TEKNOLOGI SEBAGAI SEBUAH STRATEGI KEBUDAYAAN DAN PENGARUHNYA BAGI

advertisement
TEKNOLOGI SEBAGAI SEBUAH STRATEGI KEBUDAYAAN
DAN PENGARUHNYA BAGI MANUSIA MODERN
(Yohanes Fery)
1. Pengantar
Manusia hidup dalam ruang dan waktu dalam historisitasnya. Ia
hadir dalam sejarah dan sekaligus mengukir sejarah hidupnya. Ia bukanlah
benda mati, melainkan senantiasa berpikir dan bergerak. Dengan segenap
kemampuan akal budi, manusia berkreasi dan berinovasi tiada henti.
Teknologi adalah salah satu hasil kreasi dan inovasi manusia yang
mencengangkan dan mengundang decak kagum. Teknologi kemudian
menjadi "nafas" bagi manusia, terutama manusia modern. Maka, dunia yang
kita huni sekarang ini adalah dunia-kehidupan yang teknologis. Hidup
manusia dipenuhi dengan berbagai macam teknologi. Kita menyiapkan
makanan dengannya. Kita membaca dan menulis dengannya. Kita bekerja
dan bermain dengannya. Meminjam istilah Francis Lim, dengan demikian
dunia kita adalah dunia yang dikonstruksi oleh teknologi.1
Teknologi kemudian dipahami sebagai ciptaan manusia untuk
melangsungkan hidupnya. Teknologi adalah bagian dari kebudayaan
manusia dan digunakan oleh manusia sebagai suatu strategi menyiasati
masa depannya. Tulisan ini mencoba menganalisis teknologi sebagai suatu
strategi kebudayaan dan bagaimana pengaruhnya bagi manusia modern
serta dampak-dampak yang ditimbulkan.
2. Teknologi dalam Perspektif Kebudayaan
2.1. Teknologi sebagai unsur kebudayaan2
Dalam buku Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Bakker
mengatakan bahwa teknologi adalah salah satu dari beberapa unsur
1
2
Lebih lanjut Francis Lim (mengutip pendapat Don Ihde) mengatakan bahwa
manusia tidak dapat hidup dalam suatu taman yang non-teknologis karena di
atas bumi manusia merupakan makhluk yang secara inheren teknologis. Dunia
non-teknologis tidak mungkin ada dalam kenyataan dan hanya mungkin dalam
teori saja. Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde Tentang Dunia, Manusia
dan Alat, Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 2.
Sejumlah ahli memiliki perbedaan pandangan dalam merumuskan unsur-unsur
kebudayaan dan tidak semua ahli memandang teknologi sebagai unsur
kebudayaan yang berdiri sendiri. Dalam hal ini penulis mengikuti pendapat
beberapa ahli yang berpendapat bahwa teknologi adalah salah satu unsur
kebudayaan.
55
kebudayaan. Dia memasukkan teknologi ke dalam unsur kebudayaan
objektif.3 Lebih lanjut dia mengatakan bahwa teknologi bertujuan untuk
memfaedahkan sumber-sumber alam agar terjaminlah makanan,
perumahan, komunikasi dan hal-hal yang berguna untuk derajat hidup yang
layak. Teknologi terhitung antara sikap dan hasil budaya.4 Dengan
demikian teknologi bertujuan untuk menghantar manusia menuju kehidupan
yang lebih baik dan dengan teknologi manusia bisa mencapai kemakmuran.
Melville J. Herskovits sebagaimana Bakker, juga menggolongkan
teknologi (technological equipment) sebagai unsur kebudayaan selain
sistem ekonomi (ecomonic system), keluarga (family) dan kekuasaan politik
(political control). Bahkan dia menempatkan teknologi pada urutan
pertama. Lebih lanjut, Koentjaraningrat merumuskan unsur-unsur pokok
kebudayaan berdasarkan pendapat para ahli menjadi tujuh unsur, yaitu
bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian, sistem ekonomi dan kesenian.5 Kita
bisa menarik kesimpulan bahwa teknologi adalah hasil dari kebudayaan
manusia sebagaimana unsur-unsur kebudayaan yang lain.
