PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B) KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011 TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta) Diajukan Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman SKRIPSI Oleh : NUR LAILA E1A011283 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 i SKRIPSI PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B) KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011 TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta) Oleh: NUR LAILA E1A011283 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada tanggal Februari 2015 Para Penguji/Pembimbing Penguji I/ Pembimbing I Weda Kupita, S.H., M.H. NIP. 19651028199002 1001 Penguji II/ Pembimbing II Penguji III Sanyoto, S.H.,M.Hum. H. Kadar Pamuji, S.H., M.H. NIP. 19610123198601 1001 NIP. 196411151990021001 Mengetahui, Dekan Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001 ii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : NUR LAILA NIM : E1A011283 Program Studi : Ilmu Hukum Judul Skripsi PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B) KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011 TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta) : Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya, kecuali yang tersebut di dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan, atas perbuatan tersebut maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Purwokerto, Februari 2015 Yang membuat pernyataan NUR LAILA NIM. E1A011283 iii KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin....... Puji syukur penyusun panjatkan kepada allah SWT atas limpahan karunia-Nya, sehinga peyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B) KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011 TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta).” Skripsi ini disusun sebagai persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Proses penyusunan skripsi ini penyusun banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak Untuk itu penyusun mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 2. Weda Kupita, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I/Penguji I, yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi terselesaikannya skripsi ini. 3. Sanyoto, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II/Penguji II, yang telah meluangkan waktu beliau sehingga proses penyusunan dan pembimbingan skripsi ini dapat diselesaikan. 4. H. Kadar Pamuji, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji III yang telah memberikan revisi guna perbaikan. iv 5. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 6. Orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan serta motivasi hingga studi untuk meraih gelar Sarjana Hukum tercapai. 7. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan motivasi yang mampu menumbuhkan semangat untuk menyelesaikan studi ini. Penyusun menyadari bahwa skripsi ini mengandung banyak kelemahan, oleh sebab itu penyusun dengan terbuka menerima segala bentuk kritik dari pembaca dengan harapan skripsi ini dapat dijadikan bahan wacana dan kepustakaan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara. Purwokerto, Februari 2015 Penyusun v DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL DEPAN ..................................................................... i HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ......................................................... iv KATA PENGANTAR ..................................................................................... v DAFTAR ISI .................................................................................................... vii ABSTRAK ....................................................................................................... ix ABSTRACT ..................................................................................................... x BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang ........................................................................ 1 B. Perumusan Masalah.................................................................. 6 C. Kerangka Teori ........................................................................ 7 D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 11 E. Kegunaan Penelitian ................................................................... 12 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 13 A. Negara Hukum ........................................................................ 13 B. Peradilan Tata Usaha Negara ................................................... 19 1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara ............................... 19 2. Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ....... 23 3. Asas-asas Khusus Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 27 4. Kompetensi Absolut ................................................................ vi 29 C. Keputusan Tata Usaha Negara .................................................... 33 1. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara ............................. 33 2. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ............................. 39 D. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ............................ 45 E. Menara Telekomunikasi .............................................................. 52 1. Tata Cara Mendirikan Menara Telekomunikasi ..................... 52 2. Izin Mendirikan Menara Telekomunikasi .............................. 55 3. Tata Cara Membongkar Menara Telekomunikasi ................. 58 BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................... 61 A. Metode Penelitian..................................................................... 61 B. Pendekatan Penelitian ................................................................. 62 C. Spesifikasi Penelitian ............................................................... 63 D. Lokasi Penelitian ...................................................................... 63 E. Sumber Bahan Hukum................................................................. 63 F. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.......................................... 65 G. Metode Penyajian Bahan Hukum................................................ 66 H. Metode Analisis Bahan Hukum................................................... 66 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 67 A. Hasil Penelitian ....................................................................... 67 B. Pembahasan ............................................................................. 90 BAB V. PENUTUP .................................................................................... 123 A. Kesimpulan .............................................................................. 123 B. Saran ........................................................................................ 124 DAFTAR PUSTAKA vii PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B) KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011 TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta) Oleh: NUR LAILA E1A011283 ABSTRAK Penelitian ini bersumber pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta, bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum Hakim dalam Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan dan mengetahui serta menganalisis pertimbangan hukum Hakim apakah telah sesuai atau tidak dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Penggugat dalam perkara a-quo yakni PT. Konsorsium Komet, Tergugatnya Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penerbitan Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan, objek gugatannya Surat Perintah Bongkar (SPB) Nomor: 722/1.795.2/SPB/S/2011 terhadap Menara Telekomunikasi milik Penggugat. Pertimbangan hukum Hakim menyatakan bahwa Surat Keputusan Objek Sengketa bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dari segi wewenang, karena Tergugat tidak berwenang menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa, seharusnya yang berwenang menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa adalah Walikota Jakarta Selatan. Pertimbangan hukum Hakim sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yakni Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997, dan sudah sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yakni khususnya asas kepastian hukum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas. Kata Kunci : Pembatalan, Surat Keputusan, Pembongkaran dan Putusan PTUN. viii PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B) KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011 TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta) Oleh: NUR LAILA E1A011283 ABSTRACT This research source in decision of state Administrative Court Number 214/G/2011/PTUN-Jakarta, purposed to recognize and analyze judge’s law consideration wheter it is proper with the statute and principles of Good Governance. The method that used this research is normative juridical with statute approach and case approach. Plaintiff in case a-quo that Konsorsium Komet Company, Defendants to Chief of the Supervision ang Building Publishing Official (P2B) of South Jakarta, the object lawsuit is Demolition Order Letter (SPB) Nomor 722/1.785.2/SPB/5/2011 against the Telecommunication Tower’s Plaintiff. The consideration law Judge in this case a-quo council object of dispute that the decree has ben in contracdition with the statute in term of authority, because defendants is not authorized issue the object of dispute, authorities should issue the object of dispute is the Mayor of South Jakarta. Judge law considerations are in accordance with the statute that decree of the Governor of Jakarta Number 1068 of 1997, and is in conformity with the Principles of Good Governance in particular the principles of legal security, principles of openness and principles of accountability. Key Word : Cancellation, decree, demolition and decision PTUN. ix 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dapat dikatakan sebagai negara hukum karena memenuhi unsur-unsur konsep negara hukum rechstaat, salah satunya pada unsur yaitu adanya peradilan administrasi.1 Sedangkan dalam prinsip negara hukum demokrasi terdapat adanya pembagian kekuasaan dan salah satu kekuasaan dalam pemerintahan adalah kekuasaan kehakiman (judicative). Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara, yang berada di bawah Mahkamah Agung. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen Jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa susunan, kekuasaan serta hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya diatur dalam undang-undang. Atas dasar ketentuan tersebut, untuk 1 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 3. 2 badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian mengalami perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk melindungi kepentingan rakyat dan memberikan perlindungan hukum sesuai dengan konsep dari negara hukum. Selain itu Peradilan Tata Usaha Negara juga memiliki tugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.2 Pengertian sengketa Tata Usaha Negara ditentukan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang menyatakan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tersebut di atas, berarti terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara menjadi sebab terjadinya sengketa Tata Usaha Negara. Orang atau Badan 2 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi Kedua, Jakarta, 2010, hlm. 6. 3 Hukum Perdata yang kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan, hal ini sesuai dengan ketentuan hak gugat sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004. Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan yang berwenang dengan tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi. Dasar pengajuan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia adalah Pasal 53 ayat (2) UndangUndang No. 5 Tahun 1986 yang kini direvisi melalui UU Nomor 9 Tahun 2004. Pasal 53 tersebut menurut Philipus M. Hadjon mengandung asas keabsahan dalam pemerintahan yang memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu sebagai berikut: a) Bagi aparat pemerintahan, asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan (bestuursnormen); b) bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alasan mengajukan gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroepsgronden); c) bagi hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak pemerintahan (toetsingsgronden).3 Pengadilan yang berwenang, yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagaimana tercantum dalam Pasal Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan 3 Riawan. Tjandra W. Perbandingan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara dan Conseil d’eat sebagai Institusi Pengawas Tindakan Hukum Tata Usaha Negara. law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/...3.../W-Riawan-Tj.pdf. Diakses pada tanggal 31 Desember 2014 4 bahwa pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya ada pada tempat kedudukan tergugat. Alasan pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 kemudian direvisi melalui Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 sehingga alasan pengajuan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari: a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik. Hak gugat yang dimiliki orang atau Badan Hukum Perdata dimaksudkan untuk menggugat ke Pengadilan yang berwenang, guna menuntut agar Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikannya dinyatakan batal atau tidak sah. Salah satu putusan Peradilan Tata Usaha Negara tentang pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dengan pertimbangan hukum Hakim bahwa Tergugat tidak berwenang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara terdapat dalam Putusan PTUN Jakarta dalam Perkara Nomor: 214/G/2011/Ptun-Jakarta. Para pihak dalam gugatan Tata Usaha Negara tersebut yakni, PT. Konsorsium Komet sebagai Penggugat dan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan sebagai Tergugat, sedangkan obyek sengketanya yaitu Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) 5 Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor 722/1.795.2/SPB/5/2011, tanggal 12 September 2011. Sengketa Tata Usaha Negara tersebut di atas dapat digambarkan, pertama: Penggugat telah membangun atau memiliki Menara Telekomunikasi dengan ketinggian + 42 M, terletak di JL. Bunga Mayang III, Rt. 04, Rw. 01 Kel. Bintaro Kec. Pesanggrahan Jakarta Selatan sejak tahun 2003, tetapi Pengggugat mendapat izin membangun berdasarkan Keputusan Kepala Suku Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Kodya Jakarta Selatan Nomor : 71/KM/S/2005 tanggal 6 Juni 2005, karenanya masa berlaku Menara tersebut terhitung sejak tahun 2005. Kedua: dengan berakhirnya masa berlaku Menara Telekomunikasi tersebut pada tahun 2008, maka Penggugat mengajukan perpanjangan izin kepada Tergugat sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Meskipun telah memenuhi persyaratan untuk mengajukan perpanjangan Menara Telekomunikasi tersebut, Tergugat tidak mengeluarkan izin perpanjangan karena salah satu alasan yaitu, penolakan dari warga sekitar untuk perpanjangan Menara Telekomunikasi beroperasi lagi. Ketiga: Bukannya menerbitkan izin perpanjangan, Tergugat justru mengeluarkan Surat Perintah Bongkar (SPB) No. 722/1.785.2/SPB.S/2011, tanggal 12 September 2011, sehingga dengan diterbitkannya SPB tersebut Penggugat merasa dirugikan dan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. Hakim dalam Amar Putusannya mengabulkan seluruh gugatan Penggugat dan menganggap bahwa Surat Keputusn Obyek Sengketa tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yakni Keputusan Gubernur 6 Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan tidak sesuai dengan Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik. Berdasarkan uraian masalah di atas dapat dideskripsikan adanya persoalan hukum mengenai pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara ditinjau dari aspek kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara. Dari persoalan tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap sengketa tersebut, dan hendak menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul “Pembatalan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penerbitan Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor 722/1.795.2/SPB/5/2011 tentang Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor : 214/G/2011/Ptun-Jakarta). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 Pembongkaran Bangunan? tentang pelaksanaan 7 2. Apakah pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan telah sesuai dengan Peraturan Perundangundangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik? C. Kerangka Teori Negara hukum menurut A. Hamid S. Attamimi, dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa negara hukum secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.4 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah. Dalam negara hukum, eksistensi hukum dijadikan sebagai instrumen dalam menata kehidupan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Pemikiran manusia mengenai negara hukum lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum di anggap sebagai konsep universal, tetapi pada tataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam. Hal ini terjadi, karena pengaruh-pengaruh 4 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Cetakan ke-7, 2011, hlm. 21. 8 situasi kesejarahan dan juga di samping itu baik secara historis dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan Rechstaat, negara hukum menutup konsep Anglo Saxon Rule of Law), konsep Socialist Legality dan konsep negara hukum Pancasila. Berdasarkan uraian di atas, negara hukum bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang atau penyalahgunaan kekuasaan. Untuk menjamin agar tidak terjadinya hal tersebut, maka diperlukan adanya suatu lembaga yang dapat mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam penegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan adanya kepastian hukum dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Peradilan merupakan suatu lembaga yang memberi harapan bagi setiap pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum yang memuaskan dalam suatu perkara. Di Indonesia terdapat 4 (empat) lingkungan Peradilan, salah satunya Peradilan Tata Usaha Negara, yang mengadili sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan orang atau badan hukum perdata dalam lapangan hukum publik. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, 9 sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, merupakan peradilan yang mencari kebenaran materiil disamping kebenaran formilnya. Karena dalam Peradilan Tata Usaha Negara terdapat hukum acara yang merupakan salah satu cara untuk mencari dan mempertahankan hukum materiil. Hukum acara menurut Sjachran Basah merupakan hukum formal, karena ia merupakan salah satu unsur dari peradilan, demikian pula dengan hukum materialnya. Peradilan tanpa hukum maka akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak ada batas-batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya.5 Sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara merupakan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang melanggar Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, di samping itu juga melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Permasalahan dalam sengketa ini adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Kota Administrasi Jakarta Selatan oleh Penggugat dianggap tidak memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai 5 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi Revisi 5, PT RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 21-22 10 Keputusan Tata Usaha Negara yang sah. Dalam hal ini Penggugat menganggap bahwa Tergugat telah melanggar ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Informasi dan Komunikasi, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Jo Peraturan Gubernur Nomor 89 Tahun 2006 Jo Peraturan gubernur Nomor 138 Tahun 2007 dan Peraturan Gurbernur Nomor 126 Tahun 2009 serta melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ketika mengeluarkan Surat Perintah Bongkar kepada Penggugat. Berdasarkan uraian di atas, Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat dikatakan sah menurut hukum (rechmatig), harus memenuhi syarat materiil dan syarat formil dalam pembuatannya. Sebagaimana juga telah disebutkan oleh S.F. Marbun, keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara mencakup syarat materiil dan syarat formal seperti wewenang, substansi dan prosedur.6 Selain itu keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai dengan tolok ukur Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Asas-asas Pemerintahan Umum yang Baik adalah meliputi asas: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 6 S.F. Marbun, Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di Indonesia, cet 3, Yogyakarta: FH. UII Press, 2011, hlm. 162 11 Berdasarkan sengketa di atas, dapat dilihat bahwa untuk mendirikan bangunan Menara Telekomunikasi harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, juga harus memiliki izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh Walikota masing-masing daerah dimana Menara tersebut di bangun, kecuali untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus mendapatkan izin dari Gubernur. Begitu pula mempunyai izin mendirikan bangunan dari masyarakat sekitar. Berbicara mengenai pembangunan suatu bangunan, juga berbicara persoalan mengenai pembongkaran bangunan, begitu pula dengan pembangunan Menara telekomunikasi. Untuk melakukan pembongkaran Menara harus mengikuti Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, sehingga tidak akan menimbulkan sengketa yang berujung pada pengadilan. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang 12 mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan dengan Peraturan Perundangundangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. E. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan kepustakaan di bidang Hukum Administrasi Negara yang lebih khususnya mengenai Hukum Peradilan Tata Usaha Negara. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi penulis sekaligus untuk menjadi pedoman dan acuan bagi mereka yang akan melakukan penelitian serupa, serta para praktisi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Negara Hukum Negara hukum berasal dari istilah bahasa Jerman “Rechsstaat”, bahasa Perancis “Etat de Droit”, dalam bahasa Italia “Stato di Diritto” dan masuk ke dalam kepustakaan Indonesia melalui bahasa Belanda “Rechtsstaat”. Istilah Rechtsstaat berasal dari Robert von Mohl dan merupakan ciptaan golongan borjuis yang ketika itu kehidupan ekonominya sedang meningkat, sekalipun kehidupan politiknya sebagai suatu kelas sedang menurun.7 Indonesia beberapa kali mengalami perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam perubahan ke-empat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah “the rule of law, not of man.” Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah 7 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum. Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, PT. Gelora Aksara Pratama, Erlangga, 2010, hlm. 47 14 hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai “wayang” dari skenario sistem yang mengaturnya.8 Hukum merupakan sebagai suatu sistem, menurut Lon Fuller di dalam suatu negara hukum terdapat sistem-sistem hukum sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Hukum harus dituruti oleh semua orang, termasuk oleh penguasa negara. Hukum harus dipublikasikan. Hukum harus berlaku kedepan Kaedah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat diketahui dan diterapkan secara benar. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum. Tetapi hukum harus juga diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten dengan hukum yang berlaku.9 Negara hukum (rechtsstaat) bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban umum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu dan agar semuanya berjalan menurut hukum. Negara hukum menurut F.R. Bothlingk adalah “De staat, waarin de wilsvrijheid van gezagdsdragers is beperkt door grezen van recht” (negara, di mana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan hukum). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam rangka merealisasi pembatasan pemegang kekuasaan tersebut, maka diwujudkan dengan cara, “Enerzijds in een binding van rechter en administratie aan de wet, anderjizds in een begrenzing van de bevoegdheden van de wetgever”, (di satu sisi keterikatan 8 Jimly Asshiddiqie. Konsep Negara Hukum Di Indonesia. www.jimly.com/makalah/.../135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2014. 9 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Bandung PT. Refica Aditama, 2009, hlm. 9. 15 Hakim dan pemerintah terhadap undang-undang, dan di sisi lain pembatasan kewenangan oleh pembuat undang-undang). A. Hamid S. Attamimi, dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa negara hukum secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.10 Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu: pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. Dalam kaitannya dengan konstitusi, Aristoteles mengatakan, konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut.11 Philipus M. Hadjon mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara hukum, yaitu; rechtsstaat, the rule of law, dan negara hukum pancasila.12 10 Loc. Cit., hlm. 21. Ibid., hlm. 2 12 Zairin Harahap, Op. Cit., hlm. 3 11 16 Negara hukum rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum kontinental Romawi-Jerman yang disebut civil law system. Salah satu ciri utama dari sistem hukum ini adalah melakukan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum publik. Munculnya konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, unsurunsur negara hukum menurut Stahl adalah sebagai berikut: 1) Perlindungan hak-hak asasi manusia; 2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 3) Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan; dan 4) Peradilan administrasi dalam perselisihan.13 Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan pada undang-undang. Konsep Rechsstaat di Eropa Kontinental sejak semula didasarkan pada filsafat liberal yang individualistik, maka ciri individualistik itu sangat menonjol dalam pemikiran negara hukum Eropa Kontinental itu. Dalam sejarah modern, Perancis dapat disebut sebagai negara yang terdahulu mengembangkan sistem hukum ini. Sistem hukum Kontinental mengutamakan hukum tertulis yaitu Peraturan Perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum kontinental, selalu berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis. Bahkan dalam satu sistematika yang diupayakan selengkapnya mungkin dalam sebuah kitab undang-undang, 13 Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 3 17 penyusunan ini disebut kodifikasi. Sistem hukum kontinental sering pula disebut sistem hukum kodifikasi (codified law).14 Negara hukum Rule of Law dipelopori oleh Dicey yang berasal dari Inggris yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Konsep ini menekankan pada tiga tolak ukur atau unsur utama yaitu: 1) Supremasi hukum (supremacy of law), dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan (absence of arbitrary power), sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. 2) Kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law), baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat. 3) Terjaminya hak-hak asasi manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.15 Sistem Anglo Saxon tidak menjadikan Peraturan Perundang-undangan sebagai sendi utama sistemnya. Sendi utamanya adalah yurisprudensi. Sistem hukum Anglo Saxon berkembang dari kasus-kasus konkret dan dari kasus konkret tersebut lahir sebagai kaidah dan asas hukum, karena itu sistem hukum ini disebut sebagai sistem hukum yang berdasar kasus (case law system).16 Perkembangan unsur-unsur negara hukum di atas, menjadikan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibanya harus sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum, yang bertumpu pada konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan, dengan kedaulatan rakyat. Korelasi ini tampak dari kemunculan istilah demokrasi kontitusional, sebagaimana disebutkan disebutkan di atas. Dalam sistem demokrasi, penyelenggaraan negara itu 14 Ibid., hlm. 6-8 Ibid., hlm. 3 16 Ibid., hlm. 7 15 18 harus bertumpu pada partisipasi dan kepentingan rakyat. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum. Dengan demikian, negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi dapat disebut sebagai negara hukum demokratis (democratische rechtsstaat). Disebut negara hukum demokratis, karena di dalamnya mengakomodir prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi. J.B.J.M. ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip negara hukum dan prinsipprinsip demokrasi tersebut sebagai berikut: 1. Prinsip-prinsip negara hukum; a. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada undang-undang tertulis (undang-undang formal). b. Perlindungan hak-hak asasi. c. Pemerintah terikat pada hukum. d. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum itu dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrumen yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah. e. Pengawasan oleh Hakim yang merdeka. Superioritas hukum tidak dapat ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh karena itu, dalam setiap negara hukum diperlukan pengawasan oleh Hakim yang merdeka. 2. Prinsip-prinsip demokrasi; a. Perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara dan dalam masyarakat diputuskan oleh badan perwakilan, yang dipilih melalui pemilihan umum. b. Pertanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintahan dalam menjalankan fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik, yaitu kepada lembaga perwakilan. c. Pemencaran kewenangan. Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat pada satu organ pemerintahan adalah kesewenang-wenangan.Oleh 19 karena itu, kewenangan badan-badan publik itu harus dipencarkan pada organ-organ yang berbeda. d. Pengawasan dan kontrol. Penyelenggaraan pemerintahan harus dapat dikontrol. e. Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum. f. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.17 Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah. Negara hukum dijadikan sebagai pemerintahan dan instrumen dalam kemasyarakatan. menata kehidupan Penyelenggaraan kenegaraan, tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan dalam suatu negara hukum itu terdapat aturanaturan hukum yang tertulis dalam konstitusi atau peraturan-peraturan yang terhimpun dalam konstitusi atau peraturan-peraturan yang terhimpun dalam hukum tata negara serta penyelenggaraan negara itu harus bertumpu pada partisipasi dan kepentingan rakyat. B. Peradilan Tata Usaha Negara 1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara, yang berada di bawah Mahkamah Agung. Pentingnya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa antara pemerintah dengan warga Negara akibat adanya kegiatan pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya. 17 Ibid., hlm. 9-10 20 Mengenai apa yang dimaksud dengan Tata Usaha Negara, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Dalam praktik, Tata Usaha Negara tidak hanya melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan kegiatan yang bersifat pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan, tetapi juga melaksanakan fungsi untuk menyelesaikan urusan pemerintahan yang penting dan mendesak yang belum diatur dalam Peraturan Perundangundangan. Menurut Philipus M. Hadjon dkk, mengemukakan Penjelasan Pasal 1 angka 1 menyatakan apa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif. Pada dasarnya pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang, tetapi atas dasar “Freis Ermessen” dapat melakukan perbuatan lainnya meskipun belum diatur secara tegas oleh undang-undang.18 Menurut Indroharto arti pada urusan pemerintahan dalam Pasal 1 angka 1 yaitu semua kegiatan penguasa dalam negara yang tidak merupakan kegiatan atau aktivitas pembuatan peraturan perundangundangan (legislasi) dan bukan pula kegiatan atau aktivitas mengadili (yudikatif) yang dilakukan oleh badan-badan pengadilan yang bebas.19 Pemahaman terhadap Peradilan Adminstrasi akan lebih mudah jika terlebih dahulu dimengerti unsur-unsur yang melengkapinya. Menurut S.F. Marbun, setidaknya terdapat lima unsur dalam Peradilan Adminstrasi, yaitu: 1. Adanya suatu instansi atau badan yang netral dan dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga mempunyai kewenangan untuk memberikan putusan. Dalam hal ini adalah adanya Pengadilan 18 19 R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 8 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cetakan IV, 1993, hlm. 78 21 2. 3. 4. 5. Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Terdapatnya suatu peristiwa hukum konkret yang memerlukan kepastian hukum. Peristiwa hukum konkret disini adalah adanya Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh pejabat TUN. Terdapatnya suatu peristiwa hukum yang abstrak dan mengikat umum. Aturan hukum tersebut terletak di lingkungan Hukum Administrasi Negara. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak. Sesuai dengan ketentuan hukum positif, yakni Pasal 1 angka 4 UU PTUN, dua pihak disini adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang selalu sebagai Tergugat dan rakyat pencari keadilan (orang perorang atau badan hukum privat). Adanya hukum formal. Hukum formal disini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan peraturan-peraturan lainnya.20 Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 47 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa , memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengadilan tata usaha negara merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara bagi rakyat pencari keadilan, sedang pengadilan tinggi tata usaha negara merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh pengadilan tata usaha negara, kecuali beberapa hal berikut ini: a. Sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan tata usaha negara di daerah hukumnya; dalam hal ini pengadilan tinggi tata usaha negara bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir. b. Sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administrasi; dalam hal ini pengadilan tinggi tata usaha negara bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama.21 20 Riki Septiawan. Pengertian-Pengartian dalam Hukum Acara PTUN .http://rikiseptiawan180991.blogspot.com/2012/12/pengertian-pengartian-dalam-hukum acara.html. Diakses pada tanggal 05 September 2014 21 Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004, Bogor: Ghalia Indonesia Cetakan 1, 2004, hlm. 5. 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disamping memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa , memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, mengatur mengenai susunan dan kekuasaan dari lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, juga diatur mengenai tata acara dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Mengenai susunan dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, oleh Pasal 8 ditentukan bahwa pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari: 1) Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama; 2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Adapun kekuasaan dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut: a. Pasal 50 menentukan bahwa: Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama; b. Pasal 51 menentukan: (1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara ditingkat banding. (2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. (3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dala Pasal 48. (4) Terhadap putusan Pengadilan tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara dapat disimpulkan sebagai hukum yang mengatur urusan pemerintahan yang bersifat eksekutif dan 23 memiliki kebebasan bertindak dalam memutus suatu perkara yang menjadi wewenang dari badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 2. Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Hukum materiil dapat ditegakkan dengan adanya hukum acara atau sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil. Tanpa hukum acara yang jelas dan memadai, maka pihak yang berwenang menegakkan hukum materiil akan mengalami kesulitan menegakkan hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum materiil Tata Usaha Negara, maka digunakan hukum acara Tata Usaha Negara. Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materiil. Hukum acara menurut Sjachran Basah merupakan hukum formal, karena ia merupakan salah satu unsur dari peradilan, demikian pula dengan hukum materialnya. Peradilan tanpa hukum maka akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak ada batas- batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya.22 Pada umumnya secara teoretis cara pengaturan terhadap hukum formal dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu: a. ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materiilnya atau dengan susunan, kompetensi dari badan yang 22 Zairin Harahap, Op. Cit., hlm. 21-22 24 melakukan peradilan dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya. b. ketentuan prosedur berperkara diatur tersendiri masing-masing dalam bentuk undang-undang atau bentuk peraturan lainnya. Apabila mengikuti penggolongan tersebut di atas, maka UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengikuti kelompok yang pertama, karena dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut memuat hukum materiil sekaligus hukum formilnya. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dimuat dalam Pasal 53 sampai Pasal 141. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara terdiri atas 145 Pasal, dengan hukum materiil sebanyak 56 Pasal, sedangkan hukum materiil sebanyak 89 Pasal.23 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara). Dengan kata lain hukum yang mengatur tentang cara-cara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang tersebut dapat dikatakan sebagai suatu hukum acara dalam arti luas, karena undang- 23 Ibid., hlm. 22-23 25 undang ini tidak saja mengatur tentang cara-cara berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi juga sekaligus mengatur tentang kedudukan, susunan dan kekuasaan dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk hukum acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat digunakan Hukum Acara Tata Usaha Negara seperti halnya Hukum Acara Pidana atau Hukum Acara Perdata, hal ini disebabkan karena Hukum Acara Tata Usaha Negara mempunyai arti sendiri, yaitu peraturan yang mengatur tentang tata cara pembuatan suatu ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara. Aturan ini biasanya secara inklusif ada dalam Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar pembuatan ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Ada beberapa ciri khusus yang membedakan antara Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Hukum Acara peradilan lainnya, yaitu sebagai berikut: 1) Peranan Hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil (Pasal 63 ayat (2) huruf a dan hurf b, pasal 80 ayat (1), pasal 85, pasal 95 ayat (1), pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). 2) Adanya ketidakseimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat. Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkanTergugat selaku pemegang kekuasaan publik. 3) Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas. 26 4) Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). 5) Putusan Hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam undang-undang. 6) Putusan Hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait. 7) Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum Hakim membuat putusannya. 8) Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat. 9) Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil dengan tujuan menyelaraskan, menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat terlepas dari hukum Peradilan Tata Usaha Negara. Karena hukum acara merupakan hukum formil yang bertujuan untuk mempertahankan hukum materiilya. Dalam hal ini hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara akan mempertahankan hukum Peradilan Tata Usaha Negara. Dimana hukum Peradilan Tata Usaha Negara mengatur cara bagaimana bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara serta mengatur hak dan kewajiban pihakpihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut. Sehingga 27 hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara sangat penting adanya berada di Peradilan Administrasi. 