6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ikan Zungaro (Zungaro zungaro

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Ikan Zungaro (Zungaro zungaro)
Menurut Humboldt dan Valenciennes (1821) klasifikasi zungaro adalah
sebagai berikut:
Kingdom
Filum
Sub filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Animalia
: Chordata
: Vertebrata
: Actinopterygii
: Siluriformes
: Pimelodidae
: Zungaro
: Zungaro zungaro
Parameter air untuk zungaro yaitu suhu 23°C - 28°C dengan pH 6.5 - 7.2.
Zungaro merupakan ikan omnivor yang bersifat nokturnal yaitu berburu di malam
hari. Habitat asli dari ikan zungaro adalah rawa air tawar dan bermigrasi ke daerah
estuarine (Beux dan Filh 2007). Ikan ini merupakan ikan dasar dengan corak yang
berwarna hitam yang tersebar secara acak dan menutupi seluruh bagian tubuh dan
sirip (Gambar 2).
Gambar 2. Ikan Zungaro (Zungaro zungaro)
6
7
Kegiatan budidaya zungaro pada dasarnya terdiri dari dua tahap yaitu
usaha pembenihan dan usaha pembesaran. Masalah yang dihadapi dalam usaha
pembenihan zungaro adalah tingkat kematian yang tinggi pada stadia larva. Larva
catfish yang berusia 0-7 hari adalah masa yang rentan terhadap kematian yang
disebabkan oleh adanya kanibalisme (Dani 2005).
2.2
Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi ion-ion terlarut dalam air dan dinyatakan
dalam g/L atau bagian per seribu atau ppt. Masalah yang terjadi untuk beberapa
spesies adalah tingkat kanibalisme yang dapat dikaitkan dengan faktor genetik dan
perilaku (De Angelis et al. 1979). Terdapat beberapa faktor yang mendorong
perilaku kanibal diantaranya lingkungan, yang dapat dimanipulasi untuk
memaksimalkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva (Weingartner 2002
dalam Beux dan Filh 2007). Menurut Dabrowski (1984), salinitas dapat
mempengaruhi kanibalisme pasca-larva. Ikan air tawar pasca-larva yang
dipelihara dalam air yang memiliki salinitas lebih besar dari 0 ppt memiliki
beberapa manfaat, antara lain menekan pertumbuhan penyakit dan menggunakan
pakan hidup Artemia sp. (Reynalte-Tataje et al. 2003 dalam Beux dan Filh 2007).
Pakan Artemia sp memiliki kualitas gizi yang tinggi dan dapat bertahan hidup di
air dengan rentang salinitas yang lebar. Sehingga pemberian pakan artemia hidup
pada larva ikan hias zungaro dapat meningkatkan nafsu makan (Stappen 1996).
Kanibalisme bisa terjadi karena ketersediaan pangan tidak mencukupi,
kepadatan ikan, ukuran larva heterogen (Pienaar 1990). Menurut Pienaar (1990),
kanibalisme dapat dikontrol oleh ketersediaan pangan, sedangkan menurut
Loadman et al. (1986) menyatakan bahwa kanibalisme hanya bisa dikurangi.
Pengurangan gradien osmotik dapat mengurangi konsumsi energi dan akhirnya
meningkatkan pertumbuhan. Ikan air tawar yang memiliki konsentrasi ionik dan
osmotik yang lebih tinggi dari lingkungan, pada kondisi tersebut memerlukan
konsumsi energi yang tinggi untuk menjaga osmoregulasi. Menurunnya gradien
osmotik antara lingkungan dan cairan tubuh dapat mengurangi konsumsi energi
8
untuk osmoregulasi dan meningkatkan pertumbuhan ikan (Baldisserotto, Sampaio
dan Bianchini 2002).
2.3
Respon Ikan terhadap Salinitas
Salah satu aspek fisiologis larva yang dipengaruhi oleh salinitas adalah
tekanan osmotik dan konsentrasi ion cairan tubuh. Pemberian garam pada media
air tawar dapat meningkatkan salinitas dan dapat mengurangi grandien osmotik
(perbedaan tekanan osmotik). Perbedaan tekanan osmotik ditemukan pada
membran pembatas dipermukaan tubuh contohnya insang dan usus yang mungkin
tekanan osmotik lebih rendah (hypo-osmotik) atau lebih tinggi (hiper-osmotik)
dengan larutan eksternal. Dengan cara tersebut air masuk atau keluar tubuh
(penerimaan dan kehilangan osmotik ini harus di seimbangkan dengan mekanisme
khusus) (Masyamsir 2011). Ikan yang berada pada media yang memiliki salinitas
berbeda, maka untuk mempertahankan hidupnya diperlukan proses osmoregulasi
yaitu pengaturan cairan tubuh pada tingkatan yang berbeda terhadap media
(Holliday 1969). Menurut Masyamsir (2011) didalam sel darah merah untuk
memindahkan 1 atau 2 ion Na+ dibutuhkan satu-satu ion ATP (Adenosin
Triphosphat) yang dihasilkan dari metabolisme. Fungsi dari pengaturan ionik dan
osmotik memiliki hubungan erat dengan organ yang sama, yaitu insang dan ginjal.
