konservasi wilayah pesisir

advertisement
KONSERVASI WILAYAH PESISIR
Oleh : Amelia
ABSTRAK
Kata kunci dari konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan, perlindungan,
pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan. Hal tersebut dilakukan
karena sumberdaya pesisir baik flora, fauna, dan ekosistem memiliki kegunaan dan
nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang penting.
Pada saat ini program/strategi konservasi wilayah pesisir menjadi agenda penting
mengingat kerusakan sumberdaya pesisir akibat pencemaran yang berasal dari wilayah pesisir
dan sekitarnya. Dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dapat
membahayakan kelestarian ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir yang rusak dapat
mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia, spesies lain dan lingkungannya.
Fenomena kerusakan wilayah pesisir dapat dipantau baik melalui media cetak dan elektronik
maupun dapat dilihat secara langsung di lapangan. Kerusakan wilayah pesisir bukan hanya
oleh penduduk wilayah pesisir saja, tetapi juga oleh penduduk sekitarnya.
Ancaman utama pada keanekaragaman hayati di wilayah pesisir adalah terjadinya
kerusakan lingkungan dan kepunahan habitat. Oleh karena itu, cara yang paling baik untuk
melindungi keanekaragaman hayati yaitu dengan cara melakukan konservasi.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Konservasi wilayah pesisir yang
dimaksud adalah upaya perlindungan,
pelestarian
dan
pemanfaatan
serta
ekosistemnya untuk menjamin keberadaan
dan kesinambungan sumberdaya pesisir
dengan
tetap
memelihara
dan
meningkatkan
kualitas
nilai
dan
keanekaragaman hayati (Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2007: 3).
Kata kunci dari konservasi wilayah
pesisir
mencakup
pemanfaatan,
perlindungan,
pelestarian,
serta
terjaminnya
ekosistem
yang
berkesinambungan. Hal tersebut dilakukan
karena sumberdaya pesisir baik flora,
fauna, dan ekosistem memiliki kegunaan
dan nilai ekologis, ekonomis dan sosial
yang penting.
Kualitas dan keanekaragaman
hayati wilayah pesisir harus terus
dikonservasi sehingga keanekaragaman
hayatinya terus meningkat dan kondisi
ekosistem dalam keadaan homeostatis.
Sebaliknya, jika suatu ekosistem pesisir
menunjukkan
keanekaan
hayatinya
mengalami penurunan harus diwaspadai
sebagai tanda perlunya upaya untuk
pemulihan kembali. Sebab jika tidak
dilakukan konservasi bukan saja ekosistem
pesisir yang rusak, tetapi juga nasib
manusia
(masyarakat pesisir) yang
terancam.
Pada saat ini program/strategi
konservasi wilayah pesisir menjadi agenda
penting mengingat kerusakan sumberdaya
pesisir akibat pencemaran yang berasal
dari wilayah pesisir dan sekitarnya. Dari
daerah sekitarnya berupa pencemaran
limbah domestik, limbah industri, bahkan
adanya erosi dari lahan pertanian yang
topografinya curam. Sedangkan dari
wilayah pesisir berupa pencemaran yang
berasal dari pertanian, perikanan, serta
kegiatan lainnya.
Dampak
pencemaran
dan
kerusakan lingkungan di wilayah pesisir
dapat
membahayakan
kelestarian
ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir yang
rusak dapat mengganggu kehidupan dan
penghidupan manusia, spesies lain dan
lingkungannya.
Seperti
dengan
keanekaragaman
hayati
menurun
menunjukkan
terjadinya
kepunahan
spesies tertentu. Kepunahan spesies
tertentu dapat mengganggu keseimbangan
ekosistem
pesisir,
karena
akan
menyebabkan spesies lain akan melimpah
sehingga rantai makanan terganggu.
Padahal dalam sistem rantai makanan
sebelumnya sudah demikian teratur.