3. Asas-asas Khusus Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum. Bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, oleh karena itu asas mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Bruggink memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusanputusan Hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.24 Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, maka secara garis besarnya dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Asas hukum dalam acara peradilan tata usaha negara, bukanlah asas-asas umum yang sering digunakan dalam hukum-hukum lainnya. Hukum acara peradilan tata usaha negara memiliki ciri khas pada asas-asas hukum yang melandasinya, yaitu: a. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan 24 Zairin Harahap, Loc Cit. 28 penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat hanya dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum. b. Asas pembuktian bebas. Dengan asas ini Hakim dalam melakukan pembuktian, tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para pihak. Hakim yang menetapkan beban pembuktian dan juga penilaian pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada Hakim. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas ini dianut Pasal 107 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100. c. Asas keaktifan Hakim (dominus litis). Keaktifan Hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum peradata. Dengan asas ini pula Hakim berwenang mengadakan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui kelengkapan gugatan, sehingga pemeriksaan di persidangan harus dianggap bahwa gugatan telah sempurna. Ultra petita dalam hal ini tidak di larang, sehingga terdapat reformatio in peius menjadi dimungkinkan. Dalam hal melakukan pengujian, Hakim tidak terikat pada alasan mengajukan gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63 ayat (1, 2, 80) dan ayat (85). 29 d. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan asas erga omnes.25 4. Kompetensi Absolut Pembahasan mengenai kompetensi berkaitan dengan peradilan. Adapun pengertian peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum “in concreto” dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.26 Unsur-unsur peradilan, berupa: a). Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan, b). Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit, c). Ada sekurang-kurangnya dua pihak, d). Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.27 Unsur-unsur tersebut berhubungan terhadap mengajukan gugatan, karena gugatan tersebut akan ditentukan Pengadilan mana yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara. Kewenangan yang dimilki oleh peradilan yang diberikan oleh undang25 Philiphus M. Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Jogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, hlm. 313 26 Sjachran Basah., Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Alumni Bandung, 1989, hlm. 29 27 Sjachran Basah, Op. Cit., hlm. 28 30 undang, dapat disebut dengan istilah kompetensi. Kompetensi berasal dari bahasa Latin, yaitu competentia yang berarti hetgeen aan iemand toekomt (apa yang menjadi wewenang seseorang).28 diartikan sebagai kewenangan Selanjutnya kompetensi (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu).29 Kompetensi yang dimiliki oleh badan peradilan diperoleh 2 (dua) cara. Pertama, kompetensi kehakiman atribusi adalah kewenangan mutlak. Kompetensi absolut adalah kompetensi badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. Kedua, kompetensi kehakiman distribusi atau sering disebut kompetensi relatif ialah sesuai dengan asas actor seguitur forum rei (yang berwenang adalah pengadilan tempat kedudukan tergugat).30 Kompetensi absolut berhubungan dengan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu sengketa menurut obyek atau materi atau pokok sengketa.31 Sejalan dengan pendapat itu, ada yang mengatakan bahwa berkaitan dengan kompetensi absolut, maka yang menjadi obyek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara adalah perbuatan pemerintah yang mengeluarkan keputusan (beschikking).32 Penting dipahami, kompetensi absolut yaitu sengketa Tata Usaha Negara, menurut 28 Victor Vayed Neno, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut Peradilan Tata usaha Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 29. Sebagaimana dikutip oleh Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Alumni Bandung, 1989, hlm. 65 29 Ibid., hlm 29-30 30 Victor Vayed Neno, Op. Cit., hlm. 32-33 31 Loc. Cit., 32 32 S.F. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm. 61 31 Pasal 47 adalah Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Selanjutnya Pasal 1 angka 10 diatur bahwa, Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa Kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundangan-Undang yang berlaku. Adapun ciri-ciri kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara yaitu: 1. Pihak-pihak yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 2. Obyek yang disengketakan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yakni penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 3. Keputusan yang dijadikan obyek sengketa itu berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara. 4. Keputusan yang dijadikan obyek sengketa itu bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.33 Ciri-ciri tersebut lebih kepada menunjukkan unsur-unsur dari sengketa Tata Usaha Negara dari subyek dan obyek sengketanya.34 Kedua unsur ini penting dalam penentuan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1986, maka yang menjadi subyek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum Perdata dan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara 33 S.F. Marbun dan Moh. Mahmud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, 1987, hlm. 186 34 Victor Vayed Neno, Op. Cit., hlm. 47 32 Subyek adalah orang atau badan hukum Perdata secara absolut pasti selalu menjadi Penggugat. Hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Indroharto, bahwa orang atau badan hukum perdata yang dirugikan oleh keluarnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1. Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu KTUN. Di sini orang atau badan hukum perdata tersebut secara langsung terkena kepentingannya oleh keluarnnya Keputusan Tata Usaha Negara yang di alamatkan kepadanya karena itu jelaslah ia berhak mengajukan gugatan. 2. Orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, meliputi: a. individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan. Kelompok ini merasa terkena kepentingannya secara tidak langsung dengan dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang sebenarnya di alamatkan kepada orang lain. b. Organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pihak ketiga dapat merasa kepentingannya karena keluarnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu dianggapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya. 3. Badan atau jawatan Tata Usaha Negara yang lain, namun undangundang Peradilan Tata Usaha Negara tidak memberi hak kepada Badan atau jabatan Tata Usaha Negara untuk menggugat. Sebab subyek sebagaimana Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara secara absolut hanya akan menjadi Tergugat.35 Selanjutnya yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara itu sendiri, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Termasuk ke dalam Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara adalah ketentuan yang terdapat pada Pasal 3. 35 Ibid., hlm. 49 33 Para sarjana hukum menyebut hal ini dengan Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif-Negatif yaitu sebagai berikut: 1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. 2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. 3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.36 C. Keputusan Tata Usaha Negara 1. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara Sengketa Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 angka 10 UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Unsur-unsur sengketa Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan pengertian sengketa Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut: 36 Indroharto, Op. Cit., hlm. 35-35 34 1) sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara 2) sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 3) sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.37 Sengketa Tata Usaha Negara selalu sebagai akibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Antara sengketa Tata Usaha Negara dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara selalu harus ada hubungan sebab akibat. Tanpa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, tidak mungkin sampai terjadi adanya sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara tertuang dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Uraian dari maksud Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, akan ditemukan unsur-unsurnya sebagai berikut: a. Penetapan tertulis Penjelasan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa, istilah penetapan tertulis terutama menunjuk 37 R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 6. 35 kepada isi bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini apabila sudah jelas: 1) Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya; 2) maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; 3) kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.38 Unsur penetapan tertulis ini ada pula pengecualiannya, yaitu Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang dikenal dengan Keputusan Tata Usaha Negara fiktif atau negatif. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa: Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang diterimanya. 38 Ibid., hlm. 18-19 36 b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Atau dengan perkataan lain, Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan dalam hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang dimaksud urusan pemerintahan ialah kegiatan yang bersifat eksekutif. Indroharto menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan kegiatan yang bersifat eksekutif adalah kegiatan yang bukan kegiatan legislatif atau yudikatif. c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Dalam negara hukum, setiap tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan pada asas legalitas, yang berarti bahwa pemerintah tunduk pada undang-undang. Esensi dari asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Tindakan hukum tata usaha negara dapat diartikan sebagai perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Dapat dilihat bahwa tindakan Badan atau 37 Pejabat Tata Usaha Negara ini dilakukan atas dasar Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan terhadap seseorang atau badan hukum perdata. d. Bersifat konkret, individual dan final 1) Bersifat konkret, artinya obyek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. 2) Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju. 3) Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final, karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata Keputusan merupakan wujud konkret dari tindakan hukum pemerintahan. Secara teoritis, tindakan hukum berarti, tindakan-tidakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Tindakan hukum menciptakan hak adalah dan tindakan kewajiban. yang dimaksudkan Sehingga, tindakan untuk hukum pemerintahan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh organ 38 pemerintahan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu khususnya di bidang pemerintahan atau administrasi negara. Yang dimaksud dengan menimbulkan akibat hukum adalah menimbulkan akibat hukum Tata Usaha Negara, karena penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara. Akibat hukum Tata Usaha Negara tersebut dapat berupa: 1) menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (declaratoir), misalnya surat keterangan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah yang isinya menyebutkan antara A dan B memang telah terjadi jual beli tanah atau surat keterangan dari Kepala Desa yang isinya menyebutkan tentang asal-usul anak yang akan nikah; 2) menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (constitutief), misalnya Keputusan Jaksa Agung tentang pengangkatan calon Pegawai Negeri Sipil atau Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang isinya menyebutkan suatu Perseroan Terbatas diberikan izin mengimpor suatu jenis barang.39 Lalu lintas pergaulan hukum khususnya dalam bidang keperdataan, dikenal istilah subyek hukum, yaitu ”dedrager van de rechten en plichten” atau pendukung hak-hak dan kewajibankewajiban. Subyek hukum ini terdiri dari manusia (natuurlijke persoon) 39 Ibid., hlm. 18-29 39 dan badan hukum (rechtpersoon). Kualifikasi untuk menentukan subyek hukum adalah mampu (bekwaam) atau tidak mampu (ombekwaam) untuk mendukung atau memikul hak dan kewajiban hukum. Berdasarkan hukum keperdataan, seseorang atau badan hukum yang dinyatakan tidak mampu seperti orang yang berada dalam pengampuan dan perusahaan yang dinyatakan pailit tidak dapat dikualifikasi sebagai subjek hukum.40 Menurut Chidir Ali yang dimaksud dengan badan hukum perdata adalah badan hukum yang terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang perseorangan. Indroharto menyatakan badan hukum perdata adalah badan atau perkumpulan atau organisasi atau korporasi dan sebagainya yang didirikan menurut ketentuan hukum perdata yang merupakan badan hukum (rechtspersoon) murni dan tidak memiliki dual function seperti misalnya, Provinsi, Kabupaten, Bank Indonesia, Dewan Pers dan sebagainya, yang di samping merupakan badan hukum perdata, juga merupakan badan hukum publik.41 2. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara Kedudukan suatu Keputusan Tata Usaha Negara erat kaitannya dengan proses pembuatannya. Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum (rechmatig). Berbicara mengenai Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat suatu permasalahan dalam Keputusan Tata 40 41 Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 156 R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 30 40 Usaha Negara yang dikeluarkan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Kota Administrasi Jakarta Selatan oleh Penggugat dianggap tidak memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang sah. Dalam hal ini Penggugat menganggap bahwa Tergugat telah melanggar ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Informasi dan Komunikasi, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Jo Peraturan Gubernur Nomor 89 Tahun 2006 Jo Peraturan gubernur Nomor 138 Tahun 2007 dan Peraturan Gurbernur Nomor 126 Tahun 2009 serta melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam mengeluarkan Surat Peritah Bongkar. Sehingga agar tidak terjadi suatu permasalahan seperti di atas, Keputusan Tata Usaha Negara dalam pembuatannya harus memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan beschiking ini mencakup syarat materiil dan syarat formil. a. Syarat materiil: 1) Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus pejabat yang berwenang; 2) Karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak, maka keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis, seperti penipuan, paksaan atau suap (omkoping) maupun kesesatan (dwaling); 3) Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu; 4) Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturanperaturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. b. Syarat formil: 1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi; 41 2) Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan itu; 3) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi; 4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkan keputusan itu harus diperhatikan.42 S.F. Marbun menyatakan, suatu Keputusan Tata Usaha Negara dianggap sah harus mencakup syarat materiil dan syarat formal yaitu: 1. Wewenang, ditinjau dari segi wewenang terdapat beberapa ketentuan mengenai keabsahan surat keputusan obyek sengketa, antara lain: a. Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang b. Karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yang bersifat yuridis (geen jurisdische gebreken in de wilsvorming), seperti penipuan (bedrog), paksaan (dwang), atau suapa (omkoping), kesesatan (dwaling), c. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu d. Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturanperaturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. 2. Substansi, mengenai isi pokok perkara yang terdapat dalam perkara di persidangan 3. Prosedur, ditinjau dari segi prosedur terdapat beberapa ketentuan mengenai keabsahan surat keputusan objek sengketa, antara lain: a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi. b. Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan ini c. Syarat-syarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu harus dipenuhi d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus diperhatikan.43 42 43 SF. Marbun dan Moh.Mahfud MD, Op. Cit., hlm. 49 SF. Marbun, Op. Cit., hlm. 162 42 Keputusan sah menurut hukum (rechtsgelding) apabila syarat materiil dan syarat formil di atas telah terpenuhi, artinya keputusan dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural atau formil maupun materiil. Sebaliknya, bila satu atau beberapa persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka keputusan itu mengandung kekurangan dan menjadi tidak sah. F.H. van der Burg dan kawan-kawan menyebutkan bahwa keputusan dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat bentuk (vormgebreken), cacat isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak (wilsgebreken). A.M. donner mengemukakan akibat-akibat dari keputusan yang tidak sah yaitu sebagai berikut: a. Keputusan itu harus dianggap batal sama sekali; b. Berlakunya keputusan itu dapat digugat: 1) dalam banding (beroep) 2) dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging) karena bertentangan dengan undang-undang. 3) Dalam penarikan kembali (interkking) oleh kekuasaan yang berhak (competent) mengeluarkan keputusan itu. c. Dalam hal keputusan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan persetujuan (peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi. d. Keputusan itu diberi tujuan lain daripada tujuan permulaannya (conversie)44. W. Riawan Tjandra memberikan penegasan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan (bevoegdheidsgebreken), yang meliputi: 44 Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 163 43 a. Onbevoegdheid riatione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang mengeluarkannya. b. Onbevoegdheid riatione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya (geografis). c. Onbevoegdheid riatione temporis, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru.45 Van der Wel menyebutkan enam macam akibat suatu keputusan yang mengandung kekurangan, yaitu sebagai berikut: a. Batal karena hukum. b. Kekurangan itu sebab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan keputusan itu untuk sebagiannya atau seluruhnya. c. Kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyetujui atau meneguhkannya, tidak sanggup memberi persetujuan atau peneguhan itu. d. Kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya keputusan. e. Karena kekurangan itu, keputusan yang bersangkutan dikonversi ke dalam keputusan lain. f. Hakim sipil (biasa) menganggap keputusan yang bersangkutan tidak mengikat.46 Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang tidak memenuhi persyaratan di atas dapat dinyatakan batal. Batal menurut Muchsan ada 3 (tiga), yaitu: a. Batal mutlak. Batal mutlak adalah semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada. Aparat yang berhak menyatakan adalah Hakim melalui putusannya. b. Batal demi Hukum. Terdapat 2 (dua) alternatif batal demi hukum, yaitu: 1) Semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada. 45 W. Riawan. Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2005, hlm. 73 46 Ibid., hlm. 164 44 2) Sebagian perbuatan dianggap sah, yang batal hanya sebagiannya saja. Aparat yang berhak menyatakan adalah yudikatif dan eksekutif. c. Dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan adalah semua perbuatan yang dilakukan dianggap sah, pembatalan berlaku semenjak dinyatakan batal. Aparat yang berhak menyatakan adalah umum (eksekutif, legislatif dan lain-lain).47 Menurut teori functionare de faite, suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap berlaku walaupun tidak memenuhi syarat di atas, apabila memenuhi 2 (dua) syarat yang bersifat komulatif, yaitu: 1. Tidak absahnya keputusan itu karena kabur, terutama bagi penerima keputusan. 