Dampak Psikososial Pada Anak Jalanan Korban Pelecehan Seksual Yang Tinggal di Liponsos Anak Surabaya Pandu Pramudita Sakalasastra Ike Herdiana Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya Abstract. This research aims to reveal the picture of the psychosocial factors that occur in victims of sexual abuse of street children who lives in Lingkungan Pondok Sosial Anak Surabaya. The psychosocial factors are refers to the impact of the dynamic relationship between two factors influence each other, i.e, psychological factors and social factors. This research was using the qualitative approach with descriptive methods. It was done by the two street children who lives in Lingkungan Pondok Sosial Anak Surabaya. The collected data were analyzed by thematic analysis technique. The result of this research showed that the psychosocial factors of street children victims of sexual abuse can be described in four dimensions, there are affective, cognitive, psychomotor, and social. The result is a tendency of negative emotions such as hatred and holding grudges, the desire to live freely, negative self-assessment and life, unusual sexual behavior, drug use and alcohol consumption, and poor relationships with family or surroundings. Keywords: psychosocial, street children, sexual abuse Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran faktor psikososial yang terjadi pada anak jalanan korban pelecehan seksual di Lingkungan Pondok Sosial Anak Surabaya. Faktor psikososial yang dimaksud merujuk pada suatu dampak dari hubungan yang dinamis antara dua faktor yang saling mempengaruhi, yakni faktor psikologis dan faktor sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan pada dua anak jalanan yang tinggal di Lingkungan Pondok Sosial Anak Surabaya. Data yang diperoleh dianalisis dengan mengunakan teknik analisis tematik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran faktor psikososial pada anak jalanan korban pelecehan seksual dapat dijelaskan dalam 4 dimensi, yaitu afeksi, kognisi, psikomotor, dan sosial. Hasilnya adalah adanya kecenderungan emosi negatif seperti perasaan benci dan menyimpan dendam, keinginan untuk hidup bebas, penilaian negatif pada diri sendiri dan kehidupan, perilaku seksual yang tidak wajar, penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi alkohol, serta relasi yang buruk dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya. Kata kunci: Psikososial, Anak jalanan, Pelecehan seksual. Korespondensi: Pandu Pramudita Sakalasastra, Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, e-mail: [email protected] 68 Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 1 No. 02, Juni 2012 Pandu Pramudita Sakalasastra, Ike Herdiana Manusia terlahir sebagai makhluk sosial, dimana satu individu membutuhkan individu lain untuk bertahan hidup, atau sekedar berinteraksi dan bersosialisasi. Mulai dari kehidupan paling awal sebagai embrio, kita sudah memiliki kebutuhan dan kebutuhan tersebut berkembang sampai kita mati sebagai manusia (Ali, 2009). Kebutuhan dasar sebagai manusia dapat terpenuhi dengan adanya kemauan dan kemampuan. Dengan kemauan dan kemampuan yang memadai, individu akan mempunyai lebih banyak ke m u n g k i n a n u n t u k d a p a t m e m e n u h i kebutuhannya. Namun apabila individu hanya memiliki kemauan tanpa ada kemampuan, maka probabilitas untuk mencapai kebutuhannya akan semakin kecil (Santoso, 2010). Di usia yang muda, kita sebagai manusia membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan kita. Seperti seorang anak yang membutuhkan orangtua untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Namun, banyak juga fakta yang menunjukkan bahwa individu sudah harus turun kejalan dan mencari nafkah di usia yang sangat muda. Idealnya, seorang anak yang berusia dibawah 17-tahun masih menjadi tanggungan orangtua atau relasi dari orangtuanya. Orangtua wajib memenuhi segala kebutuhan dari sang anak agar dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal. Hal tersebut sesuai dengan UndangUndang Perlindungan Anak Nmr. 23 tahun 2002 Bab III yang mengatur tentang hak dan kewajiban anak, pada pasal 4 dijelaskan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan dalam Bab IV bagian keempat UndangUndang tersebut mengatur tentang kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua, pada pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa orang tua memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, serta menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya (UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Namun, hingga saat ini, masih banyak anak-anak yang berada dijalanan untuk mencari nafkah dan berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Fenomena Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 1 No. 02, Juni 2012 seperti inilah yang sering kita temui di jalanan dan merupakan problem yang masih belum terpecahkan bagi Dinas Sosial setempat, yaitu masalah anak jalanan. Banyak faktor yang menjadi penyebab seorang anak harus turun ke jalanan. Bagong (dalam Handayani, 2009) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak harus bertahan hidup dijalanan, diantaranya seperti kondisi ekonomi keluarga, konflik internal rumah tangga, serta konflik hubungan antara anak-orang tua. Siregar (2004) juga menyebutkan banyak faktor yang menyebabkan seorang anak harus tinggal dan bekerja dijalanan di kota Medan. Faktor dominan yang menyebabkan fenomena tersebut adalah faktor ekonomi (kemiskinan) keluarga, faktor status sosial keluarga, dan faktor disorganisasi keluarga. Salah satu studi yang menggambarkan perilaku anak jalanan dilakukan oleh Kopoka (2000) yang mengidentifikasi masalah anak jalanan di Afrika. Kopoka menyebutkan karakteristik anak jalanan yang tinggal sendirian di jalan, tanpa tempat tinggal yang pantas, dan mereka juga tidak menikmati kasih sayang, perhatian, dan perlindungan dari orang tuanya (Lugalla & Mbwambo, 1995; dalam Kopoka, 2000). Munro (dalam Rikawarasturi, 2003) membeberkan fakta yang didapatkan dari data laporan UNICEF. Dari laporan tersebut diketahui bahwa dari 100 juta anak yang hidup di negara berkembang dan harus bekerja di jalanan, maka 75% dari jumlah anak tersebut kembali ke rumahnya setiap malam hari, namun 25% sisanya tidak dapat kembali ke rumahnya dengan berbagai alasan, dan mereka hidup, tidur, serta bekerja di jalanan. Anak-anak jalanan tersebut tinggal di suatu tempat yang mempunyai potensi yang cukup besar untuk mengalami berbagai macam hal, diantaranya adalah problem seksual, seperti menjadi korban pelecehan seksual, mengalami eksploitasi secara seksual, hingga kondisi yang buruk dalam hal kesehatan, nutrisi, serta kebersihan (Rikawarastuti, 2003). Faktor-faktor seperti lama berada di jalanan, tidak adanya pengawasan dari orangtua, tidak ada tempat berlindung, serta lingkungan yang bebas, menjadikan anak jalanan sangat rentan untuk mengalami pelecehan seksual. Pelecehan seksual memang menjadi masalah yang umum ditemukan 69 Dampak Psikososial Pada Anak Jalanan Korban Pelecehan Seksual Yang Tinggal di Liponsos Anak Surabaya pada anak jalanan. Berdasarkan data dari yayasan KAKAK di Surakarta, anak yang menjadi korban pelecehan seksual sebagian besar adalah anak jalanan dan gelandangan. Hal tersebut dapat dilihat dari lingkungan anak yang bebas dan terbuka, hingga faktor tersebut menjadikan anak jalanan menjadi rentan terhadap pelecehan seksual. Dan pelaku pelecehan seksual tersebut rata-rata masih memiliki relasi dengan korban (Kristiyadi & Rianto, 2006). Berdasarkan data wawancara awal yang didapat peneliti, koordinator Liponsos anak menyatakan, masalah yang paling berat di Liponsos tersebut adalah masalah asosial, seperti pelecehan seksual. Sebelum menjalani pembinaan di Liponsos, anak sudah mempunyai pengalaman dengan kasus pelecehan seksual, sehingga ketika masuk ke tempat pembinaan, masalah tersebut ikut terbawa dan terus dilakukan. Dampak dari pelecehan seksual sangat bervariasi, salah satunya seperti yang dikemukakan Alter-Reid dkk (1986). Dari penelitiannya tentang dampak pelecehan seksual pada psikososial anak, akan mengakibatkan dampak negatif seperti perasaan bersalah, rasa takut, depresi, self-esteem yang cenderung rendah, kemampuan yang rendah dalam bersosialisasi, dan lain-lain. Psikososial yang dimaksud disini adalah suatu dampak dari hubungan yang dinamis dan saling mempengaruhi, yaitu faktor psikologis, dan faktor sosial. Kemudian Kendall-Tackett dkk (1993) juga mengemukakan bahwa anak yang mengalami pelecehan seksual cenderung memiliki masalah dengan kecemasan, stress pasca-traumatis (PTSD), depresi, self-esteem yang rendah, keluhan yang bersifat somatis, agresi, perilaku seksual, dan perilaku yang cenderung merusak diri (Beasley, 1997). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat maupun organisasi yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun 70 fenomena tertentu (Moleong, 2008). Subjek penelitian ini adalah anak jalanan korban pelecehan seksual yang tinggal di liponsos anak Surabaya. Adapun kriteria subjek penelitian ini adalah: (1) anak jalanan berusia 10 sampai 17 tahun; (2) menjalani pembinaan dan tinggal di liponsos anak di Surabaya; (3) pernah mengalami pelecehan seksual sebelum atau ketika sedang menjalani pembinaan di liponsos anak di Surabaya; dan (4) bersedia menjadi subjek dalam penelitian yang dilakukan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara. Tujuan menggunakan teknik wawancara adalah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran dan hati subjek, bagaimana pandangannya tentang dunia, serta hal-hal yang tidak dapat kita ketahui melalui observasi (Nasution, 1992). Selain itu, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan catatan lapangan sebagai teknik lain pengumpulan data. Catatan lapangan tersebut berisi deskripsi tentang hal-hal yang diamati atau apapun yang dianggap penting oleh peneliti HASIL DAN BAHASAN Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk beraktivitas di jalanan (Kementerian Sosial RI, 2009). Hal tersebut sesuai dengan kondisi kedua subjek. Mereka berada di jalanan untuk beraktivitas, bahkan mereka tidak kembali ke rumah atau ke orangtua mereka meskipun salah satu subjek, yaitu Sa, masih memiliki rumah dan orangtua. Jalanan adalah tempat mereka bekerja, beraktivitas, dan beristirahat. Dalam klasifikasi yang diberikan WHO, kedua subjek termasuk dalam klasifikasi "a child of the streets", yaitu anak yang tidak memiliki tempat tinggal dan tinggal di jalanan karena beberapa hal, termasuk keluarga yang mengabaikan mereka. Menurut Kopoka (2000), penyebab seorang anak turun ke jalanan diantaranya adalah faktor ke m i s k i n a n d a n ke l u a r g a . W H O j u g a mengemukakan bahwa salah satu penyebab anak turun ke jalan adalah untuk menghindar dari kekerasan di rumahnya. Subjek Sa kabur ke jalanan karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ia juga sempat dikembalikan ke orangtuanya setelah menjalani Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 1 No. 02, Juni 2012 Pandu Pramudita Sakalasastra, Ike Herdiana kekerasan di rumahnya. Subjek Sa kabur ke jalanan karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ia juga sempat dikembalikan ke orangtuanya setelah menjalani pembinaan, namun karena mendapatkan perlakuan kekerasan yang sama oleh orangtuanya, ia akhirnya melarikan diri lagi dan kembali tinggal di jalanan. Sedangkan, subjek Su berada di jalanan karena ia memiliki latar belakang keluarga yang tidak jelas, dimana orangtua subjek tidak diketahui berasal dari mana dan saat ini berada dimana. Data yang diketahui pihak liponsos adalah subjek Su berasal dari panti asuhan sebelumnya yang kemudian menyerahkan subjek untuk dibina di liponsos tersebut. Kondisi di jalanan seperti ketiadaan pengawasan dari orangtua, ketiadaan tempat untuk berlindung, kehidupan yang bebas, dan lain-lain membuat anak jalanan semakin rentan dengan kasus pelecehan seksual (Kristiyadi & Rianto, 2006). Sama seperti subjek Sa yang mengalami peristiwa pelecehan seksual di jalanan, ia mengaku dipanggil oleh orang yang tidak dikenal dan ditawari obat-obatan serta minuman beralkohol, hingga akhirnya ia mengalami pelecehan seksual tersebut. Lain lagi dengan subjek Su yang mengaku mengalami pelecehan seksual di liponsos anak surabaya, namun ia tidak dapat bercerita lebih lanjut karena merasa pusing ketika membicarakan hal tersebut. Peristiwa pelecehan seksual tersebut membawa dampak yang bervariasi pada masingmasing subjek. Finkelhor (dalam Kinnear, 2007) membagi dampak pelecehan seksual tersebut menjadi 4 kategori utama, yaitu traumatic sexualization, stigmatization, betrayal, dan powerlessness. Namun, yang nampak pada kedua subjek adalah powerlessness. Traumatic sexualization terjadi karena hubungan seksual yang tidak pantas antara pelaku dan korban, hal itu mengakibatkan rasa jijik pada hal