Dampak Psikososial Pada Anak Jalanan Korban

advertisement
Dampak Psikososial Pada Anak Jalanan Korban Pelecehan
Seksual Yang Tinggal di Liponsos Anak Surabaya
Pandu Pramudita Sakalasastra
Ike Herdiana
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Abstract.
This research aims to reveal the picture of the psychosocial factors that occur in victims of sexual
abuse of street children who lives in Lingkungan Pondok Sosial Anak Surabaya. The psychosocial
factors are refers to the impact of the dynamic relationship between two factors influence each
other, i.e, psychological factors and social factors. This research was using the qualitative
approach with descriptive methods. It was done by the two street children who lives in
Lingkungan Pondok Sosial Anak Surabaya. The collected data were analyzed by thematic
analysis technique. The result of this research showed that the psychosocial factors of street
children victims of sexual abuse can be described in four dimensions, there are affective,
cognitive, psychomotor, and social. The result is a tendency of negative emotions such as hatred
and holding grudges, the desire to live freely, negative self-assessment and life, unusual sexual
behavior, drug use and alcohol consumption, and poor relationships with family or
surroundings.
Keywords: psychosocial, street children, sexual abuse
Abstrak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran faktor psikososial yang terjadi pada
anak jalanan korban pelecehan seksual di Lingkungan Pondok Sosial Anak Surabaya. Faktor
psikososial yang dimaksud merujuk pada suatu dampak dari hubungan yang dinamis antara
dua faktor yang saling mempengaruhi, yakni faktor psikologis dan faktor sosial. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini
dilakukan pada dua anak jalanan yang tinggal di Lingkungan Pondok Sosial Anak Surabaya.
Data yang diperoleh dianalisis dengan mengunakan teknik analisis tematik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa gambaran faktor psikososial pada anak jalanan korban pelecehan seksual
dapat dijelaskan dalam 4 dimensi, yaitu afeksi, kognisi, psikomotor, dan sosial. Hasilnya adalah
adanya kecenderungan emosi negatif seperti perasaan benci dan menyimpan dendam,
keinginan untuk hidup bebas, penilaian negatif pada diri sendiri dan kehidupan, perilaku
seksual yang tidak wajar, penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi alkohol, serta relasi
yang buruk dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya.
Kata kunci: Psikososial, Anak jalanan, Pelecehan seksual.
Korespondensi: Pandu Pramudita Sakalasastra, Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, e-mail: [email protected]
68
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial
Vol. 1 No. 02, Juni 2012
Pandu Pramudita Sakalasastra, Ike Herdiana
Manusia terlahir sebagai makhluk sosial,
dimana satu individu membutuhkan individu lain
untuk bertahan hidup, atau sekedar berinteraksi
dan bersosialisasi. Mulai dari kehidupan paling
awal sebagai embrio, kita sudah memiliki
kebutuhan dan kebutuhan tersebut berkembang
sampai kita mati sebagai manusia (Ali, 2009).
Kebutuhan dasar sebagai manusia dapat terpenuhi
dengan adanya kemauan dan kemampuan.
Dengan kemauan dan kemampuan yang
memadai, individu akan mempunyai lebih banyak
ke m u n g k i n a n u n t u k d a p a t m e m e n u h i
kebutuhannya. Namun apabila individu hanya
memiliki kemauan tanpa ada kemampuan, maka
probabilitas untuk mencapai kebutuhannya akan
semakin kecil (Santoso, 2010). Di usia yang muda,
kita sebagai manusia membutuhkan bantuan
orang lain untuk memenuhi kebutuhan kita.
Seperti seorang anak yang membutuhkan
orangtua untuk bekerja dan memenuhi
kebutuhan dasar keluarganya. Namun, banyak
juga fakta yang menunjukkan bahwa individu
sudah harus turun kejalan dan mencari nafkah di
usia yang sangat muda.