2.2. Teknologi Sebagai Strategi Kebudayaan
Pada bagian sebelumnya sudah disinggung bahwa teknologi adalah
hasil kebudayaan6 dan peradaban manusia. Juga seperti yang sudah
dikatakan dalam pengantar, manusia dengan segenap kemampuan akal
budinya senantiasa berkreativitas dan salah satu hasil kreativitas manusia
3
4
5
6
Dalam hal ini, Bakker membedakan kebudayaan subjektif dan kebudayaan
objektif. Kebudayaan subjektif diartikannya sebagai aspirasi fundamental yang
ada dalam diri manusia, nilai-nilai batin dan terdapat dalam kebenaran,
kebajikan dan keindahan. Kebajikan, keindahan, kebijaksanaan merupakan
puncak bakat (ultimum potentiae) dari badan, rasa, kemauan dan akal.
Sedangkan kebudayaan objektif diartikannya sebagai materialisasi dan
institusionalisasi. Hal ini tampak dalam unsur-unsur kebudayaan: ilmu
pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian dan agama. Bdk. J. W.
M. Bakker, SJ, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Jakarta: BPK Gunung
Mulia & Yogyakarta: Kanisius, 1984, hlm. 37-38.
Ibid, hlm. 4.
Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkapkan Keragaman Budaya, Bandung: PT
Setia Purna Inves, 2007, hlm. 34.
Kebudayaan itu sendiri bisa diartikan sebagai hasil akal budi manusia (ada
begitu banyak definisi kebudayaan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dikatakan bahwa salah satu definisi Kebudayaan adalah hasil akal budi manusia
yang digunakan untuk kesejahteraan hidupnya. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988,
hlm. 131.
56
adalah teknologi. Pertanyaannya kemudian, apa arti teknologi bagi
manusia? Teknologi diciptakan manusia tidak lain dan tidak bukan adalah
untuk memperoleh kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Dengan
teknologi manusia bisa mempertahankan hidupnya. Dalam istilah Prof. Dr.
Van Peursen, teknologi adalah salah satu strategi kebudayaan manusia.
Artinya, Teknologi merupakan salah satu siasat dan rancangan (design)
manusia untuk menghadapi hari esok (survive).7 Manusia berusaha
sedemikian rupa untuk memikirkan masa depannya dengan berusaha untuk
mencari siasat bagaimana menghadapinya. Dengan demikian, bisa
dikatakan bahwa salah satu hasil strategi kebudayaan adalah teknologi.
Dewasa ini perkembangan teknologi memang telah menghantar
manusia menuju keberhasilan dalam berbagai aspek kehidupan. Berkat
teknologi, segala tugas dan pekerjaan manusia dapat diselesaikan dengan
semakin mudah, cepat, tepat dan berkualitas. Berkat teknologi semua
menjadi lebih mudah dan mungkin, bahkan sepertinya teknologi mampu
memecahkan semua persoalan. Berkat teknologi banyak penyakit yang dulu
dianggap tidak ada obatnya, kini dapat disembuhkan. Berkat teknologi pula
petani tidak perlu lagi terlalu lama menunggu hasil panen, karena sudah
tersedia bibit jenis unggul dan sistem irigasi yang baik. Hal itu tentu saja
menambah kesejahteraan manusia. Juga karena teknologi banyak industri
memproduksi berbagai macam barang untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Kiranya semakin jelas bahwa teknologi adalah salah satu strategi
kebudayaan manusia untuk mempertahankan hidupnya, bahkan hidup yang
lebih baik.
3. Pengaruh Teknologi Bagi Manusia Modern
3.1. Pesona Teknologi
Seperti yang sudah disinggung secara implisit di atas, yang
langsung berkaitan dengan teknologi adalah pesonanya. Orang yang sama
sekali tidak terpesona oleh teknologi teknologi adalah orang yang dungu
dan tertutup.8 Dan memang teknologi patut kita syukuri sebagai mahakarya
(masterpiece) manusia yang senantiasa mengundang kekaguman. Tak heran
kalau banyak orang begitu mendewakan teknologi. Hal ini bisa dimaklumi
karena berkat teknologi, manusia telah mengukir prestasi yang amat
gemilang. Manusia mampu menggali dan memanfaatkan sumber daya alam;
menundukkan dahsyatnya tantangan alam; melawan bahaya kelaparan,
kemiskinan dan penyakit; meretas batas-batas cakrawala dengan mendarat
7
Prof. Dr. C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius &
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978, hlm. 5.
8
Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 30.
