hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan

advertisement
GAMBARAN PENATALAKSANAAN PERAWATAN LUKA DIABETIK
SESUAI DENGAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
DI RUANG BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KABUPATEN CIAMIS
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Pada Program S1 Keperawatan
Oleh :
YOGA RESTU FAUZI
NIM : 12SP277043
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
CIAMIS
2016
GAMBARAN PENATALAKSANAAN PERAWATAN LUKA DIABETIK SESUAI
DENGAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL DI RUANG BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN1
Yoga Restu Fauzi 2 Yuyun Rahayu 3 Endrian M.J.W 4
INTISARI
Luka diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes melitus yang
sering dijumpai dan ditakuti oleh karena pengelolaannya sering mengecewakan
dan berakhir dengan amputasi. Perawat sebagai bagian dari pemberi layanan
kesehatan di rumah sakit kegiatan perawatan luka diabetik dilaksanakan harus
berdasarkan Standar Prosedur Operasional. Hasil observasi di Rumah Sakit Umum
Daerah Ciamis terhadap kegiatan perawatan luka diabetik perawat belum
melakukan tindakan sesuai SPO di Rumah Sakit
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeahui gambaran penatalaksanaan
perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang
Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif yaitu suatu
metode penelitian dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi suatu
objek. Populasi dalam penelitian ini adalah semua tindakan penatalaksanaan
perawatan luka diabetik di ruang bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Ciamis. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik total
sampling yaitu seluruh populasi dijadikan sampel penelitian yaitu sebanyak 41
tindakan perawat luka diabetik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penatalaksanaan perawatan luka diabetik
sesuai dengan Standar Prosedur Operasional Di Ruang Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Kabupaten Ciamis, menunjukan bahwa sebagian besar
berkatogori tidak dilaksanakan yaitu sebanyak 24 pelaksanaan (58,5%) dengan
rincian penatalaksanaan tahap persiapan alat sebagian besar berkategori
dilaksanakan yaitu sebanyak 25 pelaksanaan (61%), penatalaksanaan tahap pra
interaksi sebagian besar berkategori dilaksanakan yaitu sebanyak 29
pelaksanaan (70,7%), penatalaksanaan tahap orientasi sebagian besar
berkategori dilaksanakan yaitu sebanyak 23 pelaksanaan (56,1%),
penatalaksanaan tahap kerja sebagian besar berkategori dilaksanakan yaitu
sebanyak 24 pelaksanaan (58,5%), penatalaksanaan tahap terminasi sebagian
besar berkategori dilaksanakan yaitu sebanyak 21 pelaksanaan (51,2%) dan
penatalaksanaan tahap dokumentasi sebagian besar berkategori dilaksanakan
yaitu sebanyak 24 pelaksanaan (58,5%).
Saran agar meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dan meningkatkan
efektivitas dalam penatalaksanaan luka diabetik serta memperbaiki pelaksanaan
penggunaan SPO agar lebih baik lagi dalam pelaksanaan perawatan luka
diabetik.
Kata Kunci
Kepustakaan
Keterangan
:
:
:
Perawatan Luka, Luka Diabetik, Standar Prosedur Operasional
36 Referensi (2007-2016)
1 Judul, 2 Nama Mahasiswa S1 Keperawatan, 3 Nama Pembimbing I,
4 Nama Pembimbing II
v
DESCRIPTION OF MAINTENANCE MANAGEMENT DIABETIC WOUNDS
ACCORDANCE WITH STANDARD OPERATING PROCEDURE IN THE
SURGERYREGIONAL GENERAL HOSPITAL DISTRICT CIAMIS1
2
3
Yoga Restu Fauzi Yuyun Rahayu Endrian M.J.W
4
ABSTRACT
Diabetic wounds is one of the chronic complications of diabetes mellitus is a
common and feared for its management are often disappointing and ending with
amputation. Nurses as part of health care providers in hospital diabetic wound
care activities should be implemented based on the Standard Operating
Procedures. Observations from Ciamis District General Hospital on the activities
of diabetic wound care nurses have not done according SPO in Hospital.
The purpose of this study was to mengeahui picture diabetic wound care
management in accordance with the operational procedures in the Room stadar
Surgery General Hospital Ciamis regency, 2016.
This research uses descriptive research is a research method with the ultimate
aim of making a picture or description of an object. The population in this study
are all measures of diabetic wound care management in the operating room the
General Hospital of Ciamis District. The samples in this study using the technique
of the total sampling that the entire population sampled as many as 41 action
research nurse Diabetic wounds.
The results showed that diabetic wound care management in accordance with
Standard Operating Procedures Surgery In Space District General Hospital
Ciamis, shows that most berkatogori not conducted as many as 24
implementation (58.5%) with the details of the management of the preparation
phase largely categorized tools implemented as many as 25 implementation
(61%), management of the pre interactions largely categorized conducted as
many as 29 implementation (70.7%), stage management orientation categorized
largely conducted as many as 23 implementation (56.1%), management of the
working stage portion great categorized conducted as many as 24
implementation (58.5%), management termination stage largely categorized
conducted as many as 21 implementation (51.2%) and management of the
documentation phase largely categorized conducted as many as 24
implementation (58.5%).
Suggestions for improving the quality of nursing services and improve
effectiveness in the management of diabetic wounds and improve the
implementation of SPO use so much better in the implementation of diabetic
wound care.
.
Keywords
:
Bibliography :
Description :
Wound Care, Diabetic Wound, Standard Operating Procedures
36 reference (2007-2016)
1.Title, 2. Student Name, 3. Name of Supervisor I, 4. Name of
Supervisor II
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang di
tandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia
(Smeltzer & Bare, 2012). Sebanyak 75% penderita diabetes mellitus
akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler, serangan jantung, gagal
ginjal, stroke, dan ganggren adalah komplikasi utama. Selain itu, dampak
ekonomi pada diabetes mellitus jelas terlihat berakibat pada biaya
pengobatan dan hilangnya pendapatan (Price & Wilson, 2012).
Global status report on non communicable diseases tahun 2014 yang
dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
prevalensi DM di seluruh dunia diperkirakan sebesar 9%. Proporsi kematian
akibat penyakit DM dari seluruh kematian akibat penyakit tidak menular
adalah sebesar 4%. Kematian akibat DM terjadi pada negara dengan
pendapatan rendah dan menengah dengan proporsi sebesar 80%. Pada
Tahun 2030 diperkirakan DM menempati urutan ke-7 penyebab kematian di
dunia (WHO, 2014).
International Diabetes Federation (IDF) tahun 2014 jumlah penderita
DM semakin bertambah. Menurut estimasi IDF (2014) 8,3% penduduk di
seluruh dunia mengalami DM, prevalensi ini meningkat dari tahun 2011 yaitu
7,0% dan diprediksikan pada tahun 2035 prevalensi DM akan meningkat
menjadi 10,0%. Diperkirakan proporsi penderita DM yang tidak terdiagnosis
adalah sebesar 46,3%. Satu dari dua penderita diabetes tidak mengetahui
bahwa mereka telah terkena penyakit tersebut (IDF, 2014).
1
2
Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2014 menunjukkan peningkatan prevalensi DM dari tahun 2011
sebesar 7,5% menjadi 10,4% pada tahun 2014. Sementara itu hasil survei
Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menyatakan prevalensi DM di
perkotaan mencapai 14,7% dan di pedesaan mencapai 7,2% (Hotma, 2014).
Menurut IDF (2014), jumlah penduduk dewasa di Indonesia (umur 20-79
tahun) adalah sebanyak 1 56,7 juta jiwa. Prevalensi penderita DM di
Indonesia pada usia 20-79 tahun adalah sebesar 5,8% dengan jumlah
kematian sebanyak 176 ribu orang.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
proporsi penduduk ≥15 tahun dengan DM adalah 6,9%. Prevalensi penderita
DM berdasarkan wawancara (pernah didiagnosa dan ada gejala) mengalami
peningkatan dari 1,1% (tahun 2007) menjadi 2,1% (tahun 2013). Prevalensi
DM yang terdiagnosis dokter dan atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi
Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), dan Sulawesi Selatan (3,4%).
Proporsi penduduk umur ≥15 tahun dengan toleransi glukosa terganggu
(TGT) mencapai 29,9%. Hal ini berarti akan sema kin banyak penduduk
yang berisiko tinggi untuk menderita DM (Balitbangkes, 2013).
Propinsi yang juga mengalami peningkatan kasus diabetes mellitus
adalah propinsi Jawa Barat. Berdasarkan profil kesehatan propinsi Jawa Barat
tahun 2013, proporsi penderita diabetes mellitus rawat inap menurut umur 1544 tahun terdapat 3,6% dan >45 tahun terdapat 96,4% kondisi tersebut terjadi
merata di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat (Dinkes Jabar, 2013).
