hutang luar negeri indonesia antara kebutuhan

advertisement
HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA
ANTARA KEBUTUHAN DAN BEBAN RAKYAT
Totok Harjanto
Dosen STIE Indonesia Jakarta
ABSTRACT
As developing country, Indonesia need large investment to
increasing society walfare. Foreign aids/loans used to financing economic
development. Impact of this policy had been increased loans from US$
3.1 million at 1969 to 264US$ million at 2013. This loans make Indonesia
can not developed human capital and infrastructure. This loanscan make
economic crisis and will be burden to the next generations.
KEY WORD : Hutang Luar negeri, Pembangunan
PENDAHULUAN
Perekonomian Indonesia nampaknya tidak dapat dilepaskan dari
hutang luar negri.Sejak pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, Indonesia
mewarisi hutang yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda.Pemerintah
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dengan salah satu syarat bahwa
hutang hutang yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda menjadi
tanggung jawab pemerintahan Indonesia. Untuk segera mendapatkan
pengakuan kedaulatan maka syarat tersebut diterima oleh Indonesia.
Pengakuan atas hutang tersebut didasari pemikiran bahwa kemerdekaan jauh
lebih berharga dan masalah hutang akan diselesaikan setelah Indonesia
merdeka. Keinginan tersebut ternyata tidak dapat direalisasikan sampai
sekarang, jumlah hutang Indonesia terus bertambah besar.
Semasa pemerintahan presiden Soekarno, Indonesia sebagai negara
yang baru merdeka, sangat sulit untuk menolak pinjaman dari Negara-negara
lain yang pada waktu itu dinamakan bantuan. Bantuan tersebut berasal dari
berbagai negara yang dapat dibagi dalam kelompok blok Barat ( Amerika
Serikat, negara negara Eropa Barat dan Jepang ) serta blok Timur ( Uni
Soviet, RRC dan negara negara Eropa Timur ). Pinjaman tersebut banyak
digunakan untuk membantu perekonomian negara masih belum stabil,
pembangunan infrastruktur dan untuk pembelian perlengkapan militer.
Halaman | 22
JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni 2015
Sebagian besar hutang memang tidak digunakan untuk hal yang produktif,
sehingga tidak banyak menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk
membayar hutang yang sudah jatuh tempo. Penggunaan hutang tidak
terkontrol karena tidak ada persyaratan ketat mengenai penggunaannya.
Kondisi ini mengakibatkan Indonesia tergantung dari pinjaman yang
diberikan oleh negara lain. Sementara itu bagi negara kreditor yang penting
hutang tersebut dibayar pada waktu yang akan datang tanpa
mempertimbangkan kondisi negara serta pemanfaatan pinjaman yang sudah
diberikan. Hal ini yang menyebabkan Indonesia terjebak dalam perangkap
hutang.
Sampai tahun 1966 ( akhir pemerintahan Orde Lama ) total hutang
Indonesia sebanyak 3,1 milyar dollar. Hutang tersebut tersebar diberbagai
Negara seperti Amerika Serikat (564,6 juta dollar), Jepang (372,6 juta
dollar), Uni Soviet (864,1 juta dollar) , Perancis (142 juta dollar ), Italia
(149,9 juta dollar ), Jerman Barat (226,8 juta dollar), Jerman Timur (62,1 juta
dollar), Polandia (16,7 juta dollar ), Cekoslovakia (74,3 juta dollar) dan
negara lainnya (157,1 juta dollar ). Sementara hasil ekspor Indonesia pada
tahun itu sebesar 679 juta dollar dan impor 527 juta dollar. Tidak ada devisa
untuk membayar hutang yang sudah jatuh tempo karena kondisi
perekonomian yang sangat buruk, cadangan devisa terbatas atau bahkan
tidak ada , inflasi sangat tinggi , tabungan masyarakat rendah serta
kurangnya infrastruktur yang dapat mendorong kegiatan ekonomi. (Radius
Prawiro 2009).