2. Tujuan Penulisan
1. Sebagai bahan pemikiran pada
masyarakat
dalam
upaya
meningkatan kelestarian wilayah
pesisir
2. Untuk mengetahui apakah dengan
konservasi dapat meningkatkan
keanekaragaman hayati dan kondisi
ekosistem dalam keadaan baik atau
sebaliknya
4. Metode penulisan
Dalam penulisan karya tulis ini untuk
memperoleh data-data yang dibutuhkan
penulis menggunakan metode penulisan
sebagai berikut. Studi Kepustakaanyaitu
penulis membaca buku-buku, literatur,
internet, dan sumber-sumber yang
dapat
dipercaya berkaitan dengan
penelitian ini.
TINJAUAN PUSTAKA
Adapun tujuan penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Memperoleh
gambaran
pelaksanaan konservasi wilayah
pesisir
sesuai
dengan
tujuan
kelestarian
ekosistem
wilayah pesisir
2. Tujuan Khusus
Agar masyarakat lebih memahami
dan mengetahui seberapa penting
kelestarian lingkungan di wilayah
pesisir bagi kehidupan ekosistem
pantai, laut dan masyarakat pesisir.
3.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan karya tulis
ilmiah ini adalah sebagai berikut:
Saat ini degradasi lingkungan
wilayah pesisir sudah mengancam
kehidupan dan penghidupan manusia serta
ekosistemnya. Rusaknya ekosistem pesisir
mengakibatkan nilai guna langsung, nilai
guna tidak langsung, nilai guna pilihan,
serta nilai guna konsumtif tidak berfungsi
lagi. Otomatis fungsi lingkungan hidup
dari wilayah pesisir pun terganggu. Oleh
karena itu, untuk menjawab tantangan
tersebut
maka
jawabanya
adalah
konservasi, karena konservasi dapat
melindungi,
melestarikan
dan
memanfaatkan ekosistem wilayah pesisir
secara berkelanjutan.
Ancaman Kerusakan Wilayah Pesisir
Fenomena kerusakan wilayah pesisir dapat
dipantau baik melalui media cetak dan
elektronik maupun dapat dilihat secara
langsung di lapangan. Kerusakan wilayah
pesisir bukan hanya oleh penduduk
wilayah pesisir saja, tetapi juga oleh
penduduk
sekitarnya.
Penduduk
pesisir biasanya membuang limbah
domestik (sampah, hasil pengolahan ikan,
dan
kegiatan
lainnya).
Sedangkan
penduduk sekitarnya tidak memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi, termasuk dalam
kegiatan pertanian sehingga menimbulkan
erosi. Erosi dan limbah dari daerah
sekitarnya akan masuk ke sungai dan
mengalir ke wilayah pesisir. Oleh karena
itu, wilayah pesisir sangat rentan terhadap
kerusakan lingkungan.
Wilayah pesisir tergolong sumberdaya
milik bersama, harus tetap lestari dan
berkelanjutan. Dengan telah terjadinya
perubahan kondisi lingkungan berupa erosi
dan pencemaran akan dapat mengancam
keanekaragaman hayati dan sumberdaya
alam. Menurut Hardin (1968: 162) bahwa
pemanfaatan sumberdaya milik bersama
harus
mempertimbangkan
faktor
internalitas
lingkungan
dan
faktor
ekstenalitas lingkungan. Yang dimaksud
dengan internalitas lingkungan adalah
mengambil peran (bertanggungjawab)
untuk mengelola dampak lingkungan yang
dapat merugikan keselamatan manusia dan
lingkungan
sekitarnya.
Sedangkan
eksternalitas lingkungan adalah perilaku
yang tidak bertanggungjawab atas kegiatan
yang dilakukannya sehingga dapat
merugikan manusia dan lingkungan
sekitarnya.
Sumberdaya yang ada di wilayah
pesisir sebagai sumberdaya milik bersama
memiliki manfaat ekologis yakni (1) nilai
guna langsung; (2) nilai guna tidak
langsung; (3) nilai guna pilihan; dan (4)
nilai guna nonkonsumtif (Wiratno et. al,
2004:144). Nilai guna langsung, meliputi
komoditas pangan yang dihasilkan
kawasan, produk-produk hutan atau laut
dan manfaat rekreasi. Nilai guna tidak
langsung,
meliputi
manfaat-manfaat
fungsional dari proses ekologis yang
secara terus
menerus
memberikan
perannya kepada masyarakat maupun
ekosistem. Nilai guna pilihan, meliputi
manfaat sumberdaya alam yang tersimpan
atau dipertahankan bagi kepentingan masa
depan, misalnya sumber daya hutan yang
menyimpan plasma nutfah atau sumber
genetik. Nilai guna nonkonsumtif, meliputi
nilai keberadaan, yaitu nilai yang diberikan
masyarakat kepada kawasan konservasi
atas manfaat spiritual, estetika dan
kultural; serta nilai warisan, yaitu nilai
yang diberikan masyarakat yang hidup saat
ini terhadap suatu sumber daya tertentu
agar tetap utuh dan bisa dimanfaatkan oleh
generasi mendatang.
