5487 - UPT Perpustakaan Universitas Ngudi Waluyo

advertisement
ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) BERDASARKAN
PARAMETER TEPAT DOSIS DALAM PENGGUNAAN ANTIPSIKOTIK
PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID AKUT RAWAT INAP DI
RSJD DR. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG PERIODE
FEBRUARI-AGUSTUS 2016
ARTIKEL
Oleh
DANIAR RAHMATUNNISA SHOFIA HUSIN
NIM. 050214A009
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
UNGARAN
FEBRUARI, 2017
HALAMAN PENGESAHAN
Artikel Ilmiah berjudul :
ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) BERDASARKAN
PARAMETER TEPAT DOSIS DALAM PENGGUNAAN ANTIPSIKOTIK
PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID AKUT RAWAT INAP DI
RSJD DR. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG PERIODE
FEBRUARI-AGUSTUS 2016
Disusun Oleh :
DANIAR RAHMATUNNISA SHOFIA HUSIN
NIM.050214A009
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing
Ungaran, Februari 2017
Pembimbing Utama
Richa Yuswantina, S.Farm., Apt., M.Si.
NIDN.0630038702
2
ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) BERDASARKAN PARAMETER
TEPAT DOSIS DALAM PENGGUNAAN ANTIPSIKOTIK PADA PASIEN
SKIZOFRENIA PARANOID AKUT RAWAT INAP DI RSJD DR. AMINO
GONDOHUTOMO SEMARANG PERIODE FEBRUARI-AGUSTUS 2016
Daniar Rahmatunnisa Shofia H.1, Richa Yuswantina1, Niken Dyahariesti1
Program Studi Farmasi Fakultas Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo
Email: [email protected]
INTISARI
Latar belakang : Skizofrenia paranoid adalah gangguan kejiwaan yang paling banyak terjadi di
masyarakat dengan gejala yang khas jika dibandingkan jenis skizofrenia lainnya. Obat pilihan
utama untuk skizofrenia adalah Antipsikotik. Ketidaktepatan dosis menjadi salah satu penyebab
kegagalan terapi dalam pengobatan skizofrenia sehingga diperlukan analisis DRPs untuk
mendapatkan pengobatan yang rasional sesuai dengan rentang dosis lazim.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan analisis DRPs berdasarkan
kategori tepat dosis pada pasien skizofrenia paranoid akut di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.
Amino Gondohutomo Semarang Periode Februari-Agustus 2016.
Metode: Penelitian ini bersifat non eksperimental menggunakan metode observasional analitik.
Diperoleh 85 subjek penelitian yang diambil secara retrospektif dan purposive sampling. Analisis
dilakukan secara deskriptif kuantitatif bertujuan untuk menjelaskan atau memberikan gambaran
karakteristik setiap variabel penelitian meliputi: Karakteristik pasien, karakteristik klinis dan
rasionalitas penggunaan obat kategori tepat dosis.
Hasil : Hasil didapatkan pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 56,5% dan perempuan
43,5%. Hasil analisis DRPs menunjukkan bahwa 65,9% tepat dosis. Berdasarkan jenis
antipsikotik yang paling banyak digunakan golongan tipikal Haloperidol 16,5%, golongan
atipikal Risperidon 22,4% dan kombinasi Haloperidol-Klorpromazin 29,4%.
Kesimpulan : Penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut di instalasi rawat
inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Periode Februari-Agustus 2016 sudah dapat
dikatakan rasional berdasarkan parameter tepat dosis.
Kata kunci : Skizofrenia Paranoid Akut, Antipsikotik, Tepat Dosis, DRPs
Kepustakaan : 65 (1993-2015)
3
ABSTRACT
Background: Paranoid schizophrenia is a psychiatric disorder that is most common in people
with typical symptoms when compared to other types of schizophrenia. The drug of choice for
schizophrenia is Antipsychotics. Inaccuracy doses to be one cause of treatment failure in the
treatment of schizophrenia that DRPs analysis is required to obtain a rational treatment in
accordance with the usual dose range.
Purpose : The research aimed to provide an overview and analysis of DRPs by category
appropriate dose in patients with acute paranoid schizophrenia at the Regional Mental Hospital
Dr. Amino Gondohutomo Semarang in the periode of February-August 2016.
