1 PENDAHULUAN Cacing tanah dikenal sebagai hewan avertebrata yang banyak dijumpai di tanahtanah gembur. Jenis cacing tanah yang umum ditemukan, antara lain Lumbricus rubellus, Lumbricus terrestris, Eisenia foetida, dan Eisenia andrei. Cacing ini umum dipergunakan sebagai salah satu indikator kesuburan tanah, namun pemanfaatan cacing ini untuk kesehatan dan kosmetika baru dimulai akhir-akhir ini. Hewan ini secara tradisional hanya dimanfaatkan untuk makanan ternak dan umpan ikan. Beberapa negara di Asia Timur diketahui telah menggunakan ekstrak cacing tanah untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah dan pengobatan pada pecahnya pembuluh darah (Zhao et al. 2007). Penelitian dan pemahaman mengenai enzim mengalami kemajuan pesat sejak abad ke-20. Enzim merupakan protein yang disintesis di dalam sel dan dapat mempercepat reaksi termodinamika sedemikian rupa sehingga kecepatan reaksi dapat berjalan sesuai dengan proses biokimia yang dibutuhkan untuk mengatur kehidupan (Nelson & Cox 2005). Enzim digunakan pada beberapa industri, antara lain keju, sirup, bir, sari buah, gula pasir, asam amino, kertas, dan deterjen. Salah satu enzim yang banyak dimanfaatkan industri adalah protease. Protease pada cacing tanah, seperti dikemukakan oleh Charles Darwin pada tahun 1883, dapat melarutkan fibrin (Zhao et al. 2007). Ekstraksi enzim protease fibrinolitik cacing tanah diprakarsai oleh ilmuwan Jepang, Hisashi Mihara (1991). Mihara berhasil mengisolasi 6 fraksi protease tersebut dan diberi nama komersial lumbrokinase. Yanti (2003) menemukan bahwa ekstraksi menggunakan kromatografi kolom penukar anion Streamline-DEAE menghasilkan 3 fraksi protease fibrinolitik dari L. rubellus. Para peneliti dari Korea dan Cina meneliti kemungkinan penggunaan ekstrak cacing tanah sebagai suplemen pencegah penyumbatan darah dan penstabil tekanan darah. Titik berat penelitian mereka adalah penemuan senyawa aktif pada ekstrak cacing tanah. Pengembangan penelitian protease cacing tanah di Indonesia belum banyak dilakukan, terutama yang menggunakan E.foetida galur lokal. Perbedaan lokasi dan kondisi dapat mempengaruhi karakter enzim yang didapat (Liu et al. 2004). Produsen obat di Indonesia umumnya menggunakan ekstrak kasar L. rubellus yang kemudian dikemas dan digunakan sebagai obat trombolitik dan fibrinolitik komersial. Berdasarkan data yang ada saat ini, harga obat trombolitik yang ada di pasaran relatif mahal dan pemberiannya disuntikkan secara intravena. Sebagai contoh, anistreplase dijual dengan harga £495 tiap dosisnya (Gray, et al. 2009). Lumbrokinase dari E. foetida galur lokal belum pernah ditentukan aktivitas trombolitiknya secara in vitro. Maka, tujuan penelitian ini adalah mengisolasi ekstrak enzim, memurnikan, serta menentukan untuk mengetahui aktivitas enzim secara in vitro. Aktivitas enzim digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan obat trombolitik baru. Cacing E. foetida juga diharapkan dapat menjadi substitusi L. rubellus yang telah banyak dimanfaatkan. Hipotesis penelitian ini adalah cacing E. foetida dapat menghasilkan enzim protease fibrinolitik yang dapat dikarakterisasi dan diuji secara in vitro dengan fibrin sebagai substrat. Manfaat penelitian ini adalah berdasarkan enzim yang sudah dikarakterisasi dapat menghasilkan obat trombolitik baru yang dapat diberikan per oral dan lebih ekonomis. TINJAUAN PUSTAKA Cacing Eisenia