Begitu parahnya kondisi perekonomian sehingga Radius Prawiro
(2009) menyatakan tumpukan laporan statistik dari Bank Indonesia dan Biro
Pusat Statistik tak sanggup menggambarkan parahnya bencana ekonomi
Indonesia. Selain miskin dan bangkrut, negara Indonesia juga menanggung
beban utang yang menghimpit Indonesia untuk tetap berada dalam lembah
kemiskinan selama beberapa dekade mendatang. Pada waktu itu,
pembayaran pertama dari pinjaman selama dua puluh tahun mulai jatuh
tempo. Negara tak sanggup membayar. Dengan demikian, Indonesia tak bisa
mendapat pinjaman baru. Investasi baru terpaksa dipotong dan negara
berangsur angsur bertambah miskin. Indonesia telah jatuh ke dalam jebakan
utang yang melilit begitu banyak negara lain.
Selanjutnya dinyatakan semua prospek untuk kemajuan ekonomi
hancur luluh terimpit utang negara yang menggunung . Karena sektor swasta
kecil dan lemah, Indonesia tak punya alternatif selain mengandalkan
pemerintah sebagai ujung tombak untuk membangkitkan kembali ekonomi.
Pilihan-pilihan yang dihadapi pemerintah benar-benar terbatas akibat
kemiskinan yang berkelanjutan. Namun tragedi yang paling menyedihkan
adalah posisi utang Indonesia yang pasti menyebabkan negara tetap miskin
Halaman | 23
JURNAL EKONOMI
2015
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni
sampai beberapa generasi mendatang. Anak anak dan generasi yang belum
lahir yang akan menderita, konsekuensi dari kebijakan ekonomi yang salah.
Hutang luar negeri memang dibutuhkan untuk menutupi kekurangan
akumulasi modal domestik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sebagai negara baru nilai tabungan yang ada sangat terbatas. Dengan asumsi
ICOR 4-5 maka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 3 persen
dibutuhkan modal sebesar 12-15 persen dari GDP. Angka pertumbuhan
tersebut hanya cukup untuk menjamin tingkat kesejahteraan yang minimal.
Sementara modal yang dibutuhkan sangat besar yang tidak mungkin
disediakan negara baru.Untuk menutupinya maka perlu ada injeksi tambahan
dari negara yang sudah maju atau lembaga internasional dalam bentuk
hutang luar negri. Besaran nilai hutang ini sangat relatif tergantung kondisi
negara. Sebagai bahan pertimbangan Sarbini ( 1994 ) menyatakan ada
pandangan yang mengatakan bahwa bantuan luar negri baik yang berupa
grant maupun utang dapat meniadakan keharusan pengorbanan dalam negeri
untuk pembangunan. Tentang hal ini perlu dikemukakan bahwa bantuan luar
negeri hanya dapat bersifat tambahan saja dan tidak mungkin merupakan
sumber pembiayaan yang terbesar. Jarang sekali bantuan luar negeri
merupakan lebih dari 10 persen dari seluruh keperluan pembiayaan
pembangunan.
Sejalan dengan pemikiran tersebut maka penarikan pinjaman luar
negeri Indonesia seharusnya dibatasi setidaknya hanya 10 sampai 15 persen
dari total anggaran belanja negara. Penarikan pinjaman luar negeri melebihi
batas tersebut dalam jangka panjang akan merugikan negara . Beban hutang
tersebut akan menjadi warisan generasi yang belum lahir yang tidak
menikmati hasil dari hutang tersebut.
PEMBAHASAN
Hutang dan Pembangunan Ekonomi Masa Orba
Upaya pembangunan ekonomi Indonesia oleh pemerintah Orde Baru
dimulai tahun 1969 dengan dicanangkannya program Repelita (Rencana
Pembangunan Lima Tahun) secara bertahap mulai dari Repelita I sampai
Repelita VI. Program ini dijalankan setelah dilakukan kebijakan stabilisasi
ekonomi sejak tahun 1966 sampai tahun 1968. Dengan stabilisasi ini maka
pemerintah mengajukan penjadwalan kembali hutang luar negri melalui
forum Paris Club.Upaya ini nampaknya berhasil sehingga ada keleluasan
bagi pemerintah untuk melakukan program pembangunan ekonomi.
