GAMBARAN PENATALAKSANAAN PERAWATAN LUKA DIABETIK SESUAI DENGAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL DI RUANG BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN CIAMIS SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan Pada Program S1 Keperawatan Oleh : YOGA RESTU FAUZI NIM : 12SP277043 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2016 GAMBARAN PENATALAKSANAAN PERAWATAN LUKA DIABETIK SESUAI DENGAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL DI RUANG BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN1 Yoga Restu Fauzi 2 Yuyun Rahayu 3 Endrian M.J.W 4 INTISARI Luka diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes melitus yang sering dijumpai dan ditakuti oleh karena pengelolaannya sering mengecewakan dan berakhir dengan amputasi. Perawat sebagai bagian dari pemberi layanan kesehatan di rumah sakit kegiatan perawatan luka diabetik dilaksanakan harus berdasarkan Standar Prosedur Operasional. Hasil observasi di Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis terhadap kegiatan perawatan luka diabetik perawat belum melakukan tindakan sesuai SPO di Rumah Sakit Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeahui gambaran penatalaksanaan perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif yaitu suatu metode penelitian dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi suatu objek. Populasi dalam penelitian ini adalah semua tindakan penatalaksanaan perawatan luka diabetik di ruang bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik total sampling yaitu seluruh populasi dijadikan sampel penelitian yaitu sebanyak 41 tindakan perawat luka diabetik. Hasil penelitian menunjukan bahwa penatalaksanaan perawatan luka diabetik sesuai dengan Standar Prosedur Operasional Di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis, menunjukan bahwa sebagian besar berkatogori tidak dilaksanakan yaitu sebanyak 24 pelaksanaan (58,5%) dengan rincian penatalaksanaan tahap persiapan alat sebagian besar berkategori dilaksanakan yaitu sebanyak 25 pelaksanaan (61%), penatalaksanaan tahap pra interaksi sebagian besar berkategori dilaksanakan yaitu sebanyak 29 pelaksanaan (70,7%), penatalaksanaan tahap orientasi sebagian besar berkategori dilaksanakan yaitu sebanyak 23 pelaksanaan (56,1%), penatalaksanaan tahap kerja sebagian besar berkategori dilaksanakan yaitu sebanyak 24 pelaksanaan (58,5%), penatalaksanaan tahap terminasi sebagian besar berkategori dilaksanakan yaitu sebanyak 21 pelaksanaan (51,2%) dan penatalaksanaan tahap dokumentasi sebagian besar berkategori dilaksanakan yaitu sebanyak 24 pelaksanaan (58,5%). Saran agar meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dan meningkatkan efektivitas dalam penatalaksanaan luka diabetik serta memperbaiki pelaksanaan penggunaan SPO agar lebih baik lagi dalam pelaksanaan perawatan luka diabetik. Kata Kunci Kepustakaan Keterangan : : : Perawatan Luka, Luka Diabetik, Standar Prosedur Operasional 36 Referensi (2007-2016) 1 Judul, 2 Nama Mahasiswa S1 Keperawatan, 3 Nama Pembimbing I, 4 Nama Pembimbing II v DESCRIPTION OF MAINTENANCE MANAGEMENT DIABETIC WOUNDS ACCORDANCE WITH STANDARD OPERATING PROCEDURE IN THE SURGERYREGIONAL GENERAL HOSPITAL DISTRICT CIAMIS1 2 3 Yoga Restu Fauzi Yuyun Rahayu Endrian M.J.W 4 ABSTRACT Diabetic wounds is one of the chronic complications of diabetes mellitus is a common and feared for its management are often disappointing and ending with amputation. Nurses as part of health care providers in hospital diabetic wound care activities should be implemented based on the Standard Operating Procedures. Observations from Ciamis District General Hospital on the activities of diabetic wound care nurses have not done according SPO in Hospital. The purpose of this study was to mengeahui picture diabetic wound care management in accordance with the operational procedures in the Room stadar Surgery General Hospital Ciamis regency, 2016. This research uses descriptive research is a research method with the ultimate aim of making a picture or description of an object. The population in this study are all measures of diabetic wound care management in the operating room the General Hospital of Ciamis District. The samples in this study using the technique of the total sampling that the entire population sampled as many as 41 action research nurse Diabetic wounds. The results showed that diabetic wound care management in accordance with Standard Operating Procedures Surgery In Space District General Hospital Ciamis, shows that most berkatogori not conducted as many as 24 implementation (58.5%) with the details of the management of the preparation phase largely categorized tools implemented as many as 25 implementation (61%), management of the pre interactions largely categorized conducted as many as 29 implementation (70.7%), stage management orientation categorized largely conducted as many as 23 implementation (56.1%), management of the working stage portion great categorized conducted as many as 24 implementation (58.5%), management termination stage largely categorized conducted as many as 21 implementation (51.2%) and management of the documentation phase largely categorized conducted as many as 24 implementation (58.5%). Suggestions for improving the quality of nursing services and improve effectiveness in the management of diabetic wounds and improve the implementation of SPO use so much better in the implementation of diabetic wound care. . Keywords : Bibliography : Description : Wound Care, Diabetic Wound, Standard Operating Procedures 36 reference (2007-2016) 1.Title, 2. Student Name, 3. Name of Supervisor I, 4. Name of Supervisor II vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang di tandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2012). Sebanyak 75% penderita diabetes mellitus akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler, serangan jantung, gagal ginjal, stroke, dan ganggren adalah komplikasi utama. Selain itu, dampak ekonomi pada diabetes mellitus jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan (Price & Wilson, 2012). Global status report on non communicable diseases tahun 2014 yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa prevalensi DM di seluruh dunia diperkirakan sebesar 9%. Proporsi kematian akibat penyakit DM dari seluruh kematian akibat penyakit tidak menular adalah sebesar 4%. Kematian akibat DM terjadi pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah dengan proporsi sebesar 80%. Pada Tahun 2030 diperkirakan DM menempati urutan ke-7 penyebab kematian di dunia (WHO, 2014). International Diabetes Federation (IDF) tahun 2014 jumlah penderita DM semakin bertambah. Menurut estimasi IDF (2014) 8,3% penduduk di seluruh dunia mengalami DM, prevalensi ini meningkat dari tahun 2011 yaitu 7,0% dan diprediksikan pada tahun 2035 prevalensi DM akan meningkat menjadi 10,0%. Diperkirakan proporsi penderita DM yang tidak terdiagnosis adalah sebesar 46,3%. Satu dari dua penderita diabetes tidak mengetahui bahwa mereka telah terkena penyakit tersebut (IDF, 2014). 1 2 Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2014 menunjukkan peningkatan prevalensi DM dari tahun 2011 sebesar 7,5% menjadi 10,4% pada tahun 2014. Sementara itu hasil survei Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menyatakan prevalensi DM di perkotaan mencapai 14,7% dan di pedesaan mencapai 7,2% (Hotma, 2014). Menurut IDF (2014), jumlah penduduk dewasa di Indonesia (umur 20-79 tahun) adalah sebanyak 1 56,7 juta jiwa. Prevalensi penderita DM di Indonesia pada usia 20-79 tahun adalah sebesar 5,8% dengan jumlah kematian sebanyak 176 ribu orang. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, proporsi penduduk ≥15 tahun dengan DM adalah 6,9%. Prevalensi penderita DM berdasarkan wawancara (pernah didiagnosa dan ada gejala) mengalami peningkatan dari 1,1% (tahun 2007) menjadi 2,1% (tahun 2013). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter dan atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), dan Sulawesi Selatan (3,4%). Proporsi penduduk umur ≥15 tahun dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) mencapai 29,9%. Hal ini berarti akan sema kin banyak penduduk yang berisiko tinggi untuk menderita DM (Balitbangkes, 2013). Propinsi yang juga mengalami peningkatan kasus diabetes mellitus adalah propinsi Jawa Barat. Berdasarkan profil kesehatan propinsi Jawa Barat tahun 2013, proporsi penderita diabetes mellitus rawat inap menurut umur 1544 tahun terdapat 3,6% dan >45 tahun terdapat 96,4% kondisi tersebut terjadi merata di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat (Dinkes Jabar, 2013). Berdasarkan hasil survey pendahuluan dengan melihat data rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis pada tanggal 15 Maret 2016 diketahui bahwa penderita diabetes melitus pada tahun 2013 adalah 3 sebanyak 294 kasus pada tahun 2014 sebanyak 357 kasus pada tahun 2015 sebanyak 314 kasus sedangkan pada periode januari 2016 sebayak 41 orang (Rekam Medis RSUD Ciamis, 2016). Berdasarkan data tersebut Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis mengalami peningkatan kasus diabetes melitus setiap tahunnya. Penderita diabetes mellitus mengalami penurunan kemampuan pada tubuhnya untuk memproduksi hormon insulin, bahkan tidak mampu untuk memproduksi. Keadaan ini mengakibatkan hiperglikemia yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi akut hingga kronik. Komplikasi kronik yang terjadi antara lain adalah hipertensi (64%), retinopati diabetik (55%), neuropati diabetik (82%), serta gangren dan selulitis (100%). Selain pevalensi komplikasi yang tinggi, tingkat kematian akibat diabetes mellitus juga terbilang tinggi yaitu 7,89% dari pasien rawat inap di seluruh rumah sakit milik pemerintah di Indonesia (Kemenkes RI, 2012). Penderita diabetes mellitus memiliki resiko amputasi lebih besar dibandingkan dengan non diabetik, karena penderita diabetes mellitus berisiko dua puluh sembilan kali terjadi komplikasi ulkus diabetik. Ulkus diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan adanya makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati. Ulkus diabetika mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman (Hastuti, 2008). Luka diabetes ini dapat dicegah dengan melakukan skrining dini serta edukasi pada kelompok berisiko tinggi, dan penanganan penyebab dasar seperti neuropati, penyakit arteri perifer dan deformitas (Langi, 2011). 4 Hasil penelitian Hastuti (2008) Faktor risiko ulkus diabetika adalah lama DM ≥10 tahun, kadar kolesterol ≥200 mg/dl, kadar HDL ≤45 mg/dl, ketidakpatuhan diet DM, kurangnya latihan fisik, perawatan kaki tidak teratur dan penggunaan alas kaki tidak tepat dapat meningkatkan kejadian ulkus diabetika sebesar 99,9 %. Didukung pula hasil penelitian Ariyanti (2012) analisis bivariat didapatkan perawatan kaki dan pemilihan dan pemakaian alas kaki berhubungan dengan risiko ulkus kaki diabetes. Hasil analisis multivariat didapatkan bahwa perawatan kaki berhubungan dengan risiko ulkus. Diabetes dengan perawatan kaki yang baik berpeluang untuk mencegah risiko ulkus kaki diabetes sebesar 14 kali dibandingkan dengan diabetis yang perawatan kakinya buruk. Berdasarkan hasil penelitian Langi (2011) penatalaksanaan ulkus kaki diabetes meliputi penanganan iskemia dengan meningkatkan perfusi jaringan, debridement untuk mengeluarkan jaringan nekrotik,perawatan luka untuk menghasilkan moist wound healing, off-loading kaki yang terkena, intervensi bedah, pananganan morbiditas dan infeksi, serta pencegahan rekurensi luka. Untuk mencegah komplikasi luka diabetik yang berlangsung lama dan mencegah ke arah yang lebih buruk maka perlu diperhatikan bagaimana perawatan luka pada penderita diabetes dimana terdapat empat prinsip pengelolaan luka diabetes untuk mengoptimalkan proses penyembuhan yaitu: preparasi dasar luka, proteksi luka, pembalutan luka, dan oksigenasi luka. Dengan ini, diharapkan 80% masalah luka diabetik diharapkan sembuh sehingga menghindari amputasi (Dedi, 2009). 5 Luka diabetik ini dapat disembuhkan dengan penatalaksanaan perawatan luka yang baik dan diobati seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, Artinya “Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula obatnya”(HR. Al Bukhari dan Muslim). Dari riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah dia berkata bahwa Nabi bersabda, “Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim) Hadits-hadits di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa semua penyakit yang menimpa manusia maka Alloh SWT turunkan obatnya. Kadang ada orang yang menemukan obatnya, ada juga orang yang belum bisa menemukannya. Oleh karenanya seseorang yang menderita luka diabetik harus bersabar untuk selalu berobat dan terus berusaha untuk merawat luka diabetik yang dialaminya. Merawat Luka diabetik dapat dilakukan dengan cara membersihkan pada daerah luka, kebersihan ini dalam Al Qur’an, Allah SWT dengan jelas memerintahkan kepada hambanya untuk senantiasa menjaga kebersihan diri dalam penggalan surat AL Baaqarah ayat 222 : Artinya Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang bertaubat dan mengasihi orang-orang yang bersuci”. 6 Dari ayat tersebut diungkapkan bahwa dalam ajaran Islam Allah SWT telah lehih dulu mendidik hamba-NYA untuk senantiasa mensucikan diri,menjaga diri dari segala kotoran agar terbebas dan bahaya penyakit. Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan pembersihan luka diabetik agar tidak terjadi amputasi. Pembersihan luka dilakukan sehari minimal dua kali (pagi dan sore), setelah dilakukan perawatan, lakukan pengkajian apakah sudah tumbuh granulasi, (pembersihan dilakukan dengan kassa steril yang dibasahi larutan NaCl). Setelah luka dibersihkan, lalu ditutup dengan kassa basah yang diberi larutan NaCl lalu dibalut disekitar luas luka, dalam penutupan dengan kassa, jaga agar jaringan luar luka tidak tertutup. Sebab jika jaringan luar luka ikut tertutup akan menimbulkan pembengkakan (Ismayanti, 2007). Hasil observasi di Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis pada tanggal 11 Maret 2016 terhadap kegiatan perawatan luka diabetik dari 8 pasien ada 5 pasien diruang bedah yang belum sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan SPO, misalnya belum menggunakan sarung tangan steril untuk tiap satu pasien, belum menggunakan pinset untuk satu pasien, dan tidak menggunakan masker padahal dari segi kecukupan peralatan tersedia sesuai kebutuhan. Tindakan perawatan luka juga kegiatan desinfeksi luka tidak dilakukan dengan cara mengusap satu arah. Ini menandakan bahwa perawat belum melakukan tindakan sesuai standar operasional prosedur di Rumah Sakit. Berdasarkan wawancara dengan perawat mengatakan bahwa 10 pasien rawat inap dengan luka diabetik dirawat sampai 6-10 hari, ada pun 4 pasien luka diabetik yang kembali kerumah sakit dengan infeksi lebih berat bahkan selama tahun 2015 terdapat penderita luka diabetik yang diamputasi sebanyak 2 orang. 7 Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Gambaran Penatalaksanaan Perawatan Luka Diabetik Di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016”. B. Rumusan Masalah Luka kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes melitus yang sering dijumpai dan ditakuti oleh karena pengelolaannya sering mengecewakan dan berakhir dengan amputasi, bahkan kematian.Luka kaki diabetes ini dapat dicegah dengan melakukan skrining dini serta edukasi pada kelompok berisiko tinggi, dan penanganan penyebab dasar seperti neuropati, penyakit arteri perifer dan deformitas. Penatalaksanaan perawatan luka diabetik dapat mencegah infeksi meluas. Penatalaksanaan perawatan luka diabetik belum sepenuhnya diketahui dengan baik. Berbagai studi terkait dengan perawatan luka maupun penatalaksanaan perawatan luka diabetik sepenuhnya belum terlaksana dengan baik. Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Bagaimanakah gambaran penatalaksanaan perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Diketahuinya gambaran penatalaksanaan perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. 