Bidang Ilmu: HUKUM LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN HIBAH BERSAING OPTIMALISASI PEMANFAATAN TANAH WAKAF BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI REFORMASI KEBIJAKAN AGRARIA Tahun ke-1 dari Rencana 3 Tahun Tim Pengusul : Drs. Agus Triyanta,MA, MH.,Ph.D.(Anggota) NIDN : 0520066901 Mukmin Zakie,SH.,M.Hum., Ph.D. (Ketua) NIDN : 0512056301 DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA DPPM UII, Lt.3 Komplek Masjid Ulil Albab UII, Jl. Klaiurang KM 14,4 Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Telp/Fax 0274-898444 ext. 2505 ext.2503. Oktober 2014 1 2 RINGKASAN Penelitian ini merupakan Tahap ke-1 dari rencana tiga (3) Tahapan penelitian berjudul ´Optimalisasi Pemanfaatan Tanah Wakaf Bagi Kesejahteraan Masyarakat Melalui Reformasi Kebijakan Agrariaµ yang akan menggali berbagai problem yuridis terkait optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pemanfaatan tanah wakaf yang optimal melalui reformasi kebijakan agraria sehingga akan dapat berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam jangka pendek, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan oleh lembaga yang terkait dengan pemanfaatan tanah wakaf, dan lebih spesisfik akan menjadi bahan amandemen Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, khususnya Pasal 2 ayat (2) serta Undang-Undang no 41 tahun 2004 tentang Wakaf berikut perubahan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang masih belum mengakomodasi tuntutan perkembangan pewakafan secara optimal. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, menggunakan proses berfikir dan kaidah berfikir, dalam menemukan landasan pemikiran, makna substantif, dan peran negara dalam pemanfaatan tanah wakaf yang lazim disebut hypothetical deduction. Pendekatan sosiologis digunakan untuk menelaah mengenai berbagai bentuk pemanfaatan tanah wakaf dan kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dan disesuaikan dengan permasalahan dan metode pendekatannya, meliputi; pengumpulan dengan menghimpun semua dokumen terkait dengan pemanfaatan tanah wakaf, obervasi, in-depth interview dan Focus Group Discussion (FGD) serta diskusi publik lainnya. Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data diolah dengan metode kualitatif, ialah menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data, mengambil arti yang terkandung di dalamnya. Dari penelitian Tahap I yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia didominasi untuk keperluan tempat ibadah (masjid dan mushalla) dengan total luasan 43.690.952 m2, atau 54,056 % dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, kemudian untuk keperluan prasarana sekolah dengan total 13.608.726 m2, atau 16,84% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, serta untuk keperluan wakaf sosial lainnya, dengan total luasan 13.224.772 m2, atau 16,36% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, untuk keperluan tanah pemakaman dengan total luasan 5.944.176 m2, atau 7,35% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, dan terakhir untuk keperluan pendididikan pesantren dengan total luasan 4.263.876m2, atau 5,28% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia. Kedua, bahwa dalam klasifikasi keperluan sosial lainnya masih menjadi bagian yang terkecil, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf yang berorientasi bisnis dan produktif masih rendah. Sekaligus sajian data yang ada tersebut belum mempertimbangkan secara serius penghitungan wakaf yang berorientasi bisnis dan produktif. Yang karenanya, sulit juga untuk memotret dari waktu ke waktu progress atau perkembangan dari pemanfaatan tanah yang berorientasi bisnis dan profit tersebut. Ketiga, Terkait dengan dengan konversi tanah wakaf, bahwa keberpihakan berbagai instansi terkait, utamanya adalah Badan Pertanahan (BPN) masih jauh dari optimal. 3 PRAKATA $VVDODPX´DODLNXP:UWb. $OKDPGXOLOODKLUDEELOµDODPLQ. Puji syukur penulis persembahkan kepada illahi rabbi yang telah melimpahkan kenikmatan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Penelitian ini merupakan Tahap ke-1 dari rencana tiga (3) Tahapan penelitian berjudul ´Optimalisasi Pemanfaatan Tanah Wakaf Bagi Kesejahteraan Masyarakat Melalui Reformasi Kebijakan Agrariaµ yang akan menggali model pemanfaatan yang ideal dalam mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pemanfaatan tanah wakaf yang optimal melalui reformasi kebijakan agraria sehingga akan dapat berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam jangka pendek, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan oleh lembaga yang terkait dengan pemanfaatan tanah wakaf. Penelitian dapat terlaksana atas bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penelitgi mengucapkan terima kasih kepada: 1) Direktur Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah memberikan dana pada penelitian ini. 2) Direktur Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DPPM) Universitas Islam Indonesia, yang telah memfasilitasi proses pengajuan proposal sampai tahap pelaporan hasil penelitian. 3) Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah memberikan izin kepada kami untuk melaksanakan penelitian serta memanfaatkan fasilitas yang kami perlukan. 4) Para nara sumber, baik perorangan maupun kelembagaan yang telah menerima dan memberikan informasi/ data yang diperlukan dalam penelitian. 5) Para kolega di Universitas Islam Indonesia yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, atas saran dan masukannya selama proses penelitian. WaVVDODPX´DODLNXPWr. Wb. Yogyakarta, 30 Oktober 2014 Peneliti 4 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ............................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................... HALAMAN RINGKASAN ...................................................................................... HALAMAN PRAKATA ............................................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................................................. BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................ BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ BAB III:TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ..................................................... BAB IV: METODE PENELITIAN .............................................................................. 1 2 3 4 5 6 10 16 BAB V: HASIL YANG DICAPAI .............................................................................. 18 20 A. Dinamika Pemanfaatan Tanah Wakaf ................................................................ 20 B. Model Pemanfaatan Tanah Wakaf di Indonesia ................................................ 35 C. Problematikan dalam Pemberdayaan Wakaf ..................................................... 49 BAB VI: KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 54 A. Kesimpulan ......................................................................................................... 54 B. Saran .................................................................................................................. 55 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 56 LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................................... 60 1. Draft Artikel Jurnal 2. Foto Kegiatan 3. Laporan Keuangan (terpisah) 5 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut data yang dimiliki oleh Departemen Agama, keseluruhan tanah wakaf di Indonesia berjumlah 3.492.045.373,754m2, Tanah wakaf seluas itu tersebar di 420.003 lokasi di seluruh wilayah Indonesia. (Bimas Islam Kemenag: 2013). Ini merupakan lahan yang sangat luas dan potensial untuk dioptimalkan pemanfaatannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa luas ini hampir seluas lima (5) kali negara Singapura. Secara urut, di bawah ini adalah data tanah wakaf terbesar menurut propinsi di Indonesia: Tabel Jumlah Tanah Wakaf Terbesar di Lima Propinsi di Indonesia No. PROVINSI JUMLAH TANAH WAKAF LOKASI LUAS M2 BERSERTIFIKAT Ada Tidak 1 Nanggroe Aceh Darussalam Jawa Barat Kalimantan Selatan RIAU Nusa Tenggara Barat 27,416 1,333,233,627.26 12,245 15,171 Prosentase Tanah Wakaf Bersertifikat 45% 70,749 8,772 7,897 11,793 116,662,017.81 110,208,613.54 97,448,625.81 83,060,488.00 45,401 7,271 2,761 7,635 25,348 1,501 5,136 4,158 64% 83% 35% 65% 2 3 4 5 Data diadaptasi dari Indonesia Waqf Board, dalam www.bwi.or.id, akses 20 April 2013 Pranata wakaf telah ada di Indonesia sejalan dengan keberadaan komunitas muslim di wilayah ini. Hal ini disebabkan karena pranata wakaf melekat dalam ajaran dan praktik kehidupan umat Islam. Meskipun lembaga perwakafan tanah di Indonesia sudah ada dan berkembang dalam waktu yang lama, namun perkembangan pemanfaatan dirasa belum proporsional. Mengingat keberadaan tanah wakaf yang luas, semestinya, tanah wakaf akan mampu memberikan peran bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, meski tidak secara langsung. Institusi wakaf dalam Islam merupakan salah satu bentuk pemberdayaan harta (tamwil) untuk kepentingaan umat (umum), di mana harta (yang bersifat tetap) milik individu diserahkan dan kemudian dikelola untuk kepentingan umat, di samping juga, ada beberapa metode lain untuk 6 memobilisir kontribusi material dan finansial demi kepentingan umat, seperti zakat, infaq dan sahaqah (ZIS). Untuk masalah ZIS telah mengalami improvisasi pemanfaatan yang menggembirakan, sedangkan untuk masalah wakaf, masih belum banyak teroptimalkan dan mayoritas masih dimanfaatkan secara konvensional, karena bertumpu pada pendapat yang diinterpretaasikan dari ajaran Islam secara tekstual. Untuk itu masih diperlukan upaya pemanfaatan yang lebih baik dan berorientasi pada optimalisasi bagi kesejahteraan. Berbagai negara telah berhasil mengelola wakaf dengan baik. Patut dicontoh di sini adalah apa yang diberlakukan oleh universitas Al-Azhar, sebuah universitas Islam tertua di dunia. Di sana, dengan optimalisasi pemafaatan wakaf, setiap tahun dapat membiayai mahasiswa internasional, menerbitkan dan menyebarkan buku-buku Islam ke seluruh dunia. (Azhar Basyir, 1987). Apa yang dikembangkan di Malaysia juga layak menjadi contoh. Di Malaysia, inovasi paling spektakuler terkait dengan optimalisasi wakaf ke sektor produksi telah dilakukan oleh umat Islam di negeri Johor. Tahun 1968, pemerintah Johor mendirikan sebuah perusahaan Negara bagian,yang bernama Johor Corporation, yang dibuat sedemikian rupa sehingga memadukan wakaf dan manajemen modern. Lembaga Wakaf tersebut memiliki saham di Johor Corporation yang menguasai lebih dari 197 perusahaan, termasuk menguasai 18 rumah sakit di seluruh Malaysia (KPJ Healthcare). Pada tahun 2006, Perusahaan wakaf ini memiliki saham senilai RM 200 juta. Bisnis Johor Corporation in meliputi perushaan minyak sawit, real estate (property), dan sebagainya. (Agus Triyanta, 2009). Kesuksesan pemanfaatan wakaf di Singapura telah menjadikan MUIS (Majelis Ugama Islam Singapura), sebagai pengelola wakaf di Singapura, mendapatkan penghargaan Sheikh Mohammad Bin Rashid Al Makhtoum Islamic Finance Awards 2006. Inovasi ini juga akhirnya berhasil mendongkrak penghasilan yang semula $19.000 pertahun menjadi $5.3 juta di tahun 2006. MUIS ini juga sekarang sudah mendapatkan sertifikat ISO 9001 untuk bidang administrasi dan manajemen wakaf. (Agus Triyanta, 2009) Namun yang terjadi di Indonesia justeru kebalikan dari fakta di atas, banyak tanah wakaf yang terletak di lokasi strategis diambil oleh pengusaha dengan cara ruislag (istibdal) dengan tanah yang terletak di lokasi yang lebih terisolir sehingga potensi optimalisasi pemanfaatan ke arah yang lebih produktif menjadi sulit. (Suparman dan Subhan: 2009). 7 Berdasarkan uraian di atas, optimalisasi pemanfaatan harta wakaf adalah suatu keharusan yang secepat mungkin harus dilakukan dengan dua alasan utama; Pertama, mayoritas pewakaf (wakif) menginginkan agar tanah wakaf dimanfatakan untuk hal-hal yang berkaitan secara langsung untuk kepentingan ibadah mahdhah, misalnya untuk pembangunan masjid. Kedua, semakin diperlukannya optimalisasi tanah wakaf untuk mendukung peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat, serta pula, pengadaan fasilitas-fasilitas urgen dan mendesak yang dibutuhkan umat Islam. Namun, pada realitanya, banyak asset tanah wakaf yang tidak dapat berfungsi optimal, banyak lahan wakaf yang dibiarkan tidak termanfaatkan, baik karena fungsi awal pemanfaatan yang sudah tidak diperlukan lagi, misalnya dengan semakin kecilnya angkatan didik, maka banyak sekolah yang dibangun dengan tanah wakaf kemudian tidak beroperasi karena kurangnya murid. Lahan wakaf pertanian atau perkebunan yang tidak lagi terpelihara karena kurangnya sumber daya manusia. Bahkan, ada asset (tanah wakaf) yang potensial untuk digugat. Misalnya saja di Jawa Barat tanah wakaf berjumlah 74.156 lokasi atau 215 juta meter persegi, dan ironisnya, dari jumlah tersebut masih ada 21.809 lokasi yang belum dimanfaatkan. Menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang belum dimanfaatkan inilah yang rentan dengan gugatan ahli waris.(Sindonews, 2013). Ada dua hal yang menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan tanah wakaf tersebut. Pertama, kurangnya profesionalisme para pihak yang terkait dengan perwakafan. Kedua, hambatan terkait kebijakan pengurusan tanah wakaf. Optimalisasi tanah wakaf melalui perubahan pemanfaatan dapat dilakukan dengan berbagaai terobosan: Pertama, mengalihkan fungsi pemaanfaatan tanah wakaf. Megingat keperluan sebuah masyarakat selalu berubah, maka suatu hal yang wajar jika kemudian sebagian tanah wakaf kehilangan fungsi yang optimal karena memang bergesernya keperluan masyarakat. Kedua, meningkatkan fungsi tanah wakaf, dengan adanya perubahan masyarakat dan perkembangan teknologi, pemanfaatan wakaf tidak lagi hanya pada satu fungsi yang statis, namun harus dilakukan sesuai tuntutan perkembangan yang terjadi. Misalnya, sebidang tanah wakaf, dapat dirubah menjadi apartemen yang memungkinkan perolehan keuntungan yang lebih tinggi. Maka perlu adanya perubahan status dari hak milik pengelola wakaf menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) untuk menjadi bangunan yang disewakan, atau hak Pakai dengan merujuk pada Strata Tittle (Rumah Susun). Bentuk perubahan yang dimaksud jelas akan dipengaruhi oleh regulasi di bidang agraria. Karenanya, perubahan status tanah atau perubahan pemanfaatan akan melibatkan pengaturan di 8 bidang pertanahan. Bahkan, dalam hal tanah wakaf untuk dirubah menjadi apartemen yang disewakan, memerlukan perubahan regulasi terkait dengan hak-hak atas tanah yang diatur dalam hukum agraria. Untuk itu, perlu dibuat model kebijakan dan regulasi yang memang mampu mendukung pemanfaatan tanah wakaf yang optimal bagi peingkatan kesejahteraan umat atau masyarakat. Dengan melihat itu semua, maka optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf tidak dapat berjalan tanpa adanya singkronisasi hukum antara pengaturan wakaf dengan hukum agraria. Sehingga perlu dilakukan penelitian yang komprehensif terhadap permasalahan optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf yang berkaitan dengan hukum agraria, serta kemudian mencari solusi yang diperlukan. Dari gambaran di atas, dapat dirumuskan pertanyaan yang akan dijawab oleh penelitian ini, yaitu sebagaimana berikut: 1) Bagaimanakah pemanfaatan tanah wakaf dan kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat di Indonesia saat ini? 2) Apakah problem yuridis dalam bidang agraria bagi optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf? 3) Bagaimanakah model kebijakan agraria yang harus dikembangkan untuk mendorong pemanfaatan tanah wakaf yang optimal bagi masyarakat?. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam literatur hukum Islam, wakaf berarti menahan, sedangkan secara terminologis berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah (yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam), serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah (Azhar Basyir, 1987). Adapun dasar hukum yang digunakan adalah beberapa ayat al4XU¶DQ WHUXWDPD 6XUDW $OL ,PUDQ GDQ KDGLWV tentang nasehat Nabi SAW kepada Umar ibn Khaththab berkenaan dengan tanah yang diperoleh Umar dari perang Kahibar. (Imam Suhadi, 1990). Status kepemilikan tanah wakaf adalah terlepas dari kepentingan pribadi. Kepemilikan menjadi hak Allah yang diawasi oleh pengelola (nadzir). (Abdoerraoef, 1970). Pemilik yang telah mewakafkan tanahnya tidak lagi memiliki hak untuk mencampuri urusan peruntukan tanah tersebut selama pengelola tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam ikrar wakaf. Sebaliknya pengelola tanah wakaf juga tidak dapat melakukan pemanfaatan tanah secara bebas, karena pewakaf dapat mengajukan persyaratan tertentu ketika mewakafkan tanah tersebut. (Azhar: 1987). Lembaga wakaf tanah menjadi salah satu pranata penting bagi masyarakat muslim. Hal ini disebabkan karena pewakafan mampu menjadi salah satu sarana pemberdayaan ekonomi yang mandiri di lingkup masyarakat yang bersangkutan, utamanya terkait dengan pembiayaan bagi keperluan umum dan keaagamaan. Studi yang telah dilakukan oleh Murat Cizakca (1998) menunjukkan bahwa wakaf tanah telah memainkan peran yang sangat besar dalam memenuhi kepentingan umum di berbagai negara. Di Turki, pada tahun 1931 rasio antara jumlah pegawai yang bekerja pada asset wakaf dengan pegawai yang dipekerjakan pemerintah (pegawai negeri) berjumlah 12.68%. Dalam kajian yang lain, Ferhat Abbas, (2013) menyatakan bahwa di Mesir pada tahun 1913, lembaga wakaf memiliki lebih dari 11 rumah sakit yang dapat melayani lebih dari satu juta pasien. Dalam masa kejayaan Islam, wakaf memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan peradaban. Lembaga pengelola wakaf dapat melakukan pemenuhan berbagai kepentingan umum, termasuk dalam layanan pendidikan. Berbagai beasiswa dan bantuan keuangan (scholarship) diberikan bagi orang-orang yang terlibat dalam aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga perkembangan ilmu berjalan sangat cepat. Lebih dari itu, pemanfaatan tanah wakaf sudah sangat 10 terdiversifikasi, sehingga di antara wakaf digunakan untuk konservasi lingkungan berupa taman dan tempat yang bebas bagi binatang (Agus Triyanta, 2012). Karena itulah, optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia harus segera dilakukan, dari tanah yang konvensional, yakni hanya dibiarkan berupa lahan dengan tanaman keras, atau bahkan dibiarkan kosong misalnya, haruslah beralih pada orientasi yang bersifat produktif. Agus Triyanta (1998) dengan mendasarkan pada sebuah riset wakaf menyimpulkan bahwa diversifikasi pemanfaatan tanah wakaf masih sangat minim dilakukan oleh umat Islam. Dan karenanya disarankan perlunya edukasi yang lebih intensif agar para pengelola wakaf menyadari pentingnya diversifikasi pemaanfaatan tanah wakaf ke arah yang lebih produktif. Tentu semua perubahan menuju terwudunya pemanfaatan yang optimal tersebut, tidak mungkin tidak, memerlukan perubahan fungsi tanah wakaf dari fungsi semula menuju fungsi yang lebih produktif. Sedangkan, perubahan fungsi tersebut bukannya tanpa kontroversi terkait status hukumnya. Sebagian pendapat melarang, sebagaimana sebagiDQ\DQJODLQPHPEROHKNDQ3HQGDSDW,PDP6\DIL¶L yang diikuti juga oleh para ulama, menyatakan bahwa perubahan atau alih fungsi tanah wakaf tidak diperbolehkan. Sebaliknya, menurut Ibnu Hanbal berserta para pengikut madzhabnya, perubahan pemanfaatan dari semula yang dipersyaratkan oleh pewakaf adalah merupakan tindakan diperbolehkan.(Imam Suhadi (1990). Karena itu, studi Mahmassani (1981) dan Azhar Basyir (1994) menunjukkan bahwa pendapat Ibnu Hanbal yang membolehkan tersebut lebih relevan untuk situasi saat ini, karena lebih berorientasi manfaat masa depan serta bertumpu lebih banyak pada kemaslahatan. Adijani (1992) berpendapat bahwa pada dasarnya tanah wakaf tidak boleh dijual, diwarisi, dan diberikan kepada orang lain. Tapi seandainya asset wakaf tersebut rusak, tidak dapat lagi diambil manfaatnnya, maka boleh digunakan untuk keperluan lain yang serupa, dijual dan dibelikan barang lain untuk meneruskan wakaf itu. Artiya bahwa pendapat yang membolehkan perubahan fungsi atau pemanfaatan tersebut lebih dapat diterima jika menggunakan pendekatan hukum progressif, serta lebih memenuhi nilai keadilan dan kemaslahatan. Hal ini disebabkan dalam pendapat tersebut, wakaf dapat dimanfaatkan secara optimal mengikuti kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. 