TESIS HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS 30 HARI PASKA INFARK MIOKARD AKUT I PUTU PARWATA JAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS 30 HARI PASKA INFARK MIOKARD AKUT I PUTU PARWATA JAYA 1014138203 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS 30 HARI PASKA INFARK MIOKARD AKUT Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana I PUTU PARWATA JAYA 1014138203 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 24 MARET 2015 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. dr. I Wayan Wita Sp.JP (K), FIHA, FAsCC NIP. 19481207 197703 1 001 dr. K. Badjra Nadha Sp.JP (K), FIHA, FAsCC NIP. 19540815 198112 1 001 Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedik-Combine Degree Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS NIP 19461213 197107 1 001 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 19590215 198510 2 001 Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 24 Maret 2015 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No:797/UN14.4/HK/2015, Tanggal 12 Maret 2015 Ketua : Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, SpJP(K), FIHA, FAsCC Anggota : 1. dr. I Ketut Badjra Nadha, SpJP(K), FIHA, FAsCC 2. Prof. Dr.dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH 3. dr. IGN. Putra Gunadhi, SpJP(K), FIHA 4. Dr. dr. Ida Iswari, SpMK, M.Kes UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Terwujudnya tesis yang berjudul ”Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska Infark Miokard Akut” tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak, sehingga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya dan setulustulusnya kepada: 1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa program pasca sarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik (combined degree). 3. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.,FAACS, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree). 4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. 5. Kepala Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran VaskularFakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Dr. IGN Putra Gunadhi, SpJP(K) yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD/RSUP Sanglah dan telah memberikan dukungan, semangat serta masukan selama pembuatan tesis. 6. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Prof. Dr. dr. Wayan Wita, SpJP(K) Sekaligus selaku pembimbing pertama yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga, serta perhatian yang tinggi untuk memberikan dorongan, bimbingan, dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini. Terima kasih karena telah menjadi orang tua yang senantiasa mengarahkan, membimbing dan memberikan dukungan selama penulis menjalani pendidikan PPDS I Kardiologi dan Kedokteran Vaskular. 7. dr. Ketut Badjra Nadha, Sp.JP (K) selaku Ketua Divisi Non Invasif sekaligus pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga berhubungan dengan penelitian ini sehingga tesis ini dapat tersusun dengan baik. 8. Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH yang dengan kesediaan penuh meluangkan waktu, tenaga, serta perhatian yang tinggi untuk membimbing penulis dengan sabar, sehingga penulis dapat mengerti dengan baik dan menyelesaikan tesis ini, dan juga sebagai orang tua yang berperan besar dan mendukung dalam pendidikan PPDS I Kardiologi dan Kedokteran Vaskular ini. 9. Seluruh staf pengajar Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah mendidik, memberikan kesempatan, ijin, serta fasilitas kepada penulis untuk dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Kardiologi dan Kedokteran Vaskular serta menyelesaikan tesis ini. 10. Ketua Tim dan anggota Tim Penguji tesis ini yang telah memberikan pemecahan serta masukan yang bermanfaat guna perbaikan tesis ini. 11. Yang teristimewa untuk kedua orang tua saya tercinta, Drs. I Made Nuada dan Ni Nyoman Sukadani, yang telah memberikan, doa, kasih sayang tanpa batas, semangat, dan dukungan moril materil kepada penulis selama mengikuti pendidikan ini sehingga dapat dijalani dengan baik. 12. Yang tercinta istri saya drg. Putu Ayu Dewantari yang telah banyak memberikan dukungan moral, tenaga, dan pikiran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan dengan baik tesis ini. 13. Seluruh keluarga besar saya Agus Putu Krisnajaya, I Made Sugiada, Ni Made Fitri Astuti, I Nyoman Darmada dan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu serta mertua saya Drs. I Nyoman Sucita, M.M. dan Ni Wayan Seriasih S.Pd yang telah memberikan dukungan selama proses pendidikan dan pembuatan tesis ini. 14. Rekan-rekan residen kardiologi yang saya cintai, teman seangkatan saya dr Suryawati dan dr. Meswariasti yang telah berjuang bersama-sama dari awal masa pendidikan yang sangat berat ini, baik dalam suka maupun duka. dr Erna Bagiari dan dr Satria Yuda Dewangga yang saya banggakan yang telah sangat banyak membantu dan membimbing saya dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada teman-teman PPDS yang telah banyak membantu dalam penelitian ini, antara lain dr. Kiki, dr. Wulan, dr. Mirah, dr. Widya, dr. Rani, dr. Suma, dan dr. Sudiarta. Kepada rekan-rekan sahabat Karna (dr. Hendy, dr. Krisna, dr. Susila Surya Dharma SpJP, dr. I Putu Gede Budiana, dan lain-lain) yang telah memberikan senyuman dan keceriaan sehingga menguatkan saya dalam menjalani proses pendidikan ini. 15. Teman-teman sekretariat tercinta, Mbak Candra, Mbak Dian, Mbak Andi, dan Pak Ketut yang selalu mendukung, membantu, dan bekerja sama dalam segala hal selama pendidikan spesialis ini. 16. Teman-teman perawat di UGD, ICCU, dan Poliklinik PJT yang bersama-sama bahu-membahu dalam bekerja sehingga membuat masa pendidikan ini menyenangkan bila bekerja bersama kalian. Akhir kata, dengan iringan doa semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala amal baik yang diberikan kepada penulis, dan semoga tesis ini dapat bermanfaat. Denpasar, Februari 2015 Penulis, dr. I Putu Parwata Jaya ABSTRAK HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS 30 HARI PASKA INFARK MIOKARD AKUT Infark Miokard Akut (IMA) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang utama di negara maju serta menjadi masalah kesehatan yang penting di negara berkembang. Hiperlaktasemia secara umum merupakan hasil metabolisme anaerob akibat dari oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Iskemi miokardium akan mengakibatkan penurunan pembentukan ATP dari oksidasi posforilasi dan terjadi konversi pyruvate menjadi laktat di sitosol dalam kecepatan yang sangat tinggi sehingga mengakibatkan penumpukan laktat jaringan. Hiperlaktasemia merupakan suatu penanda stress metabolik dan derajat keparahannya dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pengukuran kadar laktat secara serial akan memberikan keuntungan dibandingkan dengan pemeriksaan sekali waktu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hiperlaktasemia sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska IMA. Penelitian ini merupakan studi observasional kohort prospektif yang mengikutsertakan 121 pasien IMA sebagai subjek penelitian berdasarkan consecutive sampling. Pemeriksaan kadar laktat dilakukan menggunakan darah kapiler yang diambil saat pasien masuk rumah sakit dan 2 jam kemudian dengan menggunakan Accutrend lactate meter. Penentuan kadar laktat yang dianggap sebagai hiperlaktasemia dilakukan dengan membuat kurve ROC. Kemudian pasien diikuti sampai 30 hari untuk menilai adanya mortalitas. Pada penelitian ini didapatkan bahwa hiperlaktasemia dengan kadar laktat ≥ 4,4 mmol/L merupakan prediktor mortalitas 30 hari paska IMA sebesar 3 kali lipat (HR=3,33, 95% CI 1,084-10,210, nilai p= 0,036) dan variabel Killip kelas (HR: 2,814, 95% CI: 1,786-4,435; p <0,001) serta kadar hemoglobin darah (HR: 0,810, 95% CI: 0,672-0,978; p = 0,28) sebagai variabel perancu. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hiperlaktasemia merupakan prediktor mortalitas 30 hari paska IMA. Disamping itu didapatkan juga bahwa kelas Killip dan kadar hemoglobin darah merupakan variabel perancu. Kata Kunci: Infark Miokard Akut, Hiperlaktasemia, dan Mortalitas. ABSTRACT HYPERLACTEMIA AS MORTALITY PREDICTOR WITHIN 30 DAYS AFTER ACUTE MYOCARDIAL INFARCTION Acute myocardial infarction (AMI) is a major cause of morbidity and mortality in deleveloped countries and an important health problem in developing countries. Generally, hyperlactemia is an anaerob metabolism product as a result of indeaquate tissue oxygenation. Myocardial ischemia will cause decrease of ATP formation from phosporylation oxydation and pyruvate conversion into lactate in sitosol with very high speed that cause tissue lactate accumulation. Hyperlactemia is a metabolic stress marker and its severity level associated with increase morbidity and mortality. Serial lactate levels measurement will give more advantage than only one time. The aim of this study is to investigate hyperlactemia as mortality predictor 30 days post AMI. This study was a prospective cohort observational study and 121 acute myocardial infarction patients were included as subjects with consecutive sampling. Lactat levels measurement used capillary blood when the patients admitted and 2 hours after using Accutrend lactate meter. ROC curve was used to determine hyperlactemia level. Patients were followed until 30 days to evaluate mortality. The result of this study was hyperlactemia with lactate levels ≥ 4,4 mmol/L was a threefold mortality predictor 30 days after AMI (HR=3,33, 95% CI 1,08410,210, p value= 0,036) and Killip class (HR: 2,814, 95% CI: 1,786-4,435; p <0,001) and hemoglobin levels (HR: 0,810, 95% CI: 0,672-0,978; p = 0,28) as a confounding factors. In conclusion, hyperlactemia is a mortality predictor 30 days after acute myocardial infarction. Beside of that, Killip class and hemoglobin levels are confounding factors. Key words: acute myocardial infarction, hyperlactemia, and mortality DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM .................................................................................................. i PRASYARAT GELAR ........................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING. ....................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..................................................................... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.........................................................v UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. vi ABSTRAK ............................................................................................................. xi ABSTRACT .......................................................................................................... xii DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xviii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ...........................xx DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xxii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................9 1.3Tujuan Penelitian ....................................................................................9 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................9 1.4.1 Manfaat akademik .........................................................................9 1.4.2 Manfaat praktis..............................................................................9 BAB II KAJIAN PUSTAKA ...............................................................................10 2.1 Definisi Infark Miokard Akut (IMA) ..................................................10 2.2 Patofisiologi ........................................................................................12 2.3 Vulnerable Plaque ...............................................................................12 2.4 Patogenesis IMA .................................................................................13 2.5 Morfologi Plaque dan Lokasi Trombus pada IMA .............................14 2.6 Metabolisme Miokardium ...................................................................15 2.6.1 Metabolisme miokardium pada kondisi sehat............................15 2.6.2 Metabolisme miokardium saat iskemia .....................................19 2.7 Mekanisme Injuri Miokardium ...........................................................20 2.8 Perjalanan Miokard Infark, Penentu Ukuran Infark dan Remodeling Ventrikel ........................................................................ 21 2.9 Tata Laksana Infark Miokard Akut (IMA) .........................................23 2.10 Komplikasi dan Kematian pada Infark Miokard Akut .......................25 2.10.1 Aritmia dan mati mendadak .....................................................25 2.10.2 Shock kardiogenik ....................................................................26 2.10.3 Ruptur myocardial free wall ....................................................26 2.10.4 Right-side and atrial infarction ...............................................27 2.10.5 Efusi perikardium dan perikarditis...........................................27 2.10.6 Gagal jantung kongestif kronis ................................................28 2.10.7 Trombus mural dan embolisasi ................................................28 2.10.8 Kematian pada IMA .................................................................29 2.11 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mortalitas IMA ...........................30 2.12 Produksi Normal Laktat ......................................................................34 2.12.1 Laktat dan asam laktat .............................................................35 2.12.2 NADH dan NAD+ ....................................................................36 2.13 Penyebab Hiperlaktasemia ..................................................................37 2.14 Peran Laktat Pada Mortalitas ..............................................................39 2.15 Alat Pengukur Kadar Laktat ...............................................................40 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ........................................................................................... 44 3.1 Kerangka Berpikir ...............................................................................44 3.2 Konsep ................................................................................................45 3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................................46 BAB IV METODE PENELITIAN .....................................................................47 4.1 Rancangan Penelitian ..........................................................................47 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..............................................................47 4.2.1 Lokasi penelitian ........................................................................47 4.2.2 Waktu penelitian ........................................................................48 4.3 Penentuan Sumber Data ......................................................................48 4.3.1 Populasi target ............................................................................48 4.3.2 Populasi terjangkau ....................................................................48 4.3.3 Sampel penelitian .......................................................................48 4.3.4 Kriteria eligibilitas .....................................................................48 4.3.4.1 Kriteria inklusi ...................................................................48 4.3.4.2 Kriteria eksklusi .................................................................48 4.3.5 Besaran sampel ..........................................................................49 4.3.6 Teknik pengambilan sampel ......................................................49 4.4 Variabel Penelitian ..............................................................................49 4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel penelitian .........................49 4.4.2 Definisi operasional variabel ....................................................51 4.5 Bahan Penelitian .................................................................................57 4.6 Instrumen Penelitian ...........................................................................57 4.7 Prosedur Penelitian .............................................................................57 4.7.1 Tata cara penelitian ....................................................................57 4.7.2 Prosedur pengumpulan data .......................................................58 4.7.3 Alur penelitian ..........................................................................59 4.8 Analisis Data .......................................................................................61 BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................64 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ..........................................................66 5.2 Analisa Kurve ROC ............................................................................67 5.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA .....69 5.4 Pengaruh Hiperlaktasemia Terhadap Mortalitas 30 hari Paska IMA setelah Dikontrol dengan Variabel lain ............................................ 71 BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................75 6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ..........................................................79 6.2 Analisis Kurve ROC ...........................................................................87 6.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA .....88 6.5 Keterbatasan Penelitian .......................................................................98 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................100 7.1 Simpulan ...........................................................................................100 7.2 Saran .................................................................................................100 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................102 Lampiran-lampiran ...............................................................................................108 DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Penyebab Hiperlaktasemia (Peningkatan Produksi dan Penurunan clearance ........................................................................................................ 38 2.2 Penilaian Accutrend Lactate Meter ................................................................ 43 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Demografi dan Presentasi Klinis .............................................................................................................. 66 5.2 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Laboratorium ......................... 67 5.3 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Faktor Risiko Kardiovaskular ............................................................................................... 67 5.4 Hazard Ratio (HR) Terjadinya Mortalitas 30 hari Paska IMA ...................... 71 5.5 Model Dasar Hasil Analisis Cox Proportional Hazards Regression Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA ................ 73 5.6 Model Akhir Analisis Cox Proportional Hazards Regression Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA ................ 73 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Patofisiologi dan Epidemiologi Sindrom Koroner Akut ............................... 13 2.2 Ruptur Vulnerable Plaque dengan Konsekuensi Trombosis ......................... 14 2.3 Metabolisme Miokardium pada Kondisi Aerobik.......................................... 16 2.4 Metabolisme Energi di Mitokondria .............................................................. 17 2.5 Oksidasi Pyruvate pada Kondisi Aerobik ...................................................... 18 2.6 Metabolisme Miokardium selama Iskemia .................................................... 19 2.7 Perjalanan Infark Miokard ............................................................................. 23 2.8 Vicious Cycle Circulatory Regulation ........................................................... 30 2.9 Glikolisis, Siklus Kreb dan Oksidasi Phosforilasi ......................................... 35 2.10 Disosiasi Asam Laktat.................................................................................... 35 2.11 The Ox-phos Shuttle ....................................................................................... 36 3.1 Konsep Penelitian........................................................................................... 45 4.1 Rancangan Penelitian ..................................................................................... 47 4.2 Hubungan antar Variabel ............................................................................... 50 4.3 Gambar Alur Penelitian.................................................................................. 60 5.1 Grafik Jumlah Sampel Penelitian ................................................................... 65 5.2 Kurva ROC dalam Menentukan Cutt of Point Hiperlaktasemia .................... 68 5.3 Grafik Populasi Sampel Berdasarkan Kadar Laktat....................................... 68 5.4 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas 30 hari Paska IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia ..................................................... 69 5.5 Grafik Karakteristik Mortalitas Berdasarkan Kadar Laktat ........................... 70 DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ACE : Angiotensin Converting Enzym ARV : Anti Retro Viral ATP : Adenoisne Triphosphat CABG : Coronary Artery Baypass Surgery CCBs : Calcium Channel Blockers CI : Convidence Interval CKMB : Creatinin Kinase tipe MB CoA : Coenzym A EKG : Elektrokardiografi ESC : European Society of Cardiology FADH : Flavin Adenine Dinucleotide HDL : High Density Lipoprotein IABP : Intra Aortic Ballon Pump IMA : Infark Miokard Akut LBBB : Left Bundle Branch Block LDH : Laktat Dehidrogenase LDL : Low Density Lipoprotein LED : Light Emitting Diode LFG : Laju Filtrasi Glomerulus LMWH : Low-molecular-weight heparins NAD : Nicotinamide Adenine Dinucleotide NADH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide NPV : Negative Predictive Value NSTEMI : Non ST Elevation Myocardial Infarction OR : Odds Ratio PDH : Pyruvate Dehydrogenase PJK : Penyakit Jantung Koroner PCI : Percutaneous Coronary Intevention RR : Risiko Relatif RTI : Ruang Terapi Intensive SKA : Sindrom Koroner Akut STEMI : ST Elevation Myocardial Infarction SMC : Smooth Muscle Cell SID : Strong Ion Difference SIRS : Systemic Inflamatory Response Syndrome TIMI : Thrombolysis in Myocardial Infarction TRACS : Thai Registry of Acute Coronary Syndrome UFH : Unfractionated Heparin UGD : Unit Gawat Darurat UPIJ : Unit Perawatan Intensif Jantung UAP : Unstable Angina Pectoris WBC : White Blood Cell WHO : World Health Organization DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Informasi / Penjelasan Penelitian .............................................................110 2. Persetujuan setelah Penjelasan .................................................................112 3. Lembar Pengumpulan Data ......................................................................113 4. Hasil Analisa Data....................................................................................119 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan status sosial, ekonomi dan gaya hidup masyarakat pada masa kini telah mengakibatkan pergeseran dalam kejadian penyakit infeksi yang dulunya mendominasi ke arah penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular. Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2020 PJK di seluruh dunia diperkirakan menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kanker. Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%) (Muchid dkk, 2006). Penyakit kardiovaskular mengenai hampir 80 juta individu di Amerika Serikat dalam sekali kehidupannya. Diperkirakan sekitar setengah individu ini berumur ≥ 65 tahun. World Health Organization (WHO) menyatakan angka kematian akibat kelainan kardiovaskular akan terus meningkat sampai tahun 2030, dan kematian akibat penyakit menular akan berkurang (Bavry dan Bhatt, 2009). Pada tahun 2006 di Amerika diperkirakan 16,8 juta (7,6%) penduduk mengalami penyakit jantung koroner dan diperkirakan sebesar 935 ribu orang mengalami infark miokard akut (IMA) pada tahun tersebut dan diperkirakan lebih dari 150 ribu mengalami kematian. Pada tahun 2009 diperkirakan setiap 25 detik terjadi satu kejadian koroner dan setiap menit terjadi satu kematian (Man dkk, 2010). The Thai Registry of Acute Coronary Syndrome (TRACS) melaporkan bahwa dari data yang dikumpulkan dalam kurun waktu Oktober 2007 sampai Desember 2008 terhadap 2007 pasien, didapatkan angka kejadian ST elevation miocardial infarction (STEMI) sebesar 55%, non ST elevation miocardial infarction (NSTEMI) 33% dan unstable angina pectoris (UAP) sebesar 12% dimana angka mortalitas rumah sakit dari pasien STEMI adalah sebesar 5,3%, NSTEMI sebesar 5,1%, dan pasien UAP sebesar 1,7% (Srimahachota dkk, 2012 ). Infark miokard mengakibatkan 15 years life lost pada individu yang mengalaminya dan angka mortalitas 5 tahun pasien dengan umur >70 tahun sebesar 50%. Data dari contemporary randomized clinical trial, pasien yang masuk rumah sakit dengan NSTEMI didapatkan angka kematian dalam 30 hari sekitar 3%. Data register lain menunjukkan angka kematian 30 hari pasien NSTEMI sebesar 5,1% dimana hampir sama atau sedikit lebih rendah dibandingkan STEMI dengan ST depresi resiprokal (6,6%). Pada populasi pasien STEMI yang tidak diseleksi dengan terapi trombolisis didapatkan angka mortalitas 30 hari sebesar 10%. Meskipun early outcome hampir sama pada spektrum SKA, pasien dengan NSTEMI memiliki angka late mortality yang lebih tinggi (8,9% dalam 6 bulan) dibandingkan dengan STEMI (6,8% dalam 6 bulan) (Bavry dan Bhatt, 2009). Menurut Chiara seghieri dkk penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian di dunia dan meneliti mengenai mortalitas rumah sakit 30 hari paska infark miokard akut, dimana penelitian ini menilai mengenai mortalitas oleh karena berbagai sebab di rumah sakit dalam 30 hari dan dari 5832 pasien, didapatkan 7,99% pasien meninggal dalam 30 hari setelah masuk rumah sakit dan mortalitas rumah sakit dalam 30 hari secara signifikan lebih tinggi pada pasien STEMI (9,89%) dibandingkan dengan NSTEMI (6,29%) dengan nilai p <0,001(Seghieri dkk, 2012). Borzecki dkk menilai kemampuan rumah sakit dalam mengukur mortalitas rumah sakit dan 30 hari pada beberapa kondisi klinis dimana didalamnya termasuk pasien dengan diagnosis IMA, dimana didapatkan bahwa penilaian mortalitas 30 hari memiliki validitas yang lebih baik dalam mengukur kemampuan rumah sakit menilai kedua mortalitas tersebut (Borzecki dkk, 2010). Berdasarkan indikator kesehatan negara Canada tahun 2011 didapatkan bahwa angka mortalitas 30 hari IMA di rumah sakit memiliki korelasi yang kuat terhadap total mortalitas baik di rumah sakit dan di luar rumah sakit yang menyertai IMA dengan nilai r = 0,9. Dimana angka mortalitas 30 hari IMA di rumah sakit (30-day acute myocardial infarction in-hospital mortality rate) didefinisikan sebagai risk-adjusted rate dari semua penyebab kematian di rumah sakit yang terjadi dalam 30 hari sejak awal perawatan dengan diagnosis IMA (Ferguson dkk, 2011). Pasien IMA yang mampu bertahan dari serangan jantung dalam perjalanannya akan menghadapi berbagai risiko kejadian kardiovaskular seperti kematian, serangan IMA berulang, gagal jantung, aritmia, angina dan stroke. Outcome jangka pendek seperti mortalitas dilaporkan bervariasi antara studi satu dengan lainnya dimana tergantung dari populasi yang digunakan. Berbagai trial biasanya akan memiliki keterbatasan akibat kriteria inklusi dan eksklusi yang dipergunakan (Wilson dkk, 2014). Mortalitas jangka pendek pasien IMA baik mortalitas rumah sakit maupun 30 hari dikatakan mengalami penurunan dalam 30 tahun terakhir. Mortalitas 30 hari setelah IMA dikatakan sekitar 5%. Pasien STEMI memiliki angka mortalitas 30 hari sekitar 2,5%-10%. Pada pasien STEMI didapatkan mortalitas 30 hari sebesar 13% dengan medikamentosa dibandingkan dengan 6%-7% bila menggunakan terapi fibrinolisis, dan sekitar 3%-5% pada pasien dengan PCI dalam 2 jam onset nyeri. Literatur lain menyebutkan mortalitas 30 hari STEMI sebesar 11.1%-14% (Wilson dkk, 2014). Mortalitas rumah sakit dan 30 hari pasien NSTEMI dikatakan lebih rendah dibandingkan dengan STEMI. Angka mortalitas rumah sakit dan dalam 6 bulan dikatakan tidak berbeda bermakna pada pasien NSTEMI yang dilakukan strategi invasive. Worcester Heart Attack Study didapatkan angka kasus yang fatal dalam 30 hari sebesar 14%. Mortalitas jangka pendek pasien NSTEMI dikatakan lebih rendah dibandingkan dengan STEMI yang dilakukan PCI primer dalam 2 jam MRS sekitar (2%-4% vs 3%-8%).GRACE and Euro Heart registries mendapatkan outcome jangka pendek pasien NSTEMI dibandingkan dengan STEMI 5%-7% vs 7%-9.3% (Wilson dkk, 2014). Stratifikasi risiko pasien IMA biasanya dititik beratkan pada dua komponen yaitu identifikasi secara dini pasien yang mengalami iskemik berulang di rumah sakit dan identifikasi pasien yang memiliki risiko kematian akibat aritmia maupun tidak. Pasien IMA memiliki risiko untuk mengalami kematian jantung mendadak yang sering diakibatkan oleh takiaritmia ventrikel. Namun demikian tidak semua pasien memiliki risiko yang sama untuk mengalami henti jantung mendadak (Podrid dan Ganz, 2014). VALIANT trial mendapatkan risiko terjadinya kematian mendadak pada IMA meningkat pada awal bulan setelah serangan dimana studi terhadap 14.609 pasien dengan disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung setelah IMA didapatkan angka kematian jantung mendadak atau resusitasi akibat henti jantung sekitar 1,4% pada bulan pertama dibandingkan dengan 0,14% setelah 2 tahun. Angka kejadian dalam bulan pertama 2,3% pada pasien dengan LVEF <30%. Salah satu community-based (Olmsted County) kohort 2997 setelah IMA yang memasukkan pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dimana insiden kumulatif henti jantung mendadak sekitar 1,2%. Setelah bulan pertama maka angka ini akan menurun1,2% setiap tahunnya (nilai ini sepertiga kali lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum) (Podrid dan Ganz, 2014). Telah terjadi perkembangan yang bermakna dalam mendeteksi injuri miokardium dan nekrosis dalam beberapa dekade terakhir, sehingga terjadi perkembangan definisi IMA setiap waktu. Pada awal tahun 1950, world health organization (WHO) menggunakan data epidemiologi untuk mendefinisikan IMA berdasarkan dua dari beberapa kriteria berikut : 1. Simptom klinis iskemia miokardium, 2. Abnormalitas elektrokardiogram (EKG), 3. Peningkatan marker nekrosis miokard (Gogo dkk, 2010). Mekanisme terjadinya IMA adalah disebabkan oleh proses pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard yang dipicu oleh adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi (Muchid dkk, 2006). Terganggunya aliran darah mengakibatkan gangguan pada keseimbangan ketersediaan dan kebutuhan oksigen miokardium. Apabila kebutuhan oksigen miokard melebihi ketersediaan yang bisa disediakan oleh pembuluh darah koroner, maka akan mengakibatkan metabolisme miokardium beralih dari metabolisme aerob menjadi anaerob yang akan mengakibatkan akumulasi laktat dan penurunan PH selular (Attana dkk, 2012). Penegakan diagnosis IMA dengan beberapa klasifikasinya dilakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung. Penegakan diagnosis IMA akan lebih sulit pada pasien dengan keluhan nyeri dada yang tidak spesifik atau atipikal (Kabo, 2010, Irmalita dkk, 2014). Sensitivitas EKG dengan menggunakan kriteria iskemia (ST depresi dan T inversi) yang ketat dalam menentukan IMA hanya sebesar 16%. Demikian juga sensitivitas kadar puncak troponin-I dikatakan hanya sebesar 40%. Sebagian besar pemeriksaan laboratorium yang dilakukan seperti myoglobin, Creatinin Kinase type MB (CK-MB), serta troponin sangat bergantung pada kerusakan sel otot jantung yang mengalami iskemik dan mengakibatkan kerusakan atau nekrosis sel otot jantung sehingga melepaskan enzim ke dalam serum dan kurang memperhitungkan pengukuran perubahan fisiologis yang terjadi pada jantung (Kwong dkk, 2003). Pemeriksaan marka jantung ini memiliki sensitivitas yang rendah bila dilakukan sebelum 4 sampai 6 jam mulainya keluhan, dimana dikatakan CK-MB dan troponin I dan T memiliki sensitivitas yang hampir sama sebesar 35% (Achar dkk, 2005). Studi yang dilakukan oleh Gatien dkk terhadap performa laktat awal terhadap infark miokard berdasarkan kriteria European Society of Cardiology (ESC) didapatkan bahwa sensitivitas laktat sebesar 88%. Dengan sensitivitas yang cukup tinggi ini maka laktat dapat dipakai sebagai parameter dalam manajemen dan triage pasien dengan presentasi nyeri dada (Gatien dkk, 2005). Saat ini telah tersedia alat pemeriksaan kadar laktat yang cepat sehingga akan menghemat waktu yang diperlukan dibandingkan dengan pemeriksaan di laboratorium (Gaieski dkk, 2011). Asam laktat diisolasi pertama tahun 1780 oleh Carl Wilhelm Scheele, dimana dikenal sebagai parameter yang berfungsi untuk mengukur dan juga memiliki peran dalam menentukan diagnosis dan atau prognosis pada situasi klinis yang berbeda. Peran nilai prognostik negatif hiperlaktasemia pada pasien kritis sudah banyak diketahui, namun data mengenai peran laktat pada kelainan jantung akut masih jarang (Attana dkk, 2012). Asam laktat merupakan produk dari glikolisis anaerob yang meningkat pada kondisi hipoperfusi jaringan, dan akan segera dibuffer ke sirkulasi menjadi laktat. Stadium hipoperfusi regional sering ditemukan pada infark miokard akut meskipun dalam keadaan tekanan darah normal. Pada kondisi basal, miokardium mendapatkan atau mengekstraksi laktat dari dan ke sirkulasi, namun pada kondisi iskemia kemampuan ini akan terganggu, sehingga iskemia miokardium dapat menyebabkan peningkatan kadar laktat dalam sirkulasi melalui kedua mekanisme ini (Gatien dkk, 2005). Hiperlaktasemia diketahui sebagai penanda terhadap respon stress metabolik dan tingkat severitasnya berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada pasien kritis. Pada keadaan pasien dengan hemodinamik stabil keberadaan laktat dapat menandakan adanya hipoperfusi yang tersembunyi (Lazzeri dkk, 2010). Vermeulen dkk menyatakan pada pasien STEMI dengan kadar laktat lebih tinggi dari normal berhubungan dengan peningkatan mortalitas 30 hari dan memperburuk outcome percutaneous coronary intervention (PCI). Studi Lazzeri dkk terhadap 253 pasien STEMI non diabetik yang dilakukan PCI, menunjukkan kadar laktat saat masuk rumah sakit secara independent sebagai prediktor mortalitas di unit perawatan jantung intensif (Attana dkk, 2012). Sebagian besar penelitian mengenai laktat di atas dilakukan untuk menilai peran laktat dalam sekali pemeriksaan sebagai prediktor mortalitas pada pasien kritis di ruang terapi intensif dan beberapa studi telah menilai peran laktat sebagai prediktor mortalitas terhadap pasien STEMI terutama yang dilakukan intervensi revaskularisasi dengan PCI. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dilakukan penelitian mengenai peningkatan kadar laktat sebagai prediktor mortalitas pasien infark miokard akut (IMA) dengan melakukan pemeriksaan kadar laktat secara serial pada saat pasien masuk rumah sakit dan 2 jam setelah perawatan. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah hiperlaktasemia dapat dipergunakan sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska infark miokard akut? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah hiperlaktasemia dapat dipergunakan sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska infark miokard akut? 1.4. Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat pada perkembangan ilmu pengetahuan dan dalam bidang pengabdian masyarakat seperti berikut: 1.4.1. Manfaat akademik Untuk memperkaya evidence atau bukti yang bersifat akademis tentang pengaruh hiperlaktasemia terhadap mortalitas 30 hari pasien IMA. 1.4.2. Manfaat praktis Sebagai pedoman dalam monitoring dan pelayanan pengobatan pasien IMA. BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Infark Miokard Akut (IMA) Infark miokard dapat didefinisikan dalam beberapa perspektif yang berbeda tergantung dari temuan klinis, elektrokardiografi (EKG), karakteristik biokomia dan patologi. Telah disepakati bahwa terminologi infark miokard menunjukkan adanya kematian miosit jantung akibat dari iskemia berkepanjangan. Gambaran EKG dapat menunjukkan iskemia miokard berupa perubahan gelombang ST dan T spesifik, atau nekrosis miokard dengan perubahan gelombang QRS yang spesifik (Werf dkk, 2003). Definisi infark miokard akut (IMA) adalah adanya simptom klinis yang memenuhi, disertai juga antara lain dengan ; 1. Pasien dengan elevasi segmen ST yang baru dengan J point ≥ 0,2 mV pada sadapan V1 sampai dengan V3 dan ≥ 0,1 mV pada sadapan yang lain, atau 2. Pasien tanpa elevasi segmen ST seperti depresi segmen ST atau gelombang T yang abnormal. Infark miokard secara klinis juga dapat didefinisikan sebagai gelombang Q pada sadapan V1 sampai V3, atau gelombang Q ≥ 0,03 detik pada sadapan I, II, aVL, aVF, V4, V5, atau V6. Infark miokard dapat diketahui juga bila terjadi peningkatan biomarker pada seting iskemik miokard akut. Biomarker yang lebih direkomendasikan untuk kerusakan miokard adalah troponin I atau T dimana memiliki nilai spesifisitas terhadap kerusakan miokard dan juga dengan sensitivitas yang baik. Alternatif biomarker yang baik adalah CK-MB dimana memiliki spesifisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan troponin tetapi memiliki spesifisitas klinis terhadap injuri yang irreversibel. Dikatakan terjadi peningkatan nilai troponin atau CK-MB apabila melebihi persentil 99th dari populasi (Werf dkk, 2003). Pada awal tahun 1950, world health organization (WHO) menggunakan data epidemiologi untuk mendefinisikan IMA berdasarkan dua dari beberapa kriteria berikut : 1. Simptom klinis iskemia miokardium, 2. Abnormalitas elektrokardiogram (EKG), 3. Peningkatan marker nekrosis miokard (Man dkk, 2010). IMA juga didefiniskan sebagai suatu nekrosis miokard yang disertai dengan presentasi klinis iskemia miokard. Diagnosis IMA ditegakkan dengan adanya peningkatan dan atau penurunan biomarker jantung (lebih disarankan troponin) dengan nilai lebih dari batas atas 99th persentil dan salah satu dari kondisi berikut: simptom iskemia, perubahan EKG yang mengindikasikan iskemia yang aktif (perubahan gelombang ST segmen-T atau left bundle branch block (LBBB)), atau temuan abnormalitas regional wall motion dari pemeriksaan imaging atau kehilangan viabilitas miokardium. Tipe IMA sesuai dengan etiologinya dapat digolongkan sebagai berikut; 1. IMA spontan akibat kejadian koroner seperti erosi plak arteri koroner atau ruptur, fisura dan diseksi, 2. IMA akibat ketidak seimbangan kebutuhan dan suplai oksigen seperti spasme arteri koroner, emboli koroner, anemia, aritmia, hipertensi atau hipotensi, 3. Henti jantung mendadak, 4. IMA yang berhubungan dengan intervensi koroner perkutan, 5. IMA berhubungan dengan bedah pintas koroner (Man dkk, 2010). 2.2. Patofisiologi Aterosklerosis digunakan sebagai istilah penyakit yang diakibatkan oleh gangguan penyimpanan lemak. Berdasarkan pada teori konvensional, fatty streaks (stadium awal dari atheroma) berkembang menjadi complicated plaques melewati multiplikasi smooth muscle cells disekitar plak, dimana dibawahnya terdapat banyak matrik ekstraselular. Perkembangan plak di arteri koroner akan mengakibatkan mengecilnya lumen arteri hingga akhirnya mengakibatkan terganggunya aliran darah dan mengakibatkan infark miokard. Namun demikian kemajuan di bidang biologi vaskular terbaru menunjukkan bahwa aterosklerosis merupakan systemic immune-mediated inflammatory disease yang mengenai arteri berukuran sedang dan besar dimana berbagai macam sel seperti sel endotel, leukosit, intimal smooth muscle cells berperan didalamnya. Dan telah dibuktikan bahwa inflamasi memiliki peran yang fundamental dalam perjalanan stadium aterosklerosis dari inisiasi sampai konsekuensi perjalanannya yang dapat mengakibatkan kematian seperti serangan jantung dan stroke (Eftekhari dkk, 2008). 2.3 Vulnerable Plaque Pada awal tahun 1980, Falk menyatakan bahwa plak aterosklerosis yang ruptur mengakibatkan 40 dari 51 trombus arteri koroner dan 63 perdarahan intima. Dia juga menyatakan bahwa fragmen plak akan tertanam di dalam trombus dipermukaan plak atheroma. Di akhir tahun 1980, Muller dkk menyatakan bahwa langkah awal dari trombosis koroner akut adalah terbentuknya vulnerable atherosclerotic plaque. Vulnerable plaque merupakan perkusor yang poten dari plak yang tidak stabil, dimana hal ini mengarah kepada plak aterosklerosis koroner yang menjadi tidak stabil dan dapat menginduksi sindrom koroner akut. Karakteristik struktur dari vulnerable plaque terdiri dari volume yang cukup banyak, positif remodeling, infiltrasi sel inflamasi dari fibrous cap di daerah inti “shoulder regions” dan adventisia, peningkatan neovascular, central lipid core >40% dari total area lesi dan fibrous cap yang tipis. Plak ini akan vulnerable terhadap stres mekanikal atau inflamasi yang dapat mengganggu struktur kolagennya. Meskipun demikian, sampai saat ini tidak mungkin dapat diprediksi bagaimana dan kapan struktur vulnerable plaque menjadi tidak stabil.(Eftekhari dkk, 2008). Gambar 2.1. Patofisiologi dan Epidemiologi Sindrom Koroner Akut (Eftekhari dkk, 2008) 2.4 Patogenesis IMA Ruptur plak arteri koroner disertai dengan trombosis merupakan penyebab dasar dari sebagian besar SKA dan diperkirakan sekitar 70% infark miokard akut (IMA) dan sudden coronary deaths (Eftekhari dkk, 2008). Sindrom koroner akut hampir selalu diakibatkan oleh penurunan mendadak aliran darah koroner akibat aterosklerosis yang akan merangsang trombosis dengan atau tanpa vasokontriksi. Presentasi klinis dan outcome sangat dipengaruhi oleh lokasi obstruksi, berat serta lamanya iskemia miokard. Sekitar sepertiga sampai tigaperempat trombus koroner yang fatal diakibatkan oleh ruptur mendadak dari vulnerable plaque (inflamasi, plak yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis). Mekanisme lain yang lebih sedikit adalah erosi plak. Infark miokard akibat dari oklusi arteri koroner yang komplit akan terjadi dalam 15-30 menit setelah iskemia yang berat (tanpa aliran kolateral) dan akan berjalan dari subendokardium menuju subepikardium seiring dengan waktu (Eftekhari dkk, 2008). Gambar 2.2 Ruptur Vulnerable Plaque dengan Konsekuensi Trombosis (Eftekhari dkk, 2008) 2.5 Morfologi Plaque dan Lokasi Trombus pada IMA Sebagian besar IMA akan terjadi pada pasien dengan aterosklerosis arteri koroner dan >90% berhubungan dengan superimposed luminal trombus. Arbustini dkk menemukan trombus koroner pada 98% pasien yang meninggal dengan tampilan klinis terbukti IMA dan 75% dari trombus ini diakibatkan oleh ruptur plak dan 25% diakibatkan oleh erosi plak. Meskipun pasien dengan stenosis berat lebih berisiko untuk mengalami oklusi trombus dibandingkan pasien dengan lesi stenosis yang tidak begitu berat, namun lesi stenosis yang tidak begitu berat memiliki risiko tempat untuk terjadinya oklusi yang lebih banyak. Arteri koroner yang berperan terhadap infark pada otopsi lebih sering melibatkan left anterior descending artery (sekitar 50%), right coronary artery (30-45%) dan left circumflex (15-20%). Pada kurang dari lima persen pasien IMA tidak ditemukan adanya trombus (Burke dan Virmani, 2008). 2.6. Metabolisme Miokardium 2.6.1. Metabolisme miokardium pada kondisi sehat Sebelum mengetahui metabolisme miokardium saat mengalami iskemia sangat penting sekali untuk mengetahui metabolisme miokardium yang sehat. Pada keadaan miokardium yang sehat dimana aliran darah koroner dalam keadaan normal, ATP (adenosine triphosphate) dipecah oleh myosin ATPase dan menghasilkan energi sebagai bahan bakar untuk kerja jantung. Pemecahan ATP juga dilakukan oleh sarcoplasmic reticulum Ca2+-ATPase untuk mengeluarkan Ca2+ dari sitosol pada akhir fase sistolik sehingga memberikan kesempatan terjadinya relaksasi diastolik. Sekitar dua pertiga ATP digunakan oleh jantung untuk berkontraksi dan sepertiga sisanya digunakan sarcoplasmic reticulum Ca2+ATPase dan pompa ion lainnya. ATP secara konstan diresintesis dari adenosine diphosphate dan phospat anorganik di mitokondria melalui oksidasi posforilasi. Pada jantung yang sehat maka sintesis dan pemecahan ATP berlangsung sedemikian rupa dimana tidak terjadi penurunan konsentrasi ATP yang signifikan meskipun terjadi peningkatan yang signifikan dari cardiac power output (Stanley, 2001). Asam lemak mensuplai kurang lebih 60-90% energi yang dipergunakan untuk mensintesis ATP pada jantung yang sehat. Asam lemak plasma berasal dari pemecahan trigliserida pada sel lemak tubuh dan konsentrasi dalam plasma diatur oleh kerja hormon sensitive lipase insulin dan noreadrenalin (norepinephrine). Insulin akan menekan produksi asam lemak dan sebaliknya dengan noreadrenalin. Gambar 2.3 Metabolisme Miokardium pada Kondisi Aerobik (Stanley, 2001) Asam lemak mengalami oksidasi di mitokondria, dan melepaskan energi dalam bentuk reduced nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) dan reduced flavin adenine dinucleotide (FADH2) untuk rantai transport elektron dan selanjutnya membentuk ATP melalui posporilasi oksidasi (Stanley, 2001). Gambar 2.4. Metabolisme Energi di Mitokondria (Stanley, 2001) Asam lemak akan mengalami esterifikasi menjadi fatty acyl-coenzym A (CoA) saat memasuki sel dan akan membuat asam lemak lebih larut dalam air. Untuk menyeberangi membran mitokondria bagian dalam, asam lemak harus dikonversi menjadi fatty acylcarnitine oleh enzym carnitine palmitoyl transferase. Di dalam mitokondria asam lemak akan mengalami ß-oksidasi, dimana proses ini akan memecah dua rantai karbon acetyl-CoA, menghasilkan NADH dan FADH2. Melalui siklus asam sitrat maka acetyl-CoA akan dioksidasi dan melepaskan CO2. Kecepatan ß-oksidasi asam lemak ditentukan oleh konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma, aktivitas carnitine transferase/translocase di membran mitokondria, dan aktivitas enzym di berbagai tingkatan ß-oksidasi yang bertugas dalam mengkatalisa asam lemak (Stanley, 2001). Glukosa dan laktat menyediakan sekitar 10-40% energi yang diperlukan oleh jantung. Glukosa di miokardium akan disimpan dalam bentuk glikogen atau dipecah lewat glikolisis di sitosol menjadi pyruvate. Laktat dari darah akan dirubah menjadi pyruvate di sitosol dan selanjutnya akan dioksidasi menjadi acetyl-CoA di matrik mitokondria. Pada jantung yang sehat pyruvate diperolah dalam jumlah yang hampir sama baik dari glikolisis maupun laktat. Pyruvate akan dioksidasi menjadi acetyl-CoA di mitokondria oleh enzym pyruvate dehydrogenase (PDH). Kecepatan pembentukan acetyl-CoA dari pyruvate ditentukan oleh jumlah enzym yang aktif di jaringan dan konsentrasi substrat (CoA, nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) dan pyruvate), serta produk hasilnya (acetyl-CoA dan NADH) (Stanley, 2001). Gambar 2.5. Oksidasi Pyruvate pada Kondisi Aerobik (Stanley, 2001) Oksidasi glukosa dan laktat secara kuat akan dihambat oleh kecepatan oksidasi asam lemak pada jantung. Tempat dimana oksidasi asam lemak menghambat oksidasi pyruvate (oksidasi glukosa dan laktat) adalah pada tingkat PDH. PDH dan oksidasi asam lemak akan menghasilkan produk berupa acetylCoA dan NADH. Perubahan pyruvate menjadi acetyl-CoA dihambat oleh acetylCoA dan NADH, dan kecepatan oksidasi asam lemak yang menghasilkan peningkatan ratio NADH : NAD+ dan acetyl-CoA : CoA bebas yang secara kuat menghambat pengaliran PDH. Jumlah enzym yang aktif juga dibawah pengaturan PDH kinase yang dapat memposporilasi dan menghambat PDH. Aktivitas PDH kinase distimulasi oleh peningkatan rasio NADH : NAD+ dan acetyl-CoA : CoA bebas, dan oksidasi asam lemak yang banyak akan menstimulasi PDH kinase dan menghambat kecepatan oksidasi glukosa dan laktat jantung (Stanley, 2001). 2.6.2. Metabolisme miokardium saat iskemia Akibat utama dari iskemik miokard adalah disfungsi metabolik mitokondria oleh karena penurunan penghantaran oksigen ke jaringan sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan ATP dari oksidasi posforilasi. Gambar 2.6. Metabolisme Miokardium selama Iskemia (Stanley, 2001) Penurunan pembentukan ATP secara aerobik akan menyebakan peningkatan proses glikolisis dan peningkatan ambilan glukosa oleh mitokondria dan pemecahan glikogen. Tidak seperti kondisi jantung dengan aliran darah normal, selama iskemia pyruvate yang diproduksi melalui proses glikolisis tidak sepenuhnya dapat dioksidasi di mitokondria, dan terjadi konversi pyruvate menjadi laktat di sitosol dalam kecepatan yang tinggi, dan terjadi peningkatan laktat jaringan. Pada kondisi normal jantung seharusnya mengambil laktat dari darah namun pada keadaan iskemia justru terjadi peningkatan produksi laktat. Homeostasis sel akan mengalami gangguan secara dramatis dimana terjadi akumulasi laktat dan ion H+, penurunan PH intrasesular dan penurunan kemampuan kontraksi. Selama iskemia akan terjadi peningkatan glikolisis dan pembentukan pyruvate disertai dengan gangguan oksidasi pyruvate di mitokondria sehingga menyebabkan akumulasi laktat di jaringan (Stanley, 2001). 2.7 Mekanisme Injuri Miokardium Fungsi normal dari otot jantung sangat dipengaruhi oleh beberapa keadaan antara lain; jumlah aliran darah ke miokardium, konsumsi oksigen, metabolisme atau pembakaran lemak dan karbohidrat (glukosa dan laktat) (Burke dan Virmani, 2008). Oklusi mendadak cabang utama arteri koroner akan mengakibatkan perubahan keseimbangan metabolisme dari aerobik atau metabolisme mitokondria menjadi glikolisis anaerob dalam beberapa detik penurunan alirah darah arteri. Iskemik miokardium akan mempengaruhi metabolisme mitokondria sehingga akan mengakibatkan penurunan jumlah ATP akibat terganggunya proses posforilasi oksidasi. Penurunan jumlah ATP dari proses aerobik merangsang glikolisis dan peningkatan ambilan glukosa dan pemecahan glikogen. Penurunan ATP mengakibatkan hambatan pada Na+/K+-ATPase, sehingga terjadi peningkatan Na+ intrasel dan mengakibatkan pembengkakan sel. Gangguan pada mekanisme sistem transport pada sarkolema dan retikulum sarkoplasma mengakibatkan peningkatan Ca2+, menginduksi aktivasi protease dan menurunkan protein kontraktil. Piruvat merupakan senyawa yang tidak dapat langsung dioksidasi di mitokondria yang mengakibatkan produksi laktat, penurunan PH intrasel dan penurunan fungsi kontraktil. Penurunan PH juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan ATP dalam menjaga keseimbangan homesotasis Ca2+. (Burke dan Virmani, 2008). 