AKIBAT YURIDIS TANAH WAKAF YANG TIDAK TERDAFfAR. (Studi Kasus Tanah Wakaf di Masjid Jami' al-lstiqomah Desa Cikalong Kee. Cilamaya Karawang Jawa Barat) Olch: Virka U ntrisna 202043101181 JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAH DAN HUKUM FAKULTAS SY ARIAH DAN HUKUM UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 M/1428 H AIQBAT TURIDIS T ANAH W AKAF YANG TIDAK TERDAFTAR IStudi Kasus Tanah Wakaf di Masjid Jami' al-Istiqomah Desa Cikalong Kee. Cilamaya Karawang Jawa Bara{) Skripsi diajukan kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum untuk memenuhi syarat-syarat meraih Gelar Sarjana Hukum Islam Oleh Virka Untrisna NIM: 202043101181 Dibawah bimbingan ,>-'-- Dr. H. Ahmad Mukri Adji, M.A NIP: 150.220.544. JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAH DAN HUKUM FAKULTAS SYARI' AH DAN HUKUM UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI :SYARIF HIDA YATULLAH JAKARTA 2007 M/1428 H DAFT AR RIWAY AT HIDUP Nama : Virka Untrisna Tempat/ Tanggal Lahir : Batang, 22 September 1984 Jenis Kelamin : Laki-Laki Agama : Islam Kewarganegaraan : Indonesia Nama Orangtua : Imam Yuwono dan Ade Selawati Alamat : JI. Raya Masjid Limpung No. 81 Kee. Limpung Kab. Batang Jawa Tengah 51271 Tlp./HP : 021 98 688 582 I 085 865 126 888 Pendidikan Formal : l. Tamat SDN 1 Limpung, berijazah tahun 1996 2. Tamat MTs Daruttauhid Malang, berijazah tahun 1999 3. Tamat MA Daruttauhid Malang, berijazah tahun 2002 4. Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari'ah dan Hukum, Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum, Prodi Perbandingan Madzhab Fikih Pendidikan NonFormal Tahun 1996-2002 : Pondok Pesantren (Ponpes) Daruttauhid Malang Tahun 2000 : Sertifikat kursus Komputer di Malang Tahun 2005 : Sertifikat Kursus Bahasa Inggris di LIA Ciputat Pengalaman Organisasi Tahun 2002-2003 : Staf Departemen Kesejahteraan Mahasiswa clan Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ekstensi Fakultas Syari'ah clan Hukurn Tahun 2003-2004 : Menteri Departemen Penelitian clan Pengembangan ( Litbang) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ekstensi Fakultas Syari'ah clan Hukum Tahun 2004-2005 : Koordinator Lembaga Semi Otonom (LSO) Advokasi clan Hukum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ekstensi Fakultas Syari'ah clan Hukurn KATA PENGANTAR Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam Allah SWT yang telah memberikan kepada kita nikmat iman, Islam, dan ihsan serta nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga skripsi ini clapat diselesaikan sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Saw. beserta keluarga dan shahabatnya yang telah mengeluarkan ummatnya dari jaman jahiliyah menuju jaman ilmiah dan karena beliaulah sehingga ummatnya dapat membedakan yang hak dan yang bathil. Amma ba 'du. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menemukan hambatan yang tidaklah sedikit. Namun berkat bantuan, dorongan serta dukungan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tidak terhingga kepada berbagai pihak sebagai berikut : I. Papah dan mamah penulis, kepada beliau berdua secara khusus penulis persembahkan terima kasih, penghargaan dan penghormatan yang setinggitingginya atas pendidikan dan do'a yang i{ereka,~~:ikan. Jasa kalian tidak akan Jl -, )f/;p?,._,,_ '"""""'"· ,___ -- pernah bisa dibalas seumur hidup f!l1'~~~ :·apapu?:;?leh penulis. Penulis persembahkan skripsi ini untuk beliau berdua dan penulis doakan semoga Allah selalu mengampuni segala dosa-dosa dan memberikan rasa kasih sayang-Nya kepada beliau berdua di dunia dan di akhirat nanti. Pe,nulis berharap semoga mendapatkan ridho dari beliau berdua sehingga penulis juga mendapatkan ridho dari Allah SWT karena ridho Allah itu di dalam keridhoan orang tua. Dan sebuah harapan pula yang teramat penting dalam kehidupan penulis adalah penulis bisa membahagiakan beliau berdua. Amin ya Robbal 'aalamiin. 2. Ayah dan bunda Dina, yang selalu memberi doa dan motivasi di saat penulis dalam keadaan di mana penulis mengalami suatu titik kejenuhan yang tinggi sewaktu penulisan skripsi ini . .Jazakumullah khairon katsiro, semoga Allah membalas kebaikan beliau berdua dengan kebaikan pula yang berlipat ganda. 3. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma,S.H.,M.A. ,M.M. selaku Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum lJIN SyarifHidayatullah .Jakarta. 4. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, M.A. selaku Ketua Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum yang juga merangkap sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan kesabaran, kearifan, ketulusan hati, serta kecermatan dalam memberikan bimbingan, dorongan, arahan, serta saran-saran yang sangat berarti kepada penulis untuk perbaikan skripsi ini menjadi lebih baik. 5. Bapak Ridwan, selaku Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-Istiqomal1 Ds. Cikalong Kee. Cilamaya Kab. Karawang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di lingkungan wewenang beliau. 6. Ust. Abdul Hamid Saifuddin, MA. selaku salah satu ahli waris tanah wakaf Masjid Jami' al-Istiqonah dan selaku salah seorang ustadz penulis sendiri sewaktu nyantri di Pondok Pesantren Daruttauhid Malang, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi yang sangat penulis butuhkan ketika penulisan skripsi ini. 7. Bapak dan ibu dosen Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum yang dengan ketekunan dan kepiawaiannya telah mendidik penulis selama berada di bangku kuliah serta seluruh staf akademik Fakultas Syari'ah dan Hukum yang sangat besar peranannya bagi penulis. 8. Secara khusus penulis sampaikan penghargaan dan terirna kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada Dina tercinta, yang telah memberikan dorongan, semangat, do' a, dan pengorbanan. 9. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah melalui hari-hari bersama di bangku kuliah (bukan Bangku Kosong kayak film horor itu lho .. hh he ... he ... he ... ) selama ini terutama Nurul al-Betawi, Wiwi al-Padangi, Mbac Yati yang sibuk ngurusin rumah, Pijol alias Hafiz Ali orok skuter sejati , Bakhruzal alias Ki Mantep Rijal Banget selaku paranormal/ penasehat spiritual/ psikiater di kawasan mojang Kampung Syari'ah dan Hukum khususnya dan makhluk bumi pada umumnya, Fatwa Ginting wong Medan Asli eeiihh. I 0. Sahabat-sahabat LOK (tebak sendiri aja kepanjangannya) Muammar yang ngepalain, Reza nyang tukang nyatet n ngomel2 sndri, Angga nyang tukang bawa duit, Hendra nyang tukang sibuk sendiri, Adi nyang tukang ngamen, Igo nyang tukang nembak awewek, Epul nyang tukang diem seribu bahasa tapi sarat makna, dan grombolan yang lain yang tidak bisa disebutkan di sini 11. Rekan-rekan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan perhatian, dorongan, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi Im. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, maka kritik yang positif dan membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya semoga Allah SWT. selalu melindungi mereka dan memberikan balasan terhadap semua pihak yang penulis sebutkan di alas, serta pihak-pihak yang belurn sernpat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan mahasiswa Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada khususnya Jakarta, November 2006 Penulis Virka Untrisna DAFT AR ISi LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI DAFTAR RIW A YA T HID UP ...................................................................................... .i KAT A PEN GANT AR ................................................................................................. .iii DAFT AR ISl ............................................................................................................... vii BABIPENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 9 C. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 9 D. Kegunaan Penelitian ....................................................................................... 9 E. Metode Penelitian ........................................................................................ l 0 F. Sistematika Pembahasan ............................................................................... 13 BAB II PERWAKAFAN DALAM PANDANGAN ISLAM A. Pengertian Wakaf.......................................................................................... 15 B. Dasar dan Hukum Wakaf.............................................................................. 18 C. Rukun dan Syarat Wakaf.............................................................................. 22 D. Macam-Macam Wakaf. ............................................................................... .38 E. Nadzir dan Kedudukannya dalam Wakaf.................................................... .43 F. Kedudukan atau Status Pemilikan Harta Wakaf........................................... 56 BAB III PER W AKAF AN DALAM HUKUM POSITIF A. Pengertian Wakaf.......................................................................................... 65 B. Dasar Hukum Wakaf.................................................................................... 66 C. Tujuan, Fungsi, Unsur, dan Syarat Wakaf.. .................................................. 71 D. Pendaftaran dan Pengununan Harta Benda Wakaf....................................... 80 E. Perubahan Status Harta Benda Wakaf.. ......................................................... 82 F. Pengelolaan dan Pengembangan Haiia Benda Wakaf.. ................................ 83 BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISlS HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Masjid Jami' al-Istiqomah .............................................. 85 B. Faktor Penyebab Waq({Melakukan Wakaf Yang Tidak Terdaftar. ............. 91 C. Akibat Yuridis Dan Perlindungan Hukum Bagi Tanah WakafYang Tidak Terdaftar.. ................................................... 96 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................................. 115 B. Saran-Saran ................................................................................................. 117 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 119 LAMP IRAN-LAMP IRAN BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wakaf yang terambil dari kata kerja bahasa Arab waqafa, menurut bahasa berarti menahan atau berhenti. Dalam istilah hukum Islam wakaf ialah suatu perbuatan hukum dari seseorangyang dengan sengaja memisahkan atau mengeluarkan harta bendanya yang digunakan manfaatnya bagi keperluan dijalan Allah atau dalam jalan kebaikan. 1 Sedangkan menurut peraturan perwakafan yang terbaru yaitu: Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, di dalam pasal 1, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Sebagai institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan masalah sosial ekonomi, wakaf telah dilaksanakan oleh umat Islam dari periode awal, di masa Rasulullah. Adapun pelaksanaan wakaf yang pertama dalam Islam adalah wakaf yang dilaksanakan oleh sahabat Umar bin Khattab terhadap tanalmya di Khaibar. Menurut Imam Syafi'i, sesudah pelaksanaan wakaf Umar tersebut, ada sekitar 80 orang sahabat yang ikut mewakafkan hartanya. 2 1 Supannan Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Serang: Dar al-Ulum Pre4ss, 1994), h.26 2 Sulaiman Rasyid, Fiqif Islam, (Jakarta: Yayasan at-Thahiriyah, 1976), h.324. < >-! 2 Dari uraian di atas, terlihat adanya perhatian dan semangat yang begitu besar dari umat Islam periode awal untuk melestarikan dan mengembangkan wakaf. Hal ini tidak lain karena al Qur'an dan Hadis secara tegas dan jelas telah mensyari'atkan wakaf. Lebih lanjut, A.A. Basyir memberikan klasifikasi tentartg dasar hukum wakaf, yaitu pertama, dasar umum berupa ayat-ayat al Qur'an yang memerintahkan manusia untuk berbuat baik demi kepentingan masyarakat, misalnya surat al Hajj(22) ayat 77, surat al Baqarah (2) ayat 261 dan surat Ali Imran (3) ayat 92, kedua, dasar khusus adalah hadis Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar r.a. yang menceritakan tentang pelaksanaan wakaf oleh sahabat Umar dan hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a. yang mengemukakan bahwa seorang manusia yang meninggal dunia akan berhenti semua amal perbuatannya, kecuali pahala tiga anmlan, yaitu I) shadaqahjariyah, 2) ilmu yang bermanfaat, dan 3)doa anak saleh. 3 Dilihat dari penggunaan/tujuan wakaf, ada 2 kategori wakaf, yaitu wakaf khusus/wakaf keluarga/wakaf ahly/wakaf dzuny/wakaf 'ala al au/ad dan wakaf umum/wakaf khairy. Wakaf khusus adalah wakaf yang diperw1tukkan khusus kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga wakif atau bukan. 4 Wakaf untuk keluarga ini secara hukum dibenarkan berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan 3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Waka/, Ijarah dan Syirkah, (Bandung al-Ma'arif, 1977), h. 5-7. 4 Abdurrahman, Masa/ah Perwakafan Tanah Mi/ik dan Kedudukan Tanah Waka/ di Negara Kita, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 1994), h. 59. Lihatjuga Muhammad Daud Ali, op. Cit.,h.89. 3 oleh Bukhari-Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. 5 Pada perkembangan selanjutnya wakaf dzurry ini dianggap kurang dapat memberikru1 manfaat bagi kesejahteraan umum karena sering menimbulkan kekaburan dalrun pengelolaan dan pemanfaatan oleh keluarga yang diserahi harta wakaf ini. Sekalipun agama lslrun membolehkan wakaf dzurry ini, namun beberapa negara yang pemah melaksanakannya sepe1ti Mesir, Syiria, Turki, Maroko dan Aljazair menghapus pranata wakaf dzuny dengan pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah wakaf bentuk ini tidak produktif dan kesulitan-kesulitan di kemudian hari dalam menyelesaikan perkara atau persoalan yang timbul karenanya. Mesir misalnya, menghapuskan pranata wakaf ini dengan Undang-undang No. I 80 tahun 1952, dimana Syria telah menghapusnya sebelum itu. Sedangkan di Indonesia, PP No.28 tahun 1977 secara tegas menyatakan bahwa keluarga tidak tcrmasuk dalrun ruang lingkupnya. 6 Jenis wakaf yang kedua adalah wakaf khairy, artinya wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum (limashalih al ummah). Dasar hukum dari wakaf khairy ini adalah hadis Nabi yang menceritakan wakaf sahabat Umar bin Khattab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu dan hrunba sahaya yang sedang berusaha menebus 5 Suparman Usman, op.cit. h.35 '' Abdurrahman,op.cil.,h.60. lihat juga Ahmad Azhar Basyir,opcit,,h.14. lihat juga Suparman Usman, op.cil, h.35. 4 dirinya. Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya, yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan, dan lain-lain. 7 Dalam kasus wakaf khairy ini, menurut jumhur ulama, ketika diikrarkan harus ada nadzimya. Dalam hal ini, wakif dapat menentukan siapa nadzir yang dikehendaki. Apabila wakif tidak menentukan nadzimya, maka hakimlah yang menentukan. Hukum perwakafan di Indonesia pada dasamya adalah sebuah pranata hukum yang unik sekaligus rwnit, karena mungkin tidak ada di Indonesia ini suatu pranata hukum yang dalam waktu bersamaan secara serentak diatur oleh berbagai ketentuan hukum yang berasal dari berbagai subsistem hukum sebagaimana halnya dengan pranata wakaf ini. Akibatnya, keberadaannya perlu untuk dilihat secara sedemikian rupa dan dapat mengundang perbedaan pendapat yang cukup tajam tergantung dari sudut mana kita memandangnya. 8 Wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara telah dimanifestasikan dalam peraturan perundang-undangan sejak tahun 1905, walaupun masih terbatas pada perwakafan tanah yang termasuk di dalarnnya masjid dan rumah-nunah suci. Peraturan-peraturan tersebut masih berlaku hingga pendudukan Jepang dan di masa Republik. Pada tanggal 24 September 1960, diundangkan peraturan pertanahan yang 7 Suparman Usman, op. cit., h.36 8 Abdurrahman, op.cit., h. l. 5 dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960. UUPA Bab XI pasal 49 ayat 3 mengenai masalab pertanahan menyatakan babwa: perwakafan tanab milik diatur dengan peraturan pemerintab. Oleh karena itu, labirlab Peraturan Pemerintab (PP) Nomor 28 tabun 1977 pada tanggal 17 Mei 1977 tentang Perwakafan Tanab Milik. Pasal 17 PP No.28 tabun l 977 menyatakan babwa peraturan yang disusun pada masa Hindia Belanda dihapuskan. Sebagai tindak lanjut PP No.28 tahun 1977, dikeluarkanlab beberapa peraturan sebagai berikut : I. Peraturan pelaksanaan PP No.28/1977 yang diatur oleh Peraturan Menteri Agama No. I tabun 1978. 2. lnstruksi Bersama Menteri Agama dengan Menteri Dalam Negeri No. I tahun 1978. 3. Keputusan Menteri Agama No.73 tabun 1978 tentang pendelegasian wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala KUA sebagai PPAIW. 4. lnstruksi Menteri Agama No.3 tabun 1978 tentang petunjuk pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No.73 tahun 1978. 5. Instruksi Menteri Agama No.3 tahun 1978 tentang bimbingan dan pembinaan kepada badan hukum keagamaan yang memiliki tanab. 6. lnstruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 tabun 1990/No.24 tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanab Wakaf. 6 7. Berbagai Surat Keputusan dan Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji yang berkenaan dengan perwakafan. 8. Kompilasi Hukum Islam yang disosialisasikan dengan Inpres No.I Tahun 1991. 9 9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Namun demikian, dalam operasional di lapangan masih ditemukan masalahmasalah yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait secara terkoordinasi, seperti permasalahan tentang tanah wakaf yang tidak terdaftar. Dalam pelaksanaan wakaf, temyata ketentuan-ketentuan administratif dalam PP No.28 Tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam, dan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf belum sepenuhnya mendapat perhatian masyarakat pada umumnya, dan khususnya pihak yang berwakaf. Pada diri wakif yang amat menonjol adalah sisi ibadah dari praktek wakaf. Oleh karena itu, wakiftidak merasa perlu untuk dicatat atau diadministrasikan. Dengan demikian, perwakafan itu dilakukan atas dasar keikhlasan dan keridloan semata serta menurut tata cara adat setempat tanpa didukung data otentik dan suratsurat keterangan, sehingga secara yuridis administratif status wakaf banyak yang tidak jelas. Dalam kondisi di mana nilai dan penggunaan tanah semakin besar dan meluas seperti sekarang ini, maka tanah wakaf yang tidak jelas secarn hukum tersebut, telah 9 Muhammad Daud Ali, op.cit.,h.127-128 7 banyak mengundang kerawanan dan memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat hukum dan tujuan perwakafan, sepe1ti adanya tanah wakaf yang tidak lagi diketahui keadaannya, adanya tanah wakaf yang seolah-olah tdah menjadi milik ahli waris wakif atau nadzirnya, adanya sengketa dan gugatan terhadap tanah-tanah wakaf dan berbagai kasus tanah wakaf lainnya. Salah satunya adalah kasus tanah wakaf yang tidak terdaftar yang terjadi di Masjid Jami al-Istiqomah Desa Cikalong Karawang Jawa Baral. Masjid Jami' al-Istiqomah memiliki dua jenis tanah wakaf, yaitu tanah waqaf produktif dan tidak produktif, adapun tanah tidak produktif adalah di mana ma~jid dan majlis talim saat ini telah berdiri. Sedangkan tanah produktif adalah berupa tanah sawah seluas 9,5 bau' atau sebanding dengan 7,6 hektar, yang mana hasil dari tanah tersebut digunakan untuk kepentingan pengelolaan masjid seperti renovasi, menggaji para imam shalat, penjaga dan pengurus masjid, bayar listrik, kegiatan hari besar Islam (peringatan Maulid Nabi, lsra' Mi'raj) dan keperluan lainnya. Dalam perkembangannya setelah para wakif meninggal dunia, tanah wakaf produktif tersebut dikelola oleh para ahli warisnya. Hal ini menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan penggunaan hasil dari tanah sawah tersebut mengingat tidak adanya orang dari luar keluarga selain juga bawa ahl:i waris tersebut secara ekonomi kurang mencukupi. Masjid al-Istiqomah Desa Cikarang Kee. Cilamaya Karawang. Hal ini berawal ketika pada tahun 1890 dibangun di atas tanah wakafsebuah mushola kemudian pada tahun 1952 dirubal1 peruntukannya yang semula untuk mushola menjadi masjid. 8 Pembangunan masjid tersebut mendapat respon positif dan dukungan dari masyarakat. Salab satu manifestasi dari dukungan tersebut adalab adanya kesadaran dari masyarakat untuk menyisihkan sebagian tanab sawah milik mereka untuk diwakafkan guna keperluan masjid. Dengan kata lain, Masjid Jami' al-Istiqomab didirikan dan dibangun atas swadaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi tepatnya pada tahun 1960-2002, A (para wakij) mewakafkan tanah sawab untuk kepentingan masjid kepada B (Dewan Kesejabteraan Masjid) dan dipercayakan kepada C (nadzir) secara lisan tanpa adanya surat-surat atau dokumen resmi sebagai persyaratan wakaf. Tanab sawab tersebut adalab sebagai penunjang untuk pengelolaan masjid pada masa berikutnya. Pada perkembangannya ada di antara abli waris kira-kira tabun 2003 mengambil sebagian bidang tanab yang seharusnya dipergunakan untuk masjid. Sementara itu nadzir sebagai orang yang mempunyai tangungjawab untuk menjaga dan memelihara keutuhan benda wakafhanya mengambil tindakan sebatas peringatan kepada D (salah satu dari abli waris tersebut) babwa tanab yang ditempati adalab tanab wakaf masjid. Sedangkan D tetap bersikeras bahwa tanah itu adalah tanah miliknya. Keunikan dalam kasus ini adalab adanya hubungan kekerabatan antara A, B, C dan D. Dengan demikian te~jadi penyalabgunaan basil tanah wakaf produktif berupa tanah sawab. Dana yang diperoleh dari hasil penyewaan sawab tersebut tidak seluruhnya digunakan untuk keperluan masjid tapi digunakan untuk keperluan keluarga abli waris tersebut. Hal ini terjadi selain karena semua wakaf itu dikelola oleh abli waris wakif juga karena tidak terdaftarnya perwakafan ini. 9 Berdasarkan urman di atas, maka penelitian tentang Akibat Yuridis Tana/1 Waktif Yang Tidak Terdajtar dengan mengambil Jokasi penelitian di Masjid Jami' al-Istiqomah Desa Cikalong Kee. Cilamaya Karawang Jawa Barat penting untuk dilakukan. B. Rumusan Masalah Bertitik tolak pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: I. Apakah yang menyebabkan wakifmelakukan wakafyang tidak terdaftar? 