BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antar pemegang saham (shareholders) sebagai principal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham. (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Randhy Ichsan, 2013). Jensen dan Meckling (1976) dalam Randhy Ichsan (2013) menjelaskan hubungan keagenan sebagai “agency relationship as a contract under which one or more person (the principals) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent”. Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (principal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama principal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi principal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, 7 maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan principal. Hubungan antara principal dengan agen dapat mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information) karena agen berada pada posisi yang memiliki informasi lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agen untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Randhy Ichsan, 2013). Perbedaan kepentingan antara principal dan agen dapat mempengaruhi beberapa hal yang menyangkut kinerja perusahaan, salah satunya adalah kebijakan perusahaan mengenai pajak. Sistem perpajakan di Indonesia yang menggunakan self assessment system yaitu wewenang yang diberikan oleh pemerintah untuk menghitung dan melaporkan pajak sendiri. Penggunaan self assessment system dapat memberikan kesempatan pihak agen untuk menghitung penghasilan kena pajak serendah mungkin, sehingga beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi turun. Hal ini dilakukan pihak agen karena adanya asimetris informasi terhadap pihak principal, dengan melakukan manajemen pajak maka pihak agen akan memperoleh keuntungan tersendiri yang tidak bisa didapatkan dari kerjasama dengan pihak principal. 8 Salah satu cara yang digunakan untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku opprtunistik manajemen adalah corporate governance. Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good corporate governance adalah transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness), dan responsibilitas (responcibility). Corporate governance diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi antara principal dan agen yang pada akhirnya diharapkan dapat meminimalkan tindakan penghindaran pajak. 2. Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan) Corporate Governance merupakan studi yang mempelajari hubungan direktur, manajer, karyawan, pemegang saham, pelanggan, kreditur dan pemasok terhadap perusahaan dan hubungan antar sesamanya. (Hendra, 2012 dalam Rahmi, 2014). Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), Corporate Governance adalah seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Menurut Keputusan Menteri BUMN nomor Kep-117/M-MBU/2002, Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan 9 akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perudangan dan nilai-nilai etika. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Corporate Governance adalah suatu mekanisme yang mengatur dan mengendalikan perusahaan melalui hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pihak pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. (Rahmi, 2014). a. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Menurut Keputusan Menteri BUMN nomor Kep-117/M- MBU/2002 prinsip-prinsip Good Corporate Governance yaitu : 1) Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. 2) Kemandirian, yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh /tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 3) Akuntabilitas, yaitu pertangungjawaban kejelasan organ fungsi, sehingga pelaksanaan pengelolaan dan perusahaan terlaksana secara efektif. 10 4) Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 5) Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Mekanisme Good Corporate Governance Variabel yang digunakan sebagai proksi corporate governance dalam beberapa penelitian adalah struktur kepemilikan institusional. Proksi yang digunakan untuk mengukur struktur dewan digunakan jumlah dewan komisaris dan prosentase dewan komisaris independen, jumlah komite audit, sedangkan untuk transparansi informasi adalah kualitas audit. 