8 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap persiapan alat perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. b. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap pra interaksi perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. c. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap orientasi perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. d. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap kerja perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. e. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap terminasi perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. f. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap pendokumentasian perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. 9 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang diharapkan di dalam penatalaksanaan penelitian ini pengetahuan yaitu bermanfaat dalam ilmu bagi keperawatan pengembangan terutama ilmu masalah keperawatan dalam penatalaksanaan perawatan luka diabetik. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Rumah Sakit Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengatur, mengelola, menarik pelanggan yang menggunakan jasa rumah sakit dan sebagai bahan evaluasi terhadap pelayanan keperawatan terutama pada penatalaksanaan perawatan luka diabetik. b. Bagi Ruang Perawatan Dapat digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap pelayanan keperawatan terutama pada penatalaksanaan perawatan luka diabetik. c. Bagi Institusi Pendidikan Dapat digunakan sebagai tambahan referensi untuk meningkatkan mutu pendidikan terutama masalah penatalaksanaan perawatan luka diabetik serta sebagai bahan materi pengajaran bagi dosen pada mahasiswa keperawatan tentang perawatan luka diabetik pada pasien DM. d. Bagi Perawat Dapat berguna sebagai bahan informasi untuk meningkatkan pelayanan keperawatan pada perawatan luka diabetik. 10 e. Bagi pasien Sebagai bahan acuan dalam perawatan luka mandiri, terutama dalam perawatan luka diabetik guna mencegah terjadinya ulkus diabetikum yang lebih parah dan beresiko diamputasi f. Bagi Peneliti Lain Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan sumber informasi atau sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang hampir sama pernah dilakukan oleh Hermin (2012) dengan judul “Analisis Teknik Perawatan Luka Pada Penderita Diabetes Melitus di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar”. Jenis penelitian Deskriktif dengan menggunakan rancangan cross sectional study.Sampel yang ditarik secara accidental sampling dengan jumlah sampel 30 responden. Hasil penelitian ini menunjukan dari 30 responden terdapat 63,3% menggunakan peralatan yang lengkap dan 36,7% tidak menggunakan peralatan yang lengkap. Terdapat 73,3% responden yang melakukan sesuai prosedur perawatan dan 26,7% tidak sesuai prosedur perawatan. Serta terdapat 56,7% yang melakukan prinsip keperawatan dengan steril dan 43,3% yang tidak melakukan prinsip perawatan dengan tidak steril. Persamaan dengan penelitian ini terdapat pada topik penelitian yang meneliti perawatan luka pada pasien diabetes mellitus, adapun perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada judul, lokasi, waktu, jenis penelitian pada penelitian ini adalah deskriptif, populasi dan tekhnik pengambilan sampel. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Luka a. Defenisi Luka Luka adalah rusaknya atau hilangnya kontuinitas jaringan yang dapat diakibatkan oleh faktor internal seperti obat-obatan, perubahan sirkulasi, perubahan proses metabolisme, infeksi, kegagalan transport oksigen dan juga oleh faktor eksternal seperti suhu yang ekstrim, injury, alergen, radiasi, zat-zat kimia (Ekaputra, 2013). b. Jenis-jenis luka Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukan derajat luka (Ekaputra, 2013). 1) Berdasarkan derajat kontaminasi a) Luka bersih Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius maupun traktusgenitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%. b) Luka bersih terkontaminasi Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan 11 12 luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi.Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%. c) Luka terkontaminasi Luka terkontaminasi adalah luka terinfeksi spillage yang berpotensi saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%. d) Luka kotor Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama. 2) Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka a) Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit. b) Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal. c) Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada 13 lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. d) Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas. 3) Berdasarkan waktu penyembuhan luka a) Luka akut yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati. b) Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen. 4) Berdasarkan Penyebab a) Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuhmaupun benturan benda tajam ataupun tumpul. b) Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur . c) Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai 14 pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot. d) Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar. e) Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut. f) Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa. c. Fase penyembuhan luka Fase penyembuhan luka menurut Ekaputra, (2013) adalah sebagai berikut : 1) Vascular response : beberapa detik setelah terjadinya luka pada tipe apapun, respon tubuh dengan penyempitan pembuluh darah (konstriksi) untuk menghambat perdarahan dan mengurangi pajanan terhadap bakteri. Pada saat yang sama, protein membentuk jaringan fibrosa untuk menutup luka. Ketika trombosit bersama protein menutup luka, luka menjadi lengket dan lemb 15 membentuk fibrin. Setelah 10-30 menit setelah terjadinya luka, pembuluh darah melebar karena serotonin yang dihasilkan trombosit. Plasma darah mengaliri luka dan melawan toxin yang dihasilkan microorganisme, membawa oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka dan membawa agen fagosit untuk melawan bakteri maupun jaringagan yang rusak . 2) Infmamasi : Bagian luka akan menjadi hangat dan merah karen aprose fagositosis. Fase inflamasi terjadi 4-6 hari seteah injury. Tujuan inflamasi untuk membatasi efek bakteri dengan menetralkan toksin dan penyebaran bakteri. 3) Proliferasi/resolusi : penumpukan deposit kolagen pada luka, angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), proliferasi dan pengecilan lebar luka. Fase ini berhenti 2 mgg setelah terjadinya luka, tetapi proses ini tetap berlangsung lambat 1- 2 tahun. Fibroblast mensistesis kolagen dan menumbuhkan sel baru. Miofibroblas menyebabkan luka menyempit, bila tidak terjadi penyempitan akan terjadi kematian sel. Contohnya jika terjadi scar atau kontraktur. Epitelisasi adalah perpindahan sel epitel dari area sekitar folikel rambut ke area luka. Perpingahan tersebut terbatas 3 cm. Epitelisai akan lebih cepat jika luka dalam keadaan lembab. 4) Maturasi/rekontruksi : fase terakhir penyembuhan dengan remodelling scaryang terjadi. Biasanya terjadi selam asetahun atau lebih seteleh luka tertutup. Selama fase ni fibrin di bentuk ulang, pembuluh darah menghilang dan jaringan memerkuat susunananya. Remodeling ini mencakup sintesis dan pemecahan kolagen. 16 d. Faktor yang Mempengaruhi Luka 1) Usia Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah. 2) Nutrisi Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat. 3) Infeksi Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang 17 menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka. 4) Hematoma Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka. 5) Benda asing Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”). 