2. Bagaimana akibat yuridis dan perlindungan hukum bagi tanah wakaf yang tidak terdaftar? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dua hal pokok sebagai berikut: I. Ingin mendiskripsikan hal-hal yang menyebabkan wakif melakukan wakaf yang tidak terdaftar. 2. Ingin mendiskripsikan akibat yuridis dan perlindw1gan hukum bagi tanah wakaf yang tidak terdaftar. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memiliki sekurang-kurangnya tiga kegunaan, sebagai berikut: I. Bagi pengurus masjid, sebagai masukan dan alternatif solusi dalam mengelola clan menyelesaikan problematika wakaf yang tidak terdaftar. IO 2. Dapat menjadi bahan perbandingan bagi masyarakat pada umwnnya dalam memahan1i pentingnya mengadakan praktek wakaf sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum positif tentang wakaf. 3. Dapat dijadikan salah satu bahan kajian bagi peneliti berikutnya yang lebih mendalam untuk memperkaya dan membandingkan temuan-temuan dalam bidang ini. E. Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini meliputi: I. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan • manusia. JO Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok, institusi atau masyarakat tertentu tentang latar belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor, atau interaksi··interaksi (sosial) yang terjadi di dalanmya. 11 Studi kasus merupakan suatu gambaran hasil penelitian '° Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, h. 20. 11 Bambang Sunggona, Metodologi Penelitian Hukum, h.36. 11 yang mendalam dan lengkap, sehingga dalam infonnasi yang disampaikan tampak hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk . kan peranannya. 12 memam 2. Lokasi Penelitian Masjid Jami' al-Istiqomah Desa Cikalong Kee. Cilamaya Karawang Jawa Baral. 3. Sumber Data a. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat. 13 Data ini meliputi hasil interview dengan ahli waris wakif; nadzir, pengurus Masjid Jami' al-lstiqomah dan beberapa saksi istifadlah. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. 14 Data b. ini terdiri dari PP No. 28 Tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang No. 41 Tentang Wakaf, pendapat ulama seputar wakaf, hasil penelitian tentang wakaf, dan lain-lain. 4. Prosedur Pengumpulan Data Dalam upaya pengumpulan data yang diperluk1m, digunakan metode sebagai berikut: a. Metode Observasi 12 Burhan Ashshofa, op.cit.h.21. 13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Huku1n, h. 51. 14 Ibid, h. 51. 12 Metode observasi bertujuan untuk mendiskripsikan setting, kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat di dalam kegiatan, waktu kegiatan dan makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati tentang peristiwa yang bersangkutan. 15 Metode ini digunakan untuk mengungkapkan data yang berkaitan dengan pihak-pihak, waktu terjadinya dan hal-hal lain yang berhubungan dengan wakaf yang tidak terdaftar. b. Metode Wawancara/lnterview Metode interview ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang kronologis kejadian wakaf yang tidak terdaftar, hal-hal yang menyebabkan wakif melakukan wakaf yang tidak terdaftar, akibat yuridis dan perlindungan hukum bagi benda wakaf yang ticlak terdaftar. c. Metode Dokumenter Dalam penelitian ini, metode dokumenter digunakan untuk mencari dan mengungkapkan data yang belum diperok:h dari observasi dan interview. 5. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Teknik analisis deskriptif kualitatif digw1akan untuk menuturkan, 15 Burhan Ashshofa, op.cit.,h. 58. 13 menafsirkan serta menguraikan data yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari observasi, wawancara/interview dan dokumenter. F. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: Babl PENDAHULUAN Bab ini merupakan pengantar untuk dapat menjawab pertanyaan apa yang diteliti, mengapa, bagaimana dan untuk apa penelitian ini dilakukan. Oleh karen itu, bab ini terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan. Bab II PERWAKAFAN DALAM PANDANGAN ISLAM Bab ini adalah pisau analisis yang berisi teori-teori mengenai perwakafan. Dalam bab ini diungkapkan tentang: Pengertian Wakaf Menurut, Dasar Hukum Wakaf, Dasar Hukum Wakaf, Rukun dan :Syarat Wakaf, Macammacam Wakaf, Nadzir dan Kedudukannya dalam Wakaf, Kedudukan atau Status Kepemilikan Harta Wakaf. Bab Ill PERWAKAF AN DALAM HUKUM POSITIF Bab ini berisi mengenai teori-teori perwakafan dalam hukum positif. Dalam bab ini diungkapkan tentang: Pengertian Wakaf, Dasar Hukum Wakaf, Tujuan, Fungsi, Unsur, dan Syarat Wakaf, Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf, Perubahan Status Harta Benda Wakaf, Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf. 14 Bab IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS 1-IASIL PENELliTIAN Bab ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu deskripsi obyek penelitian dan jawaban dari permasalahan penelitian. Dalam bab ini diuraikan tentang: Gambaran Umum Masjid Jami' al-Istiqomah, Faktor Penyebab Wakif Melakukan WakafYang Tidak Terdaftar, Akibat Ywrisdis dan Perlindwngan 1-Iukum Bagi Benda WakafYang Tidak Terdaftar. Bab V PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat dua ha! pokok, yaitu: Kesimpulan dan Saran-saran. BAB II PERWAKAFAN DALAM PANDANGAN ISLAM A. Pengertian Wakaf Perkataan waqf yang dalam bahasa Indonesia menjadi wakaf berasal dari bahasa Arab waafa-yaqifu-waqfan, berdiam di tempat, atau menahan. 1 Pengertian "berhenti" ini jika dihubungkan dengan ilmu baca al-Quran atau ilmu tajwid mengandung makna menghentikan bacaan baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas sementara, dari mana harus di mulai dan di mana harus berhenti. Pengertian wakaf dalam arti "berdiam di tempat" dikaitkan dengan wukuf yaitu berdiam di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Adapun pengertian "menahan" (sesuatu) dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksucl dengan wakaf dalam pembahasan ini. Wakaf adalah menahan sesuatu benda tmtuk cliambil manfaatnya sesuai clengan ajaran Islam. 2 Kata waqafa-yaqifu-waqfan di dalam kepustakaan ba1hasa Arab merupakan sinonim dari kata habasa-yahbisu-habsan. Term wakaf digunakan di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, seclangakan istilah habs biasanya dipergunakan di Afrika Utara di kalangan pengikut madzhab Maliki. 3 1 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h.2033. 2 Muhammad Daud Ali, op.cit., h.80. 3 lbid. 16 Adapun pengertian wakaf secara tenninologi sangat beragam di kalangan fuqaha. Berikut ini beberapa pengertian wakaf yang dikemukakan oleh imam-imam madzhab. I. Imam Abu Hanifah mendefinisikan wakaf adalah: "Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukurn tetap milik wakif dalam rangka merpergunakan manfaatnya untuk kebaikan". 4 Berdasarkan definisi ini maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari tangan wakifbahkan ia dibenarkan menariknya kembali clan boleh menjualnya. 2. Pengertian wakafmenurut Imam Malik, yaitu: "Wakaf adalah seorang pemilik yang memperuntukkan manfaat harta benda miliknya baik berupa sewa maupun hasi.lnya untuk diserahkan kepada pihak yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang berwakaf'. 5 Definisi madzhab Maliki ini mengandung arti bahwa pemilik haita menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pernberian manfaat benda yang diwakafkan itu sedangkan benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif. Masa berlakunya bukan untuk selama-larnanya melainkan hanya untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif ketika mengucapkan 4 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Jslami Wa Adillatuh, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1989), juz VIII, 5 ibid. h.153. 17 sighat wakafuya, dan karenanya tidak disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya). 3. Golongan Syafi' iyab mendefinisikan wakaf sebagai berikut: "Wakaf adalab menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang, dan barang itu lepas dari milik wakif serta dimanfaatkan untuk sesuatu yang diperbolehkan agmna". 6 4. Adapun madzhab Hanbali mendefinisikan wakaf sebagai berikut: "Wakaf adalah menahan kebebasan pemilik harta benda dalam membelanjakan hartanya yang bem1anfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan manfaatnya digunakan untuk suatu kebaikan dalarn rangka mendekatkan diri kepada Allab". 7 Menurut madzhab Syafi'i dan Hanbali ini, hak pemilikan atas harta wakaf itu sudab lepas dari orang yang berwakaf dan telah menjadi milik Allah swt. Dengan demikian bersifat kekal, selama harta tetap utuh. Suatu wakaf tidak boleh bersifat sementara dan ditarik kembali. Demikianlab beberapa pengertian wakaf yang dikemukakan oleh imamimam madzhab. Pada dasamya definisi-definisi tersebut mempunyai intisari yang serupa babwa wakaf adalab menaban harta yang dimanfaatkan untuk 6 Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mug/mi al-Muhtaj, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1968), juz II, h.376. 7 Sayyid Ali Fikri, Al-Muamalah Al-Madiyah Wa Al-Adabiyah, (Mesir: Musthafa a-Babi AlHalabi, 1938), h. 312. 18 kebaikan. Perbedaanya hanya terletak pada masalah status harta wakaf, apakah tetap menjadi milik Allah yang tidak boleh lagi dimilki oleh siapapun. B. Dasar dan Hukum Wakaf Para ulama sepakat bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk amal kebajikan dalam ajaran Islam. Wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah SWT. melalui harta benda miliknya yaitu dengan mele:paskan benda tersebut guna kepentingan umum atau masyarakat. 8 Sebagai ibadah yaing tel ah disyari 'atkan, masalh wakaf ini tentu mempunyai dasar hukum baik al-Qur'an, as-Sunnah, maupun ijma' sahabat. Berikut ini adalah uraian tentang dasar hukun1 wakafyang dimaksud. L Dasar hukum dari al-Qur'an Meskipun tidak jelas dan tegas wakaf disebutkan dalam al-Qur'an, namun beberapa ayat yang memerintahkan menusia berbuat baik untuk kebaikan masyarakat dipandang oleh para ahli sebagai landasan perwakafan. 9 Dari beberapa ayat yang dapat dijadikan dasar hukum perwakafan antara lain: "Kamu sekali-kali be/um sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menqflwhkan sebagian dari hart a yang kamu cintai ". (QS: 3(Ali Imran):92). 8 Supannan Usman, op.cit.,h. 32. 9 Muhammad Daud Ali, op.cit.,h. 80. 19 "Hai orang-orang yang beriman, najkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari usahamu yang baik-baik". (QS.2( Al-Baqarah):267) Beberapa ayat di atas walaupun secara eksplisit tidak langsung menunjuk kepada wakaf, tetapi para ulama menjadikannya sebagai sandaran dari perwakafan berdasarkan pemahaman serta adanya isyarat tentang ha! tersebut. Setidak-tidaknya mereka berpendapat bahwa wakaf tidak bertentangan dengan semangat ayat di atas. Bila al-Qur'an menganjurkan agar manusia berbuat baik melalui sebagian hartanya., maka wakaf adalah salah satu dari realisasi ajaran alQur'an tersebut. 2. Dasar hukum dari al-Sunnah Di samping beberapa ayat di atas, masalah wakaf ini oleh para ulama juga didasarkan dari berbagai hadits Nabi. Di antara hadits Nabi yang dijadikan sandaran wakaf antara lain: uL.i';ll -:..iL> l~J: Jl9 4..1 _9C~ e;-IL::. ..ll 3 ) F-9 .yk. .&1 ~ .&1 J_,...,_) ul ;;Y-Y> ~l UC. ~ ~ rlc ) ~.)I.:;.. :u~ ~ LY> 'il 4..1...c ~l I 0 ( ("L,.,.. oI3.)) "Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. Bersabda: "Apabila manusia meninggal dunia maka putus/ah pahala segala amalnya kecua/i tiga hal yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, a/au anak yang shaleh yang slalu mendoakannya ".(HR. Muslim). 0 Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyary al-Nisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992),juz II, h.70. ' 20 Imam Muslim meletakkan hadits ini dalam bah wakaf karena kebanyakan ahli fikih menahsirkan istilah sedekah jariyah dengan wakaf. 11 Selain hadits di atas terdapat hadits lain yang juga clijadikan landasan yang kuat dalam masalah wakaf ini, yaitu: .y.b .&I ~ ~I ~\j ~ L....a) ye yL..:il: Jjj ye LHJ l.JC JL., y.....:.I rJ~ L..aj ,-'."cl ~J .&I Jy.o)-:1: Jw ~ oy~ rLJ 4L:>I ,-,., t" t.::..U..:;, ul Ju ~ ~ ~yl.:iw, .u.. i..; .:llc ud.il .JA .hl W_J~'} J t ~ '} J41-ai t ~'} 4..i\ ye 4-! J~.d:i.i Jjj, 4-! d~J ~~J yU)I ~J ts.1Yl1 ~J ,,.\_fall~ ye J.~ Jjj. y14~'1J wJyi-Jl: ~ JS\-:i ul 4,JlJ ~ ~J c~'l. ~~ll J J:H...JI LHIJ .&I 12 (~)..l!IJ ~ 0 \J-J) Jy>'..1.4 Y.f:- ~~A JI ·'Dari Jbnu Umar ra. berkata: Umar mempunyai sebidang tanah di Khaibar, !au ia datang kepada Nabi saw, untuk meminta nasihat tentang harta itu seraya berkata: 'Ya Rasulul/ah, sesungguhnya aku telah mendapat sebidang tanah di Khaibar yang aku be/um pernah memperoleh tanah sebaik itu. Apa nasehatmu untukku tentang tanah itu ? " Rasul/ah bersabda: "Jika engkau mau tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya ". Jbnu Umar berkata: "Maka Umar mewakajkan harta itu dengan arti bahwa tanah itu tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Umar menyedahkan. Umar menyedekahkan hasil harta untuk orang fakir, kepada kerabat, kepada budak, fl sabllillah, dan para tamu. Tidaklah berdosa orang yang mengurusinya memakan sebagian dari harta itu secara wajar dan tidak bermaksud mencari kekayaan (HR. Muslim dan ad-Daruqutny). 11 12 lbnu Ismail al-Shan'any, Subul Al-Salam, (Mesir: M. Ali. Shahib, t.th), juz Ill, h. 115. Imam Muslim, foe. cit. Lihat juga Ali bin Umar ad-Damqutniy, Sunan ad-Daruqutny, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jilid 2, h. 94. 21 Pada hadits ini secara lebih khusus menceritakan tentang wakaf, dan apa yang dilakukan Umar tersebut merupakan peristiwa perwakafan yang pertama dalam sejarah Islam. 13 Hadits yang lainnya adalah: "Dari Anas ra. dia berka/a: "ketika Rasulullah saw. datang di Madinah dan memerinlahkan unluk membangun masjid, beliau berkala : "Wahai Bani Najjar, apakah kamu hendak menjual kebunmu ini?" lvfereka menjawab: "Demi Allah, kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah ta 'ala. Maksudnya agar Rasu/lah megambllnya dan membangun masjid". (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Nasai). Dikabarkan bahwa Bani Najjar membangun bersama-sama dinding sebuah masjid dan memberikannya (mewakafkannya) untuk kepcntingan umum. 15 3. ljma' sahabat Selain berdasarkan kepada al-Qur'an dan hadits, perwakafan juga didasarkan kepada ijma' sahabat. Dalam hal ini Jabir berkata: 13 Wahbah al-Zuhaili, op. cit. h. 157. 14 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo:Dar Nahr anNail, t.th.), jilid I, h.86. 15 Rahmat Djatnika, Resume Kuliah Pranata Sosial II (Wakaj), dihimpun Arbiyah Lubis, tidak diterbitkan, Program Pascasarjana IAIN SyarifHidayatullah Jakarta, 1985, !t. 78. 22 :Uk seorangpun dari sahabat Rasulullah yang mempunyai harta melainkan ia wakajkan hartanya itu ". Perkataan Jabir ini menunjukan bahwa wakaf merupakan ajaran Islam yang telah dipraktekkan oleh para sahabat. Demikianlah kiranya dapat disimpulkan bahwa masalah wakaf mempunyai dasar hukum dari al-Qur'an, asSunnah, serta ijma' sahabat. Itulah yang menjadi landasan utama disyari'atkannya wakaf dalam agama Islam. C. Rukun dan Syarat Wakaf Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai wakaf dan perbedaan itu tercermin dalam perumusan mereka, namun mereka sependapat bahwa untuk pembenlukan lembaga wakaf diperlukan rukun 17 dan syarat. Wakaf sebagai suatu lembaga Islam tentu juga mempunyai rukun. Tanpa adanya rukun yang telah ditetapkan wakaf tidak dapat berdiri. Mengenai jumlah rukun terdapat perbedaan di kalangan fukaha. Menurut madzhab Hanafi rukun wakaf hanya satu yaitu shigha/ 8 , sedangkan qabul (pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk rukun wakaf bagi ulama madzhab Hanafi, karena menurut mereka akad wakaf tidak bersifat mengikat. Artinya apabila seseorang mengatakan "saya 16 Mansur lbnu Yunus al-Bahuti, Kasyaf a/-Qana' 'an Main al-lqna ', Ji lid IV, (Beirut: Dar alFikri, 1982), h.240. 17 Muhammad Daud Ali, op.cit., h.90. 18 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 159. 23 wakafkan harta saya kepada anda", maka akad itu sah dengan sendirinya dan orang yang diberi wakafberhak alas manfaat benda wakafitu. 19 Adapun menurul jumhur ulama, yaitu dari kalangan madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, bahwa rukun wakaf ada empa120 , yaitu: I. Orang yang berwakaf alau wakif yaitu pemilik harta benda yang melakukan tindakan hukum. 2. Harta yang diwakafkan atau mauqufbih sebagai obyek perbualan hukum. 3. Tujuan wakaf alau yang berhak menerima hasi:I wakaf yang disebul maiquf 'a/aih, dan 4. Pemyalaan wakaf dari wakifyang disebul shighat ai:au ikrar wakaf. Masing-masing rukun di alas harus memenuhi syarat-syarat yang disepakati oleh sebagian besar ulama. Penjelasan masing-masing unsur wakaf di alas adalah se bagm. ben.kut21 : I. Wakif dan syaral-syaralnya Orang yang mewakafkan hartm1ya disyaratkan cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum di sini meliputi empal kriteri.a: 19 Depag RI., lac.cit. 20 Abdul Wahab Khallaf, Ahkam al-Waqf, (Mesir: Ma'tabah a-Mishr, 1951), h. 24. 21 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 176-177. 24 a. Merdeka. Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak atau hamba sahaya tidak sah. Karena wakaf adalah pelepasan hak milik dengan cara menyerahkan hak milik itu kepada pihak lain. Sedangakan budak tidak mempunyai hak milik, dirinya dim apa yang dimilinya adalah kepunyaan tuannya. Demikian juga tidak sah mewakafkan milik orang lain atau wakafuya seorang pencuri atas harta curiannya. b. Berakal sehat/sempurna. Wakafyang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz, dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan hukwn lainnya. Demikian pula wakafnya orang dungu (idiot), berubah aka! karena faktor usia, sakit atau kecelakaan hukwnnya tidak sah. Syarat-syarat ini ditetapkan karena setiap prilaku ekonomi -termasuk wakaf-, memerlukan keharusan aka! sehat dan dengan pertimbangan yang sehat pula. c. Baligh/cukup umur, karena baligh menurnt para ulama merupakan indikasi sempurnanya aka! seseorang. Untuk kecakapan bertindak melakukan tabarru' (melepaskan hak tanpa mengharap imbalan) termasuk pula wakaf- diperlukan kematangan pertimbangan aka! seseorang (rasyid) yang dianggap telah ada pada orang yang telah baligh. Oleh karena itu wakaf tidak sah bila dilakukan oleh anak kecil/ belum baligh karena ia dipandang belum cakap melakukan akad danjuga belum cakap untuk menggugurkan hak miliknya. 25 d. Orang yang berwakaf itu harus berfikir jemih dan tenang, tidak tertekan karena bodoh, bangkrnt, atau lalai, walaupun wakaf tersebut dilakaukan melalui seorang wali. 22 2. Benda yang diwakafkan dan syarat-syaratnya Agar harta benda yang diwakafkan sah, maka hams memenuhi syarat- syarat tertentu. Dalam syarat-syarat harta yang diwakafkan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut madzhab Hanafi, syarat harta yang diwakafkan adalah sebagai berikut: a. Barang yang diwakafkan itu harus bemilai harta menurut syara', oleh sebab itu minumam keras tidak bisa diwakafkan karena minuman keras dan sejenisnya tidak tergolong harta dalam pandangan syara'. Mereka juga berpendapat bahwa pada dasarnya benda yang dapat diwakafkan adalah benda tidak bergerak, karena obyek wakaf itu harus memungkinkan dapat bersifat tetap dimanfaatkan terns 'ain ( dzat)nya menerus. yang Menurut golongan Hanafiyah benda bergerak dapat diwakafkan dalam beberapa kondisi. 1) Hendaknya benda itu selalu rnenyertai benda tetap dan ha! ini ada dua macam: 22 Ibid 26 a) Hubungan sangat erat dengan benda tetap, seperti bangunan dan pohon-pohon. Menurut mereka bangunan dan pohon-pohonan adalah tennasuk benda bergerak yang tergantung pada benda tidak bergerak. b) Sesuatu yang khusus disediakan untuk kepentingan benda tetap misalnya alat untuk memb:tjak atau lembu yang digunakan untuk bekerja. 2) Kebolehan benda bergerak itu berdasarkan atsar yang memperbolehkan wakaf senjata, baju perang, dan binatangbinatang yang digunakan untuk berperang. 3) Wakaf benda bergerak itu mendatangkan pengetahuan dan merupakan sesuatu yang sudah biasa dilakukan berdasarkan 'urf misalnya mewakafkan kitab-kitab dim mushaf. 23 b. Barang yang diwakafkan itu harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf. Yang dimaksud di sini adalah bahwa benda tersebut harus tegas dan jelas, baik kejelasan menyangkut ukuran seperti mewakafkan I 000 m 2 tanah, maupun kejelasan lokasi dan jumlah. Jadi tidak boleh mewakafkan suatu barang yang tidak jelas, sebab ketidakjelasan itu dapat mengarah kepada terjadinya pertikaian, yang harus dihindari terjadinya pada benda wakaf. 23 Muhammad Abu Zahrah, Muhad/aratfi al-Waqf, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1971),h. 103. 27 c. Barang yang diwakafkan itu betul-betul milik penub bagi orang yang mewakafkannya, karena wakaf itu menggugurkan hak milik dengan cara tabarru ', maka haruslah barang yang diwakafkan itu betul-betul sebagai hak milik orang yang berwakaf. Oleh karenanya jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum menjadi miliknya walaupun nantinya akan jadi mililmya, hukumnya tidak sah, sebab pemilikan benda yang diwakafkan terjadi sebelum te1jadinya akad wakaf. d. Barang yang diwakafkan harus sudah dibagi, tidak lagi sebagai barang kongsi dengan orang lain jika barang itu memang dapat dibagi (sebab penerimaan alas barang yang diwakafkan adalah syarat bolehnya wakaf, sedangkan harta kongsi itu menghalangi penerimaan tersebut). Sebab pada barang atau harta kongsi tersebut masih terkait hak orang lain pada harta itu. 24 Ulama madzhab Maliki mensyaratkan agar benda yang diwakafkan harus milik sendiri secara penuh, tidak terdapat hak orang lain pada harta tersebut. Di samping itu barang tersebut harus tertentu dan jelas se:perti diberi batas atau ukuran yang jelas, jumlah yang jelas, dan sebagainya. 