foetida E. foetida adalah kelompok cacing tanah yang memiliki 75-165 segmen tubuh. Klitelium, atau penebalan kulit yang berfungsi sebagai organ reproduksi cacing, terletak pada segmen ke-13 dan segmen ke-17. Cacing ini berwarna merah coklat hingga ungu tua dan berbentuk gilig. E. foetida termasuk dalam dunia Eukariota, filum Coelomata, kelas Annelida, ordo Oligochaeta, famili Lumbricideae, genus Eisenia, spesies Eisenia foetida sesuai data Uniprot dengan nomor akses 6396. Motilitas cacing ini sangat tinggi seperti spesies Pheretima lainnya. Pergerakan cacing dibantu oleh seta yang berfungsi sebagai jangkar dan lendir yang dapat melicinkan lubang di dalam tanah. Lendir dihasilkan oleh kelenjar pada epidermis cacing sekaligus berfungsi sebagai alat pertahanan diri. E. foetida memiliki semacam mulut di bagian depan tubuh yang disebut prostomium. Prostomium membantu pergerakan dan sebagai jalan masuk makanan. Jika tanah yang akan ditembus terlalu keras, maka cacing akan memakan tanah sekaligus dengan unsur nutrisi dan dikeluarkan kembali sebagai humus (Agustinus 2009). 2 Lingkungan cacing dipenuhi berbagai mikrob lain seperti kapang, parasit, dan bakteri baik patogen maupun nonpatogen, tetapi cacing E. foetida tidak memiliki antibodi dalam tubuhnya. Tidak adanya antibodi menyebabkan cacing tidak dapat membuat respon imun dapatan untuk melawan mikrob. Sistem kekebalan bawaan yang dimiliki oleh spesies ini adalah berbagai jenis peptida untuk melawan bakteri (Liu et al. 2004). Ampela Kantung Klitelium Kerongkongan Usus serina, rantai samping karboksil aspartat dan glutamat, gugus sulfhidril sisteina, rantai samping amino lisina, dan gugus fenol tirosina (Campbell & Farrell 2006). Lumbrokinase, seperti protease serina lainnya, memiliki inhibitor yang spesifik. Contoh inhibitor yang spesifik terhadap protease serina, antara lain diisopropilfosfoflouridat (DIPF) (Campbell & Farrell 2006), aprotinin (Katzung 2006; Cho et al. 2003), fenilmetilsulfonil fluorida, N-ptorsil-L-lisina klorometil keton (TLCK), N-ptorsil-L-fenilalanina klorometil keton (TPCK), inhibitor tripsin dari kacang kedelai (SBTI), inhibitor tripsin dari kacang lima, dan leupeptin (Cho et al. 2003). Asam aminokaproat dapat berperan sebagai inhibitor fibrinolisis dengan menghambat aktivasi plasmin. Asam aminokaproat diinjeksikan secara intravena untuk mengobati perdarahan (Katzung 2006). Gambar 1 Cacing tanah E. foetida Sumber: www.carigold.com Protease Cacing Enzim fibrinolitik cacing tanah termasuk kelompok protease serina, yang memiliki aktivitas fibrinolitik dan trombolitik kuat (Cong et al. 2001). Isolasi beberapa jenis protease E. foetida yang dilakukan sekitar tahun 1980 berhasil memurnikan dan mengemasnya dalam bentuk obat. Protease ini dapat digunakan dalam pengobatan penggumpalan darah (Wang et al. 2003; Parcell 2011). Enzim ini, seperti halnya protease serina menyerupai tripsin lain, mempunyai dua rantai. N-pyroglutamated sebagai rantai pendek dan N-glycosylated sebagai rantai panjangnya. Rantai panjang enzim ini mempunyai struktur cincin yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Struktur tersebut berupa delapan cincin yang terbentuk akibat ikatan disulfida pada dua residu sistein yang berdekatan. Kedua residu sisteina ini juga dihubungkan oleh ikatan cis-peptida (Zhao et al. 2007). Struktur lumbrokinase pada Gambar 2 diperoleh dari Protein Data Bank