11 Karena itu, berbagai terobosan dapat dilakukan di Indonesia, termasuk melakukan diversifikasi pemanfaatan tanah. Maka dalam konteks ini, konversi, baik dalam arti peralihan pemanfaatan wakaf serta pertukaran tanah wakaf dengan tanah yang lain (ruislag), menjadi suatu jalan yang sangat diperlukan. Misalnya saja, tanah wakaf yang memang layak untuk dibangun pusat dagang, rumah susun,atau hal lain sejenisnya, maka semestinya dilakukan pengembangan pemanfaatan semacam itu. Ada beberapa pola yang dapat dikembangakan bagi pemanfaatan tanah wakaf yang pernah digagas. Lywa S. Fauzie (2011) mengajukan sebuah rancangan yang sangat menarik, bahwa di atas tanah wakaf dapat dibuat sebuah bangunan strata title (misalnya ruko, rusunawa dan apartemen), sehingga dengan perubahan itu, fungsi tanah wakaf tidak berkurang, dan justeru akan lebih produktif jika dibandingkan dengan pemanfaatan semua. Bahkan konsep ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan konsep BOT (Build-Own-Transfer) yang pernah dianggap yang terbaik untuk aset tanah wakaf NDUHQD DVHWWDQDKWHUVHEXWWLGDN³KLODQJ´WHUMXDODWDXEHUSLQGDKWDQJDQWHtapi kembali lagi setelah 20 atau 30 tahun. Lebih dari itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Rusun) memberikan kemungkinan dimanfaatkannya tanah wakaf yang pemanfaatannya tidak optimal, dan tanah terlantar untuk dibangun rumah susun yang kemudian dapat disewakan, yang dari situ akan terjadi aliran finansial yang dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih luas lagi. (Ciptakarya, 2013). Mengingat pentingnya persoalan tanah wakaf, sehingga Undang-Undang Pokok Agraria no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA mengatur ketentuan khusus mengenai wakaf sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (3) yang PHQHQWXNDQ ³3HUZDNDIDQ WDQDK PLOLN GLOLQGXQJL GDQ GLDWXU GHQJDQ SHUDWXUDQ SHPHULQWDK´ 3HULQWDK UUPA tersebut kemudian dilaksanakan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Perkembangan praktik perwakafan tanah milik yang sangat dinamis, diikuti oleh pemerintah dengan membuat berbagai pranata hukum yang mengaturnya, dan puncaknya pada tanggal 27 Oktober 2004 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Terkait dengan perubahan pemanfaatan tanah wakaf, UUPA juga menegaskan memanfaatkan tanah untuk fungsi social. Dinyatakan dalam penjelasan UUPA no. II, poin 4, bahwa hak atas tanah 12 yang ada pada seseorang tidak dibenarkan dipergunakan atau tidak dipergunakan semat-mata untuk pribadinya melainkan harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat baik baagi kesejaahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi PDV\DUDNDW GDQ 1HJDUD /HELK ODQMXW GLQ\DWDNDQ EDKZD ³NHZDMLEDQ PHPHOLKDUD WDQDK WLGDN VDMD dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya melainkan menjadi beban pula dari setiap RUDQJEDGDQKXNXPDWDXLQVWDQVL\DQJPHPSXQ\DLVXDWXKXEXQJDQKXNXPGHQJDQWDQDKLWX´%XGL Harsono, 1997). Sehingga, upaya optimalisasi tanah wakaf dengan cara merubah pemanfaatannya bukan hanya diperbolehkan dalam hukum Islam, namun juga sejalan dengan semangat UUPA, selama perubahan itu tidak menghilangkan eksistensi tanah tersebut. Dalam hal ini, A.P. Perlindungan (1998) PHQ\DWDNDQ³+DNDWDVWDQDKZDNDI\DQJVXGDKGLEHULNDQNHSada usaha sosial dan keagamaan, hanya ada right to use saja, sedangkan right to disposal-nya tidak ada, karena dianggap ditariknya hak atas tanah tersebut dari peredaran lalu lintas ekonomi, sehingga tidak boleh diasingkan ataupun dijadikan jaminan hutang.´ Dari berbagai regulasi terkait dengan perwakafan sebagaimana tersebut di atas, serta dari penafsiran terhadap berbagai pengaturan tersebut, memang tanah wakaf telah mendapat pengakuan secara hukum, baik dalam Undang-Undang Wakaf dan Undang-Undang Pokok Agraria. Akan tetapi, dalam hal pemanfaatan tanah wakaf yang lebih responsif terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, dirasa masih kurang sehingga perlu dilakukan penyempurnaan secara memadai. Di sinilah penelitian yang komprehensif tentang Optimalisasi Pemanfaatan Tanah Wakaf Bagi Kesejahteraan Masyarakat Melalui Reformasi Kebijakan Agraria mendapatkan urgensinya. Roadmap kegiatan penelitian ini dipaparkan pada tabel berikut: Tahun ke Uraian Kegiatan 1) 2) 1 3) Pengumpulan data tentang perwakafan di Indonesia. Studi pustaka tentang berbagai teori yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah wakaf dan perbandingan dengan pranata-pranata sejenis (misalnya trust dalam konsep Barat). Studi Pustaka tentang berbagai teori agraria terkait optimalisasi tanah bagi kepentingan sosial (umum), serta rekayasa kebijakan agraria yang mendukungnya. Keterangan Metode pengumpulan data dan analisis merujuk pada metode penelelitian hukum yang memadukan aspek normatif dan empiris. 13 4) 5) 6) 7) 1) 2 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 1) 3 2) 3) 4) Pengumpulan data tentang pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia. Identifikasi tentang kasus-kasus terobosan dalam pemanfaatan tanah wakaf. Analisa kasus-kasus terobosan dalam pemanfaatan tanah wakaf. Penulisan manuskript artikel jurnal tentang berbagai kasus tanah wakaf di Indonesia dan pemanfaatannya. Identifikasi kelemahan dari praktek pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia. Identifikasi berbagai model optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf yang ideal yang dipraktikkan di berbagai negara. Identifikasi hambatan hukum bagi optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia, utamanya di bidang hukum agraria. Analisis secara menyeluruh terhadap karakteristik tanah wakaf di Indonesia. Analisis secara menyeluruh terhadap karakteristik pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia. Pemetaan kebijakan agraria yang diperlukan guna mendorong optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf. Menyusun model optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf dengan mengeliminasi kelemahan yang ditemui, dengan mengintegrasikan teori serta praktik yang ideal di berbagai Negara, yang didorong dengan kebijakan agraria. Penulisan manuskript artikel jurnal tentang urgensi mengadopsi berbagai model pemanfaatan tanah wakaf yang ideal yang ada di berbagai Negara dengan didorong oleh kebijakan agraria. Pada tahun ke 2 ditargetkan sudah ada satu publikasi hasil penelitian pada jurnal terakreditasi dan dihasilkan satu manuskript untuk publikasi jurnal lainnya Forum diskusi dengan mitra yang konsen pada masalah perwakafan terkait denga keagrariaan (Lembaga Pengelola Wakaf, Badan Wakaf Indonesia, Kementerian Agama RI dan BPN) Penyusunan rumusan draft model optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf dengan mempertimbangkan masukan dari mitra di atas. Forum diskusi dengan mitra dari luar negeri yaitu: Law Center, International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) serta Center for Islamic Economy, Al-Azhar University, Cairo. Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholder Pada tahun ke 3 ditargetkan ada presentasi pada seminar internasional bersama mitra dari luar negeri serta dihasilkan satu naskah untuk jurnal internasional yang siap dikirim ke Asean Journal of 14 5) 6) 7) pengelola tanah wakaf yang dipilih. Comparative Law Finalisasi rumusan model optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf yang didukung dengan reformasi kebijakan agraria. Presentasi pada international seminar hasil penelitian Penulisan manuskript artikel jurnal internasional tentang model optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf bagi kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan agraria. 15 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan penelitian Secara umum penelitian ini memiliki tujuan membuat model kebijakan agraria yangharus dikembangkan untuk mendorong pemanfaatan tanah wakaf yang optimal bagi masyarakat. Adapun tujuan yang lebih spesifik adalah: 1) Memetakan berbagai cara pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia saat ini. 2) Memetakan bagaimana kontribusi pemanfaatan tanah wakaf bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. 3) Mengidentifikasi dan memetakan berbagai hambatan yuridis bagi optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf, utamanya dalam bidang hukum agraria. 4) Membangun model pemanfaatan tanah wakaf yang optimal yang didorong dengan reformaasi kebijakaan agraria. B. Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan terobosan yang perlu dilakukan berhubung dengan banyaknya tanah atau asset wakaf yang tidak terkelola dengan baik. Salah satu factor yang menghambat adalah kerumitan untuk melakukan diversifikasi pemanfaatan atau pengembangan fungsi tanah wakaf yang disebabkan oleh system regulasi agraria yang belum kondusif. Sehingga sebuah model optimalisasi pemanfaatan tanah wakaaf harus dilakukan dengaan mensinergikan upaya reformaasi di bidang agraria harus dirumuskan. Hasil penelitian ini berupa naskah model pemanfaatan tanah wakaf yang dapat secaara optimal berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat, yang didorong melaalui reformasi di bidang aagraria, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi: 1) Pengambil keputusan di bidang pengaturan pewakafan, yakni Kementerian Agama Republik Indonesia. 2) Sebagai bahan amandemen Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, khususnya Pasal 2 ayat (2). 3) Sebagai bahan amandemen Undang-Undang no 41 tahun 2004 tentang Wakaf berikut perubahan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang 16 Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang masih belum mengakomodasi tuntutan perkembangan pewakafan secara optimal. 4) Sebagai masukan bagi para pengelola tanah wakaf agar dapat melakukan perubahan dalam pemanfaatan tanah wakaf. Hasil akhir dari penelitian akan didessiminasikan kepada masyarakat ilmiah dan masyarakat secara umum melalui seminar dan publikasi ilmiah, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Beberapa media publikasi yang direncanakan adalah: 1) Internasional : Asean Journal of Comparative Law 2) Nasional: Jurnal Hukum Fakultas Hukum UII dan Jurnal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 17 BAB IV METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di seluruh Indonesia. Namun studi lapangan yang lebih terfokus akan dilakukan di berbagai lokasi pemanfaatan tanah wakaf yang telah melakukan terobosan bagi optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf. B. Jenis Penelitian Penelitian ini bermaksud menemukan landasan pemikiran filosofi, konsepsi, dan pemanfaatan perwakafan tanah, problematika hukum bidang agraria terkait dengan tanah wakaf, serta peran negara melalui kebijakan agraria yang diperlukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (Normative Legal Research) (Bagir Manan, 1999), sehingga metode pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, menggunakan proses berfikir dan kaidah berfikir (M. Daud Silalahi, 2001). C. Pendekatan Penelitian Metode pendekatan yang digunakan adalah hukum normatif yang didukung oleh pendekatan empiris yang menggunakan data primer. Pendekatan sosiologis digunakan untuk menelaah mengenai bentuk pemanfaatan tanah wakaf dalam masyarakat Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan conceptual approach, ialah penelitian dengan maksud untuk membangun suatu konsep dengan mendasarkan pada sistem norma tertentu (Marzuki, 2005). D. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, serta bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data primer diperoleh melalui studi lapangan sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur dan berbagai dokumentasi yang berkaitan dengan perwakafan. Bahan hukum primer terdiri dari: konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bahan hukum sekunder terdiri dari : buku teks, jurnal, kasus-kasus di pengadilan, dan kasus-kasus di luar pengadilan, serta pendapat para pakar dan tokoh adat. Bahaan hukum tersier terdiri dari: kamus dan ensiklopedi. (Aslan Noor, 2003). Penelitian dilakukan dalam dua tahap meliputi penelitian perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian perpustakaan 18 (library research) dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Soerjono Soekanto, 1995), Kajian lapangan (field research) dimaksudkan untuk menggali data empiris tentang perwakafan tanah dan optimalisasi pemanfaatannya, serta problematika hukum agraria yang dihadapi.(Noeng Muhadjir ). E. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dan disesuaikan dengan permasalahan dan metode pendekatan. Untuk permasalahan pertama, pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun semua dokumen serta melakukan studi lapangan terkait dengan perwakafan dan pemanfaatannya. Permasalahan kedua, pengumpulan data dilakukan melalui identifikasi kasus-kasus yang telah terjadi, di samping itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui pengumpulan dokumen dan kepustakaan yang berkaitan dengan regulasi dan kebijakan di bidang agraria terkait dengan wakaf. Guna memperjelas data dalam permasalahan yang kedua ini diperlukan in-depth interview serta singkronisasi perundang-undangan untuk mengungkap problem yuridis yang dijumpai. Sedangkan permasalahan ketiga, pengumpulan data selain dilakukan dengan mengadopsi dan mengintegrasikan data yang telah tersedia, juga dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dan diskusi publik lainnya. F. Analisis Data Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data akan diolah dengan metode kualitatif, ialah menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data, mengambil arti yang terkandung di dalamnya. Tahapan yang dilakukan adalah: 1) Reduksi data, di mana data diringkas dan diramu dalam bentuk yang baku dan ilmiah, agar lebih mudah untuk dilakukan analisis tahap selanjutnya. 2) Organisasi data. Di mana data diklasifikasikan (diorganisasikan) dalam kelaskelas sejenis, dalam genus-genus yang sama. 3) Penarikan interpretasi. Ini dilakukan denga metode interpretasi ataupun cara-cara legal reasoning yang lain, termasuk content analysis menurt Erl Babbie (Nurhasan Islamil, 2006) dan Claus Krippendorff (1991). Interpretasi juga akan membantu untuk bisa menyajikan konsep norma hukum dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan lebih bersifat aplikatif. 4). Pengambilan kesimpulan. 19 BAB V HASIL YANG DICAPAI A. DINAMIKA PEMANFAATAN TANAH WAKAF Hari ini, umat Islam hidup dalam era lebih kurang 1400 tahun dari kelahiran agamanya yang dibawa oleh Nabi Muahammad saw. Dengan berbekal ajaran yang disampaikan Nabi tersebut, umat Islam dituntut dan ditantang untuk dapat hidup dengan sejahtera secara spiritual maupun material. Karena itulah,maka berbagai ajaran Nabi harus diberdayakan dan dioptimalkan bagi kemajuan dan kesejahteraan umat Islam. Berbagai pembaharuan (reaktualisasi) harus dilakukan dalam batas-batas yang memungkinkan. Kejayaan Islam masa lalu tidak terlepas dari pemberdayaan ajaran agama yang ada pada ketika itu. Di antara ajaran tersebut adalah syariat terkait wakaf. Dalam sejarah perjalanan umat Islam, wakaf telah memainkan peran yang sangat penting bagi kemajuan umat Islam. Maka, saat ini, wakaf harus mendapatkan perhatian yang serius untuk dapat diberdayakan dengan mengadopsi berbagai cara dan pengelolaan yang modern. Islam itu bukan hanya sekedar agama dalam arti ritual sempit, namun Islam merupakan sebuah dien atau cara hidup yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan. Karenanya, dan ini sudah dibuktikan dalam kehidupan umat Islam masa lalu, Islam telah membekali umatnya dengan berbagai aspek ajaran yang didisain untuk kesejahteraan umat. Muamalah adalah fiqih yang terkait dengan kehidupan bermasyarakat, dalam hal ini termasuk aktivitas ekonomi, politik dan aktivitas sosial lainnya. Wakaf adalah bagian dari fiqih muamalah ini. Terkait dengan pemberdayaan kehidupan ekonomi umat ada ZIS (zakat, infaq dan shadaqah) serta wakaf. Yang menarik adalah bahwa ada nama tersendiri yang bernama wakaf, jelas hal ini menunjukkan bahwa wakaf adalah masalah yang penting. Islam memiliki konsep yang unik terkait dengan kepemilikan harta. Harta bukanlah suatu hal yang dapat secara mutlak menjadi properti seseorang dengan segala kebebasannya untuk mengelola dan menikmati harta tersebut. Hal ini sangat nyata dapat dilihat dari adanya pranata wakaf dan zakat dalam ajaran Islam. Keduanya menunjukkan bahwa aset harta akan sangat baik jika dapat diwakafkan dan harus sebagian disihkan dalam bentuk pembayaran zakat. Artinya ada kewajiban lain atas harta yang dimiliki seseorang. Itulah yang disebut juga dengan Pemilikan harta dalam Islam itu disertai dengan tanggung jawab moral. Yang hal itu memiliki konotasi bahwa segala sesuatu (harta benda) yang dimiliki oleh 20 seseorang atau lembaga, secara moral harus diyakini secara teologis bahwa sebagian harta tersebut manjadi hak pihak lain, yaitu orang yang karena berbagai kondisi yang ada berada pada status sangat memerlukan, atau sesuatu yang menjadi keperluan umum masyarakat.(Departemen Agama, 2005). Di sinilah urgensi pewakafan tanah mengemuka, ialah sebagai sebuah solusi bagi masyarakat muslim untuk dapat mengupayakan terwujudnya pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat dan kebutuhan dalam hal-hal terkait kegiatan keagamaan. Sehingga, wakaf meniscayakan adanya solusi keumatan yang belum tentu dijumpai konsep serupa dalam masyarakat lain. 1. Pengertian Wakaf Wakaf berasal dari bahasa Arab waqf yang kemudian telah diserap dalam bahasa Indonesia menjadi wakaf. Kata ini berasal dari kata kerja bahasa arab ϭϗϔΎ - ϳϘϒ - ϭϗϒ berarti ³EHUGLUL EHUKHQWL´ (A.W. Munawir, 1994; Mahmud Yunus, 1973). Kata wakaf sering disebut juga dengan habs. (Muhammad Fadlullah dan B.T.H Brendgeest,1925; Sayyid Sabiq, 1975). Dengan demikian, kata wakaf itu dapat berarti berhenti, menghentikan dan dapat pula berarti menahan. Pengertian menahan dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud wakaf dalam bahasa ini. Menurut terminologi syariat Islam, wakaf berarti, ³ menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran V\DUL¶DW Islam´ (Harun Nasution, 1992 dan Muhammad Daud Ali, 1988). Yang penting untuk ditegaskan adalah bawa benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi ia menjadi hak milik Allah (hak umum). Sehingga dengan adanya ikrar wakaf, maka terlepaslah sudah hubungan hukum kepemilikan benda tersebut dari pemilik awalnya. Meski demikian terdapat berbagai pendapat tentang wakaf. Berikut ini berbagai pendapat lain mengenai pengertian wakaf: Pertama, =DLQXGLQ ELQ $EGXO $]L] PHQGHILQLVNDQ ZDNDI VHEDJDL ³Menahan harta yang bisa dimanfaatkan dalam keadaan barang masih tetap, dengan cara memutuskan penggunaannya (pentasarufan) pada pemilikQ\DXQWXNGLEHODQMDNDQEDJLNHSHUOXDQ\DQJPXEDKDWDXWHUDUDK´ (Zaenudin bin Abd. Aziz Al-Maribari, tt). Hal yang cukup menonjol di sini adalah bahwa wakaf digunakan untuk keperluan yang mubah atau terarah. Hal ini menunjukkan bahwa keperluan wakaf bukan semata-mata tempat-tempat yang sangat dekat kaitannya dengan ibadah mahdhah. Kedua, Ahmad Azhar Basyir (1778), memberikan definisi wakaf dengan sangat singkat dan general, bawha wakaf adalah yaitu menahan harta benda untuk keperluan amal kebaikan. Dari penertian 21 yang singkat ini hanya menegaskan bahwa alokasi pemanfaatan wakaf adalah kepentingan amal kebaikan. Ketiga, menurut jumhur ulama, wakaf ialah suatu harta yang mungkin dimanfaatkan selama barangnya utuh. Dengan putusnya hak penggunaan dari wakif, untuk kebajikan yang semata-mata demi beribadah kepada Allah (Abdurrahman, 1994). Harta wakaf atau hasilnya, dibelanjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan diwakafkannya harta itu, maka harta keluar dari pemilikan wakif, dan kemudian harta wakaf tersebut secara hukum menjadi milik Allah. Karena itulah wakif, terhalang untuk memanfaatkan dan wajib mendermakan hasilnya sesuai tujuan. Keempat, rumusan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam memaknai wakaf sebagai ³SHUEXDWDQKXNXPVHVHRUDQJDWDX kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya, guna kepentingan ibadat atau keperluan XPXPODLQQ\DVHVXDLGHQJDQDMDUDQ,VODP´SDVDOD\DW>@ Tim Redaksi Fokusmedia, 2005). Kelima, pengertian diberikan oleh undang-undang, Republik Indonesia No 41 tahun 2004 WHQWDQJZDNDI'DODPXQGDQJPHQGHILQLVLNDQZDNDIVHEDJDLEHULNXW³:DNDIDGDODKSHUEXDWDQKXNXP wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya guna NHSHUOXDQLEDGDKGDQDWDXNHVHMDKWHUDDQXPXPPHQXUXWV\DUL¶DK´8QGDQJ-Undang RI No 41 tahun 2004 Tentang Wakaf). Berbagai pengertian di atas menunjukkan bahwa orang saling berbeda dalam memberikan penjelasan tentang apa maksud dari wakaf tersebut. Namun dari kesemua pengertian di tas ada sebuah prinsip yang paling mendasar dari konsep wakaf. Jika dianalisis, maka dapat ditarik kesimpulan umum bahwa wakaf harus terdiri dari aspek-aspek sebagai brikut: a) Harta benda itu merupakan milik yang sempurna seseorang atau badan hukum yang akan mewakafkan. b) Harta benda merupakan barang bersifat kekal dan tidak habis karena pemakaian. c) Terjadi pelepasan hak kepemilikan dari orang yang mewakafkan d) Harta benda yang dilepaskan kepemilikannya tersebut, menjadi milik Allah dalam arti tidak dapat lagi dimanfaatkan, dihibahkan, diwariskan atau diperjualbelikan oleh pemilik awal atau perorangan dan pihak lain selain nadzir atau orang dan lembaga yang diberikan hak menerima dan mengelola wakaf. e) Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, termasuk hal yang sifatnya mubah. 