01.eh karena itu tidak sah hukumnya mewakafkan benda yang tidak diketahui atau tidak jelas jumlah dan ukuran atau batasnya, misalnya mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, 24 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 184. 28 sejwnlah buku, atau salah satu dari rumahnya, dan sebagainya. Demikian juga tidak boleh mewakafkan barang yang sedang digadai atau disewakan. Adapun jika seseorang bermaksud untuk mewakafkan barang itu setalah masa gadainya atau masa sewanya berlalu, maka wakafnya sah. 25 Selain itu madzhab Maliki juga mensyaratkan agar benda yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan, baik berupa benda tetap maupun benda bergerak, untuk selamanya ataujangka waktu tertentu. 26 Madzhab Maliki juga menyatakan membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan dan mewakafkan makanan, uang, dan benda tidak bergerak lainnya, berdasarkan hadits27 : J (.SW\ o\ 3_>) ~ yJ J.t.-,J ~\ ~\ : F J .!.;)kc .Ji\ ~ ~\ JU 28 ( "4--l.. 011 "Nabi bersabda: 'Tahan/ah bendanya dan wakafkanla.h hasi/nya '". (HR. AlNasai dan Jbnu Majah) Ulama madzhab Syafi'i dan Hanbali mensyaratkan benda yang akan diwakafkan harus berupa benda yang jelas dan hak milik sah. Persyaratan ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak bagi mustahiq 25 Ibid, h. 187. 26 Ali Fikri, op.cit., h. 307. 27 Wahbah al-Zuhaili, op.cil., h.169. 28 Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qozwaini, Sunan lbnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jilid 2, h.5. 29 untuk kemanfaatan benda wakaf tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan dan permasalahan yang mungkin timbul di kemudian hari setelah harta tersebut diwakafkan. Syarat ini telah disepakati oleh para fuqaha, mereka juga mensyaratkan agar benda yang diwakafkan itu dapat menghasilkan manfaat yang bersifat langgeng serta harus disalurkan kepada ha! yang diperbolehkan oleh syara' .29 Mengenai wakaf benda bergerak kalangan Syafi'iyah berpendapat bahwa barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya baik berupa barang tidak bergerak, barang bergerak, maupun barang kongsi. 30 Adapun menurut Hanabilah barang yang dijual belikan, barang yang bermanfaat secara mubah sedang dzat barangnya kekal sah pula untuk diwalcafkan. 31 Seperti dijelaskan pada pengertian wakaf pada bagian terdahulu, sebagian fuqal1a menekankan bahwa barang yang diwakatkan harus bersifat "kekal" atau paling tidak dapat bertahan lama. Pandangan seperti ini merupakan konsekuensi logis dari konsep bahwa wakaf adalah sedekah jariyah. Sebagai sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir, sudah barang tentu barang yang diwakatkan harus berupa barang yang fisiknya bersifat kekal atau bertahan lama. Namun demikian jumhur ulama justru lebih menekankan pada aspek manfaatnya bukan sifat fisiknya. Ulama Syafi'iyah misalnya membolehka:n wakaf barang secara 29 M. Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Turats al-Arabi, Uh), h. 277. 30 Ibid, h. 276. 31 Ali Fikri, op.cit., h. 313. 30 umum apakah bersifat kekal atau sementara, oleh karena itu mereka menetapkan kebolehan dan sahnya mewakafkan binatang, perabotan, dan sejenisnya walaupun kekekalan fisiknya tidak pasti. Jadi pada dasarnya semua barang yang bermanfaat boleh diwakafkan, adapun sifat fisik barang bukanlah sesuatu yang prinsipil. Memang barang yang sifat fisiknya dapat tahan lama, apalagi bisa kekal akan lebih baik agar pahalanya tetap kekal pula. 3. Mauquf 'alaih atau tujuan wakaf dan syarat-syaratnya Mauquf 'alaih atau penerima wakaf ialah orang atau lembaga yang menerima harta wakaf. Dalam hubungan dengan tujuan wakaf ini perlu dikemukakan bahwa tujuan wakaf yang sesungguhnya adalah mengharapkan ridla dari Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Mauquf 'a/aih atau tujuan haruslah untuk kebajikan yang termasuk dalam bidang qurbat kepada Allah. Yang dimaksud kebajikan di sini adalah kebajikan yang didasarkan taat kepada Allah, sedangkan syarat qurbat adalah men-tasharruf-kan wakafkepada mauquf 'alaih yang sesuai dengan ketentuan Allah, misalnya wakaf kepada fakir miskin, ulama, keluarga, atau untuk kepentingan ummn lainnya seperti masjid, tern pat min um um urn, jembatan, jalan, dan lain-lain. 32 32 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 193. 31 4. Shighat wakaf dan syarat-syaratnya. Shighat wakaf adalah pernyataan wakif yang mempakan tanda, baik ucapan, isyarat, atau tulisan dari seorang wakif untuk menyatakan kehendaknya yaitu mewakatkan hartanya. Para fuqaha telah menetapkan bahwa shighat, sebagaimana rukun wakaf yang lain- juga hams memenuhi beberapa syarat. Adapaun syarat-syarat yang berkaitan dengan shighat adalah 33 : a. Shighat wakaf hams mengandung pernyataa11 yang berarti bahwa wakaf itu bersifat kekal (al-ta 'bid). Menumt jumhur ulama wakaf tidak sah apabila dibatasi waktunya atau hanya bersifat sementara. Adapaun madzhab Maliki tidak mensyaratkan selamanya dalam wakaf, boleh hanya dalam waktu tertentu, sehingga apabila habis masanya, wakif bisa mewakafkan kembali hartanya kepada orang lain yang membutuhkannya. b. Shighat hams mengandung arti yang jelas dan tegas, lafal shighat tidak boleh terkait dengan syarat tertentu atau masa yang akan datang, karena akad wakaf mengandung ketentuan pemindahan milik pada saat akad berlangsung, kecuali madzhab Maliki yang membolehkan wakaf yang dikaitkan dengan syarat, penangguhan realisasi wakaf pada masa yang telah ditetapkan oleh wakif. 33 Ibid, h.198. 32 c. Shighat wakaf tidak boleh dengan syarat yang membatalkan yaitu yang bertentangan dengan tabiat wakaf itu sendiri. Namun menurut madzhab Maliki apabila syarat itu justru memperbaiki harta wakaf, maka syarat yang demikian dianggap sah, demikian juga wakafnya. d. Shighat wakaf harus mengandung kepastian artinya bahwa suatu wakaf tidak boleh diikuti oleh syarat kebebasan memilih seperti mewakafkan sesuatu dengan syarat ia boleh rnemilikinya atau orang lain boleh menjualnya kapan saja bila dikehendaki. e. Ulama Syafi'iyah menambahkan, shighat wakaf harus mengandung penjelasan tempat atau tujuan wakaf. Artinya seseorang yang berwakaf harus menjelaskan kemana dan untuk siapa atau untuk apa wakaf itu diberikan. 34 Para ulama fiqih terutama para imam madzhab yang empat tidak mencantumkan keharusan pencatatan sighat wakaftersebut dalam definisi dan syaratsyaratnya. Hal ini berarti tidak adanya keharusan pencatatan dalam sighat wakaf tersebut dalam pandangan mereka. Akan tetapi dalam keadaan sekarang ini yaitu perselisihan dalam perwakafan, maka kita harus meninjau foman Allah SWT, yaitu: 34 Ibid. h. 204-210. 33 "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu 'amalah yang tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. " (QS. 2 (al-Baqarah): 282). Ayat ini menegaskan bahwa ada keharusan mencatat transaksi mu'amalah seperti jual beli, hutang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya. Hal ini bertujuan untuk menjaga harta benda dari adanya penyelewengan, persengketam1, atau kealpaan pada kemudian hari. Adapun wakaf adalah sebagai institusi keagan1aan yang erat hubungannya dengan masalah sosial ekonomi dan kepentingan masyarakat banyak, maka harus dicatat pula. Walaupun secara eksplisit ayat ini tidak menegaskan mengenai keharusan mencatat wakaf, akan tetapi jika melihat pada kondisi sekarang ini akan kerawanan harta benda wakaf yang tidak memiliki bukti tulis, maka ayat ini bisa dijadikan sandaran untuk pencatatan harta benda wakaf agar terhindar dari adanya penyelewengan, persengketaan, ataupun kealpaan pada kemudian hari. Kemudian kalau kita mernnJau dalam qowaidul fiqhiyyah maka kita akan menemukan beberapa kaidah yang secara tersirat mendukung untuk adanya keharusan pencatatan sighat wakaf ini yaitu : a. "Kemudharatan harus dihilangkan ". 35 35 Muslih Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) h. 132 34 b. "Menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan ". 36 Penyelewengan, persengketaan, ataupun kealpaan yang bisa datang di kemudian hari yang terjadi dalam perwakafan banyak diakiba1kan oleh tidak adanya bukti tertulis dari sighat wakaf. Hal ini adalah suatu kemudharatan atau kerusakan karena wakaf yang seharusnya pemanfaatannya digunakan untuk umat manusia dan hak kepemilikannya berpindah kepada Allah SWT telah hilang atau berpindah kepada orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, pencatatan sighat wakaf adalah untuk menolak kerusakan dan mendatangkan kemashlahatan. c. • ,o,.' ,a )', 'I o..Juw A "Ada/ kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum ". 37 Jumhur ulama mengidentikkan term 'adah dengan 'urufkeduanya mempunyai arti yang sama. Namun sebagian fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya mendefinisikan 'adah dengan: "Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan dilakukan secara terus menerus ". 36 Ibid, h. 143. 37 Ibid, h. 140 35 Sedangkan 'uruf adalah: ·Unrf adalah suatu (perbuatan) yang jiwa merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan aka/ sehat dan diterima oleh tabiat sejahtera ". 38 Menurut pengertian di atas, maka 'adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan aka! sehat. Sya.rat ini menunjukkan bahwa 'adah tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat. b. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat. c. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Quran maupun asSunnah. d. Tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan dengan jiwa dan aka! sejahtera. 39 Dengan demikian pencatatan sighat wakaf sesuai dengan 'adah karena telah memenuhj syarat. Pertarna, pencatatan adalah suatu perbuatan yang logis dan relevan dengan aka! sehat. Kedua, pencatatan adalah perbuatan yang dilakukan berulang kali 38 Ibid, h. 141 39 Ibid, h. 142 36 terutama mengenai urusan mu'amalah atau perkara apapun yang kemudian hari bisa mengakibatkan persengketaan. Ketiga, pencatatan tidak bertentangan dengan ketentuan nash, bahkan al-Quran menganjurkannya seperti dalam surat al-Baqarah ayat 282. Keempat, pencatatan tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera, bahkan pencatatan ini mendatangkan kemaslahatan. Kemudian ada satu ayat lagi yang bisa dijadikan landasan mengenai keharusan pencatatan sighat wakaf yaitu: ~ ~\ ~31 :., J;uiy1 1#1 3 :ilil l'.J~bl \~\ 0.l~l~y (o'l:i/;:.WI) "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati pula Rasul-Nya dan Ulil amri dari kamu ... "(OS. 4(an-Nisa '):59) Dalam ayat ini Allal1 SWT membahas mengenai perintah-Nya agar orang beriman mentaati Allah, Rasul-Nya dan Ulil amri. Sebagian 11lama mengemukakan bahwa hubungan ayat di atas dengan ayat sebelumnya bertumpu pada hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Menurut pendapat ini, ayat pertan1a ditujukan kepada para pejabat agar menunaikan amanat dan memerintah denga adil, sedang dalam ayat kedua ini terdapat perintah agar rakyat mentaati Allah, Rasul-Nya dan pemerintah. Pendapat semacam ini dikemukakan antara lain oleh al-Zamakhsyari dan al-Qurthubi. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-Maraghi. Ia tidak memandang ayat-ayat tersebut bersifat khusus yang ditujukan pada pemerintah atau 37 rakyat semata, tetapi bersifat umum. Ini berarti ayat itu tidak saja ditujukan kepada rakyat, tetapi juga kepada pejabat pemerintah. 40 Hal ini juga berarti bahwa firman Allah SWT yang dibahas tidak hanya mengandung kewajiban taat kepada Rasul SAW dan Ulil amri, tetapi juga menjadi dasar keberadaan kekuasaan politik yang dimiliki pemerintah dan keabsahannya. Keabsahan ulil amri mengandung makna bahwa hukum-hukum dan kebijaksanaan politik yang mereka putuskan, sepanjang ha! itu tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, mempunyai kekuatan yang mengikat seluruh rakyat. Karena itu seluruh rakyat yang menjadi subyek hukum wajib menaatinya. Keberadaan hukum ini, di samping hukum Tuhan, sebagai hukum positif memperlihatkan wajah dari tata-hukum yang menjadi bagian dari sistem politik dan pemerintahan yang dikenal dalam al-Quran 41 Adapun mengenai permasalahan wakaf, pemerintah atau ulil amri sendiri telah memberikan peraturan yang jelas dan di antara peraturan tersebut dicantumkan adanya kewajiban untuk pencatatan sigbat wakaf. Oleh karena itu kita wajib menaatinya karena peraturan mengenai pencatatan sighat wakaf tidaklah bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Hal ini berakibat pada tidak sahnya perwakafan jika tidak disertai dengan catatan yang prosedurnya sesuai dengan peraturan ulil amri atau pemerintah. "'Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Da/am Al-Quran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 3, h. 218 41 Ibid, h. 235. 38 D. Macam-Macam Wakaf Sayid Sabiq membagi wakaf dilihat dari segi pengguna atau yang menfaatkan banda wakaf, menjadi dua macam. Ada kalanya untuk anak c1ucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang miskin. Wakaf demikian itu disebut wakaf ahli atau wakaf dzurri (keluarga) dan kadang-!kadang pula wakaf itu diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf khairi (kebajikan). 42 Dengan demikian bisa dikatakan bahwa wakaf ahli adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan lingkungan keluarga ai:au famili dan kerabat sendiri. Jadi yang menikmati manfaat benda wakaf ini terbatas kepada yang termasuk golongan kerabat sesuai dengan ikrar yang dikehendaki wakif. l. Wakaf Ahli Wakaf secara hukum dibenarkan berdasarkan hadits Nabi tentang wakaf keluarga yang dilakukan oleh Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. 43 Dalam wakaf ahli, wakif boleh menyerahkan wakaf (pemanfaatan wakaf) kepada keluarga yang menjadi tanggungannya selama mereka masih hidup. Hal ini dilakukan untuk mencegah mereka dari kekurangan dalan1 memenuhi hidupnya. Perbuatan demikian adalah perbuatan yang suci, dan menurut Rasulullah memberikan kepada yang membutuhkan lebih baik dari pada 42 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kuwait: Dar al-Bayan, 1971),jilid Ill, h. 378. 43 Suparman Usman, op.cit., h.35. 39 memberikan (harta wakat) itu kepada fakir miskin yang bukan keluarga. 44 Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: "Dan dari Salman bin Amir, dari Nabi saw. Bersabda: 'Sedekah kepada orang msKin berarti satu sedekah. tetapi kepada kerabat mempzmyai nilai ganda yakni sedekah dan silaturrahmi ". (HR. Ahmad, Jbnu Jv.(ajah, dan Tirmidzi). 45 Pada umumnya ulama menganggap sah kepada keluarga wakif, demikian pula ulama Malikiyah. Adapun yang menjadi dasar hukum oleh para ulama adalah praktek perwakafan yang dilakukan oleh para sahabat, antara lain 46 : a. Umar bin Khaththab ra. Telah memberikan wakafnya kepada orangorang fakir, dzu al-qurba, untuk memerdekakan budak, untuk berjuang di jalan Allah, untuk tamu, dan untuk orang yang kehabisan bekal di jalan. Yang dimaksud dengan dzu al-qurba adalah keluarga, baik yang kaya maupun yang miskin, ahli waris maupun bukan, karena kata dzu al-qurba bersifat umum dan mencakup keluarga keseluruhan. b. Zubair bin Awwam telah mewakafkan rumahnya kepada anakanaknya. 44 Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Mohammadan law, (Delhi: Oxford Unifersity Press, 1974), h.303-304. 199. 45 Al-Syaukani, op.cit., h. 31. 46 Muhammad Abu Zahrah, Muhadlarahfi al-Waqf, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1971), h. 198- 40 c. Abu Thalhah telah mewakafkan hartanya untuk keluarga dan anakanak pamannya. d. Ustman bin Affan mewakafkan hartanya di Khaibar kepada )fan bin Usman. e. Zaid bin Tsabit telah mewakafkan rumahnya kepada anak dan keturunannya. Pada perkembangan selanjutnya wakaf ahli dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf, lebih-lebih kalau keturunan keluarga tersebtu sudah berlangsung sampai pada anak cucu. 47 Untuk lebih kongkritnya bisa kita lihat dalam fakta sejarah bahwa di beberapa negara yang mayoritas penduduknya bergama Islam seperti di negara-negara Timur Tengah, wakaf ahli ini setelah berlangsung puluhan tahun lamanya banyak menimbulkan masalah, terutama kalau wakaf keluarga itu berupa tnah pertanian. Maksud semula sama dengan wakaf umum yaitu umtuk berbuat baik kepada orang lain dalam rangka pelaksanaan amal kebajikan menurut ajaran Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun kamudian terjadilah penyalahgunaan misalnya menjadikan wakaf keluarga itu sebagai alat untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan kepada ahli waris yang berhak menerimanya setelah 47 Supannan Usman, op.cit., h. 35. 41 wakif meninggal dunia. Begitu juga wakaf keluarga ini dijadikan alat untuk mengelakkan tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh seseorang, sebelum ia mewakalkan hartanya itu. Oleh karena itu di beberapa negara karena penyalahguanan tersebut wakaf keluarga ini kemudian dibatasi bahkan dihapuskan. Pada tahun 1952 wakaf ahli ini dihapuskan di Mesir. Demikian juga di beberapa negara lain seperti Turki, Maroko, Aljazair. Benda wakaf untuk keluarga telah dihapuskan karena pertimbangan dari berbagai segi, benda wakaf yang demikian tidak produktif dan praktek-praktek penyimpangan yang terjadi tidak sesuai dengan ajaran agama lslam. 4 & 2. Wakaf Khairi Jenis wakaf yang kedua adalah wakaf khairi atau wakaf umum, yaitu wakaf yang tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, tetapi kepada obyek kebajikan yang bersifat umum. Kebajikan pada dasarnya berarti taat kepada Allah, bila kebajikan itu dijadikan sebagai syarat dalam tujuan wakaf maka berarti wakaf ini harus ditujukan seperti kepada fakir mi skin, yatim piatu, para ulama, atau kepada sesuatu bukan manusia seperti masjid, sekolah, panti asuhan, rumah sakit, jalan, jembatan, dan sebagainya. Semua wakaf yang demikian adalah semata-mata untuk laqarrub/mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa wakaf juga sah sekalipun segi pendekatan diri kepada Allah tidak kelihatan seperti berwakaf kepada '" Nazaroeddin Rahmat, Har/a Waka/, (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), h, 60. 42 orang kaya, kaum dzimmi, dan orang fasik. 49 Dalam wakaf yang ditujukan kepada obyek yang bersifat umum ini menurut ulama Syafi'iyah tidak diharuskan adanya penerimaan (qabul) secara khusus. Jumhur ulama termasuk Imam Abu Yusuf mengatakan bahwa apabila penerimaan wakaf tidak tertentu seperti masjid telah hancur, sekolah telah rusak maka otomatis harta wakaf itu menjadi milik fakir miskin sekalipun di dalam akad tidak disebutkan. Ulama madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali sepakat membolehkan apabila penerima wakaf sudah tidak ada lagi maka harta wakaf dikemba1ikan kepada keluarga terdekat wakif yang miskin dengan pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini ulama madzhab Syafi 'i dan Hanbali berpendapat bahwa sekalipllll harta diserahkan kepada keluarga terdekat wakif yang miskin, namun tidak berarti bahwa fakir miskin yang bukan kerabat wakif tidak berhak atas harta wakaf t1~rsebut. 50 Dalam kenyataannya, wakaf khairi inilah yang merupakan salah satu segi dari cara pemanfaatan harta di jalan Allah. Tentllllya bila dilihat dari segi kemanfaatannya wakaf khari ini merupakan salah satu upaya untuk mensejahterakan masyarakat umum demi kepentingan kemanusiaan atau 49 Ibid. 50 Depag RI. op.cit., h. 1907. 43 kepentingan umum, tidak hanya keluarga tertentu saja. 51 Wakaf khairi inilah wakaf yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. E. Nadzir dan Kedudukannya Dalam Wakaf Nadzir wakaf adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf. 52 Pada umumnya di dalam kitab-kitab fiqih tidak dicantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf. Ini dapat dipahami karena wakaf adalah ibadah tabarru '. Namun demikian memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari benda wakaf maka kehadiran nadzir sangat diperlukan. Terutama agar harta wakaf itu berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung teru:; menerus, maka harta wakaf itu harus dijaga, dipelihara, dan jika mungkin dikembangakan. Dilihat dari tugas nadzir di mana ia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan, dan melestarikan manfaat dari harta wakaf, maka jelas bahwa berfungsi atau tidaknya suatu perwakafan antara lain juga ditentukan oleh keberadaan nadzir. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nadzir sebagai salah satu rukun wakaf namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nadzir wakaf (pengawas wakaf) baik nadzir tersebut wakif sendiri mauquf 'alaih atau pihak lain. Bahkan ada kemungkinan nadzimya terdiri dari dua pihak yakni wakif dan mauquf 'alaihnya. 53 51 Suparman Usman, op.cit., h. 36. " Mohammad Daud Ali, op. cit., h. 91. 53 Wahbah al-Zuhaili, op.cit. h. 231. 44 Dalam praktek, sahabat Umar bin Khaththab ketika mewakafkan tanahnya, beliau sendirilah yang bertindak sebagai nadzir semasa hidupnya. Sepeninggalnya pengelolaan wakaf diserahkan kepada putrinya Hafshah. Setelah itu ditangani oleh Abdullah bin Umar, kemudian keluarga Umar yang lain, dan seternsnya berdasarkan wasiat Umar. 54 Pengangkatan nadzir ini tampaknya ditujukan agar harta wakaf tetap terjaga dan te1U1Us segingga harta wakaf itu tidak sia-sia. Pada umumnya ulama membahas masalah nadzir ini dari beberapa segi, yaitu: 1. Orang yang berhak menjadi nadzir, 2. Syarat-syarat nadzir, dan 3. Hak dan kewajiban nadzir. I. Orang yang berhak menjadi nadzir Menurnt golongan Hanafiyah penunjukan nadzir mernpakan hak wakif. Wakif bisa mengangkat dirinya sendiri sebagai naclzir, jika wakif tidak menunjuk dirinya untuk menjadi nadzir atau menunjuk orang lain, maka yang berhak menjadi nadzir adalah orang yang diberi wasiat (jika ada) dan jika tidak ada maka yang berhak menunjuk nadzir adalah hakim. 