57
di bulan dan menjelajah ruang angkasa; menembus dunia-dunia molekuler
dan menyelidiki partikel-partikel mikro; menguak tabir misteri kehidupan
dan kesadaran manusia akan rekayasa genetika. Semua itu memang
mengundang kekaguman dan pantas disyukuri.
3.2. Perbudakan Terselubung Teknologi
Di balik pesona teknologi, terdapat juga sisi gelapnya. Di satu sisi
manusia merancang teknologi untuk kesejahteraan dirinya, tetapi di sisi lain
teknologi ternyata bisa memperbudak dan menindas manusia. Peristiwa
bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki
pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 membuka mata dunia akan kejamnya
sebuah teknologi. Akibat dari ledakan bom itu teramat mengerikan. Suhu
udara naik sekian ribu derajat sampai tiang-tiang besi meleleh karena
panasnya, batu-batu melepuh, pohon-pohon terbakar habis, bangunanbangunan rumah menjadi rata dengan tanah. Bisa dibayangkan bagaimana
kulit manusia terkena panas tersebut. Tidak pandang bulu: dari bayi, tua
muda, laki-laki perempuan, semuanya menjadi korban. Hampir tak ada
yang tersisa selain rasa trauma yang mendalam. Sungguh mengerikan.9
Atau ketika gedung WTC (World Trade Center) di Amerika Serikat pada
tanggal 11 September 2001 di bom dan memakan ribuan korban jiwa;
tragedi bom Bali beberapa tahun lalu yang memakan 200 lebih nyawa. Dari
beberapa contoh peristiwa tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa
teknologi memiliki daya untuk menghancurkan peradaban manusia itu
sendiri. Betapa teknologi yang semula dirancang manusia sebagai sebuah
strategi untuk mencapai kesejahteraan justru bisa menghancurkan.
Teknologi tidak hanya menghancurkan yang fisik, tetapi juga
menghancurkan rasa dan nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi tidak hanya
menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran di bawah bayang-bayang perang
nuklir, tetapi teknologi juga merampas individualitas manusia. Dalam
masyarakat teknologi, manusia cenderung terdesak untuk menjadi manusia
massa, manusia yang terhanyut dalam gelombang besar tanpa mampu
menolaknya. Dengan demikian benarlah kiranya pendapat Herbert
Marcuse10 yang mengatakan bahwa teknologi berpotensi untuk
9
10
Bdk. Dr. Mudji Sutrisno, Ziarah Peradaban, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm.
82-93.
Herbert Marcuse (1898-1979) adalah seorang filsuf Jerman keturunan Yahudi.
Dalam bukunya One-Dimensional Man (1968), dia mengungkapkan bahwa
teknologi telah memperbudak manusia. Manusia dituntun untuk senantiasa
berpikir satu dimensi dengan hal-hal yang ditawarkan oleh teknologi tanpa bisa
memberikan pemikiran kritis (the ability of negative thinking) dan dengan
demikian semakin melanggengkan status quo (kemapanan).
58
memperbudak manusia dari pada membebaskan. Bagi Marcuse, teknologi
memiliki kemampuan yang luar biasa untuk mengontrol serta menguasai
pikiran manusia tanpa ia sendiri mampu menyadarinya. Manusia kemudian
seakan-akan menjadi robot yang dikendalikan dengan remote control. Ia
tidak lagi menjadi makhluk yang bebas.11 Aneka kebutuhan manusia
seakan-akan bisa terpenuhi semuanya.
Dengan demikian, pesona teknologi yang begitu kuat bisa
menyingkirkan dimensi etis. Pengembangan teknologi, kemajuan teknologi
seakan-akan melegitimasi dirinya sendiri. Apa yang dapat dilakukan, boleh
dilakukan. Dengan alasan peningkatan teknologi, penelitian biogenetik
dapat dibenarkan, misalnya terhadap janin manusia yang secara etis jelas
harus ditolak, lingkungan alam dieksploitasi dan dirusak.12 Semua atas
nama kemajuan, khususnya kemajuan teknologis. Teknologi yang lebih
canggih dengan sendirinya sudah sah, semua keberatan atas dasar
keprihatinan etis, sosial dan lingkungan hidup seakan-akan disingkirkan dan
dengan sendirinya dianggap usang. Teknologi harus terus dikembangkan
secara besar-besaran, sepertinya inilah yang menjadi dogma teknologi.
Dengan demikian, teknologi juga rawan menimbulkan dehumanisasi.
