hiperlaktasemia sebagai prediktor mortalitas 30 hari

advertisement
TESIS
HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR
MORTALITAS 30 HARI
PASKA INFARK MIOKARD AKUT
I PUTU PARWATA JAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS
HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR
MORTALITAS 30 HARI
PASKA INFARK MIOKARD AKUT
I PUTU PARWATA JAYA
1014138203
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR
MORTALITAS 30 HARI
PASKA INFARK MIOKARD AKUT
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I PUTU PARWATA JAYA
1014138203
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 24 MARET 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. dr. I Wayan Wita Sp.JP (K), FIHA, FAsCC
NIP. 19481207 197703 1 001
dr. K. Badjra Nadha Sp.JP (K), FIHA, FAsCC
NIP. 19540815 198112 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik-Combine Degree
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS
NIP 19461213 197107 1 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP. 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 24 Maret 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No:797/UN14.4/HK/2015,
Tanggal 12 Maret 2015
Ketua : Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, SpJP(K), FIHA, FAsCC
Anggota :
1.
dr. I Ketut Badjra Nadha, SpJP(K), FIHA, FAsCC
2.
Prof. Dr.dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH
3.
dr. IGN. Putra Gunadhi, SpJP(K), FIHA
4.
Dr. dr. Ida Iswari, SpMK, M.Kes
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Terwujudnya tesis yang
berjudul ”Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska Infark
Miokard Akut” tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak, sehingga penulis
ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya dan setulustulusnya kepada:
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Putu Astawa,
Sp.OT (K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada
penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas
Udayana.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Raka
Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk
menjadi mahasiswa program pasca sarjana, program studi kekhususan
kedokteran klinik (combined degree).
3. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined
degree), Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.,FAACS, yang telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program
Pasca Sarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).
4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di
Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular dan melakukan penelitian
di RSUP Sanglah Denpasar.
5. Kepala Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran VaskularFakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Dr. IGN Putra Gunadhi, SpJP(K) yang
telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program pendidikan
dokter spesialis I di bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK
UNUD/RSUP Sanglah dan telah memberikan dukungan, semangat serta
masukan selama pembuatan tesis.
6. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I)
Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Prof. Dr. dr. Wayan Wita, SpJP(K)
Sekaligus selaku pembimbing pertama yang dengan tulus ikhlas meluangkan
waktu, tenaga, serta perhatian yang tinggi untuk memberikan dorongan,
bimbingan, dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian
tesis ini. Terima kasih karena telah menjadi orang tua yang senantiasa
mengarahkan, membimbing dan memberikan dukungan selama penulis
menjalani pendidikan PPDS I Kardiologi dan Kedokteran Vaskular.
7. dr. Ketut Badjra Nadha, Sp.JP (K) selaku Ketua Divisi Non Invasif sekaligus
pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan
yang sangat berharga berhubungan dengan penelitian ini sehingga tesis ini
dapat tersusun dengan baik.
8. Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH yang dengan kesediaan
penuh meluangkan waktu, tenaga, serta perhatian yang tinggi untuk
membimbing penulis dengan sabar, sehingga penulis dapat mengerti dengan
baik dan menyelesaikan tesis ini, dan juga sebagai orang tua yang berperan
besar dan mendukung dalam pendidikan PPDS I Kardiologi dan Kedokteran
Vaskular ini.
9. Seluruh staf pengajar Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana yang telah mendidik, memberikan
kesempatan, ijin, serta fasilitas kepada penulis untuk dapat mengikuti Program
Pendidikan Dokter Spesialis Kardiologi dan Kedokteran Vaskular serta
menyelesaikan tesis ini.
10. Ketua Tim dan anggota Tim Penguji tesis ini yang telah memberikan
pemecahan serta masukan yang bermanfaat guna perbaikan tesis ini.
11. Yang teristimewa untuk kedua orang tua saya tercinta, Drs. I Made Nuada dan
Ni Nyoman Sukadani, yang telah memberikan, doa, kasih sayang tanpa batas,
semangat, dan dukungan moril materil kepada penulis selama mengikuti
pendidikan ini sehingga dapat dijalani dengan baik.
12. Yang tercinta istri saya drg. Putu Ayu Dewantari yang telah banyak
memberikan dukungan moral, tenaga, dan pikiran kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan dengan baik tesis ini.
13. Seluruh keluarga besar saya Agus Putu Krisnajaya, I Made Sugiada, Ni Made
Fitri Astuti, I Nyoman Darmada dan yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu serta mertua saya Drs. I Nyoman Sucita, M.M. dan Ni Wayan Seriasih
S.Pd yang telah memberikan dukungan selama proses pendidikan dan
pembuatan tesis ini.
14. Rekan-rekan residen kardiologi yang saya cintai, teman seangkatan saya dr
Suryawati dan dr. Meswariasti yang telah berjuang bersama-sama dari awal
masa pendidikan yang sangat berat ini, baik dalam suka maupun duka. dr Erna
Bagiari dan dr Satria Yuda Dewangga yang saya banggakan yang telah sangat
banyak membantu dan membimbing saya dalam menyelesaikan tesis ini.
Kepada teman-teman PPDS yang telah banyak membantu dalam penelitian
ini, antara lain dr. Kiki, dr. Wulan, dr. Mirah, dr. Widya, dr. Rani, dr. Suma,
dan dr. Sudiarta. Kepada rekan-rekan sahabat Karna (dr. Hendy, dr. Krisna, dr.
Susila Surya Dharma SpJP, dr. I Putu Gede Budiana, dan lain-lain) yang telah
memberikan senyuman dan keceriaan sehingga menguatkan saya dalam
menjalani proses pendidikan ini.
15. Teman-teman sekretariat tercinta, Mbak Candra, Mbak Dian, Mbak Andi, dan
Pak Ketut yang selalu mendukung, membantu, dan bekerja sama dalam segala
hal selama pendidikan spesialis ini.
16. Teman-teman perawat di UGD, ICCU, dan Poliklinik PJT yang bersama-sama
bahu-membahu dalam bekerja sehingga membuat masa pendidikan ini
menyenangkan bila bekerja bersama kalian.
Akhir kata, dengan iringan doa semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa
memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala amal baik yang diberikan
kepada penulis, dan semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Denpasar, Februari 2015
Penulis,
dr. I Putu Parwata Jaya
ABSTRAK
HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS 30 HARI
PASKA INFARK MIOKARD AKUT
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas yang utama di negara maju serta menjadi masalah kesehatan yang
penting di negara berkembang. Hiperlaktasemia secara umum merupakan hasil
metabolisme anaerob akibat dari oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Iskemi
miokardium akan mengakibatkan penurunan pembentukan ATP dari oksidasi
posforilasi dan terjadi konversi pyruvate menjadi laktat di sitosol dalam kecepatan
yang sangat tinggi sehingga mengakibatkan penumpukan laktat jaringan.
Hiperlaktasemia merupakan suatu penanda stress metabolik dan derajat
keparahannya dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Pengukuran kadar laktat secara serial akan memberikan keuntungan dibandingkan
dengan pemeriksaan sekali waktu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hiperlaktasemia sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska IMA.
Penelitian ini merupakan studi observasional kohort prospektif yang
mengikutsertakan 121 pasien IMA sebagai subjek penelitian berdasarkan
consecutive sampling. Pemeriksaan kadar laktat dilakukan menggunakan darah
kapiler yang diambil saat pasien masuk rumah sakit dan 2 jam kemudian dengan
menggunakan Accutrend lactate meter. Penentuan kadar laktat yang dianggap
sebagai hiperlaktasemia dilakukan dengan membuat kurve ROC. Kemudian
pasien diikuti sampai 30 hari untuk menilai adanya mortalitas.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa hiperlaktasemia dengan kadar laktat ≥
4,4 mmol/L merupakan prediktor mortalitas 30 hari paska IMA sebesar 3 kali
lipat (HR=3,33, 95% CI 1,084-10,210, nilai p= 0,036) dan variabel Killip kelas
(HR: 2,814, 95% CI: 1,786-4,435; p <0,001) serta kadar hemoglobin darah (HR:
0,810, 95% CI: 0,672-0,978; p = 0,28) sebagai variabel perancu.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hiperlaktasemia merupakan prediktor
mortalitas 30 hari paska IMA. Disamping itu didapatkan juga bahwa kelas Killip
dan kadar hemoglobin darah merupakan variabel perancu.
Kata Kunci: Infark Miokard Akut, Hiperlaktasemia, dan Mortalitas.
ABSTRACT
HYPERLACTEMIA AS MORTALITY PREDICTOR WITHIN 30 DAYS
AFTER ACUTE MYOCARDIAL INFARCTION
Acute myocardial infarction (AMI) is a major cause of morbidity and
mortality in deleveloped countries and an important health problem in developing
countries. Generally, hyperlactemia is an anaerob metabolism product as a result
of indeaquate tissue oxygenation. Myocardial ischemia will cause decrease of
ATP formation from phosporylation oxydation and pyruvate conversion into
lactate in sitosol with very high speed that cause tissue lactate accumulation.
Hyperlactemia is a metabolic stress marker and its severity level associated with
increase morbidity and mortality. Serial lactate levels measurement will give more
advantage than only one time. The aim of this study is to investigate
hyperlactemia as mortality predictor 30 days post AMI.
This study was a prospective cohort observational study and 121 acute
myocardial infarction patients were included as subjects with consecutive
sampling. Lactat levels measurement used capillary blood when the patients
admitted and 2 hours after using Accutrend lactate meter. ROC curve was used to
determine hyperlactemia level. Patients were followed until 30 days to evaluate
mortality.
The result of this study was hyperlactemia with lactate levels ≥ 4,4 mmol/L
was a threefold mortality predictor 30 days after AMI (HR=3,33, 95% CI 1,08410,210, p value= 0,036) and Killip class (HR: 2,814, 95% CI: 1,786-4,435; p
<0,001) and hemoglobin levels (HR: 0,810, 95% CI: 0,672-0,978; p = 0,28) as a
confounding factors.
In conclusion, hyperlactemia is a mortality predictor 30 days after acute
myocardial infarction. Beside of that, Killip class and hemoglobin levels are
confounding factors.
Key words: acute myocardial infarction, hyperlactemia, and mortality
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM .................................................................................................. i
PRASYARAT GELAR ........................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING. ....................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.........................................................v
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................. xi
ABSTRACT .......................................................................................................... xii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xviii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ...........................xx
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xxii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................9
1.3Tujuan Penelitian ....................................................................................9
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................9
1.4.1 Manfaat akademik .........................................................................9
1.4.2 Manfaat praktis..............................................................................9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...............................................................................10
2.1 Definisi Infark Miokard Akut (IMA) ..................................................10
2.2 Patofisiologi ........................................................................................12
2.3 Vulnerable Plaque ...............................................................................12
2.4 Patogenesis IMA .................................................................................13
2.5 Morfologi Plaque dan Lokasi Trombus pada IMA .............................14
2.6 Metabolisme Miokardium ...................................................................15
2.6.1 Metabolisme miokardium pada kondisi sehat............................15
2.6.2 Metabolisme miokardium saat iskemia .....................................19
2.7 Mekanisme Injuri Miokardium ...........................................................20
2.8 Perjalanan Miokard Infark, Penentu Ukuran Infark dan
Remodeling Ventrikel ........................................................................ 21
2.9 Tata Laksana Infark Miokard Akut (IMA) .........................................23
2.10 Komplikasi dan Kematian pada Infark Miokard Akut .......................25
2.10.1 Aritmia dan mati mendadak .....................................................25
2.10.2 Shock kardiogenik ....................................................................26
2.10.3 Ruptur myocardial free wall ....................................................26
2.10.4 Right-side and atrial infarction ...............................................27
2.10.5 Efusi perikardium dan perikarditis...........................................27
2.10.6 Gagal jantung kongestif kronis ................................................28
2.10.7 Trombus mural dan embolisasi ................................................28
2.10.8 Kematian pada IMA .................................................................29
2.11 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mortalitas IMA ...........................30
2.12 Produksi Normal Laktat ......................................................................34
2.12.1 Laktat dan asam laktat .............................................................35
2.12.2 NADH dan NAD+ ....................................................................36
2.13 Penyebab Hiperlaktasemia ..................................................................37
2.14 Peran Laktat Pada Mortalitas ..............................................................39
2.15 Alat Pengukur Kadar Laktat ...............................................................40
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ........................................................................................... 44
3.1 Kerangka Berpikir ...............................................................................44
3.2 Konsep ................................................................................................45
3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................................46
BAB IV METODE PENELITIAN .....................................................................47
4.1 Rancangan Penelitian ..........................................................................47
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..............................................................47
4.2.1 Lokasi penelitian ........................................................................47
4.2.2 Waktu penelitian ........................................................................48
4.3 Penentuan Sumber Data ......................................................................48
4.3.1 Populasi target ............................................................................48
4.3.2 Populasi terjangkau ....................................................................48
4.3.3 Sampel penelitian .......................................................................48
4.3.4 Kriteria eligibilitas .....................................................................48
4.3.4.1 Kriteria inklusi ...................................................................48
4.3.4.2 Kriteria eksklusi .................................................................48
4.3.5 Besaran sampel ..........................................................................49
4.3.6 Teknik pengambilan sampel ......................................................49
4.4 Variabel Penelitian ..............................................................................49
4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel penelitian .........................49
4.4.2 Definisi operasional variabel ....................................................51
4.5 Bahan Penelitian .................................................................................57
4.6 Instrumen Penelitian ...........................................................................57
4.7 Prosedur Penelitian .............................................................................57
4.7.1 Tata cara penelitian ....................................................................57
4.7.2 Prosedur pengumpulan data .......................................................58
4.7.3 Alur penelitian ..........................................................................59
4.8 Analisis Data .......................................................................................61
BAB V
HASIL PENELITIAN ........................................................................64
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ..........................................................66
5.2 Analisa Kurve ROC ............................................................................67
5.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA .....69
5.4 Pengaruh Hiperlaktasemia Terhadap Mortalitas 30 hari Paska IMA
setelah Dikontrol dengan Variabel lain ............................................ 71
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................75
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ..........................................................79
6.2 Analisis Kurve ROC ...........................................................................87
6.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA .....88
6.5 Keterbatasan Penelitian .......................................................................98
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................100
7.1 Simpulan ...........................................................................................100
7.2 Saran .................................................................................................100
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................102
Lampiran-lampiran ...............................................................................................108
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1
Penyebab Hiperlaktasemia (Peningkatan Produksi dan Penurunan
clearance ........................................................................................................ 38
2.2
Penilaian Accutrend Lactate Meter ................................................................ 43
5.1
Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Demografi dan Presentasi
Klinis .............................................................................................................. 66
5.2
Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Laboratorium ......................... 67
5.3
Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Faktor Risiko
Kardiovaskular ............................................................................................... 67
5.4
Hazard Ratio (HR) Terjadinya Mortalitas 30 hari Paska IMA ...................... 71
5.5
Model Dasar Hasil Analisis Cox Proportional Hazards Regression
Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA ................ 73
5.6
Model Akhir Analisis Cox Proportional Hazards Regression
Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA ................ 73
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1
Patofisiologi dan Epidemiologi Sindrom Koroner Akut ............................... 13
2.2
Ruptur Vulnerable Plaque dengan Konsekuensi Trombosis ......................... 14
2.3
Metabolisme Miokardium pada Kondisi Aerobik.......................................... 16
2.4
Metabolisme Energi di Mitokondria .............................................................. 17
2.5
Oksidasi Pyruvate pada Kondisi Aerobik ...................................................... 18
2.6
Metabolisme Miokardium selama Iskemia .................................................... 19
2.7
Perjalanan Infark Miokard ............................................................................. 23
2.8
Vicious Cycle Circulatory Regulation ........................................................... 30
2.9
Glikolisis, Siklus Kreb dan Oksidasi Phosforilasi ......................................... 35
2.10
Disosiasi Asam Laktat.................................................................................... 35
2.11
The Ox-phos Shuttle ....................................................................................... 36
3.1
Konsep Penelitian........................................................................................... 45
4.1
Rancangan Penelitian ..................................................................................... 47
4.2
Hubungan antar Variabel ............................................................................... 50
4.3
Gambar Alur Penelitian.................................................................................. 60
5.1
Grafik Jumlah Sampel Penelitian ................................................................... 65
5.2
Kurva ROC dalam Menentukan Cutt of Point Hiperlaktasemia .................... 68
5.3
Grafik Populasi Sampel Berdasarkan Kadar Laktat....................................... 68
5.4
Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas 30 hari
Paska IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia ..................................................... 69
5.5
Grafik Karakteristik Mortalitas Berdasarkan Kadar Laktat ........................... 70
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH
ACE
:
Angiotensin Converting Enzym
ARV
:
Anti Retro Viral
ATP
:
Adenoisne Triphosphat
CABG
:
Coronary Artery Baypass Surgery
CCBs
:
Calcium Channel Blockers
CI
:
Convidence Interval
CKMB
:
Creatinin Kinase tipe MB
CoA
:
Coenzym A
EKG
:
Elektrokardiografi
ESC
:
European Society of Cardiology
FADH
:
Flavin Adenine Dinucleotide
HDL
:
High Density Lipoprotein
IABP
:
Intra Aortic Ballon Pump
IMA
:
Infark Miokard Akut
LBBB
:
Left Bundle Branch Block
LDH
:
Laktat Dehidrogenase
LDL
:
Low Density Lipoprotein
LED
:
Light Emitting Diode
LFG
:
Laju Filtrasi Glomerulus
LMWH
:
Low-molecular-weight heparins
NAD
:
Nicotinamide Adenine Dinucleotide
NADH
:
Nicotinamide Adenine Dinucleotide
NPV
:
Negative Predictive Value
NSTEMI
:
Non ST Elevation Myocardial Infarction
OR
:
Odds Ratio
PDH
:
Pyruvate Dehydrogenase
PJK
:
Penyakit Jantung Koroner
PCI
:
Percutaneous Coronary Intevention
RR
:
Risiko Relatif
RTI
:
Ruang Terapi Intensive
SKA
:
Sindrom Koroner Akut
STEMI
:
ST Elevation Myocardial Infarction
SMC
:
Smooth Muscle Cell
SID
:
Strong Ion Difference
SIRS
:
Systemic Inflamatory Response Syndrome
TIMI
:
Thrombolysis in Myocardial Infarction
TRACS
:
Thai Registry of Acute Coronary Syndrome
UFH
:
Unfractionated Heparin
UGD
:
Unit Gawat Darurat
UPIJ
:
Unit Perawatan Intensif Jantung
UAP
:
Unstable Angina Pectoris
WBC
:
White Blood Cell
WHO
:
World Health Organization
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Informasi / Penjelasan Penelitian .............................................................110
2. Persetujuan setelah Penjelasan .................................................................112
3. Lembar Pengumpulan Data ......................................................................113
4. Hasil Analisa Data....................................................................................119
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan status sosial, ekonomi dan gaya hidup masyarakat pada masa kini
telah mengakibatkan pergeseran dalam kejadian penyakit infeksi yang dulunya
mendominasi ke arah penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular.
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini
merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan
berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2020 PJK di seluruh dunia
diperkirakan menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari seluruh
kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kanker. Di
Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem
sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni
sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang
disebabkan oleh kanker (6%) (Muchid dkk, 2006).
Penyakit kardiovaskular mengenai hampir 80 juta individu di Amerika
Serikat dalam sekali kehidupannya. Diperkirakan sekitar setengah individu ini
berumur ≥ 65 tahun. World Health Organization (WHO) menyatakan angka
kematian akibat kelainan kardiovaskular akan terus meningkat sampai tahun 2030,
dan kematian akibat penyakit menular akan berkurang (Bavry dan Bhatt, 2009).
Pada tahun 2006 di Amerika diperkirakan 16,8 juta (7,6%) penduduk
mengalami penyakit jantung koroner dan diperkirakan sebesar 935 ribu orang
mengalami infark miokard akut (IMA) pada tahun tersebut dan diperkirakan lebih
dari 150 ribu mengalami kematian. Pada tahun 2009 diperkirakan setiap 25 detik
terjadi satu kejadian koroner dan setiap menit terjadi satu kematian (Man dkk,
2010).
The Thai Registry of Acute Coronary Syndrome (TRACS) melaporkan bahwa
dari data yang dikumpulkan dalam kurun waktu Oktober 2007 sampai Desember
2008 terhadap 2007 pasien, didapatkan angka kejadian ST elevation miocardial
infarction
(STEMI) sebesar 55%, non ST elevation miocardial infarction
(NSTEMI) 33% dan unstable angina pectoris (UAP) sebesar 12% dimana angka
mortalitas rumah sakit dari pasien STEMI adalah sebesar 5,3%, NSTEMI sebesar
5,1%, dan pasien UAP sebesar 1,7% (Srimahachota dkk, 2012 ).
Infark miokard mengakibatkan 15 years life lost pada individu yang
mengalaminya dan angka mortalitas 5 tahun pasien dengan umur >70 tahun
sebesar 50%. Data dari contemporary randomized clinical trial, pasien yang
masuk rumah sakit dengan NSTEMI didapatkan angka kematian dalam 30 hari
sekitar 3%. Data register lain
menunjukkan angka kematian 30 hari pasien
NSTEMI sebesar 5,1% dimana hampir sama atau sedikit lebih rendah
dibandingkan STEMI dengan ST depresi resiprokal (6,6%). Pada populasi pasien
STEMI yang tidak diseleksi dengan terapi trombolisis didapatkan angka mortalitas
30 hari sebesar 10%. Meskipun early outcome hampir sama pada spektrum SKA,
pasien dengan NSTEMI memiliki angka late mortality yang lebih tinggi (8,9%
dalam 6 bulan) dibandingkan dengan STEMI (6,8% dalam 6 bulan) (Bavry dan
Bhatt, 2009).
Menurut Chiara seghieri dkk penyakit jantung koroner merupakan penyebab
utama kematian di dunia dan meneliti mengenai mortalitas rumah sakit 30 hari
paska infark miokard akut, dimana penelitian ini menilai mengenai mortalitas oleh
karena berbagai sebab di rumah sakit dalam 30 hari dan dari 5832 pasien,
didapatkan 7,99% pasien meninggal dalam 30 hari setelah masuk rumah sakit dan
mortalitas rumah sakit dalam 30 hari secara signifikan lebih tinggi pada pasien
STEMI (9,89%) dibandingkan dengan NSTEMI (6,29%) dengan nilai p
<0,001(Seghieri dkk, 2012).
Borzecki dkk menilai kemampuan rumah sakit dalam mengukur mortalitas
rumah sakit dan 30 hari pada beberapa kondisi klinis dimana didalamnya
termasuk pasien dengan diagnosis IMA, dimana didapatkan bahwa penilaian
mortalitas 30 hari memiliki validitas yang lebih baik dalam mengukur
kemampuan rumah sakit menilai kedua mortalitas tersebut (Borzecki dkk, 2010).
Berdasarkan indikator kesehatan negara Canada tahun 2011 didapatkan
bahwa angka mortalitas 30 hari IMA di rumah sakit memiliki korelasi yang kuat
terhadap total mortalitas baik di rumah sakit dan di luar rumah sakit yang
menyertai IMA dengan nilai r = 0,9. Dimana angka mortalitas 30 hari IMA di
rumah sakit (30-day acute myocardial infarction in-hospital mortality rate)
didefinisikan sebagai risk-adjusted rate dari semua penyebab kematian di rumah
sakit yang terjadi dalam 30 hari sejak awal perawatan dengan diagnosis IMA
(Ferguson dkk, 2011).
Pasien IMA yang mampu bertahan dari serangan jantung dalam
perjalanannya akan menghadapi berbagai risiko kejadian kardiovaskular seperti
kematian, serangan IMA berulang, gagal jantung, aritmia, angina dan stroke.
Outcome jangka pendek seperti mortalitas dilaporkan bervariasi antara studi satu
dengan lainnya dimana tergantung dari populasi yang digunakan. Berbagai trial
biasanya akan memiliki keterbatasan akibat kriteria inklusi dan eksklusi yang
dipergunakan (Wilson dkk, 2014).
Mortalitas jangka pendek pasien IMA baik mortalitas rumah sakit maupun 30
hari dikatakan mengalami penurunan dalam 30 tahun terakhir. Mortalitas 30 hari
setelah IMA dikatakan sekitar 5%. Pasien STEMI memiliki angka mortalitas 30
hari sekitar 2,5%-10%. Pada pasien STEMI didapatkan mortalitas 30 hari sebesar
13% dengan medikamentosa dibandingkan dengan 6%-7% bila menggunakan
terapi fibrinolisis, dan sekitar 3%-5% pada pasien dengan PCI dalam 2 jam onset
nyeri. Literatur lain menyebutkan mortalitas 30 hari STEMI sebesar 11.1%-14%
(Wilson dkk, 2014).
Mortalitas rumah sakit dan 30 hari pasien NSTEMI dikatakan lebih rendah
dibandingkan dengan STEMI. Angka mortalitas rumah sakit dan dalam 6 bulan
dikatakan tidak berbeda bermakna pada pasien NSTEMI yang dilakukan strategi
invasive. Worcester Heart Attack Study didapatkan angka kasus yang fatal dalam
30 hari sebesar 14%. Mortalitas jangka pendek pasien NSTEMI dikatakan lebih
rendah dibandingkan dengan STEMI yang dilakukan PCI primer dalam 2 jam
MRS sekitar (2%-4% vs 3%-8%).GRACE and Euro Heart registries mendapatkan
outcome jangka pendek pasien NSTEMI dibandingkan dengan STEMI 5%-7% vs
7%-9.3% (Wilson dkk, 2014).
Stratifikasi risiko pasien IMA biasanya dititik beratkan pada dua komponen
yaitu identifikasi secara dini pasien yang mengalami iskemik berulang di rumah
sakit dan identifikasi pasien yang memiliki risiko kematian akibat aritmia maupun
tidak. Pasien IMA memiliki risiko untuk mengalami kematian jantung mendadak
yang sering diakibatkan oleh takiaritmia ventrikel. Namun demikian tidak semua
pasien memiliki risiko yang sama untuk mengalami henti jantung mendadak
(Podrid dan Ganz, 2014).
VALIANT trial mendapatkan risiko terjadinya kematian mendadak pada IMA
meningkat pada awal bulan setelah serangan dimana studi terhadap 14.609 pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung setelah IMA didapatkan angka
kematian jantung mendadak atau resusitasi akibat henti jantung sekitar 1,4% pada
bulan pertama dibandingkan dengan 0,14% setelah 2 tahun. Angka kejadian
dalam bulan pertama 2,3% pada pasien dengan LVEF <30%. Salah satu
community-based (Olmsted County) kohort 2997 setelah IMA yang memasukkan
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dimana insiden kumulatif henti jantung
mendadak sekitar 1,2%. Setelah bulan pertama maka angka ini akan
menurun1,2% setiap tahunnya (nilai ini sepertiga kali lebih rendah dibandingkan
dengan populasi umum) (Podrid dan Ganz, 2014).
Telah terjadi perkembangan yang bermakna dalam mendeteksi injuri
miokardium dan nekrosis dalam beberapa dekade terakhir, sehingga terjadi
perkembangan definisi IMA setiap waktu. Pada awal tahun 1950, world health
organization (WHO) menggunakan data epidemiologi untuk mendefinisikan IMA
berdasarkan dua dari beberapa kriteria berikut : 1. Simptom klinis iskemia
miokardium, 2. Abnormalitas elektrokardiogram (EKG), 3. Peningkatan marker
nekrosis miokard (Gogo dkk, 2010).
Mekanisme terjadinya IMA adalah disebabkan oleh proses pengurangan
pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard yang dipicu oleh adanya robekan
plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi, trombosis,
vasokonstriksi dan mikroembolisasi (Muchid dkk, 2006).
Terganggunya aliran darah mengakibatkan gangguan pada keseimbangan
ketersediaan dan kebutuhan oksigen miokardium. Apabila kebutuhan oksigen
miokard melebihi ketersediaan yang bisa disediakan oleh pembuluh darah
koroner, maka akan mengakibatkan metabolisme miokardium beralih dari
metabolisme aerob menjadi anaerob yang akan mengakibatkan akumulasi laktat
dan penurunan PH selular (Attana dkk, 2012).
Penegakan diagnosis IMA dengan beberapa klasifikasinya dilakukan dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG),
dan pemeriksaan marka jantung. Penegakan diagnosis IMA akan lebih sulit pada
pasien dengan keluhan nyeri dada yang tidak spesifik atau atipikal (Kabo, 2010,
Irmalita dkk, 2014). Sensitivitas EKG dengan menggunakan kriteria iskemia (ST
depresi dan T inversi) yang ketat dalam menentukan IMA hanya sebesar 16%.
Demikian juga sensitivitas kadar puncak troponin-I dikatakan hanya sebesar 40%.
Sebagian besar pemeriksaan laboratorium yang dilakukan seperti myoglobin,
Creatinin Kinase type MB (CK-MB), serta troponin sangat bergantung pada
kerusakan sel otot jantung yang mengalami iskemik dan mengakibatkan
kerusakan atau nekrosis sel otot jantung sehingga melepaskan enzim ke dalam
serum dan kurang memperhitungkan pengukuran perubahan fisiologis yang terjadi
pada jantung (Kwong dkk, 2003). Pemeriksaan marka jantung ini memiliki
sensitivitas yang rendah bila dilakukan sebelum 4 sampai 6 jam mulainya
keluhan, dimana dikatakan CK-MB dan troponin I dan T memiliki sensitivitas
yang hampir sama sebesar 35% (Achar dkk, 2005). Studi yang dilakukan oleh
Gatien dkk terhadap performa laktat awal terhadap infark miokard berdasarkan
kriteria European Society of Cardiology (ESC) didapatkan bahwa sensitivitas
laktat sebesar 88%. Dengan sensitivitas yang cukup tinggi ini maka laktat dapat
dipakai sebagai parameter dalam manajemen dan triage pasien dengan presentasi
nyeri dada (Gatien dkk, 2005). Saat ini telah tersedia alat pemeriksaan kadar laktat
yang cepat sehingga akan menghemat waktu yang diperlukan dibandingkan
dengan pemeriksaan di laboratorium (Gaieski dkk, 2011).