55 Abdul Wahab Khallaf juga menyebutkan bahwa menurut Abu Yusuf (pengikut madzhab Hanafi) orang yang paling berhak menentukan nadzir adalah wakif, dengan alasan bahwa wakif adalah orang yang paling dekat dengan hartanya. Wakif tentunya berharap agar harta yang diwakafkan itu bermanfaat 54 Muhammad Rawas Qal'ah, Mausu 'ah Fiqh Umar lbn a/-Khauab, (Beirut: Dar al-Nafa1;,, 1989), h. 878. 55 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 231. 45 terus menerus. Dengan demikian sebenarnya dialah yang paling mengetahui orang yang mampu mengurus dan memelihara harta yang diwakafkan. 56 Menurut Abu Yusuf apabila wakif meninggal dan tatkala ia hidup tidak menjelaskan kepada siapa wakaf itu dikuasakan maka yang menentukan masalah nadzir adalah hakim, karena menurutnya hakirn adalah pejabat yang berwenang untuk membelanjakan harta wakaf apabila wakif tidak dapat lagi mengurusi harta wakaf. Tetapi menurut Imam Muhammad Hasan Al-Syaibani bahwa apabila wakif tidak menunjuk nadzir wakaf pada waktu ikrar wakaf, maka yang berhak mengangkat nadzir adalah mauquf 'alaih. Menurutnya nadzir bekerja bukan mewakili wakiftetapi mewakili mauquf 'alaih. 57 Golongan Malikiyah juga berpendapat bahwa orang yang berhak mengangkat nadzir adalah wakif. Namun demikian Malik menolak wakif untuk rnenguasai harta wakaf yang ia wakafkan. Jika wakif menunjuk dan mengangkat dirinya untuk menjadi nadzir, ha! ini seakan-akan ia mewakafkan untuk dirinya. Sedangkan golongan Malikiyah berpendapat bahwa wakif tidak boleh mengambil hasil benda yang diwakafkan. Menurut Jbnu Baththal, waktu yang lama akan memungkinkan wakif lupa terhadap harta yang diwakafkan dan apabila ia jatuh rniskin kemungkinan ia akan membelanjakan untuk dirinya sendiri. Di samping itu jika ia meninggal, ada kemungkinan ahli warisnya 56 Abdul Wahab Khallaf, op.cit., h. 216 57 Ibid. 46 membelanjakan harta wakaf itu untuk keperluan mereka sendiri jika wakif telah meninggaL Untuk menghindari hal-hal di atas, golongan lvlalikiyah berpendapat bahwa wakif harus mengangkat nadzir untuk mengurus harta yang diwakafkan. 58 Pendapat ini tampaknya didasarkan pada kehati-hatiannya dalam menetapkan nadzir agar wakaf yang ada tidak menyimpang dari tujuan semula. Larangan wakif untuk mengangkat atau menunjuk dirinya sebagai nadzir tidaklah mutlak. Golongan lvlalikiyah membolehkan wakif mengangkat dirinya sebagai nadzir jika wakif mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang memungkinkan tidak dapat berfungsinya wakaf sebagaimana semestinya seperti dikemukakan Ibnu Baththal di atas. Menurut Abu Zahrah, golongan Malikiyah juga memperbolehkan mauquf 'alaihnya mu 'ayyan (tertentu). Kebolehan ini terjadi apabila wakif tidak menjelaskan kepada siapa penguasaan wakaf itu diberikan. 59 Golongan Syafi'iyah berpendapat bahwa nadzir tidak ditentukan oleh wakif, keeuali wakif mensyaratkan di saat terjadinya wakaf. Menurut Syafi'iyah, wakif dapat menunjuk atau mengangkat dirinya atau orang lain sebagai nadzir. Akan tetapi di saat terjadinya wakaf, wakif tidak menunjuk dirinya maupun orang lain sebagai nadzir, para ulama di kalangan Syafi'iyah berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang berhak menjadi 58 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 319. 59 Ibid, h. 321. 47 nadzir adalah wakif sendiri dan pengnsaan terhadap harta tetap di tangan wakif. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang menjadi nadzir adalah mauquf 'alaih dan penguasaan harta wakaf ada pada mauquf 'alaih karnna dialah yang berhak atas hasil wakaf, sehingga dia pula yang mempunyai kewajiban untuk memelihara harta wakaf tersebut. Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang berhak mengangkat nadzir adalah hakim karena sesungguhnya tergantung padanyalah hak mauquf 'alaih. 60 Pendapat ketiga inilah tampaknya yang paling mudah diterima dan lebih dekat pada kebaikan, karena jika ada masalah yang berkaitan dengan perwakafan hakim akan mudah mengatasinya. Menrut golongan Hanabilah yang berhak mengangkat nadzir adalah wakif. Wakif boleh menunjuk dirinya atau orang lain sebagai nadzir ketika ia mengucapkan ikrar wakaf. Tetapi apabila wakiftidak menunjuk nadzir ketika ia mewakafkan hartanya sedangkan wakaf itu ditujukan untuk kepentingan umum misalnya masjid, jembatan, orang-orang miskin, dan sebagainya maka yang berhak mengangkat nadzir adalah hakim yang beragama Islam. Jika wakaf ditujukan untuk orang tertentu baik seorang atau lebih :sedangkan wakif tidak menyebut nadzimya, maka hak nadzir ada pada mauquf 'alaih, karenanya pengawasan mauquf 'alaih pada harta itu seperti miliknya secara mutlak. Ada yang berpendapat bahwa hak nadzir ada pada hakim, tetapi pendapat yang terbanyak mengatakan hak nadzir dalam ha! ini ada pada mauquf 'alaih. Jika 60 Muhammad Abu Zahrah, lac.cit. 48 mauquf 'a/aihnya tidak berilmu (tidak cakap bertindak hukum), masih kecil atau gila maka yang berhak menjadi nadzir adalah walinya. 61 Dari pembahasan di atas dapat disimpulakan bahwa pada umumnya para ulama berpendapat bahwa yang paling berhak menentukan nadzir adalah wakif. Adapun jika wakif tidak menunjuk nadzir di saat ia melakukan ikrar wakaf pada umumnya ulama berpendapat bahwa yang berhak mengangkat nadzir adalah hakim, kecuali sebagian golongan Hanabilah yang berpendapat jika mauquf 'alaihnya mu 'ayyan hak pengangakatan nadzir ada pada mauqz!f 'alaih. Jika mauquf 'a/aihnya tidak mampu melaksanakan tugasnya, tugas tidak kembali kepada hakim tetapi kepada wali mauqzif 'alaih. Wewenang hakim untuk mengangkat nadzir ini kemudian diikuti oleh beberapa negara yang mengatur praktek perwakafan, te1masuk Indonesia. Hal ini memang tepat jika dihubungkan dengan makna wakaf itu sendiri. Pengangkatan nadzir yang dilakukan oleh hakim pada umumnya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang. Di samping itu jika hakim mengangkat nadzir maka pengawasan hakim terhadap nadzirpun lebih mudah. 2. Syarat-syarat nadzir Pada dasarnya siapapun dapat menjadi nadzir asalkan ia berhak melakukan tindakan hukum. 62 Akan tetapi karena tugas nadzir adalah 61 Ibid, h. 232. 62 Muhammad Daud Ali, op.cit., h. 92. 49 menyangkut harta benda yang manfaatnya harus disan1paikan kepada pihak yang berhak menerimanya, maka jabatan nadzir harus diberikan kepada orang yang mampu menjalankan tugasnya. Seorang nadzir harus memenuhi kriteria tertentu sebagai syarat. Adapun sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut: a. Seorang nadzir harus mempunyai sifat adil. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adil adalah mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh syari'at. Tidak disyaratkan nadzir harus laki-laki, karena Umar r.a., mewasiatkan agar Hafsah menjadi nadzir dari harta yang diwakafkannya. 63 Golongan Hanafiyah menjadikan adil merupakan syarat yang utama bagi seorang nadzir, namun tidak berarti bahwa nadzir yang tidak memiliki sifat adil itu tidak sah pengangkatannya atau penunjukannya. Sedangkan madzhab Syafi'i menganggap bahwa adil adalah syarat mutlak bagi seorang nadzir, karena menurutnya nadzir adalah wali dari harta orang Jain. Oleh karena itu orang yang diserahi tugas mengurus atau mengelola harta orang lain tersenut harus bersifat adil. Ahmad bin Hanbal tidak mensyaratkan adil bagi nadzir wakaf, orang fasik bisa menjadi nadzir asal ia bertanggung jawab dalam memegang amanah. 64 Bila nadzir wakaf 63 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 232. 64 Departemen Agama RI, Ensik/opedi Hukum Islam, 1997, h. 1910. 50 kebetulan dipegang oleh mauquf 'alaih golongan Hanabilah mensyaratkan tsiqqah karena hasil wakaf adalah hak mereka. b. Nadzir harus memilki pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola harta wakaftermasuk kecakapannya bertindak hukum. 65 c. Khusus bagi madzhab Hanbali apabila harta wakaf itu berasal dari orang muslim disyaratkan nadzimyajuga orang muslim. 66 3. Hak dan kewajiban nadzir Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa nadzir adalah pihak yang bertugas untuk mengurusi dan memelihara wakaf, akan tetapi nadzir tidak mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanatkan kepaclanya. Seorang nadzir bertugas dan bertanggung jawab memelihara harta wakaf, mengelola, menyalurkan mengawasi, hasil memperbaiki wakaf kepada mengembangkan pihak yang mempertahankan harta wakaf dari gugatan orang lain. 67 Asaf A.A Fyzee berpenclapat harta menenmanya, wakaf, dan v bahwa kewajiban naclzir aclalah mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta. Sebagai pengawas harta wakaf, naclzir dapat memperkerjakan beberapa wakil atau pembantu untuk menyelenggarakan urrusan-urnsan yang berkenaan dengan tugas dan kewajibannya. Naclzir sebagai orang yang berkewajiban 65 Wahbah al-Zuhaili, foe. cit. 66 Departemen Agama RI, foe.cit. 67 Al-Bahuti, op.cit., h. 268. 51 mengawasi dan memelihara harta wakaf tidak menjuall, menggadaikan, atau menyewakan harta wakaf kecuali diijinkan oleh hakim atau penguasa atau pengadilan kaema hakim memiliki wewenang untuk mengontrol kegiatan nadzir. 68 Muhammad Ubaid Al-Kubaisy mengungkapkan bahwa nadzir bertugas untuk men-tasharnif-kan (membelanjakan) wakaf. Dan men-tasharrufkan harta wakaf tersebut menurutnya ada yang sifatnya yang wajib dan ada sifatnya yang jaiz. Yang dinggap wajib diketjakan oleh nadzir adalah mengembangkan wakaf, melaksanakan hak-hak wakaf dan menjaganya, rnenyalurkan keuangan wakaf, dan menyampaikan hak-hak mustahiq wakaf. Sedangkan yang sifatnya jaiz (boleh) dilakukan oleh nadzir antara lain menyewakan wakaf, mengelola tanah wakaf dengan menanami tanah tersebut dengan berbagai tanaman, mendirikan bangunan di atas tanah wakaf untuk disewakan, dan merubah peruntukan wakafjika tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf. 09 , Dalam hal menyewakan harta wakaf madzhab Hanafi membolehkan menyewakan harta wakaf kepada orang lain untuk jangka waktu tertentu, seperti menyewakan rumah wakaf selama satu tahun atau menyewakan tanah selama tiga tahun, kecuali ada cara lain yang lebih banyak kemaslahatannya dari penyewaan dengan jangka waktu yang lama itu. Akan tetipi ada di antara ulama 68 Asaf A.A. Fyzee, op.cit. h. 312. 69 Muhammad Ubaid al-Kubaisy, op.cit. h. 187-203. 52 madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyewakan harta wakaf, harta anak yatim, atau harta baitul ma! dalam waktu yang lama tidak boleh karena ha! tersebut membawa kepada berubahnya fungsi harta wakaf, kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. 70 Menurut ulama madzhab Maliki, nadzir boleh menyewakan harta wakaf dalam jangka waktu satu sampai dua tahun, apabila hart.a wakaf itu berbentuk tanah. Tetapi apabila harta wakaf itu sudah tidak berfungsi seperti lahan pertanian yang sudah berubah menjadi hutan dan memerlukan biaya perbaikan, maka dibolehkan menyewakan kepada orang lain selama empat puluh sampai lima puluh tahun. Akan tetapi harga sewa tidak boleh kurang dari harga sewa yang berlaku umum. Hasil sewaan hart.a wakaf itu menurut mereka tidak dibagikan kepada yang berhak menerimyanya kecuali harta harta yang disewakan itu telah kembali ke tangan nadzir. Apabila nadzir membangun rumah atau menanam pohon di atas tanah wakaf, rumah dan tanaman itu termasuk hart.a wakaf. Tetapi apabila ada keterangan yang meyakinkan hakim bahwa rumah dan tanaman itu milik nadzir maka rumah dan tanaman itu diberikan kepada ahli waris nadzir. Menurut ulama madzhab Syafi'i, apabila harta wakaf itu disewakan dengan harga yang lebih rendah dari harga sewaan yang berlaku di daerah setempat, maka sewa menyewa itu dingaap tidak sah. 70 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 233. 53 Berbeda dengan ulama madzhab Syafi'i, ulama madzhab Hanbali tetap memandang sah sewa-menyewa harta wakaf yang lebih rendah dari patokan hukum, asal saja kekurangan sewaan itu menjadi tanggung jawab nadzir, tetapi apabila nadzir mereasa ditipu tentang harga sewa, ia berhak menuntut kekurangannya. Nadzir mempunyai kewajiban yang cukup berat tanggung jawabnya, juga " mempunyai hak untuk mendapatkan upah/imbalan dari jerih payahnya asal sewajamya dan tidak bermaksud untuk memperkaya diri, berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu. Besamya upah yang diterima nadzir sesuai ketentuan yang telah ditetapkan wakif atau nadzir. Menurut golongan Hanafiyah bahwa nadzir berhak mendapatkan gaji selama ia melaksanakan segala sesuatu yang diminta saat wakaf terjadi. Besamya gaji bisa sepersepuluh atau seperdelapan, clan sebagainya sesuai dengan ketentuan wakif. Namun bila wakiftidak menetapkan upah nadzir, maka hakimlah yang menetapkannya. Besamya upah itu pada umumnya disesuaikan dengan tugas yang diberikannya. Madzhab Maliki sependapat dengan golongan Hanafiyah, hanya saja sebagian golongan Malikiyah berpendapat bahwa jika wakif tidak menentukan upah nadzir, maka hakim dapat mengambil upah itu dari baitul mal. 71 71 Ibid., h. 347. 54 Adapun golongan Syafi'iyah berpendapat bahwa yang menetapkan gaji nadzir itu wakif, mengenai jumlahnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan wakif. Jika wakif tidak menetapkan upah bagi nadzir menurut madzhab Syafi'i nadzir tidak berhak mendapatkan gaji. Jika mengharapkan gaji, nadzir harus mengajukan permohonan kepada hakim. Selama tidak mengajukan permohonan nadzir tidak berhak mendapatkan gaji tersebut. Jika ia memohon kedapa hakim, sebagian Syafi'iyah nadzir berhak mendapatkan gaji yang seimbang, sebagian yang lain menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak berhak memohon gaji kecuali apabila keadaannya sangat membutuhkan. Dalam hal ini mereka mengqiyaskan tanggung jawab mutawalli/ nadzir terhadap urusan wakaf itu seorang wali terhadap anak kecil, ia tidak berhak mengambil hartanya melainkan hanya secukupnya dengan ma'ruf ketika ia memerlukannya. ' 2 Pendapat sebagian golongan Syafi'yah itu berdasarkan firman Allah mengenai masalah perwalian yang terdapat dalam surat Al-Nisa' ayat 6: ... Jan barang siapa (di antara pemeliharaan ilu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa fakir maka ia boleh memakan harta itu menurut yang ma 'ruf.." (Q.4 (S. Al-Nisa):6). Menurut Imam Ahmad nadzir berhak mendapatkan upah yang telah ditentukan oleh wakif. Jika wakif tidak menentukan upah nadzir, di kalangan 72 Ibid. h. 348-349. 55 Hanabilah ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa nadzir tidak halal mendapatkan upah kecuali hanya untuk makan sepatutnya. Pendapat kedua meyatakan bahwa nadzir wajib mendapatkan upah sesuai dengan peke1j aannya. 73 Dari pembahasan dia atas jelas bahwa sebagian besar ulama membolehkan nadzir menerima upah baik dian1bil dari harta wakaf itu sendiri maupun dari sumber lain. Jumlah gaji berdasarkan pada situasi dan kondisi di suatu tempat pada suatu masa dan juga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh wakif maupun hakim yang bertugas di wilayah di mana wakaf itu berada. Dilihat dari tugas dan tanggung jawab di atas nadzir adalah orang yang berkedudukan sebagai pemegang amanat terhadap pemeliharaan dan pengurusan harta wakaf sesuai dengan wujud dan tttjuannya dan ia tidak dibebani resiko yang terjadi atas benda wakaf. Akan tetapi karena sesuatu atau lain ha! mungkin sekali seseorang dicabut kedudukannya dari jabatannya sebagai nadzir. Namun untuk mencabut hak atau memecat seorang nadzir tentu saja harus ada alasan dan sebab-sebab nyata yang membolehkan tindakan pemecatan tersebut. Menurut ulama Hanafiyah seorang nadzir harus dipecat bila temyata ia telah berkhianat atau tidak dapat dipercaya, atau lemah dan tidak dapat melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya dan apabila ia nyata-nyata 73 Ibid., h. 349. 57 seperti ariyah atau pinjam meminjam. Perbedaanya, dalam kedudukan seperti ariyah benda ada pada tangan peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat benda itu, sedangkan benda dalam wakaf ada di tangan pemilik yang tidak menggunakan atau mengambil manfaat benda itu. Dengan demikian benda yang diwakafkan tetap menjadi pemilik wakif sepenuhnya, hanya manfaatnya saja yang disedekahkan, sehingga pada suatu saat harta wakaf dapat kembali kepada wakif, begitu pula ia boleh menarik kembali wakafuya kapan saja ia kehendaki. Oleh karena itu wakaf tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti tidak mengikat, kecuali dalam tiga ha!, yaitu: 1. Hakim memutuskan bahwa wakaf tersebut tetap. Hal ini terjadi jika ada persengketaan antara wakif dan nadzir. Keputusan hakim tersebut mempunyai ketentuan hukum yang berlaku dan mesti ditaati. 2. Hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian wakif. Misalnya wakif mengatakan: "jika aku mati, maka aku wakafkan rumahku", maka wakaf itu hams dilaksanakan sebagaimana wasiat (yang dilaksanakan setelah wakif meninggal dunia), dan 3. Apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid dan ia mengijinkan di dalam wakaf itu untuk shalat. Apabila sudah ada seseorang saja yang shalat di masjid itu, menurut Abu Hanifah, hilanglah 58 kepemilikan harta benda tersebut dari wakif. Penetapan ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Allah. 76 Dalam ha! ini Abu Hanifah mendasarkan argumennya dengan hadits Nabi yang berbunyi: uc rL_, .y1:. Ali I ~ Ali I J_,....,_) ~ w 3 ~ uc ~ U:i! ~ o~ r1, ~';J ulsy•·a :,Jl.9 lY'l.,ic 0,il uc d.::-3 jc Ali\ u-OJI_) 77(~)~\ 0\3_)) uari Jbnu Abbas bahwa Rasu/ullah saw. bersabda: 'Tidak ada penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah', berkata Ali ra.: 'Hadits ini tidak disandarkan kepada siapapun kecuali kepada Jbnu Luhai 'ah dari saudaranya, dan keduanya lemah ". (HR. Daru Quthni). Berdasarkan hadits di atas Abu Hanifah berpendapat bahwa seandainya wakaf itu adalah mengeluarkan harta yang diwakafl<an dari pemilikan wakif, niscaya ha! itu merupakan penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah, karena pada harta itu terkandung hak ahli waris yang termasuk ketentuan-ketentuan Allah. Akan tetapi Wahbah a-Zuhaili menyatakan bahwa maksud sabda Rasulullah tersebut adalah membatalkan sistem waris yang ada pada zaman Jahiliyah yang membatasi wakaf hanya pada kaum pria dewasa saja, di sisi lain mengenyampingkan wanita dan anakanak, selain hadits itu sendiri adalah dha 'if (lemah). 78 76 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 153. 77 Ali bin Umar ad-Daruqutny, op.cit., h. 33 78 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 154. 59 Selain hadits di atas, Abu Hanifah juga mengemukakan hadits lain yang mendukung pendapatnya, yaitu hadits dari Abu Aun dari Syuraih berkata: "Rasu/ullah telah datang dengan menjual 'habs" (HR. Baihaqi). Atas dasar inilah Abu Hanifah menyimpulkan bahwa menjual harta yang telah diwakafkan itu hukumnya mubah. Abu Hanifah menyatakan apabila Rasulullah datang dengan hat demikian (menjual habs atau wakaf) maka tidaklah perlu menciptakan habs atau wakaf yang lain, sebab wakaf itu artinya menahan 'ain, sedangkan wakaf tidak disyari'atkan. Akan tetapi menurut Wahbah al-Zuhaili hadits di atas tidak mungkin menunjuk kepada apa yang dimaksudkan Abu Hanifah karena al-habs yang dilarang adalah sesuatu yang ditahan untuk patung dan berhala, sedangkan Rasulullah datang untuk menghapuskan pemujaan terhadap berhala. Adapun wakaf menurutnya adalah suatu anjuran yang ada dalam sistem ajaran agama Islam. 80 Begitu juga ulama lain tidak menjadikan hadits ini sebagai dasar hukum perwakafan, Jika diperhatikan dalil yang dipergunakan oleh Abu Hanifah untuk mendukung pendapatnya bahwa wakaf boleh dijual atau ditarik kembali tampak kurang kuat. Hal ini disebabkan hadits yang pertama yang berkenaan dengan masalah warisan, · Abu Bakar Ahmad Al-Baihaqi, Sunan a/-Kubra, (India: Dairah al-Ma'arif al-Usmaniyah, 1352 1-1), h. I 63. ' 0 Wahbah al-Zuhaili, op.cit.,h. 154. 60 sedangkan hadits kedua berkenaan dengan penghapusan pemujaan terhadap berhala. Namun demikian ada kemungkinan Abu Hanifah berpendapat bahwa wakaf dapat ditarik kembali dengan maksud agar ahli waris tidak terlantar, karena seseorang tidak diperbolehkan untuk memberikan wakaf yang merugikan ahli waris. Oleh karena itu Abu Hanifah menguatkan pendapatnya dengan hadits yang berkenaan dengan masalah warisan. Menurut golongan Malikiyah, wakaf berarti pemilik harta memberikan manfaat harta yang dimiliki bagi mustahiq. Harta tersebut dapat berupa benda yang disewa, kemudian hasilnya diwakafkan. Oleh karena itu wakaf tida'k mesti dilembagakan secara abadi dalam arti muabbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu yang disebut muaqqad. Maka golongan Malikiyah memperbolehkan manfaat wakaf dari sesuatu yang disewa dan karenanya mereka berpendapat bahwa syarat wakaf tidak harus abadi. Namun demikian wakaf tidak boleh ditarik di tengah perjalanan, dengan kata lain wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum ha bis tenggang waktu yang telah ditetapkan. Kiranya disinilah ktak adanya kepastian hukum (lazim) dalam perwakafan menurut Imam Malik, yaitu kepasitan hukum yang mengikat berdasarkan suatu ikrar. 81 Mereka memberi dalil mengenai tetapnya pemilikan ha.rang yang diwakafkan berdasarkan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan Imam Muslim dan Shahih Muslim, di mana dalam hadits tersebut 81 Djuhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia: Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1995), h. 18. Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan 61 Rasulullah bersabda: " .....jika engkau mau tahanlah aslinya dan sedekahkan (manfaatkan) .... ". Hal ini menunjukkan bahwa yang disedekahkan itu hanya hasilnya, dengan demikian harta yang diwakafkan tetap menjadi milik wakif. Hanya saja ia dilarang untuk men-tasharruf-kan dalam bentuk usaha pemilikan pac.la pihak lain, ia tidak menjual, menghibahkan, atau mewariskan harta wakaf. Pemahanan ini bersumber dari hadits lbnu Umar juga, " ..... agar tidak dijual, dihibahkan, dan tidak diwariskan ... ". 