AKIBAT YURIDIS TANAH WAKAF YANG TIDAK

advertisement
AKIBAT YURIDIS TANAH WAKAF YANG
TIDAK TERDAFfAR.
(Studi Kasus Tanah Wakaf di Masjid Jami' al-lstiqomah Desa Cikalong
Kee. Cilamaya Karawang Jawa Barat)
Olch:
Virka U ntrisna
202043101181
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAH DAN HUKUM
FAKULTAS SY ARIAH DAN HUKUM
UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2007 M/1428 H
AIQBAT TURIDIS T ANAH W AKAF YANG TIDAK
TERDAFTAR
IStudi Kasus Tanah Wakaf di Masjid Jami' al-Istiqomah Desa Cikalong
Kee. Cilamaya Karawang Jawa Bara{)
Skripsi diajukan kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum untuk memenuhi
syarat-syarat meraih Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh
Virka Untrisna
NIM: 202043101181
Dibawah bimbingan
,>-'--
Dr. H. Ahmad Mukri Adji, M.A
NIP: 150.220.544.
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAH DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI' AH DAN HUKUM
UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI :SYARIF
HIDA YATULLAH
JAKARTA
2007 M/1428 H
DAFT AR RIWAY AT HIDUP
Nama
: Virka Untrisna
Tempat/ Tanggal Lahir
: Batang, 22 September 1984
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Nama Orangtua
: Imam Yuwono dan Ade Selawati
Alamat
: JI. Raya Masjid Limpung No. 81 Kee. Limpung Kab.
Batang Jawa Tengah 51271
Tlp./HP
: 021 98 688 582 I 085 865 126 888
Pendidikan Formal
: l. Tamat SDN 1 Limpung, berijazah tahun
1996
2. Tamat MTs Daruttauhid Malang, berijazah tahun
1999
3. Tamat MA Daruttauhid Malang, berijazah tahun
2002
4. Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari'ah dan Hukum,
Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum, Prodi
Perbandingan Madzhab Fikih
Pendidikan NonFormal
Tahun 1996-2002
: Pondok Pesantren (Ponpes) Daruttauhid Malang
Tahun 2000
: Sertifikat kursus Komputer di Malang
Tahun 2005
: Sertifikat Kursus Bahasa Inggris di LIA Ciputat
Pengalaman Organisasi
Tahun 2002-2003
: Staf Departemen Kesejahteraan Mahasiswa clan Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ekstensi
Fakultas Syari'ah clan Hukurn
Tahun 2003-2004
: Menteri Departemen Penelitian clan Pengembangan (
Litbang) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ekstensi
Fakultas Syari'ah clan Hukum
Tahun 2004-2005
: Koordinator Lembaga Semi Otonom (LSO) Advokasi
clan Hukum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Ekstensi Fakultas Syari'ah clan Hukurn
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam
Allah SWT yang telah memberikan kepada kita nikmat iman, Islam, dan ihsan serta
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga skripsi ini clapat diselesaikan sebagai
salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada jurusan
Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad Saw. beserta keluarga dan shahabatnya yang telah mengeluarkan
ummatnya dari jaman jahiliyah menuju jaman ilmiah dan karena beliaulah sehingga
ummatnya dapat membedakan yang hak dan yang bathil. Amma ba 'du.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menemukan hambatan yang tidaklah
sedikit. Namun berkat bantuan, dorongan serta dukungan dari berbagai pihak maka
hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tidak terhingga kepada
berbagai pihak sebagai berikut :
I.
Papah
dan mamah penulis, kepada beliau berdua secara khusus penulis
persembahkan terima kasih, penghargaan dan penghormatan yang setinggitingginya atas pendidikan dan do'a yang i{ereka,~~:ikan. Jasa kalian tidak akan
Jl
-,
)f/;p?,._,,_
'"""""'"· ,___ --
pernah bisa dibalas seumur hidup f!l1'~~~ :·apapu?:;?leh penulis. Penulis
persembahkan skripsi ini untuk beliau berdua dan penulis doakan semoga Allah
selalu mengampuni segala dosa-dosa dan memberikan rasa kasih sayang-Nya
kepada beliau berdua di dunia dan di akhirat nanti. Pe,nulis berharap semoga
mendapatkan ridho dari beliau berdua sehingga penulis juga mendapatkan ridho
dari Allah SWT karena ridho Allah itu di dalam keridhoan orang tua. Dan
sebuah harapan pula yang teramat penting dalam kehidupan penulis adalah
penulis bisa membahagiakan beliau berdua. Amin ya Robbal 'aalamiin.
2.
Ayah dan bunda Dina, yang selalu memberi doa dan motivasi di saat penulis
dalam keadaan di mana penulis mengalami suatu titik kejenuhan yang tinggi
sewaktu penulisan skripsi ini . .Jazakumullah khairon katsiro, semoga Allah
membalas kebaikan beliau berdua dengan kebaikan pula yang berlipat ganda.
3.
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma,S.H.,M.A. ,M.M. selaku Dekan
Fakultas Syari'ah dan Hukum lJIN SyarifHidayatullah .Jakarta.
4.
Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, M.A. selaku Ketua Jurusan Perbandingan
Madzhab dan Hukum yang juga merangkap sebagai dosen pembimbing skripsi
yang dengan kesabaran, kearifan, ketulusan hati, serta kecermatan dalam
memberikan bimbingan, dorongan, arahan, serta saran-saran yang sangat berarti
kepada penulis untuk perbaikan skripsi ini menjadi lebih baik.
5.
Bapak Ridwan, selaku Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid
Jami' al-Istiqomal1 Ds. Cikalong Kee. Cilamaya Kab. Karawang yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di lingkungan
wewenang beliau.
6.
Ust. Abdul Hamid Saifuddin, MA. selaku salah satu ahli waris tanah wakaf
Masjid Jami' al-Istiqonah dan selaku salah seorang ustadz penulis sendiri
sewaktu nyantri di Pondok Pesantren Daruttauhid Malang, yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi yang sangat penulis butuhkan
ketika penulisan skripsi ini.
7.
Bapak dan ibu dosen Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum yang dengan
ketekunan dan kepiawaiannya telah mendidik penulis selama berada di bangku
kuliah serta seluruh staf akademik Fakultas Syari'ah dan Hukum yang sangat
besar peranannya bagi penulis.
8.
Secara khusus penulis sampaikan penghargaan dan terirna kasih dari lubuk hati
yang paling dalam kepada Dina tercinta, yang telah memberikan dorongan,
semangat, do' a, dan pengorbanan.
9.
Rekan-rekan
mahasiswa
Fakultas
Syari'ah
dan
Hukum
UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah melalui hari-hari bersama di bangku kuliah
(bukan Bangku Kosong kayak film horor itu lho .. hh he ... he ... he ... ) selama ini
terutama Nurul al-Betawi, Wiwi al-Padangi, Mbac Yati yang sibuk ngurusin
rumah, Pijol alias Hafiz Ali orok skuter sejati , Bakhruzal alias Ki Mantep
Rijal Banget selaku paranormal/ penasehat spiritual/ psikiater di kawasan
mojang Kampung Syari'ah dan Hukum khususnya dan makhluk bumi pada
umumnya, Fatwa Ginting wong Medan Asli eeiihh.
I 0.
Sahabat-sahabat LOK (tebak sendiri aja kepanjangannya) Muammar yang
ngepalain, Reza nyang tukang nyatet n ngomel2 sndri, Angga nyang tukang
bawa duit, Hendra nyang tukang sibuk sendiri, Adi nyang tukang ngamen, Igo
nyang tukang nembak awewek, Epul nyang tukang diem seribu bahasa tapi
sarat makna, dan grombolan yang lain yang tidak bisa disebutkan di sini
11.
Rekan-rekan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak
memberikan perhatian, dorongan, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi
Im.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, maka kritik yang
positif dan membangun sangat penulis harapkan.
Akhirnya semoga Allah SWT. selalu melindungi mereka dan memberikan
balasan terhadap semua pihak yang penulis sebutkan di alas, serta pihak-pihak yang
belurn sernpat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan mahasiswa Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada khususnya
Jakarta, November 2006
Penulis
Virka Untrisna
DAFT AR ISi
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
DAFTAR RIW A YA T HID UP ...................................................................................... .i
KAT A PEN GANT AR ................................................................................................. .iii
DAFT AR ISl ............................................................................................................... vii
BABIPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 9
D. Kegunaan Penelitian ....................................................................................... 9
E. Metode Penelitian ........................................................................................ l 0
F. Sistematika Pembahasan ............................................................................... 13
BAB II PERWAKAFAN DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Pengertian Wakaf.......................................................................................... 15
B. Dasar dan Hukum Wakaf.............................................................................. 18
C. Rukun dan Syarat Wakaf.............................................................................. 22
D. Macam-Macam Wakaf. ............................................................................... .38
E. Nadzir dan Kedudukannya dalam Wakaf.................................................... .43
F. Kedudukan atau Status Pemilikan Harta Wakaf........................................... 56
BAB III PER W AKAF AN DALAM HUKUM POSITIF
A. Pengertian Wakaf.......................................................................................... 65
B. Dasar Hukum Wakaf.................................................................................... 66
C. Tujuan, Fungsi, Unsur, dan Syarat Wakaf.. .................................................. 71
D. Pendaftaran dan Pengununan Harta Benda Wakaf....................................... 80
E. Perubahan Status Harta Benda Wakaf.. ......................................................... 82
F. Pengelolaan dan Pengembangan Haiia Benda Wakaf.. ................................ 83
BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISlS HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Masjid Jami' al-Istiqomah .............................................. 85
B. Faktor Penyebab Waq({Melakukan Wakaf Yang Tidak Terdaftar. ............. 91
C. Akibat Yuridis Dan Perlindungan Hukum
Bagi Tanah WakafYang Tidak Terdaftar.. ................................................... 96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 115
B. Saran-Saran ................................................................................................. 117
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 119
LAMP IRAN-LAMP IRAN
BABI
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Wakaf yang terambil dari kata kerja bahasa Arab waqafa, menurut bahasa
berarti menahan atau berhenti. Dalam istilah hukum Islam wakaf ialah suatu
perbuatan hukum dari seseorangyang dengan sengaja memisahkan atau mengeluarkan
harta bendanya yang digunakan manfaatnya bagi keperluan dijalan Allah atau dalam
jalan kebaikan. 1 Sedangkan menurut peraturan perwakafan yang terbaru yaitu:
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, di dalam pasal 1, wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syari'ah.
Sebagai institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan masalah sosial
ekonomi, wakaf telah dilaksanakan oleh umat Islam dari periode awal, di masa
Rasulullah. Adapun pelaksanaan wakaf yang pertama dalam Islam adalah wakaf yang
dilaksanakan oleh sahabat Umar bin Khattab terhadap tanalmya di Khaibar. Menurut
Imam Syafi'i, sesudah pelaksanaan wakaf Umar tersebut, ada sekitar 80 orang
sahabat yang ikut mewakafkan hartanya. 2
1
Supannan Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Serang: Dar al-Ulum Pre4ss, 1994),
h.26
2
Sulaiman Rasyid, Fiqif Islam, (Jakarta: Yayasan at-Thahiriyah, 1976), h.324.
<
>-!
2
Dari uraian di atas, terlihat adanya perhatian dan semangat yang begitu besar
dari umat Islam periode awal untuk melestarikan dan mengembangkan wakaf. Hal ini
tidak lain karena al Qur'an dan Hadis secara tegas dan jelas telah mensyari'atkan
wakaf. Lebih lanjut, A.A. Basyir memberikan klasifikasi tentartg dasar hukum wakaf,
yaitu pertama, dasar umum berupa ayat-ayat al Qur'an yang memerintahkan manusia
untuk berbuat baik demi kepentingan masyarakat, misalnya surat al Hajj(22) ayat 77,
surat al Baqarah (2) ayat 261 dan surat Ali Imran (3) ayat 92, kedua, dasar khusus
adalah hadis Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar r.a. yang menceritakan
tentang pelaksanaan wakaf oleh sahabat Umar dan hadis Nabi riwayat Muslim dari
Abu Hurairah r.a. yang mengemukakan bahwa seorang manusia yang meninggal
dunia akan berhenti semua amal perbuatannya, kecuali pahala tiga anmlan, yaitu I)
shadaqahjariyah, 2) ilmu yang bermanfaat, dan 3)doa anak saleh. 3
Dilihat dari penggunaan/tujuan wakaf, ada 2 kategori wakaf, yaitu wakaf
khusus/wakaf keluarga/wakaf ahly/wakaf dzuny/wakaf 'ala al au/ad dan wakaf
umum/wakaf khairy. Wakaf khusus adalah wakaf yang diperw1tukkan khusus kepada
orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga wakif atau bukan. 4 Wakaf untuk
keluarga ini secara hukum dibenarkan berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan
3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Waka/, Ijarah dan Syirkah, (Bandung al-Ma'arif,
1977), h. 5-7.
4
Abdurrahman, Masa/ah Perwakafan Tanah Mi/ik dan Kedudukan Tanah Waka/ di Negara
Kita, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 1994), h. 59. Lihatjuga Muhammad Daud Ali, op. Cit.,h.89.
3
oleh Bukhari-Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu
Thalhah kepada kaum kerabatnya. 5
Pada perkembangan selanjutnya wakaf dzurry ini dianggap kurang dapat
memberikru1 manfaat bagi kesejahteraan umum karena sering menimbulkan
kekaburan dalrun pengelolaan dan pemanfaatan oleh keluarga yang diserahi harta
wakaf ini. Sekalipun agama lslrun membolehkan wakaf dzurry ini, namun beberapa
negara yang pemah melaksanakannya sepe1ti Mesir, Syiria, Turki, Maroko dan
Aljazair menghapus pranata wakaf dzuny dengan pertimbangan dari berbagai segi,
tanah-tanah wakaf bentuk ini tidak produktif dan kesulitan-kesulitan di kemudian hari
dalam menyelesaikan perkara atau persoalan yang timbul karenanya. Mesir misalnya,
menghapuskan pranata wakaf ini dengan Undang-undang No. I 80 tahun 1952, dimana
Syria telah menghapusnya sebelum itu. Sedangkan di Indonesia, PP No.28 tahun
1977 secara tegas menyatakan bahwa keluarga tidak tcrmasuk dalrun ruang
lingkupnya. 6
Jenis wakaf yang kedua adalah wakaf khairy, artinya wakaf yang
diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum (limashalih al ummah).
Dasar hukum dari wakaf khairy ini adalah hadis Nabi yang menceritakan wakaf
sahabat Umar bin Khattab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin,
ibnu sabil, sabilillah, para tamu dan hrunba sahaya yang sedang berusaha menebus
5
Suparman Usman, op.cit. h.35
'' Abdurrahman,op.cil.,h.60. lihat juga Ahmad Azhar Basyir,opcit,,h.14. lihat juga Suparman
Usman, op.cil, h.35.
4
dirinya. Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya,
yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia
pada umumnya. Kepentingan tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan,
kesehatan, pertahanan, keamanan, dan lain-lain. 7 Dalam kasus wakaf khairy ini,
menurut jumhur ulama, ketika diikrarkan harus ada nadzimya. Dalam hal ini, wakif
dapat menentukan siapa nadzir yang dikehendaki. Apabila wakif tidak menentukan
nadzimya, maka hakimlah yang menentukan.
Hukum perwakafan di Indonesia pada dasamya adalah sebuah pranata hukum
yang unik sekaligus rwnit, karena mungkin tidak ada di Indonesia ini suatu pranata
hukum yang dalam waktu bersamaan secara serentak diatur oleh berbagai ketentuan
hukum yang berasal dari berbagai subsistem hukum sebagaimana halnya dengan
pranata wakaf ini. Akibatnya, keberadaannya perlu untuk dilihat secara sedemikian
rupa dan dapat mengundang perbedaan pendapat yang cukup tajam tergantung dari
sudut mana kita memandangnya. 8
Wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara telah dimanifestasikan dalam
peraturan perundang-undangan sejak tahun 1905, walaupun masih terbatas pada
perwakafan tanah yang termasuk di dalarnnya masjid dan rumah-nunah suci.
Peraturan-peraturan tersebut masih berlaku hingga pendudukan Jepang dan di masa
Republik. Pada tanggal 24 September 1960, diundangkan peraturan pertanahan yang
7
Suparman Usman, op. cit., h.36
8
Abdurrahman, op.cit., h. l.
5
dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960. UUPA
Bab XI pasal 49 ayat 3 mengenai masalab pertanahan menyatakan babwa:
perwakafan tanab milik diatur dengan peraturan pemerintab. Oleh karena itu, labirlab
Peraturan Pemerintab (PP) Nomor 28 tabun 1977 pada tanggal 17 Mei 1977 tentang
Perwakafan Tanab Milik. Pasal 17 PP No.28 tabun l 977 menyatakan babwa
peraturan yang disusun pada masa Hindia Belanda dihapuskan. Sebagai tindak lanjut
PP No.28 tahun 1977, dikeluarkanlab beberapa peraturan sebagai berikut :
I.
Peraturan pelaksanaan PP No.28/1977 yang diatur oleh Peraturan Menteri
Agama No. I tabun 1978.
2.
lnstruksi Bersama Menteri Agama dengan Menteri Dalam Negeri No. I
tahun 1978.
3.
Keputusan Menteri Agama No.73 tabun 1978 tentang pendelegasian
wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/setingkat
di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala
KUA sebagai PPAIW.
4.
lnstruksi Menteri Agama No.3 tabun 1978 tentang petunjuk pelaksanaan
Keputusan Menteri Agama No.73 tahun 1978.
5.
Instruksi Menteri Agama No.3 tahun 1978 tentang bimbingan dan
pembinaan kepada badan hukum keagamaan yang memiliki tanab.
6.
lnstruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No.4 tabun 1990/No.24 tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanab Wakaf.
6
7.
Berbagai Surat Keputusan dan Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan
Haji yang berkenaan dengan perwakafan.
8.
Kompilasi Hukum Islam yang disosialisasikan dengan Inpres No.I Tahun
1991. 9
9.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf.
Namun demikian, dalam operasional di lapangan masih ditemukan masalahmasalah yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait secara terkoordinasi,
seperti permasalahan tentang tanah wakaf yang tidak terdaftar. Dalam pelaksanaan
wakaf, temyata ketentuan-ketentuan administratif dalam PP No.28 Tahun 1977,
Kompilasi Hukum Islam, dan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf belum
sepenuhnya mendapat perhatian masyarakat pada umumnya, dan khususnya pihak
yang berwakaf. Pada diri wakif yang amat menonjol adalah sisi ibadah dari praktek
wakaf. Oleh karena itu, wakiftidak merasa perlu untuk dicatat atau diadministrasikan.
Dengan demikian, perwakafan itu dilakukan atas dasar keikhlasan dan keridloan
semata serta menurut tata cara adat setempat tanpa didukung data otentik dan suratsurat keterangan, sehingga secara yuridis administratif status wakaf banyak yang
tidak jelas.
Dalam kondisi di mana nilai dan penggunaan tanah semakin besar dan meluas
seperti sekarang ini, maka tanah wakaf yang tidak jelas secarn hukum tersebut, telah
9
Muhammad Daud Ali, op.cit.,h.127-128
7
banyak mengundang kerawanan dan memudahkan terjadinya penyimpangan dari
hakekat hukum dan tujuan perwakafan, sepe1ti adanya tanah wakaf yang tidak lagi
diketahui keadaannya, adanya tanah wakaf yang seolah-olah tdah menjadi milik ahli
waris wakif atau nadzirnya, adanya sengketa dan gugatan terhadap tanah-tanah wakaf
dan berbagai kasus tanah wakaf lainnya. Salah satunya adalah kasus tanah wakaf
yang tidak terdaftar yang terjadi di Masjid Jami al-Istiqomah Desa Cikalong
Karawang Jawa Baral.
Masjid Jami' al-Istiqomah memiliki dua jenis tanah wakaf, yaitu tanah waqaf
produktif dan tidak produktif, adapun tanah tidak produktif adalah di mana
ma~jid
dan majlis talim saat ini telah berdiri. Sedangkan tanah produktif adalah berupa tanah
sawah seluas 9,5 bau' atau sebanding dengan 7,6 hektar, yang mana hasil dari tanah
tersebut digunakan untuk kepentingan pengelolaan masjid seperti renovasi, menggaji
para imam shalat, penjaga dan pengurus masjid, bayar listrik, kegiatan hari besar
Islam (peringatan Maulid Nabi, lsra' Mi'raj) dan keperluan lainnya.
Dalam perkembangannya setelah para wakif meninggal dunia, tanah wakaf
produktif tersebut dikelola oleh para ahli warisnya. Hal ini menyebabkan adanya
penyimpangan-penyimpangan penggunaan hasil dari tanah sawah tersebut mengingat
tidak adanya orang dari luar keluarga selain juga bawa ahl:i waris tersebut secara
ekonomi kurang mencukupi.
Masjid al-Istiqomah Desa Cikarang Kee. Cilamaya Karawang. Hal ini berawal
ketika pada tahun 1890 dibangun di atas tanah wakafsebuah mushola kemudian pada
tahun 1952 dirubal1 peruntukannya yang semula untuk mushola menjadi masjid.
8
Pembangunan masjid tersebut mendapat respon positif dan dukungan dari
masyarakat. Salab satu manifestasi dari dukungan tersebut adalab adanya kesadaran
dari masyarakat untuk menyisihkan sebagian tanab sawah milik mereka untuk
diwakafkan guna keperluan masjid. Dengan kata lain, Masjid Jami' al-Istiqomab
didirikan dan dibangun atas swadaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi tepatnya
pada tahun 1960-2002, A (para wakij) mewakafkan tanah sawab untuk kepentingan
masjid kepada B (Dewan Kesejabteraan Masjid) dan dipercayakan kepada C (nadzir)
secara lisan tanpa adanya surat-surat atau dokumen resmi sebagai persyaratan wakaf.
Tanab sawab tersebut adalab sebagai penunjang untuk pengelolaan masjid pada masa
berikutnya.
Pada perkembangannya ada di antara abli waris kira-kira tabun 2003 mengambil
sebagian bidang tanab yang seharusnya dipergunakan untuk masjid. Sementara itu
nadzir sebagai orang yang mempunyai tangungjawab untuk menjaga dan memelihara
keutuhan benda wakafhanya mengambil tindakan sebatas peringatan kepada D (salah
satu dari abli waris tersebut) babwa tanab yang ditempati adalab tanab wakaf masjid.
Sedangkan D tetap bersikeras bahwa tanah itu adalah tanah miliknya. Keunikan
dalam kasus ini adalab adanya hubungan kekerabatan antara A, B, C dan D.
Dengan demikian
te~jadi
penyalabgunaan basil tanah wakaf produktif berupa
tanah sawab. Dana yang diperoleh dari hasil penyewaan sawab tersebut tidak
seluruhnya digunakan untuk keperluan masjid tapi digunakan untuk keperluan
keluarga abli waris tersebut. Hal ini terjadi selain karena semua wakaf itu dikelola
oleh abli waris wakif juga karena tidak terdaftarnya perwakafan ini.
9
Berdasarkan urman di atas, maka penelitian tentang Akibat Yuridis Tana/1
Waktif Yang Tidak Terdajtar dengan mengambil Jokasi penelitian di Masjid Jami'
al-Istiqomah Desa Cikalong Kee. Cilamaya Karawang Jawa Barat penting untuk
dilakukan.
B.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
I.
Apakah yang menyebabkan wakifmelakukan wakafyang tidak terdaftar?
2.
Bagaimana akibat yuridis dan perlindungan hukum bagi tanah wakaf yang
tidak terdaftar?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dua hal pokok sebagai berikut:
I.
Ingin mendiskripsikan hal-hal yang menyebabkan wakif melakukan wakaf
yang tidak terdaftar.
2.
Ingin mendiskripsikan akibat yuridis dan perlindw1gan hukum bagi tanah
wakaf yang tidak terdaftar.
D.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki sekurang-kurangnya tiga kegunaan,
sebagai berikut:
I.
Bagi pengurus masjid, sebagai masukan dan alternatif solusi dalam
mengelola clan menyelesaikan problematika wakaf yang tidak terdaftar.
IO
2.
Dapat menjadi bahan perbandingan bagi masyarakat pada umwnnya
dalam memahan1i pentingnya mengadakan praktek wakaf sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum positif tentang wakaf.