Meskipun insang sebenarnya sebagai organ pernafasan, akan tetapi sangat penting
dalam pengaturan ionik dan osmotik (Black 1957).
Pengaturan osmotik cairan tubuh dapat diartikan sebagai pengaturan
seluruh konsentrasi partikel dari cairan tersebut terhadap perbedaan konsentrasi
cairan luar tubuh. Mekanisme pengaturan ionik berfungsi menyesuaikan perbedan
komposisi ion dalam darah dengan konsentrasi cairan luar, agar dicapai suatu
keadaan yang seimbang. Kehilangan air dan garam pada tubuh diimbangi oleh
pemasukan air melalui mulut dan insang (Black 1957). Menurut Masyamsir
(2011) didalam sel darah merah untuk memindahkan 1 ion membutuhkan 1
molekul ATP (adenosin triphosphat) yang dihasilkan dari proses metabolisme.
Menurut Lagler et al. (1977) mekanisme osmoregulasi dapat terjadi
melalui dua aktivitas yakni dengan mempertahankan ketetapan osmolaritas cairan
9
ekstrasel tanpa harus isotonik terhadap salinitas media dan menjaga ketetapan
cairan intrasel agar tetap isotonik dengan cairan ekstraselnya. Kedua aktivitas
tersebut dilakukan dengan cara mengatur volume air di dalam cairan ekstrasel
serta mengatur pertukaran ion antara cairan intrasel dengan ekstrasel. Organ-organ
tubuh yang ikut berperan sebagai tempat berlangsungnya osmoregulasi adalah
insang, saluran pencernaan, kulit, dan organ eksresi.
Menurut Boyd (1990) garam berperan seperti elektrolit yang lain dan
dalam cairan tubuh yang akan terurai menjadi ion-ion. Garam NaCl yang masuk
ke dalam tubuh melalui insang akan terurai menjadi ion Na+ dan ion Cl- dalam
cairan tubuh, apabila ion Na+ dan Cl- serta ion lainnya tidak seimbang, maka
efisiensi aktivitas fisiologi akan terganggu, misalnya berkurangnya ion Na
menyebabkan koordinasi saraf menurun. Pada kadar yang tinggi garam dapat
berfungsi untuk mematikan penyakit terutama yang diakibatkan oleh jamur dan
bakteri. Akan tetapi lama pemberian harus diperhatikan dengan seksama agar ikan
tidak mengalami dehidrasi. Garam mampu membunuh parasit-parasit bersel
tunggal seperti ich (white spot), jamur dan bakteri (O-fish 2007).
Menurut O-fish (2007) pada saat ikan sakit, luka, atau stress proses
osmoregulasi akan terganggu sehingga air akan lebih banyak masuk kedalam
tubuh ikan, dan garam lebih banyak keluar dari tubuh, akibatnya beban kerja
ginjal ikan untuk memompa air keluar dari dalam tubuh meningkat. Bila hal ini
terus berlangsung, dapat menyebabkan ginjal menjadi rusak (gagal ginjal)
sehingga mengakibatkan ikan mati. Pada keadaan normal setiap harinya ikan
mampu memompa air keluar dari dalam tubuh kurang lebih 1/3 dari bobot total
tubuhnya. Penambahan garam kedalam air dengan kadar tertentu diharapkan dapat
membantu menjaga ketidakseimbangan ini, sehingga ikan dapat tetap bertahan
hidup dan mempunyai kesempatan untuk memulihkan dirinya dari luka, atau
penyakitnya.
Boyd (1990) menyatakan bahwa toleransi organisme terhadap perubahan
salinitas berbeda-beda tergantung pada umur, stadia hidup, dan jenis kelamin.
