Tahun ke-1 dari Rencana 3 Tahun

advertisement
Bidang Ilmu: HUKUM
LAPORAN TAHUNAN
PENELITIAN HIBAH BERSAING
OPTIMALISASI PEMANFAATAN TANAH WAKAF BAGI
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI REFORMASI KEBIJAKAN
AGRARIA
Tahun ke-1 dari Rencana 3 Tahun
Tim Pengusul :
Drs. Agus Triyanta,MA, MH.,Ph.D.(Anggota)
NIDN : 0520066901
Mukmin Zakie,SH.,M.Hum., Ph.D. (Ketua)
NIDN : 0512056301
DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
DPPM UII, Lt.3 Komplek Masjid Ulil Albab UII, Jl. Klaiurang KM 14,4 Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Telp/Fax
0274-898444 ext. 2505 ext.2503.
Oktober 2014
1
2
RINGKASAN
Penelitian ini merupakan Tahap ke-1 dari rencana tiga (3) Tahapan penelitian berjudul ´Optimalisasi
Pemanfaatan Tanah Wakaf Bagi Kesejahteraan Masyarakat Melalui Reformasi Kebijakan Agrariaµ yang
akan menggali berbagai problem yuridis terkait optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pemanfaatan tanah wakaf yang optimal melalui reformasi kebijakan
agraria sehingga akan dapat berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam jangka pendek, hasil
penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan oleh lembaga yang terkait dengan pemanfaatan
tanah wakaf, dan lebih spesisfik akan menjadi bahan amandemen Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, khususnya Pasal 2 ayat (2) serta Undang-Undang no 41 tahun 2004
tentang Wakaf berikut perubahan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang masih belum
mengakomodasi tuntutan perkembangan pewakafan secara optimal. Penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, menggunakan proses berfikir dan kaidah berfikir, dalam menemukan landasan pemikiran, makna
substantif, dan peran negara dalam pemanfaatan tanah wakaf yang lazim disebut hypothetical deduction.
Pendekatan sosiologis digunakan untuk menelaah mengenai berbagai bentuk pemanfaatan tanah wakaf dan
kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dan disesuaikan dengan
permasalahan dan metode pendekatannya, meliputi; pengumpulan dengan menghimpun semua dokumen terkait
dengan pemanfaatan tanah wakaf, obervasi, in-depth interview dan Focus Group Discussion (FGD) serta
diskusi publik lainnya. Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data diolah dengan metode kualitatif, ialah
menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data, mengambil arti yang
terkandung di dalamnya. Dari penelitian Tahap I yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut: Pertama, Pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia didominasi untuk keperluan tempat ibadah (masjid
dan mushalla) dengan total luasan 43.690.952 m2, atau 54,056 % dari luas keseluruhan tanah wakaf di
Indonesia, kemudian untuk keperluan prasarana sekolah dengan total 13.608.726 m2, atau 16,84% dari luas
keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, serta untuk keperluan wakaf sosial lainnya, dengan total luasan
13.224.772 m2, atau 16,36% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, untuk keperluan tanah
pemakaman dengan total luasan 5.944.176 m2, atau 7,35% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, dan
terakhir untuk keperluan pendididikan pesantren dengan total luasan 4.263.876m2, atau 5,28% dari luas
keseluruhan tanah wakaf di Indonesia. Kedua, bahwa dalam klasifikasi keperluan sosial lainnya masih menjadi
bagian yang terkecil, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf yang berorientasi bisnis dan produktif masih rendah.
Sekaligus sajian data yang ada tersebut belum mempertimbangkan secara serius penghitungan wakaf yang
berorientasi bisnis dan produktif. Yang karenanya, sulit juga untuk memotret dari waktu ke waktu progress atau
perkembangan dari pemanfaatan tanah yang berorientasi bisnis dan profit tersebut. Ketiga, Terkait dengan
dengan konversi tanah wakaf, bahwa keberpihakan berbagai instansi terkait, utamanya adalah Badan
Pertanahan (BPN) masih jauh dari optimal.
3
PRAKATA
$VVDODPX´DODLNXP:UWb.
$OKDPGXOLOODKLUDEELOµDODPLQ. Puji syukur penulis persembahkan kepada illahi rabbi yang telah melimpahkan
kenikmatan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Penelitian ini merupakan
Tahap ke-1 dari rencana tiga (3) Tahapan penelitian berjudul ´Optimalisasi Pemanfaatan Tanah Wakaf Bagi
Kesejahteraan Masyarakat Melalui Reformasi Kebijakan Agrariaµ yang akan menggali model
pemanfaatan yang ideal dalam mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pemanfaatan tanah wakaf yang optimal melalui
reformasi kebijakan agraria sehingga akan dapat berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam jangka
pendek, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan oleh lembaga yang terkait dengan
pemanfaatan tanah wakaf.
Penelitian
dapat terlaksana atas bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penelitgi
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Direktur Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah memberikan dana pada penelitian ini.
2) Direktur Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DPPM) Universitas Islam Indonesia,
yang telah memfasilitasi proses pengajuan proposal sampai tahap pelaporan hasil penelitian.
3) Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah memberikan izin kepada kami untuk
melaksanakan penelitian serta memanfaatkan fasilitas yang kami perlukan.
4) Para nara sumber, baik perorangan maupun kelembagaan yang telah menerima dan memberikan
informasi/ data yang diperlukan dalam penelitian.
5) Para kolega di Universitas Islam Indonesia yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, atas saran
dan masukannya selama proses penelitian.
WaVVDODPX´DODLNXPWr. Wb.
Yogyakarta, 30 Oktober 2014
Peneliti
4
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ...............................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................
HALAMAN RINGKASAN
......................................................................................
HALAMAN PRAKATA ...............................................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
BAB III:TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .....................................................
BAB IV: METODE PENELITIAN ..............................................................................
1
2
3
4
5
6
10
16
BAB V: HASIL YANG DICAPAI ..............................................................................
18
20
A. Dinamika Pemanfaatan Tanah Wakaf ................................................................
20
B. Model Pemanfaatan Tanah Wakaf di Indonesia ................................................
35
C. Problematikan dalam Pemberdayaan Wakaf .....................................................
49
BAB VI: KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
54
A. Kesimpulan .........................................................................................................
54
B. Saran ..................................................................................................................
55
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
56
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...........................................................................................
60
1. Draft Artikel Jurnal
2. Foto Kegiatan
3. Laporan Keuangan (terpisah)
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut data yang dimiliki oleh Departemen Agama, keseluruhan tanah wakaf di Indonesia
berjumlah 3.492.045.373,754m2, Tanah wakaf seluas itu tersebar di 420.003 lokasi di seluruh wilayah
Indonesia. (Bimas Islam Kemenag: 2013). Ini merupakan lahan yang sangat luas dan potensial untuk
dioptimalkan pemanfaatannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa luas ini hampir seluas lima (5) kali
negara Singapura. Secara urut, di bawah ini adalah data tanah wakaf terbesar menurut propinsi di
Indonesia:
Tabel
Jumlah Tanah Wakaf Terbesar di Lima Propinsi di Indonesia
No.
PROVINSI
JUMLAH TANAH WAKAF
LOKASI
LUAS M2
BERSERTIFIKAT
Ada
Tidak
1
Nanggroe Aceh
Darussalam
Jawa Barat
Kalimantan Selatan
RIAU
Nusa Tenggara Barat
27,416
1,333,233,627.26
12,245
15,171
Prosentase
Tanah Wakaf
Bersertifikat
45%
70,749
8,772
7,897
11,793
116,662,017.81
110,208,613.54
97,448,625.81
83,060,488.00
45,401
7,271
2,761
7,635
25,348
1,501
5,136
4,158
64%
83%
35%
65%
2
3
4
5
Data diadaptasi dari Indonesia Waqf Board, dalam www.bwi.or.id, akses 20 April 2013
Pranata wakaf telah ada di Indonesia sejalan dengan keberadaan komunitas muslim di wilayah
ini. Hal ini disebabkan karena pranata wakaf melekat dalam ajaran dan praktik kehidupan umat Islam.
Meskipun lembaga perwakafan tanah di Indonesia sudah ada dan berkembang dalam waktu yang
lama, namun perkembangan pemanfaatan dirasa belum proporsional. Mengingat keberadaan tanah
wakaf yang luas, semestinya, tanah wakaf akan mampu memberikan peran bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat, meski tidak secara langsung.
Institusi wakaf dalam Islam merupakan salah satu bentuk pemberdayaan harta (tamwil) untuk
kepentingaan umat (umum), di mana
harta (yang bersifat tetap) milik individu diserahkan dan
kemudian dikelola untuk kepentingan umat, di samping juga, ada beberapa metode lain untuk
6
memobilisir kontribusi material dan finansial demi kepentingan umat, seperti zakat, infaq dan sahaqah
(ZIS). Untuk masalah ZIS telah mengalami improvisasi pemanfaatan yang menggembirakan,
sedangkan untuk masalah wakaf, masih belum banyak teroptimalkan dan mayoritas masih
dimanfaatkan secara konvensional, karena bertumpu pada pendapat yang diinterpretaasikan dari
ajaran Islam secara tekstual. Untuk itu masih diperlukan upaya pemanfaatan yang lebih baik dan
berorientasi pada optimalisasi bagi kesejahteraan.
Berbagai negara telah berhasil mengelola wakaf dengan baik. Patut dicontoh di sini adalah apa
yang diberlakukan oleh universitas Al-Azhar, sebuah universitas Islam tertua di dunia. Di sana, dengan
optimalisasi pemafaatan wakaf, setiap tahun dapat membiayai mahasiswa internasional, menerbitkan
dan menyebarkan buku-buku Islam ke seluruh dunia. (Azhar Basyir, 1987). Apa yang dikembangkan di
Malaysia juga layak menjadi contoh. Di Malaysia, inovasi paling spektakuler terkait dengan optimalisasi
wakaf ke sektor produksi telah dilakukan oleh umat Islam di negeri Johor. Tahun 1968, pemerintah
Johor mendirikan sebuah perusahaan Negara bagian,yang bernama Johor Corporation, yang dibuat
sedemikian rupa sehingga memadukan wakaf dan manajemen modern.
Lembaga Wakaf tersebut memiliki saham di Johor Corporation yang menguasai lebih dari 197
perusahaan, termasuk menguasai 18 rumah sakit di seluruh Malaysia (KPJ Healthcare). Pada tahun
2006, Perusahaan wakaf ini memiliki saham senilai RM 200 juta. Bisnis Johor Corporation in meliputi
perushaan minyak sawit, real estate (property), dan sebagainya. (Agus Triyanta, 2009).
Kesuksesan pemanfaatan wakaf di Singapura telah menjadikan MUIS (Majelis Ugama Islam
Singapura), sebagai pengelola wakaf di Singapura, mendapatkan penghargaan Sheikh Mohammad
Bin
Rashid
Al Makhtoum
Islamic Finance Awards 2006. Inovasi ini juga akhirnya berhasil
mendongkrak penghasilan yang semula $19.000 pertahun menjadi $5.3 juta di tahun 2006. MUIS ini
juga sekarang sudah mendapatkan sertifikat ISO 9001 untuk bidang administrasi dan manajemen
wakaf. (Agus Triyanta, 2009)
Namun yang terjadi di Indonesia justeru kebalikan dari fakta di atas, banyak tanah wakaf yang
terletak di lokasi strategis diambil oleh pengusaha dengan cara ruislag (istibdal) dengan tanah yang
terletak di lokasi yang lebih terisolir sehingga potensi optimalisasi pemanfaatan ke arah yang lebih
produktif menjadi sulit. (Suparman dan Subhan: 2009).
7
Berdasarkan uraian di atas, optimalisasi pemanfaatan harta wakaf adalah suatu keharusan
yang secepat mungkin harus dilakukan dengan dua alasan utama; Pertama, mayoritas pewakaf (wakif)
menginginkan agar tanah wakaf dimanfatakan untuk hal-hal yang berkaitan secara langsung untuk
kepentingan ibadah mahdhah, misalnya untuk pembangunan masjid. Kedua, semakin diperlukannya
optimalisasi tanah wakaf untuk mendukung peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat, serta pula,
pengadaan fasilitas-fasilitas urgen dan mendesak yang dibutuhkan umat Islam.
Namun, pada realitanya, banyak asset tanah wakaf yang tidak dapat berfungsi optimal, banyak
lahan wakaf yang dibiarkan tidak termanfaatkan, baik karena fungsi awal pemanfaatan yang sudah
tidak diperlukan lagi, misalnya dengan semakin kecilnya angkatan didik, maka banyak sekolah yang
dibangun dengan tanah wakaf kemudian tidak beroperasi karena kurangnya murid. Lahan wakaf
pertanian atau perkebunan yang tidak lagi terpelihara karena kurangnya sumber daya manusia.
Bahkan, ada asset (tanah wakaf) yang potensial untuk digugat. Misalnya saja di Jawa Barat tanah
wakaf berjumlah 74.156 lokasi atau 215 juta meter persegi, dan ironisnya, dari jumlah tersebut masih
ada 21.809 lokasi yang belum dimanfaatkan. Menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang belum
dimanfaatkan inilah yang rentan dengan gugatan ahli waris.(Sindonews, 2013).
Ada dua hal yang menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan tanah wakaf tersebut.
Pertama, kurangnya profesionalisme para pihak yang terkait dengan perwakafan. Kedua, hambatan
terkait kebijakan pengurusan tanah wakaf. Optimalisasi tanah wakaf melalui perubahan pemanfaatan
dapat dilakukan dengan berbagaai terobosan: Pertama, mengalihkan fungsi pemaanfaatan tanah
wakaf. Megingat keperluan sebuah masyarakat selalu berubah, maka suatu hal yang wajar jika
kemudian sebagian tanah wakaf kehilangan fungsi yang optimal karena memang bergesernya
keperluan masyarakat. Kedua, meningkatkan fungsi tanah wakaf,
dengan adanya perubahan
masyarakat dan perkembangan teknologi, pemanfaatan wakaf tidak lagi hanya pada satu fungsi yang
statis, namun harus dilakukan sesuai tuntutan perkembangan yang terjadi. Misalnya, sebidang tanah
wakaf, dapat dirubah menjadi apartemen yang memungkinkan perolehan keuntungan yang lebih tinggi.
Maka perlu adanya perubahan status dari hak milik pengelola wakaf menjadi Hak Guna Bangunan
(HGB) untuk menjadi bangunan yang disewakan, atau hak Pakai dengan merujuk pada Strata Tittle
(Rumah Susun).
Bentuk perubahan yang dimaksud jelas akan dipengaruhi oleh regulasi di bidang agraria.
Karenanya, perubahan status tanah atau perubahan pemanfaatan akan melibatkan pengaturan di
8
bidang pertanahan. Bahkan, dalam hal tanah wakaf untuk dirubah menjadi apartemen yang disewakan,
memerlukan perubahan regulasi terkait dengan hak-hak atas tanah yang diatur dalam hukum agraria.
Untuk itu, perlu dibuat model kebijakan dan regulasi yang memang mampu mendukung pemanfaatan
tanah wakaf yang optimal bagi peingkatan kesejahteraan umat atau masyarakat.
Dengan melihat itu semua, maka optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf tidak dapat berjalan tanpa
adanya singkronisasi hukum antara pengaturan wakaf dengan hukum agraria. Sehingga perlu
dilakukan penelitian yang komprehensif terhadap permasalahan optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf
yang berkaitan dengan hukum agraria, serta kemudian mencari solusi yang diperlukan. Dari gambaran di
atas, dapat dirumuskan pertanyaan yang akan dijawab oleh penelitian ini, yaitu sebagaimana berikut:
1) Bagaimanakah pemanfaatan tanah wakaf dan kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat di
Indonesia saat ini?
2) Apakah problem yuridis dalam bidang agraria bagi optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf?
3) Bagaimanakah model kebijakan agraria yang harus dikembangkan untuk mendorong
pemanfaatan tanah wakaf yang optimal bagi masyarakat?.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam literatur hukum Islam, wakaf berarti menahan, sedangkan secara terminologis berarti
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang
mubah (yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam), serta dimaksudkan untuk mendapatkan
keridhaan Allah (Azhar Basyir, 1987). Adapun dasar hukum yang digunakan adalah beberapa ayat al4XU¶DQ WHUXWDPD 6XUDW $OL ,PUDQ GDQ KDGLWV tentang nasehat Nabi SAW kepada Umar ibn
Khaththab berkenaan dengan tanah yang diperoleh Umar dari perang Kahibar. (Imam Suhadi, 1990).
Status kepemilikan tanah wakaf adalah terlepas dari kepentingan pribadi. Kepemilikan menjadi
hak Allah yang diawasi oleh pengelola (nadzir). (Abdoerraoef, 1970). Pemilik yang telah mewakafkan
tanahnya tidak lagi memiliki hak untuk mencampuri urusan peruntukan tanah tersebut selama
pengelola tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam ikrar wakaf. Sebaliknya pengelola
tanah wakaf juga tidak dapat melakukan pemanfaatan tanah secara bebas, karena pewakaf dapat
mengajukan persyaratan tertentu ketika mewakafkan tanah tersebut. (Azhar: 1987).
Lembaga wakaf tanah menjadi salah satu pranata penting bagi masyarakat muslim. Hal ini
disebabkan karena pewakafan mampu menjadi salah satu sarana pemberdayaan ekonomi yang
mandiri di lingkup masyarakat yang bersangkutan, utamanya terkait dengan pembiayaan bagi
keperluan umum dan keaagamaan. Studi yang telah dilakukan oleh Murat Cizakca (1998)
menunjukkan bahwa wakaf tanah telah memainkan peran yang sangat besar dalam memenuhi
kepentingan umum di berbagai negara. Di Turki, pada tahun 1931 rasio antara jumlah pegawai yang
bekerja pada asset wakaf dengan pegawai yang dipekerjakan pemerintah (pegawai negeri) berjumlah
12.68%. Dalam kajian yang lain, Ferhat Abbas, (2013) menyatakan bahwa di Mesir pada tahun 1913,
lembaga wakaf memiliki lebih dari 11 rumah sakit yang dapat melayani lebih dari satu juta pasien.
Dalam masa kejayaan Islam, wakaf memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan
peradaban. Lembaga pengelola wakaf dapat melakukan pemenuhan berbagai kepentingan umum,
termasuk dalam layanan pendidikan. Berbagai beasiswa dan bantuan keuangan (scholarship)
diberikan bagi orang-orang yang terlibat dalam aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga
perkembangan ilmu berjalan sangat cepat. Lebih dari itu, pemanfaatan tanah wakaf sudah sangat
10
terdiversifikasi, sehingga di antara wakaf digunakan untuk konservasi lingkungan berupa taman dan
tempat yang bebas bagi binatang (Agus Triyanta, 2012).
Karena itulah, optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia harus segera dilakukan, dari
tanah yang konvensional, yakni hanya dibiarkan berupa lahan dengan tanaman keras, atau bahkan
dibiarkan kosong misalnya, haruslah beralih pada orientasi yang bersifat produktif. Agus Triyanta
(1998) dengan mendasarkan pada sebuah riset wakaf menyimpulkan bahwa diversifikasi pemanfaatan
tanah wakaf masih sangat minim dilakukan oleh umat Islam. Dan karenanya disarankan perlunya
edukasi yang lebih intensif agar para pengelola wakaf menyadari pentingnya diversifikasi
pemaanfaatan tanah wakaf ke arah yang lebih produktif.
Tentu semua perubahan menuju terwudunya pemanfaatan yang optimal tersebut, tidak
mungkin tidak, memerlukan perubahan fungsi tanah wakaf dari fungsi semula menuju fungsi yang lebih
produktif. Sedangkan, perubahan fungsi tersebut bukannya tanpa kontroversi terkait status hukumnya.
Sebagian pendapat melarang, sebagaimana sebagiDQ\DQJODLQPHPEROHKNDQ3HQGDSDW,PDP6\DIL¶L
yang diikuti juga oleh para ulama, menyatakan bahwa perubahan atau alih fungsi tanah wakaf tidak
diperbolehkan. Sebaliknya, menurut Ibnu Hanbal berserta para pengikut madzhabnya, perubahan
pemanfaatan
dari semula yang dipersyaratkan oleh pewakaf adalah merupakan tindakan
diperbolehkan.(Imam Suhadi (1990).
Karena itu, studi Mahmassani (1981) dan Azhar Basyir (1994) menunjukkan bahwa pendapat
Ibnu Hanbal yang membolehkan tersebut lebih relevan untuk situasi saat ini, karena lebih berorientasi
manfaat masa depan serta bertumpu lebih banyak pada kemaslahatan. Adijani (1992) berpendapat
bahwa pada dasarnya tanah wakaf tidak boleh dijual, diwarisi, dan diberikan kepada orang lain. Tapi
seandainya asset wakaf tersebut rusak, tidak dapat lagi diambil manfaatnnya, maka boleh digunakan
untuk keperluan lain yang serupa, dijual dan dibelikan barang lain untuk meneruskan wakaf itu.
Artiya bahwa pendapat yang membolehkan perubahan fungsi atau pemanfaatan tersebut lebih
dapat diterima jika menggunakan pendekatan hukum progressif, serta lebih memenuhi nilai keadilan
dan kemaslahatan. Hal ini disebabkan dalam pendapat tersebut, wakaf dapat dimanfaatkan secara
optimal mengikuti kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
11
Karena itu, berbagai terobosan dapat dilakukan di Indonesia, termasuk melakukan diversifikasi
pemanfaatan tanah. Maka dalam konteks ini, konversi, baik dalam arti peralihan pemanfaatan wakaf
serta pertukaran tanah wakaf dengan tanah yang lain (ruislag), menjadi suatu jalan yang sangat
diperlukan. Misalnya saja, tanah wakaf yang memang layak untuk dibangun pusat dagang, rumah
susun,atau hal lain sejenisnya, maka semestinya dilakukan pengembangan pemanfaatan semacam
itu.
Ada beberapa pola yang dapat dikembangakan bagi pemanfaatan tanah wakaf yang pernah
digagas. Lywa S. Fauzie (2011) mengajukan sebuah rancangan yang sangat menarik, bahwa di atas
tanah wakaf dapat dibuat sebuah bangunan strata title (misalnya ruko, rusunawa dan apartemen),
sehingga dengan perubahan itu, fungsi tanah wakaf tidak berkurang, dan justeru akan lebih produktif
jika dibandingkan dengan pemanfaatan semua. Bahkan konsep ini jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan konsep BOT (Build-Own-Transfer) yang pernah dianggap yang terbaik untuk aset tanah wakaf
NDUHQD DVHWWDQDKWHUVHEXWWLGDN³KLODQJ´WHUMXDODWDXEHUSLQGDKWDQJDQWHtapi kembali lagi setelah 20
atau 30 tahun.
Lebih dari itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Rusun)
memberikan kemungkinan dimanfaatkannya tanah wakaf yang pemanfaatannya tidak optimal, dan
tanah terlantar untuk dibangun rumah susun yang kemudian dapat disewakan, yang dari situ akan
terjadi aliran finansial yang dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih luas lagi. (Ciptakarya, 2013).
Mengingat pentingnya persoalan tanah wakaf, sehingga Undang-Undang Pokok Agraria no. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA
mengatur ketentuan khusus mengenai wakaf sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (3) yang
PHQHQWXNDQ ³3HUZDNDIDQ WDQDK PLOLN GLOLQGXQJL GDQ GLDWXU GHQJDQ SHUDWXUDQ SHPHULQWDK´ 3HULQWDK
UUPA tersebut kemudian dilaksanakan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Perkembangan praktik perwakafan tanah milik yang sangat
dinamis, diikuti oleh pemerintah dengan membuat berbagai pranata hukum yang mengaturnya, dan
puncaknya pada tanggal 27 Oktober 2004 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf.