3.
Dapat dijadikan salah satu bahan kajian bagi peneliti berikutnya yang
lebih mendalam untuk memperkaya dan membandingkan temuan-temuan
dalam bidang ini.
E.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini
meliputi:
I.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan
•
manusia.
JO
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu
penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam
suatu individu, kelompok, institusi atau masyarakat tertentu tentang latar
belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor, atau interaksi··interaksi (sosial) yang
terjadi di dalanmya. 11 Studi kasus merupakan suatu gambaran hasil penelitian
'° Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, h. 20.
11
Bambang Sunggona, Metodologi Penelitian Hukum, h.36.
11
yang mendalam dan lengkap, sehingga dalam infonnasi yang disampaikan
tampak hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk
. kan peranannya. 12
memam
2.
Lokasi Penelitian
Masjid Jami' al-Istiqomah Desa Cikalong Kee. Cilamaya Karawang Jawa
Baral.
3.
Sumber Data
a.
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
masyarakat. 13 Data ini meliputi hasil interview dengan ahli waris
wakif; nadzir, pengurus Masjid Jami' al-lstiqomah dan beberapa
saksi istifadlah.
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. 14 Data
b.
ini terdiri dari PP No. 28 Tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam,
Undang-Undang No. 41 Tentang Wakaf, pendapat ulama seputar
wakaf, hasil penelitian tentang wakaf, dan lain-lain.
4.
Prosedur Pengumpulan Data
Dalam upaya pengumpulan data yang diperluk1m, digunakan metode
sebagai berikut:
a.
Metode Observasi
12
Burhan Ashshofa, op.cit.h.21.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Huku1n, h. 51.
14
Ibid, h. 51.
12
Metode observasi bertujuan untuk mendiskripsikan setting, kegiatan
yang terjadi, orang yang terlibat di dalam kegiatan, waktu kegiatan dan
makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati tentang peristiwa
yang bersangkutan. 15
Metode ini digunakan untuk mengungkapkan data yang berkaitan
dengan pihak-pihak, waktu terjadinya dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan wakaf yang tidak terdaftar.
b.
Metode Wawancara/lnterview
Metode interview ini digunakan untuk memperoleh informasi
tentang kronologis kejadian wakaf yang tidak terdaftar, hal-hal yang
menyebabkan wakif melakukan wakaf yang tidak terdaftar, akibat yuridis
dan perlindungan hukum bagi benda wakaf yang ticlak terdaftar.
c.
Metode Dokumenter
Dalam penelitian ini, metode dokumenter digunakan untuk mencari
dan mengungkapkan data yang belum diperok:h dari observasi dan
interview.
5.
Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif. Teknik analisis deskriptif kualitatif digw1akan untuk menuturkan,
15
Burhan Ashshofa, op.cit.,h. 58.
13
menafsirkan serta menguraikan data yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari
observasi, wawancara/interview dan dokumenter.
F.
Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
Babl
PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pengantar untuk dapat menjawab pertanyaan apa yang
diteliti, mengapa, bagaimana dan untuk apa penelitian ini dilakukan. Oleh
karen itu, bab ini terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika
Pembahasan.
Bab II
PERWAKAFAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Bab ini adalah pisau analisis yang berisi teori-teori mengenai perwakafan.
Dalam bab ini diungkapkan tentang: Pengertian Wakaf Menurut, Dasar
Hukum Wakaf, Dasar Hukum Wakaf, Rukun dan :Syarat Wakaf, Macammacam Wakaf, Nadzir dan Kedudukannya dalam Wakaf, Kedudukan atau
Status Kepemilikan Harta Wakaf.
Bab Ill PERWAKAF AN DALAM HUKUM POSITIF
Bab ini berisi mengenai teori-teori perwakafan dalam hukum positif. Dalam
bab ini diungkapkan tentang: Pengertian Wakaf, Dasar Hukum Wakaf,
Tujuan, Fungsi, Unsur, dan Syarat Wakaf, Pendaftaran dan Pengumuman
Harta Benda Wakaf, Perubahan Status Harta Benda Wakaf, Pengelolaan dan
Pengembangan Harta Benda Wakaf.
14
Bab IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS 1-IASIL PENELliTIAN
Bab ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu deskripsi obyek penelitian dan
jawaban dari permasalahan penelitian. Dalam bab ini diuraikan tentang:
Gambaran Umum Masjid Jami' al-Istiqomah, Faktor Penyebab Wakif
Melakukan WakafYang Tidak Terdaftar, Akibat Ywrisdis dan Perlindwngan
1-Iukum Bagi Benda WakafYang Tidak Terdaftar.
Bab V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat dua ha! pokok, yaitu:
Kesimpulan dan Saran-saran.
BAB II
PERWAKAFAN DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Pengertian Wakaf
Perkataan waqf yang dalam bahasa Indonesia menjadi wakaf berasal dari bahasa
Arab waafa-yaqifu-waqfan, berdiam di tempat, atau menahan. 1 Pengertian "berhenti"
ini jika dihubungkan dengan ilmu baca al-Quran atau ilmu tajwid mengandung makna
menghentikan bacaan baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas sementara,
dari mana harus di mulai dan di mana harus berhenti. Pengertian wakaf dalam arti
"berdiam di tempat" dikaitkan dengan wukuf yaitu berdiam di Arafah pada tanggal 9
Dzulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Adapun pengertian "menahan" (sesuatu)
dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksucl dengan wakaf dalam
pembahasan ini. Wakaf adalah menahan sesuatu benda tmtuk cliambil manfaatnya
sesuai clengan ajaran Islam. 2
Kata waqafa-yaqifu-waqfan di dalam kepustakaan ba1hasa Arab merupakan
sinonim dari kata habasa-yahbisu-habsan. Term wakaf digunakan di beberapa negara
Islam termasuk Indonesia, seclangakan istilah habs biasanya dipergunakan di Afrika
Utara di kalangan pengikut madzhab Maliki. 3
1
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h.2033.
2
Muhammad Daud Ali, op.cit., h.80.
3
lbid.
16
Adapun pengertian wakaf secara tenninologi sangat beragam di kalangan
fuqaha. Berikut ini beberapa pengertian wakaf yang dikemukakan oleh imam-imam
madzhab.
I.
Imam Abu Hanifah mendefinisikan wakaf adalah:
"Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukurn tetap milik
wakif dalam rangka merpergunakan manfaatnya untuk kebaikan". 4
Berdasarkan definisi ini maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari
tangan wakifbahkan ia dibenarkan menariknya kembali clan boleh menjualnya.
2.
Pengertian wakafmenurut Imam Malik, yaitu:
"Wakaf adalah seorang pemilik yang memperuntukkan manfaat harta
benda miliknya baik berupa sewa maupun hasi.lnya untuk diserahkan
kepada pihak yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang berwakaf'. 5
Definisi madzhab Maliki ini mengandung arti bahwa pemilik haita
menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan
pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pernberian manfaat benda
yang diwakafkan itu sedangkan benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik
wakif. Masa berlakunya bukan untuk selama-larnanya melainkan hanya untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif ketika mengucapkan
4
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Jslami Wa Adillatuh, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1989), juz VIII,
5
ibid.
h.153.
17
sighat wakafuya, dan karenanya tidak disyaratkan sebagai wakaf kekal
(selamanya).
3.
Golongan Syafi' iyab mendefinisikan wakaf sebagai berikut:
"Wakaf adalab menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan
tetap utuhnya barang, dan barang itu lepas dari milik wakif serta
dimanfaatkan untuk sesuatu yang diperbolehkan agmna". 6
4.
Adapun madzhab Hanbali mendefinisikan wakaf sebagai berikut:
"Wakaf adalah
menahan kebebasan pemilik harta benda dalam
membelanjakan hartanya yang bem1anfaat dengan tetap utuhnya harta dan
memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan
manfaatnya digunakan untuk suatu kebaikan dalarn rangka mendekatkan
diri kepada Allab". 7
Menurut madzhab Syafi'i dan Hanbali ini, hak pemilikan atas harta wakaf
itu sudab lepas dari orang yang berwakaf dan telah menjadi milik Allah swt.
Dengan demikian bersifat kekal, selama harta tetap utuh. Suatu wakaf tidak
boleh bersifat sementara dan ditarik kembali.
Demikianlab beberapa pengertian wakaf yang dikemukakan oleh imamimam madzhab. Pada dasamya definisi-definisi tersebut mempunyai intisari
yang serupa babwa wakaf adalab menaban harta yang dimanfaatkan untuk
6
Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mug/mi al-Muhtaj, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi,
1968), juz II, h.376.
7
Sayyid Ali Fikri, Al-Muamalah Al-Madiyah Wa Al-Adabiyah, (Mesir: Musthafa a-Babi AlHalabi, 1938), h. 312.
18
kebaikan. Perbedaanya hanya terletak pada masalah status harta wakaf, apakah
tetap menjadi milik Allah yang tidak boleh lagi dimilki oleh siapapun.
B. Dasar dan Hukum Wakaf
Para ulama sepakat bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk amal kebajikan
dalam ajaran Islam. Wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada
Allah SWT. melalui harta benda miliknya yaitu dengan mele:paskan benda tersebut
guna kepentingan umum atau masyarakat. 8 Sebagai ibadah yaing tel ah disyari 'atkan,
masalh wakaf ini tentu mempunyai dasar hukum baik al-Qur'an, as-Sunnah, maupun
ijma' sahabat. Berikut ini adalah uraian tentang dasar hukun1 wakafyang dimaksud.
L
Dasar hukum dari al-Qur'an
Meskipun tidak jelas dan tegas wakaf disebutkan dalam al-Qur'an, namun
beberapa ayat yang memerintahkan menusia berbuat baik untuk kebaikan
masyarakat dipandang oleh para ahli sebagai landasan perwakafan. 9 Dari
beberapa ayat yang dapat dijadikan dasar hukum perwakafan antara lain:
"Kamu sekali-kali be/um sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum
kamu menqflwhkan sebagian dari hart a yang kamu cintai ". (QS: 3(Ali
Imran):92).
8
Supannan Usman, op.cit.,h. 32.
9
Muhammad Daud Ali, op.cit.,h. 80.
19
"Hai orang-orang yang beriman, najkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari usahamu yang baik-baik". (QS.2( Al-Baqarah):267)
Beberapa ayat di atas walaupun secara eksplisit tidak langsung menunjuk
kepada wakaf, tetapi para ulama menjadikannya sebagai sandaran dari
perwakafan berdasarkan pemahaman serta adanya isyarat tentang ha! tersebut.
Setidak-tidaknya mereka berpendapat bahwa wakaf tidak bertentangan dengan
semangat ayat di atas. Bila al-Qur'an menganjurkan agar manusia berbuat baik
melalui sebagian hartanya., maka wakaf adalah salah satu dari realisasi ajaran alQur'an tersebut.
2.
Dasar hukum dari al-Sunnah
Di samping beberapa ayat di atas, masalah wakaf ini oleh para ulama juga
didasarkan dari berbagai hadits Nabi. Di antara hadits Nabi yang dijadikan
sandaran wakaf antara lain:
uL.i';ll -:..iL> l~J: Jl9
4..1 _9C~
e;-IL::. ..ll 3
)
F-9 .yk. .&1 ~ .&1 J_,...,_) ul ;;Y-Y> ~l UC.
~ ~ rlc
)
~.)I.:;.. :u~ ~ LY> 'il 4..1...c ~l
I 0 ( ("L,.,.. oI3.))
"Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. Bersabda: "Apabila
manusia meninggal dunia maka putus/ah pahala segala amalnya kecua/i
tiga hal yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, a/au anak yang
shaleh yang slalu mendoakannya ".(HR. Muslim).
0
Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyary al-Nisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1992),juz II, h.70.
'
20
Imam Muslim meletakkan hadits ini dalam bah wakaf karena kebanyakan
ahli fikih menahsirkan istilah sedekah jariyah dengan wakaf. 11
Selain hadits di atas terdapat hadits lain yang juga clijadikan landasan yang
kuat dalam masalah wakaf ini, yaitu:
.y.b .&I ~ ~I ~\j ~ L....a) ye yL..:il: Jjj ye LHJ l.JC
JL., y.....:.I rJ~ L..aj ,-'."cl ~J .&I Jy.o)-:1: Jw ~ oy~ rLJ
4L:>I ,-,., t" t.::..U..:;, ul Ju ~ ~ ~yl.:iw, .u.. i..; .:llc ud.il .JA .hl
W_J~'} J t ~ '} J41-ai t ~'} 4..i\ ye 4-! J~.d:i.i Jjj, 4-! d~J
~~J yU)I ~J ts.1Yl1 ~J ,,.\_fall~ ye J.~ Jjj. y14~'1J
wJyi-Jl: ~ JS\-:i ul 4,JlJ ~ ~J c~'l. ~~ll J J:H...JI LHIJ .&I
12
(~)..l!IJ ~ 0 \J-J) Jy>'..1.4 Y.f:- ~~A JI
·'Dari Jbnu Umar ra. berkata: Umar mempunyai sebidang tanah di
Khaibar, !au ia datang kepada Nabi saw, untuk meminta nasihat tentang
harta itu seraya berkata: 'Ya Rasulul/ah, sesungguhnya aku telah
mendapat sebidang tanah di Khaibar yang aku be/um pernah memperoleh
tanah sebaik itu. Apa nasehatmu untukku tentang tanah itu ? " Rasul/ah
bersabda: "Jika engkau mau tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah
hasilnya ". Jbnu Umar berkata: "Maka Umar mewakajkan harta itu
dengan arti bahwa tanah itu tidak boleh dijual, dihibahkan, dan
diwariskan. Umar menyedahkan. Umar menyedekahkan hasil harta untuk
orang fakir, kepada kerabat, kepada budak, fl sabllillah, dan para tamu.
Tidaklah berdosa orang yang mengurusinya memakan sebagian dari
harta itu secara wajar dan tidak bermaksud mencari kekayaan (HR.
Muslim dan ad-Daruqutny).
11
12
lbnu Ismail al-Shan'any, Subul Al-Salam, (Mesir: M. Ali. Shahib, t.th), juz Ill, h. 115.
Imam Muslim, foe. cit.
Lihat juga Ali bin Umar ad-Damqutniy, Sunan ad-Daruqutny,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jilid 2, h. 94.
21
Pada hadits ini secara lebih khusus menceritakan tentang wakaf, dan apa
yang dilakukan Umar tersebut merupakan peristiwa perwakafan yang pertama
dalam sejarah Islam. 13
Hadits yang lainnya adalah:
"Dari Anas ra. dia berka/a: "ketika Rasulullah saw. datang di Madinah
dan memerinlahkan unluk membangun masjid, beliau berkala : "Wahai
Bani Najjar, apakah kamu hendak menjual kebunmu ini?" lvfereka
menjawab: "Demi Allah, kami tidak meminta harganya kecuali kepada
Allah ta 'ala. Maksudnya agar Rasu/lah megambllnya dan membangun
masjid". (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Nasai).
Dikabarkan bahwa Bani Najjar membangun bersama-sama dinding sebuah
masjid dan memberikannya (mewakafkannya) untuk kepcntingan umum. 15
3.
ljma' sahabat
Selain berdasarkan kepada al-Qur'an dan hadits, perwakafan juga
didasarkan kepada ijma' sahabat. Dalam hal ini Jabir berkata:
13
Wahbah al-Zuhaili, op. cit. h. 157.
14
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo:Dar Nahr anNail, t.th.), jilid I, h.86.
15
Rahmat Djatnika, Resume Kuliah Pranata Sosial II (Wakaj), dihimpun Arbiyah Lubis, tidak
diterbitkan, Program Pascasarjana IAIN SyarifHidayatullah Jakarta, 1985, !t. 78.
22
:Uk seorangpun dari sahabat Rasulullah yang mempunyai harta melainkan
ia wakajkan hartanya itu ".
Perkataan Jabir ini menunjukan bahwa wakaf merupakan ajaran Islam
yang telah dipraktekkan oleh para sahabat. Demikianlah kiranya dapat
disimpulkan bahwa masalah wakaf mempunyai dasar hukum dari al-Qur'an, asSunnah,
serta
ijma'
sahabat.
Itulah
yang
menjadi
landasan
utama
disyari'atkannya wakaf dalam agama Islam.
C.
Rukun dan Syarat Wakaf
Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai wakaf dan perbedaan itu
tercermin dalam perumusan mereka, namun mereka sependapat bahwa untuk
pembenlukan lembaga wakaf diperlukan rukun 17 dan syarat.
Wakaf sebagai suatu lembaga Islam tentu juga mempunyai rukun. Tanpa
adanya rukun yang telah ditetapkan wakaf tidak dapat berdiri. Mengenai jumlah
rukun terdapat perbedaan di kalangan fukaha. Menurut madzhab Hanafi rukun wakaf
hanya satu yaitu shigha/ 8 , sedangkan qabul (pernyataan menerima wakaf) tidak
termasuk rukun wakaf bagi ulama madzhab Hanafi, karena menurut mereka akad
wakaf tidak bersifat mengikat. Artinya apabila seseorang mengatakan "saya
16
Mansur lbnu Yunus al-Bahuti, Kasyaf a/-Qana' 'an Main al-lqna ', Ji lid IV, (Beirut: Dar alFikri, 1982), h.240.
17
Muhammad Daud Ali, op.cit., h.90.
18
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 159.
23
wakafkan harta saya kepada anda", maka akad itu sah dengan sendirinya dan orang
yang diberi wakafberhak alas manfaat benda wakafitu. 19
Adapun menurul jumhur ulama, yaitu dari kalangan madzhab Syafi'i, Maliki,
dan Hanbali, bahwa rukun wakaf ada empa120 , yaitu:
I.
Orang yang berwakaf alau wakif yaitu pemilik harta benda yang
melakukan tindakan hukum.
2.
Harta yang diwakafkan atau mauqufbih sebagai obyek perbualan hukum.
3.
Tujuan wakaf alau yang berhak menerima hasi:I wakaf yang disebul
maiquf 'a/aih, dan
4.
Pemyalaan wakaf dari wakifyang disebul shighat ai:au ikrar wakaf.
Masing-masing rukun di alas harus memenuhi syarat-syarat yang disepakati
oleh sebagian besar ulama. Penjelasan masing-masing unsur wakaf di alas adalah
se bagm. ben.kut21 :
I.
Wakif dan syaral-syaralnya
Orang yang mewakafkan hartm1ya disyaratkan cakap bertindak hukum.
Kecakapan bertindak hukum di sini meliputi empal kriteri.a:
19
Depag RI., lac.cit.
20
Abdul Wahab Khallaf, Ahkam al-Waqf, (Mesir: Ma'tabah a-Mishr, 1951), h. 24.
21
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 176-177.
24
a.
Merdeka. Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak atau hamba
sahaya tidak sah. Karena wakaf adalah pelepasan hak milik dengan
cara menyerahkan hak milik itu kepada pihak lain. Sedangakan
budak tidak mempunyai hak milik, dirinya dim apa yang dimilinya
adalah kepunyaan tuannya. Demikian juga tidak sah mewakafkan
milik orang lain atau wakafuya seorang pencuri atas harta curiannya.
b.
Berakal sehat/sempurna. Wakafyang dilakukan oleh orang gila tidak
sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz, dan tidak
cakap melakukan akad serta tindakan hukwn lainnya. Demikian pula
wakafnya orang dungu (idiot), berubah aka! karena faktor usia, sakit
atau kecelakaan hukwnnya tidak sah. Syarat-syarat ini ditetapkan
karena setiap prilaku ekonomi -termasuk wakaf-, memerlukan
keharusan aka! sehat dan dengan pertimbangan yang sehat pula.
c.
Baligh/cukup umur, karena baligh menurnt para ulama merupakan
indikasi sempurnanya aka! seseorang. Untuk kecakapan bertindak
melakukan tabarru' (melepaskan hak tanpa mengharap imbalan) termasuk pula wakaf- diperlukan kematangan pertimbangan aka!
seseorang (rasyid) yang dianggap telah ada pada orang yang telah
baligh. Oleh karena itu wakaf tidak sah bila dilakukan oleh anak
kecil/ belum baligh karena ia dipandang belum cakap melakukan
akad danjuga belum cakap untuk menggugurkan hak miliknya.
25
d.
Orang yang berwakaf itu harus berfikir jemih dan tenang, tidak
tertekan karena bodoh, bangkrnt, atau lalai, walaupun wakaf tersebut
dilakaukan melalui seorang wali. 22
2.
Benda yang diwakafkan dan syarat-syaratnya
Agar harta benda yang diwakafkan sah, maka hams memenuhi syarat-
syarat tertentu. Dalam syarat-syarat harta yang diwakafkan terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Menurut madzhab Hanafi, syarat harta yang
diwakafkan adalah sebagai berikut:
a.
Barang yang diwakafkan itu harus bemilai harta menurut syara',
oleh sebab itu minumam keras tidak bisa diwakafkan karena
minuman keras dan sejenisnya tidak tergolong harta dalam
pandangan syara'. Mereka juga berpendapat bahwa pada dasarnya
benda yang dapat diwakafkan adalah benda tidak bergerak, karena
obyek wakaf itu harus
memungkinkan
dapat
bersifat tetap
dimanfaatkan
terns
'ain
( dzat)nya
menerus.
yang
Menurut
golongan Hanafiyah benda bergerak dapat diwakafkan dalam
beberapa kondisi.
1)
Hendaknya benda itu selalu rnenyertai benda tetap dan ha! ini
ada dua macam:
22
Ibid
26
a)
Hubungan sangat erat dengan benda tetap, seperti
bangunan dan pohon-pohon. Menurut mereka bangunan
dan pohon-pohonan adalah tennasuk benda bergerak
yang tergantung pada benda tidak bergerak.
b)
Sesuatu yang khusus disediakan untuk kepentingan benda
tetap misalnya alat untuk memb:tjak atau lembu yang
digunakan untuk bekerja.
2)
Kebolehan benda bergerak itu berdasarkan atsar yang
memperbolehkan wakaf senjata, baju perang, dan binatangbinatang yang digunakan untuk berperang.
3)
Wakaf benda bergerak itu mendatangkan pengetahuan dan
merupakan sesuatu yang sudah biasa dilakukan berdasarkan
'urf misalnya mewakafkan kitab-kitab dim mushaf. 23
b.
Barang yang diwakafkan itu harus tertentu (diketahui) ketika terjadi
akad wakaf. Yang dimaksud di sini adalah bahwa benda tersebut
harus tegas dan jelas, baik kejelasan menyangkut ukuran seperti
mewakafkan I 000 m 2 tanah, maupun kejelasan lokasi dan jumlah.
Jadi tidak boleh mewakafkan suatu barang yang tidak jelas, sebab
ketidakjelasan itu dapat mengarah kepada terjadinya pertikaian, yang
harus dihindari terjadinya pada benda wakaf.
23
Muhammad Abu Zahrah, Muhad/aratfi al-Waqf, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1971),h. 103.
27
c.
Barang yang diwakafkan itu betul-betul milik penub bagi orang yang
mewakafkannya, karena wakaf itu menggugurkan hak milik dengan
cara tabarru ', maka haruslah barang yang diwakafkan itu betul-betul
sebagai hak milik orang yang berwakaf. Oleh karenanya jika
seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum menjadi
miliknya walaupun nantinya akan jadi mililmya, hukumnya tidak
sah, sebab pemilikan benda yang diwakafkan terjadi sebelum
te1jadinya akad wakaf.
d.
Barang yang diwakafkan harus sudah dibagi, tidak lagi sebagai
barang kongsi dengan orang lain jika barang itu memang dapat
dibagi (sebab penerimaan alas barang yang diwakafkan adalah syarat
bolehnya
wakaf,
sedangkan
harta
kongsi
itu
menghalangi
penerimaan tersebut). Sebab pada barang atau harta kongsi tersebut
masih terkait hak orang lain pada harta itu. 24
Ulama madzhab Maliki mensyaratkan agar benda yang diwakafkan harus
milik sendiri secara penuh, tidak terdapat hak orang lain pada harta tersebut. Di
samping itu barang tersebut harus tertentu dan jelas se:perti diberi batas atau
ukuran yang jelas, jumlah yang jelas, dan sebagainya. 01.eh karena itu tidak sah
hukumnya mewakafkan benda yang tidak diketahui atau tidak jelas jumlah dan
ukuran atau batasnya, misalnya mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki,
24
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 184.