2.8 Perjalanan Miokard Infark, Penentu Ukuran Infark dan Remodeling Ventrikel Iskemik miokard terjadi apabila terdapat ketidak seimbangan antara ketersedian oksigen dengan kebutuhan miokardium, dan nekrosis atau infark dapat terjadi pada iskemia yang berat dan berkepanjangan. Meskipun abnormalitas fungsional dan biokimia terjadi segera setelah onset iskemia, kehilangan kontraktilitas miokard yang berat dapat terjadi dalam 60 detik, sementara perubahan lain memerlukan waktu lebih panjang seperti kehilangan viabilitas (irreversible injury) memerlukan waktu 20-40 menit setelah mengalami oklusi total aliran darah (Burke dan Virmani, 2008). Dapat ditemukan dua zona pada kerusakan miokardium yaitu zona sentral dengan aliran darah yang rendah atau tanpa aliran darah dan zone pembuluh darah kolateral yang mengelilingi zona marginal. Kelangsungan hidup zona marginal tergantung pada derajat iskemia dan lamanya iskemia. Pada jantung ukuran dari zona iskemia disekitar infark miokard berhubungan dengan peningkatan otopsi apoptosis dan derajat oklusi dari arteri yang berhubungan dengan infark (infarctrelated artery). Terdapatnya aliran darah kolateral adalah prinsip yang menentukan ukuran infark. Dan pada otopsi bukan merupakan hal yang jarang ditemukannya oklusi kronis total arteri koroner (total coronary occlusion) dan tanpa infark miokard pada area yang didistribusi oleh arteri tersebut. Tidak adanya iskemik miokard (ditunjukkan perubahan elektrokardiografi atau angina pada saat oklusi dengan balon koroner) menunjukkan adanya pembuluh kolateral yang baik, hal ini menunjukkan bahwa pasien dengan perkembangan pembuluh darah kolateral yang baik memiliki resiko rendah terjadinya infark miokard akut apabila terjadi oklusi arteri koroner mendadak. Kolateral berkembang lebih baik pada pasien dengan angina dan usia muda dibandingkan dengan usia tua dengan infark akut. Karena ukuran infark akan menentukan survival dan terjadinya gagal jantung kongestif, maka usaha yang dilakukan ditujukan untuk membatasi ukuran infark dengan reperfusi segera, mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, dan mencegah reperfusion injury. Page dkk pada tahun 1971 menyatakan bahwa ukuran infark ≤ 40% ventrikel kiri merupakan prediktor terjadinya kematian dan shock kardiogenik (Burke dan Virmani, 2008). Proses terjadinya dilatasi ventrikel pasca infark dinamakan dengan ventrikel remodeling. Secara umum nekrosis transmural merupakan penentu utama perluasan infark (remodeling), berdasarkan ukuran infark dan oklusi yang persisten. Pemeliharaan daerah miokardium yang viable di area subepikardium dapat menurunkan perluasan infark atau proses remodeling. Berikut ini digambarkan perjalanan kematian sel dibandingkan dengan waktu oklusi arteri LCx pada anjing (gambar A). Nekrosis terjadi pertama kali pada regio subendokardial. Dengan bertambahnya waktu oklusi maka kematian sel juga akan meluas dari daerah subendokardial mencapai dinding secara progresif. AP, anterior; PP, posterior. Variasi ukuran infark sesuai dengan durasi oklusi arteri koroner (gambar B) (Burke dan Virmani, 2008). Gambar 2.7. Perjalanan Infark Miokard (Burke dan Virmani, 2008) 2.9. Tata Laksana Infark Miokard Akut (IMA) Terapi awal harus segera diberikan pada pasien dengan IMA. Terapi awal yang dimaksud adalah morfin, oksigen, nitrat, aspirin (disingkat MONA). Pada prinsipnya pengobatan antara NSTEMI dan STEMI adalah sama dimana dibedakan hanya pada terapi reperfusi yang diberikan pada pasien STEMI (Irmalita dkk, 2014). Tindakan umum yang diberikan pada pasien IMA antara lain adalah dengan tirah baring, suplementasi oksigen segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <90% atau yang mengalami distres respirasi, anti platetelet aspirin 160-320 mg pada semua pasien tanpa intoleransi aspirin dan clopidogrel 300 mg dilanjutkan 75 mg/hari, pemberian transquilizer untuk menenangkan pasien, laksan agar penderita tidak mengedan, nitrogliserin spray/sublingual 5 mg, morfin sulfat 1-5 mg intravena dapat diulang 10-30 menit bagi pasien yang tidak berespon terhadap terapi tiga dosis nitrogliserin sublingual (Irmalita dkk, 2014). Obat lain yang diperlukan pada penanganan IMA adalah pemberian obat anti iskemia yaitu : penyekat beta (beta blocker) obat ini memiliki efek inotropik dan konotropoik negatif sehingga meningkatkan suplai oksigen dan menurunkan kebutuhan oksigen jantung, calcium channel blockers (CCBs) menurunkan beban jantung dengan menurunkan afterload dan preload, meningkatkan aliran darah koroner dengan melebarkan pembuluh darah koroner dan menurunkan low density lipoprotein (LDL)-kolesteror dan prekusornya dari sirkulasi sehingga diharapkan dapat menstabilisasi plak. Penghambat reseptor angiotensin / inhibitor angiotensin converting enzym (ACE) diberikan untuk mengurangi remodeling dan menurunkan mortalitas penderita pasca infark miokard disertai dengan gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung secara klinis. Terapi antikoagulan diberikan untuk menghambat pembentukan dan atau aktivitas trombin. Beberapa antikoagulan yang bekerja pada level yang berbeda pada kaskade koagulasi antara lain adalah unfractionated heparin (UFH), lowmolecular-weight heparins (LMWH), direct thrombin inhibitors dan fondaparinux (Irmalita dkk, 2014). Untuk pasien STEMI maka perbedaannya adalah dilakukan terapi reperfusi dengan segera baik dengan trombolitik maupun strategi invasive dini (Irmalita dkk, 2014, Kabo, 2010). 2.10 Komplikasi dan Kematian pada Infark Miokard Akut Komplikasi infark miokard dapat terjadi segera atau terjadi lambat dimana tergantung dari lokasi dan luas infark. Komplikasi akut yang dapat terjadi antara lain adalah aritmia dan mati mendadak, shock kardiogenik, perluasan infark, perikarditis fibrinosa, ruptur jantung yang meliputi ruptur muskulus papilaris, trombus mural dan embolisasi (Burke dan Virmani, 2008). 2.10.1 Aritmia dan mati mendadak Berbagai aritmia dapat terjadi setelah infark miokard, antara lain aritmia ventrikel (penyebab utama mati mendadak), gangguan sistem konduksi dan aritmia atrial. Hampir 90% pasien akan mengalami abnormalitas irama jantung setelah infark akut (Burke dan Virmani, 2008). Takiaritmia yang terjadi selama infark miokard akut (IMA) biasanya akibat reperfusi, gangguan tonus otonom atau gangguan stabilitas hemodinamik. Takiaritmia ventrikel ditemukan pada 67% dari semua pasien dalam 12 jam pertama IMA. Fibrilasi ventrikel diperkirakan terjadi sekitar 4,5% kasus dengan insiden tertinggi pada jam pertama. Mati mendadak terjadi pada 25% pasien pasca IMA biasanya sebelum sampai di rumah sakit. Proporsi kematian dari penyakit jantung iskemik yang terjadi mendadak sekitar 60% (Burke dan Virmani, 2008). 2.10.2 Shock kardiogenik Gagal jantung setelah infark miokard dapat berupa kongesti pulmonal sampai hipoperfusi organ atau shock kardiogenik. shock kardiogenik diakibatkan oleh penurunan kardiak output sistemik dengan volume intravaskular yang memadai. Shock kardiogenik biasanya terjadi bila terjadi kehilangan 40% masa ventrikel kiri baik yang terjadi secara akut atau merupakan kombinasi dengan miokardium yang mengalami skar akibat infark lama. Sepuluh persen pasien yang mengalami shock kardiogenik, shock terjadi sebelum masuk rumah sakit segera setelah muncul keluhan. Shock kardiogenik diperkirakan sebagai penyebab kematian jangka pendek setelah IMA dengan proporsi sebesar 44%. Kematian diakibatkan oleh ruptur jantung (26%) dan arrhytmia (16%) (Burke dan Virmani, 2008). 2.10.3 Ruptur myocardial free wall Insiden ruptur left ventricular free wall berkisar antara 10-20% dimana pasien dengan infark pertama kalinya memiliki kejadian sekitar 18%. Berbeda dengan ruptur ventrikel septum kejadiannya sekitar dua persen. Left ventricular wall rupture tujuh kali lebih sering dibandingkan dengan right ventricle rupture. Meskipun terapi reperfusi dapat menurunkan insiden ruptur jantung, namun late thrombolytic therapy dapat meningkatkan risiko ruptur jantung. Faktor yang berhubungan dengan kejadian ruptur jantung antara lain adalah jenis kelamin wanita, usia lebih dari 60 tahun, hipertensi, dan IMA pertama kalinya. Faktor risiko tambahan antara lain multivessel atherosclerotic disease, tidak ditemukannya ventrikel hipertrofi, aliran kolateral yang sedikit, transmural infark yang mengenai 20% dinding, dan lokasi infark di tengah anterior atau lateral dinding ventrikel kiri. Ruptur jantung biasanya terjadi dalam satu sampai empat hari pasca infark, namun demikian 13%-28% ruptur terjadi dalam 24 jam onset infark. Hampir setengah kematian akibat ruptur jantung terjadi pada mati mendadak di luar rumah sakit, sehingga tidak pernah terlihat oleh dokter. Angka mortalitas sebelum era trombolisis sangat tinggi, dimana sebesar 50% mortalitas pada pasien dengan pembedahan dan 90% dengan medikal terapi (Burke dan Virmani, 2008). 2.10.4 Right-side and atrial infarction Infark ventrikel kanan merupakan komplikasi tersering dari infark miokard transmural inferior. Patofisiologi dan manifestasi klinisnya berbeda dengan infark ventrikel kiri. Studi necropsy menyebutkan 14-60% pasien yang meninggal akibat infark miokard inferior ventrikel kiri, dan biasanya ditemukan dalam tiga kelainan dinding inferior-posterior, septum posterior, dan nekrosis dinding ventrikel posterior kanan, yang bersebelahan dan jarang melibatkan dinding ventrikel anterolateral kanan. Infark atrial terjadi pada 10% infark dinding ventrikel kiri inferior dan biasanya juga mengenai atrium kanan (Burke dan Virmani, 2008). 2.10.5 Efusi perikardium dan perikarditis Efusi perikardium ditemukan pada 25% pasien IMA dan lebih sering ditemukan pada pasien dengan IMA anterior, infark luas dan gagal jantung kongestif. Efusi perikardium sekunder akibat IMA dapat berupa efusi transudat atau eksudat bila diakibatkan oleh perikarditis. Perikarditis mengandung deposisi fibrin selain inflamasi dan dapat terjadi pada hari pertama pasca infark dan bisa juga muncul paling lambat enam minggu pasca infark. Efusi perikardium pasca infark biasanya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk direabsorbsi (Burke dan Virmani, 2008). 2.10.6 Gagal jantung kongestif kronis Pasien IMA yang luas dan iskemia yang persisten biasanya paling sering berkembang menjadi gagal jantung. Gagal jantung merupakan prediktor yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas setelah IMA. Pada otopsi pasien gagal jantung kongestif akan ditemukan dilatasi kedua atrium dan ventrikel dengan infark yang luas atau infark kecil yang multipel dengan atau tanpa skar stransmural (Burke dan Virmani, 2008). 2.10.7 Trombus mural dan embolisasi Trombus mural terbentuk pada permukaan endokardium di atas area infark akut dengan insiden sebesar 20% dari semua pasien. Namun demikian insiden diperkirakan sekitar 40% pada infark anterior dan 60% pada infark apikal. Pasien dengan trombus ventrikel kiri memiliki fungsi ventrikel kiri yang buruk dan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tanpa trombus. Prognosis yang buruk adalah akibat sekunder infark yang luas dan bukan karena emboli. Trombus dapat mengalami organisasi namun pada 10% kasus bagian superfisialnya dapat mengalami emboli. Organ yang biasa menjadi bagian emboli simtomatis adalah otak, mata, ginjal, saluran cerna, limpa, ektremitas dan arteri koroner. Emboli simptomatis biasanya diakibatkan oleh fragmen yang besar, dan partikel kecil trombus yang mengalami emboli secara umum tidak mengakibatkan munculnya simptom. Risiko emboli terbesar pada minggu pertama dari IMA (Burke dan Virmani, 2008). 2.10.8 Kematian pada IMA Pasien STEMI akan mengalami gangguan regulasi sirkulasi. Proses dimulai dengan obstruksi anatomis atau fungsional arteri koroner yang mengakibatkan iskemia miokardium regional jika iskemia menetap pada infark. Jika infark yang terjadi cukup luas maka akan mengakibatkan penekanan pada fungsi ventrikel kiri sehingga akan menurunkan volume sekuncup dan meningkatkan tekanan pengisian. Penurunan volume sekuncup ventrikel kiri yang berat akan menurunkan tekanan aorta dan tekanan perfusi koroner yang akan memperberat iskemik miokardium dan mengawali terjadinya vicious circle. Inflamasi sistemik sekunder akibat proses infark mengakibatkan pelepasan sitokin yang mengakibatkan vasodilatasi dan penurunan resistensi vaskular sistemik (Antman, 2012). Ketidakmampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan isi ventrikel secara normal akan meningkatkan preload, akan mengakibatkan dilatasi, dimana merupakan mekanisme normal ventrikel kiri. Mekanisme kompensasi ini akan mengembalikan volume sekuncup ke nilai normal. Dilatasi ventrikel kiri akan meningkatkan afterload ventrikel namun karena hukum laplace dilatasi ventrikel akan mengakibatkan peningkatan tekanan dinding. Peningkatan afterload bukan hanya menekan volume sekuncup ventrikel kiri namun juga akan meningkatkan konsumsi oksigen miokaridum yang akan memperberat iskemia. Bila disfungsi miokardium regional hanya terbatas dan fungsi ventrikel kiri dalam batas normal, mekanisme kompensasi khususnya hiperkinesis ventrikel yang tidak mengalami infark akan mempertahankan fungsi ventrikel secara keseluruhan. Jika terjadi nekrosis ventrikel kiri yang luas maka akan dapat mengakibatkan kegagalan pompa jantung dan kesemua mekanisme ini akan mengakibatkan kematian pada pasien infark miokard akut (Antman, 2012). Gambar 2.8 Vicious Cycle Circulatory Regulation (Antman, 2012) 2.11 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mortalitas IMA Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi angka mortalitas pasien infark miokard akut, antara lain adalah usia, jenis kelamin, diabetes, hipertensi, dislipidemia, lekusitosis, anemia, hipoalbuminemia, dan terapi reperfusi. Studi terbaru menyebutkan bahwa angka kematian rumah sakit, 28 hari dan 1 tahun pasien IMA lebih tinggi pada pasien yang juga diabetes dibandingkan dengan yang tidak. Weitzman dkk mendapatkan bahwa pasien IMA laki-laki dan diabetes memiliki angka mortalitas 1 tahun yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak (Vujosevic dkk, 2012). Pada salah satu studi yang dilakukan terhadap populasi IMA dengan usia antara 30-64 tahun di Nis tahun 2001-2005 dimana dari 1115 kasus IMA didapatkan 813 (72,9%) terjadi pada pria dan 302 (27,1%) terjadi pada wanita. Seratus dua puluh delapan (11,5%) merupakan kasus fatal dan 987 (88,5%) kasus IMA tidak fatal. Dari seluruh pasien pria didapatkan serangan tertinggi terjadi pada kisaran umur 55-59 tahun sebesar 239 (29,4%) , dan pada wanita pada rentang usia 60-64 tahun adalah 110 (36,4%). Data ini menunjukkan bahwa baik serangan dan mortalitas IMA berhubungan erat dengan usia dan jenis kelamin (Deljanin dkk, 2007). Studi yang dilakukan oleh Riberio dkk di Brazil menunjukkan bahwa angka mortalitas pada pasien IMA didapatkan lebih tinggi pada pasien dengan usia >70 tahun, diabetes dan Killip fungsional bukan kelas I dibandingkan dengan yang tidak (Ribeiro dkk, 2003) . Studi yang dilakukan oleh Takii dkk mengenai kecenderungan insiden IMA dan mortalitas dalam 30 tahun di jepang menunjukkan bahwa mortalitas rumah sakit dari 22.551 pasien IMA lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria (12,2% dan 6,3% di tahun 2008), hal ini mungkin diakibatkan oleh perbedaan pada usia serangan, waktu untuk mendapatkan perawatan rumah sakit dan rendahnya prevalensi tindakan intervensi koroner pada wanita (Taki dkk, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Salehi dkk mengenai jumlah sel darah putih (WBC/ white blood cell) dengan mortalitas IMA didapatkan bahwa jumlah WBC merupakan prediktor yang signifikan terhadap mortalitas IMA setelah dilakukan multivariable adjustment dalam satu bulan dan 12 bulan follow-up (p=0,02, p=0,04). Infiltrasi WBC menuju jaringan nekrosis terhadap respon iskemia dan reperfusi memiliki peran penting dalam mensekresi mediator yang berkontribusi dalam oksidasi dan proteolitik injuri (Salehi dkk, 2013). Studi yang dilakukan oleh Matura mengenai karakteristik mortalitas rumah sakit wanita dengan IMA didapatkan bahwa wanita dengan mortalitas tinggi memiliki angka hipertensi yang lebih besar. Hal ini mungkin diakibatkan oleh tingginya angka hipertensi pada populasi di Amerika sebesar 85% dan 32,1% pada wanita disana (Matura, 2009). Pada salah satu studi yang dilakukan oleh Kamir terhadap 48% pasien STEMI yang memiliki hipertensi dimana di dalam analisi multivariat didapatkan bahwa hipertensi secara independent berkontribusi terhadap tingginya angka mortalitas rumah sakit pada pasien AMI namun tidak terhadap mortalitas dalam satu tahun. Hal ini berhubungan dengan faktor risiko lain seperti usia tua, peningkatan kelas Killip, dan mulitvessel disease (Picariello dkk, 2011). Studi yang dilakukan oleh Seppo Lehto terhadap 1059 pasien diabetes militus tidak tergantung insulin dengan rentang umur 45-64 tahun didapatkan bahwa riwayat infark miokard sebelumnya, kolesterol high density lipoprotein (HDL) yang rendah (<1mmol/L), tingginya kadar non HDL kolesterol (≥ 5,2 mmol/L), tingginya kadar total trigliserida (>2,3 mmol/L), dan tingginya kadar gula darah puasa (>13,4 mmol/L) secara independent berhubungan dengan peningkatan dua kali lipat risiko mortalitas dan morbiditas pasien penyakit jantung koroner. Kadar kolestero LDL yang tinggi (≥ 4,1 mmol/L) secara signifikan berhubungan dengan semua event pada penyakit jantung koroner (Lehto dkk, 1997). Anemia juga dihubungkan dengan peningkatan mortalitas pada pasien IMA, dimana salah satu studi yang dilakukan oleh Nikolsky dkk mengenai dampak anemia pada pasien IMA yang dilakukan PCI didapatkan bahwa pada anemia dibandingkan dengan yang tidak anemia didapatkan angka yang lebih tinggi pada mortalitas rumah sakit (4,6% vs 1,1%, p=0,00003), mortalitas dalam 30 hari (5,8% vs 1,5%, p<0,0001), dan mortalitas dalam 1 tahun (9,4% vs 3,5%, p <0,0001) (Nikolsky dkk, 2004). Studi lain mengenai kadar serum albumin saat masuk rumah sakit pada 1706 pasien STEMI yang dilakukan PCI didapatkan bahwa pasien dengan kadar albumin < 3,5 g/dl memiliki angka mortalitas rumah sakit lebih tinggi (9,4% vs 2%) dibandingkan dengan yang tidak hipoalbuminemia dan secara independen merupakan prediktor mortalitas jangka panjang dengan (hazard ratio 2,98, 95% confidence interval 1,35-6,58, p= 0,007) (Oduncu dkk, 2013 ). Manfaat terapi reperfusi pada pasien IMA dalam menurunkan angka mortalitas sudah tidak diragukan lagi. Pada penelitian terhadap 3300 pasien usia >75 tahun dengan diagnosis STEMI atau blok cabang berkas dan dengan simptom dalam 12 jam didapatkan angka mortalitas menurun secara bermakna pada mereka dengan terapi trombolisis (dari 29,4% menjadi 26%, p=0,03). Dari data DANAMI-2 didapatkan bawha PCI lebih superior dibandingkan dengan trombolisis. Dan didapatkan penurunan yang signifikan terhadap kombinasi angka kematian, infark berulang dan strok setelah 30 hari sebesar (14,2% menjadi 8,5%, p<0,002) pada pasien yang dilakukan PCI (Werf dkk, 2003). Chin dkk 2001 dalam penelitiannya terhadap 278 pasien IMA, didapatkan 30 pasien mengalami syok kardiogenik dan mortalitas rumah sakit sebesar 60%. Dimana syok kardiogenik dikatakan lebih sering terjadi pada pasien IMA usia tua dan dengan diabetes (Chin dkk, 2001). 2.12 Produksi Normal Laktat Proses glikolisis di dalam sitoplasma akan memproduksi metabolit intermediate pyruvate. Pada kondisi aerobik, pyruvate akan dirubah menjadi acetyl CoA untuk memasuki siklus kreb. Pada kondisi anaerobik, pyruvate akan dirubah menjadi asam laktat oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH). Pada larutan yang encer, asam laktat akan mengalami disosiasi hampir secara komplit menjadi laktat dan H+. Laktat akan mengalami buffer di dalam plasma oleh NaHCO3 (Phypers dan Pierce, 2006). Jaringan yang dapat memproduksi laktat antara lain adalah eritrosit, hepatosit perivena, otot skeletal, dan kulit. Produksi basal laktat sekitar 1300 mmol/hari (Phypers dan Pierce, 2006). Gambar 2.9. Glikolisis, Siklus Kreb dan Oksidasi Phosforilasi (Phypers dan Pierce, 2006) Gambar 2.10. Disosiasi Asam Laktat (Phypers dan Pierce, 2006) 2.12.1 Laktat dan asam laktat Ion hidrogen yang dilepaskan dari disosiasi asam laktat dapat dipergunakan untuk memproduksi ATP melalui oksidasi phosporilasi. Gangguan jalur oksidasi selama proses produksi laktat dapat mengakibatkan kelebihan H+ dan terjadinya asidosis (Phypers dan Pierce, 2006). 2.12.2 NADH dan NAD+ Proses glikolisis memerlukan produksi NAD+ melalui proses konversi pyruvate menjadi laktat. Kecepatan konversi pyruvate menjadi laktat ditentukan oleh suplai NADH. Jaringan seperti jantung, yang memerlukan ATP dalam jumlah banyak, memerlukan konversi pyruvate menjadi acetyl CoA. Untuk menjaga kadar NADH tetap rendah, maka shuttle digunakan untuk membantu transpor elektron melewati membran mitokondria dan oksidasi NADH menjadi NAD+. Mekanisme utama adalah melalui malate-aspartate shuttle. Glycerol-phosphate shuttle memiliki peran sekunder. Secara kolektif shuttle ini dikenal dengan ox-phos shuttle. Jika kecepatan glikolisis meningkat melewati titik kemampuan ox-phos shuttle, maka konsentrasi NADH, NAD+, dan laktat akan meningkat (Phypers dan Pierce, 2006). Gambar 2.11. The Ox-phos Shuttle (Phypers dan Pierce, 2006) 2.13 Penyebab Hiperlaktasemia Hiperlaktasemia terjadi bila terdapat kelebihan produksi laktat dibandingkan dengan ekstraksinya. Penyebab hiperlaktasemia secara umum dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe A (dengan adanya bukti klinis hipoksia jaringan baik relatif maupun absolut) dan tipe B (tidak terdapat bukti hipoksia jaringan secara klinis). Sejauh ini hiperlaktasemia tipe A paling sering ditemukan dan biasanya akibat dari hipoksia jaringan karena hipoperfusi. Hiperlaktasemia tipe B dibagi menjadi tiga berdasarkan penyakit yang mendasari (B1), obat dan toksin (B2), dan kelainan metabolisme sejak lahir (B3) (Phypers dan Pierce, 2006). Tabel 2.1. Penyebab Hiperlaktasemia (Peningkatan Produksi dan Penurunan clearance) Peningkatan produksi Peningkatan kecepatan glikolisis Peningkatan AMP-ketidak seimbangan kebutuhan dan ketersediaan ATP Katekolamin Subtrat yang memasuki glikolisis tidak treregulasi Akumulasi pyruvate Inaktivitas pyruvate dehidrogenase Formasi alanin Gangguan proses oksidasi Penurunan clearance Metabolisme hepatik Gangguan metabolisme oksidasi Gangguan glukoneogenesis Metabolisme jaringan yang kaya mitokondria Ekskresi renal Contoh Tipe Hipoksemia, anemia, hipoperfusi, shock, keracunan CO Exercise yang berat Phaeochromocytoma Salbutamol, infus epinefrin Infus fruktosa A A B1 B2 B2 Defisiensi thiamin Kelainan pyruvate dehidrogenase kongenitasl Inhibisi oleh endotoksin Penyakit kritis Keganasan Defisiensi pyruvate karboksilase Keracunan sianida Gangguan aliran darah hepar, gangguan enzyme, keracunan sianida Biguanide, intoksikasi alkohol, diabetes Hipoksemia, anemia, hipoperfusi regional, shock Gangguan enzym, keracunan sianida Ekskresi renal normalnya <5% laktat clearance B3 B3 B2 B2 B2 B3 B2 A,B3,B1 B1,B1,B2 A B3,B1 2.14 Peran Laktat Pada Mortalitas Pengukuran kadar laktat dapat dipergunakan sebagai indikator untuk menilai adanya gangguan hemodinamik dan berhubungan dengan angka mortalitas dalam berbagai kondisi syok. Batas kadar laktat yang dinyatakan positif adalah ≥ 1,5 mmol/L, dimana nilai ini dikatakan mendekati nilai ambang batas angka maksimal spesifisitas tanpa mengurangi sensitivitasnya. Kadar laktat saat masuk rumah sakit ≥ 1,8 mmol/L dihubungkan dengan peningkatan mortalitas fase akut (Vermeulen dkk, 2010). Nilai klinis laktat dalam sirkulasi telah banyak dibuktikan di ruang perawatan intensif. Kadar laktat darah dapat digunakan sebagai indikator gangguan hemodinamik dan sebagai prediktor outcome dalam berbagai derajat syok. Beberapa studi telah menunjukkan adanya peningkatan kadar laktat dalam sirkulasi pasien syok kardiogenik. Salah satu penyebab tersering syok adalah infark miokardium. Fase akut infark miokard akan mengakibatkan gangguan perfusi jaringan. Penurunan hantaran oksigen mengakibatkan sel otot lebih menggunakan jalur glikolisis dan memproduksi laktat dari pyruvate dibandingkan dengan mengoksidasi pyruvate untuk produksi energi mitokondria. Pada pasien penyakit jantung iskemik, jumlah laktat yang dilepaskan miokardium berhubungan dengan beratnya penyakit arteri koroner. Pada pasien infark miokard akan terjadi peningkatan kadar laktat vena. Namun demikian lamanya waktu antara pengambilan sampel darah dengan analisa menghasilkan hasil kadar laktat yang tinggi yang bersifat palsu. Saat ini analisa dengan point-of-care dapat dikerjakan untuk menilai kadar laktat dengan cepat (Vermeulen dkk, 2010). Salah satu studi yang dilakukan oleh vermeulen dkk menilai kadar laktat saat masuk rumah sakit pada pasien STEMI yang dilakukan percutaneus coronary intervention (PCI), didapatkan bahwa kadar laktat >1,8 mmol/L berhubungan dengan peningkatan mortalitas (Vermeulen dkk, 2010). Studi prospective double-blind observasional yang dilakukan oleh Gatien dkk mengenai performa laktat vena saat masuk rumah sakit pada pasien infark miokard di unit gawat darurat, didapatkan bahwa kadar laktat >1,5 mmol/L dikatakan positif untuk infark miokardium dengan sensitivitas 92% (95% CI=86%-99%), spesifisitas 44% (95% CI=40%-48%), dan negative predictive value (NPV) 98% (95% CI=97%-99%) (Gatien dkk, 2005). Nilai prediktif dari pemeriksaan laktat terhadap mortalitas juga telah ditunjukkan oleh beberapa studi pada pasien yang dirawat di ruang terapi intensif (RTI). Studi yang dilakukan oleh Khosravani dkk menunjukkan nilai laktat awal >2 mM merupakan prediktor mortalitas yang signifikan terhadap pasien yang dirawat di RTI. Odds Ratio (OR) terhadap mortalitas meningkat dari 1,94 menjadi 10,89 tergantung kadar laktat dibandingkan dengan pasien dengan kadar laktat <2 mM. Studi yang dilakukan oleh Smith dkk menunjukkan efek yang signifikan peningkatan kadar laktat masuk rumah sakit >1,5 mM terhadap mortalitas pada pasien yang dirawat di RTI (Kruse dkk, 2011). 