HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA ANTARA KEBUTUHAN DAN BEBAN RAKYAT Totok Harjanto Dosen STIE Indonesia Jakarta ABSTRACT As developing country, Indonesia need large investment to increasing society walfare. Foreign aids/loans used to financing economic development. Impact of this policy had been increased loans from US$ 3.1 million at 1969 to 264US$ million at 2013. This loans make Indonesia can not developed human capital and infrastructure. This loanscan make economic crisis and will be burden to the next generations. KEY WORD : Hutang Luar negeri, Pembangunan PENDAHULUAN Perekonomian Indonesia nampaknya tidak dapat dilepaskan dari hutang luar negri.Sejak pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, Indonesia mewarisi hutang yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda.Pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dengan salah satu syarat bahwa hutang hutang yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda menjadi tanggung jawab pemerintahan Indonesia. Untuk segera mendapatkan pengakuan kedaulatan maka syarat tersebut diterima oleh Indonesia. Pengakuan atas hutang tersebut didasari pemikiran bahwa kemerdekaan jauh lebih berharga dan masalah hutang akan diselesaikan setelah Indonesia merdeka. Keinginan tersebut ternyata tidak dapat direalisasikan sampai sekarang, jumlah hutang Indonesia terus bertambah besar. Semasa pemerintahan presiden Soekarno, Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, sangat sulit untuk menolak pinjaman dari Negara-negara lain yang pada waktu itu dinamakan bantuan. Bantuan tersebut berasal dari berbagai negara yang dapat dibagi dalam kelompok blok Barat ( Amerika Serikat, negara negara Eropa Barat dan Jepang ) serta blok Timur ( Uni Soviet, RRC dan negara negara Eropa Timur ). Pinjaman tersebut banyak digunakan untuk membantu perekonomian negara masih belum stabil, pembangunan infrastruktur dan untuk pembelian perlengkapan militer. Halaman | 22 JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni 2015 Sebagian besar hutang memang tidak digunakan untuk hal yang produktif, sehingga tidak banyak menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk membayar hutang yang sudah jatuh tempo. Penggunaan hutang tidak terkontrol karena tidak ada persyaratan ketat mengenai penggunaannya. Kondisi ini mengakibatkan Indonesia tergantung dari pinjaman yang diberikan oleh negara lain. Sementara itu bagi negara kreditor yang penting hutang tersebut dibayar pada waktu yang akan datang tanpa mempertimbangkan kondisi negara serta pemanfaatan pinjaman yang sudah diberikan. Hal ini yang menyebabkan Indonesia terjebak dalam perangkap hutang. Sampai tahun 1966 ( akhir pemerintahan Orde Lama ) total hutang Indonesia sebanyak 3,1 milyar dollar. Hutang tersebut tersebar diberbagai Negara seperti Amerika Serikat (564,6 juta dollar), Jepang (372,6 juta dollar), Uni Soviet (864,1 juta dollar) , Perancis (142 juta dollar ), Italia (149,9 juta dollar ), Jerman Barat (226,8 juta dollar), Jerman Timur (62,1 juta dollar), Polandia (16,7 juta dollar ), Cekoslovakia (74,3 juta dollar) dan negara lainnya (157,1 juta dollar ). Sementara hasil ekspor Indonesia pada tahun itu sebesar 679 juta dollar dan impor 527 juta dollar. Tidak ada devisa untuk membayar hutang yang sudah jatuh tempo karena kondisi perekonomian yang sangat buruk, cadangan devisa terbatas atau bahkan tidak ada , inflasi sangat tinggi , tabungan masyarakat rendah serta kurangnya infrastruktur yang dapat mendorong kegiatan ekonomi. (Radius Prawiro 2009). Begitu parahnya kondisi