Terkait dengan perubahan pemanfaatan tanah wakaf, UUPA juga menegaskan memanfaatkan
tanah untuk fungsi social. Dinyatakan dalam penjelasan UUPA no. II, poin 4, bahwa hak atas tanah
12
yang ada pada seseorang tidak dibenarkan dipergunakan atau tidak dipergunakan semat-mata untuk
pribadinya melainkan harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat
baik baagi kesejaahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi
PDV\DUDNDW GDQ 1HJDUD /HELK ODQMXW GLQ\DWDNDQ EDKZD ³NHZDMLEDQ PHPHOLKDUD WDQDK WLGDN VDMD
dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya melainkan menjadi beban pula dari setiap
RUDQJEDGDQKXNXPDWDXLQVWDQVL\DQJPHPSXQ\DLVXDWXKXEXQJDQKXNXPGHQJDQWDQDKLWX´%XGL
Harsono, 1997).
Sehingga, upaya optimalisasi tanah wakaf dengan cara merubah pemanfaatannya bukan
hanya diperbolehkan dalam hukum Islam, namun juga sejalan dengan semangat UUPA, selama
perubahan itu tidak menghilangkan eksistensi tanah tersebut. Dalam hal ini, A.P. Perlindungan (1998)
PHQ\DWDNDQ³+DNDWDVWDQDKZDNDI\DQJVXGDKGLEHULNDQNHSada usaha sosial dan keagamaan, hanya
ada right to use saja, sedangkan right to disposal-nya tidak ada, karena dianggap ditariknya hak atas
tanah tersebut dari peredaran lalu lintas ekonomi, sehingga tidak boleh diasingkan ataupun dijadikan
jaminan hutang.´
Dari berbagai regulasi terkait dengan perwakafan sebagaimana tersebut di atas, serta dari
penafsiran terhadap berbagai pengaturan tersebut, memang tanah wakaf telah mendapat pengakuan
secara hukum, baik dalam Undang-Undang Wakaf dan Undang-Undang Pokok Agraria. Akan tetapi,
dalam hal pemanfaatan tanah wakaf yang lebih responsif terhadap perkembangan kebutuhan
masyarakat, dirasa masih kurang sehingga perlu dilakukan penyempurnaan secara memadai. Di sinilah
penelitian yang komprehensif tentang Optimalisasi Pemanfaatan Tanah Wakaf Bagi Kesejahteraan
Masyarakat Melalui Reformasi Kebijakan Agraria mendapatkan urgensinya.
Roadmap kegiatan penelitian ini dipaparkan pada tabel berikut:
Tahun
ke
Uraian Kegiatan
1)
2)
1
3)
Pengumpulan data tentang perwakafan di Indonesia.
Studi pustaka tentang berbagai teori yang berkaitan
dengan pemanfaatan tanah wakaf dan perbandingan
dengan pranata-pranata sejenis (misalnya trust dalam
konsep Barat).
Studi Pustaka tentang berbagai teori agraria terkait
optimalisasi tanah bagi kepentingan sosial (umum),
serta rekayasa kebijakan agraria yang mendukungnya.
Keterangan
Metode pengumpulan
data dan analisis
merujuk pada metode
penelelitian
hukum
yang
memadukan
aspek normatif dan
empiris.
13
4)
5)
6)
7)
1)
2
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
1)
3
2)
3)
4)
Pengumpulan data tentang pemanfaatan tanah wakaf
di Indonesia.
Identifikasi tentang kasus-kasus terobosan dalam
pemanfaatan tanah wakaf.
Analisa kasus-kasus terobosan dalam pemanfaatan
tanah wakaf.
Penulisan manuskript artikel jurnal tentang berbagai
kasus tanah wakaf di Indonesia dan pemanfaatannya.
Identifikasi kelemahan dari praktek pemanfaatan tanah
wakaf di Indonesia.
Identifikasi berbagai model optimalisasi pemanfaatan
tanah wakaf yang ideal yang dipraktikkan di berbagai
negara.
Identifikasi hambatan hukum bagi optimalisasi
pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia, utamanya di
bidang hukum agraria.
Analisis secara menyeluruh terhadap karakteristik
tanah wakaf di Indonesia.
Analisis secara menyeluruh terhadap karakteristik
pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia.
Pemetaan kebijakan agraria yang diperlukan guna
mendorong optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf.
Menyusun model optimalisasi pemanfaatan tanah
wakaf dengan mengeliminasi kelemahan yang ditemui,
dengan mengintegrasikan teori serta praktik yang ideal
di berbagai Negara, yang didorong dengan kebijakan
agraria.
Penulisan manuskript artikel jurnal tentang urgensi
mengadopsi berbagai model pemanfaatan tanah wakaf
yang ideal yang ada di berbagai Negara dengan
didorong oleh kebijakan agraria.
Pada tahun ke 2
ditargetkan sudah ada
satu publikasi hasil
penelitian pada jurnal
terakreditasi
dan
dihasilkan
satu
manuskript
untuk
publikasi jurnal lainnya
Forum diskusi dengan mitra yang konsen pada
masalah perwakafan terkait denga keagrariaan
(Lembaga Pengelola Wakaf, Badan Wakaf Indonesia,
Kementerian Agama RI dan BPN)
Penyusunan rumusan draft model optimalisasi
pemanfaatan tanah wakaf dengan mempertimbangkan
masukan dari mitra di atas.
Forum diskusi dengan mitra dari luar negeri yaitu: Law
Center, International Islamic University Malaysia
(IIUM) dan Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS)
serta Center for Islamic Economy, Al-Azhar University,
Cairo.
Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholder
Pada tahun ke 3
ditargetkan
ada
presentasi
pada
seminar internasional
bersama mitra dari luar
negeri serta dihasilkan
satu naskah untuk
jurnal
internasional
yang siap dikirim ke
Asean Journal of
14
5)
6)
7)
pengelola tanah wakaf yang dipilih.
Comparative Law
Finalisasi rumusan model optimalisasi pemanfaatan
tanah wakaf yang didukung dengan reformasi
kebijakan agraria.
Presentasi pada international seminar hasil penelitian
Penulisan manuskript artikel jurnal internasional
tentang model optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf
bagi kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan
agraria.
15
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan penelitian
Secara umum penelitian ini memiliki tujuan membuat model kebijakan agraria yangharus
dikembangkan untuk mendorong pemanfaatan tanah wakaf yang optimal bagi masyarakat. Adapun
tujuan yang lebih spesifik adalah:
1)
Memetakan berbagai cara pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia saat ini.
2)
Memetakan bagaimana kontribusi pemanfaatan tanah wakaf bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
3)
Mengidentifikasi dan memetakan berbagai hambatan yuridis bagi optimalisasi pemanfaatan
tanah wakaf, utamanya dalam bidang hukum agraria.
4)
Membangun model pemanfaatan tanah wakaf yang optimal yang didorong dengan reformaasi
kebijakaan agraria.
B. Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan terobosan yang perlu dilakukan berhubung dengan banyaknya tanah atau
asset wakaf yang tidak terkelola dengan baik. Salah satu factor yang menghambat adalah kerumitan
untuk melakukan diversifikasi pemanfaatan atau pengembangan fungsi tanah wakaf yang disebabkan
oleh system regulasi agraria yang belum kondusif. Sehingga sebuah model optimalisasi pemanfaatan
tanah wakaaf harus dilakukan dengaan mensinergikan upaya reformaasi di bidang agraria harus
dirumuskan.
Hasil penelitian ini berupa naskah model pemanfaatan tanah wakaf yang dapat secaara optimal
berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat, yang didorong melaalui reformasi di bidang aagraria,
yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi:
1)
Pengambil keputusan di bidang pengaturan pewakafan, yakni Kementerian Agama Republik
Indonesia.
2)
Sebagai bahan amandemen Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, khususnya Pasal 2 ayat (2).
3)
Sebagai bahan amandemen Undang-Undang no 41 tahun 2004 tentang Wakaf berikut
perubahan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
16
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang masih belum
mengakomodasi tuntutan perkembangan pewakafan secara optimal.
4)
Sebagai masukan bagi para pengelola tanah wakaf agar dapat melakukan perubahan dalam
pemanfaatan tanah wakaf.
Hasil akhir dari penelitian akan didessiminasikan kepada masyarakat ilmiah dan masyarakat secara
umum melalui seminar dan publikasi ilmiah, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Beberapa media publikasi yang direncanakan adalah:
1) Internasional : Asean Journal of Comparative Law
2) Nasional: Jurnal Hukum Fakultas Hukum UII dan Jurnal Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia
17
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di seluruh Indonesia. Namun studi lapangan yang lebih terfokus akan
dilakukan di berbagai lokasi pemanfaatan tanah wakaf yang telah melakukan terobosan bagi
optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini
bermaksud menemukan landasan pemikiran filosofi, konsepsi, dan pemanfaatan
perwakafan tanah, problematika hukum bidang agraria terkait dengan tanah wakaf, serta peran negara
melalui kebijakan agraria yang diperlukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif (Normative Legal Research) (Bagir Manan, 1999), sehingga metode pendekatan yang
digunakan adalah penelitian hukum normatif, menggunakan proses berfikir dan kaidah berfikir (M.
Daud Silalahi, 2001).
C. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan adalah hukum normatif yang didukung oleh pendekatan empiris
yang menggunakan data primer. Pendekatan sosiologis digunakan untuk menelaah mengenai bentuk
pemanfaatan tanah wakaf dalam masyarakat Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan
conceptual approach, ialah penelitian dengan maksud untuk membangun suatu konsep dengan
mendasarkan pada sistem norma tertentu (Marzuki, 2005).
D. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, serta bahan hukum primer, sekunder dan
tersier. Data primer diperoleh melalui studi lapangan sedangkan data sekunder diperoleh melalui
literatur dan berbagai dokumentasi yang berkaitan dengan perwakafan. Bahan hukum primer terdiri
dari: konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahan hukum sekunder terdiri dari : buku teks, jurnal, kasus-kasus di pengadilan, dan kasus-kasus di
luar pengadilan, serta pendapat para pakar dan tokoh adat. Bahaan hukum tersier terdiri dari: kamus
dan ensiklopedi. (Aslan Noor, 2003).
Penelitian dilakukan dalam dua tahap meliputi penelitian
perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian perpustakaan
18
(library research) dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
(Soerjono Soekanto, 1995), Kajian lapangan (field research) dimaksudkan untuk menggali data empiris
tentang perwakafan tanah dan optimalisasi pemanfaatannya, serta problematika hukum agraria yang
dihadapi.(Noeng Muhadjir ).
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dan disesuaikan dengan permasalahan dan metode pendekatan. Untuk
permasalahan pertama, pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun semua dokumen serta
melakukan studi lapangan terkait dengan perwakafan dan pemanfaatannya. Permasalahan kedua,
pengumpulan data dilakukan melalui identifikasi kasus-kasus yang telah terjadi, di samping itu,
pengumpulan data juga dilakukan melalui pengumpulan dokumen dan kepustakaan yang berkaitan
dengan regulasi dan kebijakan di bidang agraria terkait dengan wakaf. Guna memperjelas data dalam
permasalahan yang kedua ini diperlukan in-depth interview serta singkronisasi perundang-undangan
untuk mengungkap problem yuridis yang dijumpai. Sedangkan permasalahan ketiga, pengumpulan
data selain dilakukan dengan mengadopsi dan mengintegrasikan data yang telah tersedia, juga
dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dan diskusi publik lainnya.
F. Analisis Data
Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data akan diolah dengan metode kualitatif, ialah
menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data, mengambil arti
yang terkandung di dalamnya. Tahapan yang dilakukan adalah: 1) Reduksi data, di mana data
diringkas dan diramu dalam bentuk yang baku dan ilmiah, agar lebih mudah untuk dilakukan analisis
tahap selanjutnya. 2) Organisasi data. Di mana data diklasifikasikan (diorganisasikan) dalam kelaskelas sejenis, dalam genus-genus yang sama. 3) Penarikan interpretasi. Ini dilakukan denga metode
interpretasi ataupun cara-cara legal reasoning yang lain, termasuk content analysis menurt Erl Babbie
(Nurhasan Islamil, 2006) dan Claus Krippendorff (1991). Interpretasi juga akan membantu untuk bisa
menyajikan konsep norma hukum dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan lebih bersifat aplikatif.
4). Pengambilan kesimpulan.
19
BAB V
HASIL YANG DICAPAI
A. DINAMIKA PEMANFAATAN TANAH WAKAF
Hari ini, umat Islam hidup dalam era lebih kurang 1400 tahun dari kelahiran agamanya yang
dibawa oleh Nabi Muahammad saw. Dengan berbekal ajaran yang disampaikan Nabi tersebut, umat
Islam dituntut dan ditantang untuk dapat hidup dengan sejahtera secara spiritual maupun material.
Karena itulah,maka berbagai ajaran Nabi harus diberdayakan dan dioptimalkan bagi kemajuan dan
kesejahteraan umat Islam. Berbagai pembaharuan (reaktualisasi) harus dilakukan dalam batas-batas
yang memungkinkan. Kejayaan Islam masa lalu tidak terlepas dari pemberdayaan ajaran agama yang
ada pada ketika itu. Di antara ajaran tersebut adalah syariat terkait wakaf.
Dalam sejarah perjalanan umat Islam, wakaf telah memainkan peran yang sangat penting bagi
kemajuan umat Islam. Maka, saat ini, wakaf harus mendapatkan perhatian yang serius untuk dapat
diberdayakan dengan mengadopsi berbagai cara dan pengelolaan yang modern.
Islam itu bukan hanya sekedar agama dalam arti ritual sempit, namun Islam merupakan
sebuah dien atau cara hidup yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan. Karenanya, dan ini sudah
dibuktikan dalam kehidupan umat Islam masa lalu, Islam telah membekali umatnya dengan berbagai
aspek ajaran yang didisain untuk kesejahteraan umat.
Muamalah adalah fiqih yang terkait dengan kehidupan bermasyarakat, dalam hal ini termasuk
aktivitas ekonomi, politik dan aktivitas sosial lainnya. Wakaf adalah bagian dari fiqih muamalah ini.
Terkait dengan pemberdayaan kehidupan ekonomi umat ada ZIS (zakat, infaq dan shadaqah) serta
wakaf. Yang menarik adalah bahwa ada nama tersendiri yang bernama wakaf, jelas hal ini
menunjukkan bahwa wakaf adalah masalah yang penting.
Islam memiliki konsep yang unik terkait dengan kepemilikan harta. Harta bukanlah suatu hal
yang dapat secara mutlak menjadi properti seseorang dengan segala kebebasannya untuk mengelola
dan menikmati harta tersebut. Hal ini sangat nyata dapat dilihat dari adanya pranata wakaf dan zakat
dalam ajaran Islam.
Keduanya menunjukkan bahwa aset harta akan sangat baik jika dapat diwakafkan dan harus
sebagian disihkan dalam bentuk pembayaran zakat. Artinya ada kewajiban lain atas harta yang dimiliki
seseorang. Itulah yang disebut juga dengan Pemilikan harta dalam Islam itu disertai dengan tanggung
jawab moral. Yang hal itu memiliki konotasi bahwa segala sesuatu (harta benda) yang dimiliki oleh
20
seseorang atau lembaga, secara moral harus diyakini secara teologis bahwa sebagian harta tersebut
manjadi hak pihak lain, yaitu orang yang karena berbagai kondisi yang ada berada pada status sangat
memerlukan, atau sesuatu yang menjadi keperluan umum masyarakat.(Departemen Agama, 2005).
Di sinilah urgensi pewakafan tanah mengemuka, ialah sebagai sebuah solusi bagi masyarakat
muslim untuk dapat mengupayakan terwujudnya pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat dan
kebutuhan dalam hal-hal terkait kegiatan keagamaan. Sehingga, wakaf meniscayakan adanya solusi
keumatan yang belum tentu dijumpai konsep serupa dalam masyarakat lain.
1. Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa Arab waqf yang kemudian telah diserap dalam bahasa Indonesia
menjadi wakaf. Kata ini berasal dari kata kerja bahasa arab ϭϗϔΎ - ϳϘϒ - ϭϗϒ berarti ³EHUGLUL EHUKHQWL´
(A.W. Munawir, 1994; Mahmud Yunus, 1973).
Kata wakaf sering disebut juga dengan habs.
(Muhammad Fadlullah dan B.T.H Brendgeest,1925; Sayyid Sabiq, 1975). Dengan demikian, kata
wakaf itu dapat berarti berhenti, menghentikan dan dapat pula berarti menahan. Pengertian menahan
dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud wakaf dalam bahasa ini.
Menurut terminologi syariat Islam, wakaf berarti,
³ menyerahkan suatu hak milik yang
tahan lama zatnya kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau kepada suatu badan pengelola,
dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan
ajaran V\DUL¶DW Islam´ (Harun Nasution, 1992 dan Muhammad Daud Ali, 1988). Yang penting untuk
ditegaskan adalah bawa benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan
pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi ia menjadi hak milik Allah (hak umum). Sehingga dengan
adanya ikrar wakaf, maka terlepaslah sudah hubungan hukum kepemilikan benda tersebut dari pemilik
awalnya.
Meski demikian terdapat berbagai pendapat tentang wakaf. Berikut ini berbagai pendapat lain
mengenai pengertian wakaf:
Pertama, =DLQXGLQ ELQ $EGXO $]L] PHQGHILQLVNDQ ZDNDI VHEDJDL ³Menahan harta yang bisa
dimanfaatkan dalam keadaan barang masih tetap, dengan cara memutuskan penggunaannya
(pentasarufan) pada pemilikQ\DXQWXNGLEHODQMDNDQEDJLNHSHUOXDQ\DQJPXEDKDWDXWHUDUDK´ (Zaenudin
bin Abd. Aziz Al-Maribari, tt). Hal yang cukup menonjol di sini adalah bahwa wakaf digunakan untuk
keperluan yang mubah atau terarah. Hal ini menunjukkan bahwa keperluan wakaf bukan semata-mata
tempat-tempat yang sangat dekat kaitannya dengan ibadah mahdhah.
Kedua, Ahmad Azhar Basyir (1778), memberikan definisi wakaf dengan sangat singkat dan
general, bawha wakaf adalah yaitu menahan harta benda untuk keperluan amal kebaikan. Dari penertian
21
yang singkat ini hanya menegaskan bahwa alokasi pemanfaatan wakaf adalah kepentingan amal
kebaikan.
Ketiga, menurut jumhur ulama, wakaf ialah suatu harta yang mungkin dimanfaatkan selama
barangnya utuh. Dengan putusnya hak penggunaan dari wakif, untuk kebajikan yang semata-mata demi
beribadah kepada Allah (Abdurrahman, 1994). Harta wakaf atau hasilnya, dibelanjakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Dengan diwakafkannya harta itu, maka harta keluar dari pemilikan wakif,
dan kemudian harta wakaf tersebut secara hukum menjadi milik Allah. Karena itulah wakif, terhalang
untuk memanfaatkan dan wajib mendermakan hasilnya sesuai tujuan.
Keempat, rumusan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam memaknai wakaf sebagai
³SHUEXDWDQKXNXPVHVHRUDQJDWDX kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya, guna kepentingan ibadat atau keperluan
XPXPODLQQ\DVHVXDLGHQJDQDMDUDQ,VODP´SDVDOD\DW>@ Tim Redaksi Fokusmedia, 2005).
Kelima, pengertian diberikan oleh undang-undang, Republik Indonesia No 41 tahun 2004
WHQWDQJZDNDI'DODPXQGDQJPHQGHILQLVLNDQZDNDIVHEDJDLEHULNXW³:DNDIDGDODKSHUEXDWDQKXNXP
wakif
untuk
memisahkan
dan
atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya, untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya guna
NHSHUOXDQLEDGDKGDQDWDXNHVHMDKWHUDDQXPXPPHQXUXWV\DUL¶DK´8QGDQJ-Undang RI No 41 tahun
2004 Tentang Wakaf).
Berbagai pengertian di atas menunjukkan bahwa orang saling berbeda dalam memberikan
penjelasan tentang apa maksud dari wakaf tersebut. Namun dari kesemua pengertian di tas ada
sebuah prinsip yang paling mendasar dari konsep wakaf. Jika dianalisis, maka dapat ditarik kesimpulan
umum bahwa wakaf harus terdiri dari aspek-aspek sebagai brikut:
a) Harta benda itu merupakan milik yang sempurna seseorang atau badan hukum yang akan
mewakafkan.
b) Harta benda merupakan barang bersifat kekal dan tidak habis karena pemakaian.
c) Terjadi pelepasan hak kepemilikan dari orang yang mewakafkan
d) Harta benda yang dilepaskan kepemilikannya tersebut, menjadi milik Allah dalam arti tidak
dapat lagi dimanfaatkan, dihibahkan, diwariskan atau diperjualbelikan oleh pemilik awal atau
perorangan dan pihak lain selain nadzir atau orang dan lembaga yang diberikan hak menerima
dan mengelola wakaf.
e) Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, termasuk hal yang sifatnya mubah.
22
2. Dasar Hukum Wakaf
a. Al-Qur'an
Dalil atau landasan hukum yang menjadi dasar disyariatkan ibadah wakaf bersumber dari
penafsiran terhadap teks Al-quran dan As-sunah. Jika dicermati, dalam al-qur'an tidak secara tegas
menjelaskan tentang ajaran wakaf, bahkan tidak didapati ayat qur'an yang meQ\LQJJXQJ NDWD ZDTI´
(Achmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, 2005).
Meski demikian, karena wakaf itu merupakan salah satu bentuk perbuatan kebaikan dengan
melalui harta benda, dasarnya adalah adanya ayat-ayat yang memerintahkan manusia berbuat baik
untuk kebaikan masyarakat, yang dapat dijadikan sebagai landasan atau dasar wakaf, antara lain :
1). QS. Al-Baqarah, 2: 267
Artinya :
³Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah
kamu memilih yang buruk- buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya,
padahal
kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuiah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji´
Ayat ini memberikan anjuran kepada umat Islam untuk mecari dari berbagai macam benda
atau harta yang baik yang dihasilkan di muka bumi ini, untuk diberikan bagi kepentingan berbagai
macam kegiatan fi sabilillah, atau untuk kepentingan agama dan kebaikan. Karena kepentingan di jalan
Allah ini sifatnya umum atau general, maka dapat dimaklumi jika dalam unsur-unsur wakaf
sebagaimana disebut di atas adalah bahwa harta wakaf dapat dimanfaatkan dalam hal-hal yang
sifatnya mubah, ialah apa saja, yang meskipun tidak secara eksplisit dijelaskan dalam dalil al-4XU¶DQ
maupun sunnah, namun tidak dilarang dalam keduanya.
Lain dari pada itu, meskipun dalam ayat di atas Allah memerintahkan pada manusia, agar
memberi nafkah kepada yang butuh, tidak berarti karena Allah tidak mampu memberi secara langsung,
tetapi perintah ini adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia itu sendiri. (M. Quraish
Shihab, 2004).
-DGLNDWD³DQILTXX´PHPSXQ\DLDUWLPHQDINDKNDQDWDXPHQ\HGHNDKNDQZDNDI\DQJEDLN-baik
untuk diberikan kepada orang-orang ataupun badan hukum yang membutuhkan guna dipergunakan
bagi kepentingan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
23
2). QS. Ali Imran, 3: 92.
$UWLQ\D ³Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu
nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan sesungguhnya Allah
PHQJHWDKXLQ\D´
Di antara kesimpulan hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah bahwa puncak kebaikan
dapat diraih dengan cara memberikan atau mempersembahkan suatu barang atau kekayaan yang
dicintainya untuk kepentingan di jalan Allah, dan wakaf adalah salah satu bentuk kebaikan dimaksud.
Namun harus dicatat, bahwa keikhlasan harus menjadi prinsip utama, karena banyak orang yang
melakukan infaq dengan sesuatu yang dicintainya, tetapi dilakukan dengan dasar sikap riya atau
mencari perhatian manusia. Karenanya dalam wakaf, kepemilikan orang yang mewakafkan akan
dilepaskan dan diserahkan secara tulus kepada pengelola wakaf.