Oleh karena itu, apabila
terjadi kerusakan lingkungan yang parah,
diduga sumberdaya milik bersama ini akan
kehilangan nilai guna langsung, nilai guna
tidak langsung, nilai guna pilihan dan nilai
guna nonkonsumtif seperti yang diuraikan
sebelumnya.
Terjadinya
kerusakan
lingkungan mengakibatkan habitat alami
rusak.
Menurut Primack (1998: 59) bahwa di
banyak wilayah kepulauan atau tempattempat yang banyak penduduknya, hampir
semua habitat alami telah rusak, 47 negara
dari 57 negara tropik di Afrika dan Asia
telah kehilangan 50% atau lebih habitat
hutan tropiknya. Bahkan di Asia, 65%
habitat hutan tropiknya telah musnah.
Berdasarkan uraian di atas,
ancaman utama pada keanekaragaman
hayati di wilayah pesisir adalah terjadinya
kerusakan lingkungan dan kepunahan
habitat. Oleh karena itu, cara yang paling
baik untuk melindungi keanekaragaman
hayati yaitu dengan cara melakukan
konservasi.
Tipologi Wilayah Pesisir
Kondisi fisik habitat wilayah
pesisir banyak dipengaruhi oleh perubahan
yang ada di daratan maupun lautan.
Wilayah pesisir dalam Undang-undang
No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
adalah daerah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut.
Dahuri (2003: 26- 143) membagi
wilayah pesisir secara garis besar ke dalam
dua kelompok ekosistem, yakni ekosistem
yang tidak tergenang air dan ekosistem
yang tergenang air. Ekosistem yang tidak
tergenang air mencakup (1) formasi
pescaprae dan (2) formasi barringtonia.
1)
air
Ekosistem yang tidak tergenang
(1) Formasi Pescaprae dikenal dengan
sebutan gosong pantai berpasir. Formasi
ini didominasi tumbuhan pionir, terutama
kangkung laut (Ipomoea pescaprae).
Orang kebanyakan melihat tumbuhan ini
terkadang
dianggap
mengganggu
pemandangan di pantai, padahal tumbuhan
ini berfungsi sebagai pelindung pantai.
yang dapat menahan ombak.
(2) Formasi barringtonia ditandai dengan
komunitas rerumputan dan belukar yang
ada di pantai berbatu tanpa pasir (gravvel).
Formasi ini ditumbuhi cemara laut
(Casuarina equisitifol) dan Callophyllum
innophyllum.
2)
Ekosistem yang tergenang air
Ekosistem yang tergenang air meliputi (1)
terumbu karang (2) padang lamun (3)
hutan mangrove (4) estuaria dan (5)
rumput laut. Berikut ini diuraikan sepintas
tentang ekosistem pesisir yang tergenang
air.
(1) Terumbu karang
Terumbu karang berkembang baik hanya
di daerah tropik. Terumbu karang
terbentuk dari endapan-endapan masif
terutama kalsium karbonat yang dihasilkan
oleh hewan karang (filum Scnedaria, kelas
Anthozoa,
ordo
Madreporaria
Scleractinia),
alga
berkapur
dan
organisme-organisme
lain
yang
mengeluarkan
kalsium
karbonat
(Nybakken, 1986: 25). Hewan karang
termasuk kelas Anthozoa berarti hewan
berbentuk bunga (Antho artinya bunga;
zoa artinya hewan).
Ekosistem terumbu karang mempunyai
produktivitas organik yang tinggi. Hal ini
disebabkan oleh kemampuan terumbu
karang untuk menahan nutrien dalam
sistem dan berperan sebagai kolam untuk
menampung segala masukan dari luar.