Berdasarkan hasil survey pendahuluan dengan melihat data rekam
medik di Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis pada tanggal 15 Maret 2016
diketahui bahwa penderita diabetes melitus pada tahun 2013 adalah
3
sebanyak 294 kasus pada tahun 2014 sebanyak 357 kasus pada tahun 2015
sebanyak 314 kasus sedangkan pada periode januari 2016 sebayak 41
orang (Rekam Medis RSUD Ciamis, 2016). Berdasarkan data tersebut
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis mengalami peningkatan
kasus diabetes melitus setiap tahunnya.
Penderita diabetes mellitus mengalami penurunan kemampuan pada
tubuhnya untuk memproduksi hormon insulin, bahkan tidak mampu untuk
memproduksi.
Keadaan
ini
mengakibatkan
hiperglikemia
yang
dapat
menimbulkan berbagai komplikasi akut hingga kronik. Komplikasi kronik yang
terjadi antara lain adalah hipertensi (64%), retinopati diabetik (55%), neuropati
diabetik (82%), serta gangren dan selulitis (100%). Selain pevalensi komplikasi
yang tinggi, tingkat kematian akibat diabetes mellitus juga terbilang tinggi yaitu
7,89% dari pasien rawat inap di seluruh rumah sakit milik pemerintah di
Indonesia (Kemenkes RI, 2012).
Penderita diabetes mellitus memiliki resiko amputasi lebih besar
dibandingkan dengan non diabetik, karena penderita diabetes mellitus
berisiko dua puluh sembilan kali terjadi komplikasi ulkus diabetik. Ulkus
diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan
adanya makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati.
Ulkus diabetika mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya
kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang
strategis untuk pertumbuhan kuman (Hastuti, 2008). Luka diabetes ini dapat
dicegah dengan melakukan skrining dini serta edukasi pada kelompok
berisiko tinggi, dan penanganan penyebab dasar seperti neuropati, penyakit
arteri perifer dan deformitas (Langi, 2011).
4
Hasil penelitian Hastuti (2008) Faktor risiko ulkus diabetika adalah
lama DM ≥10 tahun, kadar kolesterol ≥200 mg/dl, kadar HDL ≤45 mg/dl,
ketidakpatuhan diet DM, kurangnya latihan fisik, perawatan kaki tidak teratur
dan penggunaan alas kaki tidak tepat dapat meningkatkan kejadian ulkus
diabetika sebesar 99,9 %. Didukung pula hasil penelitian Ariyanti (2012)
analisis bivariat didapatkan perawatan kaki dan pemilihan dan pemakaian
alas kaki berhubungan dengan risiko ulkus kaki diabetes. Hasil analisis
multivariat didapatkan bahwa perawatan kaki berhubungan dengan risiko
ulkus. Diabetes dengan perawatan kaki yang baik berpeluang untuk
mencegah risiko ulkus kaki diabetes sebesar 14 kali dibandingkan dengan
diabetis yang perawatan kakinya buruk.
Berdasarkan hasil penelitian Langi (2011) penatalaksanaan ulkus kaki
diabetes meliputi penanganan iskemia dengan meningkatkan perfusi
jaringan, debridement untuk mengeluarkan jaringan nekrotik,perawatan luka
untuk menghasilkan moist wound healing, off-loading kaki yang terkena,
intervensi bedah, pananganan morbiditas dan infeksi, serta pencegahan
rekurensi luka.
Untuk mencegah komplikasi luka diabetik yang berlangsung lama dan
mencegah ke arah yang lebih buruk maka perlu diperhatikan bagaimana
perawatan luka pada penderita diabetes dimana terdapat empat prinsip
pengelolaan luka diabetes untuk mengoptimalkan proses penyembuhan
yaitu: preparasi dasar luka, proteksi luka, pembalutan luka, dan oksigenasi
luka. Dengan ini, diharapkan 80% masalah luka diabetik diharapkan sembuh
sehingga menghindari amputasi (Dedi, 2009).
5
Luka diabetik ini dapat disembuhkan dengan penatalaksanaan
perawatan luka yang baik dan diobati seperti yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari di dalam shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah bahwasanya Nabi
bersabda,
Artinya “Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula
obatnya”(HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dari riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah dia berkata bahwa
Nabi bersabda,
“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan
penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa
Ta’ala.” (HR. Muslim)
Hadits-hadits di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa
semua penyakit yang menimpa manusia maka Alloh SWT turunkan obatnya.
Kadang ada orang yang menemukan obatnya, ada juga orang yang belum
bisa menemukannya. Oleh karenanya seseorang yang menderita luka
diabetik harus bersabar untuk selalu berobat dan terus berusaha untuk
merawat luka diabetik yang dialaminya. Merawat Luka diabetik dapat
dilakukan dengan cara membersihkan pada daerah luka, kebersihan ini
dalam Al Qur’an, Allah SWT dengan jelas memerintahkan kepada hambanya
untuk senantiasa menjaga kebersihan diri dalam penggalan surat AL
Baaqarah ayat 222 :
Artinya Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang bertaubat dan
mengasihi orang-orang yang bersuci”.
6
Dari ayat tersebut diungkapkan bahwa dalam ajaran Islam Allah SWT
telah lehih dulu mendidik hamba-NYA untuk senantiasa mensucikan
diri,menjaga diri dari segala kotoran agar terbebas dan bahaya penyakit. Hal
ini tentu sangat erat kaitannya dengan pembersihan luka diabetik agar tidak
terjadi amputasi.
Pembersihan luka dilakukan sehari minimal dua kali (pagi dan sore),
setelah dilakukan perawatan, lakukan pengkajian apakah sudah tumbuh
granulasi, (pembersihan dilakukan dengan kassa steril yang dibasahi larutan
NaCl). Setelah luka dibersihkan, lalu ditutup dengan kassa basah yang diberi
larutan NaCl lalu dibalut disekitar luas luka, dalam penutupan dengan kassa,
jaga agar jaringan luar luka tidak tertutup. Sebab jika jaringan luar luka ikut
tertutup akan menimbulkan pembengkakan (Ismayanti, 2007).
Hasil observasi di Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis pada tanggal 11
Maret 2016 terhadap kegiatan perawatan luka diabetik dari 8 pasien ada 5
pasien diruang bedah yang belum sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan
SPO, misalnya belum menggunakan sarung tangan steril untuk tiap satu
pasien, belum menggunakan pinset untuk satu pasien, dan tidak menggunakan
masker padahal dari segi kecukupan peralatan tersedia sesuai kebutuhan.
Tindakan perawatan luka juga kegiatan desinfeksi luka tidak dilakukan dengan
cara mengusap satu arah. Ini menandakan bahwa perawat belum melakukan
tindakan sesuai standar operasional prosedur di Rumah Sakit. Berdasarkan
wawancara dengan perawat mengatakan bahwa 10 pasien rawat inap dengan
luka diabetik dirawat sampai 6-10 hari, ada pun 4 pasien luka diabetik yang
kembali kerumah sakit dengan infeksi lebih berat bahkan selama tahun 2015
terdapat penderita luka diabetik yang diamputasi sebanyak 2 orang.
7
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul ”Gambaran Penatalaksanaan Perawatan
Luka Diabetik Di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Ciamis 2016”.
B. Rumusan Masalah
Luka kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes
melitus yang sering dijumpai dan ditakuti oleh karena pengelolaannya sering
mengecewakan dan berakhir dengan amputasi, bahkan kematian.Luka kaki
diabetes ini dapat dicegah dengan melakukan skrining dini serta edukasi
pada kelompok berisiko tinggi, dan penanganan penyebab dasar seperti
neuropati,
penyakit
arteri
perifer
dan
deformitas.
Penatalaksanaan
perawatan luka diabetik dapat mencegah infeksi meluas. Penatalaksanaan
perawatan luka diabetik belum sepenuhnya diketahui dengan baik. Berbagai
studi terkait dengan perawatan luka maupun penatalaksanaan perawatan
luka diabetik sepenuhnya belum terlaksana dengan baik.
Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah ”Bagaimanakah gambaran penatalaksanaan
perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di
Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahuinya gambaran penatalaksanaan perawatan luka diabetik
sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah Rumah
Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016.
8
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap persiapan alat
perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional
di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis
2016.
b. Diketahuinya
gambaran
penatalaksanaan
tahap
pra
interaksi
perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional
di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis
2016.
c. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap orientasi perawatan
luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang
Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016.
d. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap kerja perawatan luka
diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016.
e. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap terminasi perawatan
luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional di Ruang
Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016.
f.
Diketahuinya gambaran penatalaksanaan tahap pendokumentasian
perawatan luka diabetik sesuai dengan stadar prosedur operasional
di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis
2016.