perekonomian sehingga Radius Prawiro (2009) menyatakan tumpukan laporan statistik dari Bank Indonesia dan Biro Pusat Statistik tak sanggup menggambarkan parahnya bencana ekonomi Indonesia. Selain miskin dan bangkrut, negara Indonesia juga menanggung beban utang yang menghimpit Indonesia untuk tetap berada dalam lembah kemiskinan selama beberapa dekade mendatang. Pada waktu itu, pembayaran pertama dari pinjaman selama dua puluh tahun mulai jatuh tempo. Negara tak sanggup membayar. Dengan demikian, Indonesia tak bisa mendapat pinjaman baru. Investasi baru terpaksa dipotong dan negara berangsur angsur bertambah miskin. Indonesia telah jatuh ke dalam jebakan utang yang melilit begitu banyak negara lain. Selanjutnya dinyatakan semua prospek untuk kemajuan ekonomi hancur luluh terimpit utang negara yang menggunung . Karena sektor swasta kecil dan lemah, Indonesia tak punya alternatif selain mengandalkan pemerintah sebagai ujung tombak untuk membangkitkan kembali ekonomi. Pilihan-pilihan yang dihadapi pemerintah benar-benar terbatas akibat kemiskinan yang berkelanjutan. Namun tragedi yang paling menyedihkan adalah posisi utang Indonesia yang pasti menyebabkan negara tetap miskin Halaman | 23 JURNAL EKONOMI 2015 ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni sampai beberapa generasi mendatang. Anak anak dan generasi yang belum lahir yang akan menderita, konsekuensi dari kebijakan ekonomi yang salah. Hutang luar negeri memang dibutuhkan untuk menutupi kekurangan akumulasi modal domestik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara baru nilai tabungan yang ada sangat terbatas. Dengan asumsi ICOR 4-5 maka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 3 persen dibutuhkan modal sebesar 12-15 persen dari GDP. Angka pertumbuhan tersebut hanya cukup untuk menjamin tingkat kesejahteraan yang minimal. Sementara modal yang dibutuhkan sangat besar yang tidak mungkin disediakan negara baru.Untuk menutupinya maka perlu ada injeksi tambahan dari negara yang sudah maju atau lembaga internasional dalam bentuk hutang luar negri. Besaran nilai hutang ini sangat relatif tergantung kondisi negara. Sebagai bahan pertimbangan Sarbini ( 1994 ) menyatakan ada pandangan yang mengatakan bahwa bantuan luar negri baik yang berupa grant maupun utang dapat meniadakan keharusan pengorbanan dalam negeri untuk pembangunan. Tentang hal ini perlu dikemukakan bahwa bantuan luar negeri hanya dapat bersifat tambahan saja dan tidak mungkin merupakan sumber pembiayaan yang terbesar. Jarang sekali bantuan luar negeri merupakan lebih dari 10 persen dari seluruh keperluan pembiayaan pembangunan. Sejalan dengan pemikiran tersebut maka penarikan pinjaman luar negeri Indonesia seharusnya dibatasi setidaknya hanya 10 sampai 15 persen dari total anggaran belanja negara. Penarikan pinjaman luar negeri melebihi batas tersebut dalam jangka panjang akan merugikan negara . Beban hutang tersebut akan menjadi warisan generasi yang belum lahir yang tidak menikmati hasil dari hutang tersebut. PEMBAHASAN Hutang dan Pembangunan Ekonomi Masa Orba Upaya pembangunan ekonomi Indonesia oleh pemerintah Orde Baru dimulai tahun 1969 dengan dicanangkannya program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) secara bertahap mulai dari Repelita I sampai Repelita VI. Program ini dijalankan setelah dilakukan kebijakan stabilisasi ekonomi sejak tahun 1966 sampai tahun 1968. Dengan stabilisasi ini maka pemerintah mengajukan penjadwalan kembali hutang luar negri melalui forum Paris Club.Upaya ini nampaknya berhasil sehingga ada keleluasan bagi pemerintah