Nilai produksi bersih terumbu karang
berkisar 300-5000 g C (Carbon) m2 per
tahun, lebih tinggi dari ekosistem
sekitarnya (Nybakken, 1986: 27)
Secara ekologis, terumbu karang dapat
berfungsi melindungi komponen ekosistem
pesisir lainnya dari gempuran gelombang
dan badai. Terumbu karang termasuk
ekosistem yang sangat rentan terhadap
gangguan akibat kegiatan manusia.
Apabila
rusak,
terumbu
karang
memerlukan pemulihan dengan kurun
waktu yang cukup lama.
Adapun yang menjadi parameter ekosistem
terumbu karang yaitu tingkat kejernihan
air laut, temperatur, salinitas, sirkulasi arus
dan sedimentasi. Faktor sedimentasi dapat
menutupi permukaan terumbu karang,
sehingga berdampak negatif terhadap
hewan karang dan biota yang berasosiasi
dengan habitatnya.
(2) Padang lamun
Padang
lamun.
Tumbuhan
lamun
(seagrasses) termasuk tumbuhan berbunga
(Angiospemae) yang telah sepenuhnya
beradaptasi hidup terbenam di dalam laut.
Tumbuhan ini mempunyai sifat yang
memungkinkan hidup yakni karena (1)
mampu hidup pada media air asin; (2)
mampu berfungsi normal dalam keadaan
terbenam; (3)mempunyai sistem perakaran
jangkar yang berkembang baik; (4) mampu
melaksanakan penyerbukan dan daur
generatif dalam keadaan terbenam.
Tanaman lamun memiliki bunga dan buah
yang kemudian berkembang menjadi
benih.
terutama pada wilayah pesisir yang
memiliki sungai besar dan delta yang
aliran airnya banyak mengandung lumpur.
Lamun tumbuh subur terutama di daerah
terbuka pasang surut dan perairan pantai
yang dasarnya berupa lumpur, pasir,
kerikil, patahan karang mati dengan
kedalaman sampai empat meter. Padang
lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal,
tersusun atas satu jenis lamun yang
tumbuh membentuk padang lebat,
sedangkan vegetasi campuran terdiri dari
dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh
bersama-sama pada satu substrat. Spesies
lamun yang tumbuh dengan vegetasi
tunggal adalah Thalassia henprichii,
Enhalus acoroides, Halophila ovalis,
Halodule
uninervis,
Cynmodocea
serrulata, dan Thalassodendrom ciliatum.
Pada substrat berlumpur di daerah
mangrove ke arah laut, sering dijumpai
padang lamun dari spesies tunggal yang
berasosiasi tinggi (Dahuri, 2003: 39).
Adapun
yang
menjadi
parameter
pertumbuhan ekosistem lamun mencakup
tingkat kejernihan air laut, temperatur,
salinitas, substrat dan kecepatan arus
perairan.
Pertumbuhan mangrove mengikuti pola
zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan
faktor lingkungan seperti kondisi tanah
(lumpur, pasir, gambut), keterbukaan
terhadap hempasan gelombang, salinitas
serta pengaruh pasang surut. Pembentukan
zonasi dimulai dari arah laut menuju
daratan, yang terdiri dari zona Avicennia
dan Sonneratia yang berada paling depan
serta berhadapan dengan laut. Zona
dibelakangnya berturut-turut Rhizhopora,
Bruguiera, dan Ceriops (Dahuri, 2003:
60).
(3) Hutan mangrove
Hutan mangrove ada yang menyebut
sebagai hutan pasang surut, hutan payau
atau hutan bakau. Bakau sebenarnya
menunjukkan kepada salah satu jenis
tumbuhan yang menyusun hutan mangrove
yaitu jenis Rhizophora spp. Pemberian
istilah hutan bakau dinilai kurang tepat,
namun sebutan yang tepat adalah hutan
mangrove.