9
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan di dalam penatalaksanaan
penelitian
ini
pengetahuan
yaitu
bermanfaat
dalam
ilmu
bagi
keperawatan
pengembangan
terutama
ilmu
masalah
keperawatan dalam penatalaksanaan perawatan luka diabetik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
Dapat
digunakan
sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
mengatur, mengelola, menarik pelanggan yang menggunakan jasa
rumah sakit dan sebagai bahan evaluasi terhadap pelayanan
keperawatan terutama pada penatalaksanaan perawatan luka
diabetik.
b. Bagi Ruang Perawatan
Dapat digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap pelayanan
keperawatan terutama pada penatalaksanaan perawatan luka
diabetik.
c. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat
digunakan
sebagai
tambahan
referensi
untuk
meningkatkan mutu pendidikan terutama masalah penatalaksanaan
perawatan luka diabetik serta sebagai bahan materi pengajaran bagi
dosen pada mahasiswa keperawatan tentang perawatan luka
diabetik pada pasien DM.
d. Bagi Perawat
Dapat berguna sebagai bahan informasi untuk meningkatkan
pelayanan keperawatan pada perawatan luka diabetik.
10
e. Bagi pasien
Sebagai bahan acuan dalam perawatan luka mandiri,
terutama dalam perawatan luka diabetik guna mencegah terjadinya
ulkus diabetikum yang lebih parah dan beresiko diamputasi
f.
Bagi Peneliti Lain
Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan sumber informasi atau
sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya.
E.
Keaslian Penelitian
Penelitian yang hampir sama pernah dilakukan oleh Hermin (2012)
dengan judul “Analisis Teknik Perawatan Luka Pada Penderita Diabetes
Melitus di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar”. Jenis penelitian
Deskriktif dengan menggunakan rancangan cross sectional study.Sampel
yang ditarik secara accidental sampling dengan jumlah sampel 30
responden. Hasil penelitian ini menunjukan dari 30 responden terdapat
63,3%
menggunakan
peralatan
yang
lengkap
dan
36,7%
tidak
menggunakan peralatan yang lengkap. Terdapat 73,3% responden yang
melakukan sesuai prosedur perawatan dan 26,7% tidak sesuai prosedur
perawatan. Serta terdapat 56,7% yang melakukan prinsip keperawatan
dengan steril dan 43,3% yang tidak melakukan prinsip perawatan dengan
tidak steril.
Persamaan dengan penelitian ini terdapat pada topik penelitian yang
meneliti
perawatan
luka
pada
pasien
diabetes
mellitus,
adapun
perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada judul,
lokasi, waktu, jenis penelitian pada penelitian ini adalah deskriptif, populasi
dan tekhnik pengambilan sampel.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Luka
a. Defenisi Luka
Luka adalah rusaknya atau hilangnya kontuinitas jaringan yang
dapat diakibatkan oleh faktor internal seperti obat-obatan, perubahan
sirkulasi, perubahan proses metabolisme, infeksi, kegagalan transport
oksigen dan juga oleh faktor eksternal seperti suhu yang ekstrim,
injury, alergen, radiasi, zat-zat kimia (Ekaputra, 2013).
b. Jenis-jenis luka
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara
mendapatkan luka itu dan menunjukan derajat luka (Ekaputra, 2013).
1) Berdasarkan derajat kontaminasi
a) Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi
dan infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril
dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak
ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius maupun
traktusgenitourinarius. Dengan demikian kondisi luka
tetap
dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka
sekitar 1% - 5%.
b) Luka bersih terkontaminasi
Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan
dimana saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran
perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan
11
12
luka akan lebih lama namun luka
tidak menunjukkan tanda
infeksi.Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.
c) Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka
terinfeksi spillage
yang berpotensi
saluran pernafasan, saluran pencernaan
dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi. Luka ini
dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau
kecelakaan (luka
laserasi), fraktur terbuka maupun luka
penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
d) Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang
mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi
seperti cairan purulen.
Luka ini bisa sebagai akibat
pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti
perforasi visera, abses dan trauma lama.
2) Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a) Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu
luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b) Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan
kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis.
Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti
abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c) Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit
keseluruhan
meliputi
kerusakan
atau
nekrosis
jaringan
subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak
melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada
13
lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.
Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam
dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d) Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai
lapisan
otot,
tendon
dan
tulang
dengan
adanya
destruksi/kerusakan yang luas.
3) Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a) Luka akut yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai
dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
b) Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam
proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan
endogen.
4) Berdasarkan Penyebab
a) Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada
permukaan
epidermis akibat bersentuhan dengan benda
berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai
pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas,
terjatuhmaupun benturan benda tajam ataupun tumpul.
b) Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai
dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus
scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti
terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ),
dimana bentuk luka teratur .
c) Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi
yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena
tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai
14
pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak
beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan
mukosa hingga lapisan otot.
d) Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan
benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada
lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan
otot,
tusukan
paku
dan
benda-benda
tajam
lainnya.
Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan
permukaan luka tidak begitu lebar.
e) Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka
gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti
gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga
menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
f) Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau
cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio
memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan
luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya
juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.
c. Fase penyembuhan luka
Fase penyembuhan luka menurut Ekaputra, (2013) adalah
sebagai berikut :
1) Vascular response : beberapa detik setelah terjadinya luka pada
tipe apapun, respon tubuh dengan penyempitan pembuluh darah
(konstriksi) untuk menghambat perdarahan dan mengurangi
pajanan terhadap bakteri. Pada saat yang sama, protein
membentuk jaringan fibrosa untuk menutup luka. Ketika trombosit
bersama protein menutup luka, luka menjadi lengket dan lemb
15
membentuk fibrin. Setelah 10-30 menit setelah terjadinya luka,
pembuluh darah melebar karena serotonin yang dihasilkan
trombosit. Plasma darah mengaliri luka dan melawan toxin yang
dihasilkan microorganisme, membawa oksigen dan nutrisi yang
dibutuhkan untuk penyembuhan luka dan membawa agen fagosit
untuk melawan bakteri maupun jaringagan yang rusak .
2) Infmamasi : Bagian luka akan menjadi hangat dan merah karen
aprose fagositosis. Fase inflamasi terjadi 4-6 hari seteah injury.
Tujuan
inflamasi
untuk
membatasi
efek
bakteri
dengan
menetralkan toksin dan penyebaran bakteri.
3) Proliferasi/resolusi : penumpukan deposit kolagen pada luka,
angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), proliferasi dan
pengecilan lebar luka. Fase ini berhenti 2 mgg setelah terjadinya
luka, tetapi proses ini tetap berlangsung lambat 1- 2 tahun.
Fibroblast mensistesis kolagen dan menumbuhkan sel baru.
Miofibroblas menyebabkan luka menyempit, bila tidak terjadi
penyempitan akan terjadi kematian sel. Contohnya jika terjadi scar
atau kontraktur. Epitelisasi adalah perpindahan sel epitel dari area
sekitar folikel rambut ke area luka. Perpingahan tersebut terbatas
3 cm. Epitelisai akan lebih cepat jika luka dalam keadaan lembab.
4) Maturasi/rekontruksi
:
fase
terakhir
penyembuhan
dengan
remodelling scaryang terjadi. Biasanya terjadi selam asetahun
atau lebih seteleh luka tertutup. Selama fase ni fibrin di bentuk
ulang, pembuluh darah menghilang dan jaringan memerkuat
susunananya. Remodeling ini mencakup sintesis dan pemecahan
kolagen.
16
d. Faktor yang Mempengaruhi Luka
1) Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada
orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis,
penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor
pembekuan darah.
2) Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian
pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein, karbohidrat,
lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang
nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi
mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk
meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena
supply darah jaringan adipose tidak adekuat.
3) Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber
penyebab
infeksi.
Sirkulasi
(hipovolemia)
dan
Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka.
Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang
memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk
penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit
menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran
darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang
menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau
diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang
17
menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada
perokok.
Kurangnya
volume
darah
akan
mengakibatkan
vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi
untuk penyembuhan luka.
4) Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah
pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam
sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut
memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga
menghambat proses penyembuhan luka.
5) Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan
menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut
diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan
lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang
kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).
6) Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat
penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi
dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka
terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya
obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
7) Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan
peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel.
Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori
tubuh.
18
8) Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan
efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk
menyatu.
9) Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin
dan
anti
neoplasmik
mempengaruhi
penyembuhan
luka.
Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang
rentan terhadap infeksi luka.
a) Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal
tubuh terhadap cedera
b) Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
c) Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan
untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika
diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif
akibat koagulasi intravaskular.
2. Diabetes Melitus
a. Pengertian
Diabetes melitus adalah penyakit kronis di mana pankreas tidak
dapat memproduksi insulin secara cukup, atau di mana tubuh tidak
efektif menggunakan insulin yang diproduksi, atau pun keduanya. Hal
ini menjurus kepada peningkatan konsentrasi dari kadar gula dalam
darah atau hyperglycaemia (WHO, 2014).