Manusia dianggap sebagai hal yang objektif, diurai-uraikan, hanya hal-hal
yang dapat diukur atau dihitung saja yang diperhatikan, sedangkan yang
lain-lain dianggap periferal dan tidak menjadi pertimbangan dalam usahausaha pengembangan, pendidikan, dan peningkatan.13
3.3. Teknologi dan Modernitas
Akan tetapi, harus disadari bahwa banyak keberatan dan ketakutan
terhadap teknologi sebenarnya tidak menyangkut teknologi itu sendiri,
melainkan dinamika budaya dan normatif masyarakat modern secara
keseluruhan.14 Jadi, masalahnya bukanlah teknologi sendiri, melainkan
teknologi sebagai komponen budaya modernitas. Permasalahannya
kompleks dan inilah tantangan yang harus dihadapi.
Salah satu masalah modernitas terletak dalam pendangkalannya.
Artinya modernitas menyentuh kita lewat simbol-simbol yang dangkal dan
bisa menjerumuskan manusia ke dalam konsumerisme: supermarket dan
mall, iklan di televisi, mode dan fashion yang up to date, gaya hidup, dll.
Pesan yang terkandung di dalamnya, kalau tidak dikaji betul-betul, bisa
menggerogoti resistensi kultural manusia. Pesan-pesan itu misalnya: cantik
11
12
13
14
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced
Industrial Society, Boston: Beacon Press, 1968, hlm. 23.
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 30.
Prof. Dr. T. Jacob, Manusia, Ilmu, dan Teknologi: Pergumulan Abadi Perang
dan Damai, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988, hlm. 70.
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 32.
59
itu identik dengan kulit putih, bersih dan tanpa noda sedikit pun. Betapa
naifnya, karena apapun yang tidak sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut
tidak bisa membuat seseorang disebut cantik, termasuk nilai-nilai kebaikan,
kecerdasan, dan segala macam daya yang ada dalam dirinya. Untuk bisa
disebut modem orang harus senantiasa trendy, berpakaian modern menurut
iklan. Orang bisa sukses karena berpegangan pada produksi modern
daripada karena ia bekerja dengan jujur, kompeten, bertanggung jawab.
Jadi, ancaman konsumerisme adalah mengukur tingkat kemanusiaan dari
tingkat konsumsi yang didikte iklan.15 Implikasi lebih lanjut adalah
kenyataan bahwa manusia bisa terperangkap dalam realitas semu.
Sadarkah misalnya, misalnya seorang petani di desa yang sedang
menonton Piala Dunia yang diselingi dengan serangkaian iklan-iklan
melalui televisi, atau seorang gadis muda yang sedang asyik menonton
pagelaran model-model pakaian di cat-walk, dan produk-produk baru di
shopping mall, bahwa sesungguhnya mereka tengah memasuki pintu
gerbang dunia realitas semu itu? Realitas sosial, kebudayaan, atau politik
kini dibangun berdasarkan model-model fantasi yang ditawarkan televisi,
iklan, para selebritis, dll.16 Iklan shampoo yang dibintangi oleh penyanyi
Agnes Monica misalnya bisa membangun citra-citra, nilai-nilai dan maknamakna tersendiri bagi seorang individu.
4. Refleksi Kritis terhadap Teknologi
Dari pemaparan-pemaparan di atas, jelas bahwa teknologi adalah
salah satu strategi kebudayaan manusia untuk menyiasati hari esok, untuk
mempertahankan hidupnya. Teknologi memang telah mengagumkan dan
hal ini tidak bisa dipungkiri. Akan tetapi, pesona teknologi ternyata
menyimpan daya yang bisa "menghancurkan" kehidupan manusia itu
sendiri. Teknologi tidak terlepas dari budaya modernitas yang dalam bahasa
Hikmat Budiman meninggalkan sebuah lubang hitam kebudayaan. Manusia
cenderung menjadi manusia massa dan tidak ada kehidupan yang bebas dari
instruksi media dan budaya massa.17
Bagaimana pesona teknologi itu dapat dihadapi? Penolakan
terhadap teknologi jelas tidak merupakan suatu alternatif. Begitu pun
dengan pendapat Herbert Marcuse untuk menciptakan teknologi alternatif
rasanya naif. Kiranya kita harus bertolak dari pengandaian bahwa teknologi
mutlak diperlukan oleh umat manusia untuk menghadapi hidupnya. Tak ada
15
16
17
Idem.