Asam laktat diisolasi pertama tahun 1780 oleh Carl Wilhelm Scheele, dimana
dikenal sebagai parameter yang berfungsi untuk mengukur dan juga memiliki
peran dalam menentukan diagnosis dan atau prognosis pada situasi klinis yang
berbeda. Peran nilai prognostik negatif hiperlaktasemia pada pasien kritis sudah
banyak diketahui, namun data mengenai peran laktat pada kelainan jantung akut
masih jarang (Attana dkk, 2012).
Asam laktat merupakan produk dari glikolisis anaerob yang meningkat pada
kondisi hipoperfusi jaringan, dan akan segera dibuffer ke sirkulasi menjadi laktat.
Stadium hipoperfusi regional sering ditemukan pada infark miokard akut
meskipun dalam keadaan tekanan darah normal. Pada kondisi basal, miokardium
mendapatkan atau mengekstraksi laktat dari dan ke sirkulasi, namun pada kondisi
iskemia kemampuan ini akan terganggu, sehingga iskemia miokardium dapat
menyebabkan peningkatan kadar laktat dalam sirkulasi melalui kedua mekanisme
ini (Gatien dkk, 2005).
Hiperlaktasemia diketahui sebagai penanda terhadap respon stress metabolik
dan tingkat severitasnya berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada pasien
kritis. Pada keadaan pasien dengan hemodinamik stabil keberadaan laktat dapat
menandakan adanya hipoperfusi yang tersembunyi (Lazzeri dkk, 2010).
Vermeulen dkk menyatakan pada pasien STEMI dengan kadar laktat lebih
tinggi dari normal berhubungan dengan peningkatan mortalitas 30 hari dan
memperburuk outcome percutaneous coronary intervention (PCI). Studi Lazzeri
dkk terhadap 253 pasien STEMI non diabetik yang dilakukan PCI, menunjukkan
kadar laktat saat masuk rumah sakit secara independent sebagai prediktor
mortalitas di unit perawatan jantung intensif (Attana dkk, 2012).
Sebagian besar penelitian mengenai laktat di atas dilakukan untuk menilai
peran laktat dalam sekali pemeriksaan sebagai prediktor mortalitas pada pasien
kritis di ruang terapi intensif dan beberapa studi telah menilai peran laktat sebagai
prediktor mortalitas terhadap pasien STEMI terutama yang dilakukan intervensi
revaskularisasi dengan PCI.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dilakukan penelitian
mengenai peningkatan kadar laktat sebagai prediktor mortalitas pasien infark
miokard akut (IMA) dengan melakukan pemeriksaan kadar laktat secara serial
pada saat pasien masuk rumah sakit dan 2 jam setelah perawatan.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah hiperlaktasemia
dapat dipergunakan sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska infark miokard
akut?
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah hiperlaktasemia
dapat dipergunakan sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska infark miokard
akut?
1.4.
Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat
pada perkembangan ilmu pengetahuan dan dalam bidang pengabdian masyarakat
seperti berikut:
1.4.1. Manfaat akademik
Untuk memperkaya evidence atau bukti yang bersifat akademis
tentang pengaruh hiperlaktasemia terhadap mortalitas 30 hari pasien
IMA.
1.4.2. Manfaat praktis
Sebagai pedoman dalam monitoring dan pelayanan pengobatan
pasien IMA.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Infark Miokard Akut (IMA)
Infark miokard dapat didefinisikan dalam beberapa perspektif yang berbeda
tergantung dari temuan klinis, elektrokardiografi (EKG), karakteristik biokomia
dan patologi. Telah disepakati bahwa terminologi infark miokard menunjukkan
adanya kematian miosit jantung akibat dari iskemia berkepanjangan. Gambaran
EKG dapat menunjukkan iskemia miokard berupa perubahan gelombang ST dan
T spesifik, atau nekrosis miokard dengan perubahan gelombang QRS yang
spesifik (Werf dkk, 2003).
Definisi infark miokard akut (IMA) adalah adanya simptom klinis yang
memenuhi, disertai juga antara lain dengan ; 1. Pasien dengan elevasi segmen ST
yang baru dengan J point ≥ 0,2 mV pada sadapan V1 sampai dengan V3 dan ≥ 0,1
mV pada sadapan yang lain, atau 2. Pasien tanpa elevasi segmen ST seperti
depresi segmen ST atau gelombang T yang abnormal. Infark miokard secara klinis
juga dapat didefinisikan sebagai gelombang Q pada sadapan V1 sampai V3, atau
gelombang Q ≥ 0,03 detik pada sadapan I, II, aVL, aVF, V4, V5, atau V6. Infark
miokard dapat diketahui juga bila terjadi peningkatan biomarker pada seting
iskemik miokard akut. Biomarker yang lebih direkomendasikan untuk kerusakan
miokard adalah troponin I atau T dimana memiliki nilai spesifisitas terhadap
kerusakan miokard dan juga dengan sensitivitas yang baik. Alternatif biomarker
yang baik adalah CK-MB dimana memiliki spesifisitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan troponin tetapi memiliki spesifisitas klinis terhadap injuri
yang irreversibel. Dikatakan terjadi peningkatan nilai troponin atau CK-MB
apabila melebihi persentil 99th dari populasi (Werf dkk, 2003).
Pada awal tahun 1950, world health organization (WHO) menggunakan data
epidemiologi untuk mendefinisikan IMA berdasarkan dua dari beberapa kriteria
berikut
:
1.
Simptom
klinis
iskemia
miokardium,
2.
Abnormalitas
elektrokardiogram (EKG), 3. Peningkatan marker nekrosis miokard (Man dkk,
2010).
IMA juga didefiniskan sebagai suatu nekrosis miokard yang disertai dengan
presentasi klinis iskemia miokard. Diagnosis IMA ditegakkan dengan adanya
peningkatan dan atau penurunan biomarker jantung (lebih disarankan troponin)
dengan nilai lebih dari batas atas 99th persentil dan salah satu dari kondisi berikut:
simptom iskemia, perubahan EKG yang mengindikasikan iskemia yang aktif
(perubahan gelombang ST segmen-T atau left bundle branch block (LBBB)), atau
temuan abnormalitas regional wall motion dari pemeriksaan imaging atau
kehilangan viabilitas miokardium. Tipe IMA sesuai dengan etiologinya dapat
digolongkan sebagai berikut; 1. IMA spontan akibat kejadian koroner seperti erosi
plak arteri koroner atau ruptur, fisura dan diseksi, 2. IMA akibat ketidak
seimbangan kebutuhan dan suplai oksigen seperti spasme arteri koroner, emboli
koroner, anemia, aritmia, hipertensi atau hipotensi, 3. Henti jantung mendadak, 4.
IMA yang berhubungan dengan intervensi koroner perkutan, 5. IMA berhubungan
dengan bedah pintas koroner (Man dkk, 2010).
2.2. Patofisiologi
Aterosklerosis digunakan sebagai istilah penyakit yang diakibatkan oleh
gangguan penyimpanan lemak. Berdasarkan pada teori konvensional, fatty streaks
(stadium awal dari atheroma) berkembang menjadi complicated plaques melewati
multiplikasi smooth muscle cells disekitar plak, dimana dibawahnya terdapat
banyak matrik ekstraselular. Perkembangan plak di arteri koroner akan
mengakibatkan mengecilnya lumen arteri hingga akhirnya mengakibatkan
terganggunya aliran darah dan mengakibatkan infark miokard. Namun demikian
kemajuan di bidang biologi vaskular terbaru menunjukkan bahwa aterosklerosis
merupakan systemic immune-mediated inflammatory disease yang mengenai arteri
berukuran sedang dan besar dimana berbagai macam sel seperti sel endotel,
leukosit, intimal smooth muscle cells berperan didalamnya. Dan telah dibuktikan
bahwa inflamasi memiliki peran yang fundamental dalam perjalanan stadium
aterosklerosis dari inisiasi sampai konsekuensi perjalanannya yang dapat
mengakibatkan kematian seperti serangan jantung dan stroke (Eftekhari dkk,
2008).
2.3 Vulnerable Plaque
Pada awal tahun 1980, Falk menyatakan bahwa plak aterosklerosis yang
ruptur mengakibatkan 40 dari 51 trombus arteri koroner dan 63 perdarahan intima.
Dia juga menyatakan bahwa fragmen plak akan tertanam di dalam trombus
dipermukaan plak atheroma. Di akhir tahun 1980, Muller dkk menyatakan bahwa
langkah awal dari trombosis koroner akut adalah terbentuknya vulnerable
atherosclerotic plaque. Vulnerable plaque merupakan perkusor yang poten dari
plak yang tidak stabil, dimana hal ini mengarah kepada plak aterosklerosis
koroner yang menjadi tidak stabil dan dapat menginduksi sindrom koroner akut.
Karakteristik struktur dari vulnerable plaque terdiri dari volume yang cukup
banyak, positif remodeling, infiltrasi sel inflamasi dari fibrous cap di daerah inti
“shoulder regions” dan adventisia, peningkatan neovascular, central lipid core
>40% dari total area lesi dan fibrous cap yang tipis. Plak ini akan vulnerable
terhadap stres mekanikal atau inflamasi yang dapat mengganggu struktur
kolagennya. Meskipun demikian, sampai saat ini tidak mungkin dapat diprediksi
bagaimana dan kapan struktur vulnerable plaque menjadi tidak stabil.(Eftekhari
dkk, 2008).
Gambar 2.1. Patofisiologi dan Epidemiologi Sindrom Koroner Akut
(Eftekhari dkk, 2008)
2.4 Patogenesis IMA
Ruptur plak arteri koroner disertai dengan trombosis merupakan penyebab
dasar dari sebagian besar SKA dan diperkirakan sekitar 70% infark miokard akut
(IMA) dan sudden coronary deaths (Eftekhari dkk, 2008).
Sindrom koroner akut hampir selalu diakibatkan oleh penurunan mendadak
aliran darah koroner akibat aterosklerosis yang akan merangsang trombosis
dengan atau tanpa vasokontriksi. Presentasi klinis dan outcome sangat dipengaruhi
oleh lokasi obstruksi, berat serta lamanya iskemia miokard. Sekitar sepertiga
sampai tigaperempat
trombus koroner yang fatal diakibatkan oleh ruptur
mendadak dari vulnerable plaque (inflamasi, plak yang kaya lipid dengan fibrous
cap yang tipis). Mekanisme lain yang lebih sedikit adalah erosi plak. Infark
miokard akibat dari oklusi arteri koroner yang komplit akan terjadi dalam 15-30
menit setelah iskemia yang berat (tanpa aliran kolateral) dan akan berjalan dari
subendokardium menuju subepikardium seiring dengan waktu (Eftekhari dkk,
2008).
Gambar 2.2 Ruptur Vulnerable Plaque dengan Konsekuensi Trombosis
(Eftekhari dkk, 2008)
2.5 Morfologi Plaque dan Lokasi Trombus pada IMA
Sebagian besar IMA akan terjadi pada pasien dengan aterosklerosis arteri
koroner dan >90% berhubungan dengan superimposed luminal trombus. Arbustini
dkk menemukan trombus koroner pada 98% pasien yang meninggal dengan
tampilan klinis terbukti IMA dan 75% dari trombus ini diakibatkan oleh ruptur
plak dan 25% diakibatkan oleh erosi plak. Meskipun pasien dengan stenosis berat
lebih berisiko untuk mengalami oklusi trombus dibandingkan pasien dengan lesi
stenosis yang tidak begitu berat, namun lesi stenosis yang tidak begitu berat
memiliki risiko tempat untuk terjadinya oklusi yang lebih banyak. Arteri koroner
yang berperan terhadap infark pada otopsi lebih sering melibatkan left anterior
descending artery (sekitar 50%), right coronary artery (30-45%) dan left
circumflex (15-20%). Pada kurang dari lima persen pasien IMA tidak ditemukan
adanya trombus (Burke dan Virmani, 2008).
2.6. Metabolisme Miokardium
2.6.1. Metabolisme miokardium pada kondisi sehat
Sebelum mengetahui metabolisme miokardium saat mengalami iskemia
sangat penting sekali untuk mengetahui metabolisme miokardium yang sehat.
Pada keadaan miokardium yang sehat dimana aliran darah koroner dalam keadaan
normal, ATP (adenosine triphosphate) dipecah oleh myosin ATPase dan
menghasilkan energi sebagai bahan bakar untuk kerja jantung. Pemecahan ATP
juga dilakukan oleh sarcoplasmic reticulum Ca2+-ATPase untuk mengeluarkan
Ca2+ dari sitosol pada akhir fase sistolik sehingga memberikan kesempatan
terjadinya relaksasi diastolik. Sekitar dua pertiga ATP digunakan oleh jantung
untuk berkontraksi dan sepertiga sisanya digunakan sarcoplasmic reticulum Ca2+ATPase dan pompa ion lainnya. ATP secara konstan diresintesis dari adenosine
diphosphate dan phospat anorganik di mitokondria melalui oksidasi posforilasi.
Pada jantung yang sehat maka sintesis dan pemecahan ATP berlangsung
sedemikian rupa dimana tidak terjadi penurunan konsentrasi ATP yang signifikan
meskipun terjadi peningkatan yang signifikan dari cardiac power output (Stanley,
2001).
Asam lemak mensuplai kurang lebih 60-90% energi yang dipergunakan untuk
mensintesis ATP pada jantung yang sehat. Asam lemak plasma berasal dari
pemecahan trigliserida pada sel lemak tubuh dan konsentrasi dalam plasma diatur
oleh kerja hormon sensitive lipase insulin dan noreadrenalin (norepinephrine).
Insulin akan menekan produksi asam lemak dan sebaliknya dengan noreadrenalin.
Gambar 2.3 Metabolisme Miokardium pada Kondisi Aerobik (Stanley, 2001)
Asam lemak mengalami oksidasi di mitokondria, dan melepaskan energi
dalam bentuk reduced nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) dan reduced
flavin adenine dinucleotide (FADH2) untuk rantai transport elektron dan
selanjutnya membentuk ATP melalui posporilasi oksidasi (Stanley, 2001).
Gambar 2.4. Metabolisme Energi di Mitokondria (Stanley, 2001)
Asam lemak akan mengalami esterifikasi menjadi fatty acyl-coenzym A (CoA)
saat memasuki sel dan akan membuat asam lemak lebih larut dalam air. Untuk
menyeberangi membran mitokondria bagian dalam, asam lemak harus dikonversi
menjadi fatty acylcarnitine oleh enzym carnitine palmitoyl transferase. Di dalam
mitokondria asam lemak akan mengalami ß-oksidasi, dimana proses ini akan
memecah dua rantai karbon acetyl-CoA, menghasilkan NADH dan FADH2.
Melalui siklus asam sitrat maka acetyl-CoA akan dioksidasi dan melepaskan CO2.
Kecepatan ß-oksidasi asam lemak ditentukan oleh konsentrasi asam lemak bebas
dalam
plasma,
aktivitas
carnitine
transferase/translocase
di
membran
mitokondria, dan aktivitas enzym di berbagai tingkatan ß-oksidasi yang bertugas
dalam mengkatalisa asam lemak (Stanley, 2001).
Glukosa dan laktat menyediakan sekitar 10-40% energi yang diperlukan oleh
jantung. Glukosa di miokardium akan disimpan dalam bentuk glikogen atau
dipecah lewat glikolisis di sitosol menjadi pyruvate. Laktat dari darah akan
dirubah menjadi pyruvate di sitosol dan selanjutnya akan dioksidasi menjadi
acetyl-CoA di matrik mitokondria. Pada jantung yang sehat pyruvate diperolah
dalam jumlah yang hampir sama baik dari glikolisis maupun laktat. Pyruvate
akan dioksidasi menjadi acetyl-CoA di mitokondria oleh enzym pyruvate
dehydrogenase (PDH). Kecepatan pembentukan acetyl-CoA dari pyruvate
ditentukan oleh jumlah enzym yang aktif di jaringan dan konsentrasi substrat
(CoA, nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) dan pyruvate), serta produk
hasilnya (acetyl-CoA dan NADH) (Stanley, 2001).
Gambar 2.5. Oksidasi Pyruvate pada Kondisi Aerobik (Stanley, 2001)
Oksidasi glukosa dan laktat secara kuat akan dihambat oleh kecepatan
oksidasi asam lemak pada jantung. Tempat dimana oksidasi asam lemak
menghambat oksidasi pyruvate (oksidasi glukosa dan laktat) adalah pada tingkat
PDH. PDH dan oksidasi asam lemak akan menghasilkan produk berupa acetylCoA dan NADH. Perubahan pyruvate menjadi acetyl-CoA dihambat oleh acetylCoA dan NADH, dan kecepatan oksidasi asam lemak yang menghasilkan
peningkatan ratio NADH : NAD+ dan acetyl-CoA : CoA bebas yang secara kuat
menghambat pengaliran PDH. Jumlah enzym yang aktif juga dibawah pengaturan
PDH kinase yang dapat memposporilasi dan menghambat PDH. Aktivitas PDH
kinase distimulasi oleh peningkatan rasio NADH : NAD+ dan acetyl-CoA : CoA
bebas, dan oksidasi asam lemak yang banyak akan menstimulasi PDH kinase dan
menghambat kecepatan oksidasi glukosa dan laktat jantung (Stanley, 2001).
2.6.2. Metabolisme miokardium saat iskemia
Akibat utama dari iskemik miokard adalah disfungsi metabolik mitokondria
oleh karena penurunan penghantaran oksigen ke jaringan sehingga mengakibatkan
penurunan pembentukan ATP dari oksidasi posforilasi.
Gambar 2.6. Metabolisme Miokardium selama Iskemia (Stanley, 2001)
Penurunan pembentukan ATP secara aerobik akan menyebakan peningkatan
proses glikolisis dan peningkatan ambilan glukosa oleh mitokondria dan
pemecahan glikogen. Tidak seperti kondisi jantung dengan aliran darah normal,
selama iskemia pyruvate yang diproduksi melalui proses glikolisis tidak
sepenuhnya dapat dioksidasi di mitokondria, dan terjadi konversi pyruvate
menjadi laktat di sitosol dalam kecepatan yang tinggi, dan terjadi peningkatan
laktat jaringan. Pada kondisi normal jantung seharusnya mengambil laktat dari
darah namun pada keadaan iskemia justru terjadi peningkatan produksi laktat.
Homeostasis sel akan mengalami gangguan secara dramatis dimana terjadi
akumulasi laktat dan ion H+, penurunan PH intrasesular dan penurunan
kemampuan kontraksi. Selama iskemia akan terjadi peningkatan glikolisis dan
pembentukan pyruvate disertai dengan gangguan oksidasi pyruvate di mitokondria
sehingga menyebabkan akumulasi laktat di jaringan (Stanley, 2001).
2.7 Mekanisme Injuri Miokardium
Fungsi normal dari otot jantung sangat dipengaruhi oleh beberapa keadaan
antara lain; jumlah aliran darah ke miokardium, konsumsi oksigen, metabolisme
atau pembakaran lemak dan karbohidrat (glukosa dan laktat) (Burke dan Virmani,
2008).
Oklusi mendadak cabang utama arteri koroner akan mengakibatkan
perubahan keseimbangan metabolisme dari aerobik atau metabolisme mitokondria
menjadi glikolisis anaerob dalam beberapa detik penurunan alirah darah arteri.
Iskemik miokardium akan mempengaruhi metabolisme mitokondria sehingga
akan mengakibatkan penurunan jumlah ATP akibat terganggunya proses
posforilasi oksidasi. Penurunan jumlah ATP dari proses aerobik merangsang
glikolisis dan peningkatan ambilan glukosa dan pemecahan glikogen. Penurunan
ATP mengakibatkan hambatan pada Na+/K+-ATPase, sehingga terjadi peningkatan
Na+ intrasel dan mengakibatkan pembengkakan sel. Gangguan pada mekanisme
sistem transport pada sarkolema dan retikulum sarkoplasma mengakibatkan
peningkatan Ca2+, menginduksi aktivasi protease dan menurunkan protein
kontraktil. Piruvat merupakan senyawa yang tidak dapat langsung dioksidasi di
mitokondria yang mengakibatkan produksi laktat, penurunan PH intrasel dan
penurunan fungsi kontraktil. Penurunan PH juga mengakibatkan peningkatan
kebutuhan ATP dalam menjaga keseimbangan homesotasis Ca2+. (Burke dan
Virmani, 2008).
2.8 Perjalanan Miokard Infark, Penentu Ukuran Infark dan Remodeling
Ventrikel
Iskemik miokard terjadi apabila terdapat ketidak seimbangan antara
ketersedian oksigen dengan kebutuhan miokardium, dan nekrosis atau infark
dapat terjadi pada iskemia yang berat dan berkepanjangan. Meskipun
abnormalitas fungsional dan biokimia terjadi segera setelah onset iskemia,
kehilangan kontraktilitas miokard yang berat dapat terjadi dalam 60 detik,
sementara perubahan lain memerlukan waktu lebih panjang seperti kehilangan
viabilitas (irreversible injury) memerlukan waktu 20-40 menit setelah mengalami
oklusi total aliran darah (Burke dan Virmani, 2008).
Dapat ditemukan dua zona pada kerusakan miokardium yaitu zona sentral
dengan aliran darah yang rendah atau tanpa aliran darah dan zone pembuluh darah
kolateral yang mengelilingi zona marginal. Kelangsungan hidup zona marginal
tergantung pada derajat iskemia dan lamanya iskemia. Pada jantung ukuran dari
zona iskemia disekitar infark miokard berhubungan dengan peningkatan otopsi
apoptosis dan derajat oklusi dari arteri yang berhubungan dengan infark (infarctrelated artery). Terdapatnya aliran darah kolateral adalah prinsip yang
menentukan ukuran infark. Dan pada otopsi bukan merupakan hal yang jarang
ditemukannya oklusi kronis total arteri koroner (total coronary occlusion) dan
tanpa infark miokard pada area yang didistribusi oleh arteri tersebut. Tidak adanya
iskemik miokard (ditunjukkan perubahan elektrokardiografi atau angina pada saat
oklusi dengan balon koroner) menunjukkan adanya pembuluh kolateral yang baik,
hal ini menunjukkan bahwa pasien dengan perkembangan pembuluh darah
kolateral yang baik memiliki resiko rendah terjadinya infark miokard akut apabila
terjadi oklusi arteri koroner mendadak. Kolateral berkembang lebih baik pada
pasien dengan angina dan usia muda dibandingkan dengan usia tua dengan infark
akut. Karena ukuran infark akan menentukan survival dan terjadinya gagal
jantung kongestif, maka usaha yang dilakukan ditujukan untuk membatasi ukuran
infark dengan reperfusi segera, mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, dan
mencegah reperfusion injury. Page dkk pada tahun 1971 menyatakan bahwa
ukuran infark ≤ 40% ventrikel kiri merupakan prediktor terjadinya kematian dan
shock kardiogenik (Burke dan Virmani, 2008).
Proses terjadinya dilatasi ventrikel pasca infark dinamakan dengan ventrikel
remodeling.
Secara umum nekrosis transmural merupakan penentu
utama
perluasan infark (remodeling), berdasarkan ukuran infark dan oklusi yang
persisten. Pemeliharaan daerah miokardium yang viable di area subepikardium
dapat menurunkan perluasan infark atau proses remodeling. Berikut ini
digambarkan perjalanan kematian sel dibandingkan dengan waktu oklusi arteri
LCx pada anjing (gambar A). Nekrosis terjadi pertama kali pada regio
subendokardial. Dengan bertambahnya waktu oklusi maka kematian sel juga akan
meluas dari daerah subendokardial mencapai dinding secara progresif. AP,
anterior; PP, posterior. Variasi ukuran infark sesuai dengan durasi oklusi arteri
koroner (gambar B) (Burke dan Virmani, 2008).
Gambar 2.7. Perjalanan Infark Miokard (Burke dan Virmani, 2008)
2.9. Tata Laksana Infark Miokard Akut (IMA)
Terapi awal harus segera diberikan pada pasien dengan IMA. Terapi awal
yang dimaksud adalah morfin, oksigen, nitrat, aspirin (disingkat MONA). Pada
prinsipnya pengobatan antara NSTEMI dan STEMI adalah sama dimana dibedakan
hanya pada terapi reperfusi yang diberikan pada pasien STEMI (Irmalita dkk,
2014).
Tindakan umum yang diberikan pada pasien IMA antara lain adalah dengan
tirah baring, suplementasi oksigen segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri
<90% atau yang mengalami distres respirasi, anti platetelet aspirin 160-320 mg
pada semua pasien tanpa intoleransi aspirin dan clopidogrel 300 mg dilanjutkan
75 mg/hari, pemberian transquilizer untuk menenangkan pasien, laksan agar
penderita tidak mengedan, nitrogliserin spray/sublingual 5 mg, morfin sulfat 1-5
mg intravena dapat diulang 10-30 menit bagi pasien yang tidak berespon terhadap
terapi tiga dosis nitrogliserin sublingual (Irmalita dkk, 2014).
Obat lain yang diperlukan pada penanganan IMA adalah pemberian obat anti
iskemia yaitu : penyekat beta (beta blocker) obat ini memiliki efek inotropik dan
konotropoik negatif sehingga meningkatkan suplai oksigen dan menurunkan
kebutuhan oksigen jantung, calcium channel blockers (CCBs) menurunkan beban
jantung dengan menurunkan afterload dan preload, meningkatkan aliran darah
koroner dengan melebarkan pembuluh darah koroner dan menurunkan low density
lipoprotein (LDL)-kolesteror dan prekusornya dari sirkulasi sehingga diharapkan
dapat menstabilisasi plak. Penghambat reseptor angiotensin / inhibitor angiotensin
converting enzym
(ACE) diberikan untuk mengurangi remodeling dan
menurunkan mortalitas penderita pasca infark miokard disertai dengan gangguan
fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung secara klinis. Terapi
antikoagulan diberikan untuk menghambat pembentukan dan atau aktivitas
trombin. Beberapa antikoagulan yang bekerja pada level yang berbeda pada
kaskade koagulasi antara lain adalah unfractionated heparin (UFH), lowmolecular-weight heparins (LMWH), direct thrombin inhibitors dan fondaparinux
(Irmalita dkk, 2014).
Untuk pasien STEMI maka perbedaannya adalah dilakukan terapi reperfusi
dengan segera baik dengan trombolitik maupun strategi invasive dini (Irmalita
dkk, 2014, Kabo, 2010).
2.10 Komplikasi dan Kematian pada Infark Miokard Akut
Komplikasi infark miokard dapat terjadi segera atau terjadi lambat dimana
tergantung dari lokasi dan luas infark. Komplikasi akut yang dapat terjadi antara
lain adalah aritmia dan mati mendadak, shock kardiogenik, perluasan infark,
perikarditis fibrinosa, ruptur jantung yang meliputi ruptur muskulus papilaris,
trombus mural dan embolisasi (Burke dan Virmani, 2008).
2.10.1 Aritmia dan mati mendadak
Berbagai aritmia dapat terjadi setelah infark miokard, antara lain aritmia
ventrikel (penyebab utama mati mendadak), gangguan sistem konduksi dan
aritmia atrial. Hampir 90% pasien akan mengalami abnormalitas irama jantung
setelah infark akut (Burke dan Virmani, 2008).
Takiaritmia yang terjadi selama infark miokard akut (IMA) biasanya akibat
reperfusi, gangguan tonus otonom atau gangguan stabilitas hemodinamik.
Takiaritmia ventrikel ditemukan pada 67% dari semua pasien dalam 12 jam
pertama IMA. Fibrilasi ventrikel diperkirakan terjadi sekitar 4,5% kasus dengan
insiden tertinggi pada jam pertama. Mati mendadak terjadi pada 25% pasien pasca
IMA biasanya sebelum sampai di rumah sakit. Proporsi kematian dari penyakit
jantung iskemik yang terjadi mendadak sekitar 60% (Burke dan Virmani, 2008).
2.10.2 Shock kardiogenik
Gagal jantung setelah infark miokard dapat berupa kongesti pulmonal sampai
hipoperfusi organ atau shock kardiogenik. shock kardiogenik diakibatkan oleh
penurunan kardiak output sistemik dengan volume intravaskular yang memadai.
Shock kardiogenik biasanya terjadi bila terjadi kehilangan 40% masa ventrikel kiri
baik yang terjadi secara akut atau merupakan kombinasi dengan miokardium yang
mengalami skar akibat infark lama. Sepuluh persen pasien yang mengalami shock
kardiogenik, shock terjadi sebelum masuk rumah sakit segera setelah muncul
keluhan. Shock kardiogenik diperkirakan sebagai penyebab kematian jangka
pendek setelah IMA dengan proporsi sebesar 44%. Kematian diakibatkan oleh
ruptur jantung (26%) dan arrhytmia (16%) (Burke dan Virmani, 2008).
2.10.3 Ruptur myocardial free wall
Insiden ruptur left ventricular free wall berkisar antara 10-20% dimana pasien
dengan infark pertama kalinya memiliki kejadian sekitar 18%. Berbeda dengan
ruptur ventrikel septum kejadiannya sekitar dua persen. Left ventricular wall
rupture tujuh kali lebih sering dibandingkan dengan
right ventricle rupture.