6) Iskemia Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri. 7) Diabetes Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh. 18 8) Keadaan Luka Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu. 9) Obat Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka. a) Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera b) Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan c) Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular. 2. Diabetes Melitus a. Pengertian Diabetes melitus adalah penyakit kronis di mana pankreas tidak dapat memproduksi insulin secara cukup, atau di mana tubuh tidak efektif menggunakan insulin yang diproduksi, atau pun keduanya. Hal ini menjurus kepada peningkatan konsentrasi dari kadar gula dalam darah atau hyperglycaemia (WHO, 2014). 19 Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2014, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (ADA, 2014) Berdasarkan kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) tahun 2011, seseorang dikatakan menderita diabetes jika ada gejala diabetes melitus dengan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL atau adanya gejala klasik diabetes mellitus dengan kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL atau kadar gula plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200 mg/dL (PERKENI, 2011). b. Klasifikasi dan Etiologi 1) Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes) terjadi karena adanya gangguan pada pankreas, menyebabkan pankreas tidak mampu memproduksi insulin dengan optimal. Pankreas memproduksi insulin dengan kadar yang sedikit dan dapat berkembang menjadi tidak mampu lagi memproduksi insulin. Akibatnya, penderita diabetes tipe 1 harus mendapat injeksi insulin dari luar (Sutanto, 2013). Penyebab diabetes tipe 1 tidak diketahui dan kejadian ini masih belum dapat dicegah dengan ilmu yang ada pada saat ini. Gejala-gejalanya meliputi frekuensi ekskresi urin yang berlebihan (polyuria), kehausan (polydipsia), lapar yang terus menerus, berat badan berkurang, gangguan penglihatan, dan kelelahan. Gejalagejala ini dapat muncul secara tiba-tiba (WHO, 2014). 2) Diabetes tipe 2 merupakan penyakit diabetes yang disebabkan karena sel-sel tubuh tidak merespon insulin yang dilepaskan oleh 20 pankreas (Sutanto, 2013). Diabetes tipe 2 dialami hampir 90% manusia di dunia, dan secara umum penyakit ini adalah hasil dari berat badan berlebih dan kurangnya aktifitas fisik. Gejala-gejala mirip dengan diabetes tipe 1, tetapi biasanya tidak terasa. Hasilnya, penyakit ini terdiagnosa bertahun tahun setelah awal mula terjadinya penyakit, ketika sudah timbul komplikasi (WHO, 2014). 3) Diabetes gestational adalah diabetes yang disebabkan karena kondisi kehamilan (Sutanto, 2013). Gejala diabetes gestational mirip dengan gejala diabetes tipe 2. Diabetes gestational lebih sering terdiagnosa melalui prenatal screening dari pada gejala yang dilaporkan (WHO, 2014). Klasifikasi etiologi diabetes melitus berdasarkan American Diabetes Association (ADA, 2014) adalah sebagai berikut : 1) Diabetes Melitus Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut melalui proses imunologik dan idiopatik 2) Diabetes Melitus Tipe 2 Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin 3) Diabetes Melitus Tipe Lain a) Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi pada: (1) Kromosom 20, Hepatocyte Nuclear Transcription Factor (HNF) 4α (dahulu MODY 1) (2) Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3) (3) Kromosom 7, Glukokinase (dahulu MODY 2) 21 (4) Kromosom 13, Insulin Promoter Factor (IPF) 1 (dahulu MODY4) (5) Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5) (6) Kromosom 2, Neuro DI (dahulu MODY 6) (7) DNA mitokondria (8) lainnya b) Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya. c) Penyakit Eksokrin trauma/pankreatektomi, Pankreas: neoplasma, pankreatitis, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya. d) Endokrinopati: akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya. e) Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β adrenergic, tiazid, fenitoin, interferon alfa, protease inhibitor, clozapine, beta bloker, lainnya. f) Infeksi: rubella kongenital, CMV, lainnya. g) Imunologi (jarang): sindrom Stiff-man, antibodi anti reseptor insulin, lainnya. h) Sindrom genetik lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, Chorea Huntington, sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya 22 4) Diabetes Gestasional Diabetes gestasional adalah hiperglikemia dengan kadar gula darah diatas normal tetapi dibawah nilai diagnostik diabetes yang terjadi selama kehamilan. Wanita dengan diabetes gestational berisiko terkena DM tipe 2 di masa mendatang. c. Faktor risiko diabetes mellitus Faktor risiko diabetes mellitus antara lain adalah (Powers, 2010): 1) Riwayat keluarga menderita diabetes (contoh: orang tua atau saudara kandung dengan diabetes mellitus ) 2) Obesitas (Indeks Massa Tubuh ≥ 25 kg/m2) 3) Aktivitas fisik 4) Ras/etnis 5) Gangguan Toleransi Glukosa 6) Riwayat Diabetes Gestational atau melahirkan bayi dengan berat lahir > 4 kg 7) Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg) 8) Kadar kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL (0,90 mmol/L) dan/atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL (2,82 mmol/L) 9) Polycystic Ovary Syndrome atau Acantosis Nigricans 10) Riwayat kelainan darah d. Gejala klinis Manifestasi utama penyakit diabetes mellitus adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel, berkurangnya penggunaan glukosa oleh berbagai jaringan dan peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati (PERKENI, 2011). 23 Gejala diabetes dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (PERKENI, 2011) : 1) Gejala Akut Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi tiga serba banyak yaitu: a) Banyak makan (polifagia) b) Banyak minum (polidipsi) c) Banyak kencing (poliuria) Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus bertambah, karena pada saat itu jumlah insulin masih mencukupi. Apabila keadaan ini tidak segera diobati maka akan timbul keluhan lain yang disebabkan oleh kurangnya insulin. Keluhan tersebut diantaranya: a) Nafsu makan berkurang b) Banyak minum c) Banyak kencing d) Berat badan turun dengan cepat e) Mudah lelah f) Bila tidak segera diobati, penderita akan merasa mual bahkan penderita akan jatuh koma (koma diabetik). 2) Gejala Kronik Gejala kronik akan timbul setelah beberapa bulan atau beberapa tahun setelah penderita menderita diabetes. Gejala kronik yang sering dikeluhkan oleh penderita, yaitu: 24 a) Kesemutan b) Kulit terasa panas c) Terasa tebal dikulit d) Kram e) Lelah f) Mudah mengantuk g) Mata kabur h) Gatal disekitar kemaluan i) Gigi mudah goyah dan mudah lepas j) Kemampuan seksual menurun k) bagi penderita yang sedang hamil akan mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau berat bayi lahir lebih dari 4 kg e. Diagnosis diabetes mellitus Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara (PERKENI, 2011) , yaitu : 1) Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. 2) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. 3) Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan dini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. 25 Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus 1) Gejala klasik diabetes melitus + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) (Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir) 2) Gejala klasik diabetes melitus + kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L) (Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam) 3) Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) (TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air) Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis diabetes melitus , jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik. (PERKENI, 2011) f. Komplikasi Komplikasi diabetes terbagi 2 yaitu komplikasi akut dan kronik. 