ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) BERDASARKAN PARAMETER TEPAT DOSIS DALAM PENGGUNAAN ANTIPSIKOTIK PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID AKUT RAWAT INAP DI RSJD DR. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG PERIODE FEBRUARI-AGUSTUS 2016 ARTIKEL Oleh DANIAR RAHMATUNNISA SHOFIA HUSIN NIM. 050214A009 FAKULTAS KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN FEBRUARI, 2017 HALAMAN PENGESAHAN Artikel Ilmiah berjudul : ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) BERDASARKAN PARAMETER TEPAT DOSIS DALAM PENGGUNAAN ANTIPSIKOTIK PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID AKUT RAWAT INAP DI RSJD DR. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG PERIODE FEBRUARI-AGUSTUS 2016 Disusun Oleh : DANIAR RAHMATUNNISA SHOFIA HUSIN NIM.050214A009 FAKULTAS KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing Ungaran, Februari 2017 Pembimbing Utama Richa Yuswantina, S.Farm., Apt., M.Si. NIDN.0630038702 2 ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) BERDASARKAN PARAMETER TEPAT DOSIS DALAM PENGGUNAAN ANTIPSIKOTIK PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID AKUT RAWAT INAP DI RSJD DR. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG PERIODE FEBRUARI-AGUSTUS 2016 Daniar Rahmatunnisa Shofia H.1, Richa Yuswantina1, Niken Dyahariesti1 Program Studi Farmasi Fakultas Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo Email: [email protected] INTISARI Latar belakang : Skizofrenia paranoid adalah gangguan kejiwaan yang paling banyak terjadi di masyarakat dengan gejala yang khas jika dibandingkan jenis skizofrenia lainnya. Obat pilihan utama untuk skizofrenia adalah Antipsikotik. Ketidaktepatan dosis menjadi salah satu penyebab kegagalan terapi dalam pengobatan skizofrenia sehingga diperlukan analisis DRPs untuk mendapatkan pengobatan yang rasional sesuai dengan rentang dosis lazim. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan analisis DRPs berdasarkan kategori tepat dosis pada pasien skizofrenia paranoid akut di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang Periode Februari-Agustus 2016. Metode: Penelitian ini bersifat non eksperimental menggunakan metode observasional analitik. Diperoleh 85 subjek penelitian yang diambil secara retrospektif dan purposive sampling. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif bertujuan untuk menjelaskan atau memberikan gambaran karakteristik setiap variabel penelitian meliputi: Karakteristik pasien, karakteristik klinis dan rasionalitas penggunaan obat kategori tepat dosis. Hasil : Hasil didapatkan pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 56,5% dan perempuan 43,5%. Hasil analisis DRPs menunjukkan bahwa 65,9% tepat dosis. Berdasarkan jenis antipsikotik yang paling banyak digunakan golongan tipikal Haloperidol 16,5%, golongan atipikal Risperidon 22,4% dan kombinasi Haloperidol-Klorpromazin 29,4%. Kesimpulan : Penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut di instalasi rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Periode Februari-Agustus 2016 sudah dapat dikatakan rasional berdasarkan parameter tepat dosis. Kata kunci : Skizofrenia Paranoid Akut, Antipsikotik, Tepat Dosis, DRPs Kepustakaan : 65 (1993-2015) 3 ABSTRACT Background: Paranoid schizophrenia is a psychiatric disorder that is most common in people with typical symptoms when compared to other types of schizophrenia. The drug of choice for schizophrenia is Antipsychotics. Inaccuracy doses to be one cause of treatment failure in the treatment of schizophrenia that DRPs analysis is required to obtain a rational treatment in accordance with the usual dose range. Purpose : The research aimed to provide an overview and analysis of DRPs by category appropriate dose in patients with acute paranoid schizophrenia at the Regional Mental Hospital Dr. Amino Gondohutomo Semarang in the periode of February-August 2016. Method: This research was non-experimental observational using analytic method. Retrieved 85 research subjects were obtained retrospectively and purposive sampling. Analysis performed a quantitative descriptive aims to explain or illustrate the characteristics of each of the variables include: Patient characteristics, clinical characteristics and the rationality of drug use category right dose. Result : The results obtained patients with male sex as much as 56.5% and females 43.5%. The analysis showed that 65.9% DRPs right dose. Based on the type most widely used antipsychotic Haloperidol typical group 16.5%, 22.4% of the risperidone atypical group and combination Chlorpromazine-Haloperidol 29.4%. Conclusion: Antipsychotics usage in schizophrenia patients with acute paranoid at RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang period from February to August 2016 can be said to be rational based on parameters appropriate dose. Keywords : Acute Paranoid Schizophrenia, Antipsychotics, Right Dose, DRPs Bibliographies : 65 (1993-2015) 4 A. PENDAHULUAN 1. 