Meskipun terapi reperfusi dapat menurunkan insiden ruptur jantung, namun late
thrombolytic therapy dapat meningkatkan risiko ruptur jantung. Faktor yang
berhubungan dengan kejadian ruptur jantung antara lain adalah jenis kelamin
wanita, usia lebih dari 60 tahun, hipertensi, dan IMA pertama kalinya. Faktor
risiko
tambahan
antara
lain
multivessel
atherosclerotic
disease,
tidak
ditemukannya ventrikel hipertrofi, aliran kolateral yang sedikit, transmural infark
yang mengenai 20% dinding, dan lokasi infark di tengah anterior atau lateral
dinding ventrikel kiri. Ruptur jantung biasanya terjadi dalam satu sampai empat
hari pasca infark, namun demikian 13%-28% ruptur terjadi dalam 24 jam onset
infark. Hampir setengah kematian akibat ruptur jantung terjadi pada mati
mendadak di luar rumah sakit, sehingga tidak pernah terlihat oleh dokter. Angka
mortalitas sebelum era trombolisis sangat tinggi, dimana sebesar 50% mortalitas
pada pasien dengan pembedahan dan 90% dengan medikal terapi (Burke dan
Virmani, 2008).
2.10.4 Right-side and atrial infarction
Infark ventrikel kanan merupakan komplikasi tersering dari infark miokard
transmural inferior. Patofisiologi dan manifestasi klinisnya berbeda dengan infark
ventrikel kiri.
Studi necropsy menyebutkan 14-60% pasien yang meninggal
akibat infark miokard inferior ventrikel kiri, dan biasanya ditemukan dalam tiga
kelainan dinding inferior-posterior, septum posterior, dan nekrosis dinding
ventrikel posterior kanan, yang bersebelahan dan jarang melibatkan dinding
ventrikel anterolateral kanan. Infark atrial terjadi pada 10% infark dinding
ventrikel kiri inferior dan biasanya juga mengenai atrium kanan (Burke dan
Virmani, 2008).
2.10.5 Efusi perikardium dan perikarditis
Efusi perikardium ditemukan pada 25% pasien IMA dan lebih sering
ditemukan pada pasien dengan IMA anterior, infark luas dan gagal jantung
kongestif. Efusi perikardium sekunder akibat IMA dapat berupa efusi transudat
atau eksudat bila diakibatkan oleh perikarditis. Perikarditis mengandung deposisi
fibrin selain inflamasi dan dapat terjadi pada hari pertama pasca infark dan bisa
juga muncul paling lambat enam minggu pasca infark. Efusi perikardium pasca
infark biasanya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk direabsorbsi (Burke
dan Virmani, 2008).
2.10.6 Gagal jantung kongestif kronis
Pasien IMA yang luas dan iskemia yang persisten biasanya paling sering
berkembang menjadi gagal jantung. Gagal jantung merupakan prediktor yang
dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas setelah IMA. Pada otopsi
pasien gagal jantung kongestif akan ditemukan dilatasi kedua atrium dan ventrikel
dengan infark yang luas atau infark kecil yang multipel dengan atau tanpa skar
stransmural (Burke dan Virmani, 2008).
2.10.7 Trombus mural dan embolisasi
Trombus mural terbentuk pada permukaan endokardium di atas area infark
akut dengan insiden sebesar 20% dari semua pasien. Namun demikian insiden
diperkirakan sekitar 40% pada infark anterior dan 60% pada infark apikal. Pasien
dengan trombus ventrikel kiri memiliki fungsi ventrikel kiri yang buruk dan
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tanpa trombus.
Prognosis yang buruk adalah akibat sekunder infark yang luas dan bukan karena
emboli. Trombus dapat mengalami organisasi namun pada 10% kasus bagian
superfisialnya dapat mengalami emboli. Organ yang biasa menjadi bagian emboli
simtomatis adalah otak, mata, ginjal, saluran cerna, limpa, ektremitas dan arteri
koroner. Emboli simptomatis biasanya diakibatkan oleh fragmen yang besar, dan
partikel kecil trombus yang mengalami emboli secara umum tidak mengakibatkan
munculnya simptom. Risiko emboli terbesar pada minggu pertama dari IMA
(Burke dan Virmani, 2008).
2.10.8 Kematian pada IMA
Pasien STEMI akan mengalami gangguan regulasi sirkulasi. Proses dimulai
dengan obstruksi anatomis atau fungsional arteri koroner yang mengakibatkan
iskemia miokardium regional jika iskemia menetap pada infark. Jika infark yang
terjadi cukup luas maka akan mengakibatkan penekanan pada fungsi ventrikel kiri
sehingga akan menurunkan volume sekuncup dan meningkatkan tekanan
pengisian. Penurunan volume sekuncup ventrikel kiri yang berat akan
menurunkan tekanan aorta dan tekanan perfusi koroner yang akan memperberat
iskemik miokardium dan mengawali terjadinya vicious circle. Inflamasi sistemik
sekunder
akibat
proses
infark
mengakibatkan
pelepasan
sitokin
yang
mengakibatkan vasodilatasi dan penurunan resistensi vaskular sistemik (Antman,
2012).
Ketidakmampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan isi ventrikel secara
normal akan meningkatkan preload, akan mengakibatkan dilatasi, dimana
merupakan mekanisme normal ventrikel kiri. Mekanisme kompensasi ini akan
mengembalikan volume sekuncup ke nilai normal. Dilatasi ventrikel kiri akan
meningkatkan afterload ventrikel namun karena hukum laplace dilatasi ventrikel
akan mengakibatkan peningkatan tekanan dinding. Peningkatan afterload bukan
hanya menekan volume sekuncup ventrikel kiri namun juga akan meningkatkan
konsumsi oksigen miokaridum yang akan memperberat iskemia. Bila disfungsi
miokardium regional hanya terbatas dan fungsi ventrikel kiri dalam batas normal,
mekanisme kompensasi khususnya hiperkinesis ventrikel yang tidak mengalami
infark akan mempertahankan fungsi ventrikel secara keseluruhan. Jika terjadi
nekrosis ventrikel kiri yang luas maka akan dapat mengakibatkan kegagalan
pompa jantung dan kesemua mekanisme ini akan mengakibatkan kematian pada
pasien infark miokard akut (Antman, 2012).
Gambar 2.8 Vicious Cycle Circulatory Regulation (Antman, 2012)
2.11 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mortalitas IMA
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi angka mortalitas pasien
infark miokard akut, antara lain adalah usia, jenis kelamin, diabetes, hipertensi,
dislipidemia, lekusitosis, anemia, hipoalbuminemia, dan terapi reperfusi.
Studi terbaru menyebutkan bahwa angka kematian rumah sakit, 28 hari dan 1
tahun pasien IMA lebih tinggi pada pasien yang juga diabetes dibandingkan
dengan yang tidak. Weitzman dkk mendapatkan bahwa pasien IMA laki-laki dan
diabetes memiliki angka mortalitas 1 tahun yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang tidak (Vujosevic dkk, 2012).
Pada salah satu studi yang dilakukan terhadap populasi IMA dengan usia
antara 30-64 tahun di Nis tahun 2001-2005 dimana dari 1115 kasus IMA
didapatkan 813 (72,9%) terjadi pada pria dan 302 (27,1%) terjadi pada wanita.
Seratus dua puluh delapan (11,5%) merupakan kasus fatal dan 987 (88,5%) kasus
IMA tidak fatal. Dari seluruh pasien pria didapatkan serangan tertinggi terjadi
pada kisaran umur 55-59 tahun sebesar 239 (29,4%) , dan pada wanita pada
rentang usia 60-64 tahun adalah 110 (36,4%). Data ini menunjukkan bahwa baik
serangan dan mortalitas IMA berhubungan erat dengan usia dan jenis kelamin
(Deljanin dkk, 2007).
Studi yang dilakukan oleh Riberio dkk di Brazil menunjukkan bahwa angka
mortalitas pada pasien IMA didapatkan lebih tinggi pada pasien dengan usia >70
tahun, diabetes dan Killip fungsional bukan kelas I dibandingkan dengan yang
tidak (Ribeiro dkk, 2003) .
Studi yang dilakukan oleh Takii dkk mengenai kecenderungan insiden IMA
dan mortalitas dalam 30 tahun di jepang menunjukkan bahwa mortalitas rumah
sakit dari 22.551 pasien IMA lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria
(12,2% dan 6,3% di tahun 2008), hal ini mungkin diakibatkan oleh perbedaan
pada usia serangan, waktu untuk mendapatkan perawatan rumah sakit dan
rendahnya prevalensi tindakan intervensi koroner pada wanita (Taki dkk, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Salehi dkk mengenai jumlah sel darah putih
(WBC/ white blood cell) dengan mortalitas IMA didapatkan bahwa jumlah WBC
merupakan prediktor yang signifikan terhadap mortalitas IMA setelah dilakukan
multivariable adjustment dalam satu bulan dan 12 bulan follow-up (p=0,02,
p=0,04). Infiltrasi WBC menuju jaringan nekrosis terhadap respon iskemia dan
reperfusi memiliki peran penting dalam mensekresi mediator yang berkontribusi
dalam oksidasi dan proteolitik injuri (Salehi dkk, 2013).
Studi yang dilakukan oleh Matura mengenai karakteristik mortalitas rumah
sakit wanita dengan IMA didapatkan bahwa wanita dengan mortalitas tinggi
memiliki angka hipertensi yang lebih besar. Hal ini mungkin diakibatkan oleh
tingginya angka hipertensi pada populasi di Amerika sebesar 85% dan 32,1%
pada wanita disana (Matura, 2009).
Pada salah satu studi yang dilakukan oleh Kamir terhadap 48% pasien STEMI
yang memiliki hipertensi dimana di dalam analisi multivariat didapatkan bahwa
hipertensi secara independent berkontribusi terhadap tingginya angka mortalitas
rumah sakit pada pasien AMI namun tidak terhadap mortalitas dalam satu tahun.
Hal ini berhubungan dengan faktor risiko lain seperti usia tua, peningkatan kelas
Killip, dan mulitvessel disease (Picariello dkk, 2011).
Studi yang dilakukan oleh Seppo Lehto terhadap 1059 pasien diabetes militus
tidak tergantung insulin dengan rentang umur 45-64 tahun didapatkan bahwa
riwayat infark miokard sebelumnya, kolesterol high density lipoprotein (HDL)
yang rendah (<1mmol/L), tingginya kadar non HDL kolesterol (≥ 5,2 mmol/L),
tingginya kadar total trigliserida (>2,3 mmol/L), dan tingginya kadar gula darah
puasa (>13,4 mmol/L) secara independent berhubungan dengan peningkatan dua
kali lipat risiko mortalitas dan morbiditas pasien penyakit jantung koroner. Kadar
kolestero LDL yang tinggi (≥ 4,1 mmol/L) secara signifikan berhubungan dengan
semua event pada penyakit jantung koroner (Lehto dkk, 1997).
Anemia juga dihubungkan dengan peningkatan mortalitas pada pasien IMA,
dimana salah satu studi yang dilakukan oleh Nikolsky dkk mengenai dampak
anemia pada pasien IMA yang dilakukan PCI didapatkan bahwa pada anemia
dibandingkan dengan yang tidak anemia didapatkan angka yang lebih tinggi pada
mortalitas rumah sakit (4,6% vs 1,1%, p=0,00003), mortalitas dalam 30 hari
(5,8% vs 1,5%, p<0,0001), dan mortalitas dalam 1 tahun (9,4% vs 3,5%, p
<0,0001) (Nikolsky dkk, 2004).
Studi lain mengenai kadar serum albumin saat masuk rumah sakit pada 1706
pasien STEMI yang dilakukan PCI didapatkan bahwa pasien dengan kadar
albumin < 3,5 g/dl memiliki angka mortalitas rumah sakit lebih tinggi (9,4% vs
2%) dibandingkan dengan yang tidak hipoalbuminemia dan secara independen
merupakan prediktor mortalitas jangka panjang dengan (hazard ratio 2,98, 95%
confidence interval 1,35-6,58, p= 0,007) (Oduncu dkk, 2013 ).
Manfaat terapi reperfusi pada pasien IMA dalam menurunkan angka
mortalitas sudah tidak diragukan lagi. Pada penelitian terhadap 3300 pasien usia
>75 tahun dengan diagnosis STEMI atau blok cabang berkas dan dengan simptom
dalam 12 jam
didapatkan angka mortalitas menurun secara bermakna pada
mereka dengan terapi trombolisis (dari 29,4% menjadi 26%, p=0,03). Dari data
DANAMI-2 didapatkan bawha PCI lebih superior dibandingkan dengan
trombolisis. Dan didapatkan penurunan yang signifikan terhadap kombinasi angka
kematian, infark berulang dan strok setelah 30 hari sebesar (14,2% menjadi 8,5%,
p<0,002) pada pasien yang dilakukan PCI (Werf dkk, 2003).
Chin dkk 2001 dalam penelitiannya terhadap 278 pasien IMA, didapatkan 30
pasien mengalami syok kardiogenik dan mortalitas rumah sakit sebesar 60%.
Dimana syok kardiogenik dikatakan lebih sering terjadi pada pasien IMA usia tua
dan dengan diabetes (Chin dkk, 2001).
2.12 Produksi Normal Laktat
Proses glikolisis di dalam sitoplasma akan memproduksi metabolit
intermediate pyruvate. Pada kondisi aerobik, pyruvate akan dirubah menjadi
acetyl CoA untuk memasuki siklus kreb. Pada kondisi anaerobik, pyruvate akan
dirubah menjadi asam laktat oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH). Pada larutan
yang encer, asam laktat akan mengalami disosiasi hampir secara komplit menjadi
laktat dan H+. Laktat akan mengalami buffer di dalam plasma oleh NaHCO3
(Phypers dan Pierce, 2006).
Jaringan yang dapat memproduksi laktat antara lain adalah eritrosit, hepatosit
perivena, otot skeletal, dan kulit. Produksi basal laktat sekitar 1300 mmol/hari
(Phypers dan Pierce, 2006).
Gambar 2.9. Glikolisis, Siklus Kreb dan Oksidasi Phosforilasi (Phypers dan
Pierce, 2006)
Gambar 2.10. Disosiasi Asam Laktat (Phypers dan Pierce, 2006)
2.12.1 Laktat dan asam laktat
Ion hidrogen yang dilepaskan dari disosiasi asam laktat dapat dipergunakan
untuk memproduksi ATP melalui oksidasi phosporilasi. Gangguan jalur oksidasi
selama proses produksi laktat dapat mengakibatkan kelebihan H+ dan terjadinya
asidosis (Phypers dan Pierce, 2006).
2.12.2 NADH dan NAD+
Proses glikolisis memerlukan produksi NAD+ melalui proses konversi
pyruvate menjadi laktat. Kecepatan konversi pyruvate menjadi laktat ditentukan
oleh suplai NADH. Jaringan seperti jantung, yang memerlukan ATP dalam jumlah
banyak, memerlukan konversi pyruvate menjadi acetyl CoA. Untuk menjaga kadar
NADH tetap rendah, maka shuttle digunakan untuk membantu transpor elektron
melewati membran mitokondria dan oksidasi NADH menjadi NAD+. Mekanisme
utama adalah melalui malate-aspartate shuttle. Glycerol-phosphate shuttle
memiliki peran sekunder. Secara kolektif shuttle ini dikenal dengan ox-phos
shuttle. Jika kecepatan glikolisis meningkat melewati titik kemampuan ox-phos
shuttle, maka konsentrasi NADH, NAD+, dan laktat akan meningkat (Phypers dan
Pierce, 2006).
Gambar 2.11. The Ox-phos Shuttle (Phypers dan Pierce, 2006)
2.13 Penyebab Hiperlaktasemia
Hiperlaktasemia terjadi bila terdapat kelebihan produksi laktat dibandingkan
dengan ekstraksinya. Penyebab hiperlaktasemia secara umum dibagi menjadi dua
tipe yaitu tipe A (dengan adanya bukti klinis hipoksia jaringan baik relatif maupun
absolut) dan tipe B (tidak terdapat bukti hipoksia jaringan secara klinis). Sejauh
ini hiperlaktasemia tipe A paling sering ditemukan dan biasanya akibat dari
hipoksia jaringan karena hipoperfusi. Hiperlaktasemia tipe B dibagi menjadi tiga
berdasarkan penyakit yang mendasari (B1), obat dan toksin (B2), dan kelainan
metabolisme sejak lahir (B3) (Phypers dan Pierce, 2006).
Tabel 2.1. Penyebab Hiperlaktasemia (Peningkatan Produksi dan Penurunan
clearance)
Peningkatan produksi
Peningkatan kecepatan glikolisis
Peningkatan AMP-ketidak
seimbangan kebutuhan dan
ketersediaan ATP
Katekolamin
Subtrat yang memasuki glikolisis
tidak treregulasi
Akumulasi pyruvate
Inaktivitas pyruvate
dehidrogenase
Formasi alanin
Gangguan proses oksidasi
Penurunan clearance
Metabolisme hepatik
Gangguan metabolisme oksidasi
Gangguan glukoneogenesis
Metabolisme jaringan yang kaya
mitokondria
Ekskresi renal
Contoh
Tipe
Hipoksemia, anemia, hipoperfusi,
shock, keracunan CO
Exercise yang berat
Phaeochromocytoma
Salbutamol, infus epinefrin
Infus fruktosa
A
A
B1
B2
B2
Defisiensi thiamin
Kelainan pyruvate dehidrogenase
kongenitasl
Inhibisi oleh endotoksin
Penyakit kritis
Keganasan
Defisiensi pyruvate karboksilase
Keracunan sianida
Gangguan aliran darah hepar,
gangguan enzyme, keracunan
sianida
Biguanide, intoksikasi alkohol,
diabetes
Hipoksemia, anemia, hipoperfusi
regional, shock
Gangguan enzym, keracunan
sianida
Ekskresi renal normalnya <5%
laktat clearance
B3
B3
B2
B2
B2
B3
B2
A,B3,B1
B1,B1,B2
A
B3,B1
2.14 Peran Laktat Pada Mortalitas
Pengukuran kadar laktat dapat dipergunakan sebagai indikator untuk menilai
adanya gangguan hemodinamik dan berhubungan dengan angka mortalitas dalam
berbagai kondisi syok. Batas kadar laktat yang dinyatakan positif adalah ≥ 1,5
mmol/L, dimana nilai ini dikatakan mendekati nilai ambang batas angka maksimal
spesifisitas tanpa mengurangi sensitivitasnya. Kadar laktat saat masuk rumah sakit
≥ 1,8 mmol/L dihubungkan dengan peningkatan mortalitas fase akut (Vermeulen
dkk, 2010).
Nilai klinis laktat dalam sirkulasi telah banyak dibuktikan di ruang perawatan
intensif. Kadar laktat darah dapat digunakan sebagai indikator gangguan
hemodinamik dan sebagai prediktor outcome dalam berbagai derajat syok.
Beberapa studi telah menunjukkan adanya peningkatan kadar laktat dalam
sirkulasi pasien syok kardiogenik. Salah satu penyebab tersering syok adalah
infark miokardium. Fase akut infark miokard akan mengakibatkan gangguan
perfusi jaringan. Penurunan hantaran oksigen mengakibatkan sel otot lebih
menggunakan jalur glikolisis dan memproduksi laktat dari pyruvate dibandingkan
dengan mengoksidasi pyruvate untuk produksi energi mitokondria. Pada pasien
penyakit
jantung
iskemik,
jumlah
laktat
yang
dilepaskan
miokardium
berhubungan dengan beratnya penyakit arteri koroner. Pada pasien infark miokard
akan terjadi peningkatan kadar laktat vena. Namun demikian lamanya waktu
antara pengambilan sampel darah dengan analisa menghasilkan hasil kadar laktat
yang tinggi yang bersifat palsu. Saat ini analisa dengan point-of-care dapat
dikerjakan untuk menilai kadar laktat dengan cepat (Vermeulen dkk, 2010).
Salah satu studi yang dilakukan oleh vermeulen dkk menilai kadar laktat saat
masuk rumah sakit pada pasien STEMI yang dilakukan percutaneus coronary
intervention (PCI), didapatkan bahwa kadar laktat >1,8 mmol/L berhubungan
dengan peningkatan mortalitas (Vermeulen dkk, 2010).
Studi prospective double-blind observasional yang dilakukan oleh Gatien dkk
mengenai performa laktat vena saat masuk rumah sakit pada pasien infark
miokard di unit gawat darurat, didapatkan bahwa kadar laktat >1,5 mmol/L
dikatakan positif untuk infark miokardium dengan sensitivitas 92% (95%
CI=86%-99%), spesifisitas 44% (95% CI=40%-48%), dan negative predictive
value (NPV) 98% (95% CI=97%-99%) (Gatien dkk, 2005).
Nilai prediktif dari pemeriksaan laktat terhadap mortalitas juga telah
ditunjukkan oleh beberapa studi pada pasien yang dirawat di ruang terapi intensif
(RTI). Studi yang dilakukan oleh Khosravani dkk menunjukkan nilai laktat awal
>2 mM merupakan prediktor mortalitas yang signifikan terhadap pasien yang
dirawat di RTI. Odds Ratio (OR) terhadap mortalitas meningkat dari 1,94 menjadi
10,89 tergantung kadar laktat dibandingkan dengan pasien dengan kadar laktat <2
mM. Studi yang dilakukan oleh Smith dkk menunjukkan efek yang signifikan
peningkatan kadar laktat masuk rumah sakit >1,5 mM terhadap mortalitas pada
pasien yang dirawat di RTI (Kruse dkk, 2011).
2.15 Alat Pengukur Kadar Laktat
Kadar laktat dapat diukur di plasma, serum, atau darah lengkap. Nilai kadar
laktat yang paling ideal adalah yang berasal dari darah arteri. Sampel darah harus
diperiksa secepat mungkin (tidak boleh lebih dari 4 jam setelah pengambilan)
(Agrawal dkk, 2004, Gatien dkk, 2005).
Pemeriksaan laktat darah
harus dilakukan dalam 30 menit. Untuk itu
dilakukan pemeriksaan laktat darah tanpa proses dilusi lebih praktis dibandingkan
pemeriksaan dalam plasma yang membutuhkan waktu untuk sentrifugasi.
Walaupun pemeriksaan laktat lebih efektif jika waktu transport ke laboratorium
dilakukan dengan pneumatic system tube atau dibawa ke laboratorium dalam 1-2
menit, pemeriksaan point of care dapat memberikan manfaat hasil yang lebih
cepat. Pada saat ini sedang diteliti penggunaan alat baru near-infrared
spectroscopy yang tidak invasif untuk menilai antara perfusi jaringan dan kadar
laktat (John G Toffaletti, 2010, Agrawal dkk, 2004).
Studi di Canadian University mengukur kadar laktat vena pada pasien dengan
infark miokard mendapatkan bahwa dua jam setelah munculnya keluhan
kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan kadar laktat. Transpor laktat yang
lama juga
dapat mempengaruhi analisis. Glikolisis seluler dapat membentuk
laktat. Laktat meningkat 0.4 mmol/L tiap 30 menit. Bahkan bila diberikan es,
laktat meningkat 0.1 mmol/L dalam 30 menit. Selama transport kadar laktat dapat
meningkat 0.1-1.2 mmol/L dalam jam pertama. Pengukuran tepat dengan point-ofcare analyzer memungkinkan mendapatkan hasil lebih akurat dan kadar laktat
lebih rendah dibandingkan pengukuran laktat pada laboratorium sentral (Gatien
dkk, 2005) .
Kadar laktat darah juga dapat dipengaruhi oleh cairan infus yang digunakan
dan tempat pengambilan sampel darah. Pengambilan sampel darah tidak boleh
pada tempat yang dipasang infus, khususnya cairan Ringer Laktat karena dapat
menyebabkan kadar laktat yang tinggi pada sampel darah yang diambil (Agrawal
dkk, 2004).
Saat ini laktat darah dengan mudah diukur secara langsung di sisi pasien
menggunakan alat analitik otomatis. Perkembangan pembuatan elektroda substrat
spesifik dapat mengukur laktat darah secara akurat dengan volume darah < 0,2 ml
dalam waktu 2 menit. Variabilitas pengukuran dengan cara ini < 4 %. Kadar
normal laktat darah saat istirahat ± 1 mEq/L (0,7-1,3), baik pada pengukuran
darah arteri maupun vena, dalam bentuk whole blood maupun plasma. Konversi
satuan internasional (SI) kadar laktat darah dinyatakan dalam mmol/L (0,50 x
mEq/L atau 0,25 x mg/dl) (Karon dkk, 2007, Vernon dan Letourneau, 2010).
Dari jurnal tahun 2008 sudah dipublikasikan validasi alat yang digunakan
untuk mengukur kadar laktat. Jurnal ini dipublikasikan oleh Jurnal Internasional
Penyakit Infeksi. Dalam penelitian diagnostik ini membandingkan alat Accutrend
lactate meter dengan alat gold standard yang telah dibakukan yaitu Beckman CX7
Synchrone machine (Perez dkk, 2008).
Sensitifitas alat Accutrend lactate meter diidentifikasi pada pasien dengan
kadar laktat ≥ 2.2 mmol/L adalah 95.9% (95%CI 87.7-98.9%) dengan spesifisitas
63.8% (95% CI 48.5-76.9%) bila dibandingkan dengan standar baku (Beckman
CX7 Synchron machine). Pada penelitian ini didapatkan nilai rata-rata yang mirip
didapatkan dari Accutrend lactate meter (2.89 mmol/L) dibandingkan dengan alat
referensi (2.78 mmol/L). Standar deviasi 1.14 mmol/L untuk alat Accutrend
lactate meter, sedangkan untuk instrument Beckman 1.42 mmol/L. Nilai prediktif
positif untuk alat Accutrend meter yaitu 80.5% (95% CI 70.3-87.9%) dan nilai
prediktif negatif yaitu 90.0% (95% CI 74.5-97.6%). Terdapat persamaan dalam
derajat sedang diantara kedua metode (bias 0.113, 95% CI 2.103-2.329 mmol/L).
Hasil dari penelitian mengenai kesahihan alat Accutrend lactate meter ini tertera
pada tabel 2.3 (Perez dkk, 2008).
Tabel 2.2. Penilaian Accutrend Lactate Meter
False positif
17
True positif
30
False negative
3
True negative
30
Sensitivitas
95.9%
Spesifisitas
63.8%
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Hiperlaktasemia secara umum merupakan hasil metabolisme anaerob akibat
dari oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Hal ini juga akan terjadi pada saat
miokardium mengalami iskemia dimana akan terjadi penurunan pembentukan
ATP dari oksidasi posforilasi dan terjadi konversi pyruvate menjadi laktat di
sitosol dalam kecepatan yang sangat tinggi sehingga mengakibatkan penumpukan
laktat jaringan.
Kondisi IMA menyebabkan penekanan fungsi jantung dan penurunan perfusi.
Laktat serum merupakan penanda menurunnya perfusi sistemik dan hipoksia
jaringan, karena laktat adalah produk metabolisme anaerob. Laktat digunakan
sebagai indikator gangguan hemodinamik dan prediktor kondisi syok. Pada syok
kardiogenik beberapa studi menunjukkan adanya peningkatan laktat darah. Perfusi
jaringan miokard terganggu akibat IMA menyebabkan penurunan supply oksigen
yang mengubah metabolisme aerob menjadi anaerob dengan glikolisis
menghasilkan laktat dari substrat piruvat.
Laktat pada pasien IMA yang dilepaskan dari miokardium mempunyai
hubungan yang linier dengan derajat keparahan penyakit jantung koroner. Kondisi
hipoperfusi regional terjadi pada pasien IMA meskipun tekanan darah masih
dalam batas normal. Pada kondisi basal, miokardium mengekstraksi laktat dari
sirkulasi, namun pada kondisi iskemia jantung kemampuan untuk mengekstraksi
laktat menjadi terganggu. Dengan demikian iskemia miokard menyebabkan
peningkatan kadar laktat ke dalam sirkulasi melalui kedua mekanisme ini
Beberapa kondisi patologis dapat meningkatkan kadar laktat. Sepsis
merupakan respon sistemik terhadap infeksi, berdasarkan adanya systemic
inflamatory respone syndrome (SIRS) ditambah dengan adanya bukti infeksi
berdasarkan hasil biakan kuman. Pada SIRS atau awal sepsis, hiperlaktasemia
menunjukkan adanya hipoksia jaringan akibat produksi laktat berlebihan oleh
proses infeksi. Pasien dengan penyakit hati kronis akan mengakibatkan penurunan
kemampuan hepar untuk memetabolisme laktat bila terjadi peningkatan produksi,
demikian juga pada pasien dengan penyakit ginjal kronis maka ekskresi laktat
juga akan terganggu bila terjadi peningkatan produksi. Keganasan akan
menyebabkan peningkatan laktat akibat ketidakmampuan subtrat memasuki
proses glikolisis. Peningkatan kadar laktat juga akan meningkat pada pasien
ketoasidosis diabetika dan penggunan obat anti retro virus.
Beberapa faktor juga dapat berpengaruh pada mortalitas pasien IMA antara
lain adalah, umur, jenis kelamin, peningkatan tekanan darah, dislipidemia, kadar
gula darah, leukosit, hemoglobin, dan albumin darah serta terapi reperfusi.
3.2. Konsep
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka dibuat suatu konsep penelitian
Infark Miokard Akut
sebagai berikut :
Nekrosis Miokard
Hipoperfusi Koroner
Penurunan Fungsi Miokard
Penurunan Cardiac Output
Kelas Killip
Metabolisme Anaerob
Ketoasidosis diabetika
Gagal Hati Kronis
Gagal Ginjal Kronis
Keganasan
Pengobatan anti
retroviral
Laktat
Mortalitas
: Tidak dievaluasi pada penelitian
: Dievaluasi pada penelitian
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Umur
Jenis Kelamin
Leukositosis
Hemoglobin
Albumin
Hiperglikemia
Hipertensi
Dislipidemia
Terapi reperfusi
3.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah hiperlaktasemia sebagai
mortalitas 30 hari paska infark miokard akut.
prediktor
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan kohort
prospektif dimana subyek penelitian akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok terpapar (pasien IMA dengan hiperlaktasemia +) dan kelompok tidak
terpapar (pasien IMA hiperlaktasemia -). Pengukuran terhadap variabel penelitian
dilakukan pada saat pasien masuk UGD dan 2 jam setelah perawatan. Setelah itu
pasien diikuti untuk mengetahui luaran yang berupa mortalitas 30 hari paska IMA.
