1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan hias zungaro

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ikan hias zungaro (Zungaro zungaro) adalah salah satu jenis ikan air tawar
yang berasal dari sungai Orinoco, Amerika Selatan (Nogueira et al. 2012). Sungai
Orinoco bermuara di samudra Atlantik. Zungaro merupakan catfish yang digemari
para hobiis ikan hias karena keindahan coraknya yang berwarna hitam dan
tersebar diseluruh tubuhnya dengan warna dasar coklat tua (Lundberg dan
Littmann 2003). Budidaya zungaro belum banyak dilakukan karena sedikitnya
jumlah ikan yang tersedia. Masalah yang dihadapi dalam usaha budidaya zungaro
adalah tingkat kematian yang tinggi pada stadia larva yang disebabkan
kanibalisme.
Kanibalisme merupakan fenomena yang dapat terjadi pada ikan budidaya.
Pada ikan catfish kanibalisme terjadi pada berbagai ukuran atau umur dan meluas
di antara kohort atau kelas umur, tergantung pada spesies dan kondisi lingkungan
(Smith dan Reay 1991). Hal ini biasanya berhubungan dengan variasi ukuran,
ketersediaan pangan yang terbatas, kepadatan ikan yang tinggi, tempat daerah
perlindungan yang terbatas dan kondisi cahaya (Pienaar 1993). Penyebab
kanibalisme dipengaruhi oleh beberapa faktor utama yaitu variasi ukuran dan
ketersediaan pangan. Distribusi ukuran heterogen sering menyebabkan dominasi
sosial hingga menyebabkan perilaku agresif yang mengarah pada kanibalisme
(Hecht dan Appelbaum 1988). Kanibalisme dapat disebabkan oleh heterogenitas
ukuran, karena ikan terkecil yang dikonsumsi oleh yang terbesar, dan dengan
demikian dapat dipandang sebagai penyebab atau konsekuensi dari heterogenitas
ukuran (Baras 1999).
Menurut Dixon (2000) dalam Puspinanti (2006), kanibalisme merupakan
aktivitas melumpuhkan dan memakan sebagian atau seluruh bagian tubuh
individu lain dari jenisnya. Kanibalisme pada ikan umumnya dilakukan oleh ikan
yang berukuran lebih besar terhadap ikan yang berukuran lebih kecil, misalnya
induk memangsa benihnya sendiri. Namun demikian, kanibalisme juga bisa
1
2
terjadi sesama benih, yakni benih-benih ikan sejenis yang seumur dan seukuran
saling memangsa (Amri dan Sihombing 2008). Sifat kanibal pada ikan catfish
muncul mulai dari 40 jam setelah menetas sebelum kuning telur (yolk sack)
terserap habis dan berhenti pada hari ke 3-4 setelah menetas (Slembourck 1996
dalam Marhamah 2010). Masalah tersebut dapat diatasi dengan cara mengatur
kadar salinitas media pemeliharaan (Hernowo 2005).
Salinitas akan mempengaruhi proses osmoregulasi yaitu pada tekanan
osmotik dan konsentrasi ion didalam cairan tubuh hewan air, dalam proses
tersebut terjadi pertukaran ion antara cairan intra sel dan cairan ekstra sel sehingga
komposisi dan konsentrasi ionik seimbang. Pengaturan keseimbangan ion
dilakukan secara pengangkutan aktif dan membutuhkan energi. Besar kecilnya
penggunaan energi akan menentukan tingkat kelangsungan hidup, laju
pertumbuhan, konsumsi makanan dan laju metabolisme (Stickney 1979). Salinitas
optimum berbeda-beda pada ikan tergantung pada daya toleransinya atau sistem
osmoregulasi dalam tubuhnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh salinitas terhadap kanibalisme dan kelangsungan hidup
larva zungaro.
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang diidentifikasi yaitu
seberapa besar pengaruh salinitas dapat menekan tingkat kanibalisme dan
kelangsungan hidup larva zungaro.
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menentukan pengaruh salinitas terhadap
tingkat kanibalisme dan kelangsungan hidup larva zungaro.
3
1.4
Kegunaan penelitian
Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
untuk
pembudidaya ikan hias mengenai pengelolaan salinitas yang dapat menekan
tingkat kanibalisme larva ikan hias zungaro, sehingga memberikan kelangsungan
hidup tertinggi dan meningkatkan produksi ikan hias zungaro.