dengan nomor akses 1m9u. Enzim protease adalah jenis enzim yang dapat menghidrolisis protein menjadi peptida atau asam amino yang lebih sederhana (Jain et al. 2005). Jenis-jenis protease dibedakan berdasarkan residu asam amino pada masingmasing enzim. Contoh residu asam amino yang terdapat pada enzim protease, antara lain gugus imidazol histidina, gugus hidroksil Gambar 2 Struktur 3 dimensi lumbrokinase Sumber: www.pdb.org Mekanisme Koagulasi Darah Darah adalah cairan tubuh yang mengalir di dalam pembuluh darah. Darah terbagi atas fase cair dan fase padat. Fase cair darah disebut plasma dan mengandung air, protein, dan zat-zat terlarut lain. Sementara fase padatan darah terdiri atas sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah (Bell 2002). Pembentukan sel-sel darah manusia, atau dikenal dengan hematopoiesis, terjadi di sumsum tulang belakang (Hoffbrand, et al. 2006; Smith, et al. 2004). Darah memiliki fungsi yang penting dalam metabolisme dan pertahanan sistem imun. Sel darah merah memegang peranan penting dalam metabolisme karena sel-sel darah merah mentranspor oksigen menuju sel-sel tubuh dan karbon dioksida menuju paru-paru (Hoffbrand, et al. 2006). Tubuh yang kekurangan pasokan oksigen tidak dapat 3 menjalankan fungsi respirasinya dengan baik dan akan mengalami respirasi anaerobik. Respirasi anaerobik yang berkelanjutan dapat menyebabkan tubuh mengalami asidosis dan ketosis (Nelson & Cox 2005). Sementara, sel darah putih berperan dalam pertahanan tubuh terhadap antigen (Smith, et al. 2004). Peran sel darah putih ini menyebabkan sel-sel ini harus mampu bergerak dengan cepat menuju tempat terjadinya infeksi (Bell 2002). Laju alir darah dalam pembuluh senantiasa harus dijaga dengan serangkaian mekanisme yang memastikan darah tidak terlalu encer dan tidak terlalu pekat. Mekanisme ini lazim disebut hemostasis. Hemostasis terdiri atas dua proses yang saling setimbang, yaitu prokoagulasi dan fibrinolisis (Escobar et al. 2002). Penggumpalan darah atau prokoagulasi terjadi ketika sel darah bertemu dengan sel-sel endotelial atau jika terjadi kerusakan pada jaringan kulit. Mekanisme pembekuan ini dapat dilihat pada Gambar 3. Sel-sel endotelial sebenarnya bersifat antikoagulan dan inert terhadap faktor-faktor pembekuan darah (Escobar et al. 2002). Namun adanya luka dapat mengubah sifat sel endotelial menjadi sangat prokoagulan. Perubahan sifat sel dipengaruhi, antara lain oleh adanya kolagen, faktor von Willebrand, dan glikoprotein Ib (GPIb) yang ada pada membran keping darah (Katzung 2006; Olson 2004; Escobar et al. 2002). Sifat prokoagulan sel endotelial menyebabkan penempelan trombosit atau keping darah pada dinding pembuluh darah (Katzung 2006). Penempelan keping darah diikuti oleh perubahan bentuk trombosit dan pelepasan adenosin difosfat (ADP). Pelepasan ADP menyebabkan pecahnya keping-keping darah lain dan mulai menyumbat lubang pada pembuluh. Keping darah yang telah aktif akan menyediakan permukaan fosfolipida yang bertindak sebagai perantara kedua yang akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan darah, baik pada sistem intrinsik maupun ekstrinsik. Seiring dengan terjadinya kerusakan pembuluh darah, sistem hemostasis juga akan mengalirkan darah melalui pembuluh darah lain di sekitar pembuluh yang rusak untuk mempercepat proses pembekuan darah (Escobar et al. 2002). Bekuan darah merupakan trombosittrombosit yang