Lain dari pada itu, ayat ini juga menegaskan kepada kita bahwa di antara indikasi dan
parameter keimanan ialah mengeluarkan harta yang dicintai dijalan Allah dengan ikhlas serta niat
yang baik. Tidak dapat seseorang menjadi mukmin yang
sempurna
kalau
tidak
mau
menyedekahkan KDUWD\DQJGLFLQWDL$\DWGLDWDVVHULQJGLJXQDNDQIXTDKD¶XQWXNUXMXNDQZDNDI0
Hasbi Ash-Shiddieqy, 1965)
b. As- Sunnah
Di antara berbagai dasar hukum wakaf yang berupa sunnah Nabi adalah sebagai berikut:
Pertama, yaitu perintah Nabi kepada Umar bin Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang ada
di Khaibar, yaitu (Imam Muslim bin al-Hajj al-qusairy, tt; Ibnu Hajar Asqalany, 1993):
$UWLQ\D ´'DUL ,EQX 8PDU UD EHUNDWD ³8PDU WHODK PHQJXDVDL WDQDK GL .KDLEDU NHPXGLDQ LD
datang kepada Nabi SAW. Guna mHPLQWD LQWUXNVL VHKXEXQJDQ GHQJDQ WDQDK WHUVHEXW´ ,D
berkata: "Ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang aku tidak
menyenanginya seperti
padanya, apa yang engkau perintahkan kepada-ku
GHQJDQQ\D"´%HOLDX EHUVDEGD -LND NDPX PHQginginkannya, tahanlah asalnya, dan
VKDGDTDKNDQKDVLOQ\D´0DNDEHUVKDTDKODK8PDUWDQDKWHUVHEXWWLGDNELVDGLMXDOGLKLEDKNDQ
dan diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada orang- orang fakir, budak-budak, pejuang di
jalan Allah, Ibnu Sabil, dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan
GDUL KDVLO WDQDK WHUVHEXW GHQJDQ FDUD \DQJ PD¶UXI GDQ PHPDNDQQ\D WDQSD PDNVXG
PHPSHUND\DGLUL´
Kedua, hadits yang artinya : ³$SDELOD PDQXVLD PDWL PDND SXWXVODK VHPXD DPDO GDULQ\D
kecuali dari tiga hal yaitu shadakah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh yang
PHQGRDNDQ\D´ (H.R. Muslim). ( Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairy, tt)
24
Dengan menganalisis dalil di atas adalah sutu halyang jelas bahwa di antara makna penting
dari shadaqah jariyah adalah wakaf. Karena pahala wakaf akan terus menerus mengalir selama
barang wakaf itu masih dimanfaatkan. Sebagaimana keutamaan shadaqah jariyah ialah manfaat dan
pengaruhnya yang tetap berjalan setelah pemberi sedekah meninggal dunia. (Yusuf Qardhawi, 1996)
+DGLWV GL DWDV PHQMDGL DUJXPHQ \DQJ VDQJDW NXDW \DQJ PHQGDVDUL GLV\DUL¶DWNDQ\D ZDNDI
sebagai tindakan hukum, dengan mendermakan sebagian harta kekayaan untuk kepentingan umum,
baik kepentingan keagamaan ataupun kepentingan sosial dengan maksud memperoleh pahala dari
Allah SWT.
Memang jika dicermati, tidak banyak ayat-ayat al-4XU¶DQGDQ+DGLWV1DEL\DQJPHQ\LQJJXQJ
tentang wakaf. Wajar jika memang sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan
kedua sumber tersebut. Meskipun demikian, ayat al-4XU¶DQGDQ+DGLWV\DQJVHGLNLWLWXPDPSXPHQMDGL
SHGRPDQSDUDDKOLILTK,VODP'LVDPSLQJLWXVHMDNPDVD.KXODID¶XU5DV\LGLQVDPSDLVHNDUDQJGDODP
membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf melalui metode ijtihad. Sebab itu, sebagian
besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode
ijtihad yang bermacam-macam seperti, qiyas, maslahah mursalah, istihsan dan berbagi metode ijtihad
yang memungkinkan.
Maka, ketika suatu ketentuan hukum atau ajaran Islam masuk dalam ranah masalah ijtihadi,
maka hal tersebut sifatnya menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru,
dinamis dan tidak menutup kemungkinan bersifat futuristik (dapat dikembangkan dan berorientasi
pada masa depan). Atas dasar seperti inilah, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar
untuk dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini
termasuk dari bagian muamalah, ialah aspek yang berkaitan dengan hubungan antar manusia dan
kehidupan sehari-hari, maka ajaran tentang wakaf ini yang memiliki jangkauan yang sanga luas.
(Depag RI, 2004).
3. Macam-Macam Wakaf
Ditinjau dari segi tujuan atau peruntukan wakaf, pada dasarnya dibagi menjadi dua bentuk,
yaitu :
Pertama, wakaf ahli atau wakaf khusus adalah wakaf yang diperuntukkan bagi untuk orangorang tertentu, seorang atau lebih, baik itu keluarga wakif maupun orang lain (Mundzir Qahf, 2005).
Wakaf ahli ini kerap dan banyak juga terjadi dikalangan masyarakat. Bentuk wakaf ini, di dalam
prakteknya mirip dengan lembaga Adat yang berbentuk pusaka. Hanya bedanya, kalau wakaf ahli
pemberiannya itu tidak harus ditujukan hanya untuk keluarga pewakaf atau keturunan, melainkan dapat
25
diberikan kepada siapa saja sesuai dengan keinginan pewakaf, baik kepada orang- orang yang masih
terkait hubungan kekeluargaan dengan pewakaf ataupun tidak. ( Taufik Hammami, 2003).
Dalam satu segi, wakaf ahli ini baik, karena pewakaf mendapatkan dua kebaikan, yaitu
kebaikan dari amal ibadah wakaf dan juga kebaikan dari hubungan persaudaraan terhadap keluarga
yang diberikan wakaf. (Depag RI, 2004). Dari sisi hukum, wakaf semacam ini dipandang sah dan yang
berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. (Hendi
Suhendi, 2002).
Akan tetapi pada sisi lain wakaf ahli ini sering memunculkan masalah. Seperti halnya
bagaimana kalau anak cucu yang ditunjuk sudah tidak ada lagi, siapa yang berhak mengambil manfaat
benda wakaf tersebut, atau sebaliknya, bagaimana jika anak cucu pwakaf yang menjadi tujuan wakaf
itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara penyaluran yang merata dari
pembagian hasil harta wakaf tersebut.
Namun sebaliknya, jika dilihat dari sisi lainnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat
memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. (Muhammmad Daud Ali,
1988).
Yang kedua ialah wakaf khairi atau wakaf umum adalah wakaf yang diperuntukkan bagi
kepentingan atau kemaslahatan umum, atau sering disebut juga dengan istilah wakaf sosial. Wakaf
jenis ini jelas sifatnya institusional, ialah sebagai lembaga keagamaan dan lembaga sosial, atau dalam
pengertian lain dapat juga disebut sebagai badan hukum. Hal ini dapat dalam bentuk masjid,
madrasah, pesantren, asrama, rumah sakit dan rumah yatim piatu. (Muhammmad Daud Ali, 1988).
Wakaf khairi atau wakaf sosial inilah yang nampak lebih sesuai dengan ajaran Islam dan yang
dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang
terus mengalir bagi orang yang bersangkutan meskipun yang bersangkutan telah meninggal
dunia selama wakaf itu masih dapat dimanfaatkan.
Dalam penggunaannya wakaf khairi jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan wakaf
ahli. Hal ini disebabkan karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang mengambil manfaatnya. Dalam jenis
wakaf ini wakif atau pewakaf dapat mengambil manfaatnya dari harta yang diwakafkan itu, seperti
halnya masjid maka wakif boleh mempergunakannya (mengambil manfaatnya). Departemen Agama
RI, 2004).
Dilihat dari substansi, wakaf inilah yang lebih merupakan salah satu cara untuk
membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Dan harta benda yang diwakafkannya pun
benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan agama ataupun kepentingan umum.
26
Wakaf khairi ini nampak lebih sesuai dengan tujuan ibadah wakaf itu sendiri, yakni untuk
kemaslahatan umat, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan dan sasaran soial kemasyarakatan lainya.
Jika dilihat lebih jauh, wakaf ini sangat lebih kecil kemungkinanya untuk disalahgunakan, karena yang
memilikinya bukan perseorangan. Dengan demikian, harta wakaf tersebut benar-benar terasa
pemanfaatanya untuk kepentingan umum, tidak hanya untuk keluarga atau kerabat atau pihak-pihak
tertentu yang terbatas.
Sedangkan jika ditinjau dari segi jangka waktu atau keberlanjutannya,
wakaf ini dibagi dua
(2), yaitu : wakaf abadi dan wakaf sementara. Wakaf abadi ialah wakaf yang diikrarkan untuk jangka
waktu tidak terbatas dan tetap berlanjut sepanjang zaman. Wakaf model ini dapat dimanfaatkan dalam
jangka waktu yang panjang, tidak habis dalam sekali pakai, hal ini dikarenakan wakaf itu lebih
mementingkan manfaat dari benda tersebut.
Jika diamati lebih seksama, maka wakaf yang sebenarnya dalam Islam adalah wakaf abadi,
yang pahalanya berlipat ganda dan terus berjalan selama wakaf itu masih ada. Pahala wakaf ini
mengalir untuk pewakaf selama wakafnya terus berlangsung. Wakaf ini adalah yang biasa disebut
sebagai shadaqah jariyah yang paling sempurna bentuknya.
Pemanfaatan wakaf yang kekal seperi iti biasanya sangat mungkin untuk wakaf yang berupa
tanah. Tetapi untuk harta wakaf yang berupa bangunan atau berbagai bentuk fasilitas lainnya, tetap
memerlukan pembaruan dan perbaikan untuk menjaga keberlangsungapemanftannya. Hal itu dapat
dilakukan dengan perawatan dan rehabilitasi yang berkelanjutan atau mengganti benda baru atas
kebijakan Nazhir wakaf yang bendanya mengalami kerusakan karena sering digunakan. Namun, jika
untuk pemanfaatan wakaf tidak mempunyai sumber dana untuk pembiayaan perawatan dan
rehabilitasi, maka semua wakaf selain wakaf tanah hasilnya sementara, karena semua wakaf
selain tanah akan rusak dan punah yang menjadikan pemanfaatannya terhenti.
Wakaf sementara ialah wakaf yang sifatnya terbatas waktunya dan tidak abadi, baik
dikarenakan oleh bentuk barangnya maupun keinginan wakif sendiri. (Mundzir Qahf, 2005). Dari segi
penggunaan harta yang diwakafkan, wakaf bisa dibagi menjadi: mubasyir/dzati (harta wakaf yang
menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan
rumah sakit) dan istitsmary (harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi
barang-barang dan pelayanan yang dLEROHKNDQ V\DUD¶ GDODP EHQWXN DSDSXQ NHPXGLDQ KDVLOQ\D
diwakafkan sesuai keinginan waqif). (Mundzir Qahf, 2005).
27
4. Berbagai Pendapat Terkait Wakaf
:DNDI DGDODK SUDQDWD DWDX OHPEDJD GDODP V\DUL¶DW ,VODP \DQJ PHPEHULNDQ VWDWXV KXNXP
tersendiri pada harta kekayaan tertentu, yang dipindahkan dari harta kekayaan seseorang dengan
WXMXDQ XQWXN PHODNVDQDNDQ V\DUL¶DW ,VODP WHUXWDPD GDODP ELGDQJ SHULEDGDWDQ GDQ ELGDQJ VRVLDO
keagamaan.
Pada asalnya, hukum wakaf adalah MD¶L] (boleh). Tidak ada perselisihan dan tidak ada khilaf
SXODEDKZDZDNDIGLDQMXUNDQROHKV\DUL¶DW,VODPGDQPHPSXQ\DLHIHNKXNXPNHDJDPDDQ\DLWXRUDQJ
yang berwakaf akan mendapat pahala yang terus menerus mengalir pahalanya meskipun orang
tersebut telah meninggal, selama harta yang diwakafkan masih dapat diambil manfaatnya sebagai
wakaf. Meski demikian, dalam pelaksanaan wakaf sering dijumpai berbagai pendapat Imam
mazhab yang dapat penulis uraikan sebagai berikut :
a. Imam Malik
Menurut Imam Malik, memiliki pendapat bahwa harta yang diwakafkan tetap menjadi milik
orang yang mewakafkan, artinya harta wakaf itu tidak keluar dari wakif, meski demikian, harta itu
bersifat terhenti (mauquf) dan tidak lepas dari wakif. Harta yang diwakafkan itu tidak boleh ditasarufkan
atau ditransaksikan oleh wakif (pewakaf). Wakif dilarang menjual, menghibahkan dan mewakafkan
harta wakafnya. Wakaf diperbolehkan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan yang dikehendaki
oleh wakif. Wakaf dapat untuk jangka waktu selama-lamanya dan boleh untuk, misalnya saja lima
tahun, sesuai yang ditentukan oleh wakif. Kalau wakif tidak menentukan waktunya maka hal itu berarti
bahwa wakaf berlaku untuk selama- lamanya. Karena menurut Imam Malik bahwa harta wakaf itu tidak
keluar dari wakif dan boleh untuk waktu tertentu saja, maka apabila waktu yang ditentukan oleh wakif
sudah habis, orang yang mewakafkan boleh mengambil kembali hartanya. ( Muhammad Abu Zahrah,
19710.
Adapun alasan yang menjadi dasar bagi pendapatnya ialah pengertian yang dapat ditarik dari
hadits Umar bin Khattab bahwa yang disedekahkan dalam wakaf itu hanyalah manfaat dari harta wakaf
itu, sedangkan asalnya yang ditahan.
Adapun yang dimaksud dengan menahan asalnya ialah
menahan benda itu dari memindahkan milik yang dilakukan dengan tidak menjualnya, tidak
menghibahkan dan tidak mewariskannya. Sedangkan terkait dengan jangka waktu wakaf boleh dalam
waktu tertentu, karena tidak ada dalil yang mengharuskan wakaf untuk selamanya.
28
E,PDP6\DIL¶L
Sebagaimana halnya pendapat Abu Yusuf GDQ,PDP0DOLN,PDP6\DIL¶LEHUSHQGDSDWEDKZD
kepastian adanya wakaf di tunjukkan oleh adanya sighat (pernyataan) dari wakif dan terpenuhinya
kesemua rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf. Menurut beliau harta yang di wakafkan bukan lagi milik
orang yang mewakafkan (wakif) melainkan milik Allah. ( Al-Kasany al-Hanafy, TT).
,PDP6\DIL¶LEHUSHQGDSDWEDKZDMLNDVHVHRUDQJPHZDNDINDQKDUWDQ\DEHUDUWLPHQDKDQKDUWD
untuk selama-lamanya. Karena itu dia tidak membenarkan membatasi waktu wakaf seperti pendapat
Imam Malik. Oleh karena itu pula harta wakaf harus harta yang mempunyai manfaat yang lama, bukan
yang dapat segera rusak atau bahkan habis seketika setelah dipergunakan.
$ODVDQ\DQJGLSHJDQJROHK,PDP6\DIL¶LLDODKKDGLWV\DQJGLULZD\DWNDQGDUL8PDULEQ.KDWWab
tentang tanahnya di Khaibar, yaitu sabda Nabi: ³.DODX NDX PDX NDX WDKDQ KDUWD DVDOQ\D GDQ NDX
sedekahkan hasilnya, maka Umar pun mensedekahkan dengan tidak menjualnya, tidak
memberikannya, dan mewariskannya´'LDQWDUDSHQGDSDW\DQJNKDVDGDODKEDKZDtidak boleh harta
wakaf itu di transaksikan lagi, dan mewakafkan itu untuk selama-lamanya, karenanya tidak boleh ditarik
NHPEDOL$ODVDQODLQ\DQJGLNHPXNDNDQ6\DIL¶LLDODKEDKZDZDNDIDGDODKWHUPDVXNDNDGWDEDUUX¶, yaitu
memindahkan hak milik dari pemilik pertama kepada yang lain tanpa penggantian, pembayaran dan
penukaran.
c. Ahmad ibn Hanbal
Menurut Ahmad ibn Hanbal, apabila seseorang telah jelas mewakafkan, maka yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan bertindak atas harta wakafnya, dia tidak dapat
mentransaksikannya, dan juga tidak dapat menarik kembali harta yang telah di wakafkan itu.
(Muhammad Abu Zahrah, 1971). Benda wakaf itu harus merupakan benda yang dapat dijual walaupun
kalau sudah diwakafkan tidak boleh dijual, dan harus mempunyai manfaat yang kekal karena wakaf
untuk selama-lamanya.
Apabila benda yang di wakafkan itu rusak, boleh dijualnya dan dibelikan lagi untuk pengganti
benda itu. Hukum menjual benda wakaf yang rusak adalah karena darurat (dharurah), yaitu karena
tidak dapat dipergunakan lagi. Alasan beliau untuk pendapatnya tersebut. Jumhur fuqaha dan tokoh
Hanafiah, Abu Yusuf, menyatakan bahwa wakaf adalah menahan harta benda (habs al-ain) sehingga
benda itu tidak menjadi milik seseorang melainkan dalam status hukum milik Allah serta
mensedekahkan manfaatnya untuk kebaikan di masa kini dan masa mendatang. Golongan Hanabilah
mengatakan bahwa wakaf ialah menahan pokok (benda yang di wakafkan itu) dan mensedekahkan
hasilnya demi kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah. ( Juhaya S. Praja, 1997).
29
5. Pendayagunaan Tanah Wakaf Dalam Sejarah Islam
Institusi atau pranata wakaf memiliki peranan dalam perjalanan sejarah dan peradaban umat
Islam. Berbagai lembaga wakaf telah berfungsi sebagai tempat penyebaran ilmu dan budaya, dan
memberikan ruang bagi ulama, para ahli fikih dan budayawan untuk mengembangkan keilmuan dan
keahliannya. Di antara lembaga-lembaga wakaf yang memiliki fungsi tersebut sebagai berikut:
a. Masjid-Masjid
Sejak awal Islam, pembangunan masjid merupakan salah satu prioritas yang dilakukan umat
Islam. Masjid bukan saja menjadi tempat untuk beribadah, akan tetapi menjadi juga pusat dakwah
Islam, tempat penyiaran, pengajaran risalah Islam, bahkan tepat untuk membahas permasalahanpermasalahan politik dan sosial. Harus diakui bahwa sebagian besar masjid didirikan dengan status
wakaf. Masjid wakaf yang pertama kali berdiri adalah masjid Quba, yang didirikan oleh Rasulullah SAW
saat pertama kali menginjakkan kakinya di Madinah, kemudian Masjid Nabawi yang didirikan tahun
pertama Hijriah, kemudian bermunculan masjid-PDVMLGZDNDISDGDPDVD.KXODIƗCDO-5DV\LGƯQ%DQL
Umayyah dan Bani al-¶$EEƗV
Masjid-masjid yang terkenal yang menjadi kiblat bagi para ulama dan penuntut ilmu seperti
masjid Nabawi dan masjid al-Haram di Makkah, masjid Kufah tahun 14 H, masjid Basrah tahun 17 H,
PDVMLG8PDZ\GL'DPDVNXVWDKXQ+-DPL¶$PULEQDO-¶$VKGL0HVLUWDKXQ+-ƗPL¶,EQ7KXOnjQ
tahun 258H, dan Jami al-Azhar tahun 359 H. Masjid- masjid tersebut selain digunakan untuk
beribadah, juga mengadakan aktivitas kajian agama dan bahasa Arab, bahkan juga mengadakan
kajian ilmu-ilmu modern ketika itu seperti kedokteran, falak, hisab
dan lain sebagainya. Bahkan
beberapa universitas yang terkenal hingga sekarang, berasal dari masjid seperti universitas al-Azhar
Kairo, Universitas al- Zaitunah Tunis, dan Universitas al-Qurawiyyin Maroko.
Ibnu Bathutah menggambarkan akitivitas ilmu yang terjadi di masjid pada masa itu, di mana
masjid- masjid mengadakan halaqah-halaqah yang menggajarkan bermacam-macam ilmu
pengetahuan. Para ahli hadits membacakan hadits di atas bangku yang tinggi, dan membaca al-4XU¶DQ
dengan bacaan yang bagus setiap pagi dan sore. Beberapa kelompok guru mentalqinkan bacaan al4XU¶DQ NHSDGD DQDN-anak kecil, mereka tidak menulis al-4XU¶DQ GL SDSDQ WXOLV NDUHQD WDNXW PHUXVDN
citra al-4XU¶DQ3HQJDMDULOPXPHQXOLVPHQJDMDUNDQFDUDPHQXOLVV\DLUVHKLQJJDDQDN-anak setelah
belajar membaca, mereka kemudian belajar menulis.
Bersamaan dengan peranan masjid sebagai pusat pengajaran dan dakwah Islam, di sekitar
masjid berdiri asrama-asrama yang menampung orang-orang miskin ataupun penuntut Ilmu yang
30
EHUDVDOGDULWHPSDW\DQJMDXK\DQJGLNHQDOGHQJDQLVWLODK5XEƗWK.KDQLTDK=DZD\DKGDQ.KDODZ\
(Muhammad ibn AhPDGLEQ6KƗOLKDO-Shalih, 2001).
b. al-Katatib (Pusat Baca Tulis)
Al-Kuttab atau al-maktab merupakan tempat bagi anak- anak usia dini ataupun pemula yang
ingin belajar membaca dan menulis, belajar al-4XU¶DQGDQGDVDU-dasar ilmu-ilmu agama. Pada masa
bani Umayyah,al-katatib, diperuntukkan bagi anak-anak khalifah dan keluarga istana serta orang kaya,
akan tetapi selanjutnya bermunculan al-katatib yang didirikan oleh para dermawan sebagai wakaf
untuk anak-anak yatim, anak-anak miskin. Ibnu Huql mencatat dalam satu kota seperti Sicilia
berdiri 300 al-katatib, yang dalam satu al-kuttab menampung ratusan bahkan ribuan siswa.
(Mushtafa al-6LED¶L 1420 H).
Di Syam, berdiri al-katatib wakaf yang diperuntukkan bagi anak-anak golongan rendah dan
anak-anak miskin. Al-NDWƗWƯEWHUVHEXWEHUDGDGLVHNLWDUPDVMLGDO-Umawy di Damaskus. Di Kairo, pada
abad ke-6 Hijriah banyak berdiri al-katatib wakaf yan diperuntukkan bagi anak-anak yatim, masyarakat
PHVLUPHQDPDNDQOHPEDJDSHQGLGLNDQWHUVHEXWGHQJDQQDPDNXWWƗEVDEƯO0HQXUXWDO-0DTUƯ]\SDGD
PDVD0DPƗOƯNSHQJXDVDNHWLNDLWXPHQJHOXDUNDQLQVWUXNVLNHSDGDVHNRODK-sekolah untuk mendirikan
al-NDWƗWƯEEDJLDQDN-anak yatim yang tidak mampu. Anak-anak tersebut mendapatkan biaya hidup dan
pendidikan yang dibiayai dari hasil wakaf. Demikian pula yang dilakukan penguasa Usmaniyah dengan
tetap memperhatikan al-NDWƗWƯE VHKLQJJD DO-NDWƗWƯE WHODK EHUSHUDQ GDODP PHQ\HEDUNDQ GDVDU-dasar
agama bagi anak- anak, memberantas buta huruf di dunia Islam.
c. Madrasah (Sekolah)
Lembaga lain yang bersifat pendidikan berbasis wakaf yang juga memiliki peran dalam
kemajuan peradaban umat Islam adalah madrasah. Berbeda dengan lembaga pendidikan sebelumnya
yang ciri khasnya berdampingan dengan masjid, maka dalam perkembangannya madrasah terpisah
dengan masjid. Madrasah melakukan proses pendidikan dengan cara yang lebih formal, memiliki
tingkatan-tingkatan dan batas waktu pendidikan. Proses pendidikan dibiayai dengan dana wakaf
sehingga siswa-siswa belajar dengan gratis. Biaya operasional madrasah seperti menggaji guru dan
alat-alat pengajaran dibiayai dengan hasil wakaf.