82 Hal ini berbeda dengan golongan Hanafiyah bahwa wakif boleh menarik harta yang diwakafkan dan boleh menjualnya kecuali hakim menetapkan wakaf itu tidak boleh ditarik kembali. Adapun alasan madzhab Maliki mengenai keabsahan wakaf untuk sementara waktu adalah berdasarkan atas kenyataan tidak adanya dalil yang mengharuskan wakaf itu bersifat kekal atau abadi (muabbad). 8' Dari uraian di alas dapatlah diambil kesimpulan bahwa sebenarnya pendapat golongan Malikiyah ini ada kelebihannya, yakni orang ingin berwakaf tidak harus menunggu orang bersangkutan memiliki benda yang akan diwakafkan, akan tetapi cukup menyewa benda yang akan ia wakafkan hasilnya. Hal ini jelas banyak manfaatnya terutama untuk memelihara harta wakaf yang ada. Akan tetapi di sisi lain pendapat ini akan menyebabkan lemahnya lembaga wakaf di samping tidak sesuai 82 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 156. 83 Djuhaya S. Praja, lac. cit. 62 pendapat sebagian besar ularna babwa benda yang diwakafkan harus tetap dzatnya dan dapat dimanfaatkan terus menerus. Madzhab Syafi'i dengan tegas berpendapat bahwa pemilikan atas harta wakaf telab berpindah kepada Allab, bukan lagi milik wakif, bukan pula milik mauquf 'alaih. Manfaat atau hasil harta wakaf adalab sepenuhnya untuk mauquf 'alaih. 84 Status pemilikan harta wakaf seperti pendapat Imam Syafi'i , bertolak dari pendapat Syafi'i babwa status hukum wakaf dan al-itq (pembebasan atau memerdekakan budak) adalab sama. Ia menyamakan keduanya berdasarkan qiyas. Keduanya dianggap mempunyai kesarnaan ii/at yaitu kemerdekaan dalam al-itq sarna dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. · Dalam ha! ini · terdapat perbedaan pendapat antara al-Syafi 'i dengan pengikut madzhab Hanafi. Pendapat yang disanggah pengikut madzhab Hanafi ialah pengqiyasan kata atau bentuk analogi "kemerdekaan budak" dengan "mengeluarkan milik benda wakaf' dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu milik Allah, karena ia memang milik Allab. Milik Allab tidak kembali kepada pemilik-Nya. Sedangkan benda wakaf merupakan milik wakif dan akan kembali kepada pemilik asa.lnya yaitu wakif. Abu Hanifah mendasarkan argumennya atas ra yu yang didasarkan atas konsep wakafuya yaitu habs al- 'ain 'ala milk al-waqif. Hal ini berkaitan dengan pengertian milik dalarn teori Abu Hanifab. Menurutnya, milik, adalab milik sepenuhnya. Oleh karenanya benda wakaf akan kembali kepada hukum asalnya yaitu milik wakif, karena ia 84 Al-Syarbini, op.cit., h. 389. 63 memang milik wakifakan kembali kepada wakif. 85 Sementara Syafi'i berpegang pada persamaan antara kedua status hukum institusi dari segi adanya bentuk penyerahan benda atau harta kepada Allah, sehingga harta itu menjadi milik Allah. Status hukum harta kembali kepada asalnya yakni milik Allal1. Di samping itu dalam hukum Islam pada prinsipnya tidak mengakui hak milik seseorang (individu) atas suatu benda secara mutlak. Karena hak mutlak tersebut semata-mata milik Allah. 86 Oleh karena itu dalam kedua kasus tersebut (wakaf dan a/-itq) terdapat persamaan yaitu pelepasan milik si wakif menjadi milik Allah dan pelepasan atau memerdekakan sehingga milik Allah. Sejalan dengan madzhab Syafi'iyah di atas, madzhab Hanbali berpendirian bahwa apabila suatu wakaf itu sudah sah maka hilanglah atau lepas sudah hak pemilikan dari wakif. Lebih lanjut menurut madzhab Hanball, bila wakaf itu untuk masjid dan sejenisnya yang bermanfaat untuk kepentingan umum seperti sekolah, jal, jembatan, dan sebagainya maka pemilikan atas harta wakaf itu berada di sisi Allah, sedangkan bila wakaf itu diperuntukkan untuk orang tertentu maka pemilikannya di tangan mauquf 'a/aih. Memang kalau dipertimbangkan lebih jauh, pendapat yang tetap mempertahankan hak pemilikan bagi wakif terasa kurang tepat dan kurang relevan dengan tujuan wakaf itu sendiri. Pendapat semacam ini akan menghadapi kesulitan di 85 Djuhaya S. Praja, op.cit. h. 16 86 Suparman Usman, op. cit. h. 20. 64 kemudian hari, terutama bila orang yang berwakaf itu sudah meninggal dunia, sebab bila wakif sudah meninggal maka akan timbul masalah, yaitu siapakah pemilik harta wakaf itu, apakah harta itu akan berpindah kepada ahli waris untuk dibagi kepada mereka, sangat mungkin pula karena soal kewarisan, ha! tersebut akan menimbulakn sengketa di antara ahli warisnya. Keadaan seperti ini tentu tidak wajar terjadi pada benda wakaf. Bila demikian halnya fungsi wakaf sebagai amal jariyah yang mestinya bersifat langgeng dan abadi tidak menjadi kenyataan. Tegasnya harta yang sudah diwakafkan memang seharusnya menjadi milik Allah yang manfaat selama-lamanya untuk orang yang menghajatkan atau untuk keperluan agama. Meskipun demikian para ulama sepakat bahwa wakaf masjid termasuk dalam bab pembebasan dan pelepasan, karena masjid adalah milik Allah SWT. 87 Dengan terdapatnya perbedaan pendapat dan argumen tentang wakaf antara satu ulama dengan ulama yang lain, tidaklah mengherankan apabila penentuan sah tidaknya wakaf juga terdapat perbedaan pendapat di antara mereka, namun perbedaan yang ada adalah dalam hal-hal yang bukan prinsip. Dalam hal-hal yang pokok ada ukuran-ukuran yang disepakati oleh sebagian besar ulama. 87 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 156. BAB III PERW AKAFAN DALAM HUKUM POSITIF A. Pengertian Wakaf Pengertian wakafmenurut apa yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 41Tahun2004 Tentang Wakafadalah: "Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah". Dari pengertian wakaf di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa cakupan wakaf meliputi: I. Harta benda milik wakif. 2. Harta benda tersebut memiliki daya tahan yang lama dan/atau manfaat jangka panjang. 3. Haita benda tersebut dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu. 4. Manfaat dari haita benda tersebut untuk keperluan ibadah atau untuk kepentingan ibadah sesuai dengan syari'ah. Menurut pengertian UU Wakaf ini bahwa objek pajak wakaftidak hanya berupa tanah milik sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 66 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Objek wakaf menurut undang-undang ini lebih luas cakupannya. Sedangkan pengertian wakif dalam undang-undang ini di dalam pasal I ayat (I) adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Pihak di dalam pengertian tersebut meliputi perseorangan atau sekelompok orang atau badan hukum. Bila dilihat dari macam wakaf yaitu wakaf ahli dan wakaf khairi yang telah dijelaskan pada bab terdahulu, maka wakaf dalam UU Wakaf ini merupakan wakaf khairi atau wakaf umum yaitu ditujukan untuk kepentingan umum seperti masjid, madlarasah, rumahsakit, dan lain sebagainya. Hal ini terlihat dalam pengertian di atas dalam kalimat "guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah". Wakaf umum ini sejalan dengan perintah agama yang secara tegas menganjurkan untuk menafkahkan sebagian kekayaan orang Islam untuk kepentingan umum yang lebih besar manfaatnya dan mempunyai nilai pahala yang tinggi. Artinya meskipun wakif sudah meninggal dunia ia akan tetap menerima pahala wakaf, sepanjang benda yang diwakafkan tersebut masih bisa dipergunakan. B. Dasar Hukum Wakaf Di Indonesia, selain bersumber kepada agama, juga bersumber pada hukum positif, yang merupakan haswil pemikiran pakar hukwn di lndinesia. Bila diinventarisir sampai sekarang bernagai perangkat peraturan yang mengatur masalah perwakafan. 67 Adijani al-Alabij mengelompokkan pada 14 peraturan seperti yang dimuat dalam buku Himpunan Perundang-undangan Perwakafan Tanah diterbitkan Departemen Agama RI, sebagai berikut': 1. UU No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 49 ayat (1) rnemberi isyarat bahwa "Perwakafan Tanah Milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Peraturan Pemerintah No. l 0 Tahun 1961 tanggal 23 Maret 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Karena peraturan ini berlaku umum, maka terkena juga di dalamnya mengenai pendaftaran tanah wakaf. 3. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tanggal 19 Juni 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Dikeluarkannya PP No. 38 tahun 1963 ini adalah sebagai satu realisasi dari apa yang dimaksud oleh pasal 21 ayat (2) UUPA yang berbunyi: "Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya". Pasal 1 PP No. 38 tahun 1963 selain menyebutkan bank-bank Negara (huruf a) dan perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian (huruf b) sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, selanjutnya disebutkan pula: 1 Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.29. 68 c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengan Menteri Kesejahteraan Sosial. 4. Peraturan Pemerintal1 No. 28 Talmn 1977 tanggal 17 Mei I 977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Seperti dinyatakan dalam konsiderannya pada bagian Menimbang, huruf c, maka Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan untuk memenuhi apa yang telah ditentukan oleh pasal 14 ayat (I) huruf b dan pasal 49 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960. 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun I 977 tanggal 26 November 1977 Tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik. Untuk keperluan pembuktian yang kuat, maka tanah-tanah yang diwakafkan perlu dicatat dan didaftarkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961. 6. Peraturan Menteri Agama No. I Tahun I 978 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemenrintah No. 28 Tahun 1977 tanggal 10 Januari 1978 Tentang Perwakafan Tanah Milik. 7. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 tanggal 3 Agustus 1978 Tentang Penambahan Ketentuan mengenai Biaya Pendaftaran Tanah untuk Badan-Badan Hukum tertentu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun I 978. 69 Pasal 4a ayat (2) Permendagri No. 12 Tahun 1978 ini menentukan: "Untuk badan-badan hukum sosial dan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri atas pertimbangan Menteri yang bersangkutan, berlaku ketentuan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebagai yang ditetapkan dalam Bab II, sepanjang tanah yang bersangkutan dipergunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan kegiatan sosial atau keagamaan". Yang dimaksud dengan tanah untuk keperluanm kegiatan sosial atau keagamaan tersebut di atas, tentu termasuklah tanah wakaf. Dan seperti ditegaskan oleh ayat (I) pasal 4a ini, maka bagi badan hukum selain badan hukum sosial dan keagamaan dikenakan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebesar 10 kali tarif yang ditetapkan dalam Bab II. 8. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1978 tanggal 23 Januari I 978 Tentang Pelaksanan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun I 977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi ini ditujukan kepada para Gubernur Kepalla Daerah Tingkat I dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama di seluruh Indonesia. 9. Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/78 tanggal I 8 April 1978 Tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan Tentang Perwakafan Tanah Milik. l 0. Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun I 978 tanggal 9 Agustus 1978 Tentang Pendelegasian Wewenang Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/Setingkat di Seluruh Indonesia untuk 70 Mengangkat/Memberhentikan Setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf(PPAIW). 11. Instruksi Menteri Agama No. 3 Tahun 1979 tanggal 19 Juni 1979 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978. 12. Surat Dierjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D JUSEd/14/1980 tanggal 25 Juni 1980 Tentang Pemakaian Bea Materai dengan Lampiran Surat Dirjen Pajak No. S-629/PJ.331/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang menentukan jenis formulir wakaf mana yang bebas materai, dan jenis formulir mana yang dikenakan bea materai, dan berapa besar bea materainya. 13. Surat Di~jen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5Ed/07/1981 tanggal 17 Februari 1981 kepada Gubemur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia, tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik dan permohonan keringanan alas pembebasan dari semua pembebanan biaya. 14. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D lll/5/Ed/11 /1981 tanggal 16 April 1981 tentang Petunjuk Pemberian Nomor pada Formulir Perwakafan Tanah Milik. 2 Selain berbagai peraturan, instruksi dan edaran seperti disebut terdahulu, secara khusus masih ada instruksi dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Baral, 2 /bid, h.29-32. 71 Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Daerah Istimewa Aceh dan DK! Jakarta mengenai pendaftaran tanah wakaf di daerah masing-masing. Selain itu ada tiga ketentuan lagi yang membicarakan mengenai perwakafan di Indonesia. Pertama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang rnerupakan hasil ijtihad para ulama di Indonesia. Tentang wakaf diatur pada Buku III. Kedua, Instruksi Bersarna Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1990 atau No. 24 Tahun 1990 mengenai Target Pensertifikatan Tanah Wakaf pada Pelita v. Selain peraturan dan perundangan di atas, pada tahun 2004 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan undang-undang khusus yang berkaitan dengan perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. C. Tujuan, Fungsi, Unsur dan Syarat Wakaf UU No. 41 Tahun 2004 ini menyebutkan tujuan wakaf di dalam pasal 4 yang berbunyi: "Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya". Adapun fungsi wakaf sebagaimana tercantum dalam unclang-undang ini pasal 5 adalah· mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Sedangkan unsur-unsur wakaf terdapat pada pasal 6 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: 72 I. Wakif; 2. Nadzir; 3. Barta benda wakaf; 4. lkrar wakaf; 5. Peruntukan harta benda wakaf; 6. Jangka waktu wakaf. I. Wakif Pada pasal 1 ayat (2) UU No. 41 Tahun 2004 ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Yang termasuk wakif, sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang ini pasal 7, adalah meliputi: a. Perseorangan; b. Organisasi; c. Badan hukum. Adapun yang menjadi persyaratan bagi wakif dijelaskan pada pasal 8 UU No. 41 Tahun 2004, yaitu: l. Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: a. Dewasa; b. Berakal sehat; c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hokum; dan 73 d. 2. Pemilik sah harta benda. Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. 3. Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuihi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. 2. Nadzir Menurut UU No. 41Tahun2004 pasal 1 ayat (4) nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Pada pasal 9 undang-undang ini dijelaskan bahwa nadzir meliputi a. Perseorangan; b. Organisasi; atau c. Badan hukum. Seperti dikemukakan di atas bahwa keberadaan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan benda wakaf sangat penting dani menentukan. Sebagai pihak yang dipercaya untuk memelihara dan mengelola benda wakaf, nadzir harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tertuang dalam pasal I 0, yaitu: 74 (l) Perseorangan sebagaimana dimaksud pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan: a. Warga Negara Indonesia; b. Beragama Islam; c. Dewasa; d. Amanah; e. Marnpu secara jasmani dan rohani; dan f (2) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan: a. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ); dan b. Organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. (3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalarn pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan: a. Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat ( J); dan b. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan c. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang social, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. 75 Dalam ha! kewajiban dan hak-hak nadzir, UU No. 41 Tahun 2004 menjelaskan, pada pasal 42, nadzir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. Secara jelas pasal 11 menyebutkan tugas nadzir sebagai berikut: a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya; c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaflndonesia. Dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban nadzir sebagaimana disebutkan terdahulu, sebagai imbalan dari beban yang ditanggungnya ia mempunyai hak-hak sebagaimana tercantum dalam pasal 12 UU No. 41 Tahun 2004, yaitu: "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nadzir dapat menerima imbalan dari basil bersih ata~; pengelolaan dan harta benda wakafyang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen). 3. Harta Benda Wakaf Yang dimaksud dengan harta benda wakaf, sebagaimana pasal I ayat (5) UU No. 41 Tahun 2004, adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau menfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari'ah yang diwakafkan oleh wakif. Pasal 15 UU No. 41 Tahun 2004 juga menyebutkan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah. 76 Adapun ketentuan tentang benda wakaf ini didasarkan pada pertimbangan bahwa wakaf adalah sesuatu yang bersifat suci, bahkan menurut Muhammad Daud Ali selain suci juga abadi. Karena itu bcnda yang dapat dijadikan wakaf selain dari statusnya sebagai hak milik sempuma juga harus bersih artinya tidak menjadi tanggungan hutang atau hipotek, tidak dibebani oleh beban-beban atau jaminan lainnya dan tidak pula dalam ikatan, sitaan, maupun sengketa. Sedangkan jenis-jenis harta benda wakaf disebutkan pula secara terperinci di dalam pasal 16 UU No. 41 Tahun 2004, yaitu: (1) Harta benda wakaf terdiri dari: a. Benda tidak bergerak; dan b. Benda bergerak. (2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf a meliputi: a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di alas tanah sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuau dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 77 e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari' ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf b adalah harta benda yang tidak bias habis karena dikonsumsi, meliputi: a. Uang; b. Logam mulia; c. Surat berharga; d. Kendaraan; e. Hak alas kekayaan intelektual; f. Hak sewa; dan g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari' ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada UU No. 41 Tahun 2004 ini juga menyebutkan wakaf benda bergerak berupa uang yang tertuang dalam pasal 28 yang berbunyi: "Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syari'ah yang ditunjuk oleh menteri". Mengenai lembaga keuangan syari'ah di jelaskan di dalam Penjelasan Atas UU RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yaitu badan hokum Indonesia yang bergerak di bidang keuangan syari'ah. 2. Ikrar Wakaf Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 pasal I ayat (3) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang 78 diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Pada pasal 17 UU No. 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa: ( 1) lkrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. (2) lkrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. Yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Akta lkrar Wakaf (PPAIW), sebagaimana termuat dalam pasal I ayat (6) UU No. 41 Tahun 2004, adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf. Sedangkan lebih jelasnya dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, yaitu tertuang dalam Pasal 5 yang berbunyi: (I) Kepala KUA ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. (2) Administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan. (3) Dalam suatu ha! kecamatan tidak ada Kantor Urusan Agamanya, maka Kepala Kanwil Depag menunjuk Kepala KUA tcrdekat sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Pasal 18 dan 19 undang-undang ini menyatakan: "Dalam ha! wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam 79 pelaksanaan ilaar wakaf karena alasan yang dibenarkm1 oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi", "Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif, atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW". Menurut ketentuan pasal tersebut di atas wakaf harus dilakukan di hadapan PPAIW dan disaksikan oleh sedikitnya dua orang saksi dengan ikrar yang jelas dan tegas. Namun dalam kondisi yang tidak memungkinkan karena sesuatu hal seingga ia tidak dapat menyatakan ikrar wakaf atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka ia dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh dua orang saksi. Adapun mengenai saksi dalam ikrar wakaf dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 20 UU No. 41 Tahun 2004, yaitu harus memenuhi persyaratan: 3. a. Dewasa; b. Beragama Islam; c. Berakal sehat; d. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Peruntukan Barta Benda Wakaf Pasal 22 UU No. 41 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujumi dan diperuntukkan bagi: fungsi wakaf, harta benda wakaf hmiya dapat 80 a. Sarana dan kegiatan ibadah; b. Sarana dan kegiatan pendidikan se11a kesehatan; c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari'ah dan peraturan pernndangan-undangan. Adapun penetapan pernntukan harta benda wakaf dilakukan oleh wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf, dan jika wakif tidak menetapkan pernntukan harta benda wakaf, maka nadzir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf, ha! ini diatur dalam pasal 23 UU No. 41 Tahun 2004 ini. D. Pendaftaran Dan Pengumuman Barta Benda Wakaf Pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf diatur oleh pasal 32 s/d pasal 39 UU. No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Setelah selesai Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nan1a nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang paling larnbat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Dalam pendaftaran harta benda wakaf tersebut PP AIW menyerahkan: I. Salinan akta ikrar wakaf; 2. Surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya. Setelah ha! tersebut terlaksanan maka instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf, kemudian bukti pendaftaran tersebut 81 disampaikan oleh PPAIW kepada nadzir. Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran harta benda wakaf, sebagaimana tercantum di dalam Penjelasa.n Atas UU. RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan tercatat pada Negara dengan status sebagai harta benda wakaf. Adapun jika terjadi harta benda wakaf tersebut ditukar atau dirubah peruntukannya, maka nadzir melalui PPAIW mendaftarkan k1~mbali kepada instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas benda wakaf yang ditukar atau dirubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang bcrlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf. Mengenai instansi yang berwenang dijelaskan di dalam Penjelasan Atas UU RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dengan perincian sebagai berikut: I. Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan PErtanahan Nasional; 2. Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi yang terkait dengan tugas pokoknya; 3. Instansi yang berwenang di bi dang benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar (unregistered goods) adalah Bad an Wakaf Indonesia; Jika tata cara pendaftaran harta benda wakaf tersebut di atas sudah terlaksana, maka Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta benda wakaf, kemudian mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang telah terdafta tersebut kepada masyarakat. 82 E. Perubahan Status Harta Benda Wakaf Dalam sebuah hadits Nabi saw. Yang lazim digunakan sebagai landasan perwakafan telah dijelaskan bahwa benda wakaf tidak dapat diperjual belikan, dihibahkan, dan diwariskan. Dengan demikian perubahan yang dilakukan terhadap benda wakaf tidak dapat dilakukan. Mengenai hal ini juga dijelaskan dalam pasal 40 UU No. 41 Tahun 2004, yaitu harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. Dijadikanjaminan; b. Disita; c. Dihibahkan; d. Dijual; e. Diwariskan; f. Ditukar; atau g. Dialihkan dalam bentuk penglihan hak lain. Akan tetapi terdapat pengecualian mengenai pelarangan perubahan peruntukan harta benda wakaf, ha! ini diuraikan dalam pasal 41 yang berbunyi: (I) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umwn sesuai dengan rencana wnum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari' ah. 83 (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (!) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaflndonesia. (3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (I) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. (4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. F. Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Dalam pasal 42 UU No. 41 Tahun 2004 berbunyi: "Nadzir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya". Adapun pengelolaan dan pengembangan harta bencla wakaf oleh nadzir dilaksanakan sesuai dengan prinsip syari'ah, dilakukan secara produktif, dan diperlukan penjamin, maka oleh karena itu digunakan lembaga. penjamin syari'ah. Hal ini tertuan di dalam pasal 43 UU No 41 Tahun 2004. Dalam undang-undang ini juga menjelaskan, yaitu dalam pasal 44, bahwa dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadzir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia. Adapun izin hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf 84 ternyata tidak dapat digunakan sesum dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf. Pasal 45 undang-undang ini menyebutkm1: (1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadzir diberhentikan dan diganti dengan nadzir lain apabila nadzir yang bersangkutan: a. Meninggal dunia bagi nadzir perseorangan. b. Bubar atau dibubarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk nadzir organisasi atau nadzir badan hukum; c. Alas permintaan sendiri; d. Tidak melaksanakan tugasnya sebagai nadzir dan/atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta banda wakaf sesuai dengan peraturan pernndang-undangan yang berlaku; e. Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap. (2) Pemberhentian dan penggantian nadzir sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dilaksanakan oleh Badan Wakaflndonesia. (3) Pengelolan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh nadzir lain karena pemberhentian dan penggantian nadzir, dilakukan dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf. BAB IV PAP ARAN DAT A DAN ANALISIS HASIL PEN ELI TIAN A. Gambaran Umum Masjid Jami' al-Istiqomah Masjid Jami' al-Istiqomah terletak di kampung Cikalong Girang, desa Cikalong, yang merupakan salah satu desa di kecamatan Cilamaya, Kabupaten Karawang, Jawa Baral. Sebelum berbentuk sebuah masjid, pada mulanya hanya berupa tempat shalat (mushalla!langgar) sederhana yang dibangun pada tahun 1890 berupa bangunan panggung dari kayu dan bambu, oleh dua orang, yaitu: Syekh Talhah dan muridnya Syekh Masmad, yang biasa dipanggil oleh masyarakat sekitar Buyut Dasih. Mushalla tersebut dibangun di atas tanah milik Syekh Masmad yang kernudian diwakafkan oleh beliau. Setelah Syekh Masmad wafat pada tahun 1921, rnaka rnenantu beliau Ust. Nurkhatim menggantikan beliau dalam pengurusan mushalla tersebut. 1 Pada tahun 1952 Ust. Nurkhatirn merubah mushala yang tadinya berupa panggung dan terbuat dari kayu dan bambu menjadi sebuah bangunan permanen dari batu bata merah, dan pada tahun ini pula terjadi perubahan peruntukan tanah wakaf yang tadinya untuk mushalla menjadi masjid. Kernudian pada tahun 1994 terjadi perombakan besar-besaran sampai sekarang oleh pengurus berikutnya. 2 f't·.,,. ~- I ' Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006. 2 Ibid. (DKM~1h)a~f!~~tam'~~;l~lSti<joJi;ah Ds Cikalong, · •J •• "' • •• .,. • • .• 86 Pembangunan masjid tersebut mendapat respon positif dan dukungan dari masyarakat. Salah satu manifestasi dari dukungan tersebut adalah adanya kesadaran dari masyarakat untuk menyisihkan sebagian tanah sawah milik mereka untuk diwakafkan guna keperluan masjid. Dengan kata lain, Ma~jid Jami' al-Istikomah didirikan dan dibangun atas swadaya masyarakat setempat. Hal ini te~jadi tepatnya tahun 1960 sampai tahun 2002, beberapa orang kaya di sekitar masjid Jami' alIstiqomah memberikan sawahnya sebagai penunjang untuk pengelolaan masjid pada masa berikutnya, dengan perincian sebagai berikut: pada tahun 1960 seluas 3 bau sawah yang diwakafkan oleh H Husnen, pada tahun 1967 seluas 3 bau sawah yang diwakafkan oleh H Usman, pada tahun 1982 seluas %, bau sawah yang diwakafkan oleh H Abdurrahim, tahun 1990 seluas 1 bau oleh Hj Rodiah, tahun 1994 seluas 1 bau oleh Waqifu, dan pada tahun 2000 seluas Yi bau sawah yang diwakafkan oleh Hj Shopiah, serta pada tahun 2002 seluas Yz bau sawah yang diwakafkan oleh Wadarni dengan demikian, total sawah yang diwakafkan untuk pengelolaan masjid Jami' alIstiqomah adalah 9,5 bau', yang sebanding dengan 7,6 hektar. Sementara itu proses akad dilaksanakan secara lisan tanpa adanya surat-surat atau dokumen resmi sebagai persyaratan wakaf kecuali hanya saja disaksikan oleh keluarga dari masing-masing pihak wakif dan nadzir. 3 3 Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-lstiqomah Ds Cikalong, Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006. dan Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' allstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006 87 Dengan demikian maka Masjid Jami' al-Istiqomah memiliki dua (2) jenis tanah, yaitu: tanah wakaf produktif dan tidak produktif, adapun tanah tidak produktif adalah di mana masjid dan majlis taklim saat ini telah berdiri. Sedangkan tanah produktif adalah berupa tanah sawah seluas 9 ,5 bau ', yang mana hasi l dari tan ah sawah tersebut digunakan untuk kepentingan masjid seperti renovasi, mengg:yi para imam, penjaga dan pengurus masjid, bayar listrik, kegiatan hari besar Islam dan keperluan lainnya. 4 Masjid Jami' al-Istiqomah memiliki organisasi atau pengurus yang memelihara masjid tersebut yang biasa disebut dengan Dewan Kesejahleraan Masjid (DKM). DKM memiliki beberapa divisi, yaitu: I. lmarah, yang mengurusi kegiatan kerohaniaan, seperti majlis taklim, tadarrusan, peringatan hari-hari besar Islam. Divisi imarah m1 JUga mengatur mengenai imam-imam, pengajar dan khatib Jumat. 2. Divisi ri'ayah, yang bertugas untuk menjaga atau memelihara fisik masjid, seperti jika ada pelebaran, kerusakan, dam perawatan bangunan lainnya. 3. Divisi idarah, yang bertugas untuk pembukuan keuangan, mencari dana untuk kepentingan masjid. 5 Adapun yang bertugas untuk mengawasi, memelihara, mengatur, mengkontrol tanah wakaf produktif berupa tanah sawah untuk keperluan masjid adalah seorang nadzir yang pengangkatannya ditunjuk oleh para wakif atau para ahli waris wakif 4 Abdul Hamid Saifuddin, Ahli Waris Tanah Wakaf Masjid Jami' al-lstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 8 Juni 2006. ' Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-lstiqomah Os Cikalong, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006 88 dihadapan KUA dan MUI setempat. Kepengurusan nadzir ini tidak termasuk dalam kepengurusan DKM, hanya saja kedudukannya sejajar untuk kepentingan dan kesejahteraan Masjid Jami' al-lstiqomah. 0 Sturtur kepengurusan Dewan Kesejahteraan Masjid Jami' al-lstiqomah adalah sebagai berikut: 7 Ust. Ridwad KctuaDKM H. Damanhuri Wakil Ketua J;ndang_Syahidin Sekretaris H. Yadi Bendahara I Div. lmarah Koord .: H. Syamsusi Anggt. : Ust. Masrudin Ust. A.Qomarudin Ust. Abdurrahim Affendi I Div. Ri'ayah Koord .: H. Dasin Anggt. : Warsin Juhrah Wajnin Div. Idarah Koord. : Darkim Anggt. : Badrudin Baidowi Nata Yasin 6 Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' al-lstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006. 7 Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-lstiqomah Ds Cikalong, Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006. 89 Sedangkan nadzir sendiri juga mempunyai kepengurusan, yaitu sebagai berikut: 8 Ust. Saifuddin Ketua H. Mulyana Bendahara Qomaruddin Sekretaris Anggota: Sholeh Fakhruddin Dengan demikian, Masjid Jami' al-Istiqomah mengalami perkembangan dan perluasan dengan adanya tanah wakaf berupa sawah pada tahun 1960 - 2002 dari beberapa wakif (A) sebagaimana tersebut di atas. Adapun pengurus masjid atau yang biasa disebut dengan Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) pada periode saat ini adalah Ust. Ridwan (B). Sedangkan nadzir, yang mengurusi tanah wakaf berupa tanah sawah tersebut pada saat ini setelah beberapa periode adalah Ust. Saifuddin (C) yang notabene adalah juga ahli waris salah seorai1g wakif tanah sawah tersebut. Kemudian proses akad yang berlangsung pada saat itu (tahun 1960-2002) dilaksanakan secara lisan tanpa adanya surat-surat atau dokumen-dokumen resmi sebagai persyaratan wakif kecuali hanya disaksikan oleh keluarga dari masing-masing 8 Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' al-Istiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006. 90 pihak wakif dan nadzir. Setelah beberapa tahun pemanfaa1tan obyek tanah wakaf berupa tanah sawah tersebut, tepatnya pada tahun 2003, salah satu tanah sawah diambil oleh D yang nota bene adalah ahli waris dari wakif (A) tanah sawah tersebut dan paman dari C dengan dalih bahwa tanah sawah itu telah diberikan oleh A kepada D secara hibah. 9 Sehubungan dengan penyimpangan yang terjadi pada pemanfaatan obyek wakaf di atas, B selaku DKM dan C selaku nadzir mengambil tindakan dengan memperingatkan D bahwa tanah sawah tersebut adalah wakaf milik Masjid Jami' alJstiqomah. Akan tetapi D tetap bersikeras bahwa tanah sawah tersbut adalah miliknya. Adapun ahli waris yang lain sudah menyerahkan sepenuhnya kepada DKM dan nadzir sehingga dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, ahli waris yang lain tidak ikut campur. 10 Penyimpangan yang terns berlangsung disebabkan DKM dan nadzir tidak bisa bertindak apa-apa selain memperingatkan. Hal ini bermuara pada tidak adanya buktibukti otentik dan tidak dipenuhi dokumen-dokumen resmi sebagai syarat-syarat 9 Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-lstiqomah Os Cikalong, Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006, dan Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' allstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006, serta Abdul Hamid Saifuddin, Ahli Waris Tanah WakafMasjid Jami' al-lstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang. 8 Juni 2006. '° Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-lstiqomah Os Cikalong, Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006, dan Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' allstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006, serta Abdul Hamid Saifuddin, Ahli Waris Tanah WakafMasjid Jami' al-lstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang. 8 Juni 2006. 91 perwakafan. Sementara itu, masyarakat desa Cikalong hanya sebatas membicarakan penyimpangan yang terjadi tanpa bisa memberikan solusi. 11 B. Faktor Penyebab WaqifMelakukan WakafVang Tidak Terdaftar Wakaf merupakan suatu perbuatan hukum. Sebagai suatu perbuatan hukum maka untuk perwujudannya diperlukan prosedur atau tata cara yang digariskan dalam pengaturan mengenai perwakafan. Secara garis besar dalam lJU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diatur dalam Pasal 17 sampai dengm1 Pasal 21 sedangkan dalam PP No. 28 Tahun 1977 diatur dalam Bab Ill Bagian pertama Pasal 9 serta dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam buku III Bab III Bagian I Pasal 223. UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menentukan sebagai berikut: Pasal 17 I. Ikrar wakaf dilaksanankan oleh wakif kepada nadzir dihadapan PPAJW dengan disaksikan oleh 2 orang saksi. 2. lkrar wakaf sebagaimana dimaksud ayat (I) dinyatakan secara lisan dan atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. Pasal 18 Dalam ha! wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh 11 Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-Istiqomah Ds Cikalong, Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006, dan Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid Jami' allstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006 92 hukwn, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 orang saksi. Pasal 19 Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf wakif atau kuasanya menyerahkan surat atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PP AIW . Pasal 20 Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan: a. Dewasa b. Beragama Islam c. Berakal sehat d. Tidak terlarang melakukan perbuatan hukum Pasal 21 I. Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. 2. Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (I) paling sedikit memuat: 3. a. nama dan identitas wakaf; b. nama dan identitas nazhir; c. data dan keterangan harta benda wakaf; d. peruntukkan harta benda wakaf; e. jangka waktu wakaf. Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 93 Pasal 9 PP No. 28 Tahun 1977 menentukan sebagai berikut: (I) Pihak yang hendak rnewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakafuntuk melaksanakan Ikrar Wakaf. (2) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. (3) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama. (4) Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan Akta lkrar Wakaf dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. (5) Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat (I) yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada pejabat tersebut dalam ayat (2) surat-surat berikut: a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah Iainnya. b. Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu sengketa. c. Surat keterangan pendaftaran tanah. d. Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala sub Direktorat Agraria setempat. Sedangkan pasal 223 Kompilsi Hukum Islam menentukan dengan formulasi yang sedikit berbeda sebagai berikut: 94 (1) Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuat Akta Jkrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf. (2) Jsi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama. (3) Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan Akta Jkrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kura'flgnya 2 orang saksi. (4) Dal am melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat ( 1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada pejabat yang tersebut dalam pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut: a. Tanda bukti pemilikan harta benda. b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Carnal setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud. c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan. Sekalipun terdapat beberapa perbedaan antara apa yang digariskan dalam UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dengan PP No. 28 Tahun 1977 serta pasal 223 Kompilasi Hukum Islam, namun pada prinsipnya terdapat kesamaan bahwa perwakafan harus dilaksanakan seeara tertulis tidak cukup jika hanya dilakukan dengan ikrar lisan. Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hak dan kepastian hukum dengan adanya bukti-bukti tertulis yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan sepe1ii untuk bahan pendaftaran pada Kantor Pertanahan Kab/Kota dan 95 untuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Oleh karena itu, seseorang yang hendak mewakafkan tanah hams membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan (sertifikat) dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah milik tersebut. Disamping itu, diperlukan pejabat-pejabat khusus yang melaksanakan pembuatan aktanya. Dalam kenyataanya di desa Cikalong masih terdapat tm1ah wakaf yaitu tanah wakaf Masjid Jami' Al Istiqomah yang belum didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Tanah wakaf yang tidak jelas secara hukum tersebut, telah mengundang kerawanan dan memudahkan terjadinya penyimpangan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dari hakekat hukum dan tuj uan perwakafan. Dari hasil interview di Iapangan terdapat beberapa faktor penyebab waqif melaksanakan wakaf yang tidak terdaftar, yaitu sebagai berikut: I. Adanya hubungan kekeluargaan antara waq!f dan nadzir sehingga waqif merasa cukup dengan ikrar Iisan saja tanpa bukti-bukti tertulis dalam mewakafkan tanahnya. Faktor kekeluargaan ini juga mendorong waqif untuk tidak merasa khawatir adanya penyimpangan dan penyelewengan terhadap tanah yang diwakaflrnn di kemudian hari. 2. Rasa kepercayaan yang tinggi dari waqif kepada nadzir untuk menjaga keutuhan tanah yang diwakafkan, dimana ha! ini dilatarbelakangi kultur masyarakat saat itu yaitu mampu memegang teguh kepercayaan yang 96 diberikan orang lain, sehingga waqif merasa cukup dengan melaksanakan wakaf secara lisan. 3. Pengetahuan waqif tentang pentingnya dokumen otentik masih mm1m karena waqif'belum mengetahui aturan-aturan yang terdapat dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 4. Surat-surat bukti kepemilikan dari tanah yang diwakafkan kurang jelas, sehingga untuk melengkapi surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan tanah wakaf memerlukan biaya yang besar dan waktu yang tidak singkat. 5. Besamya biaya administratif untuk mendaftarkan tanah wakaf dan mensertifikatkannya merupakan faktor penyebab waqil melaksanakan wakaf yang tidak terdaftar. i;, C. Akibat Yuridis Dan Perlindungan Hukum Bagi Tan:ah Wakaf Yang Tidak Terdaftar Produk pernndang-undangan tentang perwakafan yaitu PP No. 28 Tahun 1977 dan lnpres No. 1 Tahun 1991 atau Kompilasi Hukum Islam beserta peraturanperaturan pelaksanaannya ternyata dalam prakteknya di lapangan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan karena adanya beberapa hambatan antara lain: 12 Ridwan, Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Jami' al-Istiqomah Ds Cikalong, Wawancara Pribadi, Karawang, 23 Juli 2006, dan Saifuddin, Nadzir Tanah Wakaf Masjid iam1 1'·lstiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 24 Juli 2006, serta Abdul Hamid Saifuddin, Ahli Waris Tanah Wakaf Masjid Jami' al-Istiqomah, Wawancara Pribadi, Karawang, 8 Juni 2006. 97 a) PP No. 28 tahun 1977 belum memasyarakat di tengah-tengah masyarakat, sehingga masyarakat masih beranggapan bahwa wakaf adalah pure institusi agama yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan administrasi negara dan cukup hanya dengan berdasarkan opersionalisasi wakaf dalam fiqh, b) Tanah wakaf sebelum berlakunya PP No. 28 tahun 1977 kebanyakan belum mempunyai data otentik, sehingga dalam proses penyesuaian dengan PP tersebut sering menimbulkan masalah antara pihak-pihak yang terkait, c) Banyaknya tempat ibadah, gedung lembaga keagamaan dan kuburan yang menempati tanah negara yang belum tertampung dalam dalam PP No. 28 tahun 1977 untuk berubah statusnya menjadi tanah wakaf, d) Terbatasnya dana untuk pensertifikatan tanah wakaf.;, Dalam kenyataannya tanah wakafMasjid Jami' Al lstiqomah belum didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat, sehingga sertifikat tanah wakaf belum diterbitkan. Tidak adanya bukti otentik untuk menjaga keutuhan dan kelestarian tanah wakaf tersebut menyebabkan waqif maupun nadzir tidak bisa menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi tanah wakaf dari gugatan pihak lain (C). Akibatnya sampai sekarang tanah yang seharusnya merupakan bagian dari wakaf masjid berubah kepemilikannya menjadi hak milik C. Sementara itu masyarakat yang mengetahui 13 Suparman Usman, op.cit., h.94. 