terjadi dalam diri seseorang.
Morgan (dalam Anni, 2005:2) menyatakan bahwa “belajar merupakan
perubahan relatif permanen yang terjadi karena hasil dari praktek atau
14
pengalaman”. Slavin (dalam Anni, 2005:2) menyatakan bahwa “Belajar
merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman”.
Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai batasan-batasan pengertian
belajar maka dapat disimpulkan bahwa belajar pada dasarnya pengalaman yang
sama dan berulang-ulang dalam situasi tertentu serta berkaitan dengan
perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku tersebut meliputi perubahan
keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan dan pemahaman. Sedang yang
dimaksud pengalaman adalah proses belajar tidak lain adalah interaksi antara
individu dengan lingkungannya.
2.1.3.2 Prinsip-Prinsip Belajar
Belajar menurut Wingo dalam Sumiati dan Asra (2008:41-43)
didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)
Hasil belajar sepatutnya menjangkau banyak segi
Dalam suatu proses belajar, banyak segi yang sepatutnya dicapai sebagai
hasil belajar, yaitu meliputi pengetahuan dan pemahaman tentang konsep,
kemampuan
menjabarkan
dan
menarik
kesimpulan
serta
menilai
kemanfaatan suatu konsep, menyenangi dan memberi respon yang positif
terhadap sesuatu yang dipelajari, dan diperoleh kecakapan melakukan suatu
kegiatan tertentu.
2)
Hasil belajar diperoleh berkat pengalaman
Pemahaman dan struktur kognitif dapat diperoleh seseorang melalui
pengalaman melakukan suatu kegiatan. Dalam khasanah peristilahan
pendidikan, hal ini dikenal dengan “learning by doing-yaitu belajar dengan
jalan melakukan suatu kegiatan”. Pemahaman itu bersifat abstrak. Sesuatu
yang abstrak akan mudah diperoleh dengan jalan melakukan kegiatankegiatan yang nyata atau konkrit, sehingga orang yang bersangkutan
memperoleh pengalaman yang menuntun pada pemahaman yang abstrak.
3)
Belajar merupakan suatu kegiatan yang mempunyai tujuan
Dalam proses belajar, apa yang ingin dicapai sepatutnya dirasakan dan
dimiliki oleh setiap siswa.
15
Prinsip belajar pada aktivitas Siswa. Prinsip belajar yang menekankan pada
aktivitas siswa antara lain :
1) Belajar dapat terjadi dengan proses mengalami
2) Belajar merupakan transaksi aktif
3) Belajar secara aktif memerlukan kegiatan yang bersifat fital, sehingga
dapat berupaya mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan pribadinya
4) Belajar terjadi melalui proses mengatasi hambatan (masalah) sehingga
mencapai pemecahan atau tujuan
5) Hanya dengan melalui penyodoran masalah memungkinkan diaktifkanya
motivasi dan upaya, sehingga siswa berpengalaman dengan kegiatan yang
bertujuan
6) Faktor-faktor yang mempengaruhi Belajar siswa
2.1.3.3 Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2008:22). Indikator
kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dikuasai anak didik dalam proses
belajar mengajar disebut juga dengan hasil belajar.
Menurut Purwanto (2009:44) hasil belajar adalah penilaian pendidikan
tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenan dengan penguasaan
bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka dan nilai-nilai yang terdapat di
dalam kurikulum. Hasil belajar seringkali digunakan sebagai ukuran untuk
mengetahui seberapa jauh seseorang menguasai bahan yang sudah diajarkan.
Menurut Sudjana, Nana (2009:22) mengemukakan "Hasil belajar adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya". Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar meliputi tiga domain,
yaitu kognitif, efektif, dan psikomotor. (Heri 2012:5)
Klasifikasi hasil belajar menurut Bloom dalam Suprijono (2009:5-6)
secara garis besar terbagi menjadi 3 ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif,
dan ranah psikomotoris.
16
a.
Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual.
b.
Ranah afektif, berkenaan dengan sikap.
c.
Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima
pengalaman belajarnya, dimana kemampuan itu terjadi pada aspek kognitif
afektif dan psikomotorik. Mesikpun demikian, dalam penelitian hasil belajar
lebih dibatasi pada aspek kognitif, dimana hasilnya di ukur melalui pemberian
tes setelah diberikan tindakan tiap siklus.
2.1.3.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Masnur Muslich (2008:207) faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar siswa adalah:
1. Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yaitu kondisi/keadaan
jasmani dan rohani siswa
2. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan sekitar
siswa
3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar
siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk
melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
Menurut Suryabrata (Sulistyoningsih 2010:13) ada tiga faktor yang
mempengaruhi hasil belajar yaitu faktor psikis, fisik, dan lingkungan. Adapun
papaparannya sebagai berikut:
1. Faktor Psikis
a. Kecerdasan
Kecerdasan seseorang biasanya diukur dengan menggunakan alat tertentu,
salah satunya dengan menggunakan test. Hasil dari pengukuran kecerdasan
umumnya dinyatakan dengan angka yang menunjukkan perbandingan
kecerdasan yang dikenal dengan sebutan Intelligence Quiotient (IQ).
17
Berbagai penelitian telah menunjukkan adanya hubungan antara IQ dengan
hasil belajar di sekolah. Secara kasar para ahli menetapkan bahwa orang
normal memiliki IQ sekitar 90-110, lebih dari itu termasuk katagori sangat
cerdas dan kurang dari 90 maka dianggap kurang atau tidak normal. Dengan
demikian, guru diharapkan dapat memahami tingkat kecerdasan tiap siswa
agar dapat memperkirakan tindakan yang tepat dalam memperlakukan siswa
khususnya dalam proses belajar.
b. Motivasi belajar
Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Jadi, motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis
yang mendorong seseorang untuk belajar. Tinggi atau lemahnya motivasi
belajar pada tiap siswa dapat ditimbulkan oleh rangsangan dari luar. Motivasi
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu motivasi intrinsik dan motivasi
ekstrensik. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berasal dari dalam
diri seseorang, sedangkan motivasi ekstrensik adalah motivasi yang berasal
dari luar diri seseorang. Salah satu contoh motivasi ekstrensik adalah motivasi
yang berasal dari guru yang dapat berupa penghargaan ataupun pengarahan
terhadapnya.
c. Disiplin diri
Siswa yang memiliki disiplin dalam belajar memiliki hasil belajar yang
baik dibandingkan dengan siswa yang tidak mendisiplinkan dirinya dalam
belajar.
d. Konsentrasi
Siswa yang memiliki konsetrasi yang baik memiliki hasil tinggi,
dibandingkan siswa yang tidak memiliki konsentrasi yang baik.
e. Bakat
Manusia telah dibekali dengan bakat yang beragam dari semenjak lahir,
ada yang berbakat dalam bidang sosial, eksak, maupun kesenian. Hampir
tidak ada orang yang membantah bahwa belajar pada bidang yang sesuai
dengan bakat akan memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Apabila
bakat itu mendapat latihan dan pendidikan yang baik, maka bakat akan
18
berkembang menjadi suatu kecakapan nyata dan apabila tidak, maka bakat
yang terdapat pada diri seseorang tidak akan berkembang sebagaimana
mestinya.
f. Minat
Minat atau interest adalah gejala psikis yang berkaitan dengan dengan
obyek atau aktivitas yang menstimulir perasaan senang pada individu. Minat
yang ada pada seseorang mempunyai hubungan yang menentukan terhadap
proses belajar dan hasil yang dicapai, dan minat siswa biasanya berubah-ubah
sesuai dengan tujuan pengajaran yang diterimanya, dan banyak siswa yang
berminat mengikuti pelajaran yang tujuannya mendorong siswa untuk
berimanjinasi,
menyempurnakan
keterampilan
atau
membangkitkan
kreativitas.
g.
Percaya diri
Siswa yang percaya diri akan kemampuan dirinya memiliki hasil yang
baik, dibandingkan dengan siswa yang tidak percaya diri.