Dengan tingkat PDB perkapita US$ 70 maka jumlah tabungan yang
dapat dihimpun sangat terbatas. Sektor swasta belum berkembang dengan
Halaman | 24
JURNAL EKONOMI
2015
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni
baik maka pemerintah berperan aktif untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dengan anggaran pemerintah melalui APBN. Rendahnya tabungan
masyarakat menyebabkan pembentukan modal tidak tersedia dalam jumlah
yang memadai. Padahal untuk membangun ekonomi dengan menciptakan
pertumbuhan ekonomi diperlukan modal kapital yang cukup besar.Sementara
sektor pajak belum dapat diandalkan karena tingkat masih rendah. Untuk
menutupi kekurangan modal tersebut maka pemerintah menjalankan APBN
defisit yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri yang sering disebut bantuan
luar negeri. Pinjaman ini dapat dikelompokkan dalam dua jenis yaitu bantuan
program dan bantuan proyek.
Dalam APBN tahun1969/70 jumlah realisasi anggaran sebesar Rp.
328,3 milyar dengan pinjaman sebesar Rp. 82,1 milyar dan penerimaan
dalam negri sebesar Rp. 246,2 milyar. Porposi hutang luar negeri terhadap
APBN sebesar 25 % dari APBN. Artinya hampir seperempat anggaran
berasal dari hutang. Satu dasawarsa berikutnya, pada tahun1979/80 nilai
realisasi APBN sebesar Rp 8.226,7 milyar dengan hutang luar negri sebesar
Rp 1.493.5 milyar . Porposi hutang terhadap nilai APBN sebesar 18 persen.
Porposi tersebut menurun sebesar 7 persen selama jangka waktu 10 tahun.
Pada tahun 1989/90 nilai APBN sebesar Rp. 36.574 milyar dengan
hutang luar negeri sebanyak Rp. 11.325 milyar atau sekitar 30 persen dari
nilai APBN. Nilai tersebut nampaknya kembali seperti awal pembangunan
ekonomi.Pada tahun 1997/98 total APBN sebesar Rp. 101.086.7 milyar
dengan pinjaman luar negri sebesar Rp. 13.026.milyar atau setara dengan
12,8%. Persentase ini jauh lebih kecil dari porporsi hutang dalam APBN
yang pernah dianggarkan selama pemerintahan Orde Baru.
Dari penjelasan
tersebut nampaknya pembangunan ekonomi
Indonesia selama orde baru tidak dapat dilepaskan dari hutang luar negeri.
Hal ini tentu menimbulkan ketergantungan Indonesia terhadap kreditor luar
negeri. Prinsip anggaran berimbang ternyata tidak dilakukan secara sungguh
sungguh, yang terjadi pemerintah melakukan defisit anggaran dengan
dibiayai hutang. Kondisi ini akan berdampak buruk bagi pembangunan
ekonomi nasional. Hal ini terbukti dengan munculnya krisis ekonomi pada
tahun 1998 yang menghancurkan semua sendi perekonomian negara.Nilai
kurs rupiah terhadap US$ melambung dari sekitar Rp. 2000 per US$ menjadi
sekitar Rp. 15000 setiap US $. Pertumbuhan ekonomi minus 13 % , banyak
perusahaan yang mengalami kebangkrutan, terjadi PHK masal dan
masyarakat
mengalami penurunan tingkat kesejahteraan akibat dari
melambungnya harga kebutuhan hidup. Tingkat kemiskinan dan
pengangguran bertambah sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap
pemerintah. Di akhir periode pemerintahan ini jumlah hutang yang yang
Halaman | 25
JURNAL EKONOMI
2015
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni
masih tersisa sebesar US$ 150,8 milyar.dengan tingkat PDB saat itu sebesar
Rp 955,75 trilyun..
Hutang Pada Masa Reformasi
Krisis ekonomi ini menyebabkan pemerintahan orde baru runtuh, atas
desakan mahasiswa dan masyarakat Presiden Soeharto mengundurkan diri
dan menyerahkan pemerintahan kepada Wapres B J Habibie. Berakhirnya
pemerintahan Presiden Soeharto memunculkan pemerintahan baru yang
disebut pemerintahan Reformasi. Presiden BJ Habibie melakukan berbagai
kebijakan untuk memulihkan kembali perekonomian negara yang runtuh
akibat krisis ekonomi.Upaya yang dilakukan oleh pemerintah membuahkan
hasil yang menggembirakan.Tingkat inflasi menurun, nilai kurs menguat
kembali menjadi sekitar Rp. 6000 per US$. Indikator makro ekonomi
mengalami perbaikan yang signifikan.