Method: This research was non-experimental observational using analytic method. Retrieved 85
research subjects were obtained retrospectively and purposive sampling. Analysis performed a
quantitative descriptive aims to explain or illustrate the characteristics of each of the variables
include: Patient characteristics, clinical characteristics and the rationality of drug use category
right dose.
Result : The results obtained patients with male sex as much as 56.5% and females 43.5%. The
analysis showed that 65.9% DRPs right dose. Based on the type most widely used antipsychotic
Haloperidol typical group 16.5%, 22.4% of the risperidone atypical group and combination
Chlorpromazine-Haloperidol 29.4%.
Conclusion: Antipsychotics usage in schizophrenia patients with acute paranoid at RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Semarang period from February to August 2016 can be said to be rational
based on parameters appropriate dose.
Keywords : Acute Paranoid Schizophrenia, Antipsychotics, Right Dose, DRPs
Bibliographies : 65 (1993-2015)
4
A. PENDAHULUAN
1.
2.
Latar belakang
Skizofrenia adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling penting
di dunia. Sebuah survei yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO),
peringkat skizofrenia berada diantara sepuluh penyakit yang berkontribusi terhadap
beban penyakit global. Skizofrenia adalah bentuk parah dari penyakit mental yang
mempengaruhi sekitar 7 per 1000 dari populasi orang dewasa, terutama pada kelompok
usia 15 - 35 tahun. Meskipun insiden rendah, prevalensi skizofrenia tetap tinggi karena
penyakit ini merupakan penyakit jangka panjang. Skizofrenia adalah gangguan mental
yang berat ditandai dengan gangguan dalam berpikir, bahasa, persepsi, dan kesadaran
diri dengan gejala utama psikotik, seperti mendengar suara-suara atau delusi (WHO,
2014).
Menurut status kesehatan Kota Semarang, penderita skizofrenia sekitar 0,29 %
dari total penduduk kota Semarang 1,45 juta jiwa. Data tersebut masih di bawah angka
Nasional dan Jawa Tengah, namun 0,29 % yang berarti 4,096 bukan angka yang kecil
dan data tersebut masih bisa bertambah karena dihitung berdasarkan pasien yang
berkunjung ke puskesmas. Sementara pasien gangguan jiwa masih banyak yang belum
terdata di Dinas Kesehatan Kota Semarang karena keluarga lebih memilih merawat
sendiri di rumah, membawa ke orang pintar, dan membawa pasien langsung ke Rumah
Sakit Jiwa (Rikesdas, 2007).
Salah satu penanganan skizofrenia dengan menggunakan pengobatan
antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan utama yang efektif mengobati
skizofrenia (Irwan dkk, 2008).
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis DRPs dalam penggunaan obat
antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut berdasarkan parameter tepat
dosis dengan standar yang digunakan yaitu drug information handbook.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut di
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016.
b. Mengetahui kerasionalan penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia
paranoid akut berdasarkan parameter tepat dosis di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat non eksperimental dengan metode observasional analitik
dengan pendekatan retrospektif. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data
sekunder yaitu data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung atau dari media
perantara yaitu rekam medis. Populasi dalam penelitian ini adalah data dari rekam medis
semua pasien skizofrenia paranoid akut diatas 18 tahun yang di Rawat Inap RSJD Dr Amino
Gondohutomo Semarang Periode Februari-Agustus 2016. Didapatkan jumlah sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 85 pasien.
Penelitian dilakukan pada bulan januari 2017 dengan instrumen berupa Lembar
Pengumpulan Data (LPD). Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif bertujuan untuk
5
menjelaskan atau memberikan gambaran karakteristik setiap variabel penelitian meliputi:
Karakteristik pasien, karakteristik klinis dan rasionalitas penggunaan obat kategori tepat
dosis. Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid akut di RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016 berdasarkan
jenis kelamin
No
Jenis Kelamin
1
Laki-laki
2
Perempuan
Total
Jumlah
48
37
85 pasien
Persentase (%)
56,5
43,5
100
Hasil penelitian menunjukkan penderita skizofrenia paranpid akut paling banyak
yaitu pasien jenis kelamin laki-laki sebanyak 48 subyek (56,5%). Literatur menyatakan
prevalensi laki-laki dan perempuan untuk mengalami skizofrenia adalah sama, tapi onset
penyakitnya terjadi lebih awal pada laki-laki dengan rentang usia 15-24 tahun sedangkan
pada perempuan lebih lambat 25-35 tahun (Kaplan and Sadock, 2004).