Madrasah yang dibiayai dengan harta wakaf yang terkenal dalam sejarah Islam adalah
madrasah al-Nizhamiyah di Baghdad yang didirikan oleh Bani Saljuk Turki tahun 459H. Tujuan
pendirian madrasah ini menurut Nizham al-Mulk untuk mencetak pemuda-pemuda calon pemimpin
bangsa yang memiliki ilmu atas dasar akidah ahlus-sunnah. Kemunculan madrasah al- Nizhamiyah
31
yang didanai dengan dana wakaf diikuti dengan berdirinya madrasah-madrasah yang lain diberbagai
negara Islam, seperti madrasah wakaf al-Nuriyah di Suriah, yang didirikan oleh Nuruddin al-Zanki,
madrasah wakaf al- Zhahiriyah yang didirikan oleh al-Zhahir Beybers di Kairo tahun 626H, Madrasah
al-Shalihiyyah yang merupakan wakaf raja al-Shalih Najm al-Din Ayyub di Mesir tahun 641H, Madrasah
al-0DV¶XGL\DK\DQJGLGLULNDQROHK0DV¶XGDO- 6\DIL¶LGL%DJKGDG0DGUDVDKLQLPHQJDMDUNDQILNLKHPSDW
madzhab disamping ilmu-ilmu umum dan kedokteran. Lalu ada madrasah al-Shalahiyah di Halb yang
didirikan Amir Shalahuddin Yusuf al-Dawadar, madrasah al-Ghiyats atau madrasah al-Malik Manshur di
Mekkah, yang didirikan al- Manshur Ghiyats al-Din tahun 813H. Ada juga madrasah- madrasah lain
yang dibangun dan dibiayai operasionalnnya dengan dana wakaf, seperti madrasah al-Mustanshiriyah
GL%DJKGDGPDGUDVDK6XOWKDQ+DVDQ-DPL¶DO-Azhar di Mesir, al-Zaitunah di Tunis, al-Qurawiyyin di
Fes Maroko. (Muhammad ibn Ahmad LEQ6KƗOLKDO-Shalih, 2001)
Al--DPL¶DO-Azhar merupakan masjid sekaligus lembaga pendidikan yang didirikan oleh Jauhar
al-6KDTLO\SDQJOLPDSDVXNDQ0X¶L]OL'LQLOODKDO-Fathimy) pada tahun 359 H. Nama al-Azhar diambil
dari Fatimah al-Zahra. Pada tahun 365+ +DNLP DJXQJ $OL LEQ 1X¶PDQ DO-Qairawany mengadakan
halaqah yang merupakan halaqah ilmu pertama yang diadakan di al--DPL¶ DO-Azhar. Selanjutnya al-DPL¶ DO-Azhar mengalami perkembangan dalam penyebaran ilmu pengetahuan agama. (Muhammad
Abdullah Anan, 1354 H). Lewat perubahan kekuasaan, al-Jami; al- Azhar tidak hanya mengajarkan
ILTLKPD]KDE6\L¶DKDNDQWHWDSLMXJDILNLKPD]KDE,PDP-Imam yang empat.
d. Maktabah (Perpustakaan)
Lembaga berbasis wakaf lain yang memiliki peran dalam pembentukan intelektual umat Islam
adalah maktabah atau perpustakaan. Maktabah memiliki nama lain seperti khizanah al-kutub, bait alhikmah, dar al-ilm, dar al-kutub. Maktabah tersebar hampir diseluruh penjuru dunia Islam sejak
abad ke-4. Maktabah menjadi kiblat bagi penuntut ilmu, karena membantu mereka dalam memperoleh
ilmu pengetahuan lewat buku-buku dengan gratis. Maktabah yang didanai dengan harta wakaf yang
terkenal dalam sejarah Islam diantaranya adalah :
Pertama, Dar al-¶,OP GL 0RVXO : Dar al-¶,OP PHUXSDNDQ SHUSXVWDkaan wakaf pertama dalam
VHMDUDK,VODP'LGLULNDQROHK$EX4DVLP-D¶IDULEQ0XKDPPDGLEQ+DPGDQDO- Mushily, seorang ahli
ILNLKGDULPDG]KDE6\DIL¶LSDGDSHUPXODDQDEDGNH-4 Hijriah. Perpustakaan ini memiliki buku-buku
yang sangat banyak dalam bidang ilmu yang bermacam-macam. Hal tersebut dikarenakan Ibnu
Hamdan selaku pendiri perpustakan ini memiliki perhatian terhadap ilmu yang bermacam-macam
VHSHUWLILNLKV\D¶LUVDVWUDVHMDUDKGDQSHUELQWDQJDQ<DTnjWLEQ$EGXOODKDO-Hamawy, 1938).
32
Kedua, Dar al-Ilm di Baghdad : Dar al-Ilm merupakan perpustakaan umum yang diwakafkan
ROHK PHQWHUL 6ƗEnjU LEQ $UGDV\ƯU WDKXQ + 0HQXUXW ,EQX DO--DX]L 0HQWHUL 6DEnjU PHPEHOL UXPDK
pada tahun 381H, dan mengangkut semua koleksi buku yang dimilikinya yang berjumlah lebih dari
EXNX NH UXPDK WHUVHEXW GDQ PHQMDGLNDQQ\D VHEDJDL SHUSXVWDNDDQ GHQJDQ QDPD 'ƗU DO-Ilm.
(Abu al-)DUM$EGXUUDKPDQLEQµ$OL,EQXDO-Jauzy, 1359).
Ketiga, Dar al-Hikmah di Kairo 'ƗU DO-Hikmah merupakan perpustakaan yang sangat
terkenal dalam sejarah Islam.Didirikan oleh pendiri dinasti Fatimiyah, al-+ƗNLPEL$PULOODKWDKXQ+
Untuk membiayai perpustakaan tersebut, beliau mewakafkan rumah dan Hawanit (toko-toko) yang
keuntungannya untuk biaya perpustakaan.
Di samping berbagai hal di tas, pemanfaatan wanah wakaf sepanjang sejarah perjalanan umat
Islam juga dijumpai sangat menarik. Dalam perjalanan umat Islam berikutnya, wakaf juga menjadi
tulang punggung kesejahteraan umat. Dalam masa kejayaan Islam di bawah pemerintahan Umayyah
dan Abbasiyyah, peran wakaf sangat Nampak dalam mewujudkan kesejahteraan umat.
Wakaf ketika itu,bukan hanya untuk pendidikan, tetai juga didapati bahwa banyak wakaf
dijumpai untuk kesejahteraan umum.Misalnya, pada masa kejayaan peradaban Islam, umat Islam
dengan jelas menunjukkan bahwa akhlak terhadap binatang mendapat perhatian yang sangat tinggi. Di
Damaskus misalnya, terdapat tanah wakaf yang dikhususkan untuk binatang-binatang yang jinak,
dilengkapi dengan makanan untuk binatang tersebut. Disebutkan dalam sejarah, bahwa di sini, di
tempat yang dinamakan Suqrarodja, dipelihara kucing yang jumlahnya lebih dari 400 ekor, yang
kesemuanya gemuk-gemuk dan sehat-sehat. Bahkan ada juga wakaf khusus mengobati binatang, di
mana di areal lapangan hijau yang cukup luas di Damaskus yang dikhususkan untuk binatang yang
sudah tua dan lemah, agar bisa hidup bebas dengan penuh jaminan makanan sampai meninggal.
$VVLED¶L
Dalam bidang pendidikan, badan wakaf berperan sangat besar dalam memejukan pendidikan.
Dalam masa ketika dunia Barat (Eropa & Amerika) masih belum mengenal kemajuan ilmu
pengetahuan, dunia Islam sudah banyak lembaga pendidikan yang dibiayai dengan wakaf. Badan
wakaf dapat menyediakan pembiayaan, baik untuk beaseswa maupun gaji para pengajar. Sehingga,
dalam masa tersebut, orang belajar sangat didorong dengan support financial yang memadahi.
Dalam karyanya yang berjudul The Rise of College, George Makdisi memberikan deskripsi
bagaimana sistem gaji sudah diberikan ketika itu. Dalam sistem kependidikan Islam yang berkembang
pada abad 10 M (atau bahkan sebelumnya) itu, umat Islam telah memberlakukan berbagai ketetapan
honor dan penghargaan bagi para ilmuwan. Ilmuwan tidak melakukan komersialisasi ilmu dan keahlian
mereka secara bebas. Mayoritas yang terjadi, negara-lah yang menanggung gaji mereka. Kalau tidak,
33
yayasan (Badan Wakaf/ Charitable Fund) yang memberikannya. Al-Farabi, sorang ilmuwan besar
dalam ilmu sosial, selalu menerima gaji dari baitul mal 4 dnar per hari. (Makdisi, 1981). Salm al
Khasir, seorang ilmuwan yang mengahbiskan banyak uang peninggalan bapaknya untuk keperluan
belajar, mendapatkan hadiah 100.000 dinar dari Harun Al-Rasyid untuk sebuah karya tulis pada masa
itu. (Makdisi, 1981). Al-Firdausi, yang selain sebagai sastrawan dikenal juga dengan predikat ³IDWKHURI
3HUVLDQ+LVWRU\´ dijanjikan oleh Raja hadiah sebesar 60.000 keping uang emas untuk sebuah karyanya
yang berjudul Shah Namah, meski sebelum onta pembawa muatan itu sampai pada dirinya, dia telah
meninggal. (Nakosteen, 1964).
Meski begitu, bukan berarti pencari ilmu tidak membayar kepada gurunya. Dalam
perkembangan peradaban Islam, dijumpai juga bahwa murid juga membayar. Al-Hasan bin Shaibani
sebagai contoh, dinyatakan bahwa dia mewarisi dari kekayaan Bapaknya sebanyak 30.000 dirham,
dia gunakan itu untuk mempelajari grammar dan poetry, hadith dan fiqh. (Makdisi, 1981). Namun
banyak juga ilmuwan yang enggan menarik beaya dari muridnya, misalnya Ibn Naqur. Karena
kesibukan akademisnya, dia tidak bisa bekerja untuk menghidupi dirinya, sehingga As-Sirazy
PHQJHOXDUNDQ µOHJDO RSLQLRQ¶ EDKZD DQ-Naqur berhak untuk mendapat gaji. Meski dia tetap tidak
menarik beaya yang mencukupi, namun kemudian dia berhak mendapat zakat. (Makdisi, 1981).
Di samping itu, ada juga ilmuwan yang tidak digaji oleh siswanya, melainkan justeru
mencarikan sumber keuangan dari funding, misalnya Abu al-Husain al-Balki, sebuah fenomema yang
lain dari biasanya. Ada juga yang membagi-bagikan penghasilan pribadinya untuk kepentingan para
insan akademis, misalnya, Al-Hamdhani, seorang konsultan hukum (jurisconsult) di Isfahan yang
pertahunnya bisa mendapat uang 100.000 dirham. (Makdisi, 1981). Praktek semacm ini ternyata
justeru sangat mirip dengan apa yang terjadi dalam pendidikan modern, di mana para Professor atau
pembimbing justeru membantu mencarikan sumber dana (beaseswa) bagi para muridnya. Ini berarti,
praktek pendidikan Islam klasik telah memiliki sebuah nilai yang sangat tinggi, berarti sekitar 1000
tahun mendahului apa yang sekarang menjadi bagian dari sistem pendidikan di negara-negara maju
dan modern.
Untuk bisa mengetahui bagaimana alokasi pembeayaan aktivitas keilmuan ketika itu, bisa
diberikan sebagai gambaran, bahwa pada abad 12 M, sebuah yayasan pendidikan The Syafií Imadiya
College of Law, memiliki expenditure sbb: (Makdisi, 1981).
seorang Syaikh/ profesor
(60
dirham/bulan), penyediaan tikar (300 dirham/bulan), biaya minyak lampu (24 dirham/bulan), gaji
pemelihara
(100 dirham/bulan), Imam (40 dirham/bulan), sedangkan bagi beasiswa Fellows
sebesar 20 dirham/bulan.
34
B. MODEL PEMANFAATAN TANAH WAKAF DI INDONESIA
Di Indonesia, ajaran terntang wakaf dan tradisinya telah berkembangan sangat lama atau tua.
Banyak warisan tanah wakaf yang dipergunakan untuk berbagai kepentingan. Melihat berbagai fakta
tentang perwakafan, maka jika dilihat dari sehi pemanfaatannya, maka bentuk pemanfaatan tanah
wakaf dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1). Bidang peribadatan
Secara umum, tujuan yang paling banyak dipegang oleh orang yang mewakafkan tanahnya
adalah untuk kepentingan tempat peribadatan. Hal ini tentu saja karena adanya pandangan teologis
yang meyakini bahwa wakaf terbaik adalah untuk kepentingan peribadatan dengan mengabaikan
kontek dan situasinya. Meang hal itu tidak salah karena adanya dalil tekstual yang menyatakan bahwa
membangun tempat ibadah di dunia akan diberikan balasan dengan dibangunkan rumah di surga.
Namun, dikarenakan mengabaikan konteks dan situasi sehingga kebanyakan wakaf diperuntukkan
bagi sarana peribadahan, utamanya adalah masjid. Sehingga akhirnya terlalu banyak masjid didirikan
dalam komunitas tertentu, yang bahkan terkadang kurang terrawat dengan baik karena kurangnya
pembiayaan.
Maka, tidak mengherankan jika fokus tanah wakaf di indonesia banyak diguakan untuk aspek
peribadatan, semisal masjid, mushola dan sebagainya. Selama ini tanah wakaf yang digunakan untuk
hal tersebut maksimal karena tingkat antusias warga untuk beribadah di samping memang tanah yang
digunakan untuk masjid harus tanah wakaf, menurut pendapat para Ulama.
2). Kepentingan umum
Meskipun tidak banyak, namun, wakaf untuk kepentingan umum juga terjadi di kalangan
masyarakat. Hal ini mencerminkan kesadaran di kalangan masyarakat tentang wakaf yang lebih
berorientasi sosial. Misalnya saja yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro, di mana wakaf diperuntukkan
bagi pembuatan pasar. Di kala masyarakat para pedagang kecil tidak mendapat tempat di pasar
yang didirikan oleh pemerintah untuk berdagang, seorang wakif mewakafkan sebidang tanahnya lebih
kurang 1000 meter persegi untuk kepentingan pedagang-pedagang kecil berjualan sebagai pasar. Hal
ini terdapat di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur tanah wakaf yang dialokasikan untuk kepentingan
umum ini biasanya di gunakan untuk pemakaman, pasar, panti asuhan dll. sejauh ini bila dipedesaan
sudah optimal. (Asharinnuha, 2005).
35
3). Bidang pendidikan
Tanah wakaf yang difungsikan untuk pendidikan banyak contohnya, di jawa timur pondokpondok pesantren banyak yang menggunakan tanah wakaf, semisal pondok pesantren Darussalam
Gontor Ponorogo, dan juga di tingkat universitas juga ada semisal Universitas Islam Yogyakarta.
(Asharinnuha, 2005). Selama ini dapat dikatakan sebagai pemanfaatan yang optimal atas tanah wakaf
tersebut.
4). Bidang komersil
Meski sangat jarang, namun wakaf untuk kepentingan komersial juga nampak mulai diminati.
Pihak swasta mungkin dapat bekerja sama (bagi hasil) dengan pengelola wakaf (nadzir) menurut
syarat-syarat yang disepakati bersama. Mungkin pula pihak swasta mengelola sepenuhnya misalnya
Stasiun Pompa Bensin Umum Jl. Soekarno-Hatta milik BKM Semarang. yang keuntungannya dapat
dipergunakan untuk memakmurkan Masjid Agung Jawa Tengah. Atau orang yang menanamkan
modalnya tanpa mengharapkan sesuatu keuntungan, dengan perkataan lain seluruh keuntungannya
diberikan kepada pihak pengelola tanah wakaf itu.
Kemungkinan lain, pihak swasta dapat menyediakan sejumlah dana dalam bentuk infaq atau
shadaqah yang akan digunakan sebagai modal kerja untuk pengembangan tanah wakaf secara
ekonomis itu. (Asharinnuha, 2005). Menurut saya penggunaan tanah untuk kepentingan di bidang
komersiil sudah optimal.
1. Pemanfaatan Menurut Statistik
Tanah wakaf di Indonesis sebenarnya jumlahnya sangat banyak dan dengan luasan yang
sangat besar. Menurut statistik dari Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, luas tanah
wakaf di Indonesia mencapai 80.824.725 m2. Tanah wakaf ini tersebar di berbagai wilayah di seluruh
penjuru Indonesia. Secara rinci, berikut ini statistik perwakafan di Indonesia:
36
Tabel 2
Data Wakaf Umum Per-Propinsi se Indonesia1
No
Provinsi
1
ACEH
3.256.211
2
SUMATERA UTARA
1.968.116
3
SUMATERA BARAT
295.081
4
RIAU
229.457
5
JAMBI
862.191
6
SUMATERA SELATAN
524.250
7
BENGKULU
424.479
8
LAMPUNG
9
KEP. BANGKA BELITUNG
626.693
10
KEPULAUAN RIAU
620.791
11
DKI JAKARTA
461.941
12
JAWA BARAT
14.259.818
13
JAWA TENGAH
7.724.825
14
DI YOGYAKARTA
1.848.592
15
JAWA TIMUR
16
BANTEN
17
BALI
1.957.400
18
NUSA TENGGARA BARAT
2.802.974
19
NUSA TENGGARA TIMUR
746.425
20
KALIMANTAN BARAT
384.620
21
KALIMANTAN TENGAH
300.451
22
KALIMANTAN SELATAN
20.134.697
12.171.292
837.917
2.221.960
23
KALIMANTAN TIMUR
824.659
24
SULAWESI UTARA
296.100
25
SULAWESI TENGAH
37.204
26
SULAWESI SELATAN
586.524
27
SULAWESI TENGGARA
276.121
28
GORONTALO
29
SULAWESI BARAT
30
MALUKU
31
MALUKU UTARA
533.331
32
PAPUA
565.454
33
PAPUA BARAT
163.457
Jumlah
1
LUAS
(dalam
m2)
72.172
2.802.974
6.549
Sudah
Sertifikat
Belum
Sertifikat
Sudah
AIW
Belum
AIW
598.128,50
1.263.890,05
1.262.290,05
1.600,00
80.411,07
154.203,75
153.733,75
470
129.634,00
23.431,82
23.431,82
0
80.147,00
150.297,95
143.537,95
6.760,00
628.738,00
239.425,60
159.510,10
79.915,50
127.940,00
401.360,59
396.660,59
4.700,00
0
424.479,00
424.479,00
0
137.190,40
7.507,00
7.127,00
380
491.672,00
135.021,00
94.324,00
40.697,00
294.990,79
349.675,99
349.675,99
0
169.334,54
39.652,81
39.652,81
0
3.391.237,25
2.881.373,46
2.879.272,00
2.101,46
3.205.819,83
869.417,55
783.852,55
85.565,00
1.367.198,25
56.424,50
56.204,50
220
706.117,38
509.494,31
509.494,31
0
42.340,71
438.812,98
333.977,48
104.835,50
1.750.934,89
206.464,61
131.807,61
74.657,00
1.799.914,00
998.688,00
998.688,00
0
373.381,00
373.043,75
356.102,00
16.941,75
135.332,10
215.404,84
168.054,84
47.350,00
28.231,55
5.029,87
5.029,87
0
2.076.171,70
145.579,23
139.171,23
6.408,00
298.490,23
521.425,24
521.101,24
324
0
111.679,46
111.679,46
0
30.086,00
7.118,00
7.118,00
0
169.692,78
407.247,17
401.616,49
5.630,68
189.902,00
86.219,00
86.219,00
0
13.879,87
44.662,00
28.991,00
15.671,00
216.509,00
3.513.626,31
1.108.353,79
2.405.272,52
5.604,00
0
0
0
533.331,00
0
0
0
201.616,83
363.836,75
3.069,00
360.767,75
19.560,00
143.897,00
2.500,00
141.397,00
80.824.725
Diolah dari statistik wakaf pada http://simbi.kemenag.go.id/siwak/ akses, 1 September 2014
37
Dari tabel di atas nampak bahwa sebaran tanah wakaf ada di seluruh propinsi di Indonesia,
meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda. Untuk melihat urutan di propinsi mana yang memiliki
tanah wakaf yang paling luas, tabel berikut dapat menunjukkan dengan jelas.
Tabel 3
Luas Tanah Wakaf Per-Propinsi dengan Urutan Terluas 2
No
Provinsi
1
LAMPUNG
2
JAWA BARAT
14.259.818
3
JAWA TIMUR
12.171.292
4
JAWA TENGAH
7.724.825
5
ACEH
3.256.211
6
NUSA TENGGARA BARAT
2.802.974
7
SULAWESI BARAT
2.802.974
8
KALIMANTAN SELATAN
2.221.960
20.134.697
9
SUMATERA UTARA
1.968.116
10
BALI
1.957.400
11
DI YOGYAKARTA
1.848.592
12
JAMBI
862.191
13
BANTEN
837.917
14
KALIMANTAN TIMUR
824.659
15
NUSA TENGGARA TIMUR
746.425
16
KEP. BANGKA BELITUNG
626.693
17
KEPULAUAN RIAU
620.791
18
SULAWESI SELATAN
586.524
19
PAPUA
565.454
20
MALUKU UTARA
533.331
21
SUMATERA SELATAN
524.250
22
DKI JAKARTA
461.941
23
BENGKULU
424.479
24
KALIMANTAN BARAT
384.620
25
KALIMANTAN TENGAH
300.451
26
SULAWESI UTARA
296.100
27
SUMATERA BARAT
295.081
28
SULAWESI TENGGARA
276.121
29
RIAU
229.457
30
PAPUA BARAT
163.457
31
GORONTALO
72.172
32
SULAWESI TENGAH
37.204
33
MALUKU
Jumlah
2
DATA LUAS TOTAL
6.549
80.824.725
Diolah dari statistik wakaf pada http://simbi.kemenag.go.id/siwak/ akses, 1 September 2014
38
Dari ragaan di atas, nampak bahwa tanah wakaf yang paling luas terdapat di Propinsi
Lampung, ialah seluas 20.134.697 m2, atau setara dengan 201 hekar lebih. Hal ini merupakan aset
yang sangat besar bagi umat Islam. Sedangkan yang kedua adalah Jawa Barat dengan luas
14.259.818 m2. Baru kemudian yang ketiga disusul oleh Jawa Timur dengan luasan 12.171.292 m2.
Juga Sumatera Barat, sebuah wilayah yang sangat dikenal religius, bahkan memiliki kultur yang sangat
dekat dengan Islam, ialah adat bersandi syara dan syara bersandi kitabullah, ternyata juga berada
pada urutan-urutan bawah dari keseluruhan propinsi yang ada.
Sedangkan tiga propinsi dengan tanah wakaf yang paling kecil adalah Maluku dengan luas
6.549 m2, Kemudian urutan kedua dari bawah adalah Sulawesi Tengah, dengan luas 37.204m2. Baru
kemudian urutan ketiga dari bawah ialah Gorontalo dengan luas 72.172 m2.
Dengan melihat hal tersebut, ternyata tidak secara otomatis bahwa wilayah yang secara
sosiologis memiliki kultur Islam mesti memiliki lahan tanah wakaf yang besar atau luas, misalnya saja
Gorontalo, wilayah yang dikenal dengan komunitas Muslim dan kultur Islam yang relatif dominan
ternyata pada posisi yang rendah dalam hal luasan tanah wakaf. Sumatera Barat, berdasar data
statistik di atas, menempati urutan ke 7 dari bawah. Ini juga suatu hal yang menarik. Sumatera Barat
GLNHQDO GHQJDQ SHQ\RNRQJ V\DULDW ,VODP \DQJ VDQJDW LGHQWLN GHQJDQ DVDO PXDVDO DGDJLXP ³DGDW
EHUVDQGL V\DUD¶ GDQ V\DUD¶ EHUVDQGL NLEDWXOODK´ .HVLPSXODQ VHPHQWDUD \DQJ GDSDW GLDPELO DGDODK
bahwa dominasi Islam secara sosio dan kultural ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan luasnya
tanah wakaf. Indikasi yang dapat dibaca adalah bahwa tauhid dan fikih sosial belum menjadi bagian
integral dari pemahaman ajaran Islam secara umum.
Di luar apa yang terpaparkan di atas, ada fakta yang cukup menarik setelah peneliti
mencermati data setiap propinsi yang lebih rinci. Fakta yang dimaksud adalah: 3
1). Di Propinsi Lampung, propinsi dengan tanah wakaf terluas secara nasional, terdapat satu (1) orang
yang memberikan wakaf dengan total luas tanah mencapai sekitar 200 hektar. Hal ini tentu
menunjukkan adanya kesadaran yang sangat tinggi tentang wakaf.