untuk melakukan program pembangunan ekonomi. Dengan tingkat PDB perkapita US$ 70 maka jumlah tabungan yang dapat dihimpun sangat terbatas. Sektor swasta belum berkembang dengan Halaman | 24 JURNAL EKONOMI 2015 ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni baik maka pemerintah berperan aktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan anggaran pemerintah melalui APBN. Rendahnya tabungan masyarakat menyebabkan pembentukan modal tidak tersedia dalam jumlah yang memadai. Padahal untuk membangun ekonomi dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi diperlukan modal kapital yang cukup besar.Sementara sektor pajak belum dapat diandalkan karena tingkat masih rendah. Untuk menutupi kekurangan modal tersebut maka pemerintah menjalankan APBN defisit yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri yang sering disebut bantuan luar negeri. Pinjaman ini dapat dikelompokkan dalam dua jenis yaitu bantuan program dan bantuan proyek. Dalam APBN tahun1969/70 jumlah realisasi anggaran sebesar Rp. 328,3 milyar dengan pinjaman sebesar Rp. 82,1 milyar dan penerimaan dalam negri sebesar Rp. 246,2 milyar. Porposi hutang luar negeri terhadap APBN sebesar 25 % dari APBN. Artinya hampir seperempat anggaran berasal dari hutang. Satu dasawarsa berikutnya, pada tahun1979/80 nilai realisasi APBN sebesar Rp 8.226,7 milyar dengan hutang luar negri sebesar Rp 1.493.5 milyar . Porposi hutang terhadap nilai APBN sebesar 18 persen. Porposi tersebut menurun sebesar 7 persen selama jangka waktu 10 tahun. Pada tahun 1989/90 nilai APBN sebesar Rp. 36.574 milyar dengan hutang luar negeri sebanyak Rp. 11.325 milyar atau sekitar 30 persen dari nilai APBN. Nilai tersebut nampaknya kembali seperti awal pembangunan ekonomi.Pada tahun 1997/98 total APBN sebesar Rp. 101.086.7 milyar dengan pinjaman luar negri sebesar Rp. 13.026.milyar atau setara dengan 12,8%. Persentase ini jauh lebih kecil dari porporsi hutang dalam APBN yang pernah dianggarkan selama pemerintahan Orde Baru. Dari penjelasan tersebut nampaknya pembangunan ekonomi Indonesia selama orde baru tidak dapat dilepaskan dari hutang luar negeri. Hal ini tentu menimbulkan ketergantungan Indonesia terhadap kreditor luar negeri. Prinsip anggaran berimbang ternyata tidak dilakukan secara sungguh sungguh, yang terjadi pemerintah melakukan defisit anggaran dengan dibiayai hutang. Kondisi ini akan berdampak buruk bagi pembangunan ekonomi nasional. Hal ini terbukti dengan munculnya krisis ekonomi pada tahun 1998 yang menghancurkan semua sendi perekonomian negara.Nilai kurs rupiah terhadap US$ melambung dari sekitar Rp. 2000 per US$ menjadi sekitar Rp. 15000 setiap US $. Pertumbuhan ekonomi minus 13 % , banyak perusahaan yang mengalami kebangkrutan, terjadi PHK masal dan masyarakat mengalami penurunan tingkat kesejahteraan akibat dari melambungnya harga kebutuhan hidup. Tingkat kemiskinan dan pengangguran bertambah sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Di akhir periode pemerintahan ini jumlah hutang yang yang Halaman | 25 JURNAL EKONOMI 2015 ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni masih tersisa sebesar US$ 150,8 milyar.dengan tingkat PDB saat itu sebesar Rp 955,75 trilyun.. Hutang Pada Masa Reformasi Krisis ekonomi ini menyebabkan pemerintahan orde baru runtuh, atas desakan mahasiswa dan masyarakat Presiden Soeharto mengundurkan diri dan menyerahkan pemerintahan kepada Wapres B J Habibie. Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto memunculkan pemerintahan baru yang disebut pemerintahan Reformasi. Presiden BJ Habibie melakukan berbagai kebijakan untuk memulihkan kembali perekonomian negara yang runtuh akibat krisis ekonomi.Upaya yang dilakukan oleh pemerintah membuahkan hasil yang menggembirakan.Tingkat inflasi menurun, nilai kurs menguat kembali menjadi sekitar Rp. 6000 per US$. Indikator makro ekonomi mengalami perbaikan yang signifikan. Pada tahun 1999 mulai terjadi perubahan ekonomi nasional sehingga PDB meningkat menjadi Rp 1099,7 trilyun atau setara dengan US $ 140 milyar . Nilai APBN meningkat menjadi Rp 212.699 milyar meningkat dari Rp 101.086 milyar pada tahun 1998. Pinjaman luar negeri juga mengalami kenaikan menjadi Rp53.495 milyar meningkat dibandingkan 1998 yang hanya Rp. 13.026 milyar. Porposi pinjaman terhadap APBN menjadi 25 persen. Kondisi ini persis sama dengan awal orde baru melaksanakan program pembangunan. Sebagai dampak dari progam restrukturisasi perbankan dan stabilisasi ekonomi total hutang luar negeri meningkat lagi menjadi US$ 142 milyar. Masa pemerintahan Presiden BJ Habibie yang relatif singkat ternyata mampu memberikan suasana yang kondusif bagi perkembangan ekonomi selanjutnya. Keberhasilan Pemilu 1999 menjadi awal dari proses demokrasi pada masa pemerintahan berikutnya. Pada tahun 2000 pemerintahan Presiden BJ Habibie digantikan oleh Presiden Abdurahman Wahid. Perubahan pemerintahan tidak berarti perubahan dalam kebijakan utang. Ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri masih cukup tinggi walaupun ada upaya menguranginya. Pada tahun ini porposi pinjaman terhadap APBN menjadi 9,5% terendah sejak tahun1969. Pada tahun 2001 belanja pemerintah mencapai Rp. 354,5 trilyun dengan pinjaman luar negri mencapai Rp. 30 trilyun atau sekitar 8,5 % dari total belanja pemerintah. Demikian pula dengan total pinjaman pemerintah yang terus menurun menjadi US$ 133 milyar. Pergantian pemerintahan dari Presiden Abdurahman Wahid ke Presiden Megawati ternyata merubah pola kebijakan hutang. Jumlah hutang pemerintah meningkat dari US$ 133 milyar pada tahun 2001menjadi US$ Halaman | 26 JURNAL EKONOMI 2015 ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni 135 milyar pada tahun 2003. Penarikan pinjaman sebesar Rp 18,9 trilyun dengan nilai APBN sebesar Rp 322 trilyun. Porposi pinjaman luar negri terhadap APBN sebesar 5,8 persen dari total anggaran belanja negara. Selain itu pemerintah juga menerbitkan surat hutang dalam negeri untuk menutup defisit anggaran belanja. Pada tahun 2003 penarikan pinjaman meningkat menjadi Rp 20.5 trilyun dari APBN sebesar Rp. 377 trilyun. Porposi pinjaman terhadap APBN 5,4 persen. Total hutang juga mengalami kenaikan menjadi US$ 137 milyar Dalam pemilu tahun 2004 terjadi pergatian pemerintahan dari presiden Megawati kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Pada awal pemerintahan SBY total hutang menurun menjadi US$ 137 milyar. Jumlah tersebut pada tahun 2006 turun menjadi USS 128 milyar dan terus meningkat hingga US$ 155 milyar pada tahun 2008. Pada tahun 2009 jumlah utang Indonesia mencapai US$ 172 milyar setara dengan Rp 1800 trilyun Rp. 10.500 per US$ 1. Pada periode pemerintahan Presiden SBY yang kedua tahun 2009 sampai tahun 2014 jumlah hutang luar negri cenderung meningkat. Sejak tahun 2010 sampai tahun 2014 terjadi peningkatan pinjaman luar negeri secara signifikan. Pada tahun 2009 jumlah hutang luar negeri masih pada kisaran US$ 172 milyar. Pada tahun 2013 jumlah pinjaman luar negri Indonesia meningkat menjadi menjadi US$264 milyar. Dalam kurun waktu 4 tahun jumlah hutang luar negeri meningkat drastis sebanyak US$ 92 milyar. Suatu jumlah yang cukup