Pada tahun 1999 mulai terjadi perubahan ekonomi nasional sehingga
PDB meningkat menjadi Rp 1099,7 trilyun atau setara dengan US $ 140
milyar . Nilai APBN meningkat menjadi Rp 212.699 milyar meningkat dari
Rp 101.086 milyar pada tahun 1998. Pinjaman luar negeri juga mengalami
kenaikan menjadi Rp53.495 milyar meningkat dibandingkan 1998 yang
hanya Rp. 13.026 milyar. Porposi pinjaman terhadap APBN menjadi 25
persen. Kondisi ini persis sama dengan awal orde baru melaksanakan
program pembangunan. Sebagai dampak dari progam restrukturisasi
perbankan dan stabilisasi ekonomi total hutang luar negeri meningkat lagi
menjadi US$ 142 milyar.
Masa pemerintahan Presiden BJ Habibie yang relatif singkat
ternyata mampu memberikan suasana yang kondusif bagi perkembangan
ekonomi selanjutnya. Keberhasilan Pemilu 1999 menjadi awal dari proses
demokrasi pada masa pemerintahan berikutnya. Pada tahun 2000
pemerintahan Presiden BJ Habibie digantikan oleh Presiden Abdurahman
Wahid. Perubahan pemerintahan tidak berarti perubahan dalam kebijakan
utang. Ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri masih cukup tinggi
walaupun ada upaya menguranginya. Pada tahun ini porposi pinjaman
terhadap APBN menjadi 9,5% terendah sejak tahun1969.
Pada tahun 2001 belanja pemerintah mencapai Rp. 354,5 trilyun
dengan pinjaman luar negri mencapai Rp. 30 trilyun atau sekitar 8,5 % dari
total belanja pemerintah. Demikian pula dengan total pinjaman pemerintah
yang terus menurun menjadi US$ 133 milyar.
Pergantian pemerintahan dari Presiden Abdurahman Wahid ke
Presiden Megawati ternyata merubah pola kebijakan hutang. Jumlah hutang
pemerintah meningkat dari US$ 133 milyar pada tahun 2001menjadi US$
Halaman | 26
JURNAL EKONOMI
2015
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni
135 milyar pada tahun 2003. Penarikan pinjaman sebesar Rp 18,9 trilyun
dengan nilai APBN sebesar Rp 322 trilyun. Porposi pinjaman luar negri
terhadap APBN sebesar 5,8 persen dari total anggaran belanja negara. Selain
itu pemerintah juga menerbitkan surat hutang dalam negeri untuk menutup
defisit anggaran belanja. Pada tahun 2003 penarikan pinjaman meningkat
menjadi Rp 20.5 trilyun dari APBN sebesar Rp. 377 trilyun. Porposi
pinjaman terhadap APBN 5,4
persen. Total hutang juga mengalami
kenaikan menjadi US$ 137 milyar
Dalam pemilu tahun 2004 terjadi pergatian pemerintahan dari
presiden Megawati kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Pada
awal pemerintahan SBY total hutang menurun menjadi US$ 137 milyar.
Jumlah tersebut pada tahun 2006 turun menjadi USS 128 milyar dan terus
meningkat hingga US$ 155 milyar pada tahun 2008. Pada tahun 2009
jumlah utang Indonesia mencapai US$ 172 milyar setara dengan Rp 1800
trilyun Rp. 10.500 per US$ 1.
Pada periode pemerintahan Presiden SBY yang kedua tahun 2009
sampai tahun 2014 jumlah hutang luar negri cenderung meningkat. Sejak
tahun 2010 sampai tahun 2014 terjadi peningkatan pinjaman luar negeri
secara signifikan. Pada tahun 2009 jumlah hutang luar negeri masih pada
kisaran US$ 172 milyar. Pada tahun 2013 jumlah pinjaman luar negri
Indonesia meningkat menjadi menjadi US$264 milyar. Dalam kurun waktu 4
tahun jumlah hutang luar negeri meningkat drastis sebanyak US$ 92 milyar.
Suatu jumlah yang cukup signifikan karena mencapai kenaikan sebesar
53,4% dari tahun 2009.