2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid akut di RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016 berdasarkan
kelompok usia
Usia (tahun)
18-25
26-45
46-65
>65
Total
Laki-laki
N
15
28
4
1
48
%
31,3
58,3
8,3
2,1
100
Usia (tahun)
18-25
26-45
46-65
>65
Total
Perempuan
N
%
9
24,3
21
56,8
6
16,2
1
2,7
37
100
Dari hasil pengumpulan data pada tabel 4.2 didapatkan klasifikasi usia pasien
skizofrenia paranoid akut terbanyak pada pasien berjenis kelamin laki-laki maupun
perempuan adalah yang berusia antara 26-45 tahun yaitu 58,3% dan 56,8%. Hal ini sesuai
dengan literatur bahwa kelompok usia ini merupakan usia produktif yang cenderung
terkena skizofrenia, pada laki-laki biasanya timbul antara usia 15-24 tahun, sedangkan
pada wanita antara 25-35 tahun. Pada kelompok usia ini gejala sudah dapat dilihat,
walaupun beberapa tahun sebelumnya sudah muncul namun belum terlihat (Irmansyah,
2005).
Kelompok usia yang paling sedikit terkena skizofrenia adalah kelompok usia di
atas 50 tahun. Hal ini disebabkan karena usia tua lebih dipengaruhi oleh kondisi biologis
dibandingkan dengan kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan
emosional seperti pada usia muda (Fahrul, 2014).
6
3. Gejala Klinis
Tabel 4.3 Distribusi gejala klinis pasien skizofrenia paranoid akut yang di rawat
inap di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus
2016.
Gejala
Jumlah
Persentase
(%)
1,9,11,19,21,30,34,44,45,46,47,50,
52,81
1,2,11,13,14,15,17,20,21,23,25,26,
28,29,34,37,40,48,51,52,55,56,57,60,61,62,63,6
5,70,71,75,77,82,83
1,2,5,12,11,13,15,16,17,18,19,20,22,23,24,25,2
6,27,28,29,30,31,32,33,35,36,37,39,40,41,42,44
,45,47,48,49,
51,52,53,54,55,56,57,58,59,60,61,62,63,64,65,6
6,68,69,70,71,72,78,80,
85
14
8,3
34
20,1
60
35,5
8,20,35,42,47,62,68,70,71
52,63,65,70,69
1,5,8,9,34,35,40,42,46,48,50,56,58,60,62,72,7
7,83
8,13,19,21,22,23,27,28,41,45,47,48
59,60,67,73,74,76,79,83
5,8,16,17,28,49,50,64,66,68,79
9
5
18
5,3
2,9
10,5
20
11,7
No. Pasien
Gejala Positif
- Waham/
Delusi
- Halusinasi
- Inkoherensi
Gejala Negatif
- Alogia
- Afek Datar
- Asosial
- Avolition
- Anhedonia
Total
11
171
6,4
100
Menurut Hawari (2003) gejala positif skizofrenia merupakan gambaran
gangguan jiwa skizofrenia yang mencolok dan amat mengganggu lingkungan atau
keluarga dan merupakan salah satu motivasi keluarga untuk membawa penderita
berobat.
Kurangnya motivasi atau avolition merupakan gejala negatif yang banyak
ditemukan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Periode Februari-Agustus
2016 yaitu 11,2%. Avolition adalah ketidakmampuan untuk bertahan pada saat-saat
biasa, atas aktivitas yang mengarah pada pencapaian tujuan, termasuk dalam bekerja,
sekolah dan aktivitas lainnya. Orang tersebut memiliki masalah besar dalam
mengerjakan tugasnya dan adanya disorganisasi, ketidakpedulian, monoton, serta tidak
ingin apa-apa dan serta malas (Hawari, 2003).