19
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2014,
diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (ADA, 2014)
Berdasarkan
kriteria
diagnostik
PERKENI
(Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia) tahun 2011, seseorang dikatakan menderita
diabetes jika ada gejala diabetes melitus dengan glukosa plasma
sewaktu ≥200 mg/dL atau adanya gejala klasik diabetes mellitus
dengan kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL atau kadar gula
plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200 mg/dL
(PERKENI, 2011).
b. Klasifikasi dan Etiologi
1) Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes) terjadi karena adanya
gangguan pada pankreas, menyebabkan pankreas tidak mampu
memproduksi insulin dengan optimal. Pankreas memproduksi
insulin dengan kadar yang sedikit dan dapat berkembang menjadi
tidak mampu lagi memproduksi insulin. Akibatnya, penderita
diabetes tipe 1 harus mendapat injeksi insulin dari luar (Sutanto,
2013). Penyebab diabetes tipe 1 tidak diketahui dan kejadian ini
masih belum dapat dicegah dengan ilmu yang ada pada saat ini.
Gejala-gejalanya meliputi frekuensi ekskresi urin yang berlebihan
(polyuria), kehausan (polydipsia), lapar yang terus menerus, berat
badan berkurang, gangguan penglihatan, dan kelelahan. Gejalagejala ini dapat muncul secara tiba-tiba (WHO, 2014).
2) Diabetes tipe 2 merupakan penyakit diabetes yang disebabkan
karena sel-sel tubuh tidak merespon insulin yang dilepaskan oleh
20
pankreas (Sutanto, 2013). Diabetes tipe 2 dialami hampir 90%
manusia di dunia, dan secara umum penyakit ini adalah hasil dari
berat badan berlebih dan kurangnya aktifitas fisik. Gejala-gejala
mirip dengan diabetes tipe 1, tetapi biasanya tidak terasa. Hasilnya,
penyakit ini terdiagnosa bertahun tahun setelah awal mula
terjadinya penyakit, ketika sudah timbul komplikasi (WHO, 2014).
3) Diabetes gestational adalah diabetes yang disebabkan karena
kondisi kehamilan (Sutanto, 2013). Gejala diabetes gestational mirip
dengan gejala diabetes tipe 2. Diabetes gestational lebih sering
terdiagnosa melalui prenatal screening dari pada gejala yang
dilaporkan (WHO, 2014).
Klasifikasi etiologi diabetes melitus berdasarkan American
Diabetes Association (ADA, 2014) adalah sebagai berikut :
1) Diabetes Melitus Tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut melalui proses imunologik dan idiopatik
2) Diabetes Melitus Tipe 2
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama resistensi insulin
3) Diabetes Melitus Tipe Lain
a) Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi pada:
(1) Kromosom 20, Hepatocyte Nuclear Transcription Factor
(HNF) 4α (dahulu MODY 1)
(2) Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3)
(3) Kromosom 7, Glukokinase (dahulu MODY 2)
21
(4) Kromosom 13, Insulin Promoter Factor (IPF) 1 (dahulu
MODY4)
(5) Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
(6) Kromosom 2, Neuro DI (dahulu MODY 6)
(7) DNA mitokondria
(8) lainnya
b) Defek
genetik
kerja
insulin:
resistensi
insulin
tipe
A,
leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik,
lainnya.
c) Penyakit
Eksokrin
trauma/pankreatektomi,
Pankreas:
neoplasma,
pankreatitis,
fibrosis
kistik,
hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya.
d) Endokrinopati: akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma,
hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
e) Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β adrenergic,
tiazid, fenitoin, interferon alfa, protease inhibitor, clozapine, beta
bloker, lainnya.
f) Infeksi: rubella kongenital, CMV, lainnya.
g) Imunologi (jarang): sindrom Stiff-man, antibodi anti reseptor
insulin, lainnya.
h) Sindrom genetik lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom
Turner,
sindrom
Wolfram’s,
ataksia
Friedreich’s,
Chorea
Huntington, sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik,
porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya
22
4) Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah hiperglikemia dengan kadar
gula darah diatas normal tetapi dibawah nilai diagnostik diabetes
yang terjadi selama kehamilan. Wanita dengan diabetes gestational
berisiko terkena DM tipe 2 di masa mendatang.
c. Faktor risiko diabetes mellitus
Faktor risiko diabetes mellitus antara lain adalah (Powers,
2010):
1)
Riwayat keluarga menderita diabetes (contoh: orang tua atau
saudara kandung dengan diabetes mellitus )
2)
Obesitas (Indeks Massa Tubuh ≥ 25 kg/m2)
3)
Aktivitas fisik
4)
Ras/etnis
5)
Gangguan Toleransi Glukosa
6)
Riwayat Diabetes Gestational atau melahirkan bayi dengan berat
lahir > 4 kg
7)
Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg)
8)
Kadar kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL (0,90 mmol/L) dan/atau kadar
trigliserida ≥ 250 mg/dL (2,82 mmol/L)
9)
Polycystic Ovary Syndrome atau Acantosis Nigricans
10) Riwayat kelainan darah
d. Gejala klinis
Manifestasi
utama
penyakit
diabetes
mellitus
adalah
hiperglikemia, yang terjadi akibat berkurangnya jumlah glukosa yang
masuk ke dalam sel, berkurangnya penggunaan glukosa oleh berbagai
jaringan dan peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati
(PERKENI, 2011).
23
Gejala diabetes dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
(PERKENI, 2011) :
1) Gejala Akut
Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi tiga serba
banyak yaitu:
a) Banyak makan (polifagia)
b) Banyak minum (polidipsi)
c) Banyak kencing (poliuria)
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan
yang terus bertambah, karena pada saat itu jumlah insulin masih
mencukupi. Apabila keadaan ini tidak segera diobati maka akan
timbul keluhan lain yang disebabkan oleh kurangnya insulin.
Keluhan tersebut diantaranya:
a) Nafsu makan berkurang
b) Banyak minum
c) Banyak kencing
d) Berat badan turun dengan cepat
e) Mudah lelah
f) Bila tidak segera diobati, penderita akan merasa mual bahkan
penderita akan jatuh koma (koma diabetik).
2) Gejala Kronik
Gejala kronik akan timbul setelah beberapa bulan atau
beberapa tahun setelah penderita menderita diabetes. Gejala kronik
yang sering dikeluhkan oleh penderita, yaitu:
24
a) Kesemutan
b) Kulit terasa panas
c) Terasa tebal dikulit
d) Kram
e) Lelah
f) Mudah mengantuk
g) Mata kabur
h) Gatal disekitar kemaluan
i) Gigi mudah goyah dan mudah lepas
j) Kemampuan seksual menurun
k) bagi penderita yang sedang hamil akan mengalami keguguran
atau kematian janin dalam kandungan atau berat bayi lahir lebih
dari 4 kg
e. Diagnosis diabetes mellitus
Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara
(PERKENI, 2011) , yaitu :
1) Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
diabetes melitus.
2) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya
keluhan klasik.
3) Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun pemeriksaan dini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
25
Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus
1) Gejala klasik diabetes melitus + glukosa plasma sewaktu ≥200
mg/dL (11,1 mmol/L) (Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil
pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir)
2) Gejala klasik diabetes melitus + kadar glukosa plasma puasa ≥126
mg/dL (7,0 mmol/L) (Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
tambahan sedikitnya 8 jam)
3) Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
(TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan
ke dalam air)
Pemeriksaan
HbA1c
(≥6.5%)
oleh
ADA
2011
sudah
dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis diabetes melitus ,
jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi
dengan baik. (PERKENI, 2011)
f. Komplikasi
Komplikasi diabetes terbagi 2 yaitu komplikasi akut dan kronik.
1) Komplikasi Akut
Ketoasidosis
Diabetik
(KAD)
dan
Hyperglycemic
Hyperosmolar State (HHS) adalah komplikasi akut diabetes
(Powers, 2010). Pada Ketoasidosis Diabetik (KAD), kombinasi
defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator
terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada
jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi
peningkatan produksi badan keton dan asam lemak secara
26
berlebihan. Akumulasi produksi badan keton oleh sel hati dapat
menyebabkan asidosis metabolik. Badan keton utama adalah asam
asetoasetat
(AcAc)
dan
3-beta-hidroksibutirat
(3HB).
Pada
Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih
banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar
(Soewondo, 2009).
2) Komplikasi Kronik
Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, diabetes
melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik,
baik mikroangiopati maupun makroangiopati (Waspadji, 2009).