2. Latar belakang Skizofrenia adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di dunia. Sebuah survei yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO), peringkat skizofrenia berada diantara sepuluh penyakit yang berkontribusi terhadap beban penyakit global. Skizofrenia adalah bentuk parah dari penyakit mental yang mempengaruhi sekitar 7 per 1000 dari populasi orang dewasa, terutama pada kelompok usia 15 - 35 tahun. Meskipun insiden rendah, prevalensi skizofrenia tetap tinggi karena penyakit ini merupakan penyakit jangka panjang. Skizofrenia adalah gangguan mental yang berat ditandai dengan gangguan dalam berpikir, bahasa, persepsi, dan kesadaran diri dengan gejala utama psikotik, seperti mendengar suara-suara atau delusi (WHO, 2014). Menurut status kesehatan Kota Semarang, penderita skizofrenia sekitar 0,29 % dari total penduduk kota Semarang 1,45 juta jiwa. Data tersebut masih di bawah angka Nasional dan Jawa Tengah, namun 0,29 % yang berarti 4,096 bukan angka yang kecil dan data tersebut masih bisa bertambah karena dihitung berdasarkan pasien yang berkunjung ke puskesmas. Sementara pasien gangguan jiwa masih banyak yang belum terdata di Dinas Kesehatan Kota Semarang karena keluarga lebih memilih merawat sendiri di rumah, membawa ke orang pintar, dan membawa pasien langsung ke Rumah Sakit Jiwa (Rikesdas, 2007). Salah satu penanganan skizofrenia dengan menggunakan pengobatan antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan utama yang efektif mengobati skizofrenia (Irwan dkk, 2008). Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis DRPs dalam penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut berdasarkan parameter tepat dosis dengan standar yang digunakan yaitu drug information handbook. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016. b. Mengetahui kerasionalan penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut berdasarkan parameter tepat dosis di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat non eksperimental dengan metode observasional analitik dengan pendekatan retrospektif. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yaitu data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung atau dari media perantara yaitu rekam medis. Populasi dalam penelitian ini adalah data dari rekam medis semua pasien skizofrenia paranoid akut diatas 18 tahun yang di Rawat Inap RSJD Dr Amino Gondohutomo Semarang Periode Februari-Agustus 2016. Didapatkan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 85 pasien. Penelitian dilakukan pada bulan januari 2017 dengan instrumen berupa Lembar Pengumpulan Data (LPD). Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif bertujuan untuk 5 menjelaskan atau memberikan gambaran karakteristik setiap variabel penelitian meliputi: Karakteristik pasien, karakteristik klinis dan rasionalitas penggunaan obat kategori tepat dosis. Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi. C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.1 Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid akut di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016 berdasarkan jenis kelamin No Jenis Kelamin 1 Laki-laki 2 Perempuan Total Jumlah 48 37 85 pasien Persentase (%) 56,5 43,5 100 Hasil penelitian menunjukkan penderita skizofrenia paranpid akut paling banyak yaitu pasien jenis kelamin laki-laki sebanyak 48 subyek (56,5%). Literatur menyatakan prevalensi laki-laki dan perempuan untuk mengalami skizofrenia adalah sama, tapi onset penyakitnya terjadi lebih awal pada laki-laki dengan rentang usia 15-24 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat 25-35 tahun (Kaplan and Sadock, 2004). 2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia Tabel 4.2 Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid akut di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016 berdasarkan kelompok usia Usia (tahun) 18-25 26-45 46-65 >65 Total Laki-laki N 15 28 4 1 48 % 31,3 58,3 8,3 2,1 100 Usia (tahun) 18-25 26-45 46-65 >65 Total Perempuan N % 9 24,3 21 56,8 6 16,2 1 2,7 37 100 Dari hasil pengumpulan data pada tabel 4.2 didapatkan klasifikasi usia pasien skizofrenia paranoid akut terbanyak pada pasien berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan adalah yang berusia antara 26-45 tahun yaitu 58,3% dan 56,8%. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa kelompok usia ini merupakan usia produktif yang cenderung terkena skizofrenia, pada laki-laki biasanya timbul antara usia 15-24 tahun, sedangkan pada wanita antara 25-35 tahun. Pada kelompok usia ini gejala sudah dapat dilihat, walaupun beberapa tahun sebelumnya sudah muncul namun belum terlihat (Irmansyah, 2005). Kelompok usia yang paling sedikit terkena skizofrenia adalah kelompok usia di atas 50 tahun. Hal ini disebabkan karena usia tua lebih dipengaruhi oleh kondisi biologis dibandingkan dengan kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan emosional seperti pada usia muda (Fahrul, 2014). 6 3. Gejala Klinis Tabel 4.3 Distribusi gejala klinis pasien skizofrenia paranoid akut yang di rawat inap di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016. Gejala Jumlah Persentase (%) 1,9,11,19,21,30,34,44,45,46,47,50, 52,81 1,2,11,13,14,15,17,20,21,23,25,26, 28,29,34,37,40,48,51,52,55,56,57,60,61,62,63,6 5,70,71,75,77,82,83 1,2,5,12,11,13,15,16,17,18,19,20,22,23,24,25,2 6,27,28,29,30,31,32,33,35,36,37,39,40,41,42,44 ,45,47,48,49, 51,52,53,54,55,56,57,58,59,60,61,62,63,64,65,6 6,68,69,70,71,72,78,80, 85 14 8,3 34 20,1 60 35,5 8,20,35,42,47,62,68,70,71 52,63,65,70,69 1,5,8,9,34,35,40,42,46,48,50,56,58,60,62,72,7 7,83 8,13,19,21,22,23,27,28,41,45,47,48 59,60,67,73,74,76,79,83 5,8,16,17,28,49,50,64,66,68,79 9 5 18 5,3 2,9 10,5 20 11,7 No. Pasien Gejala Positif - Waham/ Delusi - Halusinasi - Inkoherensi Gejala Negatif - Alogia - Afek Datar - Asosial - Avolition - Anhedonia Total 11 171 6,4 100 Menurut Hawari (2003) gejala positif skizofrenia merupakan gambaran gangguan jiwa skizofrenia yang mencolok dan amat mengganggu lingkungan atau keluarga dan merupakan salah satu motivasi keluarga untuk membawa penderita berobat. Kurangnya motivasi atau avolition merupakan gejala negatif yang banyak ditemukan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Periode Februari-Agustus 2016 yaitu 11,2%. Avolition adalah ketidakmampuan untuk bertahan pada saat-saat biasa, atas aktivitas yang mengarah pada pencapaian tujuan, termasuk dalam bekerja, sekolah dan aktivitas lainnya. Orang tersebut memiliki masalah besar dalam mengerjakan tugasnya dan adanya disorganisasi, ketidakpedulian, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serta malas (Hawari, 2003). Dilihat dari gejala negatif pasien skizofrenia yaitu dengan persentase 36,8 %. Gejala yang paling banyak dialami pada awal terjadinya fase akut adalah avolition atau kurangnya motivasi yang menyebabkan pasien menjadi malas dan 83 dengan jumlah 20 pasien. 7 4. Jenis Pengobatan Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penggunaan antipsikotik penderita skizofrenia paranoid akut di instalasi rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016 berdasarkan jenis antipsikotik. Jenis Antipsikotik Persentase (%) No. Pasien Jumlah Klorpromazin 10,23,53,80,83,84 6 Haloperidol 5,6,32,35,40,42,43, 47,50,52,55,62 12 Klozapin 1,8,9,21,46,57,74,77 8 Risperidon 7,14,16,20,22,26,30,33,38, 48,56,58,60,72,73,75,78, 81,82 19 22,\ 22,44 Quetiapin 39 1 1,2 Haloperidol+Klozapin 2,3,67,76 4 Haloperidol+CPZ 11,12,13,15,18,19,23,25, 28,29,31,34,36,37,41,45,51,5 4,59,61,63,65,68,69,70,71 25 Haloperidol+Risperidon 4,17,27,44,66,79,85 7 8,2 Haloperidol+ Trifluoperazin 24,49,64 3 3,5 Tipikal 7,1 14,1 Atipikal 9,4 9, Kombinasi Total 85 4,7 29,4 100 Antisikotik (neuroleptik) merupakan terapi utama pada pasien skizofrenia. Obat ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu dopamine reseptor antagonist (DRA) atau antipsikotik generasi I (APG-I) biasa juga disebut tipikal. Dan serotonin-dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotik generasi II (APGII) biasa juga disebut atipikal (Amir, 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan antipsikotik atipikal tunggal sebanyak 33%, antipsikotik tipikal sebanyak 23,6% dan kombinasi antipsikotik 8 sebanyak 43,5% yang ditunjukkan pada lampiran 6. Hal ini tidak sejalan dengan pembahasan sebelumnya karena antipsikotik tipikal digunakan untuk mengobati gejala positif yang merupakan gejala yang mendominasi pasien skizofrenia karena skizofrenia paranoid akut pengobatan awal terkenanya diberikan antipsikotik golongan atipikal yang