1) Komplikasi Akut Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS) adalah komplikasi akut diabetes (Powers, 2010). Pada Ketoasidosis Diabetik (KAD), kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak secara 26 berlebihan. Akumulasi produksi badan keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis metabolik. Badan keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3-beta-hidroksibutirat (3HB). Pada Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009). 2) Komplikasi Kronik Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (Waspadji, 2009). Komplikasi kronik diabetes melitus bisa berefek pada banyak sistem organ. Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu komplikasi vaskular dan non-vaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan nefropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskular). Sedangkan komplikasi nonvaskular dari diabetes melitus yaitu gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Powers, 2010). g. Pencegahan Usaha pencegahan pada penyakit diabetes mellitus terdiri dari: pencegahan primordial yaitu pencegahan kepada orang-orang yang masih sehat agar tidak memilki faktor resiko untuk terjadinya diabetes mellitus, pencegahan primer yaitu pencegahan kepada mereka yang belum terkena diabetes mellitus namun memiliki faktor resiko yang tinggi dan berpotensi untuk terjadinya diabetes mellitus 27 agar tidak timbul penyakit diabetes mellitus, pencegahan sekunder yaitu mencegah agar tidak terjadi komplikasi walaupun sudah terjadi penyakit, dan pencegahan tersier yaitu usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut walaupun sudah terjadi komplikasi (Soegondo, 2012). 1) Pencegahan Primordial Pencegahan primordial ditujukan kepada masyarakat yang sehat untuk berperilaku positif mendukung kesehatan umum dan upaya menghindarkan diri dari risiko diabetes melitus. Misalnya, berperilaku hidup sehat, tidak merokok, memakan makanan yang bergizi dan seimbang, diet, membatasi diri dengan makanan tertentu ataupun kegiatan jasmani yang memadai. (PERKENI, 2011). 2) Pencegahan Primer Sasaran dari pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum terkena diabetes mellitus, tetapi berpotensi untuk mendapatkan penyakit diabetes mellitus. Pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya diabetes mellitus dan upaya untuk mengeliminasi faktor-faktor tersebut (PERKENI, 2011). Usaha pencegahan primer ini dilakukan secara menyeluruh pada masyarakat tetapi diutamakan dan ditekankan untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang berisiko tinggi yang berpotensi menderita diabetes melitus. Tindakan yang perlu dilakukan untuk usaha pencegahan primer ini meliputi penyuluhan mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin 28 dengan memberikan pedoman, yaitu mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang seperti meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak dan karbohidrat atau sering disebut diet dan mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi badan. Selain itu yang dapat dilakukan adalah melakukan kegiatan jasmani yang cukup dan sesuai dengan umur dan kemampuan (Soegondo, 2012). 3) Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan dan menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal. Pengobatan sejak awal harus segera dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi menahun. Edukasi mengenai diabetes mellitus dan pengelolaannya akan meningkatkan kepatuhan pasien untuk berobat (Shadine, 2010). a) Penyuluhan Edukasi diabetes melitus adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan mengenai diabetes melitus. Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup. Disamping kepada pasien diabetes melitus , edukasi juga diberikan kepada anggota keluarganya, tim kesehatan/ perawatan, dan orang-orang yang beraktivitas bersama-sama dengan penderita diabetes melitus setiap hari (Soegondo, 2012). 29 Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ini ditujukan kepada mereka yang baru terdiagnosis diabetes. Kelompok penderita diabetes ini masih sangat perlu diberi pengertian mengenai penyakit diabetes supaya mereka dapat mengendalikan penyakitnya dalam mengontrol gula darah, mengatur makanan, dan melakukan aktifitas olah raga sesuai dengan keadaan dirinya sehingga pada akhirnya penderita akan merasa nyaman karena bisa mengendalikan gula darahnya. penyuluhan Materi adalah yang dapat definisi diberikan diabetes dalam mellitus, penatalaksanaan diabetes secara umum, obat-obat untuk mengontrol glukosa darah (tablet dan insulin), perencanaan makan dengan menggunakan bahan makanan penukar, manfaat kegiatan jasmani (olah raga). Selanjutnya dapat diberikan materi penyuluhan lanjutan, yaitu mengenal dan mencegah komplikasi akut diabetes, pengetahuan mengenai komplikasi kronik diabetes, penatalaksanaan diabetes selama menderita penyakit lain, dan pemeliharaan kaki diabetes (PERKENI, 2011) b) Pengobatan Jika pasien telah melaksanakan program makan dan latihan jasmani secara teratur, namun pengendalian kadar glukosa darah belum tercapai, perlu ditambahkan obat hipoglikemik baik oral maupun insulin. 30 (1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes melitus tipe2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Berdasarkan cara kerjanya, Obat Hipoglikemik Oral dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu golongan pemicu sekresi insulin (sulfonilurea dan glinid), golongan peningkat sensitivitas terhadap insulin (tiazolidindion), golongan penghambat glukoneogenesis (metformin), golongan penghambat absorpsi glukosa (glukosidase alfa), dan golongan DPP-IV inhibitor (PERKENI, 2011). Golongan sulfonilurea diberikan pada pasien yang tidak gemuk karena meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, misalnya Glibenklamid dengan nama obat paten Daonil atau Euglucon. Golongan glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea dengan penekanan pada sekresi insulin fase pertama, misalnya Repaglinid dengan nama obat paten Novonorm. Golongan tiazolidindion mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, misalnya Pioglitazon dengan nama obat paten Actos. Golongan metformin berfungsi mengurangi produksi glukosa hati, misalnya Glucophage. Golongan glukosidase alfa berfungsi mengurangi absorpsi glukosa 31 di usus halus sehingga menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan, misalnya Akarbose dengan nama obat paten Glucobay (PERKENI, 2011). (2) Insulin Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes melitus tipe 1. Pada diabetes melitus tipe 1, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita diabetes melitus tipe 1 harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik (PERKENI, 2011). 4) Pencegahan Tersier Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan primer tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal (PERKENI, 2011). Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu seperti konsultan penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli disiplin lain seperti dari bagian mata, 32 bedah ortopedi, bedah vaskuler, radiologi, rehabilitasi, medis, gizi, pediatri dan sebagainya sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier (PERKENI, 2011). h. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Menurut Smeltzer dan Bare (2012) tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes mellitus antara lain : 1) Diet Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini : a) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral) b) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai c) Memenuhi kebutuhan energi d) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis e) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat 2) Latihan Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler. Latihan akan 33 menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga. Latihan dengan membawa tahanan (resistance training) dapat meningkatkan lean body mass dan dengan demikian menambah laju metabolisme istirahat (resting metabolic rate) (Soegondo, 2012). 