Hutan mangrove termasuk hutan tropika
dan subtropika yang tumbuh di sepanjang
pantai atau muara sungai serta dipengaruhi
pasang surut air laut. Mangrove banyak
tumbuh pada wilayah pesisir yang dapat
menahan ombak serta berada pada daerah
yang landai. Pertumbuhan yang optimal
dari mangrove spesies Rhyzophora spp
Adapun
yang
menjadi
parameter
lingkungan utama dalam menentukan
pertumbuhan mangrove antara lain suplai
air tawar dan salinitas, pasokan nutrien,
dan stabilitas substrat. Berdasarkan
parameter tersebut, menunjukkan bahwa
adanya sungai yang bermuara ke laut yang
membawa air tawar yang diikuti dengan
sejumlah nutrien merupakan faktor kunci
pertumbuhan mangrove.
Ekosistem hutan mangrove secara ekologis
memiliki fungsi sebagai tempat mencari
makan, memijah, memelihara berbagai
macam biota perairan (ikan, udang, dan
kerang-kerangan).
Hutan
mangrove
merupakan habitat berbagai jenis satwa,
baik sebagai habitat pokok maupun habitat
sementara, penghasil sejumlah detritus,
dan perangkap sedimen. Dari segi
ekonomi, vegetasi ini dapat dimanfaatkan
sebagai sumber penghasil kayu bangunan,
bahan baku kertas, kayu bakar, arang, alat
tangkap ikan dan sumber bahan lain,
seperti tannin dan pewarna (Mukkhtasor,
2007: 36).
Hasil penelitian MacFarlane et. al. (2003:
139-151) menunjukkan bahwa akar
mangrove spesies Avicennia marina atau
sebutan masyarakat adalah api-api
digunakan sebagai indikator biologis
lingkungan yang tercemar logam berat
terutama tembaga (Cu), timbal (Pb), dan
seng (Zn) melalui monitoring secara
berkala. Hal ini menunjukkan spesies
Avicennia marina memiliki toleransi yang
besar serta mengakumulasi berbagai jenis
logam. Sementara spesies mangrove jenis
lainnya kurang toleran terhadap logam
berat.
Apabila suatu daerah pesisir yang tercemar
logam berat, seperti yang diuraikan di atas
maka hanya mangrove spesies Avicennia
marina saja yang dapat bertahan. Artinya
spesies mangrove lainnya tidak dapat
bertahan karena tidak mampu beradaptasi
dengan perubahan lingkungan.
(4) Estuaria
Estuaria adalah wilayah sungai yang ada di
bagian
hilir
dan
bermuara
ke
laut, sehingga memungkinkan terjadinya
pencampuran antara air tawar dan air laut.
Estuaria didominasi oleh substrat lumpur
yang berasal dari endapan yang dibawa
oleh air tawar sehingga bersatu dengan air
laut. Partikel yang mengendap kebanyakan
bersifat organik, substrat dasar estuaria
kaya akan bahan organik. Bahan organik
tersebut sebagai cadangan makanan
utama, bagi pertumbuhan mangrove dan
organisme lainnya. Komponen fauna
estuaria dihuni oleh biota air laut dan air
tawar.
Komponen
fauna
estuaria
didominasi hewan stenohaline dan hewan
eurihaline. Hewan stenohaline adalah
hewan yang terbatas kemampuannya
dalam mentolerir perubahan salinitas
sampai 30 permil. Sedangkan hewan
eurihaline adalah hewan khas laut yang
mampu mentolerir penurunan salinitas
hingga di bawah 30 permil.
Parameter lingkungan utama ekosistem
estuaria antara lain sirkulasi air, partikel
tersuspensi dan kandungan polutan.
Dengan demikian ekosistem estuaria ini
sangat sensitif terhadap perubahan
sirkulasi air, tersuspensinya partikel dan
polutan.
(5) Rumput laut
Rumput laut (seaweed) dapat hidup pada
perairan yang cukup cahaya. Nutrien yang
diperlukan oleh rumput laut diperoleh
langsung dari air laut. Nutrien tersebut
dihantarkan melalui upwelling, turbulensi
dan masukan dari daratan.
Rumput laut memiliki produktivitas yang
cukup besar, dan hewan pemangsa
langsung rumput laut relatif sedikit.
Diperkirakan produksi bersih rumput laut
yang memasuki jaring makanan melalui
pemangsaan hanya 10 %, sisanya 90 %
masuk melalui rantai bentuk detritus atau
bahan organik terlarut (Nybakken, 1986:
61).