Pada fase setelah ada perbedaan kelamin, toleransi terhadap perubahan salinitas
sering terhambat dibandingkan sebelum teridentifikasi. Pada beberapa spesies
10
toleransi ini sangat rendah pada saat fase sebelum adanya sel kelamin, kemudian
meningkat terus dan akhirnya menurun lagi pada umur tua. Pada umumnya larva
ikan jika dipindahkan ke media yang tingkat salinitasnya berbeda, maka
konsentrasi cairan tubuhnya akan mengikuti perubahan tersebut sampai batas
tertentu kemudian akan diikuti oleh sistem pengaturan yang akan memperbaiki ke
tingkat cairan tubuhnya mendekati nilai normal. Kemampuan larva untuk bertahan
dengan perubahan salinitas antara lain bergantung kepada kemampuan larva untuk
mengatur cairan tubuhnya dengan tujuan untuk memperbaiki tekanan osmotik
mendekati normal (Marhanah 2010).
Menurut O-fish (2007) kadar garam yang ada dalam air tidak lebih tinggi
dari pada kadar garam dalam darah ikan, apabila kadar garam dalam air lebih
tinggi, akan mengakibarkan ikan mengalami dehidrasi dan akhirnya mati. Sampai
tahap tertentu kadar garam mampu menahan efek nitrit. Nitrit dalam air dapat
terserap kedalam sistem peredaran darah ikan, sehingga darah berubah menjadi
kecoklatan. Nitrit yang ada didalam darah akan menyebabkan kemampuan darah
untuk membawa oksigen menjadi menurun. Pada kondisi kelebihan nitrit sering
terjadi penyakit darah coklat. Penyakit darah coklat dapat dihindari dengan
adanya garam dalam air.
Berdasarkan penelitian Grafflin dalam Black (1957) ikan air tawar yang
dipindahkan ke media yang memiliki salinitas lebih tinggi, akan kemasukan
garam dan sebaliknya, ikan air laut yang dipindahkan ke media salinitas yang
lebih rendah akan kemasukan air secara terus menerus. Ikan untuk
menyeimbangkan perbedaan kadar garam dalam darah dengan lingkungan
tersebut dibutuhkan waktu 10-48 jam. Ikan air tawar yang diaklimatisasi ke media
air yang memiliki salinitas yang lebih tinggi dari kadar garam dalam darah,
dengan cara meningkatkan kadar garam dalam darah secara bertahap akan
memperlihatkan perubahan konsentrasi kadar garam dalam darah secara
berangsur-angsur akibat kontrol permeabilitas oleh hormon dan sistem saraf
otomatis terhadap lingkungan baru dan pengaruh langsung sel-sel permukaan
tubuhnya (Brown 1957).
11
Menurut Kinne (1964a), jika terjadi perubahan salinitas lingkungan,
hewan laut melakukan adaptasi sebagai berikut:
a. meningkatkan kemampuan absorbsi mengontrol air dan garam di dalam
jaringan tubuh secara aktif,
b. meningkatkan
kemampuan
pengaturan
keseimbangan
ion
dan
osmokonsentrasi cairan tubuh,
c. meningkatkan kemampuan di dalam jaringan tubuh untuk menyimpan air
garam,
d. mengurangi permeabilitas selaput permukaan tubuh terhadap air dan
garam,
e. meningkatkan
daya
toleransi
jaingan
tubuh
terhadap
fluktuasi
keseimbangan ion dan osmokonsentrasi total,
f. melakukan seleksi habitat yang cocok secara aktif.
Selama pengeluaran ion dan pemasukan air serta ion dari luar perlu
dikendalikan oleh selaput permeabel, agar keseimbangan cairan dapat
dipertahankan (Robertson 1960 dan Kinne 1964b). Menurut Chaladkid dan
Hruangoon (1995) salinitas yang tinggi menyebabkan gejala-gejala seperti
pengapungan yang disebabkan oleh gangguan renang.
2.4 Kanibalisme
Kanibalisme adalah suatu fenomena yang umum pada ikan baik yang
dipelihara maupun ikan yang hidup di alam (Hecht dan Pienaar 1993).
Kanibalisme akan meningkat apabila kondisi ikan dalam keadaan lapar meskipun
dengan ukuran ikan yang relatif sama maupun ukuran yang bervariasi (Giles et al.
1986 dan Dou et al. 2000).
Menurut Dixon (2000) dalam Marhamah (2010) kanibalisme merupakan
aktivitas melumpuhkan dan memakan sebagian atau seluruh bagian tubuh sesama
individu antara individu yang satu dengan individu yang lain. Kanibalisme pada
ikan umumnya dilakukan oleh ikan yang berukuran besar terhadap ikan yang
berukuran kecil, misalnya induk memangsa benihnya sendiri dan juga
12
kanibalisme dapat terjadi antara benih-benih ikan sejenis, seumur dan ukuran
yang sama saling memangsa (Amri dan Sihombing 2008).