Faktor Fisik
2.
a.
Panca Indera yang baik
Panca indera yang baik terutama mata dan telinga merupakan gerbang
masuknya pengaruh dalam individu.
b.
Kesehatan
Siswa yang kesehatannya baik dapat menangkap pelajaran dengan baik
pula, dibandingkan siswa yang mengalami tidak enak badan.
3.
Faktor Lingkungan
a.
Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di dalam
lingkungan keluarga umumnya yang paling besar peranannya adalah orang tua.
Siswa yang mempunyai beban untuk mencari tambahan biaya penghidupan
keluarga umumnya hasil belajar yang diraih tergolong rendah karena tidak
19
mempunyai cukup waktu belajar. Begitu juga sebaliknya, biasanya siswa dapat
meraih hasil belajar yang lebih baik jika mempunyai waktu penuh untuk
belajar dirumahnya. Siswa yang keluarganya mengalami kesulitan ekonomi
juga kesulitan mengadakan sarana belajar sehingga menjadi pengambat bagi
siswa dalam belajar.
b.
Guru dan Metode Mengajar
Guru memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran.
Keberhasilan suatu proses pembelajaran juga tergantung pada beberapa faktor
yang terdapat dalam diri pengajar tersebut seperti watak, pengalaman, tingkat
penguasaan materi pelajaran, serta kemampuannya dalam menyajikan materi
pelajaran kepada siswa.
Selain itu, metode mengajar yang digunakan guru sangat berpengaruh
terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa. Seorang guru tidak akan dapat
melaksanakan tugasnya bila ia tidak menguasai satupun metode mengajar yang
telah dirumuskan dan dikemukakan para ahli psikologi dan pendidikan.
Dengan demikian, seorang guru hendaknya menguasai lebih dari satu metode
mengajar agar dapat mengantarkan siswa kepada tujuan pembelajaran secara
optimal.
c.
Sarana dan Prasarana
Sarana pembelajaran meliputi buku pelajaran, media dan lain-lain.
Sedangkan prasarana meliputi gedung sekolah, ruang belajar, perpustakaan dan
lain-lain. Apabila sarana dan prasarana tidak menunjang akan dapat
menyebabkan proses belajar mengajar terganggu atau tidak optimal.
Untuk memperoleh hasil yang baik dari suatu kegiatan belajar perlu
didukung oleh alat-alat yang lengkap. Alat-alat yang lengkap ini berfungsi
untuk membantu kelancaran bahan pelajaran yang disajikan, sehingga siswa
lebih mudah dalam menguasai suatu materi pelajaran.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi tingkat hasil belajar siswa, salah satu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal dapat berupa kondisi siswa itu sendiri, dan faktor-faktor
eksternal berupa kondisi-kondisi di luar diri siswa tersebut.
20
2.1.4 Pembelajaran Kooperatif
2.1.4.1
Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Menurut Isjoni (2009:22) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif
berasal dari kata “kooperatif” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersamasama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau
satu
tim.
Pembelajaran
kooperatif
adalah
model
pembelajaran
yang
mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran
yang berhasil yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan
akademik (Nur dalam Isjoni (2009:27).
Menurut Agus Suprijono(2009:54) Pembelajaran kooperatif adalah
konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentukbentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Pembelajaran
kooperatif dirancang bagi tujuan melibatkan pelajar secara aktif dalam proses
pembelajaran menerusi perbincangan dengan rekan-rekan dalam kelompok kecil
(Effandi Zakaria dalam Isjoni, 2009:21).
Berdasarkan definisi pembelajaran kooperatif menurut para ahli
tersebut, maka yang dimaksud dengan pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang menekankan pembelajaran secara berkelompok, dimana
setiap
individu
mempunyai
tanggung
jawab
masing-masing
didalam
kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama.
2.1.4.2 Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Beberapa ciri-ciri dari pembelajaran kooperatif menurut Isjoni
(2009:27), yaitu sebagai berikut.
1.
Setiap anggota memiliki peran
2.
Terjadi hubungan interaksi langsung diantara siswa
3.
Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga
teman-teman sekelompoknya
4.
Guru
membantu
mengembangkan
keterampilan-keterampilan
interpersonal kelompok
5.
Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan
21
Roger dan David dalam Anita Lie (2004:31) mengatakan bahwa tidak
semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai
hasil yang maksimal, ada lima unsur pembelajaran kooperatif, yaitu:
1.
Saling Ketergantungan Positif
Menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas
sedemikian rupa sehungga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan
tugasnya sendiri, agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka.
2.
Tanggung Jawab Perseorangan
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika tugas
dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran
cooperative learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk
melakukan yang terbaik.
3.
Tatap Muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk kelompok yang menguntungkan semua anggota. Hasil
pemikiran beberapa kepala akan lebih kaya daripada hasil pemikiran dari
satu kepala saja.
4.
Komunikasi Antar anggota
Unsur ini juga menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan
berbagai keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa dalam
kelompok, pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak
semua siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara.
5.
Evaluasi Proses Kelompok
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar
selanjutnya bisa bekerjasama dengan lebih efektif.
22
2.1.4.3 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Berikut ini ada beberapa langkah-langkah pembelajaran kooperatif
menurut Rusman (2012:211), dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2. 1
Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Tahap
Tahap 1
Menyampaikan tujuan dan
motivasi siswa
Tingkah Laku Guru
Guru menyampaikan tujuan pelajaran
yang akan dicapai pada kegiatan pelajaran
dan menekankan pentingnya topik yang
akan dipelajari dan memotivasi siswa
belajar.
Tahap 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi atau materi
kepada siswa dengan jalan demonstrasi
atau melalui bahan bacaan.
Tahap 3
Mengorganisasikan siswa ke
dalam kelompok-kelompok
belajar
Guru menjelaskan kepada siswa
bagaimana caranya membentuk kelompok
belajar dan membimbing setiap kelompok
agar melakukan transisi secara efektif dan
efisien.
Tahap 4
Membimbing kelompok bekerja
dan belajar
Tahap 5
Evaluasi
Guru membimbing kelompok-kelompok
belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas mereka.
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masingmasing kelompok mempersentasikan hasil
kerjanya.
Tahap 6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai
baik upaya maupun hasil belajar individu
dan kelompok.
Sumber : Rusman 2012:211
23
2.1.5 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
2.1.5.1
Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Menurut Miftahul Huda (2011:92) Pada dasarnya NHT merupakan
varian dari diskusi kelompok. Teknis pelaksaaannya hampir sama dengan
diskusi
kelompok.
Pertama-tama
guru
meminta
siswa
untuk
duduk
berkelompok-kelompok. Masing-masing anggota diberi nomor. Setelah selesai
guru memanggil nomor untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Guru tidak
memberitahukan nomor berapa yang akan berpresentasi selanjutnya. Begitu
seterusnya hingga semua nomor terpanggil. Pemanggilan secara acak ini akan
memastikan semua siswa benar-benar terlibat dalam diskusi tersebut.
Model NHT adalah bagian dari model pembelajaran kooperatif
struktural, yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. Menurut Slavin dalam Miftahul Huda
(2011:130) model NHT yang dikembangkan oleh Russ Frank ini cocok untuk
memastikan akuntabilitas individu dalam diskusi kelompok. Pembelajaran
kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan adanya
kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan diarahkan untuk
mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan. Tujuan dibentuknya
kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar
dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam kegiatan-kegiatan
belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktifitas pembelajaran berpusat pada siswa,
yakni mempelajari materi pelajaran serta berdiskusi untuk memecahkan masalah
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang
untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk
meningkatkan penguasaan
akademik. Berdasarkan uraian tersebut yang
dimaksud dengan pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam penelitian ini adalah
adalah pembelajaran yang dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang
anggotanya terdiri dari 4-5 orang secara heterogen, dimana setiap siswa masingmasing mempunyai nomor, kemudian nomor tersebut akan dipanggil oleh guru
24
untuk menjawab pertanyaan. Miftahul Huda (2011:138) mengemukakan tiga
tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT
yaitu :
1.