2). Di Propinsi Jawa Barat, dijumpai fakta bahwa satu (1) orang memiliki 30 persil wakaf. Sekali lagi hal
ini juga menunjukkan bahwa kesadaran berwakaf telah menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri. Hal ini memberikan gambaran yang lebih konkrit tentang bagaimana tauhid dan fiqkih
sosial telah menjadi suatu pemahaman umum.
3). Di Propinsi Yogyakarta, dalam data statistik yang ada telah menunjukkan sajian informasi yang
lebih detail, ialah bahwa dalam tanah wakaf yang ada dikemukakan dengan jelas kepemilikan dari
3
Disimpulkan dari data olahan setiap propinsi dari statistik wakaf pada http://simbi.kemenag.go.id/siwak/ akses,
1 September 2014
39
organisasi massa Islam terbesar, ialah apakah sebidang tanah tersebut milik Muhammadiyah
ataukah tanah tersebut dimiliki oleh Nahdhatul Ulama (NU).
4). Khusus untuk data di Propinsi Jawa Timur, terkait dengan Pondok Modern Darussalam Gontor
Ponorogo, kepemilikan banyak diatasnamakan KH Ahmad Sahal. Tentu saja hal ini cukup menjadi
perhatian, mengingat kekayaan atau aset wakaf yang dimiliki oleh Pondok Gontor tersebut sangat
besar. Sehingga penggunaan nama perorangan seperti itu memerlukan kelengkapan administrasi
tambahan yang dapat menunjukkan bahwa nama orang yang tercantum dalam akta yang ada tidak
berarti secara pribadi, namun kelembagaan.
Dari catatan fakta menarik tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa adanya wakaf satu
orang dengan luasan yang sangat besar di Propinsi Lampung serta adanya seorang pewakaf yang
mewakafkan 30 persil bidang tanah wakaf tersebut menunjukkan bahwa mengapa dua propinsi
tersebut menduduki urutan pertama dan kedua dalam hal luasan tanah wakaf, memang kesadaran
masyarakat muslim di wilayah tersebut sudah tinggi.
Pemanfaatan tanah wakaf merupakan suatu aspek yang sangat penting. Hal ini dikarenakan
dengan model-model yang ditempuh atau dipilih bagi pengelolaan dan pemanfaatan tanah wakaf akan
sangat tergantung pada tingkat pemahaman keberagamaan. Berikut ini tabel yang merupakan sajian
data dari pemanfaatan atau peruntukan tanah wakaf di Indonesia:
40
4
JAMBI
SUMATERA SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
KEP. BANGKA BELITUNG
5
6
7
8
9
DI YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
BANTEN
BALI
NUSA TENGGARA BARAT
NUSA TENGGARA TIMUR
13
14
15
16
17
18
19
746.425
2.802.974
1.957.400
837.917
12.171.292
1.848.592
7.724.825
14.259.818
461.941
620.791
626.693
20.134.697
424.479
524.250
862.191
229.457
295.081
1.968.116
3.256.211
LUAS
274.837
1.486.111
698.171
488.351
1.447.206
1.377.801
3.488.230
7.327.131
424.568
287.333
52.102
20.074.284
109.632
122.691
277.575
104.543
152.618
952.631
WAKAF
MASJID /
MSHOLA
537.019
%
0,37
0,53
0,36
0,58
0,12
0,75
0,45
0,51
0,92
0,46
0,08
1,00
0,26
0,23
0,32
0,46
0,52
0,48
0,16
84.372
595.655
532.729
116.554
23.562
7.928
142.897
676.113
0
184.583
368.990
0
104.416
176.349
400.550
25.785
21.416
560.721
315.275
WAKAF
MAKAM
Diolah dari statistik wakaf pada http://simbi.kemenag.go.id/siwak/ akses, 1 September 2014
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
12
KEPULAUAN RIAU
RIAU
4
DKI JAKARTA
SUMATERA BARAT
3
11
SUMATERA UTARA
2
10
ACEH
1
Provinsi
%
0,11
0,21
0,27
0,14
0,00
0,00
0,02
0,05
0,00
0,30
0,59
0,00
0,25
0,34
0,46
0,11
0,07
0,28
0,10
0
34.466
38.769
27.361
367.539
99.929
581.181
571.621
90
70.510
141.568
8.935
15.226
15.000
14.396
52.500
4.947
27.168
1.661.259
WAKAF
PESANTREN
Tabel 4
Proporsi Pemanfaatan Tanah Wakaf Per-Propinsi4
%
0,00
0,01
0,02
0,03
0,03
0,05
0,08
0,04
0,00
0,11
0,23
0,00
0,04
0,03
0,02
0,23
0,02
0,01
0,51
209.856
151.419
88.009
143.471
7.696.004
247.908
1.563.105
1.239.216
18.672
68.283
70.510
6.635
66.401
161.186
98.743
14.622
56.336
149.384
248.037
WAKAF
SEKO-LAH
%
0,28
0,05
0,04
0,17
0,63
0,13
0,09
0,04
0,11
0,11
0,00
0,16
0,31
0,11
0,06
0,19
0,08
0,08
41
177.360
535.323
599.721
62.181
2.636.837
206.091
2.279.238
4.436.177
17.851
17.232
3.035
51.478
128.804
49.024
70.927
32.007
59.764
278.212
494.621
WAKAF SOSIAL
LAIN
%
0,24
0,19
0,31
0,07
0,22
0,11
0,30
0,31
0,04
0,03
0,00
0,00
0,30
0,09
0,08
0,14
0,20
0,14
0,15
Jumlah
PAPUA
PAPUA BARAT
SULAWESI BARAT
29
33
GORONTALO
28
32
SULAWESI TENGGARA
27
MALUKU
SULAWESI SELATAN
26
MALUKU UTARA
SULAWESI TENGAH
25
31
SULAWESI UTARA
24
30
KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTAN TIMUR
23
21
22
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN TENGAH
20
384.620
80.824.725
163.457
565.454
533.331
6.549
2.802.974
72.172
276.121
586.524
37.204
296.100
824.659
2.221.960
300.451
43.690.952
163.457
325.906
328.925
5.005
1.486.111
47.600
159.926
169.112
12.905
115.575
273.177
546.278
203.565
170.576
54,056
1,00
0,58
0,62
0,76
0,53
0,66
0,58
0,29
0,35
0,39
0,33
0,25
0,68
0,44
5.944.176
0
0
89.654
1.544
595.655
14.626
30.420
279.967
0
116.101
79.379
269.640
21.434
107.860
7,35
0,00
0,00
0,17
0,24
0,21
0,20
0,11
0,48
0,00
0,39
0,10
0,12
0,07
0,28
6.271
4.263.876
0
5.000
0
0
34.466
0
0
44.705
0
3.598
230.493
172.503
34.376
5,28
0,00
0,01
0,00
0,00
0,01
0,00
0,00
0,08
0,00
0,01
0,28
0,08
0,11
0,02
13.608.726
0
163.613
46.277
0
151.419
8.573
70.331
19.918
4.254
47.703
12.552
650.475
74.863
60.950
16,84
0,00
0,29
0,09
0,00
0,05
0,12
0,25
0,03
0,11
0,16
0,02
0,29
0,25
0,16
42
13.224.772
0
70.934
68.475
0
535.323
1.373
15.444
72.821
20.045
13.123
229.058
39.526
589
22.177
16,36
0,00
0,13
0,13
0,00
0,19
0,02
0,06
0,12
0,54
0,04
0,28
0,02
0,00
0,06
Dari ragaan di atas, nampak bahwa pemanfaatan tanah wakaf di Indonesai di Indoneisa, secara
berurutan sebagai berikut:
1) Untuk keperluan tempat ibadah (masjid dan mushalla) dengan total luasan 43.690.952 m2,
atau 54,056 % dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia
2) Untuk keperluan prasarana sekolah dengan total 13.608.726 m2, atau 16,84% dari luas
keseluruhan tanah wakaf di Indonesia
3) Untuk keperluan wakaf sosial lainnya, dengan total luasan 13.224.772 m2, atau 16,36% dari
luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia
4) Untuk keperluan tanah pemakaman dengan total luasan 5.944.176 m2, atau 7,35% dari luas
keseluruhan tanah wakaf di Indonesia
5) Untuk keperluan pendididikan pesantren dengan total luasan 4.263.876m2, atau 5,28% dari
luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia
Adapun untuk tiga propinsi dengan luasan tanah wakaf tertinggi secara nasional, yakni
Propinsi Lampung, Jawa Barat dan Jawa Timur, proporsi pemanfaatan tanah wakafnya bervariasi.
Propinsi Lampung, yang memiliki tanah wakaf seluas 20.134.697 m2, atau setara dengan
201 hekar lebih, pemanfaatan tanah wakaf untuk prasarana peribadatan seluas 20.074.284,
pesantren 8.935, keperluan sosial seluas 6.635, sedangkan untuk tanah makam dan sekolah
kosong.
Sedangkan yang kedua adalah Jawa Barat dengan luas 14.259.818 m2. Ibadah 7.327.131,
makam 676.113, pesantren 571.621, sekolah 1.239.216, lainnya 4.436.177.
Baru kemudian yang ketiga disusul oleh Jawa Timur dengan luasan 12.171.292 m2. Untuk
prasarana ibadah 1.447.206, untuk makam 23.562, pesantren 367.539, sekolah 7.696.004 dan untuk
keperluan sosial lainnya adalah 2.636.837.
Jadi jelaslah, bahwa pemanfaatan wakaf di Indonesia sangat didominasi oleh pemanfaatan
guna keperluan prasarana ibadah, baru selanjutnya diikuti dengan peruntukan parasana sekolah,
wakaf sosial lainnya, pemakaman dan yang terakhir adalah untuk prasarana pondok pesantren.
Dari potret pemanfaatan tanah wakaf di atas, nampak bahwa pemanfaatan guna keperluan
prasarana ibadah, dalam hal ini masjid dan mushalla jumlahnya sangat dominan. Sedangkan
sebaliknya, pemanfaatan untuk keperluan sosial di luar keempat itu semua menduduki urutan
terrendah.
Memang pemanfaatan yang dominan untuk prasarana ibadah tersebut tidak menjadi
masalah jika memang keperluan akan tempat ibadah masih dirasa penting dan proporsional. Tetapi
43
jika pemanfaatan untuk keperluan ibadah tersebut dikarenakan oleh keinginan pewakaf yang
orientasinya hanya untuk mengejar atau meraih keutamaan (fadhilah) bagi wakaf untuk kepentingan
ibadah dengan tanpa mempedulikan kebutuhan dalam lingkungan setempat, maka pemanafaatannya
menjadi tidak optimal. Misalnya jika di lingkungan tersebut telah tersedia tempat ibadah yang lebih
dari mencukupi, maka sebaiknya pemanfaatan diorientasikan untuk pemanfaatan yang lebih produktif
dan berdaya guna tinggi bagi umat Islam.
Memang dalam sajian data di atas, tidak ada item yang cecara khusus menyebutkan
produktif atau tidaknya pemanfaatan tanah wakaf di suatu propinsi dan di level nasional. Namun jika
melihat bahwa dalam klasifikasi keperluan sosial lainnya masih menjadi bagian yang terkecil, maka
dapat disimpulkan bahwa wakaf yang berorientasi bisnis dan produktif masih rendah. Sekaligus
sajian data yang ada tersebut belum mempertimbangkan secara serius penghitungan wakaf yang
berorientasi bisnis dan produktif. Yang karenanya, sulit juga untuk memotret dari waktu ke waktu
progress atau perkembangan dari pemanfaatan tanah yang berorientasi bisnis dan profit tersebut.
Dengan masih belum signifikannya pemanafaatan untuk kepentingan yang berorientasi
bisnis dan produktif tersebut, maka menunjukkan bahwa pemahaman ajaran dan teologi perwakafan
di Indonesia masih didominasi pola pemahaman lama, di mana wakaf selalu saja untuk tempat
ibadah dan jika pun ada kecenderungan lain, maksimalnya baru dalam tataran untuk kepentingan
pendidikan, ialah sekolah dan pesantren. Dengan istilah yang lain, tauhid sosial dan fiqih sosial belum
mendapatnya perhatian yang memadai di kalangan umat Islam. Sedangkan, jika dilihat melalui
pertimbangan kepentingan untuk kemajuan dan kesejahteraan umat Islam Islam, maka tauhid dan
fiqh sosial adalah mutlak diperlukan. Karena itu disseminasi dan edukasi terkait tauhid dan fiqih sosial
ini masih sangat perlu untuk dikembangkan dan ditingkatkan.
Terkait dengan masih belum signifikan nya pemanfaaatan yang berorientasi pada bisnis
dan produktif tersebut, menunjukkan bahwa umat Islam masih miskin inovasi bagi pengembangan
dan pensejahteraan masyarakat. Di sini nampak kurang adanya pembaharuan dan terobosan yang
sebenranya sangat diperlukan bagi umat Islam. Untuk itulah, maka harus dilakukan upaya-upaya
sebagai berikut:
Pertama, secara teologis, perlunya pencerahan yang simultan bagi masyarakat muslim
akan keutamaan tauhid dan fiqih sosial dalam perwakafan. Sehingga, wakaf yang berorientasi untuk
kepentingan kemajuan dan kesejahteraan umat akan menjadi suatu prioritas yang dilakukan secara
kebersamaan di kalangan umat Islam.
Kedua, perbaikan dari segi prosedur dan mekanisme perwakafan. Dalam kepentingan
perlunya peningkatan pemanfaatan tanah wakaf yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat,
44
ialah wakaf yang yang bertujuan untuk keperluan bisnis dan produktif, perlu diberikan insentif dari
segi prosedur dan mekanisme dalam proses wakaf produktif. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mempermudah aplikasi proses pewakafan yang kepentingannya untuk produktif atau bisnis, ataupun
memberi kemudahan bagi prosen konversi pemanfaatan wakaf.
Mengapa insentif dalam proses dan prosedur konversi ini diperlukan?. Hal ini tidak lain
adalah karena pemerintah berkepentingan untuk mendorong agar orientasi pemanfaatan tanah wakaf
dapat diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan. Dan pemanafaatan yang mengarah pada hal
tersebut adalah wakaf yang dilakukan untuk kegiatan bisnis dan orientasi produktif. Selama ini,
kesulitan proses konversi masih menjadi kendala yang tdiak mudah untuk dipecahkan. Karena itulah,
jika ada insentif dalam hal ini, diharapakan akan menjadikan pertumbuhan wakaf produktif semakin
cepat.
Ketiga, diperlukannya sinergi dari berbagai lembaga yang terkait dengan pengurusan
proses dan prosedur wakaf serta pengelolaannya. Jika selama ini Kementerian Agama merupakan
satu-satunya kementerian atau departemen yang mengurusinya, kalaupun Kantor Agraria terlibat itu
pun dalam aspek yang sangat minimalis, maka semestinya dalam tahap selan.jutnya, sinergi perlu
diperkuat. Kementerian Agama, Kantor Agraria serta Departement Perindakop (Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi) mestinya juga harus dilibatkan. Hal ini dimaksudkan agar semua pihak
yang terkait dapat ikut berpartisipasi secara aktif bagi optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf.
2. Kasus Pemberdayaan Tanah Wakaf
Di tengah minimnya optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf secara nasional, perlu dilihat di sini
beberapa contoh pemanfaatan tanah wakaf yang optimal bagi kesejahteraan umat yang sudah berjalan
di berbagai tempat di Indonesia. Dalam hal ini, peneulis memberikan dua contoh kasus, ialah Pondok
Modern Gontor Ponorogo dan Baitul Ashi yang berlokasi di Makkah yang dimiliki oleh Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
a). Pondok Modern Darussalam Gontor
Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) adalah sebuah pondok pesantren modern yang
berpusat di desa Gontor, kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo. Didirikan oleh Trimurtinya (KH.
Ahmad Zarkasyi, KH. Ahmad Sahal, dan KH. Zainudin Fananie) pada 1926,
kini PMDG suah
menginjak usia yang ke-69 tahun. Tak dapat dipungkiri bahwa PMDG mempunyai peran besar dalam
dunia pesantren, ini terbukti dengan jumlah pondok alumninya yang mencapai 200 pondok di seluruh
Indonesia.
45
Berdasarkan data di Warta Dunia PMDG vol.67, jumlah keseluruhan santri dan guru PMDG
mencapai 21.255 orang. JUmlah tersebut terbagi dalam satu Gontor pusat, dan 20 cabangnya,
termasuk ISID (Isntitut Studi Islam Darussalam) yang tahun ini diproyeksikan menjadi Universitas
Darussalam. Setiap tahunnya kurang lebih 4000 santri mengikuti ujian masuk PMDG. Akan tetapi
dengan berbagai pertimbangan seperti keterbatasan tempat, standard kemampuan, dan lain-lain,
banyak yang harus ditolak masuk.
Salah satu yang menjadi kunci sukses Gontor sehingga bisa bertahan dan berkembang pesat
sampai hari ini adalah nilai-nilai yang dipegang teguh oleh para penerusnya, yang diwariskan oleh
paraTrimurti. Wakaf menjadi salah satunya. Dengan menjadikan Universitas Al-Azhar, yang merupakan
salah satu Universitas tertua di dunia, sebagai contoh karena wakafnya, para trimurti mendeklarasikan
pewakafan PMDG.Tujuannya antara lain adalah agar PMDG nantinya tidak akan menjadi objek
perebutan kekuasaaan antar keturuna Trimurti. Lalu kemudian dibentuk Badan Wakaf PMDG cyang
sekarang diketuai oleh K.H.Kafrawi Ridwan,M.A.. Berikut adalah nama-nama anggota badan wakaf
PMDG.
Tabel 5
Keangggotaaa Badan Wakaf PMDG5
Nama Anggota Badan Wakaf
Drs.K.H. Kafrawi Ridwan,M.A.
Dr.K.H.Hidayat Nur Wahid, M.A
Drs. K.H.Akrim Mariyat, M.A.Dipl.A.Ed
Dr.K.H.Amal Fathullah Zarkasyi,M.A
K.H. Abdullah Said Baharmus, Lc.
Drs. K.H. Rusydi Bey Fananie
Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A.
K.H.Hasan Abdullah Sahal
K.H. Syamsul Hadi Abdan
Prof.Dr.K.H.Dien Syamsuddin, M.A.
K.H. M.Masruh Ahmad,M.B.A.
K.H. Abdul Aziz Asyhuri, B.A.
K.H. Masyhudi Subari,M.A
Drs. K.H. M. Dawam Saleh
Prof.Dr. K.h. Aflatun Mukhtar
Jabatan
Ketua
Wakil Ketua I
Wakil Ketua II
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Domisili
Jakarta
Jakarta
PM Gontor
PM Gontor
Jakarta
Jakarta
PM Gontor
PM Gontor
PM Gontor
Jakarta
Malaysia
Magelang
PM Gontor
Lamongan
Palembang
5
Dikutip dari Pondok Modern Gontor, Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor, volume 67, 1435 H,
hlm. 1
46
Badan Wakaf PMDG mengadakan rapat dua tahun sekali. Rapat ini nantinya yang akan
menentukan kebijakan PMDG sampai rapat yang berikutnya.
Jumlah seluruh tanah PMDG yang merupakan waqaf berkisar di angka 749 hektar, menurut
keterangan Staf Yayasan PMDG, saudara Rifqi Indrawan. 6 Tahah tersebut kemudian dimanfaatkan
untuk berbagai macam keperluan PMDG, antara lain; pondok, lahan kelapa sawit, lahan sawah padi,
dan lahan hutan jati.
Adapun pengelolaan lahan-lahan sawah padi
tersebut adalah dengan mempekerjakan
mandor-mandor di lahan yang telah ditentukan. Kemudian mandor-mandor tersebut terus dipantau dan
diawasi oleh staf Yasasan PMDG. Dan kemudian ketika panen, pihak pondok akan memberi upah
kepada mador-mandor tersebut sesuai jumlah yang telah disepakati di awal.
Taksiran pendapatan pondok dari lahan tersebut adalah sebagai berikut;di Ngawi, jumlah
tanah waqaf adalah 207 hektar, dengan sawah sebesar 22 hektar. Dari sawah di Ngawi tersebut setiap
kali panen dapat menghasilkan kurang lebih 900 juta sampai dengan 1 milyar lebih setiap kali panen
(laba), dengan 3 kali panen setiap tahunnya. Uang tersebut kemudian disimpan di kantor Admisitrasi di
Gontor pusat. Pimpinan pondok dan Badan Wakaf mengontrol kelancaran proses ini dengan laporan
rutin.
b. Baitu Asyi
Baitul Ashi adalah hal yang unik terjadi pada Propinsi Naggroe Aceh Darussalam. Baitul Ashi
adalah aset tanah wakaf yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Propinsi NAD, namun uniknya tanah ini
berlokasi di Makkah, Saudi Arabia. Dengan pemanfaatan Baitul Ashi ini, setiap jamaah haji yang
berasal dari propinsi NAD mendapatkan uang cash dari pengelola Baitul Ashi. Pembagian uang
pengganti ini dimulai tahun 2006, saat itu uang yang dibagikan sejumlah 6,5 juta Riyal Saudi, tahun
2009, sebesar Rp 14,54 milyar yang dibagi dan setiap jamaah mendapat Rp 4.000.000,-. 7
Baitul Ashi ini berasal dari tanah wakaf yang disumbangkan oleh seorang tokoh yang berasal
dari Aceh dan sudah lama tinggal di Makkah. Tokoh tersebut bernama Habib Bugak Asyi. Wakaf itu
GLNXNXKNDQGLKDGDSDQKDNLP0DKNDPDK6\DUL\DK0HNNDKSDGD5DEL¶XO$NKLU+DWDXWDKXQ
1809 M.8 (Hasanudin Yusuf Adan, 2013). Habib Bugak asal Aceh datang ke Mekkah pada tahun 1223
H, dan membeli tanah sekitar Qusyasyiah yang sekarang berada di sekitar Bab Al-Fath. Saat itu masa
kerajaan Utsmaniyah. Dan Saudi di bawah pimpinan Raja Malik Suud bin Abdul Aziz melakukan
6
Wawancara dengan Rifqi Indrawan, Ustadz dan pengurus Bidang Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor,
8 Juli 2014
7
Interview dengan Putra, Baitul Mal, Pemerintah NAD, 7 September 2014
8
Interview dengan Putra, Baitul Mal, Pemerintah NAD, 7 September 2014.
47
pengembangan Masjidil Haram, dan mengakibatkan tergusurnya rumah Habib Bugak. Penggusuran itu
diberikan ganti rugi yang kemudian dibelikan tanah di dua lokasi lainnya. Di keudua lahan tersebut
dibangun hotel bintang lima masing masing dengan kamar sekitar 350 unit dan sekitar 1000 unit. Aset
wakaf tersebut terus berkembang dan mengasilkan banyak keuntungan. (Hasanudin Yusuf Adan,
2013).
Sebenarnya, tanah tersebut juga bukan milik pribadi Habib Bugak, tetapi milik kolektif para
jamaah haji Aceh yang setiap tahunnya yang dikelola oleh beberapa orang Aceh di Makkah yang
dipimpin oleh Habib Bugak, yang nama aslinya adalah Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi, atau
Sayyid Abdurrahman bin Alwi Peusangan. (Hasanudin Yusuf Adan, 2013).
Bahkan, lebih dari itu,
sebenarnya wakaf Aceh di Makkah bukan hanya Baitul Asyi saja, namun banyak orang-orang Aceh
yang mewakafkan tanah di Makkah.
Selain wakaf di Makkah, tradisi wakaf di kalangan rakyat Aceh memang sudah ratusan tahun.
Misalnya, dana wakaf untuk pembelian kapal perang Turki beserta biaya prajuritnya di Aceh, dana
wakaf untuk biaya diplomasi Abdurrahman al-Zahir ke Singapura, Turki dan Arab, serta, pembelian
pesawat Seulawah. (Hasanudin Yusuf Adan, 2013).
48
C. PROBLEMATIKA DALAM PEMBERDAYAAN WAKAF.
1. Masalah Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf. (Aspek Teologis).
Wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia, yaitu paham Syafi`iyyah sebagaimana mereka mengikuti madzhabnya, seperti tentang:
ikrarnya, harta yang boleh diwakafkan, dan boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.
a. Ikrar wakaf.