saling terangkai melalui sejumlah reaksi biokimia dan membentuk agregat trombosit (Escobar et al. 2002). Asam arakidonat dalam trombosit akan diubah menjadi tromboksan A2 (TXA2) yang berfungsi sebagai pengaktif trombosit dan vasokonstriktor bersama ADP dan serotonin (5-HT) (Olson 2004; Escobar et al. 2002). Pengaktifan trombosit mengubah konformasi pada reseptor αIIbβIII integrin (glikoprotein IIb/IIIa) sehingga mudah mengikat fibrinogen dan membentuk ikatan silang antarmolekul trombosit sehingga terbentuk agregat trombosit. Agregat trombosit terdiri dari fibrin, trombosit, dan sisa-sisa eritrosit yang tidak larut. Agregat yang pembentukannya tidak terkendali dapat menyumbat pembuluh darah, serta menyebabkan iskemia jaringan (Olson 2004; Katzung 2006). Akhir pembekuan darah adalah pembentukan fibrin melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik yang keduanya akan mengaktifkan jalur normal (Escobar et al. 2002). Inisiasi reaksi berantai pembentukan agregat trombosit dipengaruhi oleh pengaktifan faktor-faktor pembekuan darah yang prosesnya berbentuk reaksi berantai atau efek domino (Katzung 2006; Escobar et al. 2002). Faktor-faktor pembekuan darah yang terlibat dalam proses ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Setiap reaksi merupakan akibat dari reaksi sebelumnya. Jika satu di antara faktor-faktor tersebut tidak dapat diaktifkan, maka akan mengakibatkan koagulasi terhambat, inisiasi tahap selanjutnya terhambat, waktu pembentukan bekuan darah semakin lama, atau terjadi perdarahan secara terus-menerus (cenderung disalahartikan dengan kekurangan faktor XII) (Escobar et al. 2002). Jalur pembentukan bekuan yang paling singkat dimulai dengan pengaktifan jalur ekstrinsik. Jalur ekstrinsik adalah aktivasi faktor pembekuan darah yang dipicu oleh kerusakan dinding endotelial pembuluh darah. Jalur ini disebut ekstrinsik karena masuknya faktor jaringan, senyawa yang tidak ditemukan di dalam darah, ke dalam pembuluh. Faktor jaringan ini, atau dikenal juga sebagai tromboplastin atau faktor III, dilepaskan oleh jaringan pembuluh yang terluka. Bersamasama dengan ion kalsium, faktor III ini akan mengaktifkan faktor VII menjadi faktor VIIa. Faktor VIIa, bersama dengan faktor III dan ion kalsium dapat memproduksi trombin dalam jumlah kecil dengan sangat cepat. Tujuannya, mempercepat pembentukan fibrin melalui pelepasan keping darah dari eritrosit. Selain itu, faktor VIIa juga akan mengaktifkan faktor IX pada jalur intrinsik (Escobar et al. 2002). Jalur intrinsik diinisiasi adanya paparan senyawa asing bermuatan negatif seperti kolagen, dinding subendotelial, atau 4 fosfolipida sehingga mengaktifkan faktor XII menjadi XIIa. Faktor XIIa bersama dengan faktor Fitzgerald (high-molecular-weight kininogen (HMWK)) dan faktor Fletcher (prekallikrein) akan mengaktifkan faktor XI menjadi XIa. Peran HMWK adalah mempercepat aktivasi faktor XI. Selanjutnya, faktor XIa dengan ion kalsium akan mengaktifkan faktor IX menjadi IXa. Ion kalsium juga akan berperan dalam tahap selanjutnya pada jalur intrinsik ini, yaitu ketika bersama faktor IXa, VIIa, dan fosfolipida faktor keping darah 3 (platelet factor 3 (PF3)) mengaktifkan jalur normal (faktor X menjadi faktor Xa) (Escobar et al. 2002). Pertemuan jalur intrinsik dan ekstrinsik adalah pembentukan faktor Xa. Faktor koagulasi ini mengkatalis perubahan protrombin menjadi trombin (faktor IIa) pada