Tata laksana terhadap semua pasien dilakukan sesuai dengan European Society of
Cardiology (ESC) Guidelines. Rancangan penelitian di atas dapat dijabarkan
seperti gambar berikut.
Mortalitas (+)
Sampel Penelitian
penderita infark
miokard akut (IMA)
yang dirawat di
RSUP Sanglah
Denpasar
Hiperlaktasemia (+)
Mortalitas (-)
Mortalitas (+)
Hiperlaktasemia (-)
Mortalitas (-)
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pelayanan Jantung Terpadu RSUP
Sanglah Denpasar.
4.2.2. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Novenber 2014 sampai Februari tahun
2015.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi target
Semua pasien IMA
4.3.2 Populasi terjangkau
Pasien IMA yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar.
4.3.3 Sampel penelitian
Sampel dipilih dari populasi terjangkau setelah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Subyek yang benar-benar diteliti adalah sampel
yang bersedia ikut serta dalam penelitian.
4.3.4 Kriteria eligibilitas
4.3.4.1 Kriteria inklusi
Pasien yang dirawat dengan IMA yang ditegakkan berdasarkan klinis,
EKG dan laboratorium di RSUP Sanglah Denpasar.
4.3.4.2 Kriteria eksklusi
a. Pasien menolak untuk berpartisipasi
b. Pasien dengan penyakit ginjal dan penyakit hati kronis
c. Pasien sepsis
d. Diabetik ketoasidosis
e. Pasien dengan riwayat keganasan
f. Pasien dengan penggunaan Anti Retroviral (ARV)
4.3.5
Besaran sampel
Pada penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan p< 0.05, power
80%. Perkiraan jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus berikut :
(Madiyono et al., 2011)
n1  n 2 
( z 2 PQ  z P1Q1  P 2Q 2 ) 2
( P1  P 2) 2
Zα dengan kemaknaan α sebesar 0.05 (95% CI) : 1.96
Zβ dengan power 80% : 0.842
Risiko relatif minimal diperkirakan = 2,25 (dianggap bermakna)
P2
: 0,195 (Ferreira dkk, 2009)
RR
: 2,25 (Portal dkk, 2010)
P1
: 0,43875
Q1 = 1 – P1 = 0,56125;
P = ½ (P1+P2) = 0,316875
Q2 = 1 – P2 = 0,805
Q = ½(Q1+Q2) = 0,683125
Jumlah sampel (n) = n1 + n2 = 112
Jumlah sampel seluruhnya 112 + 5% = 118 orang
4.3.6
Teknik pengambilan sampel
Subyek yang benar-benar diteliti diambil dengan cara konsekutif
sampling dan didapatkan jumlah sebanyak 121 dari 118 perhitungan
sampel minimal yang diperlukan.
4.4. Variabel Penelitian
4.4.1. Identifikasi dan klasifikasi variabel penelitian

Variabel tergantung
Mortalitas

Variabel bebas
Kadar laktat darah

Variabel perancu
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Gula darah
4. Hemoglobin
5. Leukosit
6. PaO2
7. Kadar albumin darah
8. Terapi reperfusi baik dengan streptokinase maupun dengan
Percutaneous Coronary Interevention (PCI).
9. Kelas Killip

Variabel rambang
Diit, cairan inravena, dan obat resusitasi saat terapi
Variabel Bebas :
Kadar laktat darah
Variabel Tergantung :
Mortalitas 30 hari paska IMA
Variabel Perancu :
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Gula darah
4. Hemoglobin
5. Leukosit
6. PaO2
7. Kadar albumin darah
8. Terapi reperfusi
9. Kelas Killip
Gambar 4.2. Hubungan antar Variabel
4.4.2. Definisi operasional variabel
1. Infark Miokard Akut : Merupakan kelainan yang terdiri dari, NSTEMI
dan STEMI. Kelainan ini didasarkan atas keluhan nyeri dada yang
tipikal disertai dengan kelainan EKG dan peningkatan marka jantung
yang berupa peningkatan kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin
I/T di atas nilai normal. Keluhan nyeri dada yang tipikal berupa rasa
tertekan atau berat di daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri,
leher, area interskapular, bahu, atau epigastrium yang berlangsung
secara intermiten atau persisten (> 20 menit) sering disertai dengan
diaphoresis, mual atau muntah, nyeri abdominal, sesak nafas dan
sinkop.
a. Dikatakan NSTEMI : Bila keluhan nyeri dada tipikal ini
disertai dengan perubahan EKG berupa ST depresi ≥ 0,05 mV
pada sadapan V1-V3 dan 0,1 mV pada sadapan lainnya,
elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit) pada > 2
sadapan berdekatan, atau inversi gelombang T yang simetris ≥
0,2 mV dan disertai kenaikan marka jantung kreatinin kinaseMB (CK-MB) atau troponin I/T di atas nilai normal.
b. Dikatakan STEMI : Bila keluhan nyeri dada tipikal disertai
dengan perubahan EKG berupa LBBB baru atau persangkaan
baru atau elevasi segmen ST persisten (≥ 20 menit) dengan
elevasi segmen ST ≥ 0,2 mV pada sadapan V1-V3 pada pria
usia ≥ 40 tahun, elevasi segmen ST ≥ 0,25 mV pada pria usia <
40 tahun, atau elevasi segmen ST ≥ 0,15 mV pada wanita,
elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R ≥ 0,05 mV, atau
elevasi segmen ST pada sadapan V7-V9 ≥ 0,5 mV, disertai
dengan kenaikan marka jantung kreatinin kinase-MB (CKMB) atau troponin I/T di atas nilai normal.
2. Mortalitas : kematian oleh berbagai sebab yang terjadi dalam 30 hari
paska IMA. Untuk kematian di rumah sakit dibuktikan dengan surat
keterangan kematian. Untuk kematian di luar rumah sakit didapatkan
melalui telepon kepada anggota keluarga pasien atau kepada pasien
sendiri dimana kematian tidak diakibatkan oleh karena kecelakaan
lalu lintas atau kematian tidak wajar seperti bunuh diri. Kematian
kardiovaskular merupakan kematian yang dapat diakibatkan oleh
beberapa hal berikut (Cannon dkk, 2013) :
a. IMA
b. Henti jantung mendadak
c. Kematian akibat gagal jantung
d. Kematian akibat stroke
e. Kematian akibat prosedur kardiovaskular
f. Kematian akibat perdarahan kardiovaskular
g. Kematian akibat sebab kardiovaskular lainnya
3. Gagal jantung : merupakan temuan pada pasien yang dapat berupa
simptom klinis gagal jantung yang terdiri dari sesak nafas saat
aktivitas ringan, sesak nafas berulang yang terjadi pada posisi
supinasi, retensi cairan, atau ditemukannya rales, distensi vena
jugular, oedema paru pada pemeriksaan fisik, atau oedema paru pada
pemeriksaan rontgen dada. Fraksi ejeksi yang rendah tanpa gejala
klinis gagal jantung tidak dimasukkan sebagai gagal jantung (Cannon
dkk, 2013)
4. Syok Kardiogenik : keadaan dimana tekanan darah sistolik < 90
mmHg yang menetap dalam > 30 menit dan atau cardiac index <2,2
L/min/m2 yang secara sekunder diakibatkan oleh disfungsi jantung
dan atau memerlukan pengobatan dengan inotropik atau vasopresor
parenteral atau bantuan mekanik (intra aortic ballon pump,
extracorporeal circulation, ventricular assist device) untuk menjaga
tekanan darah dan cardiac index diatas nilai tersebut (Cannon dkk,
2013).
5. Kelas Killip : klasifikasi mengenai sindrom gagal jantung akut dimana
dibagi menjadi beberapa kelas yaitu (Cannon dkk, 2013):
a. Kelas I
: bila tidak ditemukan adanya disfungsi ventrikel
kiri atau tanda gagal jantung
b. Kelas II
: ada tanda gagal jantung dan kongesti paru pada
setengah lapangan paru bagian bawah
c. Kelas III : gagal jantung berat dengan edema paru yang
menyebar di seluruh lapangan paru
d. Kelas IV : syok kardiogenik
6. Waktu : durasi yang dihitung dalam hari sejak didiagnosis IMA
sampai mengalami luaran berupa mortalitas atau kematian yang
diikuti selama 30 hari setelah diagnosis IMA.
7. Hiperlaktasemia : kadar laktat yang merupakan skala numerik dirubah
menjadi skala nominal dengan dua kategori yaitu hiperlaktasemia dan
tidak hiperlaktasemia. Batas nilai untuk menentukan kadar laktat
dalam hubungannya dengan prognosis dengan cara membuat kurva
Receiving Operating Characteristic (ROC) dan didapatkan nilai 4,4
mmol/L merupakan cut of point terbaik kadar laktat untuk
memprediksi mortalitas.
8. Laktat darah : suatu produk metabolisme intermediet yang digunakan
sebagai indikator hipoperfusi jaringan. Nilai laktat ditetapkan atas
nilai tertinggi dari pemeriksaan darah kapiler saat masuk rumah sakit
dan 2 jam setelah perawatan yang diperiksa dengan alat Accutrend
lactate meter yang menggunakan impuls cahaya light emitting diode
(LED) untuk mengukur warna yang dihasilkan pada strip tes laktat
selama reaksi dan membandingkan dengan nilai baseline (pengukuran
enzimatik photometric). Dinyatakan hiperlaktasemia (+) bila kadar
laktat ≥ 4,4 mmol/L dan hiperlaktasemia (-) bila kadar laktat < 4,4
mmol/L. Apabila pasien meninggal sebelum kedua pemeriksaan laktat
dilakukan maka kadar laktat yang dipakai adalah kadar laktat yang
sudah diperiksa. Laktat diperiksa di UGD PJT RSUP sanglah pada
saat pasien MRS dan 2 jam setelahnya baik di UGD maupun ICCU
PJT RSUP Sanglah Denpasar, dimana sampel darah diambil dari
darah kapiler di jari tangan atau jari kaki yang tidak terpasang infus.
9. Terapi Reperfusi : merupakan suatu tindakan baik dengan pemberian
obat atau terapi trombolisis dan tindakan intervensi berupa
Percutanesus Coronary Intervention (PCI) kepada pasien yang
didiagnosis dengan STEMI yang tidak memiliki kontraindikasi
terhadap tindakan tersebut (Cannon dkk, 2013).
10. Diabetes Militus : riwayat terdiagnosis diabetes dan atau telah
mendapatkan pengobatan disertai dengan beberapa kondisi berikut
(Cannon dkk, 2013) :
a. Hemoglobin A1c ≥ 6,5%; atau
b. Gula darah puasa ≥ 126 mg/dL (7,00 mmol/L); atau
c. Gula darah 2 jam setelah pembebanan test toleransi glukosa ≥
200 mg/dL (11,1 mmol/L); atau
d. Pasien dengan simptom klasik berupa hiperglikemia atau krisis
hiperglikemia, gula darah acak ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
e. Tidak termasuk pasien dengan diabetes gestasional.
11. Ketoasidosis diabetika : merupakan komplikasi akut dari diabetes
dimana ditandai dengan triad berupa
a. Hiperglikemia >250 mg,
b. Hiperketonemia serum dan atau urine,
c. Asidosis metabolik PH <7,3 dengan nafas kusmaul dengan
temuan tambahan yang mendukung KAD berupa serum
glukosa > 250 mg, pH arteri < 7,3, serum bikarbonat < 18
meq/l, anion gap > 10 dan ketonuria atau ketonemia moderate.
12. Penyakit ginjal kronis : kerusakan ginjal (renal demage) yang terjadi
lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal,
termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan
dalam tes pencitraan (imaging test). Atau laju filtrasi glomerulus
(LFG) kurang dari 60 ml/menit/1.73m2 selama 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal (Levin dkk, 2013).
13. Penyakit Hati Kronis : ditandai dengan adanya riwayat penyakit hati
disertai dengan gejala dan tanda kegagalan hati, portal hipertensi yang
didapatkan
dengan
melakukan
anmnesa,
pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan penunjang (dengan mengukur enzim SGOT, SGPT
dengan nilai 2 kali lebih besar dari normal).
14. Hipertensi : pasien dengan diagnosis hipertensi bila memenuhi salah
satu dari kriteria berikut (Cannon dkk, 2013) :
a. Riwayat terdiagnosis hipertensi dan berobat dengan obatobatan, diit, dan atau exercise
b. Riwayat tekanan darah sistolik
≥
140 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada pasien tanpa diabetes
atau penyakit ginjal kronis, atau
c. Riwayat tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg atau tekanan
darah diastolik ≥ 80 mmHg pada 2 kali pengukuran pada
pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal kronis
d. Dalam pengobatan hipertensi
15. Sepsis : merupakan keadaan klinis yang berkaitan dengan infeksi
dengan manifestasi SIRS (systemic inflamatory response syndrome)
dimana respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau
lebih keadaan berikut :
a. Suhu >38ºC atau < 36ºC
b. Frekuensi jantung >90 kali/menit
c. Frekuensi nafas >20 kali/menit
d. PaCO2 <32 mmHg atau
e. Leukosit darah > 12.000/mm3, < 4.000/mm3 atau batang >10%
16. Penyakit keganasan : suatu keadaan dimana diketahui adanya riwayat
keganasan baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang maupun dari catatan medis.
17. Dislipidemia : pasien dengan riwayat terdiagnosis dislipidemia dan
atau riwayat pengobatan oleh dokter. Atau dengan beberapa kriteria
berikut (Cannon dkk, 2013) :
a. Kolesterol total > 200 mg/dL (5,18 mmol/L); atau
b. Low density lipoprotein (LDL) ≥ 130 mg/dL (3,37 mmol/L);
c. High density lipoprotein (HDL) < 40 mg/dL (1,04 mmol/L)
pada pria dan < 50 mg/dL (1,30 mmol/L) pada wanita;
d. Dalam pengobatan antilipidemic.
18. Umur : ditentukan berdasarkan tanggal, bulan, dan tahun lahir hingga
saat masuk rumah sakit berdasarkan kartu tanda penduduk (KTP) atau
yang tercatat di dalam rekam medis pasien. Bila tanggal lahir tidak
diketahui digunakan tanggal 31 Desember pada tahun dimana terjadi
peristiwa penting. Umur dikatakan meingkatkan risiko kelainan
kardiovaskular adalah umur >45 tahun pada pria dan >55 tahun pada
wanita.
19. Jenis kelamin : ditentukan berdasarkan jenis kelamin yang tercantum
dalam kartu tanda penduduk.
20. PaO2 : tekanan parsial oksigen plasma arteri yang diambil dari hasil
analisa gas darah dan dinyatakan dalam satuan mmHg.
21. Kadar albumin : nilai albumin dari kimia darah vena saat pasien
pertama kali datang dan dinyatakan dalam g/dL.
22. Gula darah : kadar gula darah dari kimia darah vena saat pasien
pertama kali datang dan dinyatakan dalam mg/dL.
23. Hemoglobin serum : merupakan protein sel darah merah yang
membawa oksigen, yang diperiksa dengan teknik photometrik dari
sampel darah vena dan dinyatakan dalam mg/dL.
24. Leukosit serum : sel darah berinti yang disebut juga sel darah putih
yang berfungsi dalam pertahanan tubuh yang diperiksa dari darah
vena dan dinyatakan dalam µL.
4.5 Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah dari darah kapiler ujung jari tangan
atau kaki, dimana kadar laktat diukur dengan metode kuantitatif menggunakan
Accutrend Lactate Meter.
4.6 Instrumen Penelitian
Adapun instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pengukur
laktat otomatis yaitu Accutrend Lactate Meter. Alat ini memiliki koefesien variasi
4,3%.
Adapun instrumen lain yang dipergunakan adalah rekam medis pasien, hasil
pemeriksaan laboratorium pasien, tensimeter air raksa Reister, stetoskop dan
lembar pengumpul data.
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Tata cara penelitian
Kepada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi atau pihak
keluarga yang bertanggung jawab diberikan informasi mengenai penelitian ini,
termasuk mengenai keuntungan dan kerugiannya, bila menyetujui maka pasien
atau pihak keluarga yang bertanggung jawab diminta untuk menandatangani
formulir yang telah disediakan. Selanjutnya semua sampel penelitian dikelola
sesuai dengan prosedur. Penanganan pasien IMA dilakukan sesuai dengan
Pedoman Terapi Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD/
RSUP Sanglah Denpasar.
Data diperoleh dari catatan medis penderita berupa nama, nomer rekam
medis, diagnosis, hasil laboratorium, mortalitas 30 hari paska IMA di dalam
rumah sakit. Dan untuk mortalitas 30 hari paska IMA yang terjadi di luar rumah
sakit didapatkan dengan menghubungi pertelepon pasien atau anggota
keluarganya.
Pengukuran kadar laktat dilakukan dengan menggunakan Accutrend lactate
meter, pengukuran dilakukan saat pasien masuk rumah sakit, dan 2 jam setelah
perawatan. Hasil pemeriksaan dikumpulkan oleh peneliti dan selanjutnya
dilakukan analisis.
4.7.2 Prosedur pengumpulan data
Pasien memenuhi kriteria penelitian dan sudah menandatangani formulir
persetujuan dilakukan evalusi klinis. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
EKG, pemeriksaan rontgen, dan pasien diminta memberi keterangan untuk
mengisi lembar pengumpulan data.
Pemeriksaan laktat dari darah kapiler dengan menggunakan Accutrend
lactate meter pada saat pasien masuk rumah sakit dan 2 jam setelah perawatan.
Sampel darah kapiler 15-50 µL diletakkan pada area aplikasi pada tes strip,
dimasukkan ke chamber flap dan ditutup. Sampel diambil dari ujung jari tangan
atau kaki yang tidak terpasang infus pada tempat yang sama. Sampel darah akan
mengalami reaksi enzimatik dengan pembentukan warna. Jumlah warna yang
dihasilkan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi laktat. Intensitas
warna diukur dengan iluminasi area aplikasi dari bawah dengan menggunakan
LED . Intensitas dari cahaya yang direfleksikan diukur dengan detektor
(reflectance photometry) . Nilai yang terukur ditentukan oleh kekuatan sinyal dan
cahaya yang direfleksikan. Hasil akan tertera pada alat dan secara langsung
tersimpan ke dalam memori.
4.7.3 Alur penelitian
Pasien nyeri dada yang masuk ke UGD RSUP Sanglah didiagnosis sebagai
IMA berdasarkan klinis dan data penunjang dipergunakan sebagai populasi
terjangkau. Dari populasi terjangkau kemudian dievaluasi berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi untuk mendapatkan eligible study subject. Dari populasi
terjangkau diambil sampel secara konsekutif sampai dengan jumlah sampel yang
dibutuhkan.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksan laboratorium dan pemeriksaan kadar
laktat dengan alat pengukur kadar laktat Accutrend lactate meter. Hasil
pemeriksaan dikumpulkan oleh peneliti dan selanjutnya dilakukan analisis.
Populasi Target
Pasien IMA
Populasi Terjangkau
Semua penderita IMA yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar
Kriteria Eksklusi
Kriteria Inklusi
eligible study subject
Lembar pengumpulan data
Kadar laktat pertama kali di UGD dan
2 jam setelah perawatan
Mortalitas 30 hari paska
IMA
\
Analisis Data
4.3 Gambar Alur Penelitian
4.8. Analisis Data
Analisis data dilakukan dalam 3 tahap, pertama dilakukan analisis univariat,
kedua dilakukan analisis bivariat dan kemudian multivariat.
1. Analisis univariat, bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek
penelitian dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi.
2. Analisis kurva ROC. Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan cut of point
terbaik untuk menyatakan hiperlaktasemia. Pada analisis ini kadar laktat akan
menjadi variabel kategorikal, dan mortalitas sebagai refference variabel.
Kemudian akan terbentuk kurva ROC yang terdiri dari sumbu X dan Y.
Sumbu X adalah 1-spesifisitas, dan sumbu Y adalah sensitivitas. Cut of point
terbaik adalah nilai hiperlaktasemia tertentu yang menghasilkan nilai akurasi
tertinggi sebagai prediktor mortalitas.
3. Analisis bivariat, bertujuan untuk mengetahui pengaruh satu variabel bebas
terhadap variabel tergantung. Variabel bebas pada penelitian ini adalah
hiperlaktasemia. Variabel tergantung adalah mortalitas. Selain pengaruh
hiperlaktasemia terhadap mortalitas secara keseluruhan, analisi bivariat juga
dilakukan untuk menilai pengaruh hiperlaktasemia terhadap masing-masing
subvariabel dari mortalitas. Hasil analisis bivariat ditampilkan menggunakan
grafik estimasi survival Kaplan-Meier kemudian dinilai perbedaan median
time dan probabilitas survival berdasarkan variabel bebas. Uji statistik yang
digunakan pada analisis bivariat adalah Logrank test. Pertimbangan
penggunaan metode Kaplan-Meier karena pada penelitian ini terdapat variabel
time (waktu), event dan sensor. Selain itu keuntungan penggunaan analisis
Kaplan-Meier pada subjek penelitian yang datanya dianalisis sesuai dengan
waktu aslinya adalah menghasilkan perhitungan probabilitas survival yang
lebih akurat (Kleinbaum and Klein, 2005).
4. Analisis multivariat bertujuan untuk menganalisis apakah hiperlaktasemia
merupakan prediktor independen terjadinya mortalitas dengan mengontrol
variabel lain yang diduga sebagai confounder. Uji statistik yang digunakan
pada analisis multivariat adalah Coxregression atau Cox Proportional Hazard
Model. Penggunaan uji statistik ini didasari karena hazard rasio yang
dihasilkan diharapkan berasal dari perbandingan kelompok pajanan yang tidak
berubah (konstan) sepanjang waktu atau dikenal dengan istilah proportional
hazard
assumption.
Untuk
mengetahui
apakah
proportional
hazard
assumption sudah terpenuhi atau belum maka sebelum masuk ke dalam model
regresi Cox, pengaruh variabel bebas utama di uji proportional hazards
assumption (Global test). Bila nilai p > 0,05 maka proportional hazard
assumption terpenuhi dan bila nilai p ≤ 0,05 maka proportional hazard
assumption tidak terpenuhi. Bila proportional hazard assumption tidak
terpenuhi maka terlebih dahulu dilakukan stratifikasi berdasarkan waktu
(Kleinbaum and Klein, 2005).
Selanjutnya dilakukan penilaian variabel yang diduga memiliki efek
confounding. Dalam metode statistik penilaian confounding dilakukan dengan
menilai perubahan hazard ratio (HR) antara model dasar dengan sesudah
variabel tersebut dikeluarkan dari model multivariat. Semua variabel yang
diduga sebagai confounding yang memiliki nilai p < 0,25 berdasarkan uji Logrank test dimasukkan kedalam model. Variabel confounding kemudian
dikeluarkan satu per satu dimulai dari nila p yang tertinggi. Perubahan HR
lebih dari atau sama dengan 10% maka variabel tersebut merupakan
confounding dan harus tetap dimasukkan kedalam model dan bila kurang dari
10% maka variabel tersebut bukan sebagai perancu dan dikeluarkan dari
model.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Selama periode bulan November 2014 sampai dengan Februari 2015, telah
dilakukan
studi observasional dengan rancangan kohort prospektif, yang
bertempat di RSUP Sanglah-Denpasar. Penelitian ini dimulai setelah mendapat
persetujuan dari unit penelitian dan pengembangan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dengan surat Kelaikan Etik
(Ethical Clearance) dan surat ijin penelitian dari Direktur Sumber Daya manusia
(SDM) dan Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar.
Sampel dalam penelitian ini adalah penderita IMA baik STEMI maupun
NSTEMI yang memenuhi kriteria inklusi yang diambil secara consecutive
sampling dari populasi penelitian. Sebanyak 121 pasien IMA dari minimal 118
sampel menurut perhitungan jumlah sampel yang diikutkan dan menjalani
perawatan di UPIJ RSUP Sanglah Denpasar, dilakukan pemeriksaan laktat dari
darah kapiler dengan menggunakan Accutrend lactate meter pada saat pasien
masuk rumah sakit dan 2 jam setelah perawatan. Selama 30 hari kedepan dari
mulai diagnosis
pasien diikuti untuk mengetahui adanya mortalitas. Variabel
yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: kadar laktat sebagai variabel bebas,
mortalitas dalam 30 hari sebagai variabel tergantung.
Sampel Penelitian
37; 31%
84; 69%
STEMI
NSTEMI
Gambar 5.1 Grafik Jumlah Sampel Penelitian
Penderita IMA yang dilibatkan dalam penelitian ini yaitu 84 orang pasien
STEMI dan 37 orang pasien NSTEMI seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.1
di atas.
Pasien dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok dengan
hiperlaktasemia dan kelompok tanpa hiperlaktasemia. Dimana cutt of point dalam
menyatakan ada tidaknya hiperlaktasemia dilakukan dengan membuat kurva
ROC. Hasil analisis deskriptif populasi penelitian dan kurve ROC akan
ditunjukkan pada tabel dan gambar berikut:
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Tabel 5.1
Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Demografi, Presentasi Klinis
dan Terapi Reperfusi
Karakteristik
Demografi
Laki-laki
Perempuan
Umur (tahun), rerata ± SD
Karakteristik saat datang
Onset nyeri dada
≤12 jam
>12 jam
Diagnosis
STEMI
NSTEMI
Killip
I
II
III
IV
Terapi reperfusi
Trombolitik
Ya
Tidak
PCI
Ya
Tidak
Total (n=121)
Hiperlaktasemia
Ya (n=27)
Tidak (n=94)
103 (85,12%)
18 (14,88%)
59,07±12,14
20 (74,07%)
7 (25,93%)
60,59±12,93
83 (88,30%)
11 (11,70%)
58,64±11,94
86 (71,07%)
35 (28,93%)
19 (70,37%)
8 (29,63%)
67 (71,28%)
27 (28,72%)
84 (69,42%)
37 (30,58%)
17 (62,96%)
10 (37,04%)
67 (71,28%)
27 (28,72%)
79 (65,29%)
17 (14,05%)
8 (6,61%)
17 (14,05%)
9 (33,33%)
3 (11,11%)
1 (3,70%)
14 (51,85%)
70 (74,47%)
14 (14,89%)
7 (7,45%)
3 (3,19%)
47 (38,84%)
74 (61,16%)
4 (14,81%)
23 (85,19%)
43 (45,74%)
51 (54,26%)
1 (0,83%)
120 (99,17%)
1 (3,70%)
26 (96,30%)
0 (0,00%)
94 (100,00%)
Tabel 5.2
Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Laboratorium
Karakteristik
Total (n=121)
Hiperlaktasemia
Ya (n=27)
Tidak (n=94)
WBC (µL), rerata ± SD
Hemoglobin (mg/dL), rerata ±
SD
Albumin (g/dL), rerata ± SD
Gula darah sewaktu (mg/dL),
rerata ± SD
pO2 (mmHg), rerata ± SD
12,96±4,55
14,03±2,24
13,45±4,32
13,37±2,98
12,82±4,62
14,22±1,96
3,75±0,47
171,20±79,15
3,62±0,59
166,38±73,64
3,78±0,43
172,58±80,98
135,95±36,01
125,85±41,56
138,85±33,94
Tabel 5.3
Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Faktor Risiko Kradiovaskular
Karakteristik
Riwayat keluarga
Ya
Tidak
Dislipidemia
Ya
Tidak
Hipertensi
Ya
Tidak
Diabetes
Ya
Tidak
Merokok
Ya
Tidak
Total (n=121)
Hiperlaktasemia
Ya (n=27)
Tidak (n=94)
11 (9,09%)
110 (90,91%)
3 (11,11%)
24 (88,89%)
8 (8,51%)
86 (91,94%)
60 (49,59%)
61 (50,41%)
14 (51,85%)
13 (48,15%)
46 (48,94%)
48 (51,06%)
54 (44,63%)
67 (55,37%)
11 (40,74%)
16 (59,26%)
43 (45,74%)
51 (54,26%)
36 (29,75%)
85 (70,25%)
6 (22,22%)
21 (77,78%)
30 (31,91%)
64 (68,09%)
69 (57,02%)
52 (42,98%)
13 (48,15%)
14 (51,85%)
56 (59,57%)
38 (40,43%)
5.2 Analisis Kurva ROC
Batas nilai untuk menentukan hiperlaktasemia menggunakan data yang
dikumpulkan dari penelitian ini dengan cara membuat kurva ROC.
1.00
0.75
0.50
0.00
0.25
Sensitivity
0.00
0.25
0.50
1 - Specificity
0.75
1.00
Area under ROC curve = 0.8425
Gambar 5.2 Kurva ROC dalam Menentukan Cutt of Point Hiperlaktasemia
Berdasarkan hasil analisis kurva ROC, didapatkan nilai cutt of point terbaik
dalam menyatakan hiperlaktasemia untuk memprediksi adanya luaran yang
berupa mortalitas dan didapatkan hubungan optimal baik dari segi sensitivitas
maupun spesifisitas adalah pada kadar laktat 4,4 mmol/L. Area Under Curve
(AUC) yaitu 0,8425, standard error 0,0418, (95% CI = 0,76059-0,92442).