28
sejwnlah buku, atau salah satu dari rumahnya, dan sebagainya. Demikian juga
tidak boleh mewakafkan barang yang sedang digadai atau disewakan. Adapun
jika seseorang bermaksud untuk mewakafkan barang itu setalah masa gadainya
atau masa sewanya berlalu, maka wakafnya sah. 25
Selain itu madzhab Maliki juga mensyaratkan agar benda yang
diwakafkan itu dapat dimanfaatkan, baik berupa benda tetap maupun benda
bergerak, untuk selamanya ataujangka waktu tertentu. 26
Madzhab Maliki juga menyatakan membolehkan mewakafkan manfaat
hewan untuk dipergunakan dan mewakafkan makanan, uang, dan benda tidak
bergerak lainnya, berdasarkan hadits27 :
J (.SW\ o\ 3_>)
~ yJ J.t.-,J ~\ ~\ :
F J .!.;)kc .Ji\ ~ ~\ JU
28 ( "4--l..
011
"Nabi bersabda: 'Tahan/ah bendanya dan wakafkanla.h hasi/nya '". (HR. AlNasai dan Jbnu Majah)
Ulama madzhab Syafi'i dan Hanbali mensyaratkan benda yang akan
diwakafkan harus berupa benda yang jelas dan hak milik sah. Persyaratan ini
bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak bagi mustahiq
25
Ibid, h. 187.
26
Ali Fikri, op.cit., h. 307.
27
Wahbah al-Zuhaili, op.cil., h.169.
28
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qozwaini, Sunan lbnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), jilid 2, h.5.
29
untuk kemanfaatan benda wakaf tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari perselisihan dan permasalahan yang mungkin timbul di kemudian
hari setelah harta tersebut diwakafkan. Syarat ini telah disepakati oleh para
fuqaha, mereka juga mensyaratkan agar benda yang diwakafkan itu dapat
menghasilkan manfaat yang bersifat langgeng serta harus disalurkan kepada ha!
yang diperbolehkan oleh syara' .29
Mengenai wakaf benda bergerak kalangan Syafi'iyah berpendapat bahwa
barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya baik berupa
barang tidak bergerak, barang bergerak, maupun barang kongsi. 30 Adapun
menurut Hanabilah barang yang dijual belikan, barang yang bermanfaat secara
mubah sedang dzat barangnya kekal sah pula untuk diwalcafkan. 31
Seperti dijelaskan pada pengertian wakaf pada bagian terdahulu, sebagian
fuqal1a menekankan bahwa barang yang diwakatkan harus bersifat "kekal" atau
paling tidak dapat bertahan lama. Pandangan seperti ini merupakan konsekuensi
logis dari konsep bahwa wakaf adalah sedekah jariyah. Sebagai sedekah jariyah
yang pahalanya terus mengalir, sudah barang tentu barang yang diwakatkan
harus berupa barang yang fisiknya bersifat kekal atau bertahan lama. Namun
demikian jumhur ulama justru lebih menekankan pada aspek manfaatnya bukan
sifat fisiknya. Ulama Syafi'iyah misalnya membolehka:n wakaf barang secara
29
M. Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Turats al-Arabi, Uh), h. 277.
30
Ibid, h. 276.
31
Ali Fikri, op.cit., h. 313.
30
umum apakah bersifat kekal atau sementara, oleh karena itu mereka
menetapkan kebolehan dan sahnya mewakafkan binatang, perabotan, dan
sejenisnya walaupun kekekalan fisiknya tidak pasti.
Jadi pada dasarnya semua barang yang bermanfaat boleh diwakafkan,
adapun sifat fisik barang bukanlah sesuatu yang prinsipil. Memang barang yang
sifat fisiknya dapat tahan lama, apalagi bisa kekal akan lebih baik agar
pahalanya tetap kekal pula.
3.
Mauquf 'alaih atau tujuan wakaf dan syarat-syaratnya
Mauquf 'alaih atau penerima wakaf ialah orang atau lembaga yang
menerima harta wakaf. Dalam hubungan dengan tujuan wakaf ini perlu
dikemukakan bahwa tujuan wakaf yang sesungguhnya adalah mengharapkan
ridla dari Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Mauquf 'a/aih atau tujuan
haruslah untuk kebajikan yang termasuk dalam bidang qurbat kepada Allah.
Yang dimaksud kebajikan di sini adalah kebajikan yang didasarkan taat kepada
Allah, sedangkan syarat qurbat adalah men-tasharruf-kan wakafkepada mauquf
'alaih yang sesuai dengan ketentuan Allah, misalnya wakaf kepada fakir
miskin, ulama, keluarga, atau untuk kepentingan ummn lainnya seperti masjid,
tern pat min um um urn, jembatan, jalan, dan lain-lain. 32
32
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 193.
31
4.
Shighat wakaf dan syarat-syaratnya.
Shighat wakaf adalah pernyataan wakif yang mempakan tanda, baik
ucapan, isyarat, atau tulisan dari seorang wakif untuk menyatakan kehendaknya
yaitu mewakatkan hartanya.
Para fuqaha telah menetapkan bahwa shighat, sebagaimana rukun wakaf
yang lain- juga hams memenuhi beberapa syarat. Adapaun syarat-syarat yang
berkaitan dengan shighat adalah 33 :
a.
Shighat wakaf hams mengandung pernyataa11 yang berarti bahwa
wakaf itu bersifat kekal (al-ta 'bid). Menumt jumhur ulama wakaf
tidak sah apabila dibatasi waktunya atau hanya bersifat sementara.
Adapaun madzhab Maliki tidak mensyaratkan selamanya dalam
wakaf, boleh hanya dalam waktu tertentu, sehingga apabila habis
masanya, wakif bisa mewakafkan kembali hartanya kepada orang
lain yang membutuhkannya.
b.
Shighat hams mengandung arti yang jelas dan tegas, lafal shighat
tidak boleh terkait dengan syarat tertentu atau masa yang akan
datang, karena akad wakaf mengandung ketentuan pemindahan milik
pada saat akad berlangsung, kecuali madzhab Maliki yang
membolehkan wakaf yang dikaitkan dengan syarat, penangguhan
realisasi wakaf pada masa yang telah ditetapkan oleh wakif.
33
Ibid, h.198.
32
c.
Shighat wakaf tidak boleh dengan syarat yang membatalkan yaitu
yang bertentangan dengan tabiat wakaf itu sendiri. Namun menurut
madzhab Maliki apabila syarat itu justru memperbaiki harta wakaf,
maka syarat yang demikian dianggap sah, demikian juga wakafnya.
d.
Shighat wakaf harus mengandung kepastian artinya bahwa suatu
wakaf tidak boleh diikuti oleh syarat kebebasan memilih seperti
mewakafkan sesuatu dengan syarat ia boleh rnemilikinya atau orang
lain boleh menjualnya kapan saja bila dikehendaki.
e.
Ulama Syafi'iyah menambahkan, shighat wakaf harus mengandung
penjelasan tempat atau tujuan wakaf. Artinya seseorang yang
berwakaf harus menjelaskan kemana dan untuk siapa atau untuk apa
wakaf itu diberikan. 34
Para ulama fiqih
terutama para imam
madzhab yang empat tidak
mencantumkan keharusan pencatatan sighat wakaftersebut dalam definisi dan syaratsyaratnya. Hal ini berarti tidak adanya keharusan pencatatan dalam sighat wakaf
tersebut dalam pandangan mereka. Akan tetapi dalam keadaan sekarang ini yaitu
perselisihan dalam perwakafan, maka kita harus meninjau foman Allah SWT, yaitu:
34
Ibid. h. 204-210.
33
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu 'amalah yang tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. "
(QS. 2 (al-Baqarah): 282).
Ayat ini menegaskan bahwa ada keharusan mencatat transaksi mu'amalah
seperti jual beli, hutang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya. Hal ini
bertujuan untuk menjaga harta benda dari adanya penyelewengan, persengketam1,
atau
kealpaan pada kemudian hari. Adapun wakaf adalah sebagai institusi
keagan1aan yang erat hubungannya dengan masalah sosial ekonomi dan kepentingan
masyarakat banyak, maka harus dicatat pula. Walaupun secara eksplisit ayat ini tidak
menegaskan mengenai keharusan mencatat wakaf, akan tetapi jika melihat pada
kondisi sekarang ini akan kerawanan harta benda wakaf yang tidak memiliki bukti
tulis, maka ayat ini bisa dijadikan sandaran untuk pencatatan harta benda wakaf agar
terhindar dari adanya penyelewengan, persengketaan, ataupun kealpaan pada
kemudian hari.
Kemudian kalau kita mernnJau dalam qowaidul fiqhiyyah maka kita akan
menemukan beberapa kaidah yang secara tersirat mendukung untuk adanya
keharusan pencatatan sighat wakaf ini yaitu :
a.
"Kemudharatan harus dihilangkan ". 35
35
Muslih Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996) h. 132
34
b.
"Menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan ". 36
Penyelewengan, persengketaan, ataupun kealpaan yang bisa datang di
kemudian hari yang terjadi dalam perwakafan banyak diakiba1kan oleh tidak adanya
bukti tertulis dari sighat wakaf. Hal ini adalah suatu kemudharatan atau kerusakan
karena wakaf yang seharusnya pemanfaatannya digunakan untuk umat manusia dan
hak kepemilikannya berpindah kepada Allah SWT telah hilang atau berpindah kepada
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, pencatatan sighat wakaf
adalah untuk menolak kerusakan dan mendatangkan kemashlahatan.
c.
• ,o,.' ,a )', 'I
o..Juw
A
"Ada/ kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum ". 37
Jumhur ulama mengidentikkan term 'adah dengan 'urufkeduanya mempunyai
arti yang sama. Namun sebagian fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya
mendefinisikan 'adah dengan:
"Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia,
karena logis dan dilakukan secara terus menerus ".
36
Ibid, h. 143.
37
Ibid, h. 140
35
Sedangkan 'uruf adalah:
·Unrf adalah suatu (perbuatan) yang jiwa merasa tenang melakukannya,
karena sejalan dengan aka/ sehat dan diterima oleh tabiat sejahtera ". 38
Menurut pengertian di atas, maka 'adah dapat diterima jika memenuhi syarat
sebagai berikut:
a.
Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan aka! sehat. Sya.rat ini
menunjukkan bahwa 'adah tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan
maksiat.
b.
Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata
sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.
c.
Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Quran maupun asSunnah.
d.
Tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan dengan jiwa dan aka!
sejahtera. 39
Dengan demikian pencatatan sighat wakaf sesuai dengan 'adah karena telah
memenuhj syarat. Pertarna, pencatatan adalah suatu perbuatan yang logis dan relevan
dengan aka! sehat. Kedua, pencatatan adalah perbuatan yang dilakukan berulang kali
38
Ibid, h. 141
39
Ibid, h. 142
36
terutama mengenai urusan mu'amalah atau perkara apapun yang kemudian hari bisa
mengakibatkan persengketaan. Ketiga, pencatatan tidak bertentangan dengan
ketentuan nash, bahkan al-Quran menganjurkannya seperti dalam surat al-Baqarah
ayat 282. Keempat,
pencatatan tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan
dengan jiwa dan akal yang sejahtera, bahkan pencatatan ini mendatangkan
kemaslahatan.
Kemudian ada satu ayat lagi yang bisa dijadikan landasan mengenai keharusan
pencatatan sighat wakaf yaitu:
~ ~\ ~31 :.,
J;uiy1 1#1
3
:ilil l'.J~bl \~\ 0.l~l~y
(o'l:i/;:.WI)
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati pula Rasul-Nya
dan Ulil amri dari kamu ... "(OS. 4(an-Nisa '):59)
Dalam ayat ini Allal1 SWT membahas mengenai perintah-Nya agar orang
beriman mentaati Allah, Rasul-Nya dan Ulil amri. Sebagian 11lama mengemukakan
bahwa hubungan ayat di atas dengan ayat sebelumnya bertumpu pada hubungan
antara pemerintah dengan rakyatnya. Menurut pendapat ini, ayat pertan1a ditujukan
kepada para pejabat agar menunaikan amanat dan memerintah denga adil, sedang
dalam ayat kedua ini terdapat perintah agar rakyat mentaati Allah, Rasul-Nya dan
pemerintah. Pendapat semacam ini dikemukakan antara lain oleh al-Zamakhsyari dan
al-Qurthubi. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-Maraghi. Ia tidak
memandang ayat-ayat tersebut bersifat khusus yang ditujukan pada pemerintah atau
37
rakyat semata, tetapi bersifat umum. Ini berarti ayat itu tidak saja ditujukan kepada
rakyat, tetapi juga kepada pejabat pemerintah. 40
Hal ini juga berarti bahwa firman Allah SWT yang dibahas tidak hanya
mengandung kewajiban taat kepada Rasul SAW dan Ulil amri, tetapi juga menjadi
dasar keberadaan kekuasaan politik yang dimiliki pemerintah dan keabsahannya.
Keabsahan ulil
amri
mengandung
makna
bahwa hukum-hukum
dan
kebijaksanaan politik yang mereka putuskan, sepanjang ha! itu tidak bertentangan
dengan al-Quran dan Sunnah, mempunyai kekuatan yang mengikat seluruh rakyat.
Karena itu seluruh rakyat yang menjadi subyek hukum wajib menaatinya.
Keberadaan hukum ini, di samping hukum Tuhan, sebagai hukum positif
memperlihatkan wajah dari tata-hukum yang menjadi bagian dari sistem politik dan
pemerintahan yang dikenal dalam al-Quran 41
Adapun mengenai permasalahan wakaf, pemerintah atau ulil amri sendiri telah
memberikan peraturan yang jelas dan di antara peraturan tersebut dicantumkan
adanya kewajiban untuk pencatatan sigbat wakaf. Oleh karena itu kita wajib
menaatinya karena peraturan mengenai pencatatan sighat wakaf tidaklah bertentangan
dengan al-Quran dan Sunnah. Hal ini berakibat pada tidak sahnya perwakafan jika
tidak disertai dengan catatan yang prosedurnya sesuai dengan peraturan ulil amri atau
pemerintah.
"'Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Da/am Al-Quran, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 3, h. 218
41
Ibid, h. 235.
38
D. Macam-Macam Wakaf
Sayid Sabiq membagi wakaf dilihat dari segi pengguna atau yang menfaatkan
banda wakaf, menjadi dua macam. Ada kalanya untuk anak c1ucu atau kaum kerabat
dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang miskin. Wakaf demikian itu
disebut wakaf ahli atau wakaf dzurri (keluarga) dan kadang-!kadang pula wakaf itu
diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf
khairi (kebajikan). 42 Dengan demikian bisa dikatakan bahwa wakaf ahli adalah wakaf
yang diperuntukkan bagi kepentingan lingkungan keluarga ai:au famili dan kerabat
sendiri. Jadi yang menikmati manfaat benda wakaf ini terbatas kepada yang termasuk
golongan kerabat sesuai dengan ikrar yang dikehendaki wakif.
l.
Wakaf Ahli
Wakaf secara hukum dibenarkan berdasarkan hadits Nabi tentang wakaf
keluarga yang dilakukan oleh Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. 43
Dalam wakaf ahli, wakif boleh menyerahkan wakaf (pemanfaatan wakaf)
kepada keluarga yang menjadi tanggungannya selama mereka masih hidup. Hal
ini dilakukan untuk mencegah mereka dari kekurangan dalan1 memenuhi
hidupnya. Perbuatan demikian adalah perbuatan yang suci, dan menurut
Rasulullah memberikan kepada yang membutuhkan lebih baik dari pada
42
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kuwait: Dar al-Bayan, 1971),jilid Ill, h. 378.
43
Suparman Usman, op.cit., h.35.
39
memberikan (harta wakat) itu kepada fakir miskin yang bukan keluarga. 44
Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya:
"Dan dari Salman bin Amir, dari Nabi saw. Bersabda: 'Sedekah kepada orang
msKin berarti satu sedekah. tetapi kepada kerabat mempzmyai nilai ganda
yakni sedekah dan silaturrahmi ". (HR. Ahmad, Jbnu Jv.(ajah, dan Tirmidzi). 45
Pada umumnya ulama menganggap sah kepada keluarga wakif, demikian
pula ulama Malikiyah. Adapun yang menjadi dasar hukum oleh para ulama
adalah praktek perwakafan yang dilakukan oleh para sahabat, antara lain 46 :
a.
Umar bin Khaththab ra. Telah memberikan wakafnya kepada orangorang fakir, dzu al-qurba, untuk memerdekakan budak, untuk
berjuang di jalan Allah, untuk tamu, dan untuk orang yang kehabisan
bekal di jalan. Yang dimaksud dengan dzu al-qurba adalah keluarga,
baik yang kaya maupun yang miskin, ahli waris maupun bukan,
karena kata dzu al-qurba bersifat umum dan mencakup keluarga
keseluruhan.
b.
Zubair bin Awwam telah mewakafkan rumahnya kepada anakanaknya.
44
Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Mohammadan law, (Delhi: Oxford Unifersity Press, 1974),
h.303-304.
199.
45
Al-Syaukani, op.cit., h. 31.
46
Muhammad Abu Zahrah, Muhadlarahfi al-Waqf, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1971), h. 198-
40
c.
Abu Thalhah telah mewakafkan hartanya untuk keluarga dan anakanak pamannya.
d.
Ustman bin Affan mewakafkan hartanya di Khaibar kepada )fan bin
Usman.
e.
Zaid bin Tsabit telah mewakafkan rumahnya kepada anak dan
keturunannya.
Pada perkembangan selanjutnya wakaf ahli dianggap kurang dapat
memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum karena sering menimbulkan
kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang
diserahi harta wakaf, lebih-lebih kalau keturunan keluarga tersebtu sudah
berlangsung sampai pada anak cucu. 47 Untuk lebih kongkritnya bisa kita lihat
dalam fakta sejarah bahwa di beberapa negara yang mayoritas penduduknya
bergama Islam seperti di negara-negara Timur Tengah, wakaf ahli ini setelah
berlangsung puluhan tahun lamanya banyak menimbulkan masalah, terutama
kalau wakaf keluarga itu berupa tnah pertanian. Maksud semula sama dengan
wakaf umum yaitu umtuk berbuat baik kepada orang lain dalam rangka
pelaksanaan amal kebajikan menurut ajaran Islam untuk mendekatkan diri
kepada
Allah.
Namun
kamudian
terjadilah
penyalahgunaan
misalnya
menjadikan wakaf keluarga itu sebagai alat untuk menghindari pembagian atau
pemecahan harta kekayaan kepada ahli waris yang berhak menerimanya setelah
47
Supannan Usman, op.cit., h. 35.
41
wakif meninggal dunia. Begitu juga wakaf keluarga ini dijadikan alat untuk
mengelakkan tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh
seseorang, sebelum ia mewakalkan hartanya itu. Oleh karena itu di beberapa
negara karena penyalahguanan tersebut wakaf keluarga ini kemudian dibatasi
bahkan dihapuskan. Pada tahun 1952 wakaf ahli ini dihapuskan di Mesir.
Demikian juga di beberapa negara lain seperti Turki, Maroko, Aljazair. Benda
wakaf untuk keluarga telah dihapuskan karena pertimbangan dari berbagai segi,
benda wakaf yang demikian tidak produktif dan praktek-praktek penyimpangan
yang terjadi tidak sesuai dengan ajaran agama lslam. 4 &
2.
Wakaf Khairi
Jenis wakaf yang kedua adalah wakaf khairi atau wakaf umum, yaitu
wakaf yang tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, tetapi kepada obyek
kebajikan yang bersifat umum. Kebajikan pada dasarnya berarti taat kepada
Allah, bila kebajikan itu dijadikan sebagai syarat dalam tujuan wakaf maka
berarti wakaf ini harus ditujukan seperti kepada fakir mi skin, yatim piatu, para
ulama, atau kepada sesuatu bukan manusia seperti masjid, sekolah, panti
asuhan, rumah sakit, jalan, jembatan, dan sebagainya. Semua wakaf yang
demikian adalah semata-mata untuk laqarrub/mendekatkan diri kepada Allah.
Bahkan ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa wakaf juga sah sekalipun
segi pendekatan diri kepada Allah tidak kelihatan seperti berwakaf kepada
'" Nazaroeddin Rahmat, Har/a Waka/, (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), h, 60.
42
orang kaya, kaum dzimmi, dan orang fasik. 49 Dalam wakaf yang ditujukan
kepada obyek yang bersifat umum ini menurut ulama Syafi'iyah tidak
diharuskan adanya penerimaan (qabul) secara khusus.
Jumhur ulama termasuk Imam Abu Yusuf mengatakan bahwa apabila
penerimaan wakaf tidak tertentu seperti masjid telah hancur, sekolah telah rusak
maka otomatis harta wakaf itu menjadi milik fakir miskin sekalipun di dalam
akad tidak disebutkan. Ulama madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali sepakat
membolehkan apabila penerima wakaf sudah tidak ada lagi maka harta wakaf
dikemba1ikan kepada keluarga terdekat wakif yang miskin dengan pembagian
yang sama antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini ulama madzhab
Syafi 'i dan Hanbali berpendapat bahwa sekalipllll harta diserahkan kepada
keluarga terdekat wakif yang miskin, namun tidak berarti bahwa fakir miskin
yang bukan kerabat wakif tidak berhak atas harta wakaf t1~rsebut. 50
Dalam kenyataannya, wakaf khairi inilah yang merupakan salah satu segi
dari cara pemanfaatan harta di jalan Allah. Tentllllya bila dilihat dari segi
kemanfaatannya wakaf khari ini
merupakan
salah satu upaya untuk
mensejahterakan masyarakat umum demi kepentingan kemanusiaan atau
49
Ibid.
50
Depag RI. op.cit., h. 1907.
43
kepentingan umum, tidak hanya keluarga tertentu saja. 51 Wakaf khairi inilah
wakaf yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
E. Nadzir dan Kedudukannya Dalam Wakaf
Nadzir wakaf adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk
memelihara dan mengurus harta sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf. 52 Pada
umumnya di dalam kitab-kitab fiqih tidak dicantumkan nadzir wakaf sebagai salah
satu rukun wakaf. Ini dapat dipahami karena wakaf adalah ibadah tabarru '. Namun
demikian memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari benda
wakaf maka kehadiran nadzir sangat diperlukan. Terutama agar harta wakaf itu
berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung teru:; menerus, maka harta
wakaf itu harus dijaga, dipelihara, dan jika mungkin dikembangakan. Dilihat dari
tugas nadzir di mana ia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan, dan
melestarikan manfaat dari harta wakaf, maka jelas bahwa berfungsi atau tidaknya
suatu perwakafan antara lain juga ditentukan oleh keberadaan nadzir.
Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nadzir sebagai salah satu rukun
wakaf namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nadzir wakaf
(pengawas wakaf) baik nadzir tersebut wakif sendiri mauquf 'alaih atau pihak lain.
Bahkan ada kemungkinan nadzimya terdiri dari dua pihak yakni wakif dan mauquf
'alaihnya. 53
51
Suparman Usman, op.cit., h. 36.
" Mohammad Daud Ali, op. cit., h. 91.
53
Wahbah al-Zuhaili, op.cit. h. 231.
44
Dalam praktek, sahabat Umar bin Khaththab ketika mewakafkan tanahnya,
beliau sendirilah yang bertindak sebagai nadzir semasa hidupnya. Sepeninggalnya
pengelolaan wakaf diserahkan kepada putrinya Hafshah. Setelah itu ditangani oleh
Abdullah bin Umar, kemudian keluarga Umar yang lain, dan seternsnya berdasarkan
wasiat Umar.
54
Pengangkatan nadzir ini tampaknya ditujukan agar harta wakaf tetap
terjaga dan te1U1Us segingga harta wakaf itu tidak sia-sia.
Pada umumnya ulama membahas masalah nadzir ini dari beberapa segi, yaitu:
1. Orang yang berhak menjadi nadzir, 2. Syarat-syarat nadzir, dan 3. Hak dan
kewajiban nadzir.
I.
Orang yang berhak menjadi nadzir
Menurnt golongan Hanafiyah penunjukan nadzir mernpakan hak wakif.
