BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada penyakit jantung koroner (PJK) terdapat kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan yang menyebabkan kondisi hipoksia pada miokardium dan akumulasi zat-zat buangan metabolisme yang umumnya disebabkan oleh proses aterosklerosis pada arteri koroner (Lilly, 2011). Pasien yang terduga PJK stabil merupakan suatu sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan pasien dengan angina pektoris stabil atau pasien yang sudah tegak dengan PJK yang kemudian tidak bergejala dengan medikamentosa dan memerlukan pengawasan rutin ataupun pasien yang mempunyai gejala angina pertama kali namun diperkirakan sudah dalam kondisi kronis yang lama. Presentasi klinis PJK stabil yang paling sering adalah berupa angina pektoris stabil (Tardif, 2010; Montalescot et al., 2013). Uji latih jantung (ULJ) merupakan jenis tes non invasif yang paling sering digunakan dalam mengevaluasi pasien yang terduga menderita PJK (Chaitman et al., 1986). Uji latih mengandalkan respon elektrokardiogram (EKG) permukaan dengan memadukan antara latihan, denyut jantung dan respon tekanan darah, pemeriksaan ini lebih sederhana dan murah dibandingkan modalitas lain seperti ekokardiografi dan uji nuklir (Fletcher et al., 1998). Adanya penurunan segmen ST yang reversible pada saat ULJ merupakan karakteristik yang berhubungan dengan peningkatan beban latihan dan permintaan oksigen pada pasien dengan adanya lesi koroner tetapi tidak terdapat gangguan aliran darah koroner pada saat istirahat. Kondisi tersebut tergantung tidak hanya pada adanya lesi koroner tapi juga pada kenaikan permintaan oksigen miokard saat terjadinya peningkatan kerja. Secara normal laju jantung akan meningkat pada saat dilakukannya uji latih sesuai dengan peningkatan permintaan oksigen miokard saat terjadi peningkatan beban kerja. Sehingga terdapat prinsip fisiologis bahwa perubahan penurunan segmen ST pada saat latihan merefleksikan lebih dari obstruksi koroner karena adanya perubahan laju jantung juga ikut mempengaruhi permintaan oksigen miokard (Okin et al., 1995; Kligfield et al., 2006). Penurunan segmen ST merupakan kriteria standar dalam diagnosis iskemia pada ULJ. Respon abnormal adalah penurunan 1 mm secara horizontal atau downsloping dari garis isoelektrik (Froelicher et al., 2006). Terdapat kelemahan terhadap jenis tes ini yaitu rendahnya sensitivitas yang didasarkan pada kriteria penurunan segmen ST untuk mengevaluasi anatomi dan keparahan lesi koroner serta untuk prediktor mortalitas dan morbiditas. Pada penelitian metaanalisis kriteria EKG hanya memiliki spesifisitas 77% sensitivitas 68% untuk mendeteksi penyakit jantung koroner sehingga kombinasi dengan kriteria lain diharapkan dapat meningkatkan kekuatan identifikasi pasien dengan penyakit jantung koroner (Gianrossi et al., 1989). Dibandingkan dengan kriteria tes standar, analisis ST/HR (penurunan segmen ST yang disesuaikan dengan kenaikan laju jantung) selama ULJ dapat meningkatkan identifikasi dan diagnosis PJK. Index ST/HR merupakan salah satu analisis ST/HR yang didapat melalui perhitungan perubahan penurunan segmen ST yang dibagi dengan perubahan laju jantung yang terjadi selama uji latih. Analisis Index ST/HR menawarkan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan kriteria standar sehingga dapat menjadi alat untuk identifikasi adanya PJK. Bahkan Kligfield et al (2006) merekomendasikan penambahan parameter Index ST/HR dalam penilaian ULJ, hal ini dikarenakan cara perhitungannya yang simpel dan telah terbukti meningkatkan sensitifitas serta memiliki nilai prognostik. Mudahnya perhitungan Index ST/HR ini tidak memerlukan program komputer yang tidak dimiliki oleh semua alat treadmill seperti pada perhitungan ST/HR slope maupun ST/HR hysteresis (Okin et al., 1995; Kligfield et al., 2006). Uji latih penting untuk mendeteksi pasien kelompok risiko tinggi yaitu kelompok pasien dengan keterlibatan arteri koroner cabang utama dan tiga arteri koroner besar yang akan mendapat manfaat dari tindakan revaskularisasi (Chaitman et al., 1981; Pignone et al., 2003). Tindakan revaskularisasi baik dengan intervensi perkutan maupun bedah pintas pada pasien dengan angina pektoris stabil terbukti berdampak pada peningkatan kualitas hidup walaupun manfaat dari intervensi perkutan pada