1) Kepemilikan Institusional Kepemilikan Institusional merupakan proporsi kepemilikan saham oleh institusi pendiri perusahaan, bukan institusi pemegang saham publik yang di ukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh investor institusi intern. (Sujoko, 2007 dalam Rahmi, 2014). Adanya tanggung jawab perusahaan kepada pemegang saham, maka pemilik institusional memiliki insentif untuk memastikan bahwa manajemen perusahaan membuat keputusan yang akan 11 memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. Agresifitas pajak mengarah pada penghematan pajak, itu juga menyebabkan sebuah perusahaan potensial dikenakan sanksi oleh IRS terkait biaya pelaksanaan dan biaya agency (Chen, 2008 dalam Rahmi, 2014). Dalam penelitian ini kepemilikan institusional diukur dengan menggunakan presentase (Khurana, 2006 dalam Rahmi, 2014). Kepemilikan institusional dapat diukur dengan menggunakan rasio sebagai berikut : 2) Komisaris Independen Dewan direksi berfungsi untuk mengurus sementara dewan komisaris berfungsi untuk perusahaan, melakukan pengawasan. Selain itu, komisaris independen berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang dalam pengambilan keputusan oleh dewan komisaris. (Rahmi, 2014). Komisaris independen didefinisikan sebagai seseorang yang tidak terafiliasi dalam segala hal dengan pemegang saham pengendali, tidak memiliki hubungan afiliasi dengan direksi atau dewan komisaris serta tidak menjabat sebagai direktur pada suatu perusahaan yang terkait dengan perusahaan pemilik menurut peraturan yang dikeluarkan oleh BEI, jumlah komisaris independen proporsional dengan jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang 12 saham yang tidak berperan sebagai pengendali dengan ketentuam jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya tiga puluh persen (30%) dari seluruh anggota komisaris, disamping hal itu komisaris independen memahami undang-undang dan peraturan tentang pasar modal serta diusulkan oleh pemegang saham yang bukan merupakan pemegang saham pengendali dalam Rapat Umum Pemegang Saham. (Pohan dalam Rahmi, 2014). Dalam penelitian ini variabel struktur dewan komisaris diproksikan dengan persentase keberadaan dewan komisaris independen dalam suatu perusahaan (Mayangsari, 2003 dalam Rahmi, 2014). Proporsi dewan komisaris independen diukur dengan rasio sebagai berikut : 3) Komite Audit Pada umumnya, komite ini berfungsi sebagai pengawas proses pembuatan laporan keuangan dan pengawasan internal, karena BEI mengharuskan semua emiten untuk membentuk dan memiliki komite audit yang diketuai oleh komisaris independen. Suatu komite yang bekerja secara professional dan independen yang dibantu oleh dewan komisaris dan dengan demikian, tugasnya adalah membantu dan memperkuat fungsi dewan komisaris (atau dewan pengawas) dalam menjalankan fungsi pengawasan 13 (oversight) atas proses pelaporan keuangan, manajemen resiko dan pelaksanaan audit dan implementasi dari corporate governance di perusahaan-perusahaan. (Nuralifmida, 2011) Kualifikasi terpenting dari anggota komite audit terletak pada common sense, kecerdasan dan suatu pandangan yang independen. Siallagan (2006) dalam Rahmi (2014) menjelaskan komite audit meningkatkan integritas dan kredibilitas pelaporan keuangan melalui : a) Pengawasan atas proses pelaporan termasuk sistem pengendalian internal. b) Penggunaan prinsip akuntansi berterima umum. c) Mengawasi proses audit secara keseluruhan Dalam penelitian ini digunakan jumlah komite audit dalam suatu perusahaan sebagai alat ukur dan dilambangkan dengan KOMITE. (Mayangsari, 2003 dalam Nuralifmida, 2011). 4) Kualitas Audit Dalam penerapan corporate governance kualitas audit dengan pengungkapan yang akurat (transparansi) menjadi salah satu elemen yang penting. Auditor yang memiliki kemampuan dan kualitas yang tinggi akan mempertahankan reputasinya dengan memberikan kualitas audit yang tinggi pula. Peningkatan transparansi terhadap pemegang saham dalam hal pajak semakin dituntut oleh otoritas publik. Alasannya adalah 14 adanya asumsi bahwa implikasi dari perilaku pajak yang agresif, pemegang saham tidak ingin perusahaan mereka mengambil posisi agresif dalam hal pajak dan akan mencegah tindakan tersebut jika mereka mengetahui sebelumnya. (Sartori, 2010 dalam Rahmi, 2014). Kualitas audit dapat diukur dengan menggunakan proksi ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP), apakah KAP tersebut masuk dalam KAP The Big Four atau tidak. (Susiana dan Herawati, 2007 dalam Nuralifmida, 2011). Untuk penelitian ini perusahaan yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) The Big Four akan diberi nilai 1 dan apabila tidak diaudit oleh keempat Kantor Akuntan Publik (KAP) The big Four akan diberi nilai 0. (Nuralifmida, 2011). 3. Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara, antara lain : total aktiva, penjualan, log size, nilai pasar saham, kapitalisasi pasar, dan lain-lain yang semuanya berkorelasi tinggi. Semakin besar total aktiva, penjualan, log size, nilai pasar saham, dan kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ukuran pasar tersebut. Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium size) dan perusahaan kecil (small firm). (Agus Sartono, 2010). 15 Salah satu ukuran kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba yang maksimal dapat dilihat dari rasio-rasio yang menunjukkan perkembangan atau kemunduran dari operasional normal perusahaan tersebut, hal ini dapat dilihat salah satunya dari rasio pertumbuhan, dimana rasio pertumbuhan menunjukkan ukuran kenaikan atau penurunan kinerja keuangan suatu perusahaan yang dapat dilihat dari perbandingan tahun sebelum dan sesudah maupun sedang berjalan untuk beberapa pos akuntansi keuangan perusahaan. (Agus Sartono, 2010). Variabel ini diukur dengan rata-rata jumlah nilai kekayaan yang dimiliki suatu perusahaan (total aktiva). Skala yang digunakan adalah skala rasio. Ukuran perusahaan bisa diukur dengan menggunakan total aktiva, penjualan atau modal dari perusahaan tersebut. Salah satu tolak ukur yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan adalah ukuran aktiva dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total asset yang kecil. (Theresa Adelina Victoria Surbakti, 2012). Menurut Danis Ardyansyah (2014) Perusahaan yang besar cenderung memiliki aset yang besar. Aset akan mengalami penyusutan setiap tahunnya yang dapat mengurangi laba bersih perusahaan, sehingga 16 menurunkan beban pajak yang dibayarkan. Richardson dan Lanis (2007) dalam Danis Ardyansyah menyebutkan bahwa, semakin besar perusahaan maka akan semakin rendah effective tax rate (ETR) yang dimilikinya. Ukuran perusahaan diukur dengan cara logaritma natural dari nilai buku total nilai aset perusahaan (Gupta dan Newberry, 1997 dalam Theresa, 2012). 4. Leverage Leverage menunjuk pada hutang yang dimiliki perusahaan. Sumber dana perusahaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu sumber dana intern dan sumber dana ekstern. Sumber dana intern berasal dari laba yang ditahan, pemilik perusahaan yang tercermin pada lembar saham atau persentase kepemilikan yang tertuang dalam neraca. Sementara sumber dana ekstern merupakan sumber dana perusahaan yang berasal dari luar perusahaan, misalnya hutang. Kedua sumber dana ini tertuang dalam neraca pada sisi kewajiban. (Agus Sartono R, 2010). Leverage juga dapat diartikan sebagai penggunaan aktiva atau dana dimana untuk penggunaan tersebut perusahaan harus menutup biaya atau membayar beban tetap. Kalau pada “operating leverage” penggunaan aktiva dengan biaya tetap adalah dengan harapan bahwa revenue yang dihasilkan oleh penggunaan aktiva tersebut akan cukup untuk menutup biaya tetap dan biaya variable, maka pada “financial leverage” penggunaan dana dengan beban tetap itu adalah dengan harapan untuk 17 memperbesar pendapatan per lembar saham biasa (EPS = Earning Per Share). Konsep operating leverage dan financial leverage bermanfaat untuk analisis, perencanaan dan pengendalian keuangan. Dalam manajemen keuangan, leverage adalah penggunaan assets dan sumber dana (sources of funds) oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap (beban tetap) dengan maksud agar meningkatkan potensial pemegang saham. Perusahaan menggunakan operating leverage dan financial leverage dengan tujuan agar keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya assets dan sumber dananya, dengan demikian akan meningkatkan keuntungan pemegang saham. Sebaliknya leverage juga meningkatkan variabilitas (risiko) keuntungan, karena jika perusahaan ternyata mendapatkan keuntungan yang lebih rendah dari biaya tetapnya maka penggunaan leverage akan menurunkan keuntungan pemegang saham. Konsep leverage tersebut sangat penting terutama untuk menunjukkan kepada analis keuangan dalam melihat trade-off antara risiko dan tingkat keuntungan dari berbagai tipe keputusan finansial. (Agus Sartono R, 2010). Besar kecilnya hutang yang dimiliki perusahaan akan sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya pajak yang dibayar. Hal ini dikarenakan biaya bunga dapat dikurangkan dalam menghitung pajak, sehingga hutang dapat mempengaruhi secara langsung tarif pajak perusahaan. (Theresa, 2012). 