Komplikasi kronik diabetes melitus
bisa berefek pada banyak
sistem organ. Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian,
yaitu komplikasi vaskular dan non-vaskular. Komplikasi vaskular
terbagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan
nefropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit
arteri perifer, penyakit serebrovaskular). Sedangkan komplikasi nonvaskular dari diabetes melitus
yaitu gastroparesis, infeksi, dan
perubahan kulit (Powers, 2010).
g. Pencegahan
Usaha pencegahan pada penyakit diabetes mellitus terdiri
dari: pencegahan primordial yaitu pencegahan kepada orang-orang
yang masih sehat agar tidak memilki faktor resiko untuk terjadinya
diabetes mellitus, pencegahan primer yaitu pencegahan kepada
mereka yang belum terkena diabetes mellitus namun memiliki faktor
resiko yang tinggi dan berpotensi untuk terjadinya diabetes mellitus
27
agar tidak timbul penyakit diabetes mellitus, pencegahan sekunder
yaitu mencegah agar tidak terjadi komplikasi walaupun sudah terjadi
penyakit, dan pencegahan tersier yaitu usaha mencegah agar tidak
terjadi kecacatan lebih lanjut walaupun sudah terjadi komplikasi
(Soegondo, 2012).
1) Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial ditujukan kepada masyarakat yang
sehat untuk berperilaku positif mendukung kesehatan umum dan
upaya menghindarkan diri dari risiko diabetes melitus. Misalnya,
berperilaku hidup sehat, tidak merokok, memakan makanan yang
bergizi dan seimbang, diet, membatasi diri dengan makanan
tertentu ataupun kegiatan jasmani yang memadai. (PERKENI,
2011).
2) Pencegahan Primer
Sasaran dari pencegahan primer adalah orang-orang yang
termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum
terkena diabetes mellitus, tetapi berpotensi untuk mendapatkan
penyakit diabetes mellitus. Pada pencegahan primer ini harus
mengenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
diabetes mellitus dan upaya untuk mengeliminasi faktor-faktor
tersebut (PERKENI, 2011).
Usaha
pencegahan
primer
ini
dilakukan
secara
menyeluruh pada masyarakat tetapi diutamakan dan ditekankan
untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang berisiko tinggi
yang berpotensi menderita diabetes melitus. Tindakan yang perlu
dilakukan untuk usaha pencegahan primer ini meliputi penyuluhan
mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin
28
dengan memberikan pedoman, yaitu mempertahankan pola
makan sehari-hari yang sehat dan seimbang seperti meningkatkan
konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak
dan karbohidrat atau sering disebut diet dan mempertahankan
berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi badan. Selain
itu yang dapat dilakukan adalah melakukan kegiatan jasmani yang
cukup dan sesuai dengan umur dan kemampuan (Soegondo,
2012).
3) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan dan
menghambat
timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan
memberikan pengobatan sejak awal. Pengobatan sejak awal
harus segera dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya
komplikasi menahun. Edukasi mengenai diabetes mellitus dan
pengelolaannya akan meningkatkan kepatuhan pasien untuk
berobat (Shadine, 2010).
a)
Penyuluhan
Edukasi diabetes melitus
adalah pendidikan dan
latihan mengenai pengetahuan mengenai diabetes melitus.
Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah
penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup. Disamping
kepada pasien diabetes melitus , edukasi juga diberikan
kepada anggota keluarganya, tim kesehatan/ perawatan, dan
orang-orang
yang
beraktivitas
bersama-sama
dengan
penderita diabetes melitus setiap hari (Soegondo, 2012).
29
Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ini ditujukan
kepada mereka yang baru terdiagnosis diabetes. Kelompok
penderita diabetes ini masih sangat perlu diberi pengertian
mengenai
penyakit
diabetes
supaya
mereka
dapat
mengendalikan penyakitnya dalam mengontrol gula darah,
mengatur makanan, dan melakukan aktifitas olah raga
sesuai dengan keadaan dirinya sehingga pada akhirnya
penderita akan merasa nyaman karena bisa mengendalikan
gula
darahnya.
penyuluhan
Materi
adalah
yang
dapat
definisi
diberikan
diabetes
dalam
mellitus,
penatalaksanaan diabetes secara umum, obat-obat untuk
mengontrol glukosa darah (tablet dan insulin), perencanaan
makan dengan menggunakan bahan makanan penukar,
manfaat kegiatan jasmani (olah raga). Selanjutnya dapat
diberikan materi penyuluhan lanjutan, yaitu mengenal dan
mencegah komplikasi akut diabetes, pengetahuan mengenai
komplikasi
kronik
diabetes,
penatalaksanaan
diabetes
selama menderita penyakit lain, dan pemeliharaan kaki
diabetes (PERKENI, 2011)
b)
Pengobatan
Jika pasien telah melaksanakan program makan dan
latihan jasmani secara teratur, namun pengendalian kadar
glukosa darah belum tercapai, perlu ditambahkan obat
hipoglikemik baik oral maupun insulin.
30
(1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk
membantu penanganan pasien diabetes melitus tipe2.
Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat
menentukan keberhasilan terapi diabetes. Berdasarkan
cara kerjanya, Obat Hipoglikemik Oral dapat dibagi
menjadi 5 golongan, yaitu golongan pemicu sekresi
insulin (sulfonilurea dan glinid), golongan peningkat
sensitivitas terhadap insulin (tiazolidindion), golongan
penghambat glukoneogenesis (metformin), golongan
penghambat absorpsi glukosa (glukosidase alfa), dan
golongan DPP-IV inhibitor (PERKENI, 2011).
Golongan sulfonilurea diberikan pada pasien yang tidak
gemuk karena meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, misalnya Glibenklamid dengan nama
obat paten Daonil atau Euglucon. Golongan glinid
merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea
dengan penekanan pada sekresi insulin
fase pertama, misalnya Repaglinid dengan nama obat
paten Novonorm. Golongan tiazolidindion mempunyai
efek
menurunkan
resistensi
insulin
dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
misalnya Pioglitazon dengan nama obat paten Actos.
Golongan metformin berfungsi mengurangi produksi
glukosa
hati,
misalnya
Glucophage.
Golongan
glukosidase alfa berfungsi mengurangi absorpsi glukosa
31
di usus halus sehingga menurunkan kadar glukosa
darah sesudah makan, misalnya Akarbose dengan
nama obat paten Glucobay (PERKENI, 2011).
(2) Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita
diabetes melitus tipe 1. Pada diabetes melitus tipe 1,
sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak,
sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai
penggantinya, maka penderita diabetes melitus tipe 1
harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar
metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat
berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita
diabetes melitus tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin,
namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin
disamping terapi hipoglikemik (PERKENI, 2011).
4) Pencegahan Tersier
Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin
sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan primer
tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi
penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal (PERKENI, 2011).
Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar
disiplin terkait terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para
ahli sesama disiplin ilmu seperti konsultan penyakit jantung dan
ginjal, maupun para ahli disiplin lain seperti dari bagian mata,
32
bedah ortopedi, bedah vaskuler, radiologi, rehabilitasi, medis,
gizi,
pediatri
dan
sebagainya
sangat
diperlukan
dalam
menunjang keberhasilan pencegahan tersier (PERKENI, 2011).
h. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Menurut Smeltzer dan Bare (2012) tujuan utama terapi
diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar
glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi
vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes
adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa
terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas
pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes
mellitus antara lain :
1) Diet
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari
penatalaksanaan
diabetes.
Penatalaksanaan
nutrisi
pada
penderita diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini :
a) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin
dan mineral)
b) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
c) Memenuhi kebutuhan energi
d) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui
cara-cara yang aman dan praktis
e) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat
2) Latihan
Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes
karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan
mengurangi
faktor
resiko
kardiovaskuler.
Latihan
akan
33
menurunkan
kadar
glukosa
darah
dengan
meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian
insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan
berolahraga. Latihan dengan membawa tahanan (resistance
training) dapat meningkatkan lean body mass dan dengan
demikian menambah laju metabolisme istirahat (resting metabolic
rate) (Soegondo, 2012).
3) Pemantauan Glukosa dan Keton
Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah
secara mandiri (SMBG : self-monitoring of blood glucose),
penderita
diabetes
kini
dapat
mengatur
terapinya
untuk
mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini
memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta
hiperglikemia, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa
darah normal yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi
diabetes jangka panjang. Berbagai metode kini tersedia untuk
melakukan
pemantauan
mandiri
kadar
glukosa
darah.