Wakif bisa mengangkat dirinya sendiri sebagai naclzir, jika wakif tidak
menunjuk dirinya untuk menjadi nadzir atau menunjuk orang lain, maka yang
berhak menjadi nadzir adalah orang yang diberi wasiat (jika ada) dan jika tidak
ada maka yang berhak menunjuk nadzir adalah hakim. 55
Abdul Wahab Khallaf juga menyebutkan bahwa menurut Abu Yusuf
(pengikut madzhab Hanafi) orang yang paling berhak menentukan nadzir adalah
wakif, dengan alasan bahwa wakif adalah orang yang paling dekat dengan
hartanya. Wakif tentunya berharap agar harta yang diwakafkan itu bermanfaat
54
Muhammad Rawas Qal'ah, Mausu 'ah Fiqh Umar lbn a/-Khauab, (Beirut: Dar al-Nafa1;,,
1989), h. 878.
55
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 231.
45
terus menerus. Dengan demikian sebenarnya dialah yang paling mengetahui
orang yang mampu mengurus dan memelihara harta yang diwakafkan. 56
Menurut Abu Yusuf apabila wakif meninggal dan tatkala ia hidup tidak
menjelaskan kepada siapa wakaf itu dikuasakan maka yang menentukan
masalah nadzir adalah hakim, karena menurutnya hakirn adalah pejabat yang
berwenang untuk membelanjakan harta wakaf apabila wakif tidak dapat lagi
mengurusi harta wakaf. Tetapi menurut Imam Muhammad Hasan Al-Syaibani
bahwa apabila wakif tidak menunjuk nadzir wakaf pada waktu ikrar wakaf,
maka yang berhak mengangkat nadzir adalah mauquf 'alaih. Menurutnya nadzir
bekerja bukan mewakili wakiftetapi mewakili mauquf 'alaih.
57
Golongan Malikiyah juga berpendapat bahwa orang yang berhak
mengangkat nadzir adalah wakif. Namun demikian Malik menolak wakif untuk
rnenguasai harta wakaf
yang ia wakafkan. Jika wakif menunjuk dan
mengangkat dirinya untuk menjadi nadzir, ha! ini seakan-akan ia mewakafkan
untuk dirinya. Sedangkan golongan Malikiyah berpendapat bahwa wakif tidak
boleh mengambil hasil benda yang diwakafkan. Menurut Jbnu Baththal, waktu
yang lama akan memungkinkan wakif lupa terhadap harta yang diwakafkan dan
apabila ia jatuh rniskin kemungkinan ia akan membelanjakan untuk dirinya
sendiri. Di samping itu jika ia meninggal, ada kemungkinan ahli warisnya
56
Abdul Wahab Khallaf, op.cit., h. 216
57
Ibid.
46
membelanjakan harta wakaf itu untuk keperluan mereka sendiri jika wakif telah
meninggaL Untuk menghindari hal-hal di atas, golongan lvlalikiyah berpendapat
bahwa wakif harus
mengangkat nadzir untuk mengurus harta yang
diwakafkan. 58 Pendapat ini tampaknya didasarkan pada kehati-hatiannya dalam
menetapkan nadzir agar wakaf yang ada tidak menyimpang dari tujuan semula.
Larangan wakif untuk mengangkat atau menunjuk dirinya sebagai nadzir
tidaklah mutlak. Golongan lvlalikiyah membolehkan wakif mengangkat dirinya
sebagai nadzir jika wakif mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang
memungkinkan tidak dapat berfungsinya wakaf sebagaimana semestinya seperti
dikemukakan Ibnu Baththal di atas.
Menurut Abu Zahrah, golongan Malikiyah juga memperbolehkan mauquf
'alaihnya mu 'ayyan (tertentu). Kebolehan ini terjadi apabila wakif tidak
menjelaskan kepada siapa penguasaan wakaf itu diberikan. 59
Golongan Syafi'iyah berpendapat bahwa nadzir tidak ditentukan oleh
wakif, keeuali wakif mensyaratkan di saat terjadinya wakaf. Menurut
Syafi'iyah, wakif dapat menunjuk atau mengangkat dirinya atau orang lain
sebagai nadzir. Akan tetapi di saat terjadinya wakaf, wakif tidak menunjuk
dirinya maupun orang lain sebagai nadzir, para ulama di kalangan Syafi'iyah
berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang berhak menjadi
58
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 319.
59
Ibid, h. 321.
47
nadzir adalah wakif sendiri dan pengnsaan terhadap harta tetap di tangan wakif.
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang menjadi nadzir adalah mauquf 'alaih
dan penguasaan harta wakaf ada pada mauquf 'alaih karnna dialah yang berhak
atas hasil wakaf, sehingga dia pula yang mempunyai kewajiban untuk
memelihara harta wakaf tersebut. Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang
berhak mengangkat nadzir adalah hakim karena sesungguhnya tergantung
padanyalah hak mauquf 'alaih. 60 Pendapat ketiga inilah tampaknya yang paling
mudah diterima dan lebih dekat pada kebaikan, karena jika ada masalah yang
berkaitan dengan perwakafan hakim akan mudah mengatasinya.
Menrut golongan Hanabilah yang berhak mengangkat nadzir adalah wakif.
Wakif boleh menunjuk dirinya atau orang lain sebagai nadzir ketika ia
mengucapkan ikrar wakaf. Tetapi apabila wakiftidak menunjuk nadzir ketika ia
mewakafkan hartanya sedangkan wakaf itu ditujukan untuk kepentingan umum
misalnya masjid, jembatan, orang-orang miskin, dan sebagainya maka yang
berhak mengangkat nadzir adalah hakim yang beragama Islam. Jika wakaf
ditujukan untuk orang tertentu baik seorang atau lebih :sedangkan wakif tidak
menyebut nadzimya, maka hak nadzir ada pada mauquf 'alaih, karenanya
pengawasan mauquf 'alaih pada harta itu seperti miliknya secara mutlak. Ada
yang berpendapat bahwa hak nadzir ada pada hakim, tetapi pendapat yang
terbanyak mengatakan hak nadzir dalam ha! ini ada pada mauquf 'alaih. Jika
60
Muhammad Abu Zahrah, lac.cit.
48
mauquf 'a/aihnya tidak berilmu (tidak cakap bertindak hukum), masih kecil
atau gila maka yang berhak menjadi nadzir adalah walinya. 61
Dari pembahasan di atas dapat disimpulakan bahwa pada umumnya para
ulama berpendapat bahwa yang paling berhak menentukan nadzir adalah wakif.
Adapun jika wakif tidak menunjuk nadzir di saat ia melakukan ikrar wakaf pada
umumnya ulama berpendapat bahwa yang berhak mengangkat nadzir adalah
hakim, kecuali sebagian golongan Hanabilah yang berpendapat jika mauquf
'alaihnya mu 'ayyan hak pengangakatan nadzir ada pada mauqz!f 'alaih. Jika
mauquf 'a/aihnya tidak mampu melaksanakan tugasnya, tugas tidak kembali
kepada hakim tetapi kepada wali mauqzif 'alaih.
Wewenang hakim untuk mengangkat nadzir ini kemudian diikuti oleh
beberapa negara yang mengatur praktek perwakafan, te1masuk Indonesia. Hal
ini memang tepat jika dihubungkan dengan makna wakaf itu sendiri.
Pengangkatan nadzir yang dilakukan oleh hakim pada umumnya berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang. Di samping itu jika hakim
mengangkat nadzir maka pengawasan hakim terhadap nadzirpun lebih mudah.
2.
Syarat-syarat nadzir
Pada dasarnya siapapun dapat menjadi nadzir asalkan ia berhak
melakukan tindakan hukum. 62 Akan tetapi karena tugas nadzir adalah
61
Ibid, h. 232.
62
Muhammad Daud Ali, op.cit., h. 92.
49
menyangkut harta benda yang manfaatnya harus disan1paikan kepada pihak
yang berhak menerimanya, maka jabatan nadzir harus diberikan kepada orang
yang mampu menjalankan tugasnya. Seorang nadzir harus memenuhi kriteria
tertentu sebagai syarat. Adapun sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut:
a.
Seorang nadzir harus mempunyai sifat adil. Jumhur ulama
berpendapat bahwa yang dimaksud adil adalah mengerjakan apa
yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh syari'at.
Tidak disyaratkan nadzir harus laki-laki, karena Umar r.a.,
mewasiatkan
agar
Hafsah
menjadi
nadzir dari
harta yang
diwakafkannya. 63 Golongan Hanafiyah menjadikan adil merupakan
syarat yang utama bagi seorang nadzir, namun tidak berarti bahwa
nadzir yang tidak memiliki sifat adil itu tidak sah pengangkatannya
atau penunjukannya. Sedangkan madzhab Syafi'i menganggap
bahwa adil adalah syarat
mutlak bagi seorang nadzir, karena
menurutnya nadzir adalah wali dari harta orang Jain. Oleh karena itu
orang yang diserahi tugas mengurus atau mengelola harta orang lain
tersenut harus bersifat adil. Ahmad bin Hanbal tidak mensyaratkan
adil bagi nadzir wakaf, orang fasik bisa menjadi nadzir asal ia
bertanggung jawab dalam memegang amanah. 64 Bila nadzir wakaf
63
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 232.
64
Departemen Agama RI, Ensik/opedi Hukum Islam, 1997, h. 1910.
50
kebetulan dipegang oleh mauquf 'alaih golongan Hanabilah
mensyaratkan tsiqqah karena hasil wakaf adalah hak mereka.
b.
Nadzir harus
memilki
pengetahuan dan
ketrampilan
dalam
mengelola harta wakaftermasuk kecakapannya bertindak hukum. 65
c.
Khusus bagi madzhab Hanbali apabila harta wakaf itu berasal dari
orang muslim disyaratkan nadzimyajuga orang muslim. 66
3.
Hak dan kewajiban nadzir
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa nadzir adalah pihak yang bertugas
untuk mengurusi dan memelihara wakaf, akan tetapi nadzir tidak mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanatkan kepaclanya.
Seorang nadzir bertugas dan bertanggung jawab memelihara harta wakaf,
mengelola,
menyalurkan
mengawasi,
hasil
memperbaiki
wakaf
kepada
mengembangkan
pihak
yang
mempertahankan harta wakaf dari gugatan orang lain. 67
Asaf A.A
Fyzee
berpenclapat
harta
menenmanya,
wakaf,
dan
v
bahwa kewajiban
naclzir
aclalah
mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta.
Sebagai pengawas harta wakaf, naclzir dapat memperkerjakan beberapa wakil
atau pembantu untuk menyelenggarakan urrusan-urnsan yang berkenaan
dengan tugas dan kewajibannya. Naclzir sebagai orang yang berkewajiban
65
Wahbah al-Zuhaili, foe. cit.
66
Departemen Agama RI, foe.cit.
67
Al-Bahuti, op.cit., h. 268.
51
mengawasi dan memelihara harta wakaf tidak menjuall, menggadaikan, atau
menyewakan harta wakaf kecuali diijinkan oleh hakim atau penguasa atau
pengadilan kaema hakim memiliki wewenang untuk mengontrol kegiatan
nadzir. 68
Muhammad Ubaid Al-Kubaisy mengungkapkan bahwa nadzir bertugas
untuk men-tasharnif-kan (membelanjakan) wakaf. Dan men-tasharrufkan
harta wakaf tersebut menurutnya ada yang sifatnya yang wajib dan ada sifatnya
yang jaiz. Yang dinggap wajib diketjakan oleh nadzir adalah mengembangkan
wakaf, melaksanakan hak-hak wakaf dan menjaganya, rnenyalurkan keuangan
wakaf, dan menyampaikan hak-hak mustahiq wakaf. Sedangkan yang sifatnya
jaiz (boleh) dilakukan oleh nadzir antara lain menyewakan wakaf, mengelola
tanah wakaf dengan menanami tanah tersebut dengan berbagai tanaman,
mendirikan bangunan di atas tanah wakaf untuk disewakan, dan merubah
peruntukan wakafjika tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf. 09
,
Dalam hal menyewakan harta wakaf madzhab Hanafi membolehkan
menyewakan harta wakaf kepada orang lain untuk jangka waktu tertentu, seperti
menyewakan rumah wakaf selama satu tahun atau menyewakan tanah selama
tiga tahun, kecuali ada cara lain yang lebih banyak kemaslahatannya dari
penyewaan dengan jangka waktu yang lama itu. Akan tetipi ada di antara ulama
68
Asaf A.A. Fyzee, op.cit. h. 312.
69
Muhammad Ubaid al-Kubaisy, op.cit. h. 187-203.
52
madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyewakan harta wakaf, harta anak
yatim, atau harta baitul ma! dalam waktu yang lama tidak boleh karena ha!
tersebut membawa kepada berubahnya fungsi harta wakaf, kecuali dalam
keadaan yang sangat terpaksa. 70
Menurut ulama madzhab Maliki, nadzir boleh menyewakan harta wakaf
dalam jangka waktu satu sampai dua tahun, apabila hart.a wakaf itu berbentuk
tanah. Tetapi apabila harta wakaf itu sudah tidak berfungsi seperti lahan
pertanian yang sudah berubah menjadi hutan dan memerlukan biaya perbaikan,
maka dibolehkan menyewakan kepada orang lain selama empat puluh sampai
lima puluh tahun. Akan tetapi harga sewa tidak boleh kurang dari harga sewa
yang berlaku umum. Hasil sewaan hart.a wakaf itu menurut mereka tidak
dibagikan kepada yang berhak menerimyanya kecuali harta harta yang
disewakan itu telah kembali ke tangan nadzir. Apabila nadzir membangun
rumah atau menanam pohon di atas tanah wakaf, rumah dan tanaman itu
termasuk hart.a wakaf. Tetapi apabila ada keterangan yang meyakinkan hakim
bahwa rumah dan tanaman itu milik nadzir maka rumah dan tanaman itu
diberikan kepada ahli waris nadzir.
Menurut ulama madzhab Syafi'i, apabila harta wakaf itu disewakan
dengan harga yang lebih rendah dari harga sewaan yang berlaku di daerah
setempat, maka sewa menyewa itu dingaap tidak sah.
70
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 233.
53
Berbeda dengan ulama madzhab Syafi'i, ulama madzhab Hanbali tetap
memandang sah sewa-menyewa harta wakaf yang lebih rendah dari patokan
hukum, asal saja kekurangan sewaan itu menjadi tanggung jawab nadzir, tetapi
apabila nadzir mereasa ditipu tentang harga sewa, ia berhak menuntut
kekurangannya.
Nadzir mempunyai kewajiban yang cukup berat tanggung jawabnya, juga "
mempunyai hak untuk mendapatkan upah/imbalan dari jerih payahnya asal
sewajamya dan tidak bermaksud untuk memperkaya diri, berdasarkan hadits
Ibnu Umar yang telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu. Besamya upah
yang diterima nadzir sesuai ketentuan yang telah ditetapkan wakif atau nadzir.
Menurut golongan Hanafiyah bahwa nadzir berhak mendapatkan gaji
selama ia melaksanakan segala sesuatu yang diminta saat wakaf terjadi.
Besamya gaji bisa sepersepuluh atau seperdelapan, clan sebagainya sesuai
dengan ketentuan wakif. Namun bila wakiftidak menetapkan upah nadzir, maka
hakimlah yang menetapkannya. Besamya upah itu pada umumnya disesuaikan
dengan tugas yang diberikannya.
Madzhab Maliki sependapat dengan golongan Hanafiyah, hanya saja
sebagian golongan Malikiyah berpendapat bahwa jika wakif tidak menentukan
upah nadzir, maka hakim dapat mengambil upah itu dari baitul mal. 71
71
Ibid., h. 347.
54
Adapun golongan Syafi'iyah berpendapat bahwa yang menetapkan gaji
nadzir itu wakif, mengenai jumlahnya sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan wakif. Jika wakif tidak menetapkan upah bagi nadzir menurut
madzhab Syafi'i nadzir tidak berhak mendapatkan gaji. Jika mengharapkan gaji,
nadzir harus mengajukan permohonan kepada hakim. Selama tidak mengajukan
permohonan nadzir tidak berhak mendapatkan gaji tersebut. Jika ia memohon
kedapa hakim, sebagian Syafi'iyah nadzir berhak mendapatkan gaji yang
seimbang, sebagian yang lain menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak berhak
memohon gaji kecuali apabila keadaannya sangat membutuhkan. Dalam hal ini
mereka mengqiyaskan tanggung jawab mutawalli/ nadzir terhadap urusan wakaf
itu seorang wali terhadap anak kecil, ia tidak berhak mengambil hartanya
melainkan hanya secukupnya dengan ma'ruf ketika ia memerlukannya. ' 2
Pendapat sebagian golongan Syafi'yah itu berdasarkan firman Allah mengenai
masalah perwalian yang terdapat dalam surat Al-Nisa' ayat 6:
... Jan barang siapa (di antara pemeliharaan ilu) mampu, maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa fakir
maka ia boleh memakan harta itu menurut yang ma 'ruf.." (Q.4 (S. Al-Nisa):6).
Menurut Imam Ahmad nadzir berhak mendapatkan upah yang telah
ditentukan oleh wakif. Jika wakif tidak menentukan upah nadzir, di kalangan
72
Ibid. h. 348-349.
55
Hanabilah ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa
nadzir tidak halal mendapatkan upah kecuali hanya untuk makan sepatutnya.
Pendapat kedua meyatakan bahwa nadzir wajib mendapatkan upah sesuai
dengan peke1j aannya. 73
Dari pembahasan dia atas jelas bahwa sebagian besar ulama membolehkan
nadzir menerima upah baik dian1bil dari harta wakaf itu sendiri maupun dari
sumber lain. Jumlah gaji berdasarkan pada situasi dan kondisi di suatu tempat
pada suatu masa dan juga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh wakif
maupun hakim yang bertugas di wilayah di mana wakaf itu berada.
Dilihat dari tugas dan tanggung jawab di atas nadzir adalah orang yang
berkedudukan
sebagai
pemegang
amanat
terhadap
pemeliharaan
dan
pengurusan harta wakaf sesuai dengan wujud dan tttjuannya dan ia tidak
dibebani resiko yang terjadi atas benda wakaf. Akan tetapi karena sesuatu atau
lain ha! mungkin sekali seseorang dicabut kedudukannya dari jabatannya
sebagai nadzir. Namun untuk mencabut hak atau memecat seorang nadzir tentu
saja harus ada alasan dan sebab-sebab nyata yang membolehkan tindakan
pemecatan tersebut.
Menurut ulama Hanafiyah seorang nadzir harus dipecat bila temyata ia
telah berkhianat atau tidak dapat dipercaya, atau lemah dan tidak dapat
melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya dan apabila ia nyata-nyata
73
Ibid., h. 349.
57
seperti ariyah atau pinjam meminjam. Perbedaanya, dalam kedudukan seperti ariyah
benda ada pada tangan peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil
manfaat benda itu, sedangkan benda dalam wakaf ada di tangan pemilik yang tidak
menggunakan atau mengambil manfaat benda itu. Dengan demikian benda yang
diwakafkan tetap menjadi pemilik wakif sepenuhnya, hanya manfaatnya saja yang
disedekahkan, sehingga pada suatu saat harta wakaf dapat kembali kepada wakif,
begitu pula ia boleh menarik kembali wakafuya kapan saja ia kehendaki. Oleh karena
itu wakaf tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti tidak mengikat, kecuali
dalam tiga ha!, yaitu:
1.
Hakim memutuskan bahwa wakaf tersebut tetap. Hal ini terjadi jika ada
persengketaan antara wakif dan nadzir. Keputusan hakim tersebut
mempunyai ketentuan hukum yang berlaku dan mesti ditaati.
2.
Hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian wakif.
Misalnya wakif mengatakan: "jika aku mati, maka aku wakafkan
rumahku", maka wakaf itu hams dilaksanakan sebagaimana wasiat (yang
dilaksanakan setelah wakif meninggal dunia), dan
3.
Apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid dan ia
mengijinkan di dalam wakaf itu untuk shalat. Apabila sudah ada seseorang
saja yang shalat di masjid itu, menurut Abu Hanifah, hilanglah
58
kepemilikan harta benda tersebut dari wakif. Penetapan ketentuan tersebut
tidak bertentangan dengan ketentuan Allah. 76
Dalam ha! ini Abu Hanifah mendasarkan argumennya dengan hadits Nabi yang
berbunyi:
uc
rL_, .y1:. Ali I ~ Ali I J_,....,_) ~
w 3 ~ uc ~ U:i! ~ o~ r1,
~';J
ulsy•·a
:,Jl.9 lY'l.,ic 0,il uc
d.::-3 jc Ali\ u-OJI_)
77(~)~\ 0\3_))
uari Jbnu Abbas bahwa Rasu/ullah saw. bersabda: 'Tidak ada penahanan
dari ketentuan-ketentuan Allah', berkata Ali ra.: 'Hadits ini tidak disandarkan
kepada siapapun kecuali kepada Jbnu Luhai 'ah dari saudaranya, dan keduanya
lemah ". (HR. Daru Quthni).
Berdasarkan hadits di atas Abu Hanifah berpendapat bahwa seandainya wakaf itu adalah mengeluarkan harta yang diwakafl<an dari pemilikan wakif, niscaya ha! itu
merupakan penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah, karena pada harta itu
terkandung hak ahli waris yang termasuk ketentuan-ketentuan Allah. Akan tetapi
Wahbah a-Zuhaili menyatakan bahwa maksud sabda Rasulullah tersebut adalah
membatalkan sistem waris yang ada pada zaman Jahiliyah yang membatasi wakaf
hanya pada kaum pria dewasa saja, di sisi lain mengenyampingkan wanita dan anakanak, selain hadits itu sendiri adalah dha 'if (lemah). 78
76
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 153.
77
Ali bin Umar ad-Daruqutny, op.cit., h. 33
78
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 154.
59
Selain hadits di atas, Abu Hanifah juga mengemukakan hadits lain yang
mendukung pendapatnya, yaitu hadits dari Abu Aun dari Syuraih berkata:
"Rasu/ullah telah datang dengan menjual 'habs" (HR. Baihaqi).
Atas dasar inilah Abu Hanifah menyimpulkan bahwa menjual harta yang telah
diwakafkan itu hukumnya mubah. Abu Hanifah menyatakan apabila Rasulullah
datang dengan hat demikian (menjual habs atau wakaf) maka tidaklah perlu
menciptakan habs atau wakaf yang lain, sebab wakaf itu artinya menahan 'ain,
sedangkan wakaf tidak disyari'atkan. Akan tetapi menurut Wahbah al-Zuhaili hadits
di atas tidak mungkin menunjuk kepada apa yang dimaksudkan Abu Hanifah karena
al-habs yang dilarang adalah sesuatu yang ditahan untuk patung dan berhala,
sedangkan Rasulullah datang untuk menghapuskan pemujaan terhadap berhala.
Adapun wakaf menurutnya adalah suatu anjuran yang ada dalam sistem ajaran agama
Islam. 80 Begitu juga ulama lain tidak menjadikan hadits ini sebagai dasar hukum
perwakafan,
Jika diperhatikan dalil yang dipergunakan oleh Abu Hanifah untuk mendukung
pendapatnya bahwa wakaf boleh dijual atau ditarik kembali tampak kurang kuat. Hal
ini disebabkan hadits yang pertama yang berkenaan dengan masalah warisan,
· Abu Bakar Ahmad Al-Baihaqi, Sunan a/-Kubra, (India: Dairah al-Ma'arif al-Usmaniyah,
1352 1-1), h. I 63.
'
0
Wahbah al-Zuhaili, op.cit.,h. 154.
60
sedangkan hadits kedua berkenaan dengan penghapusan pemujaan terhadap berhala.
Namun demikian ada kemungkinan Abu Hanifah berpendapat bahwa wakaf dapat
ditarik kembali dengan maksud agar ahli waris tidak terlantar, karena seseorang tidak
diperbolehkan untuk memberikan wakaf yang merugikan ahli waris. Oleh karena itu
Abu Hanifah menguatkan pendapatnya dengan hadits yang berkenaan dengan
masalah warisan.