Idealnya, seorang anak yang berusia dibawah
17-tahun masih menjadi tanggungan orangtua
atau relasi dari orangtuanya. Orangtua wajib
memenuhi segala kebutuhan dari sang anak agar
dapat bertumbuh dan berkembang secara
optimal. Hal tersebut sesuai dengan UndangUndang Perlindungan Anak Nmr. 23 tahun 2002
Bab III yang mengatur tentang hak dan kewajiban
anak, pada pasal 4 dijelaskan bahwa setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sedangkan dalam Bab IV bagian keempat UndangUndang tersebut mengatur tentang kewajiban dan
tanggungjawab keluarga dan orangtua, pada pasal
26 ayat 1 dijelaskan bahwa orang tua memiliki
kewajiban dan tanggungjawab untuk mengasuh,
memelihara, mendidik, dan melindungi anak,
serta menumbuhkembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya (UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak). Namun, hingga saat
ini, masih banyak anak-anak yang berada
dijalanan untuk mencari nafkah dan berusaha
memenuhi kebutuhannya sendiri. Fenomena
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial
Vol. 1 No. 02, Juni 2012
seperti inilah yang sering kita temui di jalanan dan
merupakan problem yang masih belum
terpecahkan bagi Dinas Sosial setempat, yaitu
masalah anak jalanan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab
seorang anak harus turun ke jalanan. Bagong
(dalam Handayani, 2009) mengungkapkan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan anak harus
bertahan hidup dijalanan, diantaranya seperti
kondisi ekonomi keluarga, konflik internal rumah
tangga, serta konflik hubungan antara anak-orang
tua. Siregar (2004) juga menyebutkan banyak
faktor yang menyebabkan seorang anak harus
tinggal dan bekerja dijalanan di kota Medan.
Faktor dominan yang menyebabkan fenomena
tersebut adalah faktor ekonomi (kemiskinan)
keluarga, faktor status sosial keluarga, dan faktor
disorganisasi keluarga.
Salah satu studi yang menggambarkan
perilaku anak jalanan dilakukan oleh Kopoka
(2000) yang mengidentifikasi masalah anak
jalanan di Afrika. Kopoka menyebutkan
karakteristik anak jalanan yang tinggal sendirian
di jalan, tanpa tempat tinggal yang pantas, dan
mereka juga tidak menikmati kasih sayang,
perhatian, dan perlindungan dari orang tuanya
(Lugalla & Mbwambo, 1995; dalam Kopoka, 2000).
Munro (dalam Rikawarasturi, 2003)
membeberkan fakta yang didapatkan dari data
laporan UNICEF. Dari laporan tersebut diketahui
bahwa dari 100 juta anak yang hidup di negara
berkembang dan harus bekerja di jalanan, maka
75% dari jumlah anak tersebut kembali ke
rumahnya setiap malam hari, namun 25% sisanya
tidak dapat kembali ke rumahnya dengan berbagai
alasan, dan mereka hidup, tidur, serta bekerja di
jalanan. Anak-anak jalanan tersebut tinggal di
suatu tempat yang mempunyai potensi yang
cukup besar untuk mengalami berbagai macam
hal, diantaranya adalah problem seksual, seperti
menjadi korban pelecehan seksual, mengalami
eksploitasi secara seksual, hingga kondisi yang
buruk dalam hal kesehatan, nutrisi, serta
kebersihan (Rikawarastuti, 2003).
Faktor-faktor seperti lama berada di jalanan,
tidak adanya pengawasan dari orangtua, tidak ada
tempat berlindung, serta lingkungan yang bebas,
menjadikan anak jalanan sangat rentan untuk
mengalami pelecehan seksual. Pelecehan seksual
memang menjadi masalah yang umum ditemukan
69
Dampak Psikososial Pada Anak Jalanan Korban Pelecehan Seksual Yang Tinggal
di Liponsos Anak Surabaya
pada anak jalanan. Berdasarkan data dari yayasan
KAKAK di Surakarta, anak yang menjadi korban
pelecehan seksual sebagian besar adalah anak
jalanan dan gelandangan. Hal tersebut dapat
dilihat dari lingkungan anak yang bebas dan
terbuka, hingga faktor tersebut menjadikan anak
jalanan menjadi rentan terhadap pelecehan
seksual. Dan pelaku pelecehan seksual tersebut
rata-rata masih memiliki relasi dengan korban
(Kristiyadi & Rianto, 2006).