98 adanya penyalahgunaan tanah wakaf oleh pihak penggugat, lebih memilih sikap diam dan menyerahkan kepada Allah karena benda wakaf menurut masyarakat setempat merupakan hak Allah sehingga hanya Dia yang berhak menyelesaikan. 1. Akibat Yuridis Tanah Wakaf Yang Tidak Terdaftar Menurut Hukum Islam Wakaf sebagai suatu lembaga Islam tentu juga mempunyai rukun. Tanpa adanya rukun yang telah ditetapkan wakaf tidak dapat berdiri. Mengenai jumlah rukun terdapat perbedaan di kalangan fukaha, akan tetapi menurut jumhur ulama, yaitu dari kalangan madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, bahwa rukun wakaf ada ,4 . I. Orang yang berwakaf atau wakif yaitu pemilik harta benda yang empat , ymtu: melakukan tindakan hukum. 2. Harta yang diwakafkan atau mauquf bih sebagai obyek perbuatan hukum. 3. Tujuan wakaf atau yang berhak menerima hasil wakaf yang disebut maiquf 'alaih, dan Pernyataan wakaf dari wakifyang disebut shighat atau ikrar wakaf. 4. Adapun mengenai pendaftaran atau pencatatan harta benda wakaf tidak disinggung dalam kajian hukum Islam terutama dalam pandangan Imam-imam Madzhab. 14 Abdul Wahab Khallaf, op.cit., h. 24. 99 Sedangkan mengenai kedudukan harta wakaf terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Abu Hanifah mengartikan wakaf sebagai shadaqah yang kedudukannya seperti ariyah atau pinjam meminjam. Perbedaanya, dalam kedudukan seperti ariyah benda ada pada tangan peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat benda itu, sedangkan benda dalam wakaf ada di tangan pemilik yang tidak menggunakan atau mengambil manfaat benda itu. Dengan demikian benda yang diwakafkan tetap menjadi pemilik wakif sepenuhnya, hanya manfaatnya saja yang disedekahkan, sehingga pada suatu saat harta wakaf dapat kembali kepada wakif, begitu pula ia boleh menarik kembali wakafnya kapan saja ia kehendaki. 15 Menumt golongan Malikiyah, wakaf berarti pemilik harta memberikan manfaat harta yang dimiliki bagi mustahiq. Harta tersebut dapat berupa benda yang disewa, kemudian hasilnya diwakafkan. Oleh karena itu wakaf tidak mesti dilembagakan secara abadi dalam arti muabbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu yang disebut muaqqad. Maka golongan Malikiyah mcmperbolehkan manfaat wakaf dari sesuatu yang disewa dan karenanya mereka be1pendapat bahwa syarat wakaf tidak harus abadi. Namun demikian wakaf tidak boleh ditarik di tengah perjalanan, dengan kata lain wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum habis tenggang waktu yang telah ditetapkan. Kiranya disinilah letak adanya kepastian 15 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 153 100 hukum (lazim) dalam perwakafan menurut Imam Malik, yaitu kepasitan hukum yang mengikat berdasarkan suatu ikrar. 16 Madzhab Syafi'i dengan tegas berpendapat bahwa pemilikan atas harta wakaf telah berpindah kepada Allah, bukan lagi rnilik wakif, bukan pula milik mauquf 'alaih. Manfaat atau hasil harta wakaf adalah sepenuhnya untuk mauquf 'alaih. 17 Sejalan dengan madzhab Syafi'iyah di atas, madzhab Hanbali berpendirian bahwa apabila suatu wakaf itu sudah sah maka hilanglah atau lepas sudah hak pemilikan dari wakif. Lebih lanjut menurut madzhab Hanbali, bila wakaf itu untuk masjid dan sejenisnya yang bermanfaat untuk kepentingan umum seperti sekolah, jal, jembatan, dan sebagainya maka pemilikan atas harta wakaf itu berada di sisi Allah, sedangkan bila wakaf itu diperuntukkan untuk orang tertentu maka pemilikannya di tangan mauquf 'alaih. Akan tetapi perlu diingat pula fim1an Allah SWT yang berbunyi: nai orang-orang yang oenman, apao11a Kamu oermu amaian yang 11aun. secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. " (QS. 2 (al-Baqarah): 282). Ayat ini menegaskan bahwa ada keharusan mencatat transaksi mu'amalah seperti jual beli, hutang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya. Hal ini 16 Djuhaya S. Praja, op.cit., h. 18. 17 Al-Syarbini, op.cit., h. 389. 101 bertujuan untuk menjaga harta benda dari adanya penyelewengan, persengketaan, atau kealpaan pada kemudian hari. Adapun wakaf adalah sebagai institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan masalah sosial ekonomi dan kepentingan masyarakat banyak, maka harus dicatat pula. Walaupun secarn eksplisit ayat ini tidak menegaskan mengenai keharusan mencatat wakaf, akan tetapi jika melihat pada kondisi sekarang ini akan kerawanan harta benda wakaf yang tidak memiliki bukti tulis, maka ayat ini bisa dijadikan sandaran untuk pencatatan harta benda wakaf agar terhindar dari adanya penyelewengan, persengketaan, ataupun kealpaan pada kemudian hari. Kemudian kalau kita memnJau dalam qowaidul jiqhiyyah maka kita akan menemukan beberapa kaidah yang secara tersirat mendukung untuk adanya keharusan pencatatan sighat wakaf ini yaitu : a. "Kemudharatan harus dihilangkan ". 18 b. "Menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan ". 19 18 Muslih Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) h. 132 19 Ibid, h. 143. 102 Penyelewengan, persengketaan, ataupun kealpaan yang bisa datang di kemudian hari yang terjadi dalam perwakafan banyak diakibatkan oleh tidak adanya bukti tertulis dari sighat wakaf. Hal ini adalah suatu kemudharatan atau kerusakan karena wakaf yang seharusnya pemanfaatannya digunakan untuk umat manusia dan hak kepemilikannya berpindah kepada Allah SWT telah hilang atau berpindah kepada orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, pencatatan sighat wakaf adalah untuk menolak kerusakan dan mendatangkan kemashlahatan. c. "Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum ". 20 Jumhur ulama mengidentikkan term 'adah dengan 'urufkeduanya mempunyai arti yang sama. Namun sebagian fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya mendefinisikan 'adah dengan: "Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan dilakukan secara terus menerus ". Sedangkan 'uru/adalah: 20 Ibid, h. 140 103 "Uruf adalah suatu {perbuatan) yang jiwa merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan aka/ sehat dan diterima oleh tabiat sejahtera ". 21 Menurut pengertian di atas, maka 'adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan aka! sehat. Syarat ini menunjukkan bahwa 'adah tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat. b. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terul.ang-ulang, boleh dikata sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat. c. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Quran maupun asSunnah. d. Tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan dengan jiwa dan aka! sejahtera. 22 Dengan demikian pencatatan sighat wakaf sesuai dengan 'adah karena telah memenuhi syarat. Pertama, pencatatan adalah suatu perbuatan yang logis dan relevan dengan aka! sehat. Kedua, pencatatan adalah perbuatan yang dilakukan berulang kali terutama mengenai urusan mu'amalah atau perkara apapun yang kemudian hari bisa mengakibatkan persengketaan. Ketiga, pencatatan tidak bertentangan dengan ketentuan nash, bahkan al-Quran menganjurkannya seperti dalam surat al-Baqarah 21 lbid, h. 141 22 Ibid, h. 142 104 ayat 282. Keempat, pencatatan tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan dengan jiwa dan aka! yang sejahtera, bahkan pencatatan ini mendatangkan kemaslahatan. Kemudian ada satu ayat lagi yang bisa dijadikan landasan mengenai keharusan pencatatan sighat wakaf yaitu: ·i-- ~ If .J y ')\j\ i..s3J J' .>'-"•.11 y \°-:· ..·.'-I J :&I \J"'o:.. ''i..61 \J-l-" •·1 ·.o~\L •.G ~ 1.J:L '"ti":i" 0 0 (o '1: i/,,.WI) "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati pula Rasul-Nya dan Ulil amri dari kamu ... "(OS. 4(an-Nisa '):59) Dalam ayat ini Allah SWT membahas mengenai perintah-Nya agar orang beriman mentaati Allah, Rasul-Nya dan Ulil amri. Sebagian ulama mengemukakan bahwa hubungan ayat di atas dengan ayat sebelumnya bertumpu pada hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Menurut pendapat ini, ayat pertama ditujukan kepada para pejabat agar menunaikan amanat dan memerintah denga adil, sedang dalam ayat kedua ini terdapat perintah agar rakyat mentaati Allah, Rasul-Nya dan pemerintah. Pendapat semacam ini dikemukakan antara lain oleh al-Zamakhsyari dan al-Qurthubi. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-Maraghi. Ia tidak memandang ayat-ayat tersebut bersifat khusus yang ditujukan pada pemerintah atau 105 rakyat semata, tetapi bersifat wnum. Ini berarti ayat itu tidal' saja ditujukan kepada rakyat, tetapi juga kepada pejabat pemerintah. 23 Hal ini juga berarti bahwa firman Allah SWT yang dibahas tidak hanya mengandung kewajiban taat kepada Rasul SAW dan Ulil amri, tetapi juga menjadi dasar keberadaan kekuasaan politik yang dimiliki pemerintah dan keabsahannya. Keabsahan ulil amn mengandung makna bahwa hukum-hukum dan kebijaksanaan politik yang mereka putuskan, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, mempunyai kekuatan yang mengikat seluruh rakyat. Karena itu seluruh rakyat yang menjadi subyek hukrnn wajib menaatinya. Keberadaan hukum ini, di samping hukum Tuhan, sebagai hukum positif memperlihatkan wajah dari tata-hukwn yang menjadi bagian dari sistem politik dan pemerintahan yang dikenal dalam al-Quran. 24 Adapun mengenai permasalahan wakaf, pemerintah atau ulil amri sendiri telah memberikan peraturan yang jelas dan di antara peraturan tersebut dicantumkan adanya kewajiban untuk pencatatan sighat wakaf. Oleh karena itu kita wajib menaatinya karena peraturan mengenai pencatatan sighat wakaf tidaklah bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Hal ini berakibat pada tidak sahnya perwakafan jika tidak disertai dengan catatan yang prosedurnya sesuai dengan peraturan ulil amri atau pemerintah. 23 Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 3, h. 218 24 Ibid, h. 235. 106 Dengan penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa para imam madzhab tidak memberikan penjelasan mengenai pendaftaran harta benda wakaf. Akan tetapi dengan pertimbangan argumen-argumen di atas yaitu surat al-Baqarah ayat 282, dan surat an-Nisa ayat 59 serta beberapa kaidah-kaidah fiqhiyah, untuk itu tanah wakaf yang tidak terdaftar status hukumnya adalah tidak sah karena adanya ketentuan yang menyatakan keharusan pencatatan atau pendaftaran harta benda wakaf baik tersurat maupun tersirat. Atas pertimbangan inilah maka status hukum tanah wakaf yang terdapat di Masjid Jami' al-Istiqomah di Desa Cikalong adalah tidak sah serta tidak sesuai dengan hukum Islam. 2. Akibat Yuridis Tanah Wakaf Yang Tidak Terdaftar Menurut Hukum Positif Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pasal 6 menyebutkan bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: 1. Wakif; 2. Nadzir; 3. Harta benda wakaf; 4. Ikrar Wakaf; 5. Peruntukan harta benda wakaf; 6. Jangka Waktu Wakaf. Unsur adalah persamaan dari kata rukun yang berarti sesuatu yang merupakan sendi utama dan unsur pokok dalam pembentukan suatu ha!. Sedangkan unsur atau 107 rukun wakaf yang tertuang dalam UU wakaf seperl.i tersebut di atas ada enam (6 ), yang mana unsur-unsur tersebut hams terpenuhi semuanya. Dan dalam keenam unsur tersebut yang tidak kalah penting adalah ikrar wakaf. Dalam pasal 1 ayat (3) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nadzir untuk mewakaflrnn harta benda miliknya. Kemudian pada pasal 17 UU Wakaf disebutkan bahwa: ( 1) lkrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan PP AIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. (2) Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAlW. Jadi menurut ketentuan pasal tersebut di atas wakaf harus disaksikan oleh sedikitnya dua orang saksi dan dilakukan di hadapan PPAIW yang kemudian menuangkannya dalam akta ikrar wakaf. Tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf lebih lanjut diatur dalam pasal 32 s/d pasal 39 UU. No. 41Tahun2004 Tentang Wakaf. Setelah selesai Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Dalam pendaftaran harta benda wakaf tersebut PP AIW menyerahkan: 1. Salinan akta ikrar wakaf; 2. Surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya. 108 Setelah hal tersebut terlaksana maka instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf, kemudian bukti pendaftaran tersebut disarnpaikan oleh PP AIW kepada nadzir. Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran harta benda wakaf, sebagaimana tercantum di dalam Penjelasan Alas UU. RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan tercatat pada Negara dengan status sebagai harta benda wakaf. Dari penjelasan tersebut diatas yang berdasarkan pada UU Wakaf dapat ditarik kesimpulan bahwa ikrar wakaf dilakukan wakif dengan lisan dan/atau tulisan disaksikan sedikitnya dua orang saksi dan dihadapan PP AIW yang kemudian mencatatnya dalarn Akta Ikrar Wakaf. Setelah selesai maka. PPAIW mendaftarkan harta benda wakaf kepada yang berwenang, yaitu Badan Pertanahan Nasional, untuk kemudian instansi yang berwenang tersebut menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf. Oleh karena pertimbangan ha! tersebut di atas maka tanah wakaf yang tidak terdaftar seperti yang terjadi pada tanah wakaf Masjid al-Istiqomah terletak di kampung Cikalong Girang tidak sah atau batal demi hukum. Hal ini juga berarti bahwa tanah wakaf yang tidak terdaftar status hukum kepemilikannya masing dipegang oleh wakif atau ahli warisnya. 3. Perlindungan Hukum Tanah Wakaf Yang Tidak Terdaftar Menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indonesia, maka pemerintah bersama DPR RI telah menetapkan Undang-undang tentang Peraturan 109 Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yaitu UU No. 5 tahun 1960 yang disahkan tanggal 24 September 1960. dalam konsiderannya pada bagian Berpendapat, huruf 'a' disebutkan: Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbanganpertimbangan di atas perlu adanya hukum agrarian nasional, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Sehubungan dengan ha! ini, pasal 14 ayat (I) huruf b UUP A tersebut menentukan bahwa pemerintah Indonesia dalan1 rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persedian, peruntukan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam peruntukan seperti dimaksud di atas, termasuklah untuk keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. 25 Secara lebih khusus, keperluan yang termasuk kepentingan agama ini disebut dalam pasal 49 ayat (3) UUPA yang menegaskan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Sebagai realisasi dari ketentuan ini, kemudian dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang ditetapkan tanggal 17 Mei 1977.26 Sebagai tindak lanjut PP No.28 tahun 1977, dikeluarkanlah beberapa peraturan sebagai berikut : 25 Depag, Strategi Pengamanan Tanah Waka/, (Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat dan Haji 2004), h.53. 26 Ibid., h.54. 110 I. Peraturan pelaksanaan PP No.28/1977 yang diatur oleh Peraturan Menteri Agama No. I tahun 1978. 2. Instruksi Bersama Menteri Agama dengan Menteri Dalan1 Negeri No. I tahun 1978. 3. Keputusan Menteri Agama No.73 tahun 1978 tentang pendelegasian wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala KUA sebagai PPAIW. 4. Instruksi Menteri Agama No.3 tahun 1978 tentang petunjuk pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No.73 tahun 1978. 5. Instruksi Menteri Agama No.3 tahun 1978 tentang bimbingan dan pembinaan kepada badan hukum keagamaan yang memiliki tanah. 6. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 tahun 1990/No.24 tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. 7. Berbagai Surat Keputusan dan Edaran Di~jen Bimas Islam dan Urusan Haji yang berkenaan dengan perwakafan. 8. Kompilasi Hukum Islam yang disosialisasikan dengan lnpres No. l Tahun 1991. 27 9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 27 Muhammad Daud Ali, op.cil.,h.127-128 111 Ada kecenderungan dalam masyarakat, mereka beranggapan bahwa tanpa sertifikasi pun kepastian hukum hak atas tanah wakaf cukup te~jamin. Dari pengamatan di lapangan juga diketahui hanya sedikit sekali pernah terjadi adanya sengketa tanah wakaf. Artinya setelah selama beberapa tahun jarang terjadi gugatan, tuntutan atau sengketa tanah wakaf. Hal sedikit banyak, ikut rnemeberi ras aman bagi pemegang tanah wakaf. Kemudian ditambah lagi dengan kenyataan bahwa masih banyak tokoh-tokoh mesyarakat atau agama yang kurang memahami sepenuhnya berbagai perangkat peraturan yang mengenai tanah wakaf dan pendaftaran tanah. Memang sedikit sekali usaha yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten untuk memberikan penyuluhan dan penerangan kepada masyarakat dalam ha! pendaftaran tanah wakaf ini. Sehubungan dengan ha! ini penting diperhatikan pendapat Fuller yang mengemukakan delapan nilai yang hams diwujudkan oleh hukum dan disebut pula dengan "delapan prinsip legalitas". Di antara delapan prinsip itu adalah: peraturan itu harus diumumkan secara layak. Di lain pihak, Clarence J. Dias, juga mengemukakan lima syarat yang harus dipenuhi dalam mengefektifkan system hukum diantaranya: luas tidaknya kalangan du dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan. Sebab menurut Satjipto Rahardjo, komunikasi hukum merupakan salah satu factor di sampmg faktor-faktor lainnya dalam rangka membentuk pemahaman, penerimaan dan pentaatan masyarakat pada isi undang-undang. 28 28 Depag, op.cit., h.58-59. 112 Dengan demikian akan mudah dipahami, kalau masih banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ingin diberlakukan mengenai tata cara pendaftaran tanah wakaf, maka peraturan itu tidak akan berjalan efektif. Apalagi masyarakat pedesaan yang tradisional, selama ini sudah terbiasa dan sangat akrab dengan tatacara yang sederhana dalam berbagai hubungan di antara mereka. Tidak banyak dibutuhkan banyak prosedur dan bukti tertulis. Dari pengmatan di lapangan diketahui bahwa pengurusan pengurusan tanah atau membuat sertifikat tidaklah demikian sederhana, sering setelah bertahun-tahun belum juga selesai. Sementara mesyarakat menemui kenyataan bahwa setelah beberapa puluh tahun bahkan secara turun-temurun tanah tertentu mereka miliki, mereka tidak pernah mengalami kesulitan apa-apa. Mereka merasa bahwa pemilikan tanah dengan cara seperti itu selama ini cukup "aman". Di sinilah terletak masalah dalam rangka ingin menjalankan fungsi hukum sebgai sarana pembaruan masyarakat. 29 Maka perlindungan atau pengamanan tanah wakaf suka tidak suka, didahului dengan penyadaran masyarakat akan urgensi sertifikasi. Proses yang ditempuh bukan perkara mudah dan cepat, dibutuhkan suatu kerja keras dan panjang. Sengketa tanah wakaf dengan ahli waris dapat saja terjadi sewaktu-waktu, apalagi dalam masyarakat yang "melek" hukum. Amat boleh jadi kebiasaan meremehkan sertifikasi akan berdampak buruk bagi perkembangan pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf. Dan hal ini 29 te~jadi dalam tanah wakaf Masjid Jami' al-Istiqomah Desa Cikalong. Ibid, op cit., h.60. 113 Berdasarkan pasal 12 PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik menetapkan bahwa penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila penyelesaian senketa tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Yang dimaksud dengan penyelesaian perselisihan, yaitu yang tertuang dalam pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA, adalah penyelesaian sengketa sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah mengenai sah atau tidaknya perbuatan mewakafkan dan masalah lain yang menyangkut masalah wakaf berdasarkan syari'at Islam menjadi wewenang Pengadilan Agama. Dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 ha! ini dijelaskan pada pasal 17 ayat ( 1) yang menetapkan bahwa Pengadilan Agama yang mewilayahi wakaf berkewajiban memeriksa dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut syari'at Islam antara lain mengenai: a. wakaf, wakif, nadzir, ikrar, saksi; b. bayyinah (alat bukti administrasi wakaf); c. pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf. Dengan demikian untuk menyelesaikan kasus wakaf yang tidak terdaftar di atas, jika jalan damai atau penyelesaian non litigasi sudah ditempuh akan tetapi belum menemukan jalan keluar, maka berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan 114 permasalahan tersebut bisa diselesaikan melalui Pengadilan Agama yang membawahinya dengan earn menggali informasi dari para pihak yang terkait dengan perwakafan itu dan para saksi istifadlah. Pada akhirnya masalah pendaftaran dan pensertifikatan tanah wakaf bertujuan untuk melindungi eksistensi dari harta Allah, sehingga diperlukan adanya keterbukaan semua pihak tentang keadaan dan status tanah wakaf untuk melakukan upaya yang terencana dan berkesinambungan demi terwujud.nya perlindungan yang nyata atas tanah wakaf. Dan pada hakekatnya mengurusi masalah tanah wakaf termasuk perjuangan karena bukan merupakan bidang yang dapat dikomersialkan sehingga keikhlasan semata-mata beribadah untuk mendapat keridlaan Allah haruslah dimiliki oleh semua pihak yang terkait dengan perwakafan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan I. Dalam pandangan masyarakat desa Cikalong tepatnya pada tanah wakaf Masjid Jami' Al lstiqomah, praktek perwakafannya, yang secara lisan, telah sah menurut fiqih, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a) adanya hubungan kekeluargaan antara waqif dan nadzir sehingga waqif merasa cukup dengan ikrar lisan saja tanpa bukti-bukti tertulis dalam mewakafkan tanahnya; b) rasa kepercayaan yang tinggi dari waqif'kepada nadzir untuk menjaga keutuhan tanah yang diwakafkan, dimana ha! ini dilatarbelakangi kultur masyarakat saat itu; c) pengetahuan waqif tentang pentingnya dokumen otentik masih minim karena waqif belum mengetahui aturanaturan yang terdapat dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf; d) surat-surat bukti kepemilikan dari tanah yang diwakafkan kurang jelas; e) besamya biaya administratif untuk mendaftarkan tanah wakaf dan mensertifikatkannya. 