Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi 2 Bulan dengan Riwayat

advertisement
Sakina dan TA | Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi 2 Bulan dengan Riwayat Lahir Prematur Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi 2 Bulan dengan Riwayat Lahir Prematur Meta Sakina, TA Larasati Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak: Angka kematian anak akibat pneumonia lebih dari 2 juta setiap tahun di dunia dan kematian bayi mencapai sebesar 27,6% dan kematian balita sebesar 22,8% di Indonesia. Bayi dengan riwayat preterm merupakan faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Data primer diperoleh dari alloanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. bronkopneumonia dapat ditegakkan karena pada pasien ditemukan 4 dari 5 gejala berdasarkan kriteria diagnosis sesuai dengan teori Bradley et al, tahun 2011 yaitu didapatkan sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada, ronkhi basah sedang nyaring (crackles), foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus dan leukositosis. Dilakukan analisa kasus seperti adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko lain. Penatalaksaaan bronkopneumonia sudah berhasil, terbukti dengan gejala sesak pada pasien berkurang. Kata kunci: berat lahir rendah , bronkopneumonia, faktor predisposisi Management of Bronkopneumonia on Infant Ages 2 Month with History of Preterm Birth Abstract Approximately 2 million children under ages five years old, die each year from pneumonia. In Indonesia occurred infant mortality of 27.6% and 22.8% of infant mortality due to pneumonia. infant, low birth weight (LBW) the risk factors that cause high mortality rates of pneumonia in children under five in developing countries. Primary data obtained from alloanamnesis, physical examination and investigations. Bronchopneumonia can be enforced because on the patient, we found 4 of 5 symptom based diagnosis criteria in accordance with the theory of Bradley et al, 2011 are obtained shortness of breath accompanied by breathing nostrils and pull the chest wall, wet ronkhi being loud (crackles), thorax photos show picture leukositosis. Using diffuse infiltrates and analysis of cases such as the presence of underlying disease or other risk factors. The Treatment of bronchopneumonia has been successful, as evidenced by the symptoms of dyspnoea in patients have reduced. Keywords: bronkopneumonia, low birth weight, predisposing factors Korespondensi : Meta Sakina, S.Ked., alamat Jl. Tanjung Harapan No. 046 Bukit Sangkal, Palembang, HP 085267272929, email [email protected] Pendahuluan nasofaring, faktor eksternal diantaranya Pneumonia masih menjadi penyebab adalah tingginya pajanan terhadap polusi utama morbiditas dan mortalitas anak berusia udara (rokok, polusi industri) dan buruknya dibawah lima tahun. Hampir seperlima ventilasi.3 Pada bayi prematur, status kematian anak diseluruh dunia atau lebih imunologinya mempengaruhi daya tahan kurang 2 juta anak balita meninggal setiap terhadap berbagai macam penyakit. Penyakit tahun akibat pneumonia. Di Indonesia sendiri terjadi kematian bayi sebesar 27,6% dan infeksi dapat menyerang individu dengan kematian balita sebesar 22,8% karena imunitas yang rendah. Salah satu penyakit pneumonia1,2. infeksi saluran pernafasan bawah. Insiden Faktor‐ Faktor resiko penyebab penyakit ini pada negara berkembang hampir tingginya angka mortalitas pneumonia pada 30% pada anak‐anak dibawah umur 5 tahun balita di negara berkembang terdiri dari faktor dengan resiko kematian yang tinggi, internal dan faktor eksternal. Faktor internal sedangkan di Amerika pneumonia diantaranya riwayat berat badan lahir rendah menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit (BBLR) , prematur, status gizi buruk, tidak infeksi pada anak dibawah umur 2 tahun. mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang Infeksi saluran napas bawah masih tetap adekuat, defisiensi vitamin A, tingginya merupakan masalah utama dalam bidang prevalensi kolonisasi bakteri patogen di J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|53
Sakina dan TA | Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi 2 Bulan dengan Riwayat Lahir Prematur kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju 4,5,6. Kasus Bayi V, laki – laki, 2 bulan, berat badan 3 kg, datang ke RSUD Abdoel Moeloek pada tanggal 21 April 2014. Ibu pasien menceritakan pasien usia 2 bulan datang dengan keluhan sesak sejak 2 hari yang lalu. Pasien merupakan pasien rujukan dari RSUD Pringsewu, pasien pernah dirawat selama 5 hari dengan keluhan batuk sejak 1 bulan yang lalu. Batuk berdahak tidak disertai pilek. Dahak berwarna putih tidak bercampur darah. Dahak sulit dikeluarkan sehingga pasien terlihat sesak dan nafasnya terengah‐engah. Tidak disertai suara mengi atau mengorok. Pasien menjadi kurang minum. Riwayat muntah, buang air besar (BAB) cair, demam dan penurunan kesadaran selama sakit disangkal. Riwayat buang air kecil (BAK) biasa. Riwayat tersedak air susu disangkal. Riwayat kontak dengan penderita dewasa yang batuk lama atau berdarah disangkal. Lalu Pasien dirujuk ke Rumah Sakit Abdoel Moeloek (RSAM) dengan keluhan sesak. Sesak dirasakan 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat kehamilan dan