18 Leverage diukur sebagai rasio dengan cara membandingkan total kewajiban dengan ekuitas pada suatu perusahaan. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kemampuan perusahaan atas penggunaan hutang untuk membiayai investasi. (Theresa Adelina Victoria Surbakti, 2012). 5. Tax Avoidance Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap praturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Jika tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuat undang-undang, maka perencanaan pajak di sini sama dengan tax avoidance karena secara hakikat ekonomis keduanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia, baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk diinvestasikan kembali. (Erly Suandy, 2011). Menurut Erly Suandy (2011) penghindaran pajak adalah rekayasa “tax affairs” yang masih tetap berada dalam bingkai ketentuan perpajakan (lawful).Penghindaran pajak dapat terjadi di dalam bunyi ketentuan atau 19 tertulis di undang-undang dan berada dalam jiwa dari undang-undang atau dapat juga terjadi dalam bunyi ketentuan undang-undang tetapi berlawanan dengan jiwa undang-undang.Komite urusan fiskal dari Organization for Economic Cooperation and Development (OEDC) menyebutkan ada tiga karakter penghindaran pajak sebagai berikut. a. Adanya unsur artifisial di mana berbagai pengaturan seolah-olah terdapat di dalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan karena ketiadaan factor pajak. b. Skema semacam ini sering memanfaatkan loopholes dari undangundang atau menerapkan ketentuan-ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan iu yang sebenarnya dimaksudkan oleh pembuat undang-undang. c. Kerahasiaan juga sebagai bentuk dari skema ini di mana umumnya para konsultan menunjukkan alat atau cara untuk melakukan penghindaran pajak dengan syarat Wajib Pajak menjaga serahasia mungkin. Pertumbuhan aktivitas tax avoidance diharapkan melahirkan dua perspektif alternatif mengenai motivasi dan efek dari aktivitas ini, beberapa studi perusahaan tentang tax avoidance sebagai perluasan dari kegiatan penghematan pajak. (Desai dan Darmapala, 2007 dalam Nuralifmida, 2011). Sebuah pendekatan teoritis menekankan interaksi dari aktivitas tax avoidance dan problem agensi yang merekat pada perusahaan go public, 20 oleh karena itu aktivitas tax avoidance dapat menciptakan suatu alternatif pilihan dalam dalam perencanaan pajak yang bisa menghemat besarnya pajak yang dibayarkan oleh perusahaan. Sekat yang membatasi legal dan ilegalnya suatu tindakan penghematan pajak dalam upaya tax planning masih sulit dibedakan, sehingga diharapkan perusahaan lebih baik mematuhi peraturan perpajakan dan tidak memanfaatkan dari peraturan perpajakan untuk kebaikan perusahaan di masa yang akan datang, karena dengan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan kepada Negara akan digunakan untuk memfasilitasi masyarakat sehingga dapat menaikkan derajat kehidupan masyarakat Indonesia. (Bovi, 2005 dalam Nuralifmida, 2011). Menurut Dyreng at al., (2010) variabel ini dihitung melalui CASH ETR (cash effective tax rate) perusahaan yaitu kas yang dikeluarkan untuk biaya pajak dibagi dengan laba sebelum pajak. Adapun rumus untuk menghitung CASH ETR adalah sebagai berikut : B. Penelitian Terdahulu Penelitian terkait tax avoidance sudah banyak dilakukan. Seperti I Gusti Ayu Cahya Maharani dan Ketut Alit Suardana yang telah melakukan penelitian tentang pengaruh corporate governance, profitabilitas, dan karakteristik eksekutif pada tax avoidance. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2014, metode yang digunakan yaitu analisis regresi linear berganda, dari 21 penelitian ini diperoleh hasil bahwa variabel yang berpengaruh negatif adalah proporsi dewan komisaris, kualitas audit, komite audit, dan ROA, sedangkan risiko perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance. Calvin Swingly dan I Made Sukartha juga meneliti tentang pengaruh karakteristik eksekutif, komite audit, ukuran perusahaan, leverage dan sales growth pada tax avoidance. Penelitian dilakukan pada tahun 2015 dengan menggunakan metode analisis linier berganda.