1.5
Kerangka Pemikiran
Semua makhluk hidup termasuk ikan memerlukan energi untuk
mempertahankan hidupnya. Energi yang diperlukan diperoleh dari makanan yang
diberikan. Selain untuk keperluan metabolisme, energi yang diperoleh juga
digunakan untuk proses osmoregulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Stickney
(1979) yang menyatakan bahwa energi juga dibutuhkan untuk proses
osmoregulasi.
Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan konsentrasi ionik
air, agar sel-sel organ tubuh berfungsi dengan baik maka sel-sel tersebut harus
berada dalam cairan media dengan komposisi dan konsentrasi ionik yang sesuai
dengan kebutuhan, untuk mencapai kondisi tersebut maka diperlukan pengaturan
osmoregulasi (Laela 2004). Holliday (1969) menyatakan bahwa salinitas
merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting untuk mendukung
keberhasilan perkembangan larva. Menurut Anggoro (1992) tingkat osmotik yang
diperlukan ikan berbeda-beda sesuai dengan jenisnya sehingga toleransi terhadap
salinitas pada berbagai jenis ikan berbeda-beda pula. Selain itu, setiap organisme
mempunyai rentan salinitas optimum yang dapat ditolerir dan apabila salintias
keluar dari batas toleransinya dapat menurunkan laju metabolisme dan
menyebabkan organisme tersebut mati karena tidak bisa mengatur homeostatis
cairan tubuhnya.
Menurut Supriharyono (2000), ikan pada fase telur dan fase baru menetas
akan lebih peka terhadap salinitas daripada ketika berada didalam fase
pertumbuhan. Laju metabolisme ikan berbeda seiring dengan perbedaan salinitas.
Ikan akan mengalami laju metabolisme yang lebih lambat pada salinitas tinggi
dibandingkan pada salinitas rendah. Hal ini disebabkan pengeluaran ion dalam
4
osmoregulasi tubuhnya lebih tinggi pada perairan yang memiliki salinitas tinggi,
sehingga menyebabkan laju metabolismenya menurun (Farmer dan Beamish
1969).
Energi yang dibutuhkan untuk osmoregulasi sama dengam nol pada
kondisi isoosmotik (Rao 1969). Ikan yang dipelihara pada media air yang
memiliki salinitas mendekati konsentrasi ion dalam darah, akan menggunakan
lebih banyak energi yang dihasilkan melalui makanan untuk pertumbuhan
daripada untuk proses osmoregulasi. Semakin rendah salinitas maka semakin
sedikit energi yang digunakan untuk keperluan osmoregulasi karena ion-ion yang
harus diseimbangkan sedikit, sehingga semakin banyak energi yang tersedia untuk
metabolisme dan tingkat agresivitas larva tinggi. Sebaliknya ketika salinitas
semakin tinggi maka semakin banyak energi yang digunakan untuk keperluan
osmoregulasi, semakin sedikit energi untuk metabolisme dan tingkat agresivitas
larva akan menurun karena jumlah ion-ion yang harus diseimbangkan semakin
banyak (Stickey 1978).
Menurut Black (1957) dalam Marhamah (2010) Channel catfish yang
tumbuh normal di air tawar dapat menyesuaikan diri sampai salinitas 14 ppt dan
dapat dipelihara di perairan payau. Berdasarkan uji pendahuluan yang telah
dilakukan sebelumnya pada salinitas 0, 5, 10, 15, 20 dan 25 ppt didapatkan bahwa
ikan dapat hidup pada salinitas 20 ppt dan ikan mati pada salinitas 25 ppt.
Menurut Stamatis (2001) dalam Puspinanti (2010) perkembangan sistem
osmoregulasi terjadi selama fase larva dan akan selesai pada akhir fase larva. Hal
ini menyebabkan kemampuan adaptasi larva terhadap salinitas memiliki rentang
yang lebih kecil dibandingkan ikan fase dewasa.
5
Salinitas
Rendah
Tinggi
Semakin sedikit energi untuk
Semakin banyak energi
osmoregulasi
untuk osmoregulasi
Agresivitas tinggi
Agresivitas rendah
Kanibalisme tinggi
Kanibalisme rendah
Salinitas optimum untuk menekan kanibalisme larva sehingga menghasilkan
kelangsungan hidup tertinggi
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka pemikiran
Sumber: Stickey (1978)
1.6
Hipotesis
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diduga bahwa salinitas 15 ppt
merupakan salinitas optimum untuk menurunkan tingkat kanibalisme dan
meningkatkan kelangsungan hidup larva Zungaro.
Download