jalur akhir dengan bantuan faktor Va, PF3, dan ion kalsium (Escobar et al. 2002). Trombin memotong fibrinopeptida dari fibrinogen yang larut air menjadi monomer fibrin lalu akhirnya menjadi polimer fibrin yang tidak larut. Perubahan bentuk peptida tersebut meningkatkan densitas darah (Jackson 1988). Trombin memiliki beberapa peranan. Peranan pertama adalah kembali ke siklus sebelumnya untuk mempercepat aktivasi faktor V dan VIII. Peranan kedua adalah mengubah fibrinogen menjadi monomer fibrin yang masih larut air. Peranan ketiga adalah membuat ikatan silang polimer fibrin dengan mengaktifkan faktor XIII menjadi XIIIa. Peranan trombin yang terakhir adalah sebagai bioregulator hemostasis darah dalam keadaan normal dan patologis (Escobar et al. 2002). Enzim Protease Fibrinolisis dan Obat Trombolitik Fibrinolisis adalah proses degradasi fibrin secara enzimatis. Proses ini secara otomatis diaktifkan bersamaan dengan pembekuan darah, yaitu ketika terjadi luka pada dinding endotelial. Proses fisiologis ini akan menghilangkan deposit polimer fibrin secara bertahap hingga menjadi produk degradasi yang larut air. Produk degradasi yang dihasilkan kemudian akan dibuang dari peredaran darah oleh makrofag-makrofag yang ada pada sistem retikuloendotelial. Fungsi penting proses ini adalah untuk membebaskan pembuluh dari bekuan darah dan memulai proses penyembuhan dinding pembuluh (Escobar et al. 2002). Enzim yang mampu mendegradasi fibrin secara spesifik adalah plasmin. Plasmin termasuk dalam kelompok protease serin dan bersirkulasi dalam bentuk inaktifnya, yaitu plasminogen. Plasminogen akan diaktifkan oleh aktivator (tissue plasminogen activator/ t-PA) jika terjadi luka pada dinding endotelial. Plasmin dapat mempengaruhi bentuk koagulasi darah dan mengurangi kecepatan pembentukan bekuan trombosit karena kemampuan spesifiknya mendegradasi fibrin (Katzung 2006). Gambar 3 Pembentukan bekuan darah Sumber: Katzung 2006 5 Obat trombolitik adalah obat yang bekerja menghancurkan bekuan darah yang telah terbentuk dengan mengaktifkan plasminogen. Agregat fibrin yang terbentuk dan menyumbat pembuluh darah akan dihancurkan oleh plasmin dan menghasilkan produk degradasi berupa cuplikan-cuplikan protein yang larut air. Obat trombolitik digunakan pada pencegahan penyakit trombosis seperti infark jantung, serebrovaskular, dan emboli paru (Olson 2004). Obat trombolitik efektif melisiskan trombin jika diberikan secara intravena (Katzung 2006). Contoh golongan obat trombolitik yang umum digunakan, antara lain streptokinase, urokinase, anistreplase, dan aktivator plasminogen jaringan. Streptokinase adalah protein ekstraseluler yang disintesis oleh Streptococcus β-hemoliticus yang bergabung dengan plasminogen proaktivator. Urokinase adalah enzim yang disintesis di ginjal manusia dan memiliki kemampuan melisiskan plasmin. Kedua jenis obat ini mengaktifkan plasminogen, terutama plasminogen yang terperangkap di dalam bekuan darah sehingga bekuan darah dapat dihancurkan dari dalam (Katzung 2006). Anistreplase (streptokinase yang diberi gugus anisol) merupakan obat trombolitik yang terdiri atas plasminogen yang dimurnikan dan streptokinase yang telah diasilasi untuk melindungi sisi aktif enzim. Gugus asil streptokinase segera terhidrolisis, ketika obat disuntikkan secara intravena, dan mengaktifkan streptokinase. Keuntungan obat ini adalah kemampuannya berikatan dengan