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakter eksekutif dan ukuran perusahaan berpengaruh positif pada tax avoidance, sedangkan leverage berpengaruh berpengaruh negatif pada tax avoidance. Variabel komite audit dan sales growth tidak berpengaruh terhadap tax avoidance. Penelitian Ni Nyoman Kristiana Dewi dan I Ketut Jati (2014) juga melakukan penelitian terkait tax avoidance yaitu pengaruh karakter eksekutif, karakteristik perusahaan, dan dimensi tata kelola perusahaan yang baik pada tax avoidance.Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa risiko perusahaan, kualitas audit dan komite audit berpengaruh terhadap tax avoidance masing-masing sebesar 0,012, 0,005, dan 0,017. Scott D. Dyreng, et al (2010) telah melakukan penelitian tentang pengaruh eksekutif terhadap tax avoidance. Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis regresi.Penelitian tersebut menunjukkan bahwa eksekutif berpengaruh positif terhadap tax avoidance. 22 Brad Badertscher, et al. (2009) telah melakukan penelitian pengaruh kepemilikan modal swasta pada tax avoidance. Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi.Hasil penelitian menyebutkan bahwa kepemilikan modal swasta berpengaruh negatif terhadap tax avoidance karena tarif pajak perusahaan swasta jauh lebih rendah dibanding perusahaan pemerintah. Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No 1 2 3 Peneliti I Gusti Ayu Cahya Maharani & Ketut Alit Suardana (2014) Calvin Swingly & I Made Sukarta (2015) Ni Nyoman Kristiana Dewi & I Ketut Jati (2014) 4 Scott D. Dyreng, et al(2010) 5 Brad Badertscher, et al (2009) Variabel yang Digunakan Variabel dependen : Tax Avoidance Variabel independen : Corporate Governance, Profitabilitas dan Karakteristik Eksekutif Variabel dependen : Tax Avoidance Variabel independen : Karakter Eksekutif, Komite Audit, Ukuran Perusahaan, Leverage dan Sales Growth Variabel dependen : Tax Avoidance Metode Penelitian Metode Analisis Regresi Linear Berganda Metode Analisis Regresi Linear Berganda Metode Analisis Regresi Linear Berganda Variabel independen : Karakter Eksekutif, Karakteristik Perusahaan, dan Dimensi Tata Kelola Perusahaan Variabel dependen : Tax Avoidance Variabel independen : Karakteristik Eksekutif Variabel dependen : Tax Avoidance Metode Analisis Regresi Metode Analisis Regresi Hasil Penelitian Proporsi dewan komisaris, kualitas audit, komite audit dan ROA berpengaruh negatif terhadap tax avoidance Resiko Perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance Leverage berpengaruh negatif terhadap tax avoidance Karakter eksekutif dan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance Komite audit dan sales growth tidak berpengaruh pada tax avoidance Resiko perusahaan, kualitas audit dan komite audit berpengaruh terhadap tax avoidance Ukuran perusahaan, multinational company, kepemilikan institusional dan proporsi dewan komisaris tidak berpaengaruh terhadap tax avoidance Karakteristik Eksekutif berpengaruh terhadap tax avoidance Kepemilikan modal swasta berpengaruh negatif terhadap tax avoidance. Variabel independen : Kepemilikan Modal Swasta 23 Proksi : book tax differences (BTD), discretionary permanent book tax differences (DTAX) dan cash effective tax rate (CETR) Sumber : E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, The Accounting Review Vol.85 No.4 2010, Working Paper. C. Rerangka Pemikiran 1. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap tax avoidance Secara khusus, corporate governance menjadi faktor yang penting dalam penilaian yang mengharapkan adanya penghematan pajak. Nuralifmida (2011) menyatakan bahwa pemilik institusional memainkan peran penting dalam memantau, mendisiplinkan dan mempengaruhi manajer. Besar kecilnya kepemilikan institusional maka akan mempengaruhi kebijakan pajak agresif oleh perusahaan, semakin kecil kepemilikan institusional akan meningkatkan kebijakan pajak, semakin besar kepemilikan institusional akan mengurangi tindakan kebijakan pajak agresif. Ha1: Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance 2. Pengaruh komisaris independen terhadap tax avoidance Komisaris independen didefinisikan sebagai seorang yang tidak terafiliasi dalam segala hal dengan pemegang saham pengendali. Kehadiran