3) Pemantauan Glukosa dan Keton Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (SMBG : self-monitoring of blood glucose), penderita diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang. Berbagai metode kini tersedia untuk melakukan pemantauan mandiri kadar glukosa darah. Kebanyakan metode tersebut mencakup pengambilan setetes darah dari ujung jari tangan, aplikasi darah tersebut pada strip pereaksi khusus, dan kemudian darah tersebut (biasanya antara 45 dan 60 detik sesuai ketentuan pabrik). Untuk beberapa produk, darah dihapus dari strip (dengan menggunakan kapas atau kertas tisue sesuai ketentuan pabrik). Bantalan pereaksi pada strip akan berubah warnanya dan kemudian dapat dicocokkan dengan peta warna pada kemasan produk. Bagi penderita yang tidak menggunakan insulin, pemantauan mandiri glukosa darah sangat membantu dalam melakukan pemantauan terhadap efektivitas 34 latihan, diet dan obat hipoglikemia oral. Metode ini juga dapat membantu memotivasi pasien untuk melanjutkan terapinya. Bagi penderita diabetes tipe II, pemantauan mandiri glukosa darah harus dianjurkan dalam kondisi yang diduga dapat menyebabkan hiperglikemia atau hipoglikemia (Soegondo, 2012). 4) Terapi Insulin Pada diabetes tipe I, tubuh kehilangan kemampuan untuk memprodusi insulin. Dengan demikian, insulin eksogenus harus diberikan dalam jumlah tak terbatas. Pada diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Di samping itu, sebagian pasien diabetes tipe II yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah dengan diet dan obat oral kadang membutuhkan insulin secara temporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian stress lainnya. Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari (atau bahkan lebih sering lagi) untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari. Karena dosis insulin yang diperlukan masing-masing pasien ditentukan oleh kadar glukosa dalam darah, maka pemantauan kadar glukosa yang akurat sangat penting. Pemantauan mandiri kadar glukosa darah telah menjadi dasar dalam memberikan terapi insulin (Soegondo, 2012). 5) Pendidikan Diabetes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Karena diet, aktivitas fisik dan stres fisik serta emosional 35 dapat mempengaruhi pengendalian diabetes, maka pasien harus belajar untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor. Pasien bukan hanya harus belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka panjang. Penghargaan pasien tentang pentingnya pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh penderita diabetes dapat membantu perawat dalam melakukan pendidikan dan penyuluhan (Soegondo, 2012). 3. Luka Diabetik a. Pengertian Luka diabetik adalah luka yang terjdi pada pasien diabetik yang melibatkan gangguan pada saraf peripheral dan autonomik. Luka diabetik adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi (Wijaya dan Puteri, 2013). Ulkus adalah luka terbuka pada permulaan kulit atau selaput lender dan ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai invasive kuman saprofit. Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus berbau, ulkus diabetikum juga merupakan salah satu gejala klinik dan perjalanan penyakit diabetes melitus dengan neuropati perifer (Wijaya dan Puteri, 2013) Ulkus diabetik dikenal dengan istilah gangren didefinisikan sebagai jaringan nekrosis atau jaringan mati yang disebabkan oleh adanya emboli pembuluh darah besar arteri pada bagian tubuh 36 sehingga suplai darah terhenti. Dapat terjadi sebagai akibat proses inflamasi yang memanjang, perlukaan (digigit serangga, kecelakaan kerja atau terbakar), proses degeneratif (arterosklerosis) atau gangguan metabolik diabetes mellitus (Wijaya dan Puteri, 2013). Ganggren diabetik adalah nekrosis jaringan pada bagian tubuh perifer akibat penyakit diabetes mellitus. Biasanya ganggren terebut terjadi pada daerah tungkai. Keadaan ini ditandai dengan pertukaran sekulitis dan timbulnya vesikula atau bula yang hemoragik kuman yang biasa menginfeksi pada ganggren diabetik adalah streptococcus (Wijaya dan Puteri, 2013). b. Klasifikasi Wagner (1993) di kutif oleh Waspadji S membagi ganggren diabetik menjadi enam tingkatan yaitu Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki seperti “claw, callus”. Derajat I : Ulkus superficial terbatas pada kulit Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis Derajat IV : Ganggren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis Derajat V : Ganggren seluruh kaki atau sebagian tungkai Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) dikutip oleh Wijaya dan puteri (2013) membagi ganggren kaki menjadi dua golongan : 1) Kaki Diabetik akibat Iskemia (KDI) 37 Disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya makroangiopati (arterosklerosis) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama di daerah betis, gambaran klinis KDI: a) Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat b) pada perabaan darah kurang kuat c) pulsasi pembuluh darah kurang kuat d) Di dapatkan ulkus sampai gangren 2) Kaki Diabetik akibat Neuropati (KDN) Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi. Klinis dijumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik. c. Etiologi Faktor-faktor yang berpengaruh atas terjadinya ulkus diabetikum dibagi menjadi faktor endogen dan eksogen: 1) Faktor Endogen: genetik metabolik, angiopati diabetik, neuropati diabetik. 2) Faktor Eksogen: trauma, infeksi, obat Faktor utama yang berperan pada timbulnya ulkus diabetikum adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Adanya neuopati perifer akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan ulsestrasi pada kaki klien. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit pada tungkainya sesudah ia berjalan penurunan jarak tertentu. Adanya 38 angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen serta antibiotik sehingga menyebabkan terjadinya luka sukar sembu (Wijaya dan Puteri, 2013) Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai ulkus diabetikum akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati,sehingga factor angiopati dan infeksi berpengaruh terhadap penyembuhan ulkus diabetikum (Wijaya dan Puteri, 2013). d. Patofisiologi Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang diabetes melitus yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubaha distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes (Wijaya dan Puteri, 2013). Ulkus diabetikum terdiri dari kavitas sentral biasanya lebih besar dibanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras dan tebal. Awalnya proses pembentukan ulkus berhubungan dengan hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen, keratin dan suplai vaskulaer. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin keras pada daerah kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropati sensoris perifer memungkinkan terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya rupture sampai 39 permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan penyembuhan luka abnormal menghalangi resolusi. Mikroorganisme yang masuk mengadakan kolonisasi di daerah ini. Drainase yang inadekuat menimbulkan closed space infection. Akhirnya sebagai konsekuensi system imun yang abnormal, bakteria sulit dibersihkan dan infeksi menyebar ke jaringan sekitarnya. Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang mengkontribusi terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetik terkait dengan adanya pengaruh pada saraf yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal sebagai neurofati perifer. Pada pasien dengan diabetik sering kali mengalami gangguan pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang berhubungan dengan “pheripheral vasculal diseases”. Efek sirkulasi ini adalah yang menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang berdampak pada system saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot-otot halus, kelenjar dan organ visceral. e. Manifestasi Klinis Ganggren diabetik akibat mikroangiopatik disebut juga ganggren panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal. Biasanya terdapat ulkus diabetik pada telapak kaki. Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut emboli akan memberikan gejala klinis 5 P, yaitu 1) Pain (nyeri) 2) Paleness (kepucatan ) 3) Paresthesia (parestesia dan kesemutan) 40 4) Pulselessness (denyut nadi hilang ) 5) Paralysis (lumpuh) Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari fontaine dalam Wijaya dan Puteri (2013) : 1) Stadium I: Asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan ) 2) Stadium II: Terjadi klaudikasio intermiten 3) Stadium III: Timbul nyeri saat istirahat 4) Stadium IV: Terjadinya kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus) f. Pemeriksaan Diagnostik 1) Pemeriksaan fisik a) Inspeksi Denervasi kulit menyebabkan produktivitas keringat menurun, sehingga kulit kaki kering, pecah, rambut kaki/jari(-), kalus, claw toe. Ulkus tergantung saat ditemukan (0-5) b) Palpasi (1) Kulit kering, pecah-pecah, tidak normal (2) Klusi arteri dingin, pulsasi (-) (3) Ulkus: kalus tebal dan keras 2) Pemeriksaan vaskuler Tes vaskuler noninvasive: pengukuran oksigen transkutaneus, Ankle Brachial Index (ABI), absolute toe systolik pressure, ABI: tekanan sistolik betis dengan tekanan sistolik lengan. 3) Pemeriksaan osteomielitis. radiologis: gas subkutan, benda asing dan 41 4) Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah : a) Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah meliputi: GDS>200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam prost prandial >200 mg/dl. b) Urin Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict (reduksi). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urin: hijau (+), kuning (++), merah (+++), dan merah bata (++++). c) Kulttur pus Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman. g. Penatalaksanaan 1) Pengobatan Pengobatan dari gangrene diabetik sangat dipengaruhi oleh derajat dan dalamnya ulkus, apalagi dijumpai ulkus yang dalam harus dilakukan pemeriksaan yang seksama untuk menentukan kondisi ulkus dan besar kecilnya debridement yang akan dilakukan. Dari penatalaksanaan perawatan luka diabetik ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, antara lain: a) Mengurangi atau menghilangkan faktor penyebab b) Optimalisasi suasana lingkungan luka dalam kondisi lembab c) Dukungan kondisi klien atau host (nutrisi, control diabetes mellitus dan kontrol faktor penyerta) d) Meningkatkan edukasi klien dan keluarga 42 2) Perawatan luka diabetik a) Mencuci luka Merupakan hal pokok untuk meningkatkan, memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka serta menghindari kemungkinan terjadinya infeksi. Proses pencucian luka bertujuan untuk membuang jaringan nekrosis, cairan luka yang berlebihan, sisa balutan yang digunakan dan sisa metabolik tubuh pada permukaan luka. Cairan yang terbaik dan teraman untuk mencuci luka adalah yang non toksik pada proses penyembuhan luka (misalnya NaCl 0,9%). b) Debridement Debridement adalah pembuangan jaringan nekrosis atau slough pada luka. Debridement dilakukan untuk menghindari terjadinya infeksi atau selulitis, karena jaringan nekrosis selalu berhubungan dengan adanya peningkatan jumlah bakteri. Setelah debridement, jumlah bakteri akan menurun dengan sendirinya yang diikuti dengan kemampuan tubuh secara efektif melawan infeksi. Secara alami dalam keadaan lembab tubuh akan membuang sendiri jaringan nekrosis atau slough yang menempel pada luka (peristiwa autolysis). Autolysis adalah peristiwa pecahnya atau rusaknya jaringan nekrotik oleh leukosit dan enzim lyzomatik (Wijaya dan Puteri, 2013). c) Terapi antibiotik Pemberian antibiotik biasanya diberikan peroral yang bersifat menghambat kuman gram positip dan agram negatip, 43 apabila tidak dijumpai perbaikan pada luka tersebut, maka terapi antibiotik dapat diberikan perparenteral yang sesuai dengan kepekaan kuman (Wijaya dan Puteri, 2013). d) Nutrisi Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam penyembuhan luka. Penderita dengan ganggren diabetik biasanya diberikan diet B1 dengan nilai gizi yaitu 60% kalori karbohidrat, 20% kalori lemak, 20% kalori protein (Wijaya dan Puteri, 2013). e) Pemilihan jenis balutan Tujuan pemilihan jenis balutan adalah memilih jenis balutan yang dapat mempertahankan suasana lingkungan luka dalam keadaan lembab, mempercepat proses penyembuhan hingga 50%, absorbsi eksudat/cairan berlebihan, membuang jaringan luka yang keluar nekrosis/slough(support autolysis), kontrol terhadap infeksi/terhindar dari kontaminasi, nyaman digunakan dan menurunkan rasa sakit saat mengganti balutan dan menurunkan jumlah biaya dan waktu perawatan (cost effective). Jenis balutan :absorbent dressing, hydroactive gel, hydrocoloi (Wijaya dan Puteri, 2013). f) Penyuluhan Dalam memberikan penyuluhan pada penderita ada beberapa petunjuk perawatan kaki diabetik (Wijaya dan Puteri, 2013) : a) Gunakan sepatu yang pas dan kaos kaki yang bersih setiap saat berjalan saat berjalan dan jangan bertelanjang kaki bila berjalan 44 b) Cucilah kaki setiap hari dan keringkan dengan baik serta memberikan perhatian khusus pada daerah sela-sela jari kaki c) Janganlah mengobati sendiri apabila terdapat kalus, tonjolan kaki atau jamur pada kuku kaki. d) Suhu air yang digunakan untuk mencuci kaki antara 29, 530°C dan diukur dulu dengan thermometer. e) Jangan menggunakan alat pemanas atau botol diisi air panas f) Langkah-langkah yang membantu meningkatkan sirkulasi pada ekstremitas bawah yang harus dilakukan, yaitu hindari kebiasaan merokok, hindari bertumpang kaki duduk, lindungi kaki dari kedinginan, hindari merendam kaki dalam air dingin, gunakan kaos kaki atau stoking yang tidak menyebabkan tekanan pada tungkai atau daerah tertentu, periksalah kaki setiap hari dan laporkan bila terdapat luka, bullae kemerahan atau tanda-tanda radang, sehingga segera dilakukan tindakan awal jika kulit kaki kering gunakan pelembab atau kream (Wijaya dan Puteri, 2013). 4. Standar Prosedur Oprasional (SPO) a. Pengertian Suatu standar/pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar Prosedur Operasional (SPO) merupakan tata cara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Perry dan Potter, 2013). 45 b. Tujuan Tujuan dibuatnya SPO antara lain (Tambunan, 2011) : 1) Petugas atau pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas, pegawai atau tim dalam organisasi atau unit kerja. 2) Mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi 3) Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas/pegawai terkait. 4) Melindungi organisasi/unit kerja dan petugas/pegawai dari malpraktek atau kesalahan diabetes melitus inistrasi lainnya. 5) Untuk menghindari kegagalan/kesalahan, keraguan, duplikasi dan inefisiensi. c. Fungsi SPO Fungsi SPO antara lain (Tambunan, 2011) : 1) Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja. 2) Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan. 3) Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak. 4) Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja. d. Kapan SPO diperlukan 1) SPO harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan 2) SPO digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan dengan baik atau tidak 3) Uji SPO sebelum dijalankan, lakukan revisi jika ada perubahan langkah kerja yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja. 46 e. Keuntungan adanya SPO 1) SPO yang baik akan menjadi pedoman bagi pelaksana, menjadi alat komunikasi dan pengawasan dan menjadikan pekerjaan diselesaikan secara konsisten 2) Para pegawai akan lebih memiliki percaya diri dalam bekerja dan tahu apa yang harus dicapai dalam setiap pekerjaan 3) SPO juga bisa dipergunakan sebagai salah satu alat trainning dan bisa digunakan untuk mengukur kinerja pegawai. f. Standar Prosedur Operasional (SPO) perawatan luka diabetik RSUD Ciamis (2015) 1) Pengertian Standar Prosedur Oprasional (SPO) perawatan luka diabetik adalah langkah-langkah prosedur membersihkan luka yang terinfeksi. 