Menurut golongan Malikiyah, wakaf berarti pemilik harta memberikan manfaat
harta yang dimiliki bagi mustahiq. Harta tersebut dapat berupa benda yang disewa,
kemudian hasilnya diwakafkan. Oleh karena itu wakaf tida'k mesti dilembagakan
secara abadi dalam arti muabbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu
tertentu yang disebut muaqqad. Maka golongan Malikiyah memperbolehkan manfaat
wakaf dari sesuatu yang disewa dan karenanya mereka berpendapat bahwa syarat
wakaf tidak harus abadi. Namun demikian wakaf tidak boleh ditarik di tengah
perjalanan, dengan kata lain wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum ha bis
tenggang waktu yang telah ditetapkan. Kiranya disinilah ktak adanya kepastian
hukum (lazim) dalam perwakafan menurut Imam Malik, yaitu kepasitan hukum yang
mengikat berdasarkan suatu ikrar. 81 Mereka memberi dalil mengenai tetapnya
pemilikan ha.rang yang diwakafkan berdasarkan hadits dari Ibnu Umar yang
diriwayatkan Imam Muslim dan Shahih Muslim, di mana dalam hadits tersebut
81
Djuhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia:
Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1995), h. 18.
Sejarah,
Pemikiran,
Hukum,
dan
61
Rasulullah bersabda: " .....jika engkau mau tahanlah aslinya dan sedekahkan
(manfaatkan) .... ".
Hal ini menunjukkan bahwa yang disedekahkan itu hanya hasilnya, dengan
demikian harta yang diwakafkan tetap menjadi milik wakif. Hanya saja ia dilarang
untuk men-tasharruf-kan dalam bentuk usaha pemilikan pac.la pihak lain, ia tidak
menjual, menghibahkan, atau mewariskan harta wakaf. Pemahanan ini bersumber
dari hadits lbnu Umar juga, " ..... agar tidak dijual, dihibahkan, dan tidak
diwariskan ... ". 82
Hal ini berbeda dengan golongan Hanafiyah bahwa wakif boleh menarik harta
yang diwakafkan dan boleh menjualnya kecuali hakim menetapkan wakaf itu tidak
boleh ditarik kembali. Adapun alasan madzhab Maliki mengenai keabsahan wakaf
untuk sementara waktu adalah berdasarkan atas kenyataan tidak adanya dalil yang
mengharuskan wakaf itu bersifat kekal atau abadi (muabbad). 8'
Dari uraian di alas dapatlah diambil kesimpulan bahwa sebenarnya pendapat
golongan Malikiyah ini ada kelebihannya, yakni orang ingin berwakaf tidak harus
menunggu orang bersangkutan memiliki benda yang akan diwakafkan, akan tetapi
cukup menyewa benda yang akan ia wakafkan hasilnya. Hal ini jelas banyak
manfaatnya terutama untuk memelihara harta wakaf yang ada. Akan tetapi di sisi lain
pendapat ini akan menyebabkan lemahnya lembaga wakaf di samping tidak sesuai
82
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 156.
83
Djuhaya S. Praja, lac. cit.
62
pendapat sebagian besar ularna babwa benda yang diwakafkan harus tetap dzatnya
dan dapat dimanfaatkan terus menerus.
Madzhab Syafi'i dengan tegas berpendapat bahwa pemilikan atas harta wakaf
telab berpindah kepada Allab, bukan lagi milik wakif, bukan pula milik mauquf
'alaih. Manfaat atau hasil harta wakaf adalab sepenuhnya untuk mauquf 'alaih. 84
Status pemilikan harta wakaf seperti pendapat Imam Syafi'i , bertolak dari
pendapat Syafi'i babwa status hukum wakaf dan al-itq (pembebasan atau
memerdekakan budak) adalab sama. Ia menyamakan keduanya berdasarkan qiyas.
Keduanya dianggap mempunyai kesarnaan ii/at yaitu kemerdekaan dalam al-itq sarna
dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. · Dalam ha! ini · terdapat
perbedaan pendapat antara al-Syafi 'i dengan pengikut madzhab Hanafi. Pendapat
yang disanggah pengikut madzhab Hanafi
ialah pengqiyasan kata atau bentuk
analogi "kemerdekaan budak" dengan "mengeluarkan milik benda wakaf'
dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu milik Allah, karena ia memang milik
Allab. Milik Allab tidak kembali kepada pemilik-Nya. Sedangkan benda wakaf
merupakan milik wakif dan akan kembali kepada pemilik asa.lnya yaitu wakif. Abu
Hanifah mendasarkan argumennya atas ra yu yang didasarkan atas konsep wakafuya
yaitu habs al- 'ain 'ala milk al-waqif. Hal ini berkaitan dengan pengertian milik dalarn
teori Abu Hanifab. Menurutnya, milik, adalab milik sepenuhnya. Oleh karenanya
benda wakaf akan kembali kepada hukum asalnya yaitu milik wakif, karena ia
84
Al-Syarbini, op.cit., h. 389.
63
memang milik wakifakan kembali kepada wakif. 85 Sementara Syafi'i berpegang pada
persamaan antara kedua status hukum institusi dari segi adanya bentuk penyerahan
benda atau harta kepada Allah, sehingga harta itu menjadi milik Allah. Status hukum
harta kembali kepada asalnya yakni milik Allal1. Di samping itu dalam hukum Islam
pada prinsipnya tidak mengakui hak milik seseorang (individu) atas suatu benda
secara mutlak. Karena hak mutlak tersebut semata-mata milik Allah.
86
Oleh karena
itu dalam kedua kasus tersebut (wakaf dan a/-itq) terdapat persamaan yaitu pelepasan
milik si wakif menjadi milik Allah dan pelepasan atau memerdekakan sehingga milik
Allah.
Sejalan dengan madzhab Syafi'iyah di atas, madzhab Hanbali berpendirian
bahwa apabila suatu wakaf itu sudah sah maka hilanglah atau lepas sudah hak
pemilikan dari wakif. Lebih lanjut menurut madzhab Hanball, bila wakaf itu untuk
masjid dan sejenisnya yang bermanfaat untuk kepentingan umum seperti sekolah, jal,
jembatan, dan sebagainya maka pemilikan atas harta wakaf itu berada di sisi Allah,
sedangkan bila wakaf itu diperuntukkan untuk orang tertentu maka pemilikannya di
tangan mauquf 'a/aih.
Memang
kalau
dipertimbangkan
lebih
jauh,
pendapat
yang
tetap
mempertahankan hak pemilikan bagi wakif terasa kurang tepat dan kurang relevan
dengan tujuan wakaf itu sendiri. Pendapat semacam ini akan menghadapi kesulitan di
85
Djuhaya S. Praja, op.cit. h. 16
86
Suparman Usman, op. cit. h. 20.
64
kemudian hari, terutama bila orang yang berwakaf itu sudah meninggal dunia, sebab
bila wakif sudah meninggal maka akan timbul masalah, yaitu siapakah pemilik harta
wakaf itu, apakah harta itu akan berpindah kepada ahli waris untuk dibagi kepada
mereka, sangat mungkin pula karena soal kewarisan, ha! tersebut akan menimbulakn
sengketa di antara ahli warisnya. Keadaan seperti ini tentu tidak wajar terjadi pada
benda wakaf. Bila demikian halnya fungsi wakaf sebagai amal jariyah yang mestinya
bersifat langgeng dan abadi tidak menjadi kenyataan. Tegasnya harta yang sudah
diwakafkan memang seharusnya menjadi milik Allah yang manfaat selama-lamanya
untuk orang yang menghajatkan atau untuk keperluan agama.
Meskipun demikian para ulama sepakat bahwa wakaf masjid termasuk dalam
bab pembebasan dan pelepasan, karena masjid adalah milik Allah SWT. 87
Dengan terdapatnya perbedaan pendapat dan argumen tentang wakaf antara satu
ulama dengan ulama yang lain, tidaklah mengherankan apabila penentuan sah
tidaknya wakaf juga terdapat perbedaan pendapat di antara mereka, namun perbedaan
yang ada adalah dalam hal-hal yang bukan prinsip. Dalam hal-hal yang pokok ada
ukuran-ukuran yang disepakati oleh sebagian besar ulama.
87
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 156.
BAB III
PERW AKAFAN DALAM HUKUM POSITIF
A. Pengertian Wakaf
Pengertian wakafmenurut apa yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) UU No.
41Tahun2004 Tentang Wakafadalah:
"Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari'ah".
Dari pengertian wakaf di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa cakupan wakaf
meliputi:
I.
Harta benda milik wakif.
2.
Harta benda tersebut memiliki daya tahan yang lama dan/atau manfaat
jangka panjang.
3.
Haita benda tersebut dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu.
4.
Manfaat dari haita benda tersebut untuk keperluan ibadah atau untuk
kepentingan ibadah sesuai dengan syari'ah.
Menurut pengertian UU Wakaf ini bahwa objek pajak wakaftidak hanya berupa
tanah milik sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
66
Tentang Perwakafan Tanah Milik. Objek wakaf menurut undang-undang ini lebih
luas cakupannya.
Sedangkan pengertian wakif dalam undang-undang ini di dalam pasal I ayat (I)
adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Pihak di dalam pengertian
tersebut meliputi perseorangan atau sekelompok orang atau badan hukum.
Bila dilihat dari macam wakaf yaitu wakaf ahli dan wakaf khairi yang telah
dijelaskan pada bab terdahulu, maka wakaf dalam UU Wakaf ini merupakan wakaf
khairi atau wakaf umum yaitu ditujukan untuk kepentingan umum seperti masjid,
madlarasah, rumahsakit, dan lain sebagainya. Hal ini terlihat dalam pengertian di atas
dalam kalimat "guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari'ah".
Wakaf umum ini
sejalan dengan perintah agama yang secara tegas
menganjurkan untuk menafkahkan sebagian kekayaan orang Islam untuk kepentingan
umum yang lebih besar manfaatnya dan mempunyai nilai pahala yang tinggi. Artinya
meskipun wakif sudah meninggal dunia ia akan tetap menerima pahala wakaf,
sepanjang benda yang diwakafkan tersebut masih bisa dipergunakan.
B. Dasar Hukum Wakaf
Di Indonesia, selain bersumber kepada agama, juga bersumber pada hukum
positif, yang merupakan haswil pemikiran pakar hukwn di lndinesia. Bila
diinventarisir sampai sekarang bernagai perangkat peraturan yang mengatur masalah
perwakafan.
67
Adijani al-Alabij mengelompokkan pada 14 peraturan seperti yang dimuat
dalam
buku
Himpunan
Perundang-undangan
Perwakafan
Tanah
diterbitkan
Departemen Agama RI, sebagai berikut':
1.
UU No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 49 ayat (1) rnemberi isyarat bahwa
"Perwakafan Tanah Milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
2.
Peraturan Pemerintah No. l 0 Tahun 1961 tanggal 23 Maret 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah. Karena peraturan ini berlaku umum, maka terkena
juga di dalamnya mengenai pendaftaran tanah wakaf.
3.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tanggal 19 Juni 1963 Tentang
Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik Atas
Tanah. Dikeluarkannya PP No. 38 tahun 1963 ini adalah sebagai satu
realisasi dari apa yang dimaksud oleh pasal 21 ayat (2) UUPA yang
berbunyi: "Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya".
Pasal 1 PP No. 38 tahun 1963 selain menyebutkan bank-bank Negara (huruf a)
dan perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian (huruf b) sebagai badan-badan
yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, selanjutnya disebutkan pula:
1
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
h.29.
68
c.
Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria,
setelah mendengar Menteri Agama;
d.
Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah
mendengan Menteri Kesejahteraan Sosial.
4.
Peraturan Pemerintal1 No. 28 Talmn 1977 tanggal 17 Mei I 977 Tentang
Perwakafan Tanah Milik.
Seperti dinyatakan dalam konsiderannya pada bagian Menimbang,
huruf c, maka Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan untuk memenuhi apa yang
telah ditentukan oleh pasal 14 ayat (I) huruf b dan pasal 49 ayat (3) UU No. 5
Tahun 1960.
5.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun I 977 tanggal 26 November
1977 Tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.
Untuk keperluan pembuktian yang kuat, maka tanah-tanah yang
diwakafkan perlu dicatat dan didaftarkan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961.
6.
Peraturan Menteri Agama No.
I Tahun I 978 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Pemenrintah No. 28 Tahun 1977 tanggal 10 Januari
1978 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
7.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 tanggal 3 Agustus
1978 Tentang Penambahan Ketentuan mengenai Biaya Pendaftaran Tanah
untuk Badan-Badan Hukum tertentu pada Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 2 Tahun I 978.
69
Pasal 4a ayat (2) Permendagri No. 12 Tahun 1978 ini menentukan: "Untuk
badan-badan hukum sosial dan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam
Negeri atas pertimbangan Menteri yang bersangkutan, berlaku ketentuan biaya
pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebagai yang ditetapkan dalam Bab II,
sepanjang tanah yang bersangkutan dipergunakan untuk keperluan yang
langsung berhubungan dengan kegiatan sosial atau keagamaan".
Yang dimaksud dengan tanah untuk keperluanm kegiatan sosial atau
keagamaan tersebut di atas, tentu termasuklah tanah wakaf. Dan seperti
ditegaskan oleh ayat (I) pasal 4a ini, maka bagi badan hukum selain badan
hukum sosial dan keagamaan dikenakan biaya pendaftaran hak dan pembuatan
sertifikat sebesar 10 kali tarif yang ditetapkan dalam Bab II.
8.
Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1
Tahun 1978 tanggal 23 Januari I 978 Tentang Pelaksanan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun I 977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
Instruksi ini ditujukan kepada para Gubernur Kepalla Daerah Tingkat I dan
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama di seluruh Indonesia.
9.
Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/78
tanggal I 8 April 1978 Tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan
Peraturan-Peraturan Tentang Perwakafan Tanah Milik.
l 0.
Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun I 978 tanggal 9 Agustus 1978
Tentang Pendelegasian Wewenang Kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama
Provinsi/Setingkat
di
Seluruh
Indonesia
untuk
70
Mengangkat/Memberhentikan Setiap Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf(PPAIW).
11.
Instruksi Menteri Agama No. 3 Tahun 1979 tanggal 19 Juni 1979 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978.
12.
Surat Dierjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D JUSEd/14/1980 tanggal
25 Juni 1980 Tentang Pemakaian Bea Materai dengan Lampiran Surat
Dirjen Pajak No. S-629/PJ.331/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang
menentukan jenis formulir wakaf mana yang bebas materai, dan jenis
formulir mana yang dikenakan bea materai, dan berapa besar bea
materainya.
13.
Surat
Di~jen
Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5Ed/07/1981 tanggal
17 Februari 1981 kepada Gubemur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh
Indonesia, tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik dan permohonan
keringanan alas pembebasan dari semua pembebanan biaya.
14.
Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D lll/5/Ed/11 /1981 tanggal
16 April 1981 tentang Petunjuk Pemberian Nomor pada Formulir
Perwakafan Tanah Milik. 2
Selain berbagai peraturan, instruksi dan edaran seperti disebut terdahulu, secara
khusus masih ada instruksi dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Baral,
2
/bid, h.29-32.
71
Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Daerah Istimewa Aceh dan DK! Jakarta
mengenai pendaftaran tanah wakaf di daerah masing-masing.
Selain itu ada tiga ketentuan lagi yang membicarakan mengenai perwakafan di
Indonesia. Pertama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang rnerupakan hasil ijtihad
para ulama di Indonesia. Tentang wakaf diatur pada Buku III. Kedua, Instruksi
Bersarna Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1990
atau No. 24 Tahun 1990 mengenai Target Pensertifikatan Tanah Wakaf pada Pelita
v.
Selain peraturan dan perundangan di atas, pada tahun 2004 Pemerintah
Republik Indonesia mengeluarkan undang-undang khusus yang berkaitan dengan
perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf.
C.
Tujuan, Fungsi, Unsur dan Syarat Wakaf
UU No. 41 Tahun 2004 ini menyebutkan tujuan wakaf di dalam pasal 4 yang
berbunyi: "Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan
fungsinya".
Adapun fungsi wakaf sebagaimana tercantum dalam unclang-undang ini pasal 5
adalah· mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Sedangkan unsur-unsur wakaf terdapat pada pasal 6 Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf dilaksanakan dengan
memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
72
I.
Wakif;
2.
Nadzir;
3.
Barta benda wakaf;
4.
lkrar wakaf;
5.
Peruntukan harta benda wakaf;
6.
Jangka waktu wakaf.
I.
Wakif
Pada pasal 1 ayat (2) UU No. 41 Tahun 2004 ini menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda
miliknya. Yang termasuk wakif, sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang
ini pasal 7, adalah meliputi:
a.
Perseorangan;
b.
Organisasi;
c.
Badan hukum.
Adapun yang menjadi persyaratan bagi wakif dijelaskan pada pasal 8 UU
No. 41 Tahun 2004, yaitu:
l.
Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a hanya
dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan:
a.
Dewasa;
b.
Berakal sehat;
c.
Tidak terhalang melakukan perbuatan hokum; dan
73
d.
2.
Pemilik sah harta benda.
Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b hanya
dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk
mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran
dasar organisasi yang bersangkutan.
3.
Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c hanya
dapat melakukan wakaf apabila memenuihi ketentuan badan hukum untuk
mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan
anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
2.
Nadzir
Menurut UU No. 41Tahun2004 pasal 1 ayat (4) nadzir adalah pihak yang
menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan
sesuai dengan peruntukannya.
Pada pasal 9 undang-undang ini dijelaskan bahwa nadzir meliputi
a.
Perseorangan;
b.
Organisasi; atau
c.
Badan hukum.
Seperti dikemukakan di atas bahwa keberadaan nadzir dalam mengelola
dan mengembangkan benda wakaf sangat penting dani menentukan. Sebagai
pihak yang dipercaya untuk memelihara dan mengelola benda wakaf, nadzir
harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tertuang dalam pasal I 0, yaitu:
74
(l)
Perseorangan sebagaimana dimaksud pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi
nadzir apabila memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Beragama Islam;
c. Dewasa;
d. Amanah;
e. Marnpu secara jasmani dan rohani; dan
f
(2)
Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b hanya dapat
menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:
a.
Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nadzir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ); dan
b.
Organisasi
yang
bergerak
di
bidang
sosial,
pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
(3)
Badan hukum sebagaimana dimaksud dalarn pasal 9 huruf c hanya dapat
menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:
a.
Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nadzir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat ( J); dan
b.
Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
c.
Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang social,
pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
75
Dalam ha! kewajiban dan hak-hak nadzir, UU No. 41 Tahun 2004
menjelaskan, pada pasal 42, nadzir wajib mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. Secara jelas pasal
11 menyebutkan tugas nadzir sebagai berikut:
a.
Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b.
Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi, dan peruntukannya;
c.
Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d.
Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaflndonesia.
Dalam
melaksanakan
kewajiban-kewajiban
nadzir
sebagaimana
disebutkan terdahulu, sebagai imbalan dari beban yang ditanggungnya ia
mempunyai hak-hak sebagaimana tercantum dalam pasal 12 UU No. 41 Tahun
2004, yaitu: "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal
11, nadzir dapat menerima imbalan dari basil bersih
ata~;
pengelolaan dan harta
benda wakafyang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).
3.
Harta Benda Wakaf
Yang dimaksud dengan harta benda wakaf, sebagaimana pasal I ayat (5)
UU No. 41 Tahun 2004, adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama
dan/atau menfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut
syari'ah yang diwakafkan oleh wakif. Pasal 15 UU No. 41 Tahun 2004 juga
menyebutkan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila
dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.
76
Adapun ketentuan tentang benda wakaf ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa wakaf adalah sesuatu yang bersifat suci, bahkan menurut Muhammad
Daud Ali selain suci juga abadi. Karena itu bcnda yang dapat dijadikan wakaf
selain dari statusnya sebagai hak milik sempuma juga harus bersih artinya tidak
menjadi tanggungan hutang atau hipotek, tidak dibebani oleh beban-beban atau
jaminan lainnya dan tidak pula dalam ikatan, sitaan, maupun sengketa.
Sedangkan jenis-jenis harta benda wakaf disebutkan pula secara terperinci
di dalam pasal 16 UU No. 41 Tahun 2004, yaitu:
(1)
Harta benda wakaf terdiri dari:
a. Benda tidak bergerak; dan
b. Benda bergerak.
(2)
Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf a
meliputi:
a.
Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum
terdaftar;
b.
Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di alas tanah
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.
Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d.
Hak milik atas satuan rumah susun sesuau dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
77
e.
Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari' ah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf b adalah harta
benda yang tidak bias habis karena dikonsumsi, meliputi:
a.
Uang;
b.
Logam mulia;
c.
Surat berharga;
d.
Kendaraan;
e.
Hak alas kekayaan intelektual;
f.
Hak sewa; dan
g.
Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari' ah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pada UU No. 41 Tahun 2004 ini juga menyebutkan wakaf benda bergerak
berupa uang yang tertuang dalam pasal 28 yang berbunyi: "Wakif dapat
mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syari'ah
yang ditunjuk oleh menteri".
Mengenai lembaga keuangan syari'ah di jelaskan di dalam Penjelasan
Atas UU RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yaitu badan hokum Indonesia
yang bergerak di bidang keuangan syari'ah.
2.
Ikrar Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 pasal I ayat (3) menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang
78
diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta
benda miliknya.
Pada pasal 17 UU No. 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa:
( 1)
lkrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan PPAIW
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(2)
lkrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dinyatakan secara lisan
dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
Yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Akta lkrar Wakaf (PPAIW),
sebagaimana termuat dalam pasal I ayat (6) UU No. 41 Tahun 2004, adalah
pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar
wakaf. Sedangkan lebih jelasnya dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Agama
No. 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, yaitu tertuang dalam Pasal 5
yang berbunyi:
(I)
Kepala KUA ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.
(2)
Administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan.
(3)
Dalam suatu ha! kecamatan tidak ada Kantor Urusan Agamanya, maka
Kepala Kanwil Depag menunjuk Kepala KUA tcrdekat sebagai Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf.
Pasal 18 dan 19 undang-undang ini menyatakan: "Dalam ha! wakif tidak
dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam
79
pelaksanaan ilaar wakaf karena alasan yang dibenarkm1 oleh hukum, wakif
dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang
saksi", "Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif, atau kuasanya
menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada
PPAIW".
Menurut ketentuan pasal tersebut di atas wakaf harus dilakukan di
hadapan PPAIW dan disaksikan oleh sedikitnya dua orang saksi dengan ikrar
yang jelas dan tegas. Namun dalam kondisi yang tidak memungkinkan karena
sesuatu hal seingga ia tidak dapat menyatakan ikrar wakaf atau tidak dapat
hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh
hukum, maka ia dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat
oleh dua orang saksi.
Adapun mengenai saksi dalam ikrar wakaf dijelaskan lebih lanjut dalam
pasal 20 UU No. 41 Tahun 2004, yaitu harus memenuhi persyaratan:
3.
a.
Dewasa;
b.
Beragama Islam;
c.
Berakal sehat;
d.
Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Peruntukan Barta Benda Wakaf
Pasal 22 UU No. 41 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam rangka
mencapai tujumi dan
diperuntukkan bagi:
fungsi wakaf, harta benda wakaf hmiya dapat
80
a.
Sarana dan kegiatan ibadah;
b.
Sarana dan kegiatan pendidikan se11a kesehatan;
c.
Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d.
Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e.
Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syari'ah dan peraturan pernndangan-undangan.
Adapun penetapan pernntukan harta benda wakaf dilakukan oleh wakif
pada pelaksanaan ikrar wakaf, dan jika wakif tidak menetapkan pernntukan
harta benda wakaf, maka nadzir dapat menetapkan peruntukan harta benda
wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf, ha! ini diatur
dalam pasal 23 UU No. 41 Tahun 2004 ini.
D.
Pendaftaran Dan Pengumuman Barta Benda Wakaf
Pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf diatur oleh pasal 32 s/d pasal
39 UU. No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Setelah selesai Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nan1a nadzir mendaftarkan
harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang paling larnbat 7 (tujuh) hari kerja
sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Dalam pendaftaran harta benda wakaf tersebut
PP AIW menyerahkan:
I.
Salinan akta ikrar wakaf;
2.
Surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.
Setelah ha! tersebut terlaksanan maka instansi yang berwenang menerbitkan
bukti pendaftaran harta benda wakaf, kemudian bukti pendaftaran tersebut
81
disampaikan oleh PPAIW kepada nadzir. Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran
harta benda wakaf, sebagaimana tercantum di dalam Penjelasa.n Atas UU. RI No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi
pemerintah yang berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan
tercatat pada Negara dengan status sebagai harta benda wakaf.