signifikan karena mencapai kenaikan sebesar 53,4% dari tahun 2009. Data data tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan anggaran belanja pemerintah terhadap hutang luar negeri masih cukup tinggi.Walaupun secara persentase terus menurun menjadi kurang dari 10 persen sejak masa reformasi. Penurunan hutang luar negri ternyata dikompensasi dengan meningkatnya hutang domestik. Porposi hutang domestik cenderung terus meningkat sejak tahun 2000. Permasalahannya total kumulatif hutang terus meningkat secara signifikan, walaupun secara persentase terhadap GDP masih cenderung terus menurun., Penggunaan Hutang Sejak dilakukan program pembangunan ekonomi nasional pada tahun 1969, pembiayaan pembanguan banyak memakai pinjaman luar negeri untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah mengambil pinjaman luar negeri dari berbagai sumber untuk menutupi defisit dalam pembiayaan pembangunan.Sebagian besar hutang tersebut banyak digunakan dalam pembangunan proyek infrastruktur maupun program-program lainnya yang tujuannya mempercepat peningkatan produksi nasional. Hal ini Halaman | 27 JURNAL EKONOMI 2015 ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni memang bias dirasakan dengan adanya jalan raya, bendungan, pengairan dan infrastruktur lainnya semasa pemerintahan orde baru. Selain itu pinjaman luar negeri juga banyak dilakukan oleh swasta dalam rangka mengembangkan usaha mereka untuk memperbesar kegiatan usaha. Jenis pinjaman swasta ini seringkali menimbulkan masalah karena perubahan nilai kurs yang cenderung menurun Data dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa jumlah utang pemerintah dari tahun 1999 sampai tahun 2013 cenderung meningkat. Jumlah pinjaman pada tahun 1999 sebesar US$ 75 milyar , pada tahun 2011 meningkat menjadi US$118 milyar dan pada tahun 2013 meningkat menjadi US$123 milyar . Sementara sector swasta pada tahun 1999 jumlah pinjaman sebesar US$ 72 milyar, kemudian meningkat menjadi US$ 106 milyar pada tahun 2011 dan melonjak menjadi US$ 140 milyar pada tahun 2013. Tabel 1. Data Hutang Luar Negri Indonesia (US$ Juta) Tahun KETERANGAN 1999 NO 2011 2012 1 Pemerintah dan Otoritas Moneter 75,862 118,642 126,119 2 Menurut Institusi 75,862 118,642 126,119 Pemerintah Pusat 1 3 63,320 112,427 116,187 Otoritas Moneter 2 4 12,541 6,215 9,932 5 Menurut Persyaratan 75,862 118,642 126,119 Komersial 3 6 2,528 48,424 60,318 Bukan Komersial 7 73,334 70,218 65,801 ODA 8 56,453 62,120 58,812 Non ODA 9 16,880 8,098 6,989 10 Swasta 3 72,235 106,732 126,245 Lembaga Keuangan 11 11,883 24,570 30,730 Bank 12 10,848 18,466 23,018 Bukan Bank 13 1,035 6,103 7,713 14 Bukan Lembaga Keuangan 15 Jumlah Sumber BI.go.id. 2013 123,548 123,548 114,294 9,255 123,548 63,742 59,806 53,782 6,023 140,512 31,921 24,098 7,822 60,352 82,162 95,515 108,591 148,097 225,375 252,364 264,060 1) termasuk obligasi pemerintah rupiah maupun valas yg dimiliki bukan penduduk 2) termasuk SBI yg dimiliki bukan penduduk 3) termasuk domestik securities yg dimiliki bukan penduduk Tingginya hutang swasta yang terus meningkat dari US$ 72 milyar pada tahun 1999, pada tahun 2011 melonjak menjadi US$ 106, dan menjadi US$ 140 pada tahun 2013 atau sekitar 53 persen dari total hutang luar negri. Halaman | 28 JURNAL EKONOMI 2015 ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni Posisi hutang swasta yang lebih dari 50% dari total hutang Indonesia ini yang nantinya akan menjadi masalah bagi perekonomian nasional. Apalagi jumlah pinjaman komersial mencapai US$ 63 milyar atau 24 persen dari tolal hutang yang ada pada tahun 