2.15 Alat Pengukur Kadar Laktat Kadar laktat dapat diukur di plasma, serum, atau darah lengkap. Nilai kadar laktat yang paling ideal adalah yang berasal dari darah arteri. Sampel darah harus diperiksa secepat mungkin (tidak boleh lebih dari 4 jam setelah pengambilan) (Agrawal dkk, 2004, Gatien dkk, 2005). Pemeriksaan laktat darah harus dilakukan dalam 30 menit. Untuk itu dilakukan pemeriksaan laktat darah tanpa proses dilusi lebih praktis dibandingkan pemeriksaan dalam plasma yang membutuhkan waktu untuk sentrifugasi. Walaupun pemeriksaan laktat lebih efektif jika waktu transport ke laboratorium dilakukan dengan pneumatic system tube atau dibawa ke laboratorium dalam 1-2 menit, pemeriksaan point of care dapat memberikan manfaat hasil yang lebih cepat. Pada saat ini sedang diteliti penggunaan alat baru near-infrared spectroscopy yang tidak invasif untuk menilai antara perfusi jaringan dan kadar laktat (John G Toffaletti, 2010, Agrawal dkk, 2004). Studi di Canadian University mengukur kadar laktat vena pada pasien dengan infark miokard mendapatkan bahwa dua jam setelah munculnya keluhan kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan kadar laktat. Transpor laktat yang lama juga dapat mempengaruhi analisis. Glikolisis seluler dapat membentuk laktat. Laktat meningkat 0.4 mmol/L tiap 30 menit. Bahkan bila diberikan es, laktat meningkat 0.1 mmol/L dalam 30 menit. Selama transport kadar laktat dapat meningkat 0.1-1.2 mmol/L dalam jam pertama. Pengukuran tepat dengan point-ofcare analyzer memungkinkan mendapatkan hasil lebih akurat dan kadar laktat lebih rendah dibandingkan pengukuran laktat pada laboratorium sentral (Gatien dkk, 2005) . Kadar laktat darah juga dapat dipengaruhi oleh cairan infus yang digunakan dan tempat pengambilan sampel darah. Pengambilan sampel darah tidak boleh pada tempat yang dipasang infus, khususnya cairan Ringer Laktat karena dapat menyebabkan kadar laktat yang tinggi pada sampel darah yang diambil (Agrawal dkk, 2004). Saat ini laktat darah dengan mudah diukur secara langsung di sisi pasien menggunakan alat analitik otomatis. Perkembangan pembuatan elektroda substrat spesifik dapat mengukur laktat darah secara akurat dengan volume darah < 0,2 ml dalam waktu 2 menit. Variabilitas pengukuran dengan cara ini < 4 %. Kadar normal laktat darah saat istirahat ± 1 mEq/L (0,7-1,3), baik pada pengukuran darah arteri maupun vena, dalam bentuk whole blood maupun plasma. Konversi satuan internasional (SI) kadar laktat darah dinyatakan dalam mmol/L (0,50 x mEq/L atau 0,25 x mg/dl) (Karon dkk, 2007, Vernon dan Letourneau, 2010). Dari jurnal tahun 2008 sudah dipublikasikan validasi alat yang digunakan untuk mengukur kadar laktat. Jurnal ini dipublikasikan oleh Jurnal Internasional Penyakit Infeksi. Dalam penelitian diagnostik ini membandingkan alat Accutrend lactate meter dengan alat gold standard yang telah dibakukan yaitu Beckman CX7 Synchrone machine (Perez dkk, 2008). Sensitifitas alat Accutrend lactate meter diidentifikasi pada pasien dengan kadar laktat ≥ 2.2 mmol/L adalah 95.9% (95%CI 87.7-98.9%) dengan spesifisitas 63.8% (95% CI 48.5-76.9%) bila dibandingkan dengan standar baku (Beckman CX7 Synchron machine). Pada penelitian ini didapatkan nilai rata-rata yang mirip didapatkan dari Accutrend lactate meter (2.89 mmol/L) dibandingkan dengan alat referensi (2.78 mmol/L). Standar deviasi 1.14 mmol/L untuk alat Accutrend lactate meter, sedangkan untuk instrument Beckman 1.42 mmol/L. Nilai prediktif positif untuk alat Accutrend meter yaitu 80.5% (95% CI 70.3-87.9%) dan nilai prediktif negatif yaitu 90.0% (95% CI 74.5-97.6%). Terdapat persamaan dalam derajat sedang diantara kedua metode (bias 0.113, 95% CI 2.103-2.329 mmol/L). Hasil dari penelitian mengenai kesahihan alat Accutrend lactate meter ini tertera pada tabel 2.3 (Perez dkk, 2008). Tabel 2.2. Penilaian Accutrend Lactate Meter False positif 17 True positif 30 False negative 3 True negative 30 Sensitivitas 95.9% Spesifisitas 63.8% BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Hiperlaktasemia secara umum merupakan hasil metabolisme anaerob akibat dari oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Hal ini juga akan terjadi pada saat miokardium mengalami iskemia dimana akan terjadi penurunan pembentukan ATP dari oksidasi posforilasi dan terjadi konversi pyruvate menjadi laktat di sitosol dalam kecepatan yang sangat tinggi sehingga mengakibatkan penumpukan laktat jaringan. Kondisi IMA menyebabkan penekanan fungsi jantung dan penurunan perfusi. Laktat serum merupakan penanda menurunnya perfusi sistemik dan hipoksia jaringan, karena laktat adalah produk metabolisme anaerob. Laktat digunakan sebagai indikator gangguan hemodinamik dan prediktor kondisi syok. Pada syok kardiogenik beberapa studi menunjukkan adanya peningkatan laktat darah. Perfusi jaringan miokard terganggu akibat IMA menyebabkan penurunan supply oksigen yang mengubah metabolisme aerob menjadi anaerob dengan glikolisis menghasilkan laktat dari substrat piruvat. Laktat pada pasien IMA yang dilepaskan dari miokardium mempunyai hubungan yang linier dengan derajat keparahan penyakit jantung koroner. Kondisi hipoperfusi regional terjadi pada pasien IMA meskipun tekanan darah masih dalam batas normal. Pada kondisi basal, miokardium mengekstraksi laktat dari sirkulasi, namun pada kondisi iskemia jantung kemampuan untuk mengekstraksi laktat menjadi terganggu. Dengan demikian iskemia miokard menyebabkan peningkatan kadar laktat ke dalam sirkulasi melalui kedua mekanisme ini Beberapa kondisi patologis dapat meningkatkan kadar laktat. Sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi, berdasarkan adanya systemic inflamatory respone syndrome (SIRS) ditambah dengan adanya bukti infeksi berdasarkan hasil biakan kuman. Pada SIRS atau awal sepsis, hiperlaktasemia menunjukkan adanya hipoksia jaringan akibat produksi laktat berlebihan oleh proses infeksi. Pasien dengan penyakit hati kronis akan mengakibatkan penurunan kemampuan hepar untuk memetabolisme laktat bila terjadi peningkatan produksi, demikian juga pada pasien dengan penyakit ginjal kronis maka ekskresi laktat juga akan terganggu bila terjadi peningkatan produksi. Keganasan akan menyebabkan peningkatan laktat akibat ketidakmampuan subtrat memasuki proses glikolisis. Peningkatan kadar laktat juga akan meningkat pada pasien ketoasidosis diabetika dan penggunan obat anti retro virus. Beberapa faktor juga dapat berpengaruh pada mortalitas pasien IMA antara lain adalah, umur, jenis kelamin, peningkatan tekanan darah, dislipidemia, kadar gula darah, leukosit, hemoglobin, dan albumin darah serta terapi reperfusi. 3.2. Konsep Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka dibuat suatu konsep penelitian Infark Miokard Akut sebagai berikut : Nekrosis Miokard Hipoperfusi Koroner Penurunan Fungsi Miokard Penurunan Cardiac Output Kelas Killip Metabolisme Anaerob Ketoasidosis diabetika Gagal Hati Kronis Gagal Ginjal Kronis Keganasan Pengobatan anti retroviral Laktat Mortalitas : Tidak dievaluasi pada penelitian : Dievaluasi pada penelitian Gambar 3.1 Konsep Penelitian Umur Jenis Kelamin Leukositosis Hemoglobin Albumin Hiperglikemia Hipertensi Dislipidemia Terapi reperfusi 3.3. Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian ini adalah hiperlaktasemia sebagai mortalitas 30 hari paska infark miokard akut. prediktor BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan kohort prospektif dimana subyek penelitian akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok terpapar (pasien IMA dengan hiperlaktasemia +) dan kelompok tidak terpapar (pasien IMA hiperlaktasemia -). Pengukuran terhadap variabel penelitian dilakukan pada saat pasien masuk UGD dan 2 jam setelah perawatan. Setelah itu pasien diikuti untuk mengetahui luaran yang berupa mortalitas 30 hari paska IMA. Tata laksana terhadap semua pasien dilakukan sesuai dengan European Society of Cardiology (ESC) Guidelines. Rancangan penelitian di atas dapat dijabarkan seperti gambar berikut. Mortalitas (+) Sampel Penelitian penderita infark miokard akut (IMA) yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Hiperlaktasemia (+) Mortalitas (-) Mortalitas (+) Hiperlaktasemia (-) Mortalitas (-) Gambar 4.1 Rancangan Penelitian 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pelayanan Jantung Terpadu RSUP Sanglah Denpasar. 4.2.2. Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Novenber 2014 sampai Februari tahun 2015. 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi target Semua pasien IMA 4.3.2 Populasi terjangkau Pasien IMA yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar. 4.3.3 Sampel penelitian Sampel dipilih dari populasi terjangkau setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek yang benar-benar diteliti adalah sampel yang bersedia ikut serta dalam penelitian. 4.3.4 Kriteria eligibilitas 4.3.4.1 Kriteria inklusi Pasien yang dirawat dengan IMA yang ditegakkan berdasarkan klinis, EKG dan laboratorium di RSUP Sanglah Denpasar. 4.3.4.2 Kriteria eksklusi a. Pasien menolak untuk berpartisipasi b. Pasien dengan penyakit ginjal dan penyakit hati kronis c. Pasien sepsis d. Diabetik ketoasidosis e. Pasien dengan riwayat keganasan f. Pasien dengan penggunaan Anti Retroviral (ARV) 4.3.5 Besaran sampel Pada penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan p< 0.05, power 80%. Perkiraan jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus berikut : (Madiyono et al., 2011) n1 n 2 ( z 2 PQ z P1Q1 P 2Q 2 ) 2 ( P1 P 2) 2 Zα dengan kemaknaan α sebesar 0.05 (95% CI) : 1.96 Zβ dengan power 80% : 0.842 Risiko relatif minimal diperkirakan = 2,25 (dianggap bermakna) P2 : 0,195 (Ferreira dkk, 2009) RR : 2,25 (Portal dkk, 2010) P1 : 0,43875 Q1 = 1 – P1 = 0,56125; P = ½ (P1+P2) = 0,316875 Q2 = 1 – P2 = 0,805 Q = ½(Q1+Q2) = 0,683125 Jumlah sampel (n) = n1 + n2 = 112 Jumlah sampel seluruhnya 112 + 5% = 118 orang 4.3.6 Teknik pengambilan sampel Subyek yang benar-benar diteliti diambil dengan cara konsekutif sampling dan didapatkan jumlah sebanyak 121 dari 118 perhitungan sampel minimal yang diperlukan. 4.4. Variabel Penelitian 4.4.1. Identifikasi dan klasifikasi variabel penelitian Variabel tergantung Mortalitas Variabel bebas Kadar laktat darah Variabel perancu 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Gula darah 4. Hemoglobin 5. Leukosit 6. PaO2 7. Kadar albumin darah 8. Terapi reperfusi baik dengan streptokinase maupun dengan Percutaneous Coronary Interevention (PCI). 9. Kelas Killip Variabel rambang Diit, cairan inravena, dan obat resusitasi saat terapi Variabel Bebas : Kadar laktat darah Variabel Tergantung : Mortalitas 30 hari paska IMA Variabel Perancu : 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Gula darah 4. Hemoglobin 5. Leukosit 6. PaO2 7. Kadar albumin darah 8. Terapi reperfusi 9. Kelas Killip Gambar 4.2. Hubungan antar Variabel 4.4.2. Definisi operasional variabel 1. Infark Miokard Akut : Merupakan kelainan yang terdiri dari, NSTEMI dan STEMI. Kelainan ini didasarkan atas keluhan nyeri dada yang tipikal disertai dengan kelainan EKG dan peningkatan marka jantung yang berupa peningkatan kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T di atas nilai normal. Keluhan nyeri dada yang tipikal berupa rasa tertekan atau berat di daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapular, bahu, atau epigastrium yang berlangsung secara intermiten atau persisten (> 20 menit) sering disertai dengan diaphoresis, mual atau muntah, nyeri abdominal, sesak nafas dan sinkop. a. Dikatakan NSTEMI : Bila keluhan nyeri dada tipikal ini disertai dengan perubahan EKG berupa ST depresi ≥ 0,05 mV pada sadapan V1-V3 dan 0,1 mV pada sadapan lainnya, elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit) pada > 2 sadapan berdekatan, atau inversi gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV dan disertai kenaikan marka jantung kreatinin kinaseMB (CK-MB) atau troponin I/T di atas nilai normal. b. Dikatakan STEMI : Bila keluhan nyeri dada tipikal disertai dengan perubahan EKG berupa LBBB baru atau persangkaan baru atau elevasi segmen ST persisten (≥ 20 menit) dengan elevasi segmen ST ≥ 0,2 mV pada sadapan V1-V3 pada pria usia ≥ 40 tahun, elevasi segmen ST ≥ 0,25 mV pada pria usia < 40 tahun, atau elevasi segmen ST ≥ 0,15 mV pada wanita, elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R ≥ 0,05 mV, atau elevasi segmen ST pada sadapan V7-V9 ≥ 0,5 mV, disertai dengan kenaikan marka jantung kreatinin kinase-MB (CKMB) atau troponin I/T di atas nilai normal. 2. Mortalitas : kematian oleh berbagai sebab yang terjadi dalam 30 hari paska IMA. Untuk kematian di rumah sakit dibuktikan dengan surat keterangan kematian. Untuk kematian di luar rumah sakit didapatkan melalui telepon kepada anggota keluarga pasien atau kepada pasien sendiri dimana kematian tidak diakibatkan oleh karena kecelakaan lalu lintas atau kematian tidak wajar seperti bunuh diri. Kematian kardiovaskular merupakan kematian yang dapat diakibatkan oleh beberapa hal berikut (Cannon dkk, 2013) : a. IMA b. Henti jantung mendadak c. Kematian akibat gagal jantung d. Kematian akibat stroke e. Kematian akibat prosedur kardiovaskular f. Kematian akibat perdarahan kardiovaskular g. Kematian akibat sebab kardiovaskular lainnya 3. Gagal jantung : merupakan temuan pada pasien yang dapat berupa simptom klinis gagal jantung yang terdiri dari sesak nafas saat aktivitas ringan, sesak nafas berulang yang terjadi pada posisi supinasi, retensi cairan, atau ditemukannya rales, distensi vena jugular, oedema paru pada pemeriksaan fisik, atau oedema paru pada pemeriksaan rontgen dada. Fraksi ejeksi yang rendah tanpa gejala klinis gagal jantung tidak dimasukkan sebagai gagal jantung (Cannon dkk, 2013) 4. Syok Kardiogenik : keadaan dimana tekanan darah sistolik < 90 mmHg yang menetap dalam > 30 menit dan atau cardiac index <2,2 L/min/m2 yang secara sekunder diakibatkan oleh disfungsi jantung dan atau memerlukan pengobatan dengan inotropik atau vasopresor parenteral atau bantuan mekanik (intra aortic ballon pump, extracorporeal circulation, ventricular assist device) untuk menjaga tekanan darah dan cardiac index diatas nilai tersebut (Cannon dkk, 2013). 5. Kelas Killip : klasifikasi mengenai sindrom gagal jantung akut dimana dibagi menjadi beberapa kelas yaitu (Cannon dkk, 2013): a. Kelas I : bila tidak ditemukan adanya disfungsi ventrikel kiri atau tanda gagal jantung b. Kelas II : ada tanda gagal jantung dan kongesti paru pada setengah lapangan paru bagian bawah c. Kelas III : gagal jantung berat dengan edema paru yang menyebar di seluruh lapangan paru d. Kelas IV : syok kardiogenik 6. Waktu : durasi yang dihitung dalam hari sejak didiagnosis IMA sampai mengalami luaran berupa mortalitas atau kematian yang diikuti selama 30 hari setelah diagnosis IMA. 7. Hiperlaktasemia : kadar laktat yang merupakan skala numerik dirubah menjadi skala nominal dengan dua kategori yaitu hiperlaktasemia dan tidak hiperlaktasemia. Batas nilai untuk menentukan kadar laktat dalam hubungannya dengan prognosis dengan cara membuat kurva Receiving Operating Characteristic (ROC) dan didapatkan nilai 4,4 mmol/L merupakan cut of point terbaik kadar laktat untuk memprediksi mortalitas. 8. Laktat darah : suatu produk metabolisme intermediet yang digunakan sebagai indikator hipoperfusi jaringan. Nilai laktat ditetapkan atas nilai tertinggi dari pemeriksaan darah kapiler saat masuk rumah sakit dan 2 jam setelah perawatan yang diperiksa dengan alat Accutrend lactate meter yang menggunakan impuls cahaya light emitting diode (LED) untuk mengukur warna yang dihasilkan pada strip tes laktat selama reaksi dan membandingkan dengan nilai baseline (pengukuran enzimatik photometric). Dinyatakan hiperlaktasemia (+) bila kadar laktat ≥ 4,4 mmol/L dan hiperlaktasemia (-) bila kadar laktat < 4,4 mmol/L. Apabila pasien meninggal sebelum kedua pemeriksaan laktat dilakukan maka kadar laktat yang dipakai adalah kadar laktat yang sudah diperiksa. Laktat diperiksa di UGD PJT RSUP sanglah pada saat pasien MRS dan 2 jam setelahnya baik di UGD maupun ICCU PJT RSUP Sanglah Denpasar, dimana sampel darah diambil dari darah kapiler di jari tangan atau jari kaki yang tidak terpasang infus. 9. Terapi Reperfusi : merupakan suatu tindakan baik dengan pemberian obat atau terapi trombolisis dan tindakan intervensi berupa Percutanesus Coronary Intervention (PCI) kepada pasien yang didiagnosis dengan STEMI yang tidak memiliki kontraindikasi terhadap tindakan tersebut (Cannon dkk, 2013). 10. Diabetes Militus : riwayat terdiagnosis diabetes dan atau telah mendapatkan pengobatan disertai dengan beberapa kondisi berikut (Cannon dkk, 2013) : a. Hemoglobin A1c ≥ 6,5%; atau b. Gula darah puasa ≥ 126 mg/dL (7,00 mmol/L); atau c. Gula darah 2 jam setelah pembebanan test toleransi glukosa ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L); atau d. Pasien dengan simptom klasik berupa hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, gula darah acak ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) e. Tidak termasuk pasien dengan diabetes gestasional. 11. Ketoasidosis diabetika : merupakan komplikasi akut dari diabetes dimana ditandai dengan triad berupa a. Hiperglikemia >250 mg, b. Hiperketonemia serum dan atau urine, c. Asidosis metabolik PH <7,3 dengan nafas kusmaul dengan temuan tambahan yang mendukung KAD berupa serum glukosa > 250 mg, pH arteri < 7,3, serum bikarbonat < 18 meq/l, anion gap > 10 dan ketonuria atau ketonemia moderate. 12. Penyakit ginjal kronis : kerusakan ginjal (renal demage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test). Atau laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1.73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Levin dkk, 2013). 13. Penyakit Hati Kronis : ditandai dengan adanya riwayat penyakit hati disertai dengan gejala dan tanda kegagalan hati, portal hipertensi yang didapatkan dengan melakukan anmnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (dengan mengukur enzim SGOT, SGPT dengan nilai 2 kali lebih besar dari normal). 14. Hipertensi : pasien dengan diagnosis hipertensi bila memenuhi salah satu dari kriteria berikut (Cannon dkk, 2013) : a. Riwayat terdiagnosis hipertensi dan berobat dengan obatobatan, diit, dan atau exercise b. Riwayat tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada pasien tanpa diabetes atau penyakit ginjal kronis, atau c. Riwayat tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 80 mmHg pada 2 kali pengukuran pada pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal kronis d. Dalam pengobatan hipertensi 15. Sepsis : merupakan keadaan klinis yang berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS (systemic inflamatory response syndrome) dimana respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan berikut : a. Suhu >38ºC atau < 36ºC b. Frekuensi jantung >90 kali/menit c. Frekuensi nafas >20 kali/menit d. PaCO2 <32 mmHg atau e. Leukosit darah > 12.000/mm3, < 4.000/mm3 atau batang >10% 16. Penyakit keganasan : suatu keadaan dimana diketahui adanya riwayat keganasan baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang maupun dari catatan medis. 17. Dislipidemia : pasien dengan riwayat terdiagnosis dislipidemia dan atau riwayat pengobatan oleh dokter. Atau dengan beberapa kriteria berikut (Cannon dkk, 2013) : a. Kolesterol total > 200 mg/dL (5,18 mmol/L); atau b. Low density lipoprotein (LDL) ≥ 130 mg/dL (3,37 mmol/L); c. High density lipoprotein (HDL) < 40 mg/dL (1,04 mmol/L) pada pria dan < 50 mg/dL (1,30 mmol/L) pada wanita; d. Dalam pengobatan antilipidemic. 18. Umur : ditentukan berdasarkan tanggal, bulan, dan tahun lahir hingga saat masuk rumah sakit berdasarkan kartu tanda penduduk (KTP) atau yang tercatat di dalam rekam medis pasien. Bila tanggal lahir tidak diketahui digunakan tanggal 31 Desember pada tahun dimana terjadi peristiwa penting. Umur dikatakan meingkatkan risiko kelainan kardiovaskular adalah umur >45 tahun pada pria dan >55 tahun pada wanita. 19. Jenis kelamin : ditentukan berdasarkan jenis kelamin yang tercantum dalam kartu tanda penduduk. 20. PaO2 : tekanan parsial oksigen plasma arteri yang diambil dari hasil analisa gas darah dan dinyatakan dalam satuan mmHg. 21. Kadar albumin : nilai albumin dari kimia darah vena saat pasien pertama kali datang dan dinyatakan dalam g/dL. 22. Gula darah : kadar gula darah dari kimia darah vena saat pasien pertama kali datang dan dinyatakan dalam mg/dL. 23. Hemoglobin serum : merupakan protein sel darah merah yang membawa oksigen, yang diperiksa dengan teknik photometrik dari sampel darah vena dan dinyatakan dalam mg/dL. 24. Leukosit serum : sel darah berinti yang disebut juga sel darah putih yang berfungsi dalam pertahanan tubuh yang diperiksa dari darah vena dan dinyatakan dalam µL. 4.5 Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah dari darah kapiler ujung jari tangan atau kaki, dimana kadar laktat diukur dengan metode kuantitatif menggunakan Accutrend Lactate Meter. 4.6 Instrumen Penelitian Adapun instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pengukur laktat otomatis yaitu Accutrend Lactate Meter. Alat ini memiliki koefesien variasi 4,3%. Adapun instrumen lain yang dipergunakan adalah rekam medis pasien, hasil pemeriksaan laboratorium pasien, tensimeter air raksa Reister, stetoskop dan lembar pengumpul data. 4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Tata cara penelitian Kepada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi atau pihak keluarga yang bertanggung jawab diberikan informasi mengenai penelitian ini, termasuk mengenai keuntungan dan kerugiannya, bila menyetujui maka pasien atau pihak keluarga yang bertanggung jawab diminta untuk menandatangani formulir yang telah disediakan. Selanjutnya semua sampel penelitian dikelola sesuai dengan prosedur. Penanganan pasien IMA dilakukan sesuai dengan Pedoman Terapi Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar. Data diperoleh dari catatan medis penderita berupa nama, nomer rekam medis, diagnosis, hasil laboratorium, mortalitas 30 hari paska IMA di dalam rumah sakit. Dan untuk mortalitas 30 hari paska IMA yang terjadi di luar rumah sakit didapatkan dengan menghubungi pertelepon pasien atau anggota keluarganya. Pengukuran kadar laktat dilakukan dengan menggunakan Accutrend lactate meter, pengukuran dilakukan saat pasien masuk rumah sakit, dan 2 jam setelah perawatan. Hasil pemeriksaan dikumpulkan oleh peneliti dan selanjutnya dilakukan analisis. 4.7.2 Prosedur pengumpulan data Pasien memenuhi kriteria penelitian dan sudah menandatangani formulir persetujuan dilakukan evalusi klinis. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, pemeriksaan rontgen, dan pasien diminta memberi keterangan untuk mengisi lembar pengumpulan data. Pemeriksaan laktat dari darah kapiler dengan menggunakan Accutrend lactate meter pada saat pasien masuk rumah sakit dan 2 jam setelah perawatan. Sampel darah kapiler 15-50 µL diletakkan pada area aplikasi pada tes strip, dimasukkan ke chamber flap dan ditutup. Sampel diambil dari ujung jari tangan atau kaki yang tidak terpasang infus pada tempat yang sama. Sampel darah akan mengalami reaksi enzimatik dengan pembentukan warna. Jumlah warna yang dihasilkan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi laktat. Intensitas warna diukur dengan iluminasi area aplikasi dari bawah dengan menggunakan LED . Intensitas dari cahaya yang direfleksikan diukur dengan detektor (reflectance photometry) . Nilai yang terukur ditentukan oleh kekuatan sinyal dan cahaya yang direfleksikan. Hasil akan tertera pada alat dan secara langsung tersimpan ke dalam memori. 4.7.3 Alur penelitian Pasien nyeri dada yang masuk ke UGD RSUP Sanglah didiagnosis sebagai IMA berdasarkan klinis dan data penunjang dipergunakan sebagai populasi terjangkau. Dari populasi terjangkau kemudian dievaluasi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi untuk mendapatkan eligible study subject. Dari populasi terjangkau diambil sampel secara konsekutif sampai dengan jumlah sampel yang dibutuhkan. Pada pasien ini dilakukan pemeriksan laboratorium dan pemeriksaan kadar laktat dengan alat pengukur kadar laktat Accutrend lactate meter. Hasil pemeriksaan dikumpulkan oleh peneliti dan selanjutnya dilakukan analisis. Populasi Target Pasien IMA Populasi Terjangkau Semua penderita IMA yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi eligible study subject Lembar pengumpulan data Kadar laktat pertama kali di UGD dan 2 jam setelah perawatan Mortalitas 30 hari paska IMA \ Analisis Data 4.3 Gambar Alur Penelitian 4.8. Analisis Data Analisis data dilakukan dalam 3 tahap, pertama dilakukan analisis univariat, kedua dilakukan analisis bivariat dan kemudian multivariat. 1. Analisis univariat, bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek penelitian dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi. 2. Analisis kurva ROC. Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan cut of point terbaik untuk menyatakan hiperlaktasemia. Pada analisis ini kadar laktat akan menjadi variabel kategorikal, dan mortalitas sebagai refference variabel. Kemudian akan terbentuk kurva ROC yang terdiri dari sumbu X dan Y. Sumbu X adalah 1-spesifisitas, dan sumbu Y adalah sensitivitas. Cut of point terbaik adalah nilai hiperlaktasemia tertentu yang menghasilkan nilai akurasi tertinggi sebagai prediktor mortalitas. 3. Analisis bivariat, bertujuan untuk mengetahui pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel tergantung. Variabel bebas pada penelitian ini adalah hiperlaktasemia. Variabel tergantung adalah mortalitas. Selain pengaruh hiperlaktasemia terhadap mortalitas secara keseluruhan, analisi bivariat juga dilakukan untuk menilai pengaruh hiperlaktasemia terhadap masing-masing subvariabel dari mortalitas. Hasil analisis bivariat ditampilkan menggunakan grafik estimasi survival Kaplan-Meier kemudian dinilai perbedaan median time dan probabilitas survival berdasarkan variabel bebas. Uji statistik yang digunakan pada analisis bivariat adalah Logrank test. Pertimbangan penggunaan metode Kaplan-Meier karena pada penelitian ini terdapat variabel time (waktu), event dan sensor. Selain itu keuntungan penggunaan analisis Kaplan-Meier pada subjek penelitian yang datanya dianalisis sesuai dengan waktu aslinya adalah menghasilkan perhitungan probabilitas survival yang lebih akurat (Kleinbaum and Klein, 2005). 4. Analisis multivariat bertujuan untuk menganalisis apakah hiperlaktasemia merupakan prediktor independen terjadinya mortalitas dengan mengontrol variabel lain yang diduga sebagai confounder. Uji statistik yang digunakan pada analisis multivariat adalah Coxregression atau Cox Proportional Hazard Model. Penggunaan uji statistik ini didasari karena hazard rasio yang dihasilkan diharapkan berasal dari perbandingan kelompok pajanan yang tidak berubah (konstan) sepanjang waktu atau dikenal dengan istilah proportional hazard assumption. Untuk mengetahui apakah proportional hazard assumption sudah terpenuhi atau belum maka sebelum masuk ke dalam model regresi Cox, pengaruh variabel bebas utama di uji proportional hazards assumption (Global test). Bila nilai p > 0,05 maka proportional hazard assumption terpenuhi dan bila nilai p ≤ 0,05 maka proportional hazard assumption tidak terpenuhi. Bila proportional hazard assumption tidak terpenuhi maka terlebih dahulu dilakukan stratifikasi berdasarkan waktu (Kleinbaum and Klein, 2005). Selanjutnya dilakukan penilaian variabel yang diduga memiliki efek confounding. Dalam metode statistik penilaian confounding dilakukan dengan menilai perubahan hazard ratio (HR) antara model dasar dengan sesudah variabel tersebut dikeluarkan dari model multivariat. Semua variabel yang diduga sebagai confounding yang memiliki nilai p < 0,25 berdasarkan uji Logrank test dimasukkan kedalam model. Variabel confounding kemudian dikeluarkan satu per satu dimulai dari nila p yang tertinggi. Perubahan HR lebih dari atau sama dengan 10% maka variabel tersebut merupakan confounding dan harus tetap dimasukkan kedalam model dan bila kurang dari 10% maka variabel tersebut bukan sebagai perancu dan dikeluarkan dari model. BAB V HASIL PENELITIAN Selama periode bulan November 2014 sampai dengan Februari 2015, telah dilakukan studi observasional dengan rancangan kohort prospektif, yang bertempat di RSUP Sanglah-Denpasar. Penelitian ini dimulai setelah mendapat persetujuan dari unit penelitian dan pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dengan surat Kelaikan Etik (Ethical Clearance) dan surat ijin penelitian dari Direktur Sumber Daya manusia (SDM) dan Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar. Sampel dalam penelitian ini adalah penderita IMA baik STEMI maupun NSTEMI yang memenuhi kriteria inklusi yang diambil secara consecutive sampling dari populasi penelitian. Sebanyak 121 pasien IMA dari minimal 118 sampel menurut perhitungan jumlah sampel yang diikutkan dan menjalani perawatan di UPIJ RSUP Sanglah Denpasar, dilakukan pemeriksaan laktat dari darah kapiler dengan menggunakan Accutrend lactate meter pada saat pasien masuk rumah sakit dan 2 jam setelah perawatan. Selama 30 hari kedepan dari mulai diagnosis pasien diikuti untuk mengetahui adanya mortalitas. Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: kadar laktat sebagai variabel bebas, mortalitas dalam 30 hari sebagai variabel tergantung. Sampel Penelitian 37; 31% 84; 69% STEMI NSTEMI Gambar 5.1 Grafik Jumlah Sampel Penelitian Penderita IMA yang dilibatkan dalam penelitian ini yaitu 84 orang pasien STEMI dan 37 orang pasien NSTEMI seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.1 di atas. Pasien dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok dengan hiperlaktasemia dan kelompok tanpa hiperlaktasemia. Dimana cutt of point dalam menyatakan ada tidaknya hiperlaktasemia dilakukan dengan membuat kurva ROC. Hasil analisis deskriptif populasi penelitian dan kurve ROC akan ditunjukkan pada tabel dan gambar berikut: 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Demografi, Presentasi Klinis dan Terapi Reperfusi Karakteristik Demografi Laki-laki Perempuan Umur (tahun), rerata ± SD Karakteristik saat datang Onset nyeri dada ≤12 jam >12 jam Diagnosis STEMI NSTEMI Killip I II III IV Terapi reperfusi Trombolitik Ya Tidak PCI Ya Tidak Total (n=121) Hiperlaktasemia Ya (n=27) Tidak (n=94) 103 (85,12%) 18 (14,88%) 59,07±12,14 20 (74,07%) 7 (25,93%) 60,59±12,93 83 (88,30%) 11 (11,70%) 58,64±11,94 86 (71,07%) 35 (28,93%) 19 (70,37%) 8 (29,63%) 67 (71,28%) 27 (28,72%) 84 (69,42%) 37 (30,58%) 17 (62,96%) 10 (37,04%) 67 (71,28%) 27 (28,72%) 79 (65,29%) 17 (14,05%) 8 (6,61%) 17 (14,05%) 9 (33,33%) 3 (11,11%) 1 (3,70%) 14 (51,85%) 70 (74,47%) 14 (14,89%) 7 (7,45%) 3 (3,19%) 47 (38,84%) 74 (61,16%) 4 (14,81%) 23 (85,19%) 43 (45,74%) 51 (54,26%) 1 (0,83%) 120 (99,17%) 1 (3,70%) 26 (96,30%) 0 (0,00%) 94 (100,00%) Tabel 5.2 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Laboratorium Karakteristik Total (n=121) Hiperlaktasemia Ya (n=27) Tidak (n=94) WBC (µL), rerata ± SD Hemoglobin (mg/dL), rerata ± SD Albumin (g/dL), rerata ± SD Gula darah sewaktu (mg/dL), rerata ± SD pO2 (mmHg), rerata ± SD 12,96±4,55 14,03±2,24 13,45±4,32 13,37±2,98 12,82±4,62 14,22±1,96 3,75±0,47 171,20±79,15 3,62±0,59 166,38±73,64 3,78±0,43 172,58±80,98 135,95±36,01 125,85±41,56 138,85±33,94 Tabel 5.3 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Faktor Risiko Kradiovaskular Karakteristik Riwayat keluarga Ya Tidak Dislipidemia Ya Tidak Hipertensi Ya Tidak Diabetes Ya Tidak Merokok Ya Tidak Total (n=121) Hiperlaktasemia Ya (n=27) Tidak (n=94) 11 (9,09%) 110 (90,91%) 3 (11,11%) 24 (88,89%) 8 (8,51%) 86 (91,94%) 60 (49,59%) 61 (50,41%) 14 (51,85%) 13 (48,15%) 46 (48,94%) 48 (51,06%) 54 (44,63%) 67 (55,37%) 11 (40,74%) 16 (59,26%) 43 (45,74%) 51 (54,26%) 36 (29,75%) 85 (70,25%) 6 (22,22%) 21 (77,78%) 30 (31,91%) 64 (68,09%) 69 (57,02%) 52 (42,98%) 13 (48,15%) 14 (51,85%) 56 (59,57%) 38 (40,43%) 5.2 Analisis Kurva ROC Batas nilai untuk menentukan hiperlaktasemia menggunakan data yang dikumpulkan dari penelitian ini dengan cara membuat kurva ROC. 1.00 0.75 0.50 0.00 0.25 Sensitivity 0.00 0.25 0.50 1 - Specificity 0.75 1.00 Area under ROC curve = 0.8425 Gambar 5.2 Kurva ROC dalam Menentukan Cutt of Point Hiperlaktasemia Berdasarkan hasil analisis kurva ROC, didapatkan nilai cutt of point terbaik dalam menyatakan hiperlaktasemia untuk memprediksi adanya luaran yang berupa mortalitas dan didapatkan hubungan optimal baik dari segi sensitivitas maupun spesifisitas adalah pada kadar laktat 4,4 mmol/L. Area Under Curve (AUC) yaitu 0,8425, standard error 0,0418, (95% CI = 0,76059-0,92442). Karakteristik Kadar Laktat 27; 22% Hiperlaktasemia (+) 94; 78% Hiperlaktasemia (-) Gambar 5.3 Grafik Populasi Sampel Berdasarkan Kadar Laktat Dengan menggunakan nilai cutt of point 4,4 mmol/L maka didapatkan sebanyak 27 pasien dengan hiperlaktasemia, dan 94 pasien tanpa hiperlaktasemia. Kadar laktat yang merupakan skala numerik kemudian dirubah menjadi skala nominal dengan dua kategori yaitu hiperlaktasemia dan tidak hiperlaktasemia. 5.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA Untuk mengetahui pengaruh hiperlaktasemia terhadap mortalitas dalam 30 hari paska IMA, maka dilakukan analisis bivariat. Metode analisis yang digunakan adalah metode estimasi survival dari Kaplan-Meier yang disajikan dalam bentuk grafik estimasi Kaplan-Meier. 0.75 1.00 Grafik Kaplan Meier Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari paska IMA 99% 98% 97% 96% 95% 94% 93% P<0,001 78% 67% 0.50 59% 52% 48% 44% 0.00 0.25 41% 0 10 20 30 Hari Normal Hiperlaktasemia Gambar 5.4 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Mortalitas 30 hari Paska IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia Pada Gambar 5.4 grafik estimasi survival dibagi menjadi 2 kelompok kadar laktat yaitu kelompok hiperlaktasemia dan tanpa hiperlaktasemia. 100 87 50 Hiperlaktasemia (-) Hiperlaktasemia (+) 7 16 0 Mortalitas (+) 11 Mortalitas (-) Gambar 5.5 Grafik Karakteristik Mortalitas Berdasarkan Kadar Laktat Dari 121 kasus IMA yang diamati selama penelitian, diketahui sebesar 23 pasien mengalami mortalitas, 16 pasien diantaranya mengalami hiperlaktasemia, sedangkan 7 pasien tanpa hiperlaktasemia. Terlihat bahwa pasien yang mengalami hiperlaktasemia lebih banyak yang mengalami event dari pada yang tidak. Akan tetapi narasi data diatas belum memperhitungkan waktu pengamatan. Pada pasien dengan hiperlaktasemia probabilitas survival pada hari pertama sebesar 0,78, sedangkan pasien tanpa hiperlaktasemia sebesar 1,00. Hal ini berarti bahwa pada hari pertama 78% pasien dengan hiperlaktasemia dan 100% pasien tanpa hiperlaktasemia tidak mengalami kematian. Pada akhir pengamatan yaitu hari ke-30, probabilitas survival pasien hiperlaktasemia 0,41 dan tanpa hiperlaktasemia nilainya 0,93. Hal ini berarti bahwa pada akhir pengamatan 41% pasien hiperlaktasemia dan 93% pasien tanpa hiperlaktasemia tidak mengalami kematian. Setelah dilakukan Uji Logrank test didapatkan bahwa survival rate antara pasien dengan hiperlaktasemia dan tanpa hiperlaktasemia berbeda secara bermakna dengan nilai p sebesar <0,0001. Pengaruh independen hiperlaktasemia terhadap motalitas dilihat dengan nilai hazard ratio yaitu sebesar 14,5, dan ditunjukkan pada tabel 5.4 dibawah ini. Tabel 5.4 Hazard Ratio (HR) Terjadinya Mortalitas 30 hari Paska IMA dengan Hiperlaktasemia dan Tanpa Hiperlaktasemia Variabel Hiperlaktasemia Ya Tidak Jumlah mortalitas Jumlah orangwaktu IR HR 16 7 423 2681 0,038 0,003 14,5 Ref 95% CI 5,63941,640 Nilai p <0,0001 Risiko mortalitas 30 hari paska IMA jika ditemukan dengan hiperlaktasemia hampir 15 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa hiperlaktasemia. Perbedaan risiko tersebut bermakna secara statistik dengan p<0,0001. Nilai HR ini masih bersifat kasar dan belum mengontrol variabel lain yang dianggap sebagai perancu. 5.4 Pengaruh Hiperlaktasemia Terhadap Mortalitas 30 hari Paska IMA setelah Dikontrol dengan Variabel lain Variabel pada penelitian ini meliputi nilai hiperlaktasemia sebagai variabel bebas dan jenis kelamin, umur, onset nyeri dada, riwayat keluarga, dislipidemia, hipertensi, diabetes melitus, merokok, diagnosis, gula darah sewaktu, leukosit, hemoglobin, pO2, kadar albumin darah, streptokinase dan PCI sebagai variabel kendali. Variabel dengan skala data kategorikal dilakukan uji Chi Square. Variabel dengan skala data numerik diuji normalitasnya dengan Uji Normalitas Saphiro Wilk dan dinilai homogenitas varian antar kelompoknya. Variabel yang berdistribusi normal (p >0,05) dianalisis dengan uji independen t-test. Sedangkan variabel tidak berdistribusi normal (p < 0,05) dilakukan uji non parametrik (two group mean comparison test). Analisis multivariat yang digunakan untuk mengetahui pengaruh hiperlaktasemia terhadap mortalitas adalah Cox Proportional Hazard Model. Sebelumnya dilakukan pengujian apakah asumsi proportional hazard sudah terpenuhi pada variabel hiperlaktasemia dengan menggunakan uji global test. Hasil uji global test terhadap variabel hiperlaktasemia didapatkan nilai p sebesar 0,8484. Oleh karena nilai p lebih dari 0,05 maka dapat dikatakan bahwa asumsi proportional hazard untuk variabel hiperlaktasemia terpenuhi. Hal ini berarti hazard ratio yang dihasilkan berasal dari perbandingan kelompok pajanan yang tidak berubah (konstan) sepanjang waktu. Variabel yang dimasukkan dalam uji multivariat adalah variabel dengan nilai p<0,25. Semua variabel yang diduga sebagai confounding yang memiliki nilai p<0,25 dimasukkan kedalam model. Variabel dengan nilai p <0,25 yaitu jenis kelamin, kelas Killip, terapi trombolitik (streptokinase), PCI, kadar pO2, albumin, dan hemoglobin darah. Variabel ini ditunjukkan dalam tabel model dasar uji regresi cox dibawah ini. Tabel 5.5 Model Dasar Hasil Analisis Cox Proportional Hazards Regression Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA Variabel Hiperlaktasemia Jenis Kelamin Killip Trombolitik (Streptokinase) PCI pO2 Albumin Hemoglobin HR 3,47 0,38 2,74 0,16 0,89 0,99 1,51 0,84 CI 1,167-10,320 0,138-1,035 1,700-4,412 0,020-1,265 0,105-7,481 0,984-1,005 0,558-4,068 0,693-1,013 P 0,025 0,058 <0,001 0,082 0,913 0,316 0,419 0,068 Variabel confounding kemudian dikeluarkan satu per satu dimulai dari nilai p yang tertinggi. Apabila dalam perhitungan ditemukan adanya perubahan HR lebih dari atau sama dengan 10% maka variabel tersebut merupakan confounding dan harus tetap dimasukkan kedalam model dan bila kurang dari 10% maka variabel tersebut bukan sebagai perancu dan dikeluarkan dari model. Dari ketujuh variabel bebas yang dimasukkan kedalam model cox regresi, 3 variabel yaitu jenis kelamin, kelas Killip, dan hemoglobin menyebabkan perubahan HR lebih dari atau sama dengan 10%, namun nilai p yang ditunjukkan oleh variabel jenis kelamin memiliki nilai >0,05, sedangkan variabel kelas Killip dan hemoglobin memiliki nilai p < 0,05. Tabel 5.6 Model Akhir Hasil Analisis Cox Proportional Hazards Regression Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA Variabel Hiperlaktasemia Jenis kelamin Killip Hemoglobin HR 3,33 0,395 2,814 0,810 95% CI 1,084-10,210 0,143-1,094 1,786-4,435 0,672-0,978 P 0,036 0,074 <0,001 0,028 Berdasarkan model akhir analisis cox regresi, hiperlaktasemia terbukti sebagai prediktor terjadinya mortalitas 30 hari paska IMA. Pasien dengan hiperlaktasemia memiliki kemungkinan mortalitas 30 hari paska IMA yang lebih tinggi 3 kali dibandingkan tanpa hiperlaktasemia. Pada model akhir ini juga didapatkan bahwa variabel kelas Killip dan kadar hemoglobin darah merupakan variabel perancu pengaruh laktat terhadap mortalitas. Setelah diketahui model akhir dari HR, maka penting untuk diketahui nilai R square atau koefisien determinasi untuk mengetahui seberapa besar variabel tergantung (mortalitas) dipengaruhi oleh variabel yang ada di dalam model. Nilai R square yang dihitung disini adalah Poisson R square karena dalam Cox Proportional Hazzards Regression tidak tersedia hasil perhitungan R square. Nilai R square berdasarkan variabel hiperlaktasemia, kelas Killip dan kadar hemoglobin darah sebesar 41,4%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel independent hiperlaktasemia, kelas Killip dan kadar hemoglobin darah menyebabkan kematian 30 hari paska IMA sebesar 41,4%, sedangkan 58,6% disebabkan oleh variabel lainnya. BAB VI PEMBAHASAN Selama periode bulan November 2014 sampai Februari 2015, dilakukan penelitian observasional dengan rancangan kohort prospektif, yang bertempat di RSUP Sanglah Denpasar. Temuan yang penting dari penelitian ini adalah kadar laktat sebagai penanda derajat hipoperfusi regional sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska IMA. Sindrom koroner akut memiliki beberapa kesamaan mekanisme patofisiologi, namun setiap kondisi memiliki perbedaan klinis, elektrokardiografi dan perubahan enzim serta menunjukkan luaran kardiovaskular yang berbeda dari ringan hingga berat (Anderson dkk, 2011). Pengukuran risiko berdasarkan karakteristik klinis cukup sulit dan sering tidak akurat. Hampir sepertiga kasus IMA tidak menunjukkan gejala nyeri yang tipikal. Kriteria EKG seperti ST elevasi memiliki spesifisitas yang tinggi namun sensitivitas yang rendah untuk menilai adanya infark. Kurang lebih tiga perempat pasien dengan sindrom koroner akut tidak memiliki gambaran ST elevasi. Nilai troponin saat masuk rumah sakit memiliki nilai prediktor yang buruk karena dibutuhkan waktu keluarnya biomarker ini untuk keluar dari kardiomiosit (Anderson dkk,2011). Beberapa penilaian risiko telah digunakan dalam praktek klinis. Skor Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) didapatkan dari populasi penelitian klinis, sedangkan Global Registry of Acute Cardiac Events (GRACE) didapatkan dari data internasional (Anderson dkk, 2011). Usia, deviasi segmen ST dan status biomarker merupakan komponen yang terdapat pada TIMI dan GRACE. GRACE memiliki kelebihan karena terdapat variabel hemodinamik dan disfungsi ginjal. Pemeriksaan laktat menggambarkan derajat perfusi jaringan sehingga juga menggambarkan variabel hemodinamik, meskipun aplikasi klinis belum secara luas digunakan (Attana dkk, 2012). Akibat utama dari iskemik miokard adalah disfungsi metabolik mitokondria oleh karena penurunan penghantaran oksigen ke jaringan sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan ATP dari oksidasi posforilasi. Penurunan pembentukan ATP secara aerobik akan menyebakan peningkatan proses glikolisis dan peningkatan ambilan glukosa oleh mitokondria dan pemecahan glikogen. Tidak seperti kondisi jantung dengan aliran darah normal, selama iskemia pyruvate yang diproduksi melalui proses glikolisis tidak sepenuhnya dapat dioksidasi di mitokondria, dan terjadi konversi pyruvate menjadi laktat di sitosol dalam kecepatan yang tinggi sehingga mengakibatkan peningkatan laktat jaringan (Stanley, 2001). Hiperlaktasemia merupakan suatu penanda stress metabolik dan derajat keparahannya yang dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Mengetahui lebih awal adanya hiperlaktasemia sangat esensial dalam penanganan awal untuk memperbaiki hemodinamik dalam menurunkan mortalitas (Backer, 2003). Peran klinis laktat pada infark miokard akut (IMA) tidak sepenuhnya diketahui. Henning dkk pada tahun 1982 meneliti pada pasien IMA, dikatakan hiperlaktasemia berhubungan dengan prognosis yang buruk dimana tidak ada pasien dengan kadar laktat >4 mmol/L bertahan dalam >12 jam tanpa memperhatikan stroke volume, tekanan pengisian ventrikel kiri, atau cardiac work (Attana dkk, 2012). Salah satu studi diskriptif mengenai korelasi klinis saat masuk rumah sakit laktat arteri pada pasien STEMI didapatkan bahwa gangguan hemodinamik dan buruknya thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow berhubungan dengan peningkatan kadar laktat. Pada studi ini mortalitas dalam 30 hari didapatkan 3,2 % pada mereka dengan kadar laktat tinggi ≥ 1,8 mmol/L (Vermeulen dkk, 2010). Vermeulen dkk menyatakan bahwa pada pasien STEMI dengan kadar laktat yang lebih tinggi dari normal berhubungan dengan peningkatan angka mortalitas dalam 30 hari dan memperburuk outcome percutaneus coronary intervention (PCI). Selain itu studi oleh Lazzeri dkk terhadap 253 pasien STEMI non diabetik yang dilakukan PCI, menunjukkan kadar laktat saat masuk rumah sakit secara independent sebagai prediktor angka mortalitas di unit perawatan jantung intensif. Pada studi kohort dalam jumlah besar terhadap 807 pasien STEMI non diabetes yang dilakukan PCI mendapatkan hasil yang hampir sama dimana kadar laktat merupakan marker prognosis terhadap mortalitas awal pasien dengan kelas Killip yang berat (Attana dkk, 2012). Menilai kadar laktat miokardium secara langsung sangat tidak dimungkinkan pada manusia, karena kesulitan dalam mempelajari pola metabolik miokardium manusia disamping itu kesulitan dalam mengetahui derajat iskemia dari waktu ke waktu. Apstein dkk meneliti mengenai pola produksi laktat pada otot jantung binatang coba tikus dan kelinci yang dibuat iskemia dimana didapatkan kadar laktat meningkat dengan cepat dalam 5-25 menit setelah iskemia dan kemudian akan mengalami penurunan secara bertahap (Apstein dkk, 1979). Studi di Canadian University mengukur kadar laktat vena pada pasien dengan infark miokard mendapatkan bahwa dua jam setelah munculnya keluhan kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan kadar laktat . Pemeriksaan laktat secara serial atau laktat clearance secara klinis lebih reliable sebagai petunjuk terhadap berat dan lamanya hipoksia jaringan dan juga sebagai sarana prognosis. Peran laktat clearance pada kelainan jantung akut sejauh ini belum banyak diketahui karena terbatasnya data yang ada. Peningkatan laktat yang persisten akan menunjukkan adanya hipoksia jaringan yang persisten pula (Attana dkk, 2012). Scott dkk menilai peran laktat clearance 2 jam sebagai prediktor negatif pasien dengan insufisiensi kardiorespirasi, dimana didapatkan bahwa laktat clearance 2 jam > 15% merupakan prediktor negatif yang kuat terhadap outcome pasien (p<0,001) dengan sensitivitas 86% (95% confidence interval (CI)=61%92%) dan spesifisitas 91% (95% CI=82%-96%), dengan nilai prediktif positif 80% (95% CI=61%-92%) dan nilai prediktif negatif 92% (95% CI= 84%-98%), sehingga laktat clearance 2 jam dapat dipergunakan untuk menilai outcome negatif pasien dan juga untuk memberikan terapi yang lebih agresif (Scoot dkk, 2010). Pemeriksaan laktat melalui laboratorium membutuhkan waktu untuk penghantaran dan pemeriksaannya. Durasi antara pengambilan sampel dengan analisis di laboratorium sentral mengakibatkan nilai yang lebih tinggi dan kesalahan interpretasi. Saat ini sudah tersedia alat analisis yang lebih cepat dan dapat dilakukan di samping pasien, yang disebut dengan point of care analyzer, contohnya accutrend lactate meter (Vermeulen dkk, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Moore dkk mengenai peran prediktor pemeriksaan laktat darah lengkap dengan menggunakan alat pemeriksa laktat portable terhadap mortalitas pasien human immunodeficiency virus dengan sepsis didapatkan mortalitas rumah sakit sebesar 25,7% dan mortalitas 30 hari di dalam dan luar rumah sakit sebesar 41,6%. Kadar optimal laktat dalam memprediksi mortalitas rumah sakit adalah ≥ 4,0 mmol/L (sensitivitas 88,3%; spesifisitas 71,2%) dimana 50% pasien meninggal di rumah sakit lebih sering pada mereka dengan kadar laktat ≥ 4,0 mmol/L (odds ratio 12,3; 95% confidence interval (CI), 3,5-48,9; P < 0,001) (Moore dkk, 2008). 6.1 Karakteristik Subyek Penelitian Selama penelitian, 121 penderita IMA yang memenuhi kriteria inklusi diambil dengan cara consecutive sampling dari populasi penelitian. Pada penelitian ini jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (85,12% Vs 14,88%), namun kematian yang terjadi pada wanita ditemukan pada 8 orang (44,4%) dari 18 wanita sedangkan pada pria ditemukan 15 ( 14,6%) kematian dari 103 orang pasien IMA. Mortalitas IMA pada wanita lebih banyak dibandingkan pada pria dapat diakibatkan oleh karena wanita biasanya lebih tua dibandingkan dengan pria pada saat munculnya gejala, lebih sering menderita diabetes dan kurang mendapatkan terapi yang agresif dibandingkan dengan pria. Hal ini dimungkinkan karena pasien wanita datang ke rumah sakit sudah dengan onset yang terlambat akibat keluhan yang sering tidak spesifik dan juga karena peningkatan angka kejadian diabetes pada wanita . Wanita lebih sering mengalami nyeri dada atipikal sehingga datang terlambat ke rumah sakit dan tidak memungkinkan untuk dilakukan trombolitik (Shabbir dkk, 2008, Deljanin dkk, 2007) Dari beberapa studi yang ada sebelumnya, didapatkan estrogen sebagai proteksi terhadap proses aterosklerosis. Fisiologi estrogen pada wanita sebelum menopause akan meningkatkan high density lipoprotein (HDL) dan menurunkan low density lipoprotein (LDL). Efek lain dari estrogen adalah dalam kemampuannya sebagai antioksidan, antiplatelet dan meningkatkan vasodilatasi dari dinding pembuluh darah (Rhee dkk, 2012). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa rerata umur penderita IMA yang mengalami hiperlaktasemia tidak jauh berbeda (60,59 tahun vs 58,64 tahun) dibandingkan dengan kelompok tanpa hiperlaktasemia. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Lazzeri,dkk (2010) dan Vermeulen, dkk (2010) pasien dengan hiperlaktasemia maupun tidak memiliki rerata umur yang tidak berbeda bermakna. Pada penelitian Lazzeri pasien dengan kadar laktat ≤1,3 mmol/L, 1,3-1,9 mmol/L, dan >1,9 mmol/L masing-masing memiliki rata-rata umur 66,5, 67,5 tahun, dan 71 tahun. Pada penelitian Vermeulen pasien dengan kadar laktat <1,8 mmol/L memiliki rerata umur 63 tahun dibandingkan pasien dengan laktat ≥1,8 mmol/L memiliki rerata umur 64 tahun (Lazzeri dkk, 2010). Disfungsi endotel terjadi seiring dengan bertambahnya usia. Pembuluh darah mengalami kekakuan dan penurunan elastisitas. Kemampuan pembuluh darah untuk memproduksi oksida nitrat (NO) yang berperan dalam vasodilatasi juga akan semakin menurun (Irmalita dkk, 2014). Semakin tua angka kejadian gagal jantung, gangguan hemodinamik juga semakin meningkat. Erne P dkk menyatakan terapi awal dengan anti platelet, beta bloker, penyekat ACE dan reperfusi memiliki manfaat menurunkan angka mortalitas pada IMA, namun penggunaannya pada orang tua lebih terbatas (Shabbir dkk, 2008). Pada penelitian didapatkan pasien dengan onset nyeri dada ≤ 12 jam sebanyak 86 orang (71,07%) dan > 12 jam sebanyak 35 orang (28,93%), dimana pasien dengan hiperlaktasemia didapatkan lebih banyak dengan onset nyeri dada ≤ 12 jam (70,37%) dibandingkan > 12 jam (29,63%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena pola produksi laktat. Apstein dkk meneliti mengenai pola produksi laktat pada otot jantung binatang coba tikus dan kelinci yang dibuat iskemia dimana didapatkan kadar laktat meningkat dengan cepat dalam 5-25 menit setelah iskemia dan kemudian akan mengalami penurunan secara bertahap (Apstein dkk, 1979). Pada penelitian ini didapatkan pasien dengan Kelas Killip I, II, III, dan IV berturut-turut adalah 65,29%, 14,05%, 6,61% dan 14,05%. Hiperlaktasemia yang ditemukan pada pasien dengan Killip I, II, III dan IV berturut-turut adalah 33,33%, 11,11%, 3,70%, dan 51,85%. Pasien dengan Kelas Killip yang lebih berat III dan IV didapatkan dengan hiperlaktasemia sebesar 55,55%. Studi pada anjing didapatkan bahwa peningkatan laktat arteri pada kondisi syok diakibatkan oleh peningkatan produksi yang menyerupai infus epinefrin. Stimulasi neuroendokrin dan kardiovaskular akan mengakibatkan peningkatan pelepasan epinefrin dimana keadaan ini akan merangsang reseptor adrenergik dan meningkatkan produksi AMP. Hal ini akan mengakibatkan stimulasi aktivitas Na+, K+ ATPase dan glikogenolisis. Peningkatan aktivitas pompa Na+, K+ meningkatkan glikolisis aerobik yang dipertahankan oleh aktivitas glycogenderived glucose-6-phosphate. Pembentukan ATP yang cepat untuk energi dari glikogen menyebabkan terjadinya hiperlaktasemia (James dkk, 1999). Pasien dengan hiperlaktasemia memiliki kadar rerata leukosit lebih tinggi dibandingkan tanpa hiperlaktasemia. Rerata kadar leukosit pada pasien dengan hiperlaktasemia 13,45±4,32 dan pada pasien tanpa hiperlaktasemia 12,82±4,62. Peningkatan leukosit berhubungan dengan penurunan aliran darah epikardial dan perfusi miokardium, thromboresistance (meningkatkan thrombus burden) dan peningkatan insiden gagal jantung baru. Peningkatan kadar leukosit juga dikatakan berhubungan dengan peningkatan resistensi terhadap terapi trombolisis akibat gangguan mikrosirkulasi, hiperkoagulabilitas, fenomena no-reflow, kardiotoksisitas indirek oleh sitokin proinflamasi, merangsang ischemiareperfusion injury dan memperberat IMA. Hal ini diperkirakan menyebabkan peningkatan angka mortalitas pasien IMA dengan leukositosis (Hanratty dkk, 2000, Núñez dkk, 2005). Barron dkk mendapatkan bahwa peningkatan kadar leukosit meningkatkan mortalitas IMA sebesar (0% pada kadar leukosit 0-5 x 109/L, 4.9% pada kadar leukosit 5-10 x109/L, 3.8% pada kadar leukosit 10-15 x 109/L, dan 10.4% pada kadar leukosit >15 x 109/L; P=0.03) (Hanratty dkk, 2000). Pada penelitian ini didapatkan pasien yang mengalami hiperlaktasemia memiliki kadar rerata hemoglobin darah lebih rendah dibandingkan dengan pasien tanpa hiperlaktasemia sebesar 13,37 ± 2,98 berbanding 14,22 ± 1,96. Angka mortalitas akan meningkat dengan adanya anemia, sesuai dengan penelitian Nikolsky dkk dimana angka mortalitas 30 hari pasien IMA dengan anemia berbanding tanpa anemia sebesar 5,8% vs 1,5% dengan nilai P<0,0001 (Nikolsky dkk, 2004). Zongbin Li dkk juga mendapatkan anemia sebagai faktor independen terjadinya mortalitas 30 hari IMA dengan (OR 2,893, 95% CI 1,483-5,642) (Li dkk, 2012). Pada anemia akan terjadi hiperlaktasemia melalui mekanisme peningkatan produksi akibat peningkatan kecepatan glikolisis sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara pembentukan ATP dan AMP dan juga diakibatkan oleh penurunan clearance (Phypers dan Pierce, 2006). Kadar albumin pada penelitian ini didapatkan lebih rendah pada pasien dengan hiperlaktasemia dibandingkan dengan yang tidak dengan rerata berturutturut 3,62±0,59 berbanding 3,78±0,43. Menurut Oduncu dkk mortalitas rumah sakit didapatkan lebih tinggi pada pasien dengan kadar albumin <3,5 g/dl dibandingkan dengan yang tidak yaitu sebesar 9,4% vs 2%. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Robert dkk. Hipoalbuminemia berhubungan dengan status inflamasi, instabilitas plaque, hiperkoagulabilitas dan penurunan efikasi obat (Robert dkk). Tekanan parsial oksigen pada pasien dengan hiperlaktasemia didapatkan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak hiperlaktasemia dengan rerata 125,85±41,56 vs 138,85±33,94. Berbagai studi yang diawali oleh Pasteur pada abad ke 18 menunjukkan bahwa hipoksia akan mengakibatkan produksi asam laktat. Araki 1891 melaporkan peningkatan kadar laktat pada darah dan urine binatang yang mengalami hipoksia. Fletcher dan Hopkins 1907 menemukan akumulasi laktat secara in vitro baik pada otot amfibi yang anoxia atau mengalami hipoksia berkepanjangan. Hill dkk 1924 mengeluarkan suatu teori peningkatan asam laktat saat exercise akibat dari kekurangan oksigen yang diperlukan untuk kontraksi otot. Tekanan oksigen 0.5 torr atau lebih rendah akan menghambat hantaran oksigen menuju sitokrom yang akan mengakibatkan terhambatnya oksidasi posforilasi dimana keadaan ini disebut dengan disoksia (Gladden, 2004). Sebanyak 49,59 % pasien IMA menderita dislipidemia dari riwayat ataupun berdasarkan laboratorium yang didapat saat dirawat. Dibandingkan dengan studi lain hasil ini lebih kecil yaitu 72% pada CHA, 76 % pada MRFIT, 87% pada FHS, dan hampir sama sebesar 47 % pada EHS (Bennett,dkk.,2008). Sebanyak 51,85% pasien dengan hiperlaktasemia menderita dislipidemia, dibandingkan 48,15% pasien hiperlaktasemia tanpa dislipidemia. Hipertensi merupakan faktor risiko mayor terjadinya infark miokard. Hipertensi mempercepat terjadinya aterosklerosis dan menyebabkan stres hemodinamik. Pada penelitian ini didapatkan 44,63 % pasien IMA juga menderita hipertensi. Studi lain menunjukkan angka hipertensi pada IMA yaitu 88% pada CHA, 82% pada MRFIT, 83% pada FHS, dan 57,8% pada EHS. (Bennett, 2008). Penderita IMA yang mengalami hiperlaktasemia menderita hipertensi lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok tanpa hipertensi, dengan persentase 40,74% vs 59,26%. Pada penelitian didapatkan 29,75% pasien IMA memiliki faktor risiko diabetes melitus. Pasien IMA dengan hiperlaktasemia lebih sedikit menderita diabetes dibandingkan dengan yang tanpa diabetes (22,22% vs 59,26%). Studi lain menunjukkan angka diabetes pada pasien IMA yaitu 6% pada Chicago Heart Association Detection Project in Industry (CHA), 5% pada Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT), 4% pada Framingham Heart Study (FHS), and 22,9% pada European Heart Study (EHS) (Bennett dkk, 2008). Faktor risiko yang penting lainnya yaitu riwayat merokok. Dimana pada populasi penelitian ini didapatkan 57,02% penderita IMA merupakan perokok aktif lebih dari 6 bulan. Studi lain menunjukkan hasil yang hampir sama yaitu 55% pada CHA, 50% pada MRFIT, 64% pada FHS, dan 30,2% pada EHS. (Bennett dkk, 2008). Pasien hiperlaktasemia dan perokok sebesar 48,15% dibandingkan dengan pasien dengan hiperlaktasemia tanpa merokok sebesar 51,85%. Hal ini serupa dengan penelitian Vermeulen,dkk (2010), dimana pasien dengan kadar laktat tinggi memiliki persentase perokok lebih rendah. Hal ini akibat smoker’s paradox, dimana pasien perokok terkena IMA pada usia yang lebih muda (Vermeulen dkk, 2010). Pada penelitian ini didapatkan pasien dengan terapi trombolisis (streptokinase) sebesar 38,84% sedangkan yang tidak mendapatkan trombolisis (streptokinase) sebesar 61,16%. Pasien dengan hiperlaktasemia didapatkan dengan terapi trombolisis yang lebih rendah 14,81% dibandingkan dengan tidak diberikan trombolitik 85,19%. Pasien dengan PCI didapatkan sebesar 0,83% sedangkan yang tidak dilakukan PCI sebesar 99,17% dimana pasien yang hiperlaktasemia yang dilakukan PCI hanya 1 orang pasien sebesar 3,70% dan yang tidak 96,30%. Manfaat terapi reperfusi pada pasien IMA dalam menurunkan angka mortalitas sudah tidak diragukan lagi. Studi oleh Shabbir dkk terapi trombolisis memiliki manfaat yang sangat baik pada pasien IMA dimana pasien yang mendapatkan streptokinase meninggal (6,74%), sedangkan yang tidak (13,79%) (p=0,066) (Shabbir dkk, 2008). Studi DANAMI-2 didapatkan penurunan yang signifikan terhadap kombinasi angka kematian, infark berulang dan stroke setelah 30 hari sebesar (14,2% menjadi 8,5%, p<0,002) pada pasien yang dilakukan PCI (Werf dkk, 2003). Hiperlaktasemia pada pasien yang tidak dilakukan terapi reperfusi kemungkinan berhubungan dengan beratnya penyakit pada pasien yang tidak dilakukan terapi reperfusi. Pada pasien penyakit jantung iskemik, jumlah laktat yang dilepaskan miokardium berhubungan dengan beratnya penyakit arteri koroner (Vermeulen dkk, 2010). 6.2 Analisis Kurva ROC Studi ini tidak dirancang untuk menentukan cutt of point laktat. Nilai cutt of point laktat yang bertujuan untuk memprediksi luaran merupakan pertanyaan untuk mendapatkan hubungan yang optimal antara sensitivitas dan spesifisitas. Hal ini dengan mudah ditunjukkan dengan ROC. Nilai hiperlaktasemia yang didapat memiliki nilai akurasi tertinggi sebagai prediktor mortalitas. Tes dengan sensitivitas yang tinggi membawa risiko false positif yang banyak, dengan demikian akan terjadi suatu over-triage. Disisi lain jika tes digunakan untuk tujuan skrining atau sebagai bagian penilaian risiko multifaktorial mungkin dibutuhkan level tertentu over triage. Semakin tinggi cutt of point, nilai prediktif positif suatu tes akan semakin baik, dan risiko mendapatkan hasil false negative semakin besar (Kruse dkk, 2011) . Kebanyakan studi menggunakan cutt of point 2,0 mmol (Attana dkk, 2012). Pada studi ini cutt of point untuk hiperlaktasemia didapatkan dari kurva ROC, dimana didapatkan nilai 4,4 mmol/L sebagai cutt of point terbaik dalam menyatakan hiperlaktasemia. Setelah ditentukan cutt of point maka didapatkan 27 pasien (22,31%) IMA mengalami hiperlaktasemia, dan 94 (77,69%) pasien tanpa hiperlaktasemia. Nilai cut of point tersebut hampir sama dengan beberapa penelitian berikut. Jansen dkk tahun 2008 meneliti peran prognostik laktat darah terhadap tanda vital sebelum masuk rumah sakit didapatkan bahwa mortalitas secara signifikan meningkat pada pasien dengan kadar laktat 3,5 mmol/L atau lebih dibandingkan dengan yang lebih rendah (Jansen dkk, 2008). Jhamb dkk menyatakan dalam penelitiannya terhadap nilai laktat serum sebagai prediktor outcome pada pasien pediatri dengan syok septik dikatakan bahwa kadar laktat > 5mmol/l merupakan prediktor yang baik untuk kematian (Jhamb dkk, 2011). Henning dkk pada tahun 1982 meneliti pada pasien IMA, dikatakan hiperlaktasemia berhubungan dengan prognosis yang buruk dimana tidak ada pasien dengan kadar laktat >4 mmol/L bertahan dalam >12 jam tanpa memperhatikan stroke volume, tekanan pengisian ventrikel kiri, atau cardiac work (Attana dkk, 2012). Vermeulen dkk 2010 mendapatkan bahwa mortalitas pasien STEMI meningkat dengan peningkatan kadar laktat >4 mmol/L (Vermeulen dkk, 2010). Memuaskan atau tidaknya nilai AUC, dapat ditentukan secara klinis atau secara statistik. Nilai AUC yang didapatkan pada penelitian ini yaitu 84,25 % (80%-90%) memiliki kekuatan kuat, dengan standard error 0,0418, (95% CI = 0,76059-0,92442). 6.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska IMA Pada analisis bivariat pasien dengan hiperlaktasemia dan tanpa hiperlaktasemia berbeda dalam hal jenis kelamin, kelas Killip, terapi trombolitik (streptokinase), PCI, kadar pO2, albumin dan hemoglobin darah. Setelah analisis regresi, hiperlaktasemia terbukti sebagai faktor yang meningkatkan terjadinya mortalitas 30 hari paska IMA. Disamping itu didapatkan bahwa variabel kelas Killip dan hemoglobin sebagai variabel perancu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hiperlaktasemia sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska IMA dengan nilai hazard ratio sebesar 14,5 (HR = 14,5, 95% CI = 5,639 – 41,640, p < 0,0001). Artinya penderita IMA hiperlaktasemia memiliki risiko untuk mengalami mortalitas 30 hari paska IMA hampir 15 kali lipat lebih besar dari kelompok tidak hiperlaktasemia. Namun setelah dilakukan analisis multivariate maka didapatkan hiperlaktasemia terhadap mortalitas sebesar 3 kali pengaruh dibandingkan tidak hiperlaktasemia (HR = 3,33, 95% CI=1,084-10,210, p=0.036) dan pada penelitian ini didapatkan juga bahwa variabel kelas Killip (HR: 2,814, 95% CI: 1,7864,435; p <0,001) dan kadar hemoglobin darah (HR: 0,810, 95% CI: 0,672-0,978; p = 0,28) sebagai variabel perancu. Hiperlaktasemia telah diketahui sebagai penanda terhadap terjadinya stres metabolik dan tingginya kadar laktat ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas terutama pada pasien kondisi kritis (Lazzeri dkk, 2010). Oklusi mendadak cabang utama arteri koroner akan mengakibatkan perubahan keseimbangan metabolisme dari aerobik atau metabolisme mitokondria menjadi glikolisis anaerob dalam beberapa detik penurunan alirah darah arteri. Iskemik miokardium akan mempengaruhi metabolisme mitokondria sehingga akan mengakibatkan penurunan jumlah ATP akibat terganggunya proses posforilasi oksidasi. Penurunan jumlah ATP dari proses aerobik merangsang glikolisis dan peningkatan ambilan glukosa dan pemecahan glikogen. Penurunan ATP mengakibatkan hambatan pada Na+/K+-ATPase, sehingga terjadi peningkatan Na+ intrasel dan mengakibatkan pembengkakan sel. Gangguan pada mekanisme sistem transport pada sarkolema dan retikulum sarkoplasma mengakibatkan peningkatan Ca2+, menginduksi aktivasi protease dan menurunkan protein kontraktil. Piruvat merupakan senyawa yang tidak dapat langsung dioksidasi di mitokondria yang mengakibatkan produksi laktat, penurunan PH intrasel dan penurunan fungsi kontraktil (Burke dan Virmani, 2008). Asidosis laktat terjadi bila produksi laktat melebihi utilisasinya. Hipoksia dan hipoperfusi mengakibatkan penurunan ambilan laktat oleh hepar dan hepar menjadi organ yang memproduksi laktat. Asidosis yang berat juga dapat mengganggu ambilan laktat pada studi binatang (Fall dan Szerlip, 2005). Definisi asidosis laktat yang banyak dipergunakan akhir-akhir ini adalah laktat serum > 5 mmol/L dengan PH < 7,35 mmHg. Asidosis laktat biasanya akan terjadi pada pasien kritis. Tanda dan gejala yang terjadi biasanya bervariasi dan tidak spesifik namun dapat berupa hiperventilasi, hipotensi, takikardi dan gangguan status mental (Fall dan Szerlip, 2005). Asidosis laktat berhubungan dengan peningkatan anion gap. Jika anion gap cukup lebar > 35 meq/L maka dapat dipertimbangkan terjadinya asidosis laktat bila tidak ditemukan intoksikasi ethylene glikol dan metanol. Namun peran anion gap dalam diagnosis asidosis laktat masih dipertanyakan. Pada salah satu report disebutkan bahwa, 50% pasien dengan laktat serum 5 mmol/L - 9,9 mmol/L dimana nilai ini berhubungan dengan 80% mortalitas didapatkan anion gapnya <16 mmol/L. Oleh karena anion gap terutama dihasilkan dari protein negatif khususnya albumin dan kadar albumin yang rendah biasanya ditemukan pada pasien kritis, maka hal ini akan dapat menurunkan anion gap dan menutupi asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi. Anion gap yang dihitung seharusnya dinaikkan 2,5 mEq/L setiap penurunan 1 g/dL albumin pada kadar albumin < 4 g/dL. Dilain pihak asidosis laktat sering berhubungan dengan alkalosis respiratorik dan metabolik sehingga PH arteri tidak sensitif sebagai indikator asidosis laktat dimana PH bisa normal atau meningkat (Fall dan Szerlip, 2005). Stewart menggunakan pendekatan kimia dalam menilai status asam basa. Salah satu prinsip yang dikemukakan adalah H+ seperti juga darah (aquoeous solution) ditentukan oleh disosiasi H2O. Persamaan untuk menyatakan keseimbangan H2O adalah H2O ↔ H+ + OH-. Stewart menyatakan bahwa H+ (dapat juga dianggap sebagai PH) ditentukan oleh tiga variabel independent yaitu strong ion difference (SID), PCO2 dan konsentrasi asam lemah (terutama protein). Baik H+ dan HCO3- merupakan dependent variables sehingga tidak mempengaruhi keseimbangan asam-basa secara independent. SID didapatkan dengan perhitungan Na++ K++ Ca2++ Mg2+-Cl- - anion kuat lainnya. Apabila ion kuat ditambahkan ke dalam darah, maka elektrolit lemah (termasuk H2O) akan mempengaruhi disosiasi untuk mempertahankan netralitas elektrik (Fall dan Szerlip, 2005). Pendekatan stewart bila dipergunakan untuk menilai asidosis laktat memiliki 2 konsekuensi. Pemberian NaHCO3 untuk menterapi asidosis laktat akan meningkatkan HCO3- bukan akibat penambahan HCO3- namun karena Na+ merupakan kation yang kuat. Ini akan mengakibatkan keseimbangan H2O bergeser ke kiri, menurunkan H+ dan meningkatkan PH. Asidosis metabolik yang berhubungan dengan asidosis laktat sekunder akibat ion laktat (anion kuat) yang akan menurunkan SID. Penurunan SID akan mengakibatkan asidosis metabolik (Fall dan Szerlip, 2005) . Penurunan PH intraseluler yang diinduksi oleh iskemia memiliki beberapa efek negatif terhadap kemampuan otot jantung mempertahankan homeostasis Ca2+ dan menggunakan energi yang dilepaskan dari pemecahan ATP untuk keperluan kontraksi otot. Pertama jumlah ATP yang diperlukan untuk pompa ion Ca2+ sarkoplasma akan meningkat bila terjadi penurunan PH. Kedua adalah jumlah Ca2+ yang diperlukan untuk menghasilkan tenaga lebih besar pada keadaan PH yang rendah dan diperlukan konsentrasi Ca2+ di sitosolik yang lebih besar untuk menghasilkan kekuatan atau tenaga mekanis. Pada kondisi PH yang rendah, lebih banyak energi yang dihasilkan dari pemecahan ATP dipergunakan untuk proses kimia dalam regulasi Ca2+ di sitosol dan hanya sedikit yang dipergunakan untuk keperluan kontraksi. Disamping itu produksi H+ oleh kardiomiosit dari proses pertukaran Na+ mengakibatkan pertukaran Na+ - Ca2+ melewati membran sel sehingga akan mengakibatkan semakin terganggunya ATP dalam mempertahankan homeostasis Ca2+ (Stanley, 2001). Stacpoole dkk dalam studi klinis terhadap 126 pasien menilai perjalanan alamiah asidosis laktat. Dimana pasien diberikan plasebo dan dikloroasetat untuk menterapi asidosis laktat. Semua pasien memiliki kadar laktat arteri > 5 mmol/L dan PH < 7,35 mmHg atau defisit basa > 6mmol/L. Untuk kelompok kontrol mendapatkan cairan plasebo normal saline dan terapi konvensional. Didapatkan bahwa median survival <2 hari, dan hanya 17% pasien bertahan dalam 30 hari. Setelah dilakukan adjustment terhadap beberapa variabel didapatkan bahwa skor Acute Physiology and Chronic Healh Evaluation (APACHE) II, tekanan darah sistolik dan PH arteri merupakan prediktor kuat terhadap survival dalam 24 jam (Fall dan Szerlip, 2005). Pasien IMA akan mengalami gangguan regulasi sirkulasi. Proses dimulai dengan obstruksi anatomis atau fungsional arteri koroner yang mengakibatkan iskemia miokardium regional jika iskemia menetap pada infark. Jika infark yang terjadi cukup luas maka akan mengakibatkan penekanan pada fungsi ventrikel kiri sehingga akan menurunkan volume sekuncup dan meningkatkan tekanan pengisian akhir diastolik. Penurunan volume sekuncup ventrikel kiri yang berat akan menurunkan tekanan aorta (penurunan perfusi sistemik) dan mengakibatkan penurunan tekanan darah yang akan memperberat penurunan tekanan perfusi koroner sehingga akan memperberat iskemik miokardium dan mengawali terjadinya vicious circle. Peningkatan tekanan pengisian akhir diastolik ventrikel kiri menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal yang selanjutnya memperberat hipoksemia dan iskemia miokard. Inflamasi sistemik sekunder akibat proses infark mengakibatkan pelepasan sitokin yang mengakibatkan vasodilatasi dan penurunan resistensi vaskular sistemik sehingga dapat menurunkan perfusi sistemik dan menurunkan tekanan perfusi koroner yang akan memperberat iskemia. Vicious circle tersebut akan menyebabkan penurunan perfusi pada tingkat jaringan. Terjadi hipoksia dan asidosis laktat akan memperburuk kontraktilitas miokard dimana kesemua mekanisme ini akan mengakibatkan kematian pada pasien IMA (Antman, 2012). Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa baik iskemik pada arteri koroner maupun kegagalan jantung akibat IMA akan megakibatkan gangguan perfusi pada jantung dan seluruh jaringan yang akan mengakibatkan perubahan metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob yang akan meningkatkan produksi laktat di jaringan dengan berbagai konsekuensi metabolik sehingga semua keadaan ini akhirnya akan mengakibatkan kematian pada pasien IMA. Vermeulen dkk 2010 menilai hubungan laktat arteri pada pasien STEMI dimana pada studi ini didapatkan bahwa peningkatan laktat arteri yang diukur pada saat melakukan PCI berhubungan dengan hipotensi, denyut jantung yang tinggi, TIMI yang rendah, diabetes dan tidak merokok. Peningkatan laktat juga berhubungan dengan peningkatan mortalitas 30 hari, luasnya ukuran infark dan peningkatan penggunaan intra aortic ballon pump (IABP). Pasien dengan kadar laktat ≥ 1,8 mmol/L sebanyak 50% meninggal sehari setelah PCI. Peningkatan yang tajam angka mortalitas terlihat pada pasien dengan kadar laktat >4 mmol/L. Hal ini memberikan dugaan penanganan yang intensif seperti pemasangan IABP dapat dipertimbangkan meskipun setelah dilakukan PCI (Vermeulen dkk, 2010). Kadar laktat saat masuk rumah sakit secara independen berhubungan kuat dengan mortalitas disamping parameter klinis seperti usia, hipotensi dan denyut jantung, sehingga pengukuran laktat dapat digunakan sebagai pengukuran laboratorium standar pada pasien STEMI di rumah sakit (Vermeulen dkk, 2010). Pada pasien kritis terjadinya peningkatan kadar laktat diakibatkan oleh mekanisme yang komplek antara lain karena hipoperfusi regional, induksi oleh proses inflamasi pada glikolisis, gangguan mekanisme bersihan laktat dan peningkatan usaha nafas. Pada pasien dengan syok kardiogenik terjadi peningkatan tajam laktat endogen sedangkan bersihan laktat tidak berbeda signifikan dengan orang sehat. Lazzeri dkk mendapatkan bahwa peningkatan kadar laktat berhubungan dengan mortalitas rumah sakit pasien STEMI dengan PCI hanya pada pasien dengan kelas Killip III dan IV (OR, 1,17; 95% CI, 1,051,30; P=0,03) (Lazzeri dkk, 2010). Penelitian lain menunjukkan laktat sebagai prediktor independen kematian dalam 30 hari dan respon buruk post PCI pada pasien STEMI yang dilakukan PCI (Vermeulen dkk, 2010). Lazzeri menyatakan laktat terbukti sebagai faktor yang dapat mempengaruhi mortalitas pada pasien dengan Killip III dan IV. (Lazzeri dkk, 2010). Ribeiro dkk mendapatkan bahwa mortalitas pasien IMA setelah dilakukan regresi logistik multivariate didapatkan lebih tinggi hanya pada pasien dengan fungsional kelas Killip selain I, diabetes dan usia >70 (Ribeiro dkk, 2003). Studi PRIAMHO I didapatkan angka mortalitas 28 hari pasien IMA sebesar 14.2% , pasien dengan kelas Killip III dan IV sebesar 8.1% dan 8.5%, dan studi PRIMAHO II didapatkan mortalitas 28 hari IMA sebesar 11.3%, pasien dengan kelas Killip III dan IV sebesar 7.7% dan 9.5% (Heras dkk, 2006). Shabbir dkk mendapatkan Mortalitas secara signifikan meningkat dengan peningkatan kelas Killip (kelas III dan IV) (P=0,000), dan pada mereka yang tidak mendapatkan trombolisis (p=0,066) (Shabbir dkk, 2008). Pada anemia akan terjadi hiperlaktasemia melalui mekanisme peningkatan produksi akibat peningkatan kecepatan glikolisis sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara pembentukan ATP dan AMP dan juga diakibatkan oleh penurunan clearance (Phypers dan Pierce, 2006). Ceyhan dkk dalam penelitiannya menilai kadar laktat pada pasien anemia defisiensi besi didapatkan bahwa pasien anemia memiliki kadar pO2 yang rendah, PCO2 yang tinggi dan kadar laktat yang tinggi dibandingkan dengan kontrol (p<0,005). Terdapat korelasi negatif yang linier antara kadar laktat dengan kadar hemoglobin (r=-0,6213; p<0,005). Pada penelitian ini kemungkinan hipoksemia yang diakibatkan oleh anemia dapat menyebabkan peningkatan kadar laktat (Ceyhan dkk, 1988). Beberapa mekanisme yang potensial dapat memperburuk prognosis pasien IMA dengan anemia. Penyakit kardiovaskular akan menyebabkan gangguan yang signifikan kemampuan jantung untuk mentoleransi kadar hemoglobin yang rendah. Anemia akan mengakibatkan vasodilatasi yang diinduksi hipoksia sehingga meningkatkan aktivitas saraf simpatis dan meningkatkan curah jantung. Hal ini mengakibatkan penurunan cadangan koroner dimana pada pasien IMA sudah mengalami penurunan akibat peningkatan ekstraksi oksigen dalam sirkulasi jantung. Manifestasi iskemia miokard dapat terjadi pada keadaan anemia ringan (hematokrit 20-30%). Peningkatan aktivitas simpatis juga akan mengakibatkan outcome yang buruk pada pasien IMA. Akibat jangka panjang dari gangguan ini adalah hipertrofi ventrikel kiri yang akan mengakibatkan bertambahnya konsumsi oksigen sehingga memperberat iskemia. Sedangkan peningkatan hemoglobin yang berlebihan juga berhubungan dengan prognosis kardiovaskular yang buruk. Viskositas darah yang tinggi dan peningkatan formasi trombus dikatakan merupakan mekanisme yang dapat mendasarinya (Lipšic dkk, 2005). Lipsic dkk 2005 mendapatkan bahwa kadar hemoglobin yang rendah berhubungan dengan peningkatan mortalitas jangka pendek IMA dimana mortalitas 30 hari didapatkan sebesar 21,6% pada pasien dengan kadar hemoglobin ≤ 10 g/dL dan 9,3% pada pasien dengan kadar hemoglobin > 10g/dL (p<0,001). Setelah dilakukan analisis multivariate didapatkan kadar hemoglobin yang rendah merupakan prediktor independen mortalitas 30 hari (HR 1,76, CI 1,08-2,85; p=0,02) (Lipšic dkk, 2005). Sabatine dkk mendapatkan pada pasien STEMI mortalitas 30 hari lebih tinggi pada pasien dengan kadar hemoglobin < 14 g/dL atau >17 g/dL. Pada pasien NSTEMI didapatkan kematian, infark dan iskemia meningkat dengan penurunan kadar hemoglobin < 11g/dL atau peningkatan > 16g/dL (Moura, 2012). Anemia dikatakan sebagai faktor independen terhadap terjadinya mortalitas 30 hari paska IMA oleh Zongbin dkk (OR 2,893, 95% CI 1,483-5,642) (Li dkk, 2012). Nikolsky dkk meneliti mengenai dampak anemia pada pasien IMA yang dilakukan PCI didapatkan bahwa pada anemia dibandingkan dengan yang tidak anemia didapatkan angka yang lebih tinggi mortalitas rumah sakit (4,6% vs 1,1%, p=0,00003), mortalitas dalam 30 hari (5,8% vs 1,5%, p<0,0001), dan mortalitas dalam 1 tahun (9,4% vs 3,5%, p <0,0001) (Nikolsky dkk, 2004). 6.4 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini merupakan kohort prospektif terhadap 121 orang penderita IMA pada satu pusat pelayanan kesehatan, yaitu RSUP Sanglah. Penelitian dilaksanakan antara bulan November 2014 hingga Februari 2015. Oleh karena penelitian ini ingin mengetahui hiperlaktasemia sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska IMA di RSUP Sanglah, maka sebaiknya data yang dipakai dalam perhitungan jumlah sampel diambil dari proporsi IMA di RSUP Sanglah. Sampel studi yang kecil serta dari satu tempat pusat penelitian merupakan kelemahan penelitian ini. Untuk generalisir hasil dibutuhkan studi dengan jumlah subyek yang lebih banyak dan terdapat beberapa pusat penelitian. Rancangan penelitian, meskipun sama-sama studi kohort tetapi ada beberapa perbedaan yang tentunya dapat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Sampel yang digunakan adalah darah kapiler dan bukan darah arteri. Standar baku dalam penilaian kadar laktat adalah darah arteri. Laktat kapiler berkorelasi dengan laktat arteri dari studi sebelumnya. Pada beberapa studi sebelumnya penulis menyatakan korelasi baik antara darah arteri, vena dan kapiler. Punksi arteri membutuhkan personel terlatih, memakan waktu lebih lama, lebih mahal, dan tidak nyaman bagi pasien (Kruse dkk, 2011). Pemeriksaan darah vena ataupun kapiler akan lebih mudah, risiko lebih minimal, tidak memerlukan personel khusus, serta lebih nyaman bagi pasien. Penggunaan laktat kapiler menyebabkan over-triage, kecuali cutt of point diatur lebih tinggi daripada kadar laktat arteri (Kruse dkk, 2011). Walaupun studi Hart dkk tahun 2013 menunjukkan alat Lactate Plus analyzer menghasilkan pengukuran yang akurat dan reproduksibel, namun terdapat perbedaan yang besar bila sampel diambil dari jari-jari tangan, karena adanya manipulasi di tangan (Hart dkk, 2013). Food and Drug Administration saat ini hanya merekomendasikan Lactate Plus analyzer untuk penelitian saja (Karon dkk, 2007). Tidak dilakukan eksklusi variabel yang dicurigai sebagai perancu dari awal penelitian untuk mendapatkan hubungan hiperlaktasemia dengan mortalitas yang lebih baik. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Studi kohort prospektif telah dilakukan untuk membuktikan hiperlaktasemia sebagai prediktor mortalitas 30 hari paska IMA di RSUP Sanglah. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Hiperlaktasemia merupakan prediktor mortalitas 30 hari paska IMA 2. Kelas Killip dan kadar hemoglobin darah merupakan variabel perancu penelitian 7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, pemeriksaan kadar laktat dapat digunakan sebagai alat stratifikasi risiko pasien IMA yang dirawat di RSUP Sanglah. Adapun beberapa saran yang dapat diberikan setelah dilakukannya penelitian ini antara lain adalah : 1. Dapat dilakukan penelitian yang serupa dengan massa follow-up yang lebih panjang, sehingga dapat dinilai juga prognosis jangka panjang pasien IMA berdasarkan kadar laktat. 2. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menilai pengaruh independent dari laktat terhadap mortalitas dengan mengkesklusi variabel perancu. 3. Dapat dilakukan studi intervensional yang bertujuan untuk menentukan apakah pemberian terapi medikamentosa yang lebih agresif atau tindakan intervensi dini dapat memperbaiki luaran pasien dengan kadar laktat yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA Achar, S. A., Kundu, S. & Norcross, W. A. 2005. Diagnosis of Acute Coronary Syndrome. American Family Physician. American Family Physician, 72, p. 119-126. Agrawal, S., Sachdev, A., Gupta, D. & Chugh, K. 2004. Role Of Lactate In Critically Ill Children Indian J Crit Care Med, 8, p. 173-181. Antman, E. M. 2012. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction : Pathology, Pathophysiology, and Clinical Features. In: BONOW, R. O., MANN, D. L., ZIPES, D. P. & LIBBY, P. (eds.) Braunwald's Heart Disease: a Textbook of Cardiovascular Medicine. 9 ed. Philadelphia: Saunders. p.1088-1090. Apstein, C. S., Gravino, F. & Hood, W. B. 1979. Limitations of Lactate Production as an Index of Myocardial Ischemia. Circulation, p. 877-887. Attana, P., Lazzeri, C., Picariello, C., Dini, C. S. & Gensini, G. F. 2012. Lactate and lactate clearance in acute cardiac care patients. European Heart Journal: Acute Cardiovascular Care, p. 1-7. Backer, D. D. 2003. Lactic acidosis. Intensive Care Med 29, p. 699–702. Bavry, A. A. & Bhatt, D. L. 2009. Definition, epidemiology and prognosis. In: BAVRY, A. A. & BHATT, D. L. (eds.) Acute Coronary Syndromes in Clinical Practice. London: Springer. p.1-10. Borzecki, Cl, C., P, C., S, L. & Ak, R. 2010. Comparison of in-hospital versus 30day mortality assessments for selected medical conditions. Med Care, 12, p. 1117-1121. Burke, A. P. & Virmani, R. 2008. Pathology of Myocardial Ischemia, Infarction, Reperfusion, and Sudden Death. In: FUSTER, V., WALSH, R. A., O'ROURKE, R. A. & POOLE-WILSON, P. (eds.) Hurst's The Heart. 12 ed. China: The McGraw-Hill. p.1321-1338. Cannon, C. P., Brindis, R. G., Chaitman, B. R., Cohen, D. J. & Thomas, J. 2013. 2013 ACCF/AHA Key Data Elements and Definitions for Measuring the Clinical Management and Outcomes of Patients With Acute Coronary Syndromes and Coronary Artery Disease: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Clinical Data Standards (Writing Committee to Develop Acute Coronary Syndromes and Coronary Artery Disease Clinical Data Standards). Circulation, 127, p. 1052-1089. Ceyhan, M., Ozalp, I. & Altay, C. 1988. High Levels of Lactate, Pyruvate, and Alanine in Anemic Children. Clin Pediatr, 27, p. 206-209. Chin, C.