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling sharing ide-ide dan
mempertimbangkan jawaban yang tepat.
2.
Meningkatkan kerjasama siswa
3.
Pengembangan keterampilan sosial, bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan sosial siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain
berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau
menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.
2.1.5.2
Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Menurut Ibrahim (2000:29) ada enam langkah dalam proses
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT,
yaitu:
1.
Persiapan
Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan
membuat Skenario Pembelajaran (SP), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang
sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
2.
Pembentukan Kelompok
Dalam
pembentukan
kelompok
disesuaikan
dengan
model
pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru membagi para siswa menjadi
beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5 orang siswa. Guru memberi
nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang
berbeda. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau
dari latar belakang sosial, ras, suku, jenis kelamin dan kemampuan belajar.
Selain itu, dalam pembentukan kelompok digunakan nilai tes awal (pre-test)
sebagai dasar dalam menentukan masing-masing kelompok.
25
3.
Setiap Kelompok Harus Memiliki Buku Paket atau Buku
Panduan
Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku
paket atau buku panduan agar memudahkan siswa dalam menyelesaikan
LKS atau masalah yang diberikan oleh guru.
4.
Diskusi Masalah
Dalam kerja kelompok, guru membagikan LKS kepada setiap siswa
sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok setiap siswa
berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang
mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau
pertanyaan yang telah diberikan oleh guru. Pertanyaan dapat bervariasi, dari
yang bersifat spesifik sampai yang bersifat umum.
5.
Memanggil Nomor Anggota atau Pemberian Jawaban
Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap
kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan
jawaban kepada siswa di kelas.
6.
Memberi Kesimpulan
Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua
pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disajikan.
2.1.5.3
Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
NHT
Berikut ini ada beberapa kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe
NHT (Numbered Heads Together), yaitu:
1.
Siswa berani mengemukakan pendapat;
2.
Dapat meningkatkan hasil belajar siswa;
3.
Menyenangkan siswa dalam belajar;
4.
Dapat mengembangkan sikap positif siswa;
5.
Mampu mengembangkan sikap kepemimpinan siswa;
6.
Mampu mengembangkan rasa ingin tahu siswa;
7.
Mampu meningkatkan rasa percaya diri siwa.
26
Berikut ini ada beberapa kelemahan dari model pembelajaran kooperatif tipe
NHT (Numbered Heads Together), yaitu:
1.
Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru
2.
Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru
3.
Kelas menjadi ribut jika guru tidak dapat menguasai kelas dengan baik
2.2
Kajian Penelitian Yang Relevan
1.
Penelitian tentang model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered
Heads Together), telah dilakukan peneliti lain. Penelitian tersebut berbentuk
skripsi, yang dilakukan oleh Alustina Isyuniarsih (2011) yang berjudul
“Upaya Meningkatkan minat dan Hasil Belajar Kognitif dan Afektif pada
Mata Pelajaran IPA Melalui Penerapan Model Pembelajaran Numbered
Heads Together (NHT) Pada Siswa Kelas V SD Negeri 03 Ngumbul
Kecamatan Todanan Kabupaten Blora Tahun Pelajaran 2011/2012”. Hasil
yang diperoleh dalam penelitian ini adalah terjadi peningkatan minat dan
hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif siswa untuk mata pelajaran
IPA kelas V semester II tahun pelajaran 2011/2012. Peningkatan hasil
belajar siswa pada kondisi awal siswa yang tuntas 8 orang (33,33%) dan
yang tidak tuntas 16 orang atau (66,67%). Pada siklus I siswa yang tuntas 22
orang (91,67%) dan yang tidak tuntas 2 orang (8.33%). Sedangkan pada
siklus II semua siswa yang terdiri dari 24 orang tersebut sudah memenuhi
KKM atau dapat dikatakan tuntas 100%. Sedangkan untuk untuk penigkatan
hasil belajar afektif pada kondisi awal kurang aktif (41,67%), pada siklus I
menjadi cukup aktif (45,83%) dan pada siklus II menjadi aktif (58%).