Karakteristik Kadar Laktat
27; 22%
Hiperlaktasemia (+)
94; 78%
Hiperlaktasemia (-)
Gambar 5.3 Grafik Populasi Sampel Berdasarkan Kadar Laktat
Dengan menggunakan nilai cutt of point 4,4 mmol/L maka didapatkan
sebanyak 27 pasien dengan hiperlaktasemia, dan 94 pasien tanpa hiperlaktasemia.
Kadar laktat yang merupakan skala numerik kemudian dirubah menjadi skala
nominal dengan dua kategori yaitu hiperlaktasemia dan tidak hiperlaktasemia.
5.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA
Untuk mengetahui pengaruh hiperlaktasemia terhadap mortalitas dalam 30
hari paska IMA, maka dilakukan analisis bivariat. Metode analisis yang
digunakan adalah metode estimasi survival dari Kaplan-Meier yang disajikan
dalam bentuk grafik estimasi Kaplan-Meier.
0.75
1.00
Grafik Kaplan Meier Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari paska IMA
99%
98% 97%
96%
95%
94%
93%
P<0,001
78%
67%
0.50
59%
52%
48%
44%
0.00
0.25
41%
0
10
20
30
Hari
Normal
Hiperlaktasemia
Gambar 5.4 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas 30
hari Paska IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia
Pada Gambar 5.4 grafik estimasi survival dibagi menjadi 2 kelompok kadar
laktat yaitu kelompok hiperlaktasemia dan tanpa hiperlaktasemia.
100
87
50
Hiperlaktasemia (-)
Hiperlaktasemia (+)
7
16
0
Mortalitas (+)
11
Mortalitas (-)
Gambar 5.5 Grafik Karakteristik Mortalitas Berdasarkan Kadar Laktat
Dari 121 kasus IMA yang diamati selama penelitian, diketahui sebesar 23
pasien mengalami mortalitas, 16 pasien diantaranya mengalami hiperlaktasemia,
sedangkan 7 pasien
tanpa hiperlaktasemia. Terlihat bahwa pasien yang
mengalami hiperlaktasemia lebih banyak yang mengalami event dari pada yang
tidak. Akan tetapi narasi data diatas belum memperhitungkan waktu pengamatan.
Pada pasien dengan hiperlaktasemia probabilitas survival pada hari pertama
sebesar 0,78, sedangkan pasien tanpa hiperlaktasemia sebesar 1,00. Hal ini berarti
bahwa pada hari pertama 78% pasien dengan hiperlaktasemia dan 100% pasien
tanpa hiperlaktasemia tidak mengalami kematian. Pada akhir pengamatan yaitu
hari ke-30, probabilitas survival pasien
hiperlaktasemia
0,41 dan
tanpa
hiperlaktasemia nilainya 0,93. Hal ini berarti bahwa pada akhir pengamatan 41%
pasien hiperlaktasemia dan 93% pasien tanpa hiperlaktasemia tidak mengalami
kematian.
Setelah dilakukan Uji Logrank test didapatkan bahwa survival rate antara
pasien dengan hiperlaktasemia dan tanpa hiperlaktasemia
berbeda secara
bermakna dengan nilai p sebesar <0,0001.
Pengaruh independen hiperlaktasemia terhadap motalitas dilihat dengan nilai
hazard ratio yaitu sebesar 14,5, dan ditunjukkan pada tabel 5.4 dibawah ini.
Tabel 5.4 Hazard Ratio (HR) Terjadinya Mortalitas 30 hari Paska IMA
dengan Hiperlaktasemia dan Tanpa Hiperlaktasemia
Variabel
Hiperlaktasemia
 Ya
 Tidak
Jumlah
mortalitas
Jumlah
orangwaktu
IR
HR
16
7
423
2681
0,038
0,003
14,5
Ref
95% CI
5,63941,640
Nilai p
<0,0001
Risiko mortalitas 30 hari paska IMA jika ditemukan dengan hiperlaktasemia
hampir 15 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa hiperlaktasemia.
Perbedaan risiko tersebut bermakna secara statistik dengan p<0,0001. Nilai HR ini
masih bersifat kasar dan belum mengontrol variabel lain yang dianggap sebagai
perancu.
5.4 Pengaruh Hiperlaktasemia Terhadap Mortalitas 30 hari Paska IMA
setelah Dikontrol dengan Variabel lain
Variabel pada penelitian ini meliputi nilai hiperlaktasemia sebagai variabel
bebas dan jenis kelamin, umur, onset nyeri dada, riwayat keluarga, dislipidemia,
hipertensi, diabetes melitus, merokok, diagnosis, gula darah sewaktu, leukosit,
hemoglobin, pO2, kadar albumin darah, streptokinase dan PCI sebagai variabel
kendali. Variabel dengan skala data kategorikal dilakukan uji Chi Square.
Variabel dengan skala data numerik diuji normalitasnya dengan Uji Normalitas
Saphiro Wilk dan dinilai homogenitas varian antar kelompoknya. Variabel yang
berdistribusi normal (p >0,05) dianalisis dengan uji independen t-test. Sedangkan
variabel tidak berdistribusi normal (p < 0,05) dilakukan uji non parametrik (two
group mean comparison test).
Analisis
multivariat
yang
digunakan
untuk
mengetahui
pengaruh
hiperlaktasemia terhadap mortalitas adalah Cox Proportional Hazard Model.
Sebelumnya dilakukan pengujian apakah asumsi proportional hazard sudah
terpenuhi pada variabel hiperlaktasemia dengan menggunakan uji global test.
Hasil uji global test terhadap variabel hiperlaktasemia didapatkan nilai p
sebesar 0,8484. Oleh karena nilai p lebih dari 0,05 maka dapat dikatakan bahwa
asumsi proportional hazard untuk variabel hiperlaktasemia terpenuhi. Hal ini
berarti hazard ratio yang dihasilkan berasal dari perbandingan kelompok pajanan
yang tidak berubah (konstan) sepanjang waktu.
Variabel yang dimasukkan dalam uji multivariat adalah variabel dengan nilai
p<0,25. Semua variabel yang diduga sebagai confounding yang memiliki nilai
p<0,25 dimasukkan kedalam model.
Variabel dengan nilai p <0,25 yaitu jenis kelamin, kelas Killip, terapi
trombolitik (streptokinase), PCI, kadar pO2, albumin, dan hemoglobin darah.
Variabel ini ditunjukkan dalam tabel model dasar uji regresi cox dibawah ini.
Tabel 5.5 Model Dasar Hasil Analisis Cox Proportional Hazards Regression
Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA
Variabel
Hiperlaktasemia
Jenis Kelamin
Killip
Trombolitik (Streptokinase)
PCI
pO2
Albumin
Hemoglobin
HR
3,47
0,38
2,74
0,16
0,89
0,99
1,51
0,84
CI
1,167-10,320
0,138-1,035
1,700-4,412
0,020-1,265
0,105-7,481
0,984-1,005
0,558-4,068
0,693-1,013
P
0,025
0,058
<0,001
0,082
0,913
0,316
0,419
0,068
Variabel confounding kemudian dikeluarkan satu per satu dimulai dari nilai p
yang tertinggi. Apabila dalam perhitungan ditemukan adanya perubahan HR lebih
dari atau sama dengan 10% maka variabel tersebut merupakan confounding dan
harus tetap dimasukkan kedalam model dan bila kurang dari 10% maka variabel
tersebut bukan sebagai perancu dan dikeluarkan dari model.
Dari ketujuh variabel bebas yang dimasukkan kedalam model cox regresi, 3
variabel yaitu jenis kelamin,
kelas Killip, dan hemoglobin menyebabkan
perubahan HR lebih dari atau sama dengan 10%, namun nilai p yang ditunjukkan
oleh variabel jenis kelamin memiliki nilai >0,05, sedangkan variabel kelas Killip
dan hemoglobin memiliki nilai p < 0,05.
Tabel 5.6 Model Akhir Hasil Analisis Cox Proportional Hazards Regression
Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA
Variabel
Hiperlaktasemia
Jenis kelamin
Killip
Hemoglobin
HR
3,33
0,395
2,814
0,810
95% CI
1,084-10,210
0,143-1,094
1,786-4,435
0,672-0,978
P
0,036
0,074
<0,001
0,028
Berdasarkan model akhir analisis cox regresi,
hiperlaktasemia terbukti
sebagai prediktor terjadinya mortalitas 30 hari paska IMA. Pasien dengan
hiperlaktasemia memiliki kemungkinan mortalitas 30 hari paska IMA yang lebih
tinggi 3 kali dibandingkan tanpa hiperlaktasemia. Pada model akhir ini juga
didapatkan bahwa variabel kelas Killip dan kadar hemoglobin darah merupakan
variabel perancu pengaruh laktat terhadap mortalitas.
Setelah diketahui model akhir dari HR, maka penting untuk diketahui nilai R
square atau koefisien determinasi untuk mengetahui seberapa besar variabel
tergantung (mortalitas) dipengaruhi oleh variabel yang ada di dalam model. Nilai
R square yang dihitung disini adalah Poisson R square karena dalam Cox
Proportional Hazzards Regression tidak tersedia hasil perhitungan R square. Nilai
R square berdasarkan variabel hiperlaktasemia, kelas Killip dan kadar hemoglobin
darah sebesar 41,4%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel independent
hiperlaktasemia, kelas Killip dan kadar hemoglobin darah menyebabkan kematian
30 hari paska IMA sebesar 41,4%, sedangkan 58,6% disebabkan oleh variabel
lainnya.
BAB VI
PEMBAHASAN
Selama periode bulan November 2014 sampai Februari 2015, dilakukan
penelitian observasional dengan rancangan kohort prospektif, yang bertempat di
RSUP Sanglah Denpasar. Temuan yang penting dari penelitian ini adalah kadar
laktat sebagai penanda derajat hipoperfusi regional sebagai prediktor mortalitas 30
hari paska IMA.
Sindrom koroner akut memiliki beberapa kesamaan mekanisme patofisiologi,
namun setiap kondisi memiliki perbedaan klinis, elektrokardiografi dan perubahan
enzim serta menunjukkan luaran kardiovaskular yang berbeda dari ringan hingga
berat (Anderson dkk, 2011).
Pengukuran risiko berdasarkan karakteristik klinis cukup sulit dan sering
tidak akurat. Hampir sepertiga kasus IMA tidak menunjukkan gejala nyeri yang
tipikal. Kriteria EKG seperti ST elevasi memiliki spesifisitas yang tinggi namun
sensitivitas yang rendah untuk menilai adanya infark. Kurang lebih tiga perempat
pasien dengan sindrom koroner akut tidak memiliki gambaran ST elevasi. Nilai
troponin saat masuk rumah sakit memiliki nilai prediktor yang buruk karena
dibutuhkan waktu keluarnya biomarker ini untuk keluar dari kardiomiosit
(Anderson dkk,2011).
Beberapa penilaian risiko telah digunakan dalam praktek klinis. Skor
Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) didapatkan dari populasi penelitian
klinis, sedangkan Global Registry of Acute Cardiac Events (GRACE) didapatkan
dari data internasional (Anderson dkk, 2011).
Usia, deviasi segmen ST dan status biomarker merupakan komponen yang
terdapat pada TIMI dan GRACE. GRACE memiliki kelebihan karena terdapat
variabel hemodinamik dan disfungsi ginjal. Pemeriksaan laktat menggambarkan
derajat perfusi jaringan sehingga juga menggambarkan variabel hemodinamik,
meskipun aplikasi klinis belum secara luas digunakan (Attana dkk, 2012).
Akibat utama dari iskemik miokard adalah disfungsi metabolik mitokondria
oleh karena penurunan penghantaran oksigen ke jaringan sehingga mengakibatkan
penurunan pembentukan ATP dari oksidasi posforilasi. Penurunan pembentukan
ATP secara aerobik akan menyebakan peningkatan proses glikolisis dan
peningkatan ambilan glukosa oleh mitokondria dan pemecahan glikogen. Tidak
seperti kondisi jantung dengan aliran darah normal, selama iskemia pyruvate yang
diproduksi melalui proses glikolisis tidak sepenuhnya dapat dioksidasi di
mitokondria, dan terjadi konversi pyruvate menjadi laktat di sitosol dalam
kecepatan yang tinggi sehingga mengakibatkan peningkatan laktat jaringan
(Stanley, 2001).
Hiperlaktasemia merupakan suatu penanda stress metabolik dan derajat
keparahannya yang dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Mengetahui lebih awal adanya hiperlaktasemia sangat esensial dalam penanganan
awal untuk memperbaiki hemodinamik dalam menurunkan mortalitas (Backer,
2003).
Peran klinis laktat pada infark miokard akut (IMA) tidak sepenuhnya
diketahui. Henning dkk pada tahun 1982 meneliti pada pasien IMA, dikatakan
hiperlaktasemia berhubungan dengan prognosis yang buruk dimana tidak ada
pasien dengan kadar laktat >4 mmol/L bertahan dalam >12 jam tanpa
memperhatikan stroke volume, tekanan pengisian ventrikel kiri, atau cardiac work
(Attana dkk, 2012).
Salah satu studi diskriptif mengenai korelasi klinis saat masuk rumah sakit
laktat arteri pada pasien STEMI didapatkan bahwa gangguan hemodinamik dan
buruknya thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow berhubungan dengan
peningkatan kadar laktat. Pada studi ini mortalitas dalam 30 hari didapatkan 3,2 %
pada mereka dengan kadar laktat tinggi ≥ 1,8 mmol/L (Vermeulen dkk, 2010).
Vermeulen dkk menyatakan bahwa pada pasien STEMI dengan kadar laktat
yang lebih tinggi dari normal berhubungan dengan peningkatan angka mortalitas
dalam 30 hari dan memperburuk outcome percutaneus coronary intervention
(PCI). Selain itu studi oleh Lazzeri dkk terhadap 253 pasien STEMI non diabetik
yang dilakukan PCI, menunjukkan kadar laktat saat masuk rumah sakit secara
independent sebagai prediktor angka mortalitas di unit perawatan jantung intensif.
Pada studi kohort dalam jumlah besar terhadap 807 pasien STEMI non diabetes
yang dilakukan PCI mendapatkan hasil yang hampir sama dimana kadar laktat
merupakan marker prognosis terhadap mortalitas awal pasien dengan kelas Killip
yang berat (Attana dkk, 2012).
Menilai kadar laktat miokardium secara langsung sangat tidak dimungkinkan
pada manusia, karena kesulitan dalam mempelajari pola metabolik miokardium
manusia disamping itu kesulitan dalam mengetahui derajat iskemia dari waktu ke
waktu. Apstein dkk meneliti mengenai pola produksi laktat pada otot jantung
binatang coba tikus dan kelinci yang dibuat iskemia dimana didapatkan kadar
laktat meningkat dengan cepat dalam 5-25 menit setelah iskemia dan kemudian
akan mengalami penurunan secara bertahap (Apstein dkk, 1979).
Studi di Canadian University mengukur kadar laktat vena pada pasien dengan
infark miokard mendapatkan bahwa dua jam setelah munculnya keluhan
kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan kadar laktat .
Pemeriksaan laktat secara serial atau laktat clearance secara klinis lebih
reliable sebagai petunjuk terhadap berat dan lamanya hipoksia jaringan dan juga
sebagai sarana prognosis. Peran laktat clearance pada kelainan jantung akut
sejauh ini belum banyak diketahui karena terbatasnya data yang ada. Peningkatan
laktat yang persisten akan menunjukkan adanya hipoksia jaringan yang persisten
pula (Attana dkk, 2012).
Scott dkk menilai peran laktat clearance 2 jam sebagai prediktor negatif
pasien dengan insufisiensi kardiorespirasi, dimana didapatkan bahwa laktat
clearance 2 jam > 15% merupakan prediktor negatif yang kuat terhadap outcome
pasien (p<0,001) dengan sensitivitas 86% (95% confidence interval (CI)=61%92%) dan spesifisitas 91% (95% CI=82%-96%), dengan nilai prediktif positif
80% (95% CI=61%-92%) dan nilai prediktif negatif 92% (95% CI= 84%-98%),
sehingga laktat clearance 2 jam dapat dipergunakan untuk menilai outcome
negatif pasien dan juga untuk memberikan terapi yang lebih agresif (Scoot dkk,
2010).
Pemeriksaan laktat melalui laboratorium membutuhkan waktu untuk
penghantaran dan pemeriksaannya. Durasi antara pengambilan sampel dengan
analisis di laboratorium sentral mengakibatkan nilai yang lebih tinggi dan
kesalahan interpretasi. Saat ini sudah tersedia alat analisis yang lebih cepat dan
dapat dilakukan di samping pasien, yang disebut dengan point of care analyzer,
contohnya accutrend lactate meter (Vermeulen dkk, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Moore dkk mengenai peran prediktor
pemeriksaan laktat darah lengkap dengan menggunakan alat pemeriksa laktat
portable terhadap mortalitas pasien human immunodeficiency virus dengan sepsis
didapatkan mortalitas rumah sakit sebesar 25,7% dan mortalitas 30 hari di dalam
dan luar rumah sakit sebesar 41,6%. Kadar optimal laktat dalam memprediksi
mortalitas rumah sakit adalah ≥ 4,0 mmol/L (sensitivitas 88,3%; spesifisitas
71,2%) dimana 50% pasien meninggal di rumah sakit lebih sering pada mereka
dengan kadar laktat ≥ 4,0 mmol/L (odds ratio 12,3; 95% confidence interval (CI),
3,5-48,9; P < 0,001) (Moore dkk, 2008).
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Selama penelitian, 121 penderita IMA yang memenuhi kriteria inklusi
diambil dengan cara consecutive sampling dari populasi penelitian.
Pada penelitian ini jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan (85,12% Vs 14,88%), namun kematian yang terjadi pada wanita
ditemukan pada 8 orang (44,4%) dari 18 wanita sedangkan pada pria ditemukan
15 ( 14,6%) kematian dari 103 orang pasien IMA.
Mortalitas IMA pada wanita lebih banyak dibandingkan pada pria dapat
diakibatkan oleh karena wanita biasanya lebih tua dibandingkan dengan pria pada
saat munculnya gejala, lebih sering menderita diabetes dan kurang mendapatkan
terapi yang agresif dibandingkan dengan pria. Hal ini dimungkinkan karena pasien
wanita datang ke rumah sakit sudah dengan onset yang terlambat akibat keluhan
yang sering tidak spesifik dan juga karena peningkatan angka kejadian diabetes
pada wanita . Wanita lebih sering mengalami nyeri dada atipikal sehingga datang
terlambat ke rumah sakit dan tidak memungkinkan untuk dilakukan trombolitik
(Shabbir dkk, 2008, Deljanin dkk, 2007)
Dari beberapa studi yang ada sebelumnya, didapatkan estrogen sebagai
proteksi terhadap proses aterosklerosis. Fisiologi estrogen pada wanita sebelum
menopause akan meningkatkan high density lipoprotein (HDL) dan menurunkan
low density lipoprotein (LDL). Efek lain dari estrogen adalah dalam
kemampuannya sebagai antioksidan, antiplatelet dan meningkatkan vasodilatasi
dari dinding pembuluh darah (Rhee dkk, 2012).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa rerata umur penderita IMA yang
mengalami hiperlaktasemia tidak jauh berbeda (60,59 tahun vs 58,64 tahun)
dibandingkan dengan kelompok tanpa hiperlaktasemia.
Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Lazzeri,dkk (2010) dan
Vermeulen, dkk (2010) pasien dengan hiperlaktasemia maupun tidak memiliki
rerata umur yang tidak berbeda bermakna. Pada penelitian Lazzeri pasien dengan
kadar laktat ≤1,3 mmol/L, 1,3-1,9 mmol/L, dan >1,9 mmol/L masing-masing
memiliki rata-rata umur 66,5, 67,5 tahun, dan 71 tahun. Pada penelitian
Vermeulen pasien dengan kadar laktat <1,8 mmol/L memiliki rerata umur 63
tahun dibandingkan pasien dengan laktat ≥1,8 mmol/L memiliki rerata umur 64
tahun (Lazzeri dkk, 2010).
Disfungsi endotel terjadi seiring dengan bertambahnya usia. Pembuluh darah
mengalami kekakuan dan penurunan elastisitas. Kemampuan pembuluh darah
untuk memproduksi oksida nitrat (NO) yang berperan dalam vasodilatasi juga
akan semakin menurun (Irmalita dkk, 2014). Semakin tua angka kejadian gagal
jantung, gangguan hemodinamik juga semakin meningkat. Erne P dkk
menyatakan terapi awal dengan anti platelet, beta bloker, penyekat ACE dan
reperfusi memiliki manfaat menurunkan angka mortalitas pada IMA, namun
penggunaannya pada orang tua lebih terbatas (Shabbir dkk, 2008).
Pada penelitian didapatkan pasien dengan onset nyeri dada ≤ 12 jam sebanyak
86 orang (71,07%) dan > 12 jam sebanyak 35 orang (28,93%), dimana pasien
dengan hiperlaktasemia didapatkan lebih banyak dengan onset nyeri dada ≤ 12
jam (70,37%) dibandingkan > 12 jam (29,63%). Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh karena pola produksi laktat. Apstein dkk meneliti mengenai pola produksi
laktat pada otot jantung binatang coba tikus dan kelinci yang dibuat iskemia
dimana didapatkan kadar laktat meningkat dengan cepat dalam 5-25 menit setelah
iskemia dan kemudian akan mengalami penurunan secara bertahap (Apstein dkk,
1979).
Pada penelitian ini didapatkan pasien dengan Kelas Killip I, II, III, dan IV
berturut-turut adalah 65,29%, 14,05%, 6,61% dan 14,05%. Hiperlaktasemia yang
ditemukan pada pasien dengan Killip I, II, III dan IV berturut-turut adalah
33,33%, 11,11%, 3,70%, dan 51,85%. Pasien dengan Kelas Killip yang lebih berat
III dan IV didapatkan dengan hiperlaktasemia sebesar 55,55%.
Studi pada anjing didapatkan bahwa peningkatan laktat arteri pada kondisi
syok diakibatkan oleh peningkatan produksi yang menyerupai infus epinefrin.
Stimulasi neuroendokrin dan kardiovaskular akan mengakibatkan peningkatan
pelepasan epinefrin dimana keadaan ini akan merangsang reseptor adrenergik dan
meningkatkan produksi AMP. Hal ini akan mengakibatkan stimulasi aktivitas
Na+, K+ ATPase dan glikogenolisis. Peningkatan aktivitas pompa Na+, K+
meningkatkan glikolisis aerobik yang dipertahankan oleh aktivitas glycogenderived glucose-6-phosphate. Pembentukan ATP yang cepat untuk energi dari
glikogen menyebabkan terjadinya hiperlaktasemia (James dkk, 1999).
Pasien dengan hiperlaktasemia memiliki kadar rerata leukosit lebih tinggi
dibandingkan tanpa hiperlaktasemia. Rerata kadar leukosit pada pasien dengan
hiperlaktasemia 13,45±4,32 dan pada pasien tanpa hiperlaktasemia 12,82±4,62.
Peningkatan leukosit berhubungan dengan penurunan aliran darah epikardial
dan perfusi miokardium, thromboresistance (meningkatkan thrombus burden) dan
peningkatan insiden gagal jantung baru. Peningkatan kadar leukosit juga
dikatakan berhubungan dengan peningkatan resistensi terhadap terapi trombolisis
akibat gangguan mikrosirkulasi, hiperkoagulabilitas, fenomena no-reflow,
kardiotoksisitas indirek oleh sitokin proinflamasi, merangsang ischemiareperfusion injury dan memperberat IMA. Hal ini diperkirakan menyebabkan
peningkatan angka mortalitas pasien IMA dengan leukositosis (Hanratty dkk,
2000, Núñez dkk, 2005). Barron dkk mendapatkan bahwa peningkatan kadar
leukosit meningkatkan mortalitas IMA sebesar (0% pada kadar leukosit 0-5 x
109/L, 4.9% pada kadar leukosit 5-10 x109/L, 3.8% pada kadar leukosit 10-15 x
109/L, dan 10.4% pada kadar leukosit >15 x 109/L; P=0.03) (Hanratty dkk, 2000).
Pada penelitian ini didapatkan pasien yang mengalami hiperlaktasemia
memiliki kadar rerata hemoglobin darah lebih rendah dibandingkan dengan pasien
tanpa hiperlaktasemia sebesar 13,37 ± 2,98 berbanding 14,22 ± 1,96. Angka
mortalitas akan meningkat dengan adanya anemia, sesuai dengan penelitian
Nikolsky dkk dimana angka mortalitas 30 hari pasien IMA dengan anemia
berbanding tanpa anemia sebesar 5,8% vs 1,5% dengan nilai P<0,0001 (Nikolsky
dkk, 2004). Zongbin Li dkk juga mendapatkan anemia sebagai faktor independen
terjadinya mortalitas 30 hari IMA dengan (OR 2,893, 95% CI 1,483-5,642) (Li
dkk, 2012).
Pada anemia akan terjadi hiperlaktasemia melalui mekanisme peningkatan
produksi akibat peningkatan kecepatan glikolisis sehingga mengakibatkan
ketidakseimbangan antara pembentukan ATP dan AMP dan juga diakibatkan oleh
penurunan clearance (Phypers dan Pierce, 2006).
Kadar albumin pada penelitian ini didapatkan lebih rendah pada pasien
dengan hiperlaktasemia dibandingkan dengan yang tidak dengan rerata berturutturut 3,62±0,59 berbanding 3,78±0,43.
Menurut Oduncu dkk mortalitas rumah sakit didapatkan lebih tinggi pada
pasien dengan kadar albumin <3,5 g/dl dibandingkan dengan yang tidak yaitu
sebesar 9,4% vs 2%. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Robert dkk.
Hipoalbuminemia berhubungan dengan status inflamasi, instabilitas plaque,
hiperkoagulabilitas dan penurunan efikasi obat (Robert dkk).
Tekanan parsial oksigen pada pasien dengan hiperlaktasemia didapatkan lebih
rendah dibandingkan dengan yang tidak hiperlaktasemia dengan rerata
125,85±41,56 vs 138,85±33,94.
Berbagai studi yang diawali oleh Pasteur pada abad ke 18 menunjukkan
bahwa hipoksia akan mengakibatkan produksi asam laktat. Araki 1891
melaporkan peningkatan kadar laktat pada darah dan urine binatang yang
mengalami hipoksia. Fletcher dan Hopkins 1907 menemukan akumulasi laktat
secara in vitro baik pada otot amfibi yang anoxia atau mengalami hipoksia
berkepanjangan. Hill dkk 1924 mengeluarkan suatu teori peningkatan asam laktat
saat exercise akibat dari kekurangan oksigen yang diperlukan untuk kontraksi
otot. Tekanan oksigen 0.5 torr atau lebih rendah akan menghambat hantaran
oksigen menuju sitokrom yang akan mengakibatkan terhambatnya oksidasi
posforilasi dimana keadaan ini disebut dengan disoksia (Gladden, 2004).
Sebanyak 49,59 % pasien IMA menderita dislipidemia dari riwayat ataupun
berdasarkan laboratorium yang didapat saat dirawat. Dibandingkan dengan studi
lain hasil ini lebih kecil yaitu 72% pada CHA, 76 % pada MRFIT, 87% pada FHS,
dan hampir sama sebesar 47 % pada EHS (Bennett,dkk.,2008). Sebanyak 51,85%
pasien dengan hiperlaktasemia menderita dislipidemia, dibandingkan 48,15%
pasien hiperlaktasemia tanpa dislipidemia.
Hipertensi merupakan faktor risiko mayor terjadinya infark miokard.
Hipertensi mempercepat terjadinya aterosklerosis dan menyebabkan stres
hemodinamik. Pada penelitian ini didapatkan 44,63 % pasien IMA juga menderita
hipertensi. Studi lain menunjukkan angka hipertensi pada IMA yaitu 88% pada
CHA, 82% pada MRFIT, 83% pada FHS, dan 57,8% pada EHS. (Bennett, 2008).
Penderita IMA yang mengalami hiperlaktasemia menderita hipertensi lebih sedikit
dibandingkan dengan kelompok tanpa hipertensi, dengan persentase 40,74% vs
59,26%.
Pada penelitian didapatkan 29,75% pasien IMA memiliki faktor risiko
diabetes melitus. Pasien IMA dengan hiperlaktasemia lebih sedikit menderita
diabetes dibandingkan dengan yang tanpa diabetes (22,22% vs 59,26%). Studi lain
menunjukkan angka diabetes pada pasien IMA yaitu 6% pada Chicago Heart
Association Detection Project in Industry (CHA), 5% pada Multiple Risk Factor
Intervention Trial (MRFIT), 4% pada Framingham Heart Study (FHS), and
22,9% pada European Heart Study (EHS) (Bennett dkk, 2008).
Faktor risiko yang penting lainnya yaitu riwayat merokok. Dimana pada
populasi penelitian ini didapatkan 57,02% penderita IMA merupakan perokok
aktif lebih dari 6 bulan. Studi lain menunjukkan hasil yang hampir sama yaitu
55% pada CHA, 50% pada MRFIT, 64% pada FHS, dan 30,2% pada EHS.
(Bennett dkk, 2008).
Pasien hiperlaktasemia dan perokok sebesar 48,15% dibandingkan dengan
pasien dengan hiperlaktasemia tanpa merokok sebesar 51,85%. Hal ini serupa
dengan penelitian Vermeulen,dkk (2010), dimana pasien dengan kadar laktat
tinggi
memiliki persentase perokok lebih rendah. Hal ini akibat smoker’s
paradox, dimana pasien perokok terkena IMA pada usia yang lebih muda
(Vermeulen dkk, 2010).
Pada
penelitian
ini
didapatkan
pasien
dengan
terapi
trombolisis
(streptokinase) sebesar 38,84% sedangkan yang tidak mendapatkan trombolisis
(streptokinase) sebesar 61,16%.