komisaris independen dalam dewan komisaris mampu meningkatkan pengawasan kinerja direksi.jumlah dewan komisaris 24 independen yang semakin banyak menandakan bahwa dewan komisaris independen melakukan fungsi pengawasan dan koordinasi dalam perusahaan yang semakin baik. (Rahmi, 2014). Ha2 : Komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance 3. Pengaruh komite audit terhadap tax avoidance Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk membantu dewan komisaris dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja direksi dan timmanajemen. Kehadiran komite audit berfungsi untuk memberikan pandangan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi dan pengendalian intern kebijakan keuangan yang baik akan meningkatkan pertumbuhan laba yang baik juga bagi perusahaan. (Mayangsari, 2003 dalam Nuralifmida, 2011). Sehingga itu, komite audit bertanggung jawab dalam mengendalikan manajer dalam meningkatkan pertumbuhan laba dimana nantinya manajer cenderung melakukan penekanan-penekanan terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan terutama pajak. (Rahmi, 2014). Ha3 : Komite audit berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance 4. Pengaruh kualitas audit terhadap tax avoidance Dalam penerapan corporate governance kualitas audit dengan pengungkapan yang akurat (transparansi) menjadi salah satu elemen yang penting. Peningkatan transparansi terhadap pemegang saham dalam hal 25 pajak semakin dituntut oleh otoritas publik. (Sartori, 2010 dalam Rahmi, 2014). Auditor yang memiliki kemampuan dan kualitas yang tinggi akan mempertahankan reputasinya dengan memberikan kualitas audit yang tinggi pula. Perusahaan yang memilih menggunakan jasa auditor yang berkualitas dapat menjamin informasi keuangan yang dilaporkan pada investor. Sehingga investor akan lebih percaya atas informasi tersebut.(Febri, dkk 2013). Ha4 : Kualitas audit berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. 5. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap tax avoidance Ukuran perusahaan merupakan salah satu karakterisitik perusahaan. Ni Nyoman dan I Ketut (2014) mendefinisikan ukuran perusahaan sebagai skala atau nilai yang dapat mengklasifikasikan suatu perusahaan ke dalam kategori besar atau kecil berdasarkan total asset, log size, dan sebagainya. Menurut Ni Nyoman dan I Ketut (2014), semakin besar ukuran perusahaannya, maka transaksi yang dilakukan akan semakin kompleks. Jadi hal itu memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan celah-celah yang ada untuk melakukan tindakan tax avoidance dari setiap transaksi. Dari uraian tersebut dapat diambil hipotesis yaitu : Ha5 : Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. 26 6. Pengaruh leverage terhadap tax avoidance Leverage merupakan tingkat hutang yang digunakan perusahaan dalam melakukan pembiayaan. Komponen biaya atas bunga pinjaman dapat menjadi pengurang pajak (deductible expense). Maka dari itu, perusahaan lebih banyak menggunakan hutang dalam struktur modalnya atau dengan kata lain memiliki tingkat leverage yang tinggi akan memiliki tarif pajak yang lebih kecil daripada perusahaan yang lebih banyak menggunakan saham. Dengan kata lain, perusahaan dengan struktur modal yang lebih besar menggunakan hutang dapat melakukan penghindaran pajak dibandingkan dengan menggunakan saham. (Theresa, 2012). Dari penjelasan tersebut dapat diambil hipotesis yaitu : Ha6 : Leverage berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. 27 Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran K e p e m ilik a n In stitu sio n a l H a1 K o m isa ris In d e p e n d e n H a2 K o m ite A u d it H a3 K u a lita s A u d it H a4 U k u ran P eru sah aan H a5 Leverage H a6 T a x A v o id a n c e D. Hipotesis Berdasarkan dari latar belakang, perumusan masalah, kajian pustaka dan rerangka pemikiran, maka dapat diajukan suatu hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut : Ha1 : Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance Ha2 : Komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance Ha3 : Komite audit berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance Ha4 : Kualitas audit berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance 28 Ha5 : Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance Ha6 : Leverage berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance 29