2. Akibat dari keputusan itu berguna bagi kepentingan masyarakat.48 Indroharto menyatakan, penilaian mengenai kriteria keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dilakukan dengan cara: a. Menguji Keputusan Tata Usaha Negara tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang mendasari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dan; b. Pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara terhadap peraturan dasarnya dilakukan hanya terhadap peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut walaupun barangkali setelah Keputusan Tata Usaha Negara itu ditetapkan terjadi perubahan peraturan perundangundangan.49 Keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai dengan tolok ukur Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa 47 Ikhwan, Muhamad., 2010., Studi Hukum Keputusan Tata Usaha Negara (Syarat Sah, Batal, Hapus, Kekuatan Hukum serta Metode Pembentukan). http://studihukum.blogspot.com/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-2-syarat_20.html. Diakses pada Senin, 10 November 2014. Pukul 12.05 WIB 48 Menurut Van Der Pot yang dikutip oleh W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002, hlm. 33 49 W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002, hlm. 13 45 yang dimaksud dengan Asas-asas Pemerintahan Umum yang Baik adalah meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. D. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik Asas mengandung beberapa arti. Asas dapat mengandung arti sebagai dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berikir atau berpendapat), dasar citacita (perkumpulan atau organisasi) dan hukum dasar.50 Jika bertitik tolak secara harfiah asas yang dikemukakan di atas, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dapat dipahami sebagai dasar umum dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Berdasarkan hasil penelitiannya, Jazim Hamidi menemukan pengertian Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebagai berikut: 1. AAUPB merupakan nilai-nilai etnik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan Hukum Administrasi Negara; 2. AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat; 3. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat; 50 Tim Penulis Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 60 dan 221. 46 4. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu berubah menjadi Hakim kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.51 Asas-asas umum pemerintahan yang baik lahir dari praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehingga bukan produk formal suatu lembaga negara seperti undang-undang. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik lahir sesuai dengan perkembangan zaman untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak individu. Fungsi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah sebagai pedoman atau penuntun bagi pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam rangka pemerintahan yang baik (good governence). Dalam hubungan ini, Muin Fahmal52 mengemukakan, “Asas umum pemerintahan yang layak sesungguhnya adalah rambu-rambu bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya. Rambu-rambu tersebut diperlukan agar tindakan-tindakannya tetap sesuai dengan tujuan hukum yang sesungguhnya.” Asas-asas umum pemerintahan yang baik pada awalnya bukan merupakan sekumpulan norma-norma hukum, tetapi seluruhnya prinsip yang bertendensi (bermuatan etis). Dengan perkataan lain pada awalnya Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik hanya merupakan etika penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik hanyalah etika, asas-asas tersebut tetap dapat berfungsi sebagai pedoman yang penting bagi pemerintah dan para pejabat administrasi negara dalam menetapkan 51 Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 234-235 Fahmal Muin, Peran Asas-asas Pemerintahan yang Layak dalam mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Yogyakarta: UII Press, 2008, hlm. 60 52 47 suatu kebijakan. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik selanjutnya dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, di samping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan.53 Menurut SF. Marbun, asas-asas pemerintahan yang baik memiliki arti penting dan fungsi sebagai berikut: 1. Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundangundangan yang bersifat samar atau tidak jelas. 2. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan. AAUPB dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. 3. Bagi hakim Tata Usaha Negara, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat Tata Usaha Negara. 4. Selain itu, AAUPB tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu undang-undang.54 Perkembangan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dari sekedar tendensi etis menjadi hukum tidak tertulis dan dijadikan dasar penilaian dalam peradilan upaya administrasi dalam dapat disebut sebagai positivisasi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Perkembangan Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik ke arah yang lebih positif semakin memperkokoh kehadiran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam lingkungan tata hukum nasional dan praktik penyelenggaraan pemerintahan. Dalam perkembangan yang terakhir, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik berkembang menjadi hukum positif tertulis sebab bagian dari Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik kemudian dituangkan secara formal dalam undang-undang ataupun hukum yang tertulis seperti di Jerman. 53 54 Ridwan HR, Hukum administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hlm. 251 Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010, hlm. 142-143 48 Pada masa sekarang Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dipandang sebagai bagian dari hukum positif, baik sebagai hukum positif tidak tertulis. Dalam hubungan dengan perkembangan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dari hukum tidak tertulis menjadi hukum, Indroharto mengemukakan, “Dasar-dasar umum yang baik ini semula merupakan normanorma yang tidak tertulis, beberapa di antara norma-norma tersebut seperti larangan willekeur dan larangan de tournement de pouvoir.” Indroharto lebih lanjut mengemukakan, di Jerman misalnya, norma-norma tersebut sebagian dimuat dalam perundang-undangan umum (Verwaltungsverfahrensgesetz) dan sebagian tetap tidak tertulis. Pemerintah sangat sentral tugasnya yakni mensejahterakan kehidupan masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya pemerintah harus turut campur tangan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada dasarnya, setiap campur tangan pemerintah dalam kehidupan sosial harus berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan asas legalitas sebagai konsekuensi dari asas negara hukum. Akan tetapi, kelemahan asas legalitas yang mengutamakan hukum, mengakibatkan pemerintah bertindak lamban. Oleh karena itu, pemerintah diberi kebebasan dalam menjalankan urusannya baik yang sudah ada aturannya maupun yang belum ada aturannya.55 Pejabat administrasi negara dalam bertindak tidak terikat sepenuhnya kepada undang-undang, ini menjadi peluang bagi pemerintah untuk melakukan penyalahgunaan wewenang. Untuk menilai apakah tindakan 55 Hotma P. Sibue, Op. Cit., hlm. 150-154 49 pemerintah sesuai dengan asas negara hukum atau tidak, dapat menggunakan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf (b) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan yang dimaksud Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah meliputi asas: 1. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. 2. Tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. 3. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negaradengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. 4. Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak adan kewajiban penyelenggaraan negara. 5. Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.56 Crince le Roy menyatakan terdapat sebelas asas umum pemerintahan yang baik dalam lapangan hukum administrasi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan di Belanda. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang dikemukakan oleh Crince Le Roy tersebut meliputi: 56 Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 34-35 50 1. Asas kepastian hukum (princple of legal security) adalah asas yang bertujuan untuk menghormati hak-hak yang telah dimiliki seseorang berdasarkan keputusan badan atau pejabat administrasi negara. 2. Asas keseimbangan (principle of proporsionality), berkenaan dengan keseimbangan antara hukuman yang dapat dikenakan terhadap seorang pegawai dengan kelalaian pegawai yang bersangkutan. 3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality) mengandung arti bahwa pejabat administrasi negara pada hakikatnya harus mengambil tindakan yang sama atas kasus-kasus yang faktanya sama. 4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness), menghendaki supaya badan atau pejabat administrasi negara senantiasa bertindak secara hatihati agar tidak menimbulkan kerugian warga masyarakat. 5. Asas motivasi dalam setiap keputusan (principle of motivation) mengandung arti bahwa setiap keputusan badan atau pejabat administrasi negara harus didasari oleh suatu alasan atau motivasi yang cukup, yakni adil dan jelas. 6. Asas larangan mencampuradukan kewenangan (principleof non-misuse of competence), berkaitan dengan larangan bagi badan atau pejabat administrasi negara untuk menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain selain daripada tujuan yang telah ditetapkan untuk kewenangan tersebut. 7. Asas permainan yang layak (principle of fair play), berkenaan dengan prinsip bahwa badan atau pejabat administrasi negara harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk mencari kebenaran dan keadilan. 8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness), menghendaki supaya pejabat administrasi negara dalam mengambil suatu keputusan atau tindakan perlu selalu memperhatikan keadilan dan kewajaran. Aspek keadilan dalam setiap tindakan atau keputusan pejabat administrasi negara mengandung arti bahwa setiap tindakan pejabat administarsi negara hendaklah dilakukan secara proporsional, sesuai, dan selaras dengan hak setiap orang. Aspek kewajaran dalam setiap keputusan atau tindakan pejabat adminstrasi negara menghendaki supaya setiap tindakan pejabat administrasi negara harus memperhatikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat seperti nilai-nilai agama, budaya, ekonomi, sosial, dan juga dapat diterima akal sehat. 9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting raised expectation), menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus menimbulkan harapan bagi warga negara. Sebagai konsekuensinya, pemerintah atau pejabat administrasi negara tidak boleh menarik kembali sesuatu harapan yang sudah terlanjur diberikan kepada seseorang, meskipun bagi pemerintah tindakan pemberian harapan tersebut merupakan sesuatu hal yang merugikan. 10. Asas meniadakan akibat keputusan yang batal (principle of undoingthe consequenceof unnulled decision), menghendaki supaya pejabat 51 administrasi negara meniadakan semua akibat yang timbul dari suatu keputusan yang kemudian dinyatakan batal. 11. Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of protecting the personal way of life), menghendaki supaya pemerintah atau pejabat administrasi negara memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara.57 Kuntjoro Purbopranoto, melengkapi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang dikemukakan di atas dengan menambah asas lain dalam rangka mengadaptasi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik itu dalam konteks Indonesia. Kedua asas tambahan itu adalah sebagai berikut: 1. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently) menghendaki supaya pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya sebaiknya diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan sebab peraturan perundang-undangan selalu mengandung cacat bawaan, yakni tidak selalu dapat menampung segenap persoalan. 2. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of legal security) menghendaki supaya pemerintah dalam menyelenggarakan tugasnya selalu mengedepankan kepentingan umum sebagai kepentingan segenap orang.58 Berdasarkan uraian mengenai asas di atas, dapat diketahui bahwa keberadaan asas-asas dalam hukum sangat penting. Asas-asas dalam hukum tidak pernah terlepas dari tindakan administrasi pemerintah dan mengatur bagaimana cara pemerintah harus bertindak. Begitupula dengan adanya Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik, asas ini mengatur bagaimana cara bertindak Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang biasanya disebut dengan pemerintah. Dengan adanya asas-asas ini, maka tindakan Pemerintah dan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha dapat dikendalikan, sehingga tidak terjadi tindakan yang sewenang-wenang. 57 Hotma P. Sibuea, Op. Cit., hlm. 158-163 Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Malang: Bayumedia Publishing, 2004, hlm. 84 58 52 E. Menara Telekomunikasi 1. Tata Cara Membangun Menara Telekomunikasi Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Menara Telekomunikasi adalah bangunan yang berfungsi sebagai penunjang jaringan telekomunikasi yang desain/bentuk konstruksinya disesuaikan dengan keperluan jaringan telekomunikasi. Menara telekomunikasi bersama adalah Menara Telekomunikasi yang dapat digunakan oleh lebih dari satu operator. Menurut Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Menara Telekomunikasi adalah bangunan yang berfungsi sebagai penunjang jaringan telekomunikasi yang desain/bentuk konstruksinya disesuaikan dengan keperluan jaringan telekomunikasi. Sedangkan Menara Telekomunikasi bersama adalah Menara Telekomunikasi yang dapat digunakan oleh lebih dari satu operator. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2009 tentang Peta Arahan Persebaran Menara Telekomunikasi Bersama Untuk Penempatan Makro Seluler (Microcell), Menara Telekomunikasi adalah bangunan khusus yang berfungsi sebagai sarana penunjang untuk menempatkan peralatan telekomunikasi yang desain atau bentuk 53 konstruksinya disesuaikan telekomunikasi. Menara dengan keperluan telekomunikasi bersama penyelenggaraan adalah Menara Telekomukasi yang pemanfaatannya digunakan oleh lebih dari 2 (dua) operator. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 18 Tahun 2009, Nomor: 07/PRT/M/2009, Nomor: 19/PER/M.KOMINFO/03/2009, Nomor: 3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi, yang disebut Menara Telekomunikasi adalah: Bangun-bangun untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah, atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul, di mana fungsi, desain dan kontruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang menempatkan penunjang telekomunikasi. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal menyatakan bahwa pembangunan Menara Telekomunikasi harus memenuhi hal-hal sebagai berikut: Pasal 5 1) Menara disediakan oleh penyedia menara. 2) Penyedia menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: a. penyelenggara telekomunikasi; atau b. bukan penyelenggara telekomunikasi. 54 3) Penyediaan menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pembangunannya dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi. 4) Penyedia menara yang bukan penyelenggara telekomunikasi, pengelola menara atau penyedia jasa konstruksi untuk membangun menara merupakan perusahaan nasional. Pasal 6 1) Lokasi pembangunan menara wajib mengikuti: a. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan khusus untuk DKI Jakarta wajib mengikuti rencana tata ruang wilayah provinsi; b. rencana detail tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan khusus untuk DKI Jakarta wajib mengikuti rencana detail tata ruang provinsi; dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan. 2) Pembangunan menara wajib mengacu kepada SNI dan standar baku tertentu untuk menjamin keselamatan bangunan dan lingkungan dengan memperhitungkan faktor-faktor yang menentukan kekuatan dan kestabilan konstruksi menara dengan mempertimbangkan persyaratan struktur bangunan menara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Bersama ini. Pasal 7 1) Menara yang dibangun wajib dilengkapi dengan sarana pendukung dan identitas hukum yang jelas sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2) Sarana pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari a. pentanahan (grounding); b. penangkal petir; c. catu daya; d. lampu halangan penerbangan (aviation obstruction light); e. marka halangan penerbangan (aviation obstruction marking); dan f. pagar pengaman 3) Identitas hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. nama pemilik menara; b. lokasi dan koordinat menara; c. tinggi menara; d. tahun pembuatan/pemasangan menara; e. penyedia jasa konstruksi; dan f. beban maksimum menara. Berbeda dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi, pembangunan Menara Telekomunikasi harus memenuhi hal-hal sebagai berikut yang termuat dalam: 55 Pasal 2 Demi efesiensi dan efektivitas penggunaan ruang, maka Menara harus digunakan secara bersama dengan tetap memperhatikan kesinambungan pertumbuhan industri telekomunikasi. Pasal 3 1) Pembangunan Menara dapat dilaksanakan oleh: a. Penyelenggara telekomunikasi; b. Penyedia Menara; dan/atau c. Kontraktor Menara 2) Pembangunan Menara harus memiliki Izin Mendirikan Menara dari intansi yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3) Pemberian Izin Menara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperhatikan ketentuan tentang penataan ruang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 4) Penyelenggara telekomunikasi, Penyedia Menara, dan atau Kontraktor Menara dalam mengajukan Izin Mendirikan Menara wajib menyampaikan informasi rencana pembangunan Menara Bersama. 5) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilakukan dengan perjanjian tertulis antara Penyelenggara Telekomunikasi. 2. Izin Mendirikan Menara Telekomunikasi Izin Mendirikan Bangunan atau biasa dikenal dengan IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku. IMB merupakan salah satu produk hukum untuk mewujudkan tatanan tertentu sehingga tercipta ketertiban, keamanan, keselamatan, kenyamanan, sekaligus kepastian hukum. Kewajiban setiap orang atau badan yang akan mendirikan bangunan untuk memiliki Izin Mendirikan Bangunan diatur pada Pasal 5 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Bangunan. IMB akan melegalkan suatu bangunan yang direncanakan sesuai dengan Tata Ruang yang telah ditentukan. Selain itu, adanya IMB menunjukkan bahwa rencana kostruksi 56 bangunan tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan dengan maksud untuk kepentingan bersama. Mendirikan Menara Telekomunikasi juga harus memiliki IMB. Pengaturan mengenai izin mendirikan Menara Telekomunikasi terdapat dalam Pasal 12 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang menyatakan bahwa: 1) Setiap pembangunan menara telekomunikasi wajib memiliki: a) Surat Keterangan Penempatan Titik Lokasi Rencana Pembangunan Menara Telekomunikasi dari Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta. b) Surat Keterangan Membangun yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. c) Izin Penempatan Jaringan Utilitas dan Bangunan Pelengkap yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Penerangan Jalan Umum dan Sarana Jaringan Utilitas Provinsi DKI Jakarta, apabila jaringan instalasi yang berada pada menara terhubung dengan jaringan utilitas pada ruang publik, 2) Permohonan awal rencana pembangunan menara telekomunikasi harus diajukan secara tertulis kepada Kepala Dinas Tata Kota untuk memperoleh kepastian tentang boleh atau tidaknya penempatan titik lokasi rencana pembangunan menara telekomunikasi sesuai dengan peruntukan ruang kota. 3) Untuk memperoleh Surat Keterangan Membangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur c.q. Kepala Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 4) Surat Keterangan Membangun Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 3 (tiga) tahun untuk menara telekomunikasi bersama, maximum 5 (lima) tahun untuk menara telekomunikasi khusus; 5) Masa berlaku Surat Keterangan Membangun Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terhitung sejak tanggal diterbitkan dan setelah habis masa berlaku, dapat diperpanjang. 