Pasien dengan hiperlaktasemia didapatkan
dengan terapi trombolisis yang lebih rendah 14,81% dibandingkan dengan tidak
diberikan trombolitik 85,19%. Pasien dengan PCI didapatkan sebesar 0,83%
sedangkan yang tidak dilakukan PCI sebesar 99,17% dimana pasien yang
hiperlaktasemia yang dilakukan PCI hanya 1 orang pasien sebesar 3,70% dan
yang tidak 96,30%.
Manfaat terapi reperfusi pada pasien IMA dalam menurunkan angka mortalitas
sudah tidak diragukan lagi. Studi oleh Shabbir dkk terapi trombolisis memiliki
manfaat yang sangat baik pada pasien IMA dimana pasien yang mendapatkan
streptokinase meninggal (6,74%), sedangkan yang tidak
(13,79%) (p=0,066)
(Shabbir dkk, 2008).
Studi DANAMI-2 didapatkan penurunan yang signifikan terhadap kombinasi
angka kematian, infark berulang dan stroke setelah 30 hari sebesar (14,2%
menjadi 8,5%, p<0,002) pada pasien yang dilakukan PCI (Werf dkk, 2003).
Hiperlaktasemia pada pasien yang tidak dilakukan terapi reperfusi
kemungkinan berhubungan dengan beratnya penyakit pada pasien yang tidak
dilakukan terapi reperfusi. Pada pasien penyakit jantung iskemik, jumlah laktat
yang dilepaskan miokardium berhubungan dengan beratnya penyakit arteri
koroner (Vermeulen dkk, 2010).
6.2 Analisis Kurva ROC
Studi ini tidak dirancang untuk menentukan cutt of point laktat. Nilai cutt of
point laktat yang bertujuan untuk memprediksi luaran merupakan pertanyaan
untuk mendapatkan hubungan yang optimal antara sensitivitas dan spesifisitas.
Hal ini dengan mudah ditunjukkan dengan ROC. Nilai hiperlaktasemia yang
didapat memiliki nilai akurasi tertinggi sebagai prediktor mortalitas.
Tes dengan sensitivitas yang tinggi membawa risiko false positif yang
banyak, dengan demikian akan terjadi suatu over-triage. Disisi lain jika tes
digunakan untuk tujuan skrining atau sebagai bagian penilaian risiko
multifaktorial mungkin dibutuhkan level tertentu over triage. Semakin tinggi cutt
of point, nilai prediktif positif suatu tes akan semakin baik, dan risiko
mendapatkan hasil false negative semakin besar (Kruse dkk, 2011) .
Kebanyakan studi menggunakan cutt of point 2,0 mmol (Attana dkk, 2012).
Pada studi ini cutt of point untuk hiperlaktasemia didapatkan dari kurva ROC,
dimana didapatkan nilai 4,4 mmol/L sebagai cutt of point terbaik dalam
menyatakan hiperlaktasemia. Setelah ditentukan cutt of point maka didapatkan 27
pasien (22,31%) IMA mengalami hiperlaktasemia, dan 94 (77,69%) pasien tanpa
hiperlaktasemia.
Nilai cut of point tersebut hampir sama dengan beberapa penelitian berikut.
Jansen dkk tahun 2008 meneliti peran prognostik laktat darah terhadap tanda vital
sebelum masuk rumah sakit didapatkan bahwa mortalitas secara signifikan
meningkat pada pasien dengan kadar laktat 3,5 mmol/L atau lebih dibandingkan
dengan yang lebih rendah (Jansen dkk, 2008). Jhamb dkk menyatakan dalam
penelitiannya terhadap nilai laktat serum sebagai prediktor outcome pada pasien
pediatri dengan syok septik dikatakan bahwa kadar laktat > 5mmol/l merupakan
prediktor yang baik untuk kematian (Jhamb dkk, 2011). Henning dkk pada tahun
1982 meneliti pada pasien IMA, dikatakan hiperlaktasemia berhubungan dengan
prognosis yang buruk dimana tidak ada pasien dengan kadar laktat >4 mmol/L
bertahan dalam >12 jam tanpa memperhatikan stroke volume, tekanan pengisian
ventrikel kiri, atau cardiac work (Attana dkk, 2012). Vermeulen dkk 2010
mendapatkan bahwa mortalitas pasien STEMI meningkat dengan peningkatan
kadar laktat >4 mmol/L (Vermeulen dkk, 2010).
Memuaskan atau tidaknya nilai AUC, dapat ditentukan secara klinis atau
secara statistik. Nilai AUC yang didapatkan pada penelitian ini yaitu 84,25 %
(80%-90%) memiliki kekuatan kuat, dengan standard error 0,0418, (95% CI =
0,76059-0,92442).
6.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA
Pada
analisis
bivariat
pasien
dengan
hiperlaktasemia
dan
tanpa
hiperlaktasemia berbeda dalam hal jenis kelamin, kelas Killip, terapi trombolitik
(streptokinase), PCI, kadar pO2, albumin dan hemoglobin darah. Setelah analisis
regresi, hiperlaktasemia terbukti sebagai faktor yang meningkatkan terjadinya
mortalitas 30 hari paska IMA. Disamping itu didapatkan bahwa variabel kelas
Killip dan hemoglobin sebagai variabel perancu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hiperlaktasemia sebagai prediktor
mortalitas 30 hari paska IMA dengan nilai hazard ratio sebesar 14,5 (HR =
14,5, 95% CI = 5,639 – 41,640, p < 0,0001). Artinya penderita IMA
hiperlaktasemia memiliki risiko untuk mengalami mortalitas 30 hari paska IMA
hampir 15 kali lipat lebih besar dari kelompok tidak hiperlaktasemia. Namun
setelah
dilakukan
analisis
multivariate
maka
didapatkan
hiperlaktasemia terhadap mortalitas sebesar 3 kali
pengaruh
dibandingkan tidak
hiperlaktasemia (HR = 3,33, 95% CI=1,084-10,210, p=0.036) dan pada penelitian
ini didapatkan juga bahwa variabel kelas Killip (HR: 2,814, 95% CI: 1,7864,435; p <0,001) dan kadar hemoglobin darah (HR: 0,810, 95% CI: 0,672-0,978; p
= 0,28) sebagai variabel perancu.
Hiperlaktasemia telah diketahui sebagai penanda terhadap terjadinya stres
metabolik dan tingginya kadar laktat ini berhubungan dengan peningkatan
mortalitas terutama pada pasien kondisi kritis (Lazzeri dkk, 2010).
Oklusi mendadak cabang utama arteri koroner akan mengakibatkan
perubahan keseimbangan metabolisme dari aerobik atau metabolisme mitokondria
menjadi glikolisis anaerob dalam beberapa detik penurunan alirah darah arteri.
Iskemik miokardium akan mempengaruhi metabolisme mitokondria sehingga
akan mengakibatkan penurunan jumlah ATP akibat terganggunya proses
posforilasi oksidasi. Penurunan jumlah ATP dari proses aerobik merangsang
glikolisis dan peningkatan ambilan glukosa dan pemecahan glikogen. Penurunan
ATP mengakibatkan hambatan pada Na+/K+-ATPase, sehingga terjadi peningkatan
Na+ intrasel dan mengakibatkan pembengkakan sel. Gangguan pada mekanisme
sistem transport pada sarkolema dan retikulum sarkoplasma mengakibatkan
peningkatan Ca2+, menginduksi aktivasi protease dan menurunkan protein
kontraktil. Piruvat merupakan senyawa yang tidak dapat langsung dioksidasi di
mitokondria yang mengakibatkan produksi laktat, penurunan PH intrasel dan
penurunan fungsi kontraktil (Burke dan Virmani, 2008).
Asidosis laktat terjadi bila produksi laktat melebihi utilisasinya. Hipoksia dan
hipoperfusi mengakibatkan penurunan ambilan laktat oleh hepar dan hepar
menjadi organ yang memproduksi laktat. Asidosis yang berat juga dapat
mengganggu ambilan laktat pada studi binatang (Fall dan Szerlip, 2005).
Definisi asidosis laktat yang banyak dipergunakan akhir-akhir ini adalah
laktat serum > 5 mmol/L dengan PH < 7,35 mmHg. Asidosis laktat biasanya akan
terjadi pada pasien kritis. Tanda dan gejala yang terjadi biasanya bervariasi dan
tidak spesifik namun dapat berupa hiperventilasi, hipotensi, takikardi dan
gangguan status mental (Fall dan Szerlip, 2005).
Asidosis laktat berhubungan dengan peningkatan anion gap. Jika anion gap
cukup lebar > 35 meq/L maka dapat dipertimbangkan terjadinya asidosis laktat
bila tidak ditemukan intoksikasi ethylene glikol dan metanol. Namun peran anion
gap dalam diagnosis asidosis laktat masih dipertanyakan. Pada salah satu report
disebutkan bahwa, 50% pasien dengan laktat serum 5 mmol/L - 9,9 mmol/L
dimana nilai ini berhubungan dengan 80% mortalitas didapatkan anion gapnya
<16 mmol/L. Oleh karena anion gap terutama dihasilkan dari protein negatif
khususnya albumin dan kadar albumin yang rendah biasanya ditemukan pada
pasien kritis, maka hal ini akan dapat menurunkan anion gap dan menutupi
asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi. Anion gap yang dihitung
seharusnya dinaikkan 2,5 mEq/L setiap penurunan 1 g/dL albumin pada kadar
albumin < 4 g/dL. Dilain pihak asidosis laktat sering berhubungan dengan
alkalosis respiratorik dan metabolik sehingga PH arteri tidak sensitif sebagai
indikator asidosis laktat dimana PH bisa normal atau meningkat (Fall dan Szerlip,
2005).
Stewart menggunakan pendekatan kimia dalam menilai status asam basa.
Salah satu prinsip yang dikemukakan adalah H+ seperti juga darah (aquoeous
solution) ditentukan oleh disosiasi H2O. Persamaan untuk menyatakan
keseimbangan H2O adalah H2O ↔ H+ + OH-. Stewart menyatakan bahwa H+
(dapat juga dianggap sebagai PH) ditentukan oleh tiga variabel independent yaitu
strong ion difference (SID), PCO2 dan konsentrasi asam lemah (terutama protein).
Baik
H+
dan HCO3- merupakan
dependent
variables
sehingga
tidak
mempengaruhi keseimbangan asam-basa secara independent. SID didapatkan
dengan perhitungan Na++ K++ Ca2++ Mg2+-Cl- - anion kuat lainnya. Apabila ion
kuat ditambahkan ke dalam darah, maka elektrolit lemah (termasuk H2O) akan
mempengaruhi disosiasi untuk mempertahankan netralitas elektrik (Fall dan
Szerlip, 2005).
Pendekatan stewart bila dipergunakan untuk menilai asidosis laktat memiliki
2 konsekuensi. Pemberian NaHCO3 untuk menterapi asidosis laktat akan
meningkatkan HCO3- bukan akibat penambahan HCO3- namun karena Na+
merupakan kation yang kuat. Ini akan mengakibatkan keseimbangan H2O
bergeser ke kiri, menurunkan H+ dan meningkatkan PH. Asidosis metabolik yang
berhubungan dengan asidosis laktat sekunder akibat ion laktat (anion kuat) yang
akan menurunkan SID. Penurunan SID akan mengakibatkan asidosis metabolik
(Fall dan Szerlip, 2005) .
Penurunan PH intraseluler yang diinduksi oleh iskemia memiliki beberapa
efek negatif terhadap kemampuan otot jantung mempertahankan homeostasis Ca2+
dan menggunakan energi yang dilepaskan dari pemecahan ATP untuk keperluan
kontraksi otot. Pertama jumlah ATP yang diperlukan untuk pompa ion Ca2+
sarkoplasma akan meningkat bila terjadi penurunan PH. Kedua adalah jumlah
Ca2+ yang diperlukan untuk menghasilkan tenaga lebih besar pada keadaan PH
yang rendah dan diperlukan konsentrasi Ca2+ di sitosolik yang lebih besar untuk
menghasilkan kekuatan atau tenaga mekanis. Pada kondisi PH yang rendah, lebih
banyak energi yang dihasilkan dari pemecahan ATP dipergunakan untuk proses
kimia dalam regulasi Ca2+ di sitosol dan hanya sedikit yang dipergunakan untuk
keperluan kontraksi. Disamping itu produksi H+ oleh kardiomiosit dari proses
pertukaran Na+ mengakibatkan pertukaran Na+ - Ca2+ melewati membran sel
sehingga
akan
mengakibatkan
semakin
terganggunya
ATP
dalam
mempertahankan homeostasis Ca2+ (Stanley, 2001).
Stacpoole dkk dalam studi klinis terhadap 126 pasien menilai perjalanan
alamiah asidosis laktat. Dimana pasien diberikan plasebo dan dikloroasetat untuk
menterapi asidosis laktat. Semua pasien memiliki kadar laktat arteri > 5 mmol/L
dan PH < 7,35 mmHg atau defisit basa > 6mmol/L. Untuk kelompok kontrol
mendapatkan cairan plasebo normal saline dan terapi konvensional. Didapatkan
bahwa median survival <2 hari, dan hanya 17% pasien bertahan dalam 30 hari.
Setelah dilakukan adjustment terhadap beberapa variabel didapatkan bahwa skor
Acute Physiology and Chronic Healh Evaluation (APACHE) II, tekanan darah
sistolik dan PH arteri merupakan prediktor kuat terhadap survival dalam 24 jam
(Fall dan Szerlip, 2005).
Pasien IMA akan mengalami gangguan regulasi sirkulasi. Proses dimulai
dengan obstruksi anatomis atau fungsional arteri koroner yang mengakibatkan
iskemia miokardium regional jika iskemia menetap pada infark. Jika infark yang
terjadi cukup luas maka akan mengakibatkan penekanan pada fungsi ventrikel kiri
sehingga akan menurunkan volume sekuncup dan meningkatkan tekanan
pengisian akhir diastolik. Penurunan volume sekuncup ventrikel kiri yang berat
akan menurunkan tekanan aorta (penurunan perfusi sistemik) dan mengakibatkan
penurunan tekanan darah yang akan memperberat penurunan tekanan perfusi
koroner sehingga akan memperberat iskemik miokardium dan mengawali
terjadinya vicious circle. Peningkatan tekanan pengisian akhir diastolik ventrikel
kiri menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal yang selanjutnya memperberat
hipoksemia dan iskemia miokard. Inflamasi sistemik sekunder akibat proses
infark mengakibatkan pelepasan sitokin yang mengakibatkan vasodilatasi dan
penurunan resistensi vaskular sistemik sehingga dapat menurunkan perfusi
sistemik dan menurunkan tekanan perfusi koroner yang akan memperberat
iskemia. Vicious circle
tersebut akan menyebabkan penurunan perfusi pada
tingkat jaringan. Terjadi hipoksia dan asidosis laktat
akan memperburuk
kontraktilitas miokard dimana kesemua mekanisme ini akan mengakibatkan
kematian pada pasien IMA (Antman, 2012).
Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa baik iskemik pada arteri koroner
maupun kegagalan jantung akibat IMA akan megakibatkan gangguan perfusi
pada jantung dan seluruh jaringan yang akan mengakibatkan perubahan
metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob yang akan meningkatkan
produksi laktat di jaringan dengan berbagai konsekuensi metabolik sehingga
semua keadaan ini akhirnya akan mengakibatkan kematian pada pasien IMA.
Vermeulen dkk 2010 menilai hubungan laktat arteri pada pasien STEMI
dimana pada studi ini didapatkan bahwa peningkatan laktat arteri yang diukur
pada saat melakukan PCI berhubungan dengan hipotensi, denyut jantung yang
tinggi, TIMI yang rendah, diabetes dan tidak merokok. Peningkatan laktat juga
berhubungan dengan peningkatan mortalitas 30 hari, luasnya ukuran infark dan
peningkatan penggunaan intra aortic ballon pump (IABP). Pasien dengan kadar
laktat ≥ 1,8 mmol/L sebanyak 50% meninggal sehari setelah PCI. Peningkatan
yang tajam angka mortalitas terlihat pada pasien dengan kadar laktat >4 mmol/L.
Hal ini memberikan dugaan penanganan yang intensif seperti pemasangan IABP
dapat dipertimbangkan meskipun setelah dilakukan PCI (Vermeulen dkk, 2010).
Kadar laktat saat masuk rumah sakit secara independen berhubungan kuat
dengan mortalitas disamping parameter klinis seperti usia, hipotensi dan denyut
jantung, sehingga pengukuran laktat dapat digunakan sebagai pengukuran
laboratorium standar pada pasien STEMI di rumah sakit (Vermeulen dkk, 2010).
Pada pasien kritis terjadinya peningkatan kadar laktat diakibatkan oleh
mekanisme yang komplek antara lain karena hipoperfusi regional, induksi oleh
proses inflamasi pada glikolisis, gangguan mekanisme bersihan laktat dan
peningkatan usaha nafas. Pada pasien dengan syok kardiogenik terjadi
peningkatan tajam laktat endogen sedangkan bersihan laktat tidak berbeda
signifikan dengan orang sehat. Lazzeri dkk mendapatkan bahwa peningkatan
kadar laktat berhubungan dengan mortalitas rumah sakit pasien STEMI dengan
PCI hanya pada pasien dengan kelas Killip III dan IV (OR, 1,17; 95% CI, 1,051,30; P=0,03) (Lazzeri dkk, 2010).
Penelitian lain menunjukkan laktat sebagai prediktor independen kematian
dalam 30 hari dan respon buruk post PCI pada pasien STEMI yang dilakukan PCI
(Vermeulen dkk, 2010). Lazzeri menyatakan laktat terbukti sebagai faktor yang
dapat mempengaruhi mortalitas pada pasien dengan Killip III dan IV. (Lazzeri
dkk, 2010). Ribeiro dkk mendapatkan bahwa mortalitas pasien IMA setelah
dilakukan regresi logistik multivariate didapatkan lebih tinggi hanya pada pasien
dengan fungsional kelas Killip selain I, diabetes dan usia >70 (Ribeiro dkk,
2003).
Studi PRIAMHO I didapatkan angka mortalitas 28 hari pasien IMA sebesar
14.2% , pasien dengan kelas Killip III dan IV sebesar 8.1% dan 8.5%, dan studi
PRIMAHO II didapatkan mortalitas 28 hari IMA sebesar 11.3%, pasien dengan
kelas Killip III dan IV sebesar 7.7% dan 9.5% (Heras dkk, 2006).
Shabbir dkk mendapatkan Mortalitas secara signifikan meningkat dengan
peningkatan kelas Killip (kelas III dan IV) (P=0,000), dan pada mereka yang tidak
mendapatkan trombolisis (p=0,066) (Shabbir dkk, 2008).
Pada anemia akan terjadi hiperlaktasemia melalui mekanisme peningkatan
produksi akibat peningkatan kecepatan glikolisis sehingga mengakibatkan
ketidakseimbangan antara pembentukan ATP dan AMP dan juga diakibatkan oleh
penurunan clearance (Phypers dan Pierce, 2006).
Ceyhan dkk dalam penelitiannya menilai kadar laktat pada pasien anemia
defisiensi besi didapatkan bahwa pasien anemia memiliki kadar pO2 yang rendah,
PCO2 yang tinggi dan kadar laktat yang tinggi dibandingkan dengan kontrol
(p<0,005). Terdapat korelasi negatif yang linier antara kadar laktat dengan kadar
hemoglobin (r=-0,6213; p<0,005). Pada penelitian ini kemungkinan hipoksemia
yang diakibatkan oleh anemia dapat menyebabkan peningkatan kadar laktat
(Ceyhan dkk, 1988).
Beberapa mekanisme yang potensial dapat memperburuk prognosis pasien
IMA dengan anemia. Penyakit kardiovaskular akan menyebabkan gangguan yang
signifikan kemampuan jantung untuk mentoleransi kadar hemoglobin yang
rendah. Anemia akan mengakibatkan vasodilatasi yang diinduksi hipoksia
sehingga meningkatkan aktivitas saraf simpatis dan meningkatkan curah jantung.
Hal ini mengakibatkan penurunan cadangan koroner dimana pada pasien IMA
sudah mengalami penurunan akibat peningkatan ekstraksi oksigen dalam sirkulasi
jantung. Manifestasi iskemia miokard dapat terjadi pada keadaan anemia ringan
(hematokrit 20-30%). Peningkatan aktivitas simpatis juga akan mengakibatkan
outcome yang buruk pada pasien IMA. Akibat jangka panjang dari gangguan ini
adalah hipertrofi ventrikel kiri yang akan mengakibatkan bertambahnya konsumsi
oksigen sehingga memperberat iskemia. Sedangkan peningkatan hemoglobin yang
berlebihan juga berhubungan dengan prognosis kardiovaskular yang buruk.
Viskositas darah yang tinggi dan peningkatan formasi trombus dikatakan
merupakan mekanisme yang dapat mendasarinya (Lipšic dkk, 2005).
Lipsic dkk 2005 mendapatkan bahwa kadar hemoglobin yang rendah
berhubungan dengan peningkatan mortalitas jangka pendek IMA dimana
mortalitas 30 hari didapatkan sebesar 21,6% pada pasien dengan kadar
hemoglobin ≤ 10 g/dL dan 9,3% pada pasien dengan kadar hemoglobin > 10g/dL
(p<0,001). Setelah dilakukan analisis multivariate didapatkan kadar hemoglobin
yang rendah merupakan prediktor independen mortalitas 30 hari (HR 1,76, CI
1,08-2,85; p=0,02) (Lipšic dkk, 2005).
Sabatine dkk mendapatkan pada pasien STEMI mortalitas 30 hari lebih tinggi
pada pasien dengan kadar hemoglobin < 14 g/dL atau >17 g/dL. Pada pasien
NSTEMI didapatkan kematian, infark dan iskemia meningkat dengan penurunan
kadar hemoglobin < 11g/dL atau peningkatan > 16g/dL (Moura, 2012).
Anemia dikatakan sebagai faktor independen terhadap terjadinya mortalitas
30 hari paska IMA oleh Zongbin dkk (OR 2,893, 95% CI 1,483-5,642) (Li dkk,
2012).
Nikolsky dkk meneliti mengenai dampak anemia pada pasien IMA yang
dilakukan PCI didapatkan bahwa pada anemia dibandingkan dengan yang tidak
anemia didapatkan angka yang lebih tinggi mortalitas rumah sakit (4,6% vs 1,1%,
p=0,00003), mortalitas dalam 30 hari (5,8% vs 1,5%, p<0,0001), dan mortalitas
dalam 1 tahun (9,4% vs 3,5%, p <0,0001) (Nikolsky dkk, 2004).
6.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan kohort prospektif terhadap 121 orang penderita IMA
pada satu pusat pelayanan kesehatan, yaitu RSUP Sanglah. Penelitian
dilaksanakan antara bulan November 2014 hingga Februari 2015. Oleh karena
penelitian ini ingin mengetahui hiperlaktasemia sebagai prediktor mortalitas 30
hari paska IMA di RSUP Sanglah, maka sebaiknya data yang dipakai dalam
perhitungan jumlah sampel diambil dari proporsi IMA di RSUP Sanglah.
Sampel studi yang kecil serta dari satu tempat pusat penelitian merupakan
kelemahan penelitian ini. Untuk generalisir hasil dibutuhkan studi dengan jumlah
subyek yang lebih banyak dan terdapat beberapa pusat penelitian.
Rancangan penelitian, meskipun sama-sama studi kohort tetapi ada beberapa
perbedaan yang tentunya dapat berpengaruh terhadap hasil penelitian.
Sampel yang digunakan adalah darah kapiler dan bukan darah arteri. Standar
baku dalam penilaian kadar laktat adalah darah arteri. Laktat kapiler berkorelasi
dengan laktat arteri dari studi sebelumnya. Pada beberapa studi sebelumnya
penulis menyatakan korelasi baik antara darah arteri, vena dan kapiler. Punksi
arteri membutuhkan personel terlatih, memakan waktu lebih lama, lebih mahal,
dan tidak nyaman bagi pasien (Kruse dkk, 2011).
Pemeriksaan darah vena ataupun kapiler akan lebih mudah, risiko lebih
minimal, tidak memerlukan personel khusus, serta lebih nyaman bagi pasien.
Penggunaan laktat kapiler menyebabkan over-triage, kecuali cutt of point diatur
lebih tinggi daripada kadar laktat arteri (Kruse dkk, 2011).
Walaupun studi Hart dkk tahun 2013 menunjukkan alat Lactate Plus analyzer
menghasilkan pengukuran yang akurat dan reproduksibel, namun terdapat
perbedaan yang besar bila sampel diambil dari jari-jari tangan, karena adanya
manipulasi di tangan (Hart dkk, 2013). Food and Drug Administration saat ini
hanya merekomendasikan Lactate Plus analyzer untuk penelitian saja (Karon dkk,
2007).
Tidak dilakukan eksklusi variabel yang dicurigai sebagai perancu dari awal
penelitian untuk mendapatkan hubungan hiperlaktasemia dengan mortalitas yang
lebih baik.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Studi kohort prospektif telah dilakukan untuk membuktikan hiperlaktasemia
sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska IMA di RSUP Sanglah. Berdasarkan
hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Hiperlaktasemia merupakan prediktor mortalitas 30 hari paska IMA
2. Kelas Killip dan kadar hemoglobin darah merupakan variabel perancu
penelitian
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pemeriksaan kadar laktat dapat digunakan
sebagai alat stratifikasi risiko pasien IMA yang dirawat di RSUP Sanglah. Adapun
beberapa saran yang dapat diberikan setelah dilakukannya penelitian ini antara
lain adalah :
1. Dapat dilakukan penelitian yang serupa dengan massa follow-up yang lebih
panjang, sehingga dapat dinilai juga prognosis jangka panjang pasien IMA
berdasarkan kadar laktat.
2. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menilai pengaruh independent
dari laktat terhadap mortalitas dengan mengkesklusi variabel perancu.
3. Dapat dilakukan studi
intervensional yang bertujuan untuk menentukan
apakah pemberian terapi medikamentosa yang lebih agresif atau tindakan
intervensi dini dapat memperbaiki luaran pasien dengan kadar laktat yang
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Achar, S. A., Kundu, S. & Norcross, W. A. 2005. Diagnosis of Acute Coronary
Syndrome. American Family Physician. American Family Physician, 72,
p. 119-126.
Agrawal, S., Sachdev, A., Gupta, D. & Chugh, K. 2004. Role Of Lactate In
Critically Ill Children Indian J Crit Care Med, 8, p. 173-181.
Antman, E. M. 2012. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction : Pathology,
Pathophysiology, and Clinical Features. In: BONOW, R. O., MANN, D.
L., ZIPES, D. P. & LIBBY, P. (eds.) Braunwald's Heart Disease: a
Textbook of Cardiovascular Medicine. 9 ed. Philadelphia: Saunders.
p.1088-1090.
Apstein, C. S., Gravino, F. & Hood, W. B. 1979. Limitations of Lactate
Production as an Index of Myocardial Ischemia. Circulation, p. 877-887.
Attana, P., Lazzeri, C., Picariello, C., Dini, C. S. & Gensini, G. F. 2012. Lactate
and lactate clearance in acute cardiac care patients. European Heart
Journal: Acute Cardiovascular Care, p. 1-7.
Backer, D. D. 2003. Lactic acidosis. Intensive Care Med 29, p. 699–702.
Bavry, A. A. & Bhatt, D. L. 2009. Definition, epidemiology and prognosis. In:
BAVRY, A. A. & BHATT, D. L. (eds.) Acute Coronary Syndromes in
Clinical Practice. London: Springer. p.1-10.
Borzecki, Cl, C., P, C., S, L. & Ak, R. 2010. Comparison of in-hospital versus 30day mortality assessments for selected medical conditions. Med Care, 12,
p. 1117-1121.
Burke, A. P. & Virmani, R. 2008. Pathology of Myocardial Ischemia, Infarction,
Reperfusion, and Sudden Death. In: FUSTER, V., WALSH, R. A.,
O'ROURKE, R. A. & POOLE-WILSON, P. (eds.) Hurst's The Heart. 12
ed. China: The McGraw-Hill. p.1321-1338.
Cannon, C. P., Brindis, R. G., Chaitman, B. R., Cohen, D. J. & Thomas, J. 2013.
2013 ACCF/AHA Key Data Elements and Definitions for Measuring the
Clinical Management and Outcomes of Patients With Acute Coronary
Syndromes and Coronary Artery Disease: A Report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task
Force on Clinical Data Standards (Writing Committee to Develop Acute
Coronary Syndromes and Coronary Artery Disease Clinical Data
Standards). Circulation, 127, p. 1052-1089.
Ceyhan, M., Ozalp, I. & Altay, C. 1988. High Levels of Lactate, Pyruvate, and
Alanine in Anemic Children. Clin Pediatr, 27, p. 206-209.
Chin, C.-H., Chiou, H.-C., Lo, H.-S., Liu, C.-Z., Ong, E.-T., Wu, C.-Y., Chen, C.H., Ko, W.-C., Chen, M.-L. & Chen, P. H. 2001. In-Hospital Mortality
From Cardiogenic Shock Complicating Acute Myocardial Infarction. Acta
Cardiol Sin, 17, p. 211-217.
Deljanin, Z., Rancic, N., Ilic, M., Petrovic, B. & Tiodorovic, B. 2007. Acute
Myocardial Infarction Morbidity and Mortality in Population of 30-64
years of age in the city of Nis in the period 2001-2005 Period 2001 - 2005.
Acta Medica Medianae 46(2), p. 21-24.
Eftekhari, H., Bukharovich, I., Aziz, E. & Hong, M. K. 2008. Epidemiology and
Pathophysiology of Acute Coronary Syndrome. In: Hong, M. K. &
Herzog, E. (eds.) Acute Coronary Syndrome. London: Springer. p.25-36.