Berdasarkan data wawancara awal yang
didapat peneliti, koordinator Liponsos anak
menyatakan, masalah yang paling berat di
Liponsos tersebut adalah masalah asosial, seperti
pelecehan seksual. Sebelum menjalani pembinaan
di Liponsos, anak sudah mempunyai pengalaman
dengan kasus pelecehan seksual, sehingga ketika
masuk ke tempat pembinaan, masalah tersebut
ikut terbawa dan terus dilakukan. Dampak dari
pelecehan seksual sangat bervariasi, salah satunya
seperti yang dikemukakan Alter-Reid dkk (1986).
Dari penelitiannya tentang dampak pelecehan
seksual pada psikososial anak, akan
mengakibatkan dampak negatif seperti perasaan
bersalah, rasa takut, depresi, self-esteem yang
cenderung rendah, kemampuan yang rendah
dalam bersosialisasi, dan lain-lain. Psikososial
yang dimaksud disini adalah suatu dampak dari
hubungan yang dinamis dan saling
mempengaruhi, yaitu faktor psikologis, dan faktor
sosial. Kemudian Kendall-Tackett dkk (1993) juga
mengemukakan bahwa anak yang mengalami
pelecehan seksual cenderung memiliki masalah
dengan kecemasan, stress pasca-traumatis
(PTSD), depresi, self-esteem yang rendah, keluhan
yang bersifat somatis, agresi, perilaku seksual, dan
perilaku yang cenderung merusak diri (Beasley,
1997).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif yang
bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan
berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai
fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat
maupun organisasi yang menjadi objek penelitian,
dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan
sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda,
atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun
70
fenomena tertentu (Moleong, 2008).
Subjek penelitian ini adalah anak jalanan
korban pelecehan seksual yang tinggal di liponsos
anak Surabaya. Adapun kriteria subjek penelitian
ini adalah: (1) anak jalanan berusia 10 sampai 17
tahun; (2) menjalani pembinaan dan tinggal di
liponsos anak di Surabaya; (3) pernah mengalami
pelecehan seksual sebelum atau ketika sedang
menjalani pembinaan di liponsos anak di
Surabaya; dan (4) bersedia menjadi subjek dalam
penelitian yang dilakukan.
Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan wawancara. Tujuan menggunakan
teknik wawancara adalah untuk mengetahui apa
yang terkandung dalam pikiran dan hati subjek,
bagaimana pandangannya tentang dunia, serta
hal-hal yang tidak dapat kita ketahui melalui
observasi (Nasution, 1992). Selain itu, dalam
penelitian ini penulis juga menggunakan catatan
lapangan sebagai teknik lain pengumpulan data.
Catatan lapangan tersebut berisi deskripsi tentang
hal-hal yang diamati atau apapun yang dianggap
penting oleh peneliti
HASIL DAN BAHASAN
Anak jalanan adalah anak yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
beraktivitas di jalanan (Kementerian Sosial RI,
2009). Hal tersebut sesuai dengan kondisi kedua
subjek. Mereka berada di jalanan untuk
beraktivitas, bahkan mereka tidak kembali ke
rumah atau ke orangtua mereka meskipun salah
satu subjek, yaitu Sa, masih memiliki rumah dan
orangtua. Jalanan adalah tempat mereka bekerja,
beraktivitas, dan beristirahat. Dalam klasifikasi
yang diberikan WHO, kedua subjek termasuk
dalam klasifikasi "a child of the streets", yaitu anak
yang tidak memiliki tempat tinggal dan tinggal di
jalanan karena beberapa hal, termasuk keluarga
yang mengabaikan mereka.