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa penggunaan model
pembelajaran kooperatif Numbered Heads Together dapat meningkatkan
hasil belajar afektif siswa kelas V SDN 03 Ngumbul, Kecamatan Todanan,
Kabupaten Blora Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012.
2.
Laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuni Yinarti (2012) yang
berjudul “Penggunaan Metode NHT (Numbered Heads Together) untuk
Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SD Negeri
27
Banyumudal 02, Kabupaten Wonosobo, Semester 2 Tahun Pelajaran
2011/2012. Hasil yang diperoleh dai penelitian ini adalah terjadi
peningkatan keaktifan untuk mata pelajaran IPA kelas V semester 2 tahun
pelajaran 2011/2012. Siswa yang mencapai KKM 65 dari 32 siswa sebanyak
17 siswa atau 53,13% tuntas dan sebanyak 15 siswa atau 46,87% belum
tuntas.
2.3
Kerangka Berpikir
Berdasarkan latar belakang, pada pembelajaran IPA dikelas 5 yang masih
menggunakan metode ceramah yang konvensional, guru belum memberikan
kegiatan yang bisa membuat siswa berinteraksi dalam pembelajaran sehingga
menyebabkan masih ada siswa yang belum bisa mendapat hasil belajar yang
memuaskan dan tidak fokus dalam pembelajaran. Hal ini mengakibatkan 10 orang
anak (36%) dari 33 siswa hasil belajarnya masih dibawah KKM khususnya untuk
mata pelajaran IPA.
Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti pada pra siklus atau sebelum
tindakan pembelajaran IPA di kelas 5 mendapat nilai dengan rata-rata nilai kelas
61,7 yang kurang memenuhi KKM (65). Diduga kuat rata-rata nilai kelas yang
rendah tersebut karena pembelajaran yang masih konvesional, guru masih
mendominasi kelas dengan menggunakan metode ceramah, sehingga siswa kurang
berminat pada proses pembelajaran dan akibatnya hasil belajar siswa yang
menjadi rendah. Dalam mengatasi hal tersebut, peneliti melakukan perbaikan
proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT (Numbered Head Together). Penggunaan model kooperatif tipe NHT akan
dilakukan atau diterapkan oleh guru pada siklus I, dan bilamana pada siklus hasil
belajar siswa belum maksimal atau meningkat secara signifikan, maka akan
dilakukan perbaikan pada kesalahan siklus I dan melakukan pembelajaran
kooperatif tipe NHT pada siklus ke II. Diharapkan setelah menerapkan
pembelajaran dengan model kooperatif tipe NHT tersebut maka siswa akan lebih
aktif dalam pembelajaran, minat dalam mengikuti pembelajaran dapat meningkat
sehingga hasil belajar siswa dapat dapat meningkat secara signifikan sehingga
mencapai kriteria ketuntasan yang telah ditetapkan, serta keterampilan guru dan
28
aktivitas siswa dalam pembelajaran juga dapat meningkat. Berdasarkan uraian
tersebut dapat digambarkan melalui gambar bagan berikut ini.
Kondisi Awal
Guru :
Siswa :
Belum
Hasil belajar IPA
menggunakan
belum
model NHT
KKM
mencapai
Pembelajaran
siklus 1
menggunakan
menggunakan
Tindakan
model NHT
model NHT dalam
pembelajaran IPA
Pembelajaran
siklus 2
menggunakan
model NHT
Minat dan Hasil belajar siswa
meningkat dengan menggunakan
model NHT pada mata pelajaran
IPA
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Kondisi Akhir
29
2.4
Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka pikir di atas dapat dirumuskan hipotesis sementara
dalam penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran Kooperatif Tipe
NHT (Numbered Heads Together) dalam pembelajaran IPA dengan KD:
“Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya” dapat meningkatkan minat dan hasil belajar
Ilmu Pengetahuan Alam kelas 5 semester II SD Negeri Tlogo Tahun 2013/2014”.
Download