Fall, P. J. & Szerlip, H. M. 2005. Lactic Acidosis: From Sour Milk to septic
Shock. J Intensive Care Med, 20, p. 255-271.
Ferguson, D., Goel, V., Lalumière, D., Mcgarry, J. & Neudorf, C. 2011. Health
Indicators 2011. candian institute for health information, p. 1-123.
Ferreira, G. M. T. d. M., Correia, L. C., Reis, H., Filho, C. B. F., Freitas, F.,
Ferreira, G. M., Júnior, I., Oliveira, N. & Guimarães, A. C. 2009.
Increased Mortality and Morbidity Due to Acute Myocardial Infarction in
a Public Hospital, in Feira de Santana, Bahia. Arq Bras Cardiol 93, p. 9299.
Gaieski, D. F., Drumheller, B. C., Goyal, M., Fuchs, B. D., Shofer, F. S. & Zogby,
K. 2011. Accuracy of Handheld Point-of-Care Fingertip Lactate
Measerement in the Emergency Department. Western Journal of
Emergency Medicine, 14, p. 58- 62.
Gatien, M., Stiell, I., Wielgosz, A., Ooi, D. & Lee, J. S. 2005. Diagnostic
Performance of Venous Lactate on Arrival at the Emergency Department
for Myocardial Infarction. Acad Emerg Med 12, p. 106-113.
Gladden, L. B. 2004. lactate metabolism: a new paradigm for the third
millennium. J Physiol, p. 5-30.
Gogo, P. B., Dauerman, H. L. & Sobel, B. E. 2010. Reperfusion Therapies for
Acute ST Segment Elevation Myocardial Infarction. In: JEREMIAS, A. &
BROWN, D. L. (eds.) Cardiac Intensive Care 2ed. Philadelphia: Saunders.
p.110-144.
Hanratty, B., Lawlor, D. A., Robinson, M. B., Sapsford, R. J., Greenwood, D. &
Hall, A. 2000. Sex differences in risk factors, treatment and mortality after
acute myocardial infarction: an observational study. J Epidemiol
Community Health 54, p. 912–916.
Heras, M., Marrugat, J., Arós, F., Bosch, X., Enero, J., Suárez, M. A., Pabón, P.,
Ancillo, P., Loma-Osorio, Á., Rodríguez, J. J., Subirana, I. & Vila, J.
2006. Reduction in Acute Myocardial Infarction Mortality Over a FiveYear Period. Rev Esp Cardiol, 59, p. 200-208.
Irmalita, Juzar, D. A., Andrianto, Setianto, B. Y., Tobing, D. P., Firman, D. &
Firdaus, I. 2014. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2014.
James, J. H., Luchette, F. A., Mccarter, F. D. & Fischer, J. E. 1999. Lactate is an
unreliable indicator of tissue hypoxia in injury or s e p s i s. Lancet, 354, p.
505-508.
Jansen, T. C., Bommel, J. v., Mulder, P. G., Rommes, J. H., Schieveld, S. J. &
Bakker, J. 2008. The prognostic value of blood lactate levels relative to
that of vital signs in the pre-hospital setting: a pilot study. Critical Care, p.
1-7.
Jhamb, U., Gupta, V. K. & Jat, K. R. 2011. Serum lactate levels as the predictor of
outcome in pediatric septic shock. Indian Journal of Critical Care
Medicine, 15, p. 102-107.
John G Toffaletti, P. 2010. Measurement and Clinical Interpretation of Whole
Blood
Lactate
Concentration
[Online].
Available:
http://it.instrumentationlaboratory.com/~/media/IL%20Italy/Docs/Critical
%20Care/Letteratura/Bibliografia/090.pdf.
Kabo, P. 2010. Bagaimana menggunakan obat-obak kardiovaskular secara
rasional. Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
Karon, B. S., Scott, R., Burritt, M. F. & Santrach, P. J. 2007. Comparison of
Lactate Value Between Point of Care and Central Laboratory Analyzers.
Am J Clin Pathol p. 168-171.
Kruse, O., Grunnet, N. & Barfod, a. C. 2011. Blood lactate as a predictor for inhospital mortality in patients admitted acutely to hospital: a systematic
review. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency
Medicine, p. 1-12.
Kwong, R. Y., Schussheim, A. E., Rekhraj, S., Aletras, A. H., Geller, N., Davis,
J., Christian, T. F., Balaban, R. S. & Arai, A. E. 2003. Detecting Acute
Coronary Syndrome in the Emergency Department With Cardiac Magnetic
Resonance Imaging. 107, p. 531-537.
Lazzeri, C., Valente, S., Chiostri, M., Piraciello, C. & Gensini, G. F. 2010. Lactate
in the acute phase of ST-elevation myocardial infarction treated with
mechanical revascularization A single-center experience. American
Journal of Emergency Medicine, 30, p. 92-96.
Lehto, S., Ronnemaa, T., Haffher, S. M., Pyorala, K., Kallio, V. & Laakso, M.
1997. Dyslipidemia and Hyperglycemia Predict Coronary Heart Disease
Events in Middle-Aged Patients With NIDDM. Diabetes, 46, p. 13541359.
Levin, A., Stevens, P. E., Bilous, R. W., Lamb, E. J. & Coresh, J. 2013. KDIGO
2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. International Society of Nephrology, 3, p. 1-150.
Li, Z., Li, J., Lin, H. & Zhao, Y. 2012. Predictive factor of 30-day mortality in
hospitalized patients with acute myocardial infarction: A Cox-regression
analysis in Beijing. p.
Lipšic, E., Horst, I. C. C. v. d., Voors, A. A., Meer, P. v. d., Nijsten, M. W. N.,
Gilst, W. H. v., Veldhuisen, D. J. v. & Zijlstra, F. 2005. Hemoglobin levels
and 30-day mortality in patients after myocardial infarction. International
Journal of Cardiology, 2, p. 289-292.
Man, J. P., Tymchak, W. J. & Jugdutt, B. I. 2010. Adjunctive Pharmacologic
Therapies in Acute Myocardial Infarction. In: Jeremias, A. & Brown, D.
L. (eds.) Cardiac Intensive Care. 2 ed. Philadelphia: Saunders. p.145-182.
Matura, L. A. 2009. In-hospital Mortality Characteristics of Women With Acute
Myocardial Infarction. J Clin Med Res, 1 (5), p. 262-266.
Moore, C. C., Jacob, S. T., Pinkerton, R., Meya, D. B., Mayanja-Kizza, H.,
Reynolds, S. J. & Scheld, W. M. 2008. Point-of-Care Lactate Testing
Predicts Mortality of Severe Sepsis in a Predominantly HIV Type 1–
Infected Patient Population in Uganda. CID, 46, p. 215-222.
Moura, B. 2012. Anemia and prognosis in acute coronary syndromes. Rev Port
Cardiol, 2, p. 133-134.
Muchid, A., Umar, F., Chusun, Purnama, N. R. & Kalim, H. 2006. Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan 2006.
Nikolsky, E., Aymong, E. D., Halkin, A., Grines, C. L., Cox, D. A., Garcia, E.,
Mehran, R. & Tcheng, J. E. 2004. Impact of Anemia in Patients With
Acute Myocardial Infarction Undergoing Primary Percutaneous Coronary
Intervention. JACC, 44, p. 547–553.
Núñez, J., Fácila, L., Llàcer, À., Sanchís, J., Bodí, V., Bertomeu, V., Sanjuán, R.,
Blasco, M. L., Consuegra, L., Bosch, M. J. & Chorroa, F. J. 2005.
Prognostic Value of White Blood Cell Count in Acute Myocardial
Infarction: Long-Term Mortality. Rev Esp Cardiol, 58, p. 631-639.
Oduncu, V., Erkol, A., Karabay, C. Y., Kurt, M., Akgün, T., Bulut, M., Pala, S. &
Kirma, C. 2013 The prognostic value of serum albumin levels on
admission in patients with acute ST-segment elevation myocardial
infarction undergoing a primary percutaneous coronary intervention. 24
(2), p. 88-94.
Perez, E. H., Dawood, H., Chetty, U., Esterhuizen, T. M. & Bizaare, M. 2008.
Validation of the Accutrend Lactate Meter for Hyperlactatemia Screening
during Antiretroviral Therapy in A Resource-Poor Setting. Int J Infect Dis,
12, p. 553-556.
Phypers, B. & Pierce, J. T. 2006. Lactate physiology in health and disease.
Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain, 6, p. 128132.
Picariello, C., Lazzeri, C., A, P. A., Chiostri, M., Gensini, G. F. & Valente, S.
2011. The Impact of Hypertension on Patients with Acute Coronary
Syndromes. International Journal of Hypertension, p. 1-7.
Podrid, P. J. & Ganz, L. I. 2014. Incidence of and risk stratification for sudden
cardiac death after acute myocardial infarction UpToDate, p.
Portal, D. A. d., Shofer, F., Mikkelsen, M. E., Philip J. Dorsey, J., Gaieski, D. F.,
Goyal, M., Synnestvedt, M., Weiner, M. G. & Pines, J. M. 2010.
Emergency Department Lactate Is Associated with Mortality in Older
Adults Admitted With and Without Infections. Acad Emerg Med, 17, p.
261-268.
Ribeiro, D. G. L., Andrade, P. J. N. d., Júnior, J. N. P. & Saraiva, L. R. 2003.
Acute Myocardial Infarction. Predictors of Mortality at a Public Hospital
in the City of Fortaleza, Ceará State. Arq Bras Cardiol, 80, p. 614-620.
Robert, D., Michael, K. & Haim, H. The Impact of the Metabolic Status on
Treatment and Prognosis in Patients with Myocardial Infarction. p. 195.
Salehi, N., Eskandarian, R., Sanati, H. R., Firouzi, A., Shakerian, F., Abdi, S. &
Bakhshandeh, H. 2013. White blood cell count and mortality in acute
myocardial infarction. WJCD, 3, p. 458-463.
Scoot, S., Antonaglia, V., Guiotto, G., Paladino, F. & Schiraldi, F. 2010. TwoHour Lactate Clearance Predicts Negative Outcome in Patients with
Cardiorespiratory Insufficiency. Critical Care Research and Practice, p.
1-6.
Seghieri, C., Mimmi, S., Lenzi, J. & Fantini, M. P. 2012. 30-day in-hospital
mortality after acute myocardial infarction in Tuscany (Italy): An
observational study using hospital discharge data. Medical Research
Methodology, 12, p. 1-11.
Shabbir, M., Kayani, A. M., Qureshi, O. & Mughal, M. M. 2008. Predictors of
fatal outcome in acute myocardial infarction. J Ayub Med Coll
Abbottabad, 20, p. 14-16.
Srimahachota, S., Boonyaratavej, S., Kanjanavanit, R., Sritara, P. &
Krittayaphong, R. 2012 Thai Registry in Acute Coronary Syndrome
(TRACS)-An Extension of Thai Acute Coronary Syndrome Registry
(TACS) Group: Lower In-Hospital but Still High Mortality at One-Year. J
Med Assoc Thai, 95 p. 508-518.
Stanley, W. C. 2001. Changes in cardiac metabolis: a critical step from stable
angina to ischaemic cardiomyopathy. Eur Heart J Supplements, p. O2-O7.
Vermeulen, R. P., Hoekstra, M., Nijsten, M. W., Horst, I. C. v. d., Pelt, L. J. v.,
Jessurun, G. A., Jaarsma, T., Zijlstra, F. & Heuvel, A. F. v. d. 2010.
Clinical correlates of arterial lactate levels in patients with ST-segment
elevation myocardial infarction at admission: a descriptive study. Critical
Care, p. 1-7.
Vernon, C. & Letourneau, J. L. 2010. Lactic acidosis: recognition, kinetics, and
associated prognosis. Crit Care Clin, 26, p. 255-283, table of contents.
Vujosevic, S., Zamaklar, M., Belada, N. & Stamatovic, S. 2012. Mortality After
Acute Myocardial Infarction: Significance of Cardiovascular Diabetic
Autonomic Neuropathy (CDAN). 66, p. 296-299.
Werf, F. V. d., Chair, Ardissino, D., Betriu, A. & Cokkinos, D. V. 2003.
Management of acute myocardial infarction in patients presenting with
ST-segment elevation. European Heart Journal, 24, p. 28-66.
Wilson, P. W., Douglas, P. S., Alpert, J. S., Simons, M. & Breall, J. A. 2014.
Prognosis after myocardial infarction uptode, p.
Lampiran 1. Informasi/Penjelasan Penelitian
Penelitian ini berjudul Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari
Paska Infark Miokard Akut (IMA). Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan kadar laktat sebagai prediktor luaran pasien IMA.
Penelitian ini akan mengikutsertakan 118 orang, termasuk anda.
Dalam pelaksanaan penelitian disamping prosedur rutin yang dilakukan pada
penderita IMA (seperti anamnesa, pemeriksaan fisik, EKG, pengambilan
laboratorium, thorak foto), akan dilakukan pengambilan darah kapiler di ujung jari
tangan, sebanyak dua kali, 15-50uL tiap kali pengambilan yaitu saat pertama
masuk rumah sakit di ruang emergensi, dan 2 jam setelahnya. Risiko komplikasi
akibat tindakan sangat kecil yaitu nyeri saat pengambilan darah, kemerahan,
infeksi lokal, yang dapat diatasi dengan kompres hangat, perawatan luka ataupun
antibiotik jika diperlukan.
Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk memperkaya evidence atau bukti
yang bersifat akademis tentang pengaruh hiperlaktasemia terhadap terjadinya
mortalitas IMA, dan sebagai dasar kelayakan kadar laktat dalam menilai
prognosis pasien dengan nyeri dada akut. Jika terbukti, laktat dapat digunakan
sebagai acuan monitoring
dan pengembangan pelayanan pengobatan diruang
intensif jantung.
Segala prosedur ini hanya dapat dilakukan bila telah mendapat ijin dari
anda dan dengan menandatangani pernyataan kesediaan (terlampir) setelah anda
mengerti maksud, tujuan, manfaat dan prosedur penelitian ini.
Data
dari hasil pemeriksaan dan wawancara ini akan dikumpulkan
kedalam komputer dengan kode nama untuk menjaga kerahasiaan identitas anda.
Hanya dokter peneliti yang mengetahui data kesehatan anda yang
berkaitan
dengan penelitian ini. Data ini mungkin dipublikasikan tanpa mencantumkan
identitas sumber data.
Apabila selama keikutsertaan anda dalam penelitian ini terdapat hal-hal
yang dirasakan mengganggu dan merugikan anda dapat mengundurkan diri atau
membatalkan keikutsertaan anda, tanpa persyaratan apapun.
Untuk dapat berlangsungnya penelitian ini sesuai yang diharapkan,
diperlukan kerjasama yang baik antara anda / keluarga, tim medis dan peneliti.
Kami mengharapkan kesediaan anda untuk ikut serta dalam penelitian ini.
Berkaitan dengan hal ini atau sewaktu-waktu anda memerlukan informasi lebih
lanjut anda dapat menghubungi dr. I Putu Parwata Jaya, nomor kontak
082146329923.
Lampiran 2. Persetujuan setelah Penjelasan (Informed Concent)
Kesediaan Untuk Berpartisipasi Dalam Penelitian
Nama pasien
: ----------------------------------------------------
Jenis kelamin
: ----------------------------------------------------
Alamat
: ----------------------------------------------------
Nomor telepon/HP
: ----------------------------------------------------
Nomor Studi
: ----------------------------------------------------
Nomor rekam medis
: ----------------------------------------------------
Nama wali
: ----------------------------------------------------
Pekerjaan wali
: ----------------------------------------------------
Pendidikan wali
: ----------------------------------------------------
Hubungan Keluarga
: ----------------------------------------------------
Saya telah membaca/dibacakan pernyataan-pernyataan di atas. Saya juga
telah diberikan kesempatan untuk menanyakan kembali mengenai pernyataanpernyataan di atas. Pertanyaan saya telah dijawab dengan memuaskan. Saya
memahami tujuan dari penelitian ini, serta keuntungan dan kerugian apabila ikut
berparstisipasi dalam penelitian. Tanda tangan saya di bawah ini menunjukkan
kesukarelaan saya untuk mengikutsertakan saya dalam penelitian ini.
Tanda tangan peneliti
Tanda tangan pasien/wali
Tanggal
Tanda tangan wali (tidak diperlukan bila pasien mampu tanda tangan)
Lampiran3:Lembar Pengumpulan Data
HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS 30 HARI
PASKA IMA
Pascasarjana Universitas Udayana
2014
I.
IDENTITAS
1. Nama
: ………………………………………………
2. Sex
: ………………………………………………
3. Umur
: ………………………………………………
4. Suku Bangsa: ………………………………………………
5. Alamat
: ………………………………………………
6. NO. Tlp./HP : ………………………………………………
7. Pendidikan : ………………………………………………
8. Pekerjaan
: ………………………………………………
9. MRS tgl.
: ……………………………………………….
10. Nama Pendamping : ………………………………………
11. No. tlp. Pendamping : ………………………………………
II.
ANAMNESIS
1. KeluhanUtama
a. Nyeri dada
b. Lama nyeri dada
c. Lokasi nyeri dada
hati
d. Nyeri dada seperti
ditindih
e. Nyeri menjalar ke
dagu
( ) Ya
( ) Tidak
( ) < 20 menit
( ) ≥ 20 menit
( ) di tengah-tengah ( ) di kiri
(
( ) ditekan
( ) ditusu
(
)
( ) terbakar
( ) leher
( ) terperas
( ) lengan kiri (
)
( ) lengan kanan
( ) istirahat (
)
( ) punggung
f. Nyeri dada terasa berkurang dengan
nitrat
g. Nyeri dada timbul pada saat
( ) aktifitas
( ) stres
2. Keluhan Lain
a. ( ) berdebar
b. ( ) Sesak nafas
c. ( ) keringat dingin
d. ( ) mual
e. ( ) muntah
3. Riwayat pada keluarga
Hubungan dengan penderita
)ulu
( ) istirahat
( ) sesudah makan
f. ( ) lemas k. ( ) lain-lain
g. ( ) masuk angin
h. ( ) pusing
i. ( ) kembung
j. ( ) kesadaran menurun
( ) Ya
( ) Tidak
( ) Bapak
( ) Ibu ( ) Kakek ( ) Nenek
4. Faktor risiko
a. Dislipidemia
1. Apakah menderita penyakit kolesterol?
( ) Ya ( ) Tidak
2. Bila Ya, apakah minum obat?
( ) Ya ( ) Tidak
Nama obat : …………………………………
b. Hipertensi
1. Apakah pernah menderita penyakit darah tinggi?
( ) Ya ( ) Tidak
2. BilaYa, sudah berapa lama ……………….. tahun
Sudahminumobat? ( ) Ya ( ) Tidak
Nama obat : …………………………………
3. Apakah keluarga menderita darah tinggi?
( ) Ya ( ) Tidak
c. Diabetes Mellitus
1. Apakah pernah menderita sakit kencing manis
( ) Ya ( ) Tidak
2. BilaYa, sudah berapa lama ……………….. tahun
Sudah minum obat? ( ) Ya ( ) Tidak
Nama obat : …………………………………
3. Apakah keluarga menderita kencing manis?
( ) Ya ( ) Tidak
d. Merokok
1. Apakah anda merokok
( ) Ya ( ) Tidak
2. JikaYa, berapa lama merokok? ……………..bulan
( )<6 ( )≥6
3. Berhenti merokok sejak ……………………..bulan
( )<6 ( )≥6
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Diperiksa tanggal
……………………
Berat badan
Tinggi badan
Lingkar perut
Tekanan darah
Frekuensi pernapasan
Suhu
Denyut nadi
Irama
: ………………… Oleh :
: …………………………………
: …………………………………
: …………………………………
: ………………………………….
: ………………………………….
: ………………………………….
: ………………………………….
: ( ) teratur
( ) tidakteratur
Keadaan umum
Sianosis
Anemia
Telinga
Hidung
Mulut/gigi
Tenggorokan
Leher
:(
:(
:(
:(
:(
:(
:(
:(
) baik
) ada
) ada
) tak
) tak
) tak
) tak
) tak
(
(
(
(
(
(
(
(
) sedang ( ) buruk
) tidakada
) tidakada
) kelainan …………..
) kelainan …………..
) kelainan …………...
) kelainan …………..
) kelainan …………..
JANTUNG
a. Aktifitas Ventrikel kanan
( ) normal
( ) meningkat
b. Aktivitas Ventrikel kiri
( ) normal
( ) meningkat
c. Thrill
( ) tidakada ( ) ada, lokasi:
………
d. Iktus kordis : intercostal …………… kiri / kanan, garis ………
e. Irama jantung
 S1 ( ) normal ( ) mengeras
 S2 ( ) normal ( ) mengeras
( ) single ( ) split
( ) normal
( ) tetap
( ) memendek ( ) memanjang
 S3
( ) tidak ada ( ) ada
 Gallop
( ) tidak ada ( ) ada
 Opening snap ( ) tidak ada ( ) ada
 Ekstra systole ( ) tidak ada ( ) ada
 Klik
( ) tidak ada ( ) ada
 Bising jantung:
o Jenis ………………………
o Waktu …………………….
o Derajat ……………………
o Lokasi …………………….
o Penjalaran ………………...
PARU
a. Suara napas : …………../……………
b. Ronchi
: …………../……………
c. Wheezing : …………../……………
ABDOMEN
a. Hepar
: ( ) tidak teraba
( ) teraba ………….. cm
b. Limpa
c. Ascites
: ( ) tidak teraba
: ( ) tidakada
( ) teraba ………….. cm
( ) ada
EXTREMITAS
a. Edema
b. Sianosis
c. Clubbing
IV.
V.
VI.
: ( ) tidakada
: ( ) tidakada
: ( ) tidakada
( ) ada
( ) ada
( ) ada
ELEKTROKARDIOGRAM
( ) Normal
( ) Q waves, lokasi : ……………………………..
( ) ST elevation, lokasi : …………………………
( ) ST depression, lokasi : ……………………….
( ) Inverted T, lokasi : ……………………………
FOTO RONTGEN TORAK
( ) Normal
( ) Kardiomegali
( ) Sembab paru
( ) Efusi pleura
( ) Infiltrat
PEMERIKSAAN LABORATORIUM DARAH
DarahLengkap
No.
Pemeriksaan
Nilai
1
WBC
2
HGB
3
HCT
4
PLT
Kimia
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Pemeriksaan
Troponin T
CKMB
LDH
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Kolesterol total
Kolesterol LDL
Kolesterol HDL
Trigeliserida
Gula darah acak
Nilai
13
14
15
16
Gula darah puasa
Gula darah puasa 2 jam PP
Albumin
PO2
Pemeriksaan Laktat Darah Kapiler
No
Pemeriksaan
Nilai
1
Kadar laktat saat masuk rumah
sakit
2
Kadar laktat 2 jam setelah masuk
rumah sakit
Urine Lengkap
No
Pemeriksaan
1
Spesifik Grafity
2
pH
3
Leukosit
4
Nitrit
5
Protein
6
Glukosa
7
Ketone
8
Urobilinogen
9
Bilirubin
10
Eritrosit
11
Warna
12
Sedimen
Leukosit
Eritrosit
Silinder
13
Selepitel : gepeng
14
Kristal
15
Lain-lain :
VII.
DIAGNOSIS
a. ( ) NSTEMI
TIMI risk score : ………….
Onset : ………….jam
Heart failure ( ) Ya ( ) Tidak
b. ( ) STEMI
Nilai
TIMI risk score : ……….
Onset : ………….jam
Killips ( ) I ( ) II ( ) III ( ) IV
VIII.
IX.
TERAPI
 ASA
 Clopidogrel
 Beta blocker
 Calcium antagonist
 Nitrat
 Penghambat ACE
 Statin
 LMWH
 Streptokinase
 PCI
 CABG
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
PENGAMATAN PENDERITA
Mortalitas
Waktu kejadian
(tanggal, jam kejadian)
1. Mortalitas di rumah sakit
2. Mortalitas di luar rumah sakit
Denpasar,…………………2014
Pemeriksa
(…………………………………..)
Pengamatan dilakukan saat penderita MRS / UPIJ dan setelah keluar rumah sakit
dengan cara :




Kunjungan tiap hari
Berkomunikasi dengan penderita
Berkoordinasi dengan tim medis
Menelpon keluarga atau penderita apabila sudah keluar rumah sakit dalam
30 hari setelah serangan IMA
Lampiran 4. Hasil Analisa Data
. tab jeniskelamin
jenis |
kelamin |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------Perempuan |
18
14.88
14.88
Laki-laki |
103
85.12
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. sum umur
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------umur |
121
59.07438
12.13821
32
92
. tab onsetnyeridada
onset nyeri |
dada |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------<=12jam |
86
71.07
71.07
>12jam |
35
28.93
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. tab diagnosis
diagnosis |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------NSTEMI |
37
30.58
30.58
STEMI |
84
69.42
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. tab kilip
Kilip |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------1 |
79
65.29
65.29
2 |
17
14.05
79.34
3 |
8
6.61
85.95
4 |
17
14.05
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. sum wbc
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------wbc |
121
12.95942
4.546712
2.66
27.2
. sum hgb
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------hgb |
121
14.03008
2.243565
6.14
18.43
. sum albumin
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------albumin |
121
3.746529
.4693146
1.8
4.63
. sum bsacak
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------bsacak |
121
171.1971
79.14601
49
404
. sum po2
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------po2 |
121
135.9525
36.00533
1.45
203
. tab riwayatkeluarga
riwayat |
keluarga |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------Tidak |
110
90.91
90.91
Ya |
11
9.09
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. tab dislipidemia
dislipidemi |
a |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------Tidak |
61
50.41
50.41
Ya |
60
49.59
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. tab hipertensi
hipertensi |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------Tidak |
67
55.37
55.37
Ya |
54
44.63
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. tab diabetesmellitus
diabetes |
mellitus |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------Tidak |
85
70.25
70.25
Ya |
36
29.75
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. tab merokok
merokok |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------Tidak |
52
42.98
42.98
Ya |
69
57.02
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. tab streptase
Streptase |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------Tidak |
74
61.16
61.16
Ya |
47
38.84
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. tab pci
PCI |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------Tidak |
120
99.17
99.17
Ya |
1
0.83
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. roctab mortalitas laktat2, detail graph
Detailed report of sensitivity and specificity
-----------------------------------------------------------------------------Correctly
Cutpoint
Sensitivity
Specificity
Classified
LR+
LR-----------------------------------------------------------------------------( >= .9 )
100.00%
0.00%
19.01%
1.0000
( >= 1 )
100.00%
1.02%
19.83%
1.0103
0.0000
( >= 1.2 )
100.00%
3.06%
21.49%
1.0316
0.0000
( >= 1.3 )
100.00%
6.12%
23.97%
1.0652
0.0000
( >= 1.4 )
100.00%
10.20%
27.27%
1.1136
0.0000
( >= 1.5 )
100.00%
13.27%
29.75%
1.1529
0.0000
( >= 1.6 )
100.00%
15.31%
31.40%
1.1807
0.0000
( >= 1.7 )
100.00%
16.33%
32.23%
1.1951
0.0000
( >= 1.8 )
100.00%
20.41%
35.54%
1.2564
0.0000
( >= 1.9 )
100.00%
25.51%
39.67%
1.3425
0.0000
( >= 2 )
100.00%
28.57%
42.15%
1.4000
0.0000
( >= 2.1 )
100.00%
32.65%
45.45%
1.4848
0.0000
( >= 2.2 )
95.65%
33.67%
45.45%
1.4421
0.1291
( >= 2.3 )
95.65%
34.69%
46.28%
1.4647
0.1253
( >= 2.4 )
95.65%
36.73%
47.93%
1.5119
0.1184
( >= 2.5 )
95.65%
44.90%
54.55%
1.7359
0.0968
( >= 2.6 )
95.65%
45.92%
55.37%
1.7687
0.0947
( >= 2.7 )
91.30%
47.96%
56.20%
1.7545
0.1813
( >= 2.8 )
91.30%
51.02%
58.68%
1.8641
0.1704
( >= 2.9 )
91.30%
59.18%
65.29%
2.2370
0.1469
( >= 3 )
91.30%
61.22%
66.94%
2.3547
0.1420
( >= 3.1 )
91.30%
65.31%
70.25%
2.6317
0.1332
( >= 3.2 )
91.30%
66.33%
71.07%
2.7115
0.1311
( >= 3.3 )
86.96%
66.33%
70.25%
2.5823
0.1967
( >= 3.4 )
86.96%
70.41%
73.55%
2.9385
0.1853
( >= 3.5 )
82.61%
74.49%
76.03%
3.2383
0.2335
( >= 3.6 )
82.61%
75.51%
76.86%
3.3732
0.2303
( >= 3.8 )
78.26%
79.59%
79.34%
3.8348
0.2731
( >= 4 )
73.91%
82.65%
80.99%
4.2609
0.3156
( >= 4.2 )
69.57%
84.69%
81.82%
4.5449
0.3594
( >= 4.3 )
69.57%
86.73%
83.47%
5.2441
0.3509
( >= 4.4 )
69.57%
88.78%
85.12%
6.1976
0.3428
( >= 4.5 )
65.22%
88.78%
84.30%
5.8103
0.3918
( >= 4.6 )
60.87%
88.78%
83.47%
5.4229
0.4408
( >= 4.7 )
47.83%
89.80%
81.82%
4.6870
0.5810
( >= 4.8 )
47.83%
90.82%
82.64%
5.2077
0.5745
( >= 4.9 )
39.13%
90.82%
80.99%
4.2609
0.6702
( >= 5.2 )
39.13%
91.84%
81.82%
4.7935
0.6628
( >= 5.4 )
34.78%
91.84%
80.99%
4.2609
0.7101
( >= 5.7 )
30.43%
92.86%
80.99%
4.2609
0.7492
( >= 5.8 )
30.43%
93.88%
81.82%
4.9710
0.7410
( >= 5.9 )
30.43%
94.90%
82.64%
5.9652
0.7331
( >= 6.6 )
26.09%
94.90%
81.82%
5.1130
0.7789
( >= 6.7 )
21.74%
94.90%
80.99%
4.2609
0.8247
( >= 7 )
17.39%
94.90%
80.17%
3.4087
0.8705
( >= 7.3 )
13.04%
94.90%
79.34%
2.5565
0.9163
( >= 7.6 )
4.35%
94.90%
77.69%
0.8522
1.0079
( >= 8 )
4.35%
95.92%
78.51%
1.0652
0.9972
( >= 8.3 )
0.00%
95.92%
77.69%
0.0000
1.0426
( >= 10.4 )
0.00%
98.98%
80.17%
0.0000
1.0103
( > 10.4 )
0.00%
100.00%
80.99%
1.0000
-----------------------------------------------------------------------------ROC
-Asymptotic Normal-Obs
Area
Std. Err.