Menurut Kopoka (2000), penyebab seorang
anak turun ke jalanan diantaranya adalah faktor
ke m i s k i n a n d a n ke l u a r g a . W H O j u g a
mengemukakan bahwa salah satu penyebab anak
turun ke jalan adalah untuk menghindar dari
kekerasan di rumahnya. Subjek Sa kabur ke
jalanan karena mengalami kekerasan dalam
rumah tangga, ia juga sempat dikembalikan
ke orangtuanya setelah menjalani
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial
Vol. 1 No. 02, Juni 2012
Pandu Pramudita Sakalasastra, Ike Herdiana
kekerasan di rumahnya. Subjek Sa kabur ke
jalanan karena mengalami kekerasan dalam
rumah tangga, ia juga sempat dikembalikan ke
orangtuanya setelah menjalani pembinaan,
namun karena mendapatkan perlakuan kekerasan
yang sama oleh orangtuanya, ia akhirnya
melarikan diri lagi dan kembali tinggal di jalanan.
Sedangkan, subjek Su berada di jalanan karena ia
memiliki latar belakang keluarga yang tidak jelas,
dimana orangtua subjek tidak diketahui berasal
dari mana dan saat ini berada dimana. Data yang
diketahui pihak liponsos adalah subjek Su berasal
dari panti asuhan sebelumnya yang kemudian
menyerahkan subjek untuk dibina di liponsos
tersebut.
Kondisi di jalanan seperti ketiadaan
pengawasan dari orangtua, ketiadaan tempat
untuk berlindung, kehidupan yang bebas, dan
lain-lain membuat anak jalanan semakin rentan
dengan kasus pelecehan seksual (Kristiyadi &
Rianto, 2006). Sama seperti subjek Sa yang
mengalami peristiwa pelecehan seksual di jalanan,
ia mengaku dipanggil oleh orang yang tidak
dikenal dan ditawari obat-obatan serta minuman
beralkohol, hingga akhirnya ia mengalami
pelecehan seksual tersebut. Lain lagi dengan
subjek Su yang mengaku mengalami pelecehan
seksual di liponsos anak surabaya, namun ia tidak
dapat bercerita lebih lanjut karena merasa pusing
ketika membicarakan hal tersebut.
Peristiwa pelecehan seksual tersebut
membawa dampak yang bervariasi pada masingmasing subjek. Finkelhor (dalam Kinnear, 2007)
membagi dampak pelecehan seksual tersebut
menjadi 4 kategori utama, yaitu traumatic
sexualization, stigmatization, betrayal, dan
powerlessness. Namun, yang nampak pada kedua
subjek adalah powerlessness. Traumatic
sexualization terjadi karena hubungan seksual
yang tidak pantas antara pelaku dan korban, hal
itu mengakibatkan rasa jijik pada hal yang
berhubungan dengan seksual, namun dampak ini
tidak terjadi pada kedua subjek. Subjek Sa
menyatakan sering menyewa jasa pekerja seks
komersial (PSK) untuk menyalurkan hasratnya,
dan subjek Su berkali-kali bercerita bahwa ia
pernah memperkosa seorang wanita.
Kategori kedua adalah stigmatization, yang
terjadi ketika korban merasa bersalah dan
bertanggungjawab terhadap peristiwa pelecehan
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial
Vol. 1 No. 02, Juni 2012
seksual yang terjadi, dampaknya adalah korban
akan menarik diri dari lingkungannya. Hal itu
tidak terjadi pada kedua subjek yang masih
memiliki hubungan intrapersonal yang cukup
baik dengan sekitarnya, kecuali subjek Su yang
sering membuat masalah, namun subjek tidak
menarik diri dari lingkungan sekitarnya.
Kategori ketiga adalah betrayal yang terjadi
ketika korban disakiti oleh orang dewasa dan
mengakibatkan korban mengalami kesulitan
dalam mempercayai orang dewasa lainnya.
Dampak ini tidak terjadi karena kedua subjek
masih memiliki hubungan yang cukup baik
dengan orang dewasa di sekitarnya.
Kategori keempat adalah powelessness yaitu
perasaan yang muncul karena korban tidak dapat
menghentikan perilaku pelecehan tersebut,
dampaknya adalah korban merasa tidak berdaya
dan tersiksa ketika mereka mengungkap peristiwa
tersebut. Hal itu ditunjukkan oleh subjek Su yang
mengaku bahwa ia merasa tak berdaya dan tak
semangat dalam menjalani aktivitas sehariharinya. Sedangkan subjek Sa merasa tersiksa
(pusing) ketika harus membahas tentang
peristiwa pelecehan seksual yang terjadi.