Adapun jika terjadi harta benda wakaf tersebut ditukar atau dirubah
peruntukannya, maka nadzir melalui PPAIW mendaftarkan
k1~mbali
kepada instansi
yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas benda wakaf yang ditukar atau
dirubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang bcrlaku dalam tata cara
pendaftaran harta benda wakaf.
Mengenai instansi yang berwenang dijelaskan di dalam Penjelasan Atas UU RI
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dengan perincian sebagai berikut:
I.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan PErtanahan
Nasional;
2.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang
adalah instansi yang terkait dengan tugas pokoknya;
3.
Instansi yang berwenang di bi dang benda bergerak selain uang yang tidak
terdaftar (unregistered goods) adalah Bad an Wakaf Indonesia;
Jika tata cara pendaftaran harta benda wakaf tersebut di atas sudah terlaksana,
maka Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta
benda wakaf, kemudian mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang
telah terdafta tersebut kepada masyarakat.
82
E.
Perubahan Status Harta Benda Wakaf
Dalam sebuah hadits Nabi saw. Yang lazim digunakan sebagai landasan
perwakafan telah dijelaskan bahwa benda wakaf tidak dapat diperjual belikan,
dihibahkan, dan diwariskan. Dengan demikian perubahan yang dilakukan terhadap
benda wakaf tidak dapat dilakukan.
Mengenai hal ini juga dijelaskan dalam pasal 40 UU No. 41 Tahun 2004, yaitu
harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
a.
Dijadikanjaminan;
b.
Disita;
c.
Dihibahkan;
d.
Dijual;
e.
Diwariskan;
f.
Ditukar; atau
g.
Dialihkan dalam bentuk penglihan hak lain.
Akan tetapi terdapat pengecualian mengenai pelarangan perubahan peruntukan
harta benda wakaf, ha! ini diuraikan dalam pasal 41 yang berbunyi:
(I)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 huruf f dikecualikan
apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk
kepentingan umwn sesuai dengan rencana wnum tata ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan syari' ah.
83
(2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (!) hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan
Badan Wakaflndonesia.
(3)
Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan
pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (I) wajib ditukar dengan
harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama
dengan harta benda wakaf semula.
(4)
Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
F.
Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf
Dalam pasal 42 UU No. 41 Tahun 2004 berbunyi: "Nadzir wajib mengelola dan
mengembangkan
harta
benda
wakaf
sesuai
dengan
tujuan,
fungsi
dan
peruntukannya".
Adapun pengelolaan dan pengembangan harta bencla wakaf oleh nadzir
dilaksanakan sesuai dengan prinsip syari'ah, dilakukan secara produktif, dan
diperlukan penjamin, maka oleh karena itu digunakan lembaga. penjamin syari'ah.
Hal ini tertuan di dalam pasal 43 UU No 41 Tahun 2004.
Dalam undang-undang ini juga menjelaskan, yaitu dalam pasal 44, bahwa dalam
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadzir dilarang melakukan
perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan
Wakaf Indonesia. Adapun izin hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf
84
ternyata tidak dapat digunakan sesum dengan peruntukan yang dinyatakan dalam
ikrar wakaf.
Pasal 45 undang-undang ini menyebutkm1:
(1)
Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadzir
diberhentikan dan diganti dengan nadzir lain apabila nadzir yang
bersangkutan:
a.
Meninggal dunia bagi nadzir perseorangan.
b.
Bubar atau dibubarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk nadzir organisasi atau nadzir badan hukum;
c.
Alas permintaan sendiri;
d.
Tidak melaksanakan tugasnya sebagai nadzir dan/atau melanggar
ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta
banda wakaf sesuai dengan peraturan pernndang-undangan yang
berlaku;
e.
Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai
hukum tetap.
(2)
Pemberhentian dan penggantian nadzir sebagaimana dimaksud pada ayat
(I) dilaksanakan oleh Badan Wakaflndonesia.
(3)
Pengelolan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh
nadzir lain karena pemberhentian dan penggantian nadzir, dilakukan
dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang
ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.
BAB IV
PAP ARAN DAT A DAN ANALISIS HASIL PEN ELI TIAN
A.
Gambaran Umum Masjid Jami' al-Istiqomah
Masjid Jami' al-Istiqomah terletak di kampung Cikalong Girang, desa Cikalong,
yang merupakan salah satu desa di kecamatan Cilamaya, Kabupaten Karawang, Jawa
Baral. Sebelum berbentuk sebuah masjid, pada mulanya hanya berupa tempat shalat
(mushalla!langgar) sederhana yang dibangun pada tahun 1890 berupa bangunan
panggung dari kayu dan bambu, oleh dua orang, yaitu: Syekh Talhah dan muridnya
Syekh Masmad, yang biasa dipanggil oleh masyarakat sekitar Buyut Dasih. Mushalla
tersebut dibangun di atas tanah milik Syekh Masmad yang kernudian diwakafkan oleh
beliau. Setelah Syekh Masmad wafat pada tahun 1921, rnaka rnenantu beliau Ust.
Nurkhatim menggantikan beliau dalam pengurusan mushalla tersebut. 1
Pada tahun 1952 Ust. Nurkhatirn merubah mushala yang tadinya berupa
panggung dan terbuat dari kayu dan bambu menjadi sebuah bangunan permanen dari
batu bata merah, dan pada tahun ini pula terjadi perubahan peruntukan tanah wakaf
yang tadinya untuk mushalla menjadi masjid. Kernudian pada tahun 1994 terjadi
perombakan besar-besaran sampai sekarang oleh pengurus berikutnya. 2
f't·.,,.
~-
I
' Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid
Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006.
2
Ibid.
(DKM~1h)a~f!~~tam'~~;l~lSti<joJi;ah Ds Cikalong,
· •J ••
"'
• ••
.,. • • .•
86
Pembangunan masjid tersebut mendapat respon positif dan dukungan dari
masyarakat. Salah satu manifestasi dari dukungan tersebut adalah adanya kesadaran
dari masyarakat untuk menyisihkan sebagian tanah sawah milik mereka untuk
diwakafkan guna keperluan masjid. Dengan kata lain,
Ma~jid
Jami' al-Istikomah
didirikan dan dibangun atas swadaya masyarakat setempat. Hal ini
te~jadi
tepatnya
tahun 1960 sampai tahun 2002, beberapa orang kaya di sekitar masjid Jami' alIstiqomah memberikan sawahnya sebagai penunjang untuk pengelolaan masjid pada
masa berikutnya, dengan perincian sebagai berikut: pada tahun 1960 seluas 3 bau
sawah yang diwakafkan oleh H Husnen, pada tahun 1967 seluas 3 bau sawah yang
diwakafkan oleh H Usman, pada tahun 1982 seluas %, bau sawah yang diwakafkan
oleh H Abdurrahim, tahun 1990 seluas 1 bau oleh Hj Rodiah, tahun 1994 seluas 1 bau
oleh Waqifu, dan pada tahun 2000 seluas Yi bau sawah yang diwakafkan oleh Hj
Shopiah, serta pada tahun 2002 seluas Yz bau sawah yang diwakafkan oleh Wadarni
dengan demikian, total sawah yang diwakafkan untuk pengelolaan masjid Jami' alIstiqomah adalah 9,5 bau', yang sebanding dengan 7,6 hektar. Sementara itu proses
akad dilaksanakan secara lisan tanpa adanya surat-surat atau dokumen resmi sebagai
persyaratan wakaf kecuali hanya saja disaksikan oleh keluarga dari masing-masing
pihak wakif dan nadzir. 3
3
Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-lstiqomah Ds Cikalong,
Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006. dan Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' allstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006
87
Dengan demikian maka Masjid Jami' al-Istiqomah memiliki dua (2) jenis tanah,
yaitu: tanah wakaf produktif dan tidak produktif, adapun tanah tidak produktif adalah
di mana masjid dan majlis taklim saat ini telah berdiri. Sedangkan tanah produktif
adalah berupa tanah sawah seluas 9 ,5 bau ', yang mana hasi l dari tan ah sawah tersebut
digunakan untuk kepentingan masjid seperti renovasi, mengg:yi para imam, penjaga
dan pengurus masjid, bayar listrik, kegiatan hari besar Islam dan keperluan lainnya. 4
Masjid Jami' al-Istiqomah memiliki organisasi atau pengurus yang memelihara
masjid tersebut yang biasa disebut dengan Dewan Kesejahleraan Masjid (DKM).
DKM memiliki beberapa divisi, yaitu:
I.
lmarah, yang mengurusi kegiatan kerohaniaan, seperti majlis taklim,
tadarrusan, peringatan hari-hari besar Islam. Divisi imarah m1 JUga
mengatur mengenai imam-imam, pengajar dan khatib Jumat.
2.
Divisi ri'ayah, yang bertugas untuk menjaga atau memelihara fisik masjid,
seperti jika ada pelebaran, kerusakan, dam perawatan bangunan lainnya.
3.
Divisi idarah, yang bertugas untuk pembukuan keuangan, mencari dana
untuk kepentingan masjid. 5
Adapun yang bertugas untuk mengawasi, memelihara, mengatur, mengkontrol
tanah wakaf produktif berupa tanah sawah untuk keperluan masjid adalah seorang
nadzir yang pengangkatannya ditunjuk oleh para wakif atau para ahli waris wakif
4
Abdul Hamid Saifuddin, Ahli Waris Tanah Wakaf Masjid Jami' al-lstiqomah, Wawancara
Pribadi, Karawang, 8 Juni 2006.
' Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-lstiqomah Os Cikalong,
Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006
88
dihadapan KUA dan MUI setempat. Kepengurusan nadzir ini tidak termasuk dalam
kepengurusan DKM, hanya saja kedudukannya sejajar untuk kepentingan dan
kesejahteraan Masjid Jami' al-lstiqomah. 0
Sturtur kepengurusan Dewan Kesejahteraan Masjid Jami' al-lstiqomah adalah
sebagai berikut: 7
Ust. Ridwad
KctuaDKM
H. Damanhuri
Wakil Ketua
J;ndang_Syahidin
Sekretaris
H. Yadi
Bendahara
I
Div. lmarah
Koord .: H. Syamsusi
Anggt. : Ust. Masrudin
Ust. A.Qomarudin
Ust. Abdurrahim
Affendi
I
Div. Ri'ayah
Koord .: H. Dasin
Anggt. : Warsin
Juhrah
Wajnin
Div. Idarah
Koord. : Darkim
Anggt. : Badrudin
Baidowi
Nata
Yasin
6
Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' al-lstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang,
24 Juli 2006.
7
Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-lstiqomah Ds Cikalong,
Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006.
89
Sedangkan nadzir sendiri juga mempunyai kepengurusan, yaitu sebagai
berikut: 8
Ust. Saifuddin
Ketua
H. Mulyana
Bendahara
Qomaruddin
Sekretaris
Anggota: Sholeh
Fakhruddin
Dengan demikian, Masjid Jami' al-Istiqomah mengalami perkembangan dan
perluasan dengan adanya tanah wakaf berupa sawah pada tahun 1960 - 2002 dari
beberapa wakif (A) sebagaimana tersebut di atas. Adapun pengurus masjid atau yang
biasa disebut dengan Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) pada periode saat ini
adalah Ust. Ridwan (B). Sedangkan nadzir, yang mengurusi tanah wakaf berupa
tanah sawah tersebut pada saat ini setelah beberapa periode adalah Ust. Saifuddin (C)
yang notabene adalah juga ahli waris salah seorai1g wakif tanah sawah tersebut.
Kemudian proses akad yang berlangsung pada saat itu (tahun 1960-2002)
dilaksanakan secara lisan tanpa adanya surat-surat atau dokumen-dokumen resmi
sebagai persyaratan wakif kecuali hanya disaksikan oleh keluarga dari masing-masing
8
Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' al-Istiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang,
24 Juli 2006.
90
pihak wakif dan nadzir. Setelah beberapa tahun pemanfaa1tan obyek tanah wakaf
berupa tanah sawah tersebut, tepatnya pada tahun 2003, salah satu tanah sawah
diambil oleh D yang nota bene adalah ahli waris dari wakif (A) tanah sawah tersebut
dan paman dari C dengan dalih bahwa tanah sawah itu telah diberikan oleh A kepada
D secara hibah. 9
Sehubungan dengan penyimpangan yang terjadi pada pemanfaatan obyek wakaf
di atas, B selaku DKM dan C selaku nadzir mengambil tindakan dengan
memperingatkan D bahwa tanah sawah tersebut adalah wakaf milik Masjid Jami' alJstiqomah. Akan tetapi D tetap bersikeras bahwa tanah sawah tersbut adalah
miliknya. Adapun ahli waris yang lain sudah menyerahkan sepenuhnya kepada DKM
dan nadzir sehingga dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, ahli waris yang lain
tidak ikut campur. 10
Penyimpangan yang terns berlangsung disebabkan DKM dan nadzir tidak bisa
bertindak apa-apa selain memperingatkan. Hal ini bermuara pada tidak adanya buktibukti otentik dan tidak dipenuhi dokumen-dokumen resmi sebagai syarat-syarat
9
Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-lstiqomah Os Cikalong,
Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006, dan Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' allstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006, serta Abdul Hamid Saifuddin, Ahli Waris
Tanah WakafMasjid Jami' al-lstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang. 8 Juni 2006.
'° Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-lstiqomah Os Cikalong,
Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006, dan Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' allstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006, serta Abdul Hamid Saifuddin, Ahli Waris
Tanah WakafMasjid Jami' al-lstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang. 8 Juni 2006.
91
perwakafan. Sementara itu, masyarakat desa Cikalong hanya sebatas membicarakan
penyimpangan yang terjadi tanpa bisa memberikan solusi. 11
B.
Faktor Penyebab WaqifMelakukan WakafVang Tidak Terdaftar
Wakaf merupakan suatu perbuatan hukum. Sebagai suatu perbuatan hukum
maka untuk perwujudannya diperlukan prosedur atau tata cara yang digariskan dalam
pengaturan mengenai perwakafan. Secara garis besar dalam lJU No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf diatur dalam Pasal 17 sampai dengm1 Pasal 21 sedangkan dalam PP
No. 28 Tahun 1977 diatur dalam Bab Ill Bagian pertama Pasal 9 serta dalam
Kompilasi Hukum Islam diatur dalam buku III Bab III Bagian I Pasal 223.
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menentukan sebagai berikut:
Pasal 17
I.
Ikrar wakaf dilaksanankan oleh wakif kepada nadzir dihadapan PPAJW
dengan disaksikan oleh 2 orang saksi.
2.
lkrar wakaf sebagaimana dimaksud ayat (I) dinyatakan secara lisan dan
atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
Pasal 18
Dalam ha! wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak
dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh
11
Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-Istiqomah Ds Cikalong,
Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006, dan Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' allstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006
92
hukwn, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat
oleh 2 orang saksi.
Pasal 19
Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf wakif atau kuasanya menyerahkan surat
atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PP AIW .
Pasal 20
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan:
a.
Dewasa
b.
Beragama Islam
c.
Berakal sehat
d.
Tidak terlarang melakukan perbuatan hukum
Pasal 21
I.
Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.
2.
Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (I) paling sedikit
memuat:
3.
a.
nama dan identitas wakaf;
b.
nama dan identitas nazhir;
c.
data dan keterangan harta benda wakaf;
d.
peruntukkan harta benda wakaf;
e.
jangka waktu wakaf.
Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
93
Pasal 9 PP No. 28 Tahun 1977 menentukan sebagai berikut:
(I)
Pihak yang hendak rnewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakafuntuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
(2)
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
(3)
Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(4)
Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan Akta lkrar Wakaf dianggap
sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi.
(5)
Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat (I) yang mewakafkan
tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada pejabat
tersebut dalam ayat (2) surat-surat berikut:
a.
Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah Iainnya.
b.
Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala
Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah
dan tidak tersangkut suatu sengketa.
c.
Surat keterangan pendaftaran tanah.
d.
Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala sub
Direktorat Agraria setempat.
Sedangkan pasal 223 Kompilsi Hukum Islam menentukan dengan formulasi
yang sedikit berbeda sebagai berikut:
94
(1)
Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Jkrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2)
Jsi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3)
Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan Akta Jkrar Wakaf, dianggap
sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kura'flgnya 2 orang saksi.
(4)
Dal am melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat ( 1) pihak yang
mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada pejabat yang tersebut dalam
pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a.
Tanda bukti pemilikan harta benda.
b.
Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka
harus disertai keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh
Carnal setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak
dimaksud.
c.
Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda
tidak bergerak yang bersangkutan.
Sekalipun terdapat beberapa perbedaan antara apa yang digariskan dalam UU
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dengan PP No. 28 Tahun 1977 serta pasal 223
Kompilasi Hukum Islam, namun pada prinsipnya terdapat kesamaan bahwa
perwakafan harus dilaksanakan seeara tertulis tidak cukup jika hanya dilakukan
dengan ikrar lisan. Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hak dan kepastian
hukum dengan adanya bukti-bukti tertulis yang dapat dipergunakan untuk berbagai
persoalan sepe1ii untuk bahan pendaftaran pada Kantor Pertanahan Kab/Kota dan
95
untuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari
tentang tanah yang diwakafkan. Oleh karena itu, seseorang yang hendak mewakafkan
tanah hams membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan (sertifikat) dan surat-surat
lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah
milik tersebut. Disamping itu, diperlukan pejabat-pejabat khusus yang melaksanakan
pembuatan aktanya.
Dalam kenyataanya di desa Cikalong masih terdapat tm1ah wakaf yaitu tanah
wakaf Masjid Jami' Al Istiqomah yang belum didaftarkan di Kantor Pertanahan
setempat. Tanah wakaf yang tidak jelas secara hukum tersebut, telah mengundang
kerawanan dan memudahkan terjadinya penyimpangan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab dari hakekat hukum dan tuj uan perwakafan.
Dari hasil interview di Iapangan terdapat beberapa faktor penyebab waqif
melaksanakan wakaf yang tidak terdaftar, yaitu sebagai berikut:
I.
Adanya hubungan kekeluargaan antara waq!f dan nadzir sehingga waqif
merasa cukup dengan ikrar Iisan saja tanpa bukti-bukti tertulis dalam
mewakafkan tanahnya. Faktor kekeluargaan ini juga mendorong waqif
untuk tidak merasa khawatir adanya penyimpangan dan penyelewengan
terhadap tanah yang diwakaflrnn di kemudian hari.
2.
Rasa kepercayaan yang tinggi dari waqif kepada nadzir untuk menjaga
keutuhan tanah yang diwakafkan, dimana ha! ini dilatarbelakangi kultur
masyarakat saat itu yaitu mampu memegang teguh kepercayaan yang
96
diberikan orang lain, sehingga waqif merasa cukup dengan melaksanakan
wakaf secara lisan.
3.
Pengetahuan waqif tentang pentingnya dokumen otentik masih mm1m
karena waqif'belum mengetahui aturan-aturan yang terdapat dalam PP No.
28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan UU No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf.
4.
Surat-surat bukti kepemilikan dari tanah yang diwakafkan kurang jelas,
sehingga
untuk
melengkapi
surat-surat
yang
diperlukan
untuk
mendaftarkan tanah wakaf memerlukan biaya yang besar dan waktu yang
tidak singkat.
5.
Besamya biaya administratif untuk mendaftarkan tanah wakaf dan
mensertifikatkannya merupakan faktor penyebab waqil melaksanakan
wakaf yang tidak terdaftar. i;,
C.
Akibat Yuridis Dan Perlindungan Hukum Bagi Tan:ah Wakaf Yang Tidak
Terdaftar
Produk pernndang-undangan tentang perwakafan yaitu PP No. 28 Tahun 1977
dan lnpres No. 1 Tahun 1991 atau Kompilasi Hukum Islam beserta peraturanperaturan pelaksanaannya ternyata dalam prakteknya di lapangan belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan karena adanya beberapa hambatan antara lain:
12
Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-Istiqomah Ds Cikalong,
Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006, dan Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid iam1 1'·lstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006, serta Abdul Hamid Saifuddin, Ahli Waris
Tanah Wakaf Masjid Jami' al-Istiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 8 Juni 2006.
97
a)
PP No. 28 tahun 1977 belum memasyarakat di tengah-tengah masyarakat,
sehingga masyarakat masih beranggapan bahwa wakaf adalah pure
institusi agama yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan
administrasi negara dan cukup hanya dengan berdasarkan opersionalisasi
wakaf dalam fiqh,
b)
Tanah wakaf sebelum berlakunya PP No. 28 tahun 1977 kebanyakan
belum mempunyai data otentik, sehingga dalam proses penyesuaian
dengan PP tersebut sering menimbulkan masalah antara pihak-pihak yang
terkait,
c)
Banyaknya tempat ibadah, gedung lembaga keagamaan dan kuburan yang
menempati tanah negara yang belum tertampung dalam dalam PP No. 28
tahun 1977 untuk berubah statusnya menjadi tanah wakaf,
d)
Terbatasnya dana untuk pensertifikatan tanah wakaf.;,
Dalam kenyataannya tanah wakafMasjid Jami' Al lstiqomah belum didaftarkan
pada Kantor Pertanahan setempat, sehingga sertifikat tanah wakaf belum diterbitkan.
Tidak adanya bukti otentik untuk menjaga keutuhan dan kelestarian tanah wakaf
tersebut menyebabkan waqif maupun nadzir tidak bisa menjamin perlindungan dan
kepastian hukum bagi tanah wakaf dari gugatan pihak lain (C). Akibatnya sampai
sekarang tanah yang seharusnya merupakan bagian dari wakaf masjid berubah
kepemilikannya menjadi hak milik C. Sementara itu masyarakat yang mengetahui
13
Suparman Usman, op.cit., h.94.
98
adanya penyalahgunaan tanah wakaf oleh pihak penggugat, lebih memilih sikap diam
dan menyerahkan kepada Allah karena benda wakaf menurut masyarakat setempat
merupakan hak Allah sehingga hanya Dia yang berhak menyelesaikan.
1.
Akibat Yuridis Tanah Wakaf Yang Tidak Terdaftar Menurut Hukum
Islam
Wakaf sebagai suatu lembaga Islam tentu juga mempunyai rukun. Tanpa
adanya rukun yang telah ditetapkan wakaf tidak dapat berdiri. Mengenai jumlah
rukun terdapat perbedaan di kalangan fukaha, akan tetapi menurut jumhur ulama,
yaitu dari kalangan madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, bahwa rukun wakaf ada
,4
.
I.
Orang yang berwakaf atau wakif yaitu pemilik harta benda yang
empat , ymtu:
melakukan tindakan hukum.
2.
Harta yang diwakafkan atau mauquf bih sebagai obyek perbuatan hukum.
3.
Tujuan wakaf atau yang berhak menerima hasil wakaf yang disebut
maiquf 'alaih, dan
Pernyataan wakaf dari wakifyang disebut shighat atau ikrar wakaf.
4.
Adapun mengenai pendaftaran atau pencatatan harta benda wakaf tidak
disinggung dalam kajian hukum Islam terutama dalam pandangan Imam-imam
Madzhab.
14
Abdul Wahab Khallaf, op.cit., h. 24.
99
Sedangkan mengenai kedudukan harta wakaf terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama.