22 2. Dasar Hukum Wakaf a. Al-Qur'an Dalil atau landasan hukum yang menjadi dasar disyariatkan ibadah wakaf bersumber dari penafsiran terhadap teks Al-quran dan As-sunah. Jika dicermati, dalam al-qur'an tidak secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf, bahkan tidak didapati ayat qur'an yang meQ\LQJJXQJ NDWD ZDTI´ (Achmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, 2005). Meski demikian, karena wakaf itu merupakan salah satu bentuk perbuatan kebaikan dengan melalui harta benda, dasarnya adalah adanya ayat-ayat yang memerintahkan manusia berbuat baik untuk kebaikan masyarakat, yang dapat dijadikan sebagai landasan atau dasar wakaf, antara lain : 1). QS. Al-Baqarah, 2: 267 Artinya : ³Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk- buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuiah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji´ Ayat ini memberikan anjuran kepada umat Islam untuk mecari dari berbagai macam benda atau harta yang baik yang dihasilkan di muka bumi ini, untuk diberikan bagi kepentingan berbagai macam kegiatan fi sabilillah, atau untuk kepentingan agama dan kebaikan. Karena kepentingan di jalan Allah ini sifatnya umum atau general, maka dapat dimaklumi jika dalam unsur-unsur wakaf sebagaimana disebut di atas adalah bahwa harta wakaf dapat dimanfaatkan dalam hal-hal yang sifatnya mubah, ialah apa saja, yang meskipun tidak secara eksplisit dijelaskan dalam dalil al-4XU¶DQ maupun sunnah, namun tidak dilarang dalam keduanya. Lain dari pada itu, meskipun dalam ayat di atas Allah memerintahkan pada manusia, agar memberi nafkah kepada yang butuh, tidak berarti karena Allah tidak mampu memberi secara langsung, tetapi perintah ini adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia itu sendiri. (M. Quraish Shihab, 2004). -DGLNDWD³DQILTXX´PHPSXQ\DLDUWLPHQDINDKNDQDWDXPHQ\HGHNDKNDQZDNDI\DQJEDLN-baik untuk diberikan kepada orang-orang ataupun badan hukum yang membutuhkan guna dipergunakan bagi kepentingan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 23 2). QS. Ali Imran, 3: 92. $UWLQ\D ³Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan sesungguhnya Allah PHQJHWDKXLQ\D´ Di antara kesimpulan hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah bahwa puncak kebaikan dapat diraih dengan cara memberikan atau mempersembahkan suatu barang atau kekayaan yang dicintainya untuk kepentingan di jalan Allah, dan wakaf adalah salah satu bentuk kebaikan dimaksud. Namun harus dicatat, bahwa keikhlasan harus menjadi prinsip utama, karena banyak orang yang melakukan infaq dengan sesuatu yang dicintainya, tetapi dilakukan dengan dasar sikap riya atau mencari perhatian manusia. Karenanya dalam wakaf, kepemilikan orang yang mewakafkan akan dilepaskan dan diserahkan secara tulus kepada pengelola wakaf. Lain dari pada itu, ayat ini juga menegaskan kepada kita bahwa di antara indikasi dan parameter keimanan ialah mengeluarkan harta yang dicintai dijalan Allah dengan ikhlas serta niat yang baik. Tidak dapat seseorang menjadi mukmin yang sempurna kalau tidak mau menyedekahkan KDUWD\DQJGLFLQWDL$\DWGLDWDVVHULQJGLJXQDNDQIXTDKD¶XQWXNUXMXNDQZDNDI0 Hasbi Ash-Shiddieqy, 1965) b. As- Sunnah Di antara berbagai dasar hukum wakaf yang berupa sunnah Nabi adalah sebagai berikut: Pertama, yaitu perintah Nabi kepada Umar bin Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar, yaitu (Imam Muslim bin al-Hajj al-qusairy, tt; Ibnu Hajar Asqalany, 1993): $UWLQ\D ´'DUL ,EQX 8PDU UD EHUNDWD ³8PDU WHODK PHQJXDVDL WDQDK GL .KDLEDU NHPXGLDQ LD datang kepada Nabi SAW. Guna mHPLQWD LQWUXNVL VHKXEXQJDQ GHQJDQ WDQDK WHUVHEXW´ ,D berkata: "Ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau perintahkan kepada-ku GHQJDQQ\D"´%HOLDX EHUVDEGD -LND NDPX PHQginginkannya, tahanlah asalnya, dan VKDGDTDKNDQKDVLOQ\D´0DNDEHUVKDTDKODK8PDUWDQDKWHUVHEXWWLGDNELVDGLMXDOGLKLEDKNDQ dan diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada orang- orang fakir, budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan GDUL KDVLO WDQDK WHUVHEXW GHQJDQ FDUD \DQJ PD¶UXI GDQ PHPDNDQQ\D WDQSD PDNVXG PHPSHUND\DGLUL´ Kedua, hadits yang artinya : ³$SDELOD PDQXVLD PDWL PDND SXWXVODK VHPXD DPDO GDULQ\D kecuali dari tiga hal yaitu shadakah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh yang PHQGRDNDQ\D´ (H.R. Muslim). ( Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairy, tt) 24 Dengan menganalisis dalil di atas adalah sutu halyang jelas bahwa di antara makna penting dari shadaqah jariyah adalah wakaf. Karena pahala wakaf akan terus menerus mengalir selama barang wakaf itu masih dimanfaatkan. Sebagaimana keutamaan shadaqah jariyah ialah manfaat dan pengaruhnya yang tetap berjalan setelah pemberi sedekah meninggal dunia. (Yusuf Qardhawi, 1996) +DGLWV GL DWDV PHQMDGL DUJXPHQ \DQJ VDQJDW NXDW \DQJ PHQGDVDUL GLV\DUL¶DWNDQ\D ZDNDI sebagai tindakan hukum, dengan mendermakan sebagian harta kekayaan untuk kepentingan umum, baik kepentingan keagamaan ataupun kepentingan sosial dengan maksud memperoleh pahala dari Allah SWT. Memang jika dicermati, tidak banyak ayat-ayat al-4XU¶DQGDQ+DGLWV1DEL\DQJPHQ\LQJJXQJ tentang wakaf. Wajar jika memang sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Meskipun demikian, ayat al-4XU¶DQGDQ+DGLWV\DQJVHGLNLWLWXPDPSXPHQMDGL SHGRPDQSDUDDKOLILTK,VODP'LVDPSLQJLWXVHMDNPDVD.KXODID¶XU5DV\LGLQVDPSDLVHNDUDQJGDODP membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf melalui metode ijtihad. Sebab itu, sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad yang bermacam-macam seperti, qiyas, maslahah mursalah, istihsan dan berbagi metode ijtihad yang memungkinkan. Maka, ketika suatu ketentuan hukum atau ajaran Islam masuk dalam ranah masalah ijtihadi, maka hal tersebut sifatnya menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis dan tidak menutup kemungkinan bersifat futuristik (dapat dikembangkan dan berorientasi pada masa depan). Atas dasar seperti inilah, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk dari bagian muamalah, ialah aspek yang berkaitan dengan hubungan antar manusia dan kehidupan sehari-hari, maka ajaran tentang wakaf ini yang memiliki jangkauan yang sanga luas. (Depag RI, 2004). 3. Macam-Macam Wakaf Ditinjau dari segi tujuan atau peruntukan wakaf, pada dasarnya dibagi menjadi dua bentuk, yaitu : Pertama, wakaf ahli atau wakaf khusus adalah wakaf yang diperuntukkan bagi untuk orangorang tertentu, seorang atau lebih, baik itu keluarga wakif maupun orang lain (Mundzir Qahf, 2005). Wakaf ahli ini kerap dan banyak juga terjadi dikalangan masyarakat. Bentuk wakaf ini, di dalam prakteknya mirip dengan lembaga Adat yang berbentuk pusaka. Hanya bedanya, kalau wakaf ahli pemberiannya itu tidak harus ditujukan hanya untuk keluarga pewakaf atau keturunan, melainkan dapat 25 diberikan kepada siapa saja sesuai dengan keinginan pewakaf, baik kepada orang- orang yang masih terkait hubungan kekeluargaan dengan pewakaf ataupun tidak. ( Taufik Hammami, 2003). Dalam satu segi, wakaf ahli ini baik, karena pewakaf mendapatkan dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakaf dan juga kebaikan dari hubungan persaudaraan terhadap keluarga yang diberikan wakaf. (Depag RI, 2004). Dari sisi hukum, wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. (Hendi Suhendi, 2002). Akan tetapi pada sisi lain wakaf ahli ini sering memunculkan masalah. Seperti halnya bagaimana kalau anak cucu yang ditunjuk sudah tidak ada lagi, siapa yang berhak mengambil manfaat benda wakaf tersebut, atau sebaliknya, bagaimana jika anak cucu pwakaf yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara penyaluran yang merata dari pembagian hasil harta wakaf tersebut. Namun sebaliknya, jika dilihat dari sisi lainnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. (Muhammmad Daud Ali, 1988). Yang kedua ialah wakaf khairi atau wakaf umum adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum, atau sering disebut juga dengan istilah wakaf sosial. Wakaf jenis ini jelas sifatnya institusional, ialah sebagai lembaga keagamaan dan lembaga sosial, atau dalam pengertian lain dapat juga disebut sebagai badan hukum. Hal ini dapat dalam bentuk masjid, madrasah, pesantren, asrama, rumah sakit dan rumah yatim piatu. (Muhammmad Daud Ali, 1988). Wakaf khairi atau wakaf sosial inilah yang nampak lebih sesuai dengan ajaran Islam dan yang dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang yang bersangkutan meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia selama wakaf itu masih dapat dimanfaatkan. Dalam penggunaannya wakaf khairi jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan wakaf ahli. Hal ini disebabkan karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang mengambil manfaatnya. Dalam jenis wakaf ini wakif atau pewakaf dapat mengambil manfaatnya dari harta yang diwakafkan itu, seperti halnya masjid maka wakif boleh mempergunakannya (mengambil manfaatnya). Departemen Agama RI, 2004). Dilihat dari substansi, wakaf inilah yang lebih merupakan salah satu cara untuk membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Dan harta benda yang diwakafkannya pun benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan agama ataupun kepentingan umum. 26 Wakaf khairi ini nampak lebih sesuai dengan tujuan ibadah wakaf itu sendiri, yakni untuk kemaslahatan umat, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan dan sasaran soial kemasyarakatan lainya. Jika dilihat lebih jauh, wakaf ini sangat lebih kecil kemungkinanya untuk disalahgunakan, karena yang memilikinya bukan perseorangan. Dengan demikian, harta wakaf tersebut benar-benar terasa pemanfaatanya untuk kepentingan umum, tidak hanya untuk keluarga atau kerabat atau pihak-pihak tertentu yang terbatas. Sedangkan jika ditinjau dari segi jangka waktu atau keberlanjutannya, wakaf ini dibagi dua (2), yaitu : wakaf abadi dan wakaf sementara. Wakaf abadi ialah wakaf yang diikrarkan untuk jangka waktu tidak terbatas dan tetap berlanjut sepanjang zaman. Wakaf model ini dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang, tidak habis dalam sekali pakai, hal ini dikarenakan wakaf itu lebih mementingkan manfaat dari benda tersebut. Jika diamati lebih seksama, maka wakaf yang sebenarnya dalam Islam adalah wakaf abadi, yang pahalanya berlipat ganda dan terus berjalan selama wakaf itu masih ada. Pahala wakaf ini mengalir untuk pewakaf selama wakafnya terus berlangsung. Wakaf ini adalah yang biasa disebut sebagai shadaqah jariyah yang paling sempurna bentuknya. Pemanfaatan wakaf yang kekal seperi iti biasanya sangat mungkin untuk wakaf yang berupa tanah. Tetapi untuk harta wakaf yang berupa bangunan atau berbagai bentuk fasilitas lainnya, tetap memerlukan pembaruan dan perbaikan untuk menjaga keberlangsungapemanftannya. Hal itu dapat dilakukan dengan perawatan dan rehabilitasi yang berkelanjutan atau mengganti benda baru atas kebijakan Nazhir wakaf yang bendanya mengalami kerusakan karena sering digunakan. Namun, jika untuk pemanfaatan wakaf tidak mempunyai sumber dana untuk pembiayaan perawatan dan rehabilitasi, maka semua wakaf selain wakaf tanah hasilnya sementara, karena semua wakaf selain tanah akan rusak dan punah yang menjadikan pemanfaatannya terhenti. Wakaf sementara ialah wakaf yang sifatnya terbatas waktunya dan tidak abadi, baik dikarenakan oleh bentuk barangnya maupun keinginan wakif sendiri. (Mundzir Qahf, 2005). Dari segi penggunaan harta yang diwakafkan, wakaf bisa dibagi menjadi: mubasyir/dzati (harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit) dan istitsmary (harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dLEROHKNDQ V\DUD¶ GDODP EHQWXN DSDSXQ NHPXGLDQ KDVLOQ\D diwakafkan sesuai keinginan waqif). (Mundzir Qahf, 2005). 27 4. Berbagai Pendapat Terkait Wakaf :DNDI DGDODK SUDQDWD DWDX OHPEDJD GDODP V\DUL¶DW ,VODP \DQJ PHPEHULNDQ VWDWXV KXNXP tersendiri pada harta kekayaan tertentu, yang dipindahkan dari harta kekayaan seseorang dengan WXMXDQ XQWXN PHODNVDQDNDQ V\DUL¶DW ,VODP WHUXWDPD GDODP ELGDQJ SHULEDGDWDQ GDQ ELGDQJ VRVLDO keagamaan. Pada asalnya, hukum wakaf adalah MD¶L] (boleh). Tidak ada perselisihan dan tidak ada khilaf SXODEDKZDZDNDIGLDQMXUNDQROHKV\DUL¶DW,VODPGDQPHPSXQ\DLHIHNKXNXPNHDJDPDDQ\DLWXRUDQJ yang berwakaf akan mendapat pahala yang terus menerus mengalir pahalanya meskipun orang tersebut telah meninggal, selama harta yang diwakafkan masih dapat diambil manfaatnya sebagai wakaf. Meski demikian, dalam pelaksanaan wakaf sering dijumpai berbagai pendapat Imam mazhab yang dapat penulis uraikan sebagai berikut : a. Imam Malik Menurut Imam Malik, memiliki pendapat bahwa harta yang diwakafkan tetap menjadi milik orang yang mewakafkan, artinya harta wakaf itu tidak keluar dari wakif, meski demikian, harta itu bersifat terhenti (mauquf) dan tidak lepas dari wakif. Harta yang diwakafkan itu tidak boleh ditasarufkan atau ditransaksikan oleh wakif (pewakaf). Wakif dilarang menjual, menghibahkan dan mewakafkan harta wakafnya. Wakaf diperbolehkan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan yang dikehendaki oleh wakif. Wakaf dapat untuk jangka waktu selama-lamanya dan boleh untuk, misalnya saja lima tahun, sesuai yang ditentukan oleh wakif. Kalau wakif tidak menentukan waktunya maka hal itu berarti bahwa wakaf berlaku untuk selama- lamanya. Karena menurut Imam Malik bahwa harta wakaf itu tidak keluar dari wakif dan boleh untuk waktu tertentu saja, maka apabila waktu yang ditentukan oleh wakif sudah habis, orang yang mewakafkan boleh mengambil kembali hartanya. ( Muhammad Abu Zahrah, 19710. Adapun alasan yang menjadi dasar bagi pendapatnya ialah pengertian yang dapat ditarik dari hadits Umar bin Khattab bahwa yang disedekahkan dalam wakaf itu hanyalah manfaat dari harta wakaf itu, sedangkan asalnya yang ditahan. Adapun yang dimaksud dengan menahan asalnya ialah menahan benda itu dari memindahkan milik yang dilakukan dengan tidak menjualnya, tidak menghibahkan dan tidak mewariskannya. Sedangkan terkait dengan jangka waktu wakaf boleh dalam waktu tertentu, karena tidak ada dalil yang mengharuskan wakaf untuk selamanya. 28 E,PDP6\DIL¶L Sebagaimana halnya pendapat Abu Yusuf GDQ,PDP0DOLN,PDP6\DIL¶LEHUSHQGDSDWEDKZD kepastian adanya wakaf di tunjukkan oleh adanya sighat (pernyataan) dari wakif dan terpenuhinya kesemua rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf. Menurut beliau harta yang di wakafkan bukan lagi milik orang yang mewakafkan (wakif) melainkan milik Allah. ( Al-Kasany al-Hanafy, TT). ,PDP6\DIL¶LEHUSHQGDSDWEDKZDMLNDVHVHRUDQJPHZDNDINDQKDUWDQ\DEHUDUWLPHQDKDQKDUWD untuk selama-lamanya. Karena itu dia tidak membenarkan membatasi waktu wakaf seperti pendapat Imam Malik. Oleh karena itu pula harta wakaf harus harta yang mempunyai manfaat yang lama, bukan yang dapat segera rusak atau bahkan habis seketika setelah dipergunakan. $ODVDQ\DQJGLSHJDQJROHK,PDP6\DIL¶LLDODKKDGLWV\DQJGLULZD\DWNDQGDUL8PDULEQ.KDWWab tentang tanahnya di Khaibar, yaitu sabda Nabi: ³.DODX NDX PDX NDX WDKDQ KDUWD DVDOQ\D GDQ NDX sedekahkan hasilnya, maka Umar pun mensedekahkan dengan tidak menjualnya, tidak memberikannya, dan mewariskannya´'LDQWDUDSHQGDSDW\DQJNKDVDGDODKEDKZDtidak boleh harta wakaf itu di transaksikan lagi, dan mewakafkan itu untuk selama-lamanya, karenanya tidak boleh ditarik NHPEDOL$ODVDQODLQ\DQJGLNHPXNDNDQ6\DIL¶LLDODKEDKZDZDNDIDGDODKWHUPDVXNDNDGWDEDUUX¶, yaitu memindahkan hak milik dari pemilik pertama kepada yang lain tanpa penggantian, pembayaran dan penukaran. c. Ahmad ibn Hanbal Menurut Ahmad ibn Hanbal, apabila seseorang telah jelas mewakafkan, maka yang bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan bertindak atas harta wakafnya, dia tidak dapat mentransaksikannya, dan juga tidak dapat menarik kembali harta yang telah di wakafkan itu. (Muhammad Abu Zahrah, 1971). Benda wakaf itu harus merupakan benda yang dapat dijual walaupun kalau sudah diwakafkan tidak boleh dijual, dan harus mempunyai manfaat yang kekal karena wakaf untuk selama-lamanya. Apabila benda yang di wakafkan itu rusak, boleh dijualnya dan dibelikan lagi untuk pengganti benda itu. Hukum menjual benda wakaf yang rusak adalah karena darurat (dharurah), yaitu karena tidak dapat dipergunakan lagi. Alasan beliau untuk pendapatnya tersebut. Jumhur fuqaha dan tokoh Hanafiah, Abu Yusuf, menyatakan bahwa wakaf adalah menahan harta benda (habs al-ain) sehingga benda itu tidak menjadi milik seseorang melainkan dalam status hukum milik Allah serta mensedekahkan manfaatnya untuk kebaikan di masa kini dan masa mendatang. Golongan Hanabilah mengatakan bahwa wakaf ialah menahan pokok (benda yang di wakafkan itu) dan mensedekahkan hasilnya demi kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah. ( Juhaya S. Praja, 1997). 