Kedua subjek juga menunjukkan pola yang
sama pada penggunaan obat-obatan terlarang.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
memang ada hubungan yang signifikan antara
pengalaman pelecehan seksu al d engan
kecenderungan mengkonsumsi obat-obatan
terlarang (Wiede, 1990; Benward & DensenGerber, 1975; Singer et al, 1989; dalam Kinnear,
2007). Pola tersebut menunjukkan adanya
kecenderungan penggunaan obat terlarang, obat
perangsang, serta minuman keras pada korban
pelecehan seksual dibandingkan dengan mereka
yang tidak mengalami pelecehan seksual. Begitu
juga dengan subjek Sa yang mengaku pernah
mengkonsumsi minuman keras dan obat terlarang
berjenis Dextro. Sedangkan subjek Su sendiri juga
mengaku pernah mengkonsumsi minuman
alkohol dan obat terlarang berjenis pil koplo.
Sidabutar dkk (2003) mengungkapkan
bahwa peristiwa yang traumatis seperti pelecehan
seksual akan meninggalkan dampak faktor
psikososial. Faktor psikososial yang dapat
terpengaruh oleh peristiwa tersebut dilihat dari
dimensi afeksi, kognisi, psikomotor, dan sosial.
Selain itu, Browne dan Finkelhor (1987, dalam
71
Dampak Psikososial Pada Anak Jalanan Korban Pelecehan Seksual Yang Tinggal
di Liponsos Anak Surabaya
Beasley, 1997) juga mengemukan bahwa dalam
korban pelecehan seksual ditemukan faktor
psikososial seperti adanya emosi negatif pada
dimensi afeksi, penilaian yang cenderung negatif
pada dimensi kognisi, perilaku seksual yang tidak
wajar pada dimensi psikomotor, dan relasi sosial
yang cenderung buruk pada dimensi sosial.
Seperti yang nampak pada subjek Sa, pada dimensi
afeksi, subjek Sa terkadang merasa benci dengan
temannya, subjek juga merasa tidak bersemangat
dalam menjalani aktivitasnya, serta merindukan
kondisi keluarga yang masih utuh. Pada subjek Su,
ada perasaan benci dengan temannya, dan subjek
cenderung menyimpan dendam ke semua orang.
Kedua subjek menunjukkan adanya
kecenderungan emosi negatif. Kemudian pada
dimensi kognisi, kedua subjek sama-sama
menginginkan kebebasan dalam hidupnya. Selain
itu, kedua subjek juga menunjukkan penilaian
yang cenderung negatif pada dirinya, ataupun
pada kehidupan. Subjek Sa merasa menyesal
karena telah kabur dari rumahnya, namun subjek
tetap berusaha untuk menerima konsekuensinya.
Sedangkan pada subjek Su ada kecenderungan
dalam berpikiran negatif seperti mengingat
pengalaman membunuh, memperkosa, dan
menjarah toko. Pada dimensi psikomotor, kedua
subjek menunjukkan pola yang sama dalam
mengkonsumsi minuman beralkohol dan
narkoba, selain itu kedua subjek juga memiliki
perilaku seksual yang tidak wajar. Subjek Sa
mengatakan pernah berhubungan seksual dengan
pekerja seks komersial di usianya yang masih
muda, sedangkan subjek Su pernah memperkosa
temannya ketika ia masih belum matang secara
seksual. Pada dimensi sosial, korban pelecehan
seksual cenderung mempunyai relasi yang buruk
dengan sekitarnya. Namun, subjek Sa memiliki
relasi yang cukup baik dengan sekitarnya, subjek
Sa hanya memiliki relasi yang buruk dengan
keluarga intinya, dimana subjek sudah tidak
pernah berkomunikasi dengan orangtuanya
dalam rentang satu tahun ini. Sedangkan, pada
subjek Su terlihat relasi yang buruk dengan
sekitarnya, ia suka menggoda dan membuat
masalah dengan temannya, dan relasi dengan
keluarga intinya juga tidak jelas.