2. Dalam kajian hukum Islam para imam madzhab yang empat tidak menyebutkan keharusan adanya pendaftaran atau pencatatan harta wakaf. Akan tetapi dengan pertimbangan argumen-argumen yang telah disebutkan di atas yaitu surat al-Baqarah ayat 282, dan surat an-Nisa ayat 116 59 serta beberapa kaidah-kaidah fiqhiyah, untuk itu tanah wakaf yang tidak terdaftar status hukumnya adalah tidak sah karena adanya ketentuan yang menyatakan keharusan pencatatan atau pendaftaran hruia benda wakaf baik tersurat maupun tersirat. Atas pertimbangan inilah maka status hukum tanah wakaf yang terdapat di Masjid Jami' al-Istiqomah di Desa Cikalong adalah tidak sah serta tidak sesuai dengan hukum Islam. Kemudian menurut hukum positif karena adanya ketentuan keharusan pendaftaran dan pencatan harta benda wakaf , maka akibat yuridis atau hukum tanah wakaf yang tidak terdaftar, yang mengakibatkan ketidakjelasan tanah wakaf tersebut, adalah tidak sah atau batal demi hukum. Oleh karena itu status kepemilikan tanah wakaf tersebut adalah milik wakif atau ahli warisnya. Tanah wakaf masjid Jami' Al lstiqomah yang belum didaftarkan dan belum bersertifikat rnerupakan tanah wakaf yang tidak jelas secara hukum yang berakibat tidak sah dan batal demi hukum sehingga telah mengundang kerawanan dan memudahkan te1jadinya penyimpangan oleh pihak-pihak yang 1idak bertanggungjawab dari hakekat hukum dan tujuan perwakafan. Hal ini menunjukkan bahwa tanah wakaf yang tidak mempunyai surat-surat bukti dan dokumen yang otentik tidak mempunyai perlindungan dan jaminan hukum yang tegas dan pasti. Oleh karena itu satu-satunya perlindungan hukum bagi tanah wakaf yang tidak terdaftar adalah dengan sertifikasi atau mendaftarkan tanah wakaftersebut pada lembaga yang berwenang. 117 B. Saran-saran I. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan sebagai penyelenggara administrasi perwakafan diharapkan mengadakan penyuluhan hukum secara terpadu mengenai pendaftaran tanah wakaf, sehingga masyarakat dapat mengerti dan mengetahui prosedur dan tata cara pendaftaran tanah wakaf, dimana pendaftaran tanah wakaf tersebut sangat penting untuk menjan1in perlindungan dan kepastian hukum atas tanah-tanah wakaf dalam keberadaannya sebagai harta milik Allah. 2. Nadzir harus lebih pro aktif dalam menyelesaikan sengketa wakaf di atas bersama-sama dengan pengurus masjid dengan cara menempuh jalan kekeluargaan atau penyelesaian non litigasi. 3. Solusi yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa wakaf terse but adalah dengan cara mengumpulkan tanda tangan dari para saksi istifadlah dalam ha! ini dapat diwakili oleh beberapa sesepuh desa yang mengetahui dan meyakini bahwa tanah dan bangunan yang disengketakan benar-benar merupakan wakaf masjid. Dari tindakan ini diharapkan D mau meninggalkan tanah tersebut, sehingga keduanya dapat dikembalikan kepada tujuan dan fungsi yang sebenarnya sebagai wakaf masjid. 4. Jika cara di atas tidak menemukan jalan keluar., maka harus ditempuh penyelesaian membawahinya isl !fad/ah. litigasi dengan yaitu melalui mengumpulkan Pengadilan bukti-bukti Agama yang seperti saksi 118 5. Dalam setiap urusan di bidang perwakafan, waqif. nadzir dan para pejabat yang berwenang seyogyanya benar-benar mentaati peraturan perundangan yang berlaku, terutama yang menyangkut biaya dan prosedur pengurusan surat-surat kelengkapan untuk mendaftarkan t:mah wakaf sehingga menunJang kelancaran proses pendaftaran dan pensertifikatan tanah wakaf. 119 DAFTAR PUST AKA Al-Qur 'an Al-Karim Abdurrahman, 1994, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Waka/ di Negara Kita, Bandung: Citra Aditya Bakti. Abidin, Muhammad Amin bin. 1966. Hasyiyah Raad al-Mukhtar. Jilid IV. Mesir: Musthafa al-Babi aal-Halabi. Abu Zahrah, Muhammad. 1971. Muhadlarahfi al-Waq/ Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi. Ad-Daruqutny, Ali bin Umar. 1994. Sunan ad-Daruqutny. Jilid II. Beirut: Dar al-Fikr. Ali Fikri, Sayid. 1938. Al-Mu 'amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah. Juz II. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi. Ali, Atabik, dan Ahmad Zuhdi Mudlor, 1996. Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maaksum Pondok Pesantren Krapyak. Ali, Muhammad Daud, 1998, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakc;f, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail. t. th. Shahih Al-Bukhari. Jilid I. Kairo: Dar Nahr an-Nail. Al-Alabij, Adijani. 2002. Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Al-Bahuti, Mansur Ibnu Yunus. 1982. Kasy1.yaf al-Qaana 'an Main aal-iqna '. Jilid IV. Beirut: Dar aal-Fikr. Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad. 1352 H. Al-sunan al-Kubra. India: Dairah alMa'rifah al-Usmaniyah. Al-Naisabury, Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi. 1992. Shahih Muslim . .Jilid II. Beimt: Dar al-Fikr. Al-Qozwaini, Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid. 1995. Swwn lbnu Mt;jah. Jilid II. Beimt: Da al-Fikr. 120 Al-Shan'ani, Muhammad Ibnu Ismail. T. Th. Subul al-Salam. Jilid III. Mesir: M. Ali Shahib. Al-Siba'i, Musthafa, 1964. Al-lstirakiyah a/-ls/amiyah. Di1erjemahkan oleh H.A. Malik Ahmad. Jakarta: CV. Mulia. Al-Syafi'i, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris. 1990. Al-Umm. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Syarbini, Muhammad al-Khathib. 1958. Muglmi al-Muhtaj. Mesir: Musthafa alBabi al-Halabi. Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. T. Th. Nail al-Aulhar. Musthafa al-babi al-Halabi. Al-Zuhaili, Wahbah, 1989, Al-Fiqh al-lslami wa Adillatuhu, Juz VIII. Damsyik: Dar al-Fikr. Ashshofa, Burhan, 1998, Me/ode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. Ash-shiddiqi, T. M. Has bi. 1978. Hukum-hukum Fikih Islam. Cet. V. Jakarta: Bulan Bintang. Basyir, Ahmad Azhar, 1977, Hukum Islam tentang Wal<pf, Jjarah dan Syirkah, Bandung: Al Ma'arif. Depag RI, 1979, Al Qur 'an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Pente1jemah/ Penafsir Al Qur' an. Depag RI, 2006, Peraturan Perundangan Perwakafan, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Depag RI, 2004, Strategi Pengamanan Tanah Waka/, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat dan Haji. Departemen Agama. 1996. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: P.T. lchtiar Barn Van Boeve. Djatmika, Rachmat. 1990. Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia. Dalam Abdun-ahman Wahid (et. all) Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya. 121 Djatmika. 1995. Resume Kuliah Pranata Sosial II (Wakaj). Mimeo dihimpun oleh Arbiyah Lubis. Program PascaSarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fyzee, Asaf A. A. 1974. Outline of Muhammadan Law. India: Oxford University. KhalaJ: Abdul Wahab. 1951. Ahkam al-Waqf Mesir: Matba'aah al-Mishr. Praja, Djuhaya S, 1995, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, Bandung: Yayasan Piara. Qal'ah, Muhammad Rawas. 1978. Mausu 'ah Fiqh Umar ibn aal-Khaththab. Beirut: Dar al-Nafais. Rahmat, Nasaroeddin. 1964. Harta Wakcif. Jakarta: Bulan Bintang. Rasyid, Sulaiman, 1964, Fiqh !slam, Jakarta: Yayas<m Al Thahiriyah. Sabiq, Sayid, 1983, Fiqh Al Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr. Saekan, Efendi, Erniati, 1997. Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukwn Islam di Indonesia. Surabaya: Arkola. Salim, Abdul Muin, 2002, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekua.man Politik Dalam Al- Quran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakai1a: UI Press. Sunggono, Bambang, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakef, Jakarta: CV. Eko Jaya. 2004. Usman, Muhlish, 1996, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Usman, Suparman, 1994, Hukum Perwakafan di Indonesia, Serang: Dar al - Ulum Press. DEPARTEMEN AGAMA RI UIN SY ARIF HIDAY ATULLAH J.AKARTA FAKULTAS SYARI'AH J[)AN HUKUM Telp. (021) 74711537 Fax. (021) 7491821 IL Jr HJuanda No.95 Ciputat 15412 Website : ~~~'·1'i.f.!i1l.J!I.J.\l. Email : [email protected] Non1or Lampiran I-Ia! : Ft. 43/ KM. 00. 02/ 1961 I 2006 Jakarta, 16 )uni 2006 : Mahon Data/ \,Yawancara Kepada Yth. Pengurus Jami ' Al-Istiqomah Desa Cikalong Di- Assaln11111'nlnik11111 Wr.Wb. Dengan I-format Pimpinan Fakultas Syariah Jakarta menerangkan bahvva : dan Hukum UIN Syarif Hidayatu!lah · Virka Untrisna Nd1ni1 . 202043101181 -1 en1pat;·ranggal Lahir : Ila tang, 22 September 1984 Sen1ester · VI!! ( Delapan) j urusan/Prodi : PMH/PMf Alamat : )!.Raya Masid Limpung No. 81 Kee. Limpung JawaTengah Telepon : 081584057470 Adalah benar 1nahasiswa Fakultas Syari'ah dan t·Iukun1 UIN Syarif 1-Iidayatullah Jakarta yang sedang 111enyelesaikan skripsinya dengan Topik/Judul: Non1or Pokok "Aki bat Yuridis Tanah Wakaf Yang Tidak Terdaftar ." Untuk 1nelengkapi bahan/data yang berkaitan dengan penulisan/pembahasan topik/judul di atas, din1ohon kiranya Saudara dapat n1en1bantu/ menerirna yang bersangkutan untuk n1elakukan observasi/ wawancara. Atas kesediaan bantuan Saudara diucapkan banyak tcriln<i kasih. Wnss11/an11t 'nlnikun1 Wr. \!\lb. ;;..-~"-'AN DEWAN KESEJAHTERAAN MASJID (DKM) MASJID JAMI' AL-ISTIQOMAH Kampung Cikalong Girang Kee. Cilamaya Wetan Kab. Karawang Jawa Baral SURAT KETERANGAN Yang bertanda tangan di bawah ini adalah Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Majid Jami' al-lstiqomah Cikalong Girang, menerangkan bahwa: Nama : VIRKA UNTRISNA NIM : 202043101181 Fakultas : Syari'ah dan Hukum Jurusan/Prodi : PMH/PMF Semester : Vlll Alamal : JI. Raya Masjid Limpung No. 81 Ke!. Limpung Kee. Limpung Kab. Batang Jawa Tengah 51271 Benar-benar telah melakukan penelitian di Masjid Jami' al-lstiqomah Kampung Cikalong Girang Des. Cikalong Kee. Cilamaya Wetan Kab. Karawang Jawa Baral, mulai tanggal 8 Juni s/d 26 Juli 2006. Demikian surat keterangan ini dibuat, harap digunakan sebagaimana semestinya. Hasil wawancara dengan Ust. Ridwan selaku Ketua Dewan K1esejahteraan Masjid (DKM) Tanggal 23 Juli 2006 Masjitl Jami' al-lstiqomah me11jadi seperti sekara11g i11i pasti memiliki sejaralz yang pa11ja11g, terus sejaralz berdiri11ya masjid itu kapa11 Ust.? Begini, sebelum berbentuk sebuah masjid, sebenarnya hanya berupa tempat shalat atau yang biasa kita sebut dengan istilah mushala yang sederhana yang dibangun pada tahun 1890 dan pada saat itu berupa bangunan panggung dari kayu dan bmnbu, oleh dua orang, yaitu: Syekh Talhah bese1ta muridnya Syekh Masmad, yang biasa dipanggil oleh masyarakat sekitar dengan julukan Buyut Dasih. Mushalla terse but dibangun di alas tanah milik Syekh Masmad yang kemudian diwakafkan oleh beliau. Se:telah Syekh Masmad wafat pada tahun 1921, maka menantu beliau Ust. Nurkhatim menggantikan beliau dalam pengurusan mushalla tersebut. Kemudia11 perubalza11 penmtuka11 ya11g semula digunaka11 1111tuk mushala menjadi masjid itu itu tepatnya terjadi kapan? Nah setelah Syekh Masmad wafat maka menantu beliau Ust. Nurkhatim yang mengurusi mushala tersebut dan pada tahun 1952 beliau merubah mushala yang tadinya berupa panggung dan terbuat dari kayu dan bambu menjadi sebuah bangunan permanen dari batu bata merah, dan pada tahun ini pula terjadi perubahan peruntukan tanah wakaf yang tadinya untuk mushalla menjadi masjid. Kemudian pada tahun 1994 terjadi perombakan besar-besaran sampai sekarang oleh pengurus berikutnya. Sete/alz te1jadi perubalta11 peru11tuka11 ya11g tadi11ya mushala me11jadi masjid kemudian perkembanga11 se/a11jut11ya sampai 111e11dapatka11 beberapa tanah wakaf berupa sawah itu bagaimana Ust.? Begini, dengan adanya perubahan tersebut baik peruntukannya yang semula mushala menjadi masjid sampai bangunannya yang tadinya dari kayu ke batu bata ini mendapatkan respon positif dm1 dukungan dari masyarakat. Dan salah satu dukungan tersebut adalah adanya kesadaran dari masyarakat untuk menyisihkan sebagian tanah sawah milik mereka untuk diwakafkan guna keperluan masjid. Dengan kata lain, Masjid Jami' al-Istikomah didirikan dan dibangun atas swadaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi tepatnya tahun 1960 sampai tahun 2002, yang mana beberapa orang kaya di sekitar masjid mewakafkan sawalmya sebagai penunjang untuk pengelolaan masjid pada masa berikutnya, dengan perincian sebagai berikut: pada tahun 1960 seluas 3 bau sawah yang diwakafkan oleh I-I Husnen, pada tahun 1967 seluas 3 bau sawah yang diwakafkan oleh I-I Usman, pada tahun 1982 seluas %, bau sawah yang diwakafkan oleh H Abdurrahim, tahun 1990 seluas I bau oleh Hj Rodiah, tahun 1994 seluas 1 bau oleh Waqifu, dan pada tahun 2000 seluas Y. bau sawah yang diwakafkan oleh I-lj Shopiah, serta pada tahun 2002 seluas Y2 bau sawah yang diwakafkan oleh Wadarni dengan demikian, total sawah yang diwakafkan untuk pengelolaan masjid Jami' al-Istiqomah adalah 9,5 bau'. Ollya Ust. Kepengurusa11 masjid itu kan biasanya disebut takmi.r tapi di masjid jami' i11i disebut dengan DKM, sebenarnya DKM itu apa Ust. Apa samn• dengan takmir? Sebenarnya mungkin istilah tak:mir dengan DKM itu sama saja karena DKM yang kepanjangannya Dewan Kesejahteraan Masjid adalah sebuah organisasi atau pengurus yang memelihara masjid tersebut. Dan DKM ini memiliki beberapa divisi, yaitu: Pertama, Imarah, yang mengurusi kegiatan kerohaniaan, seperti majlis taklim, tadarrusan, peringatan hari-hari besar Islam. Divisi imarah ini juga mengatur mengenai imam-imam, pengajar dan khatib Jumat. Kedua, Divisi ri'ayah, yang bertuga:s untuk menjaga atau memelihara fisik masjid, seperti jika ada pelebaran, kerusakan, dam perawatan bangunan lainnya. Ketiga, Divisi idaral1, yang bertugas untuk pembukuan keuangan, mencari dana untuk kepentingan masjid. Kemudian struktur kepengurusan DKM itu sendiri bagaimana? Sturtur kepengurusan DKM adalah sebagai berikut: Ketuanya saya sendiri, wakil H. Damanhuri, Bendahara H. Yadi, Sekretaris Endang Syahidin, Divisi Imarah diketuai H. Syamsusi dengan anggotanya Ust. Masrudin, Ust. A.Qomarudin dan Ust. Abdurrahim Affendi, divisi Ri'ayah diketuai H. Dasin dan anggotanya Warsin, Juhrah, Wajnin, Yasin, sedangkan divisi Idarah diketuai Darkim dan anggotanya Badrudin, Baidowi, dan Nata. Pada perkembangan se/anjutnya terjadi permasalaha11 pada tanai'z wakaf masjid, buka11 begitu Usl? Memang pada masa sekarang ini terjadi pemmsalahan mengenai tanah wakaf tersebut. Demikian duduk perkaranya, Masjid Jami' al-Istiqomah mengalarni perkembangan dan perluasan dengan adanya tanah wakaf berupa sawah pada tahun 1960 - 2002 dari beberapa wakif sebagaimana yang telah saya jelaskan. Adapun DKM-nya pada periode saat ini yaitu saya sendiri. Sedangkan nadzir, yang mengurusi tanah wakaf berupa tanah sawah tersebut pada saat ini setelah beberapa periode adalah Ust. Saifuddin yang notabene adalah juga ahli waris salah seorang wakif tanah sawah tersebut. Kemudian proses akad yang berlangsung pada saat itu dilaksanakan secara lisan tanpa adanya suratsurat atau dokumen-dokumen resmi sebagai persyaratan wakif kec:uali hanya disaksikan oleh keluarga dari masing-masing pihak wakif dan nadzir. Setelah beberapa tahun pemanfaatan obyek tanah wakaf berupa tanah sawah terse but, tepatnya pada tahun 2003, salah satu tanah sawah diambil oleh Fulan yang nota bene adalah ahli waris dari wakif tanah sawah tersebut dan paman dari Ust. Saifuddin, nadzir sekarang, dengan dalih bahwa tanah sawah itu telah diberikan oleh ayahnya, yaitu salah satu wakif tanah wakaf masjid, kepada Fulan secara hibah. Ketika terjadi pe11yimpa11ga11 tersebut apa yang Usl lakukan sebagai Ketua DKM? Ketika terjadi penyimpangan tersebut ya saya selaku DKM mengambil tindakan dengan memperingatkan Fulan bahwa tanah sawah tersebut adalah wakaf milik Masjid Jami' alIstiqomah. Akan tetapi si Fulan ini tetap bersikeras bahwa tanah sawah tersbut adalah miliknya. Dan penyimpangan ini terns berjalan sampai sekarang karena tidak adanya bukti-bukti smat. Ya karena itulah saya hanya bisa memperingatkan Fulan aja. Apaka/1 tidak ada gejo/ak dari masyarakat me11ge11ai ha! ini? Ya kalau masyarakat sih sebenamya mengecam perbuatan fulan, tapi ya karena itu lagi yaitu tidak adanya bukti surat maka ya tanahnya tetap dipegang fulan, ya jadinya masyarakat cuma bisa membicarakan penyimpangan ini aja tanpa bisa berbuat apa-apa. Sepengetalzuan Ust. factor-:faktor wakif tidak mendaftarkan tanah wakafnya itu kenapa?da11 apakalz tidak talw m11ge11ai peraturan perwakafa11 Ust.? Ya mungkin faktornya adalah kepercayaan wakif kepada nadzir untuk menjaga tanah wakafnya. Kemudian masalah ketidak mengertian peraturan perwakafan memang hal itu terjadi ya mungkin juga bukannya tidak mengerti tapi tidak talm. Selain itu kan biayanya kan besar dan membutuhkan waktu yang lama. Basil wawancara dengan Ust. Saifuddin selaku nadzir wakaf tanah Masjid Jami' AI-Istiqomah Tauggal 24 .Juli 2006. Ust. selaku nadzir pasti mengetaflui mengenai tanafl perwakafan ya11g diperuntukkan unuk Masjid Jami' al-lstiqomafl, sebetul11ya bermula dari kapa11r dan siapa saja yang mewakafkan Ust.? Memang pembangunan masjid itu mendapat respon positif dan dukungan dari masyarakat. Dan salah satu dukungan tersebut adalah adanya kesadaran dari masyarakat untuk menyisihkan sebagian tanah sawah milik mereka untuk diwakafkan guna keperluan masjid .. Hal ini terjadi tepatnya tahun 1960 sampai tahun 2002, beberapa orang yang mampu Jah ya memberikan sawahnya, perinciannya sebagai berikut: pada tahun 1960 seluas 3 bau sawah oleh H Husnen, pada tahun 1967 seluas 3 bau sawah H Usman, pada tahun 1982 seluas %, bau sawah oleh H Abdurrahim, tahun 1990 seluas 1 bau oleh Hj Rodiah, tahun 1994 seluas 1 bau oleh Waqifu, dan pada tahun 2000 seluas •;., bau sawah yang diwakafkan oleh Hj Shopiah, serta pada tahun 2002 seluas Yz bau sawah yang diwakafkan oleh Wadami jadi totalnya adalah 9,5 bau', yang sebanding dengan 7,6 hektar. Sementara itu proses akad dilaksanakan secara lisan tanpa adanya surat-surat kecuali hanya saja disaksikan oleh keluarga dari masing-masing pihak wakif dan nadzir. Oil ya tugas Ust. selaku nadzir itu seperti apa Usl?dan proses pengangkatannya bagaima11a? Ya tugasnya antara lain mengawasi, memelihara, mengatur, mengkontrol tanah wakaf produktif berupa tanah sawah untuk keperluan masjid. Adapun pengangkatannya ditunjuk oleh para wakif atau para ahli waris wakif dihadapan KUA dan MUI setempat. Oh ya satu lagi kepengurusan nadzir ini tidak termasuk dalam kepengurusan DKM, hanya saja kedudukannya sejajar untuk kepentingan dan kesejahte:raan Masjid Jami' alIstiqomah. Jadi struktur kepengurusa1111ya bagaimana Ust.? Kalau mengenai struktur kepengurusan nadzir sebenmya bukab saya sendiri akan tetapi saya dibantu oleh empat orang lagi, yaitu Qomaruddin sebagai sekretaris, H. Mulyana sebagai bendahara, dan anggota lainnya dari kepengurusan nadzir itu ialah Sholeh dan Fakhrudin. Dan saya yang menunjuk mereka semua untuk membantu dalam mengurusi tanah wakaf dari berbagai kalangan, seperti ahli wari dari berbagai pihak. Ka/au mengenai penyimpangan yang terjadi bagaimana Ust.? Penyimpangan itu terjadi karena salah satu ahli waris wakifmenyatakan bahwa salah satu tanah itu adalah sudah dihibahkan oleh orangtuanya. Padahal salatt satu ahliwaris itu kita sebut Fulan aja, adalah paman saya sendiri, ini tepatnya terjadi tahun 2003. Lantas sikap Usl bagaimana me11glladapi Ila/ tersebut? Saya pada mulanya hanya membicarakan baik-baik kepada Fulan lantas setelah dia tetap bersikukuh maka saya peringatkan. Akan tetapi hasilnya sama saja dia tetap pada pendiriannya bahwa tanah itu miliknya karena sudah dihibahkan oleh orangtuannya. Dan yang membuat saya tidak dapat berbuat banya adalah karena tidak adanya surat-surat bukti perwakafan, dan juga diperparah surat-surat bukti kepemilikan dari tanah tersebut kurang jelas. Mengetahui, --, 'vrvJ ~I C. / Saifuddin Nadzi1r Tanah Wakaf Masjid Jami' al-Istiqomah Hasil wawancara dengan Ust. Abdul Hamid Saifuddin sclaku ahli waris tanah wakaf Masjid Jami' al-Istiqomah Tanggal 8 Juni 2006. Ust. sebetulnya permasalaltan yang terjadi di Masjid Jami Al-Jstiqomalt seperti apa? Jadi begini Masjid Jami Al Istiqomah itu memiliki 2 jenis tanah wakaf yaitu tanah wakaf produktif dan tanah wakaf tidak produktif. Adapun tanah tidak produktif adalah dimana masjid telah berdiri sedangkan tanah produktif adalah tanah sawah yang totalnya sekitar 9,5 bau atau 7,6 hektar yang mana hasil dari tanah wakaf tersebut digunakan untuk pengolaan masjid. Dalam perkembangannya setelah para wakif meninggal dunia tanah wakaf produktif tersebut dikelola oleh ahli warisnya. Hal ini menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan tanah sawah tersebut yang mungkin disebabkan oleh beberapa ahli waris tersebut secara ekonomi kurang mencukupi. Hal ini terjadi kira-kira tahun 2003. ada salah satu ahli waris mengambil sebagian bi dang tanah yang seharusnya digunakan untuk masjid, sementara itu DKM dan Nadzir sebagai orang yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurusi masjid dan tanah wakaf hanya mengambil tindakan hanya sebatas peringatan kepada ahli waris yang mengambil tanah itu bahwa tanah yang diambil adalah tanah masjid. Akan tetapi, dia tetaqp bersikeras bahwa tanah itu adalah tanah miliknya yang merupakan hasil hibah dari orangtuanya. Dengan demikian terjadi Jenyalahgunaan hasil tanah wakaf produktif berupa tanah sawah. Dana yang diperoleh lari hasil penyewaan hasil tanah tersebut tidak digunakan untuk keperluan masjid tapi ligunakan untuk kepentingan ahli waris tersebut. ) Bagaima11a sikap altli waris yang /ai11 me11ge11ai Ital tersebut? Mengenai sikap ahli waris akan hal ini berbeda-beda. Ada yang memperingatkan tapi juga ada yang menyerahkan sepenuhnya pada DKM dan Nadzir sehingga dalam menyelesaikan permasalahan tersebut ahli waris yang lain tidak ikut campur. Mengetahui, Abdul Hamid S ifuddin Ahli Wa.ris Tanah Wakaf Masjid Jami' al-Istiqomah