29 5. Pendayagunaan Tanah Wakaf Dalam Sejarah Islam Institusi atau pranata wakaf memiliki peranan dalam perjalanan sejarah dan peradaban umat Islam. Berbagai lembaga wakaf telah berfungsi sebagai tempat penyebaran ilmu dan budaya, dan memberikan ruang bagi ulama, para ahli fikih dan budayawan untuk mengembangkan keilmuan dan keahliannya. Di antara lembaga-lembaga wakaf yang memiliki fungsi tersebut sebagai berikut: a. Masjid-Masjid Sejak awal Islam, pembangunan masjid merupakan salah satu prioritas yang dilakukan umat Islam. Masjid bukan saja menjadi tempat untuk beribadah, akan tetapi menjadi juga pusat dakwah Islam, tempat penyiaran, pengajaran risalah Islam, bahkan tepat untuk membahas permasalahanpermasalahan politik dan sosial. Harus diakui bahwa sebagian besar masjid didirikan dengan status wakaf. Masjid wakaf yang pertama kali berdiri adalah masjid Quba, yang didirikan oleh Rasulullah SAW saat pertama kali menginjakkan kakinya di Madinah, kemudian Masjid Nabawi yang didirikan tahun pertama Hijriah, kemudian bermunculan masjid-PDVMLGZDNDISDGDPDVD.KXODIƗCDO-5DV\LGƯQ%DQL Umayyah dan Bani al-¶$EEƗV Masjid-masjid yang terkenal yang menjadi kiblat bagi para ulama dan penuntut ilmu seperti masjid Nabawi dan masjid al-Haram di Makkah, masjid Kufah tahun 14 H, masjid Basrah tahun 17 H, PDVMLG8PDZ\GL'DPDVNXVWDKXQ+-DPL¶$PULEQDO-¶$VKGL0HVLUWDKXQ+-ƗPL¶,EQ7KXOnjQ tahun 258H, dan Jami al-Azhar tahun 359 H. Masjid- masjid tersebut selain digunakan untuk beribadah, juga mengadakan aktivitas kajian agama dan bahasa Arab, bahkan juga mengadakan kajian ilmu-ilmu modern ketika itu seperti kedokteran, falak, hisab dan lain sebagainya. Bahkan beberapa universitas yang terkenal hingga sekarang, berasal dari masjid seperti universitas al-Azhar Kairo, Universitas al- Zaitunah Tunis, dan Universitas al-Qurawiyyin Maroko. Ibnu Bathutah menggambarkan akitivitas ilmu yang terjadi di masjid pada masa itu, di mana masjid- masjid mengadakan halaqah-halaqah yang menggajarkan bermacam-macam ilmu pengetahuan. Para ahli hadits membacakan hadits di atas bangku yang tinggi, dan membaca al-4XU¶DQ dengan bacaan yang bagus setiap pagi dan sore. Beberapa kelompok guru mentalqinkan bacaan al4XU¶DQ NHSDGD DQDN-anak kecil, mereka tidak menulis al-4XU¶DQ GL SDSDQ WXOLV NDUHQD WDNXW PHUXVDN citra al-4XU¶DQ3HQJDMDULOPXPHQXOLVPHQJDMDUNDQFDUDPHQXOLVV\DLUVHKLQJJDDQDN-anak setelah belajar membaca, mereka kemudian belajar menulis. Bersamaan dengan peranan masjid sebagai pusat pengajaran dan dakwah Islam, di sekitar masjid berdiri asrama-asrama yang menampung orang-orang miskin ataupun penuntut Ilmu yang 30 EHUDVDOGDULWHPSDW\DQJMDXK\DQJGLNHQDOGHQJDQLVWLODK5XEƗWK.KDQLTDK=DZD\DKGDQ.KDODZ\ (Muhammad ibn AhPDGLEQ6KƗOLKDO-Shalih, 2001). b. al-Katatib (Pusat Baca Tulis) Al-Kuttab atau al-maktab merupakan tempat bagi anak- anak usia dini ataupun pemula yang ingin belajar membaca dan menulis, belajar al-4XU¶DQGDQGDVDU-dasar ilmu-ilmu agama. Pada masa bani Umayyah,al-katatib, diperuntukkan bagi anak-anak khalifah dan keluarga istana serta orang kaya, akan tetapi selanjutnya bermunculan al-katatib yang didirikan oleh para dermawan sebagai wakaf untuk anak-anak yatim, anak-anak miskin. Ibnu Huql mencatat dalam satu kota seperti Sicilia berdiri 300 al-katatib, yang dalam satu al-kuttab menampung ratusan bahkan ribuan siswa. (Mushtafa al-6LED¶L 1420 H). Di Syam, berdiri al-katatib wakaf yang diperuntukkan bagi anak-anak golongan rendah dan anak-anak miskin. Al-NDWƗWƯEWHUVHEXWEHUDGDGLVHNLWDUPDVMLGDO-Umawy di Damaskus. Di Kairo, pada abad ke-6 Hijriah banyak berdiri al-katatib wakaf yan diperuntukkan bagi anak-anak yatim, masyarakat PHVLUPHQDPDNDQOHPEDJDSHQGLGLNDQWHUVHEXWGHQJDQQDPDNXWWƗEVDEƯO0HQXUXWDO-0DTUƯ]\SDGD PDVD0DPƗOƯNSHQJXDVDNHWLNDLWXPHQJHOXDUNDQLQVWUXNVLNHSDGDVHNRODK-sekolah untuk mendirikan al-NDWƗWƯEEDJLDQDN-anak yatim yang tidak mampu. Anak-anak tersebut mendapatkan biaya hidup dan pendidikan yang dibiayai dari hasil wakaf. Demikian pula yang dilakukan penguasa Usmaniyah dengan tetap memperhatikan al-NDWƗWƯE VHKLQJJD DO-NDWƗWƯE WHODK EHUSHUDQ GDODP PHQ\HEDUNDQ GDVDU-dasar agama bagi anak- anak, memberantas buta huruf di dunia Islam. c. Madrasah (Sekolah) Lembaga lain yang bersifat pendidikan berbasis wakaf yang juga memiliki peran dalam kemajuan peradaban umat Islam adalah madrasah. Berbeda dengan lembaga pendidikan sebelumnya yang ciri khasnya berdampingan dengan masjid, maka dalam perkembangannya madrasah terpisah dengan masjid. Madrasah melakukan proses pendidikan dengan cara yang lebih formal, memiliki tingkatan-tingkatan dan batas waktu pendidikan. Proses pendidikan dibiayai dengan dana wakaf sehingga siswa-siswa belajar dengan gratis. Biaya operasional madrasah seperti menggaji guru dan alat-alat pengajaran dibiayai dengan hasil wakaf. Madrasah yang dibiayai dengan harta wakaf yang terkenal dalam sejarah Islam adalah madrasah al-Nizhamiyah di Baghdad yang didirikan oleh Bani Saljuk Turki tahun 459H. Tujuan pendirian madrasah ini menurut Nizham al-Mulk untuk mencetak pemuda-pemuda calon pemimpin bangsa yang memiliki ilmu atas dasar akidah ahlus-sunnah. Kemunculan madrasah al- Nizhamiyah 31 yang didanai dengan dana wakaf diikuti dengan berdirinya madrasah-madrasah yang lain diberbagai negara Islam, seperti madrasah wakaf al-Nuriyah di Suriah, yang didirikan oleh Nuruddin al-Zanki, madrasah wakaf al- Zhahiriyah yang didirikan oleh al-Zhahir Beybers di Kairo tahun 626H, Madrasah al-Shalihiyyah yang merupakan wakaf raja al-Shalih Najm al-Din Ayyub di Mesir tahun 641H, Madrasah al-0DV¶XGL\DK\DQJGLGLULNDQROHK0DV¶XGDO- 6\DIL¶LGL%DJKGDG0DGUDVDKLQLPHQJDMDUNDQILNLKHPSDW madzhab disamping ilmu-ilmu umum dan kedokteran. Lalu ada madrasah al-Shalahiyah di Halb yang didirikan Amir Shalahuddin Yusuf al-Dawadar, madrasah al-Ghiyats atau madrasah al-Malik Manshur di Mekkah, yang didirikan al- Manshur Ghiyats al-Din tahun 813H. Ada juga madrasah- madrasah lain yang dibangun dan dibiayai operasionalnnya dengan dana wakaf, seperti madrasah al-Mustanshiriyah GL%DJKGDGPDGUDVDK6XOWKDQ+DVDQ-DPL¶DO-Azhar di Mesir, al-Zaitunah di Tunis, al-Qurawiyyin di Fes Maroko. (Muhammad ibn Ahmad LEQ6KƗOLKDO-Shalih, 2001) Al--DPL¶DO-Azhar merupakan masjid sekaligus lembaga pendidikan yang didirikan oleh Jauhar al-6KDTLO\SDQJOLPDSDVXNDQ0X¶L]OL'LQLOODKDO-Fathimy) pada tahun 359 H. Nama al-Azhar diambil dari Fatimah al-Zahra. Pada tahun 365+ +DNLP DJXQJ $OL LEQ 1X¶PDQ DO-Qairawany mengadakan halaqah yang merupakan halaqah ilmu pertama yang diadakan di al--DPL¶ DO-Azhar. Selanjutnya al-DPL¶ DO-Azhar mengalami perkembangan dalam penyebaran ilmu pengetahuan agama. (Muhammad Abdullah Anan, 1354 H). Lewat perubahan kekuasaan, al-Jami; al- Azhar tidak hanya mengajarkan ILTLKPD]KDE6\L¶DKDNDQWHWDSLMXJDILNLKPD]KDE,PDP-Imam yang empat. d. Maktabah (Perpustakaan) Lembaga berbasis wakaf lain yang memiliki peran dalam pembentukan intelektual umat Islam adalah maktabah atau perpustakaan. Maktabah memiliki nama lain seperti khizanah al-kutub, bait alhikmah, dar al-ilm, dar al-kutub. Maktabah tersebar hampir diseluruh penjuru dunia Islam sejak abad ke-4. Maktabah menjadi kiblat bagi penuntut ilmu, karena membantu mereka dalam memperoleh ilmu pengetahuan lewat buku-buku dengan gratis. Maktabah yang didanai dengan harta wakaf yang terkenal dalam sejarah Islam diantaranya adalah : Pertama, Dar al-¶,OP GL 0RVXO : Dar al-¶,OP PHUXSDNDQ SHUSXVWDkaan wakaf pertama dalam VHMDUDK,VODP'LGLULNDQROHK$EX4DVLP-D¶IDULEQ0XKDPPDGLEQ+DPGDQDO- Mushily, seorang ahli ILNLKGDULPDG]KDE6\DIL¶LSDGDSHUPXODDQDEDGNH-4 Hijriah. Perpustakaan ini memiliki buku-buku yang sangat banyak dalam bidang ilmu yang bermacam-macam. Hal tersebut dikarenakan Ibnu Hamdan selaku pendiri perpustakan ini memiliki perhatian terhadap ilmu yang bermacam-macam VHSHUWLILNLKV\D¶LUVDVWUDVHMDUDKGDQSHUELQWDQJDQ<DTnjWLEQ$EGXOODKDO-Hamawy, 1938). 32 Kedua, Dar al-Ilm di Baghdad : Dar al-Ilm merupakan perpustakaan umum yang diwakafkan ROHK PHQWHUL 6ƗEnjU LEQ $UGDV\ƯU WDKXQ + 0HQXUXW ,EQX DO--DX]L 0HQWHUL 6DEnjU PHPEHOL UXPDK pada tahun 381H, dan mengangkut semua koleksi buku yang dimilikinya yang berjumlah lebih dari EXNX NH UXPDK WHUVHEXW GDQ PHQMDGLNDQQ\D VHEDJDL SHUSXVWDNDDQ GHQJDQ QDPD 'ƗU DO-Ilm. (Abu al-)DUM$EGXUUDKPDQLEQµ$OL,EQXDO-Jauzy, 1359). Ketiga, Dar al-Hikmah di Kairo 'ƗU DO-Hikmah merupakan perpustakaan yang sangat terkenal dalam sejarah Islam.Didirikan oleh pendiri dinasti Fatimiyah, al-+ƗNLPEL$PULOODKWDKXQ+ Untuk membiayai perpustakaan tersebut, beliau mewakafkan rumah dan Hawanit (toko-toko) yang keuntungannya untuk biaya perpustakaan. Di samping berbagai hal di tas, pemanfaatan wanah wakaf sepanjang sejarah perjalanan umat Islam juga dijumpai sangat menarik. Dalam perjalanan umat Islam berikutnya, wakaf juga menjadi tulang punggung kesejahteraan umat. Dalam masa kejayaan Islam di bawah pemerintahan Umayyah dan Abbasiyyah, peran wakaf sangat Nampak dalam mewujudkan kesejahteraan umat. Wakaf ketika itu,bukan hanya untuk pendidikan, tetai juga didapati bahwa banyak wakaf dijumpai untuk kesejahteraan umum.Misalnya, pada masa kejayaan peradaban Islam, umat Islam dengan jelas menunjukkan bahwa akhlak terhadap binatang mendapat perhatian yang sangat tinggi. Di Damaskus misalnya, terdapat tanah wakaf yang dikhususkan untuk binatang-binatang yang jinak, dilengkapi dengan makanan untuk binatang tersebut. Disebutkan dalam sejarah, bahwa di sini, di tempat yang dinamakan Suqrarodja, dipelihara kucing yang jumlahnya lebih dari 400 ekor, yang kesemuanya gemuk-gemuk dan sehat-sehat. Bahkan ada juga wakaf khusus mengobati binatang, di mana di areal lapangan hijau yang cukup luas di Damaskus yang dikhususkan untuk binatang yang sudah tua dan lemah, agar bisa hidup bebas dengan penuh jaminan makanan sampai meninggal. $VVLED¶L Dalam bidang pendidikan, badan wakaf berperan sangat besar dalam memejukan pendidikan. Dalam masa ketika dunia Barat (Eropa & Amerika) masih belum mengenal kemajuan ilmu pengetahuan, dunia Islam sudah banyak lembaga pendidikan yang dibiayai dengan wakaf. Badan wakaf dapat menyediakan pembiayaan, baik untuk beaseswa maupun gaji para pengajar. Sehingga, dalam masa tersebut, orang belajar sangat didorong dengan support financial yang memadahi. Dalam karyanya yang berjudul The Rise of College, George Makdisi memberikan deskripsi bagaimana sistem gaji sudah diberikan ketika itu. Dalam sistem kependidikan Islam yang berkembang pada abad 10 M (atau bahkan sebelumnya) itu, umat Islam telah memberlakukan berbagai ketetapan honor dan penghargaan bagi para ilmuwan. Ilmuwan tidak melakukan komersialisasi ilmu dan keahlian mereka secara bebas. Mayoritas yang terjadi, negara-lah yang menanggung gaji mereka. Kalau tidak, 33 yayasan (Badan Wakaf/ Charitable Fund) yang memberikannya. Al-Farabi, sorang ilmuwan besar dalam ilmu sosial, selalu menerima gaji dari baitul mal 4 dnar per hari. (Makdisi, 1981). Salm al Khasir, seorang ilmuwan yang mengahbiskan banyak uang peninggalan bapaknya untuk keperluan belajar, mendapatkan hadiah 100.000 dinar dari Harun Al-Rasyid untuk sebuah karya tulis pada masa itu. (Makdisi, 1981). Al-Firdausi, yang selain sebagai sastrawan dikenal juga dengan predikat ³IDWKHURI 3HUVLDQ+LVWRU\´ dijanjikan oleh Raja hadiah sebesar 60.000 keping uang emas untuk sebuah karyanya yang berjudul Shah Namah, meski sebelum onta pembawa muatan itu sampai pada dirinya, dia telah meninggal. (Nakosteen, 1964). Meski begitu, bukan berarti pencari ilmu tidak membayar kepada gurunya. Dalam perkembangan peradaban Islam, dijumpai juga bahwa murid juga membayar. Al-Hasan bin Shaibani sebagai contoh, dinyatakan bahwa dia mewarisi dari kekayaan Bapaknya sebanyak 30.000 dirham, dia gunakan itu untuk mempelajari grammar dan poetry, hadith dan fiqh. (Makdisi, 1981). Namun banyak juga ilmuwan yang enggan menarik beaya dari muridnya, misalnya Ibn Naqur. Karena kesibukan akademisnya, dia tidak bisa bekerja untuk menghidupi dirinya, sehingga As-Sirazy PHQJHOXDUNDQ µOHJDO RSLQLRQ¶ EDKZD DQ-Naqur berhak untuk mendapat gaji. Meski dia tetap tidak menarik beaya yang mencukupi, namun kemudian dia berhak mendapat zakat. (Makdisi, 1981). Di samping itu, ada juga ilmuwan yang tidak digaji oleh siswanya, melainkan justeru mencarikan sumber keuangan dari funding, misalnya Abu al-Husain al-Balki, sebuah fenomema yang lain dari biasanya. Ada juga yang membagi-bagikan penghasilan pribadinya untuk kepentingan para insan akademis, misalnya, Al-Hamdhani, seorang konsultan hukum (jurisconsult) di Isfahan yang pertahunnya bisa mendapat uang 100.000 dirham. (Makdisi, 1981). Praktek semacm ini ternyata justeru sangat mirip dengan apa yang terjadi dalam pendidikan modern, di mana para Professor atau pembimbing justeru membantu mencarikan sumber dana (beaseswa) bagi para muridnya. Ini berarti, praktek pendidikan Islam klasik telah memiliki sebuah nilai yang sangat tinggi, berarti sekitar 1000 tahun mendahului apa yang sekarang menjadi bagian dari sistem pendidikan di negara-negara maju dan modern. Untuk bisa mengetahui bagaimana alokasi pembeayaan aktivitas keilmuan ketika itu, bisa diberikan sebagai gambaran, bahwa pada abad 12 M, sebuah yayasan pendidikan The Syafií Imadiya College of Law, memiliki expenditure sbb: (Makdisi, 1981). seorang Syaikh/ profesor (60 dirham/bulan), penyediaan tikar (300 dirham/bulan), biaya minyak lampu (24 dirham/bulan), gaji pemelihara (100 dirham/bulan), Imam (40 dirham/bulan), sedangkan bagi beasiswa Fellows sebesar 20 dirham/bulan. 34 B. MODEL PEMANFAATAN TANAH WAKAF DI INDONESIA Di Indonesia, ajaran terntang wakaf dan tradisinya telah berkembangan sangat lama atau tua. Banyak warisan tanah wakaf yang dipergunakan untuk berbagai kepentingan. Melihat berbagai fakta tentang perwakafan, maka jika dilihat dari sehi pemanfaatannya, maka bentuk pemanfaatan tanah wakaf dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1). Bidang peribadatan Secara umum, tujuan yang paling banyak dipegang oleh orang yang mewakafkan tanahnya adalah untuk kepentingan tempat peribadatan. Hal ini tentu saja karena adanya pandangan teologis yang meyakini bahwa wakaf terbaik adalah untuk kepentingan peribadatan dengan mengabaikan kontek dan situasinya. Meang hal itu tidak salah karena adanya dalil tekstual yang menyatakan bahwa membangun tempat ibadah di dunia akan diberikan balasan dengan dibangunkan rumah di surga. Namun, dikarenakan mengabaikan konteks dan situasi sehingga kebanyakan wakaf diperuntukkan bagi sarana peribadahan, utamanya adalah masjid. Sehingga akhirnya terlalu banyak masjid didirikan dalam komunitas tertentu, yang bahkan terkadang kurang terrawat dengan baik karena kurangnya pembiayaan. Maka, tidak mengherankan jika fokus tanah wakaf di indonesia banyak diguakan untuk aspek peribadatan, semisal masjid, mushola dan sebagainya. Selama ini tanah wakaf yang digunakan untuk hal tersebut maksimal karena tingkat antusias warga untuk beribadah di samping memang tanah yang digunakan untuk masjid harus tanah wakaf, menurut pendapat para Ulama. 2). Kepentingan umum Meskipun tidak banyak, namun, wakaf untuk kepentingan umum juga terjadi di kalangan masyarakat. Hal ini mencerminkan kesadaran di kalangan masyarakat tentang wakaf yang lebih berorientasi sosial. Misalnya saja yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro, di mana wakaf diperuntukkan bagi pembuatan pasar. Di kala masyarakat para pedagang kecil tidak mendapat tempat di pasar yang didirikan oleh pemerintah untuk berdagang, seorang wakif mewakafkan sebidang tanahnya lebih kurang 1000 meter persegi untuk kepentingan pedagang-pedagang kecil berjualan sebagai pasar. Hal ini terdapat di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur tanah wakaf yang dialokasikan untuk kepentingan umum ini biasanya di gunakan untuk pemakaman, pasar, panti asuhan dll. sejauh ini bila dipedesaan sudah optimal. (Asharinnuha, 2005). 35 3). Bidang pendidikan Tanah wakaf yang difungsikan untuk pendidikan banyak contohnya, di jawa timur pondokpondok pesantren banyak yang menggunakan tanah wakaf, semisal pondok pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, dan juga di tingkat universitas juga ada semisal Universitas Islam Yogyakarta. (Asharinnuha, 2005). Selama ini dapat dikatakan sebagai pemanfaatan yang optimal atas tanah wakaf tersebut. 4). Bidang komersil Meski sangat jarang, namun wakaf untuk kepentingan komersial juga nampak mulai diminati. Pihak swasta mungkin dapat bekerja sama (bagi hasil) dengan pengelola wakaf (nadzir) menurut syarat-syarat yang disepakati bersama. Mungkin pula pihak swasta mengelola sepenuhnya misalnya Stasiun Pompa Bensin Umum Jl. Soekarno-Hatta milik BKM Semarang. yang keuntungannya dapat dipergunakan untuk memakmurkan Masjid Agung Jawa Tengah. Atau orang yang menanamkan modalnya tanpa mengharapkan sesuatu keuntungan, dengan perkataan lain seluruh keuntungannya diberikan kepada pihak pengelola tanah wakaf itu. Kemungkinan lain, pihak swasta dapat menyediakan sejumlah dana dalam bentuk infaq atau shadaqah yang akan digunakan sebagai modal kerja untuk pengembangan tanah wakaf secara ekonomis itu. (Asharinnuha, 2005). Menurut saya penggunaan tanah untuk kepentingan di bidang komersiil sudah optimal. 1. Pemanfaatan Menurut Statistik Tanah wakaf di Indonesis sebenarnya jumlahnya sangat banyak dan dengan luasan yang sangat besar. Menurut statistik dari Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, luas tanah wakaf di Indonesia mencapai 80.824.725 m2. Tanah wakaf ini tersebar di berbagai wilayah di seluruh penjuru Indonesia. Secara rinci, berikut ini statistik perwakafan di Indonesia: 36 Tabel 2 Data Wakaf Umum Per-Propinsi se Indonesia1 No Provinsi 1 ACEH 3.256.211 2 SUMATERA UTARA 1.968.116 3 SUMATERA BARAT 295.081 4 RIAU 229.457 5 JAMBI 862.191 6 SUMATERA SELATAN 524.250 7 BENGKULU 424.479 8 LAMPUNG 9 KEP. BANGKA BELITUNG 626.693 10 KEPULAUAN RIAU 620.791 11 DKI JAKARTA 461.941 12 JAWA BARAT 14.259.818 13 JAWA TENGAH 7.724.825 14 DI YOGYAKARTA 1.848.592 15 JAWA TIMUR 16 BANTEN 17 BALI 1.957.400 18 NUSA TENGGARA BARAT 2.802.974 19 NUSA TENGGARA TIMUR 746.425 20 KALIMANTAN BARAT 384.620 21 KALIMANTAN TENGAH 300.451 22 KALIMANTAN SELATAN 20.134.697 12.171.292 837.917 2.221.960 23 KALIMANTAN TIMUR 824.659 24 SULAWESI UTARA 296.100 25 SULAWESI TENGAH 37.204 26 SULAWESI SELATAN 586.524 27 SULAWESI TENGGARA 276.121 28 GORONTALO 29 SULAWESI BARAT 30 MALUKU 31 MALUKU UTARA 533.331 32 PAPUA 565.454 33 PAPUA BARAT 163.457 Jumlah 1 LUAS (dalam m2) 72.172 2.802.974 6.549 Sudah Sertifikat Belum Sertifikat Sudah AIW Belum AIW 598.128,50 1.263.890,05 1.262.290,05 1.600,00 80.411,07 154.203,75 153.733,75 470 129.634,00 23.431,82 23.431,82 0 80.147,00 150.297,95 143.537,95 6.760,00 628.738,00 239.425,60 159.510,10 79.915,50 127.940,00 401.360,59 396.660,59 4.700,00 0 424.479,00 424.479,00 0 137.190,40 7.507,00 7.127,00 380 491.672,00 135.021,00 94.324,00 40.697,00 294.990,79 349.675,99 349.675,99 0 169.334,54 39.652,81 39.652,81 0 3.391.237,25 2.881.373,46 2.879.272,00 2.101,46 3.205.819,83 869.417,55 783.852,55 85.565,00 1.367.198,25 56.424,50 56.204,50 220 706.117,38 509.494,31 509.494,31 0 42.340,71 438.812,98 333.977,48 104.835,50 1.750.934,89 206.464,61 131.807,61 74.657,00 1.799.914,00 998.688,00 998.688,00 0 373.381,00 373.043,75 356.102,00 16.941,75 135.332,10 215.404,84 168.054,84 47.350,00 28.231,55 5.029,87 5.029,87 0 2.076.171,70 145.579,23 139.171,23 6.408,00 298.490,23 521.425,24 521.101,24 324 0 111.679,46 111.679,46 0 30.086,00 7.118,00 7.118,00 0 169.692,78 407.247,17 401.616,49 5.630,68 189.902,00 86.219,00 86.219,00 0 13.879,87 44.662,00 28.991,00 15.671,00 216.509,00 3.513.626,31 1.108.353,79 2.405.272,52 5.604,00 0 0 0 533.331,00 0 0 0 201.616,83 363.836,75 3.069,00 360.767,75 19.560,00 143.897,00 2.500,00 141.397,00 80.824.725 Diolah dari statistik wakaf pada http://simbi.kemenag.go.id/siwak/ akses, 1 September 2014 37 Dari tabel di atas nampak bahwa sebaran tanah wakaf ada di seluruh propinsi di Indonesia, meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda. Untuk melihat urutan di propinsi mana yang memiliki tanah wakaf yang paling luas, tabel berikut dapat menunjukkan dengan jelas. Tabel 3 Luas Tanah Wakaf Per-Propinsi dengan Urutan Terluas 2 No Provinsi 1 LAMPUNG 2 JAWA BARAT 14.259.818 3 JAWA TIMUR 12.171.292 4 JAWA TENGAH 7.724.825 5 ACEH 3.256.211 6 NUSA TENGGARA BARAT 2.802.974 7 SULAWESI BARAT 2.802.974 8 KALIMANTAN SELATAN 2.221.960 20.134.697 9 SUMATERA UTARA 1.968.116 10 BALI 1.957.400 11 DI YOGYAKARTA 1.848.592 12 JAMBI 862.191 13 BANTEN 837.917 14 KALIMANTAN TIMUR 824.659 15 NUSA TENGGARA TIMUR 746.425 16 KEP. BANGKA BELITUNG 626.693 17 KEPULAUAN RIAU 620.791 18 SULAWESI SELATAN 586.524 19 PAPUA 565.454 20 MALUKU UTARA 533.331 21 SUMATERA SELATAN 524.250 22 DKI JAKARTA 461.941 23 BENGKULU 424.479 24 KALIMANTAN BARAT 384.620 25 KALIMANTAN TENGAH 300.451 26 SULAWESI UTARA 296.100 27 SUMATERA BARAT 295.081 28 SULAWESI TENGGARA 276.121 29 RIAU 229.457 30 PAPUA BARAT 163.457 31 GORONTALO 72.172 32 SULAWESI TENGAH 37.204 33 MALUKU Jumlah 2 DATA LUAS TOTAL 6.549 80.824.725 Diolah dari statistik wakaf pada http://simbi.kemenag.go.id/siwak/ akses, 1 September 2014 38 Dari ragaan di atas, nampak bahwa tanah wakaf yang paling luas terdapat di Propinsi Lampung, ialah seluas 20.134.697 m2, atau setara dengan 201 hekar lebih. Hal ini merupakan aset yang sangat besar bagi umat Islam. Sedangkan yang kedua adalah Jawa Barat dengan luas 14.259.818 m2. Baru kemudian yang ketiga disusul oleh Jawa Timur dengan luasan 12.171.292 m2. Juga Sumatera Barat, sebuah wilayah yang sangat dikenal religius, bahkan memiliki kultur yang sangat dekat dengan Islam, ialah adat bersandi syara dan syara bersandi kitabullah, ternyata juga berada pada urutan-urutan bawah dari keseluruhan propinsi yang ada. Sedangkan tiga propinsi dengan tanah wakaf yang paling kecil adalah Maluku dengan luas 6.549 m2, Kemudian urutan kedua dari bawah adalah Sulawesi Tengah, dengan luas 37.204m2. Baru kemudian urutan ketiga dari bawah ialah Gorontalo dengan luas 72.172 m2. Dengan melihat hal tersebut, ternyata tidak secara otomatis bahwa wilayah yang secara sosiologis memiliki kultur Islam mesti memiliki lahan tanah wakaf yang besar atau luas, misalnya saja Gorontalo, wilayah yang dikenal dengan komunitas Muslim dan kultur Islam yang relatif dominan ternyata pada posisi yang rendah dalam hal luasan tanah wakaf. Sumatera Barat, berdasar data statistik di atas, menempati urutan ke 7 dari bawah. Ini juga suatu hal yang menarik. Sumatera Barat GLNHQDO GHQJDQ SHQ\RNRQJ V\DULDW ,VODP \DQJ VDQJDW LGHQWLN GHQJDQ DVDO PXDVDO DGDJLXP ³DGDW EHUVDQGL V\DUD¶ GDQ V\DUD¶ EHUVDQGL NLEDWXOODK´ .HVLPSXODQ VHPHQWDUD \DQJ GDSDW GLDPELO DGDODK bahwa dominasi Islam secara sosio dan kultural ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan luasnya tanah wakaf. Indikasi yang dapat dibaca adalah bahwa tauhid dan fikih sosial belum menjadi bagian integral dari pemahaman ajaran Islam secara umum. Di luar apa yang terpaparkan di atas, ada fakta yang cukup menarik setelah peneliti mencermati data setiap propinsi yang lebih rinci. Fakta yang dimaksud adalah: 3 1). Di Propinsi Lampung, propinsi dengan tanah wakaf terluas secara nasional, terdapat satu (1) orang yang memberikan wakaf dengan total luas tanah mencapai sekitar 200 hektar. Hal ini tentu menunjukkan adanya kesadaran yang sangat tinggi tentang wakaf. 