Kebanyakan metode tersebut mencakup pengambilan setetes
darah dari ujung jari tangan, aplikasi darah tersebut pada strip
pereaksi khusus, dan kemudian darah tersebut (biasanya antara
45 dan 60 detik sesuai ketentuan pabrik). Untuk beberapa produk,
darah dihapus dari strip (dengan menggunakan kapas atau kertas
tisue sesuai ketentuan pabrik). Bantalan pereaksi pada strip akan
berubah warnanya dan kemudian dapat dicocokkan dengan peta
warna pada kemasan produk. Bagi penderita yang tidak
menggunakan insulin, pemantauan mandiri glukosa darah sangat
membantu dalam melakukan pemantauan terhadap efektivitas
34
latihan, diet dan obat hipoglikemia oral. Metode ini juga dapat
membantu memotivasi pasien untuk melanjutkan terapinya. Bagi
penderita diabetes tipe II, pemantauan mandiri glukosa darah
harus dianjurkan dalam kondisi yang diduga dapat menyebabkan
hiperglikemia atau hipoglikemia (Soegondo, 2012).
4) Terapi Insulin
Pada diabetes tipe I, tubuh kehilangan kemampuan untuk
memprodusi insulin. Dengan demikian, insulin eksogenus harus
diberikan dalam jumlah tak terbatas. Pada diabetes tipe II, insulin
mungkin diperlukan sebagai jangka panjang untuk mengendalikan
kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak
berhasil mengontrolnya. Di samping itu, sebagian pasien diabetes
tipe II yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah dengan
diet dan obat oral kadang membutuhkan insulin secara temporer
selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau
beberapa kejadian stress lainnya. Penyuntikan insulin sering
dilakukan dua kali per hari (atau bahkan lebih sering lagi) untuk
mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan
dan pada malam hari. Karena dosis insulin yang diperlukan
masing-masing pasien ditentukan oleh kadar glukosa dalam
darah, maka pemantauan kadar glukosa yang akurat sangat
penting. Pemantauan mandiri kadar glukosa darah telah menjadi
dasar dalam memberikan terapi insulin (Soegondo, 2012).
5) Pendidikan
Diabetes
mellitus
merupakan
sakit
kronis
yang
memerlukan perilaku penanganan mandiri yang khusus seumur
hidup. Karena diet, aktivitas fisik dan stres fisik serta emosional
35
dapat mempengaruhi pengendalian diabetes, maka pasien harus
belajar untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor. Pasien
bukan hanya harus belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri
setiap hari guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar
glukosa darah yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku
preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik
jangka
panjang.
Penghargaan
pasien
tentang
pentingnya
pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh penderita
diabetes dapat membantu perawat dalam melakukan pendidikan
dan penyuluhan (Soegondo, 2012).
3. Luka Diabetik
a. Pengertian
Luka diabetik adalah luka yang terjdi pada pasien diabetik yang
melibatkan gangguan pada saraf peripheral dan autonomik. Luka
diabetik adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan pada saraf,
kelainan pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi
tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan
bahkan dapat diamputasi (Wijaya dan Puteri, 2013).
Ulkus adalah luka terbuka pada permulaan kulit atau selaput
lender dan ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai
invasive
kuman
saprofit.
Adanya
kuman
saprofit
tersebut
menyebabkan ulkus berbau, ulkus diabetikum juga merupakan salah
satu gejala klinik dan perjalanan penyakit diabetes melitus dengan
neuropati perifer (Wijaya dan Puteri, 2013)
Ulkus diabetik dikenal dengan istilah gangren didefinisikan
sebagai jaringan nekrosis atau jaringan mati yang disebabkan oleh
adanya emboli pembuluh darah besar arteri pada bagian tubuh
36
sehingga suplai darah terhenti. Dapat terjadi sebagai akibat proses
inflamasi yang memanjang, perlukaan (digigit serangga, kecelakaan
kerja
atau
terbakar),
proses degeneratif
(arterosklerosis) atau
gangguan metabolik diabetes mellitus (Wijaya dan Puteri, 2013).
Ganggren diabetik adalah nekrosis jaringan pada bagian tubuh perifer
akibat penyakit diabetes mellitus. Biasanya ganggren terebut terjadi
pada daerah tungkai. Keadaan ini ditandai dengan pertukaran sekulitis
dan timbulnya vesikula atau bula yang hemoragik kuman yang biasa
menginfeksi pada ganggren diabetik adalah streptococcus (Wijaya dan
Puteri, 2013).
b. Klasifikasi
Wagner (1993) di kutif oleh Waspadji S membagi ganggren
diabetik menjadi enam tingkatan yaitu
Derajat 0
: tidak ada
lesi
terbuka,
kulit
masih
utuh
dengan
kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki seperti “claw,
callus”.
Derajat I
: Ulkus superficial terbatas pada kulit
Derajat II
: Ulkus dalam menembus tendon dan tulang
Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis
Derajat IV : Ganggren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau
tanpa selulitis
Derajat V : Ganggren seluruh kaki atau sebagian tungkai
Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) dikutip oleh Wijaya
dan puteri (2013) membagi ganggren kaki menjadi dua golongan :
1) Kaki Diabetik akibat Iskemia (KDI)
37
Disebabkan
penurunan aliran darah ke tungkai akibat
adanya makroangiopati (arterosklerosis) dari pembuluh darah
besar ditungkai, terutama di daerah betis, gambaran klinis KDI:
a) Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat
b) pada perabaan darah kurang kuat
c) pulsasi pembuluh darah kurang kuat
d) Di dapatkan ulkus sampai gangren
2) Kaki Diabetik akibat Neuropati (KDN)
Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada
gangguan dari sirkulasi. Klinis dijumpai kaki yang kering, hangat,
kesemutan, mati rasa, oedem kaki, dengan pulsasi pembuluh
darah kaki teraba baik.
c. Etiologi
Faktor-faktor
yang
berpengaruh
atas
terjadinya
ulkus
diabetikum dibagi menjadi faktor endogen dan eksogen:
1) Faktor Endogen: genetik metabolik, angiopati diabetik, neuropati
diabetik.
2) Faktor Eksogen: trauma, infeksi, obat
Faktor utama yang berperan pada timbulnya ulkus diabetikum
adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Adanya neuopati perifer akan
menyebabkan hilang
atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki,
sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan
terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan
ulsestrasi pada kaki klien. Apabila sumbatan darah terjadi pada
pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit
pada tungkainya sesudah ia berjalan penurunan jarak tertentu. Adanya
38
angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan
nutrisi, oksigen serta antibiotik sehingga menyebabkan terjadinya luka
sukar sembu (Wijaya dan Puteri, 2013)
Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai ulkus
diabetikum akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati,sehingga
factor angiopati dan infeksi berpengaruh terhadap penyembuhan ulkus
diabetikum (Wijaya dan Puteri, 2013).
d. Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada
penyandang diabetes melitus yang menyebabkan kelainan neuropati
dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik
maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai
perubaha distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan
mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi
menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas.
Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah
rumitnya pengelolaan kaki diabetes (Wijaya dan Puteri, 2013).
Ulkus diabetikum terdiri dari kavitas sentral biasanya lebih
besar dibanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras dan tebal.
Awalnya
proses
pembentukan
ulkus
berhubungan
dengan
hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen, keratin dan
suplai vaskulaer. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin
keras pada daerah kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropati
sensoris
perifer
memungkinkan
terjadinya
trauma
berulang
mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan area kalus. Selanjutnya
terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya rupture sampai
39
permukaan
kulit
menimbulkan
ulkus.
Adanya
iskemia
dan
penyembuhan luka abnormal menghalangi resolusi. Mikroorganisme
yang masuk mengadakan kolonisasi di daerah ini. Drainase yang
inadekuat menimbulkan closed space infection. Akhirnya sebagai
konsekuensi system imun yang abnormal, bakteria sulit dibersihkan
dan infeksi menyebar ke jaringan sekitarnya.
Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang
mengkontribusi terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien
dengan diabetik terkait dengan adanya pengaruh pada saraf yang
terdapat pada kaki dan biasanya dikenal sebagai neurofati perifer.
Pada pasien dengan diabetik sering kali mengalami gangguan pada
sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang berhubungan dengan
“pheripheral vasculal diseases”. Efek sirkulasi ini adalah yang
menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik
neuropati yang berdampak pada system saraf autonom, yang
mengontrol fungsi otot-otot halus, kelenjar dan organ visceral.
e. Manifestasi Klinis
Ganggren
diabetik
akibat
mikroangiopatik
disebut
juga
ganggren panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak
merah dan terasa hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba
pulsasi arteri dibagian distal. Biasanya terdapat ulkus diabetik pada
telapak
kaki.