-H., Chiou, H.-C., Lo, H.-S., Liu, C.-Z., Ong, E.-T., Wu, C.-Y., Chen, C.H., Ko, W.-C., Chen, M.-L. & Chen, P. H. 2001. In-Hospital Mortality From Cardiogenic Shock Complicating Acute Myocardial Infarction. Acta Cardiol Sin, 17, p. 211-217. Deljanin, Z., Rancic, N., Ilic, M., Petrovic, B. & Tiodorovic, B. 2007. Acute Myocardial Infarction Morbidity and Mortality in Population of 30-64 years of age in the city of Nis in the period 2001-2005 Period 2001 - 2005. Acta Medica Medianae 46(2), p. 21-24. Eftekhari, H., Bukharovich, I., Aziz, E. & Hong, M. K. 2008. Epidemiology and Pathophysiology of Acute Coronary Syndrome. In: Hong, M. K. & Herzog, E. (eds.) Acute Coronary Syndrome. London: Springer. p.25-36. Fall, P. J. & Szerlip, H. M. 2005. Lactic Acidosis: From Sour Milk to septic Shock. J Intensive Care Med, 20, p. 255-271. Ferguson, D., Goel, V., Lalumière, D., Mcgarry, J. & Neudorf, C. 2011. Health Indicators 2011. candian institute for health information, p. 1-123. Ferreira, G. M. T. d. M., Correia, L. C., Reis, H., Filho, C. B. F., Freitas, F., Ferreira, G. M., Júnior, I., Oliveira, N. & Guimarães, A. C. 2009. Increased Mortality and Morbidity Due to Acute Myocardial Infarction in a Public Hospital, in Feira de Santana, Bahia. Arq Bras Cardiol 93, p. 9299. Gaieski, D. F., Drumheller, B. C., Goyal, M., Fuchs, B. D., Shofer, F. S. & Zogby, K. 2011. Accuracy of Handheld Point-of-Care Fingertip Lactate Measerement in the Emergency Department. Western Journal of Emergency Medicine, 14, p. 58- 62. Gatien, M., Stiell, I., Wielgosz, A., Ooi, D. & Lee, J. S. 2005. Diagnostic Performance of Venous Lactate on Arrival at the Emergency Department for Myocardial Infarction. Acad Emerg Med 12, p. 106-113. Gladden, L. B. 2004. lactate metabolism: a new paradigm for the third millennium. J Physiol, p. 5-30. Gogo, P. B., Dauerman, H. L. & Sobel, B. E. 2010. Reperfusion Therapies for Acute ST Segment Elevation Myocardial Infarction. In: JEREMIAS, A. & BROWN, D. L. (eds.) Cardiac Intensive Care 2ed. Philadelphia: Saunders. p.110-144. Hanratty, B., Lawlor, D. A., Robinson, M. B., Sapsford, R. J., Greenwood, D. & Hall, A. 2000. Sex differences in risk factors, treatment and mortality after acute myocardial infarction: an observational study. J Epidemiol Community Health 54, p. 912–916. Heras, M., Marrugat, J., Arós, F., Bosch, X., Enero, J., Suárez, M. A., Pabón, P., Ancillo, P., Loma-Osorio, Á., Rodríguez, J. J., Subirana, I. & Vila, J. 2006. Reduction in Acute Myocardial Infarction Mortality Over a FiveYear Period. Rev Esp Cardiol, 59, p. 200-208. Irmalita, Juzar, D. A., Andrianto, Setianto, B. Y., Tobing, D. P., Firman, D. & Firdaus, I. 2014. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2014. James, J. H., Luchette, F. A., Mccarter, F. D. & Fischer, J. E. 1999. Lactate is an unreliable indicator of tissue hypoxia in injury or s e p s i s. Lancet, 354, p. 505-508. Jansen, T. C., Bommel, J. v., Mulder, P. G., Rommes, J. H., Schieveld, S. J. & Bakker, J. 2008. The prognostic value of blood lactate levels relative to that of vital signs in the pre-hospital setting: a pilot study. Critical Care, p. 1-7. Jhamb, U., Gupta, V. K. & Jat, K. R. 2011. Serum lactate levels as the predictor of outcome in pediatric septic shock. Indian Journal of Critical Care Medicine, 15, p. 102-107. John G Toffaletti, P. 2010. Measurement and Clinical Interpretation of Whole Blood Lactate Concentration [Online]. Available: http://it.instrumentationlaboratory.com/~/media/IL%20Italy/Docs/Critical %20Care/Letteratura/Bibliografia/090.pdf. Kabo, P. 2010. Bagaimana menggunakan obat-obak kardiovaskular secara rasional. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. Karon, B. S., Scott, R., Burritt, M. F. & Santrach, P. J. 2007. Comparison of Lactate Value Between Point of Care and Central Laboratory Analyzers. Am J Clin Pathol p. 168-171. Kruse, O., Grunnet, N. & Barfod, a. C. 2011. Blood lactate as a predictor for inhospital mortality in patients admitted acutely to hospital: a systematic review. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, p. 1-12. Kwong, R. Y., Schussheim, A. E., Rekhraj, S., Aletras, A. H., Geller, N., Davis, J., Christian, T. F., Balaban, R. S. & Arai, A. E. 2003. Detecting Acute Coronary Syndrome in the Emergency Department With Cardiac Magnetic Resonance Imaging. 107, p. 531-537. Lazzeri, C., Valente, S., Chiostri, M., Piraciello, C. & Gensini, G. F. 2010. Lactate in the acute phase of ST-elevation myocardial infarction treated with mechanical revascularization A single-center experience. American Journal of Emergency Medicine, 30, p. 92-96. Lehto, S., Ronnemaa, T., Haffher, S. M., Pyorala, K., Kallio, V. & Laakso, M. 1997. Dyslipidemia and Hyperglycemia Predict Coronary Heart Disease Events in Middle-Aged Patients With NIDDM. Diabetes, 46, p. 13541359. Levin, A., Stevens, P. E., Bilous, R. W., Lamb, E. J. & Coresh, J. 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. International Society of Nephrology, 3, p. 1-150. Li, Z., Li, J., Lin, H. & Zhao, Y. 2012. Predictive factor of 30-day mortality in hospitalized patients with acute myocardial infarction: A Cox-regression analysis in Beijing. p. Lipšic, E., Horst, I. C. C. v. d., Voors, A. A., Meer, P. v. d., Nijsten, M. W. N., Gilst, W. H. v., Veldhuisen, D. J. v. & Zijlstra, F. 2005. Hemoglobin levels and 30-day mortality in patients after myocardial infarction. International Journal of Cardiology, 2, p. 289-292. Man, J. P., Tymchak, W. J. & Jugdutt, B. I. 2010. Adjunctive Pharmacologic Therapies in Acute Myocardial Infarction. In: Jeremias, A. & Brown, D. L. (eds.) Cardiac Intensive Care. 2 ed. Philadelphia: Saunders. p.145-182. Matura, L. A. 2009. In-hospital Mortality Characteristics of Women With Acute Myocardial Infarction. J Clin Med Res, 1 (5), p. 262-266. Moore, C. C., Jacob, S. T., Pinkerton, R., Meya, D. B., Mayanja-Kizza, H., Reynolds, S. J. & Scheld, W. M. 2008. Point-of-Care Lactate Testing Predicts Mortality of Severe Sepsis in a Predominantly HIV Type 1– Infected Patient Population in Uganda. CID, 46, p. 215-222. Moura, B. 2012. Anemia and prognosis in acute coronary syndromes. Rev Port Cardiol, 2, p. 133-134. Muchid, A., Umar, F., Chusun, Purnama, N. R. & Kalim, H. 2006. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan 2006. Nikolsky, E., Aymong, E. D., Halkin, A., Grines, C. L., Cox, D. A., Garcia, E., Mehran, R. & Tcheng, J. E. 2004. Impact of Anemia in Patients With Acute Myocardial Infarction Undergoing Primary Percutaneous Coronary Intervention. JACC, 44, p. 547–553. Núñez, J., Fácila, L., Llàcer, À., Sanchís, J., Bodí, V., Bertomeu, V., Sanjuán, R., Blasco, M. L., Consuegra, L., Bosch, M. J. & Chorroa, F. J. 2005. Prognostic Value of White Blood Cell Count in Acute Myocardial Infarction: Long-Term Mortality. Rev Esp Cardiol, 58, p. 631-639. Oduncu, V., Erkol, A., Karabay, C. Y., Kurt, M., Akgün, T., Bulut, M., Pala, S. & Kirma, C. 2013 The prognostic value of serum albumin levels on admission in patients with acute ST-segment elevation myocardial infarction undergoing a primary percutaneous coronary intervention. 24 (2), p. 88-94. Perez, E. H., Dawood, H., Chetty, U., Esterhuizen, T. M. & Bizaare, M. 2008. Validation of the Accutrend Lactate Meter for Hyperlactatemia Screening during Antiretroviral Therapy in A Resource-Poor Setting. Int J Infect Dis, 12, p. 553-556. Phypers, B. & Pierce, J. T. 2006. Lactate physiology in health and disease. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain, 6, p. 128132. Picariello, C., Lazzeri, C., A, P. A., Chiostri, M., Gensini, G. F. & Valente, S. 2011. The Impact of Hypertension on Patients with Acute Coronary Syndromes. International Journal of Hypertension, p. 1-7. Podrid, P. J. & Ganz, L. I. 2014. Incidence of and risk stratification for sudden cardiac death after acute myocardial infarction UpToDate, p. Portal, D. A. d., Shofer, F., Mikkelsen, M. E., Philip J. Dorsey, J., Gaieski, D. F., Goyal, M., Synnestvedt, M., Weiner, M. G. & Pines, J. M. 2010. Emergency Department Lactate Is Associated with Mortality in Older Adults Admitted With and Without Infections. Acad Emerg Med, 17, p. 261-268. Ribeiro, D. G. L., Andrade, P. J. N. d., Júnior, J. N. P. & Saraiva, L. R. 2003. Acute Myocardial Infarction. Predictors of Mortality at a Public Hospital in the City of Fortaleza, Ceará State. Arq Bras Cardiol, 80, p. 614-620. Robert, D., Michael, K. & Haim, H. The Impact of the Metabolic Status on Treatment and Prognosis in Patients with Myocardial Infarction. p. 195. Salehi, N., Eskandarian, R., Sanati, H. R., Firouzi, A., Shakerian, F., Abdi, S. & Bakhshandeh, H. 2013. White blood cell count and mortality in acute myocardial infarction. WJCD, 3, p. 458-463. Scoot, S., Antonaglia, V., Guiotto, G., Paladino, F. & Schiraldi, F. 2010. TwoHour Lactate Clearance Predicts Negative Outcome in Patients with Cardiorespiratory Insufficiency. Critical Care Research and Practice, p. 1-6. Seghieri, C., Mimmi, S., Lenzi, J. & Fantini, M. P. 2012. 30-day in-hospital mortality after acute myocardial infarction in Tuscany (Italy): An observational study using hospital discharge data. Medical Research Methodology, 12, p. 1-11. Shabbir, M., Kayani, A. M., Qureshi, O. & Mughal, M. M. 2008. Predictors of fatal outcome in acute myocardial infarction. J Ayub Med Coll Abbottabad, 20, p. 14-16. Srimahachota, S., Boonyaratavej, S., Kanjanavanit, R., Sritara, P. & Krittayaphong, R. 2012 Thai Registry in Acute Coronary Syndrome (TRACS)-An Extension of Thai Acute Coronary Syndrome Registry (TACS) Group: Lower In-Hospital but Still High Mortality at One-Year. J Med Assoc Thai, 95 p. 508-518. Stanley, W. C. 2001. Changes in cardiac metabolis: a critical step from stable angina to ischaemic cardiomyopathy. Eur Heart J Supplements, p. O2-O7. Vermeulen, R. P., Hoekstra, M., Nijsten, M. W., Horst, I. C. v. d., Pelt, L. J. v., Jessurun, G. A., Jaarsma, T., Zijlstra, F. & Heuvel, A. F. v. d. 2010. Clinical correlates of arterial lactate levels in patients with ST-segment elevation myocardial infarction at admission: a descriptive study. Critical Care, p. 1-7. Vernon, C. & Letourneau, J. L. 2010. Lactic acidosis: recognition, kinetics, and associated prognosis. Crit Care Clin, 26, p. 255-283, table of contents. Vujosevic, S., Zamaklar, M., Belada, N. & Stamatovic, S. 2012. Mortality After Acute Myocardial Infarction: Significance of Cardiovascular Diabetic Autonomic Neuropathy (CDAN). 66, p. 296-299. Werf, F. V. d., Chair, Ardissino, D., Betriu, A. & Cokkinos, D. V. 2003. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal, 24, p. 28-66. Wilson, P. W., Douglas, P. S., Alpert, J. S., Simons, M. & Breall, J. A. 2014. Prognosis after myocardial infarction uptode, p. Lampiran 1. Informasi/Penjelasan Penelitian Penelitian ini berjudul Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Mortalitas 30 hari Paska Infark Miokard Akut (IMA). Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar laktat sebagai prediktor luaran pasien IMA. Penelitian ini akan mengikutsertakan 118 orang, termasuk anda. Dalam pelaksanaan penelitian disamping prosedur rutin yang dilakukan pada penderita IMA (seperti anamnesa, pemeriksaan fisik, EKG, pengambilan laboratorium, thorak foto), akan dilakukan pengambilan darah kapiler di ujung jari tangan, sebanyak dua kali, 15-50uL tiap kali pengambilan yaitu saat pertama masuk rumah sakit di ruang emergensi, dan 2 jam setelahnya. Risiko komplikasi akibat tindakan sangat kecil yaitu nyeri saat pengambilan darah, kemerahan, infeksi lokal, yang dapat diatasi dengan kompres hangat, perawatan luka ataupun antibiotik jika diperlukan. Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk memperkaya evidence atau bukti yang bersifat akademis tentang pengaruh hiperlaktasemia terhadap terjadinya mortalitas IMA, dan sebagai dasar kelayakan kadar laktat dalam menilai prognosis pasien dengan nyeri dada akut. Jika terbukti, laktat dapat digunakan sebagai acuan monitoring dan pengembangan pelayanan pengobatan diruang intensif jantung. Segala prosedur ini hanya dapat dilakukan bila telah mendapat ijin dari anda dan dengan menandatangani pernyataan kesediaan (terlampir) setelah anda mengerti maksud, tujuan, manfaat dan prosedur penelitian ini. Data dari hasil pemeriksaan dan wawancara ini akan dikumpulkan kedalam komputer dengan kode nama untuk menjaga kerahasiaan identitas anda. Hanya dokter peneliti yang mengetahui data kesehatan anda yang berkaitan dengan penelitian ini. Data ini mungkin dipublikasikan tanpa mencantumkan identitas sumber data. Apabila selama keikutsertaan anda dalam penelitian ini terdapat hal-hal yang dirasakan mengganggu dan merugikan anda dapat mengundurkan diri atau membatalkan keikutsertaan anda, tanpa persyaratan apapun. Untuk dapat berlangsungnya penelitian ini sesuai yang diharapkan, diperlukan kerjasama yang baik antara anda / keluarga, tim medis dan peneliti. Kami mengharapkan kesediaan anda untuk ikut serta dalam penelitian ini. Berkaitan dengan hal ini atau sewaktu-waktu anda memerlukan informasi lebih lanjut anda dapat menghubungi dr. I Putu Parwata Jaya, nomor kontak 082146329923. Lampiran 2. Persetujuan setelah Penjelasan (Informed Concent) Kesediaan Untuk Berpartisipasi Dalam Penelitian Nama pasien : ---------------------------------------------------- Jenis kelamin : ---------------------------------------------------- Alamat : ---------------------------------------------------- Nomor telepon/HP : ---------------------------------------------------- Nomor Studi : ---------------------------------------------------- Nomor rekam medis : ---------------------------------------------------- Nama wali : ---------------------------------------------------- Pekerjaan wali : ---------------------------------------------------- Pendidikan wali : ---------------------------------------------------- Hubungan Keluarga : ---------------------------------------------------- Saya telah membaca/dibacakan pernyataan-pernyataan di atas. Saya juga telah diberikan kesempatan untuk menanyakan kembali mengenai pernyataanpernyataan di atas. Pertanyaan saya telah dijawab dengan memuaskan. Saya memahami tujuan dari penelitian ini, serta keuntungan dan kerugian apabila ikut berparstisipasi dalam penelitian. Tanda tangan saya di bawah ini menunjukkan kesukarelaan saya untuk mengikutsertakan saya dalam penelitian ini. Tanda tangan peneliti Tanda tangan pasien/wali Tanggal Tanda tangan wali (tidak diperlukan bila pasien mampu tanda tangan) Lampiran3:Lembar Pengumpulan Data HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS 30 HARI PASKA IMA Pascasarjana Universitas Udayana 2014 I. IDENTITAS 1. Nama : ……………………………………………… 2. Sex : ……………………………………………… 3. Umur : ……………………………………………… 4. Suku Bangsa: ……………………………………………… 5. Alamat : ……………………………………………… 6. NO. Tlp./HP : ……………………………………………… 7. Pendidikan : ……………………………………………… 8. Pekerjaan : ……………………………………………… 9. MRS tgl. : ………………………………………………. 10. Nama Pendamping : ……………………………………… 11. No. tlp. Pendamping : ……………………………………… II. ANAMNESIS 1. KeluhanUtama a. Nyeri dada b. Lama nyeri dada c. Lokasi nyeri dada hati d. Nyeri dada seperti ditindih e. Nyeri menjalar ke dagu ( ) Ya ( ) Tidak ( ) < 20 menit ( ) ≥ 20 menit ( ) di tengah-tengah ( ) di kiri ( ( ) ditekan ( ) ditusu ( ) ( ) terbakar ( ) leher ( ) terperas ( ) lengan kiri ( ) ( ) lengan kanan ( ) istirahat ( ) ( ) punggung f. Nyeri dada terasa berkurang dengan nitrat g. Nyeri dada timbul pada saat ( ) aktifitas ( ) stres 2. Keluhan Lain a. ( ) berdebar b. ( ) Sesak nafas c. ( ) keringat dingin d. ( ) mual e. ( ) muntah 3. Riwayat pada keluarga Hubungan dengan penderita )ulu ( ) istirahat ( ) sesudah makan f. ( ) lemas k. ( ) lain-lain g. ( ) masuk angin h. ( ) pusing i. ( ) kembung j. ( ) kesadaran menurun ( ) Ya ( ) Tidak ( ) Bapak ( ) Ibu ( ) Kakek ( ) Nenek 4. Faktor risiko a. Dislipidemia 1. Apakah menderita penyakit kolesterol? ( ) Ya ( ) Tidak 2. Bila Ya, apakah minum obat? ( ) Ya ( ) Tidak Nama obat : ………………………………… b. Hipertensi 1. Apakah pernah menderita penyakit darah tinggi? ( ) Ya ( ) Tidak 2. BilaYa, sudah berapa lama ……………….. tahun Sudahminumobat? ( ) Ya ( ) Tidak Nama obat : ………………………………… 3. Apakah keluarga menderita darah tinggi? ( ) Ya ( ) Tidak c. Diabetes Mellitus 1. Apakah pernah menderita sakit kencing manis ( ) Ya ( ) Tidak 2. BilaYa, sudah berapa lama ……………….. tahun Sudah minum obat? ( ) Ya ( ) Tidak Nama obat : ………………………………… 3. Apakah keluarga menderita kencing manis? ( ) Ya ( ) Tidak d. Merokok 1. Apakah anda merokok ( ) Ya ( ) Tidak 2. JikaYa, berapa lama merokok? ……………..bulan ( )<6 ( )≥6 3. Berhenti merokok sejak ……………………..bulan ( )<6 ( )≥6 III. PEMERIKSAAN FISIK Diperiksa tanggal …………………… Berat badan Tinggi badan Lingkar perut Tekanan darah Frekuensi pernapasan Suhu Denyut nadi Irama : ………………… Oleh : : ………………………………… : ………………………………… : ………………………………… : …………………………………. : …………………………………. : …………………………………. : …………………………………. : ( ) teratur ( ) tidakteratur Keadaan umum Sianosis Anemia Telinga Hidung Mulut/gigi Tenggorokan Leher :( :( :( :( :( :( :( :( ) baik ) ada ) ada ) tak ) tak ) tak ) tak ) tak ( ( ( ( ( ( ( ( ) sedang ( ) buruk ) tidakada ) tidakada ) kelainan ………….. ) kelainan ………….. ) kelainan …………... ) kelainan ………….. ) kelainan ………….. JANTUNG a. Aktifitas Ventrikel kanan ( ) normal ( ) meningkat b. Aktivitas Ventrikel kiri ( ) normal ( ) meningkat c. Thrill ( ) tidakada ( ) ada, lokasi: ……… d. Iktus kordis : intercostal …………… kiri / kanan, garis ……… e. Irama jantung S1 ( ) normal ( ) mengeras S2 ( ) normal ( ) mengeras ( ) single ( ) split ( ) normal ( ) tetap ( ) memendek ( ) memanjang S3 ( ) tidak ada ( ) ada Gallop ( ) tidak ada ( ) ada Opening snap ( ) tidak ada ( ) ada Ekstra systole ( ) tidak ada ( ) ada Klik ( ) tidak ada ( ) ada Bising jantung: o Jenis ……………………… o Waktu ……………………. o Derajat …………………… o Lokasi ……………………. o Penjalaran ………………... PARU a. Suara napas : …………../…………… b. Ronchi : …………../…………… c. Wheezing : …………../…………… ABDOMEN a. Hepar : ( ) tidak teraba ( ) teraba ………….. cm b. Limpa c. Ascites : ( ) tidak teraba : ( ) tidakada ( ) teraba ………….. cm ( ) ada EXTREMITAS a. Edema b. Sianosis c. Clubbing IV. V. VI. : ( ) tidakada : ( ) tidakada : ( ) tidakada ( ) ada ( ) ada ( ) ada ELEKTROKARDIOGRAM ( ) Normal ( ) Q waves, lokasi : …………………………….. ( ) ST elevation, lokasi : ………………………… ( ) ST depression, lokasi : ………………………. ( ) Inverted T, lokasi : …………………………… FOTO RONTGEN TORAK ( ) Normal ( ) Kardiomegali ( ) Sembab paru ( ) Efusi pleura ( ) Infiltrat PEMERIKSAAN LABORATORIUM DARAH DarahLengkap No. Pemeriksaan Nilai 1 WBC 2 HGB 3 HCT 4 PLT Kimia No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Pemeriksaan Troponin T CKMB LDH SGOT SGPT Ureum Kreatinin Kolesterol total Kolesterol LDL Kolesterol HDL Trigeliserida Gula darah acak Nilai 13 14 15 16 Gula darah puasa Gula darah puasa 2 jam PP Albumin PO2 Pemeriksaan Laktat Darah Kapiler No Pemeriksaan Nilai 1 Kadar laktat saat masuk rumah sakit 2 Kadar laktat 2 jam setelah masuk rumah sakit Urine Lengkap No Pemeriksaan 1 Spesifik Grafity 2 pH 3 Leukosit 4 Nitrit 5 Protein 6 Glukosa 7 Ketone 8 Urobilinogen 9 Bilirubin 10 Eritrosit 11 Warna 12 Sedimen Leukosit Eritrosit Silinder 13 Selepitel : gepeng 14 Kristal 15 Lain-lain : VII. DIAGNOSIS a. ( ) NSTEMI TIMI risk score : …………. Onset : ………….jam Heart failure ( ) Ya ( ) Tidak b. ( ) STEMI Nilai TIMI risk score : ………. Onset : ………….jam Killips ( ) I ( ) II ( ) III ( ) IV VIII. IX. TERAPI ASA Clopidogrel Beta blocker Calcium antagonist Nitrat Penghambat ACE Statin LMWH Streptokinase PCI CABG ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak PENGAMATAN PENDERITA Mortalitas Waktu kejadian (tanggal, jam kejadian) 1. Mortalitas di rumah sakit 2. Mortalitas di luar rumah sakit Denpasar,…………………2014 Pemeriksa (…………………………………..) Pengamatan dilakukan saat penderita MRS / UPIJ dan setelah keluar rumah sakit dengan cara : Kunjungan tiap hari Berkomunikasi dengan penderita Berkoordinasi dengan tim medis Menelpon keluarga atau penderita apabila sudah keluar rumah sakit dalam 30 hari setelah serangan IMA Lampiran 4. Hasil Analisa Data . tab jeniskelamin jenis | kelamin | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Perempuan | 18 14.88 14.88 Laki-laki | 103 85.12 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . sum umur Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------umur | 121 59.07438 12.13821 32 92 . tab onsetnyeridada onset nyeri | dada | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------<=12jam | 86 71.07 71.07 >12jam | 35 28.93 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . tab diagnosis diagnosis | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------NSTEMI | 37 30.58 30.58 STEMI | 84 69.42 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . tab kilip Kilip | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------1 | 79 65.29 65.29 2 | 17 14.05 79.34 3 | 8 6.61 85.95 4 | 17 14.05 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . sum wbc Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------wbc | 121 12.95942 4.546712 2.66 27.2 . sum hgb Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------hgb | 121 14.03008 2.243565 6.14 18.43 . sum albumin Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------albumin | 121 3.746529 .4693146 1.8 4.63 . sum bsacak Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------bsacak | 121 171.1971 79.14601 49 404 . sum po2 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------po2 | 121 135.9525 36.00533 1.45 203 . tab riwayatkeluarga riwayat | keluarga | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Tidak | 110 90.91 90.91 Ya | 11 9.09 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . tab dislipidemia dislipidemi | a | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Tidak | 61 50.41 50.41 Ya | 60 49.59 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . tab hipertensi hipertensi | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Tidak | 67 55.37 55.37 Ya | 54 44.63 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . tab diabetesmellitus diabetes | mellitus | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Tidak | 85 70.25 70.25 Ya | 36 29.75 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . tab merokok merokok | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Tidak | 52 42.98 42.98 Ya | 69 57.02 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . tab streptase Streptase | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Tidak | 74 61.16 61.16 Ya | 47 38.84 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . tab pci PCI | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Tidak | 120 99.17 99.17 Ya | 1 0.83 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . roctab mortalitas laktat2, detail graph Detailed report of sensitivity and specificity -----------------------------------------------------------------------------Correctly Cutpoint Sensitivity Specificity Classified LR+ LR-----------------------------------------------------------------------------( >= .9 ) 100.00% 0.00% 19.01% 1.0000 ( >= 1 ) 100.00% 1.02% 19.83% 1.0103 0.0000 ( >= 1.2 ) 100.00% 3.06% 21.49% 1.0316 0.0000 ( >= 1.3 ) 100.00% 6.12% 23.97% 1.0652 0.0000 ( >= 1.4 ) 100.00% 10.20% 27.27% 1.1136 0.0000 ( >= 1.5 ) 100.00% 13.27% 29.75% 1.1529 0.0000 ( >= 1.6 ) 100.00% 15.31% 31.40% 1.1807 0.0000 ( >= 1.7 ) 100.00% 16.33% 32.23% 1.1951 0.0000 ( >= 1.8 ) 100.00% 20.41% 35.54% 1.2564 0.0000 ( >= 1.9 ) 100.00% 25.51% 39.67% 1.3425 0.0000 ( >= 2 ) 100.00% 28.57% 42.15% 1.4000 0.0000 ( >= 2.1 ) 100.00% 32.65% 45.45% 1.4848 0.0000 ( >= 2.2 ) 95.65% 33.67% 45.45% 1.4421 0.1291 ( >= 2.3 ) 95.65% 34.69% 46.28% 1.4647 0.1253 ( >= 2.4 ) 95.65% 36.73% 47.93% 1.5119 0.1184 ( >= 2.5 ) 95.65% 44.90% 54.55% 1.7359 0.0968 ( >= 2.6 ) 95.65% 45.92% 55.37% 1.7687 0.0947 ( >= 2.7 ) 91.30% 47.96% 56.20% 1.7545 0.1813 ( >= 2.8 ) 91.30% 51.02% 58.68% 1.8641 0.1704 ( >= 2.9 ) 91.30% 59.18% 65.29% 2.2370 0.1469 ( >= 3 ) 91.30% 61.22% 66.94% 2.3547 0.1420 ( >= 3.1 ) 91.30% 65.31% 70.25% 2.6317 0.1332 ( >= 3.2 ) 91.30% 66.33% 71.07% 2.7115 0.1311 ( >= 3.3 ) 86.96% 66.33% 70.25% 2.5823 0.1967 ( >= 3.4 ) 86.96% 70.41% 73.55% 2.9385 0.1853 ( >= 3.5 ) 82.61% 74.49% 76.03% 3.2383 0.2335 ( >= 3.6 ) 82.61% 75.51% 76.86% 3.3732 0.2303 ( >= 3.8 ) 78.26% 79.59% 79.34% 3.8348 0.2731 ( >= 4 ) 73.91% 82.65% 80.99% 4.2609 0.3156 ( >= 4.2 ) 69.57% 84.69% 81.82% 4.5449 0.3594 ( >= 4.3 ) 69.57% 86.73% 83.47% 5.2441 0.3509 ( >= 4.4 ) 69.57% 88.78% 85.12% 6.1976 0.3428 ( >= 4.5 ) 65.22% 88.78% 84.30% 5.8103 0.3918 ( >= 4.6 ) 60.87% 88.78% 83.47% 5.4229 0.4408 ( >= 4.7 ) 47.83% 89.80% 81.82% 4.6870 0.5810 ( >= 4.8 ) 47.83% 90.82% 82.64% 5.2077 0.5745 ( >= 4.9 ) 39.13% 90.82% 80.99% 4.2609 0.6702 ( >= 5.2 ) 39.13% 91.84% 81.82% 4.7935 0.6628 ( >= 5.4 ) 34.78% 91.84% 80.99% 4.2609 0.7101 ( >= 5.7 ) 30.43% 92.86% 80.99% 4.2609 0.7492 ( >= 5.8 ) 30.43% 93.88% 81.82% 4.9710 0.7410 ( >= 5.9 ) 30.43% 94.90% 82.64% 5.9652 0.7331 ( >= 6.6 ) 26.09% 94.90% 81.82% 5.1130 0.7789 ( >= 6.7 ) 21.74% 94.90% 80.99% 4.2609 0.8247 ( >= 7 ) 17.39% 94.90% 80.17% 3.4087 0.8705 ( >= 7.3 ) 13.04% 94.90% 79.34% 2.5565 0.9163 ( >= 7.6 ) 4.35% 94.90% 77.69% 0.8522 1.0079 ( >= 8 ) 4.35% 95.92% 78.51% 1.0652 0.9972 ( >= 8.3 ) 0.00% 95.92% 77.69% 0.0000 1.0426 ( >= 10.4 ) 0.00% 98.98% 80.17% 0.0000 1.0103 ( > 10.4 ) 0.00% 100.00% 80.99% 1.0000 -----------------------------------------------------------------------------ROC -Asymptotic Normal-Obs Area Std. Err. [95% Conf. Interval] -------------------------------------------------------121 0.8425 0.0418 0.76059 0.92442 . tab kategorilaktat4 kategorilak | tat4 | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Rendah | 94 77.69 77.69 Tinggi | 27 22.31 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . tab mortalitas mortalitas | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Tidak | 98 80.99 80.99 Ya | 23 19.01 100.00 ------------+----------------------------------Total | 121 100.00 . stsum, by ( kategorilaktat4) failure _d: analysis time _t: mortalitas == 1 tmmortallitas | incidence no. of |------ Survival time -----| katego~4 | time at risk rate subjects 25% 50% 75% ---------+--------------------------------------------------------------------Rendah | 2681 .002611 