yang berhubungan dengan seksual, namun dampak ini tidak terjadi pada kedua subjek. Subjek Sa menyatakan sering menyewa jasa pekerja seks komersial (PSK) untuk menyalurkan hasratnya, dan subjek Su berkali-kali bercerita bahwa ia pernah memperkosa seorang wanita. Kategori kedua adalah stigmatization, yang terjadi ketika korban merasa bersalah dan bertanggungjawab terhadap peristiwa pelecehan Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 1 No. 02, Juni 2012 seksual yang terjadi, dampaknya adalah korban akan menarik diri dari lingkungannya. Hal itu tidak terjadi pada kedua subjek yang masih memiliki hubungan intrapersonal yang cukup baik dengan sekitarnya, kecuali subjek Su yang sering membuat masalah, namun subjek tidak menarik diri dari lingkungan sekitarnya. Kategori ketiga adalah betrayal yang terjadi ketika korban disakiti oleh orang dewasa dan mengakibatkan korban mengalami kesulitan dalam mempercayai orang dewasa lainnya. Dampak ini tidak terjadi karena kedua subjek masih memiliki hubungan yang cukup baik dengan orang dewasa di sekitarnya. Kategori keempat adalah powelessness yaitu perasaan yang muncul karena korban tidak dapat menghentikan perilaku pelecehan tersebut, dampaknya adalah korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mereka mengungkap peristiwa tersebut. Hal itu ditunjukkan oleh subjek Su yang mengaku bahwa ia merasa tak berdaya dan tak semangat dalam menjalani aktivitas sehariharinya. Sedangkan subjek Sa merasa tersiksa (pusing) ketika harus membahas tentang peristiwa pelecehan seksual yang terjadi. Kedua subjek juga menunjukkan pola yang sama pada penggunaan obat-obatan terlarang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa memang ada hubungan yang signifikan antara pengalaman pelecehan seksu al d engan kecenderungan mengkonsumsi obat-obatan terlarang (Wiede, 1990; Benward & DensenGerber, 1975; Singer et al, 1989; dalam Kinnear, 2007). Pola tersebut menunjukkan adanya kecenderungan penggunaan obat terlarang, obat perangsang, serta minuman keras pada korban pelecehan seksual dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami pelecehan seksual. Begitu juga dengan subjek Sa yang mengaku pernah mengkonsumsi minuman keras dan obat terlarang berjenis Dextro. Sedangkan subjek Su sendiri juga mengaku pernah mengkonsumsi minuman alkohol dan obat terlarang berjenis pil koplo. Sidabutar dkk (2003) mengungkapkan bahwa peristiwa yang traumatis seperti pelecehan seksual akan meninggalkan dampak faktor psikososial. Faktor psikososial yang dapat terpengaruh oleh peristiwa tersebut dilihat dari dimensi afeksi, kognisi, psikomotor, dan sosial. Selain itu, Browne dan Finkelhor (1987, dalam 71 Dampak Psikososial Pada Anak Jalanan Korban Pelecehan Seksual Yang Tinggal di Liponsos Anak Surabaya Beasley, 1997) juga mengemukan bahwa dalam korban pelecehan seksual ditemukan faktor psikososial seperti adanya emosi negatif pada dimensi afeksi, penilaian yang cenderung negatif pada dimensi kognisi, perilaku seksual yang tidak wajar pada dimensi psikomotor, dan relasi sosial yang cenderung buruk pada dimensi sosial. Seperti yang nampak pada subjek Sa, pada dimensi afeksi, subjek Sa terkadang merasa benci dengan temannya, subjek juga merasa tidak bersemangat dalam menjalani aktivitasnya, serta merindukan kondisi keluarga yang masih utuh. Pada subjek Su, ada perasaan benci dengan temannya, dan subjek cenderung menyimpan dendam ke semua orang. Kedua subjek menunjukkan adanya kecenderungan emosi negatif. Kemudian pada dimensi kognisi, kedua subjek sama-sama menginginkan kebebasan dalam hidupnya. Selain itu, kedua subjek juga menunjukkan penilaian yang cenderung negatif pada dirinya, ataupun pada kehidupan. Subjek Sa merasa menyesal karena telah kabur dari rumahnya, namun subjek tetap berusaha untuk menerima konsekuensinya. Sedangkan pada subjek Su ada kecenderungan dalam berpikiran negatif seperti mengingat pengalaman membunuh, memperkosa, dan menjarah toko. Pada dimensi psikomotor, kedua subjek menunjukkan pola yang sama dalam mengkonsumsi minuman beralkohol dan narkoba, selain itu kedua subjek juga memiliki perilaku seksual yang tidak wajar. Subjek Sa mengatakan pernah berhubungan seksual dengan pekerja seks komersial di usianya yang masih muda, sedangkan subjek Su pernah memperkosa temannya ketika ia masih belum matang secara seksual. Pada dimensi sosial, korban pelecehan seksual cenderung mempunyai relasi yang buruk dengan sekitarnya. Namun, subjek Sa memiliki relasi yang cukup baik dengan sekitarnya, subjek Sa hanya memiliki relasi yang buruk dengan keluarga intinya, dimana subjek sudah tidak pernah berkomunikasi dengan orangtuanya dalam rentang satu tahun ini. Sedangkan, pada subjek Su terlihat relasi yang buruk dengan sekitarnya, ia suka menggoda dan membuat masalah dengan temannya, dan relasi dengan keluarga intinya juga tidak jelas. 