Proses
makroangiopati
menyebabkan
sumbatan
pembuluh darah, sedangkan secara akut emboli akan memberikan
gejala klinis 5 P, yaitu
1) Pain (nyeri)
2) Paleness (kepucatan )
3) Paresthesia (parestesia dan kesemutan)
40
4) Pulselessness (denyut nadi hilang )
5) Paralysis (lumpuh)
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis
menurut pola dari fontaine dalam Wijaya dan Puteri (2013) :
1) Stadium I: Asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan )
2) Stadium II: Terjadi klaudikasio intermiten
3) Stadium III: Timbul nyeri saat istirahat
4) Stadium IV: Terjadinya kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus)
f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan fisik
a) Inspeksi
Denervasi kulit menyebabkan produktivitas keringat
menurun, sehingga kulit kaki kering, pecah, rambut kaki/jari(-),
kalus, claw toe. Ulkus tergantung saat ditemukan (0-5)
b) Palpasi
(1) Kulit kering, pecah-pecah, tidak normal
(2) Klusi arteri dingin, pulsasi (-)
(3) Ulkus: kalus tebal dan keras
2) Pemeriksaan vaskuler
Tes
vaskuler
noninvasive:
pengukuran
oksigen
transkutaneus, Ankle Brachial Index (ABI), absolute toe systolik
pressure, ABI: tekanan sistolik betis dengan tekanan sistolik
lengan.
3) Pemeriksaan
osteomielitis.
radiologis:
gas
subkutan,
benda
asing
dan
41
4) Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
a) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi: GDS>200 mg/dl, gula darah
puasa >120 mg/dl dan dua jam prost prandial >200 mg/dl.
b) Urin
Pemeriksaan
didapatkan
adanya
glukosa
dalam
urine.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict (reduksi). Hasil
dapat dilihat melalui perubahan warna pada urin: hijau (+),
kuning (++), merah (+++), dan merah bata (++++).
c) Kulttur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik
yang sesuai dengan jenis kuman.
g. Penatalaksanaan
1) Pengobatan
Pengobatan dari gangrene diabetik sangat dipengaruhi oleh
derajat dan dalamnya ulkus, apalagi dijumpai ulkus yang dalam
harus dilakukan pemeriksaan yang seksama untuk menentukan
kondisi ulkus dan besar kecilnya debridement yang akan dilakukan.
Dari penatalaksanaan perawatan luka diabetik ada beberapa
tujuan yang ingin dicapai, antara lain:
a) Mengurangi atau menghilangkan faktor penyebab
b) Optimalisasi suasana lingkungan luka dalam kondisi lembab
c) Dukungan kondisi klien atau host (nutrisi, control diabetes
mellitus dan kontrol faktor penyerta)
d) Meningkatkan edukasi klien dan keluarga
42
2) Perawatan luka diabetik
a) Mencuci luka
Merupakan
hal
pokok
untuk
meningkatkan,
memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka
serta menghindari kemungkinan terjadinya infeksi. Proses
pencucian luka bertujuan untuk membuang jaringan nekrosis,
cairan luka yang berlebihan, sisa balutan yang digunakan dan
sisa metabolik tubuh pada permukaan luka. Cairan yang terbaik
dan teraman untuk mencuci luka adalah yang non toksik pada
proses penyembuhan luka (misalnya NaCl 0,9%).
b) Debridement
Debridement adalah pembuangan jaringan nekrosis
atau
slough
pada
luka.
Debridement
dilakukan
untuk
menghindari terjadinya infeksi atau selulitis, karena jaringan
nekrosis selalu berhubungan dengan adanya peningkatan
jumlah bakteri. Setelah debridement, jumlah bakteri akan
menurun dengan sendirinya yang diikuti dengan kemampuan
tubuh secara efektif melawan infeksi. Secara alami dalam
keadaan lembab tubuh akan membuang sendiri jaringan
nekrosis atau slough yang menempel pada luka (peristiwa
autolysis). Autolysis adalah peristiwa pecahnya atau rusaknya
jaringan nekrotik oleh leukosit dan enzim lyzomatik (Wijaya dan
Puteri, 2013).
c) Terapi antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya diberikan peroral yang
bersifat menghambat kuman gram positip dan agram negatip,
43
apabila tidak dijumpai perbaikan pada luka tersebut, maka
terapi antibiotik dapat diberikan perparenteral yang sesuai
dengan kepekaan kuman (Wijaya dan Puteri, 2013).
d) Nutrisi
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor penting yang
berperan
dalam
penyembuhan
luka.
Penderita
dengan
ganggren diabetik biasanya diberikan diet B1 dengan nilai gizi
yaitu 60% kalori karbohidrat, 20% kalori lemak, 20% kalori
protein (Wijaya dan Puteri, 2013).
e) Pemilihan jenis balutan
Tujuan pemilihan jenis balutan adalah memilih jenis
balutan yang dapat mempertahankan suasana lingkungan luka
dalam keadaan lembab, mempercepat proses penyembuhan
hingga 50%, absorbsi eksudat/cairan
berlebihan,
membuang
jaringan
luka yang
keluar
nekrosis/slough(support
autolysis), kontrol terhadap infeksi/terhindar dari kontaminasi,
nyaman digunakan dan menurunkan rasa sakit saat mengganti
balutan dan menurunkan jumlah biaya dan waktu perawatan
(cost effective). Jenis balutan :absorbent dressing, hydroactive
gel, hydrocoloi (Wijaya dan Puteri, 2013).
f) Penyuluhan
Dalam memberikan penyuluhan pada penderita ada
beberapa petunjuk perawatan kaki diabetik (Wijaya dan Puteri,
2013) :
a) Gunakan sepatu yang pas dan kaos kaki yang bersih setiap
saat berjalan saat berjalan dan jangan bertelanjang kaki bila
berjalan
44
b) Cucilah kaki setiap hari dan keringkan dengan baik serta
memberikan perhatian khusus pada daerah sela-sela jari kaki
c) Janganlah mengobati sendiri apabila terdapat kalus, tonjolan
kaki atau jamur pada kuku kaki.
d) Suhu air yang digunakan untuk mencuci kaki antara 29, 530°C dan diukur dulu dengan thermometer.
e) Jangan menggunakan alat pemanas atau botol diisi air panas
f) Langkah-langkah yang membantu meningkatkan sirkulasi
pada ekstremitas bawah yang harus dilakukan, yaitu hindari
kebiasaan merokok, hindari bertumpang kaki duduk, lindungi
kaki dari kedinginan, hindari merendam kaki dalam air dingin,
gunakan kaos kaki atau stoking yang tidak menyebabkan
tekanan pada tungkai atau daerah tertentu, periksalah kaki
setiap hari dan laporkan bila terdapat luka, bullae kemerahan
atau tanda-tanda radang, sehingga segera dilakukan tindakan
awal jika kulit kaki kering gunakan pelembab atau kream
(Wijaya dan Puteri, 2013).
4. Standar Prosedur Oprasional (SPO)
a. Pengertian
Suatu standar/pedoman tertulis yang dipergunakan untuk
mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan
organisasi. Standar Prosedur Operasional (SPO) merupakan tata cara
atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk
menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Perry dan Potter, 2013).
45
b. Tujuan
Tujuan dibuatnya SPO antara lain (Tambunan, 2011) :
1) Petugas atau pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja
petugas, pegawai atau tim dalam organisasi atau unit kerja.
2) Mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam
organisasi
3) Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari
petugas/pegawai terkait.
4) Melindungi
organisasi/unit
kerja
dan
petugas/pegawai
dari
malpraktek atau kesalahan diabetes melitus inistrasi lainnya.
5) Untuk menghindari kegagalan/kesalahan, keraguan, duplikasi dan
inefisiensi.
c. Fungsi SPO
Fungsi SPO antara lain (Tambunan, 2011) :
1) Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja.
2) Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.
3) Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah
dilacak.
4) Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam
bekerja.
d. Kapan SPO diperlukan
1) SPO harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan
2) SPO digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah
dilakukan dengan baik atau tidak
3) Uji SPO sebelum dijalankan, lakukan revisi jika ada perubahan
langkah kerja yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja.
46
e. Keuntungan adanya SPO
1) SPO yang baik akan menjadi pedoman bagi pelaksana, menjadi
alat komunikasi dan pengawasan dan menjadikan pekerjaan
diselesaikan secara konsisten
2) Para pegawai akan lebih memiliki percaya diri dalam bekerja dan
tahu apa yang harus dicapai dalam setiap pekerjaan
3) SPO juga bisa dipergunakan sebagai salah satu alat trainning dan
bisa digunakan untuk mengukur kinerja pegawai.
f. Standar Prosedur Operasional (SPO) perawatan luka diabetik RSUD
Ciamis (2015)
1) Pengertian
Standar Prosedur Oprasional (SPO) perawatan luka diabetik
adalah
langkah-langkah
prosedur
membersihkan luka yang terinfeksi.