94 . . . Tinggi | 423 .0378251 27 2 13 . ---------+--------------------------------------------------------------------total | 3104 .0074098 121 . . . Log-rank test for equality of survivor functions | Events Events kategorila~4 | observed expected -------------+------------------------Rendah | 7 19.10 Tinggi | 16 3.90 -------------+------------------------Total | 23 23.00 chi2(1) = Pr>chi2 = 46.62 0.0000 . ir mortalitas kategorilaktat4 tmmortallitas | kategorilaktat4 | | Exposed Unexposed | Total -----------------+------------------------+-----------mortalitas | 16 7 | 23 tm mortallitas | 423 2681 | 3104 -----------------+------------------------+------------ | | Incidence rate | .0378251 .002611 | .0074098 | | | Point estimate | [95% Conf. Interval] |------------------------+-----------------------Inc. rate diff. | .0352141 | .0165795 .0538487 Inc. rate ratio | 14.487 | 5.638812 41.64016 Attr. frac. ex. | .9309726 | .8226577 .9759847 Attr. frac. pop | .6476331 | +------------------------------------------------(midp) Pr(k>=16) = 0.0000 (midp) 2*Pr(k>=16) = 0.0000 (exact) (exact) (exact) (exact) . sts list, by ( kategorilaktat4) failure _d: analysis time _t: mortalitas == 1 tmmortallitas Beg. Net Survivor Std. Time Total Fail Lost Function Error [95% Conf. Int.] ------------------------------------------------------------------------------Rendah 2 94 1 0 0.9894 0.0106 0.9269 0.9985 4 93 1 0 0.9787 0.0149 0.9176 0.9946 5 92 1 0 0.9681 0.0181 0.9043 0.9896 6 91 1 0 0.9574 0.0208 0.8906 0.9838 11 90 1 0 0.9468 0.0231 0.8769 0.9775 20 89 1 0 0.9362 0.0252 0.8634 0.9708 23 88 1 0 0.9255 0.0271 0.8501 0.9638 30 87 0 87 0.9255 0.0271 0.8501 0.9638 Tinggi 1 27 6 0 0.7778 0.0800 0.5709 0.8934 2 21 3 0 0.6667 0.0907 0.4571 0.8106 3 18 2 0 0.5926 0.0946 0.3863 0.7499 9 16 2 0 0.5185 0.0962 0.3191 0.6855 13 14 1 0 0.4815 0.0962 0.2869 0.6519 14 13 1 0 0.4444 0.0956 0.2556 0.6175 30 12 1 11 0.4074 0.0946 0.2253 0.5821 ------------------------------------------------------------------------------. estat phtest Test of proportional-hazards assumption Time: Time ---------------------------------------------------------------| chi2 df Prob>chi2 ------------+--------------------------------------------------global test | 4.10 8 0.8484 ---------------------------------------------------------------- . tab jeniskelamin kategorilaktat4, col chi jenis | kategorilaktat4 kelamin | Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------Perempuan | 11 7 | 18 | 11.70 25.93 | 14.88 -----------+----------------------+---------Laki-laki | 83 20 | 103 | 88.30 74.07 | 85.12 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(1) = 3.3512 . sum umur if kategorilaktat4==1 Pr = 0.067 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------umur | 27 60.59259 12.92957 34 83 . sum umur if kategorilaktat4==0 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------umur | 94 58.6383 11.93788 32 92 . swilk umur if kategorilaktat4==1 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------umur | 27 0.96695 0.971 -0.059 0.52369 . swilk umur if kategorilaktat4==0 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------umur | 94 0.99023 0.766 -0.588 0.72174 . robvar umur, by kategorilaktat4 option by() required r(198); . robvar umur, by (kategorilaktat4) kategorilak | Summary of umur tat4 | Mean Std. Dev. Freq. ------------+-----------------------------------Rendah | 58.638298 11.937878 94 Tinggi | 60.592593 12.92957 27 ------------+------------------------------------ Total | W0 59.07438 12.138208 121 = 0.13068752 df(1, 119) Pr > F = 0.71836132 W50 = 0.12103418 df(1, 119) Pr > F = 0.72853017 W10 = 0.13446687 df(1, 119) Pr > F = 0.71449607 . ttest umur, by (kategorilaktat4) Two-sample t test with equal variances -----------------------------------------------------------------------------Group | Obs Mean Std. Err. Std. Dev. [95% Conf. Interval] ---------+-------------------------------------------------------------------Rendah | 94 58.6383 1.231298 11.93788 56.19318 61.08341 Tinggi | 27 60.59259 2.488297 12.92957 55.47782 65.70736 ---------+-------------------------------------------------------------------combined | 121 59.07438 1.103473 12.13821 56.88958 61.25918 ---------+-------------------------------------------------------------------diff | -1.954295 2.655415 -7.212282 3.303693 -----------------------------------------------------------------------------diff = mean(Rendah) - mean(Tinggi) t = -0.7360 Ho: diff = 0 degrees of freedom = 119 Ha: diff < 0 Pr(T < t) = 0.2316 Ha: diff != 0 Pr(|T| > |t|) = 0.4632 . tab onsetnyeridada kategorilaktat4, col chi +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | column percentage | +-------------------+ onset | kategorilaktat4 nyeri dada | Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------<=12jam | 67 19 | 86 | 71.28 70.37 | 71.07 -----------+----------------------+--------->12jam | 27 8 | 35 | 28.72 29.63 | 28.93 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(1) = 0.0084 Pr = 0.927 Ha: diff > 0 Pr(T > t) = 0.7684 . tab diagnosis kategorilaktat4, col chi +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | column percentage | +-------------------+ | kategorilaktat4 diagnosis | Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------NSTEMI | 27 10 | 37 | 28.72 37.04 | 30.58 -----------+----------------------+---------STEMI | 67 17 | 84 | 71.28 62.96 | 69.42 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(1) = 0.6829 Pr = 0.409 . tab kilip kategorilaktat4, col chi +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | column percentage | +-------------------+ | kategorilaktat4 Kilip | Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------1 | 70 9 | 79 | 74.47 33.33 | 65.29 -----------+----------------------+---------2 | 14 3 | 17 | 14.89 11.11 | 14.05 -----------+----------------------+---------3 | 7 1 | 8 | 7.45 3.70 | 6.61 -----------+----------------------+---------4 | 3 14 | 17 | 3.19 51.85 | 14.05 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(3) = 41.4445 Pr = 0.000 . sum wbc if kategorilaktat4==1 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------wbc | 27 13.44889 4.321397 7.52 27.2 . sum wbc if kategorilaktat4==0 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------wbc | 94 12.81883 4.622116 2.66 25.6 . swilk wbc if kategorilaktat4==1 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------wbc | 27 0.90103 2.910 2.194 0.01412 . swilk wbc if kategorilaktat4==0 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------wbc | 94 0.96609 2.659 2.162 0.01529 . ksmirnov wbc, by ( kategorilaktat4) Two-sample Kolmogorov-Smirnov test for equality of distribution functions Smaller group D P-value Corrected ---------------------------------------------Rendah: 0.1292 0.496 Tinggi: -0.0705 0.812 Combined K-S: 0.1292 0.875 0.820 Note: ties exist in combined dataset; there are 102 unique values out of 121 observations. . sum hgb if kategorilaktat4=1 invalid syntax r(198); . sum hgb if kategorilaktat4==1 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------hgb | 27 13.37481 2.980106 6.14 17 . sum hgb if kategorilaktat4==0 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------hgb | 94 14.2183 1.962554 10.2 18.43 . swilk hgb if kategorilaktat4==0 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------hgb | 94 0.97674 1.824 1.329 0.09200 . swilk hgb if kategorilaktat4==1 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------hgb | 27 0.89528 3.079 2.310 0.01045 . ksmirnov hgb, by ( kategorilaktat4) Two-sample Kolmogorov-Smirnov test for equality of distribution functions Smaller group D P-value Corrected ---------------------------------------------Rendah: 0.1458 0.410 Tinggi: -0.2325 0.104 Combined K-S: 0.2325 0.207 0.147 Note: ties exist in combined dataset; there are 68 unique values out of 121 observations. . sum albumin if kategorilaktat4==1 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------albumin | 27 3.61963 .5891746 1.8 4.5 . sum albumin if kategorilaktat4==0 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------albumin | 94 3.782979 .4256023 2.65 4.63 . swilk albumin if kategorilaktat4==1 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------albumin | 27 0.93360 1.952 1.374 0.08471 . swilk albumin if kategorilaktat4==0 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------albumin | 94 0.98451 1.214 0.429 0.33383 . robvar albumin, by ( kategorilaktat4) kategorilak | Summary of Albumin tat4 | Mean Std. Dev. Freq. ------------+-----------------------------------Rendah | 3.7829787 .42560225 94 Tinggi | 3.6196296 .58917465 27 ------------+-----------------------------------Total | 3.7465289 .46931459 121 W0 = 4.1038295 df(1, 119) Pr > F = 0.04502282 W50 = 3.7124877 df(1, 119) Pr > F = 0.05639115 W10 = 3.9964704 df(1, 119) Pr > F = 0.04787433 . ttest albumin, by ( kategorilaktat4) Two-sample t test with equal variances -----------------------------------------------------------------------------Group | Obs Mean Std. Err. Std. Dev. [95% Conf. Interval] ---------+-------------------------------------------------------------------Rendah | 94 3.782979 .0438975 .4256023 3.695807 3.870151 Tinggi | 27 3.61963 .1133867 .5891746 3.38656 3.852699 ---------+-------------------------------------------------------------------combined | 121 3.746529 .042665 .4693146 3.662055 3.831003 ---------+-------------------------------------------------------------------diff | .1633491 .1018077 -.0382402 .3649385 -----------------------------------------------------------------------------diff = mean(Rendah) - mean(Tinggi) t = 1.6045 Ho: diff = 0 degrees of freedom = 119 Ha: diff < 0 Pr(T < t) = 0.9444 Ha: diff != 0 Pr(|T| > |t|) = 0.1113 Ha: diff > 0 Pr(T > t) = 0.0556 . sum bsacak if kategorilaktat4==1 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------bsacak | 27 166.3752 73.64029 95 404 . sum bsacak if kategorilaktat4==0 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------bsacak | 94 172.5821 80.98105 49 381.72 . swilk bsacak if kategorilaktat4==1 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------bsacak | 27 0.73514 7.786 4.216 0.00001 . swilk bsacak if kategorilaktat4==0 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------bsacak | 94 0.86206 10.817 5.264 0.00000 . ksmirnov bsacak, by ( kategorilaktat4) exact Two-sample Kolmogorov-Smirnov test for equality of distribution functions Smaller group D P-value Exact ---------------------------------------------Rendah: 0.1545 0.368 Tinggi: -0.1706 0.295 Combined K-S: 0.1706 0.575 0.513 Note: ties exist in combined dataset; there are 100 unique values out of 121 observations. . sum po2 if kategorilaktat4==1 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------po2 | 27 125.8519 41.56432 55 203 . sum po2 if kategorilaktat4==0 Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------po2 | 94 138.8537 33.93587 1.45 196 . swilk po2 if kategorilaktat4==1 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------po2 | 27 0.96296 1.089 0.175 0.43061 . swilk po2 if kategorilaktat4==0 Shapiro-Wilk W test for normal data Variable | Obs W V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------- po2 | 94 0.94278 4.487 3.319 0.00045 . ksmirnov po2, by ( kategorilaktat4) Two-sample Kolmogorov-Smirnov test for equality of distribution functions Smaller group D P-value Corrected ---------------------------------------------Rendah: 0.0741 0.794 Tinggi: -0.2695 0.048 Combined K-S: 0.2695 0.095 0.061 Note: ties exist in combined dataset; there are 73 unique values out of 121 observations. . tab riwayatkeluarga kategorilaktat4, col chi +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | column percentage | +-------------------+ riwayat | kategorilaktat4 keluarga | Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------Tidak | 86 24 | 110 | 91.49 88.89 | 90.91 -----------+----------------------+---------Ya | 8 3 | 11 | 8.51 11.11 | 9.09 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(1) = 0.1716 Pr = 0.679 . tab dislipidemia kategorilaktat4, col chi +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | column percentage | +-------------------+ dislipidem | kategorilaktat4 ia | Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------Tidak | 48 13 | 61 | 51.06 48.15 | 50.41 -----------+----------------------+---------Ya | 46 14 | 60 | 48.94 51.85 | 49.59 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(1) = 0.0713 Pr = 0.789 . tab hipertensi kategorilaktat4, col chi +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | column percentage | +-------------------+ | kategorilaktat4 hipertensi | Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------Tidak | 51 16 | 67 | 54.26 59.26 | 55.37 -----------+----------------------+---------Ya | 43 11 | 54 | 45.74 40.74 | 44.63 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(1) = 0.2125 Pr = 0.645 . tab diabetesmellitus kategorilaktat4, col chi +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | column percentage | +-------------------+ diabetes | kategorilaktat4 mellitus | Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------Tidak | 64 21 | 85 | 68.09 77.78 | 70.25 -----------+----------------------+---------Ya | 30 6 | 36 | 31.91 22.22 | 29.75 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(1) = 0.9428 Pr = 0.332 . tab merokok kategorilaktat4, col chi +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | column percentage | +-------------------+ | kategorilaktat4 merokok | Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------Tidak | 38 14 | 52 | 40.43 51.85 | 42.98 -----------+----------------------+---------Ya | 56 13 | 69 | 59.57 48.15 | 57.02 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(1) = 1.1175 Pr = 0.290 . tab streptase kategorilaktat4, col chi +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | column percentage | +-------------------+ | kategorilaktat4 Streptase | Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------Tidak | 51 23 | 74 | 54.26 85.19 | 61.16 -----------+----------------------+---------Ya | 43 4 | 47 | 45.74 14.81 | 38.84 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(1) = 8.4470 Pr = 0.004 . tab pci kategorilaktat4, col chi +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | column percentage | +-------------------+ | PCI | kategorilaktat4 Rendah Tinggi | Total -----------+----------------------+---------Tidak | 94 26 | 120 | 100.00 96.30 | 99.17 -----------+----------------------+---------Ya | 0 1 | 1 | 0.00 3.70 | 0.83 -----------+----------------------+---------Total | 94 27 | 121 | 100.00 100.00 | 100.00 Pearson chi2(1) = . stcox 3.5105 Pr = 0.061 kategorilaktat4 jeniskelamin kilip streptase pci po2 albumin hgb failure _d: analysis time _t: mortalitas == 1 tmmortallitas Iteration 0: log likelihood Iteration 1: log likelihood Iteration 2: log likelihood Iteration 3: log likelihood Iteration 4: log likelihood Iteration 5: log likelihood Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = = = = = = -108.26622 -79.439924 -74.410226 -72.15497 -72.105122 -72.105002 = -72.105002 Cox regression -- Breslow method for ties No. of subjects = No. of failures = Time at risk = Log likelihood = 121 23 3104 -72.105002 Number of obs = 121 LR chi2(8) Prob > chi2 = = 72.32 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.470544 1.929647 2.24 0.025 1.167141 10.31981 jeniskelamin | .3781112 .1943212 -1.89 0.058 .1380909 1.035319 kilip | 2.738501 .6665136 4.14 0.000 1.699582 4.41249 streptase | .1596549 .1686139 -1.74 0.082 .0201472 1.265169 pci | .8879354 .9655005 -0.11 0.913 .1053959 7.480646 po2 | .9944551 .0055129 -1.00 0.316 .9837085 1.005319 albumin | 1.506168 .7635308 0.81 0.419 .5576592 4.067974 hgb | .8383672 .0810531 -1.82 0.068 .6936499 1.013277 --------------------------------------------------------------------------------. stcox kategorilaktat4 jeniskelamin kilip streptase failure _d: analysis time _t: Iteration 0: Iteration 1: Iteration 2: mortalitas == 1 tmmortallitas log likelihood = -108.26622 log likelihood = -79.187021 log likelihood = -74.342417 po2 albumin hgb Iteration 3: log likelihood Iteration 4: log likelihood Iteration 5: log likelihood Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = -72.162888 = -72.111296 = -72.111144 = -72.111144 Cox regression -- Breslow method for ties No. of subjects = No. of failures = Time at risk = Log likelihood = 121 23 3104 -72.111144 Number of obs = 121 LR chi2(7) Prob > chi2 = = 72.31 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.446578 1.907693 2.24 0.025 1.164783 10.19838 jeniskelamin | .3759126 .1922906 -1.91 0.056 .1379341 1.024476 kilip | 2.733509 .6645463 4.14 0.000 1.6974 4.402071 streptase | .1600178 .1690073 -1.74 0.083 .0201905 1.268203 po2 | .9944737 .0055172 -1.00 0.318 .9837188 1.005346 albumin | 1.514613 .76723 0.82 0.412 .5612081 4.087704 hgb | .8374894 .0807179 -1.84 0.066 .6933298 1.011623 --------------------------------------------------------------------------------. stcox kategorilaktat4 jeniskelamin kilip streptase failure _d: analysis time _t: po2 hgb mortalitas == 1 tmmortallitas Iteration 0: log likelihood Iteration 1: log likelihood Iteration 2: log likelihood Iteration 3: log likelihood Iteration 4: log likelihood Iteration 5: log likelihood Iteration 6: log likelihood Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = = = = = = = -108.26622 -79.325031 -74.724078 -72.517399 -72.455708 -72.455418 -72.455418 = -72.455418 Cox regression -- Breslow method for ties No. of subjects = No. of failures = Time at risk = Log likelihood = 121 23 3104 -72.455418 Number of obs = 121 LR chi2(6) Prob > chi2 = = 71.62 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.429493 1.90678 2.22 0.027 1.153363 10.1975 jeniskelamin | .3579872 .1833241 -2.01 0.045 .1312109 .9767086 kilip | 2.565232 .593352 4.07 0.000 1.630193 4.036585 streptase | .176314 .1855948 -1.65 0.099 .0224016 1.387694 po2 | .9963355 .0050733 -0.72 0.471 .9864414 1.006329 hgb | .8557032 .0806654 -1.65 0.098 .7113481 1.029353 --------------------------------------------------------------------------------. stcox kategorilaktat4 jeniskelamin kilip streptase failure _d: analysis time _t: hgb mortalitas == 1 tmmortallitas Iteration 0: log likelihood Iteration 1: log likelihood Iteration 2: log likelihood Iteration 3: log likelihood Iteration 4: log likelihood Iteration 5: log likelihood Iteration 6: log likelihood Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = = = = = = = -108.26622 -79.627657 -75.33099 -72.787442 -72.71824 -72.717791 -72.717791 = -72.717791 Cox regression -- Breslow method for ties No. of subjects = No. of failures = Time at risk = Log likelihood = 121 23 3104 -72.717791 Number of obs = 121 LR chi2(5) Prob > chi2 = = 71.10 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.483324 1.918097 2.27 0.023 1.183801 10.24965 jeniskelamin | .3587854 .1855125 -1.98 0.047 .1302312 .9884494 kilip | 2.508406 .5739983 4.02 0.000 1.601834 3.928061 streptase | .1768194 .1860651 -1.65 0.100 .0224812 1.390721 hgb | .8445181 .0790484 -1.81 0.071 .7029671 1.014572 --------------------------------------------------------------------------------. stcox kategorilaktat4 jeniskelamin kilip failure _d: analysis time _t: hgb mortalitas == 1 tmmortallitas Iteration 0: log likelihood Iteration 1: log likelihood Iteration 2: log likelihood Iteration 3: log likelihood Iteration 4: log likelihood Iteration 5: log likelihood Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = = = = = = -108.26622 -80.85638 -78.862325 -74.923775 -74.861199 -74.861132 = -74.861132 Cox regression -- Breslow method for ties No. of subjects = No. of failures = Time at risk = 121 23 3104 Number of obs = 121 Log likelihood = LR chi2(4) Prob > chi2 -74.861132 = = 66.81 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.326459 1.903306 2.10 0.036 1.083798 10.20977 jeniskelamin | .3954599 .2052832 -1.79 0.074 .1429696 1.093858 kilip | 2.81439 .6529046 4.46 0.000 1.786142 4.434583 hgb | .8103855 .0775554 -2.20 0.028 .6717847 .977582 --------------------------------------------------------------------------------. stcox kategorilaktat4 failure _d: analysis time _t: kilip hgb mortalitas == 1 tmmortallitas Iteration 0: log likelihood Iteration 1: log likelihood Iteration 2: log likelihood Iteration 3: log likelihood Iteration 4: log likelihood Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = = = = = -108.26622 -83.475411 -76.424479 -76.373642 -76.373626 = -76.373626 Cox regression -- Breslow method for ties No. of subjects = No. of failures = Time at risk = Log likelihood = 121 23 3104 -76.373626 Number of obs = 121 LR chi2(3) Prob > chi2 = = 63.79 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.066958 1.732156 1.98 0.047 1.013833 9.277889 kilip | 2.831955 .6510545 4.53 0.000 1.804674 4.444 hgb | .7731121 .0671702 -2.96 0.003 .6520601 .9166369 --------------------------------------------------------------------------------. stcox kategorilaktat4 jeniskelamin kilip failure _d: analysis time _t: mortalitas == 1 tmmortallitas Iteration 0: log likelihood Iteration 1: log likelihood Iteration 2: log likelihood Iteration 3: log likelihood Iteration 4: log likelihood Iteration 5: log likelihood Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = = = = = = -108.26622 -80.85638 -78.862325 -74.923775 -74.861199 -74.861132 = -74.861132 Cox regression -- Breslow method for ties hgb No. of subjects = No. of failures = Time at risk = Log likelihood 121 23 3104 = -74.861132 Number of obs = 121 LR chi2(4) Prob > chi2 = = 66.81 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.326459 1.903306 2.10 0.036 1.083798 10.20977 jeniskelamin | .3954599 .2052832 -1.79 0.074 .1429696 1.093858 kilip | 2.81439 .6529046 4.46 0.000 1.786142 4.434583 hgb | .8103855 .0775554 -2.20 0.028 .6717847 .977582 --------------------------------------------------------------------------------. stcox kategorilaktat4 jeniskelamin kilip failure _d: analysis time _t: mortalitas == 1 tmmortallitas Iteration 0: log likelihood Iteration 1: log likelihood Iteration 2: log likelihood Iteration 3: log likelihood Iteration 4: log likelihood Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = = = = = -108.26622 -83.701285 -77.211975 -77.129076 -77.129001 = -77.129001 Cox regression -- Breslow method for ties No. of subjects = No. of failures = Time at risk = Log likelihood 121 23 3104 = -77.129001 Number of obs = 121 LR chi2(3) Prob > chi2 = = 62.27 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.815327 2.104339 2.43 0.015 1.294353 11.24633 jeniskelamin | .2600555 .1248849 -2.80 0.005 .1014609 .6665511 kilip | 2.639003 .5863566 4.37 0.000 1.707311 4.079127 --------------------------------------------------------------------------------. stcox kategorilaktat4 jeniskelamin kilip failure _d: analysis time _t: Iteration Iteration Iteration Iteration Iteration Iteration 0: 1: 2: 3: 4: 5: log log log log log log mortalitas == 1 tmmortallitas likelihood likelihood likelihood likelihood likelihood likelihood = = = = = = -108.26622 -80.85638 -78.862325 -74.923775 -74.861199 -74.861132 hgb Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = -74.861132 Cox regression -- Breslow method for ties No. of subjects = No. of failures = Time at risk = Log likelihood = 121 23 3104 -74.861132 Number of obs = 121 LR chi2(4) Prob > chi2 = = 66.81 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.326459 1.903306 2.10 0.036 1.083798 10.20977 jeniskelamin | .3954599 .2052832 -1.79 0.074 .1429696 1.093858 kilip | 2.81439 .6529046 4.46 0.000 1.786142 4.434583 hgb | .8103855 .0775554 -2.20 0.028 .6717847 .977582 --------------------------------------------------------------------------------. stcox kategorilaktat4 jeniskelamin failure _d: analysis time _t: hgb mortalitas == 1 tmmortallitas Iteration 0: log likelihood Iteration 1: log likelihood Iteration 2: log likelihood Iteration 3: log likelihood Iteration 4: log likelihood Iteration 5: log likelihood Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = = = = = = -108.26622 -93.405801 -90.234949 -88.268234 -88.262767 -88.262767 = -88.262767 Cox regression -- Breslow method for ties No. of subjects = No. of failures = Time at risk = Log likelihood = 121 23 3104 -88.262767 Number of obs = 121 LR chi2(3) Prob > chi2 = = 40.01 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 10.21734 4.765282 4.98 0.000 4.095855 25.48773 jeniskelamin | .3857646 .1774627 -2.07 0.038 .1565834 .9503843 hgb | .8772398 .0632486 -1.82 0.069 .7616353 1.010391 --------------------------------------------------------------------------------. stcox kategorilaktat4 jeniskelamin kilip failure _d: analysis time _t: Iteration 0: mortalitas == 1 tmmortallitas log likelihood = -108.26622 hgb Iteration 1: log likelihood Iteration 2: log likelihood Iteration 3: log likelihood Iteration 4: log likelihood Iteration 5: log likelihood Refining estimates: Iteration 0: log likelihood = = = = = -80.85638 -78.862325 -74.923775 -74.861199 -74.861132 = -74.861132 Cox regression -- Breslow method for ties No. of subjects = No. of failures = Time at risk = Log likelihood = 121 23 3104 -74.861132 Number of obs = 121 LR chi2(4) Prob > chi2 = = 66.81 0.0000 --------------------------------------------------------------------------------_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.326459 1.903306 2.10 0.036 1.083798 10.20977 jeniskelamin | .3954599 .2052832 -1.79 0.074 .1429696 1.093858 kilip | 2.81439 .6529046 4.46 0.000 1.786142 4.434583 hgb | .8103855 .0775554 -2.20 0.028 .6717847 .977582 . poisson mortalitas kategorilaktat4 kilip hgb, exposure(tmmortallitas) irr Iteration Iteration Iteration Iteration 0: 1: 2: 3: log log log log likelihood likelihood likelihood likelihood Poisson regression Log likelihood = -61.238491 = = = = -61.831013 -61.240592 -61.238492 -61.238491 Number of obs LR chi2(3) Prob > chi2 Pseudo R2 = = = = 121 86.58 0.0000 0.4141 --------------------------------------------------------------------------------mortalitas | IRR Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ----------------+---------------------------------------------------------------kategorilaktat4 | 3.357188 1.83141 2.22 0.026 1.152469 9.779626 kilip | 3.441751 .7567346 5.62 0.000 2.236796 5.295809 hgb | .7143353 .0560901 -4.28 0.000 .6124424 .8331803 _cons | .0291725 .030751 -3.35 0.001 .0036959 .2302675 ln(tmmortall~s) | 1 (exposure) ---------------------------------------------------------------------------------