Kanibalisme ditandai dengan perilaku melukai ikan berkali-kali meskipun
tidak sampai mati, namun biasanya ikan tersebut mati. Di alam, dengan adanya
kompetisi dalam mendapatkan makanan, kanibalisme diantara juvenil dianggap
sebagai cara alami untuk menjaga kepadatan populasi terutama pada ikan predator
(Loadman, Hecht dan pienaar 1993).
Kanibalisme juga terjadi pada berbagai spesies ikan yang dipelihara dalam
kondisi terkontrol dan diberi pakan sampai kenyang (Hecht dan Appelbaum
1988). Sifat kanibalisme seperti menggigit dan menelan sangat erat hubungannya
dengan bentuk kepala yang panjang, lebar kepala, lebar badan, dan panjang total,
sehingga ikan dengan ukuran yang besar dapat memangsa dengan jalan menggigit
lalu menelan. Ketersediaan dan kelimpahan pakan dapat mengurangi frekuensi
terjadinya kanibalisme (Katavic et al. 1989, Folkvord 1991). Ketersediaan pakan
merupakan faktor yang sangat penting di dalam laju kanibalisme pada ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus) (Hecht dan Appelbaum 1988).
2.5 Kelangsungan Hidup
Menurut Effendie (1997) kelangsungan hidup atau survival rate adalah
perbandingan jumlah organisme yang hidup pada akhir suatu periode dengan
jumlah organisme yang hidup pada awal periode. Kelangsungan hidup dan
pertumbuhan ikan dapat dipengaruhi oleh kualitas air (Dou et al. 2003).
Kelangsungan hidup merupakan suatu gambaran mengenai jumlah ikan yang
hidup pada suatu periode pemeliharaan dengan demikian kelangsungan hidup erat
hubungannya dengan mortalitas, yaitu kematian yang terjadi pada suatu populasi
organisme sehingga jumlahnya berkurang (Puspita 2010).
Salah satu kendala utama yang dihadapi dalam budidaya adalah tahap
larva dan makanan yang dibutuhkan untuk mempertahankan kondisi untuk
kelangsungan hidup yang tinggi dan tingkat pertumbuhan yang baik (Luz dan
Portella 2005). Kelangsungan hidup ikan yang rendah terjadi pada masa-masa
kritis. Masa-masa kritis ikan terjadi pada saat kuning telur yang terdapat di dalam
13
tubuhnya habis terserap dan benih harus mencari makanan dari luar. Larva ikan
yang tidak segera mendapatkan pakan dari luar yang sesuai akan mengakibatkan
kematian (Effendie 1997). Kelangsungan hidup dipengaruhi dua faktor yaitu
faktor dari dalam ikan itu sendiri dan faktor dari luar atau lingkungan. Fakrtor dari
dalam ikan meliputi umur ikan, ukuran dan kemampuan beradaptasi. Faktor
lingkungan meliputi ketersediaan makanan dan kompetisi antar ikan untuk
mendapatkan makanan jika jumlah makanan yang tersedia tidak mencukupi
(Royce 1973).
2.6 Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air adalah cara pengendalian kondisi air dalam media
budidaya sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan hidup bagi ikan yang
akan dipelihara. Boyd (1982) dalam Abdillah (2013) menyatakan bahwa kualitas
air sebagai kelayakan suatu perairan untuk kehidupan dan pertumbuhan
organisme akuatik, yang nilainya dinyatakan dalam kisaran tertentu. Kualitas air
antara lain dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan seperti suhu, DO (oksigen
terlarut) dan ph (keasaman).
Suhu air adalah suatu sifat fisik yang dapat mempengaruhi nafsu makan
dan pertumbuhan ikan. Proses pencernaan makanan akan berlangsung sangat baik
pada keadaan suhu yang hangat dan sebaliknya akan terganggu pada suhu rendah
(Zonneveld 1991 dalam Abdillah 2013). Kandungan oksigen terlarut sangat
mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Jumlah oksigen yang
dibutuhkan organisme akuatik tergantung pada spesies, ukuran, jumlah pakan
yang dimakan, aktifitas, dan suhu air (Boyd 1982 dalam Abdillah 2013).
Keasaman air sangat berperan dalam kehidupan ikan. Besarnya
konsentrasi pH suatu perairan adalah besarnya konsentrasi ion hidrogen yang
terdapat di dalam perairan. Batas toleransi organisme perairan terhadap derajat
keasaman (pH) bervariasi tergantung pada suhu air, kelarutan oksigen dan adanya
anion dan kation serta organisme (Pescod 1973 dalam Abdillah 2013).
Download