sama-sama paling banyak mendominasi gejala positif. Penelitian ini gejala positif mendominasi (63,9%) tetapi penggunaan antipsikotik tipikal paling rendah (23,6%) dibandingkan penggunaan antipsikotik atipikal (33%). Ditinjau dari jenis antipsikotik yang digunakan pada penderita skizofrenia paranoid akut yang paling banyak digunakan pada terapi tunggal adalah risperidon sebanyak 19 penderita (22,4%) dari golongan atipikal. Risperidon merupakan derivat dari benzisoksazol yang diindikasikan untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif maupun positif. Untuk efek samping ekstrapiramidal umumnya lebih ringan dibandingkan dengan antipsikotik tipikal (FKUI, 2007). Sedangkan antipsikotik tunggal golongan tipikal yang paling banyak digunakan adalah Haloperidol sebanyak 12 penderita (14,1%) daripada Klorpromazin sebanyak 6 penderita (7,1%) yang ditunjukkan pada lampiran 6. Haloperidol merupakan antipsikotik yang bersifat D2 antagonis yang sangat poten. Efek terhadap sistem otonom dan efek antikolinergiknya sangat minimal. Efek hipotensifnya sangat rendah dibanding dengan klorpromazin. Haloperidol merupakan golongan butirofenon yang paling sering digunakan. Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis. Obat ini digunakan pada skizofrenia dan berbagai macam gerakan spontan dari otot kecil yang diperkirakan akibat hiperaktivitas sistem dopamin di otak (Anonim, 2007; Tjay dkk, 2007; Amir, 2013). Pada terapi kombinasi yang paling banyak digunakan adalah HaloperidolKlorpromazin sebanyak 25 penderita (29,4%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulia Maria Jarut dkk tahun 2013 dengan judul tinjauan penggunaan antipsikotik paa pengobatan skizofrenia di RS Ratumbuysang Manado yaitu kombinasi antipsikotik yang banyak digunakan adalah Haloperidol-Klorpromazin. Haloperidol merupakan golongan potensi rendah untuk mengatasi penderita dengan gejala dominan gaduh, gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% pasien yang diobati dengan haloperidol. Klorpromazin merupakan golongan potensi tinggi untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, hipoaktif, waham dan halusinasi. Klorpromazin menimbulkan efek sedasi yang disertai acuh tak acuh terhadap rangsang dari lingkungan.timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum obat. Dari data yang diperoleh pemberian antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut episode pertama masih belum sesuai algoritma terapi. penggunaan antipsikotik kombinasi masih banyak diberikan yaitu sejumlah 39 pasien dari total sempel penelitian seharusnya pada episode pertama diberikan tunggal. Tetapi sesuai teori yang dikemukakan dalam penelitian Analisis Efektivitas Terapi dan Biaya antara Haloperidol Kombinasi dengan Risperidon Kombinasi Pada Terapi Skizofrenia Fase Akut oleh Sekar Kinanti (2015), kombinasi dari haloperidol dan klorpromazin sangat sesuai karena cara kerja keduanya sama yaitu memblok reseptor d2, sedangkan risperidon selain memblok reseptor d2 juga memblok reseptor 5 HT-2. Tetapi jika dilihat dari segi biaya, harga satuan risperidon jauh lebih mahal dibandingkan dengan 9 5. harga satuan haloperidol. Hal ini juga yang mungkin menyebabkan efektivitas biaya Haloperidol lebih baik dibandingkan dengan Risperidon karena jika dilihat dari lama fase akut keduanya mempunyai hasil yang tidak terlalu signifikan perbedaannya. Sehingga dapat disimpulkan dengan penelitian yang didapatkan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016 pasien diberikan pengobatan disesuaikan latar belakang dari pasien tersebut. Antipsikotik atipikal biayanya lebih mahal daripada golongan tipikal sehingga lebih banyak diberikan golongan kombinasi tipikal-tipikal. Tabel 4.5 Distribusi tepat dosis pasien skizofrenia paranoid akut yang dirawat inap jiwa di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Periode Februari-Agustus 2016 No 1. 2. Ketepatan Dosis Tepat Tidak Tepat Jumlah 58 27 Total 85 Persentase (%) 68,2 31,8 100 Pemberian antipsikotik atipikal sebagai pengobatan lini awal dapat meningkatkan prognosis yang lebih baik untuk gangguan psikotik fase akut. Namun demikian penggunaan antipsikotik tipikal seperti Haloperidol tetap dipakai sampai sekarang. Pada penderita dewasa muda, antipsikotik dosis rendah biasanya efektif untuk mengendalikan halusinasi, waham, gangguan isi pikir dan perilaku aneh. Dosis yang rendah juga akan mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping gejala ekstrapiramidal (Sekar, 2015). Penggunaan obat antipsikotik pada pasien geriatri memerlukan perhatian khusus. Hal tersebut dikarenakan banyak hal-hal tertentu yang sangat mempengaruhi pemberian antipsikotik kepada pasien geriatri. Diantaranya adalah kondisi medis umum pasien, efek samping yang mungkin timbul dan farmakodinamik serta farmakokinetik dari obat yang digunakan (Andri, 2009). Menurut Maharani (2004) dosis obat antipsikotik pada pasien skizofrenia dimulai dengan dosis yang rendah lalu perlahan-lahan dinaikkan, dapat juga langsung diberi dosis tinggi tergantung pada keadaan pasien dan kemungkinan terjadi efek samping. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit boleh diberikan dosis tinggi karena pengawasannya lebih baik (Maramis, 2004). Apabila dosis kurang dari dosis terapeutiknya kemungkinan efek yang diinginkan tidak muncul. Pada pengobatan skizofrenia jika efek yang diinginkan tidak muncul maka gejala-gejala tidak dapat ditekan sehingga pengobatan akan percuma karena tujuan dan sasaran terapi tidak akan tercapai. Apabila terjadi pemberian dosis antipsikotik berlebih, pada penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan pada organ hati dan ginjal serta menambah risiko efek samping obat. D. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat antipsikotik pada penderita gangguan skizofrenia paranoid akut di instalasi rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016 sebagai berikut: 1. Pasien skizofrenia paranoid akut berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu sebesar 48 pasien (56,5%) dan perempuan 37 pasien (43,5%). 10 2. 3. 4. 5. Berdasarkan jenis kelamin pasien skizofrenia paranoid akut yang paling banyak yaitu pada usia 26-45 tahun pada laki-laki dengan jumlah 28 pasien (58,3%) dan pada perempuan sebanyak 21 pasien (56,8%). Gejala skizofrenia paranoid akut yang paling banyak adalah gejala positif (63,9 %) dibandingkan gejala negatif (36,8%) Berdasarkan penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut yang banyak digunakan adalah jenis antipsikotik tipikal sebanyak 18 pasien (21,2%) dan atipikal 28 pasien (33%) dan kombinasi antipsikotik sebanyak 39 pasien (45,8%). Karakteristik penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut yaitu: a. Berdasarkan jenisnya yang paling banyak digunakan yaitu antipsikotik tipikal yaitu Haloperidol 16,5%, antipsikotik atipikal yaitu risperidon 22,4% dan kombinasi Haloperidol-Klorpromazin 29,4%. b. Berdasarkan dosis pemberian diperoleh hasil tepat dosis sebanyak 58 pasien (68,2%) dan yang tidak tepat sebanyak 27 pasien (31,8%). E. Daftar Pustaka 1. WHO. Skizofrenia paranoid. 2014. Available from: http://www.who.int//mediacentre/factsheets/fs/397/en/ [15 Oktober 2016]. 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 3. Irwan M., dkk. 2008, Penatalaksanaan Skizofrenia. Fakultas Kedokteran, Riau. 4. Kaplan dan Sadock. 2004. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi VII Jilid II. Binarupa Aksara, Jakarta. 5. Irmansyah, M. 2005. Skizofrenia Bisa Mengenai Siapa Saja. Majalah Kesehatan Jiwa No. 3, Jakarta. 6. Fakhrul. 2014. Rasionalitas Penggunaan Antipsikotik pada Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Jiwa Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah Periode Januari-April 2014. Online Jurnal of Natural Science. Vol. 3(2). Diakses 15 Oktober 2016. 7. Hawari, D., 2003. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa : Skizofrenia, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 8. Amir, N. 2013. Buku Ajar Psikiatri: Skizofrenia. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 9. Anonim. 2007. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Jakarta. 10. Tjay, H. T. & Rahardja, K. 2008. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek Sampingnya, Edisi VI, Cetakan Pertama, Elex Media Komputindo, Jakarta. 11. Kinanti, Sekar. 2015. Analisis Efektivitas Biaya Terapi Kombinasi Dari Risperidon Dan Haloperidol Pada Fase Akut Pasien Skizofrenia. KTI. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta. 12. Andri. 2009. Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis Penderita Usia Lanjut. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. 11 13. Maharani, F.R.L. 2004. Kajian Penggunaan Obat Antipsikosis pada Pasien Skizofrenia di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Grhasia Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Januari-Desember 2003. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 14. Maramis W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Airlangga University Press, Surabaya. P250-262. 12