Berdasarkan uraian di atas tentang
ekosistem pesisir yang tidak tergenang air
dan yang tidak tergenang air menunjukkan
bahwa ekosistem tersebut memiliki nilai
yang sangat penting bagi manusia dan
lingkungannya. Terpeliharanya ekosistem
pesisir dapat memberikan manfaat bukan
hanya untuk saat ini saja, tetapi untuk
masa yang akan datang. Ekosistem pesisir
memiliki potensi yang sangat besar untuk
dikembangkan terutama dalam bidang
jasa-jasa lingkungan. Jasa-jasa lingkungan
tersebut anatar lain kegiatan parisiwata,
pendidikan dan penelitian wilayah pesisir.
Konservasi Wilayah
Berkelanjutan
Pesisir
yang
Konservasi wilayah pesisir di sini
mengacu pada konsep pembangunan
berkelanjutan.
Pembangunan
yang
berkelanjutan adalah pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan generasi saat
ini dan kebutuhan generasi mendatang.
Pembangunan
yang
berkelanjutan
dilaksanakan tanpa mengurangi fungsi
lingkungan hidup. Lingkup pembangunan
berkelanjutan meliputi aspek lingkungan,
ekonomi, dan sosial yang diterapkan
secara seimbang serasi selaras dengan
alam. Hal ini sesuai dengan amanat
Undang-Undang
No.
32
Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup pasal 1 ayat 3, bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek
lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.
Purba ed. (2002: 18-20)
mengemukakan lima prinsip utama
pembangunan berkelanjutan yakni dengan
menggunakan prinsip (1) keadilan antar
generasi; (2) keadilan dalam satu generasi;
(3) pencegahan dini; (4) perlindungan
keanekaragaman
hayati;
dan
(5)
internalisasi biaya lingkungan dan
mekanisme insentif.
Kelima
prinsip
di
atas,
mengandung arti bahwa pembangunan
harus memberikan jaminan supaya serasi,
selaras dan seimbang dengan daya dukung
lingkungan. Oleh karena itu, daya dukung
lingkungan yang ada di wilayah pesisir
seharusnya tetap terpelihara dan terjaga
baik sehingga dapat dimanfaatkan secara
terprogram
secara
lestari
bagi
kesejahteraan generasi mendatang.
Kerusakan lingkungan telah terjadi
di wilayah pesisir yang diakibatkan oleh
perilaku manusia di wilayah pesisir dan di
daerah sekitarnya. Kerusakan lingkungan
tersebut dapat
mengancam fungsi
lingkungan hidup wilayah pesisir. Fungsi
lingkungan hidup akan mengancam
kelestarian tipologi ekosistem pesisir, yang
meliputi ekosistem yang tidak tergenang
air dan ekosistem yang tergenang air.
Konservasi wilayah pesisir sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya adalah upaya
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
serta ekosistemnya untuk menjamin
keberadaan
dan
kesinambungan
sumberdaya
pesisir
dengan
tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai
dan
keanekaragaman
hayati
(Departemen Kelautan dan Perikanan,
2007: 3).
Dalam konservasi ada aspek yang
tidak boleh diabaikan yaitu kondisi
lingkungan,
ekonomi,
dan
sosial.
Lingkungan yang dimaksud mencakup
tumbuhan dan hewan harus sesuai dengan
habitatnya sehingga dapat tumbuh optimal.
Ekonomi yang dimaksud bahwa untuk
melakukan konservasi membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Konservasi harus
memperhitungkan
faktor
biaya
penanaman, biaya perawatan, dan biaya
pengamanan. Faktor sosial yang dimaksud
adalah
bahwa
dalam
konservasi
selayaknya melibatkan masyarakat. Karena
dengan melibatkan masyarakat, tumbuhan
dipelihara, dijaga dan dirawat sesuai
dengan kearifan budayanya.
Manfaat
konservasi
wilayah
pesisir yaitu manfaat biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap
spesies endemik dan spesies langka,
perlindungan terhadap spesies yang rentan
dalam masa pertumbuhan, pengurangan
mortalitas,
perlindungan
pemijahan,
manfaat penelitian, ekoturism, dan
peningkatan produktivitas perairan (Fauzi
dan Anna (2005: 73). Manfaat konservasi
tersebut, mencakup manfaat langsung
maupun
tidak
langsung.