Dilihat dari gejala negatif pasien skizofrenia yaitu dengan persentase 36,8 %.
Gejala yang paling banyak dialami pada awal terjadinya fase akut adalah avolition atau
kurangnya motivasi yang menyebabkan pasien menjadi malas dan 83 dengan jumlah 20
pasien.
7
4. Jenis Pengobatan
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penggunaan antipsikotik penderita skizofrenia
paranoid akut di instalasi rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Semarang periode Februari-Agustus 2016 berdasarkan jenis antipsikotik.
Jenis Antipsikotik
Persentase
(%)
No. Pasien
Jumlah
Klorpromazin
10,23,53,80,83,84
6
Haloperidol
5,6,32,35,40,42,43,
47,50,52,55,62
12
Klozapin
1,8,9,21,46,57,74,77
8
Risperidon
7,14,16,20,22,26,30,33,38,
48,56,58,60,72,73,75,78,
81,82
19
22,\
22,44
Quetiapin
39
1
1,2
Haloperidol+Klozapin
2,3,67,76
4
Haloperidol+CPZ
11,12,13,15,18,19,23,25,
28,29,31,34,36,37,41,45,51,5
4,59,61,63,65,68,69,70,71
25
Haloperidol+Risperidon
4,17,27,44,66,79,85
7
8,2
Haloperidol+
Trifluoperazin
24,49,64
3
3,5
Tipikal
7,1
14,1
Atipikal
9,4
9,
Kombinasi
Total
85
4,7
29,4
100
Antisikotik (neuroleptik) merupakan terapi utama pada pasien skizofrenia. Obat
ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu dopamine
reseptor antagonist (DRA) atau antipsikotik generasi I (APG-I) biasa juga disebut
tipikal. Dan serotonin-dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotik generasi II (APGII) biasa juga disebut atipikal (Amir, 2013).
Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan antipsikotik atipikal tunggal
sebanyak 33%, antipsikotik tipikal sebanyak 23,6% dan kombinasi antipsikotik
8
sebanyak 43,5% yang ditunjukkan pada lampiran 6. Hal ini tidak sejalan dengan
pembahasan sebelumnya karena antipsikotik tipikal digunakan untuk mengobati gejala
positif yang merupakan gejala yang mendominasi pasien skizofrenia karena skizofrenia
paranoid akut pengobatan awal terkenanya diberikan antipsikotik golongan atipikal
yang sama-sama paling banyak mendominasi gejala positif. Penelitian ini gejala positif
mendominasi (63,9%) tetapi penggunaan antipsikotik tipikal paling rendah (23,6%)
dibandingkan penggunaan antipsikotik atipikal (33%).
Ditinjau dari jenis antipsikotik yang digunakan pada penderita skizofrenia
paranoid akut yang paling banyak digunakan pada terapi tunggal adalah risperidon
sebanyak 19 penderita (22,4%) dari golongan atipikal. Risperidon merupakan derivat
dari benzisoksazol yang diindikasikan untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif
maupun positif. Untuk efek samping ekstrapiramidal umumnya lebih ringan
dibandingkan dengan antipsikotik tipikal (FKUI, 2007).
Sedangkan antipsikotik tunggal golongan tipikal yang paling banyak digunakan
adalah Haloperidol sebanyak 12 penderita (14,1%) daripada Klorpromazin sebanyak 6
penderita (7,1%) yang ditunjukkan pada lampiran 6. Haloperidol merupakan
antipsikotik yang bersifat D2 antagonis yang sangat poten. Efek terhadap sistem otonom
dan efek antikolinergiknya sangat minimal. Efek hipotensifnya sangat rendah dibanding
dengan klorpromazin. Haloperidol merupakan golongan butirofenon yang paling sering
digunakan. Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis.
Obat ini digunakan pada skizofrenia dan berbagai macam gerakan spontan dari otot
kecil yang diperkirakan akibat hiperaktivitas sistem dopamin di otak (Anonim, 2007;
Tjay dkk, 2007; Amir, 2013).