angina pektoris stabil dalam menurunkan mortalitas, kejadian infark miokard dan tindakan revaskularisasi ulang masih menjadi perdebatan (Brorsson et al., 2001; Wijeysundera et al., 2009; Stergiopoulos et al., 2014). Nilai syntax adalah sistem nilai angiografi yang menilai kompleksitas lesi koroner didasarkan pada anatomi koroner dan karakteristik lesi serta dapat menjadi alat bantu para klinisi dalam memutuskan metode revaskularisasi pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang kompleks (Mohr et al., 2013). Nilai Syntax juga memiliki nilai prognosis jangka panjang dan berhubungan dengan komplikasi tindakan yang juga dapat mempengaruhi keluaran klinis. Nilai Syntax dapat secara objektif menentukan batas atas kesesuaian untuk dilakukan revaskularisasi dengan metode intervensi perkutan maupun dengan bedah pintas koroner (Girasis et al, 2011; Van Gal et al, 2009; Madhavan et al., 2014). Hubungan antara Index ST/HR pada ULJ dengan keparahan lesi koroner juga sudah pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Kligfield et al (1989) menemukan bahwa pada nilai cut off ≥1,6 uV/kpm mampu meningkatkan identifikasi keterlibatan cabang pembuluh darah pada kelompok populasi angina pektoris stabil yang telah dilakukan angiografi. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Okin et al. (1988) menunjukkan bahwa Index ST/HR tinggi pada nilai cut off ≥3,3 uV/kpm berhubungan dengan lesi koroner kompleks dengan stenosis signifikan diatas 50% yang melibatkan tiga arteri koroner besar dan atau tanpa keterlibatan cabang utama dengan sensitivitas sebesar 77%. Walaupun didapatkan sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kriteria standar namun hasil tersebut tidak berbeda secara signifikan. Watanabe et al. (1990) dalam penelitiannya pada kelompok populasi yang dilakukan ULJ menggunakan sepeda statis, menemukan bahwa Index ST/HR pada cut off ≥3,0 uV/kpm memiliki nilai prediktor dalam mengidentifikasi lesi koroner kompleks yang melibatkan tiga cabang pembuluh darah secara signifikan. Berbeda dengan penelitian tentang Index ST/HR sebelumnya, Lachterman et al. (1990) dan Bobbio et al. (1992) menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara Index ST/HR dan kriteria standar EKG dalam mendeteksi kompleksitas lesi koroner pada pasien yang dilakukan kateterisasi. Pada penelitian-penelitian yang telah dipublikasi, Index ST/HR dengan metode perhitungan lebih sederhana dapat berperan untuk meningkatkan identifikasi penyakit jantung koroner dan sebagai penanda prognosis mortalitas pada pasien angina pektoris stabil namun penggunaan Index ST/HR untuk identifikasi keparahan lesi koroner tidak menunjukkan hasil yang konsisten. B. Masalah Penelitian Penurunan segmen ST merupakan kriteria standar dalam diagnosis iskemia pada ULJ namun terdapat kelemahan yaitu rendahnya sensitivitas yang didasarkan pada kriteria penurunan segmen ST untuk mengevaluasi anatomi dan keparahan lesi koroner. Penurunan segmen ST yang terjadi pada saat ULJ tergantung tak hanya pada adanya lesi koroner saja, tetapi juga pada kenaikan permintaan oksigen miokard saat terjadinya peningkatan laju jantung (Okin et al., 1995; Kligfield et al., 2006). Index ST/HR pada nilai cut off >1,6 uV/kpm dari hasil ULT telah terbukti dapat meningkatkan identifikasi penyakit jantung koroner dan untuk prediktor mortalitas dan morbiditas. Penelitian mengenai hubungan antara Index ST/HR dengan keparahan lesi koroner menunjukkan hasil yang masih beragam serta belum terdapat data mengenai nilai diagnostik Index ST/HR dalam mendeteksi keparahan lesi koroner berdasarkan nilai Syntax yang merupakan suatu alat yang dapat membantu klinisi dalam memutuskan metode revaskularisasi pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang kompleks. C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan suatu pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah Index ST/HR memiliki nilai diagnostik yang baik dalam mendeteksi keparahan lesi koroner berdasarkan Nilai Syntax pada pasien yang terduga penyakit jantung koroner stabil? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik Index ST/HR dalam mendeteksi derajat keparahan lesi koroner berdasarkan Nilai Syntax pada pasien yang terduga penyakit jantung koroner stabil. E. Manfaat Penelitian Dengan mengetahui nilai diagnostik Index ST/HR untuk mendeteksi keparahan lesi koroner berdasarkan Nilai Syntax akan didapatkan suatu indikator yang dapat digunakan untuk memprediksi kompleksitas lesi koroner. Hal ini diharapkan dapat membantu klinisi terutama yang bekerja di daerah dalam memperkirakan metode revaskularisasi baik dengan intervensi perkutan maupun bedah pintas yang mungkin akan dilakukan pada pasien sehingga dapat menjadi salah satu pertimbangan klinis dalam merujuk pasien ke pusat yang mempunyai fasilitas revaskularisasi tersebut dan dalam memberikan edukasi kepada pasien. F. Keaslian Penelitian Dari studi literatur yang telah dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa terdapat beberapa penelitian yang mengevaluasi hubungan antara Index ST/HR dari hasil ULJ dengan kompleksitas lesi koroner pada angiografi koroner. Kligfield et al. (1989) pada publikasinya dengan judul Heart rate adjustment of ST segment depression for improved detection of coronary artery disease, meneliti tentang nilai diagnostik Index ST/HR. Stenosis arteri koroner dideskripsikan dengan adanya suatu stenosis ≥ 50% pada arteri koroner besar dan kemudian dibedakan menjadi keterlibatan pada 1, 2 dan 3 cabang arteri koroner. Pada penelitian ini didapatkan Index ST/HR pada nilai cut off ≥1,6 uV/kpm memiliki akurasi tinggi dalam memprediksi adanya stenosis arteri koroner yang signifikan dengan sensitivitas 93% (p<0.001). Okin et al. (1988) pada penelitian Identification of anatomically extensive coronary artery disease by the exercise electrocardiographic ST segment/heart rate slope menunjukkan bahwa pada nilai cut off yang lebih tinggi yaitu ≥3,3 uV/kpm berhubungan dengan lesi koroner kompleks yang melibatkan tiga arteri koroner besar dan atau tanpa keterlibatan cabang utama dengan stenosis signifikan diatas 50% dan memiliki sensitivitas sebesar 77%. Walaupun didapatkan sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kriteria EKG standar, namun hasil tersebut tidak berbeda secara signifikan. Watanabe et al. (1990) dalam penelitiannya dengan judul Clinical significance of simple heart rate-adjusted ST segment depression in supine leg exercise in the diagnosis of coronary artery disease pada kelompok populasi yang dilakukan ULT menggunakan sepeda statis, menemukan bahwa Index ST/HR pada cut off ≥3,0 uV/kpm memiliki nilai prediktor dalam mengidentifikasi lesi koroner kompleks yang melibatkan tiga cabang pembuluh darah dan atau tanpa keterlibatan cabang utama secara signifikan (p < 0,01). Kligfield et al. (1993) dalam publikasi yang berjudul Value and limitations of heart rate adjusted ST segment depression criteria for the identification of anatomically severe coronary obstruction: test performance in relation to method of rate correction, definition of extent of disease, and beta-blockade yang membandingkan ST/HR slope dan Index ST/HR didapatkan bahwa ST/HR slope lebih superior dibandingkan Index ST/HR dalam mendeteksi kompleksitas lesi koroner yang melibatkan tiga cabang pembuluh darah. Lachterman et al. (1990) dalam penelitiannya dengan judul Comparison of ST segment/heart rate index to standard ST criteria for analysis of exercise electrocardiogram yang menggunakan desain analisis potong lintang pada 328 pasien menunjukkan bahwa Index ST/HR tidak terbukti meningkatkan nilai diagnostik untuk mengidentifikasi adanya lesi maupun keparahan lesi koroner yang melibatkan tiga cabang pembuluh darah arteri kororner dan atau tanpa keterlibatan cabang utama dibandingkan dengan kriteria tes standar EKG pada ULJ. Bobbio et al. (1992) pada publikasinya yang berjudul Exercise-induced ST depression and ST/heart rate index to predict triple-vessel or left main coronary disease: a multicenter analysis meneliti nilai diagnostik Index ST/HR dalam mendeteksi keparahan lesi koroner yang melibatkan tiga cabang pembuluh darah arteri koroner dan atau tanpa keterlibatan cabang utama. Dari penelitian ini didapatkan bahwa Index ST/HR meningkatkan sensitivitas, namun hasilnya tidak berbeda bermakna jika dibandingkan kriteria tes standar EKG pada ULJ. Dari data penelitian tersebut di atas, belum terdapat penelitian yang meneliti nilai diagnostik Index ST/HR untuk mendeteksi keparahan lesi koroner berdasarkan nilai Syntax. Penulis juga belum menemukan publikasi mengenai penelitian serupa di Indonesia.