Adat kebiasaan masyarakat Islam Indonesia melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah
secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, tanpa melalui
prosedur administratif, harta wakaf dianggap milik Allah yang tidak akan pernah ada pihak yang berani
mengganggu gugat. Walaupun pada akhirnya nanti bisa menimbulkan persengketaan-persengketaan
karena tiadanya bukti-bukti yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah
diwakafkan. (Direktot Jendral Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji , 2008).
b. Harta yang boleh diwakafkan.
1) Harus memiliki nilai guna, yaitu tidak syah hukumnya mewakafkan sesuatu yang bukan benda,
seperti : Hak irigasi, hak pakai, hak intelektual, dan lain-lain.
2) Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Kebiasaan masyarakat
Indonesia dalam sejarahnya dan juga sampai sekarang pada umumnya mewakafkan harta
berupa benda yang tidak bergerak, seperti tanah, bangunan masjid, madrasah, pesanatren,
rumah sakit, panti asuhan dan lain sebagainya. Dan pandangan ini secara kebetulan telah
disepakai oleh semua madzhab empat. garis umum yang dijadikana sandaran golongan
syafi`iyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta
tersebut, baik berupa barang bergerak, barang tak bergerak maupun barang kongsi (milik
bersama).
c. Boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.
Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat islam Indonesia berpegang pada pandangan
konservatif Syafi`i sendiri yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan
apapun. Dalam kasus masjid misalnya, Imam Syafi`i menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid
wakaf secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh.
49
2. Hambatan Di Bidang Regulasi
Dalam bidang regulasi, hambatan terdapat pada rumitnya proses sertifikasi wakaf dan konversi
wakaf. Proses perwakafan itu sendiri secara singkat dapat dilihat pada flow chart sbb:
Flow Chart Prosedur Pewakafan
(Diadopsi dari, Agus Triyanta, 2009).
Wakif
PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf)
Dilakukan oleh Kepala KUA
Jika Wakaf Uang: Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKSͲPWU)
Instansi Terkait: diterbitkan bukti pendaftaran
harta/ benda wakaf
Nadzir: menerima bukti pendaftaran
harta/ benda wakaf
Nadzir: PENGELOLAAN WAKAF
Perubahan
Harta / Benda
Menteri dan BWI (Badan
Wakaf Indonesia)
JIKA ADA
PERUBAHAN
Perubahan
Peruntukan
BWI
(Badan Wakaf Indonesia)
Kerumitan aspek yuridis dalam perwakafan yang pertama adalah terkait proses sertifikasi.
Tingginya tanah yang belum bersertifikat dikarenakan prosedur terkait permasalahan agraria masih
ͷͲ
dinilai sebagai hal yang relatif rumit bagi kebanyakan orang. Dengan keharusan melengkapi berbagai
persyaratan sebenarnya cukup menyusahkan. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya tanah wakaf
yang belum bersertifikat sebagaimana nampak dalam tabel di atas.
Kedua, terkait dengan dengan konversi tanah wakaf. Aspek ini sebagaimana nampak dalam
aturan dan sebagaimana nampak dalam flow chart di atas, ilah harus mendapatkan izin dari menteri
dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Hal ini terntu bukan suatu hal yang sederhana. Bahkan, untuk
kepentingan seperti itu memerlukan waktu yang bertahun-tahun, mengingat birokrasi di Indonesia yang
masih belum dapat berjalan secara efisien. Karena itulah, maka diperlukan proses yang lebih
sederhana.
a.
Banyaknya Tanah Wakaf Yang Belum Bersertifikat
Tanah wakaf yang mempunyai kepastian hukum ialah mempunyai syarat-syarat administrasi
yang telah diatur oleh ketentuan PP No. 28/1977 serta peraturan pelaksanaanya, khususnya
mempunyai sertifikat tanah.
UU No 41 tahun 2004 belum disosialisasikan secara maksimal baik kepada nadzir maupun
kepada masyarakat muslim terutama tentang keberadaan wakaf tunai. Selain itu dengan adanya
atonomi daerah belum didapati secara maksimal visi kedaerahan yang berorientasi pengentasan
kemiskinan melalui cara-cara yang islami, antara lain melalui pemberdayaan wakaf baik yang
menyangkut wakaf konvensional, wakaf uang dan bentuk wakaf lainnya. (Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam, 2007).
Memang banyak kendala mengapa tanah wakaf di Indonesia sampai saat ini masih banyak
yang belum mempunyai sertifikat tanah wakaf karena masih banyaknya tanah wakaf yang belum
mempunyai bukti perwakafan, hal itu disebabkan masih banyaknya masyarakat yang mewakafkan
tanahnya secara lisan karena factor kepercayaan terhadap Nadzir perorangan atau Nadzir Lembaga.
Disamping faktor awal keengganan wakaf ddalam pembuatan sertifikat wakaf, di lingkungan
internal birokrasi sendiri, khususnya BPN terdapat beberapa kendala. Kendala utama ialah factor
pembiayaan administrasi proses sertifikasi wakaf yang belum memadai dari pihak pemerintah,
khususnya Kementerian Agama.
b.
Nadzir Wakaf Masih Buta Hukum
Salah satu hal yang selama ini menjadi hambatan riil dalam pengembangan wakaf produktif di
Indonesia adalah keberadaan Nadzir (pengelola) wakaf masih tradisional. (Asrori, 2013).
Ketradisionalan Nadzir dipengaruhi, diantaranya :
51
a) Karena masih kuatnya paham mayoritas umat Islam Indonesia (madzhab Syafi`i) yang masih
stagnan (beku) terhadap persoalan wakaf.
b) Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Nadzir wakaf.
c) Lemahnya kemauan para Nadzir, banyak para Nadzir wakaf yang tidak memiliki militansi yang
kuat dalam membangun semangat pemberdayaan wakaf untuk kesejahteraan umat.
3. Kebijakan Kelembagaan
Berurusan dalam masalah petanahan, sebagaimana yang sudah dipahami secara umum,
bukanlah suatu perkara yang sederhana di Indonesia. Ketidakpahaman tentang berbagai aspek hukum
di kalangan masyarakat telah menjadikan terbangunnya suatu image bahwaberurusan atau
bertansaksi yang melibatkan tanah mesti suatu proses yang tidak sederhana, memakan waktu yang
lama dan memerlukan beaya yang tidak sedikit, baik biaya yang memang nyata tertera maupun biaya
yang tidak jelas-jelas disebutkan. Hal ini dibuktikkan dengan data yang ada di atas, bahwa bukan saja
masalah sertifikat tanah wakaf yang banya belum tersedia, namun Akta Ikrar Wakaf sendiri juga masih
banyak yang belum tersedia.
Belum lagi di wilayah-wilayah yang terjadi kerusakan data secara masal, misalnya saja di
daerah bencana. Banyak tanah wakaf yang kemudian hilang karena belum adanya sertifikat dan
kurangnya saksi. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam misalnya, banyak tanah wakaf yang tidak
diakui status wakafnya oleh ahli waris, sedangkan saksi sangat minim dan sertifikat tidak tersedia,
sehingga akhirnya wakaf tadi diambil alih lagi oleh keluarganya. Pasca terjadinya musibah Tsunami di
Aceh, penertiban wakaf menjadi masalah yang belum kunjung selesai. 9 Karena miskinnya dokumen
hukum juga, banyak tanah wakaf telah bergeser kepemilikan dan pengelolaannya. Misalnya, kompleks
masjid Raya Baiturrahman di Aceh, pada awalnya memiliki area wakaf yang sangat luas. Bahkan
kompleks yang hari ini telah menjadi pasar di Banda Aceh dan dikelola Pemda, sebenarnya adalah
aset wakaf milik Masjid Raya.10 Lebih dari itu, tanah lapang yang sangat luas, Blang Padang, yang
sekarang ini diidentikkan sebagai milik Departemen Pertahanan, sebenarnya juga merupakan aset
wakaf dari Masjid Raya Baiturrahman.
Hal di atas, adalah salah contoh betapa pengurusan tanah wakaf bukan suatu hal yang
sederhana. Juga bahwa keberpihakan berbagai instansi terkait, utamanya adalah Badan Pertanahan
(BPN) masih jauh dari optimal. Hal ini sebenarnya dapat ditelusuri musababnya, adalah karena
9
Wawancara dengan Bpk Putra Misbah, Kepala Bidang Perwalian,Baitul Mal Aceh, 8 September 2014
Wawancara dengan Fathurrahmi, Msi, $QJJRWDSHUVDWXDQ4RUL¶GDQ+DILGK0DVMLG%DLWXUUDKPDQ
September 2014
10
52
memang penanganan atau pengurusan tanah wakaf bukan sesuatu yang profitable, dalam arti
memberikan keuntungan finansial secara langsung.
Di samping itu, melihat berbagai ketentuan yang ada di dalam berbagai uraian sebelumnya,
prosedur yang ada masih relatif rumit, yang belum tentu dapat dilakukan dengan mudah oleh
masyarakat awam yang bermaksud untuk mengurus aspek legalitas atau dokumentasi hukum atas
perwakafan ataupun konversi pemanfaatan tanah wakaf.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka perlu dilakukan perbaikan atas kebijakan agraria
yang ada untuk kemudian menuju kebijakan agraria yang lebih Ideal. Kebijakan yang lebih ideal
tersebut adalah yang memberikan penguatan pada:
1) Pemanfaatan tanah wakaf yang berfungsi bagi kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan.
Hal ini seharusnya menjadi prioritas dalam kebijakan agraria di Indonesia. Dapat dilakukan
dengan memberikan berbagai kemudahan akses dan layanan, sehingga karena pengelola
wakaf sifatnya adalah nirlaba, maka sudah sewajarnya pengurusannya haruslah mendapatkan
banyak kemudahan. Ini tidak dapat disamakan dengan pengurusan legalitas tanah karena jual
beli atau bentuk transaksi bisnis lainnya.
2) Memberikan insentif bagi pemanfaatan tanah untuk kepentingan produktif yang mendatangkan
profit, yang hasil gunanya dimaksudkan untuk kepentingan sosial. Hal ini dimaksudkan untuk
mendorong sebanyak mungkin aset wakaf diubah dari cost-center menjadi profit-center.
Dengan kata lain, tanah wakaf yang sebelumnya dimanfaatkan untuk kepentingan yang
memerlukan pendanaan, menjadi pemanfaatan yang justeru menghasilkan keuntungan.
Sehingga kesejahteraan umat akan dapat dicapai dengan kebijakan agraria yang semacam itu.
53
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian Tahap I yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia didominasi untuk keperluan tempat ibadah (masjid
dan mushalla) dengan total luasan 43.690.952 m2, atau 54,056 % dari luas keseluruhan tanah
wakaf di Indonesia, kemudian untuk keperluan prasarana sekolah dengan total 13.608.726 m2,
atau 16,84% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, serta untuk keperluan wakaf
sosial lainnya, dengan total luasan 13.224.772 m2, atau 16,36% dari luas keseluruhan tanah
wakaf di Indonesia, untuk keperluan tanah pemakaman dengan total luasan 5.944.176 m2,
atau 7,35% dari luas keseluruhan tanah wakaf di Indonesia, dan terakhir untuk keperluan
pendididikan pesantren dengan total luasan 4.263.876m2, atau 5,28% dari luas keseluruhan
tanah wakaf di Indonesia.
2. Bahwa dalam klasifikasi keperluan sosial lainnya masih menjadi bagian yang terkecil, maka
dapat disimpulkan bahwa wakaf yang berorientasi bisnis dan produktif masih rendah. Sekaligus
sajian data yang ada tersebut belum mempertimbangkan secara serius penghitungan wakaf
yang berorientasi bisnis dan produktif. Yang karenanya, sulit juga untuk memotret dari waktu
ke waktu progress atau perkembangan dari pemanfaatan tanah yang berorientasi bisnis dan
profit tersebut.
3. Terkait dengan dengan konversi tanah wakaf. Aspek ini sebagaimana nampak dalam aturan
dan sebagaimana nampak dalam flow chart di atas, ilah harus mendapatkan izin dari menteri
dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Hal ini terntu bukan suatu hal yang sederhana. Bahkan,
untuk kepentingan seperti itu memerlukan waktu yang bertahun-tahun, mengingat birokrasi di
Indonesia yang masih belum dapat berjalan secara efisien.
4. Bahwa keberpihakan berbagai instansi terkait, utamanya adalah Badan Pertanahan (BPN)
masih jauh dari optimal. Hal ini sebenarnya dapat ditelusuri musababnya, adalah karena
memang penanganan atau pengurusan tanah wakaf bukan sesuatu yang profitable, dalam arti
memberikan keuntungan finansial secara langsung. Di samping itu, melihat berbagai ketentuan
yang ada di dalam berbagai uraian sebelumnya, prosedur yang ada masih relatif rumit, yang
belum tentu dapat dilakukan dengan mudah oleh masyarakat awam yang bermaksud untuk
54
mengurus aspek legalitas atau dokumentasi hukum atas perwakafan ataupun konversi
pemanfaatan tanah wakaf.
B. Saran
Atas kesimpulan di atas, dapat diajukan saran-saran sebagai solusi permasalahan yang ada:
1.
Dengan masih belum signifikannya pemanafaatan untuk kepentingan yang berorientasi bisnis dan
produktif tersebut, maka menunjukkan bahwa pemahaman ajaran dan teologi perwakafan di
Indonesia masih didominasi pola pemahaman lama, dengan istilah yang lain, tauhid sosial dan
fiqih sosial belum mendapatnya perhatian yang memadai di kalangan umat Islam. Sedangkan, jika
dilihat melalui pertimbangan kepentingan untuk kemajuan dan kesejahteraan umat Islam Islam,
maka tauhid dan fiqh sosial adalah mutlak diperlukan. Karena itu disseminasi dan edukasi terkait
tauhid dan fiqih sosial ini masih sangat perlu untuk dikembangkan dan ditingkatkan.
2.
Perlu dilakukan perbaikan atas kebijakan agraria yang ada untuk kemudian menuju kebijakan
agraria yang lebih Ideal. Kebijakan yang lebih ideal tersebut adalah yang memberikan penguatan
pada: Pemanfaatan tanah wakaf yang berfungsi bagi kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan.
Serta Memberikan insentif bagi pemanfaatan tanah untuk kepentingan produktif yang
mendatangkan profit, yang hasil gunanya dimaksudkan untuk kepentingan sosial. Hal ini
dimaksudkan untuk mendorong sebanyak mungkin aset wakaf diubah dari cost-center menjadi
profit-center. Dengan kata lain, tanah wakaf yang sebelumnya dimanfaatkan untuk kepentingan
yang memerlukan pendanaan, menjadi pemanfaatan yang justeru menghasilkan keuntungan.
Sehingga kesejahteraan umat akan dapat dicapai dengan kebijakan agraria yang semacam itu.
55
DAFTAR PUSTAKA
A.P Parlindungan,. (1998). Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung.
A.W. Munawir, (1994). Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, Yogyakarta , cet ke-14,
Abdelfateh Tebani, . (2013). 7KH5ROHRI0RGHUQ:DTI(QGRZPHQW,QVWLWXWLRQVLQWKH$UDEZRUOG¶V
development (A case study of the Awqaf Public Foundation in Kuwait). Dalam
www.istr.conference-services.net download 15 April 2013.
Abdoerraoef. (1986). Al-4XU¶DQGDQ,OPX+XNXP, Bulan Bintang, Jakarta.
Abdurrahman, (1994). Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Abu al-)DUM $EGXUUDKPDQ LEQ µ$OL ,EQX DO-Jauzy, ( 1359 H). al-Muntazham fi 7ƗUƯNK DO-0XOnjN ZD DOUmam, +DLGDUDEG'ƗCLUDKDO-0D¶ƗULIDO-Utsmaniyah, ,8/22.
Abu Zahrah dalam Direktot Jendral Bimas Islam dan Penyelenggaraan haji, (2008). Panduan
Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, terbitan: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Depag RI.
Achmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, (2005), Menuju Era Wakaf Produktif, Mitra Abadi Press, Jakarta,
cet pertama.
Adijani Al-Alabij. (1992). Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Agus Triyanta,. (1998). Diversifikasi Pemanfaatan Tanah Wakaf: Stdu Kasus di Kecamatan Minggir,
Sleman, Yogyakarta, Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
-------------------- ³:DNDI3URGXNWLI'DUL0XDPDODK.ODVLN0HQXMX,QRYDVL.RQWHPSRUHU´0DNDODK
Disampaikan dalam Workshop Pengelolaan Wakaf Produktif (Pendekatan Pemberdayaan
.DXP 0XVWDGK¶DILQ) pada tanggal 2 Agustus 2009 di Aula DPRD Kabupaten Sleman,
diselenggarakan oleh Yayasan Ikhtiar Sejahtera, Tempel, Sleman.
------------------- (2012). Hukum Ekonomi Islam: Dari Politik Hukum Ekonomi Islam Sampai Pranata
Ekonomi Syariah, Fakultas Hukum UII Press, Yogyakarta
Ahmad Azhar Basyir, ( t.th). Garis-Garis Besar Sistem Ekonomi Islam, Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi UGM, Yogyakarta.
----------------------. (1994). Refleksi atas Persoalan Keislaman, Mizan, Bandung.
Ahmad Azhar Basyir. (1987). Wakaf, Ijarah, Syirkah, Al-Maarif, Bandung.
Al-Kasany al-Hanafy,( t.th.) %DGD¶,DO-shanai, Juz VIII, Mustafa al-Bab al-Halabi wa Auladuh, Mesir.
56
Asharinnuha, (2005). Fungsi Pendayagunaan dan Pemanfaatan Tanah Wakaf Menurut Peraturan
Pemerintah No 28 Tahun 1977, tesis, Program Magister Kenotariatan, Program Pasca
Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.
Aslan Noor, (2003). Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak
Azasi Manusia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Bandung.
Asrori, (2013). Manfaat dan Hambatan Dalam Penglolaan Wakaf Uang, disampaikan dalam acara
pembinaan dan sosialisasi wakaf bagi pengelola wakaf kota Dumai yang dilaksanakan oleh
kementerian Agama kota Dumai di hotel comfort Dumai pada tanggal 11 desember.
%DTLU0DQDQµ3HQHOLWLDQGL%LGDQJ+XNXP¶GDODPJurnal Hukum Puslitbangkum No. Perdana
: 1-1999, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, UNPAD, Bandung.
Bimas Islam Kementerian Agama. (2013). Luas Tanah Wakaf di Indonesia. Download dari:
http://bimasislam.kemenag.go.id. Pada 15 April 2013
Budi Harsono, (1997). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta.
Ciptakarta Perkerjaan Umum. (2012). UU Rusun Beri Peluang Penggunaan Tanah Negara dan Wakaf.
Download dari http://ciptakarya.pu.go.id pada 15 April 2013.
Claus Krippendorff. (1991). Analisis Isi, Rajawali Pers. Jakarta
Depag RI, (2004). Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Dirjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Jakarta.
Depag RI, (2007). Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Waqaf Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2006 tentang pelaksanaannya, Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat
Islam.
Departemen Agama RI,(1992). ,Al-Quran Dan Terjemah,PT. Tanjung Mas Inti, Semarang.
Departemen Agama, ( 2005). Fiqih Wakaf, Direktorat Pengembangan Zakat Dan Wakaf, Jakarta,
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Sistem Informasi Wakaf, pada
http://simbi.kemenag.go.id/siwak/ akses, 1 Agustus 2014
Hadi Setia Tunggal, (2005). Undang-Undang RI No 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, Harvarindo,
Jakarta.
Harun Nasution, et all. (1992). Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta.
+DVDQXGLQ<XVXI$GDQ³0HQJHQDO:DNDIGDODP.RQWHNV.H-Aceh-DQ´GDODPPDMDODKEdukasi Zakat
Baitul Mal Aceh, edisi I tahun 2013.
Hendi Suhendi, (2002). Fiqh Muammalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
57
Imam Muslim bin al-Hajj al-qusairy , (t. th.)Shahih Muslim, Jilid III, Usaha Keluarga, Semarang. hlm.
494. Lihat juga dalam ,Ibnu Hajar Asqalany Al-Hafidh, (1993). Bulughul Maram, Al-0D¶DULI
Bandung.
Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairy, (t.th). Shahih Muslim, Juz II, Usaha Keluarga, Semarang.
Imam Suhadi,. (1990). Wakaf Menurut Hukum Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
Indonesia Waqf Board, Fenomena Masjid di atas Tanah Bukan Wakaf: Sebuah Kajian dalam
www.bwi.or.id, akses 20 April 2013
Juhaya S. Praja, 1997). Perwakafan di Indonesia,Yayasan Piara (Pengembangan Ilmu Agama dan
Humaniora), Bandung.
Lihat juga dalam Muhammad Daud Ali, (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, UI-Press,
Jakarta.
Lywa S.
Fauzie,
(2011). Membuat Tanah Wakaf Menjadi Aset Produktif. Download dari
http://lywafauzie.weebly.com pada 15 April 2013.
M. Daud Silalahi,. (2001). Metodologi Penelitian Hukum Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi
Interdisipliner, Lowencon Copy & Binding Centre. Bandung.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, (1965),. Tafsir Al-4XU¶DQXO 0DMLHG ³$Q-1XU´ Juz 1, Bulan Bintang, Cet. II,
Jakarta.
M. Quraish Shihab.(2004), Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-4XU¶DQ Juz 1, Lentera
Hati, Cet. II, , Jakarta.
Muchlis. (2013). Peralihan Penguasaan Yuridis Hak Atas Tanah Wakaf Dalam Perspektif Hukum Tanah
Nasional Dan Hukum Islam. Dalam www.badilag.net download, 15 April 2013.
Muhammad Abdullah Anan, ( 1345 H). 7ƗUƯNK DO--ƗPL¶ DO-Azhar, Majalah al- 5LVƗODK HGLVL ']XOTR¶GDK
Mahmud Yunus, (1973). Kamus Arab-Indonesia,yayasan
penyelenggara penterjemah/penafsir Al-
4XU¶DQ5,-DNDUWD.
Muhammad Abu Zahrah, (1971). Muhadlarah Fi al-Waqfi, Dar al-Fikr al-Arabiy, Mesir.
Muhammad Fadlullah. B.T.H , Brendgeest, (1925) .Kamus Arab-Melayu, Balai Pustaka, Jilid I.
0XKDPPDG LEQ $KPDG LEQ 6KƗOLK DO-Shalih,(2001). al-Waqf fi al-6\DUƯ¶DK ZD $WVUXKX IL 7DQPL\DK DO0XMWDPD¶,Fihrisah Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah, Saudi Arabia.
Mundir Qohaf,( t.th) Al-Waqof al-Islami, Dar al-Fikr, cet I, Beirut.
Mundzir Qahaf, (2005). Manajemen Wakaf Produktif., Khalifa, Cet-1, Jakarta.
0XUDW&L]DNFD³$ZTDI,Q+LVWRU\$QG,WV,PSOLFDWLRQV)RU0RGHUQ,VODPLF(FRQRPLHV´ Islamic
Economic Studies Vol. 6, No. 1, November 1998. Hlm 43-70.
Mushtafa al-6LED¶L+0LQ5DZƗC,¶+DGƗUDWLQD'ƗUDO-:DUUƗT
58
Noeng Muhadjir. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. Rakesarasin, Yogyakarta.
Nurhasan Ismail. (2006). Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan EkonomiPolitik, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pondok Modern Gontor Ponorogo, (1435 H). Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor
Ponorogo, volume 67.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Al-0D¶Drif, Bandung 1997.
Sindo News. (2013). 21.809 Lokasi Tanah Wakaf Rawan Digugat, edisi 2 Januari 20113. Download
dari: http://sports.sindonews.com. 15 April 2013.
Sobhi Mahmassani. (1981). Filsafat Hukum dalam Islam, terjemah Ahmad Sudjono, Al-0D¶DULI
Bandung.
Soerjono Soekanto, dan Mamudji, Sri (1995). Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
6XSDUPDQGDQ6XEKDQ³3UDNWLN,VWLEGDO+DUWD%HQGD:DNDI6WXGL.DVXVGL,QGRQHVLD´GDODPJurnal
Al-Waqaf, vol. II. No. 3 Agustus 2009. Hlm. 25-43.