plasminogen terikat trombin daripada plasminogen bebas dan aktivitas trombolitiknya lebih tinggi (Katzung 2006). Aktivator plasminogen jaringan (tissue plasminogen activators/ tPA) adalah obat yang menyebabkan fibrinolisis hanya pada plasminogen yang terikat pada bekuan darah. Beberapa contoh aktivator plasminogen jaringan, antara lain alteplase, reteplase, dan tenecteplase. Ketiganya merupakan DNA rekombinan dari t-PA manusia (Katzung 2006). Titik kerja obat-obatan secara umum terbagi dalam empat titik utama, yaitu mengaktivasi plasmin, mendegradasi fibrin, mendegradasi fibrinogen, dan mencegah aktivasi fibrinogen menjadi fibrin (Gambar 4). Sebagai contoh, anistreplase dan streptokinase bekerja mengaktifkan plasmin. Menurut Yanti (2003), lumbrokinase memiliki kelebihan dapat bekerja pada keempat titik kerja utama obat-obatan trombolitik tersebut sehingga peluruhan bekuan darah berlangsung lebih cepat. Pemurnian Enzim Enzim bekerja sebagai katalis yang mengaktifkan atau mempercepat berbagai reaksi di dalam tubuh dengan menurunkan energi aktivasi. Reaksi-reaksi enzimatis dalam sistem biologis sangat rumit dan sulit untuk mempelajari reaksi suatu jenis enzim secara in vivo, maka perlu dilakukan pemurnian enzim dari protein dan metabolit lainnya sehingga dihasilkan produk murni yang hanya mengandung enzim yang akan dipelajari. Enzim yang telah dimurnikan tersebut dapat diamati aktivitasnya dengan jelas secara in vitro (Farrell & Ranallo 2000). Fraksi yang akan didapatkan dari pemurnian enzim, antara lain ekstrak kasar, presipitat, dialisat, dan eluat. Fraksi tersebut diukur konsentrasi protein, aktivitas enzim, dan spesifisitas terhadap substrat untuk memastikan bahwa enzim yang didapat adalah enzim yang sedang diteliti dan mendapatkan karakter enzim tersebut. Ekstrak kasar enzim diperoleh dengan resuspensi dengan menggunakan bufer. Resuspensi harus dilakukan pada suhu rendah untuk mencegah kerusakan enzim. Campuran kemudian disentrifugasi pada kecepatan 6000 g (Campbell & Farrell 2006). Perlakuan dengan sentrifugasi mungkin masih meninggalkan protein lain yang tidak dikehendaki, yang dapat mengurangi efektifitas enzim sehingga harus dilakukan presipitasi atau pengendapan protein dengan menggunakan garam amonium sulfat dengan konsentrasi tertentu. Garam ini akan mengikat air bebas sehingga protein yang sebelumnya berikatan dengan air pada gugus hidrofiliknya akan mengendap karena air yang dapat menstabilkan protein tersebut sekarang terikat pada garam (Farrell & Ranallo 2000). Selanjutnya, dilakukan dialisis untuk menghilangkan garam-garam yang terikat pada endapan protein. Dialisis dilakukan dengan memasukkan larutan ke kantong dialisis dengan pori-pori 10 kD dalam larutan bufer. Perlakuan dilakukan beberapa kali hingga amonium sulfat tidak terdeteksi. Langkah pemurnian terakhir adalah penentuan spesifisitas enzim menggunakan kromatografi kolom. Kromatografi kolom untuk purifikasi enzim dibedakan menjadi kromatografi penukar ion, kromatografi afinitas, dan kromatografi filtrasi gel. Jenis kromatografi kolom yang digunakan dalam penelitian ini adalah kromatografi penukar anion yang memisahkan enzim menggunakan perbedaan titik isolistrik protease dengan pengaturan pH di dalam kolom (Farrell & Ranallo 2000; Campbell & Farrell 2006). 