72 SIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian yang telah dilakukan, simpulan yang dapat peneliti rumuskan yaitu, Gambaran faktor psikososial pada anak jalanan korban pelecehan seksual yang tinggal di lingkungan pondok sosial anak di Surabaya digambarkan dalam dimensi afeksi, kognisi, psikomotor, dan sosial. Faktor psikososial tersebut seperti kecenderungan emosi negatif seperti perasaan benci dan menyimpan dendam, keinginan untuk menjalani kehidupan bebas, penilaian yang cenderung negatif pada dirinya sendiri dan kehidupan yang dijalani, perilaku seksual yang tidak wajar, serta relasi yang buruk dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya. Dampak pelecehan seksual yang terjadi ditandai dengan adanya powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap peristiwa pelecehan seksual tersebut. Selain itu, ditemukan adanya pola yang sama dalam penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi minuman beralkohol pada korban pelecehan seksual. Apabila ada peneliti yang akan melakukan penelitian dengan tema yang sama, maka untuk p e n e l i t i a n s e l a n j u t nya m u n gk i n d a p a t mempertimbangkan berberapa hal, 1) yaitu untuk memperluas batasan kriteria subjek sehingga subjek yang diambil dalam penelitian semakin beragam dan semakin memperkaya data yang akan digali; 2) peneliti selanjutnya dapat membahas tema yang sama, namun dengan konteks faktor psikososial yang lebih spesifik sehingga bahasan yang didapatkan lebih mendalam dan akurat. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 1 No. 02, Juni 2012 Pandu Pramudita Sakalasastra, Ike Herdiana PUSTAKA ACUAN Ali, A.R. (2009, 6 April). Kebutuhan Gizi Embrio dan Paradigma Baru Perbaikan Gizi Masyarakat. Diakses tanggal 17 januari 2012 dari http://arali2008.wordpress.com/2009/04/06/kebutuhan-gizi-embriodan-pradigma-baru-program-perbaikan-gizi-masyarakat/ Beasley, J.,F. (1997). The Psychosocial Impact of Sexual Abuse And Rape on Adolscent Girls. ProQuest Dissertations and Theses. Kementerian Sosial RI. (2009). Buku Kamus Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Tahun 2009. Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI. Kinnear, L.K. (2007). Childhood sexual abuse: a reference handbook. California, Santa Barbara: ABC-Clio Inc. Kristiyadi & Rianto, A. (2006). Problematika Penanganan Perkara Kekerasan Seksual terhadap Anak Perempuan Di Surakarta (Studi Tentang Implementasi UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Surakarta, Jawa Tengah: Universitas Negeri Surakarta. Kopoka, P.A. (2000). The Problem of Street Children in Africa: An Ignored Tragedy. Makalah dipresentasikan pada pertemuan International Conference on Street Children and Street Children's Health in East Africa, Dar-es-Salaam, Tanzania. Moleong, L.J. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Transito. Rikawarastuti. (2003). Perilaku Seksual Pada Anak Jalanan di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan (Analisis survei untuk program dukungan dan pemberdayaan anak jalanan di perkotaan, 2011). Jakarta, Indonesia: Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Santoso, P. (2010). Pengambilan Keputusan Tindakan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup (Fisik dan Psikologis) Pada Anak Jalanan. Surakarta, Jawa Tengah: Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Psikologi. Sidabutar et al. (2003). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas. Jakarta: KontraS & Yayasan PULIH. Siregar, H. (2004). Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan di Kota Medan. Medan, Indonesia: Universitas Sumatera Utara, Program Pasca Sarjana. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 13 No. 03, Desember 2011 73