Taufik Hammami, 2003). Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional, PT. Tatanusa, ,
Jakarta.
Tim Redaksi Fokusmedia, (2005). Kompilasi Hukum Islam, Fokusmedia, Bandung,cet. ke-1.
<DTnjWLEQ$EGXOODKDO-Hamawy, (1938). 0X¶MDPDO-8GDEƗC'ƗUDO- 0DCPnjQ.DLUR
Yusuf Qardhawi, (1996). Fiqh Prioritas: Urutan Amal Yang Terpenting Dari Yang Penting, Terjemah,
Gema Insani Press, Jakarta.
Zaenudin bin Abd. Aziz Al-Maribari, (t.th) Fath al-0X¶LQ, PT. Toha Putra, Semarang.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Pokok Agraria no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang no 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Wawancara
Wawancara dengan Rifqi Indrawan, Ustadz dan pengurus Bidang Wakaf Pondok Modern Darussalam
Gontor, 8 Juli 2014.
:DZDQFDUDGHQJDQ$QJJRWDSHUVDWXDQ4RUL¶GDQ+DILGK0DVMLG%aiturrahman, 7 September 2014.
Wawancara dengan Bpk Putra Misbah, Kepala Bidang Perwalian,Baitul Mal Aceh, 8 September 2014
59
60
61
62
63
64
Naskah Penerbitan yang sudah diterima Jurnal Terakreditasi:
PROBLEMATIKA PENGELOLAAN TANAH WAKAF; KONSEP KLASIK DAN
KETERBATSAN INOVASI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA
Agus Triyanta
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
[email protected] dan [email protected]
Abstract
Waqf land has been practiced by muslim society for no less than forteen centuries. The
concept sometimes is equalized with the concept of trust in western legal system. The
importance of waqf for the welfare of muslim has been also clearly proven since than.
However, the classical perspective of waqf which emphasizes on the very limted utilization,
namely for places of prayer and study need for reformulation. The current application of
wakf in Indonesia has been very limted in terms of utilization. It is considered that the
classical interpretation of waqf much influenced such application in Indonesia. Based on
such problem, further reformulation in terms of optimum utilization of waqf land is strongly
demanded.
Key words: wakaf,tanah, fikih, Indonesia, pemanfaatan
PENDAHULUAN
Wakaf adalah salah satu pranata yang sangat khas dalam Islam. Meski wakaf
merupakan salah satu bentuk derma yang dikontribusikan oleh seorang muslim, namun
sangat berbeda dengan konsep derma (philantropi) pada umumnya. Pilantropi atau derma
adalah nomenklatur yang sangat umum untuk menyebut adanya sebuah pemberian untuk
kepentingan umum. Namun di dalam Hukum Islam, atau lebih khususnya fiqh muamalah,
ialah hukum Islam yang mengatur tentang hubungan antara orang, hak, kwajiban serta
berbagai transaksi, terdapat berbagai macam model derma atai pilantropi yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya.
65
Letak kekhasan wakaf, jika dibandingkan dengan derma pada umumnya, adalah
bahwa wakaf, jika dilihat dari bentuk obyek yang diserahkan atau diberikan, haruslah berupa
aset yang tetap utuh (baik benda bergerak maupun tidak bergerak). Wakaf adalah aset yang
tidak habis karena pemakaian. Maka, makanan misalnya, tidak dapat dijadikan obyek wakaf.
Untuk menjadi obyek wakaf adalah yang tidak habis karena pemakaian, misalnya tanah,
bangunan, pohon, dan sebagainya. Juga dalam pemanfaatannya, wakaf hanya dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Meski demikian, kemudian berkembang konsep
wakaf ahli, ialah yang pemanfaatannya untuk keluarga. Namun, intinya secara umum, wakaf
dimanfaatkan bagi kepentingan umat secara umum.
Konsep wakaf yang semacam itu, dalam dataran implementasinya masih memerlukan
banyak pengembangan. Karena, kecenderungan umum yang masih ada dan berlaku di
Indonesia khususnya, wakaf masih sangat dimanfaatkan dan dikelola dengan sangat
sederhana. Orientasi wakaf masih baru terbatas pada pemanfaatan yang berkaitan dengan
ibadah dan belajar atau mengaji. Padahal, untuk menunjang keberlangsungan fungsi aset
wakaf itu sendiri, diperlukan pembiayaan yang terkadang menjadikan terlentarnya aset wakaf
karena ketiadaan biaya pemeliharaan. Sedangkan di sisi lain, pengembangan model
pengelolaan wakaf mestinya dapat disentuh dengan inovasi-inovasi yang lebih dapat
memberdayakan secara ekonomis. Untuk itulah penting untuk dibahas berbagai model
praktik pemanfaatan tanah wakaf yang ada di Indonesia, kelebihan dan kekurangannya,
sehingga pada masa depannya, akan dapat dilakukan berbagai upaya terobosan yang lebih
menghasilkan keuntungan yang optimal.
RUMUSAN MASALAH
66
Dengan melihat uraian dalam pendahuluan tersebut, maka gambaran dari
permasalahan yang dipertanyakan dalam konteks masalah ini semakin jelas. Secra rinci
masalah yang dimaksud dapat dirumuskan sebagai berikut:
1). Bagaimanakah konsep klasik tentang tanah wakaf dan pemanfaatan tanah wakaf dalam
hukum Islam umunya atau fikih muamalah pada khususnya?
2). Bagaimanakah pemanfaatan tanah
wakaf dan kontribusinya bagi kesejahteraan
masyarakat di Indonesia saat ini?
TUJUAN PENELITIAN
Dari rumusan masalah yang tertera di atas, ada beberapa tujuan dari penelitian ini.
Secara rinci, tujuannya adalah sebagai berikut:
1). Untuk merumuskan batasan konseptual atas tanah wakaf dan pemanfaatan tanah wakaf
dalam hukum Islam umunya atau fikih muamalah pada khususnya.
2). Untuk memformulasikan pola pemanfaatan tanah
wakaf dan kontribusinya bagi
kesejahteraan masyarakat di Indonesia saat ini, mengidentifikasi kelemahan dan
kelebihannya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengambil lokasi di seluruh Indonesia. Namun studi lapangan yang
lebih terfokus akan dilakukan di berbagai lokasi pemanfaatan tanah wakaf
yang telah
melakukan terobosan bagi optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf. Penelitian ini bermaksud
menemukan landasan pemikiran filosofi, konsepsi, dan pemanfaatan perwakafan tanah,
problematika hukum bidang agraria terkait dengan tanah wakaf, serta peran negara melalui
kebijakan agraria yang diperlukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif (Normative Legal Research) (Bagir Manan, 1999), sehingga metode pendekatan
67
yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, menggunakan proses berfikir dan kaidah
berfikir (M. Daud Silalahi, 2001).
Metode pendekatan yang digunakan adalah hukum normatif yang didukung oleh
pendekatan empiris yang menggunakan data primer. Pendekatan sosiologis digunakan untuk
menelaah mengenai bentuk pemanfaatan tanah wakaf
dalam masyarakat Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan conceptual approach, ialah penelitian dengan
maksud untuk membangun suatu konsep dengan mendasarkan pada sistem norma tertentu
(Marzuki, 2005).
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, serta bahan hukum
primer, sekunder dan tersier. Data primer diperoleh melalui studi lapangan sedangkan data
sekunder diperoleh melalui literatur dan berbagai dokumentasi yang berkaitan dengan
perwakafan. Bahan hukum primer terdiri dari: konstitusi, undang-undang, peraturan
pemerintah dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bahan hukum sekunder terdiri dari :
buku teks, jurnal, kasus-kasus di pengadilan, dan kasus-kasus di luar pengadilan, serta
pendapat para pakar dan tokoh adat. Bahaan hukum tersier terdiri dari: kamus dan
ensiklopedi. (Aslan Noor, 2003).
Penelitian dilakukan dalam dua tahap meliputi penelitian
perpustakaan (library
research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian perpustakaan (library research)
dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Soerjono
Soekanto, 1995), Kajian lapangan (field research) dimaksudkan untuk menggali data empiris
tentang perwakafan tanah dan optimalisasi pemanfaatannya, serta problematika hukum
agraria yang dihadapi.(Noeng Muhadjir ).
Pengumpulan data dilakukan dan disesuaikan dengan permasalahan dan metode
pendekatan. Untuk permasalahan pertama, pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun
semua dokumen serta melakukan studi lapangan terkait dengan perwakafan dan
68
pemanfaatannya. Permasalahan kedua, pengumpulan data dilakukan melalui identifikasi
kasus-kasus yang telah terjadi, di samping itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui
pengumpulan dokumen dan kepustakaan yang berkaitan dengan regulasi dan kebijakan di
bidang agraria terkait dengan wakaf. Guna memperjelas data dalam permasalahan yang kedua
ini diperlukan in-depth interview serta singkronisasi perundang-undangan untuk mengungkap
problem yuridis yang dijumpai. Sedangkan permasalahan ketiga, pengumpulan data selain
dilakukan dengan mengadopsi dan mengintegrasikan data yang telah tersedia, juga dilakukan
melalui Focus Group Discussion (FGD) dan diskusi publik lainnya.
Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data akan diolah dengan metode
kualitatif, ialah menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran
terhadap data, mengambil arti yang terkandung di dalamnya. Tahapan yang dilakukan adalah:
1) Reduksi data, di mana data diringkas dan diramu dalam bentuk yang baku dan ilmiah,
agar lebih mudah untuk dilakukan analisis tahap selanjutnya. 2) Organisasi data. Di mana
data diklasifikasikan (diorganisasikan) dalam kelas-kelas sejenis, dalam genus-genus yang
sama. 3) Penarikan interpretasi. Ini dilakukan denga metode interpretasi ataupun cara-cara
legal reasoning yang lain, termasuk content analysis menurt Erl Babbie (Nurhasan Islamil,
2006) dan Claus Krippendorff (1991). Interpretasi juga akan membantu untuk bisa
menyajikan konsep norma hukum dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan lebih
bersifat aplikatif. 4). Pengambilan kesimpulan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Wakaf dalam Teks Fiqh
Dalam literatur hukum Islam, wakaf berarti menahan, sedangkan secara terminologis
berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk
penggunaan yang mubah (yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam), serta dimaksudkan
69
untuk mendapatkan keridhaan Allah (Azhar Basyir, 1987). Adapun dasar hukum yang
digunakan adalah beberapa ayat al-4XU¶DQ WHUXWDPD 6XUDW $OL ,PUDQ GDQ KDGLWV
tentang nasehat Nabi SAW kepada Umar ibn Khaththab berkenaan dengan tanah yang
diperoleh Umar dari perang Kahibar. (Imam Suhadi, 1990).
Status kepemilikan tanah wakaf adalah terlepas dari kepentingan pribadi.
Kepemilikan menjadi hak Allah yang diawasi oleh pengelola (nadzir). (Abdoerraoef, 1970).
Pemilik yang telah mewakafkan tanahnya tidak lagi memiliki hak untuk mencampuri urusan
peruntukan tanah tersebut selama pengelola tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
dalam ikrar wakaf. Sebaliknya pengelola tanah wakaf juga tidak dapat
melakukan
pemanfaatan tanah secara bebas, karena pewakaf dapat mengajukan persyaratan tertentu
ketika mewakafkan tanah tersebut. (Azhar: 1987).
Wakaf ini dimulai sejak masa Nabi, ialah kasus terkait dengan tanah yang dimiliki
oleh Umar di Khaibar. Ketika Umar bin Khaththab menanyakan tentang apa yang dapat
GLSHUEXDW ROHK 8PDU GHQJDQ WDQDKQ\D WHUVHEXW PDND 1DEL PHPEHULNDQ MDZDEDQ ³-LND
HQJNDXVXNDWDKDQODKWDQDKLWXGDQHQJNDXVHGHNDKNDQPDQIDDWQ\D´GDQEHULNDQODKKDVLOQ\D
untuk di Jalan Allah. (Sabiq, 1996).
Penjelasan Ibnu 8PDU WHUKDGDS KDGLWK WHUVHEXW GL DWDV DGDODK ³ 8PDU UD
menyedahkan tanahnya di Khaibar. Tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak pula
diwariskan kepada orang-orang faqir, kerabat, hamba, kepentingan umum, amu dan Ibnu
Sabil. Orang yang memeliharanya (nazhir) diperbolehkan memakan hasil dari tanah tersebut
GHQJDQFDUD\DQJPD¶UXIDWDXGHQJDQFDUD\DQJEDLN\DQJWLGDNEHUOHELKDQ´
Secara umum, dalam al-4XU¶DQ MXJD GLVHEXWNDQ DQMXUDQ XQWXN PHPEHULNDQ KDUWDGL
jalan Allah, yaitu QS 3: 92 sebagai berikut:
³2j¯ Wƞ°O¯‹‰D¯VÙÄÔ³[‹C°%SÁ°Ý=É"W%XT |ESz°VÊ%„-°%SÁ°Ý=É"³/\OˆnªÙSÅR<V"CV
70
³.DPX VHNDOL-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
0DND6HVXQJJXKQ\D$OODKPHQJHWDKXLQ\D´
Turunnya ayat tersebut telah mendorong seorang sahabat Nabi yang bernama Abu
Thalhah untuk menyedekahkan (mewakafkan) tanah yang bernama Bairaha, harta yang
paling dia cintai. (Sabiq, 1996).
Hadith terkait dengan Umar bin Khaththab di atas juga telah memberikan batu pijakan
bagi syariat wakaf. Maka sejak itu orang Isalam termasuk Nabi sendiri juga mencontohkan,
memiliki bentuk amaliah muamalah yang baru, ialah mewakafkan tanah. Misalnya saja
bahwa Abu Bakar membeli sebuah sumur yang dinamai Raumah seharga 35.000 dirham dan
kemudian diwakafkan.(Asmuni, 2007). Demikian juga, Nabi pun kemudian membeli tanah
dan diwakafkan.
Pembangunan Masjid Quba, dan kemudian juga masjid Nabawi juga
dengan tanah wakaf ketika itu.
Terkait dengan apa yang diwakafkan oleh Abu Bakar tersebut di atas, ini merupakan
suatu hal yang sangat menarik. Di mana wakaf tersebut sudah berorientasi bagi kesejahteraan
umat. Dikarenakan sumur itu merupakan salah satu sumber mata air yang sangat diperlukan
di lingkungan tersebut, dan pemiliknya selalu menjual air itu dengan mahal, maka kemudian
Abu Bakar berupaya membelinya untuk kemudian diwakafkan, sehingga kemudian orangorang yang membutuhkan air tersebut dapat mengambilnya dengan tanpa harus membayar.
Dalam perjalanan umat Islam berikutnya, wakaf juga menjadi tulang punggung
kesejahteraan umat. Dalam masa kejayaan Islam di bawah pemerintahan Umayyah dan
Abbasiyyah, peran wakaf sangat Nampak dalam mewujudkan kesejahteraan umat.
Wakaf ketika itu,bukan hanya untuk pendidikan, tetai juga didapati bahwa banyak
wakaf dijumpai untuk kesejahteraan umum.Misalnya, pada masa kejayaan peradaban Islam,
umat Islam dengan jelas menunjukkan bahwa akhlak terhadap binatang mendapat perhatian
yang sangat tinggi. Di Damaskus misalnya, terdapat tanah wakaf yang dikhususkan untuk
71
binatang-binatang yang jinak, dilengkapi dengan makanan untuk binatang tersebut.
Disebutkan dalam sejarah, bahwa di sini, di tempat yang dinamakan Suqrarodja, dipelihara
kucing yang jumlahnya lebih dari 400 ekor, yang kesemuanya gemuk-gemuk dan sehat-sehat.
Bahkan ada juga wakaf khusus mengobati binatang, di mana di areal lapangan hijau yang
cukup luas di Damaskus yang dikhususkan untuk binatang yang sudah tua dan lemah, agar
bisa hidup bebas dengan penuh jaminan makanan sampai meninggal. $VVLED¶L
Dalam bidang pendidikan, badan wakaf berperan sangat besar dalam memejukan
pendidikan. Dalam masa ketika dunia Barat (Eropa & Amerika) masih belum mengenal
kemajuan ilmu pengetahuan, dunia Islam sudah banyak lembaga pendidikan yang dibiayai
dengan wakaf. Badan wakaf dapat menyediakan pembiayaan, baik untuk beaseswa maupun
gaji para pengajar. Sehingga, dalam masa tersebut, orang belajar sangat didorong dengan
support financial yang memadahi.
Dalam karyanya yang berjudul The Rise of College, George Makdisi memberikan
deskripsi bagaimana sistem gaji sudah diberikan ketika itu. Dalam sistem kependidikan Islam
yang berkembang pada abad 10 M (atau bahkan sebelumnya) itu, umat Islam telah
memberlakukan berbagai ketetapan honor dan penghargaan bagi para ilmuwan. Ilmuwan
tidak melakukan komersialisasi ilmu dan keahlian mereka secara bebas. Mayoritas yang
terjadi, negara-lah yang menanggung gaji mereka. Kalau tidak, yayasan (Badan Wakaf/
Charitable Fund) yang memberikannya. Al-Farabi, sorang ilmuwan besar dalam ilmu sosial,
selalu menerima gaji dari baitul mal 4 dnar per hari. (Makdisi, 1981). Salm al Khasir,
seorang ilmuwan yang mengahbiskan banyak uang peninggalan bapaknya untuk keperluan
belajar, mendapatkan hadiah 100.000 dinar dari Harun Al-Rasyid untuk sebuah karya tulis
pada masa itu. (Makdisi, 1981). Al-Firdausi, yang selain sebagai sastrawan dikenal juga
dengan predikat ³IDWKHU RI 3HUVLDQ +LVWRU\´ dijanjikan oleh Raja hadiah sebesar 60.000
72
keping uang emas untuk sebuah karyanya yang berjudul Shah Namah, meski sebelum onta
pembawa muatan itu sampai pada dirinya, dia telah meninggal. (Nakosteen, 1964).
Meski begitu, bukan berarti pencari ilmu tidak membayar kepada gurunya. Dalam
perkembangan peradaban Islam, dijumpai juga bahwa murid juga membayar. Al-Hasan bin
Shaibani sebagai contoh, dinyatakan bahwa dia mewarisi dari kekayaan Bapaknya sebanyak
30.000 dirham, dia gunakan itu untuk mempelajari grammar dan poetry, hadith dan fiqh.
(Makdisi, 1981). Namun banyak juga ilmuwan yang enggan menarik beaya dari muridnya,
misalnya Ibn Naqur. Karena kesibukan akademisnya, dia tidak bisa bekerja untuk
menghidupi dirinya, sehingga As-6LUD]\ PHQJHOXDUNDQ µOHJDO RSLQLRQ¶ EDKZD DQ-Naqur
berhak untuk mendapat gaji. Meski dia tetap tidak menarik beaya yang mencukupi, namun
kemudian dia berhak mendapat zakat. (Makdisi, 1981).
Di samping itu, ada juga ilmuwan yang tidak digaji oleh siswanya, melainkan
justeru mencarikan sumber keuangan dari funding, misalnya Abu al-Husain al-Balki, sebuah
fenomema yang lain dari biasanya. Ada juga yang membagi-bagikan penghasilan pribadinya
untuk kepentingan para insan akademis, misalnya, Al-Hamdhani, seorang konsultan hukum
(jurisconsult) di Isfahan yang pertahunnya bisa mendapat uang 100.000 dirham. (Makdisi,
1981). Praktek semacm ini ternyata justeru sangat mirip dengan apa yang terjadi dalam
pendidikan modern, di mana para Professor atau pembimbing justeru membantu mencarikan
sumber dana (beaseswa) bagi para muridnya. Ini berarti, praktek pendidikan Islam klasik
telah memiliki sebuah nilai yang sangat tinggi, berarti sekitar 1000 tahun mendahului apa
yang sekarang menjadi bagian dari sistem pendidikan di negara-negara maju dan modern.
Untuk bisa mengetahui bagaimana alokasi pembeayaan aktivitas keilmuan ketika
itu, bisa diberikan sebagai gambaran, bahwa pada abad 12 M, sebuah yayasan pendidikan
The Syafií Imadiya College of Law, memiliki expenditure sbb: (Makdisi, 1981). seorang
Syaikh/ profesor (60 dirham/bulan), penyediaan tikar (300 dirham/bulan), biaya minyak
73
lampu (24 dirham/bulan), gaji pemelihara
(100 dirham/bulan), Imam (40 dirham/bulan),
sedangkan bagi beasiswa Fellows sebesar 20 dirham/bulan.
Demikian juga, ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan di perpustakaan
juga mendapat jaminan yang layak. Perlu diketahui bahwa perpustakaan pada masa itu
jumlahnya sangat banyak, baik swasta maupun yang dimiliki oleh negara. Sebegaian dari
perpustakaan yang ada ketika itu menetapkan bahwa bukan saja para ilmuwan bebas
menggunakan perpustakaan untuk eksplorasi ilmu dan pengembangannya, namun banyak di
antaranya yang menyediakan makanan, penginapan, perlengkapan untuk menulis, serta
bantuan lain demi kenyamanan pengunjung yang berasal dari jauh. Ibnu Ibad, lebih dari itu,
bukan hanya membebaskan penggunaan perpustakaannya yang terkenal untuk para ilmuwan,
namun malah memberikan beasiswa maksimum 1000 dirham untuk setiap ilmuwan yang
mengembangkan ilmu di perpustakaan tersebut.
Hal seperti ini, baru disadari oleh dunia Barat pada beberapa ratus tahun terakhir.
Artinya, peradaban Islam dalam memberikan support bagi pendidikan semacam itu telah
mendahuli dunia barat beratur-ratus tahun.
Lembaga wakaf tanah menjadi salah satu pranata penting bagi masyarakat muslim.
Hal ini disebabkan karena pewakafan mampu menjadi salah satu sarana pemberdayaan
ekonomi yang mandiri di lingkup masyarakat yang bersangkutan, utamanya terkait dengan
pembiayaan bagi keperluan umum dan keaagamaan. Studi yang telah dilakukan oleh Murat
Cizakca (1998) menunjukkan bahwa wakaf tanah telah memainkan peran yang sangat besar
dalam memenuhi kepentingan umum di berbagai negara. Di Turki, pada tahun 1931 rasio
antara jumlah pegawai yang bekerja pada asset wakaf dengan pegawai yang dipekerjakan
pemerintah (pegawai negeri) berjumlah 12.68%. Dalam kajian yang lain, Ferhat Abbas,
(2013) menyatakan bahwa di Mesir pada tahun 1913, lembaga wakaf memiliki lebih dari 11
rumah sakit yang dapat melayani lebih dari satu juta pasien.
74
Dalam masa kejayaan Islam, wakaf memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
kemajuan peradaban. Lembaga pengelola wakaf dapat melakukan pemenuhan berbagai
kepentingan umum, termasuk dalam layanan pendidikan. Berbagai beasiswa dan bantuan
keuangan (scholarship) diberikan bagi orang-orang yang terlibat dalam aktivitas
pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga perkembangan ilmu berjalan sangat cepat. Lebih
dari itu, pemanfaatan tanah wakaf sudah sangat terdiversifikasi, sehingga di antara wakaf
digunakan untuk konservasi lingkungan berupa taman dan tempat yang bebas bagi binatang
(Agus Triyanta, 2012).
Karena itulah, optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia harus segera
dilakukan, dari tanah yang
konvensional, yakni hanya dibiarkan berupa lahan dengan
tanaman keras, atau bahkan dibiarkan kosong misalnya, haruslah beralih pada orientasi yang
bersifat produktif. Agus Triyanta (1998) dengan mendasarkan pada sebuah riset wakaf
menyimpulkan bahwa diversifikasi pemanfaatan tanah wakaf masih sangat minim dilakukan
oleh umat Islam. Dan karenanya disarankan perlunya edukasi yang lebih intensif agar para
pengelola wakaf menyadari pentingnya diversifikasi pemaanfaatan tanah wakaf ke arah yang
lebih produktif.