Data data tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan anggaran
belanja pemerintah terhadap hutang luar negeri masih cukup
tinggi.Walaupun secara persentase terus menurun menjadi kurang dari 10
persen sejak masa reformasi. Penurunan hutang luar negri ternyata
dikompensasi dengan meningkatnya hutang domestik. Porposi hutang
domestik cenderung terus meningkat sejak tahun 2000. Permasalahannya
total kumulatif hutang terus meningkat secara signifikan, walaupun secara
persentase terhadap GDP masih cenderung terus menurun.,
Penggunaan Hutang
Sejak dilakukan program pembangunan ekonomi nasional pada tahun
1969, pembiayaan pembanguan banyak memakai pinjaman luar negeri untuk
mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah mengambil
pinjaman luar negeri dari berbagai sumber untuk menutupi defisit dalam
pembiayaan pembangunan.Sebagian besar hutang tersebut banyak digunakan
dalam pembangunan proyek infrastruktur maupun program-program lainnya
yang tujuannya mempercepat peningkatan produksi nasional. Hal ini
Halaman | 27
JURNAL EKONOMI
2015
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni
memang bias dirasakan dengan adanya jalan raya, bendungan, pengairan dan
infrastruktur lainnya semasa pemerintahan orde baru.
Selain itu pinjaman luar negeri juga banyak dilakukan oleh swasta
dalam rangka mengembangkan usaha mereka untuk memperbesar kegiatan
usaha. Jenis pinjaman swasta ini seringkali menimbulkan masalah karena
perubahan nilai kurs yang cenderung menurun
Data dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa jumlah utang
pemerintah dari tahun 1999 sampai tahun 2013 cenderung meningkat.
Jumlah pinjaman pada tahun 1999 sebesar US$ 75 milyar , pada tahun 2011
meningkat menjadi US$118 milyar dan pada tahun 2013 meningkat menjadi
US$123 milyar .
Sementara sector swasta pada tahun 1999 jumlah pinjaman sebesar
US$ 72 milyar, kemudian meningkat menjadi US$ 106 milyar pada tahun
2011 dan melonjak menjadi US$ 140 milyar pada tahun 2013.
Tabel 1. Data Hutang Luar Negri Indonesia (US$ Juta)
Tahun
KETERANGAN
1999
NO
2011
2012
1
Pemerintah dan Otoritas Moneter
75,862
118,642
126,119
2
Menurut Institusi
75,862
118,642
126,119
Pemerintah Pusat 1
3
63,320
112,427
116,187
Otoritas Moneter 2
4
12,541
6,215
9,932
5
Menurut Persyaratan
75,862
118,642
126,119
Komersial 3
6
2,528
48,424
60,318
Bukan
Komersial
7
73,334
70,218
65,801
ODA
8
56,453
62,120
58,812
Non ODA
9
16,880
8,098
6,989
10 Swasta 3
72,235
106,732
126,245
Lembaga Keuangan
11 11,883
24,570
30,730
Bank
12 10,848
18,466
23,018
Bukan Bank
13 1,035
6,103
7,713
14
Bukan Lembaga
Keuangan
15 Jumlah
Sumber BI.go.id.
2013
123,548
123,548
114,294
9,255
123,548
63,742
59,806
53,782
6,023
140,512
31,921
24,098
7,822
60,352
82,162
95,515
108,591
148,097
225,375
252,364
264,060
1)
termasuk obligasi pemerintah rupiah maupun valas yg dimiliki bukan penduduk
2)
termasuk SBI yg dimiliki bukan penduduk
3)
termasuk domestik securities yg dimiliki bukan penduduk
Tingginya hutang swasta yang terus meningkat dari US$ 72 milyar
pada tahun 1999, pada tahun 2011 melonjak menjadi US$ 106, dan menjadi
US$ 140 pada tahun 2013 atau sekitar 53 persen dari total hutang luar negri.