2). Di Propinsi Jawa Barat, dijumpai fakta bahwa satu (1) orang memiliki 30 persil wakaf. Sekali lagi hal ini juga menunjukkan bahwa kesadaran berwakaf telah menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini memberikan gambaran yang lebih konkrit tentang bagaimana tauhid dan fiqkih sosial telah menjadi suatu pemahaman umum. 3). Di Propinsi Yogyakarta, dalam data statistik yang ada telah menunjukkan sajian informasi yang lebih detail, ialah bahwa dalam tanah wakaf yang ada dikemukakan dengan jelas kepemilikan dari 3 Disimpulkan dari data olahan setiap propinsi dari statistik wakaf pada http://simbi.kemenag.go.id/siwak/ akses, 1 September 2014 39 organisasi massa Islam terbesar, ialah apakah sebidang tanah tersebut milik Muhammadiyah ataukah tanah tersebut dimiliki oleh Nahdhatul Ulama (NU). 4). Khusus untuk data di Propinsi Jawa Timur, terkait dengan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, kepemilikan banyak diatasnamakan KH Ahmad Sahal. Tentu saja hal ini cukup menjadi perhatian, mengingat kekayaan atau aset wakaf yang dimiliki oleh Pondok Gontor tersebut sangat besar. Sehingga penggunaan nama perorangan seperti itu memerlukan kelengkapan administrasi tambahan yang dapat menunjukkan bahwa nama orang yang tercantum dalam akta yang ada tidak berarti secara pribadi, namun kelembagaan. Dari catatan fakta menarik tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa adanya wakaf satu orang dengan luasan yang sangat besar di Propinsi Lampung serta adanya seorang pewakaf yang mewakafkan 30 persil bidang tanah wakaf tersebut menunjukkan bahwa mengapa dua propinsi tersebut menduduki urutan pertama dan kedua dalam hal luasan tanah wakaf, memang kesadaran masyarakat muslim di wilayah tersebut sudah tinggi. Pemanfaatan tanah wakaf merupakan suatu aspek yang sangat penting. Hal ini dikarenakan dengan model-model yang ditempuh atau dipilih bagi pengelolaan dan pemanfaatan tanah wakaf akan sangat tergantung pada tingkat pemahaman keberagamaan. Berikut ini tabel yang merupakan sajian data dari pemanfaatan atau peruntukan tanah wakaf di Indonesia: 40 4 JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEP. BANGKA BELITUNG 5 6 7 8 9 DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR 13 14 15 16 17 18 19 746.425 2.802.974 1.957.400 837.917 12.171.292 1.848.592 7.724.825 14.259.818 461.941 620.791 626.693 20.134.697 424.479 524.250 862.191 229.457 295.081 1.968.116 3.256.211 LUAS 274.837 1.486.111 698.171 488.351 1.447.206 1.377.801 3.488.230 7.327.131 424.568 287.333 52.102 20.074.284 109.632 122.691 277.575 104.543 152.618 952.631 WAKAF MASJID / MSHOLA 537.019 % 0,37 0,53 0,36 0,58 0,12 0,75 0,45 0,51 0,92 0,46 0,08 1,00 0,26 0,23 0,32 0,46 0,52 0,48 0,16 84.372 595.655 532.729 116.554 23.562 7.928 142.897 676.113 0 184.583 368.990 0 104.416 176.349 400.550 25.785 21.416 560.721 315.275 WAKAF MAKAM Diolah dari statistik wakaf pada http://simbi.kemenag.go.id/siwak/ akses, 1 September 2014 JAWA BARAT JAWA TENGAH 12 KEPULAUAN RIAU RIAU 4 DKI JAKARTA SUMATERA BARAT 3 11 SUMATERA UTARA 2 10 ACEH 1 Provinsi % 0,11 0,21 0,27 0,14 0,00 0,00 0,02 0,05 0,00 0,30 0,59 0,00 0,25 0,34 0,46 0,11 0,07 0,28 0,10 0 34.466 38.769 27.361 367.539 99.929 581.181 571.621 90 70.510 141.568 8.935 15.226 15.000 14.396 52.500 4.947 27.168 1.661.259 WAKAF PESANTREN Tabel 4 Proporsi Pemanfaatan Tanah Wakaf Per-Propinsi4 % 0,00 0,01 0,02 0,03 0,03 0,05 0,08 0,04 0,00 0,11 0,23 0,00 0,04 0,03 0,02 0,23 0,02 0,01 0,51 209.856 151.419 88.009 143.471 7.696.004 247.908 1.563.105 1.239.216 18.672 68.283 70.510 6.635 66.401 161.186 98.743 14.622 56.336 149.384 248.037 WAKAF SEKO-LAH % 0,28 0,05 0,04 0,17 0,63 0,13 0,09 0,04 0,11 0,11 0,00 0,16 0,31 0,11 0,06 0,19 0,08 0,08 41 177.360 535.323 599.721 62.181 2.636.837 206.091 2.279.238 4.436.177 17.851 17.232 3.035 51.478 128.804 49.024 70.927 32.007 59.764 278.212 494.621 WAKAF SOSIAL LAIN % 0,24 0,19 0,31 0,07 0,22 0,11 0,30 0,31 0,04 0,03 0,00 0,00 0,30 0,09 0,08 0,14 0,20 0,14 0,15 Jumlah PAPUA PAPUA BARAT SULAWESI BARAT 29 33 GORONTALO 28 32 SULAWESI TENGGARA 27 MALUKU SULAWESI SELATAN 26 MALUKU UTARA SULAWESI TENGAH 25 31 SULAWESI UTARA 24 30 KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR 23 21 22 KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH 20 384.620 80.824.725 163.457 565.454 533.331 6.549 2.802.974 72.172 276.121 586.524 37.204 296.100 824.659 2.221.960 300.451 43.690.952 163.457 325.906 328.925 5.005 1.486.111 47.600 159.926 169.112 12.905 115.575 273.177 546.278 203.565 170.576 54,056 1,00 0,58 0,62 0,76 0,53 0,66 0,58 0,29 0,35 0,39 0,33 0,25 0,68 0,44 5.944.176 0 0 89.654 1.544 595.655 14.626 30.420 279.967 0 116.101 79.379 269.640 21.434 107.860 7,35 0,00 0,00 0,17 0,24 0,21 0,20 0,11 0,48 0,00 0,39 0,10 0,12 0,07 0,28 6.271 4.263.876 0 5.000 0 0 34.466 0 0 44.705 0 3.598 230.493 172.503 34.376 5,28 0,00 0,01 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,08 0,00 0,01 0,28 0,08 0,11 0,02 13.608.726 0 163.613 46.277 0 151.419 8.573 70.331 19.918 4.254 47.703 12.552 650.475 74.863 60.950 16,84 0,00 0,29 0,09 0,00 0,05 0,12 0,25 0,03 0,11 0,16 0,02 0,29 0,25 0,16 42 13.224.772 0 70.934 68.475 0 535.323 1.373 15.444 72.821 20.045 13.123 229.058 39.526 589 22.177 16,36 0,00 0,13 0,13 0,00 0,19 0,02 0,06 0,12 0,54 0,04 0,28 0,02 0,00 0,06 Dari ragaan di atas, nampak bahwa pemanfaatan tanah wakaf di Indonesai di Indoneisa, secara berurutan sebagai berikut: 1) Untuk keperluan tempat ibadah (masjid dan mushalla) dengan total luasan 43.690.952 m2, atau 54,056 % dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia 2) Untuk keperluan prasarana sekolah dengan total 13.608.726 m2, atau 16,84% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia 3) Untuk keperluan wakaf sosial lainnya, dengan total luasan 13.224.772 m2, atau 16,36% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia 4) Untuk keperluan tanah pemakaman dengan total luasan 5.944.176 m2, atau 7,35% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia 5) Untuk keperluan pendididikan pesantren dengan total luasan 4.263.876m2, atau 5,28% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia Adapun untuk tiga propinsi dengan luasan tanah wakaf tertinggi secara nasional, yakni Propinsi Lampung, Jawa Barat dan Jawa Timur, proporsi pemanfaatan tanah wakafnya bervariasi. Propinsi Lampung, yang memiliki tanah wakaf seluas 20.134.697 m2, atau setara dengan 201 hekar lebih, pemanfaatan tanah wakaf untuk prasarana peribadatan seluas 20.074.284, pesantren 8.935, keperluan sosial seluas 6.635, sedangkan untuk tanah makam dan sekolah kosong. Sedangkan yang kedua adalah Jawa Barat dengan luas 14.259.818 m2. Ibadah 7.327.131, makam 676.113, pesantren 571.621, sekolah 1.239.216, lainnya 4.436.177. Baru kemudian yang ketiga disusul oleh Jawa Timur dengan luasan 12.171.292 m2. Untuk prasarana ibadah 1.447.206, untuk makam 23.562, pesantren 367.539, sekolah 7.696.004 dan untuk keperluan sosial lainnya adalah 2.636.837. Jadi jelaslah, bahwa pemanfaatan wakaf di Indonesia sangat didominasi oleh pemanfaatan guna keperluan prasarana ibadah, baru selanjutnya diikuti dengan peruntukan parasana sekolah, wakaf sosial lainnya, pemakaman dan yang terakhir adalah untuk prasarana pondok pesantren. Dari potret pemanfaatan tanah wakaf di atas, nampak bahwa pemanfaatan guna keperluan prasarana ibadah, dalam hal ini masjid dan mushalla jumlahnya sangat dominan. Sedangkan sebaliknya, pemanfaatan untuk keperluan sosial di luar keempat itu semua menduduki urutan terrendah. Memang pemanfaatan yang dominan untuk prasarana ibadah tersebut tidak menjadi masalah jika memang keperluan akan tempat ibadah masih dirasa penting dan proporsional. Tetapi 43 jika pemanfaatan untuk keperluan ibadah tersebut dikarenakan oleh keinginan pewakaf yang orientasinya hanya untuk mengejar atau meraih keutamaan (fadhilah) bagi wakaf untuk kepentingan ibadah dengan tanpa mempedulikan kebutuhan dalam lingkungan setempat, maka pemanafaatannya menjadi tidak optimal. Misalnya jika di lingkungan tersebut telah tersedia tempat ibadah yang lebih dari mencukupi, maka sebaiknya pemanfaatan diorientasikan untuk pemanfaatan yang lebih produktif dan berdaya guna tinggi bagi umat Islam. Memang dalam sajian data di atas, tidak ada item yang cecara khusus menyebutkan produktif atau tidaknya pemanfaatan tanah wakaf di suatu propinsi dan di level nasional. Namun jika melihat bahwa dalam klasifikasi keperluan sosial lainnya masih menjadi bagian yang terkecil, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf yang berorientasi bisnis dan produktif masih rendah. Sekaligus sajian data yang ada tersebut belum mempertimbangkan secara serius penghitungan wakaf yang berorientasi bisnis dan produktif. Yang karenanya, sulit juga untuk memotret dari waktu ke waktu progress atau perkembangan dari pemanfaatan tanah yang berorientasi bisnis dan profit tersebut. Dengan masih belum signifikannya pemanafaatan untuk kepentingan yang berorientasi bisnis dan produktif tersebut, maka menunjukkan bahwa pemahaman ajaran dan teologi perwakafan di Indonesia masih didominasi pola pemahaman lama, di mana wakaf selalu saja untuk tempat ibadah dan jika pun ada kecenderungan lain, maksimalnya baru dalam tataran untuk kepentingan pendidikan, ialah sekolah dan pesantren. Dengan istilah yang lain, tauhid sosial dan fiqih sosial belum mendapatnya perhatian yang memadai di kalangan umat Islam. Sedangkan, jika dilihat melalui pertimbangan kepentingan untuk kemajuan dan kesejahteraan umat Islam Islam, maka tauhid dan fiqh sosial adalah mutlak diperlukan. Karena itu disseminasi dan edukasi terkait tauhid dan fiqih sosial ini masih sangat perlu untuk dikembangkan dan ditingkatkan. Terkait dengan masih belum signifikan nya pemanfaaatan yang berorientasi pada bisnis dan produktif tersebut, menunjukkan bahwa umat Islam masih miskin inovasi bagi pengembangan dan pensejahteraan masyarakat. Di sini nampak kurang adanya pembaharuan dan terobosan yang sebenranya sangat diperlukan bagi umat Islam. Untuk itulah, maka harus dilakukan upaya-upaya sebagai berikut: Pertama, secara teologis, perlunya pencerahan yang simultan bagi masyarakat muslim akan keutamaan tauhid dan fiqih sosial dalam perwakafan. Sehingga, wakaf yang berorientasi untuk kepentingan kemajuan dan kesejahteraan umat akan menjadi suatu prioritas yang dilakukan secara kebersamaan di kalangan umat Islam. Kedua, perbaikan dari segi prosedur dan mekanisme perwakafan. Dalam kepentingan perlunya peningkatan pemanfaatan tanah wakaf yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, 44 ialah wakaf yang yang bertujuan untuk keperluan bisnis dan produktif, perlu diberikan insentif dari segi prosedur dan mekanisme dalam proses wakaf produktif. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempermudah aplikasi proses pewakafan yang kepentingannya untuk produktif atau bisnis, ataupun memberi kemudahan bagi prosen konversi pemanfaatan wakaf. Mengapa insentif dalam proses dan prosedur konversi ini diperlukan?. Hal ini tidak lain adalah karena pemerintah berkepentingan untuk mendorong agar orientasi pemanfaatan tanah wakaf dapat diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan. Dan pemanafaatan yang mengarah pada hal tersebut adalah wakaf yang dilakukan untuk kegiatan bisnis dan orientasi produktif. Selama ini, kesulitan proses konversi masih menjadi kendala yang tdiak mudah untuk dipecahkan. Karena itulah, jika ada insentif dalam hal ini, diharapakan akan menjadikan pertumbuhan wakaf produktif semakin cepat. Ketiga, diperlukannya sinergi dari berbagai lembaga yang terkait dengan pengurusan proses dan prosedur wakaf serta pengelolaannya. Jika selama ini Kementerian Agama merupakan satu-satunya kementerian atau departemen yang mengurusinya, kalaupun Kantor Agraria terlibat itu pun dalam aspek yang sangat minimalis, maka semestinya dalam tahap selan.jutnya, sinergi perlu diperkuat. Kementerian Agama, Kantor Agraria serta Departement Perindakop (Perindustrian Perdagangan dan Koperasi) mestinya juga harus dilibatkan. Hal ini dimaksudkan agar semua pihak yang terkait dapat ikut berpartisipasi secara aktif bagi optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf. 2. Kasus Pemberdayaan Tanah Wakaf Di tengah minimnya optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf secara nasional, perlu dilihat di sini beberapa contoh pemanfaatan tanah wakaf yang optimal bagi kesejahteraan umat yang sudah berjalan di berbagai tempat di Indonesia. Dalam hal ini, peneulis memberikan dua contoh kasus, ialah Pondok Modern Gontor Ponorogo dan Baitul Ashi yang berlokasi di Makkah yang dimiliki oleh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. a). Pondok Modern Darussalam Gontor Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) adalah sebuah pondok pesantren modern yang berpusat di desa Gontor, kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo. Didirikan oleh Trimurtinya (KH. Ahmad Zarkasyi, KH. Ahmad Sahal, dan KH. Zainudin Fananie) pada 1926, kini PMDG suah menginjak usia yang ke-69 tahun. Tak dapat dipungkiri bahwa PMDG mempunyai peran besar dalam dunia pesantren, ini terbukti dengan jumlah pondok alumninya yang mencapai 200 pondok di seluruh Indonesia. 45 Berdasarkan data di Warta Dunia PMDG vol.67, jumlah keseluruhan santri dan guru PMDG mencapai 21.255 orang. JUmlah tersebut terbagi dalam satu Gontor pusat, dan 20 cabangnya, termasuk ISID (Isntitut Studi Islam Darussalam) yang tahun ini diproyeksikan menjadi Universitas Darussalam. Setiap tahunnya kurang lebih 4000 santri mengikuti ujian masuk PMDG. Akan tetapi dengan berbagai pertimbangan seperti keterbatasan tempat, standard kemampuan, dan lain-lain, banyak yang harus ditolak masuk. Salah satu yang menjadi kunci sukses Gontor sehingga bisa bertahan dan berkembang pesat sampai hari ini adalah nilai-nilai yang dipegang teguh oleh para penerusnya, yang diwariskan oleh paraTrimurti. Wakaf menjadi salah satunya. Dengan menjadikan Universitas Al-Azhar, yang merupakan salah satu Universitas tertua di dunia, sebagai contoh karena wakafnya, para trimurti mendeklarasikan pewakafan PMDG.Tujuannya antara lain adalah agar PMDG nantinya tidak akan menjadi objek perebutan kekuasaaan antar keturuna Trimurti. Lalu kemudian dibentuk Badan Wakaf PMDG cyang sekarang diketuai oleh K.H.Kafrawi Ridwan,M.A.. Berikut adalah nama-nama anggota badan wakaf PMDG. Tabel 5 Keangggotaaa Badan Wakaf PMDG5 Nama Anggota Badan Wakaf Drs.K.H. Kafrawi Ridwan,M.A. Dr.K.H.Hidayat Nur Wahid, M.A Drs. K.H.Akrim Mariyat, M.A.Dipl.A.Ed Dr.K.H.Amal Fathullah Zarkasyi,M.A K.H. Abdullah Said Baharmus, Lc. Drs. K.H. Rusydi Bey Fananie Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A. K.H.Hasan Abdullah Sahal K.H. Syamsul Hadi Abdan Prof.Dr.K.H.Dien Syamsuddin, M.A. K.H. M.Masruh Ahmad,M.B.A. K.H. Abdul Aziz Asyhuri, B.A. K.H. Masyhudi Subari,M.A Drs. K.H. M. Dawam Saleh Prof.Dr. K.h. Aflatun Mukhtar Jabatan Ketua Wakil Ketua I Wakil Ketua II Sekretaris I Sekretaris II Bendahara Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Domisili Jakarta Jakarta PM Gontor PM Gontor Jakarta Jakarta PM Gontor PM Gontor PM Gontor Jakarta Malaysia Magelang PM Gontor Lamongan Palembang 5 Dikutip dari Pondok Modern Gontor, Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor, volume 67, 1435 H, hlm. 1 46 Badan Wakaf PMDG mengadakan rapat dua tahun sekali. Rapat ini nantinya yang akan menentukan kebijakan PMDG sampai rapat yang berikutnya. Jumlah seluruh tanah PMDG yang merupakan waqaf berkisar di angka 749 hektar, menurut keterangan Staf Yayasan PMDG, saudara Rifqi Indrawan. 6 Tahah tersebut kemudian dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan PMDG, antara lain; pondok, lahan kelapa sawit, lahan sawah padi, dan lahan hutan jati. Adapun pengelolaan lahan-lahan sawah padi tersebut adalah dengan mempekerjakan mandor-mandor di lahan yang telah ditentukan. Kemudian mandor-mandor tersebut terus dipantau dan diawasi oleh staf Yasasan PMDG. Dan kemudian ketika panen, pihak pondok akan memberi upah kepada mador-mandor tersebut sesuai jumlah yang telah disepakati di awal. Taksiran pendapatan pondok dari lahan tersebut adalah sebagai berikut;di Ngawi, jumlah tanah waqaf adalah 207 hektar, dengan sawah sebesar 22 hektar. Dari sawah di Ngawi tersebut setiap kali panen dapat menghasilkan kurang lebih 900 juta sampai dengan 1 milyar lebih setiap kali panen (laba), dengan 3 kali panen setiap tahunnya. Uang tersebut kemudian disimpan di kantor Admisitrasi di Gontor pusat. Pimpinan pondok dan Badan Wakaf mengontrol kelancaran proses ini dengan laporan rutin. b. Baitu Asyi Baitul Ashi adalah hal yang unik terjadi pada Propinsi Naggroe Aceh Darussalam. Baitul Ashi adalah aset tanah wakaf yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Propinsi NAD, namun uniknya tanah ini berlokasi di Makkah, Saudi Arabia. Dengan pemanfaatan Baitul Ashi ini, setiap jamaah haji yang berasal dari propinsi NAD mendapatkan uang cash dari pengelola Baitul Ashi. Pembagian uang pengganti ini dimulai tahun 2006, saat itu uang yang dibagikan sejumlah 6,5 juta Riyal Saudi, tahun 2009, sebesar Rp 14,54 milyar yang dibagi dan setiap jamaah mendapat Rp 4.000.000,-. 7 Baitul Ashi ini berasal dari tanah wakaf yang disumbangkan oleh seorang tokoh yang berasal dari Aceh dan sudah lama tinggal di Makkah. Tokoh tersebut bernama Habib Bugak Asyi. Wakaf itu GLNXNXKNDQGLKDGDSDQKDNLP0DKNDPDK6\DUL\DK0HNNDKSDGD5DEL¶XO$NKLU+DWDXWDKXQ 1809 M.8 (Hasanudin Yusuf Adan, 2013). Habib Bugak asal Aceh datang ke Mekkah pada tahun 1223 H, dan membeli tanah sekitar Qusyasyiah yang sekarang berada di sekitar Bab Al-Fath. Saat itu masa kerajaan Utsmaniyah. Dan Saudi di bawah pimpinan Raja Malik Suud bin Abdul Aziz melakukan 6 Wawancara dengan Rifqi Indrawan, Ustadz dan pengurus Bidang Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor, 8 Juli 2014 7 Interview dengan Putra, Baitul Mal, Pemerintah NAD, 7 September 2014 8 Interview dengan Putra, Baitul Mal, Pemerintah NAD, 7 September 2014. 47 pengembangan Masjidil Haram, dan mengakibatkan tergusurnya rumah Habib Bugak. Penggusuran itu diberikan ganti rugi yang kemudian dibelikan tanah di dua lokasi lainnya. Di keudua lahan tersebut dibangun hotel bintang lima masing masing dengan kamar sekitar 350 unit dan sekitar 1000 unit. Aset wakaf tersebut terus berkembang dan mengasilkan banyak keuntungan. (Hasanudin Yusuf Adan, 2013). Sebenarnya, tanah tersebut juga bukan milik pribadi Habib Bugak, tetapi milik kolektif para jamaah haji Aceh yang setiap tahunnya yang dikelola oleh beberapa orang Aceh di Makkah yang dipimpin oleh Habib Bugak, yang nama aslinya adalah Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi, atau Sayyid Abdurrahman bin Alwi Peusangan. (Hasanudin Yusuf Adan, 2013). Bahkan, lebih dari itu, sebenarnya wakaf Aceh di Makkah bukan hanya Baitul Asyi saja, namun banyak orang-orang Aceh yang mewakafkan tanah di Makkah. Selain wakaf di Makkah, tradisi wakaf di kalangan rakyat Aceh memang sudah ratusan tahun. Misalnya, dana wakaf untuk pembelian kapal perang Turki beserta biaya prajuritnya di Aceh, dana wakaf untuk biaya diplomasi Abdurrahman al-Zahir ke Singapura, Turki dan Arab, serta, pembelian pesawat Seulawah. (Hasanudin Yusuf Adan, 2013). 48 C. PROBLEMATIKA DALAM PEMBERDAYAAN WAKAF. 1. Masalah Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf. (Aspek Teologis). Wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu paham Syafi`iyyah sebagaimana mereka mengikuti madzhabnya, seperti tentang: ikrarnya, harta yang boleh diwakafkan, dan boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf. a. Ikrar wakaf. Adat kebiasaan masyarakat Islam Indonesia melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, tanpa melalui prosedur administratif, harta wakaf dianggap milik Allah yang tidak akan pernah ada pihak yang berani mengganggu gugat. Walaupun pada akhirnya nanti bisa menimbulkan persengketaan-persengketaan karena tiadanya bukti-bukti yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah diwakafkan. (Direktot Jendral Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji , 2008). b. Harta yang boleh diwakafkan. 