2) Tujuan a) Mempercepat penyembuhan luka b) Mencegah perluasan infeksi c) Memberikan rasa nyaman pada klien 3) Kebijakan Dilakukan pada : a) Pasien yang mempunyai luka diabetik b) Perawatan luka dilakukan setiap hari 4) Prosedur a) Persiapan alat (1) Satu set perawatan luka steril tindakan keperawatan 47 (1 pinset anatomis, 2 pinset chilurgis, gunting jaringan, kom kecil (2), supratul, kassa steril) (2) Perlak (3) Korentang (4) Cairan Nacl 0,9%/ RL , alkohol 70% ,betadine 1:5 (5) Bengkok (+ larutan desinfektan) (6) Gunting verban dan plester (7) APD (masker, handscoon) (8) Kantong plastik kuning (9) Plaster/verban b) Tahap pra interaksi (1) Verifikasi program terapi (2) Siapkan alat (3) Jaga privacy klien : bila perlu tutup pintu dan jendela/korden c) Tahap orientasi (1) Memberikan salam (2) Klarifikasi kontrak waktu (3) Jelaskan tujuan dan prosedur (4) Beri kesempatan klien untuk bertanya (5) Tanyakan persetujuan dan kesiapan klien (6) Persiapan alat dekat klien d) Tahap kerja (1) Cuci tangan (2) Atur posisi sesuai kebutuhan (3) Beri perlak di bawah daerah luka dekatkan bengkok (4) Pake handscoon 48 (5) Buka balutan dengan pinset (6) Pinset taruh di bengkok (7) Balutan kotor masukan ke plastic kuning (8) Tekan daerah sekitar luka, untuk mengeluarkan kotoran atau excudat (9) Nekrotomi bila ada jaringanyang mati (10) Kompres luka dengan kassa steril menggunakan cairan Nacl 0,9% atau RL ,betadin kompres 2-3 lembar (mengambil kassa dengan kompres dengan 2 pinset) (11) Tutup dengan kasa steril yang kering, kemudian dibalut atau plester (12) Cuci tangan e) Tahap terminasi (1) Ucapkan terima kasih atas kerjasama dengan klien (2) Evaluasi respon klien (3) Simpulkan hasil kegiatan (4) Pemberian pesan (5) Kontrak waktu kegiatan selanjutnya (6) Atur posisi klien senyaman mungkin (7) Bereskan alat-alat dan kembalikan pada tempatnya f) Dokumentasi (1) Nama klien (2) Tanggal dan waktu (3) Jenis tindakan (4) Respon klien (5) Nama petugas 49 g) Sikap (1) Teliti (2) Hati-hati (3) Empati (4) Peduli (5) Sabar (6) Sopan B. Landasan Teori Luka adalah rusaknya atau hilangnya kontuinitas jaringan yang dapat diakibatkan oleh faktor internal seperti obat-obatan, perubahan sirkulasi, perubahan proses metabolisme, infeksi, kegagalan transport oksigen dan juga oleh faktor eksternal seperti suhu yang ekstrim, injury, alergen, radiasi, zat-zat kimia (Ekaputra, 2013) Diabetes melitus adalah penyakit kronis di mana pankreas tidak dapat memproduksi insulin secara cukup, atau di mana tubuh tidak efektif menggunakan insulin yang diproduksi, atau pun keduanya. Hal ini menjurus kepada peningkatan konsentrasi dari kadar gula dalam darah atau hyperglycaemia (WHO, 2013). Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus adalah luka diabetik. Luka diabetik adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi (Wijaya dan Puteri, 2013). Perawat sebagai bagian dari pemberi layanan kesehatan di rumah sakit kegiatan perawatan luka diabetik dilaksanakan berdasarkan SPO. Suatu 50 standar/pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar prosedur operasional merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Perry dan Potter, 2013). C. Kerangka Konsep Adapun kerangka penelitian dari penelitian yang berjudul ” Gambaran Perawatan Luka Diabetik Sesuai Dengan Stadar Prosedur Operasional Di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016” dapat di gambarkan sebagai berikut :ini : Pasien DM Dengan Ganggren Standar Operasional Prosedur Perawatan Luka Diabetik yang terdiri dari 1. Tahap persiapan alat 2. Tahap Pra Interaksi 3. Tahap Orientasi 4. Tahap Kerja 5. Tahap Terminasi 6. Tahap Dokumentasi Dilaksanakan Tidak Dilaksanakan Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Kerangka penelitian di atas menunjukkan penatalaksanaan standar operasional prosedur perawatan luka diabetik dimana luka diabetik adalah salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang dari penyakit diabetes mellitus. Untuk mencegah komplikasi luka diabetik yang berlangsung lama dan mencegah ke arah yang lebih buruk maka perlu diperhatikan bagaimana perawatan luka pada penderita diabetes mellitus. DAFTAR PUSTAKA Al Quran Surat Al Baqararah Ayat 222 Al Hadist Riwayat Al Bukhori Dan Muslim ADA (American Diabetes Association), (2014). Diabetes Statistic. Tersedia dalam http://www.diabetes.org. [Diakses Tanggal 10 Maret 2016]. Arikunto, (2010), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, PT Rineka Cipta. Jakarta. Balitbangkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Tersedia http://www.depkes.go.id. [Diakses Tanggal 10 Maret 2016]. dalam Dedi (2009), Luka Koreng Pada Penderita Diabetes. Tersedia dalam http://library.stikesnh.ac.id/ [diakses pada 15 maret 2016]. Dinkes Jabar, (2013). Profil Kesehatan Propinsi Jawa Barat www.dinkesjabar.go.id, [diakses pada tanggal 30 Maret 2016]. 2012, Ekaputra, E. 2013. Evolusi Manajemen Luka . Jakarta: Trans Info Media. Hastuti. R.T (2008) Faktor-Faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Mellitus (Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta). Naskah Publikasi Program Studi Magister Epidemiologi Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Hermin (2012), Analisis Teknik Perawatan Luka Pada Penderita Diabetes Melitus di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012. Program studi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Nani Hasanuddin Makassar IDF. (2014). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition. Tersedia dalam http://www.idf.org. [Diakses Tanggal 10 Maret 2016]. Ismayanti (2007) Luka Gangrene Pada Diabetik, www.ulcusdiabetik.com , [Diakses 8 maret 2016]. tersedia dalam Kemenkes RI, (2012). Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan Penyakit Tidak Menular. Semester II. ISSN. Langi, (2011) Penatalaksanaan Ulkus Kaki Diabetes Secara Terpadu. Jurnal Biomedik, Volume 3, Nomor 2, Juli 2011, hlm. 95-101. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Notoatmodjo,S, (2010). Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta Jakarta. ____________, (2012) Promosi Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Rineka cipta : Jakarta. Nursalam. (2013). Konsep & penerapan metodologi penelitian ilmu kesehatan pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan. Jakarta: Salemba Medika PERKENI, (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. Potter & Perry (2013), Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, Dan Praktik. Jakarta: EGC. Powers, (2010). Diabetes Mellitus. In: Jameson J.L. Harrison Endocrinology Ed 2. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. 267-313. Price & Wilson, (2012). Patologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi ke delapan, Jakarta: EGC Profil Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis, 2016 Rekam Medis RSUD Ciamis, 2016 Ridwan Akdon, (2007) Rumus dan Data Dalam Aplikasi Statistik. Alpabeta : Bandung. Shadine, M., (2010). Mengenal Penyakit Hipertensi, Diabetes, Stroke, dan Serangan Jantung. Jakarta: Penerbit Keenbooks. Smeltzer & Bare, (2012). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi ke delapan, Vol 8, Jakarta: EGC Soegondo, (2012). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Soewondo, Pradana. (2009). Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Standar Prosedur Oprasional (SPO) perawatan luka diabetik RSUD Ciamis (2011) Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta Sutanto, Teguh. (2013). Diabetes : Deteksi, Pencegahan, Pengobatan. Yogyakarta. Buku Pintar. Tambunan, Rudi M. (2011), Pedoman Teknis Penyusunan Standar Operating Prosedures, Maiestas Publising, Jakarta Waspadji, Sarwono. (2009). Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. In: Sudoyo, Aru W., Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta: Interna Publishing. 1922-1929. WHO, (2013) Country and Regional Data On Diabetes. Available from : http://www.who.int/diabetes/facts/world_figures/en/ [diakses 18 Maret 2016] _____, (2014). Global Status Report On Non Communicable Diseases. Geneva. WIjaya dan Puteri, (2013) Keperawatan Medikal Bedah 2 Keperawatan Dewasa, Yogyakarta: Nuha Medika.