6 Anistreplase, Urokinase, Streptokinase, t-PA Plasminogen Asam aminokaproat Lumbrokinase Plasmin Fibrinogen Produk Degradasi Fibrin Protrombin Trombin Keterangan: meningkatkan jumlah mengaktifkan mendegradasi menghambat Gambar 4 Fibrinolisis Sumber: Zhao et al. 2007; Katzung 2006 Elektroforesis Elektroforesis adalah pemisahan molekul berdasarkan bobot molekul dan muatan elektronnya. Molekul yang bermuatan negatif cenderung bergerak ke kutub positif. Kecepatan perpindahan molekul tergantung muatan elektronnya, tegangan yang digunakan, dan koefisien gesek. Molekul yang secara umum dipisahkan menggunakan teknik ini adalah protein dan asam nukleat. Media penahan yang dapat digunakan dalam elektroforesis, antara lain cairan, kertas, gel. Akan tetapi, media yang sering digunakan adalah media berbasis gel. Agarosa dan poliakrilamida termasuk golongan media berbasis gel. Agarosa mampu memisahkan asam nukleat sementara poliakrilamida mampu memisahkan molekul protein (Farrell & Ranallo 2000). Gel poliakrilamida adalah gabungan polimer akrilamida den an N,N’metilenbisakrilamida. Semakin tinggi konsentrasi akrilamida yang digunakan, semakin lambat pergerakan protein di dalam gel. Konsentrasi bisakrilamida yang optimum berkisar antara 3-5%. Komponen lain yang diperlukan adalah N,N,N’,N’- tetrametiletilendiamin (TEMED), amonium persulfat, deterjen natrium dodesil sulfat (SDS), dan merkaptoetanol. TEMED adalah katalis yang menyebabkan pembentukan radikal bebas selama reaksi ikatan silang antarmolekul akrilamida. Jumlah TEMED menentukan kecepatan pengerasan gel. Amonium persulfat berfungsi menginisiasi pembentukan radikal bebas yang mengikat semua molekul akrilamida (Farrell & Ranallo 2000). Deterjen SDS terikat pada protein dengan perbandingan 1.4 g SDS untuk setiap gram protein dan menyelubunginya dengan muatan negatif. Merkaptoetanol menyebabkan kerusakan struktur 3 dimensi protein yang dipanaskan. Kerusakan ini disebabkan pecahnya ikatan disulfida menjadi gugusgugus sulfhidrin sehingga protein menjadi berbentuk spiral yang sama dan memiliki rasio muatan:massa yang sama pula. Akibatnya, keterpisahan protein di dalam gel hanya ditentukan oleh massa protein tersebut. Bufer Tris digunakan untuk mengarahkan dan mengatur arus pada gel penahan (Girindra 1990; Farrell & Ranallo 2000). Pembuatan media elektroforesis saat ini menggunakan dua macam gel yang disusun 7 menjadi satu. Sejumlah besar gel di lapisan bawah memiliki konsentrasi akrilamida tinggi dan pH sekitar 8.5 (gel pemisah) sementara lapisan tipis gel di atas, gel penahan, memiliki pH sekitar 6.5 dan konsentrasi akrilamida yang lebih rendah, yaitu sekitar 3%. Protein yang memasuki gel penahan cenderung bergerak lebih cepat karena ukuran pori gel lebih besar. Protein yang telah memasuki gel pemisah pergerakannya melambat karena konsentrasi akrilamida pada gel pemisah yang lebih tinggi sehingga menimbulkan efek akordeon dan pita protein yang terbentuk lebih tipis. Perbedaan pH pada kedua lapisan gel juga mempengaruhi perpindahan protein. Protein yang memasuki gel penahan akan dikelilingi oleh ion klorida yang sangat elektronegatif dan glisin yang kurang elektronegatif. Protein tersebut kemudian didorong memasuki gel penahan dengan adanya perbedaan tegangan. Kenaikan pH menjadi 8.5 menyebabkan efek ikatan glisinprotein menjadi hilang dan protein terpisahkan akibat perbedaan bobot molekulnya (Farrell & Ranallo 2000). Pengukuran Aktivitas dan Spesifisitas Enzim Penelitian ini mengukur aktivitas enzim dengan menggunakan beberapa faktor, antara lain pH, suhu inkubasi, dan waktu inkubasi. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi aktivitas enzim namun tidak diteliti, antara lain kekuatan ionik ikatan dan keberadaan inhibitor atau aktivator (Farrell & Ranallo 2000). Aktivitas enzim umumnya diukur berdasarkan jumlah µmol produk yang terbentuk tiap satuan waktu (menit). Namun, untuk mengukur jumlah aktivitas pada volume tertentu, digunakan aktivitas relatif yaitu pengukuran jumlah unit aktivitas tiap satuan volume (Farrell & Ranallo 2000). Produk yang akan diukur pada penelitian ini adalah jumlah tirosina yang terbentuk pada pemecahan molekul kasein oleh enzim protease. Reagen Folin-Ciocalteau digunakan dalam pengukuran molekul tirosina dengan menghasilkan warna biru (Folin & Ciocalteu 1972 di dalam Acharya & Katyare 2004) dan diukur serapannya pada panjang gelombang 578 nm (Jackson 1988; Walter 1988). Warna biru tersebut diakibatkan reduksi fosfomolibdat oleh tirosina dengan adanya ion tembaga dalam suasana basa (Spies 1957 dalam Acharya & Katyare 2004). Pengujian spesifisitas enzim dilakukan dengan metode spektrofotometri dengan menggunakan modifikasi metode Harris (1991). Substrat yang digunakan untuk menguji spesifisitas enzim adalah fibrin. Fibrin yang berwarna putih dan tidak larut air diwarnai menggunakan karmoisin. Campuran tersebut kemudian diresuspensi dalam bufer dan diamati intensitas warnanya pada 515 nm. Campuran kemudian dibagi ke dalam 5 tabung. Dua tabung di antaranya ditambahkan akuades (blanko), sementara ketiga tabung lainnya ditambahkan enzim (sampel). Absorban kelima tabung diukur dan diratarata. Selisih absorban menunjukkan kemampuan enzim memotong molekul fibrin menjadi molekul yang larut air sehingga ikatan fibrin dan pewarna menjadi terpotong. Akibatnya, intensitas warna pada sampel meningkat. Inhibitor enzim adalah senyawa yang dapat menginaktivasi enzim dan menyebabkan penurunan laju reaksi yang dikatalisis oleh enzim tersebut (Jain et al. 2005). Inhibitor dibagi menjadi dua kelas besar, yaitu inhibitor reversibel dan inhibitor nonreversibel. Inhibitor reversibel dapat memisah secara cepat dari enzim target karena ikatannya sangat lemah. Inhibitor reversibel dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok, yaitu kompetitif, nonkompetitif, dan inkompetitif. Faktor-faktor utama yang membagi ketiga kelompok enzim tersebut, antara lain konsentrasi substrat, situs penempelan enzim, dan keadaan kompleks enzim ketika inhibitor menempel. Inhibitor nonreversibel terikat secara kuat dengan enzim targetnya dan tidak mudah lepas. Ikatan yang terjadi antara enzim dan inhibitor dapat berupa ikatan kovalen atau nonkovalen (Jain et al. 2005). Ion logam adalah kofaktor dalam aktivasi zimogen tertentu. Ion logam berperan sebagai donor asam Lewis. Beberapa ion logam yang terlibat dalam reaksi-reaksi di tubuh manusia, antara lain Mn 2+, Mg2+, dan Zn2+. Contoh peranan ion logam pada enzim adalah perikatan Zn2+ dengan rantai samping imidazol pada histidina atau rantai samping karboksilat pada asam glutamat (Campbell & Farrell 2006). BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah blender, spektrofotometer UV-Vis Spectronic Helios α, kuvet kuarsa, sentrifus Sorvall Super T21, inkubator, pH meter, oven vakum, kantung dialisis cut-off 10 kD, kromatografi kolom, corong vakum, alat-alat gelas, pengaduk