2) Tujuan
a) Mempercepat penyembuhan luka
b) Mencegah perluasan infeksi
c) Memberikan rasa nyaman pada klien
3) Kebijakan
Dilakukan pada :
a) Pasien yang mempunyai luka diabetik
b) Perawatan luka dilakukan setiap hari
4) Prosedur
a) Persiapan alat
(1) Satu set perawatan luka steril
tindakan
keperawatan
47
(1 pinset anatomis, 2 pinset chilurgis, gunting jaringan, kom
kecil (2), supratul, kassa steril)
(2) Perlak
(3) Korentang
(4) Cairan Nacl 0,9%/ RL , alkohol 70% ,betadine 1:5
(5) Bengkok (+ larutan desinfektan)
(6) Gunting verban dan plester
(7) APD (masker, handscoon)
(8) Kantong plastik kuning
(9) Plaster/verban
b) Tahap pra interaksi
(1) Verifikasi program terapi
(2) Siapkan alat
(3) Jaga privacy klien : bila perlu tutup pintu dan jendela/korden
c) Tahap orientasi
(1) Memberikan salam
(2) Klarifikasi kontrak waktu
(3) Jelaskan tujuan dan prosedur
(4) Beri kesempatan klien untuk bertanya
(5) Tanyakan persetujuan dan kesiapan klien
(6) Persiapan alat dekat klien
d) Tahap kerja
(1) Cuci tangan
(2) Atur posisi sesuai kebutuhan
(3) Beri perlak di bawah daerah luka dekatkan bengkok
(4) Pake handscoon
48
(5) Buka balutan dengan pinset
(6) Pinset taruh di bengkok
(7) Balutan kotor masukan ke plastic kuning
(8) Tekan daerah sekitar luka, untuk mengeluarkan kotoran atau
excudat
(9) Nekrotomi bila ada jaringanyang mati
(10) Kompres luka dengan kassa steril menggunakan cairan Nacl
0,9% atau RL ,betadin kompres 2-3 lembar (mengambil
kassa dengan kompres dengan 2 pinset)
(11) Tutup dengan kasa steril yang kering, kemudian dibalut atau
plester
(12) Cuci tangan
e) Tahap terminasi
(1) Ucapkan terima kasih atas kerjasama dengan klien
(2) Evaluasi respon klien
(3) Simpulkan hasil kegiatan
(4) Pemberian pesan
(5) Kontrak waktu kegiatan selanjutnya
(6) Atur posisi klien senyaman mungkin
(7) Bereskan alat-alat dan kembalikan pada tempatnya
f) Dokumentasi
(1) Nama klien
(2) Tanggal dan waktu
(3) Jenis tindakan
(4) Respon klien
(5) Nama petugas
49
g) Sikap
(1) Teliti
(2) Hati-hati
(3) Empati
(4) Peduli
(5) Sabar
(6) Sopan
B. Landasan Teori
Luka adalah rusaknya atau hilangnya kontuinitas jaringan yang dapat
diakibatkan oleh faktor internal seperti obat-obatan, perubahan sirkulasi,
perubahan proses metabolisme, infeksi, kegagalan transport oksigen dan
juga oleh faktor eksternal seperti suhu yang ekstrim, injury, alergen, radiasi,
zat-zat kimia (Ekaputra, 2013)
Diabetes melitus adalah penyakit kronis di mana pankreas tidak
dapat memproduksi insulin secara cukup, atau di mana tubuh tidak efektif
menggunakan insulin yang diproduksi, atau pun keduanya. Hal ini menjurus
kepada peningkatan konsentrasi dari kadar gula dalam darah atau
hyperglycaemia (WHO, 2013).
Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes
mellitus adalah luka diabetik. Luka diabetik adalah luka yang terjadi karena
adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah dan kemudian
adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut
menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi (Wijaya dan Puteri, 2013).
Perawat sebagai bagian dari pemberi layanan kesehatan di rumah
sakit kegiatan perawatan luka diabetik dilaksanakan berdasarkan SPO. Suatu
50
standar/pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan
menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar
prosedur operasional merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan
yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Perry
dan Potter, 2013).
C. Kerangka Konsep
Adapun kerangka penelitian dari penelitian yang berjudul ” Gambaran
Perawatan Luka Diabetik Sesuai Dengan Stadar Prosedur Operasional Di
Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016” dapat di
gambarkan sebagai berikut :ini :
Pasien DM
Dengan
Ganggren
Standar Operasional Prosedur
Perawatan Luka Diabetik yang
terdiri dari
1. Tahap persiapan alat
2. Tahap Pra Interaksi
3. Tahap Orientasi
4. Tahap Kerja
5. Tahap Terminasi
6. Tahap Dokumentasi
Dilaksanakan
Tidak
Dilaksanakan
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian di atas menunjukkan penatalaksanaan standar
operasional prosedur perawatan luka diabetik dimana luka diabetik adalah
salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang dari penyakit
diabetes
mellitus.
Untuk
mencegah
komplikasi
luka
diabetik
yang
berlangsung lama dan mencegah ke arah yang lebih buruk maka perlu
diperhatikan bagaimana perawatan luka pada penderita diabetes mellitus.
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran Surat Al Baqararah Ayat 222
Al Hadist Riwayat Al Bukhori Dan Muslim
ADA (American Diabetes Association), (2014). Diabetes Statistic. Tersedia dalam
http://www.diabetes.org. [Diakses Tanggal 10 Maret 2016].
Arikunto, (2010), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, PT Rineka
Cipta. Jakarta.
Balitbangkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Tersedia
http://www.depkes.go.id. [Diakses Tanggal 10 Maret 2016].
dalam
Dedi (2009), Luka Koreng Pada Penderita Diabetes. Tersedia dalam
http://library.stikesnh.ac.id/ [diakses pada 15 maret 2016].
Dinkes
Jabar, (2013). Profil Kesehatan Propinsi Jawa Barat
www.dinkesjabar.go.id, [diakses pada tanggal 30 Maret 2016].
2012,
Ekaputra, E. 2013. Evolusi Manajemen Luka . Jakarta: Trans Info Media.
Hastuti. R.T (2008) Faktor-Faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita
Diabetes Mellitus (Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta).
Naskah Publikasi Program Studi Magister Epidemiologi Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Hermin (2012), Analisis Teknik Perawatan Luka Pada Penderita Diabetes Melitus
di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012. Program studi S1 Ilmu
Keperawatan STIKES Nani Hasanuddin Makassar
IDF. (2014). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition. Tersedia dalam http://www.idf.org.
[Diakses Tanggal 10 Maret 2016].
Ismayanti (2007) Luka Gangrene Pada Diabetik,
www.ulcusdiabetik.com , [Diakses 8 maret 2016].
tersedia
dalam
Kemenkes RI, (2012). Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan Penyakit
Tidak Menular. Semester II. ISSN.
Langi, (2011) Penatalaksanaan Ulkus Kaki Diabetes Secara Terpadu. Jurnal
Biomedik, Volume 3, Nomor 2, Juli 2011, hlm. 95-101. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado.
Notoatmodjo,S, (2010). Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta
Jakarta.
____________, (2012) Promosi Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Rineka cipta
: Jakarta.
Nursalam. (2013). Konsep & penerapan metodologi penelitian ilmu kesehatan
pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
PERKENI, (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
Potter & Perry (2013), Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses,
Dan Praktik. Jakarta: EGC.
Powers, (2010). Diabetes Mellitus. In: Jameson J.L. Harrison Endocrinology Ed
2. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. 267-313.
Price & Wilson, (2012). Patologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi ke
delapan, Jakarta: EGC
Profil Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis, 2016
Rekam Medis RSUD Ciamis, 2016
Ridwan Akdon, (2007) Rumus dan Data Dalam Aplikasi Statistik. Alpabeta :
Bandung.
Shadine, M., (2010). Mengenal Penyakit Hipertensi, Diabetes, Stroke, dan
Serangan Jantung. Jakarta: Penerbit Keenbooks.
Smeltzer & Bare, (2012). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi ke delapan, Vol 8,
Jakarta: EGC
Soegondo, (2012). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Soewondo, Pradana. (2009). Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo, Aru W.,
Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Standar Prosedur Oprasional (SPO) perawatan luka diabetik RSUD Ciamis
(2011)
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung :
Alfabeta
Sutanto, Teguh. (2013). Diabetes : Deteksi, Pencegahan, Pengobatan.
Yogyakarta. Buku Pintar.
Tambunan, Rudi M. (2011), Pedoman Teknis Penyusunan Standar Operating
Prosedures, Maiestas Publising, Jakarta
Waspadji, Sarwono. (2009). Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya,
Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. In: Sudoyo, Aru W., Bambang
Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta: Interna Publishing. 1922-1929.
WHO, (2013) Country and Regional Data On Diabetes. Available from :
http://www.who.int/diabetes/facts/world_figures/en/ [diakses 18 Maret
2016]
_____, (2014). Global Status Report On Non Communicable Diseases. Geneva.
WIjaya dan Puteri, (2013) Keperawatan Medikal Bedah 2 Keperawatan Dewasa,
Yogyakarta: Nuha Medika.
Download