1) Harus memiliki nilai guna, yaitu tidak syah hukumnya mewakafkan sesuatu yang bukan benda, seperti : Hak irigasi, hak pakai, hak intelektual, dan lain-lain. 2) Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam sejarahnya dan juga sampai sekarang pada umumnya mewakafkan harta berupa benda yang tidak bergerak, seperti tanah, bangunan masjid, madrasah, pesanatren, rumah sakit, panti asuhan dan lain sebagainya. Dan pandangan ini secara kebetulan telah disepakai oleh semua madzhab empat. garis umum yang dijadikana sandaran golongan syafi`iyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik berupa barang bergerak, barang tak bergerak maupun barang kongsi (milik bersama). c. Boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf. Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat islam Indonesia berpegang pada pandangan konservatif Syafi`i sendiri yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun. Dalam kasus masjid misalnya, Imam Syafi`i menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid wakaf secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. 49 2. Hambatan Di Bidang Regulasi Dalam bidang regulasi, hambatan terdapat pada rumitnya proses sertifikasi wakaf dan konversi wakaf. Proses perwakafan itu sendiri secara singkat dapat dilihat pada flow chart sbb: Flow Chart Prosedur Pewakafan (Diadopsi dari, Agus Triyanta, 2009). Wakif PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) Dilakukan oleh Kepala KUA Jika Wakaf Uang: Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKSͲPWU) Instansi Terkait: diterbitkan bukti pendaftaran harta/ benda wakaf Nadzir: menerima bukti pendaftaran harta/ benda wakaf Nadzir: PENGELOLAAN WAKAF Perubahan Harta / Benda Menteri dan BWI (Badan Wakaf Indonesia) JIKA ADA PERUBAHAN Perubahan Peruntukan BWI (Badan Wakaf Indonesia) Kerumitan aspek yuridis dalam perwakafan yang pertama adalah terkait proses sertifikasi. Tingginya tanah yang belum bersertifikat dikarenakan prosedur terkait permasalahan agraria masih ͷͲ dinilai sebagai hal yang relatif rumit bagi kebanyakan orang. Dengan keharusan melengkapi berbagai persyaratan sebenarnya cukup menyusahkan. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya tanah wakaf yang belum bersertifikat sebagaimana nampak dalam tabel di atas. Kedua, terkait dengan dengan konversi tanah wakaf. Aspek ini sebagaimana nampak dalam aturan dan sebagaimana nampak dalam flow chart di atas, ilah harus mendapatkan izin dari menteri dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Hal ini terntu bukan suatu hal yang sederhana. Bahkan, untuk kepentingan seperti itu memerlukan waktu yang bertahun-tahun, mengingat birokrasi di Indonesia yang masih belum dapat berjalan secara efisien. Karena itulah, maka diperlukan proses yang lebih sederhana. a. Banyaknya Tanah Wakaf Yang Belum Bersertifikat Tanah wakaf yang mempunyai kepastian hukum ialah mempunyai syarat-syarat administrasi yang telah diatur oleh ketentuan PP No. 28/1977 serta peraturan pelaksanaanya, khususnya mempunyai sertifikat tanah. UU No 41 tahun 2004 belum disosialisasikan secara maksimal baik kepada nadzir maupun kepada masyarakat muslim terutama tentang keberadaan wakaf tunai. Selain itu dengan adanya atonomi daerah belum didapati secara maksimal visi kedaerahan yang berorientasi pengentasan kemiskinan melalui cara-cara yang islami, antara lain melalui pemberdayaan wakaf baik yang menyangkut wakaf konvensional, wakaf uang dan bentuk wakaf lainnya. (Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2007). Memang banyak kendala mengapa tanah wakaf di Indonesia sampai saat ini masih banyak yang belum mempunyai sertifikat tanah wakaf karena masih banyaknya tanah wakaf yang belum mempunyai bukti perwakafan, hal itu disebabkan masih banyaknya masyarakat yang mewakafkan tanahnya secara lisan karena factor kepercayaan terhadap Nadzir perorangan atau Nadzir Lembaga. Disamping faktor awal keengganan wakaf ddalam pembuatan sertifikat wakaf, di lingkungan internal birokrasi sendiri, khususnya BPN terdapat beberapa kendala. Kendala utama ialah factor pembiayaan administrasi proses sertifikasi wakaf yang belum memadai dari pihak pemerintah, khususnya Kementerian Agama. b. Nadzir Wakaf Masih Buta Hukum Salah satu hal yang selama ini menjadi hambatan riil dalam pengembangan wakaf produktif di Indonesia adalah keberadaan Nadzir (pengelola) wakaf masih tradisional. (Asrori, 2013). Ketradisionalan Nadzir dipengaruhi, diantaranya : 51 a) Karena masih kuatnya paham mayoritas umat Islam Indonesia (madzhab Syafi`i) yang masih stagnan (beku) terhadap persoalan wakaf. b) Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Nadzir wakaf. c) Lemahnya kemauan para Nadzir, banyak para Nadzir wakaf yang tidak memiliki militansi yang kuat dalam membangun semangat pemberdayaan wakaf untuk kesejahteraan umat. 3. Kebijakan Kelembagaan Berurusan dalam masalah petanahan, sebagaimana yang sudah dipahami secara umum, bukanlah suatu perkara yang sederhana di Indonesia. Ketidakpahaman tentang berbagai aspek hukum di kalangan masyarakat telah menjadikan terbangunnya suatu image bahwaberurusan atau bertansaksi yang melibatkan tanah mesti suatu proses yang tidak sederhana, memakan waktu yang lama dan memerlukan beaya yang tidak sedikit, baik biaya yang memang nyata tertera maupun biaya yang tidak jelas-jelas disebutkan. Hal ini dibuktikkan dengan data yang ada di atas, bahwa bukan saja masalah sertifikat tanah wakaf yang banya belum tersedia, namun Akta Ikrar Wakaf sendiri juga masih banyak yang belum tersedia. Belum lagi di wilayah-wilayah yang terjadi kerusakan data secara masal, misalnya saja di daerah bencana. Banyak tanah wakaf yang kemudian hilang karena belum adanya sertifikat dan kurangnya saksi. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam misalnya, banyak tanah wakaf yang tidak diakui status wakafnya oleh ahli waris, sedangkan saksi sangat minim dan sertifikat tidak tersedia, sehingga akhirnya wakaf tadi diambil alih lagi oleh keluarganya. Pasca terjadinya musibah Tsunami di Aceh, penertiban wakaf menjadi masalah yang belum kunjung selesai. 9 Karena miskinnya dokumen hukum juga, banyak tanah wakaf telah bergeser kepemilikan dan pengelolaannya. Misalnya, kompleks masjid Raya Baiturrahman di Aceh, pada awalnya memiliki area wakaf yang sangat luas. Bahkan kompleks yang hari ini telah menjadi pasar di Banda Aceh dan dikelola Pemda, sebenarnya adalah aset wakaf milik Masjid Raya.10 Lebih dari itu, tanah lapang yang sangat luas, Blang Padang, yang sekarang ini diidentikkan sebagai milik Departemen Pertahanan, sebenarnya juga merupakan aset wakaf dari Masjid Raya Baiturrahman. Hal di atas, adalah salah contoh betapa pengurusan tanah wakaf bukan suatu hal yang sederhana. Juga bahwa keberpihakan berbagai instansi terkait, utamanya adalah Badan Pertanahan (BPN) masih jauh dari optimal. Hal ini sebenarnya dapat ditelusuri musababnya, adalah karena 9 Wawancara dengan Bpk Putra Misbah, Kepala Bidang Perwalian,Baitul Mal Aceh, 8 September 2014 Wawancara dengan Fathurrahmi, Msi, $QJJRWDSHUVDWXDQ4RUL¶GDQ+DILGK0DVMLG%DLWXUUDKPDQ September 2014 10 52 memang penanganan atau pengurusan tanah wakaf bukan sesuatu yang profitable, dalam arti memberikan keuntungan finansial secara langsung. Di samping itu, melihat berbagai ketentuan yang ada di dalam berbagai uraian sebelumnya, prosedur yang ada masih relatif rumit, yang belum tentu dapat dilakukan dengan mudah oleh masyarakat awam yang bermaksud untuk mengurus aspek legalitas atau dokumentasi hukum atas perwakafan ataupun konversi pemanfaatan tanah wakaf. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka perlu dilakukan perbaikan atas kebijakan agraria yang ada untuk kemudian menuju kebijakan agraria yang lebih Ideal. Kebijakan yang lebih ideal tersebut adalah yang memberikan penguatan pada: 1) Pemanfaatan tanah wakaf yang berfungsi bagi kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Hal ini seharusnya menjadi prioritas dalam kebijakan agraria di Indonesia. Dapat dilakukan dengan memberikan berbagai kemudahan akses dan layanan, sehingga karena pengelola wakaf sifatnya adalah nirlaba, maka sudah sewajarnya pengurusannya haruslah mendapatkan banyak kemudahan. Ini tidak dapat disamakan dengan pengurusan legalitas tanah karena jual beli atau bentuk transaksi bisnis lainnya. 2) Memberikan insentif bagi pemanfaatan tanah untuk kepentingan produktif yang mendatangkan profit, yang hasil gunanya dimaksudkan untuk kepentingan sosial. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong sebanyak mungkin aset wakaf diubah dari cost-center menjadi profit-center. Dengan kata lain, tanah wakaf yang sebelumnya dimanfaatkan untuk kepentingan yang memerlukan pendanaan, menjadi pemanfaatan yang justeru menghasilkan keuntungan. Sehingga kesejahteraan umat akan dapat dicapai dengan kebijakan agraria yang semacam itu. 53 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari penelitian Tahap I yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia didominasi untuk keperluan tempat ibadah (masjid dan mushalla) dengan total luasan 43.690.952 m2, atau 54,056 % dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, kemudian untuk keperluan prasarana sekolah dengan total 13.608.726 m2, atau 16,84% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, serta untuk keperluan wakaf sosial lainnya, dengan total luasan 13.224.772 m2, atau 16,36% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, untuk keperluan tanah pemakaman dengan total luasan 5.944.176 m2, atau 7,35% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, dan terakhir untuk keperluan pendididikan pesantren dengan total luasan 4.263.876m2, atau 5,28% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia. 2. Bahwa dalam klasifikasi keperluan sosial lainnya masih menjadi bagian yang terkecil, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf yang berorientasi bisnis dan produktif masih rendah. Sekaligus sajian data yang ada tersebut belum mempertimbangkan secara serius penghitungan wakaf yang berorientasi bisnis dan produktif. Yang karenanya, sulit juga untuk memotret dari waktu ke waktu progress atau perkembangan dari pemanfaatan tanah yang berorientasi bisnis dan profit tersebut. 3. Terkait dengan dengan konversi tanah wakaf. Aspek ini sebagaimana nampak dalam aturan dan sebagaimana nampak dalam flow chart di atas, ilah harus mendapatkan izin dari menteri dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Hal ini terntu bukan suatu hal yang sederhana. Bahkan, untuk kepentingan seperti itu memerlukan waktu yang bertahun-tahun, mengingat birokrasi di Indonesia yang masih belum dapat berjalan secara efisien. 4. Bahwa keberpihakan berbagai instansi terkait, utamanya adalah Badan Pertanahan (BPN) masih jauh dari optimal. Hal ini sebenarnya dapat ditelusuri musababnya, adalah karena memang penanganan atau pengurusan tanah wakaf bukan sesuatu yang profitable, dalam arti memberikan keuntungan finansial secara langsung. Di samping itu, melihat berbagai ketentuan yang ada di dalam berbagai uraian sebelumnya, prosedur yang ada masih relatif rumit, yang belum tentu dapat dilakukan dengan mudah oleh masyarakat awam yang bermaksud untuk 54 mengurus aspek legalitas atau dokumentasi hukum atas perwakafan ataupun konversi pemanfaatan tanah wakaf. B. Saran Atas kesimpulan di atas, dapat diajukan saran-saran sebagai solusi permasalahan yang ada: 1. Dengan masih belum signifikannya pemanafaatan untuk kepentingan yang berorientasi bisnis dan produktif tersebut, maka menunjukkan bahwa pemahaman ajaran dan teologi perwakafan di Indonesia masih didominasi pola pemahaman lama, dengan istilah yang lain, tauhid sosial dan fiqih sosial belum mendapatnya perhatian yang memadai di kalangan umat Islam. Sedangkan, jika dilihat melalui pertimbangan kepentingan untuk kemajuan dan kesejahteraan umat Islam Islam, maka tauhid dan fiqh sosial adalah mutlak diperlukan. Karena itu disseminasi dan edukasi terkait tauhid dan fiqih sosial ini masih sangat perlu untuk dikembangkan dan ditingkatkan. 2. Perlu dilakukan perbaikan atas kebijakan agraria yang ada untuk kemudian menuju kebijakan agraria yang lebih Ideal. Kebijakan yang lebih ideal tersebut adalah yang memberikan penguatan pada: Pemanfaatan tanah wakaf yang berfungsi bagi kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Serta Memberikan insentif bagi pemanfaatan tanah untuk kepentingan produktif yang mendatangkan profit, yang hasil gunanya dimaksudkan untuk kepentingan sosial. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong sebanyak mungkin aset wakaf diubah dari cost-center menjadi profit-center. Dengan kata lain, tanah wakaf yang sebelumnya dimanfaatkan untuk kepentingan yang memerlukan pendanaan, menjadi pemanfaatan yang justeru menghasilkan keuntungan. Sehingga kesejahteraan umat akan dapat dicapai dengan kebijakan agraria yang semacam itu. 55 DAFTAR PUSTAKA A.P Parlindungan,. (1998). Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung. A.W. Munawir, (1994). Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, Yogyakarta , cet ke-14, Abdelfateh Tebani, . (2013). 7KH5ROHRI0RGHUQ:DTI(QGRZPHQW,QVWLWXWLRQVLQWKH$UDEZRUOG¶V development (A case study of the Awqaf Public Foundation in Kuwait). Dalam www.istr.conference-services.net download 15 April 2013. Abdoerraoef. (1986). Al-4XU¶DQGDQ,OPX+XNXP, Bulan Bintang, Jakarta. Abdurrahman, (1994). Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita, Citra Aditya Bakti, Bandung. Abu al-)DUM $EGXUUDKPDQ LEQ µ$OL ,EQX DO-Jauzy, ( 1359 H). al-Muntazham fi 7ƗUƯNK DO-0XOnjN ZD DOUmam, +DLGDUDEG'ƗCLUDKDO-0D¶ƗULIDO-Utsmaniyah, ,8/22. Abu Zahrah dalam Direktot Jendral Bimas Islam dan Penyelenggaraan haji, (2008). Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, terbitan: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Depag RI. Achmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, (2005), Menuju Era Wakaf Produktif, Mitra Abadi Press, Jakarta, cet pertama. Adijani Al-Alabij. (1992). Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Agus Triyanta,. (1998). Diversifikasi Pemanfaatan Tanah Wakaf: Stdu Kasus di Kecamatan Minggir, Sleman, Yogyakarta, Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. -------------------- ³:DNDI3URGXNWLI'DUL0XDPDODK.ODVLN0HQXMX,QRYDVL.RQWHPSRUHU´0DNDODK Disampaikan dalam Workshop Pengelolaan Wakaf Produktif (Pendekatan Pemberdayaan .DXP 0XVWDGK¶DILQ) pada tanggal 2 Agustus 2009 di Aula DPRD Kabupaten Sleman, diselenggarakan oleh Yayasan Ikhtiar Sejahtera, Tempel, Sleman. ------------------- (2012). Hukum Ekonomi Islam: Dari Politik Hukum Ekonomi Islam Sampai Pranata Ekonomi Syariah, Fakultas Hukum UII Press, Yogyakarta Ahmad Azhar Basyir, ( t.th). Garis-Garis Besar Sistem Ekonomi Islam, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta. ----------------------. (1994). Refleksi atas Persoalan Keislaman, Mizan, Bandung. Ahmad Azhar Basyir. (1987). Wakaf, Ijarah, Syirkah, Al-Maarif, Bandung. Al-Kasany al-Hanafy,( t.th.) %DGD¶,DO-shanai, Juz VIII, Mustafa al-Bab al-Halabi wa Auladuh, Mesir. 56 Asharinnuha, (2005). Fungsi Pendayagunaan dan Pemanfaatan Tanah Wakaf Menurut Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1977, tesis, Program Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. Aslan Noor, (2003). Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Azasi Manusia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Bandung. Asrori, (2013). Manfaat dan Hambatan Dalam Penglolaan Wakaf Uang, disampaikan dalam acara pembinaan dan sosialisasi wakaf bagi pengelola wakaf kota Dumai yang dilaksanakan oleh kementerian Agama kota Dumai di hotel comfort Dumai pada tanggal 11 desember. %DTLU0DQDQµ3HQHOLWLDQGL%LGDQJ+XNXP¶GDODPJurnal Hukum Puslitbangkum No. Perdana : 1-1999, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, UNPAD, Bandung. Bimas Islam Kementerian Agama. (2013). Luas Tanah Wakaf di Indonesia. Download dari: http://bimasislam.kemenag.go.id. Pada 15 April 2013 Budi Harsono, (1997). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta. Ciptakarta Perkerjaan Umum. (2012). UU Rusun Beri Peluang Penggunaan Tanah Negara dan Wakaf. Download dari http://ciptakarya.pu.go.id pada 15 April 2013. Claus Krippendorff. (1991). Analisis Isi, Rajawali Pers. Jakarta Depag RI, (2004). Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta. Depag RI, (2007). Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Waqaf Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya, Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam. Departemen Agama RI,(1992). ,Al-Quran Dan Terjemah,PT. Tanjung Mas Inti, Semarang. Departemen Agama, ( 2005). Fiqih Wakaf, Direktorat Pengembangan Zakat Dan Wakaf, Jakarta, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Sistem Informasi Wakaf, pada http://simbi.kemenag.go.id/siwak/ akses, 1 Agustus 2014 Hadi Setia Tunggal, (2005). Undang-Undang RI No 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, Harvarindo, Jakarta. Harun Nasution, et all. (1992). Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta. +DVDQXGLQ<XVXI$GDQ³0HQJHQDO:DNDIGDODP.RQWHNV.H-Aceh-DQ´GDODPPDMDODKEdukasi Zakat Baitul Mal Aceh, edisi I tahun 2013. Hendi Suhendi, (2002). Fiqh Muammalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 57 Imam Muslim bin al-Hajj al-qusairy , (t. th.)Shahih Muslim, Jilid III, Usaha Keluarga, Semarang. hlm. 494. Lihat juga dalam ,Ibnu Hajar Asqalany Al-Hafidh, (1993). Bulughul Maram, Al-0D¶DULI Bandung. Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairy, (t.th). Shahih Muslim, Juz II, Usaha Keluarga, Semarang. Imam Suhadi,. (1990). Wakaf Menurut Hukum Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta. Indonesia Waqf Board, Fenomena Masjid di atas Tanah Bukan Wakaf: Sebuah Kajian dalam www.bwi.or.id, akses 20 April 2013 Juhaya S. Praja, 1997). Perwakafan di Indonesia,Yayasan Piara (Pengembangan Ilmu Agama dan Humaniora), Bandung. Lihat juga dalam Muhammad Daud Ali, (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, UI-Press, Jakarta. Lywa S. Fauzie, (2011). Membuat Tanah Wakaf Menjadi Aset Produktif. Download dari http://lywafauzie.weebly.com pada 15 April 2013. M. Daud Silalahi,. (2001). Metodologi Penelitian Hukum Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi Interdisipliner, Lowencon Copy & Binding Centre. Bandung. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, (1965),. Tafsir Al-4XU¶DQXO 0DMLHG ³$Q-1XU´ Juz 1, Bulan Bintang, Cet. II, Jakarta. M. Quraish Shihab.(2004), Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-4XU¶DQ Juz 1, Lentera Hati, Cet. II, , Jakarta. Muchlis. (2013). Peralihan Penguasaan Yuridis Hak Atas Tanah Wakaf Dalam Perspektif Hukum Tanah Nasional Dan Hukum Islam. Dalam www.badilag.net download, 15 April 2013. Muhammad Abdullah Anan, ( 1345 H). 7ƗUƯNK DO--ƗPL¶ DO-Azhar, Majalah al- 5LVƗODK HGLVL ']XOTR¶GDK Mahmud Yunus, (1973). Kamus Arab-Indonesia,yayasan penyelenggara penterjemah/penafsir Al- 4XU¶DQ5,-DNDUWD. Muhammad Abu Zahrah, (1971). Muhadlarah Fi al-Waqfi, Dar al-Fikr al-Arabiy, Mesir. Muhammad Fadlullah. B.T.H , Brendgeest, (1925) .Kamus Arab-Melayu, Balai Pustaka, Jilid I. 0XKDPPDG LEQ $KPDG LEQ 6KƗOLK DO-Shalih,(2001). al-Waqf fi al-6\DUƯ¶DK ZD $WVUXKX IL 7DQPL\DK DO0XMWDPD¶,Fihrisah Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah, Saudi Arabia. Mundir Qohaf,( t.th) Al-Waqof al-Islami, Dar al-Fikr, cet I, Beirut. Mundzir Qahaf, (2005). Manajemen Wakaf Produktif., Khalifa, Cet-1, Jakarta. 0XUDW&L]DNFD³$ZTDI,Q+LVWRU\$QG,WV,PSOLFDWLRQV)RU0RGHUQ,VODPLF(FRQRPLHV´ Islamic Economic Studies Vol. 6, No. 1, November 1998. Hlm 43-70. Mushtafa al-6LED¶L+0LQ5DZƗC,¶+DGƗUDWLQD'ƗUDO-:DUUƗT 58 Noeng Muhadjir. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. Rakesarasin, Yogyakarta. Nurhasan Ismail. (2006). Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan EkonomiPolitik, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pondok Modern Gontor Ponorogo, (1435 H). Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, volume 67. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Al-0D¶Drif, Bandung 1997. Sindo News. (2013). 21.809 Lokasi Tanah Wakaf Rawan Digugat, edisi 2 Januari 20113. Download dari: http://sports.sindonews.com. 15 April 2013. Sobhi Mahmassani. (1981). Filsafat Hukum dalam Islam, terjemah Ahmad Sudjono, Al-0D¶DULI Bandung. Soerjono Soekanto, dan Mamudji, Sri (1995). Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 6XSDUPDQGDQ6XEKDQ³3UDNWLN,VWLEGDO+DUWD%HQGD:DNDI6WXGL.DVXVGL,QGRQHVLD´GDODPJurnal Al-Waqaf, vol. II. No. 3 Agustus 2009. Hlm. 25-43. Taufik Hammami, 2003). Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional, PT. Tatanusa, , Jakarta. Tim Redaksi Fokusmedia, (2005). Kompilasi Hukum Islam, Fokusmedia, Bandung,cet. ke-1. <DTnjWLEQ$EGXOODKDO-Hamawy, (1938). 0X¶MDPDO-8GDEƗC'ƗUDO- 0DCPnjQ.DLUR Yusuf Qardhawi, (1996). Fiqh Prioritas: Urutan Amal Yang Terpenting Dari Yang Penting, Terjemah, Gema Insani Press, Jakarta. Zaenudin bin Abd. Aziz Al-Maribari, (t.th) Fath al-0X¶LQ, PT. Toha Putra, Semarang. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Pokok Agraria no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang no 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Wawancara Wawancara dengan Rifqi Indrawan, Ustadz dan pengurus Bidang Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor, 8 Juli 2014. :DZDQFDUDGHQJDQ$QJJRWDSHUVDWXDQ4RUL¶GDQ+DILGK0DVMLG%aiturrahman, 7 September 2014. Wawancara dengan Bpk Putra Misbah, Kepala Bidang Perwalian,Baitul Mal Aceh, 8 September 2014 59 60 61 62 63 64 Naskah Penerbitan yang sudah diterima Jurnal Terakreditasi: PROBLEMATIKA PENGELOLAAN TANAH WAKAF; KONSEP KLASIK DAN KETERBATSAN INOVASI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA Agus Triyanta Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia [email protected] dan [email protected] Abstract Waqf land has been practiced by muslim society for no less than forteen centuries. The concept sometimes is equalized with the concept of trust in western legal system. The importance of waqf for the welfare of muslim has been also clearly proven since than. However, the classical perspective of waqf which emphasizes on the very limted utilization, namely for places of prayer and study need for reformulation. The current application of wakf in Indonesia has been very limted in terms of utilization. It is considered that the classical interpretation of waqf much influenced such application in Indonesia. Based on such problem, further reformulation in terms of optimum utilization of waqf land is strongly demanded. Key words: wakaf,tanah, fikih, Indonesia, pemanfaatan PENDAHULUAN Wakaf adalah salah satu pranata yang sangat khas dalam Islam. Meski wakaf merupakan salah satu bentuk derma yang dikontribusikan oleh seorang muslim, namun sangat berbeda dengan konsep derma (philantropi) pada umumnya. Pilantropi atau derma adalah nomenklatur yang sangat umum untuk menyebut adanya sebuah pemberian untuk kepentingan umum. Namun di dalam Hukum Islam, atau lebih khususnya fiqh muamalah, ialah hukum Islam yang mengatur tentang hubungan antara orang, hak, kwajiban serta berbagai transaksi, terdapat berbagai macam model derma atai pilantropi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. 65 Letak kekhasan wakaf, jika dibandingkan dengan derma pada umumnya, adalah bahwa wakaf, jika dilihat dari bentuk obyek yang diserahkan atau diberikan, haruslah berupa aset yang tetap utuh (baik benda bergerak maupun tidak bergerak). Wakaf adalah aset yang tidak habis karena pemakaian. Maka, makanan misalnya, tidak dapat dijadikan obyek wakaf. Untuk menjadi obyek wakaf adalah yang tidak habis karena pemakaian, misalnya tanah, bangunan, pohon, dan sebagainya. Juga dalam pemanfaatannya, wakaf hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Meski demikian, kemudian berkembang konsep wakaf ahli, ialah yang pemanfaatannya untuk keluarga. Namun, intinya secara umum, wakaf dimanfaatkan bagi kepentingan umat secara umum. Konsep wakaf yang semacam itu, dalam dataran implementasinya masih memerlukan banyak pengembangan. Karena, kecenderungan umum yang masih ada dan berlaku di Indonesia khususnya, wakaf masih sangat dimanfaatkan dan dikelola dengan sangat sederhana. Orientasi wakaf masih baru terbatas pada pemanfaatan yang berkaitan dengan ibadah dan belajar atau mengaji. Padahal, untuk menunjang keberlangsungan fungsi aset wakaf itu sendiri, diperlukan pembiayaan yang terkadang menjadikan terlentarnya aset wakaf karena ketiadaan biaya pemeliharaan. Sedangkan di sisi lain, pengembangan model pengelolaan wakaf mestinya dapat disentuh dengan inovasi-inovasi yang lebih dapat memberdayakan secara ekonomis. Untuk itulah penting untuk dibahas berbagai model praktik pemanfaatan tanah wakaf yang ada di Indonesia, kelebihan dan kekurangannya, sehingga pada masa depannya, akan dapat dilakukan berbagai upaya terobosan yang lebih menghasilkan keuntungan yang optimal. RUMUSAN MASALAH 66 Dengan melihat uraian dalam pendahuluan tersebut, maka gambaran dari permasalahan yang dipertanyakan dalam konteks masalah ini semakin jelas. Secra rinci masalah yang dimaksud dapat dirumuskan sebagai berikut: 1). Bagaimanakah konsep klasik tentang tanah wakaf dan pemanfaatan tanah wakaf dalam hukum Islam umunya atau fikih muamalah pada khususnya? 2). Bagaimanakah pemanfaatan tanah wakaf dan kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat di Indonesia saat ini? TUJUAN PENELITIAN Dari rumusan masalah yang tertera di atas, ada beberapa tujuan dari penelitian ini. Secara rinci, tujuannya adalah sebagai berikut: 1). Untuk merumuskan batasan konseptual atas tanah wakaf dan pemanfaatan tanah wakaf dalam hukum Islam umunya atau fikih muamalah pada khususnya. 2). Untuk memformulasikan pola pemanfaatan tanah wakaf dan kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat di Indonesia saat ini, mengidentifikasi kelemahan dan kelebihannya. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengambil lokasi di seluruh Indonesia. Namun studi lapangan yang lebih terfokus akan dilakukan di berbagai lokasi pemanfaatan tanah wakaf yang telah melakukan terobosan bagi optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf. Penelitian ini bermaksud menemukan landasan pemikiran filosofi, konsepsi, dan pemanfaatan perwakafan tanah, problematika hukum bidang agraria terkait dengan tanah wakaf, serta peran negara melalui kebijakan agraria yang diperlukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (Normative Legal Research) (Bagir Manan, 1999), sehingga metode pendekatan 67 yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, menggunakan proses berfikir dan kaidah berfikir (M. Daud Silalahi, 2001). Metode pendekatan yang digunakan adalah hukum normatif yang didukung oleh pendekatan empiris yang menggunakan data primer. Pendekatan sosiologis digunakan untuk menelaah mengenai bentuk pemanfaatan tanah wakaf dalam masyarakat Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan conceptual approach, ialah penelitian dengan maksud untuk membangun suatu konsep dengan mendasarkan pada sistem norma tertentu (Marzuki, 2005). Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, serta bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data primer diperoleh melalui studi lapangan sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur dan berbagai dokumentasi yang berkaitan dengan perwakafan. Bahan hukum primer terdiri dari: konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bahan hukum sekunder terdiri dari : buku teks, jurnal, kasus-kasus di pengadilan, dan kasus-kasus di luar pengadilan, serta pendapat para pakar dan tokoh adat. Bahaan hukum tersier terdiri dari: kamus dan ensiklopedi. (Aslan Noor, 2003). Penelitian dilakukan dalam dua tahap meliputi penelitian perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian perpustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Soerjono Soekanto, 1995), Kajian lapangan (field research) dimaksudkan untuk menggali data empiris tentang perwakafan tanah dan optimalisasi pemanfaatannya, serta problematika hukum agraria yang dihadapi.(Noeng Muhadjir ). Pengumpulan data dilakukan dan disesuaikan dengan permasalahan dan metode pendekatan. Untuk permasalahan pertama, pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun semua dokumen serta melakukan studi lapangan terkait dengan perwakafan dan 68 pemanfaatannya. Permasalahan kedua, pengumpulan data dilakukan melalui identifikasi kasus-kasus yang telah terjadi, di samping itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui pengumpulan dokumen dan kepustakaan yang berkaitan dengan regulasi dan kebijakan di bidang agraria terkait dengan wakaf. Guna memperjelas data dalam permasalahan yang kedua ini diperlukan in-depth interview serta singkronisasi perundang-undangan untuk mengungkap problem yuridis yang dijumpai. Sedangkan permasalahan ketiga, pengumpulan data selain dilakukan dengan mengadopsi dan mengintegrasikan data yang telah tersedia, juga dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dan diskusi publik lainnya. Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data akan diolah dengan metode kualitatif, ialah menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data, mengambil arti yang terkandung di dalamnya. Tahapan yang dilakukan adalah: 1) Reduksi data, di mana data diringkas dan diramu dalam bentuk yang baku dan ilmiah, agar lebih mudah untuk dilakukan analisis tahap selanjutnya. 2) Organisasi data. Di mana data diklasifikasikan (diorganisasikan) dalam kelas-kelas sejenis, dalam genus-genus yang sama. 3) Penarikan interpretasi. Ini dilakukan denga metode interpretasi ataupun cara-cara legal reasoning yang lain, termasuk content analysis menurt Erl Babbie (Nurhasan Islamil, 2006) dan Claus Krippendorff (1991). Interpretasi juga akan membantu untuk bisa menyajikan konsep norma hukum dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan lebih bersifat aplikatif. 4). Pengambilan kesimpulan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Wakaf dalam Teks Fiqh Dalam literatur hukum Islam, wakaf berarti menahan, sedangkan secara terminologis berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah (yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam), serta dimaksudkan 69 untuk mendapatkan keridhaan Allah (Azhar Basyir, 1987). Adapun dasar hukum yang digunakan adalah beberapa ayat al-4XU¶DQ WHUXWDPD 6XUDW $OL ,PUDQ GDQ KDGLWV tentang nasehat Nabi SAW kepada Umar ibn Khaththab berkenaan dengan tanah yang diperoleh Umar dari perang Kahibar. (Imam Suhadi, 1990). Status kepemilikan tanah wakaf adalah terlepas dari kepentingan pribadi. Kepemilikan menjadi hak Allah yang diawasi oleh pengelola (nadzir). (Abdoerraoef, 1970). Pemilik yang telah mewakafkan tanahnya tidak lagi memiliki hak untuk mencampuri urusan peruntukan tanah tersebut selama pengelola tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam ikrar wakaf. Sebaliknya pengelola tanah wakaf juga tidak dapat melakukan pemanfaatan tanah secara bebas, karena pewakaf dapat mengajukan persyaratan tertentu ketika mewakafkan tanah tersebut. (Azhar: 1987). Wakaf ini dimulai sejak masa Nabi, ialah kasus terkait dengan tanah yang dimiliki oleh Umar di Khaibar. Ketika Umar bin Khaththab menanyakan tentang apa yang dapat GLSHUEXDW ROHK 8PDU GHQJDQ WDQDKQ\D WHUVHEXW PDND 1DEL PHPEHULNDQ MDZDEDQ ³-LND HQJNDXVXNDWDKDQODKWDQDKLWXGDQHQJNDXVHGHNDKNDQPDQIDDWQ\D´GDQEHULNDQODKKDVLOQ\D untuk di Jalan Allah. (Sabiq, 1996). Penjelasan Ibnu 8PDU WHUKDGDS KDGLWK WHUVHEXW GL DWDV DGDODK ³ 8PDU UD menyedahkan tanahnya di Khaibar. Tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak pula diwariskan kepada orang-orang faqir, kerabat, hamba, kepentingan umum, amu dan Ibnu Sabil. Orang yang memeliharanya (nazhir) diperbolehkan memakan hasil dari tanah tersebut GHQJDQFDUD\DQJPD¶UXIDWDXGHQJDQFDUD\DQJEDLN\DQJWLGDNEHUOHELKDQ´ Secara umum, dalam al-4XU¶DQ MXJD GLVHEXWNDQ DQMXUDQ XQWXN PHPEHULNDQ KDUWDGL jalan Allah, yaitu QS 3: 92 sebagai berikut: ³2j¯ WÆ°O¯D¯VÙÄÔ³[C°%SÁ°Ý=É"W%XT |ESz°VÊ%-°%SÁ°Ý=É"³/\OnªÙSÅR<V"CV 70 ³.DPX VHNDOL-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan 0DND6HVXQJJXKQ\D$OODKPHQJHWDKXLQ\D´ Turunnya ayat tersebut telah mendorong seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Thalhah untuk menyedekahkan (mewakafkan) tanah yang bernama Bairaha, harta yang paling dia cintai. (Sabiq, 1996). Hadith terkait dengan Umar bin Khaththab di atas juga telah memberikan batu pijakan bagi syariat wakaf. Maka sejak itu orang Isalam termasuk Nabi sendiri juga mencontohkan, memiliki bentuk amaliah muamalah yang baru, ialah mewakafkan tanah. Misalnya saja bahwa Abu Bakar membeli sebuah sumur yang dinamai Raumah seharga 35.000 dirham dan kemudian diwakafkan.(Asmuni, 2007). Demikian juga, Nabi pun kemudian membeli tanah dan diwakafkan. Pembangunan Masjid Quba, dan kemudian juga masjid Nabawi juga dengan tanah wakaf ketika itu. Terkait dengan apa yang diwakafkan oleh Abu Bakar tersebut di atas, ini merupakan suatu hal yang sangat menarik. Di mana wakaf tersebut sudah berorientasi bagi kesejahteraan umat. Dikarenakan sumur itu merupakan salah satu sumber mata air yang sangat diperlukan di lingkungan tersebut, dan pemiliknya selalu menjual air itu dengan mahal, maka kemudian Abu Bakar berupaya membelinya untuk kemudian diwakafkan, sehingga kemudian orangorang yang membutuhkan air tersebut dapat mengambilnya dengan tanpa harus membayar. Dalam perjalanan umat Islam berikutnya, wakaf juga menjadi tulang punggung kesejahteraan umat. Dalam masa kejayaan Islam di bawah pemerintahan Umayyah dan Abbasiyyah, peran wakaf sangat Nampak dalam mewujudkan kesejahteraan umat. Wakaf ketika itu,bukan hanya untuk pendidikan, tetai juga didapati bahwa banyak wakaf dijumpai untuk kesejahteraan umum.Misalnya, pada masa kejayaan peradaban Islam, umat Islam dengan jelas menunjukkan bahwa akhlak terhadap binatang mendapat perhatian yang sangat tinggi. Di Damaskus misalnya, terdapat tanah wakaf yang dikhususkan untuk 71 binatang-binatang yang jinak, dilengkapi dengan makanan untuk binatang tersebut. Disebutkan dalam sejarah, bahwa di sini, di tempat yang dinamakan Suqrarodja, dipelihara kucing yang jumlahnya lebih dari 400 ekor, yang kesemuanya gemuk-gemuk dan sehat-sehat. Bahkan ada juga wakaf khusus mengobati binatang, di mana di areal lapangan hijau yang cukup luas di Damaskus yang dikhususkan untuk binatang yang sudah tua dan lemah, agar bisa hidup bebas dengan penuh jaminan makanan sampai meninggal. $VVLED¶L Dalam bidang pendidikan, badan wakaf berperan sangat besar dalam memejukan pendidikan. Dalam masa ketika dunia Barat (Eropa & Amerika) masih belum mengenal kemajuan ilmu pengetahuan, dunia Islam sudah banyak lembaga pendidikan yang dibiayai dengan wakaf. Badan wakaf dapat menyediakan pembiayaan, baik untuk beaseswa maupun gaji para pengajar. Sehingga, dalam masa tersebut, orang belajar sangat didorong dengan support financial yang memadahi. Dalam karyanya yang berjudul The Rise of College, George Makdisi memberikan deskripsi bagaimana sistem gaji sudah diberikan ketika itu. Dalam sistem kependidikan Islam yang berkembang pada abad 10 M (atau bahkan sebelumnya) itu, umat Islam telah memberlakukan berbagai ketetapan honor dan penghargaan bagi para ilmuwan. Ilmuwan tidak melakukan komersialisasi ilmu dan keahlian mereka secara bebas. Mayoritas yang terjadi, negara-lah yang menanggung gaji mereka. Kalau tidak, yayasan (Badan Wakaf/ Charitable Fund) yang memberikannya. Al-Farabi, sorang ilmuwan besar dalam ilmu sosial, selalu menerima gaji dari baitul mal 4 dnar per hari. (Makdisi, 1981). Salm al Khasir, seorang ilmuwan yang mengahbiskan banyak uang peninggalan bapaknya untuk keperluan belajar, mendapatkan hadiah 100.000 dinar dari Harun Al-Rasyid untuk sebuah karya tulis pada masa itu. (Makdisi, 1981). Al-Firdausi, yang selain sebagai sastrawan dikenal juga dengan predikat ³IDWKHU RI 3HUVLDQ +LVWRU\´ dijanjikan oleh Raja hadiah sebesar 60.000 72 keping uang emas untuk sebuah karyanya yang berjudul Shah Namah, meski sebelum onta pembawa muatan itu sampai pada dirinya, dia telah meninggal. (Nakosteen, 1964). Meski begitu, bukan berarti pencari ilmu tidak membayar kepada gurunya. Dalam perkembangan peradaban Islam, dijumpai juga bahwa murid juga membayar. Al-Hasan bin Shaibani sebagai contoh, dinyatakan bahwa dia mewarisi dari kekayaan Bapaknya sebanyak 30.000 dirham, dia gunakan itu untuk mempelajari grammar dan poetry, hadith dan fiqh. (Makdisi, 1981). Namun banyak juga ilmuwan yang enggan menarik beaya dari muridnya, misalnya Ibn Naqur. Karena kesibukan akademisnya, dia tidak bisa bekerja untuk menghidupi dirinya, sehingga As-6LUD]\ PHQJHOXDUNDQ µOHJDO RSLQLRQ¶ EDKZD DQ-Naqur berhak untuk mendapat gaji. Meski dia tetap tidak menarik beaya yang mencukupi, namun kemudian dia berhak mendapat zakat. (Makdisi, 1981). Di samping itu, ada juga ilmuwan yang tidak digaji oleh siswanya, melainkan justeru mencarikan sumber keuangan dari funding, misalnya Abu al-Husain al-Balki, sebuah fenomema yang lain dari biasanya. Ada juga yang membagi-bagikan penghasilan pribadinya untuk kepentingan para insan akademis, misalnya, Al-Hamdhani, seorang konsultan hukum (jurisconsult) di Isfahan yang pertahunnya bisa mendapat uang 100.000 dirham. (Makdisi, 1981). Praktek semacm ini ternyata justeru sangat mirip dengan apa yang terjadi dalam pendidikan modern, di mana para Professor atau pembimbing justeru membantu mencarikan sumber dana (beaseswa) bagi para muridnya. Ini berarti, praktek pendidikan Islam klasik telah memiliki sebuah nilai yang sangat tinggi, berarti sekitar 1000 tahun mendahului apa yang sekarang menjadi bagian dari sistem pendidikan di negara-negara maju dan modern. Untuk bisa mengetahui bagaimana alokasi pembeayaan aktivitas keilmuan ketika itu, bisa diberikan sebagai gambaran, bahwa pada abad 12 M, sebuah yayasan pendidikan The Syafií Imadiya College of Law, memiliki expenditure sbb: (Makdisi, 1981). seorang Syaikh/ profesor (60 dirham/bulan), penyediaan tikar (300 dirham/bulan), biaya minyak 73 lampu (24 dirham/bulan), gaji pemelihara (100 dirham/bulan), Imam (40 dirham/bulan), sedangkan bagi beasiswa Fellows sebesar 20 dirham/bulan. Demikian juga, ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan di perpustakaan juga mendapat jaminan yang layak. Perlu diketahui bahwa perpustakaan pada masa itu jumlahnya sangat banyak, baik swasta maupun yang dimiliki oleh negara. Sebegaian dari perpustakaan yang ada ketika itu menetapkan bahwa bukan saja para ilmuwan bebas menggunakan perpustakaan untuk eksplorasi ilmu dan pengembangannya, namun banyak di antaranya yang menyediakan makanan, penginapan, perlengkapan untuk menulis, serta bantuan lain demi kenyamanan pengunjung yang berasal dari jauh. Ibnu Ibad, lebih dari itu, bukan hanya membebaskan penggunaan perpustakaannya yang terkenal untuk para ilmuwan, namun malah memberikan beasiswa maksimum 1000 dirham untuk setiap ilmuwan yang mengembangkan ilmu di perpustakaan tersebut. Hal seperti ini, baru disadari oleh dunia Barat pada beberapa ratus tahun terakhir. Artinya, peradaban Islam dalam memberikan support bagi pendidikan semacam itu telah mendahuli dunia barat beratur-ratus tahun. Lembaga wakaf tanah menjadi salah satu pranata penting bagi masyarakat muslim. Hal ini disebabkan karena pewakafan mampu menjadi salah satu sarana pemberdayaan ekonomi yang mandiri di lingkup masyarakat yang bersangkutan, utamanya terkait dengan pembiayaan bagi keperluan umum dan keaagamaan. Studi yang telah dilakukan oleh Murat Cizakca (1998) menunjukkan bahwa wakaf tanah telah memainkan peran yang sangat besar dalam memenuhi kepentingan umum di berbagai negara. Di Turki, pada tahun 1931 rasio antara jumlah pegawai yang bekerja pada asset wakaf dengan pegawai yang dipekerjakan pemerintah (pegawai negeri) berjumlah 12.68%. Dalam kajian yang lain, Ferhat Abbas, (2013) menyatakan bahwa di Mesir pada tahun 1913, lembaga wakaf memiliki lebih dari 11 rumah sakit yang dapat melayani lebih dari satu juta pasien. 