Manfaat
konservasi wilayah pesisir tidak hanya
bersifat terukur (tangible), tetapi ada juga
yang tidak terukur (intangible). Manfaat
yang terukur mencakup manfaat kegunaan
baik untuk dikonsumsi maupun tidak.
Sedangkan manfaat tidak terukur lebih
tertuju pada manfaat pemeliharaan
ekosistem dalam jangka panjang.
Kegiatan
pemanfaatan,
perlindungan dan pelestarian di wilayah
pesisir, selayaknya dengan menggunakan
pendekatan secara bottom up. Pendekatan
ini, sudah mengakomodir kebutuhan
masyarakat yang ada di lapangan. Dengan
kata lain pendekatan ini sudah sesuai
dengan program yang sudah disusun
komunitas (masyarakat pesisir).
(1) Identifikasi tipologi wilayah pesisir
yang telah mengalami kerusakan;
Strategi Konservasi Wilayah Pesisir
yang Berkelanjutan
(2) Merumuskan langkah-langkah
berkelanjutan dalam melindungi wilayah
pesisir.
Untuk melaksanakan konservasi
wilayah pesisir yang berkelanjutan,
diajukan beberapa strategi sebagai berikut.
(b) Menetapkan zonasi perlindungan
wilayah pesisir
1) Strategi pemanfaatan secara
lestari dengan cara:
(1) Memetakan wilayah pesisir yang
membutuhkan perlindungan;
(a) Merumuskan kebijakan pemanfaatan
wilayah pesisir yang berkelanjutan:
(2) Menetapkan spesies tumbuhan dan
hewan yang dilindungi
(1) Membuat aturan atau ketentuan dalam
pemanfaatan wilayah pesisir.
3) Strategi pelestarian yang
diajukan:
(2) Menerapkan kearifan lokal
masyarakat adat dalam pemanfaatannya.
(a) Menerapkan kebijakan insentif dan
disinsentif dalam pelestarian.
(3) Memberikan insentif dan disinsentif
dalam pemanfaatan.
(b) Membangun sarana dan prasarana
pelestarian in situ untuk melestarikan
keanekaragan hayati wilayah pesisir.
(b) Membuat mekanisme kordinasi antara
perencanaan dan pemanfaatan wilayah
pesisir:
(1) Membuat analisis situasi wilayah
pesisir.
(2) Membuat perencanaan program
pemanfaatan
(3) Membuat rencana pemanfaatan
wilayah pesisir.
(4) Monitoring dan evaluasi kesesuaian
antara perencanaan dan pemanfaatan.
(c) Mengembangkan kemitraan dalam
pemanfaatan pesisir:
2) Strategi perlindungan dengan
cara:
(a) Menetapkan wilayah pesisir yang
membutuhkan perlindungan mendesak
(urgen):
(c) Meningkatkan apresiasi dan
kesadaran nilai dan kebermaknaan
keanekaragaman hayati wilayah pesisir:
(1) Membangun kesadaran
masyarakat tentang nilai keanekaragaman
hayati dalam budaya kontemporer
(2) Menggunakan sistem pendidikan
formal di dalam kelas
(3) Menggunakan kegiatan-kegiatan di
luar sekolah
Berdasarkan uraian di atas,
konservasi
wilayah
pesisir
yang
berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan
menggunakan stategi yang tepat. Strategi
pemanfaatan yang lestari antara lain
merumuskan kebijakan konservasi wilayah
pesisir yang berkelanjutan, membuat
mekanisme kordinasi antara perencanaan
dan pemanfaatan wilayah pesisir dan
mengembangkan
kemitraan
dalam
pemanfaatan
pesisir;
Strategi
perlindungan,
meliputi
menetapkan
wilayah pesisir yang membutuhkan
perlindungan mendesak (urgen), dan
menetapkan zonasi perlindungan; serta
Strategi
pelestarian
antara
lain menerapkan kebijakan insentif dan
disinsentif dalam pelestarian, membangun
sarana dan prasarana pelestarian in situ
untuk melestarikan keanekaragaman hayati
wilayah pesisir dan meningkatkan
apresiasi dan kesadaran nilai dan
kebermaknaan keanekaragaman hayati
wilayah pesisir.
wilayah pesisir di sini mengacu pada
konsep
pembangunan
berkelanjutan.
