EFEKTIVITAS VISUM ET REPERTUM DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN Mery Sulistiawati Hutauruk, Diah Gustiniati, Tri Andrisman email: ([email protected]) Abstrak Tindak pidana perkosaan merupakan perbuatan yang melanggar norma kesopanan, agama, dan kesusilaan. Tindak pidana perkosaaan tidak hanya sulit dalam perumusannya saja, tetapi kesulitan utamanya adalah soal pembuktiannya diakui atau tidak, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun persidangan di pengadilan. Dalam menemukan bukti-bukti yang menyatakan benar atau tidak telah terjadi tindak pidana perkosaaan, maka dibutuhkan alat bukti visum et repertum yang dibuat oleh dokter ahli forensik berdasarkan atas sumpah jabatannya. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) bagaimanakah efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan dan (2) apakah yang menjadi faktor penghambat dari efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan. Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan sangat berguna dan bermanfaat guna membuktikan adanya suatu luka pada tubuh korban tindak pidana perkosaan, namun tetap dibutuhkan alat bukti lain yang dapat memperkuat hal tersebut. Faktor penghambat dari efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, faktor kebudayaan. Kata Kunci: Visum Et Repertum, Pembuktian, Tindak Pidana Perkosaan EFFECTIVITY OF VISUM ET REPERTUM IN PROOFING OF RAPE CRIME Mery Sulistiawati Hutauruk, Diah Gustiniati, Tri Andrisman email: ([email protected]) Abstract Criminal offense of rape is an action that break the norms of decency, religion, and morality. Rape crime in its formulation is not only difficult, but the main difficulty is a matter of proof is recognized or not, either at the stage of inquiry, investigation, prosecution, and trial at the court. In finding evidences that states correctly or not there has been a criminal offense of rape, then needed a visum et repertum evidence made by forensic specialists based on the oath of office. Based on that conditions, the problem in this paper are (1) how to effective visum et repertum to prove rape crime (2) what is the factor that resist the visum et repertum in proving rape crime. Approach to the problems is using in this paper are a normative approach and empirical approach. Based on the results of research and discussion, effectivity of visum et repertum to prove the rape crime is very important to show that there is physical pain in the victim’s body, but still needed others evidences to strengthen the thing. Inhibiting factor from the effectivity of visum et repertum in proving rape crime are own legal factor, law enforcement apparatus, facilities and infrastructure factor, society factors, and cultural factor. Keywords: Visum Et Repertum, Proof, Rape Crime I. PENDAHULUAN Tindak pidana perkosaan sebagaimana telah diketahui (yang dalam kenyataan lebih banyak menimpa kaum wanita, remaja, dan dewasa) merupakan perbuatan yang melanggar norma sosial yaitu kesopanan, agama, dan kesusilaan.1 Di Indonesia, sebagian besar tindak pidana perkosaan terjadi pada wanita, ada yang berpendapat bahwa wanita diperkosa karena penampilannya, seperti misalnya berpakaian minim sehingga dapat memancing seseorang untuk melakukan tindak pidana perkosaan. Sebenarnya tindak pidana perkosaan yang terjadi jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan ke penyidik dan diberitakan oleh media massa. Kebanyakan kasus baru terbongkar setelah korban mengalami gejala fisik serius, seperti pendarahan pada dubur atau vagina. Banyak jalan terjadinya perkosaan, ada karena kebetulan bertemu, misalnya wanita itu meminta tumpangan kendaraan, sehingga pemberi tumpangan mendapat kesempatan untuk memperkosanya. Ada yang memang sudah kenal lama, bahkan telah berpacaran, yang pada kesempatan tertentu laki-laki itu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa pacarnya untuk bersetubuh dengan dia, yang semula wanita itu masih mempertahankan keperawanannya. 1 Koesparmono Irsan, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, 2007, hlm. 7. Tindak pidana perkosaan tidak hanya sulit dalam perumusannya saja, tetapi kesulitan utama yang sering muncul biasanya adalah soal pembuktian diakui atau tidak, baik ditingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan ataupun persidangan di pengadilan, sebab pembuktian tindak pidana perkosaan di pengadilan sangatlah tergantung pada sejauh mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan bukti-bukti yang menyatakan bahwa telah terjadi tindak pidana perkosaan. Kesulitan pembuktian tersebut juga timbul karena korban kejahatan tidak segera melaporkannya kepada penyidik yang umumnya dikarenakan dicekam rasa malu bahkan ada yang melaporkannya setelah berbulan-bulan dan dalam keadaan hamil. Cara mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi. Usaha-usaha dalam memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri olehnya dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkaplengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Adanya peranan dokter untuk membantu penyidik dalam memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.Visum bukanlah istilah hukum melainkan visum itu sendiri merupakan istilah Kedokteran. Pengertian visum et repertum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ditemukan secara tegas, namun sebagai pedoman dapat dijelaskan bahwa pengertian visum et repertum adalah: “Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut”.2 Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan? dan (2) 2 , Amri Amir, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Kedua, Medan: Ramadhan, 2005hlm. 207. apakah yang menjadi faktor penghambat dari efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan? Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu adalah penelitian yang dilakukan dengan cara melihat, menelaah, mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, pandangan dan doktrindoktrin hukum, konsep-konsep, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan skripsi ini atau sering disebut sebagai suatu library research. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan menggali informasi dan melakukan penelitian di lapangan guna mengetahui secara lebih jauh mengenai permasalahan yang dibahas. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi lapangan yang lebih akurat. II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Efektivitas Visum Et Repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan Bantuan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam penyidikan kasus kejahatan seksual meliputi: a. Menentukan adanya tandatanda persetubuhan b. Menentukan adanya tandatanda kekerasan c. Memperkirakan umur d. Menentukan pantas atau tidak korban untuk kawin.3 Sutaji4 menyatakan bahwa efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan sedikit berguna dan bermanfaat sekalipun tidak bersifat sangat menentukan, artinya tetap saja diperlukan alat bukti lain selain visum et repertum. Memang di dalam praktek peradilan, harus menggunakan visum et repertum, dalam hal ini korban tindak pidana perkosaaan biasanya diperiksa untuk dibuatkan visum et repertum. Namun menurut Sutaji jika hal tersebut berada dalam ketidakmungkinan yang absolut untuk dibuatkannya visum et repertum, maka tidak perlu dipaksakan. Sutaji juga menambahkan bahwa visum et repertum bukan merupakan satu-satunya alat bukti, visum et repertum masuk dalam kategori alat bukti surat di dalam Pasal 184 KUHAP. Namun, untuk membuktikan ada tidaknya tindak pidana dan untuk membuktikan terbukti tidaknya tindak pidana, tidak melulu harus dengan alat bukti surat. Berbeda dengan pernyataan dari Sutaji, Supriyanti5 berpendapat bahwa visum et repertum sangat efektif dan mendukung dalam pembuktian tindak pidana perkosaan. 3 Firganefi, S.H,M.H. & Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H,M.H. Hukum dan Kriminalistik, Bandar Lampung: Justice Publisher, 2014, hlm. 51. 4 Hasil wawancara dengan Sutaji, S.H.,M.H. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Selasa 03 Februari 2015 pukul 11:05. 5 Hasil wawancara dengan Jaksa Supriyanti, S.H. Selasa, 10 Februari 2015 pukul 10:30. Harus selalu menggunakan visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan, bahkan beliau menyatakan wajib untuk dibuatkannya visum et repertum dalam setiap kasus-kasus perkosaan. Hal ini juga dikemukakan oleh Welly yang menyatakan bahwa keberadaan visum et repertum sangat penting dalam pembuktian tindak pidana perkosaan karena merupakan salah satu alat bukti yang sah yang diatur di dalam Pasal 184 KUHAP. Efektivitas visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan menunjukkan peran yang penting bagi tindakan pihak kepolisian selaku aparat penyidik. Menurut Nikmah Rosidah6, pada setiap kasus perkosaan harus menggunakan visum et repertum dalam pembuktiannya. Visum et repertum ini dapat efektif sebagai alat bukti di persidangan apabila pembuatannya dilakukan dengan cepat dan sesegera mungkin, tidak lebih dari 24 (duapuluh empat) jam, serta tidak bisa menginap. Artinya, visum et repertum ini merupakan alat bukti yang pembuatannya memerlukan waktu yang cepat. Hal ini bertujuan agar dapat terdeteksi benar atau tidaknya telah terjadi tindak pidana perkosaan. Selanjutnya penulis beranggapan bahwa efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan merupakan alat bukti yang sangat berguna dan bermanfaat, visum et repertum dapat menentukan adanya suatu luka atau tidak pada tubuh korban, namun tetap 6 Hasil wawancara dengan Nikmah Rosidah, S.H., M.H., 09 Maret 2015 pukul 12.00. dibutuhkan alat bukti lain yang dapat memperkuat hal tersebut. B. Faktor Penghambat Efektivitas Visum Et Repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan Soerjono Soekanto berpendapat bahwa faktor-faktor penghambat upaya penegakan hukum, yaitu:7 a. Faktor Hukumnya Sendiri atau peraturan itu sendiri. Contohnya, asas-asas berlakunya suatu undang-undang, belum adanya peraturan yang mengatur pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, serta ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesalahpahaman di dalam penafsiran serta penerapan undang-undang tersebut. b. Faktor Penegak Hukum. Yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Contohnya, keterbatasan kemampuan untuk memberikan suatu upaya hukum kepada korban, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegairahan yang sangat teratas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi. c. Faktor Sarana atau Fasilitas yang mendukung Penegak Hukum. Contohnya, kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas dan keterbatasannya menguasai ilmu hukum. Fasilitas pendukung 7 Soerjono Soekanto.1983. Penegakan Hukum. Bandung:Bina Cipta. Hlm 34-35, 40. salah satu contohnya yaitu minimnya pendidikan yang diberikan kepada masyarakat.. d. Faktor Masyarakat. Yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan. Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingankepentingannya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor ekonomi, psikis, sosial atau politik, dan lain sebagainya. e. Faktor Kebudayaan. Yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karya manusia di dalam pergaulan hidup. Contohnya nilai ketertiban dan ketentraman, nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan, nilai kelanggengan/konservatisme, dan nilai kebaharuan/inovatisme. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka diketahuilah faktor yang menjadi penghambat dari efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan, yaitu: a. Faktor hukumnya sendiri, rumusan Pasal 285 KUHP masih menemukan kendala dalam penerapannya. Rumusan pasal tersebut juga tampaknya belum secara realita melindungi kaum wanita. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya pemberitaan tentang tindak pidana perkosaaan di media massa. b. Faktor penegak hukum, efektivitas visum et repertum dapat berjalan dengan optimal dalam setiap pembuktian tindak pidana perkosaan tidak terlepas dari cara kerja atau kinerja aparat penegak hukum. Kecepatan dan kesigapan aparat penegak hukum dalam menemukan bukti-bukti sangat menentukan benar atau tidaknya telah terjadi tindak pidana perkosaan. Sutaji menyatakan agar efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan dapat optimal, maka diperlukan alat bukti lain, misalnya mengoptimalkan alat bukti petunjuk.8 c. Faktor sarana atau fasilitas, sumber daya manusia yang dalam hal ini adalah seorang dokter forensik, jumlahnya harus sesuai dengan yang dibutuhkan. Tidak di setiap rumah sakit dapat dibuatkan visum et repertum, tetapi hanya di rumah sakit milik pemerintah saja yang dapat membuatkan visum et repertum. Hal ini membuat korban merasa kesulitan apabila tinggal di daerah yang jauh dari rumah sakit milik pemerintah tersebut. d. Faktor Masyarakat, yakni masyarakat kurang paham dan mengerti tentang arti visum et repertum. Masyarakat juga kurang mengetahui bahwa visum et repertum merupakan salah satu alat bukti yang digunakan dalam pembuktian tindak pidana perkosaan di persidangan. Kurangnya pemerataan tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia, (khususnya di daerah pelosok) menyebabkan masyarakat tersebut mempunyai pola pikir yang berbeda-beda. Hal ini juga yang mempengaruhi 8 Hasil wawancara dengan Sutaji, S.H.,M.H. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Selasa 03 Februari 2015 pukul 11:05. rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pengertian visum et repertum. e. Faktor Kebudayaan, yakni perbedaan dari segi ekonomi membuat korban tindak pidana perkosaan yang berada dalam ekonomi menengah kebawah tidak dapat membuat visum et repertum dikarenakan tidak mempunyai biaya, sebab biaya pembuatan visum et repertum ditanggung oleh korban. Selain itu perilaku korban juga mempengaruhi terjadinya tindak pidana perkosaan, seperti cara berpakaian dan berpenampilan juga rasa malu korban untuk melaporkannya. III. SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: Efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan cukup berguna dan bermanfaat, namun tetap diperlukan alat bukti lain untuk menentukan benar atau tidaknya telah terjadi tindak pidana perkosaan serta untuk membuktikan terbukti atau tidaknya tindak pidana perkosaan. Visum et repertum hanya menentukan ada tidaknya suatu luka pada tubuh korban tindak pidana perkosaan bukan menentukan pelaku dari tindak pidana tersebut. Visum et repertum merupakan alat bukti yang bersifat bebas dan tidak dapat berdiri sendiri. Artinya hakim dapat mengesampingkan alat bukti visum et repertum. Seperti pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim dapat memutus suatu perkara pidana berdasarkan sedikitnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah terjadinya perbuatan pidana. Faktor penghambat dari efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, faktor kebudayaan. DAFTAR PUSTAKA Amir, Amri. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Medan: Ramadhan. Firganefi dan Ahmad Irzal Fardiansyah. 2014. Hukum dan Kriminalistik. Bandar Lampung: Justice Publisher. Irsan, Koesparmono. 2007. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Soekanto, Soerjono.1983. Penegakan Hukum. Bandung: Bina Cipta. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor Tahun 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).