2013. Kondisi ini pernah terjadi pada tahun 1997 sampai 1998 dimana posisi hutang swasta mencapai porsi lebih dari 50% dari total hutang Indonesia yang kemudian mendorong munculnya krisis moneter pada tahun 1998. Pengendalian hutang terutama hutang swasta mutlak dilakukan agar jumlah hutang tidak terlalu besar yang pada akhirnya justru membuat ekonomi nasional ambruk dan menjadi beban bagi rakyat. PENUTUP Setiap negara sangat sulit untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap hutang baik hutang domestik maupun hutang luar negeri. Hutang terjadi karena adanya defisit dalam anggaran negara, dimana tingkat pengeluaran melebihi pendapatannya. Ada beragam kepentingan mengenai tujuan penggunaan hutang yang dapat dikelompokkan sebagai berikut; pertama, hutang digunakan untuk menutupi kekurangan investasi domestik. Investasi ini berupa proyek infrastruktur maupun industri yang mampu menghasilkan output. Hutang akan dibayar dari hasil output maupun hasil dari efisiensi adanya infrstruktur yang baik. Kedua, hutang digunakan untuk menutup defisit neraca pembayaran , dalam hal ini biasanya berupa hutang luar negeri. Ketiga hutang digunakan untuk mengatasi krisis ekonomi atau krisis finasial yang dapat berupa dana talangan, pembelian asset perusahaan yang bangkrut, suntikan modal yang tujuannya menjaga stabilitas perekonomian negara. Keempat, hutang yang digunakan untuk program konsumtif maupun untuk pertahanan serta penanggulangan kemiskinan. Kelima, hutang digunakan untuk proyek non produktif serta proyek mercusuar tanpa control ketat dari masyarakat/DPR. Pilihan ada pada kita akankah hutang tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas atau kepentingan sekelompok elite yang jelas generasi masa depan yang menanggung pembayaran hutang tersebut. Halaman | 29 JURNAL EKONOMI 2015 ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni DAFTAR PUSTAKA APBN Republik Indonesia, periode 1968 – 2014 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia, tahun 2009 Radius Prawiro, Dilema Utang Luar Negri di Masa Orde Baru Dalam Era Baru Krbijakan Fiskal, Editor Anggito Abimanyu dan Andie Megantara, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009 Sarbini Sumawinata, Pengerahan Modal Dalam Pembinaan Masyarakat Sosialis Indonesia dalam Khasanah Pemikiran Ekonomi Indonesia, Editor Didik J Rachbini, LP3Es, Jakarta, 1994 Totok Harjanto, Hutang Luar Negri Indonesia , MSE, FE Untag Jakarta tahun 2010 United Nations, ESCAP tahun 2010 www.dmo.or.id, buku perkembangan utang negara 4 juni 2009 www. BI.go.id www. BPS.go.id Halaman | 30 JURNAL EKONOMI 2015 ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni Tabel 2. DATA PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA No TAHUN HUTANG L N (US$ juta) 3100 20938 69872 150886 148097 141693 133072 131343 135401 137024 130652 128736 136640 155080 172871 202413 225375 252364 264060 1 1970 2 1980 3 1990 4 1998 5 1999 6 2000 7 2001 8 2002 9 2003 10 2004 11 2005 12 2006 13 2007 14 2008 15 2009 16 2010 17 2011 18 2012 19 2013 Sumber Bank Indonesia, BPS, APBN berbagai periode PDB Harga Berlaku APBN Milyar Rupiah Milyar Rupiah 3238 328.3 43765 8226 210866 36574 955700 101086 1099700 212699 1389769 205300 1684280 301100 1863275 298500 2013675 341400 2295826 403400 2774281 495200 3339217 638000 3950893 707806 4951357 981609 5606203 848763 6446851 995271 7419187 1210599 8229439 1358205 9083972 1529673 Halaman | 31 JURNAL EKONOMI 2015 ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni Halaman | 32 JURNAL EKONOMI 2015 ISSN: 2302-7169 Vol. 4 No. 1 Januari-Juni