Pada terapi kombinasi yang paling banyak digunakan adalah HaloperidolKlorpromazin sebanyak 25 penderita (29,4%). Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Yulia Maria Jarut dkk tahun 2013 dengan judul tinjauan
penggunaan antipsikotik paa pengobatan skizofrenia di RS Ratumbuysang Manado
yaitu kombinasi antipsikotik yang banyak digunakan adalah Haloperidol-Klorpromazin.
Haloperidol merupakan golongan potensi rendah untuk mengatasi penderita dengan
gejala dominan gaduh, gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. Haloperidol berguna untuk
menenangkan keadaan mania pasien psikosis. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80%
pasien yang diobati dengan haloperidol. Klorpromazin merupakan golongan potensi
tinggi untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, hipoaktif,
waham dan halusinasi. Klorpromazin menimbulkan efek sedasi yang disertai acuh tak
acuh terhadap rangsang dari lingkungan.timbulnya sedasi amat tergantung dari status
emosional pasien sebelum minum obat.
Dari data yang diperoleh pemberian antipsikotik pada pasien skizofrenia
paranoid akut episode pertama masih belum sesuai algoritma terapi. penggunaan
antipsikotik kombinasi masih banyak diberikan yaitu sejumlah 39 pasien dari total
sempel penelitian seharusnya pada episode pertama diberikan tunggal. Tetapi sesuai
teori yang dikemukakan dalam penelitian Analisis Efektivitas Terapi dan Biaya antara
Haloperidol Kombinasi dengan Risperidon Kombinasi Pada Terapi Skizofrenia Fase
Akut oleh Sekar Kinanti (2015), kombinasi dari haloperidol dan klorpromazin sangat
sesuai karena cara kerja keduanya sama yaitu memblok reseptor d2, sedangkan
risperidon selain memblok reseptor d2 juga memblok reseptor 5 HT-2. Tetapi jika
dilihat dari segi biaya, harga satuan risperidon jauh lebih mahal dibandingkan dengan
9
5.
harga satuan haloperidol. Hal ini juga yang mungkin menyebabkan efektivitas biaya
Haloperidol lebih baik dibandingkan dengan Risperidon karena jika dilihat dari lama
fase akut keduanya mempunyai hasil yang tidak terlalu signifikan perbedaannya.
Sehingga dapat disimpulkan dengan penelitian yang didapatkan di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016 pasien diberikan pengobatan
disesuaikan latar belakang dari pasien tersebut. Antipsikotik atipikal biayanya lebih
mahal daripada golongan tipikal sehingga lebih banyak diberikan golongan kombinasi
tipikal-tipikal.
Tabel 4.5 Distribusi tepat dosis pasien skizofrenia paranoid akut yang dirawat
inap jiwa di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Periode Februari-Agustus
2016
No
1.
2.
Ketepatan Dosis
Tepat
Tidak Tepat
Jumlah
58
27
Total
85
Persentase (%)
68,2
31,8
100
Pemberian antipsikotik atipikal sebagai pengobatan lini awal dapat
meningkatkan prognosis yang lebih baik untuk gangguan psikotik fase akut. Namun
demikian penggunaan antipsikotik tipikal seperti Haloperidol tetap dipakai sampai
sekarang. Pada penderita dewasa muda, antipsikotik dosis rendah biasanya efektif untuk
mengendalikan halusinasi, waham, gangguan isi pikir dan perilaku aneh. Dosis yang
rendah juga akan mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping gejala
ekstrapiramidal (Sekar, 2015).
Penggunaan obat antipsikotik pada pasien geriatri memerlukan perhatian khusus.
Hal tersebut dikarenakan banyak hal-hal tertentu yang sangat mempengaruhi pemberian
antipsikotik kepada pasien geriatri. Diantaranya adalah kondisi medis umum pasien,
efek samping yang mungkin timbul dan farmakodinamik serta farmakokinetik dari obat
yang digunakan (Andri, 2009).