Abu Hanifah mengartikan wakaf sebagai
shadaqah yang
kedudukannya seperti ariyah atau pinjam meminjam. Perbedaanya, dalam kedudukan
seperti ariyah benda ada pada tangan peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan
mengambil manfaat benda itu, sedangkan benda dalam wakaf ada di tangan pemilik
yang tidak menggunakan atau mengambil manfaat benda itu. Dengan demikian benda
yang diwakafkan tetap menjadi pemilik wakif sepenuhnya, hanya manfaatnya saja
yang disedekahkan, sehingga pada suatu saat harta wakaf dapat kembali kepada
wakif, begitu pula ia boleh menarik kembali wakafnya kapan saja ia kehendaki. 15
Menumt golongan Malikiyah, wakaf berarti pemilik harta memberikan manfaat
harta yang dimiliki bagi mustahiq. Harta tersebut dapat berupa benda yang disewa,
kemudian hasilnya diwakafkan. Oleh karena itu wakaf tidak mesti dilembagakan
secara abadi dalam arti muabbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu
tertentu yang disebut muaqqad. Maka golongan Malikiyah mcmperbolehkan manfaat
wakaf dari sesuatu yang disewa dan karenanya mereka be1pendapat bahwa syarat
wakaf tidak harus abadi. Namun demikian wakaf tidak boleh ditarik di tengah
perjalanan, dengan kata lain wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum habis
tenggang waktu yang telah ditetapkan. Kiranya disinilah letak adanya kepastian
15
Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 153
100
hukum (lazim) dalam perwakafan menurut Imam Malik, yaitu kepasitan hukum yang
mengikat berdasarkan suatu ikrar. 16
Madzhab Syafi'i dengan tegas berpendapat bahwa pemilikan atas harta wakaf
telah berpindah kepada Allah, bukan lagi rnilik wakif, bukan pula milik mauquf
'alaih. Manfaat atau hasil harta wakaf adalah sepenuhnya untuk mauquf 'alaih. 17
Sejalan dengan madzhab Syafi'iyah di atas, madzhab Hanbali berpendirian
bahwa apabila suatu wakaf itu sudah sah maka hilanglah atau lepas sudah hak
pemilikan dari wakif. Lebih lanjut menurut madzhab Hanbali, bila wakaf itu untuk
masjid dan sejenisnya yang bermanfaat untuk kepentingan umum seperti sekolah, jal,
jembatan, dan sebagainya maka pemilikan atas harta wakaf itu berada di sisi Allah,
sedangkan bila wakaf itu diperuntukkan untuk orang tertentu maka pemilikannya di
tangan mauquf 'alaih.
Akan tetapi perlu diingat pula fim1an Allah SWT yang berbunyi:
nai orang-orang yang oenman, apao11a Kamu oermu amaian yang 11aun.
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. "
(QS. 2 (al-Baqarah): 282).
Ayat ini menegaskan bahwa ada keharusan mencatat transaksi mu'amalah
seperti jual beli, hutang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya. Hal ini
16
Djuhaya S. Praja, op.cit., h. 18.
17
Al-Syarbini, op.cit., h. 389.
101
bertujuan untuk menjaga harta benda dari adanya penyelewengan, persengketaan,
atau
kealpaan pada kemudian hari. Adapun wakaf adalah sebagai institusi
keagamaan yang erat hubungannya dengan masalah sosial ekonomi dan kepentingan
masyarakat banyak, maka harus dicatat pula. Walaupun secarn eksplisit ayat ini tidak
menegaskan mengenai keharusan mencatat wakaf, akan tetapi jika melihat pada
kondisi sekarang ini akan kerawanan harta benda wakaf yang tidak memiliki bukti
tulis, maka ayat ini bisa dijadikan sandaran untuk pencatatan harta benda wakaf agar
terhindar dari adanya penyelewengan, persengketaan, ataupun kealpaan pada
kemudian hari.
Kemudian kalau kita memnJau dalam qowaidul jiqhiyyah maka kita akan
menemukan beberapa kaidah yang secara tersirat mendukung untuk adanya
keharusan pencatatan sighat wakaf ini yaitu :
a.
"Kemudharatan harus dihilangkan ". 18
b.
"Menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan ". 19
18
Muslih Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996) h. 132
19
Ibid, h. 143.
102
Penyelewengan, persengketaan, ataupun kealpaan yang bisa datang di
kemudian hari yang terjadi dalam perwakafan banyak diakibatkan oleh tidak adanya
bukti tertulis dari sighat wakaf. Hal ini adalah suatu kemudharatan atau kerusakan
karena wakaf yang seharusnya pemanfaatannya digunakan untuk umat manusia dan
hak kepemilikannya berpindah kepada Allah SWT telah hilang atau berpindah kepada
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, pencatatan sighat wakaf
adalah untuk menolak kerusakan dan mendatangkan kemashlahatan.
c.
"Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum ". 20
Jumhur ulama mengidentikkan term 'adah dengan 'urufkeduanya mempunyai
arti yang sama. Namun sebagian fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya
mendefinisikan 'adah dengan:
"Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia,
karena logis dan dilakukan secara terus menerus ".
Sedangkan 'uru/adalah:
20
Ibid, h. 140
103
"Uruf adalah suatu {perbuatan) yang jiwa merasa tenang melakukannya,
karena sejalan dengan aka/ sehat dan diterima oleh tabiat sejahtera ". 21
Menurut pengertian di atas, maka 'adah dapat diterima jika memenuhi syarat
sebagai berikut:
a.
Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan aka! sehat. Syarat ini
menunjukkan bahwa 'adah tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan
maksiat.
b.
Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terul.ang-ulang, boleh dikata
sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.
c.
Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Quran maupun asSunnah.
d.
Tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan dengan jiwa dan aka!
sejahtera. 22
Dengan demikian pencatatan sighat wakaf sesuai dengan 'adah karena telah
memenuhi syarat. Pertama, pencatatan adalah suatu perbuatan yang logis dan relevan
dengan aka! sehat. Kedua, pencatatan adalah perbuatan yang dilakukan berulang kali
terutama mengenai urusan mu'amalah atau perkara apapun yang kemudian hari bisa
mengakibatkan persengketaan. Ketiga, pencatatan tidak bertentangan dengan
ketentuan nash, bahkan al-Quran menganjurkannya seperti dalam surat al-Baqarah
21
lbid, h. 141
22
Ibid, h. 142
104
ayat 282. Keempat,
pencatatan tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan
dengan jiwa dan aka! yang sejahtera, bahkan pencatatan ini mendatangkan
kemaslahatan.
Kemudian ada satu ayat lagi yang bisa dijadikan landasan mengenai keharusan
pencatatan sighat wakaf yaitu:
·i--
~
If .J
y ')\j\ i..s3J
J'
.>'-"•.11
y
\°-:·
..·.'-I J :&I \J"'o:..
''i..61 \J-l-"
•·1 ·.o~\L
•.G
~
1.J:L '"ti":i"
0
0
(o '1: i/,,.WI)
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati pula Rasul-Nya
dan Ulil amri dari kamu ... "(OS. 4(an-Nisa '):59)
Dalam ayat ini Allah SWT membahas mengenai perintah-Nya agar orang
beriman mentaati Allah, Rasul-Nya dan Ulil amri. Sebagian ulama mengemukakan
bahwa hubungan ayat di atas dengan ayat sebelumnya bertumpu pada hubungan
antara pemerintah dengan rakyatnya. Menurut pendapat ini, ayat pertama ditujukan
kepada para pejabat agar menunaikan amanat dan memerintah denga adil, sedang
dalam ayat kedua ini terdapat perintah agar rakyat mentaati Allah, Rasul-Nya dan
pemerintah. Pendapat semacam ini dikemukakan antara lain oleh al-Zamakhsyari dan
al-Qurthubi. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-Maraghi. Ia tidak
memandang ayat-ayat tersebut bersifat khusus yang ditujukan pada pemerintah atau
105
rakyat semata, tetapi bersifat wnum. Ini berarti ayat itu tidal' saja ditujukan kepada
rakyat, tetapi juga kepada pejabat pemerintah. 23
Hal ini juga berarti bahwa firman Allah SWT yang dibahas tidak hanya
mengandung kewajiban taat kepada Rasul SAW dan Ulil amri, tetapi juga menjadi
dasar keberadaan kekuasaan politik yang dimiliki pemerintah dan keabsahannya.
Keabsahan
ulil
amn
mengandung
makna
bahwa
hukum-hukum
dan
kebijaksanaan politik yang mereka putuskan, sepanjang hal itu tidak bertentangan
dengan al-Quran dan Sunnah, mempunyai kekuatan yang mengikat seluruh rakyat.
Karena itu seluruh rakyat yang menjadi subyek hukrnn wajib menaatinya.
Keberadaan hukum ini, di samping hukum Tuhan, sebagai hukum positif
memperlihatkan wajah dari tata-hukwn yang menjadi bagian dari sistem politik dan
pemerintahan yang dikenal dalam al-Quran. 24
Adapun mengenai permasalahan wakaf, pemerintah atau ulil amri sendiri telah
memberikan peraturan yang jelas dan di antara peraturan tersebut dicantumkan
adanya kewajiban untuk pencatatan sighat wakaf. Oleh karena itu kita wajib
menaatinya karena peraturan mengenai pencatatan sighat wakaf tidaklah bertentangan
dengan al-Quran dan Sunnah. Hal ini berakibat pada tidak sahnya perwakafan jika
tidak disertai dengan catatan yang prosedurnya sesuai dengan peraturan ulil amri atau
pemerintah.
23
Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 3, h. 218
24
Ibid, h. 235.
106
Dengan penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa para imam
madzhab tidak memberikan penjelasan mengenai pendaftaran harta benda wakaf.
Akan tetapi dengan pertimbangan argumen-argumen di atas yaitu surat al-Baqarah
ayat 282, dan surat an-Nisa ayat 59 serta beberapa kaidah-kaidah fiqhiyah, untuk itu
tanah wakaf yang tidak terdaftar status hukumnya adalah tidak sah karena adanya
ketentuan yang menyatakan keharusan pencatatan atau pendaftaran harta benda wakaf
baik tersurat maupun tersirat. Atas pertimbangan inilah maka status hukum tanah
wakaf yang terdapat di Masjid Jami' al-Istiqomah di Desa Cikalong adalah tidak sah
serta tidak sesuai dengan hukum Islam.
2.
Akibat Yuridis Tanah Wakaf Yang Tidak Terdaftar Menurut Hukum
Positif
Dalam Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf pasal 6
menyebutkan bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai
berikut:
1.
Wakif;
2.
Nadzir;
3.
Harta benda wakaf;
4.
Ikrar Wakaf;
5.
Peruntukan harta benda wakaf;
6.
Jangka Waktu Wakaf.
Unsur adalah persamaan dari kata rukun yang berarti sesuatu yang merupakan
sendi utama dan unsur pokok dalam pembentukan suatu ha!. Sedangkan unsur atau
107
rukun wakaf yang tertuang dalam UU wakaf seperl.i tersebut di atas ada enam (6 ),
yang mana unsur-unsur tersebut hams terpenuhi semuanya. Dan dalam keenam unsur
tersebut yang tidak kalah penting adalah ikrar wakaf.
Dalam pasal 1 ayat (3) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ikrar wakaf
adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan
kepada nadzir untuk mewakaflrnn harta benda miliknya. Kemudian pada pasal 17 UU
Wakaf disebutkan bahwa:
( 1)
lkrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan PP AIW
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(2)
Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan
dan atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAlW.
Jadi menurut ketentuan pasal tersebut di atas wakaf harus disaksikan oleh
sedikitnya dua orang saksi dan dilakukan di hadapan PPAIW yang kemudian
menuangkannya dalam akta ikrar wakaf.
Tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf lebih lanjut diatur
dalam pasal 32 s/d pasal 39 UU. No. 41Tahun2004 Tentang Wakaf.
Setelah selesai Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir
mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Dalam pendaftaran harta
benda wakaf tersebut PP AIW menyerahkan:
1. Salinan akta ikrar wakaf;
2. Surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.
108
Setelah hal tersebut terlaksana maka instansi yang berwenang menerbitkan
bukti pendaftaran harta benda wakaf, kemudian bukti pendaftaran tersebut
disarnpaikan oleh PP AIW kepada nadzir. Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran
harta benda wakaf, sebagaimana tercantum di dalam Penjelasan Alas UU. RI No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi
pemerintah yang berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan
tercatat pada Negara dengan status sebagai harta benda wakaf.
Dari penjelasan tersebut diatas yang berdasarkan pada UU Wakaf dapat ditarik
kesimpulan bahwa ikrar wakaf dilakukan wakif dengan lisan dan/atau tulisan
disaksikan sedikitnya dua orang saksi dan dihadapan PP AIW yang kemudian
mencatatnya dalarn Akta Ikrar Wakaf. Setelah selesai maka. PPAIW mendaftarkan
harta benda wakaf kepada yang berwenang, yaitu Badan Pertanahan Nasional, untuk
kemudian instansi yang berwenang tersebut menerbitkan bukti pendaftaran harta
benda wakaf.
Oleh karena pertimbangan ha! tersebut di atas maka tanah wakaf yang tidak
terdaftar seperti yang terjadi pada tanah wakaf Masjid al-Istiqomah terletak di
kampung Cikalong Girang tidak sah atau batal demi hukum. Hal ini juga berarti
bahwa tanah wakaf yang tidak terdaftar status hukum kepemilikannya masing
dipegang oleh wakif atau ahli warisnya.
3.
Perlindungan Hukum Tanah Wakaf Yang Tidak Terdaftar
Menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indonesia, maka
pemerintah bersama DPR RI telah menetapkan Undang-undang tentang Peraturan
109
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yaitu UU No. 5 tahun 1960 yang disahkan
tanggal 24 September 1960. dalam konsiderannya pada bagian Berpendapat, huruf 'a'
disebutkan: Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbanganpertimbangan di atas perlu adanya hukum agrarian nasional, yang sederhana dan
menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Sehubungan dengan ha! ini, pasal 14
ayat (I) huruf b UUP A tersebut menentukan bahwa pemerintah Indonesia dalan1
rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persedian,
peruntukan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Dalam peruntukan seperti dimaksud di atas, termasuklah
untuk keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa. 25
Secara lebih khusus, keperluan yang termasuk kepentingan agama ini disebut
dalam pasal 49 ayat (3) UUPA yang menegaskan bahwa perwakafan tanah milik
dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Sebagai realisasi dari ketentuan
ini, kemudian dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, yang ditetapkan tanggal 17 Mei 1977.26 Sebagai tindak
lanjut PP No.28 tahun 1977, dikeluarkanlah beberapa peraturan sebagai berikut :
25
Depag, Strategi Pengamanan Tanah Waka/, (Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat dan Haji
2004), h.53.
26
Ibid., h.54.
110
I.
Peraturan pelaksanaan PP No.28/1977 yang diatur oleh Peraturan Menteri
Agama No. I tahun 1978.
2.
Instruksi Bersama Menteri Agama dengan Menteri Dalan1 Negeri No. I
tahun 1978.
3.
Keputusan Menteri Agama No.73 tahun 1978 tentang pendelegasian
wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/setingkat
di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala
KUA sebagai PPAIW.
4.
Instruksi Menteri Agama No.3 tahun 1978 tentang petunjuk pelaksanaan
Keputusan Menteri Agama No.73 tahun 1978.
5.
Instruksi Menteri Agama No.3 tahun 1978 tentang bimbingan dan
pembinaan kepada badan hukum keagamaan yang memiliki tanah.
6.
Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No.4 tahun 1990/No.24 tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf.
7.
Berbagai Surat Keputusan dan Edaran
Di~jen
Bimas Islam dan Urusan
Haji yang berkenaan dengan perwakafan.
8.
Kompilasi Hukum Islam yang disosialisasikan dengan lnpres No. l Tahun
1991. 27
9.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf.
27
Muhammad Daud Ali, op.cil.,h.127-128
111
Ada kecenderungan dalam masyarakat, mereka beranggapan bahwa tanpa
sertifikasi pun kepastian hukum hak atas tanah wakaf cukup
te~jamin.
Dari
pengamatan di lapangan juga diketahui hanya sedikit sekali pernah terjadi adanya
sengketa tanah wakaf. Artinya setelah selama beberapa tahun jarang terjadi gugatan,
tuntutan atau sengketa tanah wakaf. Hal sedikit banyak, ikut rnemeberi ras aman bagi
pemegang tanah wakaf. Kemudian ditambah lagi dengan kenyataan bahwa masih
banyak tokoh-tokoh mesyarakat atau agama yang kurang memahami sepenuhnya
berbagai perangkat peraturan yang mengenai tanah wakaf dan pendaftaran tanah.
Memang sedikit sekali usaha yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang
berkompeten untuk memberikan penyuluhan dan penerangan kepada masyarakat
dalam ha! pendaftaran tanah wakaf ini. Sehubungan dengan ha! ini penting
diperhatikan pendapat Fuller yang mengemukakan delapan nilai yang hams
diwujudkan oleh hukum dan disebut pula dengan "delapan prinsip legalitas". Di
antara delapan prinsip itu adalah: peraturan itu harus diumumkan secara layak. Di lain
pihak, Clarence J. Dias, juga mengemukakan lima syarat yang harus dipenuhi dalam
mengefektifkan system hukum diantaranya: luas tidaknya kalangan du dalam
masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan. Sebab
menurut Satjipto Rahardjo, komunikasi hukum merupakan salah satu factor di
sampmg faktor-faktor lainnya dalam rangka membentuk pemahaman, penerimaan
dan pentaatan masyarakat pada isi undang-undang. 28
28
Depag, op.cit., h.58-59.
112
Dengan demikian akan mudah dipahami, kalau masih banyak anggota
masyarakat yang belum mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ingin
diberlakukan mengenai tata cara pendaftaran tanah wakaf, maka peraturan itu tidak
akan berjalan efektif. Apalagi masyarakat pedesaan yang tradisional, selama ini sudah
terbiasa dan sangat akrab dengan tatacara yang sederhana dalam berbagai hubungan
di antara mereka. Tidak banyak dibutuhkan banyak prosedur dan bukti tertulis.
Dari pengmatan di lapangan diketahui bahwa pengurusan pengurusan tanah atau
membuat sertifikat tidaklah demikian sederhana, sering setelah bertahun-tahun belum
juga selesai. Sementara mesyarakat menemui kenyataan bahwa setelah beberapa
puluh tahun bahkan secara turun-temurun tanah tertentu mereka miliki, mereka tidak
pernah mengalami kesulitan apa-apa. Mereka merasa bahwa pemilikan tanah dengan
cara seperti itu selama ini cukup "aman". Di sinilah terletak masalah dalam rangka
ingin menjalankan fungsi hukum sebgai sarana pembaruan masyarakat. 29
Maka perlindungan atau pengamanan tanah wakaf suka tidak suka, didahului
dengan penyadaran masyarakat akan urgensi sertifikasi. Proses yang ditempuh bukan
perkara mudah dan cepat, dibutuhkan suatu kerja keras dan panjang. Sengketa tanah
wakaf dengan ahli waris dapat saja terjadi sewaktu-waktu, apalagi dalam masyarakat
yang "melek" hukum. Amat boleh jadi kebiasaan meremehkan sertifikasi akan
berdampak buruk bagi perkembangan pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf.
Dan hal ini
29
te~jadi
dalam tanah wakaf Masjid Jami' al-Istiqomah Desa Cikalong.
Ibid, op cit., h.60.
113
Berdasarkan pasal 12 PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik
menetapkan bahwa penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan
perwakafan tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempal, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan UU No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan
ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila penyelesaian
senketa tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau
pengadilan. Yang dimaksud dengan penyelesaian perselisihan, yaitu yang tertuang
dalam pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA, adalah penyelesaian sengketa
sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah mengenai sah atau tidaknya
perbuatan mewakafkan dan masalah lain yang menyangkut masalah wakaf
berdasarkan syari'at Islam menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 ha! ini dijelaskan pada
pasal 17 ayat ( 1) yang menetapkan bahwa Pengadilan Agama yang mewilayahi wakaf
berkewajiban memeriksa dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah
menurut syari'at Islam antara lain mengenai:
a.
wakaf, wakif, nadzir, ikrar, saksi;
b.
bayyinah (alat bukti administrasi wakaf);
c.
pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf.
Dengan demikian untuk menyelesaikan kasus wakaf yang tidak terdaftar di atas,
jika jalan damai atau penyelesaian non litigasi sudah ditempuh akan tetapi belum
menemukan jalan keluar, maka berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan
114
permasalahan
tersebut
bisa
diselesaikan
melalui
Pengadilan
Agama
yang
membawahinya dengan earn menggali informasi dari para pihak yang terkait dengan
perwakafan itu dan para saksi istifadlah.
Pada akhirnya masalah pendaftaran dan pensertifikatan tanah wakaf bertujuan
untuk melindungi
eksistensi dari
harta Allah,
sehingga diperlukan adanya
keterbukaan semua pihak tentang keadaan dan status tanah wakaf untuk melakukan
upaya yang terencana dan berkesinambungan demi terwujud.nya perlindungan yang
nyata atas tanah wakaf. Dan pada hakekatnya mengurusi masalah tanah wakaf
termasuk perjuangan karena bukan merupakan bidang yang dapat dikomersialkan
sehingga keikhlasan semata-mata beribadah untuk mendapat keridlaan Allah haruslah
dimiliki oleh semua pihak yang terkait dengan perwakafan.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
I.
Dalam pandangan masyarakat desa Cikalong tepatnya pada tanah wakaf
Masjid Jami' Al lstiqomah, praktek perwakafannya, yang secara lisan,
telah sah menurut fiqih, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a) adanya
hubungan kekeluargaan antara waqif dan nadzir sehingga waqif merasa
cukup dengan ikrar lisan saja tanpa bukti-bukti tertulis dalam mewakafkan
tanahnya; b) rasa kepercayaan yang tinggi dari waqif'kepada nadzir untuk
menjaga keutuhan tanah yang diwakafkan, dimana ha! ini dilatarbelakangi
kultur masyarakat saat itu; c) pengetahuan waqif tentang pentingnya
dokumen otentik masih minim karena waqif belum mengetahui aturanaturan yang terdapat dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan
tanah milik dan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf; d) surat-surat
bukti kepemilikan dari tanah yang diwakafkan kurang jelas; e) besamya
biaya
administratif
untuk
mendaftarkan
tanah
wakaf
dan
mensertifikatkannya.
2.
Dalam
kajian hukum Islam para imam madzhab yang empat tidak
menyebutkan keharusan adanya pendaftaran atau pencatatan harta wakaf.
Akan
tetapi
dengan
pertimbangan
argumen-argumen
yang
telah
disebutkan di atas yaitu surat al-Baqarah ayat 282, dan surat an-Nisa ayat
116
59 serta beberapa kaidah-kaidah fiqhiyah, untuk itu tanah wakaf yang
tidak terdaftar status hukumnya adalah tidak sah karena adanya ketentuan
yang menyatakan keharusan pencatatan atau pendaftaran hruia benda
wakaf baik tersurat maupun tersirat. Atas pertimbangan inilah maka status
hukum tanah wakaf yang terdapat di Masjid Jami' al-Istiqomah di Desa
Cikalong adalah tidak sah serta tidak sesuai dengan hukum Islam.
Kemudian menurut hukum positif karena adanya ketentuan keharusan
pendaftaran dan pencatan harta benda wakaf , maka akibat yuridis atau
hukum
tanah
wakaf yang
tidak
terdaftar,
yang
mengakibatkan
ketidakjelasan tanah wakaf tersebut, adalah tidak sah atau batal demi
hukum. Oleh karena itu status kepemilikan tanah wakaf tersebut adalah
milik wakif atau ahli warisnya. Tanah wakaf masjid Jami' Al lstiqomah
yang belum didaftarkan dan belum bersertifikat rnerupakan tanah wakaf
yang tidak jelas secara hukum yang berakibat tidak sah dan batal demi
hukum
sehingga telah mengundang kerawanan dan memudahkan
te1jadinya penyimpangan oleh pihak-pihak yang 1idak bertanggungjawab
dari hakekat hukum dan tujuan perwakafan. Hal ini menunjukkan bahwa
tanah wakaf yang tidak mempunyai surat-surat bukti dan dokumen yang
otentik tidak mempunyai perlindungan dan jaminan hukum yang tegas dan
pasti. Oleh karena itu satu-satunya perlindungan hukum bagi tanah wakaf
yang tidak terdaftar adalah dengan sertifikasi atau mendaftarkan tanah
wakaftersebut pada lembaga yang berwenang.
117
B.
Saran-saran
I.
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan sebagai
penyelenggara
administrasi perwakafan diharapkan mengadakan penyuluhan hukum
secara terpadu mengenai pendaftaran tanah wakaf, sehingga masyarakat
dapat mengerti dan mengetahui prosedur dan tata cara pendaftaran tanah
wakaf, dimana pendaftaran tanah wakaf tersebut sangat penting untuk
menjan1in perlindungan dan kepastian hukum atas tanah-tanah wakaf
dalam keberadaannya sebagai harta milik Allah.
2.
Nadzir harus lebih pro aktif dalam menyelesaikan sengketa wakaf di atas
bersama-sama dengan pengurus masjid dengan cara menempuh jalan
kekeluargaan atau penyelesaian non litigasi.
3.