persalinan ibu pasien, pasien merupakan anak kedua dengan usia kehamilan preterm, selama hamil ibu tidak pernah sakit. Pemeriksaan kehamilan antenatal care (ANC) teratur di bidan. Pasien lahir kurang bulan dan lahir pervaginam. Berat badan lahir pasien 2000 gram sedangkan berat badan Pasien saat ini 3 kg. Riwayat keluarga menderita batuk, sesak, bersin pagi hari, asma, alergi dan gatal‐gatal di kulit disangkal. Berdasarkan keterangan ibu pasien, pasien tinggal bersama orang tua. Rumah berukuran 6x5 m2. Kondisi rumah cukup bersih, memiliki 2 buah kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 dapur dan 1 toilet. Penerangan dalam rumah dengan listrik dan ventilasi cukup. Sumber air minum dari air kemasan galon, limbah dialirkan ke got. Kondisi rumah secara keseluruhan baik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaaan umum: Tampak sakit sedang, terlihat lemas. Suhu: 37,5oC, Nadi 160x/menit, Nafas: 60x/menit, Berat Badan: 3 kg, Panjang Badan: 47 cm, Lingkar Kepala: 31 cm, Status Gizi: Gizi baik. Kepala dalam batas normal, Rambut hitam tidak mengkilat, Mata tak tampak konjuntiva pucat, sklera anikterik. Telinga dan hidung dan mulut dalam batas normal. Leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan thorak didapatkan retraksi suprasternal, substernal dan intercostal. Suara paru vesikular kanan dan kiri. Ditemukan ronki basah halus nyaring di kedua lapang paru. Bunyi jantung pada pemeriksaan auskultasi reguler. Abdomen dalam batas normal. Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal, tidak edema dan akral hangat. Status neurologis : Reflek fisiologis normal, Reflek patologis (‐). Pada pemeriksaan penunjang ditemukan jumlah leukosit meningkat (47.000/ul) dan rontgen thoraks tampak infiltrat di kedua lapang paru
Gambar 1. Rontgen Thoraks pasien J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus
2016|54
Sakina dan TA | Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi 2 Bulan dengan Riwayat Lahir Prematur Pembahasan Kasus bronkopneumonia masih menjadi masalah cukup besar di Indonesia. Seperti yang terjadi pada pasien berikut. Alasan diagnosis bronkopneumonia dapat ditegakkan karena pada pasien ditemukan 4 dari 5 gejala berdasarkan kriteria diagnosis sesuai dengan teori Bradley et al., 2011 yaitu didapatkan sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada, Ronkhi basah sedang nyaring (crackles), Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus dan leukositosis7,8. Pneumonia namun khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39‐400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif3,8. Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia ditemukan saat inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung. Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian‐
bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua. Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegak lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai. Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris. Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200‐2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembung‐
gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba‐tiba terbuka. Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000‐40.000/mm3 dengan neutrofil yang J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|55
Sakina dan TA | Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi 2 Bulan dengan Riwayat Lahir Prematur predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan Light‐Emitting Diode (LED). Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan8. Pada pasien didapatkan keluhan berupa batuk sehingga diagnosis banding dari pasien adalah Bronkhitis, bronkhitis adalah proses inflamasi selintas akibat virus maupun bakteri yang mengenai trakea, bronkus utama menengah yang bermanifestasi sebagai batuk. Bronkitis akibat virus biasanya bersifat akut mengikuti gejala‐gejala infeksi respiratori seperti rhinitis dan faringitis9. Batuk biasanya muncul 3‐4 hari setelah rhinitis. Batuk bersifat kering dan keras. Pada bronkhitis akibat bakteri biasanya terjadi pada anak diatas 5 tahun atau remaja, invasi bakteri ke bronkus dapat merupakan infeksi sekunder setelah terjadi kerusakan mukosa oleh infeksi virus sebelumnya1. Diagnosis banding bronkhitis dapat disingkirkan karena pasien mengalami batuk kronis dengan riwayat rhinitis dan faringitis disangkal. Pada pasien didapatkan keluhan berupa batuk, nafas cuping hidung dan retraksi intercostals sehingga diagnosis banding dari pasien adalah Bronkiolitis. Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut (IRA)‐bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus umumnya infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing setelah sebelumnya muncul gejala awal infeksi respiratori atas seperti pilek ringan, batuk kuat dan demam1 . Diagnosis banding bronkiolitis dapat disingkirkan karena pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan gejala khas obstruksi saluran respiratori bawah yaitu gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Penatalaksanaan pada pasien ini mengikuti penatalaksanaan umum dan khusus Pemberian O2 0,5 L/menit sudah tepat. O2 diberikan untuk mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha untuk bernapas dan mengurangi kerja miokardium. Oksigen diberikan pada anak yang menunjukkan gejala adanya tarikan dinding dada (retraksi) bagian bawah yang dalam, frekuensi nafas 60x/menit atau lebih.1,9, J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus
2016|56
Pemberian IVFD N4D5 X‐XV tetes permenit dalam mikro drip sudah tepat. N4D5 terdiri dari 100cc D5% + 25 cc NaCl, dengan kandungan dekstrosa 50g (200kkal), Na 38,5 mEq/L, Cl 38,5 mEq/L, Ca 200 mg/dL, dan total Osm 353. BB pasien 3 kg, maka kebutuhan cairan 300ml/hari. Mikrotetes 1ml=60 tetes 300ml/hari 300ml x 60tetes 24jam x 60menit = 12,5 gtt/ menit Pada penatalaksanaan khusus pada pasien diberikan mukolitik, antibiotik dan anti jamur yaitu candistatin drop sebagai terapi untuk penyakit lain oral thrush pada mulut pasien. Pemberian obat batuk bisolvon yang besifat mukolitik diberikan pada awal penatalaksanaan. Berdasarkan teori, mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal. Maka pemberian mukolitik di awal penatalaksaan tidak tepat1. Pemberian ceftriaxon 250mg/24 jam sudah tepat. Pada neonatus dan bayi kecil, antibiotik yang direkomendasikan antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta‐
laktam/klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga Ceftriaxone merupakan antibiotik sefalosoprin generasi ketiga dengan aktivitas yang lebih luas terhadap bakteri gram negatif, juga aktif terhadap kokus gram positif. Meskipun Ceftriaxone memiliki aktivitasnya lebih rendah terhadap organisme gram positif tetapi keberhasilan yang lebih tinggi terhadap organisme resisten. Dosis ceftriaxone yaitu 50‐
100 mg/kgBB/hari1,9 Pada pasien ini BB 3 kg maka dosis yang seharusnya diberikan adalah 150‐300mg/24jam, pada pasien diberikan 250 mg/24 jam maka dosis pemberian ceftriaxon injeksi sudah tepat. Prognosis pada kasus bronkopneumonia pada pasien ini baik, umumnya penderita bahkan dapat sembuh spontan dalam 2‐3 minggu dengan pemberian antibiotika yang adekuat. Pada pasien, berdasarkan gambaran klinis selama perawatan mula membaik. Keluhan juga telah berkurang secara berangsur‐angsur. Hal ini ditandai dengan batuk yang sudah mulai menghilang, demikian pula dengan retraksi yang berkurang serta Sakina dan TA | Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi 2 Bulan dengan Riwayat Lahir Prematur pernapasan cuping hidung sudah mulai menghilang. Namun perlu diperhatikan adanya kemungkinan lain sesak pada pasien yang diduga memiliki penyakit jantung bawaan. Prognosis penderita ini baik karena pada pasien ini telah dilakukan pengobatan yang adekuat serta belum ada tanda‐tanda yang mengarah pada komplikasi. Manajemen non farmakologi berupa edukasi pada keluarga pasien tentang penyakit bronkopneumonia dan adanya faktor predisposisi riwayat prematur, memberikan dukungan pada keluarga untuk meningkatkan status gizi pasien supaya daya tahan tubuh pasien bertambah9. Intervensi terhadap faktor internal dan eksternal penting untuk dilakukan. Edukasi kepada ibu dan anggota keluarga pasien yang tinggal 1 rumah mengenai penyakit pasien berupa bronkopneumonia erat kaitannya dengan kebersihan udara sekitar. Keluarga diharapkan memahami pentingnya memberi perhatian pada pasien bila pasie mengalami batuk pilek. Evaluasi follow up diperoleh hasil sebagai berikut: Pertama, keluhan sesak pasien berkurang. Ditandai respiratoy rate pasien berkurang, dan retraksi dada serta nafas cuping hidung pasien hilang. Simpulan Diagnosis bronkopneumonia dapat ditegakkan dengan kriteria diagnosis Bradley. Faktor risiko internal berupa status gizi, riwayat prematur, status imunisasi dan faktor eksternal berupa polusi udara dan buruknya ventilasi yang memicu terjadinya bronkopneumonia. Penatalaksanaan bronko pneumonia sudah memberikan hasil yang sesuai dengan tujuan terapi, terlihat dengan berkurangnya sesak pada pasien dan retraksi dada serta nafas cuping hidung hilang. Daftar Pustaka 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Panduan pelayanan medis ilmu kesehatan anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. hlm. 333‐47. 2. Nastini NR. Buku ajar respirologi. Edisi ke‐
1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. hlm. 265‐69. 3. Price SA. Pathophysiology: clinical concepts of disease processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Edisi ke‐4. Jakarta : EGC; 1994. hlm. 127‐32. 4. Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta : EGC; 2005. hlm. 125‐130. 5. Nastini NR. Buku ajar respirologi. Edisi ke‐
1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. hlm. 198‐202. 6. Murray N. Text book of respiratology medicine, Edisi ke‐1. America : Elseiver Saunders; 2005. hlm. 351‐56. 7. Dahlan Z. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke‐2. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. hlm. 263‐74. 8. Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C, et al. The management of community‐acquired pneumonia in infants and children older than 3 months of age : clinical practice guidelines by the pediatric infectious diseases society and the infectious diseases society of America. Clin Infect Dis. 2011; 53 (7): 617‐30. 9. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke‐15. Jakarta: EGC; 2011. hlm. 310‐18. J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|57
Download