Pembangunan yang berkelanjutan adalah
pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan generasi saat ini dan kebutuhan
generasi mendatang.
Untuk melaksanakan strategi
konservasi
wilayah
pesisir
yang
berkelanjutan, harus didukung komitmen
dari stakeholder (pihak-pihak yang terkait)
wilayah pesisir diiringi dengan penerapan
etika lingkungan berdasarkan prinsip
ekosentrisme.
Sebagaimana
yang
diungkapkan Keraf (2010: 93) bahwa
prinsip ekosentrisme lebih memfokuskan
kepada komunitas ekologis secara holistik.
Termasuk didalamnya pengembangan
prinsip moral untuk kepentingan seluruh
komunitas ekologis. Oleh karena itu,
keberhasilan dalam menerapkan strategi
konservasi
wilayah
pesisir
perlu
didukung penerapan cara pandang, nilai
dan perilaku hidup berdasarkan prinsip
ekosentrisme. Dengan demikian, gaya
hidup yang kita lakukan semestinya
selaras, serasi dengan alam, sehingga
kesadaran pentingnya ramah lingkungan
harus terus dikumandangkan diberbagai
kesempatan, kegiatan dan secara merata di
berbagai pelosok wilayah.
UCAPAN TERIMAKASIH
KESIMPULAN
Konservasi
wilayah
pesisir
mencakup pemanfaatan, perlindungan,
pelestarian, serta terjaminnya ekosistem
yang berkesinambungan.
Konservasi
Untuk melaksanakan strategi
konservasi
wilayah
pesisir
yang
berkelanjutan, harus didukung komitmen
dari stakeholder (pihak-pihak yang terkait)
wilayah pesisir diiringi dengan penerapan
etika lingkungan berdasarkan prinsip
ekosentrisme.
Puji syukur kehadirat Allah SWT
atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulisan Karya Ilmiah
ini dapat
diselesaikan dengan baik. Dalam proses
penulisan karya ilmiah ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada
:
1. Rekan-rekan Pegawai di Bidang
Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi
Bengkulu,
yang
selalu
mensuport kuliah ini dan yang
senantiasa membantu dikala saya
meninggalkan tugas.
2. Rekan-rekan Kulia di PSDAL yang
membantu saya dalam menyelesaikan
tesis ini
3. Ucapan tulus buat suami dan anak-anak
tersayang yang telah memberikan
semangat
dan
dorongan
hingga
terselesainya karya ilmiah ini.
Semoga Allah SWT memberikan
pahala yang berlipat ganda atas segala
kebaikan yang telah diberikan kepada saya
dan semoga penulisan karya ilmiah ini
bermanfaat bagi penulis dan semua pihak
yang berkepentingan.
DAFTAR PUSTAKA
Cincin-Sain B., and Robert W.B. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management.
Concepts and Practices. Island Press Washington, DC. Covello,California
Dahuri, R., 2000. Analisis Kebijakan dan Program Penglolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil. Makalah disampaikan pada Pelatihan Menajemen Wilayah
Pesisir. Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor.
Dahuri, H.R., J. Rais, S.P. Ginting dan H.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prandya Paramita, Jakarta.
Dahuri, (2003 : 26-143)
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007. Program pengembangan Wilayah Pesisir di
Indonesia, 2007. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012. Statistik Perikanan Tangkap, 2012. Bengkulu.
Hermawan, M.2006.Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai
di Serang dan Tegal. Disertai S3 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Fauzi,A. Dan S. Anna.2002.Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan :
Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan
Lautan Vol.4 (3).pp: 43-55.
Fauzi dan Anna, 2005.
Hartrisari, H.H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Fakultas Teknologi Pertanian.
Jurusan Teknik dan Teknologi Industri. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Munasinghe, M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. The
International Bank for Reconstruction and Development/THE WORD BANK.
Washintong D.C. 20433. U.S.A.
Purba ed, 2002 : 18-20)
Rangkuti, F.1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta.
Supriharyono. 2000. Pelestarian Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis.
Wiratno et al, 2004 :144
Download