Solusi yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa wakaf terse but
adalah dengan cara mengumpulkan tanda tangan dari para saksi istifadlah
dalam ha! ini dapat diwakili oleh beberapa sesepuh desa yang mengetahui
dan meyakini bahwa tanah dan bangunan yang disengketakan benar-benar
merupakan wakaf masjid.
Dari
tindakan
ini
diharapkan
D mau
meninggalkan tanah tersebut, sehingga keduanya dapat dikembalikan
kepada tujuan dan fungsi yang sebenarnya sebagai wakaf masjid.
4.
Jika cara di atas tidak menemukan jalan keluar., maka harus ditempuh
penyelesaian
membawahinya
isl !fad/ah.
litigasi
dengan
yaitu
melalui
mengumpulkan
Pengadilan
bukti-bukti
Agama
yang
seperti
saksi
118
5.
Dalam setiap urusan di bidang perwakafan, waqif. nadzir dan para pejabat
yang berwenang seyogyanya benar-benar mentaati peraturan perundangan
yang berlaku, terutama yang menyangkut biaya dan prosedur pengurusan
surat-surat kelengkapan untuk mendaftarkan t:mah wakaf sehingga
menunJang kelancaran proses pendaftaran dan pensertifikatan tanah
wakaf.
119
DAFTAR PUST AKA
Al-Qur 'an Al-Karim
Abdurrahman, 1994, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Waka/
di Negara Kita, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Abidin, Muhammad Amin bin. 1966. Hasyiyah Raad al-Mukhtar. Jilid IV. Mesir:
Musthafa al-Babi aal-Halabi.
Abu Zahrah, Muhammad. 1971. Muhadlarahfi al-Waq/ Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.
Ad-Daruqutny, Ali bin Umar. 1994. Sunan ad-Daruqutny. Jilid II. Beirut: Dar al-Fikr.
Ali Fikri, Sayid. 1938. Al-Mu 'amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah. Juz II. Mesir:
Musthafa al-Babi al-Halabi.
Ali, Atabik, dan Ahmad Zuhdi Mudlor, 1996. Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
Yogyakarta: Yayasan Ali Maaksum Pondok Pesantren Krapyak.
Ali, Muhammad Daud, 1998, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakc;f, Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail. t. th. Shahih Al-Bukhari. Jilid I.
Kairo: Dar Nahr an-Nail.
Al-Alabij, Adijani. 2002. Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori dan Praktek.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Al-Bahuti, Mansur Ibnu Yunus. 1982. Kasy1.yaf al-Qaana 'an Main aal-iqna '. Jilid
IV. Beirut: Dar aal-Fikr.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad. 1352 H. Al-sunan al-Kubra. India: Dairah alMa'rifah al-Usmaniyah.
Al-Naisabury, Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi. 1992. Shahih
Muslim . .Jilid II. Beimt: Dar al-Fikr.
Al-Qozwaini, Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid. 1995. Swwn lbnu Mt;jah. Jilid II.
Beimt: Da al-Fikr.
120
Al-Shan'ani, Muhammad Ibnu Ismail. T. Th. Subul al-Salam. Jilid III. Mesir: M. Ali
Shahib.
Al-Siba'i, Musthafa, 1964. Al-lstirakiyah a/-ls/amiyah. Di1erjemahkan oleh H.A.
Malik Ahmad. Jakarta: CV. Mulia.
Al-Syafi'i, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris. 1990. Al-Umm. Jilid III. Beirut:
Dar al-Fikr.
Al-Syarbini, Muhammad al-Khathib. 1958. Muglmi al-Muhtaj. Mesir: Musthafa alBabi al-Halabi.
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. T. Th. Nail al-Aulhar. Musthafa
al-babi al-Halabi.
Al-Zuhaili, Wahbah, 1989, Al-Fiqh al-lslami wa Adillatuhu, Juz VIII. Damsyik: Dar
al-Fikr.
Ashshofa, Burhan, 1998, Me/ode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.
Ash-shiddiqi, T. M. Has bi. 1978. Hukum-hukum Fikih Islam. Cet. V. Jakarta: Bulan
Bintang.
Basyir, Ahmad Azhar, 1977, Hukum Islam tentang Wal<pf, Jjarah dan Syirkah,
Bandung: Al Ma'arif.
Depag RI, 1979, Al Qur 'an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Pente1jemah/ Penafsir Al Qur' an.
Depag RI, 2006, Peraturan Perundangan Perwakafan, Jakarta: Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam.
Depag RI, 2004, Strategi Pengamanan Tanah Waka/, Jakarta: Dirjen Bimbingan
Masyarakat dan Haji.
Departemen Agama. 1996. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: P.T. lchtiar Barn Van
Boeve.
Djatmika,
Rachmat. 1990. Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia. Dalam
Abdun-ahman Wahid (et. all) Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
121
Djatmika. 1995. Resume Kuliah Pranata Sosial II (Wakaj). Mimeo dihimpun oleh
Arbiyah Lubis. Program PascaSarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Fyzee, Asaf A. A. 1974. Outline of Muhammadan Law. India: Oxford University.
KhalaJ: Abdul Wahab. 1951. Ahkam al-Waqf Mesir: Matba'aah al-Mishr.
Praja, Djuhaya S, 1995, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya, Bandung: Yayasan Piara.
Qal'ah, Muhammad Rawas. 1978. Mausu 'ah Fiqh Umar ibn aal-Khaththab. Beirut:
Dar al-Nafais.
Rahmat, Nasaroeddin. 1964. Harta Wakcif. Jakarta: Bulan Bintang.
Rasyid, Sulaiman, 1964, Fiqh !slam, Jakarta: Yayas<m Al Thahiriyah.
Sabiq, Sayid, 1983, Fiqh Al Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr.
Saekan, Efendi, Erniati, 1997. Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukwn Islam di
Indonesia. Surabaya: Arkola.
Salim, Abdul Muin, 2002, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekua.man Politik Dalam Al-
Quran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakai1a: UI Press.
Sunggono, Bambang, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakef, Jakarta:
CV. Eko Jaya. 2004.
Usman, Muhlish, 1996, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Usman, Suparman, 1994, Hukum Perwakafan di Indonesia, Serang: Dar al - Ulum
Press.
DEPARTEMEN AGAMA RI
UIN SY ARIF HIDAY ATULLAH J.AKARTA
FAKULTAS SYARI'AH J[)AN HUKUM
Telp. (021) 74711537 Fax. (021) 7491821
IL Jr HJuanda No.95 Ciputat 15412 Website : ~~~'·1'i.f.!i1l.J!I.J.\l. Email : [email protected]
Non1or
Lampiran
I-Ia!
: Ft. 43/ KM. 00. 02/ 1961
I
2006
Jakarta, 16 )uni 2006
: Mahon Data/ \,Yawancara
Kepada
Yth. Pengurus Jami ' Al-Istiqomah
Desa Cikalong
Di-
Assaln11111'nlnik11111 Wr.Wb.
Dengan I-format
Pimpinan Fakultas Syariah
Jakarta menerangkan bahvva :
dan
Hukum
UIN
Syarif Hidayatu!lah
· Virka Untrisna
Nd1ni1
. 202043101181
-1 en1pat;·ranggal Lahir
: Ila tang, 22 September 1984
Sen1ester
· VI!! ( Delapan)
j urusan/Prodi
: PMH/PMf
Alamat
: )!.Raya Masid Limpung No. 81 Kee. Limpung JawaTengah
Telepon
: 081584057470
Adalah benar 1nahasiswa Fakultas Syari'ah dan t·Iukun1 UIN Syarif
1-Iidayatullah Jakarta yang sedang 111enyelesaikan
skripsinya dengan
Topik/Judul:
Non1or Pokok
"Aki bat Yuridis Tanah Wakaf Yang Tidak Terdaftar ."
Untuk 1nelengkapi bahan/data yang berkaitan dengan penulisan/pembahasan
topik/judul di atas, din1ohon kiranya Saudara dapat n1en1bantu/ menerirna
yang bersangkutan untuk n1elakukan observasi/ wawancara.
Atas kesediaan bantuan Saudara diucapkan banyak tcriln<i kasih.
Wnss11/an11t 'nlnikun1 Wr. \!\lb.
;;..-~"-'AN
DEWAN KESEJAHTERAAN MASJID (DKM)
MASJID JAMI' AL-ISTIQOMAH
Kampung Cikalong Girang Kee. Cilamaya Wetan Kab. Karawang Jawa Baral
SURAT KETERANGAN
Yang bertanda tangan di bawah ini adalah Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid
(DKM) Majid Jami' al-lstiqomah Cikalong Girang, menerangkan bahwa:
Nama
: VIRKA UNTRISNA
NIM
: 202043101181
Fakultas
: Syari'ah dan Hukum
Jurusan/Prodi : PMH/PMF
Semester
: Vlll
Alamal
: JI. Raya Masjid Limpung No. 81 Ke!. Limpung Kee. Limpung Kab.
Batang Jawa Tengah 51271
Benar-benar telah melakukan penelitian di Masjid Jami' al-lstiqomah Kampung
Cikalong Girang Des. Cikalong Kee. Cilamaya Wetan Kab. Karawang Jawa Baral, mulai
tanggal 8 Juni s/d 26 Juli 2006.
Demikian surat keterangan ini dibuat, harap digunakan sebagaimana semestinya.
Hasil wawancara dengan Ust. Ridwan selaku Ketua Dewan K1esejahteraan Masjid
(DKM) Tanggal 23 Juli 2006
Masjitl Jami' al-lstiqomah me11jadi seperti sekara11g i11i pasti memiliki sejaralz yang
pa11ja11g, terus sejaralz berdiri11ya masjid itu kapa11 Ust.?
Begini, sebelum berbentuk sebuah masjid, sebenarnya hanya berupa tempat shalat atau
yang biasa kita sebut dengan istilah mushala yang sederhana yang dibangun pada tahun
1890 dan pada saat itu berupa bangunan panggung dari kayu dan bmnbu, oleh dua orang,
yaitu: Syekh Talhah bese1ta muridnya Syekh Masmad, yang biasa dipanggil oleh
masyarakat sekitar dengan julukan Buyut Dasih. Mushalla terse but dibangun di alas tanah
milik Syekh Masmad yang kemudian diwakafkan oleh beliau. Se:telah Syekh Masmad
wafat pada tahun 1921, maka menantu beliau Ust. Nurkhatim menggantikan beliau dalam
pengurusan mushalla tersebut.
Kemudia11 perubalza11 penmtuka11 ya11g semula digunaka11 1111tuk mushala menjadi
masjid itu itu tepatnya terjadi kapan?
Nah setelah Syekh Masmad wafat maka menantu beliau Ust. Nurkhatim yang mengurusi
mushala tersebut dan pada tahun 1952 beliau merubah mushala yang tadinya berupa
panggung dan terbuat dari kayu dan bambu menjadi sebuah bangunan permanen dari batu
bata merah, dan pada tahun ini pula terjadi perubahan peruntukan tanah wakaf yang
tadinya untuk mushalla menjadi masjid. Kemudian pada tahun 1994 terjadi perombakan
besar-besaran sampai sekarang oleh pengurus berikutnya.
Sete/alz te1jadi perubalta11 peru11tuka11 ya11g tadi11ya mushala me11jadi masjid
kemudian perkembanga11 se/a11jut11ya sampai 111e11dapatka11 beberapa tanah wakaf
berupa sawah itu bagaimana Ust.?
Begini, dengan adanya perubahan tersebut baik peruntukannya yang semula mushala
menjadi masjid sampai bangunannya yang tadinya dari kayu ke batu bata ini
mendapatkan respon positif dm1 dukungan dari masyarakat. Dan salah satu dukungan
tersebut adalah adanya kesadaran dari masyarakat untuk menyisihkan sebagian tanah
sawah milik mereka untuk diwakafkan guna keperluan masjid. Dengan kata lain, Masjid
Jami' al-Istikomah didirikan dan dibangun atas swadaya masyarakat setempat. Hal ini
terjadi tepatnya tahun 1960 sampai tahun 2002, yang mana beberapa orang kaya di
sekitar masjid mewakafkan sawalmya sebagai penunjang untuk pengelolaan masjid pada
masa berikutnya, dengan perincian sebagai berikut: pada tahun 1960 seluas 3 bau sawah
yang diwakafkan oleh I-I Husnen, pada tahun 1967 seluas 3 bau sawah yang diwakafkan
oleh I-I Usman, pada tahun 1982 seluas %, bau sawah yang diwakafkan oleh H
Abdurrahim, tahun 1990 seluas I bau oleh Hj Rodiah, tahun 1994 seluas 1 bau oleh
Waqifu, dan pada tahun 2000 seluas Y. bau sawah yang diwakafkan oleh I-lj Shopiah,
serta pada tahun 2002 seluas Y2 bau sawah yang diwakafkan oleh Wadarni dengan
demikian, total sawah yang diwakafkan untuk pengelolaan masjid Jami' al-Istiqomah
adalah 9,5 bau'.
Ollya Ust. Kepengurusa11 masjid itu kan biasanya disebut takmi.r tapi di masjid jami'
i11i disebut dengan DKM, sebenarnya DKM itu apa Ust. Apa samn• dengan takmir?
Sebenarnya mungkin istilah tak:mir dengan DKM itu sama saja karena DKM yang
kepanjangannya Dewan Kesejahteraan Masjid adalah sebuah organisasi atau pengurus
yang memelihara masjid tersebut. Dan DKM ini memiliki beberapa divisi, yaitu:
Pertama, Imarah, yang mengurusi kegiatan kerohaniaan, seperti majlis taklim, tadarrusan,
peringatan hari-hari besar Islam. Divisi imarah ini juga mengatur mengenai imam-imam,
pengajar dan khatib Jumat. Kedua, Divisi ri'ayah, yang bertuga:s untuk menjaga atau
memelihara fisik masjid, seperti jika ada pelebaran, kerusakan, dam perawatan bangunan
lainnya. Ketiga, Divisi idaral1, yang bertugas untuk pembukuan keuangan, mencari dana
untuk kepentingan masjid.
Kemudian struktur kepengurusan DKM itu sendiri bagaimana?
Sturtur kepengurusan DKM adalah sebagai berikut: Ketuanya saya sendiri, wakil H.
Damanhuri, Bendahara H. Yadi, Sekretaris Endang Syahidin, Divisi Imarah diketuai H.
Syamsusi dengan anggotanya Ust. Masrudin, Ust. A.Qomarudin dan Ust. Abdurrahim
Affendi, divisi Ri'ayah diketuai H. Dasin dan anggotanya Warsin, Juhrah, Wajnin, Yasin,
sedangkan divisi Idarah diketuai Darkim dan anggotanya Badrudin, Baidowi, dan Nata.
Pada perkembangan se/anjutnya terjadi permasalaha11 pada tanai'z wakaf masjid,
buka11 begitu Usl?
Memang pada masa sekarang ini terjadi pemmsalahan mengenai tanah wakaf tersebut.
Demikian duduk perkaranya, Masjid Jami' al-Istiqomah mengalarni perkembangan dan
perluasan dengan adanya tanah wakaf berupa sawah pada tahun 1960 - 2002 dari
beberapa wakif sebagaimana yang telah saya jelaskan. Adapun DKM-nya pada periode
saat ini yaitu saya sendiri. Sedangkan nadzir, yang mengurusi tanah wakaf berupa tanah
sawah tersebut pada saat ini setelah beberapa periode adalah Ust. Saifuddin yang
notabene adalah juga ahli waris salah seorang wakif tanah sawah tersebut. Kemudian
proses akad yang berlangsung pada saat itu dilaksanakan secara lisan tanpa adanya suratsurat atau dokumen-dokumen resmi sebagai persyaratan wakif kec:uali hanya disaksikan
oleh keluarga dari masing-masing pihak wakif dan nadzir. Setelah beberapa tahun
pemanfaatan obyek tanah wakaf berupa tanah sawah terse but, tepatnya pada tahun 2003,
salah satu tanah sawah diambil oleh Fulan yang nota bene adalah ahli waris dari wakif
tanah sawah tersebut dan paman dari Ust. Saifuddin, nadzir sekarang, dengan dalih
bahwa tanah sawah itu telah diberikan oleh ayahnya, yaitu salah satu wakif tanah wakaf
masjid, kepada Fulan secara hibah.
Ketika terjadi pe11yimpa11ga11 tersebut apa yang Usl lakukan sebagai Ketua DKM?
Ketika terjadi penyimpangan tersebut ya saya selaku DKM mengambil tindakan dengan
memperingatkan Fulan bahwa tanah sawah tersebut adalah wakaf milik Masjid Jami' alIstiqomah. Akan tetapi si Fulan ini tetap bersikeras bahwa tanah sawah tersbut adalah
miliknya. Dan penyimpangan ini terns berjalan sampai sekarang karena tidak adanya
bukti-bukti smat. Ya karena itulah saya hanya bisa memperingatkan Fulan aja.
Apaka/1 tidak ada gejo/ak dari masyarakat me11ge11ai ha! ini?
Ya kalau masyarakat sih sebenamya mengecam perbuatan fulan, tapi ya karena itu lagi
yaitu tidak adanya bukti surat maka ya tanahnya tetap dipegang fulan, ya jadinya
masyarakat cuma bisa membicarakan penyimpangan ini aja tanpa bisa berbuat apa-apa.
Sepengetalzuan Ust. factor-:faktor wakif tidak mendaftarkan tanah wakafnya itu
kenapa?da11 apakalz tidak talw m11ge11ai peraturan perwakafa11 Ust.?
Ya mungkin faktornya adalah kepercayaan wakif kepada nadzir untuk menjaga tanah
wakafnya. Kemudian masalah ketidak mengertian peraturan perwakafan memang hal itu
terjadi ya mungkin juga bukannya tidak mengerti tapi tidak talm. Selain itu kan biayanya
kan besar dan membutuhkan waktu yang lama.
Basil wawancara dengan Ust. Saifuddin selaku nadzir wakaf tanah Masjid Jami'
AI-Istiqomah Tauggal 24 .Juli 2006.
Ust. selaku nadzir pasti mengetaflui mengenai tanafl perwakafan ya11g diperuntukkan
unuk Masjid Jami' al-lstiqomafl, sebetul11ya bermula dari kapa11r dan siapa saja yang
mewakafkan Ust.?
Memang pembangunan masjid itu mendapat respon positif dan dukungan dari
masyarakat. Dan salah satu dukungan tersebut adalah adanya kesadaran dari masyarakat
untuk menyisihkan sebagian tanah sawah milik mereka untuk diwakafkan guna keperluan
masjid .. Hal ini terjadi tepatnya tahun 1960 sampai tahun 2002, beberapa orang yang
mampu Jah ya memberikan sawahnya, perinciannya sebagai berikut: pada tahun 1960
seluas 3 bau sawah oleh H Husnen, pada tahun 1967 seluas 3 bau sawah H Usman, pada
tahun 1982 seluas %, bau sawah oleh H Abdurrahim, tahun 1990 seluas 1 bau oleh Hj
Rodiah, tahun 1994 seluas 1 bau oleh Waqifu, dan pada tahun 2000 seluas •;., bau sawah
yang diwakafkan oleh Hj Shopiah, serta pada tahun 2002 seluas Yz bau sawah yang
diwakafkan oleh Wadami jadi totalnya adalah 9,5 bau', yang sebanding dengan 7,6
hektar. Sementara itu proses akad dilaksanakan secara lisan tanpa adanya surat-surat
kecuali hanya saja disaksikan oleh keluarga dari masing-masing pihak wakif dan nadzir.
Oil ya tugas Ust. selaku nadzir itu seperti apa Usl?dan proses pengangkatannya
bagaima11a?
Ya tugasnya antara lain mengawasi, memelihara, mengatur, mengkontrol tanah wakaf
produktif berupa tanah sawah untuk keperluan masjid. Adapun
pengangkatannya
ditunjuk oleh para wakif atau para ahli waris wakif dihadapan KUA dan MUI setempat.
Oh ya satu lagi kepengurusan nadzir ini tidak termasuk dalam kepengurusan DKM,
hanya saja kedudukannya sejajar untuk kepentingan dan kesejahte:raan Masjid Jami' alIstiqomah.
Jadi struktur kepengurusa1111ya bagaimana Ust.?
Kalau mengenai struktur kepengurusan nadzir sebenmya bukab saya sendiri akan tetapi
saya dibantu oleh empat orang lagi, yaitu Qomaruddin sebagai sekretaris, H. Mulyana
sebagai bendahara, dan anggota lainnya dari kepengurusan nadzir itu ialah Sholeh dan
Fakhrudin. Dan saya yang menunjuk mereka semua untuk membantu dalam mengurusi
tanah wakaf dari berbagai kalangan, seperti ahli wari dari berbagai pihak.
Ka/au mengenai penyimpangan yang terjadi bagaimana Ust.?
Penyimpangan itu terjadi karena salah satu ahli waris wakifmenyatakan bahwa salah satu
tanah itu adalah sudah dihibahkan oleh orangtuanya. Padahal salatt satu ahliwaris itu kita
sebut Fulan aja, adalah paman saya sendiri, ini tepatnya terjadi tahun 2003.
Lantas sikap Usl bagaimana me11glladapi Ila/ tersebut?
Saya pada mulanya hanya membicarakan baik-baik kepada Fulan lantas setelah dia tetap
bersikukuh maka saya peringatkan. Akan tetapi hasilnya sama saja dia tetap pada
pendiriannya bahwa tanah itu miliknya karena sudah dihibahkan oleh orangtuannya. Dan
yang membuat saya tidak dapat berbuat banya adalah karena tidak adanya surat-surat
bukti perwakafan, dan juga diperparah surat-surat bukti kepemilikan dari tanah tersebut
kurang jelas.
Mengetahui,
--, 'vrvJ ~I
C.
/
Saifuddin
Nadzi1r Tanah Wakaf
Masjid Jami' al-Istiqomah
Hasil wawancara dengan Ust. Abdul Hamid Saifuddin sclaku ahli waris tanah
wakaf Masjid Jami' al-Istiqomah Tanggal 8 Juni 2006.
Ust. sebetulnya permasalaltan yang terjadi di Masjid Jami Al-Jstiqomalt seperti apa?
Jadi begini Masjid Jami Al Istiqomah itu memiliki 2 jenis tanah wakaf yaitu tanah wakaf
produktif dan tanah wakaf tidak produktif. Adapun tanah tidak produktif adalah dimana
masjid telah berdiri sedangkan tanah produktif adalah tanah sawah yang totalnya sekitar
9,5 bau atau 7,6 hektar yang mana hasil dari tanah wakaf tersebut digunakan untuk
pengolaan masjid. Dalam perkembangannya setelah para wakif meninggal dunia tanah
wakaf produktif tersebut dikelola oleh ahli warisnya. Hal ini menyebabkan adanya
penyimpangan-penyimpangan tanah sawah tersebut yang mungkin disebabkan oleh
beberapa ahli waris tersebut secara ekonomi kurang mencukupi. Hal ini terjadi kira-kira
tahun 2003. ada salah satu ahli waris mengambil sebagian bi dang tanah yang seharusnya
digunakan untuk masjid, sementara itu DKM dan Nadzir sebagai orang yang mempunyai
tanggung jawab untuk mengurusi masjid dan tanah wakaf hanya mengambil tindakan
hanya sebatas peringatan kepada ahli waris yang mengambil tanah itu bahwa tanah yang
diambil adalah tanah masjid. Akan tetapi, dia tetaqp bersikeras bahwa tanah itu adalah
tanah miliknya yang merupakan hasil hibah dari orangtuanya. Dengan demikian terjadi
Jenyalahgunaan hasil tanah wakaf produktif berupa tanah sawah. Dana yang diperoleh
lari hasil penyewaan hasil tanah tersebut tidak digunakan untuk keperluan masjid tapi
ligunakan untuk kepentingan ahli waris tersebut.
)
Bagaima11a sikap altli waris yang /ai11 me11ge11ai Ital tersebut?
Mengenai sikap ahli waris akan hal ini berbeda-beda. Ada yang memperingatkan tapi
juga ada yang menyerahkan sepenuhnya pada DKM dan Nadzir sehingga dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut ahli waris yang lain tidak ikut campur.
Mengetahui,
Abdul Hamid S ifuddin
Ahli Wa.ris Tanah Wakaf
Masjid Jami' al-Istiqomah
Download