Halaman | 28
JURNAL EKONOMI
2015
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni
Posisi hutang swasta yang lebih dari 50% dari total hutang Indonesia ini
yang nantinya akan menjadi masalah bagi perekonomian nasional. Apalagi
jumlah pinjaman komersial mencapai US$ 63 milyar atau 24 persen dari tolal
hutang yang ada pada tahun 2013. Kondisi ini pernah terjadi pada tahun 1997
sampai 1998 dimana posisi hutang swasta mencapai porsi lebih dari 50%
dari total hutang Indonesia yang kemudian mendorong munculnya krisis
moneter pada tahun 1998. Pengendalian hutang terutama hutang swasta
mutlak dilakukan agar jumlah hutang tidak terlalu besar yang pada akhirnya
justru membuat ekonomi nasional ambruk dan menjadi beban bagi rakyat.
PENUTUP
Setiap negara sangat sulit untuk melepaskan diri dari ketergantungan
terhadap hutang baik hutang domestik maupun hutang luar negeri. Hutang
terjadi karena adanya defisit dalam anggaran negara, dimana tingkat
pengeluaran melebihi pendapatannya. Ada beragam kepentingan mengenai
tujuan penggunaan hutang yang dapat dikelompokkan sebagai berikut;
pertama, hutang digunakan untuk menutupi kekurangan investasi domestik.
Investasi ini berupa proyek infrastruktur maupun industri yang mampu
menghasilkan output. Hutang akan dibayar dari hasil output maupun hasil
dari efisiensi adanya infrstruktur yang baik. Kedua, hutang digunakan untuk
menutup defisit neraca pembayaran , dalam hal ini biasanya berupa hutang
luar negeri. Ketiga hutang digunakan untuk mengatasi krisis ekonomi atau
krisis finasial yang dapat berupa dana talangan, pembelian asset perusahaan
yang bangkrut, suntikan modal yang tujuannya menjaga stabilitas
perekonomian negara.
Keempat, hutang yang digunakan untuk program konsumtif maupun
untuk pertahanan serta penanggulangan kemiskinan. Kelima, hutang
digunakan untuk proyek non produktif serta proyek mercusuar tanpa control
ketat dari masyarakat/DPR. Pilihan ada pada kita akankah hutang tersebut
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas atau kepentingan
sekelompok elite yang jelas generasi masa depan yang menanggung
pembayaran hutang tersebut.
Halaman | 29
JURNAL EKONOMI
2015
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni
DAFTAR PUSTAKA
APBN Republik Indonesia, periode 1968 – 2014
Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia, tahun 2009
Radius Prawiro, Dilema Utang Luar Negri di Masa Orde Baru Dalam Era
Baru Krbijakan Fiskal, Editor Anggito Abimanyu dan Andie
Megantara, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009
Sarbini Sumawinata, Pengerahan Modal Dalam Pembinaan Masyarakat
Sosialis Indonesia dalam Khasanah Pemikiran Ekonomi Indonesia,
Editor Didik J Rachbini, LP3Es, Jakarta, 1994
Totok Harjanto, Hutang Luar Negri Indonesia , MSE, FE Untag Jakarta
tahun 2010 United Nations, ESCAP tahun 2010
www.dmo.or.id, buku perkembangan utang negara 4 juni 2009
www. BI.go.id
www. BPS.go.id
Halaman | 30
JURNAL EKONOMI
2015
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni
Tabel 2. DATA PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA
No
TAHUN
HUTANG L N
(US$ juta)
3100
20938
69872
150886
148097
141693
133072
131343
135401
137024
130652
128736
136640
155080
172871
202413
225375
252364
264060
1
1970
2
1980
3
1990
4
1998
5
1999
6
2000
7
2001
8
2002
9
2003
10
2004
11
2005
12
2006
13
2007
14
2008
15
2009
16
2010
17
2011
18
2012
19
2013
Sumber
Bank Indonesia, BPS, APBN berbagai periode
PDB Harga Berlaku
APBN
Milyar Rupiah
Milyar Rupiah
3238
328.3
43765
8226
210866
36574
955700
101086
1099700
212699
1389769 205300
1684280 301100
1863275 298500
2013675 341400
2295826
403400
2774281
495200
3339217
638000
3950893
707806
4951357
981609
5606203
848763
6446851
995271
7419187
1210599
8229439
1358205
9083972
1529673
Halaman | 31
JURNAL EKONOMI
2015
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni
Halaman | 32
JURNAL EKONOMI
2015
ISSN: 2302-7169
Vol. 4 No. 1 Januari-Juni
Download