[95% Conf. Interval]
-------------------------------------------------------121
0.8425
0.0418
0.76059
0.92442
. tab kategorilaktat4
kategorilak |
tat4 |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------Rendah |
94
77.69
77.69
Tinggi |
27
22.31
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. tab mortalitas
mortalitas |
Freq.
Percent
Cum.
------------+----------------------------------Tidak |
98
80.99
80.99
Ya |
23
19.01
100.00
------------+----------------------------------Total |
121
100.00
. stsum, by ( kategorilaktat4)
failure _d:
analysis time _t:
mortalitas == 1
tmmortallitas
|
incidence
no. of
|------ Survival time -----|
katego~4 | time at risk
rate
subjects
25%
50%
75%
---------+--------------------------------------------------------------------Rendah |
2681
.002611
94
.
.
.
Tinggi |
423
.0378251
27
2
13
.
---------+--------------------------------------------------------------------total |
3104
.0074098
121
.
.
.
Log-rank test for equality of survivor functions
|
Events
Events
kategorila~4 | observed
expected
-------------+------------------------Rendah
|
7
19.10
Tinggi
|
16
3.90
-------------+------------------------Total
|
23
23.00
chi2(1) =
Pr>chi2 =
46.62
0.0000
. ir mortalitas kategorilaktat4 tmmortallitas
| kategorilaktat4
|
|
Exposed
Unexposed |
Total
-----------------+------------------------+-----------mortalitas |
16
7 |
23
tm mortallitas |
423
2681 |
3104
-----------------+------------------------+------------
|
|
Incidence rate | .0378251
.002611 |
.0074098
|
|
|
Point estimate
|
[95% Conf. Interval]
|------------------------+-----------------------Inc. rate diff. |
.0352141
|
.0165795
.0538487
Inc. rate ratio |
14.487
|
5.638812
41.64016
Attr. frac. ex. |
.9309726
|
.8226577
.9759847
Attr. frac. pop |
.6476331
|
+------------------------------------------------(midp)
Pr(k>=16) =
0.0000
(midp) 2*Pr(k>=16) =
0.0000
(exact)
(exact)
(exact)
(exact)
. sts list, by ( kategorilaktat4)
failure _d:
analysis time _t:
mortalitas == 1
tmmortallitas
Beg.
Net
Survivor
Std.
Time
Total
Fail
Lost
Function
Error
[95% Conf. Int.]
------------------------------------------------------------------------------Rendah
2
94
1
0
0.9894
0.0106
0.9269
0.9985
4
93
1
0
0.9787
0.0149
0.9176
0.9946
5
92
1
0
0.9681
0.0181
0.9043
0.9896
6
91
1
0
0.9574
0.0208
0.8906
0.9838
11
90
1
0
0.9468
0.0231
0.8769
0.9775
20
89
1
0
0.9362
0.0252
0.8634
0.9708
23
88
1
0
0.9255
0.0271
0.8501
0.9638
30
87
0
87
0.9255
0.0271
0.8501
0.9638
Tinggi
1
27
6
0
0.7778
0.0800
0.5709
0.8934
2
21
3
0
0.6667
0.0907
0.4571
0.8106
3
18
2
0
0.5926
0.0946
0.3863
0.7499
9
16
2
0
0.5185
0.0962
0.3191
0.6855
13
14
1
0
0.4815
0.0962
0.2869
0.6519
14
13
1
0
0.4444
0.0956
0.2556
0.6175
30
12
1
11
0.4074
0.0946
0.2253
0.5821
------------------------------------------------------------------------------. estat phtest
Test of proportional-hazards assumption
Time: Time
---------------------------------------------------------------|
chi2
df
Prob>chi2
------------+--------------------------------------------------global test |
4.10
8
0.8484
----------------------------------------------------------------
. tab jeniskelamin kategorilaktat4, col chi
jenis |
kategorilaktat4
kelamin |
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------Perempuan |
11
7 |
18
|
11.70
25.93 |
14.88
-----------+----------------------+---------Laki-laki |
83
20 |
103
|
88.30
74.07 |
85.12
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(1) =
3.3512
. sum umur if kategorilaktat4==1
Pr = 0.067
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------umur |
27
60.59259
12.92957
34
83
. sum umur if kategorilaktat4==0
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------umur |
94
58.6383
11.93788
32
92
. swilk umur if kategorilaktat4==1
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------umur |
27
0.96695
0.971
-0.059
0.52369
. swilk umur if kategorilaktat4==0
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------umur |
94
0.99023
0.766
-0.588
0.72174
. robvar umur, by kategorilaktat4
option by() required
r(198);
. robvar umur, by (kategorilaktat4)
kategorilak |
Summary of umur
tat4 |
Mean
Std. Dev.
Freq.
------------+-----------------------------------Rendah |
58.638298
11.937878
94
Tinggi |
60.592593
12.92957
27
------------+------------------------------------
Total |
W0
59.07438
12.138208
121
=
0.13068752
df(1, 119)
Pr > F = 0.71836132
W50 =
0.12103418
df(1, 119)
Pr > F = 0.72853017
W10 =
0.13446687
df(1, 119)
Pr > F = 0.71449607
. ttest umur, by (kategorilaktat4)
Two-sample t test with equal variances
-----------------------------------------------------------------------------Group |
Obs
Mean
Std. Err.
Std. Dev.
[95% Conf. Interval]
---------+-------------------------------------------------------------------Rendah |
94
58.6383
1.231298
11.93788
56.19318
61.08341
Tinggi |
27
60.59259
2.488297
12.92957
55.47782
65.70736
---------+-------------------------------------------------------------------combined |
121
59.07438
1.103473
12.13821
56.88958
61.25918
---------+-------------------------------------------------------------------diff |
-1.954295
2.655415
-7.212282
3.303693
-----------------------------------------------------------------------------diff = mean(Rendah) - mean(Tinggi)
t = -0.7360
Ho: diff = 0
degrees of freedom =
119
Ha: diff < 0
Pr(T < t) = 0.2316
Ha: diff != 0
Pr(|T| > |t|) = 0.4632
. tab onsetnyeridada kategorilaktat4, col chi
+-------------------+
| Key
|
|-------------------|
|
frequency
|
| column percentage |
+-------------------+
onset |
kategorilaktat4
nyeri dada |
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------<=12jam |
67
19 |
86
|
71.28
70.37 |
71.07
-----------+----------------------+--------->12jam |
27
8 |
35
|
28.72
29.63 |
28.93
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(1) =
0.0084
Pr = 0.927
Ha: diff > 0
Pr(T > t) = 0.7684
. tab diagnosis kategorilaktat4, col chi
+-------------------+
| Key
|
|-------------------|
|
frequency
|
| column percentage |
+-------------------+
|
kategorilaktat4
diagnosis |
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------NSTEMI |
27
10 |
37
|
28.72
37.04 |
30.58
-----------+----------------------+---------STEMI |
67
17 |
84
|
71.28
62.96 |
69.42
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(1) =
0.6829
Pr = 0.409
. tab kilip kategorilaktat4, col chi
+-------------------+
| Key
|
|-------------------|
|
frequency
|
| column percentage |
+-------------------+
|
kategorilaktat4
Kilip |
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------1 |
70
9 |
79
|
74.47
33.33 |
65.29
-----------+----------------------+---------2 |
14
3 |
17
|
14.89
11.11 |
14.05
-----------+----------------------+---------3 |
7
1 |
8
|
7.45
3.70 |
6.61
-----------+----------------------+---------4 |
3
14 |
17
|
3.19
51.85 |
14.05
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(3) =
41.4445
Pr = 0.000
. sum wbc if kategorilaktat4==1
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------wbc |
27
13.44889
4.321397
7.52
27.2
. sum wbc if kategorilaktat4==0
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------wbc |
94
12.81883
4.622116
2.66
25.6
. swilk wbc if kategorilaktat4==1
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------wbc |
27
0.90103
2.910
2.194
0.01412
. swilk wbc if kategorilaktat4==0
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------wbc |
94
0.96609
2.659
2.162
0.01529
. ksmirnov wbc, by ( kategorilaktat4)
Two-sample Kolmogorov-Smirnov test for equality of distribution functions
Smaller group
D
P-value Corrected
---------------------------------------------Rendah:
0.1292
0.496
Tinggi:
-0.0705
0.812
Combined K-S:
0.1292
0.875
0.820
Note: ties exist in combined dataset;
there are 102 unique values out of 121 observations.
. sum hgb if kategorilaktat4=1
invalid syntax
r(198);
. sum hgb if kategorilaktat4==1
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------hgb |
27
13.37481
2.980106
6.14
17
. sum hgb if kategorilaktat4==0
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------hgb |
94
14.2183
1.962554
10.2
18.43
. swilk hgb if kategorilaktat4==0
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------hgb |
94
0.97674
1.824
1.329
0.09200
. swilk hgb if kategorilaktat4==1
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------hgb |
27
0.89528
3.079
2.310
0.01045
. ksmirnov hgb, by ( kategorilaktat4)
Two-sample Kolmogorov-Smirnov test for equality of distribution functions
Smaller group
D
P-value Corrected
---------------------------------------------Rendah:
0.1458
0.410
Tinggi:
-0.2325
0.104
Combined K-S:
0.2325
0.207
0.147
Note: ties exist in combined dataset;
there are 68 unique values out of 121 observations.
. sum albumin if kategorilaktat4==1
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------albumin |
27
3.61963
.5891746
1.8
4.5
. sum albumin if kategorilaktat4==0
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------albumin |
94
3.782979
.4256023
2.65
4.63
. swilk albumin if kategorilaktat4==1
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------albumin |
27
0.93360
1.952
1.374
0.08471
. swilk albumin if kategorilaktat4==0
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------albumin |
94
0.98451
1.214
0.429
0.33383
. robvar albumin, by ( kategorilaktat4)
kategorilak |
Summary of Albumin
tat4 |
Mean
Std. Dev.
Freq.
------------+-----------------------------------Rendah |
3.7829787
.42560225
94
Tinggi |
3.6196296
.58917465
27
------------+-----------------------------------Total |
3.7465289
.46931459
121
W0
=
4.1038295
df(1, 119)
Pr > F = 0.04502282
W50 =
3.7124877
df(1, 119)
Pr > F = 0.05639115
W10 =
3.9964704
df(1, 119)
Pr > F = 0.04787433
. ttest albumin, by ( kategorilaktat4)
Two-sample t test with equal variances
-----------------------------------------------------------------------------Group |
Obs
Mean
Std. Err.
Std. Dev.
[95% Conf. Interval]
---------+-------------------------------------------------------------------Rendah |
94
3.782979
.0438975
.4256023
3.695807
3.870151
Tinggi |
27
3.61963
.1133867
.5891746
3.38656
3.852699
---------+-------------------------------------------------------------------combined |
121
3.746529
.042665
.4693146
3.662055
3.831003
---------+-------------------------------------------------------------------diff |
.1633491
.1018077
-.0382402
.3649385
-----------------------------------------------------------------------------diff = mean(Rendah) - mean(Tinggi)
t =
1.6045
Ho: diff = 0
degrees of freedom =
119
Ha: diff < 0
Pr(T < t) = 0.9444
Ha: diff != 0
Pr(|T| > |t|) = 0.1113
Ha: diff > 0
Pr(T > t) = 0.0556
. sum bsacak if kategorilaktat4==1
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------bsacak |
27
166.3752
73.64029
95
404
. sum bsacak if kategorilaktat4==0
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------bsacak |
94
172.5821
80.98105
49
381.72
. swilk bsacak if kategorilaktat4==1
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------bsacak |
27
0.73514
7.786
4.216
0.00001
. swilk bsacak if kategorilaktat4==0
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------bsacak |
94
0.86206
10.817
5.264
0.00000
. ksmirnov bsacak, by ( kategorilaktat4) exact
Two-sample Kolmogorov-Smirnov test for equality of distribution functions
Smaller group
D
P-value
Exact
---------------------------------------------Rendah:
0.1545
0.368
Tinggi:
-0.1706
0.295
Combined K-S:
0.1706
0.575
0.513
Note: ties exist in combined dataset;
there are 100 unique values out of 121 observations.
. sum po2 if kategorilaktat4==1
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------po2 |
27
125.8519
41.56432
55
203
. sum po2 if kategorilaktat4==0
Variable |
Obs
Mean
Std. Dev.
Min
Max
-------------+-------------------------------------------------------po2 |
94
138.8537
33.93587
1.45
196
. swilk po2 if kategorilaktat4==1
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+-------------------------------------------------po2 |
27
0.96296
1.089
0.175
0.43061
. swilk po2 if kategorilaktat4==0
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable |
Obs
W
V
z
Prob>z
-------------+--------------------------------------------------
po2 |
94
0.94278
4.487
3.319
0.00045
. ksmirnov po2, by ( kategorilaktat4)
Two-sample Kolmogorov-Smirnov test for equality of distribution functions
Smaller group
D
P-value Corrected
---------------------------------------------Rendah:
0.0741
0.794
Tinggi:
-0.2695
0.048
Combined K-S:
0.2695
0.095
0.061
Note: ties exist in combined dataset;
there are 73 unique values out of 121 observations.
. tab riwayatkeluarga kategorilaktat4, col chi
+-------------------+
| Key
|
|-------------------|
|
frequency
|
| column percentage |
+-------------------+
riwayat |
kategorilaktat4
keluarga |
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------Tidak |
86
24 |
110
|
91.49
88.89 |
90.91
-----------+----------------------+---------Ya |
8
3 |
11
|
8.51
11.11 |
9.09
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(1) =
0.1716
Pr = 0.679
. tab dislipidemia kategorilaktat4, col chi
+-------------------+
| Key
|
|-------------------|
|
frequency
|
| column percentage |
+-------------------+
dislipidem |
kategorilaktat4
ia |
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------Tidak |
48
13 |
61
|
51.06
48.15 |
50.41
-----------+----------------------+---------Ya |
46
14 |
60
|
48.94
51.85 |
49.59
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(1) =
0.0713
Pr = 0.789
. tab hipertensi kategorilaktat4, col chi
+-------------------+
| Key
|
|-------------------|
|
frequency
|
| column percentage |
+-------------------+
|
kategorilaktat4
hipertensi |
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------Tidak |
51
16 |
67
|
54.26
59.26 |
55.37
-----------+----------------------+---------Ya |
43
11 |
54
|
45.74
40.74 |
44.63
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(1) =
0.2125
Pr = 0.645
. tab diabetesmellitus kategorilaktat4, col chi
+-------------------+
| Key
|
|-------------------|
|
frequency
|
| column percentage |
+-------------------+
diabetes |
kategorilaktat4
mellitus |
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------Tidak |
64
21 |
85
|
68.09
77.78 |
70.25
-----------+----------------------+---------Ya |
30
6 |
36
|
31.91
22.22 |
29.75
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(1) =
0.9428
Pr = 0.332
. tab merokok kategorilaktat4, col chi
+-------------------+
| Key
|
|-------------------|
|
frequency
|
| column percentage |
+-------------------+
|
kategorilaktat4
merokok |
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------Tidak |
38
14 |
52
|
40.43
51.85 |
42.98
-----------+----------------------+---------Ya |
56
13 |
69
|
59.57
48.15 |
57.02
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(1) =
1.1175
Pr = 0.290
. tab streptase kategorilaktat4, col chi
+-------------------+
| Key
|
|-------------------|
|
frequency
|
| column percentage |
+-------------------+
|
kategorilaktat4
Streptase |
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------Tidak |
51
23 |
74
|
54.26
85.19 |
61.16
-----------+----------------------+---------Ya |
43
4 |
47
|
45.74
14.81 |
38.84
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(1) =
8.4470
Pr = 0.004
. tab pci kategorilaktat4, col chi
+-------------------+
| Key
|
|-------------------|
|
frequency
|
| column percentage |
+-------------------+
|
PCI |
kategorilaktat4
Rendah
Tinggi |
Total
-----------+----------------------+---------Tidak |
94
26 |
120
|
100.00
96.30 |
99.17
-----------+----------------------+---------Ya |
0
1 |
1
|
0.00
3.70 |
0.83
-----------+----------------------+---------Total |
94
27 |
121
|
100.00
100.00 |
100.00
Pearson chi2(1) =
. stcox
3.5105
Pr = 0.061
kategorilaktat4 jeniskelamin kilip streptase pci po2 albumin hgb
failure _d:
analysis time _t:
mortalitas == 1
tmmortallitas
Iteration 0:
log likelihood
Iteration 1:
log likelihood
Iteration 2:
log likelihood
Iteration 3:
log likelihood
Iteration 4:
log likelihood
Iteration 5:
log likelihood
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood
=
=
=
=
=
=
-108.26622
-79.439924
-74.410226
-72.15497
-72.105122
-72.105002
= -72.105002
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
Log likelihood
=
121
23
3104
-72.105002
Number of obs
=
121
LR chi2(8)
Prob > chi2
=
=
72.32
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.470544
1.929647
2.24
0.025
1.167141
10.31981
jeniskelamin |
.3781112
.1943212
-1.89
0.058
.1380909
1.035319
kilip |
2.738501
.6665136
4.14
0.000
1.699582
4.41249
streptase |
.1596549
.1686139
-1.74
0.082
.0201472
1.265169
pci |
.8879354
.9655005
-0.11
0.913
.1053959
7.480646
po2 |
.9944551
.0055129
-1.00
0.316
.9837085
1.005319
albumin |
1.506168
.7635308
0.81
0.419
.5576592
4.067974
hgb |
.8383672
.0810531
-1.82
0.068
.6936499
1.013277
--------------------------------------------------------------------------------. stcox
kategorilaktat4 jeniskelamin kilip streptase
failure _d:
analysis time _t:
Iteration 0:
Iteration 1:
Iteration 2:
mortalitas == 1
tmmortallitas
log likelihood = -108.26622
log likelihood = -79.187021
log likelihood = -74.342417
po2 albumin hgb
Iteration 3:
log likelihood
Iteration 4:
log likelihood
Iteration 5:
log likelihood
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood
= -72.162888
= -72.111296
= -72.111144
= -72.111144
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
Log likelihood
=
121
23
3104
-72.111144
Number of obs
=
121
LR chi2(7)
Prob > chi2
=
=
72.31
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.446578
1.907693
2.24
0.025
1.164783
10.19838
jeniskelamin |
.3759126
.1922906
-1.91
0.056
.1379341
1.024476
kilip |
2.733509
.6645463
4.14
0.000
1.6974
4.402071
streptase |
.1600178
.1690073
-1.74
0.083
.0201905
1.268203
po2 |
.9944737
.0055172
-1.00
0.318
.9837188
1.005346
albumin |
1.514613
.76723
0.82
0.412
.5612081
4.087704
hgb |
.8374894
.0807179
-1.84
0.066
.6933298
1.011623
--------------------------------------------------------------------------------. stcox
kategorilaktat4 jeniskelamin kilip streptase
failure _d:
analysis time _t:
po2
hgb
mortalitas == 1
tmmortallitas
Iteration 0:
log likelihood
Iteration 1:
log likelihood
Iteration 2:
log likelihood
Iteration 3:
log likelihood
Iteration 4:
log likelihood
Iteration 5:
log likelihood
Iteration 6:
log likelihood
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood
=
=
=
=
=
=
=
-108.26622
-79.325031
-74.724078
-72.517399
-72.455708
-72.455418
-72.455418
= -72.455418
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
Log likelihood
=
121
23
3104
-72.455418
Number of obs
=
121
LR chi2(6)
Prob > chi2
=
=
71.62
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.429493
1.90678
2.22
0.027
1.153363
10.1975
jeniskelamin |
.3579872
.1833241
-2.01
0.045
.1312109
.9767086
kilip |
2.565232
.593352
4.07
0.000
1.630193
4.036585
streptase |
.176314
.1855948
-1.65
0.099
.0224016
1.387694
po2 |
.9963355
.0050733
-0.72
0.471
.9864414
1.006329
hgb |
.8557032
.0806654
-1.65
0.098
.7113481
1.029353
--------------------------------------------------------------------------------. stcox
kategorilaktat4 jeniskelamin kilip streptase
failure _d:
analysis time _t:
hgb
mortalitas == 1
tmmortallitas
Iteration 0:
log likelihood
Iteration 1:
log likelihood
Iteration 2:
log likelihood
Iteration 3:
log likelihood
Iteration 4:
log likelihood
Iteration 5:
log likelihood
Iteration 6:
log likelihood
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood
=
=
=
=
=
=
=
-108.26622
-79.627657
-75.33099
-72.787442
-72.71824
-72.717791
-72.717791
= -72.717791
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
Log likelihood
=
121
23
3104
-72.717791
Number of obs
=
121
LR chi2(5)
Prob > chi2
=
=
71.10
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.483324
1.918097
2.27
0.023
1.183801
10.24965
jeniskelamin |
.3587854
.1855125
-1.98
0.047
.1302312
.9884494
kilip |
2.508406
.5739983
4.02
0.000
1.601834
3.928061
streptase |
.1768194
.1860651
-1.65
0.100
.0224812
1.390721
hgb |
.8445181
.0790484
-1.81
0.071
.7029671
1.014572
--------------------------------------------------------------------------------. stcox
kategorilaktat4 jeniskelamin kilip
failure _d:
analysis time _t:
hgb
mortalitas == 1
tmmortallitas
Iteration 0:
log likelihood
Iteration 1:
log likelihood
Iteration 2:
log likelihood
Iteration 3:
log likelihood
Iteration 4:
log likelihood
Iteration 5:
log likelihood
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood
=
=
=
=
=
=
-108.26622
-80.85638
-78.862325
-74.923775
-74.861199
-74.861132
= -74.861132
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
121
23
3104
Number of obs
=
121
Log likelihood
=
LR chi2(4)
Prob > chi2
-74.861132
=
=
66.81
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.326459
1.903306
2.10
0.036
1.083798
10.20977
jeniskelamin |
.3954599
.2052832
-1.79
0.074
.1429696
1.093858
kilip |
2.81439
.6529046
4.46
0.000
1.786142
4.434583
hgb |
.8103855
.0775554
-2.20
0.028
.6717847
.977582
--------------------------------------------------------------------------------. stcox
kategorilaktat4
failure _d:
analysis time _t:
kilip
hgb
mortalitas == 1
tmmortallitas
Iteration 0:
log likelihood
Iteration 1:
log likelihood
Iteration 2:
log likelihood
Iteration 3:
log likelihood
Iteration 4:
log likelihood
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood
=
=
=
=
=
-108.26622
-83.475411
-76.424479
-76.373642
-76.373626
= -76.373626
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
Log likelihood
=
121
23
3104
-76.373626
Number of obs
=
121
LR chi2(3)
Prob > chi2
=
=
63.79
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.066958
1.732156
1.98
0.047
1.013833
9.277889
kilip |
2.831955
.6510545
4.53
0.000
1.804674
4.444
hgb |
.7731121
.0671702
-2.96
0.003
.6520601
.9166369
--------------------------------------------------------------------------------. stcox
kategorilaktat4 jeniskelamin kilip
failure _d:
analysis time _t:
mortalitas == 1
tmmortallitas
Iteration 0:
log likelihood
Iteration 1:
log likelihood
Iteration 2:
log likelihood
Iteration 3:
log likelihood
Iteration 4:
log likelihood
Iteration 5:
log likelihood
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood
=
=
=
=
=
=
-108.26622
-80.85638
-78.862325
-74.923775
-74.861199
-74.861132
= -74.861132
Cox regression -- Breslow method for ties
hgb
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
Log likelihood
121
23
3104
=
-74.861132
Number of obs
=
121
LR chi2(4)
Prob > chi2
=
=
66.81
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.326459
1.903306
2.10
0.036
1.083798
10.20977
jeniskelamin |
.3954599
.2052832
-1.79
0.074
.1429696
1.093858
kilip |
2.81439
.6529046
4.46
0.000
1.786142
4.434583
hgb |
.8103855
.0775554
-2.20
0.028
.6717847
.977582
--------------------------------------------------------------------------------. stcox
kategorilaktat4 jeniskelamin kilip
failure _d:
analysis time _t:
mortalitas == 1
tmmortallitas
Iteration 0:
log likelihood
Iteration 1:
log likelihood
Iteration 2:
log likelihood
Iteration 3:
log likelihood
Iteration 4:
log likelihood
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood
=
=
=
=
=
-108.26622
-83.701285
-77.211975
-77.129076
-77.129001
= -77.129001
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
Log likelihood
121
23
3104
=
-77.129001
Number of obs
=
121
LR chi2(3)
Prob > chi2
=
=
62.27
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.815327
2.104339
2.43
0.015
1.294353
11.24633
jeniskelamin |
.2600555
.1248849
-2.80
0.005
.1014609
.6665511
kilip |
2.639003
.5863566
4.37
0.000
1.707311
4.079127
--------------------------------------------------------------------------------. stcox
kategorilaktat4 jeniskelamin kilip
failure _d:
analysis time _t:
Iteration
Iteration
Iteration
Iteration
Iteration
Iteration
0:
1:
2:
3:
4:
5:
log
log
log
log
log
log
mortalitas == 1
tmmortallitas
likelihood
likelihood
likelihood
likelihood
likelihood
likelihood
=
=
=
=
=
=
-108.26622
-80.85638
-78.862325
-74.923775
-74.861199
-74.861132
hgb
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood = -74.861132
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
Log likelihood
=
121
23
3104
-74.861132
Number of obs
=
121
LR chi2(4)
Prob > chi2
=
=
66.81
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.326459
1.903306
2.10
0.036
1.083798
10.20977
jeniskelamin |
.3954599
.2052832
-1.79
0.074
.1429696
1.093858
kilip |
2.81439
.6529046
4.46
0.000
1.786142
4.434583
hgb |
.8103855
.0775554
-2.20
0.028
.6717847
.977582
--------------------------------------------------------------------------------. stcox
kategorilaktat4 jeniskelamin
failure _d:
analysis time _t:
hgb
mortalitas == 1
tmmortallitas
Iteration 0:
log likelihood
Iteration 1:
log likelihood
Iteration 2:
log likelihood
Iteration 3:
log likelihood
Iteration 4:
log likelihood
Iteration 5:
log likelihood
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood
=
=
=
=
=
=
-108.26622
-93.405801
-90.234949
-88.268234
-88.262767
-88.262767
= -88.262767
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
Log likelihood
=
121
23
3104
-88.262767
Number of obs
=
121
LR chi2(3)
Prob > chi2
=
=
40.01
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
10.21734
4.765282
4.98
0.000
4.095855
25.48773
jeniskelamin |
.3857646
.1774627
-2.07
0.038
.1565834
.9503843
hgb |
.8772398
.0632486
-1.82
0.069
.7616353
1.010391
--------------------------------------------------------------------------------. stcox
kategorilaktat4 jeniskelamin kilip
failure _d:
analysis time _t:
Iteration 0:
mortalitas == 1
tmmortallitas
log likelihood = -108.26622
hgb
Iteration 1:
log likelihood
Iteration 2:
log likelihood
Iteration 3:
log likelihood
Iteration 4:
log likelihood
Iteration 5:
log likelihood
Refining estimates:
Iteration 0:
log likelihood
=
=
=
=
=
-80.85638
-78.862325
-74.923775
-74.861199
-74.861132
= -74.861132
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects =
No. of failures =
Time at risk
=
Log likelihood
=
121
23
3104
-74.861132
Number of obs
=
121
LR chi2(4)
Prob > chi2
=
=
66.81
0.0000
--------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.326459
1.903306
2.10
0.036
1.083798
10.20977
jeniskelamin |
.3954599
.2052832
-1.79
0.074
.1429696
1.093858
kilip |
2.81439
.6529046
4.46
0.000
1.786142
4.434583
hgb |
.8103855
.0775554
-2.20
0.028
.6717847
.977582
. poisson mortalitas kategorilaktat4 kilip hgb, exposure(tmmortallitas) irr
Iteration
Iteration
Iteration
Iteration
0:
1:
2:
3:
log
log
log
log
likelihood
likelihood
likelihood
likelihood
Poisson regression
Log likelihood = -61.238491
=
=
=
=
-61.831013
-61.240592
-61.238492
-61.238491
Number of obs
LR chi2(3)
Prob > chi2
Pseudo R2
=
=
=
=
121
86.58
0.0000
0.4141
--------------------------------------------------------------------------------mortalitas |
IRR
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 |
3.357188
1.83141
2.22
0.026
1.152469
9.779626
kilip |
3.441751
.7567346
5.62
0.000
2.236796
5.295809
hgb |
.7143353
.0560901
-4.28
0.000
.6124424
.8331803
_cons |
.0291725
.030751
-3.35
0.001
.0036959
.2302675
ln(tmmortall~s) |
1 (exposure)
---------------------------------------------------------------------------------
Download