Menurut Maharani (2004) dosis obat antipsikotik pada pasien skizofrenia
dimulai dengan dosis yang rendah lalu perlahan-lahan dinaikkan, dapat juga langsung
diberi dosis tinggi tergantung pada keadaan pasien dan kemungkinan terjadi efek
samping. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit boleh diberikan dosis tinggi karena
pengawasannya lebih baik (Maramis, 2004). Apabila dosis kurang dari dosis
terapeutiknya kemungkinan efek yang diinginkan tidak muncul. Pada pengobatan
skizofrenia jika efek yang diinginkan tidak muncul maka gejala-gejala tidak dapat
ditekan sehingga pengobatan akan percuma karena tujuan dan sasaran terapi tidak akan
tercapai. Apabila terjadi pemberian dosis antipsikotik berlebih, pada penggunaan jangka
panjang dapat mengakibatkan kerusakan pada organ hati dan ginjal serta menambah
risiko efek samping obat.
D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat antipsikotik
pada penderita gangguan skizofrenia paranoid akut di instalasi rawat inap RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Semarang periode Februari-Agustus 2016 sebagai berikut:
1. Pasien skizofrenia paranoid akut berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak
yaitu sebesar 48 pasien (56,5%) dan perempuan 37 pasien (43,5%).
10
2.
3.
4.
5.
Berdasarkan jenis kelamin pasien skizofrenia paranoid akut yang paling banyak
yaitu pada usia 26-45 tahun pada laki-laki dengan jumlah 28 pasien (58,3%) dan
pada perempuan sebanyak 21 pasien (56,8%).
Gejala skizofrenia paranoid akut yang paling banyak adalah gejala positif (63,9 %)
dibandingkan gejala negatif (36,8%)
Berdasarkan penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut yang
banyak digunakan adalah jenis antipsikotik tipikal sebanyak 18 pasien (21,2%) dan
atipikal 28 pasien (33%) dan kombinasi antipsikotik sebanyak 39 pasien (45,8%).
Karakteristik penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia paranoid akut yaitu:
a. Berdasarkan jenisnya yang paling banyak digunakan yaitu antipsikotik tipikal
yaitu Haloperidol 16,5%, antipsikotik atipikal yaitu risperidon 22,4% dan
kombinasi Haloperidol-Klorpromazin 29,4%.
b. Berdasarkan dosis pemberian diperoleh hasil tepat dosis sebanyak 58 pasien
(68,2%) dan yang tidak tepat sebanyak 27 pasien (31,8%).
E. Daftar Pustaka
1. WHO.
Skizofrenia
paranoid.
2014.
Available
from:
http://www.who.int//mediacentre/factsheets/fs/397/en/ [15 Oktober 2016].
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2007.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
3. Irwan M., dkk. 2008, Penatalaksanaan Skizofrenia. Fakultas Kedokteran, Riau.
4. Kaplan dan Sadock. 2004. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis. Edisi VII Jilid II. Binarupa Aksara, Jakarta.
5. Irmansyah, M. 2005. Skizofrenia Bisa Mengenai Siapa Saja. Majalah Kesehatan Jiwa
No. 3, Jakarta.
6. Fakhrul. 2014. Rasionalitas Penggunaan Antipsikotik pada Pasien Skizofrenia di
Instalasi Rawat Inap Jiwa Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah
Periode Januari-April 2014. Online Jurnal of Natural Science. Vol. 3(2). Diakses 15
Oktober 2016.
7. Hawari, D., 2003. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa : Skizofrenia, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta
8. Amir, N. 2013. Buku Ajar Psikiatri: Skizofrenia. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
9. Anonim. 2007. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, Jakarta.
10. Tjay, H. T. & Rahardja, K. 2008. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya, Edisi VI, Cetakan Pertama, Elex Media Komputindo, Jakarta.
11. Kinanti, Sekar. 2015. Analisis Efektivitas Biaya Terapi Kombinasi Dari Risperidon
Dan Haloperidol Pada Fase Akut Pasien Skizofrenia. KTI. Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah,
Yogyakarta.
12. Andri. 2009. Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis Penderita
Usia Lanjut. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana, Jakarta.
11
13. Maharani, F.R.L. 2004. Kajian Penggunaan Obat Antipsikosis pada Pasien
Skizofrenia di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Grhasia Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Periode Januari-Desember 2003. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
14. Maramis W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Airlangga University
Press, Surabaya. P250-262.
12
Download