57 6) Untuk memperoleh izin Penempatan Jaringan Utilitas dan Bangunan Pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus dilampirkan : a) Surat Keterangan Membangun dari Kepala Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Provinsi DKI Jakarta. b) Membayar Retribusi Izin Penempatan Jaringan Utilitas dan Bangunan Pelengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tata cara memperoleh perizinan Menara Telekomunikasi terdapat dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa: 1) Setiap bangunan menara telekomunikasi eksisting yang pembangunannya dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Gubernur Nomor 89 Tahun 2006 wajib memiliki Surat Keterangan Membangun (SKM). 2) Setiap pembangunan menara telekomunikasi yang dilakukan setelah berlakunya Peraturan Gubernur Nomor 89 Tahun 2006 wajib memiliki Izin Mendirikan Membangun (IMB). 3) Untuk memperoleh Surat Keterangan membangun (SKM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon mengajukan surat permohonan kepada Kepala Suku Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Kota Administrasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 18 Tahun 2009, Nomor: 07/PRT/M/2009, Nomor: 19/PER/M.KOMINFO/03/2009, Nomor: 3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi tata cara perizinan pembangunan Menara dapat dilihat dalam Pasal 10 yang menyatakan Permohonan IMB diajukan oleh 58 penyedia Menara kepada Bupati/Walikota, dan khusus untuk provinsi DKI Jakarta permohonan izin diajukan kepada Gubernur. Begitu pula dalam Pasal 11 mengatur mengenai permohonan IMB yang berbunyi: 4) Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Menara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 melampirkan persyaratan sebagai berikut: d. persyaratan administratif; dan e. persyaratan teknis. 5) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari: a. status kepemilikan tanah dan bangunan; b. surat keterangan rencana kota; c. rekomendasi dari instansi terkait khusus untuk kawasan yang sifat dan peruntukannya memiliki karakteristik tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; d. akta pendirian perusahaan beserta perubahannya yang telah disahkan oleh Departemen Hukum dan HAM. e. surat bukti pencatatan dari Bursa Efek Indonesia (BEJ) bagi penyedia menara yang berstatus perusahaan terbuka; f. informasi rencana penggunaan bersama menara; g. persetujuan dari warga sekitar dalam radius sesuai dengan ketinggian menara; h. dalam hal menggunakan genset sebagai catu daya dipersyaratkan izin gangguan dan izin genset 6) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mengacu pada SNI atau standar baku yang berlaku secara internasional serta tertuang dalam bentuk dokumen teknis sebagai berikut: a. gambar rencana teknis bangunan menara meliputi: situasi, denah, tampak, potongan dan detail serta perhitungan struktur; b. spesifikasi teknis pondasi menara meliputi data penyelidikan tanah, jenis pondasi, jumlah titik pondasi, termasuk geoteknik tanah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Bersama ini; dan c. spesifikasi teknis struktur atas menara,meliputi beban tetap (beban sendiri dan beban tambahan) beban sementara (angin dan gempa),beban khusus,beban maksimum menara yang diizinkan, sistem konstruksi, ketinggian menara, dan proteksi terhadap petir. 3. Tata cara Membongkar Menara Telekomunikasi Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan 59 bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun dan Menggunakan Bangunan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, mengatur perihal pembongkaran Menara Telekomunikasi yang menyatakan bahwa: Pasal 12 Tindakan Penertiban bangunan dikenakan terhadap kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a. Pembangunan yang dilaksanakan tanpa izin; b. Pembangunan dengan izin, tetapi tidak dilaksanakan oleh pemborong dan atau tidak diawasi oleh Direksi Pengawas yang diisyaratkan; c. Pembangunan yang dilaksanakan dengan izin, tetapi terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan; d. Bangunan yang digunakan tanpa IPB dan atau IPPB; e. Bangunan yang penggunaannya tidak sesuai IPB dan atau IPPB; f. Bangunan/pekarangan yang tidak terpelihara. Pasal 17 1) Terhadap SP4 yang telah dikeluarkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 apabila tidak dipatuhi akan dilanjutkan dengan tindakan penyegelan. 2) Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini tidak dilaksanakan/dapat ditunda apabila : a. telah mendapat Izin Pendahuluan atau; b. berkas permohonannya telah memenuhi syarat dan dapat diproses menjadi PIMB. 3) Surat Penyegelan disiapkan oleh Seksi Penertiban dan ditandatangi Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota. 4) Penyegelan dilaksanakan oleh Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota cq. Seksi Penertiban. 5) Cara pelaksanaan penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pasal ini sebagai berikut : a. memasang papan segel pada lokasi kegiatan membangun yang jelas terlihat; b. Menempelkan surat segel di pintu masuk lokasi atau bedeng kerja;Papan segel dapat dipasang kembali apabila papan segel terdahulu hilang. 6) Batas waktu penyegelan apabila dilanjutkan ke tindakan penertiban berikutnya (SPB) maksimal 7x24 jam. Pasal 18 1) Terhadap tindakan penyegelan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 apabila tidak dipatuhi dapt dilanjutkan dengan SPB. 60 2) SPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilaksanakan apabila : a) bangunan tersebut dari segi teknis, planalogis, administratif tidak mungkin diberi izin atau; b) bangunan dari segi keamanan bangunan dan lingkungan harus dibongkar atau; c) berdasarkan pertimbangan Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota, bangunan atau bagian bangunan yang melanggar dari segi teknis dan atau planalogis dan atau administratif serta tertib bangunan perlu dibongkar. 3) Pelaksanaan SPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dapat ditunda/tidak dilaksanakan apabila: a) telah mendapat izin pendahuluan atau; b) berkas permohonan telah memenuhi syarat dan dapat diproses menjadi PIMB. 4) SPB disiapkan oleh Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota cq. Seksi Penertiban untuk ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota/Walikotamadya. 5) SPB yang ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa, tidak termasuk bangunan Pemerintah dan atau bangunan sosial ibadah dan atau bangunan pada lingkungan dengan persyaratan khusus (antara lain lingkungan KDB rendah,cagar budaya, Kepulauan Seribu, Daerah Militer). 6) SPB yang ditandatangani Walikotamadya (setelah diparaf oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini adalah terhadap kegiatan: a) membangun tanpa izin yang belum dihuni dan dalam sengketa dan atau bangunan Pemerintah dan atau bangunan sosial ibadah dan atau bangunan pada lingkungan dengan persyaratan khusus (antara lain lengkungan KDB rendah, cagar budaya, Kepulauan Seribu, Daerah Militer) atau; b) membangun tanpa izin dan sudah dihuni atau; c) berdasarkan pertimbangan Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota atas Pelanggaran tersebut perlu SPB atau SPB ulang dari Walikotamadya. 7) SPB yang sudah ditandatangani oleh Walikotamadya/Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota disampaikan oleh Seksi PPK Kecamatan kepada yang bersangkutan sesegera mungkin maksimal 3x24 jam setelah diterima. 8) Pemilik/Pelaksana Bangunan diwajibkan untuk melaksanakan pembongkaran sendiri selambat-lambatnya 7x24 jam setelah SPB diterima. 61 BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, yaitu suatu penelitian yang menggunakan konsepsi legis-positivis. Konsepsi legispositivis merupakan suatu konsep yang memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsep ini memandang hukum sebagai sistem normatif yang mandiri bersifat tertutup dari kehidupan masyarakat yang nyata. Menurut Jhonny Ibrahim, tipe penelitian yuridis normatif salah satunya menggunakan pendekatan perundang-undangan.59 Soerjono Soekanto, dipihak lain mengemukakan pendapatnya mengenai penelitian hukum normatif sebagai berikut: Penelitian hukum normatif (di samping adaya penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti bahan hukum primer) adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum sekunder belaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: a. Penelitian terhadap asas-asas hokum b. Penelitian terhadap sistematika hokum c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Perbandingan hokum e. Sejarah hukum.60 59 Ronny Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm. 11 60 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 14. 62 2. Pendekatan Penelitian a. Pendekatan Perundang-undangan Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua Peraturan Perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.61 Metode pendekatan perundangundangan digunakan untuk meneliti suatu permasalahan hukum, memiliki kesesuaian dengan Peraturan Perundang-undangan. b. Pendekatan Kasus Kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan. Baik keperluan praktik maupun kajian akademis, ratio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.62 Pendekatan kasus digunakan mengingat yang menjadi titik utama dalam penelitian ini yaitu mengenai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penerbitan Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan tentang Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan. Kajian pokok dalam penelitian ini adalah argumentasi Hakim dalam pertimbangan hukumnya sehingga menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penerbitan Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak sah menurut hukum. 61 62 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 93 Ibid., hlm. 94 63 3. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian deskriptif. Spesifikasi penelitian deskriptif menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar penelitian Hukum dijelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejalagejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.63 4. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Unit Pelaksana teknis Universitas Jenderal Soedirman, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 4. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan penulisan karya ilmiah ini adalah data sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi peneliti.64 Dari bahan hukum kepustakaan tersebut dideskripsikan tentang teori, pandangan pandapat para ahli dan sebagainya, yang merupakan bahan berfikir dan berprilaku dalam pengumpulan bahan hukum. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan hasil 63 64 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 32. Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung : Mandar Maju, 1998, hlm. 65. 64 yang obyektif dari penelitian ini dari data sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang bersumber dari Peraturan Perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hukum Administrasi Negara, khususnya hukum Peradilan Tata Usaha Negara yaitu: 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara kemudian mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian mengalami perubahan kembali menjadi Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung 5. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi 6. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 18 Tahun 2009, Nomor: 07/PRT/M/2009, Nomor: 19/PER/M.KOMINFO/03/2009, Nomor: 3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi 7. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 8. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 9. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2009 tentang Peta Arahan Persebaran Menara Telekomunikasi Bersama Untuk Penempatan Makro Seluler (Microcell). 10. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun dan Menggunakan Bangunan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta 65 b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari: 1) Pustaka di bidang ilmu hukum, 2) Hasil penelitian di bidang hukum, a) Artikel-artikel ilmiah, baik dari Koran maupun internet, b) E-book (buku digital), c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari: 1) Kamus Hukum 2) Ensiklopedia65 5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan menginventarisasi bahan hukum primer seperti Peraturan Perundang-undangan, Putusan Hakim di PTUN Jakarta, dan Yurisprudensi yang relevan, serta Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, hasil-hasil penelitian, literatur-literatur, makalahmakalah dalam seminar, artikel-artikel, risalah-risalah sidang di PTUN Jakarta dan Petunjuk Teknis maupun Petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, Peraturan Menteri maupun Peraturan Gubernur daerah Jakarta Selatan yang relevan dengan obyek penelitian. 65 Op. Cit., hlm. 12-13. 66 6. Metode Penyajian Bahan Hukum Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis.66 Sistematis di sini maksudnya adalah keseluruhan bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer yang diperoleh sebagai hasil penelitian akan dihubungkan satu dengan yang lainnya sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga penyusunan data dapat dipahami dan mudah dipelajari. 7. Metode Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yaitu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih dan efektif, kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara induktif sebagai jawaban terrhadap permasalahan yang diteliti. Soerjono Soekanto dalam hal ini memberikan pendapatnya bahwa normatif kualitatif yaitu dilakukan dengan cara menjabarkan bahan hokumbahan hukum yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum, teori-teori, serta doktrin hukum dan kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan.67 Sedangkan Roni Hanitijo Soemitro berpendapat bahwa penelitian normatif adalah penelitian yang bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis bahan hukum bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi informasi yang bersifat ungkapan monografis.68 66 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 119 67 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Ibid., hlm. 98. 68 Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., hlm. 98. 67 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian yang berbentuk data sekunder bersumber dari putusan Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam Perkara Nomor: 214/G/2011/Ptun-Jakarta yang diuraikan secara singkat sistematis sebagai berikut: 1. Para Pihak yang berperkara 1.1 Identitas Penggugat Nama : PT. Konsorsium Komet Alamat : Jalan Kebagusan I, No.8, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 1.2 Identitas Tergugat Nama Jabatan : Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Kota Administrasi Jakarta Selatan. Tempat Kedudukan : Jalan Prapanca Raya No. 9, Jakarta Selatan 2. Obyek Gugatan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penerbitan Bangunan (P2B) Kota 722/1.795.2/SPB/S/2011, Pelaksanaan Administrasi tanggal Pembongkaran Keputusan Obyek Sengketa). 12 Bangunan Jakarta September (selanjutnya Selatan 2011, No. Tentang disebut Surat 68 3. Kasus Posisi Menurut Penggugat 3.1 Penggugat adalah pemilik Menara Telekomunikasi dengan ketinggian + 42 M, terletak di Jl. Bunga Mayang III, Rt. 04, Rw. 01 Kel. Bintaro Kec. Pesanggarahan Jakarta Selatan. 3.2 Bangunan Menara Telekomunikasi milik Penggugat dibangun sejak Tahun 2003, tetapi Penggugat mendapat izin membangun/keterangan membangun berdasarkan Keputusan Kepala Suku Dinas Penataan dan Pengawasan Bangungan Kodya Jakarta Selatan Nomor : 71/KM/S/2005 tanggal 6 Juni 2005, karenanya masa berlaku Menara tersebut terhitung sejak Tahun 2005 s/d 2008; 3.3 Dengan berakhirnya masa berlaku Menara Telekomunikasi tersebut pada tahun 2008, maka Penggugat mengajukan izin perpanjangan kepada Tergugat sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan. Tetapi Tergugat tidak mengeluarkan surat izin perpanjangan tersebut, Tergugat secara tiba-tiba mengeluarkan Surat Perintah Bongkar (SPB) No. 722/1.785.2/SPB.S/2011, tgl 12 September 2011, sehingga dengan di terbitkannya SPB tersebut Penggugat sangat dirugikan; 3.4 Tindakan Tergugat dalam mengeluarkan Surat Perintah Bongkar tersebut, selain tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Informasi Komunikasi dan Badan Penanaman Modal Dalam ( BKPM) dan Peraturan- Peraturan Gubernur di atas, 69 juga bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik; 3.5 Tindakan Tergugat yang mengeluarkan Surat Keputusan, selaku Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan No. 722 / 1 .795.2 / SPB.S / 2011, tanggal 12 September 2011, Tentang Pelaksanaan Pembongkaran sebagaimana tersebut di atas, karena bertentangan dengan Pasal 53 ayat 2 huruf a Undang-Undang-Undang No.9 Tahun 2004, dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Mentri Informasi dan Komunikasi, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Jo.Peraturan Gubernur No. 89 Tahun 2006 Jo. Pergub No. 138 Tahun 2007 dan Pergub No. 126 Tahun 2009, oleh karenanya Surat Perintah Bongkar tersebut harus dinyatakan TIDAK SAH atau BATAL; 3.6 Sesuai dengan pasal 11 Surat Keputusan Bersama Empat Kementrian tersebut pada poin 12 di atas, menyebutkan bahwa: - Ayat (1) “Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Menara sebagaimana dimasud dalam pasal 10 melampirkan persyaratan sebagai berikut: a. Persyaratan administrasi, dan; b. Persyaratan tehnis; 70 - Ayat (2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari: a. Status kepemilikan tanah dan bangunan; b. Surat keterangan rencana kota; c. Rekomendasi dari instansi terkait khusus untuk kawasan yang sifat dan peruntukannya memiliki karateristik tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9; d. Akta Pendirian perusahan beserta perubahan yang telah disahkan oleh Departemen Hukum dan HAM; e. Surat bukti pencatatan dari Bursa Efek Indonesia (BEJ) bagi penyedia menara yang berstatus perusahan terbuka; f. Informasi rencana penggunaan bersama menara; g. Persetujuan dari warga sekitar alam radius sesuai dengan ketinggian menara; h. Dalam hal menggunakan genset sebagai catu daya dipersyaratkan izin gangguan dan izin genset; - Ayat (3) “Persyaratan tehnis sebagaimana dimaksud pada ayat () huruf b, mengacu pada SNI atau standard baku yang berlaku secara internasional serta tertuang dalam bentuk dokumen tehnis sebagai berikut: a. Gambar rencana tehnis bangunan menara meliputi: situasi, denah, tampak, potongan dan serta perhitungan struktur; 71 b. Spesifikasi tehnis pondasi menara meliputi data penyelidikan tanah, jenis pondasi, jumlah titik pondasi, termasuk geotehnik tanah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Bersama ini dan; c. Spesifikasi tehnis struktur atas menara, meliputi baban tetap (beban sendiri dan beban tambahan) beban sementara (angin dan gempa), beban khusus, beban maksimum menara yang dizinkan, system konstruksi ketinggian menara, dan proteksi terhadap petir; Persyaratan-persyaratan tersebut di atas, telah dirumuskan dan dijabarkan secara operasional dalam Peraturan Peraturan Gubernur No. 89 Tahun 2006 Jo. Pergub No. 138 Tahun 2007 dan Pergub No. 126 Tahun 2009; Dikeluarkannya Surat Perintah Bongkar No. 722/1.795.2/SPB/S/2011 Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penerbitan Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan tanggal 12 September 2011, selain telah melanggar Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku, juga telah melanggar Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana tersebut dalam pasal 53 Ayat 2 huruf b UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009, yaitu: a. Kepastian Hukum, yaitu asas yang mengutamakan landasan Peraturan Perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam 72 setiap kebijakan penyelenggara Negara. Sedangkan, kepentingan Penggugat dalam perkara a quo merasakan suatu ketidak adilan dan ketidakpatutan; b. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara; c. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat di pertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku; 3.7 Menurut pasal 53 ayat (2) huruf b, dinyatakan, "Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut, karena Penggugat dalam pengurusan perpanjangan izin penggunaan menara telah dilakukan dan telah memenuhi persyaratan yang diperlukan sebagaimana semestinya, sehingga kewenangan yang dimiliki oleh Tergugat, telah menyimpang dan melanggar prosedural yang ditetapkan juga 73 seharusnya secara substansial tentang pemahaman persepsi masyarakat yang keliru. Bahkan, Tergugat selaku pelayan publik dengan telah berbuat sewenang-wenangnya terhadap Penggugat juga telah menyimpang dari nalar sehat ( Abus de droit ); 3.8 Tergugat juga telah melakukan atas Menara milik Penggugat, karenanya dengan adanya penyegelan atas Menara Telekomunikasi milik Penggugat, sangat merugikan, baik dari aspek pelayanan pengguna bersama Menara (TELKOMSEL-SMART-ESIA), disamping itu sangat menghambat Penggugat untuk melakukan pekerjaan pemeliharaan Menara secara rutin untuk mencegah/memperbaiki peralatan yang rusak; 3.9 Penggugat dalam Petitumya memohon agar Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, berkenan memberikan putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya; 2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Adminstrasi Jakarta Selatan No. 722/1.785.2/ SPB.S/2011 tgl 12 September 2011, Tentang Surat Perintah Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan; 3. Mewajibkan Tergugat mencabut Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Adminstrasi Jakarta Selatan No.722/1.785.2/ SPB.S/2011 tgl 12 74 September 2011, Tentang Pelaksanaan Perintah Pembongkaran Bangunan; 4. Menghukum Tergugat membayar biaya yang timbul dalam perkara ini. 4. Kasus Posisi Menurut Tergugat 4.1 Dalam Eksepsi 4.1.1 Gugatan Penggugat tidak diajukan dalam dalam jangka waktu sembilan puluh hari seperti ketentuan Pasal 55 UndangUndang Nomor 5 tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009; 4.1.2 Gugatan Penggugat tidak sesuai dengan Fakta Hukum dan tidak berdasarkan hukum. Penggugat menyatakan bahwa dalam penerbitan Surat 722/1.79.2/SPB/S/2011, Perintah tanggal 12 Bongkar September Nomor: 2011, bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik; 4.1.3 Bahwa gugatan Penggugat kurang pihak (Plurium Litis Consortium), seharusnya Penggugat juga menggugat Kepala Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta. 4.2 Dalam Pokok Perkara 4.2.1 Tergugat dalam mengeluarkan Surat Perintah Bogkar tersebut, karena status perizinan Menara Telekomunikasi milik Penggugat tidak mempunyai Izin Mendirikan Bangunan 75 sebagaimana dipersyaratkan Pasal 11 ayat (2) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan Dan Penataan Menara Telekomunikasi Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menyatakan ”Setiap Pembangunan Menara Telekomunikasi yang dilakukan setelah berlakunya Peraturan Gubernur Nomor 89 Tahun 2006 wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB); 4.2.2 Oleh karena, Menara Telekomunikasi milik Penggugat tersebut tanpa IMB, maka sesuai sesuai ketentuan yang diatur dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Tergugat melaksanakan tindakan-tindakan proses penegakan aturan secara bertahap sebagai berikut : - SP- 4 Nomor 817/1.785.2/SP4/S/2011, tanggal 16 Agustus 2011; - Surat Segel Nomor 817/1.785.2/SP/S/2011, tanggal 18 Agustus 2011; - Surat Perintah Bongkar Nomor 722/1.785.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011; 76 - Selanjutnya atas Surat Perintah Bongkar dimaksud, Sesuai ketentuan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 61 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Tim Penertiban Menara Telekomunikasi Di Provinsi DKI Jakarta Menara Telekokomunikasi tersebut harus segera dibongkar karena beroperasi tanpa izin; 4.2.3 Tergugat menyatakan Menara Telekomunikasi yang dibangun oleh Penggugat tidak mendapat izin dari warga sekitar. Penggugat diduga melakukan pemalsuan terhadap perizinan dari warga sekitar. Terdapat Bukti Penerimaan Pemberitahuan Pernyataan Ijin Warga/ Tetangga atau Persetujuan Warga memakai Kop Surat Komet Consortium tertulis tahun 2002, terdapat pemalsuan tandatangan dan terdapat warga yang bertandatangan yang bukan warga setempat. Terdapat juga persetujuan warga bertahun 2001 yang diduga palsu yang ditandatangani oleh Lurah Bintaro bernama ALIF MUBARAK, namun setelah diteliti di Kelurahan Bintaro nama Lurah tersebut tidak pernah menjabat dan tidak pernah ada dalam susunan pejabat pemerintahan di lingkungan Pemerintahan Kota Administrasi Jakarta Selatan; Warga Rt 02/01, Kelurahan Bintaro, tidak pernah menandatangani persetujuan terhadap berdirinya Menara Telekomunikasi milik Penggugat. 77 4.2.4 Perlu dijelaskan kepada Penggugat bahwa, Persetujuan Warga merupakan persyaratan yang utama yang mutlak harus dipenuhi oleh seorang pemohon untuk mendirikan bangunan Menara Telekomunikasi. Sebagaimana dimaksud Peraturan Gubernur Nomor 89 Tahun 2006 Tentang Pembangunan Dan Penataan Menara Telekomunikasi Di Provinsi DKI Jakarta, sehingga bila persetujuan warga tersebut Penggugat tidak penuhi meskipun segala izin atau rekomendasi apapun yang sudah dkeluarkan sebagai pelengkap atau izin telah dipenuhi IMB tidak akan diterbitkan; 4.2.5 Penggugat telah mengada-ada karena tidak pernah Tergugat menerbitkan Surat Perintah Bongkar tanpa sebab dan tanpa didahului oleh Surat pendahulunya yakni Surat SP- 4 Nomor : 817/1.785.2/SP4/S/2011, tanggal 16 Agustus 2011, dan Surat Segel Nomor : 817/1.785.2/SP/S/2011, tanggal 18 Agustus 2011, sehingga dalil gugatan Penggugat ini harus ditolak; 4.2.6 Tergugat mengatakan bahwa Surat Perintah Bongkar a quo dikeluarkan karena memenuhi persyaratan sehingga sekaligus melaksanakan perintah dari ketentuan peraturan bersama dan ketentuan yang lainnya antara lain : - Bahwa, ketentuan Pasal 30 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Komunikasi Dan Menteri Pekerjaan Informatika Dan Umum, Kepala Menteri Badan 78 Koordinasi Penanaman Modal Nomor 19 Tahun 2009, Nomor : 07/PRT/M/2009, Nomor 19/PER/M.KOMINFO/03/2009 dan Nomor : 3/P/2009, Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi menyatakan “Dengan berlakunya Peraturan Bersama ini, semua ketentuan perundangundangan yang terkait dengan Menara Telekomunikasi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bersama ini"; - Peraturan Bersama bukanlah hanya satu-satunya peraturan atau ketentuan yang mengatur tentang Menara Telekomunikasi, dan memperhatikan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Bersama menyatakan “ Pembangunan Menara wajib memiliki IMB Menara dari Bupati/Walikota, kecuali untuk Provinsi DKI Jakarta wajib memiliki IMB Menara dari Gubernur”. Memperhatikan hal tersebut serta ketentuan-ketentuan Menara Telekomunikasi yang ada pada Provinsi DKI Jakarta tetap masih berlaku dan merupakan dasar bagi Tergugat untuk melakukan suatu penertiban terhadap Menara Penggugat yang tidak mempunyai izin antara lain menyatakan; - Diktum Kedua Keputusan Gubernur Nomor 61 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Tim Penertiban Menara 79 Telekomunikasi Di Provinsi DKI Jakarta yang menyatakan “Melakukan penertiban terhadap Menara Telekomunikasi yang tidak mempunyai izin sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. - Pasal 23 Pergub Nomor 138 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunkasi Di Provinsi DKI Jakarta yang menyatakan “Penertiban Menara Telekomunikasi yang tidak dilengkapi izin dan/atau yang sudah habis masa berlakunya izin sesuai ketentuan peraturan ini dilaksanakan dibawah koordinasi Walikota Administrasi, Dinas Penataaan dan Pengawasan Bangunan, Dinas Perhubungan, Dinas Penerangan Jalan Umum dan Sarana Jaringan Utilitas Provinsi DKI Jakarta"; - Pasal 37 Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 menyatakan “. Setiap orang atau Badan dilarang membangun Menara/Tower komunikasi kecuali mendapat izin dari Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk - Bahwa, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat 1 Peraturan Daerah No.7 Tahun 1991 Tentang Bangunan Dalam Wilayah DKI Jakarta menyatakan “Setiap kegiatan membangun dan atau menggunakan dan atau kelayakan menggunakan 80 bangunan dalam wilayah DKI Jakarta harus memiliki izin dari Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta’ 4.2.7 Berdasarkan uraian ketentuan-ketentuan di atas tidaklah berdasar hukum bila Penggugat menyatakan adanya pelanggaran ketentuan yang berlaku yang dilakukan oleh Tergugat atau Tergugat dinyatakan tidak melaksanakan Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana dimaksud Pasal 53 ayat 2 UU No.9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan hal tersebut Tergugat mohon agar Majelis Hakim memutuskan: 1. Menerima semua Eksepsi yang diajukan Tergugat; 2. Menerima seluruh dalil-dalil Tergugat Dalam Pokok Perkara; 3. Menolak seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat atau setidaktidaknya menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvanklijke Verklaard); 4. Menyatakan Surat Perintah Bongkar Nomor 722/1.785.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011 diterbitkan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak melanggar Asas-asas Pemerintahan yang Baik; 5. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini untuk keseluruhan; 81 5. Pertimbangan Hukum Hakim 5.1 Dalam Eksepsi 5.1.1 Mengenai Eksepsi tenggang waktu, Tergugat menyatakan bahwa Surat Perintah Bongkar diterima Penggugat pada tanggal 12 September 2011 dan Penggugat mengajukan gugatannya pada tanggal 13 Desember 2011 (91 hari). Tetapi Penggugat baru menerima Surat Perintah Bongkar pada tanggal 14 September 2011 di Kantor Kecamatan. Menimbang, bahwa dari Persidangan a-quo, pada Bukti T-5 dan T-6 yaitu, masing-masing lembar pengantar surat dari Tergugat kepada Penggugat, meskipun benar terdapat tanda-tangan penerima surat serta tanda-tangan pengirim surat serta tanggal dikirimnya surat yaitu, dikirim tanggal 9 September 2011 (Bukti T-5) dan dikirim tanggal 12 September 2011 (Bukti T6) namun, ternyata diterimanya Surat tidak dilengkapi dengan tanggal Keputusan Objek Sengketa, dengan demikian melalui Alat Bukti T-5 maupun Bukti T-6 tersebut tidak dapat membuktikan bahwa, Penggugat telah menerima Surat Keputusan Objek Sengketa sejak tanggal 12 September 2011. Menimbang, bahwa selanjutnya dalam Persidangan aquo, tidak terdapat bukti lain yang menunjukkan Penggugat telah mengetahui Surat Keputusan Objek Sengketa melebihi tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana 82 ditentukan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat dalil gugatan Penggugat yang menyatakan baru mengetahui Surat Keputusan Objek Sengketa pada tanggal 14 September 2011, dan gugatan diajukan tanggal 13 Desember 2011, masih dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan Pasal 55 di atas, maka Eksepsi Tergugat tentang hal tersebut harus ditolak; 5.1.2 Mengenai Eksepsi gugatan Penggugat tidak berdasarkan fakta hukum dan tidak berdasarkan hukum. Majelis Hakim menyatakan bahwa untuk menguji eksepsi Tergugat di atas berkaitan dengan pengujian apakah Surat Keputusan Objek Sengketa diterbitkan bertentangan atau tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku maupun Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, dan pengujian tersebut berkaitan dengan pengujian dalam pokok sengketa karenanya Eksepsi tersebut bukanlah bersifat Ekseptief ; Menimbang, bahwa karena Eksepsi Tergugat pada angka 2, tidak bersifat Ekseptief karena berkaitan dengan pengujian dalam pokok sengketa maka Eksepsi Tergugat pada angka 2 harus ditolak; 5.1.3 Mengenai Eksepsi gugatan Penggugat kurang pihak. Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa, Menimbang, bahwa dalam gugatan a-quo, keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi 83 objek sengketa adalah Surat Keputusan Nomor : 722/1.795.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011, Tentang Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan yang diterbitkan oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan Dan Penertiban Bangunan Kota Administrasi Jakarta Selatan. Menimbang, bahwa dengan demikian karena keputusan yang menjadi objek sengketa gugatan hanyalah keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan Dan Penertiban Bangunan Kota Administrasi Jakarta Selatan maka, tidak beralasan hukum untuk menyertakan instansi lain sebagai subjek Tergugat dalam gugatan a-quo, karenanya Eksepsi Tergugat pada angka 3 di atas yang menyatakan gugatan Penggugat kurang pihak harus ditolak. 5.2 Dalam Pokok Perkara 5.2.1 Menimbang, bahwa dalam Jawabannya, Tergugat mendalilkan kewenangannya menerbitkan Surat Keputusan objek sengketa berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta; 5.2.2 Menimbang, bahwa untuk membuktikan adanya kewenangan, Tergugat mengajukan Bukti T-38 yaitu, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 84 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta; 5.2.3 Menimbang, bahwa mencermati isi yang dimuat dalam keputusan Objek Sengketa, terkait dengan kewenangan Tergugat pada Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997, terdapat pada Pasal 18 ayat (5), bahwa pada pokoknya Surat Perintah Bongkar yang ditanda tangani Tergugat adalah terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa; 5.2.4 Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim menyimpulkan dalam pemberian kewenangan kepada Tergugat digantungkan pada syarat kumulatif, dimana apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka, Tergugat menjadi tidak berwenang dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa, karenanya yang perlu diteliti lebih lanjut, apakah bangunan Penggugat a-quo yang akan dibongkar Tergugat merupakan bangunan tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa; 5.2.5 Menimbang, bahwa dari Bukti P-30=T-13 yaitu, Surat keputusan Kepala Suku Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Kodya Jakarta Selatan Nomor : 71/KM/S/2005, 85 tanggal 6 Juni 2005, berlaku sampai dengan 3 tahun atau sampai dengan tanggal 6 Juni 2008, untuk bangunan Menara Telekomunikasi yang terletak di Jl Bunga Mayang III, RT. 004/01, Kel. Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan; 5.2.6 Menimbang, bahwa dari isi yang dimuat dalam keputusan objek sengketa pada Bukti P-1=T-4 yaitu, pelaksanaan pembongkaran terhadap bangunan yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT. 004, RW. 01, Kel. Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan; 5.2.7 Menimbang, bahwa dari Persidangan a-quo, tidak terdapat alat bukti lain yang menunjukkan bahwa, bangunan Menara Penggugat yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT. 004, RW. 01, Kel. Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan, telah diterbitkan izin perpanjangannya; 5.2.8 Menimbang, bahwa dengan demikian, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa benar bangunan Menara Penggugat aquo yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT. 004, RW. 01, Kel. Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan adalah tanpa izin, karena izin yang lalu telah berakhir dan belum diterbitkan izin perpanjangannya; 5.2.9 Menimbang, bahwa dari keterangan Saksi-Saksi tersebut, yang menyatakan bahwa, bangunan Menara Penggugat a-quo masih beroperasi maka, membuktikan adanya kegiatan dalam 86 bangunan Menara tersebut dan karenanya dapat disimpulkan bangunan Menara Penggugat dalam keadaan dihuni; 5.2.10 Menimbang, bahwa sesuai Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997, Pasal 18 ayat (5), bahwa pada pokoknya Surat Perintah Bongkar yang ditandatangani Tergugat adalah, terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa; 5.2.11 Menimbang, bahwa dengan demikian, karena salah satu syarat pemberian kewenangan tidak terpenuhi maka Majelis Hakim berpendapat bahwa, Tergugat tidak berwenang untuk menerbitkan Surat Perintah Bongkar (SPB) Objek Sengketa aquo, karena bangunan yang akan dibongkar masih dalam keadaan beroperasi atau dihuni; 5.2.12 Menimbang, bahwa seharusnya kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan tanpa izin yang dihuni merupakan kewenangan Walikota sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997, Pasal 18 ayat (6) butir b, yaitu “membangun tanpa izin dan sudah dihuni”; 5.2.13 Menimbang, bahwa dengan demikian, terbukti dalam Persidangan a-quo, Tergugat tidak dapat membuktikan sumber kewenangannya dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek 87 Sengketa karenanya sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2) a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 maka, tindakan Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa yaitu, surat keputusan Tergugat Nomor : 722/1.795.2/SPB/S/2011 tanggal 12 September 2011, Tentang Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan harus dinyatakan tidak sah; 5.2.14 Menimbang bahwa, karena Surat Keputusan Objek Sengketa telah dinyatakan tidak sah maka diwajibkan kepada Tergugat untuk mencabutnya; 5.2.15 Menimbang, dikabulkan bahwa dan oleh Objek karena gugatan Penggugat adalah mengenai Sengketa pembongkaran bangunan maka, untuk mencegah agar pokok gugatan Penggugat tidak sia-sia (illusoir) maka tuntutan Penggugat untuk menunda Pelaksanaan Surat Keputusan Objek Sengketa harus dikabulkan dan oleh karena itu memiliki konsekwensi yuridis yaitu, ditundanya pelaksanaan Surat Keputusan Tergugat Nomor : 722/1.795.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011, Tentang Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT. 004, RW. 01, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Kota Administrasi Jakarta Selatan, sampai ada Putusan Pengadilan yang memperoleh Kekuatan Hukum Tetap; 88 5.2.16 Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan di atas, maka seluruh tuntutan Penggugat telah dipertimbangkan dan telah dikabulkan seluruhnya; 5.2.17 Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 110 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 berbunyi, “Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara”; 5.2.18 Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat telah dikabulkan seluruhnya, maka, Tergugat harus dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara yang jumlahnya akan ditentukan dalam Amar Putusan ini; 6. Amar Putusan 6.1 Dalam Eksepsi Menolak Eksepsi Tergugat ; 6.2 Dalam Pokok Sengketa 1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya; 2. Menyatakan tidak sah Surat Keputusan Tergugat Nomor: 722/1.795.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011, Tentang Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT. 004, RW. 01, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Kota Administrasi Jakarta Selatan; 89 3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Nomor: 722/1.795.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011, Tentang Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT. 004, RW. 01, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Kota Administrasi Jakarta Selatan; 4. Menghukum Tergugat untuk Membayar Biaya Perkara sejumlah Rp.354.000.- (Tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah); 90 B. Pembahasan 1. Pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah. Dalam negara hukum, eksistensi hukum dijadikan sebagai instrumen dalam menata kehidupan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Dianutnya negara hukum mengandung makna bahwa hukum ditempatkan sebagai panglima dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam pemerintahan. Perwujudan negara hukum salah satunya dengan dibentuknya Kekuasaan Kehakiman. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Begitupula dengan Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pasal 91 tersebut, Hakim memiliki kebebasan dan mandiri dalam memutus dan menyelesaikan suatu perkara yang bertujuan untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mewujudkan sistem peradilan terpadu (Integrated Justice System). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga menentukan bahwa susunan, kekuasaan serta hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya diatur dalam undang-undang. Atas dasar ketentuan tersebut, untuk badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian mengalami perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara bertujuan untuk melindungi kepentingan rakyat dan memberikan perlindungan hukum sesuai dengan konsep dari negara hukum. Dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) harus berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, sehingga setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah 92 itu tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik. Wewenang peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa wewenang peradilan tata usaha negara adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sedangkan pengertian sengketa tata usaha negara itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 10 UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009, yang berbunyi: ”Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang menjadi obyek sengketa tata usaha negara adalah orang (individu) atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara. Sengketa Tata Usaha Negara selalu sebagai akibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Antara sengketa Tata Usaha Negara dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara selalu harus ada hubungan sebab akibat. Tanpa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, tidak mungkin sampai terjadi adanya sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara tertuang dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi Keputusan Tata Usaha Negara adalah: 93 “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, pada dasarnya badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dalam mengambil keputusan mengemban kepentingan umum atau kepentingan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu kemungkinan keputusan itu dapat menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata, sehingga pihak yang dirugikan itu diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara. Hak gugat diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yang menyatakan: “Orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis ke pengadilan yang berwenang dengan tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.” Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, seseorang yang mengajukan gugatan di peradilan tata usaha negara, harus gugatan itu mempunyai suatu kepentingan yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. S.F. Marbun, mengemukakan bahwa kepentingan penggugat yang dirugikan harus bersifat “langsung terkena”, artinya kepentingan tersebut tidak boleh terselubung dibalik kepentingan orang lain (rechtstreeks belang) sesuai dengan adagium yang menyatakan 94 Point d’interest, Point d’action. Th. Ketut Suraputra, mengemukakan bahwa pengertian “merasa” pada perumusan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) dapat diartikan sebagai: kepentingan tersebut belum perlu sudah nyata-nyata terjadi, sebagaimana umpamanya apabila seseorang mendapat izin bangunan, maka tetangganya sudah dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bilamana ia merasa kepentingannya dirugikan. Berbeda dengan Indroharto yang dapat menggugat ke Pengadilan tidak terbatas hanya pada Penggugat yang langsung kepentingannya telah dirugikan, tetapi juga individuindividu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan. Kelompok ini Keputusan Tata Usaha Negara merasa terkena kepentingannya secara tidak langsung dengan dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang sebenarnya di alamatkan kepada orang lain dan juga organisasiorganisasi kemasyarakatan sebagai pihak ketiga dapat merasa kepentingannya karena keluarnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu dianggapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur Keputusan Tata Usaha Negara yang berpotensi untuk diajukan ke pengadilan tata usaha negara yakni apabila tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. 95 Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat ditinjau dari 3 (tiga) aspek, yaitu: Kewenangan, Substansi dan Prosedur. Apabila Keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang tidak berwenang, dan substansi serta prosedur tidak berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, maka Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan hukum. Begitupula Philipus M. Hadjon dalam menyimpulkan penjelasan pasal 53 ayat (2), yang berkaitan dengan alasan dasar menggugat yakni: 1. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat prosedural/formal; 2. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat materiel/substansial; 3. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang.69 Tiga hal tersebut diukur dengan peraturan tertulis dan atau Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik. Dengan demikian sebetulnya alasan menggugat cukup dua, secara alternative dan komulatif, yaitu: a. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan. b. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. 69 Philiphus M. Hadjon, Op. Cit., hlm. 326-327 96 Berdasarkan hasil penelitian mengenai para pihak dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, Penggugat telah memenuhi persyaratan sebagai subyek hukum. Penggugat berupa “badan hukum perdata” berkaitan dengan kepentingannya sebagai pihak yang dirugikan karena terbitnya Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan Menara milik penggugat. Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 terdapat makna bahwa peradilan tata usaha negara hanya terbatas pada 1 (satu) macam tuntutan pokok yakni tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa untuk dinyatakan batal atau tidak sah. Isi petitum atau tuntutan yang diajukan penggugat juga menghendaki bahwa Majelis Hakim menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan. Isi petitum atau gugatan yang diajukan penggugat dikategorikan sebagai tuntutan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Mengenai petitum atau tuntutan penggugat yang menghendaki bahwa Majelis Hakim agar mencabut surat keputusan obyek sengketa, ini merupakan salah satu konsekuensi yuridis mengenai kewajiban tergugat sebagai badan atau pejabat tata usaha negara apabila nantinya tergugat dinyatakan kalah dalam amar putusan Majelis Hakim, hal ini sesuai 97 dengan Pasal 97 ayat (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Kasus posisi secara singkat dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Bangunan Menara Telekomunikasi milik Penggugat dibangun sejak Tahun 2003, tetapi Penggugat mendapat izin membangun/keterangan membangun berdasarkan Keputusan Kepala Suku Dinas Penataan dan Pengawasan Bangungan Kodya Jakarta Selatan Nomor : 71/KM/S/2005 tanggal 6 Juni 2005, karenanya masa berlaku Menara tersebut terhitung sejak Tahun 2005 s/d 2008; 2. Dengan berakhirnya masa berlaku Menara Telekomunikasi tersebut pada tahun 2008, maka Penggugat mengajukan izin perpanjangan kepada Tergugat sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan. 3. Penggugat tidak mengetahui mengapa tergugat mengeluarkan Surat Perintah Bongkar, bukannya surat perpanjangan izin Menara yang diajukan oleh penggugat. 4. Ternyata Tergugat dalam mengeluarkan Surat Perintah Bongkar ini mendasarkan pada alasan bahwa para warga sekitar tidak menghendaki adanya perpanjangan Menara tersebut unuk beroperasi lagi, karena merugikan masyarakat. 5. Hal ini disangkal penggugat, karena selama ini warga tidak keberatan dengan berdirinya Menara tersebut dari tahun 2005 hingga tahun 2008, tetapi warga malah medapatkan manfaat. 98 6. Menurut Penggugat, Tergugat dalam mengeluarkan Surat Perintah Bongkar menyalahi aturan yang ada yaitu bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan tidak sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. 7. Tergugat dalam hal ini melanggar kewenangan yang ada padanya, sehingga Penggugat mohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan batal atau tidak sah terhadap obyek sengketa tersebut. Pertimbangan hukum dalam sengketa a-quo adalah sebagai berikut: 1. Pokok permasalahan dalam Gugatan yang diajukan oleh Penggugat adalah apakah obyek sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat tidak sesuai dengan kewenangan Tergugat yakni bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ataukah tidak. 2. Kewenangan Tergugat menerbitkan Surat Perintah Bongkar hanyalah pada ketentuan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang intinya terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa. 3. Kewenangan Walikota Jakarta Selatan dalam menerbitkan Surat Perintah Bongkar ditentukan pada Pasal 18 ayat (6) butir b Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 99 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang intinya membangun tanpa izin dan sudah dihuni. 4. Menurut keterangan saksi Drs. Achmad Hilman, Poerwono Arifin, S.H. dan Arie Kusumastuti M, S.H., Mkn, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa bangunan Menara Telekomunikasi itu berpenghuni, oleh karenanya ketentuan yang lebih tepat diterapkan dalam sengketa a-quo adalah Pasal 18 ayat (6) huruf b Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 5. Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) huruf b, yang berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan Menara Telekomunikasi yang berpenghuni adalah Walikota Jakarta Selatan, dengan demikian Tegugat (Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan) tidak berwenang mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. 6. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan Tergugat menerbitkan Surat Keputusan Obyek Sengketa tidak berdasarkan kewenangannya dan di luar batas kewajaran, sehingga Surat Keputusan Obyek Sengketa yang dikeluarkan Tergugat harus dibatalkan. 100 Sesuai dengan kronologi kasus posisi dan pertimbangan hukum Majelis Hakim di atas, dapat dikemukakan adanya Penerapan Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Peraturan perundangundangan yang dimaksud adalah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Keputusan Tata Usaha Negara dianggap sah menurut hukum (rechtsgelding) apabila syarat materiil dan syarat formil dari pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara terpenuhi, artinya keputusan dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada. Sebaliknya Suatu Keputusan Tata Usaha Negara apabila dalam pembuatannya tidak memenuhi syarat materiil dan formil, Keputusan Tata Usaha Negara tersebut mengandung cacat hukum yang berakibat Keputusan Tata Usaha Negara dapat dibatalkan. Dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, mengatur juga mengenai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang menjelaskan Keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan batal atau tidak sah, jika: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. b. Keputusan Tata Usah Negara yang digugat bertentangan dengan Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik. 101 Adapun pengertian Peraturan Perundang-undangan terdapat dalam beberapa ketentuan yaitu: 1. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundangundangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 2. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undnag atau Pemerintah atas perintah Undang-Undnag, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yag setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 3. Pasal 100 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang suda ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.” 102 4. Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa yang dimaksud peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum. Berdasarkan pengertian Peraturan Perundang-undangan yang dijelaskan di atas, suatu produk hukum yang dikatakan sebagai Peraturan Perundang-undangan, apabila di keluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang, mengatur hal-hal yang umum dan abstrak (bersifat umum) dan dibuat berdasarkan prosedur yang berlaku. Dengan demikian pengertian Peraturan Perundang-undangan tidak mengacu kepada nama produknya hukum itu, tetapi siapa yang mengeluarkannya dan mengatur hal apa yang diatur. Berikutnya adalah berdasarkan doktrin tindakan hukum pemerintahan, yang dimaksud Peraturan Perundang-undangan adalah merupakan contoh dari besluit atau regeling, menurut tindakan hukum pemerintahan regeling adalah suatu tindakan hukum pemerintah dalam hukum publik yang ditujukan untuk umum dan bersifat sepihak. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan doktrin di atas, maka Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) termasuk pengertian Peraturan Perundangundangan. Adapun Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkannya 103 oleh Keputusan Tata Usaha Negara tersebut berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan dokrinal dikategorikan sebagai Peraturan Perundang-undangan, begitupula Juklak mengenai Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta termasuk dalam kategori Peraturan Perundang-undangan, sehingga digunakan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan apabila dalam pembuatannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut melanggar aspek kewenangan, substansi dan prosedur. Keputusan Tata Usaha Negara yang mengesampingkan aspek kewenangan, substansi dan prosedur dinilai bertentangan dengan hukum (onrehmatig). Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, apabila keputusan yang bersangkutan: a. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formil, keputusan tersebut dikeluarkan berdasarkan peraturan dasarnya dan dalam pembuatannya juga harus memperhatikan cara membuat keputusan yang dimaksud. b. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial, meliputi pelaksanaan dan penggunaan kewenangan apakah secara materiil telah memenuhi peraturan perundang-undangan.70 70 Philipus M. Hadjon dkk., Op. Cit., hlm. 330 104 Berdasarkan uraian di atas Keputusan Tata Usaha Negara dalam perkara ini tidak memenuhi persyaratan untuk dikatakan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang sah, karena bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yaitu ditinjau dari aspek kewenangan. Lebih lanjut mengenai keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ditinjau dari aspek kewenangan, W. Riawan Tjandra memberikan penegasan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan (bevoegdheidsgebreken), yang meliputi: b. Onbevoegdheid riatione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang mengeluarkannya. c. Onbevoegdheid riatione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya (geografis). d. Onbevoegdheid riatione temporis, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru.71 Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Surat Keputusan Obyek Sengketa cacat hukum ditinjau dari aspek kewenangan yang biasa disebut Onbevoegdheid riatione materiae. Dikarenakan Surat Keputusan Obyek Sengketa dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang. Hal ini dapat dilihat ketika Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota 71 Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 73 105 Administrasi Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Perintah Bongkar yang bukan kewenangannya, melainkan kewenangan Walikota Jakarta Selatan. Terkait dengan kewenangan, S.F. MARBUN72 mengemukakan pengertian “kewenangan” (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegdheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Begitupula Bagir Manan mengatakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Sedangkan secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.73 Pertimbangan hukum Hakim dalam perkara a-quo pada intinya mempersoalkan kewenangan Tergugat dalam mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Sesuai dengan Peraturan Perundangundangan yang berlaku, tata cara dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha 72 R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 64 Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung: Fakultas Hukum Unpad, 2000, hlm. 100 73 106 Negara memiliki beberapa tahapan, yang apabila salah satu syarat dalam tahapan tersebut tidak terpenuhi maka Keputusan Tata Usaha Negara itu dapat dibatalkan. Dalam perkara ini Tergugat telah melakukan kesalahan yaitu mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa yang bukan kewenangannya melainkan kewenangan Walikota Jakarta Selatan, sehingga Surat Keputusan Obyek Sengketa harus dinyatakan batal. 2. Kesesuaian antara pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan, dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan bagi pencari keadilan untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pengertian sengketa Tata Usaha Negara ditentukan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang menyatakan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. 107 Adanya kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara, serta diaturnya hak gugat yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004, sehingga apabila ada orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan dengan terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan dirinya, maka ia dapat mempunyai hak gugat untuk mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Gugatan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diajukan secara tertulis dengan permintaan agar Majelis Hakim memutus Keputusan Tata Usaha Negara itu dinyatakan batal atau tidak sah. Putusan dalam Peradilan Tata Usaha Negara harus mencerminkan 4 (empat) kriteria pokok dari asas-asas peradilan yang baik sebagaimana diutarakan oleh de Waard sebagai berikut: a. Decisie bentrisel (right to a decision), asas bahwa seorang hakim harus menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang waktu yang pantas. Termasuk disini hak setiap orang untuk mengajukan gugatan (perkara), dan larangan bagi hakim untuk menolak mengadili/memeriksa perkara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. b. Verdidigings beginsel (a fair hearing), asas bahwa setiap pihak yang berperkara berhak atas kesempatan membela diri dan bahwa kedua belah pihak juga.harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam mengetahui, mengajukan berkas-berkas pembuktian dan memperoleh informasi. c. Onpgrtijdigheids beginsel (tidak bias), asas bahwa putusan dijatuhkan secara obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau anggota-anggota instansi peradilan, ataupun didasarkan atas motif-motif yang tidak bersifat zakeiijk, ataupun adanya kontak (hubungan) secara tersembunyi dari salah satu pihak atau di luar perkara dengan hakim, sehingga menyimpang dari prosedur semestinya. d. Motiverings beginsel (reasons and argumentations of decision), .asas bahwa putusan hakim harus memuat.alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti, serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang runtut. Sekalipun bagi hakim ada kebebasan dan diskresi untuk 108 menentukan dan menjatuhkan putusannya, namun kesemuanya itu harus didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti (controleerbaarheid).74 Metode yang dipergunakan dalam musyawarah Majelis Hakim untuk menghasilkan putusan tersebut terdapat dalam Pasal 97 ayat (3), (4), dan (5) yang pada intinya menyatakan: a. Prinsipnya adalah bahwa putusan yang dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, dengan perkecualian, jika setelah diusahakan dengan sungguhsungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat putusan diambil dengan suara terbanyak. b. Apabila musyawarah majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, maka permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. c. Apabila musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan. Putusan yang harus dihasilkan melalui musyawarah dengan prinsip permufakatan bulat berkaitan dengan segi objektivitas putusan. Sudikno berpendapat bahwa apabila putusan dilihat sebagai penetapan kaidah hukum, maka yang secara langsung mengikat adalah pertimbangan atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum yang merupakan dasar putusan (ratio decidendi).75 74 75 W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 119 Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 45 109 Mengenai pertimbangan hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 109 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan sebagai berikut: a. Kepala putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa. c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat harus jelas. d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dalam hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. e. Alasan hukum yang menjadi dasar Putusan. f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara. g. Hari, tanggal putusan, nama Majelis Hakim yang memutus, nama Panitera serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa suatu putusan harus memuat alasan hukum yang menjadi dasar putusan atau sering dikenal dengan pertimbangan hukum Hakim. Pertimbangan hukum adalah suatu tahapan dimana Majelis Hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban, eksepsi dari tergugat yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang mencapai batas minimal pembuktian. Adapun pengertian pertimbangan hukum Hakim yakni alasan-alasan yang bersifat yuridis dan menjadi dasar putusan. Berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, maka dalam putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar 110 untuk mengadili. Bilamana sebaliknya, maka dapat menyebabkan putusan batal.76 Pada putusan Perkara Nomor: 214/G/2011/Ptun-Jakarta terdapat pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pertimbangan hukum dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik. Pertimbangan hukum Hakim dalam perkara a-quo yaitu bahwa Tergugat melanggar peraturan Peraturan Perundang-undangan ditinjau dari aspek kewenangan. Tergugat mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa yang bukan kewenangannya, melainkan kewenangan Walikota Jakarta Selatan. Untuk mengetahui apakah benar pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, maka Majelis Hakim melakukan pengujian terhadap Surat Keputusan Obyek Sengketa tersebut. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar terbitnya Surat Keputusan Obyek Sengketa oleh Tergugat adalah Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 76 Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hlm. 356 111 Pasal 18 ayat (5), menyatakan bahwa: “SPB yang ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa, tidak termasuk bangunan Pemerintah dan atau bangunan sosial ibadah dan atau bangunan pada lingkungan dengan persyaratan khusus (antara lain lingkungan KDB rendah,cagar budaya, Kepulauan Seribu, Daerah Militer).” Ketentuan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta tersebut dipergunakan untuk menguji keabsahan Surat Keputusan Obyek Sengketa ditinjau dari aspek kewenangan, seperti telah dijelaskan di atas apabila Tergugat menerbitkan Surat Keputusan Obyek Sengketa tidak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) tersebut, maka Surat Keputusan Obyek Sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat harus dinyatakan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dalam hal tidak memenuhi kewenangan yang berlaku. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yaitu tidak sesuai dengan kewenangannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dinyatakan tidak sah yang akibat hukumnya bahwa Keputusan Tata Usaha Negara harus dibatalkan. Berdasarkan bukti Tergugat, Majelis Hakim menyatakan bahwa tindakan Tergugat dalam mengeluarkan keputusan obyek sengketa tidak berdasarkan kewenangannya. Dalam Bukti T-38 mengenai Keputusan 112 Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, terdapat Pasal 18 ayat (5), bahwa pada pokoknya Surat Perintah Bongkar yang ditandatangani Tergugat adalah terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa. Untuk membuktikan apakah benar kewenangan Tergugat dalam mengeluarkan surat keputusan obyek sengketa sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka penulis akan melakukan pembuktian dengan mendasarkan hasil penelitian di atas. Berdasarkan hasil penelitian Majelis Hakim selanjutnya yakni P-30=T-13 yang merupakan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Penataan Dan Pengawasan Bangunan Kodya Jakarta Selatan Nomor: 71/KM/S/2005, tanggal 6-6-2005, Tentang Keterangan Membangun Menara, yang berlaku selama 3 tahun dari tanggal 6 Juni 2005 hingga tanggal 6 Juni 2008 yang terletak di Jl Bunga Mayang III, RT 004/01, Kel Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Setelah dicermati oleh Majelis Hakim tidak terdapat alat bukti lain yang menunjukkan bahwa bangunan Menara milik Penggugat yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT 004, RW 01, Kel Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan telah diterbitkan izin perpanjangannya. Sehingga, Majelis 113 Hakim menyimpulkan bahwa bangunan Menara milik Penggugat tidak memiliki izin, karena izin yang lalu telah berakhir dan belum diterbitkan izin perpanjangannya. Padahal untuk mendirikan suatu bangunan harus memiliki IMB, begitupula dengan mendirikan bangunan Menara Telekomunikasi harus memiliki IMB. Izin Mendirikan Bangunan diatur pada Pasal 5 ayat 1 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Bangunan. IMB akan melegalkan suatu bangunan yang direncanakan sesuai dengan Tata Ruang yang telah ditentukan. Selain itu, adanya IMB menunjukkan bahwa rencana kostruksi bangunan tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan dengan maksud untuk kepentingan bersama. Mendirikan Menara Telekomunikasi juga harus memiliki IMB. Pengaturan mengenai izin mendirikan Menara Telekomunikasi terdapat dalam Pasal 12 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Selanjutnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa, apakah bangunan tanpa izin merupakan bangunan yang tidak berpenghuni. Setelah mendengarkan keterangan para saksi Tergugat yaitu Drs. Achmad Hilman, Poerwono Arifin, S.H. dan Arie Kusumastuti M, S.H., Mkn yang pada pokoknya menyatakan keberatan dengan masih beroperasinya bangunan Menara Penggugat. Dari keterangan saksi-saksi tersebut, yang menyatakan bahwa bangunan Menara Penggugat masih beroperasi maka, membuktikan 114 adanya kegiatan dalam bangunan Menara tersebut dan karenanya dapat disimpulkan bangunan Menara milik Penggugat dalam keadaan dihuni. Berdasarkan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang dipergunakan untuk menguji obyek sengketa ini, menyatakan bahwa Surat Perintah Bongkar yang ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan terhadap kegiatan membangun tanpa izin belum dihuni dan tidak dalam sengketa. Majelis Hakim menyimpulkan bahwa pemberian kewenangan Tergugat digantungkan pada syarat kumulatif, dimana apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka, Tergugat menjadi tidak berwenang dalam menerbitkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Dapat diketahui bahwa, bangunan Menara Penggugat merupakan bangunan yang sudah dihuni. Sehingga, Menara milik Penggugat tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) yang menyebutkan bahwa Surat Perintah Bongkar ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan, terhadap bangunan Menara yang tanpa izin belum dihuni dan tidak dalam sengketa. Disimpulkan bahwa, Tergugat tidak memenuhi salah satu syarat untuk melakukan penerbitan Surat Perintah Bongkar, karena bangunan menara milik Penggugat dalam keadaan sudah dihuni. 115 Bangunan Menara yang tanpa izin dan sudah dihuni, untuk melakukan penerbitan Surat Perintah Bongkar kewenangannya berada pada Walikota Jakarta Selatan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (6) huruf b yakni: “SPB yang ditandatangani Walikotamadya (setelah diparaf oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini adalah terhadap kegiatan: a) membangun tanpa izin yang belum dihuni dan dalam sengketa dan atau bangunan Pemerintah dan atau bangunan sosial ibadah dan atau bangunan pada lingkungan dengan persyaratan khusus (antara lain lengkungan KDB rendah, cagar budaya, Kepulauan Seribu, Daerah Militer) atau; b) membangun tanpa izin dan sudah dihuni atau; c) berdasarkan pertimbangan Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota atas Pelanggaran tersebut perlu SPB atau SPB ulang dari Walikotamadya.” Berdasarkan materi isi ketentuan yang terdapat dalam pasal 18 ayat (5) dan Pasal 18 ayat (6) huruf b, terdapat perbedaan yang mendasar yang menyangkut kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan dan kewenangan yang dimiliki Walikota Jakarta Selatan. Kewenangan yang dimiliki oleh kedua Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Kewenangan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan dalam menerbitkan Surat Perintah Bongkar yaitu: a. Pada dasarnya mempunyai kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar (Pasal 18 ayat (4)). 116 b. Kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar hanya terhadap kegiatan membangun tanpa izin, yang beum dihuni dan tidak dalam sengketa. c. Tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan yang sudah dihuni. 2. Kewenangan Walikota Jakarta Selatan dalam menerbitkan Surat Perintah Bongkar yaitu: a. Pada dasarnya mempunyai kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar (Pasal 18 ayat (4)). b. Kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar termasuk terhadap kegiatan bangunan yang tanpa izin dan sudah dihuni. c. Kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan yang belum dihuni didelegasikan kepada Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan. Berdasarkan deskripsi kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar yang dimiliki Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan dan Walikota Jakarta Selatan, dapat dideskripsikan bahwa oleh karena dalam sengketa a-quo bangunan Menara Telekomunikasi milik Penggugat sudah dalam keadaan dihuni, maka ketentuan pasal yang tepat diterapkan terhadap Surat Keputusan Obyek Sengketa adalah Pasal 18 ayat (6) huruf b, dengan demikian a contrario Pasal 18 ayat (5) tidak tepat diterapkan terhadap Surat Keputusan Obyek Sengketa. 117 Berdasarkan penjelasan di atas, Majelis Hakim menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan kesalahan, yaitu menerbitkan Surat Keputusan Obyek Sengketa yang bukan kewenangannya melainkan kewenangan Walikota Jakarta Selatan. Karena tindakan administratif Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Obyek sengketa telah dinyatakan tidak sah akibat tidak didasarkan kewenangannya yang sah maka, mengenai prosedur dan substansi tidak perlu dibuktikan. Karena Surat Keputusan Obyek Sengketa telah dinyatakan tidak sah maka diwajibkan Tergugat untuk mencabutnya. Salah satu tolok ukur keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 53 ayat (2) huruf a adalah bertentangan atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara dengan Peraturan Perundangundangan, Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar diterbitkannya Surat Keputusan Obyek Sengketa yaitu Pasal 18 ayat (6) huruf b. Ketentuan mengenai Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan yang sudah dihuni secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 18 ayat (6) huruf b sehingga, apabila Majelis Hakim sudah menerapkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) huruf b, maka dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hukum Hakim sudah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan yang menjadi dasar terbitnya Surat Keputusan Obyek Sengketa. Majelis Hakim dalam sengketa ini sudah menerapkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) huruf b, sehingga pertimbangan hukum Hakim sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. 118 Mengenai pertimbangan hukum Hakim dalam pembatalan Surat Keputusan Obyek Sengketa terhadap pelanggaran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, sekalipun Penggugat mempermasalahkan bahwa Tergugat telah melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik khususnya asas kepastian hukum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas, namun dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim tidak mempertimbangkan adanya pelanggaran terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Mengingat bahwa berbicara Keputusan Tata Usaha Negara merupakan sesuatu yang sangat komprehensif, maka seharusnya mengenai pelanggaran terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik perlu untuk dibahas dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik juga merupakan salah satu tolak ukur yang digunakan untuk menguji Keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik adalah meliputi: - Asas Kepastian hukum; - Asas Tertib penyelenggaraan negara; - Asas Keterbukaan; - Asas Proporsionalitas; - Asas Profesionalitas; - Asas Akuntabilitas 119 sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Adapun penjelasan mengenai Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai berikut: 1. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. 2. Tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. 3. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negaradengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. 4. Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak adan kewajiban penyelenggaraan negara. 5. Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.77 Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa Tergugat dalam mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, khususnya asas kepastian hukum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan Peraturan Perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Perlu diketahui 77 Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 34-35 120 bahwa asas ini menghendaki agar pemerintah atau badan atau pejabat tata usaha negara lebih mengutamakan landasan Peraturan Perundangundangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan pengambilan keputusan. Maksudnya asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang atau badan hukum perdata berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara. Sehingga, dalam hal ini Penggugat merasa adanya ketidakadilan dengan dikeluarkannya obyek sengketa yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Tergugat terlihat jelas telah melanggar asas kepastian hukum yaitu telah mengabaikan landasan Peraturan Perundang-undangan yang mendasari untuk dikeluarkannya Surat Keputusan Obyek Sengketa. Tergugat dalam perkara ini tidak berdasarkan kewenangannya dalam mengeluarkan Surat Perintah Bongkar sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, bahwa pada pokoknya Surat Perintah Bongkar yang ditandatangani Tergugat adalah terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa. Tetapi Tergugat mengeluarkan Surat Perintah Bongkar yang merupakan kewenangan Walikota Jakarta Selatan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18 ayat (6) huruf b Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan 121 Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, bahwa terhadap kegiatan membangun tanpa izin sudah dihuni dan tidak dalam sengketa. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Maksud dari asas keterbukaan ini yaitu lebih mengutamakan bahwa kegiatan pemerintah dalam penyelenggaraan negara harus bertindak lebih terbuka dan tidak membeda-bedakan. Mengenai pelanggaran terhadap asas keterbukaan berdasarkan fakta yang terjadi Tergugat tidak terlebih dahulu memberikan Surat Pemberitahuan kepada Penggugat saat melakukan penyegelan Menara Telekomunikasi. Tergugat dalam hal ini diwakilkan oleh Petugas Kecamatan baru menyerahkan Surat Pelaksanaan Penyegelan Menara/Tower, dan Surat Perintah Bongkar kepada Penggugat, pada saat Pengggugat datang ke Kantor Kecamatan. Terlihat jelas bahwa Tergugat telah melanggar asas keterbukaan, karena Tergugat dalam melakukan penyegelan Menara milik Penggugat dilakukan secara diam-diam dan tidak terbuka. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan yang berlaku. Mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh 122 Tergugat dalam asas akuntabilitas adalah Tergugat melakukan penyegelan Menara dan menerbitkan Surat Perintah Bongkar kepada Penggugat. Menara Penggugat masih beroperasi dan memberi manfaat bagi masyarakat, apabila Menara tersebut harus di bongkar akan menimbulkan kerugian bagi Penggugat dan masyarakat. Perlu diketahui oleh Tergugat bahwa dengan berdirinya Menara Telekomunikasi tersebut banyak memberikan keuntungan dan manfaaat bagi masyarakat. Sehingga apabila Menara Telekomunikasi tersebut dibongkar, Tergugat harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan masyarakat. 123 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan yaitu bahwa Tergugat tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan yang sudah berpenghuni, dengan demikian Surat Keputusan Obyek Sengketa dinyatakan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan ditinjau dari aspek kewenangan. 2. Pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan Asasasas Umum Pemerintahan yang Baik. Kesesuaian ini dapat dilihat dari: a. Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (6) huruf b, yang pada intinya menyatakan yang berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan Menara Telekomunikasi yang sudah berpenghuni adalah Walikota Jakarta Selatan. b. Sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, khususnya asas kepastian hukum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas. 124 B. Saran Berdasarkan uraian kesimpulan tersebut, dapat dikemukakan saran sebagai berikut: 1. Dengan dibatalkannya Surat Keputusan Obyek Sengketa, maka disarankan agar Walikota Jakarta Selatan untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan terhadap bangunan Menara Telekomunikasi milik Penggugat. 2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan suatu keputusan untuk lebih memperhatikan batas-batas kewenangannya sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 3. Hakim di Peradilan Tata Usaha Negara dalam memutus suatu perkara seharusnya tidak hanya mendasarkan pada Peraturan Perundang-undangan saja, tetapi juga harus menggunakan dasar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. DAFTAR PUSTAKA Literatur Basah, Sjachran. 1989. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia. Alumni Bandung. Effendi, Lutfi. 2004. Pokok-Pokok Hukum Administrasi. Bandung: Bayumedia Publishing. Hadikusuma, Hilman. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju. Hadjon, Philiphus M. dkk. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hanitijo Soemitro, Ronny. 1990. Metodologi Penelitian dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Harahap, Zairin. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi Revisi 5. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. H.R., Ridwan. 2008. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. H.R., Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I. Cetakan IV. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Indroharto. 1996. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku II. Cetakan Keenam. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Marbun S.F. 1988. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty. Marbun S.F. dan Moh. Mahmud MD. 1987. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty. Marbun S. F. 2011. Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di Indonesia. cet. 3. Yogyakarta: FH. UII Press. Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern. Bandung: PT. Refica Aditama. Muin Fahmal. 2008. Peran Asas-asas Pemerintahan yang Layak dalam mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: UII Press Neno, Victor Vayed. 2006. Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut Peradilan Tata usaha Negara. Bandung: Citra Aditya Bakti. Prodjohamidjojo, Mr. Martiman , 2005. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004. Cetakan I. Bogor: Ghalia Indonesia. Sibuea, Hotma P. 2010. Asas Negara Hukum. Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. PT. Gelora Aksara Pratama: Erlangga. Sinamo, Nomensen. 2010. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Jala Permata Aksara. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2011. Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers. Syamsudin M. 2007. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Tjandra, W. Riawan. 2002. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jogja: Universitas Atma Jaya Tjandra, W. Riawan. 2005. Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Wiyono, R. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi Revisi, Cet I. Jakarta: Sinar Grafika. Wiyono, R. 2010. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 18 Tahun 2009, Nomor: 07/PRT/M/2009, Nomor: 19/PER/M.KOMINFO/03/2009, Nomor: 3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2009 tentang Peta Arahan Persebaran Menara Telekomunikasi Bersama Untuk Penempatan Makro Seluler (Microcell) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun dan Menggunakan Bangunan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Keputusan Gubernur Nomor 61 Tahun 2008 tentang Pembentukan Tim Penertiban Menara Telekomunikasi Di Provinsi DKI Jakarta Jurnal Riawan. Tjandra W. Perbandingan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara dan Conseil d’eat sebagai Institusi Pengawas Tindakan Hukum Tata Usaha Negara. law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/...3.../W-RiawanTj.pdf. Diakses pada tanggal 31 Desember 2014. Sumber Lain Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 214/G/2011/PTUNJakarta Asshiddiqie, Jimly. Konsep Negara Hukum Di Indonesia. www.jimly.com/makalah/.../135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2014. Ikhwan, Muhamad. 2010. Studi Hukum Keputusan Tata Usaha Negara (Syarat Sah, Batal, Hapus, Kekuatan Hukum serta Metode Pembentukan). http://studihukum.blogspot.com/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-2 syarat_20.html. Diakses pada Senin, 10 November 2014. Pukul 12.05 WIB Riki Septiawan. 2012. Pengertian-Pengartian dalam Hukum Acara PTUN .http://rikiseptiawan180991.blogspot.com/2012/12/pengertian-pengartiandalam-hukum-acara.html. Diakses pada tanggal 05 September 2014