Tentu semua perubahan menuju terwudunya pemanfaatan yang optimal tersebut, tidak
mungkin tidak, memerlukan perubahan fungsi tanah wakaf dari fungsi semula menuju fungsi
yang lebih produktif. Sedangkan, perubahan fungsi tersebut bukannya tanpa kontroversi
terkait status hukumnya. Sebagian pendapat melarang, sebagaimana sebagian yang lain
PHPEROHKNDQ3HQGDSDW,PDP6\DIL¶L\DQJGLLNXWLMXJDROHKSDUDXODPDPHQ\DWDNDQEDKZD
perubahan atau alih fungsi tanah wakaf tidak diperbolehkan. Sebaliknya, menurut Ibnu
Hanbal berserta para pengikut madzhabnya, perubahan pemanfaatan
dari semula yang
dipersyaratkan oleh pewakaf adalah merupakan tindakan diperbolehkan.(Imam Suhadi
(1990).
75
Karena itu, studi Mahmassani (1981) dan Azhar Basyir (1994) menunjukkan bahwa
pendapat Ibnu Hanbal yang membolehkan tersebut lebih relevan untuk situasi saat ini, karena
lebih berorientasi manfaat masa depan serta bertumpu lebih banyak pada kemaslahatan.
Adijani (1992) berpendapat bahwa pada dasarnya tanah wakaf tidak boleh dijual, diwarisi,
dan diberikan kepada orang lain. Tapi seandainya asset wakaf tersebut rusak, tidak dapat lagi
diambil manfaatnnya, maka boleh digunakan untuk keperluan lain yang serupa, dijual dan
dibelikan barang lain untuk meneruskan wakaf itu.
Artiya bahwa pendapat yang membolehkan perubahan fungsi atau pemanfaatan
tersebut lebih dapat diterima jika menggunakan pendekatan hukum progressif, serta lebih
memenuhi nilai keadilan dan kemaslahatan. Hal ini disebabkan dalam pendapat tersebut,
wakaf dapat dimanfaatkan secara optimal mengikuti kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang.
Implementasi Pemanfaatan Tanah Wakaf di Indonesia
Hari ini, universitas tertua di dunia, ialah universitas Al-Azhar yang didirikan pada
970 dan beroperasi 988 M, merupakan satu-satunya universitas di negeri Muslim yang
banyak mendayagunakan harta wakaf dalam pengembangan pendidikan. Ribuan beaseswa
diberikan kepada para mahasiswa dari berbagai negara yang sumbernya adalah hasil wakaf.
Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan wakaf dapat diberdayakan sengan sangat baik.
Tentu saja, untuk tujuan seperti itu, wakaf produktif menjadi sebuah alternative.
Wakaf umat Islam, yang selama ini hamper seluruhnya digunakan untuk tempat-tempat
peribadahan (masjid, mushalla, langgar) dan tempat pendidikan (sekolah), haruslah dilihat
kembali manfaatnya. Dalam banyak kasus, asset wakaf semacam itu pada gilirannya kurang
termanfaatkan secara optimal dikarenakan rasio (perbandingan) antara jamaah dan jumlah
masjid sudah melebihi ideal, atau, dalam kasus sekolahan, semakin sedikitnya angkatan
76
pelajar dibandingkan dengan daya tamping. Untuk itu, harus semakin digalakkan pengelolaan
wakaf yang berorientasi produktif.
Wakaf produktif, jika demikian dapat didefinisikan sebagai wakaf yang dikelola
untuk tujuan mendapatkan keuntungan (profit), yang profit tersebut dapat dimanfaatkan
XQWXNNHVHMDKWHUDDQ,VODPGDQXPDW,VODP /DQGDVDQV\DU¶,GDULZDNDISURGXNWLILQLDGDODK
apa yang diperintahkan oleh Nabi terkait dengan tanah milik Umar bin Khaththab di Khaibar
yang diberikan untuk kepentingan umat Islam, dengan cara ditahan (tidak dijualbelikan) dan
hasil kebun tersebut diperuntukkan untuk kepentingan umat Islam.
Wakaf produktif ini dapat berupa berbagai benda dan hak kepemilikan, bukan hanya
benda tidak bergerak, namun juga benda bergerak dan bahkan wakaf tunai/ cash/ uang.
Menurut data yang dimiliki oleh Departemen Agama, keseluruhan tanah wakaf di
Indonesia berjumlah 3.492.045.373,754m2, Tanah wakaf seluas itu tersebar di 420.003 lokasi
di seluruh wilayah Indonesia. (Bimas Islam Kemenag: 2013). Ini merupakan lahan yang
sangat luas dan potensial untuk dioptimalkan pemanfaatannya. Bahkan dapat dikatakan
bahwa luas ini hampir seluas lima (5) kali negara Singapura. Secara urut, di bawah ini adalah
data tanah wakaf terbesar menurut propinsi di Indonesia:
Tabel
Jumlah Tanah Wakaf Terbesar di Lima Propinsi di Indonesia
No.
1
2
3
4
PROVINSI
Nanggroe Aceh
Darussalam
Jawa Barat
Kalimantan Selatan
RIAU
JUMLAH TANAH
WAKAF
LOKAS LUAS M2
I
27,416
1,333,233,627.26
Ada
Tidak
12,245
15,171
Prosentase
Tanah
Wakaf
Bersertifikat
45%
70,749
8,772
7,897
45,401
7,271
2,761
25,348
1,501
5,136
64%
83%
35%
116,662,017.81
110,208,613.54
97,448,625.81
BERSERTIFIKAT
77
Nusa Tenggara Barat
5
11,793
83,060,488.00
7,635
4,158
65%
Data diadaptasi dari Indonesia Waqf Board, dalam www.bwi.or.id, akses 20 April 2013
Pranata wakaf telah ada di Indonesia sejalan dengan keberadaan komunitas muslim di
wilayah ini. Hal ini disebabkan karena pranata wakaf melekat dalam ajaran dan praktik
kehidupan umat Islam. Meskipun lembaga perwakafan tanah di Indonesia sudah ada dan
berkembang dalam waktu yang lama, namun perkembangan pemanfaatan dirasa belum
proporsional. Mengingat keberadaan tanah wakaf yang luas, semestinya, tanah wakaf akan
mampu memberikan peran bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, meski tidak secara
langsung.
Institusi wakaf dalam Islam merupakan salah satu bentuk pemberdayaan harta
(tamwil) untuk kepentingaan umat (umum), di mana
harta (yang bersifat tetap) milik
individu diserahkan dan kemudian dikelola untuk kepentingan umat, di samping juga, ada
beberapa metode lain untuk memobilisir kontribusi material dan finansial demi kepentingan
umat, seperti zakat, infaq dan sahaqah (ZIS). Untuk masalah ZIS telah mengalami
improvisasi pemanfaatan yang menggembirakan, sedangkan untuk masalah wakaf, masih
belum banyak teroptimalkan dan mayoritas masih dimanfaatkan secara konvensional, karena
bertumpu pada pendapat yang diinterpretaasikan dari ajaran Islam secara tekstual. Untuk itu
masih diperlukan upaya pemanfaatan yang lebih baik dan berorientasi pada optimalisasi bagi
kesejahteraan.
Berbagai negara telah berhasil mengelola wakaf dengan baik. Patut dicontoh di sini
adalah apa yang diberlakukan oleh universitas Al-Azhar, sebuah universitas Islam tertua di
dunia. Di sana, dengan optimalisasi pemafaatan wakaf, setiap tahun dapat membiayai
mahasiswa internasional, menerbitkan dan menyebarkan buku-buku Islam ke seluruh dunia.
(Azhar Basyir, 1987). Apa yang dikembangkan di Malaysia juga layak menjadi contoh. Di
Malaysia, inovasi paling spektakuler terkait dengan optimalisasi wakaf ke sektor produksi
78
telah dilakukan oleh umat Islam di negeri Johor. Tahun 1968, pemerintah Johor mendirikan
sebuah perusahaan Negara bagian,yang bernama Johor Corporation, yang dibuat sedemikian
rupa sehingga memadukan wakaf dan manajemen modern.
Lembaga Wakaf tersebut memiliki saham di Johor Corporation yang menguasai
lebih dari 197 perusahaan, termasuk menguasai 18 rumah sakit di seluruh Malaysia (KPJ
Healthcare). Pada tahun 2006, Perusahaan wakaf ini memiliki saham senilai RM 200 juta.
Bisnis Johor Corporation in meliputi perushaan minyak sawit, real estate (property), dan
sebagainya. (Agus Triyanta, 2009).
Kesuksesan pemanfaatan wakaf di Singapura telah
menjadikan MUIS (Majelis
Ugama Islam Singapura), sebagai pengelola wakaf di Singapura, mendapatkan penghargaan
Sheikh Mohammad
Bin Rashid Al Makhtoum Islamic Finance Awards 2006. Inovasi ini
juga akhirnya berhasil mendongkrak penghasilan yang semula $19.000 pertahun
menjadi $5.3 juta di tahun 2006. MUIS ini juga sekarang sudah mendapatkan sertifikat ISO
9001 untuk bidang administrasi dan manajemen wakaf. (Agus Triyanta, 2009)
Namun yang terjadi di Indonesia justeru kebalikan dari fakta di atas, banyak tanah
wakaf yang terletak di lokasi strategis diambil oleh pengusaha dengan cara ruislag (istibdal)
dengan tanah yang terletak di lokasi yang lebih terisolir sehingga potensi optimalisasi
pemanfaatan ke arah yang lebih produktif menjadi sulit. (Suparman dan Subhan: 2009).
Berdasarkan uraian di atas, optimalisasi pemanfaatan harta wakaf adalah suatu
keharusan yang secepat mungkin harus dilakukan dengan dua alasan utama; Pertama,
mayoritas pewakaf (wakif) menginginkan agar tanah wakaf dimanfatakan untuk hal-hal yang
berkaitan secara langsung untuk kepentingan ibadah mahdhah, misalnya untuk pembangunan
masjid. Kedua, semakin diperlukannya optimalisasi tanah wakaf untuk mendukung
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat, serta pula, pengadaan fasilitas-fasilitas urgen
dan mendesak yang dibutuhkan umat Islam.
79
Namun, pada realitanya, banyak asset tanah wakaf yang tidak dapat berfungsi
optimal, banyak lahan wakaf yang dibiarkan tidak termanfaatkan, baik karena fungsi awal
pemanfaatan yang sudah tidak diperlukan lagi, misalnya dengan semakin kecilnya angkatan
didik, maka banyak sekolah yang dibangun dengan tanah wakaf kemudian tidak beroperasi
karena kurangnya murid. Lahan wakaf pertanian atau perkebunan yang tidak lagi terpelihara
karena kurangnya sumber daya manusia. Bahkan, ada asset (tanah wakaf) yang potensial
untuk digugat. Misalnya saja di Jawa Barat tanah wakaf berjumlah 74.156 lokasi atau 215
juta meter persegi, dan ironisnya, GDULMXPODKWHUVHEXWPDVLKDGD ORNDVL\DQJEHOXP
GLPDQIDDWNDQ Menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang belum dimanfaatkan inilah yang
rentan dengan gugatan ahli waris.(Sindonews, 2013).
Ada dua hal yang menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan tanah wakaf
tersebut. Pertama, kurangnya profesionalisme para pihak yang terkait dengan perwakafan.
Kedua,
hambatan terkait kebijakan pengurusan tanah wakaf. Optimalisasi tanah wakaf
melalui perubahan pemanfaatan dapat dilakukan dengan berbagaai terobosan: Pertama,
mengalihkan fungsi pemaanfaatan tanah wakaf. Megingat keperluan sebuah masyarakat
selalu berubah, maka suatu hal yang wajar jika kemudian sebagian tanah wakaf kehilangan
fungsi yang optimal karena memang bergesernya keperluan masyarakat.
Kedua,
meningkatkan fungsi tanah wakaf, dengan adanya perubahan masyarakat dan perkembangan
teknologi, pemanfaatan wakaf tidak lagi hanya pada satu fungsi yang statis, namun harus
dilakukan sesuai tuntutan perkembangan yang terjadi. Misalnya, sebidang tanah wakaf, dapat
dirubah menjadi apartemen yang memungkinkan perolehan keuntungan yang lebih tinggi.
Maka perlu adanya perubahan status dari hak milik pengelola wakaf menjadi Hak Guna
Bangunan (HGB) untuk menjadi bangunan yang disewakan, atau hak Pakai dengan merujuk
pada Strata Tittle (Rumah Susun).
80
Bentuk perubahan yang dimaksud jelas akan dipengaruhi oleh regulasi di bidang
agraria. Karenanya, perubahan status tanah atau perubahan pemanfaatan akan melibatkan
pengaturan di bidang pertanahan. Bahkan, dalam hal tanah wakaf untuk dirubah menjadi
apartemen yang disewakan, memerlukan perubahan regulasi terkait dengan hak-hak atas
tanah yang diatur dalam hukum agraria. Untuk itu, perlu dibuat model kebijakan dan
regulasi yang memang mampu mendukung pemanfaatan tanah wakaf yang optimal bagi
peingkatan kesejahteraan umat atau masyarakat.
Dengan melihat itu semua, maka optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf tidak dapat
berjalan tanpa adanya singkronisasi hukum antara pengaturan wakaf dengan hukum agraria.
Sehingga perlu dilakukan reformulasi yang komprehensif terhadap permasalahan optimalisasi
pemanfaatan tanah wakaf yang berkaitan dengan hukum agraria, serta kemudian mencari
solusi yang diperlukan. Yang pada intinya adalah bagaimanakah pemanfaatan tanah wakaf
dan kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat di Indonesia saat ini.
Urgensi Inovasi dalam Pemanfaatan
Karena itu, berbagai terobosan dapat dilakukan di Indonesia, termasuk melakukan
diversifikasi pemanfaatan tanah. Maka dalam konteks ini, konversi, baik dalam arti peralihan
pemanfaatan wakaf serta pertukaran tanah wakaf dengan tanah yang lain (ruislag), menjadi
suatu jalan yang sangat diperlukan. Misalnya saja, tanah wakaf yang memang layak untuk
dibangun pusat dagang, rumah susun,atau hal lain sejenisnya, maka semestinya dilakukan
pengembangan pemanfaatan semacam itu.
Ada beberapa pola yang dapat dikembangakan bagi pemanfaatan tanah wakaf yang
pernah digagas. Lywa S. Fauzie (2011) mengajukan sebuah rancangan yang sangat menarik,
bahwa di atas tanah wakaf dapat dibuat sebuah bangunan strata title (misalnya ruko,
rusunawa dan apartemen),
sehingga dengan perubahan itu, fungsi tanah wakaf tidak
81
berkurang, dan justeru akan lebih produktif jika dibandingkan dengan pemanfaatan semua.
Bahkan konsep ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan konsep BOT (Build-OwnTransfer) yang pernah dianggap yang terbaik untuk aset tanah wakaf karena aset tanah
WHUVHEXW WLGDN ³KLODQJ´ WHUMXDODWDX EHUSLQGDK WDQJDQ WHWapi kembali lagi setelah 20 atau 30
tahun.
Lebih dari itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Rusun)
memberikan kemungkinan dimanfaatkannya tanah wakaf yang pemanfaatannya tidak
optimal, dan tanah terlantar untuk dibangun rumah susun yang kemudian dapat disewakan,
yang dari situ akan terjadi aliran finansial yang dapat digunakan untuk kepentingan yang
lebih luas lagi. (Ciptakarya, 2013).
Mengingat pentingnya persoalan tanah wakaf, sehingga Undang-Undang Pokok
Agraria no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal
dengan sebutan UUPA mengatur ketentuan khusus mengenai wakaf sebagaimana diatur
GDODP 3DVDO D\DW \DQJ PHQHQWXNDQ ³3HUZDNDIDQ WDQDK PLOLN GLOLQdungi dan diatur
GHQJDQ SHUDWXUDQ SHPHULQWDK´ 3HULQWDK 883$ WHUVHEXW NHPXGLDQ GLODNVDQDNDQ GHQJDQ
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Perkembangan praktik perwakafan tanah milik yang sangat dinamis, diikuti oleh pemerintah
dengan membuat berbagai pranata hukum yang mengaturnya, dan puncaknya pada tanggal 27
Oktober 2004 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.
Terkait dengan perubahan pemanfaatan tanah wakaf, UUPA juga menegaskan
memanfaatkan tanah untuk fungsi social. Dinyatakan dalam penjelasan UUPA no. II, poin 4,
bahwa hak atas tanah yang ada pada seseorang tidak dibenarkan dipergunakan atau tidak
dipergunakan semat-mata untuk pribadinya melainkan harus disesuaikan dengan keadaan dan
sifat dari haknya, sehingga bermanfaat baik baagi kesejaahteraan dan kebahagiaan yang
82
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Lebih lanjut
GLQ\DWDNDQ EDKZD ³NHZDMLEDQ PHPHOLKDUD WDQDK WLGDN VDMD GLEHEDQNDQ NHSDGD SHPLOiknya
atau pemegang haknya melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau
LQVWDQVL\DQJPHPSXQ\DLVXDWXKXEXQJDQKXNXPGHQJDQWDQDKLWX´%XGL+DUVRQR
Sehingga, upaya optimalisasi tanah wakaf dengan cara merubah pemanfaatannya
bukan hanya diperbolehkan dalam hukum Islam, namun juga sejalan dengan semangat
UUPA, selama perubahan itu tidak menghilangkan eksistensi tanah tersebut. Dalam hal ini,
$33HUOLQGXQJDQPHQ\DWDNDQ³+DNDWDVWDQDKZDNDI\DQJ VXGDKGLEHULNDQNHSDGD
usaha sosial dan keagamaan, hanya ada right to use saja, sedangkan right to disposal-nya
tidak ada, karena dianggap ditariknya hak atas tanah tersebut dari peredaran lalu lintas
HNRQRPLVHKLQJJDWLGDNEROHKGLDVLQJNDQDWDXSXQGLMDGLNDQMDPLQDQKXWDQJ´
Dari berbagai regulasi terkait dengan perwakafan sebagaimana tersebut di atas, serta
dari penafsiran terhadap berbagai pengaturan tersebut, memang tanah wakaf telah mendapat
pengakuan secara hukum, baik dalam Undang-Undang Wakaf dan Undang-Undang Pokok
Agraria. Akan tetapi, dalam hal pemanfaatan tanah wakaf yang lebih responsif terhadap
perkembangan kebutuhan masyarakat, dirasa masih kurang sehingga perlu dilakukan
penyempurnaan secara memadai.
Simpulan
Dari berbagai diskusi di atas, nampak bahwa dalam fikih klasik, konsep tentang tanah
wakaf dan pemnafaatannya masih sangat sederhana. Hampir semua menyatakan bahwa
wakaf lebih berorientasi pada tanah dan dengan pemanfaatan yang hanya pada seputar
kepentingan tempat ibadah. Lebih dari itu, konversi tanah wakaf yang dilakukan untuk upaya
optimalisasi pemanfaatan juga belum mendapatkan perhatian.
83
Dalam prakteknya di Indonesia saat ini, hal yang masih mirip juga terjadi, di mana
tanah wakaf yang jumlahnya sangat luas jika dibandingkan dengan berbagai negara muslim
lainnya, masih terkunkung pada bentuk pemanfaatan yang konvensional, ialah seputar tempat
ibadah dan tempat belajar. Bahkan tidak sedikit dari lahan tanah wakaf tersebut yang
akhirnya terlantar. Hal ini menunjukkan masih minimnya inovasi dan diversifikasi dalam
pengelolaan wakaf. Karena itulah, perlu reformulasi konsep wakaf yang kekinian agar tanah
wakaf yang ada benar-benar memiliki fungsi pensejahteraan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerraoef. (1986). Al-4XU¶DQGDQ,OPX+XNXP, Bulan Bintang, Jakarta.
Al-Alabij, Adijani. (1992). Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
84
Basyir, Ahmad Azhar. (1987). Wakaf, Ijarah, Syirkah, Al-Maarif, Bandung.
-----------------------------. (1994). Refleksi atas Persoalan Keislaman, Mizan, Bandung.
Bimas Islam Kementerian Agama. (2013). Luas Tanah Wakaf di Indonesia. Download dari:
http://bimasislam.kemenag.go.id. Pada 15 April 2013
Ciptakarta Perkerjaan Umum. (2012). UU Rusun Beri Peluang Penggunaan Tanah Negara
dan Wakaf. Download dari http://ciptakarya.pu.go.id pada 15 April 2013.
&L]DNFD 0XUDW ³$ZTDI ,Q +LVWRU\ $QG ,WV ,PSOLFDWLRQV )RU 0RGHUQ ,VODPLF
(FRQRPLHV´Islamic Economic Studies Vol. 6, No. 1, November 1998. Hlm 43-70.
Fauzie, Lywa S. (2011). Membuat Tanah Wakaf Menjadi Aset Produktif. Download dari
http://lywafauzie.weebly.com
pada 15 April 2013.
Harsono, Budi. (1997). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta.
Indonesia Waqf Board, Fenomena Masjid di atas Tanah Bukan Wakaf: Sebuah Kajian dalam
www.bwi.or.id, akses 20 April 2013
Ismail, Nurhasan. (2006). Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan
Ekonomi-Politik, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Krippendorff, Claus. (1991). Analisis Isi, Rajawali Pers. Jakarta
Mahmassani, Sobhi. (1981). Filsafat Hukum dalam Islam, terjemah Ahmad Sudjono, Al0D¶DULI%DQGXQJ
0DQDQ%DTLUµ3HQHOLWLDQGL%LGDQJ+XNXP¶GDODPJurnal Hukum Puslitbangkum
No. Perdana : 1-1999, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, UNPAD, Bandung.
Muchlis. (2013). Peralihan Penguasaan Yuridis Hak Atas Tanah Wakaf Dalam Perspektif
Hukum Tanah Nasional Dan Hukum Islam. Dalam www.badilag.net download, 15
April 2013.
Muhadjir, Noeng. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. Rakesarasin, Yogyakarta.
Noor, Aslan. (2003). Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari
Ajaran Hak Azasi Manusia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Bandung.
Parlindungan, A.P. (1998). Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju,
Bandung.
Silalahi, M. Daud. (2001).
Metodologi Penelitian Hukum Preferensi Khusus pada
Pendekatan Multi Interdisipliner, Lowencon Copy & Binding Centre. Bandung.
Sindo News. (2013). 21.809 Lokasi Tanah Wakaf Rawan Digugat, edisi 2 Januari 20113.
Download dari: http://sports.sindonews.com. 15 April 2013.
85
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri (1995). Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Suhadi, Imam. (1990). Wakaf Menurut Hukum Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta.
6XSDUPDQ GDQ 6XEKDQ ³3UDNWLN ,VWLEGDO +DUWD %HQGD :DNDI 6WXGL .DVXV GL ,QGRQHVLD´
dalam Jurnal Al-Waqaf, vol. II. No. 3 Agustus 2009. Hlm. 25-43.
Tebani, Abdelfateh. (2013). The Role of Modern Waqf (Endowment) Institutions in the Arab
ZRUOG¶V GHYHORSPHQW $ FDVH VWXG\ RI WKH $ZTDI 3XEOLF )RXQGDWLRQ LQ .XZDLW.
Dalam www.istr.conference-services.net download 15 April 2013.
Triyanta, Agus. (1998). Diversifikasi Pemanfaatan Tanah Wakaf: Stdu Kasus di Kecamatan
Minggir, Sleman, Yogyakarta, Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta.
7UL\DQWD $JXV ³:DNDI 3URGXNWLI'DUL 0XDPDODK .ODVLN 0HQXMX ,QRYDVL
.RQWHPSRUHU´ 0DNDODK 'LVDPSDLNDQ GDODP :RUNVKRS Pengelolaan Wakaf
3URGXNWLI3HQGHNDWDQ3HPEHUGD\DDQ.DXP0XVWDGK¶DILQ pada tanggal 2 Agustus
2009 di Aula DPRD Kabupaten Sleman, diselenggarakan oleh Yayasan Ikhtiar
Sejahtera, Tempel, Sleman.
Triyanta, Agus. (2012). Hukum Ekonomi Islam: Dari Politik Hukum Ekonomi Islam Sampai
Pranata Ekonomi Syariah, Fakultas Hukum UII Press, Yogyakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Pokok Agraria no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Undang-Undang no 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
86
Download