74 Dalam masa kejayaan Islam, wakaf memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan peradaban. Lembaga pengelola wakaf dapat melakukan pemenuhan berbagai kepentingan umum, termasuk dalam layanan pendidikan. Berbagai beasiswa dan bantuan keuangan (scholarship) diberikan bagi orang-orang yang terlibat dalam aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga perkembangan ilmu berjalan sangat cepat. Lebih dari itu, pemanfaatan tanah wakaf sudah sangat terdiversifikasi, sehingga di antara wakaf digunakan untuk konservasi lingkungan berupa taman dan tempat yang bebas bagi binatang (Agus Triyanta, 2012). Karena itulah, optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia harus segera dilakukan, dari tanah yang konvensional, yakni hanya dibiarkan berupa lahan dengan tanaman keras, atau bahkan dibiarkan kosong misalnya, haruslah beralih pada orientasi yang bersifat produktif. Agus Triyanta (1998) dengan mendasarkan pada sebuah riset wakaf menyimpulkan bahwa diversifikasi pemanfaatan tanah wakaf masih sangat minim dilakukan oleh umat Islam. Dan karenanya disarankan perlunya edukasi yang lebih intensif agar para pengelola wakaf menyadari pentingnya diversifikasi pemaanfaatan tanah wakaf ke arah yang lebih produktif. Tentu semua perubahan menuju terwudunya pemanfaatan yang optimal tersebut, tidak mungkin tidak, memerlukan perubahan fungsi tanah wakaf dari fungsi semula menuju fungsi yang lebih produktif. Sedangkan, perubahan fungsi tersebut bukannya tanpa kontroversi terkait status hukumnya. Sebagian pendapat melarang, sebagaimana sebagian yang lain PHPEROHKNDQ3HQGDSDW,PDP6\DIL¶L\DQJGLLNXWLMXJDROHKSDUDXODPDPHQ\DWDNDQEDKZD perubahan atau alih fungsi tanah wakaf tidak diperbolehkan. Sebaliknya, menurut Ibnu Hanbal berserta para pengikut madzhabnya, perubahan pemanfaatan dari semula yang dipersyaratkan oleh pewakaf adalah merupakan tindakan diperbolehkan.(Imam Suhadi (1990). 75 Karena itu, studi Mahmassani (1981) dan Azhar Basyir (1994) menunjukkan bahwa pendapat Ibnu Hanbal yang membolehkan tersebut lebih relevan untuk situasi saat ini, karena lebih berorientasi manfaat masa depan serta bertumpu lebih banyak pada kemaslahatan. Adijani (1992) berpendapat bahwa pada dasarnya tanah wakaf tidak boleh dijual, diwarisi, dan diberikan kepada orang lain. Tapi seandainya asset wakaf tersebut rusak, tidak dapat lagi diambil manfaatnnya, maka boleh digunakan untuk keperluan lain yang serupa, dijual dan dibelikan barang lain untuk meneruskan wakaf itu. Artiya bahwa pendapat yang membolehkan perubahan fungsi atau pemanfaatan tersebut lebih dapat diterima jika menggunakan pendekatan hukum progressif, serta lebih memenuhi nilai keadilan dan kemaslahatan. Hal ini disebabkan dalam pendapat tersebut, wakaf dapat dimanfaatkan secara optimal mengikuti kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Implementasi Pemanfaatan Tanah Wakaf di Indonesia Hari ini, universitas tertua di dunia, ialah universitas Al-Azhar yang didirikan pada 970 dan beroperasi 988 M, merupakan satu-satunya universitas di negeri Muslim yang banyak mendayagunakan harta wakaf dalam pengembangan pendidikan. Ribuan beaseswa diberikan kepada para mahasiswa dari berbagai negara yang sumbernya adalah hasil wakaf. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan wakaf dapat diberdayakan sengan sangat baik. Tentu saja, untuk tujuan seperti itu, wakaf produktif menjadi sebuah alternative. Wakaf umat Islam, yang selama ini hamper seluruhnya digunakan untuk tempat-tempat peribadahan (masjid, mushalla, langgar) dan tempat pendidikan (sekolah), haruslah dilihat kembali manfaatnya. Dalam banyak kasus, asset wakaf semacam itu pada gilirannya kurang termanfaatkan secara optimal dikarenakan rasio (perbandingan) antara jamaah dan jumlah masjid sudah melebihi ideal, atau, dalam kasus sekolahan, semakin sedikitnya angkatan 76 pelajar dibandingkan dengan daya tamping. Untuk itu, harus semakin digalakkan pengelolaan wakaf yang berorientasi produktif. Wakaf produktif, jika demikian dapat didefinisikan sebagai wakaf yang dikelola untuk tujuan mendapatkan keuntungan (profit), yang profit tersebut dapat dimanfaatkan XQWXNNHVHMDKWHUDDQ,VODPGDQXPDW,VODP /DQGDVDQV\DU¶,GDULZDNDISURGXNWLILQLDGDODK apa yang diperintahkan oleh Nabi terkait dengan tanah milik Umar bin Khaththab di Khaibar yang diberikan untuk kepentingan umat Islam, dengan cara ditahan (tidak dijualbelikan) dan hasil kebun tersebut diperuntukkan untuk kepentingan umat Islam. Wakaf produktif ini dapat berupa berbagai benda dan hak kepemilikan, bukan hanya benda tidak bergerak, namun juga benda bergerak dan bahkan wakaf tunai/ cash/ uang. Menurut data yang dimiliki oleh Departemen Agama, keseluruhan tanah wakaf di Indonesia berjumlah 3.492.045.373,754m2, Tanah wakaf seluas itu tersebar di 420.003 lokasi di seluruh wilayah Indonesia. (Bimas Islam Kemenag: 2013). Ini merupakan lahan yang sangat luas dan potensial untuk dioptimalkan pemanfaatannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa luas ini hampir seluas lima (5) kali negara Singapura. Secara urut, di bawah ini adalah data tanah wakaf terbesar menurut propinsi di Indonesia: Tabel Jumlah Tanah Wakaf Terbesar di Lima Propinsi di Indonesia No. 1 2 3 4 PROVINSI Nanggroe Aceh Darussalam Jawa Barat Kalimantan Selatan RIAU JUMLAH TANAH WAKAF LOKAS LUAS M2 I 27,416 1,333,233,627.26 Ada Tidak 12,245 15,171 Prosentase Tanah Wakaf Bersertifikat 45% 70,749 8,772 7,897 45,401 7,271 2,761 25,348 1,501 5,136 64% 83% 35% 116,662,017.81 110,208,613.54 97,448,625.81 BERSERTIFIKAT 77 Nusa Tenggara Barat 5 11,793 83,060,488.00 7,635 4,158 65% Data diadaptasi dari Indonesia Waqf Board, dalam www.bwi.or.id, akses 20 April 2013 Pranata wakaf telah ada di Indonesia sejalan dengan keberadaan komunitas muslim di wilayah ini. Hal ini disebabkan karena pranata wakaf melekat dalam ajaran dan praktik kehidupan umat Islam. Meskipun lembaga perwakafan tanah di Indonesia sudah ada dan berkembang dalam waktu yang lama, namun perkembangan pemanfaatan dirasa belum proporsional. Mengingat keberadaan tanah wakaf yang luas, semestinya, tanah wakaf akan mampu memberikan peran bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, meski tidak secara langsung. Institusi wakaf dalam Islam merupakan salah satu bentuk pemberdayaan harta (tamwil) untuk kepentingaan umat (umum), di mana harta (yang bersifat tetap) milik individu diserahkan dan kemudian dikelola untuk kepentingan umat, di samping juga, ada beberapa metode lain untuk memobilisir kontribusi material dan finansial demi kepentingan umat, seperti zakat, infaq dan sahaqah (ZIS). Untuk masalah ZIS telah mengalami improvisasi pemanfaatan yang menggembirakan, sedangkan untuk masalah wakaf, masih belum banyak teroptimalkan dan mayoritas masih dimanfaatkan secara konvensional, karena bertumpu pada pendapat yang diinterpretaasikan dari ajaran Islam secara tekstual. Untuk itu masih diperlukan upaya pemanfaatan yang lebih baik dan berorientasi pada optimalisasi bagi kesejahteraan. Berbagai negara telah berhasil mengelola wakaf dengan baik. Patut dicontoh di sini adalah apa yang diberlakukan oleh universitas Al-Azhar, sebuah universitas Islam tertua di dunia. Di sana, dengan optimalisasi pemafaatan wakaf, setiap tahun dapat membiayai mahasiswa internasional, menerbitkan dan menyebarkan buku-buku Islam ke seluruh dunia. (Azhar Basyir, 1987). Apa yang dikembangkan di Malaysia juga layak menjadi contoh. Di Malaysia, inovasi paling spektakuler terkait dengan optimalisasi wakaf ke sektor produksi 78 telah dilakukan oleh umat Islam di negeri Johor. Tahun 1968, pemerintah Johor mendirikan sebuah perusahaan Negara bagian,yang bernama Johor Corporation, yang dibuat sedemikian rupa sehingga memadukan wakaf dan manajemen modern. Lembaga Wakaf tersebut memiliki saham di Johor Corporation yang menguasai lebih dari 197 perusahaan, termasuk menguasai 18 rumah sakit di seluruh Malaysia (KPJ Healthcare). Pada tahun 2006, Perusahaan wakaf ini memiliki saham senilai RM 200 juta. Bisnis Johor Corporation in meliputi perushaan minyak sawit, real estate (property), dan sebagainya. (Agus Triyanta, 2009). Kesuksesan pemanfaatan wakaf di Singapura telah menjadikan MUIS (Majelis Ugama Islam Singapura), sebagai pengelola wakaf di Singapura, mendapatkan penghargaan Sheikh Mohammad Bin Rashid Al Makhtoum Islamic Finance Awards 2006. Inovasi ini juga akhirnya berhasil mendongkrak penghasilan yang semula $19.000 pertahun menjadi $5.3 juta di tahun 2006. MUIS ini juga sekarang sudah mendapatkan sertifikat ISO 9001 untuk bidang administrasi dan manajemen wakaf. (Agus Triyanta, 2009) Namun yang terjadi di Indonesia justeru kebalikan dari fakta di atas, banyak tanah wakaf yang terletak di lokasi strategis diambil oleh pengusaha dengan cara ruislag (istibdal) dengan tanah yang terletak di lokasi yang lebih terisolir sehingga potensi optimalisasi pemanfaatan ke arah yang lebih produktif menjadi sulit. (Suparman dan Subhan: 2009). Berdasarkan uraian di atas, optimalisasi pemanfaatan harta wakaf adalah suatu keharusan yang secepat mungkin harus dilakukan dengan dua alasan utama; Pertama, mayoritas pewakaf (wakif) menginginkan agar tanah wakaf dimanfatakan untuk hal-hal yang berkaitan secara langsung untuk kepentingan ibadah mahdhah, misalnya untuk pembangunan masjid. Kedua, semakin diperlukannya optimalisasi tanah wakaf untuk mendukung peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat, serta pula, pengadaan fasilitas-fasilitas urgen dan mendesak yang dibutuhkan umat Islam. 79 Namun, pada realitanya, banyak asset tanah wakaf yang tidak dapat berfungsi optimal, banyak lahan wakaf yang dibiarkan tidak termanfaatkan, baik karena fungsi awal pemanfaatan yang sudah tidak diperlukan lagi, misalnya dengan semakin kecilnya angkatan didik, maka banyak sekolah yang dibangun dengan tanah wakaf kemudian tidak beroperasi karena kurangnya murid. Lahan wakaf pertanian atau perkebunan yang tidak lagi terpelihara karena kurangnya sumber daya manusia. Bahkan, ada asset (tanah wakaf) yang potensial untuk digugat. Misalnya saja di Jawa Barat tanah wakaf berjumlah 74.156 lokasi atau 215 juta meter persegi, dan ironisnya, GDULMXPODKWHUVHEXWPDVLKDGD ORNDVL\DQJEHOXP GLPDQIDDWNDQ Menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang belum dimanfaatkan inilah yang rentan dengan gugatan ahli waris.(Sindonews, 2013). Ada dua hal yang menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan tanah wakaf tersebut. Pertama, kurangnya profesionalisme para pihak yang terkait dengan perwakafan. Kedua, hambatan terkait kebijakan pengurusan tanah wakaf. Optimalisasi tanah wakaf melalui perubahan pemanfaatan dapat dilakukan dengan berbagaai terobosan: Pertama, mengalihkan fungsi pemaanfaatan tanah wakaf. Megingat keperluan sebuah masyarakat selalu berubah, maka suatu hal yang wajar jika kemudian sebagian tanah wakaf kehilangan fungsi yang optimal karena memang bergesernya keperluan masyarakat. Kedua, meningkatkan fungsi tanah wakaf, dengan adanya perubahan masyarakat dan perkembangan teknologi, pemanfaatan wakaf tidak lagi hanya pada satu fungsi yang statis, namun harus dilakukan sesuai tuntutan perkembangan yang terjadi. Misalnya, sebidang tanah wakaf, dapat dirubah menjadi apartemen yang memungkinkan perolehan keuntungan yang lebih tinggi. Maka perlu adanya perubahan status dari hak milik pengelola wakaf menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) untuk menjadi bangunan yang disewakan, atau hak Pakai dengan merujuk pada Strata Tittle (Rumah Susun). 80 Bentuk perubahan yang dimaksud jelas akan dipengaruhi oleh regulasi di bidang agraria. Karenanya, perubahan status tanah atau perubahan pemanfaatan akan melibatkan pengaturan di bidang pertanahan. Bahkan, dalam hal tanah wakaf untuk dirubah menjadi apartemen yang disewakan, memerlukan perubahan regulasi terkait dengan hak-hak atas tanah yang diatur dalam hukum agraria. Untuk itu, perlu dibuat model kebijakan dan regulasi yang memang mampu mendukung pemanfaatan tanah wakaf yang optimal bagi peingkatan kesejahteraan umat atau masyarakat. Dengan melihat itu semua, maka optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf tidak dapat berjalan tanpa adanya singkronisasi hukum antara pengaturan wakaf dengan hukum agraria. Sehingga perlu dilakukan reformulasi yang komprehensif terhadap permasalahan optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf yang berkaitan dengan hukum agraria, serta kemudian mencari solusi yang diperlukan. Yang pada intinya adalah bagaimanakah pemanfaatan tanah wakaf dan kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat di Indonesia saat ini. Urgensi Inovasi dalam Pemanfaatan Karena itu, berbagai terobosan dapat dilakukan di Indonesia, termasuk melakukan diversifikasi pemanfaatan tanah. Maka dalam konteks ini, konversi, baik dalam arti peralihan pemanfaatan wakaf serta pertukaran tanah wakaf dengan tanah yang lain (ruislag), menjadi suatu jalan yang sangat diperlukan. Misalnya saja, tanah wakaf yang memang layak untuk dibangun pusat dagang, rumah susun,atau hal lain sejenisnya, maka semestinya dilakukan pengembangan pemanfaatan semacam itu. Ada beberapa pola yang dapat dikembangakan bagi pemanfaatan tanah wakaf yang pernah digagas. Lywa S. Fauzie (2011) mengajukan sebuah rancangan yang sangat menarik, bahwa di atas tanah wakaf dapat dibuat sebuah bangunan strata title (misalnya ruko, rusunawa dan apartemen), sehingga dengan perubahan itu, fungsi tanah wakaf tidak 81 berkurang, dan justeru akan lebih produktif jika dibandingkan dengan pemanfaatan semua. Bahkan konsep ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan konsep BOT (Build-OwnTransfer) yang pernah dianggap yang terbaik untuk aset tanah wakaf karena aset tanah WHUVHEXW WLGDN ³KLODQJ´ WHUMXDODWDX EHUSLQGDK WDQJDQ WHWapi kembali lagi setelah 20 atau 30 tahun. Lebih dari itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Rusun) memberikan kemungkinan dimanfaatkannya tanah wakaf yang pemanfaatannya tidak optimal, dan tanah terlantar untuk dibangun rumah susun yang kemudian dapat disewakan, yang dari situ akan terjadi aliran finansial yang dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih luas lagi. (Ciptakarya, 2013). Mengingat pentingnya persoalan tanah wakaf, sehingga Undang-Undang Pokok Agraria no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA mengatur ketentuan khusus mengenai wakaf sebagaimana diatur GDODP 3DVDO D\DW \DQJ PHQHQWXNDQ ³3HUZDNDIDQ WDQDK PLOLN GLOLQdungi dan diatur GHQJDQ SHUDWXUDQ SHPHULQWDK´ 3HULQWDK 883$ WHUVHEXW NHPXGLDQ GLODNVDQDNDQ GHQJDQ menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Perkembangan praktik perwakafan tanah milik yang sangat dinamis, diikuti oleh pemerintah dengan membuat berbagai pranata hukum yang mengaturnya, dan puncaknya pada tanggal 27 Oktober 2004 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Terkait dengan perubahan pemanfaatan tanah wakaf, UUPA juga menegaskan memanfaatkan tanah untuk fungsi social. Dinyatakan dalam penjelasan UUPA no. II, poin 4, bahwa hak atas tanah yang ada pada seseorang tidak dibenarkan dipergunakan atau tidak dipergunakan semat-mata untuk pribadinya melainkan harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat baik baagi kesejaahteraan dan kebahagiaan yang 82 mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Lebih lanjut GLQ\DWDNDQ EDKZD ³NHZDMLEDQ PHPHOLKDUD WDQDK WLGDN VDMD GLEHEDQNDQ NHSDGD SHPLOiknya atau pemegang haknya melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau LQVWDQVL\DQJPHPSXQ\DLVXDWXKXEXQJDQKXNXPGHQJDQWDQDKLWX´%XGL+DUVRQR Sehingga, upaya optimalisasi tanah wakaf dengan cara merubah pemanfaatannya bukan hanya diperbolehkan dalam hukum Islam, namun juga sejalan dengan semangat UUPA, selama perubahan itu tidak menghilangkan eksistensi tanah tersebut. Dalam hal ini, $33HUOLQGXQJDQPHQ\DWDNDQ³+DNDWDVWDQDKZDNDI\DQJ VXGDKGLEHULNDQNHSDGD usaha sosial dan keagamaan, hanya ada right to use saja, sedangkan right to disposal-nya tidak ada, karena dianggap ditariknya hak atas tanah tersebut dari peredaran lalu lintas HNRQRPLVHKLQJJDWLGDNEROHKGLDVLQJNDQDWDXSXQGLMDGLNDQMDPLQDQKXWDQJ´ Dari berbagai regulasi terkait dengan perwakafan sebagaimana tersebut di atas, serta dari penafsiran terhadap berbagai pengaturan tersebut, memang tanah wakaf telah mendapat pengakuan secara hukum, baik dalam Undang-Undang Wakaf dan Undang-Undang Pokok Agraria. Akan tetapi, dalam hal pemanfaatan tanah wakaf yang lebih responsif terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, dirasa masih kurang sehingga perlu dilakukan penyempurnaan secara memadai. Simpulan Dari berbagai diskusi di atas, nampak bahwa dalam fikih klasik, konsep tentang tanah wakaf dan pemnafaatannya masih sangat sederhana. Hampir semua menyatakan bahwa wakaf lebih berorientasi pada tanah dan dengan pemanfaatan yang hanya pada seputar kepentingan tempat ibadah. Lebih dari itu, konversi tanah wakaf yang dilakukan untuk upaya optimalisasi pemanfaatan juga belum mendapatkan perhatian. 83 Dalam prakteknya di Indonesia saat ini, hal yang masih mirip juga terjadi, di mana tanah wakaf yang jumlahnya sangat luas jika dibandingkan dengan berbagai negara muslim lainnya, masih terkunkung pada bentuk pemanfaatan yang konvensional, ialah seputar tempat ibadah dan tempat belajar. Bahkan tidak sedikit dari lahan tanah wakaf tersebut yang akhirnya terlantar. Hal ini menunjukkan masih minimnya inovasi dan diversifikasi dalam pengelolaan wakaf. Karena itulah, perlu reformulasi konsep wakaf yang kekinian agar tanah wakaf yang ada benar-benar memiliki fungsi pensejahteraan bagi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Abdoerraoef. (1986). Al-4XU¶DQGDQ,OPX+XNXP, Bulan Bintang, Jakarta. Al-Alabij, Adijani. (1992). Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. 84 Basyir, Ahmad Azhar. (1987). Wakaf, Ijarah, Syirkah, Al-Maarif, Bandung. -----------------------------. (1994). Refleksi atas Persoalan Keislaman, Mizan, Bandung. Bimas Islam Kementerian Agama. (2013). Luas Tanah Wakaf di Indonesia. Download dari: http://bimasislam.kemenag.go.id. Pada 15 April 2013 Ciptakarta Perkerjaan Umum. (2012). UU Rusun Beri Peluang Penggunaan Tanah Negara dan Wakaf. Download dari http://ciptakarya.pu.go.id pada 15 April 2013. &L]DNFD 0XUDW ³$ZTDI ,Q +LVWRU\ $QG ,WV ,PSOLFDWLRQV )RU 0RGHUQ ,VODPLF (FRQRPLHV´Islamic Economic Studies Vol. 6, No. 1, November 1998. Hlm 43-70. Fauzie, Lywa S. (2011). Membuat Tanah Wakaf Menjadi Aset Produktif. Download dari http://lywafauzie.weebly.com pada 15 April 2013. Harsono, Budi. (1997). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta. Indonesia Waqf Board, Fenomena Masjid di atas Tanah Bukan Wakaf: Sebuah Kajian dalam www.bwi.or.id, akses 20 April 2013 Ismail, Nurhasan. (2006). Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Krippendorff, Claus. (1991). Analisis Isi, Rajawali Pers. Jakarta Mahmassani, Sobhi. (1981). Filsafat Hukum dalam Islam, terjemah Ahmad Sudjono, Al0D¶DULI%DQGXQJ 0DQDQ%DTLUµ3HQHOLWLDQGL%LGDQJ+XNXP¶GDODPJurnal Hukum Puslitbangkum No. Perdana : 1-1999, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, UNPAD, Bandung. Muchlis. (2013). Peralihan Penguasaan Yuridis Hak Atas Tanah Wakaf Dalam Perspektif Hukum Tanah Nasional Dan Hukum Islam. Dalam www.badilag.net download, 15 April 2013. Muhadjir, Noeng. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. Rakesarasin, Yogyakarta. Noor, Aslan. (2003). Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Azasi Manusia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Bandung. Parlindungan, A.P. (1998). Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung. Silalahi, M. Daud. (2001). Metodologi Penelitian Hukum Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi Interdisipliner, Lowencon Copy & Binding Centre. Bandung. Sindo News. (2013). 21.809 Lokasi Tanah Wakaf Rawan Digugat, edisi 2 Januari 20113. Download dari: http://sports.sindonews.com. 15 April 2013. 85 Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri (1995). Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suhadi, Imam. (1990). Wakaf Menurut Hukum Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta. 6XSDUPDQ GDQ 6XEKDQ ³3UDNWLN ,VWLEGDO +DUWD %HQGD :DNDI 6WXGL .DVXV GL ,QGRQHVLD´ dalam Jurnal Al-Waqaf, vol. II. No. 3 Agustus 2009. Hlm. 25-43. Tebani, Abdelfateh. (2013). The Role of Modern Waqf (Endowment) Institutions in the Arab ZRUOG¶V GHYHORSPHQW $ FDVH VWXG\ RI WKH $ZTDI 3XEOLF )RXQGDWLRQ LQ .XZDLW. Dalam www.istr.conference-services.net download 15 April 2013. Triyanta, Agus. (1998). Diversifikasi Pemanfaatan Tanah Wakaf: Stdu Kasus di Kecamatan Minggir, Sleman, Yogyakarta, Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. 7UL\DQWD $JXV ³:DNDI 3URGXNWLI'DUL 0XDPDODK .ODVLN 0HQXMX ,QRYDVL .RQWHPSRUHU´ 0DNDODK 'LVDPSDLNDQ GDODP :RUNVKRS Pengelolaan Wakaf 3URGXNWLI3HQGHNDWDQ3HPEHUGD\DDQ.DXP0XVWDGK¶DILQ pada tanggal 2 Agustus 2009 di Aula DPRD Kabupaten Sleman, diselenggarakan oleh Yayasan Ikhtiar Sejahtera, Tempel, Sleman. Triyanta, Agus. (2012). Hukum Ekonomi Islam: Dari Politik Hukum Ekonomi Islam Sampai Pranata Ekonomi Syariah, Fakultas Hukum UII Press, Yogyakarta Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Pokok Agraria no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang no 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 86