Bdk. Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang dilipat, Realitas Budaya
Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme, Bandung: Mizan
Pustaka, 1998, hlm. 225-228.
Untuk pemaparan lebih lanjut lih. Hikmat Budiman, Lubang Hitam
Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 31-40.
60
masa depan tanpa teknologi. Maka, pertanyaannya bukan apakah kita ingin
memakai teknologi modern atau tidak, melainkan bagaimana kita
memakainya. Jadi bukan suatu pencarian teknologi yang lain sama sekali,
seperti yang diharapkan Marcuse, melainkan bagaimana mengembangkan
teknologi sedemikian rupa sehingga yang menyertainya dapat teratasi.18
Franz Magnis-Suseno menawarkan setidaknya dua alternatif19 yang
bisa digunakan dalam kaitannya dengan teknologi. Pertama adalah
environment friendly. Hal ini berkaitan dengan lingkungan. Harus
dikembangkan teknologi yang ramah lingkungan, bukan yang justru
merusaknya. Misalnya Teknologi hemat energi perlu diperhatikan oleh
pemerintah.
Kedua, dalam hal-hal yang berkaitan dengan norma-norma etis.
Permasalahannya adalah kenyataan bahwa teknologi seakan-akan mau lepas
dari norma-norma moral dan sosial. Manusia harus menentukan kriteria etis
pengembangan teknologi, khususnya dalam bidang yang sarat dengan
problematika, seperti energi atom, penelitian biogenetis dan teknologi
lainnya yang merugikan kehidupan manusia.
Lebih dari itu semua, manusia harus senantiasa kembali kepada
kesadaran bahwa kebudayaan adalah salah satu strategi manusia untuk
menghadapi hari depan. Kebudayaan itu sendiri adalah sebuah proses
pembelajaran "learning process," yang terus menerus sifatnya. Di dalam
proses itu bukan hanya kreativitas dan inventivitas yang merupakan faktor
penting, melainkan kedua faktor itu terkait dengan pertimbanganpertimbangan etis. Tanpa pertimbangan etis ini manusia tidak dapat
mengambil tanggung jawab untuk keadaannya, untuk teknologi yang
dipakai dan dikembangkannya.20
5. Penutup
Manusia adalah makhluk yang senantiasa mengusahakan apa yang
baik bagi dirinya. Demikian juga dia merancang dan merencanakan masa
depannya. Dia membuat strategi sedemikian rupa untuk mempertahankan
diri dan jenisnya (survive). Teknologi adalah salah satu strategi yang
dirancang manusia untuk menghadapi hari esok dan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Dan memang berkat teknologi hidup manusia
semakin berkembang, suatu pencapaian yang patut disyukuri.
18
19
20
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 31.
Idem.
Prof. Dr. C. A. Van Peursen, loc. cit.
61
Namun, teknologi ternyata menyimpan daya yang juga bisa
memperbudak dan bahkan menghancurkan manusia, misalnya bom nuklir.
Atau juga perbudakan terselubung teknologi atas manusia dalam produkproduk modernitas. Masyarakat modern cenderung menjadi manusia massa.
Nah, menolak teknologi sama sekali tidak mungkin karena bagaimanapun
teknologi banyak membantu manusia dalam berbagai aspek kehidupan.
Maka, kita harus senantiasa bertanya bagaimana kita memakainya, apakah
demi kehidupan yang lebih baik berdasarkan norma etis ataukah untuk
menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri.
Daftar Pustaka
Amir Piliang, Yasraf. Sebuah Dunia yang dilipat, Realitas Budaya
Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme,
Bandung: Mizan Pustaka, 1998.
Bakker, J. W. M. SJ. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Jakarta:
BPK Gunung Mulia & Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Budiman, Hikmat. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius,
2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Jacob, Prof. Dr. T. Manusia, Ilmu, dan Teknologi: Pergumulan Abadi
Perang dan Damai. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988.
Lim, Francis. Filsafat Teknologi: Don Ihde Tentang Dunia, Manusia, dan
Alat. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Magnis-Suseno, Franz. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Marcuse, Herbert. One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of
Advanced Industrial Society. Boston: Beacon Press, 1968.
Peursen, Prof. Dr. C. A. Van. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
& Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978.
Sutardi, Tedi. Antropologi: Mengungkapkan Keragaman Budaya. Bandung:
PT Setia Puma Inves, 2007.
Sutrisno, Dr. Mudji. Ziarah Peradaban. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
62
Download