72
SIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian yang telah dilakukan,
simpulan yang dapat peneliti rumuskan yaitu,
Gambaran faktor psikososial pada anak jalanan
korban pelecehan seksual yang tinggal di
lingkungan pondok sosial anak di Surabaya
digambarkan dalam dimensi afeksi, kognisi,
psikomotor, dan sosial. Faktor psikososial tersebut
seperti kecenderungan emosi negatif seperti
perasaan benci dan menyimpan dendam,
keinginan untuk menjalani kehidupan bebas,
penilaian yang cenderung negatif pada dirinya
sendiri dan kehidupan yang dijalani, perilaku
seksual yang tidak wajar, serta relasi yang buruk
dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya.
Dampak pelecehan seksual yang terjadi ditandai
dengan adanya powerlessness, dimana korban
merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika
mengungkap peristiwa pelecehan seksual
tersebut. Selain itu, ditemukan adanya pola yang
sama dalam penggunaan obat-obatan terlarang
dan konsumsi minuman beralkohol pada korban
pelecehan seksual.
Apabila ada peneliti yang akan melakukan
penelitian dengan tema yang sama, maka untuk
p e n e l i t i a n s e l a n j u t nya m u n gk i n d a p a t
mempertimbangkan berberapa hal, 1) yaitu untuk
memperluas batasan kriteria subjek sehingga
subjek yang diambil dalam penelitian semakin
beragam dan semakin memperkaya data yang akan
digali; 2) peneliti selanjutnya dapat membahas
tema yang sama, namun dengan konteks faktor
psikososial yang lebih spesifik sehingga bahasan
yang didapatkan lebih mendalam dan akurat.
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial
Vol. 1 No. 02, Juni 2012
Pandu Pramudita Sakalasastra, Ike Herdiana
PUSTAKA ACUAN
Ali, A.R. (2009, 6 April). Kebutuhan Gizi Embrio dan Paradigma Baru Perbaikan Gizi Masyarakat. Diakses
tanggal 17 januari 2012 dari http://arali2008.wordpress.com/2009/04/06/kebutuhan-gizi-embriodan-pradigma-baru-program-perbaikan-gizi-masyarakat/
Beasley, J.,F. (1997). The Psychosocial Impact of Sexual Abuse And Rape on Adolscent Girls. ProQuest
Dissertations and Theses.
Kementerian Sosial RI. (2009). Buku Kamus Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Tahun
2009. Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan dan Penelitian
Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI.
Kinnear, L.K. (2007). Childhood sexual abuse: a reference handbook. California, Santa Barbara: ABC-Clio
Inc.
Kristiyadi & Rianto, A. (2006). Problematika Penanganan Perkara Kekerasan Seksual terhadap Anak
Perempuan Di Surakarta (Studi Tentang Implementasi UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak). Surakarta, Jawa Tengah: Universitas Negeri Surakarta.
Kopoka, P.A. (2000). The Problem of Street Children in Africa: An Ignored Tragedy. Makalah
dipresentasikan pada pertemuan International Conference on Street Children and Street Children's
Health in East Africa, Dar-es-Salaam, Tanzania.
Moleong, L.J. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Transito.
Rikawarastuti. (2003). Perilaku Seksual Pada Anak Jalanan di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan
(Analisis survei untuk program dukungan dan pemberdayaan anak jalanan di perkotaan, 2011).
Jakarta, Indonesia: Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat.
Santoso, P. (2010). Pengambilan Keputusan Tindakan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup (Fisik dan
Psikologis) Pada Anak Jalanan. Surakarta, Jawa Tengah: Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Fakultas Psikologi.
Sidabutar et al. (2003). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas. Jakarta: KontraS & Yayasan PULIH.
Siregar, H. (2004). Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan di Kota Medan. Medan, Indonesia:
Universitas Sumatera Utara, Program Pasca Sarjana.
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial
Vol. 13 No. 03, Desember 2011
73
Download